Kesehatan dalam konteks Hukum Nasional

40
BAB I PENDAHULUAN A. PENDAHULUAN Kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat. Kesehatan juga merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping sandang, pangan dan papan. Dengan berkembangnya pelayanan kesehatan dewasa ini, memahami etika Kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat. Kesehatan juga merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping sandang, pangan dan papan. Dengan berkembangnya pelayanan kesehatan dewasa ini, memahami etika kesehatan merupakan tuntunan yang dipandang semakin perlu, karena etika kesehatan membahas tentang tata susila petugas kesehatan dalam menjalankan profesi, khususnya yang berkaitan dengan pasien. Oleh karena itu tatanan kesehatan secara normatif menumbuhkan pengembangan hukum kesehatan bersifat khusus (Lex specialis) yang mengandung ketentuan penyimpangan atau eksepsional jika dibandingkan dengan ketentuan hukum umum (Lex generale). Tujuan hukum pada intinya adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya

Transcript of Kesehatan dalam konteks Hukum Nasional

BAB I

PENDAHULUAN

A. PENDAHULUAN

Kesehatan merupakan bagian penting dari

kesejahteraan masyarakat. Kesehatan juga merupakan

salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping

sandang, pangan dan papan. Dengan berkembangnya

pelayanan kesehatan dewasa ini, memahami etika

Kesehatan merupakan bagian penting dari

kesejahteraan masyarakat. Kesehatan juga merupakan

salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping

sandang, pangan dan papan. Dengan berkembangnya

pelayanan kesehatan dewasa ini, memahami etika

kesehatan merupakan tuntunan yang dipandang semakin

perlu, karena etika kesehatan membahas tentang tata

susila petugas kesehatan dalam menjalankan profesi,

khususnya yang berkaitan dengan pasien. Oleh karena

itu tatanan kesehatan secara normatif menumbuhkan

pengembangan hukum kesehatan bersifat khusus (Lex

specialis) yang mengandung ketentuan penyimpangan atau

eksepsional jika dibandingkan dengan ketentuan hukum

umum (Lex generale).

Tujuan hukum pada intinya adalah menciptakan

tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan

ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya

ketertiban didalam masyarakat diharapkan kepentingan

manusia akan terpenuhi dan terlindungi. Dengan

demikian jelas terlihat bahwa tujuan hukum

kesehatanpun tidak akan banyak menyimpang dari

tujuan umum hukum. Hal ini dilihat dari bidang

kesehatan sendiri yang mencakup aspek sosial dan

kemasyarakatan dimana banyak kepentingan harus dapat

diakomodir dengan baik.

Penertian Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar

Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI),

adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan

langsung dengan pemeliharaan / pelayanan kesehatan

dan penerapannya. Hal ini menyangkut hak dan

kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan

masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan

maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan

dalam segala aspeknya, organisasi, sarana, pedoman

standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan

dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya.

Konsep dasar hukum kesehatan mempunyai ciri

istimewa yaitu beraspek: (1) Hak Azasi Manusia

(HAM), (2) Kesepakatan Internasional, (3) Legal baik

pada level nasional maupun internasional, (4) Iptek

yang termasuk tenaga kesehatan professional.

Komponen hukum kesehatan tumbuh dari keterpaduan

hukum administrasi, hukum pidana, hukum perdata dan

hukum internasional. Dalil yang berkembang dalam

hukum kesehatan dan pelayanan kesehatan dapat

mencakup legalisasi dalam moral dan moralisasi dalam

hukum sebagai suatu dalil yang harus mulai

dikembangkan dalam pelayanan kesehatan.

Secara normatif menurut Undangundang Kesehatan Nomor

36 Tahun 2009, harus mengutamakan pelayanan

kesehatan yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan

swasta dengan kemitraan kepada pihak masyarakat

serta semata-mata tidak mencari keuntungan. Dua

batasan nilai norma hukum tersebut perlu ditaati

agar tidak mengakibatkan reaksi masyarakat dan

tumbuh konflik dengan gugatan/tuntutan hukum. Dalam

makalah ini akan di bahas beberapa hukum kesehatan

nasional yang mengatur pelaksanaan pelayanan

kesehatan umumnya.

B. PENDAHULUAN

Setelah membaca mekalah ini diharapkan mahasiswa

mampu mengetahui tentang aspek hukum nasional yang

berkaitan dengan hukum kesehatan di Indonesia.

