Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Kawasan Eks PLG

21
RINGKASAN UTAMA KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI KAWASAN EKS PLG Jln. Virgo IV No 129 Palangkaraya,73112 Kalimantan Tengah Indonesia Tim Riset Walhi Kalimantan Tengah Yudi Octora Arie Rompas Edy Subahani Stefanus Alfons Tahun 2010

Transcript of Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Kawasan Eks PLG

RINGKASAN  UTAMA  

KEARIFAN  LOKAL  DALAM  PENGELOLAAN  SUMBER  DAYA  ALAM  DI  KAWASAN  EKS  PLG  

 

 

J l n .   V i r g o   I V   N o   1 2 9   P a l a n g k a r a y a , 7 3 1 1 2   K a l i m a n t a n   T e n g a h  I n d o n e s i a      

Tim    Riset  Walhi  Kalimantan  Tengah  

Yudi  Octora  Arie  Rompas  Edy  Subahani  Stefanus  Alfons  

 Tahun  2010  

     

1    

Daftar  Isi        

1. Pendahuluan …………………………………………………………. Hal 2

2. Tungakan masalah dan keslamtan warag di kawasan eks PLG …. Hal 4

a. Masalah Ekologi ……………………………………………. Hal 5

b. Masalah Sosial Ekonomi ……………………………………. Hal 6

c. Masalah Kebijakan ………………………………………… Hal 6

3. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam …………. Hal 8

a. Wilayah Kelawa ……………………………………………… Hal 8

b. Wilayah DAS Puning ………………………………………… Hal 10

4. Kesimpulan …………………………………………………………… Hal 13

5. Apendix ……………………………………………………………… Hal 17

2    

01. Pendahuluan Fenomena pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim berdampak terjadinya

perubahan sosial atau kependudukan dan budaya. Berbagai kajian sosial menemukan

bahwa pola hubungan sosial berkaitan sangat erat dengan pola perubahan iklim. Jika

tidak ada upaya yang sistematis dan terintegrasi untuk meningkatkan ketahanan terhadap

perubahan iklim dan perbaikan kondisi lingkungan lokal dan global mulai dari sekarang,

maka dampak yang ditimbulkan akibat adanya perubahan iklim ke depan akan semakin

besar dan lebih lanjut akan berdampak pada sulitnya mencapai sistem pembangunan yang

berkelanjutan. Penanganan masa perubahan iklim dalam konteks pembangunan

membutuhkan manajemen perubahan iklim secara efektif, dan pada saat bersamaan

mengantisispasi dampak perubahan iklim global jangka panjang secara komprehensif.

Juga membutuhkan pendekatan lintas sektor baik pada tingkat nasional, regional maupun

lokal.

Inisiatif lokal dalam pengelolaan SDA sudah dilakukan oleh masyarakat secara

turun temurun melalui system yang masih tradisional. kearifan ini mampu membuat

masyarakat lokal bertahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Akibat dari perubahan iklim secara global ternyata juga berpengaruh pada

masyarakat di tingkat lokal. Bahwa solusi akibat perubahan iklim ini tidak menempatkan

masyarakat adat dalam hal pengelolaan SDA. Di sinilah letak perbedaan antara kebijakan

yang direncanakan oleh lembaga formal dan masyarakat adat dengan kearifan lokalnya

dalam pemanfaatan sumber daya alam. Yang menjadi pergulatan saat ini adalah

bagaimana mengembalikan kemampuan dan otoritas masyarakat dengan kearifan lokal

untuk merencanakan, mengatur, mengawasi serta mengelolah sumber-sumber daya

alamnya secara demokratis sehingga mampu mensejahterakan masyarakatnya sendiri.

Pengembangan Kapasitas Lokal dibidang perekonomian, politik, sosial maupun budaya

mempunyai arti sangat penting dimana hal-hal tersebut diatas sangat erat berkaitan satu

sama lain. Untuk itu kearifan lokal harus menjadi tolak ukur dalam hal pengelolaan SDA

dan harus dipromosikan lebih luas dalam mendorong kebijakan yang berkeadilan bagi

masyarakat lokal dan lestari bagi lingkungan sekitar.

3    

Dalam konteks inilah maka Walhi Kalimantan Tengah melakukan riset aksi guna

mendokumentasikan dan mempromosikan pengelolaan SDA yang berbasis kearifan lokal

terutama di wilayah eks Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar di wilayah

Kalimantan Tengah. Sejak tumbangnya rejim Soeharto wilayah eks PLG ini seolah ikut

tenggelam dalam arus kepentingan lokal, namun sejak dikeluarkannya inpres nomor 2

tahun 2007 tentang percepatan Rehabilitasi dan Revalitasi Kawasan Pengembangan

Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah maka upaya untuk mengurus

kembali wilayah tersebut mulai marak dilakukan.

Namun demikian pemerintah pusat maupun daerah sendiri nampaknya lagi-lagi

tidak mengindahkan kehendak dan kondisi yang nyata dihadapi oleh masyarakat di

wilayah eks-PLG. Paradigma pembangunan yang mengejar pertumbuhan tetap menjadi

orientasi utama dimana lahan gambut hanya dijadikan sebagai sumberdaya untuk di

eskpolitasi sebagai aktivitas ekonomi semata.

