Kesehatan dalam konteks Hukum Nasional
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of Kesehatan dalam konteks Hukum Nasional
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan bagian penting dari
kesejahteraan masyarakat. Kesehatan juga merupakan
salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping
sandang, pangan dan papan. Dengan berkembangnya
pelayanan kesehatan dewasa ini, memahami etika
Kesehatan merupakan bagian penting dari
kesejahteraan masyarakat. Kesehatan juga merupakan
salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping
sandang, pangan dan papan. Dengan berkembangnya
pelayanan kesehatan dewasa ini, memahami etika
kesehatan merupakan tuntunan yang dipandang semakin
perlu, karena etika kesehatan membahas tentang tata
susila petugas kesehatan dalam menjalankan profesi,
khususnya yang berkaitan dengan pasien. Oleh karena
itu tatanan kesehatan secara normatif menumbuhkan
pengembangan hukum kesehatan bersifat khusus (Lex
specialis) yang mengandung ketentuan penyimpangan atau
eksepsional jika dibandingkan dengan ketentuan hukum
umum (Lex generale).
Tujuan hukum pada intinya adalah menciptakan
tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan
ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya
ketertiban didalam masyarakat diharapkan kepentingan
manusia akan terpenuhi dan terlindungi. Dengan
demikian jelas terlihat bahwa tujuan hukum
kesehatanpun tidak akan banyak menyimpang dari
tujuan umum hukum. Hal ini dilihat dari bidang
kesehatan sendiri yang mencakup aspek sosial dan
kemasyarakatan dimana banyak kepentingan harus dapat
diakomodir dengan baik.
Penertian Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar
Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI),
adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan
langsung dengan pemeliharaan / pelayanan kesehatan
dan penerapannya. Hal ini menyangkut hak dan
kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan
masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan
maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan
dalam segala aspeknya, organisasi, sarana, pedoman
standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan
dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya.
Konsep dasar hukum kesehatan mempunyai ciri
istimewa yaitu beraspek: (1) Hak Azasi Manusia
(HAM), (2) Kesepakatan Internasional, (3) Legal baik
pada level nasional maupun internasional, (4) Iptek
yang termasuk tenaga kesehatan professional.
Komponen hukum kesehatan tumbuh dari keterpaduan
hukum administrasi, hukum pidana, hukum perdata dan
hukum internasional. Dalil yang berkembang dalam
hukum kesehatan dan pelayanan kesehatan dapat
mencakup legalisasi dalam moral dan moralisasi dalam
hukum sebagai suatu dalil yang harus mulai
dikembangkan dalam pelayanan kesehatan.
Secara normatif menurut Undangundang Kesehatan Nomor
36 Tahun 2009, harus mengutamakan pelayanan
kesehatan yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan
swasta dengan kemitraan kepada pihak masyarakat
serta semata-mata tidak mencari keuntungan. Dua
batasan nilai norma hukum tersebut perlu ditaati
agar tidak mengakibatkan reaksi masyarakat dan
tumbuh konflik dengan gugatan/tuntutan hukum. Dalam
makalah ini akan di bahas beberapa hukum kesehatan
nasional yang mengatur pelaksanaan pelayanan
kesehatan umumnya.
B. PENDAHULUAN
Setelah membaca mekalah ini diharapkan mahasiswa
mampu mengetahui tentang aspek hukum nasional yang
berkaitan dengan hukum kesehatan di Indonesia.
C. KAJIAN PUSTAKA
1. Batasan dan Lingkup Hukum Kesehatan
Van der Mijn di dalam makalahnya menyatakan bahwa,
“…health law as the body of rules that relates
directly to the care of health as well as the
applications of general civil, criminal, and
administrative law”.(1)
Lebih luas apa yang dikatakan Van der Mijn adalah
pengertian yang diberikan Leenen bahwa hukum
kesehatan adalah “…. het geheel van rechtsregels,
dat rechtstreeks bettrekking heft op de zorg voor
de gezondheid en de toepassing van overig
burgelijk, administratief en strafrecht in dat
verband. Dit geheel van rechtsregels omvat niet
alleen wettelijk recht en internationale
regelingen, maar ook internationale richtlijnen
gewoonterecht en jurisprudenterecht, terwijl ook
wetenschap en literatuur bronnen van recht kunnen
zijn”.(2)
Dari apa yang dirumuskan Leenen tersebut
memberikan kejelasan tentang apa yang dimaksudkan
dengan cabang baru dalam ilmu hukum, yaitu hal-hal
yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg
voor de gezondheid). Rumusan tersebut dapat
berlaku secara universal di semua negara.