C. KAJIAN PUSTAKA

1. Batasan dan Lingkup Hukum Kesehatan

Van der Mijn di dalam makalahnya menyatakan bahwa,

“…health law as the body of rules that relates

directly to the care of health as well as the

applications of general civil, criminal, and

administrative law”.(1)

Lebih luas apa yang dikatakan Van der Mijn adalah

pengertian yang diberikan Leenen bahwa hukum

kesehatan adalah “…. het geheel van rechtsregels,

dat rechtstreeks bettrekking heft op de zorg voor

de gezondheid en de toepassing van overig

burgelijk, administratief en strafrecht in dat

verband. Dit geheel van rechtsregels omvat niet

alleen wettelijk recht en internationale

regelingen, maar ook internationale richtlijnen

gewoonterecht en jurisprudenterecht, terwijl ook

wetenschap en literatuur bronnen van recht kunnen

zijn”.(2)

Dari apa yang dirumuskan Leenen tersebut

memberikan kejelasan tentang apa yang dimaksudkan

dengan cabang baru dalam ilmu hukum, yaitu hal-hal

yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg

voor de gezondheid). Rumusan tersebut dapat

berlaku secara universal di semua negara.

Dikatakan demikian karena tidak hanya bertumpu

pada peraturan perundang-undangan saja tetapi

mencakup kesepakatan/peraturan internasional,

asas-asas yang berlaku secara internasional,

kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin.

Di sini dapat dilukiskan bahwa sumber hukum dalam

hukum kesehatan meliputi hukum tertulis,

yurisprudensi, dan doktrin. Dilihat dari objeknya,

maka hukum kesehatan mencakup segala aspek yang

berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor

de gezondheid).

Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa hukum

kesehatan cukup luas dan kompleks. Jayasuriya

mengidentifikasikan ada 30 (tiga puluh) jenis

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

kesehatan.(3)

Secara umum dari lingkup hukum kesehatan tersebut,

materi muatan yang dikandung didalamnya pada

asasnya adalah memberikan perlindungan kepada

individu, masyarakat, dan memfasilitasi

penyelenggaraan upaya kesehatan agar tujuan

kesehatan dapat tercapai. Jayasuriya bertolak dari

materi muatan yang mengatur masalah kesehatan

menyatakan ada 5 (lima) fungsi yang mendasar,

yaitu pemberian hak, penyediaan perlindungan,

peningkatan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan

penilaian terhadap kuantitas dan kualitas dalam

pemeliharaan kesehatan.(4)

Dalam perjalanannya diingatkan oleh Pinet bahwa

untuk mewujudkan kesehatan untuk semua,

diidentifikasikan faktor determinan yang

mempengaruhi sekurang-kurangnya mencakup, “...

biological, behavioral, environmental, health

system, socio economic, socio cultural, aging the

population, science and technology, information

and communication, gender, equity and social

justice and human rights”.(5)

2. Landasan Hukum Kesehatan

Hermien Hadiati Koeswadji menyatakan pada asasnya

hukum kesehatan bertumpu pada hak atas

pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar social

(the right to health care) yang ditopang oleh 2

(dua) hak dasar individual yang terdiri dari hak

atas informasi (the right to information) dan hak

untuk menentukan nasib sendiri (the right of self

determination).(6)

Sejalan dengan hal tersebut Roscam Abing

mentautkan hukum kesehatan dengan hak untuk sehat

dengan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan

kesehatan mencakup berbagai aspek yang

merefleksikan pemberian perlindungan dan pemberian

fasilitas dalam pelaksanaannya. Untuk

merealisasikan hak atas pemeliharaan bisa juga

mengandung pelaksanaan hak untuk hidup, hak atas

privasi, dan hak untuk memperoleh informasi.(7)

Demikian juga Leenen secara khusus, menguraikan

secara rinci tentang segala hak dasar manusia yang

merupakan dasar bagi hukum kesehatan.(8)

3. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Bidang

Kesehatan

Sebenarnya dalam kajian ini akan disajikan

menyangkut seluruh lingkup hukum kesehatan, namun

keterbatasan waktu, maka penyajian dibatasi pada

materi muatan peraturan perundang-undangan bidang

kesehatan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan

kesehatan seringkali dikatakan sebagian masyarakat

kesehatan dengan ucapan saratnya peraturan.

Peraturan dimaksud dapat berupa peraturan

perundang-undangan yang berlaku umum dan berbagai

ketentuan internal bagi profesi dan asosiasi

kesehatan. Agar diperoleh gambaran yang lebih

menyeluruh maka digunakan susunan 3 (tiga)

komponen dalam suatu sistem hukum seperti yang

dikemukakan Schuyt.(9) Ketiga komponen dimaksud

adalah keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan

yang dilukiskan sebagai sistem pengertian,

betekenissysteem, keseluruhan organisasi dan

lembaga yang mengemban fungsi dalam melakukan

tugasnya, organisaties instellingen dan

keseluruhan ketetapan dan penanganan secara

konkret telah diambil dan dilakukan oleh subjek

dalam komponen kedua, beslisingen en handelingen.