Riset aksi ini dilakukan dengan

mengkombinasikan studi literature dengan

studi lapangan. Studi lapangan dilakukan

untuk menambah informasi tentang

pengelolaan SDA yang dilakukan oleh

masyarakat. Oleh karena itu pemilihan bentuk

pengelolaan SDA pun didasarkan atas tipologi

dari kondisi eks-PLG saat ini yaitu:

a. daerah eks-PLG yang telah hancur;

b. Daerah eks- PLG yang sempat terbuka

dan masih mampu merocovery

kawasanya

c. Daerah Yang belum sempat tergarap

Dengan demikian pertanyaan utama yang diajukan adalah:

(1 ) bagaimana masyarakat melakukan pengelolaan SDA di daerah eks-PLG yang telah

hancur; (2) bagaimana masyarakat melakukan pengelolaan SDA di daerah eks-PLG yang

Gambar   1   :   Peta   Lokasi   Penyebaran   riset  Walhi  Kalimantan  Tengah  di  kawasan  Eks  PLG    

4    

hancur tetapi dapat merecovery-nya; (3) bagaimana masyarakat melakukan pengelolaan

SDA di daerah eks-PLG yang belum rusak sama sekali.

Lokasi riset aksi dilakukan di tiga wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) di kawasan eks

PLG yang dapat mencerminkan tiga tipologi keadaan eks-PLG tersebut diatas yaitu DAS

Kahayan, DAS Barito dan DAS Kapuas. Dengan mengambil sample di beberapa tempat

di sepanjang DAS tersebut.

a. Das Kahayan, wilayah yang menjadi sample adalah kelurahan Kalawa. Wilayah

Kalawa merupakan wilayah eks-PLG yang belum rusak sama sekali.

b. DAS Barito, dapat dibagi menjadi berdasarkan tipologinya yaitu:

1. Berdasarkan tipologi yang belum rusak sama sekali adalah di daerah DAS Puning

dengan desanya yaitu Batilap

2. Tipologi rusak tetapi mampu merecovery adalah daerah DAS Mengkatip yaitu di

desa Sei Jaya, Desa Mahajandau, dan Desa Mengkatip.

3. Tipologi rusak sama sekali di daerah Jenamas yaitu di desa Rantau Bahuang dan

desa Tampulang

c. DAS Kapuas adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan tipologi yang belum rusak sama sekali adalah di daerah yang disebut

dengan wilayah Blok E.

2. Tipologi rusak tetapi mampu merecovery adalah desa Sei Ahas dan Desa

Katunjung.

3. Tipologi rusak sama sekali di daerah Jenamas yaitu di desa desa Mantangai,

Katimpun dan Kalumpang.

Proses penelitian dilapangan ini dipandu oleh sejumlah literatur yang telah ada,

seperti hasil-hasil riset yang dilakukan oleh banyak pihak mengenai keadaan ekologi,

sosial dan ekonomi dari masyarakat di eks-PLG. Meskipun riset aksi ini bertujuan untuk

melihat pengelolaan SDA yang berbasis kearifan lokal namun aspek-aspek seperti tata

kuasa, tata kelola, tata produksi, dan tata konsumsi turut pula disertakan. Hal ini

dilakukan untuk mengetahui lebih dalam kondisi masyarakat di eks-PLG. Dengan

demikian studi lapangan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara maupun

FGD dengan masyarakat di sejumlah wilayah riset eks-PLG.

5    

02. Tunggakan Masalah Proyek Eks-PLG dan

Keselamatan Warga

Beberapa hasil temuan dilapangan didapatkan bahwa secara umum dampak yang

ditimbulkan oleh mega proyek 1 juta hektar PLG di Kalimantan Tengah sangat terasa

bagi sumberdaya alam gambut dan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal. Pembukaan

lahan melalui penebangan, pembongkaran gambut-gambut tebal, penggusuran kebun

rotan, kolam ikan tradisional (beje), sungai-sungai, danau-danau, handil-handil

mengakibatkan kebakaran hutan, hilangnya mata pencaharian penduduk, musnahnya

flora dan fauna khas yang dilindungi. Penebangan kayu hutan secara illegal yang marak

karena akses proyek terhadap tegakan hutan gambut sangat mudah dan diikuti oleh

masyarakat, terutama karena alasan ekonomi. Beberapa studi yang telah dilakukan pun

menyatakan hal yang sama seperti diatas. Secara khusus berdasarkan hasil temuan riset

aksi ini, beberapa masalah yang masih menggelayuti masyarakat adalah sebagai berikut:

a. Masalah Ekologi

1. Pembuatan saluran primer induk (SPI) sepanjang 187 kilometer yang

menghubungkan Sungai Kahayan, Sungai Kapuas dan Sungai Barito serta

memotong cukup banyak anak sungainya telah berakibat berubahnya pola tata air,

dan kualitasnya.

2. Penebangan pohon di hutan rawa gambut mengakibatkan daya serap permukaan

tanah berkurang, kondisi ini menyebabkan sering terjadinya banjir di musim

penghujan, sebaliknya pada musim kemarau lahan gambut lebih mudah terbakar.

3. Beberapa spesies tumbuhan langka yang dilindungi seperti ramin (Gonystylus

spp), jelutung (Dyeralowii), kempas (Koompassia malaccensis), ketiau (Ganua

motleyana), dan nyatoh (Dichopsis elliptica) terancam punah, selain itu

keberadaan ekosistem air hitam (black water ecosystem) dan ikan khas yang

hidup di dalamnya, seperti manau tempahas (Calamus manau) menjadi terancam,

padahal ekosistem air hitam ini merupakan kawasan khas di lahan gambut.