Dikatakan demikian karena tidak hanya bertumpu
pada peraturan perundang-undangan saja tetapi
mencakup kesepakatan/peraturan internasional,
asas-asas yang berlaku secara internasional,
kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin.
Di sini dapat dilukiskan bahwa sumber hukum dalam
hukum kesehatan meliputi hukum tertulis,
yurisprudensi, dan doktrin. Dilihat dari objeknya,
maka hukum kesehatan mencakup segala aspek yang
berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor
de gezondheid).
Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa hukum
kesehatan cukup luas dan kompleks. Jayasuriya
mengidentifikasikan ada 30 (tiga puluh) jenis
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
kesehatan.(3)
Secara umum dari lingkup hukum kesehatan tersebut,
materi muatan yang dikandung didalamnya pada
asasnya adalah memberikan perlindungan kepada
individu, masyarakat, dan memfasilitasi
penyelenggaraan upaya kesehatan agar tujuan
kesehatan dapat tercapai. Jayasuriya bertolak dari
materi muatan yang mengatur masalah kesehatan
menyatakan ada 5 (lima) fungsi yang mendasar,
yaitu pemberian hak, penyediaan perlindungan,
peningkatan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan
penilaian terhadap kuantitas dan kualitas dalam
pemeliharaan kesehatan.(4)
Dalam perjalanannya diingatkan oleh Pinet bahwa
untuk mewujudkan kesehatan untuk semua,
diidentifikasikan faktor determinan yang
mempengaruhi sekurang-kurangnya mencakup, “...
biological, behavioral, environmental, health
system, socio economic, socio cultural, aging the
population, science and technology, information
and communication, gender, equity and social
justice and human rights”.(5)
2. Landasan Hukum Kesehatan
Hermien Hadiati Koeswadji menyatakan pada asasnya
hukum kesehatan bertumpu pada hak atas
pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar social
(the right to health care) yang ditopang oleh 2
(dua) hak dasar individual yang terdiri dari hak
atas informasi (the right to information) dan hak
untuk menentukan nasib sendiri (the right of self
determination).(6)
Sejalan dengan hal tersebut Roscam Abing
mentautkan hukum kesehatan dengan hak untuk sehat
dengan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan
kesehatan mencakup berbagai aspek yang
merefleksikan pemberian perlindungan dan pemberian
fasilitas dalam pelaksanaannya. Untuk
merealisasikan hak atas pemeliharaan bisa juga
mengandung pelaksanaan hak untuk hidup, hak atas
privasi, dan hak untuk memperoleh informasi.(7)
Demikian juga Leenen secara khusus, menguraikan
secara rinci tentang segala hak dasar manusia yang
merupakan dasar bagi hukum kesehatan.(8)
3. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Bidang
Kesehatan
Sebenarnya dalam kajian ini akan disajikan
menyangkut seluruh lingkup hukum kesehatan, namun
keterbatasan waktu, maka penyajian dibatasi pada
materi muatan peraturan perundang-undangan bidang
kesehatan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan
kesehatan seringkali dikatakan sebagian masyarakat
kesehatan dengan ucapan saratnya peraturan.
Peraturan dimaksud dapat berupa peraturan
perundang-undangan yang berlaku umum dan berbagai
ketentuan internal bagi profesi dan asosiasi
kesehatan. Agar diperoleh gambaran yang lebih
menyeluruh maka digunakan susunan 3 (tiga)
komponen dalam suatu sistem hukum seperti yang
dikemukakan Schuyt.(9) Ketiga komponen dimaksud
adalah keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan
yang dilukiskan sebagai sistem pengertian,
betekenissysteem, keseluruhan organisasi dan
lembaga yang mengemban fungsi dalam melakukan
tugasnya, organisaties instellingen dan
keseluruhan ketetapan dan penanganan secara
konkret telah diambil dan dilakukan oleh subjek
dalam komponen kedua, beslisingen en handelingen.
Dalam komponen pertama yang dimaksudkan adalah
seluruh peraturan, norma dan prinsip yang ada
dalam penyelenggaraan kegiatan di bidang
kesehatan. Bertolak dari hal tersebut dapat
diklasifikasikan ada 2 (dua) bentuk, yaitu
ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh penguasa dan
ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan
asosiasi kesehatan. Hubungan antara keduanya
adalah ketentuan yang dibuat oleh organisasi
profesi dan asosiasi kesehatan serta sarana
kesehatan hanya mengikat ke dalam dan tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan yang dibuat oleh
penguasa. Menurut inventarisasi yang dilakukan
terhadap ketentuan yang dikeluarkan penguasa dalam
bentuk peraturan perundang-undangan terdapat 2
(dua) kategori, yaitu yang bersifat menetapkan dan
yang bersifat mengatur.