Dalam komponen pertama yang dimaksudkan adalah

seluruh peraturan, norma dan prinsip yang ada

dalam penyelenggaraan kegiatan di bidang

kesehatan. Bertolak dari hal tersebut dapat

diklasifikasikan ada 2 (dua) bentuk, yaitu

ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh penguasa dan

ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan

asosiasi kesehatan. Hubungan antara keduanya

adalah ketentuan yang dibuat oleh organisasi

profesi dan asosiasi kesehatan serta sarana

kesehatan hanya mengikat ke dalam dan tidak boleh

bertentangan dengan ketentuan yang dibuat oleh

penguasa. Menurut inventarisasi yang dilakukan

terhadap ketentuan yang dikeluarkan penguasa dalam

bentuk peraturan perundang-undangan terdapat 2

(dua) kategori, yaitu yang bersifat menetapkan dan

yang bersifat mengatur.

Dari sudut pandang materi muatan yang ada dapat

dikatakan mengandung 4 (empat) obyek, yaitu:

1. Pengaturan yang berkaitan dengan upaya

kesehatan;

2. Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga

kesehatan;

3. Pengaturan yang berkaitan dengan sarana

kesehatan;

4. Pengaturan yang berkaitan dengan komoditi

kesehatan.

Apabila diperhatikan dari ketentuan tersebut

terkandung prinsip perikemanusiaan berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama

dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan

dalam keseimbangan dan kepercayaan pada kemampuan

dan kekuatan sendiri.(10)

Selanjutnya dari ketentuan yang ada dalam

keputusan dan peraturan yang dibuat oleh

organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan

serta sarana kesehatan adalah mencakup kode etik

profesi, kode etik usaha dan berbagai standar yang

harus dilakukan dalam penyelenggaraan upaya

kesehatan.

Apabila diperhatikan prinsip-prinsip yang

dikandung dalam ketentuan ini mencakup 4 (empat)

prinsip dasar, yaitu autonomy, beneficence, non

maleficence dan justice.(11)

Sebelum memasuki komponen kedua, perlu dibahas

terlebih dahulu komponen ketiga mengenai

intervensi yang berupa penanganan yang dilakukan

berdasarkan ketentuan yang diatur. Komponen ini

merupakan aktualisasi terhadap komponen ideal yang

ada dalam komponen pertama. Bila diperhatikan isi

ketentuan yang ada dimana diperlukan penanganan

terdapat 4 (empat) sifat, yaitu:

1. Perintah (gebod) yang merupakan kewajiban umum

untuk melakukan sesuatu;

2. Larangan (verbod) yang merupakan kewajiban umum

untuk tidak melakukan sesuatu;

3. Pembebasan (vrijstelling, dispensatie) berupa

pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu

yang secara umum diharuskan.

4. Izin (toesteming, permissie) berupa pembolehan

khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum

dilarang.(12)

Tindakan penanganan yang dilakukan apakah sudah

benar atau tidak, kiranya dapat diukur dengan

tatanan hukum seperti yang dikemukakan oleh Nonet

dan Selznick, yaitu apakah masih bersifat

represif, otonomous atau responsive.(13)

Selanjutnya dengan komponen kedua tentang

organisasi yang ada dalam penyelenggaraan upaya

kesehatan dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian besar

yaitu organisasi pemerintah dan organisasi / badan

swasta.

Pada organisasi pemerintah mencakup aparatur pusat

dan daerah serta departemen dan lembaga pemerintah

non departemen. Pada sektor swasta terdapat

berbagai organisasi profesi, asosiasi dan sarana

kesehatan yang mempunyai tugas dan fungsi di

bidang kesehatan.

Dari susunan dalam 3 (tiga) komponen tersebut

secara global menurut Schuyt bahwa tujuan yang

ingin dicapat adalah (14):

1. Penyelenggaraan ketertiban sosial;

2. Pencegahan dari konflik yang tidak

menyenangkan;

3. Jaminan pertumbuhan dan kemandirian penduduk

secara individual;

4. Penyelenggaraan pembagian tugas dari berbagai

peristiwa yang baik dalam masyarakat;

5. Kanalisasi perubahan sosial.

BAB II

PEMBAHASAN

A. HUKUM NASIONAL DALAM KESEHATAN

1. Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 28H

a. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan

batin, bertempat tinggal, dan medapatkan

lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan.

Makna: Setiap orang berhak untuk hidup dengan

sehat dan bertempat tinggal yang bersih , aman

dan tentram dan mendapat pelayanan kesehatan

yang baik , misalnya dalam masyarakat yang

tidak mampu diberi kartu sehat agar meringankan

biaya mereka , tetapi tidak di salah gunakan

b. Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan

khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat

yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Makna: Semua orang sama di depan hukum dan

berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa

diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan

yang sama terhadap setiap bentuk apa pun

c. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang

memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh

sebagai manusia yang bermartabat.