6    

4. Kebakaran merupakan penyebab yang paling parah dari degradasi pada kawasan

Eks-PLG. Berkurangnya kandungan air lahan gambut dan hilangnya perlindungan

hutan telah menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya kebakaran

besar, dan tidak hanya mengakibatkan masalah kabut asap di sepanjang kawasan

tersebut (terkait dengan masalah kesehatan dan kerugian secara ekonomi) tetapi

juga berkontribusi pada perubahan iklim global.

b. Masalah Sosial Ekonomi

1. Menurunnya produksi di sektor perikanan, kondisi ini dapat dilihat dari hilangnya

beje dan tatah serta hancurnya sungai-sungai dan danau sebagai tempat

berkembangbiaknya ikan rawa gambut.

2. Hilangnya sumber pendapatan dari hasil hutan seperti karet, rotan dan berbagai

jenis tanaman obat, satwa buruan, serta “purun“ yaitu jenis tanaman yang

digunakan untuk membuat tikar, serta berkurangnya lahan perikanan dan

menurunnya hasil tangkapan ikan, kondisi ini mengakibatkan menurunnya

pendapatan masyarakat lokal di sekitar proyek PLG secara drastis.

c. Masalah Kebijakan

Tumpang tindihnya kebijakan dalam penguasaan dan pengelolaan Lahan eks PLG,

terutama untuk kepentingan Investasi dan Konservasi. Sejumlah kebijakan baik itu untuk

investasi maupun konservasi nyatanya tetap menyingkirkan masyarakat dari keterlibatan

untuk menguasai dan mengelola wilayah lahan gambut yang telah sekian lama

menghidupi mereka. Lebih lengkapnya adalah sebagai berikut:

1. Investasi:

Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun

2007 bahwa kurang lebih 1,1 juta hektare dari

kawasan pengembangan lahan gambut harus

dikonservasikan dan dikembalikan pada keadaan

semula. Sisanya atau 0,3 juta hektare bisa

dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian,

khususnya persawahan padi. Disebutkan juga Gambar  4   :  Pembangunan  kebun  sawit  di   lokasi   transmigrasi   di   kawasan   eks  PLG  

7    

bahwa alokasi lahan untuk pengembangan dan perluasan perkebunan kelapa sawit

dibatasi hanya 10.000 hektare . Namun saat ini sudah terdapat 23 ijin perkebuan sawit

dengan jumlah ijin yang dikeluarkan seluas 935.57 Ha. Dimana sekitar 12 perusahan

perkebunan beroperasi diwilayah Kabupaten Kapuas dengan luas wilayah konsesi yaitu

516.962 Ha. Menariknya lagi, sebagian besar perusahaan yang beroperasi tersebut berada

di blok A dan B yang sesungguhnya diperuntukkan untuk wilayah transmigrasi dan

pertanian. Akibatnya adalah munculnya konflik-koflik penguasaan atas tanah diwilayah

tersebut.

2. Konservasi

Konflik dengan masyarakat nyatanya juga terjadi di wilayah Blok E yang digunakan

untuk wilayah konservasi. Di wilayah ini, telah masuk sejumlah organisasi internasional

seperti BOS Mawas, Care dan Wetland. Program-program yang dilakukan oleh

organisasi internasional tersebut sesungguhnya seringkali menutup akses masyarakat

terhadap areal mereka sendiri. Terutama untuk organisasi BOS MAWAS yang diberi

keleluasaan untuk mengelola wilayah konservasi, namun sejak ditetapkan sebagai

wilayah konservasi, akses masyarakat ke wilayah tersebut justru menjadi terbatas.

Padahal wilayah yang ditentukan sebagai wilayah konservasi adalah milik masyarakat

sejak dahulu. Tak jarang apabila masyarakat melakukan aktifitas di lokasi konservasi

mereka seringkali masyarakat harus berurusan dengan aparat kepolisian.

Beberapa masalah diatas nyatanya memiliki dampak serius bagi keselamatan

warga di wilayah eks-PLG. Kerusakan ekologi yang kemudian berpengaruh pada

menurunnya kemampuan ekonomi masyarakat, sejatinya tidak diselesaikan oleh

pemerintah pusat maupun daerah dengan cara yang bijak. Ditambah lagi dengan upaya

mendorong perekonomian di wilayah eks-PLG dengan masuknya investasi, terutama

perkebunan sawit dan pertambangan, pada akhirnya menciptakan masalah baru yakni

konflik penguasaan tanah. Konflik penguasaan dan pengelolaan tanah ini pula yang turut

mewarnai proses peralihan kawasan eks-PLG untuk wilayah konservasi. Dengan kata

lain, upaya yang dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah sejatinya semakin

memperkuat proses penyingkiran masyarakat dari wilayah eks-PLG.

8    

03. Pengelolaan SDA Berbasis Kearifan Lokal Di beberapa tempat di wilayah eks-PLG masih memiliki kemampuan untuk beradaptasi

dengan mengembangkan kearifan yang mereka punyai. Kemampuan menguasai dan

mengelola SDA berdasarkan kerarifan lokal tampak nyata di derah Kalawa dan DAS

Puning. Menariknya lagi, kedua wilayah tersebut menggunakan dua metode yang berbeda

yakni dengan kearifan adat di wilayah kalawa dan keterlibatan organisasi masyakat sipil

di DAS Puning. Lebih lengkapnya adalah sebagai berikut:

a. Wilayah Kalawa

Secara administratif Kelurahan Kalawa merupakan bagian dari Kecamatan Kahayan Hilir

Kabupaten Pulang Pisau. Kampung ini pada tahun 2006 berubah menjadi sebuah

kelurahan, yaitu kelurahan Kalawa. Dikarenakan wilayahnya terpisah dari ibukota Pulang

Pisau, yaitu berada di seberang sungai Kahayan dengan jarak tempuh ± 1 Km dari

ibukota Pulang Pisau, maka Kalawa sering disebut dengan Lewu atau kampung Kalawa.

