KEBIJAKAN KOTA SURAKARTA MENUJU KOTA LAYAK ANAK DALAM PEMENUHAN KEADILAN RESTORATIF BAGI ANAK YANG...

26
A. JUDUL KEBIJAKAN KOTA SURAKARTA MENUJU KOTA LAYAK ANAK DALAM PEMENUHAN KEADILAN RESTORATIF BAGI ANAK YANG BERHADAPAN HUKUM (ABH). B. ABSTRAK Kota Layak Anak (KLA) merupakan tujuan pembangunan Pemerintah Kota Surakarta yang berpihak pada pemenuhan dan perlindungan hak anak. Digagas sejak tahun 2008 dengan lahirnya berbagai produk aturan hukum dan kelembagaan. Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS) dan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di 51 kelurahan sebagai wadah layanan anak yang berhadapan hukum (ABH), salah satunya. Penanganan ABH yang berkeadilan restoratif, sesuai Undang- undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), diperlukan untuk mengindarkan dampak negative dari proses peradilan formal. Efektifitas kinerja PTPAS dan PPT Kelurahan diupayakan melalui peningkatan kapasitas personel dan sistem layanan yang saling integratif. ABH tidak hanya terselesaikan masalah hukumnya, namun juga akar masalah yang mendorongnya menjadi delinquency. Kata kunci: anak berhadapan hukum, kota layak anak, keadilan restoratif, kebijakan. C. PENDAHULUAN Ratifikasi Konvensi Hak Anak tahun 1989 telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990. Tujuh tahun kemudian hadir Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Pengkhususan pengaturan bagi anak yang berhadapan dengan hukum telah menjadi kebutuhan. Setiap tahun jumlah anak yang melakukan pelanggaran hukum meningkat. Data dari Kementrian Hukum dan HAM RI tahun 2013, terdapat 123 anak Negara, 6 anak sipil, dan 3.305 anak pidana. Tahun 2012 terdapat 248 anak negara, 21 anak sipil, dan 3.388 anak pidana 1 . Setiap tahunnya terdapat kurang lebih 3.500 anak yang dihadapakan pada proses peradilan pidana di Indonesia. Kasus yang banyak dilakukan anak adalah penganiayaan, pencurian, dan kekerasaan seksual. Hukuman pidana penjara masih banyak menghiasi vonis hakim bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Anak kemudian ditempatkan di rumah penahanan atau lembaga pemasyarakatan sesuai wilayah hukum perkara. Dari 33 1 http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/year/2012/month/12 . Diakses tanggal 26 Juni 2014.

Transcript of KEBIJAKAN KOTA SURAKARTA MENUJU KOTA LAYAK ANAK DALAM PEMENUHAN KEADILAN RESTORATIF BAGI ANAK YANG...

A. JUDUL

KEBIJAKAN KOTA SURAKARTA MENUJU KOTA LAYAK ANAK

DALAM PEMENUHAN KEADILAN RESTORATIF BAGI ANAK YANG

BERHADAPAN HUKUM (ABH).

B. ABSTRAK

Kota Layak Anak (KLA) merupakan tujuan pembangunan Pemerintah KotaSurakarta yang berpihak pada pemenuhan dan perlindungan hak anak. Digagas sejaktahun 2008 dengan lahirnya berbagai produk aturan hukum dan kelembagaan.Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS) dan Pusat PelayananTerpadu (PPT) di 51 kelurahan sebagai wadah layanan anak yang berhadapan hukum(ABH), salah satunya. Penanganan ABH yang berkeadilan restoratif, sesuai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA),diperlukan untuk mengindarkan dampak negative dari proses peradilan formal.Efektifitas kinerja PTPAS dan PPT Kelurahan diupayakan melalui peningkatankapasitas personel dan sistem layanan yang saling integratif. ABH tidak hanyaterselesaikan masalah hukumnya, namun juga akar masalah yang mendorongnyamenjadi delinquency.

Kata kunci: anak berhadapan hukum, kota layak anak, keadilan restoratif,kebijakan.

C. PENDAHULUAN

Ratifikasi Konvensi Hak Anak tahun 1989 telah dilakukan oleh Pemerintah

Indonesia melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990. Tujuh tahun kemudian hadir

Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Pengkhususan

pengaturan bagi anak yang berhadapan dengan hukum telah menjadi kebutuhan.

Setiap tahun jumlah anak yang melakukan pelanggaran hukum meningkat. Data dari

Kementrian Hukum dan HAM RI tahun 2013, terdapat 123 anak Negara, 6 anak sipil,

dan 3.305 anak pidana. Tahun 2012 terdapat 248 anak negara, 21 anak sipil, dan

3.388 anak pidana1. Setiap tahunnya terdapat kurang lebih 3.500 anak yang

dihadapakan pada proses peradilan pidana di Indonesia.

Kasus yang banyak dilakukan anak adalah penganiayaan, pencurian, dan

kekerasaan seksual. Hukuman pidana penjara masih banyak menghiasi vonis hakim

bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Anak kemudian ditempatkan di rumah

penahanan atau lembaga pemasyarakatan sesuai wilayah hukum perkara. Dari 33

1 http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/year/2012/month/12 . Diakses tanggal 26 Juni2014.

Kantor Wilayah Hukum dan HAM terdapat 415 rutan atau lapas. Propinsi Jawa

Tengah terbanyak jumlah rutan dan lapasnya, yakni 43.

Pasal 17 Ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak menyebutkan setiap anak yang dirampaas kebebasaanya berhak

untuk :

a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari

orang dewasa.

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efekti dalam setiap

tahapan upaya hukum yang berlaku, misalnya bimbingan social dari pekerja

social, konsultasi dari psikiater atau psikolog, atau abntuan dari ahli bahasa.

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang

obyektif dan tidak memihak dalam siding yang tertutup untuk umum.

Semangat isi pasal di atas sangat ideal, namun faktanya masih banyak anak

pidana yang ditempatkan bersama dengan orang dewasa. Di Indonesia hanya terdapat

18 lapas khusus anak, dimana penghuni seluruhnya adalah anak. Jumlah lapas anak

yang minim mengakibatkan banyak anak pidana ditempatkan di rutan atau lapas

umum. Berinteraksi dengan orang dewasa setiap harinya memberi peluang besar bagi

anak untuk menduplikasi perilaku negatif orang dewasa. Pasca menjalani vonis, anak

pidana mengalami tantangan besar dari masyarakat, yakni stigma. Pelabelan sebagai

anak nakal, mantan napi memberikan tekanan tersendiri bagi mereka. Fasilitas yang

mendukung tumbuh kembang anak masih terbatas seperti perpustakaan, tidak ada

pendidikan formal, tidak ada fasilitas rekreatif, sanitasi minim, hukuman tidak

mendidik bagi pelanggaran2.

Karakteristik anak yang melakukan pelanggaran pidana adalah laki-laki

daripada perempuan. Status ekonomi keluarga mereka minim. Pendapatan orang tua

tidak menentu. Buruh bangunan, sopir, pekerja rumah tangga, buruh pabrik adalah

gambaran pekerjaan orang tua mereka. Pendidikan anak pun banyak yang putus di

tengah jalan. Kondisi inilah yang jamak ditemui pada anak yang berkonflik dengan

hukum. Perilaku negative mereka tidak datang dengan tiba-tiba. Anak sebagai pribadi

yang masih labil, sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan dan orang dewasa yang

ada disekitarnya.

2 Sasmini, Diana Tantri Cahyaningsih, dan Erna Diah Kusumawati. 2013. Perlindungan danPemenuhan Hak-hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum yang Dititipkan di Rumah TahananNegada dan Lembaga Pemasyarakatan. Belum terpublikasi. Hal: 5.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

(UU SPPA) disahkan dan mulai berlaku pada tanggal 31 Juli 2014. Norma hukum ini

memberikan warna lain bagi proses peradilan anak yan berkonflik dengan hukum.

