KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Aliran Psikologi Kognitif” tepat pada
waktunya.Makalah ini merupakan tugas mata kuliah
“Strategi Belajar Mengajar Matematika”. Makalah ini
merupakan inovasi pembelajaran untuk memahami dan
mengetahui bagaimanakah sebenarnya aliran-aliran
psikologi kognitif tersebut menurut beberapa tokoh ahli.
Semoga makalah ini dapat berguna untuk para pembaca pada
umumnya dan untuk penulis pada khususnya.
Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen mata
kuliah Strategi Belajar Mengajar Matematika atas
bimbingan dan pengarahannya selama penyusunan makalah
ini serta pihak-pihak yang telah membantu.
Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kami sangat membutuhkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun dan pada
intinya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan agar
dimasa yang akan datang lebih baik lagi.
Banjarmasin, 21 September
2014
1
Kelompok 7
DAFTAR ISIKATA PENGANTAR.....................................................1BAB I. PENDAHULUAN.................................................2
1.1 Latar Belakang.............................................21.2 Rumusan Masalah............................................4
1.3 Tujuan Masalah.............................................4BAB II. PEMBAHASAN.................................................4
2.1 Definisi Psikologi Kognitif.................................42.2 Teori Piaget................................................6
2.3 Teori Bruner...............................................142.4 Teori Gestalt..............................................16
2.5 Teori Brownell............................................212.6 Teori Dienes...............................................25
2.7 Teori Van Hiele............................................26BAB III. PENUTUP..................................................29
3.1 Kesimpulan.................................................293.2 Saran......................................................30
DAFTAR PUSTAKA....................................................31
2
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangDitinjau dari asal katanya, psikologi berasal dari
kata psyche yang berarti jiwa, dan Ligos yang berarti ilmu.
Jadi secara istilah, psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu
yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Tetapi
dalam sejarah perkembangannya, kemudian arti psikologi
menjadi ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Ini di
sebabkan karena jiwa yang mengandung arti yang abstrak itu
sukar untuk di pelajari secara objektif. Kecuali itu,
keadaan jiwa seseorang melatar belakangi timbulnya hampir
setiap tingkah laku. Beragamnya pendapat para ahli
psikologi tentang pengertian dari psikologi, sehingga bisa
di simpulkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari tingkah laku dan perbuatan individu dimana
individu tersebut tidak dapat di lepaskan dari
lingkungannya.
Pada zaman sebelum masehi, psikologi sudah dipelajari
orang dan banyak di hubungkan dengan filsafat. Para ahli
3
filsafat pada waktu itu sudah membicarakan tentang aspek-
aspek kejiwaan manusia.
Dalam penulisan makalah ini kami akan membahas tentang
Psikologi Kognitif beserta aliran-aliran Psikologi Kognitif
menurut beberapa ahli. Aliran kognitif berjalan dengan baik
dan sekarang ini diterapkan seperti pada kurikulum berbasis
tujuan pendidikan yang mana didalamnya mempunyai aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Jadi siswa di tuntut
untuk aktif di dalam kelas ini merujuk pada pembelajaran
menurut aliran kognitif yang menjadikan siswa dapat aktif
di dalam proses pembelajaran karena di dalam
pembelajarannya guru hanya sebagai fasilitator, sedangkan
siswa di sini tidak menjadi objek pembelajaran akan tetapi
siswa sebagai subjek dari pembelajaran. Pembahasan ini
sangat penting karena mengingat proses belajar yang terjadi
didalam kelas berlangsung dalam proses komunikasi yang
berisi pesan-pesan yang berkaitan dengan fakta, konsep,
prinsip dan keterampilan yang sering digunakan dalam
sehari-hari. Proses pembelajaran dituntut untuk secara
aktif berpartisipasi. Keaktifan berpartisipasi ini
memberikan kesempatan yang luas mengembangkan potensi,
bakat yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Teori belajar
kognitif menekankan pada cara – cara seseorang menggunakan
pikirannya untuk belajar, mengingat, dan menggunakan
pengetahuan yang telah di peroleh dan disimpan dalam
pikiranya secara efektif. Psikologi kognitif menyatakan
bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang
berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada
4
dirinya sendiri. Berdasarkan pada pandangan tersebut teori
belajar psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses
perfungsian kognisi, terutama unsur pikiran, dengan kata
lain bahwa aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan
pada proses internal dalam pikiran yakni proses pengolahan
informasi. Teori belajar kognitif lebih menekankan pada
belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal
pikiran manusia.
1.2 Rumusan Masalah1. Apakah yang dimaksud dengan Psikologi Kognitif?
2. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Piaget?
3. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Bruner?
4. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Gestalt?
5. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Brownell?
6. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Dienes?
7. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Van
Hiele?
1.3 Tujuan Masalah1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Psikologi
Kognitif.
2. Untuk mengetahui pandangan Piaget mengenai Psikologi
Kognitif.
3. Untuk mengetahui pandangan Bruner mengenai Psikologi
Kognitif.
4. Untuk mengetahui pandangan Gestalt mengenai
Psikologi Kognitif.
5. Untuk mengetahui pandangan Brownell mengenai
Psikologi Kognitif.
5
6. Untuk mengetahui pandangan Dienes mengenai Psikologi
Kognitif.
7. Untuk mengetahui pandangan Van Hiele mengenai
Psikologi Kognitif.
\
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Definisi Psikologi KognitifPsikologi Kognitif merupakan salah satu cabang dari
psikologi umum yang mencakup studi ilmiah tentang gejala-
gejala kehidupan mental atau psikis yang berkaitan dengan
cara manusia berpikir, seperti dalam memperoleh
pengetahuan, mengolah kesan yang masuk melalui
penginderaan, menghadapi masalah atau problem untuk
mencari suatu penyelesaian, serta menggali dari ingatan
pengetahuan dan prosedur kerja yang dibutuhkan dalam
menghadapi tuntutan hidup sehari-hari.
Cabang ilmu psikologi ini khusus mempelajari gejala-
gejala mental yang bersifat kognitif dan terkait dengan6
proses belajar mengajar di sekolah, yang memiliki hubungan
erat dengan psikologi belajar, psikologi pendidikan dan
psikologi pengajaran. Pengetahuan dan pemahaman tentang
proses belajar tidak hanya menerangkan mengapa siswa
berhasil dalam proses balajar, tetapi juga membantu untuk
mencegah terjadinya penyimpangan dalam proses itu dan
sekali terjadi kesalahan selama periode belajar, untuk
mengoreksinya.
Kehidupan mental atau psikis mencakup gejala-gejala
kognitif, efektif, konatif sampai pada taraf psikomotis,
baik dalam berhadapan dengan diri sendiri maupun dengan
orang lain. Gejala-gejala mental-psikis ini dapat
dibedakan dengan yang lain dan dijadikan objek studi
ilmiah sendiri-sendiri, tetapi tidak pernah dapat
dipisahkan secara total yang satu dari yang lainnya. Oleh
karena itu, psikologi kognitif tidak hanya menggali dasar-
dasar dari gejala yang khas kognitif, tetapi juga meninjau
aspek kognitif dalam gejala mental yang lain, seperti apa
penafsiran dan pertimbangan yang menyertai reaksi perasaan
(afektif) dan keputusan kehendak (konatif). Siswa
disekolah berperasaan sambil belajar dan berkehendak serta
bermotivasi sambil belajar, dapat diselidiki dengan cara
bagaimana berpikir dalam berbagai wujudnya ikut megnambil
bagian dalam berperasaan dan berkehendak. Namun, dalam
bagian ini tekanan diberikan pada analisis tentang cara
berpikir itu sendiri karena perilaku internal inilah yang
paling mendasar dalam belajar di sekolah.
7
Seiring dengan berkembangnya psikologi kognitif, maka
berkembang pula cara-cara mengevaluasi pencapaian hasil
belajar, terutama untuk domain kognitif. Salah satu
perkembangan yang menarik ádalah revisi “Taksonomi Bloom“
tentang dimensi kognitif. Anderson & Krathwohl (dalam wowo
1999) merevisi taksonomi Bloom tentang aspek kognitif
menjadi dua dimensi, yaitu: proses kognitif dan
pengetahuan. Dimensi pengetahuan berisi empat kategori,
yaitu Faktual, Konseptual, Prosedural, dan Metakognitif,
Dimensi proses kognitif terdiri dari Mengingat,
Pemahaman, Penerapan, Analisis, Evaluasi dan Membuat.