Berdasarkan data dari kantor Kelurahan Kalawa tahun 2009,wilayah ini memiliki luas ±

129.500 hektare.

Disamping memiliki

wilayah yang cukup luas,

Kelurahan Kalawa juga

memiliki tingkat pertumbuhan

penduduk yang cukup padat

dibandingkan Kampung lain

disekitarnya. Berdasarkan data

tahun 2009 kelurahan kalawa

memiliki jumlah penduku

1.581 orang/jiwa yang terdiri

dari laki-laki sebanyak 792 jiwa

- perempuan 789 jiwa, dan

jumlah kepala keluarga sebanyak 424 KK. Sebagian masyarakat bermata pencaharian

Gambar   2:     Pertanian   masyarakat   dengan   konsep   handil   di  desa  kalawa  

9    

sebagai petani, yaitu berkebun karet dan berladang pada kawasan rawa gambut. Sisanya

adalah pedagang, nelayan dan pegawai negeri.

Kalawa sendiri masuk dalam wilayah kerja PLG yaitu:

1. Daerah Kerja B seluas 161.460 Ha yang dibatasi oleh Sungai Kahayan, Sungai

Kapuas, Anjir Basarang dan SPU

2. Daerah Kerja C seluas 568.635 Ha yang dibatasi oleh Sungai Kahayan, Sungai

Sabangau, SPU dan Laut Jawa

Dimana di daerah kerja tersebut masih terdapat kawasan hutan, dimana pada

tanggal 5 juni tahun 2005 dan bertepatan dengan hari lingkungan hidup sedunia, atas

inisiatif warga yang di dukung oleh Damang atau pimpinan adat di wilayah kecamatan di

sahkan menjadi hutan adat kalawa atau HAK melalui surat keputusan Damang Kepala

Adat Kahayan Hilir No.04/SK/DKA-KH/VI/2005 tentang Penetapan Kawasan Hutan

Adat Kalawa. Hutan ini berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan oleh masyarakat

seluas 10.875. Dari luas 10.875 hektar rencananya masyarakat akan membagi menjadi

dua kawasan hutan, yaitu; 1) Hutan Inti, merupakan kawasan pukung pahewa seluas

8.250 hektar dan 2) Hutan Penyangga seluas 2.625 hektar

Selain itu, di daerah kampong kalawa ini pula masih terdapat pola pengelolaan

wilayah gambut yang khas, yaitu Handil. Handil berasal dari kata anndeel, yaitu kata

dalam bahasa Belanda yang artinya gotong royong atau bekerja sama.

Handil adalah sebuah sungai (parit) untuk sistem pengairan pada daerah pasang

surut pada kawasan rawa gambut berbentuk yang digunakan untuk pengelolaan pertanian

dan perkebunan yang dilakukan kebanyakan masyarakat Kalimantan Tengah. Handil

merupakan konsep pengelolaan kawasan yang unik dimana pada awalnya adalah sebuah

sungai kecil (saka) yang dijadikan parit memanjang untuk mengatur arus sungai. Handil

dibuat menjorok masuk dari pinggir sungai sejauh 2-3 km dengan kedalaman 0,5-1,0 m

dan lebar 2-3 m. Pada sisi kiri dan kanan handil dijadikan masyarakat tempat untuk

dijadikan lokasi ladang, kebun karet, dan kebun buah. Di Kalawa sendiri sejak dari dulu

sudah terdapat beberapa handil yang saat ini masih di kelola oleh warga. Handil yang dari

dulu digunakan oleh warga adalah Handil Mahikei dan Handil Buluh. Dulunya kedua

handil ini adalah sebuah sungai kecil yang digunakan warag untuk jalur transportasi ke

10    

lokasi ladang, kebung karet, kebun panting dan menuju arah hutan untuk memungut hasil

hutan.

Setiap handil biasanya dipimpin oleh seorang kepala dengan sebutan kepala

handil. Peran penting dari kepala handil adalah mengkoordinir setiap kegiatan

pengaturan, pemeliharaan sungai dan handil. Selain itu juga adalah mengatur pembagian

lahan di kiri kanan handil. Oleh karena itu kepala handil sangat berperan dalam

pembagian lahan untuk masyarakat di kampong. Kepala handil dipilih oleh anggota

handil dengan sistem musyawarah bersama anggota handil.

Hal lain yang menjadi ciri khas dari pola handil ini adalah pola kepemilikan yang

sangat bersandar pada pemahaman adat dan pengetahuan bersama anggota handil. Oleh

karena itu pola kepemilikan lahan diatur berdasarkan pembagian lahan saat menjadi

anggota handil. Yang di tandai dengan adanya jenis tanaman seperti jenis karet,cempedak

atau durian. Begitu juga halnya kepemilikan kawasan yang terdapat pohon jelutung,

cukup ditandai dengan membersihkan sekitar pohon tersebut dan menyadap pohon

jelutung yang sudah diturunkan dari generasi sebelumnya.

b. Wilayah DAS Puning

Kawasan daerah aliran sungai (DAS) Puning, Kabupaten Barito Selatan (Kalteng),

seringkali disebut sebagai kawasan Ekosistem Air Hitam (EAH). Adapun kawasan

Ekosistem Air Hitam ini terletak di antara 1°45' LS dan 114°55' yang meliputi pula

wilayah aliran sungai Barito., beriklim tropis dengan 2 (dua) musim, yaitu Barat banyu

(penghujan) dan kemarau, memiliki topografi relatif datar dengan ketinggian 10 – 25 m

dari permukaan laut (dpl),

11    

 

Pola  Pemanfaatan  sumber  daya  alam  khusunya  rawa  gambut    dilakukan  dengan  mengunakan  alat-­‐alat  tradisioanal  oleh  masyarakat  di  DAS  Puning.  