Ada kenaikan batasan umur anak yang dapat bertanggungjawab secara pidana

menjadi 12 tahun. Pada undang-undang sebelumnya, batasan umur anak yang dapat

bertanggungjawab pidana adalah 8 tahun. UU Nomor 11 Tahun 2012, anak dapat

dilakukan penahanan jika telah berumur 14 tahun. Angka 14 tahun pada anak berarti

telah remaja dan dianggap lebih matang berpikir.

Ruang lingkup pengaturan UU SPPA mencakup penyelesaian perkara anak

yang berhadapan dengan hukum mulai dari tahap penyidikan hingga pembimbingan

setelah menjalani hukuman pidana. Anak yang berhadapan dengan hukum terdiri dari

anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) atau pelaku, anak sebagai korban, dan

saksi. Pergeseran paradigma pemidanaan hadir dalam UU SPPA ini. Keadilan

retributive menekankan keadilan adalah pembalasaan. Anak hanya sebagai obyek.

Sedangkan keadilan restitutif bertumpu pada penggantian kerugian. Keadilan

restorative menjadi pilihan terbaik yang diadopsi dalam UU SPPA karena berfokus

pada pemulihan. Kepentingan korban diperhatian serta AKH dan masyarakat turut

terlibat dalam proses.

Pasal 1 Ayat (6) UU SPPA menyebutkan keadilan restorative adalah

penyelesaian perkara tindak pidana pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak

lain yang terlait untuk terlibat bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan

menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasaan. Anak

sebagai pelaku diberikan kesempatan untuk partisipasi dalam pemulihan kerugian

korban. Masyarakat juga turut berperan aktif mendukung upaya pemulihan ini.

Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI

sejak tahun 2006 mendorong Kota Surakarta sebagai uji coba model Kota Layak

Anak (KLA). Program KLA ini merupakan turunan dari misi Indonesia Layak Anak

(IDOLA) dimana semua kabupaten dan kota harus melakukan perlindungan dan

pemenuhan hak anak sebagai wujud tanggungjwab negara terhadap generasi penerus

bangsa. Permeneg PPPA Nomor 12 Tahun 2011 terdapat 31 indikator sebuah kota

menjadi layak anak sesuai dengan isi Konvensi Hak Anak. Salah satu kluster dalam

indikator tersebut adalah perlindungan khusus yang mencakup situasi anak

mebutuhkan perlindungan khusus (AMPK), perkara anak berhadapan dengan hukum

yang diselesaikan dengan restorative justice, anak dalam situasi bencana, dan

pekerjaan terburuk anak.

Tahun 2010 terdapat 17 anak dan 2011 terdapat 19 anak dari Kota Surakarta

yang mendekam di Rutan Surakarta. Data tersebut berasal dari Pelayanan Terpadu

Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS) yang merupakan konsorsium terdiri dari

pemerintah dan organisasi penyedia layanan bagi perempuan dan anak. PTPAS

membelikan layanan holistic bagi anak yang berhadapan dengan hukum berupa

pendampingan hukum, rehabilitasi fisik dan mental anak. Bapermas PPPA KB Kota

Surakarta sebagai koordinator pelaksana PTPAS sejak tahun 2012 telah membentuk

Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) sebagai tangan panjang PTPAS di 51 kelurahan.

Harapannya PPT dapat berpartisipasi memberikan perlindungan bagi anak yang

berhadapan dengan hukum berbasis masyarakat di Kota Surakarta. Keanggotaan PPT

terdiri dari tokoh masyarakat dan perwakilan kelembagaan di masyarakat.

Harapannya PPT dapat menjadi gerbang pertama dalam merespon permasalahan anak

yang ada di lingkungan.

Hadirnya UU SPPA menjadi tantangan tersendiri bagi Kota Surakarta yang

pada tahun 2015 akan menjadi Kota Layak Anak. Penghargaan nindya dalam tahapan

KLA memberi kesempatan Pemkot Surakarta untuk meningkatkan kualitas

layanannya kepada anak yang berkonflik denngan hukum agar mendapatkan keadilan

restorative. Kepentingan terbaik bagi anak dan prinsip pemulihan menjadi pegangan

dalam penyusunan kebijakan yang responsive hak anak.

D. RUMUSAN MASALAH

Gambaran di atas mewakili situasi yang ada di masyarakat. Berdasar uraian

tersebut, penulis hendak menjawab permasalahan sebagai berikut:

Bagaimana kebijakan pemenuhan keadilan restoratif bagi anak yang

berhadapan hukum (ABH) oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam upaya menuju Kota

Layak Anak (KLA)?

E. LANDASAN TEORI

1. Tinjauan Hukum sebagai Sarana Rekayasa Sosial

Hukum mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya mendatangkan

kemakmuran dan kebahagiaan rakyatnya3. Pernyataan tersebut disampaikan oleh

Prof. Subekti dalam bukunya C.S.T. Kansil merupakan pemikiran hubungan

hukum dalam sebuah negara. Teori fungsi hukum dalam masyarakat dapat dilihat

dari dua sisi yakni kemajuan masyarakat dalam berbagai bidang memnutuhkan

aturan. Sisi kedua, hukum yang baik dapat mengembangkan masyarakat atau

mengarahkan perkembangan masyarakat4.

Lawrence W. Friedman menyatakan bahwa perubahan hukum yang kemudian

dapat mengubah suatu pandangan atau sikap dan kehidupan suatu masyarakat

berasal dari berbagai stimulus sebagai berikut5:

a) Berbagai perubahan secara evolutif terhadap norma-norma dalam masyarakat.

b) Kebutuhan dadakan dari masyarakat karena adanya keadaan khusus atau

keadaan darurat dalam ubungan dengan distribusi sumber daya atau hubungan

dengan standar baru tentang keadilan.

c) Atas inspirasi keompok kecil masyarakat yang dapat melihat jauh ke depan,

kemudian sedikit demi sedikit mempengaruhi pandangan dan cara hidup

masyarakat.

d) Ada ketidakadilan secara tehnikal hukum yang meminta diubahnya hukum

yang bersangkutan.

e) Ada ketidakkonsistenan dalam tubuh hukum yang juga meminta perubahan

terhadap hukum tersebut.

f) Ada perkembangan pengetahuan dan teknologi yang memunculkan bentukan

baru terhadap bidang hukum tertentu.

Fungsi hukum sebagai rekayasa sosial pertama kali dicetuskan oleh Roscoe

Pound yang menyatakan law is a tool pf social engineering. Teori ini teramsuk

dalam teori sosiologi jurisprudence yang mempelajari tentang pengaruh hukum

terhadap masyarakat6. Berdasarkan teori tersebut, pemahaman hukum terhadap

masyarakat ataupun masyarakat terhadap hukum dapat dilihat jelas posisinya.

Roscoe Pound menyatakan lebih lanjut bahwa sociological jurisprudence ditujukan

untuk memberi kemampuan bagi institusi hukum mempertimbangkan secara

3 C.S.T. Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.Hlm.414 H. Munir Fuady. 2003. Teori-teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum. Jakarta: Kencana. Hlm.2455 Ibid, hlm.2896 H. Abdul Manan. 2009. Aspek-aspe Perubahan Hukum. Jakarta: Kencana. Hal.19

menyeluruh juga cerdas mengenai fakta sosial yang disana hukum tersebut

berproses dan diaplikasikan7.

Teori sociological jurisprudence dapat dijadikan dasar menilai berlakunya

hukum di tengah masyarakat. Sisi efektivitasnya kekuatan berlakunya hukum

mengarah pada kepatuhan hukum dan daya penagruh hukum dalam persepsi

masyarakat adalah dua hal yang dilihat dalam hukum seabagai rekayasa sosial.