Kesinambungan yang mendasari dimensi proses kognitif
diasumsikan sebagai kompleksitas dalam kognitif, yaitu
pemahaman dipercaya lebih kompleks lagi daripada
mengingat, penerapan dipercaya lebih kompleks lagi
daripada pemahaman, dan seterusnya.
2.2 Teori PiagetTeori perkembangan kognitif Piaget adalah salah satu
teori yang menjelaskan bagaimana anak beradaptasi dan
menginterpretasikan objek dan kejadian-kejadian sekitarnya.
Bagaimana anak mempelajari ciri-ciri dan fungsi dari objek-
objek seperti mainan, perabot, dan makanan serta objek-
objek sosial seperti diri, orangtua dan teman. Bagaimana
cara anak mengelompokan objek-objek untuk mengetahui
persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaannya, untuk
memahami penyebab terjadinya perubahan dalam objek-objek
dan perisiwa-peristiwa dan untuk membentuk perkiraan
8
tentang objek dan peristiwa tersebut. Piaget memandang
bahwa anak memainkan peran aktif dalam menyusun
pengetahuannya mengenai realitas. Anak tidak pasif menerima
informasi. Walaupun proses berpikir dalam konsepsi anak
mengenai realitas telah dimodifikasi oleh pengalaman dengan
dunia sekitarnya, namun anak juga berperan aktif dalam
menginterpretasikan informasi yang ia peroleh melalui
pengalaman, serta dalam mengadaptasikannya pada pengetahuan
dan konsepsi mengenai dunia yang telah ia punya.
Piaget percaya bahwa pemikiran anak-anak berkembang
menurut tahap-tahap atau periode-periode yang terus
bertambah kompleks (Desmita, 2013 : 104). Menurut teori
tahapan Piaget, setiap individu akan melewati serangkaian
perubahan kualitatif yang bersifat invariant, selalu tetap,
tidak melompat atau mundur. Perubahan kualitatif ini
terjadi karena tekanan biologis untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan serta adanya pengorganisasian struktur
berpikir. Sebagai seorang yang memperoleh pendidikan dasar
dalam bidang eksakta, yaitu biologis, maka pendekatan dan
uraian dari teorinya terpengaruh aspek biologi.
Teori Piaget merupakan akar revolusi kognitif saat ini
yang menekankan pada proses mental (Kompasiana, edisi 12
Maret 2011) . Piaget mengambil perspektif organismik, yang
memandang perkembangan kognitif sebagai produk usaha anak
untuk memahami dan bertindak dalam dunia mereka. Menurut
Piaget, bahwa perkembangan kognitif dimulai dengan
kemampuan bawaan untuk beradaptasi dengan lingkungan.
Dengan kemampuan bawaan yang bersifat biologis itu, Piaget
9
mengamati bayi-bayi mewarisi refleks-refleks seperti
refleks menghisap. Refleks ini sangat penting dalam bulan-
bulan pertama kehidupan mereka, namun semakin berkurang
signifikansinya pada perkembangan selanjutnya.
Pertumbuhan atau perkembangan kognitif terjadi melalui tiga proses
yang saling berhubungan, yaitu:
a) Organisasi
Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk
mengintegrasikan pengetahuan kedalam sistem-sistem.
Dengan kata lain, organisasi adalah sistem pengetahuan
atau cara berpikir yang disertai dengan pencitraan
realitas yang semakin akurat.
Contoh: anak laki-laki yang baru berumur 4 bulan
mampu untuk menatap dan menggenggam objek. Setelah itu
dia berusaha mengkombunasikan dua kegiatan ini (menatap
dan menggenggam) dengan menggenggam objek-objek yang
dilihatnya.
Dalam sistem kognitif, organisasi memiliki
kecenderungan untuk membuat struktur kognitif menjadi
semakin kompleks. Struktur-struktur kognitif disebut
skema. Skema adalah pola prilaku terorganisir yang
digunakan seseorang untuk memikirkan dan melakukan
tindakan dalam situasi tertentu. Contoh: gerakan refleks
menyedot pada bayi yaitu gerakan otot pada pipi dan
bibir yang menimbulkan gerakan menarik.
b) Adaptasi
Merupakan cara anak untuk memperlakukan informasi
baru dengan mempertimbangkan apa yang telah mereka
10
ketahui. Adaptasi ini dilakukan dengan dua langkah yaitu
sebagai berikut:
Asimilasi
Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk
merujuk pada peleburan informasi baru kedalam struktur
kognitif yang sudah ada. Seorang individu dikatakan
melakukan proses adaptasi melalui asimilasi, jika
individu tersebut menggabungkan informasi baru yag dia
terima kedalam pengetahuan mereka yang telah ada.
Contoh asimilasi kognitif: seorang anak yang
diperlihatkan segi tiga sama sisi, kemudian setelah itu
diperlihatkan segitiga yang lain yaitu siku-siku.
Asimilasi terjadi jika si anak menjawab bahwa segitiga
siku-siku yang diperlihatkan adalah segitiga sama sisi.
Akomodasi
Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk
merujuk pada perubahan yang terjadi pada sebuah
struktur kognitif dalam rangka menampung informasi
baru. Jadi, dikatakan akomodasi jika individu
menyesuaikan diri dengan informasi baru. Melalui
akomodasi ini, struktur kognitif yang sudah ada dalam
diri seseorang mengalami perubahan sesuai dengan
rangsangan-rangsangan dari objeknya. Contoh: si anak
bisa menjawab segitiga siku-siku pada segitiga yang
diperlihatkan kedua.
Ekuilibrasi
Yaitu istilah yang merujuk pada kecenderungan untuk
mencari keseimbangan pada elemen-elemen kognisi.
11
Ekuilibrasi diartikan sebagai kemampuan yang mengatur
dalam diri individu agar ia mampu mempertahankan
keseimbangan dan menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya. Agar terjadi ekuilibrasi antara diri
dengan lingkungan, maka peristiwa asimilasi dan
akomodasi harus terjadi secara terpadu, bersama-sama
dan komplementer. Contoh: bayi yang biasanya mendapat
susu dari payudara ibu ataupun botol, kemudian diberi
susu dengan gelas tertutup (untuk latihan minum dari
gelas). Ketika bayi menemukan bahwa menyedot air gelas
membutuhkan gerakan mulut dan lidah yang berbeda dari
yang biasa dilakukannya saat menyusu dari ibunya, maka
si bayi akan mengakomodasi hal itu dengan akomodasi
skema lama. Dengan melakukan hal itu, maka si bayi
telah melakukan adaptasi terhadap skema menghisap yang
ia miliki dalam situasi baru yaitu gelas. Dengan
demikian asimilasi dan akomodasi bekerjasama untuk
menghasilkan ekuilibrium dan pertumbuhan.
Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif Menurut Piaget,
pikiran anak-anak dibentuk bukan oleh ajaran orang
dewasa atau pengaruh lingkungan lainnya. Anak-anak
memang harus berinteraksi dengan lingkungan untuk
berkembang, namun merekalah yang membangun struktur-
struktur kognitif baru dalam dirinya. Piaget juga yakin
bahwa individu melalui empat tahap dalam memahami
dunia. Masing-masing tahap terkait dengan usia dan
terdiri dari cara berpikir yang khas/berbeda.
12
Tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget adalah sebagai berikut
:
Tahap Sensori k Motor ik
Tahap ini merupakan tahap pertama. Tahap ini dimulai
sejak lahir sampai usia 2 tahun. Pada tahap ini, bayi
membangun suatu pemahaman tentang dunia dengan
mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensor (seperti
melihat dan mendengar) dengan tindakan-tindakan fisik.
Dengan berfungsinya alat-alat indera serta kemampuan-
kemampuan melakukan gerak motorik dalam bentuk refleks
ini, maka seorang bayi berada dalam keadaan siap untuk
mengadakan hubungan dengan dunianya.
Piaget membagi tahap sensorik motorik ini kedalam 6
periode (Desmita, 2013 : 105), yaitu:
Periode 1: Penggunaan Refleks-Refleks (Usia 0-1
bulan)
Refleks yang paling jelas pada periode ini adalah
refleks menghisap (bayi otomatis menghisap kapanpun
bibir mereka disentuh) dan refleks mengarahkan kepala
pada sumber rangsangan secara lebih tepat dan terarah.
Misalnya jika pipi kanannya disentuh, maka ia akan
menggerakkan kepala kearah kanan.