Makna: setiap orang itu berhak atas jaminan

dalam bentuk sosial atau kebutuhan hidupnya

untuk bertumbuh dan menjadi manusia yang baik

dan berpendidikan

d. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi

dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih

secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

Makna: setiap orang itu memiliki hak pribadi

dan yang milik pribadi itu tidak boleh ada

campur tangan atau diganggu gugat oleh orang

lain dengan tidak sopan

Pasal 34

Ayat 1

Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar

dipelihara oleh negara.

Ayat 2

Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi

seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang

lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat

kemanusiaan.

Makna : Negara berkewajiban menyelenggarakan

jaminan sosial bagi rakyatnya yang lemah dan tidak

mampu secara ekonomi untuk memenuhi hak nya

sebagai warga Negara.

Ayat 3

Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas

pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum

yang layak.

2. Undang-Undang Kesehatan no 36 tahun 2009

Pasal I

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

a. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara

fisik, mental, spritual maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif

secara sosial dan ekonomis.

b. Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala

bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan,

sediaan farmasi dan alat kesehatan serta

fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi

yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya

kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah,

pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

c. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan

peralatan yang diperlukan untuk

menyelenggarakan upaya kesehatan. Kesehatan

adalah sesuatu yang sangat berguna

d. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat

tradisional, dan kosmetika.

e. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus,

mesin dan/atau implan yang tidak mengandung

obat yang digunakan untuk mencegah,

mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan

penyakit, merawat orang sakit, memulihkan

kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk

struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.

f. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang

mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta

memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan

melalui pendidikan di bidang kesehatan yang

untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan

untuk melakukan upaya kesehatan.

g. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat

dan/atau tempat yang digunakan untuk

menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan,

baik promotif, preventif, kuratif maupun

rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah,

pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

h. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk

produk biologi yang digunakan untuk

mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi

atau keadaan patologi dalam rangka penetapan

diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,

peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk

manusia.

i. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan

yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan

mineral, sediaan sarian (galenik), atau

campuran dari bahan tersebut yang secara turun

temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan

dapat diterapkan sesuai dengan norma yang

berlaku di masyarakat.

j. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat

dan/atau metode yang ditujukan untuk membantu

menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan

permasalahan kesehatan manusia.

k. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau

serangkaian kegiatan yang dilakukan secara

terpadu, terintregasi dan berkesinambungan

untuk memelihara dan meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan

penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan

penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh

pemerintah dan/atau masyarakat.

l. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu

kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan

pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan

kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.

m. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu

kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah

kesehatan/penyakit.

n. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu

kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan

pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan

penyakit, pengurangan penderitaan akibat

penyakit, pengendalian penyakit, atau

pengendalian kecacatan agar kualitas penderita

dapat terjaga seoptimal mungkin.

o. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah

kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk

mengembalikan bekas penderita ke dalam

masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi

sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk

dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin

sesuai dengan kemampuannya.

p. Pelayanan kesehatan tradisional adalah

pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan

obat yang mengacu pada pengalaman dan

keterampilan turun temurun secara empiris yang

dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan

sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

q. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut

Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia

yang memegang kekuasaan Pemerintah Negara

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

r. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau

walikota dan perangkat daerah sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah.

s. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan

tanggung jawabnya di bidang kesehatan.

BAB IV

TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH

Pasal 14

(1) Pemerintah bertanggung jawab

merencanakan, mengatur, menyelenggarakan,

membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya

kesehatan yang merata dan

(2) terjangkau oleh masyarakat.

(3) Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dikhususkan pada

pelayanan publik.

Pasal 15

Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan

lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik

fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk

mencapai derajat kesehatan yang setinggi

tingginya.

Pasal 16

Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan

sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan

merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh

derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pasal 17

Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan

akses terhadap informasi, edukasi, dan

fasilitas pelayanan kesehatan untuk

meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan

yang setinggi-tingginya.

Pasal 19

Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan

segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu,

aman, efisien, dan terjangkau.

BAB V

SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN

Bagian Kesatu

Tenaga Kesehatan

Pasal 21

(1) Pemerintah mengatur perencanaan,

pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan

pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka

penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

(2) Ketentuan mengenai perencanaan,

pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan

pengawasan mutu tenaga kesehatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan

Pemerintah.

(3) Ketentuan mengenai tenaga kesehatan

diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 22

(1) Tenaga kesehatan harus memiliki

kualifikasi minimum.

(2) Ketentuan mengenai kualifikasi minimum

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Peraturan Menteri.

Pasal 23

(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk

menyelenggarakan pelayanan kesehatan.

(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan

pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang

keahlian yang dimiliki.

(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan

kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki

izin dari pemerintah.

(4) Selama memberikan pelayanan kesehatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang

mengutamakan kepentingan yang bernilai

materi.

Bagian Kedua

Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Pasal 30

(1) Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut

jenis pelayanannya terdiri atas:

a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan

b. pelayanan kesehatan masyarakat.