Di daerah aliran Sungai Puning (anak S. Barito) terdapat 2 desa dan 2 dusun, yaitu

Dusun Muara Puning, Desa Batilap, Desa Batampang dan Dusun Simpang Telo.

Sebagian besar mata pencaharian utama dari peduduk didaerah ini adalah sebagai nelayan

ikan darat dan penebang kayu. Selain itu mereka juga memiliki mata pencaharian lain

yakni sebagai pemuar (pemanen madu lebah alam), serta menjual hasil hutan bukan kayu

lainnya, seperti getah kayu gembor garu ramin dan beberapa jenis rotan alas (hutan).

Desa Batilap sendiri memiliki penduduk sebanyak 819 jiwa atau kurang lebih

sekitar 238 KK. Dimana 90% dari jumlah penduduk tersebut merupakan pemanfaat

sumberdaya alam baik perikanan maupun sumberdaya alam dari hutan berupa kayu, rotan

dandan, gembor dan madu hutan. Untuk dapat mengelola wilayahnya, masyarakat desa

Batilap kemudian membentuk sebuah organisasi yaitu Organisasi Inggawi Sasamaan

(OIS). OIS Desa Batilap ini didirikan atas inisiatif masyarakat pada tanggal 27 pebruari

2001 yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi keluarga melalui usaha bersama

pengelolaan, pemanfaatan Sumberdaya Alam yang berkelanjutan dan mengutamakan

perlindungan Sumber Daya Alam. Salah satu upaya pertama yang mereka lakukan adalah

dengan melakukan pemetaan wilayah kelola desa, bekerja sama dengan Yayasan

Keanekaragaman Hayati (Kehati). Hasil dari pemetaan ini kemudian mereka tuangkan

12    

dalam peta desa yang membagi tata ruang kawasan desa. Adapun pembagian tata ruang

kawasan desa Batilap ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Masyarakat memiliki akses langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan

Sumberdaya Alam

2. Membantu pemerintah desa dalam perencanaan pembangunan di desa

3. Membantu penyusunan Tata Ruang Kabupaten secara detail

Adapun luas kawasan berdasarkan kesepakatan dan ditetapkan dalam sebuah peraturan

desa batilap tentang Tata Ruang desa di desa Batilap yakni:

Hutan kelola bersama 218,39 Ha

Hutan kelola cadangan 12,604,46 Ha

Hutan kelola terbatas 3,976,12 Ha

Hutan sumber pakan lebah (Nektar) 303,17 Ha

Rencana perkebunan karet 371,28 Ha

Hutan bekas terbakar 62,966 Ha

Kawasan beje 1,748,98 Ha

Pemukiman penduduk 8,42 Ha

Melalui organisasi OIS dan masih bekerja sama dengan Kehati, masyarakat desa

Batilap mengadakan sebuah program bersama yakni Program Rehabilitasi Ekosistem

dilahan bekas terbakar dan pengembangan Ekonomi Masyarakat Berbasis Potensi Alam.

Program ini merupakan alternatif untuk menciptakan usaha baru bagi masyarakat desa

Batilap yang terdiri dari berbagai kegiatan sebagai berikut:

1. Penanaman bibit karet lokal dikawasan hutan bekas terbakar sebanyak 30.000 pohon

yang tersebar di lokasi lahan bekas terbakar di Dusun Muara Puning dan Desa Batilap

oleh masing-masing anggota kelompok tani karet dengan luasan yang mencapai sekitar

97 ha.

2. Komoditi buah dan tanaman

3. pembuatan balai benih bibit trapung (damplot)

4. Pembuatan Beje (sumur ikan) yang merupakan tabungan disaat pada musim

kemarau. Sumur ikan ini tersebar di dua lokasi yakni Desa Batilap dan Dusun Muara

Puning sebanyak 97 buah.

13    

Apa yang terjadi di Kalawa maupun DAS Puning, terutama desa Batilap, merupakan

suatu potret keberhasilan dalam pengelolaan hutan, ekosistem, ekologi sekaligus

mengatasi masalah sosial yang mereka hadapi. Kalawa mengedepankan pengelolaan

Handil sebagai pengelolaan sumberdaya alam secara bersama. Handil sebagai

pengelolaan air pasang surut yang digunakan dalam pengelolaan pertanian dan

perkebunan. Kemudian disisi kiri dan kanan handil oleh masyarakat dijadikan sebagai

satu tempat untuk lokasi ladang, kebun karet dan kebun buah. Artinya yang menjadi

promosi sistem pengelolaan alam berdasarkan kearifan lokal masyarakat Kalawa secara

khusus suatu model yang sepatutnya dipromosikan dan dikembangkan di kawasan lain.