Tujuan social engineering adalah membangun suatu struktur masyarakat

sedemikian rupa sehingga secara maksimum dapat dicapai kepuasan akan kbutuhan

dan seminimum mungkin terjadi benturan8.

Roscoe Pound sendiri mengembangkan daftar kepentingan yang wajib

dilindungi oleh pranata hukum, yakni sebagai berikut9:

a) Kepentingan umum, yang teramsuk di dalamnya adalah kepentingan terhadapa

negara sebagai suatu badan yuridis dan kepentingan negara sebagai penjaga

kepentingan sosial.

b) Kepentingan perorangan terdiri darikepentingan pribadi baik fisik, kebebasan,

kemauan, kehormatan, kepercayaan, dan pendapat; hubungan domestic (orang

tua, anak, suami atau istri); kepentingan substansi berupa hak milik, kontrak,

pekerjaan, dan atau hubungan dengan orang lain.

c) Kepentingan sosial meliputi keamanan umum, keamanaan dari isntitusi sosial,

moral umum, pengamanan sumber daya sosial, kemajuan sosial, dan

kehidupan individual.

Tahapan yang diambil dalam social engineering bersifat sistematis dan

dimulai dari identifikasi masalah samapai dengan mencari jalan pemecahannya.

Perubahan hukum itu sendiri harus direncanakan dan merupakan sebuah kehendak

bersama sehingga dapat berjalan sesuai harapan. Rincian tahapannya terurai

demikian10:

a) Mengenal problem yang dihadapi seabaik-baiknya. Termasuk di dalamnya

mengenali masyarakat yang hendak menajdi sasaran pengggarapan dengan

seksama.

7 Philipe Nonet dan Philip Selznick. 2013. Hukum Responsif. Bandung: Nusa Media. Hal.838 Satjipto Raharjo. 2010. Sosiologi Hukum. Yogyakarta/: Genta Publishing. Hal. 3049 Ibid, hal.30510 Satjipto Raharjo, op.cit. hal.8

b) Memahami nilai-nilai yang ada di masyarakat. Sesi ini harus menentukan

sector mana yang akan dipilih karena masyarakat memiliki berbagai sector

yang majemuk.

c) Membuat hipotesa dan memilih mana yang paling layak untuk dilaksanakan.

d) Mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur dampak-dampaknya

yang muncul.

2. Tinjauan Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan sebuah upaya untuk mencapai tujuan

tertentu melalui sarana-sarana dalam urutan waktu tertentu11. Sebuah kebijakan

tidak hanya dirumuskan kemudian diwujudkan dalam peraturan positif yang tidak

dilaksanakan. Namun kebijakan memiliki keharusan untuk dilaksanakan agar

memiliki dampak atau terwujud tujuan yang diharapakan sejak awal.

Proses implementasi kebijakan baru dapat dimulai jika tujuan awal

kebijakan telah ditentukan. Program kerja yang akan dilaksanakan juga telah

disusun dengan mata. Anggaran untuk implementai juga telah dialokasikan.

Pengertian implementasi kebijakan dapat dipahami secara luas sebagai alat

administrasi hukum dimana ebrbagai aktornya, organisasi, prosedur, dan teknik

yang bekerja secara bersama-sama menjalankan kebijakan tersebut untuk meraih

tujuan.

Teori Implementasi menurut Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gun

sebagaimana yang dikutip dari buku Solichin Abdul Wahab menyampaikan syarat-

syarat untuk sebuah kebijakan negara agar dapat diimplementasikan dengan

sempurna.

a) Kondisi eksternal yang dihadapai badan atau instansi pelaksana tidak akan

mengalami gangguan atau kendala yang serius. Hambatan tersebut dapat

besifat fisik, politis, atau sosial.

b) Tersedia cukup waktu dan sumber-sumber yang mencukupi untuk pelaksanaan

program.

c) Sumber-sumber yang hendak dipadukan harus benar-benar tersedia.

d) Kebijakan tersebut memiliki hubungan kausalitas yang handal.

e) Hubungan kasualitas bersifat langsung denan sedikit mata rantai

penghubungnya.

11 Bambang Sunggono. 1997. Hukum dan Kebijakan Publik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.Hlm.137

f) Hubungan saling ketergantungannya kecil.

g) Pemahaman mendalam dan ada kesepakatan bersama mencapai tujuan.

h) Tugas diperinci dan ditempatkan sesuai urutan yang tepat.

i) Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

j) Pihak yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dapat menuntut dan

mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Faktor pendukung implementasi kebijakan menurut George Edward III

dalam bukunya Budi Winarno sebagai berikut12:

a) Komunikasi

Tiga hal utama dalam komunikasi yakni transmisi, konsistensi, dan kejelasan.

Transmisi berupa kesadaran dari pejabat bahwa mengimplementasikan sebuah

keputusan yang telah dibuat adalah keharusan. Kejelasan komunikasi harus

ada, tidak hanya ketersediaan petunjuk pelaksanaan kebijakan. Konsistensi

pelaksanaan kebijakan seiring dengan implementasinya yang efektif.

b) Sumber-sumber.

Sumber penting yang mendukung implementasi kebijakan adalah staf yang

memadahi serta memiliki keahlian untuk melaksanakan tugas-tugasnya,

wewenang, serta fasilitas penunang pelaksanaan pelayanan publik.

c) Kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku.

Kecenderungan dari pelaksana mempunyai konsekuensi vital dalam

pelaksanaan sebuah kebijakan agar efektif. Jika perilaku pelaksana kebijakan

prima dan baik maka tujuan awal adanya kebijakan dapat tercapai.

d) Struktur birokrasi.

Birokrasi merupakan struktur pelaksana kebijakan, baik yang pemerintah

maupun badan swasta.

Buku yang sama juga menguraikan tentang factor pendukung implementasi

kebijakan oleh Van Meter dan Horn, yakni13:

a) Ukuran dan tujuan kebijakan.

Tujuan dan sasaran implementasi program dalam sebuah kebijakan harus

diidentifikasi dan terukur agar terhindarkan dari kegagalan.

b) Sumber kebijakan.

12 Budi Winarno, 2012. Kebijakan Publik Teori, Proses, dan Studi Kasus. Jakarta: PT Buku Seru.Hlm.12613 Ibid.hlm.10

Mencakup dana atau perangsang lain yang mendorong dan mempelancar

implementasi secara efektif.

c) Komunikasi anatr organisasi dan kegiatan pelaksanaan.

Ketepatan komunikasi antar organisasi pelaksana menunjang keefektifan

imlementasi sebuah kebijakan.

d) Karakteristik badan pelaksana.

Memiliki kaitan erat dengan struktur birokrasi. Struktur birokrassi yang sehat

dan baik akan mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijkan.

e) Kondisi ekonomi, sosial , dan politik.

Mempengaruhi bdan pelaksana dalam pencapaian kebijakan tersebut.

f) Kecenderungan para pelaksana.

Intensitas kecenderungan para pelaksana kebijakan mempengaruhi proses

pelaksanaan kebijakan.

Kebijakan yang dibuat pemerintah tidak hanya ditujukan dan dilaksanakan

untuk internal pemerintah semata. Seluruh masyarakat dan lingkungan sekitar juga

mendapatkan dampaknya. Dorongan masyarakat untuk turut serta melaksanakan

sebuah kebijakan dari masyarakat menurut James Anderson dikarenakan14:

a) Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan badan

pemerintah.

b) Adanya kesadaran menerima kebijakan tersebut.

c) Ada keyakinan bahwa kebijakan tersebut dibuat secara sah dan konstitusional

oleh para pejabat pemerintah yang berwenang sesuai prosedur hukum.

d) Sikap menerima dan melaksanakan kebijkan sesuai dengan kepentingan

pribadinya.

e) Ada sanksi tertenu apabila tidak melaksanakan sebuah kebijakan.