(2) Fasilitas pelayanan kesehatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pelayanan kesehatan tingkat pertama;

b. pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan

c. pelayanan kesehatan tingkat ketiga.

(3) Fasilitas pelayanan kesehatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan oleh pihak Pemerintah,

pemerintah daerah, dan swasta.

(4) Ketentuan persyaratan fasilitas

pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh

Pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku.

(5) Ketentuan perizinan fasilitas pelayanan

kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah dan

pemerintah daerah.

Pasal 31

Fasilitas pelayanan kesehatan wajib:

(1) memberikan akses yang luas bagi

kebutuhan penelitian dan pengembangan di

bidang kesehatan; dan

(2) mengirimkan laporan hasil penelitian dan

pengembangan kepada pemerintah daerah atau

Menteri.

Pasal 32

(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas

pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun

swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan

bagi penyelamatan nyawa pasien

(2) dan pencegahan kecacatan terlebih

dahulu.

(3) Dalam keadaan darurat, fasilitas

pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun

swasta dilarang menolak pasien dan/atau

meminta uang muka.

Pasal 33

(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan

fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat

harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan

masyarakat yang dibutuhkan.

(2) Kompetensi manajemen kesehatan

masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 34

(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan

fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan

harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan

perseorangan yang dibutuhkan.

(2) Penyelenggara fasilitas pelayanan

kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga

kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan

izin melakukan pekerjaan profesi.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 35

(1) Pemerintah daerah dapat menentukan

jumlah dan jenis fasilitas pelayanan

kesehatan serta pemberian izin beroperasi di

daerahnya.

(2) Penentuan jumlah dan jenis fasilitas

pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah

dengan mempertimbangkan:

a. luas wilayah;

b. kebutuhan kesehatan;

c. jumlah dan persebaran penduduk;

d. pola penyakit;

e. pemanfaatannya;

f. fungsi sosial; dan

g. kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.

(3) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis

fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian

izin beroperasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) berlaku juga untuk fasilitas

pelayanan kesehatan asing.

(4) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis

fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk

jenis rumah sakit khusus karantina,

penelitian, dan asilum.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai

penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Perbekalan Kesehatan

Pasal 36

(1) Pemerintah menjamin ketersediaan,

pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan

kesehatan, terutama obat esensial.

(2) Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan

darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan

khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat

dan bahan yang berkhasiat obat.

Pasal 37

(1) Pengelolaan perbekalan kesehatan

dilakukan agar kebutuhan dasar masyarakat

akan perbekalan kesehatan terpenuhi.

(2) Pengelolaan perbekalan kesehatan yang

berupa obat esensial dan alat kesehatan dasar

tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan

kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan

dengan pemerataan.

3. Undang-Undang Rumah Sakit no 44 Tahun 2009

Undang-undang tentang rumah sakit antara lain

mengatur tentang persyaratan penyelenggaraan rumah

sakit, pengklasifikasian rumah sakit, masalah

perijinan, kewajiban dan hak pasien dalam hubungan

hukum dengan rumah sakit serta kewajiban dan hak

rumah sakit. Dan terpenting, ada aturan tentang

perlindungan bagi pasien dan pengelola rumah

sakit. Terdapat 20 kewajiban rumah sakit dan

diantaranya ditegaskan rumah sakit melaksanakan

fungsi sosial antara lain dengan memberikan

fasilitas pelayanan pasien tidak mampu atau

miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka,

ambulan gratis , pelayanan korban bencana alam,

kejadian luar biasa atau bakti sosial bagi misi

kemanusiaan.

Kewajiban rumah sakit lainnya mulai dari

memberikan informasi yang benar tentang rumah

sakit kepada pasien, menghormati hak pasien dan

melindungi para pekerja kesehatan di rumah sakit

tersebut. Pelanggaran atas seluruh kewajiban

tersebut dikenakan sanksi administratif mulai dari

teguran, teguran tertulis atau denda hingga

pencabutan izin rumah sakit. -Dalam perundangan

tersebut, menteri menetapkan pola tarif nasional

untuk rumah sakit pemerintah. Pola tarif nasional

menjadi pedoman dasar yang berlaku secara nasional

dalam pengaturan besaran tarif rumah sakit.