Dalam riset ini kita ingin melihat satu contoh sukses bagaimana masyarakat mengelola

kawasan hutan adatnya, dimana kawsan hutan adat itu selain ada fungsi-fungsi ekologi

dan ekosistem tetapi juga secara arif dan kosisten bisa memenuhi tata kosumsi

masyarakat. Sekiranya kalau model yang ada di Kalawa ini bisa dikembangkan menjadi

satu model di Kabupaten Pulang Pisau atau setidaknya di kawasan eks-PLG secara lebih

luas itu akan lebih bijak dan lebih arif dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat.

Sedangkan di DAS Puning, pengelolaan sumberdaya alam dilakukan dan ditentukan

bersama melalui organisasi masyarakat. Melalui organisasi, masyarakat mencoba menata

dan merencanakan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya berdasarkan apa yang

mampu mereka lakukan dan cocok dengan wilayah mereka. Lebih jauh, melalui

organisasi yang ada dan keterlibatan organisasi masyarakat sipil sebagai organisasi

penyokong menjadikan upaya pengelolaan sumberdaya lebih terencana dan terarah.

Catatan penting dari dua model diatas adalah, pengorganisasian rakyat yang baik

merupakan salah satu cara untuk mempertahankan penguasaan dan pengelolaan wilayah

mereka.

04. Kesimpulan Dengan luasan yang cukup besar atas wilayah PLG maka perlu dilakukan penataan

kembali wilayah eks-PLG yang lebih komprehensif. Hal ini perlu dilakukan untuk tidak

mengulangi lagi kesalahan yang sama sebagaimana yang dilakukan di masa lampau.

Perubahan orientasi pemerintah merupakan salah satu kunci yang penting dalam

perbaikan kehidupan masyarakat di wilayah eks-PLG. Sehingga beberapa prinsip

14    

dibawah ini diperlukan untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga. Prinsip-

prinsip tersebut adalah:

1. Seluruh upaya mengatasi perubahan iklim termasuk pengelolaan kawasan hutan rawa

gambut harus menjamin keselamatan manusia untuk hidup secara layak tanpa

menafikan hak asasi manusia yang melekat dalam individu dan dijamin dalam

deklarasi universal hak asasi manusia. Hak sebagai individu maupun komunitas yang

utuh dan bermartabat, bebas dari kekerasan, paksaan, penyingkiran, penyiksaan, dan

kematian harus dijamin dijadikan prinsip utama yang wajib ditegakkan dalam setiap

kebijakan dan upaya pengelolaan sumberdaya alam termasuk kawasan gambut.

2. Hak warga atas pembangunan, kehidupan yang layak, lingkungan yang sehat tidak

bisa dinafikan atas nama penyelamatan lingkungan global. Komunitas global dan

negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak ini tanpa kecuali

meskipun dalam kondisi krisis, harus ada konsep FPIC (Free, Prior, Inform Consent)

yang diterapkan dalam kebijakan pengelolaannya.

3. Penghormatan terhadap hak-hak warga lokal, minoritas, untuk menentukan nasib

sendiri. Pelibatan warga lokal secara penuh lewat proses yang tidak dibatasi waktu

yang ditetapkan ketentuan-ketentuan global adalah prinsip utama dalam partisipasi.

Proses perbaikan lingkungan yang menghormati, melindungi, dan memenuhi hak

asasi warga adalah prinsip yang patut dipenuhi.

Sehubungan dengan itu berdasarkan hasil riset ini, kiranya Walhi Kalteng dapat

mempromosikan dan merekomendasikan beberapa hal dibawah ini:

I. Dalam Hal Kebijakan.

Sebelum mengeluarkan kebijakan baru untuk penguasaan dan pengelolaan di wilayah

seharusnya pemerintah daerah menata ulang penguasaan dan pengelolaan wilayah eks-

PLG. Proses penataan ulang wilayah ini dapat dilakukan berdasarkan hasil pemetaan

yang dilakukan oleh masyarakat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh masyarakat desa

Batilap. Dengan terlebih dahulu mengetahui wilayah kuasa dan kelola masyarakat maka

akan mudah bagi pemerintah untuk menentukan wilayah mana yang cocok dalam

peruntukannya. Pemetaan yang dilakukan oleh masyarakat ini kemudian disahkan oleh

15    

pemerintah sebagai bagian dari peta wilayah dan tata ruang di wilayah eks-PLG. Hal

yang tak kalah penting dari hasil pemetaan ini adalah memberi kepastian hukum dan

politik bagi masyarakat atas wilayah kuasa dan kelola mereka. Dengan adanya kepastian

hukum dan politik ini maka dengan sendirinya akan menghindarkan terjadinya konflik

kepentingan. Sebagai catatan tambahan, dalam laporan final Masterplan eks-PLG

dinyatakan bahwa konflik kepentingan tersebut, yang lebih jelasnya ditampilkan dalam

peta overlay masterplan, perlu diselesaikan apabila revitalisasi dan rehabilitasi wilayah

eks-PLG hendak dilakukan. Oleh karena itu dengan sendirinya, perlu dihentikan

dikeluarkannya ijin lokasi baik untuk perkebunan sawit maupun pertambangan. Hal ini

diperlukan untuk menghindari munculnya konflik baru, manakala upaya penataan

kembali penguasaan dan pengelolaan wilayah eks-PLG belum selesai.