Dari sudut pandang materi muatan yang ada dapat
dikatakan mengandung 4 (empat) obyek, yaitu:
1. Pengaturan yang berkaitan dengan upaya
kesehatan;
2. Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga
kesehatan;
3. Pengaturan yang berkaitan dengan sarana
kesehatan;
4. Pengaturan yang berkaitan dengan komoditi
kesehatan.
Apabila diperhatikan dari ketentuan tersebut
terkandung prinsip perikemanusiaan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama
dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan
dalam keseimbangan dan kepercayaan pada kemampuan
dan kekuatan sendiri.(10)
Selanjutnya dari ketentuan yang ada dalam
keputusan dan peraturan yang dibuat oleh
organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan
serta sarana kesehatan adalah mencakup kode etik
profesi, kode etik usaha dan berbagai standar yang
harus dilakukan dalam penyelenggaraan upaya
kesehatan.
Apabila diperhatikan prinsip-prinsip yang
dikandung dalam ketentuan ini mencakup 4 (empat)
prinsip dasar, yaitu autonomy, beneficence, non
maleficence dan justice.(11)
Sebelum memasuki komponen kedua, perlu dibahas
terlebih dahulu komponen ketiga mengenai
intervensi yang berupa penanganan yang dilakukan
berdasarkan ketentuan yang diatur. Komponen ini
merupakan aktualisasi terhadap komponen ideal yang
ada dalam komponen pertama. Bila diperhatikan isi
ketentuan yang ada dimana diperlukan penanganan
terdapat 4 (empat) sifat, yaitu:
1. Perintah (gebod) yang merupakan kewajiban umum
untuk melakukan sesuatu;
2. Larangan (verbod) yang merupakan kewajiban umum
untuk tidak melakukan sesuatu;
3. Pembebasan (vrijstelling, dispensatie) berupa
pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu
yang secara umum diharuskan.
4. Izin (toesteming, permissie) berupa pembolehan
khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum
dilarang.(12)
Tindakan penanganan yang dilakukan apakah sudah
benar atau tidak, kiranya dapat diukur dengan
tatanan hukum seperti yang dikemukakan oleh Nonet
dan Selznick, yaitu apakah masih bersifat
represif, otonomous atau responsive.(13)
Selanjutnya dengan komponen kedua tentang
organisasi yang ada dalam penyelenggaraan upaya
kesehatan dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian besar
yaitu organisasi pemerintah dan organisasi / badan
swasta.
Pada organisasi pemerintah mencakup aparatur pusat
dan daerah serta departemen dan lembaga pemerintah
non departemen. Pada sektor swasta terdapat
berbagai organisasi profesi, asosiasi dan sarana
kesehatan yang mempunyai tugas dan fungsi di
bidang kesehatan.
Dari susunan dalam 3 (tiga) komponen tersebut
secara global menurut Schuyt bahwa tujuan yang
ingin dicapat adalah (14):
1. Penyelenggaraan ketertiban sosial;
2. Pencegahan dari konflik yang tidak
menyenangkan;
3. Jaminan pertumbuhan dan kemandirian penduduk
secara individual;
4. Penyelenggaraan pembagian tugas dari berbagai
peristiwa yang baik dalam masyarakat;
5. Kanalisasi perubahan sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HUKUM NASIONAL DALAM KESEHATAN
1. Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 28H
a. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan medapatkan
lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
Makna: Setiap orang berhak untuk hidup dengan
sehat dan bertempat tinggal yang bersih , aman
dan tentram dan mendapat pelayanan kesehatan
yang baik , misalnya dalam masyarakat yang
tidak mampu diberi kartu sehat agar meringankan
biaya mereka , tetapi tidak di salah gunakan
b. Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Makna: Semua orang sama di depan hukum dan
berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa
diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan
yang sama terhadap setiap bentuk apa pun
c. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat.
Makna: setiap orang itu berhak atas jaminan
dalam bentuk sosial atau kebutuhan hidupnya
untuk bertumbuh dan menjadi manusia yang baik
dan berpendidikan
d. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi
dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
Makna: setiap orang itu memiliki hak pribadi
dan yang milik pribadi itu tidak boleh ada
campur tangan atau diganggu gugat oleh orang
lain dengan tidak sopan
Pasal 34
Ayat 1
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar
dipelihara oleh negara.