Menkes menambahkan undang-undang juga mengatur

pengelolaan, penyelenggaraan, akreditasi,

pembentukan jaringan dan pelaksanaan sistem

rujukan di rumah sakit serta pola tarif dan

pembiayaan pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Penghapusan klasifikasi kelas pelayanan

sebagai implementasi pemberlakuan Undang Undang

(UU) Rumah Sakit tidak akan menghilangkan

pendapatan rumah sakit milik pemerintah hingga di

tingkat daerah. Sebab, meski hanya memiliki

klasifikasi pelayanan kelas III, rumah sakit

pemerintah tidak akan rugi, mengingat pasien yang

dirawati dijamin melalui program Jaminan Kesehatan

Masyarakat (Jamkesmas). Melalui program Jamkesmas

ini, segala bentuk pelayanan yang dilakukan akan

ditanggung oleh masing- masing pemerintah. Artinya

klaim rumah sakit pasti dibayar. Dihapuskannya

pelayanan rumah sakit kelas I dan II semata- mata

untuk memberi kepastian hukum pelayanan kesehatan

yang menjadi hak dasar masyarakat. Rumah sakit

pemerintah -hingga di tingkat daerah sekalipun--

masih memiliki kesempatan untuk meningkatkan

pendapatannya melalui pengadaan fasilitas tambahan

yang mekanismenya diatur badan layanan umum (BLU),

demikian beberapa pendapat yang disampaikan

pemerhati kesehatan.

Pelaksanaan klasifikasi kelas sebagaimana

diatur dalam UU Rumah Sakit ini masih harus

menunggu aturan pelaksananya, seperti Peraturan

Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Kesehatan

(Permenkes) serta Peraturan Menteri Dalam Negeri

(Permendagri), maka dengan demikian pihak

pengelola rumah sakit pemerintah, masih memiliki

waktu untuk mempersiapkan langkah-langkah yang

harus diambil dengan penghapusan klasifikasi kelas

ini. Bahkan penghapusan klasifikasi semacam ini

sudah diterapkan di sejumlah negara maju, seperti

Inggris dan Australia. Hal ini semata - mata

merupakan bagian dari upaya untuk meningkatan

kualitas pelayanan kesehatan.

Dengan adanya peraturan mengenai penetapan

tarif yang ditentukan oleh pemerintah, maka

diyakini ke depannya akan berpengaruh positif

terhadap standarisasi pelayanan dalam jangka

panjang, peningkatan mutu pelayanan, perlindungan

terhadap konsumen, serta tidak ada lagi persaingan

tidak sehat antara rumah sakit

Undang- undang ini harusnya disikapi sebagai

semangat untuk meningkatkan kualitas pelayanan

terhadap pasien, tanpa membedakan kelas. Sehingga

masyarakat bisa mendapatkan pelayanan kesehatan

yang sama. Undang-undang ini sangat positif karena

memberi kepastian hukum masyarakat dalam hal hak

mendapatkan pelayanan kesehatan.

4. Undang-Undang Kedokteran No 29 tahun 2004

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

Bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus

diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya

kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui

penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang

berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat. Bahwa

penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan

inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan

upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan

dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang

tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus

menerus harus ditingkatkan mutunya melalui

pendidikan dan pelatihan berkelanjutan,

sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan

pengawasan, dan pemantauan agar penyelanggaraan

praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi;

5. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN

2004 TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL (UU

SJSN)

Penjelasannya :

UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial

Nasional (UU SJSN), dirancang untuk memberikan

landasan mewujudkan amanat UUD 1945. Didalamnya,

terkandung semangat untuk mengakui jaminan sosial

sebagai hak seluruh warga negara, untuk memperoleh

" rasa aman" sosial, sejak lahir hingga meninggal

dunia, sebagaimana prinsip sistem jaminan sosial

yang dikenal, yang selama ini sesungguhnya juga

telah dilaksanakan, antara lain dengan keberadaan

PT ( Persero ) Jamsostek, Askes Indonesia, Taspen

dan Asabri.

Dalam UU SJSN dirancang program Jaminan Kesehatan

(JK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari

Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan

Kematian (JKM) bagi seluruh rakyat, secara

bertahap. Semula juga dirancang Jaminan Pemutusan

Hubungan Kerja, namun dibatalkan oleh karena sudah

tercakup dalam ketentuan pesangon yang diatur

dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Namun, hingga saat ini cakupan kepesertaan program

jaminan sosial masih sangat rendah. Demikian juga

manfaat yang sudah dapat dinikmati peserta masih

belum menyeluruh, di samping juga sangat rendah.

Penyelenggaraannya juga masih "fragmented" dan

bahkan diskriminatif. Secara konsepsional juga

masih diperlukan perbaikan, bahkan koreksi.

Karena itu, UU SJSN dirancang untuk dapat

meningkatkan jumlah kepesertaan, meningkatkan

kualitas manfaat dan cakupan program yang dapat

dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, meskipun

harus diselenggarakan secara bertahap. Dari aspek

substansi, UU SJSN merupakan implementasi UUD

1945. Di sinilah diperlukan sebuah "skenario makro",

"the road map", "peta jalan" bagaimana melaksanakan UU

SJSN.

6. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN

2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS disebutkan

bahwa penyelenggaraan SJSN dibentuk oleh dua badan

penyelenggara jaminan sosial, yaitu BPJS kesehatan

yang akan mulai beroperasi 1 Januari 2014 dan BPJS

ketenagakerjaan paling lambat 1 Juli 2015.