Implementasi sebuah kebijakan pemerintah tak selamanya mulus tanpa

rintangan. Hambatan yang kemungkinan muncul berasal dari factor-faktor sebagai

berikut15:

a) Isi kebijakan.

Pertama, implementasi gagal karena masih samarnya isi kebijakan, maksud

dan tujuannya kurang terperinci, tidak ada penerapan prioritas, program

kebijakan terlalu umum. Kedua, kurangnya ketetapan intern maupun ekstern

14 Bambang Sunggono. Op.cit. hlm.14415 Ibid. hlm.149

dari kebijakan yang akan dilaksanakan. Ketiga, kebijakan tersebut

menunjukan kekurangan yang sanagt berarti. Empat, penyebab lainnya yang

mempengaruhi kegagalan diakrenakan ada kekurangan menyangkut sumber

dayapembantu misalnya waktu, biaya, dan manusia.

b) Informasi.

Implementasi kebijakan publik mengasumsikan bahwa para pemegang peran

yang terlibat langsung memiliki informasi yang berkaitan dengan perannya.

Informasi inilah yang justru tidak tersedia misalnya karena ada gangguan

komunikasi.

c) Dukungan.

Kesulitan pelaksanan kebijakan muncul karera tidak didukung oleh para

pelaksananya sejak awal.

d) Pembagian potensi.

Diferensiasi tugas dan wewenang organisasi yang tidak jelas berpotensi

menimbulkan masalah dalam pelaksanaan. Aspek pembagian potensi diantara

pelaku kebijakan yang tidak tegas dan tanggungjawab yang kurang disertai

pembatasaan menghambat pelaksaan kebijakan.

Kebijakan publik akan menjadi efektif bilamana dilaksanakan dam

mempunyai manfat positif bagi anggota masyarakat. Tindakan manusia sebagai

bagian dari masyarakat harus sesuai denga napa yang dikehendaki pemerintah atau

negara. Sehingga jika ada ketidaksesuaian maka suatu kebijakan menjadi tidak

akan efektif. Peraturan perundangan merupakan salah satu sarana implementasi

sebuah kebijakan publik. Berikut ini iadalah unsur yag harus dipenuhi agar suatu

kebijakan dapat terlaksana dengan maksimal16:

a) Peraturan hukum atau kebijakan itu sendiri.

Terdapat kemungkinan adanya ketidakcocokan antara kebijakan dengan aturan

hukum tidak tertulis atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

b) Mentalitas petugas yang menerapakan hukum.

Petugas penegak hukum mencakup hakim, jaksa, polisi dan sebagainya wajib

memiliki mental yang positif dalam menerapkan aturan hukum. Kondisi yang

sebaliknya mengakibatkan ketimbangan atau gangguan dalam pelaksanaan isi

kebijakan.

16 Ibid, hlm.158

c) Fasilitas pendukung.

Sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan peraturan hukum atau kebijakan

harus memadai sehingga pelaksanaannya dapat maksimal.

d) Warga masyarakat.

Sebagai obyek dari kebijakan perlu memiliki kesadaran hukum sebagaimana

yang dikendaki undang-undang.

F. PEMBAHASAN

1. Sejarah Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia

Permasalahan anak dengan kenakalan setiap bulannya tak pernah absen

menghiasi kolom surat kabar. Kenakalan yang memberi efek pertanggungjawaban

pidana penjara tak jarang dilakukan mereka yang berusia kurang dari 18 tahun.

Dua tahun terakhir, pemerintah gencar mengedukasi aparat penegak hukum dan

masyarakat tentang sistem peradilan pidana anak yang baru. Prinsip perlindungan

dan rehabilitasi diutamakan daripada penjeraan. Sejalan dengan trend yang ada,

penulis tergelitik menelusuri sejarah hukum dari sistem peradilan pidana anak di

Indonesia. Pembatasan pembahasaan yakni rentang tahun 1900 hingga sekarang.

Sejarah peradilan anak di Indonesia di awali dari kehadiran lembaga Pro

Juventute tahun 1917. Lembaga ini digagas oleh para raja dan pemuda-pemuda di

daerah. Karena pengaruhnya yang meluas maka Kerajaan Belanda memberikan

pengakuan dan berganti nama menjadi Pra Yuwana.

Setelah kemerdekaan, para institusi penegak hukum termasuk Pra Yuwana

membuat kebijakan yang menjadi dasar perumusan sistem peradailan pidana

dikemudian hari. Yakni tahun 1954 telah terdapat hakim khusus mengadili perkara

anak yakni Mr Maengkom, menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional. Lima

tahun berikutnya terdapat consensus anatara kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan

Pra Yuwana mengenai pelaksanan pengadilan khusus untuk anak. Tindak lanjut

dari konsensus tersebut lahirlah beberapa ketentuan sebagai berikut17:

1. SEMA nonor 3 Tahun 1959 mengenai ketentuan penetapan sidang anak yag

tertutup untuk umum.

2. Kepolisian Negara juga menginstruksikan pembentukan Biro Anak-anak

atau yang kemudian digubah menjadi Polisi Urusan Anak melalui Instruksi

Menteri Kepolisian No.Pol. 17/Instruksi/1965 tanggal 23 Pebruari 1965.

17 Abintoro Prakoso. 2013. Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak. Yogyakarta: LaksbangGrafika. Hlm.34

Departemen Kehakiman melalui Direktorat Jendral Kepenjaraan mendirikan

Bimbingan Pemasyarakatan (Bispa) tahun 1968 untuk turut andil dalam menangani

anak-anak yang melanggar hukum. Bispa merupakan perubahan wajah dari Pra

Yuwana setelah ada perubahan dari Sistem Kepenjaraan menjadi Sistem

Pemasyarakatan kala Menteri Kehakiman Sahardjo18. Tujuan penempatan

narapidan di penjara adalah sebagai upaya mempersiapkan mereka kembali

kemasyarakat dengan perilaku yang lebih baik

Perkembangan global kala itu di dahului oleh PBB yang mencanangkan

Tahun Anak pada 1979 sebagai wujud peringatan 20 tahun Deklarasi Hak Anak.

PBB dan UNICEF menindaklanjuti dengan membentuk komite untuk

merumuskan konvensi hak anak. Trend internasional tersebut di sambut

pemerintah dengan positif, terlebih Indonesia merupakansebagai salah satu anggota

PBB yang aktif dalam isu anak. Pemerintah meresponnya dengan mengeluarkan

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pada tanggal 23

Juli 1979. Sebagai pengingat akan pentingnya jaminan kehidupan bagi anak, maka

tanggal 23 Juli di jadikan Hari Anak Nasional. Muatan undang-undang ini

mengadopsi Deklarasi Hak Anak Internasional tahun 1959.

Hasil rumusan konvensi hak anak yang disusun sejak tahun 1979 kemudian

diadopsi oleh PBB dan dideklarasikan pada tanggal 20 November 1989 dengan

nama Convention on The Rights of The Children (CRC). Pasal 40 menekankan

tugas negara terhadap anak yang berhadapan dengan hukum bahwa mereka

memiliki hak atas perlakukan yang manusiawi dan menghargai martabatnya

sebagai anak selama proses peradilan. Peningkatan perlindungan HAM bagi anak

yang berada dalam sistem peradilan memiliki banyak konsekuensi lanjutan. Produk

turunan dari CRC kemudian hadir untuk saling melegkapi. Misalnya UN Standart

Minimum Rules for the Administratio of Juvenile Justice (The Beijing Rules) nomor

40/33 tanggal 29 November 1985, UN Rules for the Protection if Juveniles

Deprived of their Liberty (Havana Rules) nomor 45/113 tanggal 14 Desember

1990, dan UN Guidelines for the Prevention of Juvenile Deliquency (The Riyadh

Guidelines) nomor 45/112 tanggal 14 Desember 199019.