Ayat 2
Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
Makna : Negara berkewajiban menyelenggarakan
jaminan sosial bagi rakyatnya yang lemah dan tidak
mampu secara ekonomi untuk memenuhi hak nya
sebagai warga Negara.
Ayat 3
Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum
yang layak.
2. Undang-Undang Kesehatan no 36 tahun 2009
Pasal I
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
a. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara
fisik, mental, spritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis.
b. Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala
bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan,
sediaan farmasi dan alat kesehatan serta
fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi
yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
c. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan
peralatan yang diperlukan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan. Kesehatan
adalah sesuatu yang sangat berguna
d. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat
tradisional, dan kosmetika.
e. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus,
mesin dan/atau implan yang tidak mengandung
obat yang digunakan untuk mencegah,
mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan
penyakit, merawat orang sakit, memulihkan
kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk
struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
f. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan
untuk melakukan upaya kesehatan.
g. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat
dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan,
baik promotif, preventif, kuratif maupun
rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
h. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk
produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi
atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk
manusia.
i. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan
yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sediaan sarian (galenik), atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun
temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan
dapat diterapkan sesuai dengan norma yang
berlaku di masyarakat.
j. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat
dan/atau metode yang ditujukan untuk membantu
menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan
permasalahan kesehatan manusia.
k. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara
terpadu, terintregasi dan berkesinambungan
untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh
pemerintah dan/atau masyarakat.
l. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu
kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan
kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.
m. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu
kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah
kesehatan/penyakit.
n. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu
kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan
penyakit, pengurangan penderitaan akibat
penyakit, pengendalian penyakit, atau
pengendalian kecacatan agar kualitas penderita
dapat terjaga seoptimal mungkin.
o. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah
kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan bekas penderita ke dalam
masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi
sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk
dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin
sesuai dengan kemampuannya.
p. Pelayanan kesehatan tradisional adalah
pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan
obat yang mengacu pada pengalaman dan
keterampilan turun temurun secara empiris yang
dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
q. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan Pemerintah Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
r. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau
walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
s. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang kesehatan.
BAB IV
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Pasal 14
(1) Pemerintah bertanggung jawab
merencanakan, mengatur, menyelenggarakan,
membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya
kesehatan yang merata dan
(2) terjangkau oleh masyarakat.
(3) Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikhususkan pada
pelayanan publik.
Pasal 15
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan
lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik
fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk
mencapai derajat kesehatan yang setinggi
tingginya.
Pasal 16
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan
sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan
merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 17
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan
akses terhadap informasi, edukasi, dan
fasilitas pelayanan kesehatan untuk
meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya.
Pasal 19
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan
segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu,
aman, efisien, dan terjangkau.
BAB V
SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN
Bagian Kesatu
Tenaga Kesehatan
Pasal 21
(1) Pemerintah mengatur perencanaan,
pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan
pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka
penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai perencanaan,
pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan
pengawasan mutu tenaga kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai tenaga kesehatan
diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 22
(1) Tenaga kesehatan harus memiliki
kualifikasi minimum.
(2) Ketentuan mengenai kualifikasi minimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 23
(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang
keahlian yang dimiliki.
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki
izin dari pemerintah.
(4) Selama memberikan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
mengutamakan kepentingan yang bernilai
materi.
Bagian Kedua
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pasal 30
(1) Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut
jenis pelayanannya terdiri atas:
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b. pelayanan kesehatan masyarakat.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pelayanan kesehatan tingkat pertama;
b. pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
c. pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh pihak Pemerintah,
pemerintah daerah, dan swasta.
(4) Ketentuan persyaratan fasilitas
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh
Pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku.
(5) Ketentuan perizinan fasilitas pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah.
Pasal 31
Fasilitas pelayanan kesehatan wajib:
(1) memberikan akses yang luas bagi
kebutuhan penelitian dan pengembangan di
bidang kesehatan; dan
(2) mengirimkan laporan hasil penelitian dan
pengembangan kepada pemerintah daerah atau
Menteri.
Pasal 32
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas
pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan
bagi penyelamatan nyawa pasien
(2) dan pencegahan kecacatan terlebih
dahulu.