Periode 2: Reaksi Sirkuler Primer (Usia 1-4 bulan)
13
Reaksi ini terjadi ketika bayi menghadapi sebuah
pengalaman baru dan berusaha mengulanginya. Contoh:
menghisap jempol.
Pada contoh menghisap jempol, bayi mulai
mengkoordinasikan 1). Gerakan motorik dari tangannya
dan 2). Penggunaan fungsi penglihatan untuk melihat
jempol.
Periode 3: Reaksi Sirkuler sekunder (Usia 4-10
bulan)
Reaksi sirkuler primer terjadi karena melibatkan
koordinasi bagian-bagian tubuh bayi sendiri, sedangkan
reaksi sirkuler sekunder terjadi ketika bayi menemukan
dan menghasilkan kembali peristiwa menarik diluar
dirinya.
Periode 4: Koordinasi skema-skema skunder (Usia 10-
12 bulan)
Pada periode ini bayi belajar untuk
mengkoordinasikan dua skema terpisah untuk mendapatkan
hasil. Contoh: suatu hari Laurent (anak Piaget) ingin
memeluk kotak mainan, namun Piaget menaruh tangannya
ditengah jala. Pada awalnya Laurent mengabaikan tangan
ayahnya. Dia berusaha menerobos atau berputar
mengelilinginya tanpa menggeser tangan ayahnya. Ketika
Piaget tetap menaruh tangannya untuk menghalangi
anaknya, Laurent terpaksa memukul kotak mainan itu
sambil melambaikan tangan, mengguncang tubuhnya sendiri
dan mengibaskan kepalanya dari satu sisi ke sisi lain.
Akhirnya setelah beberapa hari mencoba, Laurent
14
berhasil menggerakkan perintang dengan mengibaskan
tangan ayahnya dari jalan sebelum memeluk kotak mainan.
Dalam kasus ini, Laurent berhasil mengkoordinasikan dua
skema terpisah yaitu: 1). Mengibaskan perintang 2).
Memeluk kotak mainan.
Periode 5: Reaksi Sirkuler Tersier (Usia 12-18
bulan)
Pada periode 4, bayi memisahkan dua tindakan untuk
mencapai satu hasil tunggal. Pada periode 5 ini bayi
bereksperimen dengan tindakan-tindakan yang berbeda
untuk mengamati hasil yang berbeda-beda. Contoh: Suatu
hari Laurent tertarik dengan meja yang baru dibeli
Piaget. Dia memukulnya dengan telapak tangannya
beberapa kali. Kadang keras dan kadang lembut untuk
mendengarkan perbedaan bunyi yang dihasilkan oleh
tindakannya.
Periode 6: Permulaan Berpikir (Usia 18-24 bulan)
Pada periode 5 semua temuan-temuan bayi terjadi
lewat tindakan fisik, pada periode 6 bayi kelihatannya
mulai memikirkan situasi secara lebih internal sebelum
pada akhirnya bertindak. Jadi, pada periode ini anak
mulai bisa berpikir.dalam mencapai lingkungan, pada
periode ini anak sudah mulai dapat menentukan cara-cara
baru yang tidak hanya berdasarkan rabaan fisis dan
internal, tetapi juga dengan koordinasi internal dalam
gambaran atau pemikirannya.
Tahap Pemikiran Pra-Operasional
15
Tahap ini berada pada rentang usia antara 2-7 tahun.
Pada tahap ini anak mulai melukiskan dunia dengan kata-
kata dan gambar-gambar atau simbol. Menurut Piaget,
walaupun anak-anak prasekolah dapat secara simbolis
melukiskan dunia, namun mereka masih belum mampu untuk
melaksanakan “ Operation (operasi) ”, yaitu tindakan
mental yang diinternalisasikan yang memungkinkan anak-
anak melakukan secara mental yang sebelumnya dilakukan
secara fisik. Perbedaan tahap ini dengan tahap
sebelumnya adalah “ kemampuan anak mempergunakan
simbol” (Desmita, 2013 : 130 ). Penggunaan simbol bagi
anak pada tahap ini tampak dalam lima gejala berikut:
Imitasi tidak langsung
Anak mulai dapat menggambarkan sesuatu hal yang
dialami atau dilihat, yang sekarang bendanya sudah
tidak ada lagi. Jadi pemikiran anak sudah tidak
dibatasi waktu sekarang dan tidak pula dibatasi oleh
tindakan-tindakan indrawi sekarang. Contoh: anak dapat
bermain kue-kuean sendiri atau bermain pasar-pasaran.
Ini adalah hasil imitasi.
Permainan Simbolis
Sifat permainan simbolis ini juga imitatif, yaitu
anak mencoba meniru kejadian yang pernah dialami.
Contoh: anak perempuan yang bermain dengan bonekanya,
seakan-akan bonekanya adalah adiknya.
Menggambar
Pada tahap ini merupakan jembatan antara permainan
simbolis dengan gambaran mental. Unsur pada permainan
16
simbolis terletak pada segi “kesenangan” pada diri anak
yang sedang menggambar. Sedangkan unsur gambaran
mentalnya terletak pada “usaha anak untuk memulai
meniru sesuatu yang riil”. Contoh: anak mulai
menggambar sesuatu dengan pensil atau alat tulis
lainnya.
Gambaran Mental
Merupakan penggambaran secara pikiran suatu objek
atau pengalaman yang lampau. Gambaran mental anak pada
tahap ini kebanyakan statis. Anak masih mempunyai
kesalahan yang sistematis dalam mengambarkan kembali
gerakan atau transformasi yang ia amati. Contoh yang
digunakan Piaget adalah deretan lima kelereng putih dan
hitam.
Bahasa Ucapan
Anak menggunakan suara atau bahasa sebagai
representasi benda atau kejadian. Melalui bahasa anak
dapat berkomunikasi dengan orang lain tentang peristiwa
kepada orang lain.
Tahap Operasi berpikir Kongkret
Tahap ini berada pada rentang usia 7-11 tahun.tahap
ini dicirikan dengan perkembangan sistem pemikiran yang
didasarkan pada aturan-aturan yang logis. Anak sudah
mengembangkan operasi logis. Proses-proses penting
selama tahapan ini adalah:
Pengurutan
Yaitu kemampuan untuk mengurutkan objek menurut
17
ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila
diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat
mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang
paling kecil.
Klasifikasi
Kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi
serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau
karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian
benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam
rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki
keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa
semua benda hidup dan berperasaan).
Decentering
Anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari
suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai
contoh anak tidak akan lagi menganggap gelas lebar tapi
pendek lebih sedikit isinya dibanding gelas kecil yang
tinggi.
Reversibility
Anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda
dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk
itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama
dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
Konservasi
Memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah
benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan
atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut.
Sebagai contoh, bila anak diberi gelas yang seukuran
18
dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air
dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di
gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi gelas lain.
Penghilangan sifat Egosentrisme
Kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang
orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan
cara yang salah). Sebagai contoh, Lala menyimpan boneka
di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian
Baim memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu
baru Lala kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi
kongkrit akan mengatakan bahwa Lala akan tetap
menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu
tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci
oleh Baim.
Tahap Operasi berpikir Formal
Tahap operasional formal adalah periode terakhir
perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini
mulai dialami anak dalam usia 11 tahun dan terus
berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah
diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak,
menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari
informasi yang tersedia.
Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal
seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Dilihat dari
faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat
terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai
masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif,
19
penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan
perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya
mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia
tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang
dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap
operasional kongkrit.
Pada tahap ini, remaja telah memiliki kemampuan
untuk berpikir sistematis, yaitu bisa memikirkan semua
kemungkinan untuk memecahkan suatu persoalan. Contoh:
ketika suatu saat mobil yang ditumpanginya mogok, maka
jika penumpangnya adalah seorang anak yang masih dalam
tahap operasi berpikir kongkret, ia akan berkesimpulan
bahwa bensinnya habis. Ia hanya menghubungkan sebab
akibat dari satu rangkaian saja. Sebaliknya pada remaja
yang berada pada tahap berpikir formal, ia akan
memikirkan beberapa kemungkinan yang menyebabkan mobil
itu mogok. Bisa jadi karena businya mati, atau karena
platinanya, dll.