Hal lain yang layak diperhatikan adalah dengan memperkuat kembali peran serta

masyarakat lokal seperti Damang, Mantir, kepala Handil, kepala Padang dalam

pengelolaan kawasan secara tradisional. Upaya ini perlu dilakukan guna mempertegas

kembali pengelolaan kawasan masyarakat lokal dengan mensinergiskan peran serta

pemerintah atau pihak lain guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dalam

menghadapi keberlanjutan ketahanan pangan masyarakat dimasa yang akan datang.

Tumpang tindih peruntukan hanya dapat menimbulkan masalah baru bagi masyarakat

karena masyarakat bersentuhan langsung dengan semua usulan proyek atau kegiatan

II. Dalam hal Konservasi.

Lahan Gambut yang terbuka oleh Proyek Lahan Gambut 1 juta Ha, dapat di hutankan

kembali. Dan hasilnya menjadi sebuah sentra produksi kayu yang dikelola oleh desa. Hal

ini dapat menjadi pilihan mengingat masih adanya inisiatif dari masyarakat untuk

menanami kembali lahan yang telah terbakar baik dengan bibit karet, sengon, gemur,

pantung dan lainnya. Penanaman tanaman keras tersebut diselingi dengan tanaman pisang

dan nanas sebagai pelindung kebakaran. Hasil kayu nantinya dikelola masyarakat sendiri

dalam bentuk koperasi produksi dalam bidang perkayuan. Selain itu, penghutanan

kembali dapat menjadi salah satu cara menghadapi banjir dengan kandungan air yang

dapat di resapkan di hutan.

Pilihan pengelolaan konservasi yang dilakukan oleh lembaga internasional masih menjadi

ancaman yang serius dimasyarakat yang dapat memungkinkan timbulnya konflik

16    

horizontal dikemudian hari. Oleh karena itu pilihan konservasi berdasarkan pengetahuan

masyarakat setidaknya lebih dikedepankan untuk menghindari hal tersebut.

III. Dalam hal pengembangan ekonomi masyarakat. Berikut ini adalah beberapa pola

pengembangan ekonomi yang masih dapat dilakukan oleh masyarakat, yang pada akhirnya

dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pola pengembangan tersebut adalah sebagai

berikut:

a. Perikanan, Beje’ dapat menjadi salah satu potensi dengan beberapa pra kondisi.

Pemilihan lokasi yang relatif aman dari banjir dan pemasangan jaring tinggi di

sekeliling Beje’.

b. Karet juga dapat menjadi salah satu pilihan dimana pengelolaan dilakukan oleh

masyarakat sendiri. Fasilitasi dalam hal pembibitan, penanaman dan jaringan

pemasaran dapat dilakukan oleh lembaga yang dipilih oleh masyarakat maupun oleh

pemerintah sendiri.

c. Penanaman Pisang dan Nanas selain upaya pencegahan kebakaran nyatanya

memberikan hasil produksi yang besar. Pola-pola jenis tanaman tersebut dapat

digunakan sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi kebakaran lahan di Eks-

PLG. Hal ini terbukti dapat dilakukan diwilayah Kapuas. Selain itu jenis tanaman

tersebut dapat pula menjadi pilihan lain bagi masyakat untuk memperoleh

penghasilan lain. Namun demikian nampaknya keterlibatan pemerintah perlu

dipertimbakan terutama untuk membantu dalam hal jaringan pemasaran.

17    

Appendix 1. Pola Pemanfaatan Lahan Daerah Kalawa

a. Sungai (Sungai)

Sungai merupakan urat nadi kehidupan bagi masyarakat yang hidup dan tinggal sungai

kahayan. Sungai juga merupakan jalur transportasi antar desa yang memang kebanyakan

berada di pinggir sungai. Selain sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan hidup rumah

tangga seperti mandi, cuci dan kakus (MCK), sungai kahayan juga dimanfaatkan untuk

menambah penghasilan ekonomi seperti menangkap berbagai jenis ikan dengan

menggunakan alat tradisional seperti rengge,lunta,satawan,buwu dan pancing (pisi).

Untuk keperluan air minum dan memasak [air bersih] biasanya masyarakat mengambil

dari air sumur yang dicampur tawas untuk membersihkan air sumur tersebut. Sebagian

warga lainnya dengan menggunakan air sedot dari dalam tanah.

b. Lewu atau Kampong (Desa)

Lewu atau desa atau kampong adalah sebuah wilayah atau tempat berkumpul komunitas

masyarakat untuk dapat lebih memudahkan interaksi antar keluarga dan kerabat. Di lewu

inilah sistem pemerintahan berjalan dengan membawahi beberapa Rukun Tetangga (RT).

Untuk kampong kalawa system pemerintahan dipimpin oleh seorang Kepala Lurah dan

desa pilang dipimpin oleh pambakal atau kepala desa yang di bantu oleh perangkatnya

(Sekdes dan BPD). Lewu atau kampong juga mempunyai batasan wilayah yang di atur

oleh kebijakan pemerintah.

c. Himba (hutan)

Hutan di sini merupakan sebuah kawasan yang mana mereka gunakan untuk berbagai

aktivitas diantaranya adalah untuk berburu,memungut hasil hutan seperti misalnya

beberapa jenis rotan dan getah,tumbuhan obat-obatan dan menggunakan beberapa jenis

kayu untuk keperluan rumah.

d. Kalehkak (Bekas Kampung)

Kalehkak adalah bekas pemukiman yang sudah lama di tinggalkan dan masih di kelola

secara baik. Biasanya kalehkak di gunakan masyarakat untuk mengambil berbagai jenis

rotan, tengkawang, karet dan buah-buahan lainnya seperti durian, cempedak. Kalehkak

bagi masyarakat terbagi dalam dua bagian, yaitu kalehkak lewu dan kalehkak dukuh.