(3) Dalam keadaan darurat, fasilitas
pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta dilarang menolak pasien dan/atau
meminta uang muka.
Pasal 33
(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan
fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat
harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan
masyarakat yang dibutuhkan.
(2) Kompetensi manajemen kesehatan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 34
(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan
fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan
harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan
perseorangan yang dibutuhkan.
(2) Penyelenggara fasilitas pelayanan
kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga
kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan
izin melakukan pekerjaan profesi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 35
(1) Pemerintah daerah dapat menentukan
jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan serta pemberian izin beroperasi di
daerahnya.
(2) Penentuan jumlah dan jenis fasilitas
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah
dengan mempertimbangkan:
a. luas wilayah;
b. kebutuhan kesehatan;
c. jumlah dan persebaran penduduk;
d. pola penyakit;
e. pemanfaatannya;
f. fungsi sosial; dan
g. kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.
(3) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis
fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian
izin beroperasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku juga untuk fasilitas
pelayanan kesehatan asing.
(4) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis
fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk
jenis rumah sakit khusus karantina,
penelitian, dan asilum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Perbekalan Kesehatan
Pasal 36
(1) Pemerintah menjamin ketersediaan,
pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan
kesehatan, terutama obat esensial.
(2) Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan
darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan
khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat
dan bahan yang berkhasiat obat.
Pasal 37
(1) Pengelolaan perbekalan kesehatan
dilakukan agar kebutuhan dasar masyarakat
akan perbekalan kesehatan terpenuhi.
(2) Pengelolaan perbekalan kesehatan yang
berupa obat esensial dan alat kesehatan dasar
tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan
kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan
dengan pemerataan.
3. Undang-Undang Rumah Sakit no 44 Tahun 2009
Undang-undang tentang rumah sakit antara lain
mengatur tentang persyaratan penyelenggaraan rumah
sakit, pengklasifikasian rumah sakit, masalah
perijinan, kewajiban dan hak pasien dalam hubungan
hukum dengan rumah sakit serta kewajiban dan hak
rumah sakit. Dan terpenting, ada aturan tentang
perlindungan bagi pasien dan pengelola rumah
sakit. Terdapat 20 kewajiban rumah sakit dan
diantaranya ditegaskan rumah sakit melaksanakan
fungsi sosial antara lain dengan memberikan
fasilitas pelayanan pasien tidak mampu atau
miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka,
ambulan gratis , pelayanan korban bencana alam,
kejadian luar biasa atau bakti sosial bagi misi
kemanusiaan.
Kewajiban rumah sakit lainnya mulai dari
memberikan informasi yang benar tentang rumah
sakit kepada pasien, menghormati hak pasien dan
melindungi para pekerja kesehatan di rumah sakit
tersebut. Pelanggaran atas seluruh kewajiban
tersebut dikenakan sanksi administratif mulai dari
teguran, teguran tertulis atau denda hingga
pencabutan izin rumah sakit. -Dalam perundangan
tersebut, menteri menetapkan pola tarif nasional
untuk rumah sakit pemerintah. Pola tarif nasional
menjadi pedoman dasar yang berlaku secara nasional
dalam pengaturan besaran tarif rumah sakit.
Menkes menambahkan undang-undang juga mengatur
pengelolaan, penyelenggaraan, akreditasi,
pembentukan jaringan dan pelaksanaan sistem
rujukan di rumah sakit serta pola tarif dan
pembiayaan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Penghapusan klasifikasi kelas pelayanan
sebagai implementasi pemberlakuan Undang Undang
(UU) Rumah Sakit tidak akan menghilangkan
pendapatan rumah sakit milik pemerintah hingga di
tingkat daerah. Sebab, meski hanya memiliki
klasifikasi pelayanan kelas III, rumah sakit
pemerintah tidak akan rugi, mengingat pasien yang
dirawati dijamin melalui program Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas). Melalui program Jamkesmas
ini, segala bentuk pelayanan yang dilakukan akan
ditanggung oleh masing- masing pemerintah. Artinya
klaim rumah sakit pasti dibayar. Dihapuskannya
pelayanan rumah sakit kelas I dan II semata- mata
untuk memberi kepastian hukum pelayanan kesehatan
yang menjadi hak dasar masyarakat. Rumah sakit
pemerintah -hingga di tingkat daerah sekalipun--
masih memiliki kesempatan untuk meningkatkan
pendapatannya melalui pengadaan fasilitas tambahan
yang mekanismenya diatur badan layanan umum (BLU),
demikian beberapa pendapat yang disampaikan
pemerhati kesehatan.