18 http://www.ditjenpas.go.id/sejarah. Diakses tanggal 22 Agustus 2014, pukul 10.25 WIB19 Nandang Sambas. 2013. Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen InternasionalPerlindungan Anak serta Penerapannya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hlm.51

Usaha peningkatan perhatian terhadap peradilan pidana anak kian menguat.

Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang Peradilan Anak melalui

Amant Presiden Nomor R.12/PU/XII/1995. Selanjutnya DPR melakukan

pembahasaan serta diskusi yang akhirnya mengesahkan Undang-undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada tanggal 3 Januari 1997. Sebelum

undang-undang ini lahir, jumlah perkara dengan anak sebagai tersangka cukup

tinggi. Tahun 1994 terdapat 9.442 kasus, tahun 1995 terdapat 5.234 kasus, dan

1996 terdapat 4.479 kasus (Data Susenas Badan Pusat Statistik tahun 2000).

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga

memberikan perhatian terhadap peradilan pidana anak. Bab X Pasal 66

menyampaikan sebagai berikut:

(1) Setiap anak berhak tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan,

atau penjatuhan hukuman yang tidak mausiawi.

(2) Hukuman mati atau seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku

tindak pidana yang masih anak.

(3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasaanya secara

melawan hukum.

(4) Penangkapan, penahanan, atau pidana anka hanya boleh dilakukan

dengan huum yang berlaku da hanya dapat dilaksanakan secagai upaya terakhir.

(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan

perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan

pengembangan pribadi sesuai degan usianya dan harus dipisahkan dari orang

dewasa, kecuali demi kepentingannya.

(6) Setiap anak yang dirampas kebebasaanya berhak memperoleh bantuan

hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum

yang berlaku.

(7) Setiap anak yang dirampas kebebasaanya berhak untuk membela diri

dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang obyektif dan tidak

memihak dalam siding yang tertutup untuk umum.

Hak anak yang berhadapan hukum masuk menjadi point perhatian HAM.

Karena kerentanan atas pelanggaran atau pencabutan hak, mereka alami berlipat.

Ketidaktahuan masyarakat dan kelengahan pengawasan pemerintah terhadap

kinerja aparat penegak hukum memperlebar potensi pelanggaran tersebut.

Perhatian publik tersita dengan kasus persidangan RJ yang berusia 7 tahun

karena kasus perkelahian dengan temannya di Sumatera Utara. Proses persidangan

diikuti upaya penahanan oleh hakim menimbulkan reaksi besar dari pemerhati

anak. Mulai dari pelaporan hakim yang bersangkutan ke Komisi Yudisial hingga

pengajuan uji materiil di Mahkamah Konstitusi tentang batasan usia anak yang

dapat dipidanakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Putusan MK

Nomor 1/PUU-VIII/2010 menaikan batasan minimal umur anak yakni 12 tahun

yang dapat melakukan pertanggungjawaban pidana.

Kasus RJ mampu mendorong laju pembahasan revisi Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1997 yang sekian tahun mangkrak di badan legislative.

Perlindungan bagi anak yang berhadapan hukum dianggap tidak terlalu vital jika

dibandingkan peraturan tentang investasi atau pertambangan. Pembahasaan revisi

UU Pengadilan Anak tidak mengalami kemajuan berarti. Perkembangan

masyarakat menghendaki ada suatu sistem perlindungan anak berhadapan hukum

yang komprehensif dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Kasus

kekerasaan dan dampak prisonisasi pada anak mendatangkan kerugian luar biasa.

Anak mengulangi perbuatan pidana karena mengadopsi perilaku negative dari

orang dewasa di dalam penjara. Pemenjaraan tidak terbukti efektif memperbaiki

perilaku anak.

Kembali publik terhenyak dengan kasus di Palu pada pertengahan tahun

2011, kasus anak ‘mencuri’ sandal milik seorang polisi. Hukuman penjara

mengancam sang anak yang masi berusia 15 tahun. Masyarakat membutuhkan rasa

keadilan yang tidak hanya menyentuh korban, namun juga pelaku (anak), dan

masyarakat sendiri. Pemulihan dari kerugian atas perbuatan criminal diberikan

kepada korban dan masyarakat. Sanksi yang mengedepankan pertanggungjawaban

bukan penjeraan lebih tepat bagi anak.

Stigma melekat kuat pada ABH yang telah melalui proses hukum formal.

Mereka mengalami official designation yang dapat dilihat dalam fakta birokrasi

atau aspek keperdataan. Seumur hidup mereka akan memiliki catatan criminal

dalam Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) dari kepolisian. Padahal jamak

salah satu persyaratan kerja harus mencantumkan SKKB. Unofficial designation

terasa dari sikap atau persepsi masyarakat terhadap mereka. Belum dapat menerima

kehadiran anak yang pernah bermasalah hukum20. Sanksi diluar proses peradilan

kerap terasa lebih menyakiti rasa keadilan dan HAM bagi anak-anak tersebut.

Pada tahun 2012 lahirlah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Lembaran Negara Nomor 153. Tim penyusun

berhasil memasukan prinsip keadilan restorative adopsi dari Beijing Rules yang

dipercayai lebih baik daripada undang-undang sebelumnya. Beijing Rules atau UN

Standart Minimum Rules for the Administratio of Juvenile Justice (The Beijing

Rules) nomor 40/33 mengenalkan tentang konsep keadilan restorative dan proses

diversi yang wajib diupayakan pada semua tingkatan proses hukum.

2. Keadilan Restoratif Bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum

Anak adalah mereka yang berusia kurang dari 18 tahun, termasuk yang

berada di daam kandungan, sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pertumbuhan dan

perkembangan anak selalu berinteraksi dengan orang dewasa yang ada

disekitarnya. Beragam pengaruh lingkungan keluarga, pendidikan, dan sosial anak

mempengaruhi pada perilakunya.

Kecenderungan polah tingkah anak yang terekam dalam saluran pemberitaan

baik cetak maupun elektroni menunjukan peningkatan kenakalan anak dan

beragam modusnya. Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak UU SPPA), memberi pengertian anak yang

berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law), adalah sebagai

berikut :

“Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah Anak yang berkonflik

dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi

saksi tindak pidana”.

Romli Atmasasmita dalam buku Wagiati Soetodjo, menguraikan motivasi

intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak adalah sebagai berikut21:

a) Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah :

1) Faktor intelegentia;

2) Faktor usia;

3) Faktor kelamin;

20 YesmilAnwar. 2009. Saat Menuai Kejahatan, Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi,Hukum, dan HAM. Bandung: Refika Aditama. Hlm.30821 Wagiati Soetodjo.2006. Hukum Pidana Anak. Bandung: PT Refika Aditama. Hlm. 17.

4) Faktor kedudukan anak dalam keluarga.

b) Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah :

1) aktor rumah tangga;

2) Faktor pendidikan dan sekolah;

3) Faktor pergaulan anak;

4) Faktor mass media.

Berbagai faktor tersebut memungkinkan bagi anak untuk melakukan

kenakalan dan tindakan criminal. Akibat dari tindakan tersebut, mereka terpaksa

berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan. Upaya perlindungan bagi mereka

tak sebatas yang terdapat dalam UU SPPA. Sistem peradilan ini harus dimaknai

lebih luas karena juga menyentuh pada akar masalah kenakalan anak serta

pencegahannya. Lebih jauh, ruang lingkup sistem peradilan pidana anak mencakup

banyak ragam dan kompleksitas isu mulai dari anak melakukan kontak pertama

dengan penyidik polisi, proses peradilan, kondisi tahanan, dan reintegrasi sosial,

termasuk pelaku-pelaku dalam proses tersebut. Istilah sistem peradilan pidana anak

merujuk pada legislasi, norma dan standar, prosedur, mekanisme dan ketentuan,

institusi dan badan yang secara khusus diterapkan terhadap anak yang melakukan

tindak pidana22.