18    

a. Kalehkak lewu adalah bekas pemukiman (kampong atau desa) yang

dimanfaatkan dan dimiliki secara komunal oleh keturunan dari komunitas

kampongn tersebut.

b. Sedangkan kalehkak dukuh adalah bekas bermukim sementara dimana masih

dimanfaatkan dan dikelola kawasannya.

e. Pukung Pahewan

Pahewan adalah sebuah kawasan hutan dimana kawasan ini merupakan kawasan tempat

roh-roh gaib tinggal. Menurut masyarakat setempat kawasan ini merupakan daerah yang

tidak boleh di ganggu atau di rusak keberadaannya. Di lokasi pahewan ini biasanya

terdapat patung dan rumah-rumahan tempat untuk memberikan sajian kepada roh-roh

yang tinggal di Tojahan tersebut. Biasanya sebagian masyarakat apabila menghajatkan

sesuatu dan hajat tersebut terkabul maka mereka akan membayar hajat ke lokasi pahewan

tersebut. Pahewan merupakan sebuah kawasan hutan yang dimiliki secara komunal oleh

masyarakat dayak yang keberadaannya dilindungi dan dimanfaatkan dengan berdasarkan

aturan hukum adat yang berlaku di kampong. Penyebutan hutan menjadi pahewan,

tajahan atau himba Keramat biasanya dipengaruhi oleh dua hal yaitu, pertama, mimpi

yang dialami oleh masyarakat banyak, yang bersifat peringatan/pemberitahuan dan

dialami oleh orang banyak; kedua, karena kejadian-kejadian aneh yang dialami oleh

masyarakat pada wilayah tersebut. Kawasan hutan lainnya pun dapat menjadi himba

keramat apabila terdapat pertanda pada kawasan tersebut seperti disebutkan diatas.

Dalam masa-masa mendatang kemungkinan besar himba keramat dapat bertambah luas

jika terdapat tanda-tanda tersebut.

f. Napu (Rawa)

Napu adalah sebuah wilayah yang mempunyai dataran tanah agak rendah dan berair

(rawa). Pada lokasi ini biasanya mempunyai tingkat keasaman yang lebih dan bagi

masyarakat biasanya di gunakan untuk lokasi persawahan padi. Selain itu biasanya

masyarakat memanfaatkan lahan pada daerah rawa ini adalah dengan membuat beje atau

kolam tradisional. Dan jenis tanaman yang banyak terdapat pada daerah rawa ini adalah

tanaman purun yang digunakan masyarakat untuk membuat tikar (tikar purun).

g. Huma atau Tana (Ladang)

19    

Ladang adalah sebuah lokasi tempat masyarakat menanam berbagai jenis padi. Jenis padi

yang di tanam yaitu padi gunung yang biasanya hanya satu kali musim/satu musim

tanam. Dalam berladang juga adalah merupakan sebuah tahap awal masyarakat dalam

membuka kebun (kabun) apabila di lokasi ladang tersebut subur. Untuk menunggu hasil

panen tiba,biasanya masyarakat menanam berbagai jenis sayur untuk kebutuhan sehari-

hari. Dan setelah selesai panen biasanya di tanamami lagi dengan karet atau berbagai

jenis buah-buahan seperti durian, cempedak. Akhir dari proses berladang dan kemudian

menjadi tana adalah melakukan usaha kebun dari bekas areal ladang yang sudah ditanami

padi. Biasanya pada kebun ini terbagi menjadi dua sebutan. Pertama adalah Kabun Bua

yaitu kebun yang ditanami jenis tanaman buah-buahan (nangka, rambutan, pinang,

durian). Sedangkan yang kedua adalah Kabun gita atau kabun uwei (kebun karet atau

rotan) yang mempunyai jenis tanaman khusus yaitu pohon karet atau rotan. Proses

berladang apabila di tanami dengan berbagai pohon yang produktif adalah sebagai tanda

kepemilikan dari orang yang membuka ladang tersebut. Proses ini harus menjadikan

lahan tersebut sebagai kebun dikemudian hari.

h. Kabun Kalakah (Kebun)

Kebun adalah sebuah areal dimana terdapat kumpulan berbagai jenis pohon yang

digunakan warga sebagai mata pencaharian atau tambahan kebutuhan pangan. Biasanya

pada kebun ini terbagi menjadi dua sebutan yaitu,pertama adalah Kabun Bua yaitu kebun

campuran yang ditanami berbagai jenis tanaman buah-buahan seperti nangka, rambutan,

pinang, durian,dll. Dan yang kedua adalah Kabun gita atau kabun uwei yang mempunyai

jenis tanaman khusus yaitu pohon karet atau rotan.

i. Bahu Taya (Semak)

Adalah semak belukar yang diperkirakan sudah berumur di atas dari 15 tahun. Atau

semak belukar yang akan menjadi hutan. Semak belukar ini bisa juga bekas lahan

berladng masyarakat yang sudah ditumbuhi oleh pohon-pohon perdu seperti karamunting,

alang-alang dan rumput-rumput liar. Lahan ini masih bisa dijadikan ladang, walaupun

tidak sesubur pada ladang yang baru dengan membuka hutan (gilir balik). Hal ini karena

tingkat kesuburannya rendah dari unsur hara yang terserap oleh tanaman padi selama

proses peladangan sebelumnya.

20    

Appendix 2. Peta Pemanfaatan Lahan Desa Batilap