Pelaksanaan klasifikasi kelas sebagaimana
diatur dalam UU Rumah Sakit ini masih harus
menunggu aturan pelaksananya, seperti Peraturan
Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) serta Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri), maka dengan demikian pihak
pengelola rumah sakit pemerintah, masih memiliki
waktu untuk mempersiapkan langkah-langkah yang
harus diambil dengan penghapusan klasifikasi kelas
ini. Bahkan penghapusan klasifikasi semacam ini
sudah diterapkan di sejumlah negara maju, seperti
Inggris dan Australia. Hal ini semata - mata
merupakan bagian dari upaya untuk meningkatan
kualitas pelayanan kesehatan.
Dengan adanya peraturan mengenai penetapan
tarif yang ditentukan oleh pemerintah, maka
diyakini ke depannya akan berpengaruh positif
terhadap standarisasi pelayanan dalam jangka
panjang, peningkatan mutu pelayanan, perlindungan
terhadap konsumen, serta tidak ada lagi persaingan
tidak sehat antara rumah sakit
Undang- undang ini harusnya disikapi sebagai
semangat untuk meningkatkan kualitas pelayanan
terhadap pasien, tanpa membedakan kelas. Sehingga
masyarakat bisa mendapatkan pelayanan kesehatan
yang sama. Undang-undang ini sangat positif karena
memberi kepastian hukum masyarakat dalam hal hak
mendapatkan pelayanan kesehatan.
4. Undang-Undang Kedokteran No 29 tahun 2004
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus
diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya
kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui
penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang
berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat. Bahwa
penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan
inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan
upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan
dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang
tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus
menerus harus ditingkatkan mutunya melalui
pendidikan dan pelatihan berkelanjutan,
sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan
pengawasan, dan pemantauan agar penyelanggaraan
praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
5. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN
2004 TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL (UU
SJSN)
Penjelasannya :
UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (UU SJSN), dirancang untuk memberikan
landasan mewujudkan amanat UUD 1945. Didalamnya,
terkandung semangat untuk mengakui jaminan sosial
sebagai hak seluruh warga negara, untuk memperoleh
" rasa aman" sosial, sejak lahir hingga meninggal
dunia, sebagaimana prinsip sistem jaminan sosial
yang dikenal, yang selama ini sesungguhnya juga
telah dilaksanakan, antara lain dengan keberadaan
PT ( Persero ) Jamsostek, Askes Indonesia, Taspen
dan Asabri.
Dalam UU SJSN dirancang program Jaminan Kesehatan
(JK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari
Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan
Kematian (JKM) bagi seluruh rakyat, secara
bertahap. Semula juga dirancang Jaminan Pemutusan
Hubungan Kerja, namun dibatalkan oleh karena sudah
tercakup dalam ketentuan pesangon yang diatur
dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Namun, hingga saat ini cakupan kepesertaan program
jaminan sosial masih sangat rendah. Demikian juga
manfaat yang sudah dapat dinikmati peserta masih
belum menyeluruh, di samping juga sangat rendah.
Penyelenggaraannya juga masih "fragmented" dan
bahkan diskriminatif. Secara konsepsional juga
masih diperlukan perbaikan, bahkan koreksi.
Karena itu, UU SJSN dirancang untuk dapat
meningkatkan jumlah kepesertaan, meningkatkan
kualitas manfaat dan cakupan program yang dapat
dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, meskipun
harus diselenggarakan secara bertahap. Dari aspek
substansi, UU SJSN merupakan implementasi UUD
1945. Di sinilah diperlukan sebuah "skenario makro",
"the road map", "peta jalan" bagaimana melaksanakan UU
SJSN.
6. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN
2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS disebutkan
bahwa penyelenggaraan SJSN dibentuk oleh dua badan
penyelenggara jaminan sosial, yaitu BPJS kesehatan
yang akan mulai beroperasi 1 Januari 2014 dan BPJS
ketenagakerjaan paling lambat 1 Juli 2015.