Pelaksanaan peraturan pidana anak yakni UU SPPA, memerlukan

seperangkan asas yang harus dipatuhi oleh pemerintah khususnya aparat penegak

hukum dan semua warga masyarakat. Asas yang dimaksud adalah sebagai

berikut23:

a) Perlindungan.

Melindungi dan mengayomi anak berhadapan hukum agar masa depannya

terjamin. Anak tetap berhak atas pembinaan untuk membangunnya sebagai

manusia berpribadi positif.

b) Keadilan.

Setiap proses penyelesaian perkara harus mencerminkan rasa keadilan bagi

anak. Penghindaran anak dari proses hukum formal dalam upaya

menyelamatkan anak dari stigmanisasi dari lingkungan sosial. Teori stigma

22 Anna Volz. 2009. Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif Hukum Hak AsasiManusia Internasional. Jakarta: Yayasan Pemantau Hak Anak. Hlm.123 Abintoro Prakoso. 2013. Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak. Yogyakarta: Laksbang Grafika.Hlm.100

and seriousness menyampaikan bahwa apa yang serius bagi masyarkat maka

akan menjadi stigma yang lebih tinggi bagi orang yang melakukannya24.

c) Non diskriminasi.

Tidak adanya perlakuan yang berbeda berdasarkan suku, agama, ras,

golongan, jenis kelamin, budaya, kondisi fisik atau mental.

d) Kepentingan terbaik bagi anak.

Tindakan dan pengambilan keputusan terhadap anak menempatkan

kepentingan terbaik anak sebagai petimbangan yang utama.

e) Penghargaan terhadap pendapat anak.

Kebebasaan anak menyampaikan isi pikiran, ide, gagasan, dan harapannya

dalam pengembangan kreativitas dan daya nalarnya.

f) Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.

Merupakan hak asasi yang paling mendasar dan dilindungi oleh negara.

g) Pembinaan dan bimbingan bagi anak.

Peningkatan kualitas ketakwaan anak, intelektual, sikap, dan perilakunya

melalu berbagai upaya sehingga terbangun pribagi yang lebih baik.

h) Proporsional.

Perlakuan terhadapa anak harus memperhatikan batas umur dan kondisinya.

Anak berhadapan hukum berhak menerima bantuan hukum dan perlakuan

yang seimbang serta manusiawi. Prosedur hukum dijalankan memiliki potensi

menghasilkan perilaku tidak proporsional dari aparat penegak hukum. Namun

perinsip keadilan tidak dapat dikesampingkan.

i) Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir.

Anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya kecuali terpaksa dan merupakan

upaya terakhir dalam upaya penyelesaian perkara.

j) Penghindaran pembalasan.

Menjauhkan upaya atau motif pembalasan dalam proses peradilan pidana

diemaban oleh semua pihak.

UU SPPA telah mengatur tentang upaya diversi yang berfungsi agar anak

yang berhadapan dengan hukum tidak terstigmatisasi akibat proses peradilan yang

harus dijalaninya. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Resolusi PBB

24 Yesmil Anwar. 2009. Saat Menuai Kejahatan, Sebuah PEndekatan Sosiokultural Kriminologi,Hukum, dan HAM. Bandung: Refika Aditama. Hlm.151

tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice,

(Beijing Rule) Rule 125:

“Diversion, involving removal from criminal justice processing, and

frequently redirection to community support services, is commonly practiced on a

formal and informal basis in many legal system. This practice serves to hinder the

negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice administration (for

example the stigma of conviction and sentence). In many cases, non intervention

would be the best response. This diversion at the out set and without referral to

alternative (social) services may be the optimal response. This is especially the

case where the offence is of a non-serious nature and where the family, the school

r other informal social control institutions have already reacted, or are likely to

react, in an appropriate and constructive manner”

Konsep Diversi pertama kali dikemukakan sebagai kosakata pada laporan

peradilan anak yang disampakan Presiden Komisi Pidana (president’s crime

commissionis) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Awalnya konsep

diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai berdirinya peradilan anak (children’s

court) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan

formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning). Prakteknya

telah berjalan di negara bagian Victoria-Australia pada tahun 1959 diikuti oleh

negara bagian Queensland tahun 1963.

Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif

terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem

peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh

kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa

Indonesia diskresi. Dengan penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal yang

ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak

dari tindakan pemenjaraan. Selain itu terlihat bahwa perlindungan anak dengan

kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat

sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan pencegahan.Setelah itu jika

ada anak yang melakukan pelanggaran maka tidak perlu diproses ke polisi.

Diversi merupakan salah satu sarana memberikan keadilan restorative bagi

anak, keadilan yang bersifat memulihkan. Sebelum UU SPPA, konsep pemidanaan

25 Nandang Sambas. 2013. Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen InternasionalPerlindungan Anak serta Penerapannya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hlm.61

lebih mengedepankan retributive paradigm dimana keinginan publik untuk

memidanakan anak sebagai wujud pembalasan sangat kuat. Sanksi pidana penjara

memberikan permasalahan baru bagi delinquency seperti kemerosotan

pengendalian diri, stigma berlebihan terhadap mereka, muncul ketidakpercayaan

lingkungan. Peralihan menuju restorative paradigm menjadi pilihan bijak.

Tujuan utama keadilan restorative adalah perbaikan atau penggantian

kerugian yang diderita korban, adanya pengakuan dari pelaku terhadap luka yang

dialami masyarakat karena perbuatannya. Proses rekonsiliasi annatara korban,

pelaku, dan masyarakat menjadi utama. Ketiga pihak tersebut bekerjasama

memperbaiki kehidupan bermasyarakat yang telah tercederai.

Posisi korban kerap terabaikan dalam sistem peradilan pidana karena telah

terwakili oleh jaksa. Pasal yang dituntutkan jaksa kepada pelaku kerapkali tidak

mampu menghapus kerugian yang dia alami. Tindak pidana sejatinya tidak hanya

memberi dampak pada korban, namun masyarakat juga sebagai elemen terdampak

tidak langsung. Keresahan masyarakat, rasa was-was, timbul saling tidak percaya,

merupakan wujud perilaku sosial sebagai respon tindak criminal yang terjadi

disekitarnya.

Muladi mengungkapkan cirri-ciri keadilan restorative sebagai berikut26:

a) Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain

dan dipandang sebagai konflik.

b) Fokus perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban da

kewajiban untuk masa mendatang.

c) Sifat normative diangun atas dasar dialog dan negosiasi.

d) Restitusi sebagai sarana para pihak, rekonsiliasi dan restorasi merupakan

tujuan utama.

e) Keadilan dirumuskan seabagai hubungan antar hak dan dinilai atas dasar

hasil.

f) Fokus perhatian terarah pada perbaikan luka sosial akibat kejahatan.

g) Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restorative.

h) Peran korban dan oelaku diakui dalam penentuan masalah dan

penyelesaiannya. Pelaku didorong untuk bertanggungjawab.

26 Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: B.P. Universitas Diponegoro.Hlm.129

i) Pertanggungjawaban pelaku dirumuskan sebagai dampak atas

perbuatannya dan diarahkan untuk memutuskan yang terbaik.

j) Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh yakni moral, sosial,

dan ekonomis.

k) Stigma dapat dihapus melalui restorative.

Keadilan restorative bukan hal baru dalam kehidupan bermasayrakt. Sejak

dahulu telah berkembang metode penyelesaian permasalahan yang menggunakan

pendekatan pemulihan dengan cara konvensional. Semangat musyawarah atau

rembug adalah budaya local yang memberikan ruang para pihak (korban dan

pelaku) serat masayarakat mengambil peran seimbang dalam selesaikan masalah.