BPJS kesehatan akan menyelengarakan program

jaminan kesehatan sedangkan BPJS ketenagakerjaan

pada program jeminan kecelakaan kerja, jaminan

hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

7. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14

TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN

SOSIAL TENAGA KERJA

Penjelasannya :

Pembangunan nasional yang terus berlangsung selama

ini telah memperluas kesempatan kerja dan

memberikan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan

hidup bagi tenaga kerja dan keluarganya. Namun

kemampuan bekerja dan penghasilan tersebut dapat

berkurang atau hilang karena berbagai risiko yang

dialami tenaga kerja, yaitu kecelakaan, cacad,

sakit, hari tua, dan meninggal dunia. Oleh

karenanya untuk menanggulangi risiko-risiko

tersebut, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1993

tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja mengatur

pemberian jaminan kecelakaan kerja, jaminan

pemeliharaan kesehatan, jaminan hari tua dan

jaminan kematian. Jaminan sosial tenaga kerja yang

menanggulangi risiko-risiko kerja sekaligus akan

menciptakan ketenangan kerja yang pada gilirannya

akan membantu meningkatkan produktivitas kerja.

Ketenangan kerja dapat tercipta karena jaminan

sosial tenaga kerja mendukung kemandirian dan

harga diri manusia dalam menghadapi berbagai

risiko sosial, ekonomi dan kesehatan tersebut.

8. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72

TAHUN 2012 TENTANG SISTEM KESEHATAN NASIONAL

Pasal 6

(1) Pelaksanaan SKN ditekankan pada peningkatan

perilaku dan kemandirian masyarakat,

profesionalisme sumber daya manusia kesehatan,

serta upaya promotif dan preventif tanpa

mengesampingkan upaya kuratif dan rehabilitatif.

(2) Profesionalisme sumber daya manusia kesehatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dibina

oleh Menteri hanya bagi tenaga kesehatan dan

tenaga pendukung/penunjang kesehatan yang terlibat

dan bekerja serta mengabdikan dirinya dalam upaya

dan manajemen kesehatan.

(3) Pelaksanaan SKN sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) harus memperhatikan:

a. cakupan pelayanan kesehatan berkualitas, adil,

dan merata;

b. pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak

kepada rakyat;

c. kebijakan kesehatan masyarakat untuk

meningkatkan

dan melindungi kesehatan masyarakat;

PEMBAHASAN

Berdasarkan UUD 1945 pasal 34 ayat 3, pemerintah

berkewajiban menyediakan fasilitas pelayanan

kesehatan yang layak bagi seluruh rakyat

Indonesia. Hal tersebut dituangkan / diaplikasikan

dalam UU Kesehatan No 36 tahun 2009 dan peraturan

presiden No 72/2012, dimana didalam Undang-undang

dan peraturan presiden tersebut pemerintah

mengatur fasilitas pelayanan kesehatan yang

dikelola oleh institusi pemerintah maupun swasta

diantaranya fasilitas sarana gedung, perijinan,

alat sampai dengan obat-obatan esensial yang

harus tersedia termasuk obat-obatan emergensi

serta sumber daya/tenaga yang diperlukan.

Pelayanan kesehatan harus bisa menjangkau semua

pihak dan merata serta komprehensif. Pada pasal 32

telah disebutkan bahwa prinsip pelayanan kesehatan

emergensi adalah untuk menolong penyelamatan nyawa

pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu

dan dilarang menolak dan meminta uang muka pada

pasien/keluarga yang memerlukan pertolongan,

sehingga jika ada yang melanggar hal tersebut

sudah bertentangan dengan undang-undang yang telah

ditetapkan.

9. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12

TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN

Pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor

12 Tahun 2013 Tentanng Jaminan Kesehatan diatur

mengenai ketentuan umum, peserta dan kepesertaan,

pendaftaran peserta dan perubahan data

kepesertaan, iuran, manfaat jaminan kesehatan,

koordinasi manfaat, penyelenggaraan pelayanan

kesehatan, fasilitas kesehatan, kendali mutu dan

biaya penyelenggaraan jaminan kesehatan,

penenganan keluhan, penyelesaian sengketa, dan

ketentuan penutup.

10. PERATURAN MENTERI KESEHATAN INDONESIA NO. 40

TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM

JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT DIGUNAKAN SEBAGAI

PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN

MASYARAKAT TAHUN 2013.