BPJS kesehatan akan menyelengarakan program
jaminan kesehatan sedangkan BPJS ketenagakerjaan
pada program jeminan kecelakaan kerja, jaminan
hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
7. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14
TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN
SOSIAL TENAGA KERJA
Penjelasannya :
Pembangunan nasional yang terus berlangsung selama
ini telah memperluas kesempatan kerja dan
memberikan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
hidup bagi tenaga kerja dan keluarganya. Namun
kemampuan bekerja dan penghasilan tersebut dapat
berkurang atau hilang karena berbagai risiko yang
dialami tenaga kerja, yaitu kecelakaan, cacad,
sakit, hari tua, dan meninggal dunia. Oleh
karenanya untuk menanggulangi risiko-risiko
tersebut, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1993
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja mengatur
pemberian jaminan kecelakaan kerja, jaminan
pemeliharaan kesehatan, jaminan hari tua dan
jaminan kematian. Jaminan sosial tenaga kerja yang
menanggulangi risiko-risiko kerja sekaligus akan
menciptakan ketenangan kerja yang pada gilirannya
akan membantu meningkatkan produktivitas kerja.
Ketenangan kerja dapat tercipta karena jaminan
sosial tenaga kerja mendukung kemandirian dan
harga diri manusia dalam menghadapi berbagai
risiko sosial, ekonomi dan kesehatan tersebut.
8. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72
TAHUN 2012 TENTANG SISTEM KESEHATAN NASIONAL
Pasal 6
(1) Pelaksanaan SKN ditekankan pada peningkatan
perilaku dan kemandirian masyarakat,
profesionalisme sumber daya manusia kesehatan,
serta upaya promotif dan preventif tanpa
mengesampingkan upaya kuratif dan rehabilitatif.
(2) Profesionalisme sumber daya manusia kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dibina
oleh Menteri hanya bagi tenaga kesehatan dan
tenaga pendukung/penunjang kesehatan yang terlibat
dan bekerja serta mengabdikan dirinya dalam upaya
dan manajemen kesehatan.
(3) Pelaksanaan SKN sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memperhatikan:
a. cakupan pelayanan kesehatan berkualitas, adil,
dan merata;
b. pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak
kepada rakyat;
c. kebijakan kesehatan masyarakat untuk
meningkatkan
dan melindungi kesehatan masyarakat;
PEMBAHASAN
Berdasarkan UUD 1945 pasal 34 ayat 3, pemerintah
berkewajiban menyediakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang layak bagi seluruh rakyat
Indonesia. Hal tersebut dituangkan / diaplikasikan
dalam UU Kesehatan No 36 tahun 2009 dan peraturan
presiden No 72/2012, dimana didalam Undang-undang
dan peraturan presiden tersebut pemerintah
mengatur fasilitas pelayanan kesehatan yang
dikelola oleh institusi pemerintah maupun swasta
diantaranya fasilitas sarana gedung, perijinan,
alat sampai dengan obat-obatan esensial yang
harus tersedia termasuk obat-obatan emergensi
serta sumber daya/tenaga yang diperlukan.
Pelayanan kesehatan harus bisa menjangkau semua
pihak dan merata serta komprehensif. Pada pasal 32
telah disebutkan bahwa prinsip pelayanan kesehatan
emergensi adalah untuk menolong penyelamatan nyawa
pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu
dan dilarang menolak dan meminta uang muka pada
pasien/keluarga yang memerlukan pertolongan,
sehingga jika ada yang melanggar hal tersebut
sudah bertentangan dengan undang-undang yang telah
ditetapkan.
9. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12
TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN
Pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 2013 Tentanng Jaminan Kesehatan diatur
mengenai ketentuan umum, peserta dan kepesertaan,
pendaftaran peserta dan perubahan data
kepesertaan, iuran, manfaat jaminan kesehatan,
koordinasi manfaat, penyelenggaraan pelayanan
kesehatan, fasilitas kesehatan, kendali mutu dan
biaya penyelenggaraan jaminan kesehatan,
penenganan keluhan, penyelesaian sengketa, dan
ketentuan penutup.
10. PERATURAN MENTERI KESEHATAN INDONESIA NO. 40
TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT DIGUNAKAN SEBAGAI
PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN
MASYARAKAT TAHUN 2013.