Pasal 1 angka 6 UU SPPA menyebutkan keadilan restorative sebagai

penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga

pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari

penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan

semula dan bukan pembalasan.

3. Surakarta Menuju Kota Layak Anak

Sejak 2006, pemerintah mencanangkan program Indonesia Layak Anak

(IDOLA) merujuk pada desain global dari UNICEF dan UNHABITAT yakni child

friendly cities. Program serupa dilakukan di lebih dari 100 negara di dunia. Standar

pemenuhan sebuah kota disebut layak anak (KLA) terdiri dari 31 indikator yang

merujuk pada isi Konvensi Hak Anak. Indikator tersebut terdiri dari 5 kluster

sesuai hak dasar anak sesuai Peraturan Meneg PPPA Nomor 11 Tahun 2012, yakni

1. Hak sipil dan kebebasan;

2. Kesehatan dan kesejahteraan dasar,

3. Pendidikan, waktu luang, dan kegiatan budaya;

4. Keluarga dan pengasuhan alternatif;

5. Perlindungan khusus.

Kluster terakhir mengenai perlindungan khusus terdiri dari anak yang

membutuhkan perlindungan khusus seperti anak korban kekerasaan atau

eksploitasi, anak yang berada di situasi bencana, anak yang berhadapan dengan

hukum (ABH). Penanganan ABH dipandang penting karena publik tidak dapat

tutup mata dengan keberadaan mereka yang tersebar di hampir semua lapas/rutan

se-nusantara. Penilaian KLA tak lepas dari kesediaan data ABH dan penanganan

anak yang integratif.

Kebijakan program KLA tidak hanya ditingkat pusat, namun lebih

mendorong kabupaten/kota dan propinsi ikut menciptakan pembangunan yang

peduli pada hak, kebutuhan, dan kepentingan anak. Sinergitas program agar lebih

maksimal diwujudkan dengan melekatkan isu anak pada kementrian yang ada.

Tahun 2009 dirubahlah Kementrian Pemberdayaan Perempuan menjadi

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan menteri

pertamanya adalah Linda Amalia Sari27.

Penghormatan hak anak oleh pemerintah kabupaten/kota dapat dilakukan

melalui beberapa cara yang direkomendasikan oleh UNICEF Innocent Research

Center28 sebagai berikut:

a. Menyediakan akses pelayanan kesehatan, pendidikan air bersih, sanitasi yang

sehat dan bebas pencemaran.

b) Menyediakan kebijakan dan anggaran khusus untuk anak.

c) Menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman sehingga memungkinkan

anak dapat berkembang, berekreasi, belajar, berinteraksi sosial, dan

melakukan ekspresi budayanya.

d) Keseimbangan di bidang sosialm ekonomi, dan terlindungi dari pengaruh

kerusakan lingkungan dan bencana alam.

e) Memberikan perhatian khusus kepada anak yang tinggal dann bekerja di jalan,

eksploitasi seksual, hidup dengan kecacatan atau tanpa dukungan orang tua.

f) Menyediakan wadah bagi anak untuk berperan serta dalam pengambilan

keputsan yang berpengaruh langsung pada kehidupan mereka.

Thomas R. Dye menjelaskan bahwa sebuah kebijakan publik dapat berate

segala sesuatu yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan oleh pemerintah.

Keduanya memiliki alasan dan akibat tertentu yang dirasakan oleh masyarakat

sebagai obyek dari kebijakan. Upaya penyediaan kebijakan berupa aturan hukum

merupakan elemen dasar dari implementasi program KLA. Kota Surakarta telah

27 http://menegpp.go.id/v2/index.php/tentangkami/kelembagaan/sejarah. Diakses tanggal 23 Agustus2014 pukul 12.20 WIB.28 Innocenti Digest. 2002. Poverty and Exclusion Among Urban Children. Florence – Italy: UNICEFInnocenti Research Centre. Edisi 2. Bulan November 2002. Hlm.22

menggagas konsep kota layak anak sejak tahun 2006. Beragam kebijakan hadir

untuk mendukung upaya tersebut seperti29 :

a) Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 130.05/08/I/2008 tanggal 5

Pebruari 2008 tentang Tim Pelaksana Pengembangan Kota LAyak Anak

(KLA) Kota Surakarta.

b) Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 462/74-A/I/2006 tanggal 21

Maret 2006 tentang Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta

(PTPAS). Diperbaharui melalui Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor

462.05/84-A/I/2010 tentang PTPAS.

c) Nota Kesepahaman Nomor 453/108 Tahun 2010 dalam rangka

pengembangan Kota Surakarta sebagai Kota Layak Anak. MoU ini

ditandantangani oleh pemerintah, muspika, ormas, LSM, dan lembaga

kemasayrakatan lainnya.

d) Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak

Seperangkat kebijakan pemerintah memuat perlindungan dan pemenuhan

terhadap anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus, salah satunya anak

yang berhadapan dengan hukum. Mereka pribadi yang masih labil dan terjerumus

pada situasi kemiskinan serta pola pengasuhan yang kurang tepat. Kadangkala

mereka pun tidak merasakan sebagai individu yang bermasalah dan tidak berusaha

menaru perawatan. Lingkungan dan institusi sosial yang berada disekitar anak-lah

yang membentuk anak menjadi demikian.

Lingkungan yang protektif bagi anak dapat digambarkan seperti lingkaran

bertingkat. Dimulai dari lingkungan terdekatnya yakni keluarga inti kemudian

kerabat atau keluarga luar (extended family). Tingkat berikutnya adalah lingkungan

masyarakat dimana anak berinteraksi misalnya lingkungan pendidikan atau sosial.

Pemerintahan dimulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, dan berjenjang

hingg atingkat pusat. Legistlatif memiliki pengaruh juga melalui produk kebijakan

yang dikeluarkannya.

Aturan hukum sebagai upaya perlindungan ABH dalam kerangka KLA perlu

ditinjau menggunakan konsep bekerjanya hukum menurut Lawrence M. Friedman

yang dikenal dengan three element of legal system30:

29 Bappeda Kota Surakarta. 2013. Percepatan Aksi Kota Layak Anak Kota Surakarta. Hlm.630 Esmi Wirasih Puji Rahayu. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: SuryandaruUtama. Hlm.30

a) Struktur hukum.

Kelembagaan yang diciptakan sistem hukum dengan beragam fungsi dalam

rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Misalnya eksekutif,

legislative, atau yudikatif.

b) Substansi.

Output dari sebuah sistem hukum yang berwujud peraturan, keputusan yang

dapat digunakan oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.

c) Kultural Hukum.

Terdiri dari nilai dan sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Kultur

hukum merupakan jembatan penghubung antara peraturan dengan tingkah

laku hukum dari warga masyarakat.

Kebijakan progam KLA bagi ABH memperhatikan perkembangan peraturan

di tingkat nasional, yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Semangat keadilan restorative yang bersifat

memulihkan menjadi inti dari pelaksanaan perlindungan anak yang konflik dengan

hukum. Bukan lagi pembalasan namun mendorong pelaku anak untuk

bertanggungjawab sesuai usia dan kemampuannya.

Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS) adalah

konsorsium yang terdiri dari pemerintah, institusi penegak hukum, rumah sakit,

dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta Organisasi Kemasyarakatan

(Ormas). Lembaga yang bergabung dalam nota kesepahaman berjumlah 48 dan

terdiri dari divisi pendidikan publik, rehabilitasi dan layanan, rujukan, serta data

informasi. Koordinator PTPAS berada di bawah BAPERMAS PP PA & KB Kota

Surakarta.