Seorang remaja pada tahap ini sudah mempunyai
ekuilibrum yang tinggi, sehingga ia dapat bepikir
fleksibel dan efektif, serta mampu berhadapan dengan
persoalan yang kompleks. Remaja dapat berpikir
fleksibel karena dapat melihat semua unsur dan
kemungkinan yang ada. Dan remaja dapat berpikir efektif
karena dapat melihat pemikiran mana yang cocok untuk
persoalan yang dihadapi.
20
Implementasi Teori Perkembangan Kognitif Piaget Dalam
Pembelajaran (Kompasiana edisi 12 Maret 2011).
Dalam hal ini, peran seorang pendidik sangatlah
vital. Beberapa implementasi yang harus diketahui dan
diterapkan adalah sebagai berikut:
1. Memfokuskan pada proses berpikir atau proses
mental anak tidak sekedar pada produknya. Di samping
kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses
yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban
tersebut.
2. Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-
anak yang penting sekali dalam inisiatif diri dan
keterlibatan aktif dalam kegaiatan pembelajaran. Dalam
kelas Piaget penyajian materi jadi (ready made) tidak
diberi penekanan, dan anak-anak didorong untuk
menemukan untuk dirinya sendiri melalui interaksi
spontan dengan lingkungan.
3. Tidak menekankan pada praktik - praktik yang
diarahkan untuk menjadikan anak-anak seperti orang
dewasa dalam pemikirannya.
4. Penerimaan terhadap perbedaan individu dalam
kemajuan perkembangan, teori Piaget mengasumsikan bahwa
seluruh anak berkembang melalui urutan perkembangan
yang sama namun mereka memperolehnya dengan kecepatan
yang berbeda.
21
2.3 Teori Bruner Jerome Bruner menyatakan bahwa belajar matematika
akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepadakonsep-konsep dan struktur-struktur dalam pokok bahasanyang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antarakonsep-konsep dan struktur-struktur.
Belajar merupakan aktivitas yang menempuh beberapaproses yang bertahap. Perubahan-perubahan tersebut timbulmelalui tahapan yang saling bertalian secara berurutan.Bruner mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya anakmelewati 3 tahap yaitu:
a.Tahap EnaktifYaitu tahap anak secara langsung terlibat dalam
manipulasi (mengotak-atik) objek.b.Tahap IkonikKegiatan anak berhubungan dengan mental yang merupakan
gambaran dari objek-objek manipulasinya. Anak tidak secaralangsung memanipulasi objek seperti yang dilakukan dalamtahap enaktif.
c.Tahap SimbolikTahap ini anak memanipulasi simbol-simbol atau
lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikatdengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Anak sudah mampumenggunakan notasi tanpa tergantung pada objeksesungguhnya.
Sedangkan menurut Burner yang dikutip (Syah, 2003)dalam bukunya Psikologi Belajar proses belajar yang ditempuhsiswa ada tiga tahap yaitu:
a.Tahap Informasi (penerimaan materi)Seorang siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah
keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari. Diantarainformasi tersebut ada yang baru dikenali, ada pula yangmenambah, memperkaya, dan memperdalam pengetahuan yang lainyang telah dimiliki.
b.Tahap Transformasi ( tahap pengubahan materi)
22
Informasi yang telah diterima itu diproses,dianalisis, diubah menjadi bentuk yang abstrak ataukonseptual supaya nanti bisa dimanfaatkan lagi bagi hal-halyang lebih luas. Bagi pemula tahap ini akan berlangsungsulit jika tanpa bimbingan guru yang diharapkan memilikikompeten dalam mentransformasikan informasi tersebut.
c.Tahap Evaluasi (tahap penilaian materi)Seorang siswa menilai sendiri sampai dimana informasi
yang telah ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkannyauntuk memahami dan memecahkan masalah yang dihadapi. Tidakada penjelasan rinci tentang bagaimana cara mengevaluasiini.
Menurut Bruner ada beberapa dalil tentang belajaranak:
a.Dalil Penyusunan (Simanjuntak, Manurung, & C. Matutina, 1993) Menurut J.S.
Bruner langkah yang paling baik belajar matematika adalahdengan melakukan penyusunan presentasinya, karena langkahpermulaan belajar konsep, pengertian akan lebih melekatbila kegiatan-kegiatan yang menunjukkan representasi(model) konsep dilakukakan oleh siswa. Apabila dalamproses penyusunan presentasi tersebut disertai benda-bendakongkret maka mereka akan lebih mudah memahami danmengingat makna-makna dari ide-ide yang dipelajari. Dalamtahap ini anak memperoleh penguatan makna yang diakibatkaninteraksinya dengan benda-benda kongkret yangdimanipulasinya.
Misal jika ingin menunjukkan angka 3(tiga) supayamenunjukkan sebuah himpunan dengan tiga anggotanya. Untukmenanamkan pengertian 3 diberikan 3 buah himpuan kelereng.Tiga kelereng sama dengan 3 kelereng. Dan biar kan si anakmencoba sendiri dalam bentuk-bentuk manipulasi lainnya.Misal kita ambil 5 permen jika si anak mengatakan 5 denganmemisah-misah permen tersebut menjadi lima bagian maka sianak telah benar-benar mengerti konsep dari pengertianbilangan itu sendiri.
23
b.Dalil NotasiDalil notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian
konsep, notasi memegang peran penting. Notasi yangdigunakan berarti menyatakan konsep tertentu yang harusdisesuaikan dengan perkembangan pemikiran anak. Berartiuntuk menyatakan suatu rumus maka notasinya harus dapat dipahami oleh anak, tidak rumit dan mudah dimengerti.
Contoh:F(x)=2x+1Kita notasikan sebagai =(2 x ) +1Lalu untuk anak yang sudah mempelajari konsep fungsi
lebih lanjut diberikan notasi fungsi [(x,y)Iy=2x+1, x,y=R]Notasi yang diberikan berurutan tahap demi tahap dari
yang paling sederhana ke paling rumit. Penyajian sepertiini dalam matematika merupakan pendekatan spiral.(Simanjuntak, Manurung, & C. Matutina, 1993) Pendekatanspiral dalam belajar matematika adalah menanamkan konsepyang dimulai dengan benda-benda kongkrit secara intuitif,kemudian pada tahap-tahap yang lebih tinggi (sesuai dengankemampuan siswa) konsep ini diajarkan dalam bentuk yangabstrak dengan menggunakan notasi yang lebih umum dipakaidalam matematika. Atau secara sistematis disajikan denganmenggunakan notasi-notasi yang bertingkat. Pada awalsederhana lalu dilanjutkan dengan bentuk yang lebihkompleks yang mungkin sebelumnya belum dipahami oleh anak.Umumnya notasi yang lebih kompleks inilah yang akan banyakdigunakan dan diperlukan dalam pembangunan konsepmatematika lanjutan.
c.Dalil Pengontrasan dan KeanekaragamanDalam dalil ini pengontrasan dan keanekaragaman sangat
penting dalam melakukan perubahan konsep yang dipahamisecara mendalam, diperlukan banyak contoh dan latihan,sehingga anak mampu mengetahui ciri-ciri atau karakteristikdari konsep tersebut. Anak perlu diberikan contoh yangmemenuhi rumusan atau konsep yang diberikan dan perlu jugadiberikan contoh yang tidak memenuhi rumusan, sifat atau
24
teorema sehingga anak dapat membedakan antara konsep satudengan konsep lainnya.
Sebagai contoh ketika anak mempelajari bangun ruangbola, maka si anak juga harus mempelajari bangun ruangkubus, balok dan lain-lain, ini dimaksudkan agar anak dapatmembedakan mana yang termasuk bola atau tidak.
d.Dalil pengait (konektivitas)
Dalam dalil ini dikatakan bahwa dalam matematika
antara konsep satu dan konsep lainnya memiliki hubungan
atau keterkaitan, bukan hanya dari segi isi tetapi juga
dari segi rumus yang digunakan. Materi yang satu mungkin
menjadi prasyarat bagi materi lainnya atau konsep tertentu
mungkin diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya.
Contohnya dalam penggunaan rumus-rumus trigonometri yang
nantinya juga akan digunakan dalam turunan ataupun integral
trigonometri.
2.4 Teori GestaltTokoh aliran ini adalah John Dewey. Ia mengemukakan
bahwa pelaksanaan Kegiatan Belajar mengajar yang
diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal
berikut ini (Tim MKPBM, UPI).
a)Penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian
b)Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus
memperhatikan kesiapan intelektual siswa, dan
c)Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar.