Penyelenggaraan JAMKESMAS Tahun 2013 diatur lebih
lanjut dengan:
1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 010/Menkes/SK/I/2013 tentang Penerima Dana
Tahap Pertama Penyelenggaraan Jamkesmas Tahun
2013
2. Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya
Kesehatan RI No. HK.02.03/I/0395/2013 tentang
Penerima Dana Tahap Pertama Penyelenggaraan
Jamkesmas dan Jampersal di Pelayanan Dasar
untuk Tiap Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2013
3. Surat Edaran No. 149 Tahun 2013 tentang
Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan
Masyarakat Tahun 2013
4. Surat Edaran No. HK.03.03/X/573/2013 tentang
Pelaksanaan Jamkesmas dan Jampersal Tahun 2013
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Segala hal yang telah digariskan dalam peraturan
perundang-undangan yang ada perlu terus ditingkatkan
untuk
1. Membudayakan perilaku hidup sehat dan penggunaan
pelayanan kesehatan secara wajar untuk seluruh
masyarakat;
2. Mengutamakan upaya peningkatan kesehatan dan
pencegahan penyakit;
3. Mendorong kemandirian masyarakat dalam memilih dan
membiayai pelayanan kesehatan yang diperlukan;
4. Memberikan jaminan kepada setiap penduduk untuk
mendapatkan pemeliharaan kesehatan;
5. Mengendalikan biaya kesehatan;
6. Memelihara adanya hubungan yang baik antara
masyarakat dengan penyedia pelayanan kesehatan;
7. Meningkatkan kerjasama antara upaya kesehatan yang
dilakukan pemerintah dan masyarakat melalui suatu
bentuk pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang
secara efisien, efektif dan bermutu serta terjangkau
oleh masyarakat.
Untuk itu dukungan hukum tetap dan terus diperlukan
melalui berbagai kegiatan untuk menciptakan perangkat
hukum baru, memperkuat terhadap tatanan hukum yang
telah ada dan memperjelas lingkup terhadap tatanan
hukum yang telah ada.
SARAN
Beberapa hal yang perlu dicatat disini adalah yang
berkaitan dengan:
1. Eksistensi Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional
yang telah ada harus diperkuat dan harus merupakan
organisasi yang independen sehingga dapat memberikan
pertimbangan lebih akurat;
2. Perlu dibangun keberadaan Konsil untuk tenaga
kesehatan dimana lembaga tersebut merupakan lembaga
yang berwenang untuk melakukan pengaturan berbagai
standar yang harus dipenuhi oleh tenaga kesehatan
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Dalam dunia
kedokteran dan kedokteran gigi telah dibentuk Konsil
Kedokteran Indonesia sebagaimana dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran;
3. Perlu dibangun lembaga registrasi tenaga kesehatan
dalam upaya untuk menilai kemampuan profesional yang
dimiliki tenaga kesehatan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan. Bagi tenaga dokter dan dokter gigi
peranan Konsil Kedokteran Indonesia dan organisasi
profesi serta Departemen Kesehatan menjadi penting;
4. Perlu dikaji adanya lembaga Peradilan Disiplin
Profesi Tenaga Kesehatan. Dimana untuk tenaga medis
telah dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004;
5. Perlu dibangun lembaga untuk akreditasi berbagai
sarana kesehatan.
Referensi
1. Van der Mijn, 1984, ”The Development of Health Law
in the Nederlands”, Makalah yang disampaikan dalam
Seminar Sehari ”Issues of Health Law”, Tim
Pengkajian Hukum Kedokteran, Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman RI bekerja sama dengan
PERHUKI dan PB IDI, Jakarta, hal 2.
2. H.J.J. Leenen, 1981, Gezondheidszorg en recht, een
gezondheidsrechtelijke studie, Samson uitgeverij,
alphen aan den rijn/Brussel, hal 22.
3. D.C.Jayasuriya, 1997, Health Law, International and
Regional Perspectives, Har-Anand Publication PUT
Ltd, New Delhi India, hal 16-28.
4. Ibid, hal 33.
5. Genevieve Pinet, 1998, “Health Challenges of The
21st Century a Legislative Approach to Health
Determinants”, Artikel dalam International Digest of
Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal
134.
6. Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum Kedokteran,
Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter
Sebagai Salah Satu Pihak, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal 22.
7. Roscam Abing, 1998, “Health, Human Rights and Health
Law The Move Towards Internationalization With
Special Emphasis on Europe” dalam journal
International Digest of Health Legislations, Vol 49
No. 1, 1998, Geneve, hal 103 dan 107.
8. HJJ. Leenen, 1981, Recht en Plicht in de
Gezondheidszorg, Samson Uitgeverij, Alphen aan den
Rijn/Brussel.
9. Schuyt, 1983, Recht en Samenleving, van Gorcum,
Assen, hal 11-12.
10. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan.
11. Lihat Tom L. Beauchamp dan James F. Childress,
Principles of Biomedical Ethics, 1994, Oxford
University Press, New York, hal 38.
12. Bruggink, 1993, Rechtsrefleeties, Grondbegrippen
uit de Rechtstheorie, Kluwer, Deventer, hal 72.