Kasus kriminalitas anak menjadi wilayah garapan PTPAS juga mengingat

perspektif perlindungan anak bahwa anak dalam situasi khusus harus dilihat

sebagai korban. Setiap tahunnya tidak kurang dari 20 kasus anak melakukan

kenakalan di wilayah hukum Polresta Surakarta. Fakta tersebut mendorong

pemerintah untuk mengembangkan keberadaan PTPAS ditingkat kelurahan dengan

nama Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) sejak 2012.

PPT hadir di 51 kelurahan. Keanggotaannya terdiri dari tokoh masyarakat,

tokoh agama, wakil pemerintahan setempat, organisasi kemasyarakatan seperti

PKK, LPMK, FKPM. Fungsi layanan dan rehabilitasi berjejaring dengan PTPAS,

khususnya bagi kasus yang membutuhkan rujukan kesehatan.

Mengatasi problem ABH tidak hanya bertumpu pada norma hukum.

Dibutuhkan struktur yang terdiri dari kelembagaan dan pejabat sebagai pelaksana

tugas yang memiliki perspektif yang sama mengenai perlindungan anak. Prinsip

nondiskriminasi dan kepentingan terbaik bagi anak menjadi tuntutan dalam

merumuskan sebuah kebijakan.

Pendirian PPT tidak diikuti dengan penguatan struktur yang ada didalamnya

mengakibatkan fungsi layanan tidak optimal. Kelembagaan PPT terdiri dari unsur

pemerintah dan organisasi kemasyarakat di kelurahan setempat. Kapastitas

personel yang tergabung dalam PPT dalam penanganan delinquency perlu

mendapatkan dukungan dari pemerintah.

UU SPPA memberikan legalitas terhadap upaya diversi yang berkeadilan

restorative. Kebijakan ini memberikan peluang penyelewengan prosedur

dikarenakan ketidakpahaman masyarakat (PPT) dalam proses pendampingan ABH.

Budaya hukum di masyarakat yang cenderung memenjarakan anak masih kuat

terpelihara. Sehingga jumlah anak yang harus mendekam di sel kantor polisi belum

mengalami penurunan dengan adanya PPT atau PTPAS.

PPT adalah ujung tombak upaya penyelamatan masa depan ABH. Mereka

berada di lingkungan yang terdekat dengan anak sehingga (diharapkan) mengetahui

dengan jelas akar masalah anak. Partisipasi aktif PPT dalam proses diversi

merupakan hakikat tugasnya sebagai perwakilan dari masyarakat. Usulan

intervensi dalam proses mencari penyelesaian terbaik bagi perkara anak

diharapakan berimbang. Nilai edukasi dan perikemanusiaan masuk dalam rumusan

bentuk pertanggungjawaban anak sebagai pelaku. Kepentingan korban dan

masyarakat sebagai pihak yang dirugikan juga terakomodir.

G. KESIMPULAN DAN SARAN

Kota Layak Anak tidak lagi menjadi cita-cita jika pemerintah Kota Surakarta

dapat menciptakan lingkungan layak anak yang dimulai dari keluarga dan

masyarakat (kelurahan). Kerjasama antar pemerintah dan masyarakat perlu

dibangun lewat transfer informasi dan koordinasi berkala dalam wadah PPT dan

PTPAS. Peningkatan kapasitas para actor penyedia layanan berpengaruh besar

dalam proses penanganan kasus ABH. Prinsip keadilan restorative sebagaimana

amanat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak (UU SPPA) dapat terwujud melalui diversi yang dirintis dari bawah. Diversi

yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan masyarakat diarahkan

menuju proses pemulihan penderitaan semua pihak. Masyarakat aktif melakukan

respon terhadap kasus delinquency dengan mengutamakan kepentingan terbaik

bagi anak.

Kebijakan perlindungan terhadap anak berkonflik dengan hukum atau anak

sebagai pelaku tindak criminal tidak dapat dilakukan setengah hati. Anak sebagai

individu yang belum mandiri dan labil sangat rentan mengalami ketidakadilan.

Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan khusus melalui kebijakan-

kebijakan afirmatif. Sehingga deliquent dapat terentaskan dari akar masalah yang

menyelebungi dan mendorongnya berbuat kriminalitas. Pemerintah membangun

program yang terintegratif antar Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) karena

permasalahan anak tidak dapat diselesaikan menggunakan satu pendekatan saja.

Pejabat pemerintah harus menghindarkan sikap egosektoral karena akan

menghambat program KLA.

Dukungan anggaran daerah untuk anak tidak semata pembangunan fisik

namun mengupayakan menyentuh akar masalah dari ABH. Sehingga dibutuhkan

baseline data untuk dapat menyusun perencanaan program yang solutif dan sesuai

kebutuhan masyarakat. Program perlindungan anak yang dijalankan tidak lepas

dari proses pemantauan dan evaluasi. Tujuannya untuk mengukur tingkat

keberhasilan program dan sarana deteksi dini keefektifitasan program.

Kebijakan yang berpihak pada anak merupakan investasi jangka panjang

terhadap kualitas kehidupan sebuah bangsa. Diawali dari kebijkan tingkat kota

yang kemudian direplikasi hingga tingkat pemerintahan terkecil, adalah pilihan

bijak. Tidak cukup hanya dengan komitmen, namun langkah nyata untuk

memperbaiki kekurangan harus segera dilakukan. Tanggung jawab terhadap anak

yang berhadapan dengan hukum adalah milik bersama, pemerintah (termasuk

aparat penegak hukum) dan masyarakat.

H. DAFTAR PUSTAKA

Abintoro Prakoso. 2013. Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak. Yogyakarta:Laksbang Grafika.

Anna Volz. 2009. Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif HukumHak Asasi Manusia Internasional. Jakarta: Yayasan Pemantau Hak Anak.

Bambang Sunggono. 1997. Hukum dan Kebijakan Publik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Bappeda Kota Surakarta. 2013. Percepatan Aksi Kota Layak Anak Kota Surakarta.Budi Winarno, 2012. Kebijakan Publik Teori, Proses, dan Studi Kasus. Jakarta: PT

Buku Seru.C.S.T. Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka.Esmi Wirasih Puji Rahayu. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis.

Semarang: Suryandaru Utama.H. Abdul Manan. 2009. Aspek-aspe Perubahan Hukum. Jakarta: Kencana.H. Munir Fuady. 2003. Teori-teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum. Jakarta:

Kencana.Innocenti Digest. 2002. Poverty and Exclusion Among Urban Children. Florence –

Italy: UNICEF Innocenti Research Centre. Edisi 2. Bulan November 2002.Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: B.P.

Universitas Diponegoro.Nandang Sambas. 2013. Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen

Internasional Perlindungan Anak serta Penerapannya. Yogyakarta: GrahaIlmu.

Philipe Nonet dan Philip Selznick. 2013. Hukum Responsif. Bandung: NusaMedia.

Sasmini, Diana Tantri Cahyaningsih, dan Erna Diah Kusumawati. 2013.Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Anak yang Berhadapan denganHukum yang Dititipkan di Rumah Tahanan Negada dan LembagaPemasyarakatan. Belum terpublikasi.

Satjipto Raharjo. 2010. Sosiologi Hukum. Yogyakarta/: Genta Publishing.Wagiati Soetodjo.2006. Hukum Pidana Anak. Bandung: PT Refika Aditama.YesmilAnwar. 2009. Saat Menuai Kejahatan, Sebuah Pendekatan Sosiokultural

Kriminologi, Hukum, dan HAM. Bandung: Refika Aditama. Hlm.308http://www.ditjenpas.go.id/sejarah. Diakses tanggal 22 Agustus 2014, pukul 10.25

WIBhttp://menegpp.go.id/v2/index.php/tentangkami/kelembagaan/sejarah. Diakses

tanggal 23 Agustus 2014 pukul 12.20 WIB.http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/year/2012/month/12 .

Diakses tanggal 26 Juni 2014.