Dari ketiga hal diatas, dalam menyajikan pelajaran
guru jangan memberikan konsep yang harus diterima begitu
saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman terhadap
25
proses terbentuknya konsep tersebut daripada hasil akhir.
Untuk hal ini guru bertindak sebagai pembimbing dan
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan proses melalui
metode induktif. Pendekatan dan metode yang digunakan
tersebut haruslah disesuaikan pula dengan kesiapan
intelektual siswa. Dalam pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar mulailah dengan menyajikan contoh-contoh konkret
yang beraneka ragam, kemudian mengarah pada konsep abstrak
tersebut. Dengan cara seperti ini diharapkan kegiatan
belajar mengajar bisa berjalan secara bermakna.
GESTALT DALAM PEMBELAJARAN
Kontribusi paling penting dari teori gestalt terhadap
pemahaman kita mengenai pembelajaran adalah pada studi
tentang wawasan (insight). Seringkali pembelajaran terjadi
secara tiba-tiba disertai perasaan bahwa kita benar-benar
telah mengerti sekarang. Pembelajaran semacam itu
kemungkinan sangat sulit untuk dilupakan dan sangat mudah
untuk ditransfer ke situasi-situasi baru. Pembelajaran
semacam itu kita sebut sebagai pembelajaran dengan
melibatkan wawasan. Dalam kasus-kasus tersebut penjelasan
gestalt mengenai reorganisasi perceptual bisa diterapkan
dengan tepat. Pelajar yang memiliki wawasan akan memandang
segenap situasinya dengan cara baru, dimana terkandung
pemahaman atas hubungan logis atau persepsi atas hubungan
antara sarana dan tujuan.
Wawasan semacam itu tidak hanya terbatas pada manusia.
Selama Perang Dunia I, Kohler yang diasingkan ke Kepulauan
26
Canary melakukan studi intensif mengenai pemecahan masalah
dengan wawasan pada simpanse. Ini dijelaskan dalam bukunya
The Mentality of Apes (1925). Simpanse diberi sebuah masalah
berupa pisang yang panjang diluar jangkauannya dan hanya
bisa diraih dengan teknik-teknik yang baru bagi pengalaman
simpanse. Contohnya, sebuah pisang digantung diatap sangkar
hewan tersebut, sementara didalam sangkar terdapat kotak-
kotak berserakan yang bisa ditumpuk dan menjadi tumpukan
kera untuk meraih pisang itu. Atau sebuah pisang diletakkan
cukup jauh diluar kandang dan hanya bisa diraih dengan
menariknya kedalam menggunakan sebatang tongkat. Dari sudut
pandang Gestalt, rancangan semacam ini memiliki kelebihan
yang memungkinkan semua elemen pemecahan bisa tertangkap
oleh hewan, yang tidak bisa ditemui dalam kasus kotak teka-
teki (puzzle) atau lorong berliku (maze). Kohler
membuktikan bahwa masalah-masalah ini seringkali dipecahkan
secara tiba-tiba, dan pemecahan serta-merta itu terjadi
setelah berlalu satu periode tertentu dimana kera tidak
aktif berusaha meraih pisang. Kadang-kadang setelah gagal
meraih pisang dengan metode-metode biasa, hewan itu duduk
dan nampak memikirkan masalah tersebut untuk kemudian tiba-
tiba menangkap pemecahannya. Insiden semacam ini amat cocok
dengan penjelasan restrukturisasi perceptual. Kohler bisa
mengatakan bahwa kera tiba-tiba melihat kotak-kotak itu
bukan sebagai benda meainan lagi melainkan sebagai tumpuan
untuk dinaiki. Kera tersebut melihat hubungan antara kotak-
kotak dan pisang. Ketika kera itu tidak aktif melakukan
apapun untuk memecahkan masalahnya, ia mengalami proses
27
restrukturisasi yang, ketika selesai, memunculkan pemecahan
secara tiba-tiba.
Bagaimanapun juga, kita tidak perlu membayangkan
contoh-contoh dramatik seperti itu saja untuk menjelaskan
tentang wawasan tiba-tiba dan komplit seperti itu menurut
peristilahan Gestalt. Pembelajaran bertahap melalui upaya
coba-coba juga bisa diinterpretasi sebagai rangkaian
wawasan yang kecil-kecil dan parsial. Masalah yang
disodorkan Kohler dirancang sedemikian rupa sehingga kera
bisa melihat semua elemen pemecahan yang diperlukan
sekaligus. Yang diperlukan hanyalah bagaimana agar elemen-
elemen itu bisa diorganisir menjadi gestalt yang tepat.
Sebaliknya, seekor tikus didalam sebuah maze tidak bisa
melihat adanya hubungan antara pola belokan dan makanan
diujungnya kecuali ketika hubungan ini terungkap oleh
pengalaman. Dengan demikian restrukturisasi tikus bersifat
bertahap dan sedikit demi sedikit, karena situasi yang ada
tidak memberikan kemungkinan lainnya. sekalipun demikian,
fakta bahwa pola belokan tertentu ternyata mengarah pada
makanan juga membentuk restrukturisasi kognitif sebagaimana
fakta bahwa kotak-kotak yang disusun mengarah pada makanan.
Sifat tiba-tiba pada restrukturisasi ini bergantung pada
masalah dan cara penyajiannya pada subjek, namun prinsipnya
tetap sama.
WAWASAN DALAM PENDIDIKAN
Kontribusi Wertheimer yang paling menonjol bagi
perkembangan psikologi Gestalt adalah dalam aplikasi bidang
28
pendidikan. Ia memberikan perhatian pada pembelajaran
berwawasan dikalangan anak-anak sekolah. Apabila Kohler
meneliti wawasan pada kera untuk tujuan teoritis,
Wertheimer memiliki minat yang amat praktis pada anak-anak
sekolah. Ia memandang bahwa para guru terlalu banyak
menekankan hapalan atau ingatan buta dengan mengorbankan
pemahaman. Untuk itu ia mengarahkan studi-studinya guna
menghasilkan cara tertentu agar pembelajaran disertai
wawasan yang lebih besar dipihak siswa.
Dalam bukunya Productive Thinking, Wertheimer (1945)
membedakan dua tipe pemecahan masalah. Dalam pemecahan tipe
A terdapat originalitas dan wawasan; dalam pemecahan tipe B
yang ada adalah ketentuan-ketentuan lama yang diterapkan
secara tidak tepat, dan dengan demikian tidak menjadi
pemecahan. Pembedaan ini bukan berarti bahwa pemecahan B
bergantung pada pengalaman sebelumnya dan pemecahan A
tidak. Keduanya sama-sama bergantung pada pengalaman
sebelumnya; perbedaannya ada pada susunan orisinil yang
mencirikan pemecahan A.
Wertheimer mendapati bahwa geometri merupakan bidang
yang amat berguna untuk mengkaji pendekatan yang berbeda
terhadap masalah. Salah satu masalah yang ia berikan kepada
orang dewasa dan anak-anak mengharuskan subjek untuk
mencari luas jajaran genjang (parallelogram). Awalnya
Wertheimer menjelaskan kepada subjek cara mencari luas
persegi panjang; ia tidak hanya menyatakan rumus panjang
kali lebar, namun juga menjelaskan alasan diperolehnya
rumus tersebut. Ia melakukannya dengan membagi persegi29
panjang itu menjadi bujur sangkar-bujur sangkar kecil dan
menunjukkan bahwa luas persegi panjang adalah jumlah bujur
sangkar yang ada dalam satu kolom dikalikan dengan jumlah
kolomnya. Ia kemudian memperlihatkan sebuah jajaran genjang
yang terbuat dari kertas dan menyuruh subjek untuk mencari
luasnya. Sebagian orang menjawab bahwa ini merupakan soal
baru dan mereka menganggap tidak bisa menyelesaikan soal
tersebut tanpa diberitahu caranya. Sebagian langsung
mengulang rumus perkalian satu sisi dikalikan sisi yang
lainnya, yang sekarang terbukti tidak berlaku: ini adalah
‘pemecahan’ tipe B. yang lainnya berusaha untuk menemukan
pemecahan yang orisinal, namun tetap tidak bisa menemukan
hubungan kedua persoalan itu. Akan tetapi, beberapa
diantaranya sampai pada pemecahan A yang orisinal. Salah
satu anak mengamati bahwa yang membuat soal itu sulit
adalah dua pojok tepi jajaran genjang yang mencuat; ia
meminta gunting, memotong salah satu tepi dan menyatukannya
dengan tepi yang lainnya, sehingga jajaran genjang tersebut
sekarang menjadi persegi panjang. Subjek yang lainnya
sampai pada hasil yang sama dengan membengkokkan jajaran
genjang itu menjadi sebuah cincin, sehingga kedua ujungnya
menyatu, dan kemudian memotong cincin itu secara melintang
sehingga menjadi sebuah persegi panjang. Kedua individu ini
menunjukkan pemahaman orisinal atas situasi tersebut yang
memungkinkan pemecahan yang orisinal dan benar.