Penyelenggaraan JAMKESMAS Tahun 2013 diatur lebih

lanjut dengan:

1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No. 010/Menkes/SK/I/2013 tentang Penerima Dana

Tahap Pertama Penyelenggaraan Jamkesmas Tahun

2013

2. Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya

Kesehatan RI No. HK.02.03/I/0395/2013 tentang

Penerima Dana Tahap Pertama Penyelenggaraan

Jamkesmas dan Jampersal di Pelayanan Dasar

untuk Tiap Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2013

3. Surat Edaran No. 149 Tahun 2013 tentang

Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan

Masyarakat Tahun 2013

4. Surat Edaran No. HK.03.03/X/573/2013 tentang

Pelaksanaan Jamkesmas dan Jampersal Tahun 2013

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Segala hal yang telah digariskan dalam peraturan

perundang-undangan yang ada perlu terus ditingkatkan

untuk

1. Membudayakan perilaku hidup sehat dan penggunaan

pelayanan kesehatan secara wajar untuk seluruh

masyarakat;

2. Mengutamakan upaya peningkatan kesehatan dan

pencegahan penyakit;

3. Mendorong kemandirian masyarakat dalam memilih dan

membiayai pelayanan kesehatan yang diperlukan;

4. Memberikan jaminan kepada setiap penduduk untuk

mendapatkan pemeliharaan kesehatan;

5. Mengendalikan biaya kesehatan;

6. Memelihara adanya hubungan yang baik antara

masyarakat dengan penyedia pelayanan kesehatan;

7. Meningkatkan kerjasama antara upaya kesehatan yang

dilakukan pemerintah dan masyarakat melalui suatu

bentuk pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang

secara efisien, efektif dan bermutu serta terjangkau

oleh masyarakat.

Untuk itu dukungan hukum tetap dan terus diperlukan

melalui berbagai kegiatan untuk menciptakan perangkat

hukum baru, memperkuat terhadap tatanan hukum yang

telah ada dan memperjelas lingkup terhadap tatanan

hukum yang telah ada.

SARAN

Beberapa hal yang perlu dicatat disini adalah yang

berkaitan dengan:

1. Eksistensi Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional

yang telah ada harus diperkuat dan harus merupakan

organisasi yang independen sehingga dapat memberikan

pertimbangan lebih akurat;

2. Perlu dibangun keberadaan Konsil untuk tenaga

kesehatan dimana lembaga tersebut merupakan lembaga

yang berwenang untuk melakukan pengaturan berbagai

standar yang harus dipenuhi oleh tenaga kesehatan

dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Dalam dunia

kedokteran dan kedokteran gigi telah dibentuk Konsil

Kedokteran Indonesia sebagaimana dituangkan dalam

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran;

3. Perlu dibangun lembaga registrasi tenaga kesehatan

dalam upaya untuk menilai kemampuan profesional yang

dimiliki tenaga kesehatan untuk menyelenggarakan

upaya kesehatan. Bagi tenaga dokter dan dokter gigi

peranan Konsil Kedokteran Indonesia dan organisasi

profesi serta Departemen Kesehatan menjadi penting;

4. Perlu dikaji adanya lembaga Peradilan Disiplin

Profesi Tenaga Kesehatan. Dimana untuk tenaga medis

telah dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin

Kedokteran Indonesia sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004;

5. Perlu dibangun lembaga untuk akreditasi berbagai

sarana kesehatan.

Referensi

1. Van der Mijn, 1984, ”The Development of Health Law

in the Nederlands”, Makalah yang disampaikan dalam

Seminar Sehari ”Issues of Health Law”, Tim

Pengkajian Hukum Kedokteran, Badan Pembinaan Hukum

Nasional Departemen Kehakiman RI bekerja sama dengan

PERHUKI dan PB IDI, Jakarta, hal 2.

2. H.J.J. Leenen, 1981, Gezondheidszorg en recht, een

gezondheidsrechtelijke studie, Samson uitgeverij,

alphen aan den rijn/Brussel, hal 22.

3. D.C.Jayasuriya, 1997, Health Law, International and

Regional Perspectives, Har-Anand Publication PUT

Ltd, New Delhi India, hal 16-28.

4. Ibid, hal 33.

5. Genevieve Pinet, 1998, “Health Challenges of The

21st Century a Legislative Approach to Health

Determinants”, Artikel dalam International Digest of

Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal

134.

6. Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum Kedokteran,

Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter

Sebagai Salah Satu Pihak, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal 22.

7. Roscam Abing, 1998, “Health, Human Rights and Health

Law The Move Towards Internationalization With

Special Emphasis on Europe” dalam journal

International Digest of Health Legislations, Vol 49

No. 1, 1998, Geneve, hal 103 dan 107.

8. HJJ. Leenen, 1981, Recht en Plicht in de

Gezondheidszorg, Samson Uitgeverij, Alphen aan den

Rijn/Brussel.

9. Schuyt, 1983, Recht en Samenleving, van Gorcum,

Assen, hal 11-12.

10. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang

Kesehatan.

11. Lihat Tom L. Beauchamp dan James F. Childress,

Principles of Biomedical Ethics, 1994, Oxford

University Press, New York, hal 38.

12. Bruggink, 1993, Rechtsrefleeties, Grondbegrippen

uit de Rechtstheorie, Kluwer, Deventer, hal 72.