Jika kedua individu ini menerapkan ketentuan ‘panjang
kali lebar’ yang ada pada persegi panjang untuk menghitung
jajaran genjang, perhitungan yang diperoleh tentu benar,
30
namun demikian tetap menunjukkan tidak ada pemahaman. Hal
itu lebih mirip dengan penyelesaian B, walaupun secara
kebetulan juga benar. Namun demikian, yang mereka lakukan
adalah mencari cara orisinil dengan mengubah soal baru ini
menjadi soal yang familiar bagi mereka, soal yang mereka
ketahui cara penyelesaiannya. Penyelesaiannya akhirnya amat
bergantung pada pengalaman sebelumnya, namun pengalaman
sebelumnya itu diorganisir dengan cara baru. Hal penting
dalam penyelesaian tersebut adalah adanya wawasan yang
dengannya situasi soal baru itu direstrukturisasi. Dari
sudut pandang para pemecah masalah itu, jajaran genjang
diubah menjadi Gestalt yang lebih baik, menjadi persegi
panjang.
Ketika suatu penyelesaian terbukti benar, penting
untuk dibedakan apakah disana terkandung pemahaman nyata
atau tidak. Pemahaman tidak sama dengan logika. Baik
metode-metode logika induktif dan deduktif bisa diterapkan
secara membuta. Metode induktif, dimana seseorang menalar
dari contoh-contoh partikular menuju kesimpulan umum,
sebenarnya hanya merupakan upaya coba-coba. Sesorang
lainnya mungkin mencoba berbagai rumus untuk menemukan luas
jajaran genjang, ia mendapati bahwa panjang kali lebar
menghasilkan jawaban sama seperti yang ad dibuku untuk
sejumlah kasus, dan menyimpulkan bahwa inilah rumus yang
benar namun tanpa mengetahui sebabnya. Meskipun memadai
untuk tujuan-tujuan praktis, cara ini adalah penyelesaian
tanpa pemahaman. Wertheimer gemar memberikan contoh kasus
dimana induksi seperti itu mengarah pada kesimpulan yang
31
ternyata keliru. Metode deduktif, dimana seseorang menalar
secara logis dari satu prinsip ke hal lainnya, juga bisa
diterapkan secara membuta. Seorang siswa mungkin
menggunakan aljabar dengan teliti sampai iya bisa
membuktikan benarnya suatu persamaan, namun ia mungkin
tetap tidak memahami persamaan itu dalam pengertian seperti
yang dimaksud oleh Wertheimer. Pemahaman bukan hanya
melibatkan kebenaran logika melainkan juga persepsi
mengenai persoalan sebagai keseluruhan yang utuh, mengenai
cara menggunakan sarana untuk mengarah ketujuan. Dalam
proses pembuktian aljabar misalnya, disetiap langkahnya
siswa perlu bertanya bukan hanya, bagaimana secara logis
ini diperoleh dari langkah sebelumnya? Melainkan juga
bagaimana ini mengarah pada pemecahan? Dalam pendapat
Wertheimer, seharusnya pendidikan menjadikan pemahaman atau
persepsi mengenai Gestalt-Gestalt utuh seperti itu sebagai
tujuan pokoknya.
Penyelesaian soal secara kreatif bukan hanya penting
untuk situasi-situasi intelektual murni seperti tersebut
diatas. Wetheimer mengilustrasikan pentingnya hal itu dalam
situasi-situasi sosial melalui sebuah anekdot mengenai dua
orang anak yang tengah bermain badminton. Anak yang lebih
besar bermain lebih baik daripada anak yang lebih kecil dan
selalu menang, sehingga anak kecil pun akhirnya menolak
melanjutkan permainan. Karena suasana gembira menjadi
buyar, bagi anak yang lebih besar hal ini menjadi
persoalan. Bagaimana caranya agar ia bisa mengajak anak
kecil itu untuk terus bermain badminton? Bisa saja ia
32
menyuruh agar anak kecil itu bersikap sportif (kemungkinan
tidak berhasil), atau bisa saja ia bermain dengan cara
mengalah (pendekatan ini lebih baik namun tidak menjadi
jawaban bagi persoalan awalnya). Kemudian anak yang besar
menyadari bahwa akar persoalannya adalah pada kompetisi,
karena itu ia menawarkan penyelesaian yang konstruktif.
Permainan kompetitif berupa pertandingan meraih angka
sekarang diganti menjadi permainan kooperatif dimana mereka
berusaha bekerja sama menjaga bolanya agar tetap melayang,
sehingga keduanya bisa menikmati permainan itu lagi. Sekali
lagi, pemahaman terhadap situasi akan menuntun pada
pemecahan yang berwawasan.
Bila disandingkan dengan karya Guthrie Psychology of
Learning, buku Wertheimer menunjukkan perbedaan antara
perspektif kognitif dan koneksionis mengenai pembelajaran
dalam bentuk-bentuknya yang ekstrim. Kedua buku tersebut
memperlihatkan perhatian yang kuat pada psikologi
pembelajaran terapan, khusunya dikalangan anak-anak.
Guthrie menekankan bagaimana mendidik anak agar melakukan
respon yang tepat terhadap stimuli yang tepat.
Pertanyaannya selalu berupa apa yang dilakukan oleh anak?
Sebaliknya Wertheimer menekankan bagaimana mendidik anak
agar memiliki wawasan mengenai materi yang ada.
Pertanyaannya adalah apa yang dipahami oleh anak? Ini bukan
berarti bahwa perbedaan keduanya tidak bisa dipertemukan,
karena Wertheimer pun membahas kemampuan pemecahan masalah
secara efektif dan Guthrie pun berbicara tentang pemahaman
menurut stimuli yang dihasilkan oleh gerakan. Tetapi
33
penekanan diantara keduanya amat berbeda. Penekanan
terhadap pemahaman, persepsi mengenai hubungan yang ada
dalam keseluruhan yang terorganisir, adalah sumbangan besar
psikologi gestalt bagi interpretasi pembelajaran.
2.5 Teori Brownell
Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran
dalam teori belajar adalah William Artur Brownell dilahirkan
tanggal 19 mei 1895 dan wafat pada tanggal 24 mei 1977, yang
mendedikasikan hidupnya dalam dunia pendidikan. Brownell
(1935) “…he characterized his point of view as the “meaning theory.” In
developing it, he laid the foundation for the emergence of the “new mathematics.”
He showed that understanding, not sheer repetition, is the basis for children's
mathematical learning…” pada penelitiannya mengenai pembelajaran
anak khususnya pada aritmetika mengemukakan belajar
matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar
pengertian atau yang dikenal dengan Meaning Theory (teori
bermakna) dan dalam perkembangannya ia meletakkan pondasi
munculnya matematika baru. Jika dilihat dari teorinya ini
sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt yang muncul
pada pertengahan tahun 1930. Dimana menurut teori Gestalt,
latihan hafalan atau yang dikenal dengan sebutan drill
adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara drill
diberikan setelah tertanam pengertian.
Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di SD,
Meaning Theory (teori makna) yang diperkenalkan oleh
Brownel merupakan alternatif dari Drill Theory (teori
latihan hafal/ulangan).
34
Teori Drill dalam pengajaran matematika berdasarkan
kepada teori belajar asosiasi yang lebih dikenal dengan
sebutan teori belajar stimulus respon yang dikembangkan oleh
Edward L. Thorndike (1874-1949). Teori belajar ini
menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses
pembentukan hubungan antara stimulus dan respons. Menurut
hukum ini belajar akan lebih berhasil bila respon siswa
terhadap suatu stimulus segera diikuti rasa senang atau
kepuasan. Rasa senang atau puas ini bisa timbul sebagai
akibat siswa mendapat pujian atau ganjaran sehingga ia
merasa puas karena sukses yang diraihnya dan sebagai
akibatnya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan
berikutnya.
Menurut teori drill ikatan antara stimulus (soal) dan
respon (jawab) itu bisa dicapai oleh siswa dengan latihan
berupa ulangan (drill), atau dengan kata lain dengan latihan
hapal atau menghapal. Intisari pengajaran matematika menurut
teori drill adalah sebagai berikut:
a. Matematika (aritmetika) untuk tujuan pembelajaran
(belajar mengajar) dianalisis sebagai kumpulan fakta (unsur)
yang berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan.
b. Anak diharuskan untuk menguasai unsur-unsur yang
banyak sekali tanpa diperhatikan pengertiannya.
c. Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti
yang akan digunakan nanti pada kesempatan lain.
d. Anak akan mencapai tujuan ini secara efektif dan
efisien dengan melalui pengulangan atau drill.
35
Brownell mengemukakan ada tiga keberatan utama
berkenaan dengan teori drill pada pengajaran matematika.
a.Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari
siswa yang hampir tidak mungkin dicapai. Menurut hasil
penelitian menunjukkan anak yang tahu 3 + 6 = 9 ternyata
tidak tahu dengan baik, bahwa 6 + 3 = 9. Penelitian lain
menunjukkan bahwa penguasaan 3 + 6 = 9 tidak menjamin
dikuasainya 13 + 6 = 19, 23 + 6 = 29 atau 43 + 6 = 49, dan
sebagainya.
b.Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang
dihasilkan oleh drill. Pada saat guru memberikan drill pada
keterampilan aritmetika, ia berasumsi bahwa murid akan
berlatih sebagai reaksi dari yang telah ditentukan. Misalkan
pada waktu guru memberi tugas 4 + 2 = 6 dan 9 – 5 = 4, ia
mengharap semua siswa akan dengan diam berpikir atau
mengucapkan dengan keras, 4 dan 2 sama dengan 6, 9
dikurangi 5 sama dengan 4. Guru percaya dengan sering
mengulanginya akhirnya siswa selalu menjawab 6 dan 4 untuk
ke dua tugas tersebut. Kemudian melalui penelitian diketahui
bahwa hanya 40% dari siswa yang dapat menjawab dengan benar
berdasarkan ingatannya. Kegiatan ini menunjukkan bahwa drill
tidak menghasilkan respons otomatis untuk siswa-siswa di
kelas 1 dan kelas 2 SD, padahal tugas dan beban belajar
mereka relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan kelas-
kelas yang lebih atas.
c.Aritmetika adalah paling tepat dipandang sebagai
suatu sistem berpikir kuantitatif. Pandangan ini merupakan
kriteria penilaian suatu sistem pengajaran matematika yang
36
memadai atau tidak. Jelas dari sudut pandang ini, teori
drill dalam pengajaran aritmetika tidak memadai, sebab
pengajaran melalui drill tidak menyediakan kegiatan untuk
berpikir secara kuantitatif. Agar siswa dapat berpikir
secara kuantitatif ia harus mengetahui maksud dari apa yang
dipelajarinya (mengerti), yang tidak pernah menjadi
perhatian dari sistem pengajaran aritmetika melalui drill
(balapan).
Menurut Brownell kemampuan mendemosntrasikan operasi-
operai hitung secara mekanis dan otomatis tidaklah cukup.
Tujuan utama dari pengajaran aritmetika adalah
mengembangkan atau pentingnya kemampuan berpikir dalam
situasi kuantitatif.
Brownell mengusulkan agar pengajaran aritmetika pada
anak lebih menantang kegiatan berpikirnya dari pada kegiatan
mengingatnya. Program aritmetika di SD haruslah membahas
tentang pentingnya (significance) dan makna (meaning) dari
bilangan. Pentingnya bilangan (the significance of number) adalah
nilainya atau pentingnya dalam kehidupan keseharian manusia.
Pengertian signifikansi bilangan bersifat fungsional
atau dengan kata lain penting dalam kehidupan sosial
manusia. Sedangkan makna bilangan (the meaning of number) adalah
bersifat intelektual, yaitu bersifat matematis sebagai suatu
sistem kuantitatif.
Jadi pembelajaran aritmetika yang dikembangkan oleh
Brownel, menekankan bahwa keterampilan hitung tidak hanya
sekedar mengetahui cara menyelesaikan prosedur-prosedur
37
tetapi juga harus mengetahui bagaimana prosedur-prosedur
tersebut bekerja atau dengan kata lain harus mengetahui
makna dari apa yang dipelajari.
Pengaplikasian teori kognitif Brownell dalam belajar
bergantung pada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan
suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar,
karena ia tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui
saja dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan usaha
untuk dapat mengakomodasikan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam
pembelajaran sebagai berikut:
a. Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan
orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar dengan
menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak.
b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat
menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak
agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya
dirasakan baru tetapi tidak asing.
d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap
perkembangannya.
e. Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling
berbicara dan diskusi dengan siswa lain.
Dengan demikian, dalam teori bermakna yang
dikembangkan oleh Brownell bahwa pengajaran operasi hitung
akan mudah dipahami oleh siswa apabila makna bilangan dan
operasinya diikutsertakan dalam proses operasi. Kita percaya
38
bukan keputusan mengajarkan matematika dengan bermakna saja
yang dapat menyebabkan perubahan dalam reformasi pendidikan,
tetapi bagaimana cara kita menginterpretasikan istilah
pembelajaran matematika yang bermakna yang telah dan akan
melanjutkan usaha perbaikan dalam matematika. Tentu saja
pengajar (guru) matematika harus berusaha mengajar dengan
efektif dan bermakna. Karena pada hakikatnya mengajarkan
matematika dengan lebih bermakna akan mengantarkan siswa
pada sikap menghargai matematika sebagai ilmu yang memiliki
peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.
2.6 Teori Dienes
Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang
memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap
anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan
pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian
rupa sehinnga sistem yang perkembangannya itu menarik bagi
anak yang mempelajari matematika.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika
dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-
misahkan hubungan-hubungan di antara struktur –struktur dan
mengkategorikan hubungan-hubungan di antara sturtur-
struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau
prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang
konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti
bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan
akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam
pengajaran matematika.
39
Dienes (Bell, 1978: 124) percaya bahwa semua abstraksi
didasarkan pada intuisi dan pengalaman konkret, maka dari
itu sistem dalam pembelajaran matematika menekankan pada
mathematics laboratories, memanipulasi objek, dan permainan
matematika.
Menurut Dienes (Bell, 1978: 125-126), konsep-konsep
matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap
tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6
tahap, sebagai berikut.
a) Free Play (permainan bebas). Permainan bebas
merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak
berstruktur dan tidak diarahkan. Walaupun guru memberikan
arahan yang bervariasi dari materi untuk siswa memanipulasi.
Disini siswa mendapatkan pengalaman yang pertama dari suatu
konsep baru melalui interaksi dengan lingkungan yang mana
berisi representation konkret dari konsep. Pada tahap ini
struktur dan bakat mental siswa dibentuk yang mana disiapkan
untuk memahami konsep struktur matematika .
b) Games (permainan yang disertai aturan). Pada
tahap ini siswa akan memulai mengobservasi pola dan
keteraturan yang diwujudkan dalam konsep. Melalui permainan
anak mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur
matematika itu. Pada tahap ini anak juga sudah mulai
mengabstraksikan konsep. Untuk membuat konsep abstrak, anak
didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-
macam pengalaman, dan kegiatan untuk menolak yang tidak
relevan dengan pengalaman itu.
40
c) Searching for communities (permainan kesamaan sifat).
Pada tahap ini siswa belum mampu mengklasifikasikan contoh
dan bukan contoh dari suatu konsep. Dienes menyarankan bahwa
guru dapat membantu siswa melihat struktur communality dalam
contoh dari konsep yang ditunjukan kepada siswa bagaimana
tiap contoh dapat ditransfer kedalam tiap contoh yang lain
tanpa merubah sifat abstrak yang umum dari semua contoh.
d) Representation (representasi). Representasi adalah
tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang
sejenis. Para anak didik menentukan representasi dari
konsep-konsep tertentu. Representasi yang diperoleh bersifat
abstrak. Dengan melakukan representasi anak didik telah
mengarah pada pengertian struktur matematika yang bersifat
abstrak pada topik-topik yang sedang dipelajari.
e) Symbolization (simbolisasi). Simbolisasi adalah
belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan
representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan
simbol matematika atau melalui perumusan verbal.
f) Formalization (formalisasi). Setelah siswa
mempelajari sebuah konsep dan hubungannya dengan struktur
matematika, siswa harus memahami sifat dari konsep dan
mengingat akibat dari sifat tersebut. Sifat dasar struktur
matematika adalah sistem aksioma yang diambil dari sifat
teorema dan prosedur. Pada tahap ini siswa dituntut
menggunakan konsep untuk memecahkan masalah dan
mengaplikasikan masalah dalam matematika.
41
2.7 Teori Van Hiele
Dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang
dikemukakan oleh Van Hiele (1954), yang menguraikan tahap-
tahap perkembangan mental anak dalam geometri. Van Hiele
adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan
penelitian dalam pengajaran geometri. Hasil penelitiannya
itu, yang dirumuskan dalam disertasinya, diperoleh dari
kegiatan tanya jawab dan pengamatan.
Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran
geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode
pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan
dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan
berpikir yang lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar
anak dalam belajar geometri,yaitu: (Tim MKPBM,2001:51)
Tahap pengenalan (Visualisasi)
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenai suatu
bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu
mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang
dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada seorang anak
diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat
atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus tersebut. Ia
belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi-sisi yang
merupakan bujur sangkar, bahwa sisinya ada 6 buah, rusuknya
ada 12 dan lain-lain.
42
Tahap analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat
yang dimiliki benda geometri yang diamatinya. Ia sudah
mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda
geometri itu. Misalnya di saat ia mengamati persegi
panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi
yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling
sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui
hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan
benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui
bahwa bujursangkar adalah persegi panjang, bahwa bujur
sangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.
Tahap pengurutan (deduksi informal)
Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan
penarikan kesimpulan, yang kita kenal dengan sebutan
berpikir deduktif. Namun kemampuan ini belum berkembang
secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah, anak
pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia
sudah mengenali bahwa bujur sangkar adalah jajar genjang,
bahwa belah ketupat adalah layang-layang.
Tahap deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan
secara deduktif, yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal
yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus.
Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya peranan
43
unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-
unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai
memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak sudah mulai
mampu menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan
dalam pembuktian.
Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa
pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang
melandasi suatu pembuktian. Misalnya, ia mengetahui
pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari
geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir
yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika beberapa anak, meskipun sudah duduk di
bangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap
berpikir ini.
44
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan Psikologi Kognitif merupakan salah satu cabang dari
psikologi umum yang mencakup studi ilmiah tentang gejala-
gejala kehidupan mental atau psikis yang berkaitan dengan
cara manusia berpikir, seperti dalam memperoleh
pengetahuan, mengolah kesan yang masuk melalui
penginderaan, menghadapi masalah atau problem untuk mencari
suatu penyelesaian, serta menggali dari ingatan pengetahuan
dan prosedur kerja yang dibutuhkan dalam menghadapi
tunututan hidup sehari-hari.
Teori Piaget menyatakan bahwa belajar yang
sebenarnya bukanlah sesuatu yang diturunkan oleh guru,
45
melainkan sesuatu yang berasal dari dalam diri anak
sendiri. Belajar merupakan sebuah proses penyelidikan dan
penemuan spontan. Berkaitan dengan belajar, Piaget
membangun teorinya berdasarkan pada konsep Skema yaitu,
stuktur mental atau kognitif yang menyebabkan seseorang
secara intelektual beradaptasi dan mengoordinasikan
lingkungan sekitarnya. Skema pada prinsipnya tidak statis
melainkan selalu mengalami perkembangan sejalan dengan
perkembangan kognitif manusia. Berdasarkan asumsi itulah,
Piaget berpendapat bahwa belajar merupakan proses
menyesuaikan pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif
yang telah dipunyai seseorang. Bagi Piaget, proses belajar
berlangsung dalam tiga tahapan yakni: asimilasi, akomodasi
dan equilibrasi. Kompleksitas pengetahuan dan struktur
kognitif tidak dengan sendirinya menyebabkan terjadinya
asimiliasi secara mulus. Dalam kasus tertentu asimilasi
mungkin saja tidak terjadi karena informasi baru yang
diperoleh tidak bersesuaian dengan stuktur kognitif yang
sudah ada. Dalam konteks seperti ini struktur kongitif
perlu disesuaikan dengan pengetahuan baru yang diterima.
Proses semacam ini disebut akomodasi. Penekanan Piaget
tentang betapa pentingnya fungsi kognitif dalam belajar
didasarkan pada tahap perkembangan kognitif manusia.
Teori Bruner menyatakan bahwa belajar matematika
akan lebih berhasil jika diarahkan kepada konsep dan
struktur dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping
hubungan yang terkait antara konsep dan struktur. Dalam
teori ini proses belajar anak melewati 3 tahap, yaitu:
46
Tahap Efaktif, Tahap Ikonik, dan Tahap Simbolik. Dalam buku
lain dikatakan ada 3 tahapan, yaitu: Tahap Informasi, Tahap
Transformasi, dan Tahap Evaluasi. Selain itu Bruner juga
mengemukakan beberapa dalil tentang proses belajar, yaitu:
Dalil Penyususnan, Dalil Notasi, Dalil Pengkontrasan dan
Keanekaragaman serta Dalil Pengaitan.
Teori Gestalt mengemukakan bahwa pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakan oleh guru
harus memperhatikan hal-hal berikut:
a.Penyajian konsep harus mengutamakan pengertian.
b.Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus
memperhatikan kesiapan intelektual siswa.
c.Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar.
Teori Brownell mengemukakan belajar matematika harus
merupakan belajar bermakna dan pengertian. Dia menegaskan
bahwa belajar pada hakikatnya merupakan suatu proses yang
bermakna.
Teori Dienes mengemukakan bahwa pada dasarnya
matematika dianggap sebagai studi tentang struktur,
memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara struktur-
struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan diantara
struktur-struktur. Dienes mengemukanakan bahwa tiap-tiap
konsep atau prinsip dalam matemtatika yang disajikan dalam
bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini
mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam
bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi
dengan baik dalam pengajaran matematika. Menurut Dienes,
konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari
47
dalam tahap-tahap tertentu, yaitu: Free Play, Games,
Searching for communities, Representation, Symbolization,
dan Formalization.
Teori Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap
belajar anak dalam belajar Geometri, yaitu: Tahap
Pengenalan (visualisasi), Tahap Analisis, Tahap Pengurutan
(deduksi informal), Tahap Deduksi, dan Tahap Akurasi.
3.2 SaranHendaknya pengetahuan tentang kognitif siswa perlu
dikaji secara mendalam oleh para calon guru dan para gurudemi menyukseskan proses pembelajaran di kelas. Tanpapengetahuan tentang kognitif siswa, guru akan mengalamikesulitan dalam membelajarkannya di kelas, yang padaakhirnya mempengaruhi rendahnya kualitas proses pendidikanyang dilakukan oleh guru di kelas. Karena faktor kognitifyang dimiliki oleh siswa merupakan salah satu faktor utamayang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran dikelas. Faktor kognitif merupakan jendela bagi masuknyaberbagai pengetahuan siswa melalui kegiatan belajar baiksecara mandiri maupun secara kelompok.
DAFTAR PUSTAKADanim,Sudarwan.(2011). Perkembangan Peserta Didik. Bandung:
Alfabeta.
Desmita.2013.Psikologi Perkembangan.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
F Kill, Winfred. 2011. Teori-teori Pembelajaran. Bandung: Nusamedia
Simanjuntak, D. L., Manurung, D. P., & C. Matutina, D. (1993).Metode Mengajar Matematika. Jakarta: Rineka Cipta.
Sukardjo & Ukim Komarudin. 2009. Landasan Pendidikan: Konsep danAplikasinya. Jakarta : Rajawali Press
48
Suyono & Hariyanto. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung : PT.Remaja Rosdakarya
Syah, M. (2003). Psikologi Belajar. Jakarta: RajaGrasindo Persada.
Syamsu Yusuf L. N & Nani M. Sugandhi.2013.Perkembangan PesertaDidik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Tim MKPBM. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.Bandung: JICA- UPI
http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/12/teori-perkembangan-kognitif-jean-piaget-dan- implementasinya-dalam-pendidikan-346946.html 18 September 2014 16:35
http://www.psikologizone.com/favicon.ico/Teori KognitifPsikologi Perkembangan Jean Piaget/18 September 2014 16:35
49