KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

49
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Aliran Psikologi Kognitif” tepat pada waktunya.Makalah ini merupakan tugas mata kuliah “Strategi Belajar Mengajar Matematika”. Makalah ini merupakan inovasi pembelajaran untuk memahami dan mengetahui bagaimanakah sebenarnya aliran-aliran psikologi kognitif tersebut menurut beberapa tokoh ahli. Semoga makalah ini dapat berguna untuk para pembaca pada umumnya dan untuk penulis pada khususnya. Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Strategi Belajar Mengajar Matematika atas bimbingan dan pengarahannya selama penyusunan makalah ini serta pihak-pihak yang telah membantu. Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dan pada intinya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan agar dimasa yang akan datang lebih baik lagi. Banjarmasin, 21 September 2014 1

Transcript of KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat

dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang

berjudul “Aliran Psikologi Kognitif” tepat pada

waktunya.Makalah ini merupakan tugas mata kuliah

“Strategi Belajar Mengajar Matematika”. Makalah ini

merupakan inovasi pembelajaran untuk memahami dan

mengetahui bagaimanakah sebenarnya aliran-aliran

psikologi kognitif tersebut menurut beberapa tokoh ahli.

Semoga makalah ini dapat berguna untuk para pembaca pada

umumnya dan untuk penulis pada khususnya.

Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen mata

kuliah Strategi Belajar Mengajar Matematika atas

bimbingan dan pengarahannya selama penyusunan makalah

ini serta pihak-pihak yang telah membantu.

Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari

sempurna, oleh karena itu kami sangat membutuhkan

kritik dan saran yang sifatnya membangun dan pada

intinya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan agar

dimasa yang akan datang lebih baik lagi.

Banjarmasin, 21 September

2014

1

Kelompok 7

DAFTAR ISIKATA PENGANTAR.....................................................1BAB I. PENDAHULUAN.................................................2

1.1 Latar Belakang.............................................21.2 Rumusan Masalah............................................4

1.3 Tujuan Masalah.............................................4BAB II. PEMBAHASAN.................................................4

2.1 Definisi Psikologi Kognitif.................................42.2 Teori Piaget................................................6

2.3 Teori Bruner...............................................142.4 Teori Gestalt..............................................16

2.5 Teori Brownell............................................212.6 Teori Dienes...............................................25

2.7 Teori Van Hiele............................................26BAB III. PENUTUP..................................................29

3.1 Kesimpulan.................................................293.2 Saran......................................................30

DAFTAR PUSTAKA....................................................31

2

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangDitinjau dari asal katanya, psikologi berasal dari

kata psyche yang berarti jiwa, dan Ligos yang berarti ilmu.

Jadi secara istilah, psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu

yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Tetapi

dalam sejarah perkembangannya, kemudian arti psikologi

menjadi ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Ini di

sebabkan karena jiwa yang mengandung arti yang abstrak itu

sukar untuk di pelajari secara objektif. Kecuali itu,

keadaan jiwa seseorang melatar belakangi timbulnya hampir

setiap tingkah laku. Beragamnya pendapat para ahli

psikologi tentang pengertian dari psikologi, sehingga bisa

di simpulkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang

mempelajari tingkah laku dan perbuatan individu dimana

individu tersebut tidak dapat di lepaskan dari

lingkungannya.

Pada zaman sebelum masehi, psikologi sudah dipelajari

orang dan banyak di hubungkan dengan filsafat. Para ahli

3

filsafat pada waktu itu sudah membicarakan tentang aspek-

aspek kejiwaan manusia.

Dalam penulisan makalah ini kami akan membahas tentang

Psikologi Kognitif beserta aliran-aliran Psikologi Kognitif

menurut beberapa ahli. Aliran kognitif berjalan dengan baik

dan sekarang ini diterapkan seperti pada kurikulum berbasis

tujuan pendidikan yang mana didalamnya mempunyai aspek

kognitif, afektif, dan psikomotorik. Jadi siswa di tuntut

untuk aktif di dalam kelas ini merujuk pada pembelajaran

menurut aliran kognitif yang menjadikan siswa dapat aktif

di dalam proses pembelajaran karena di dalam

pembelajarannya guru hanya sebagai fasilitator, sedangkan

siswa di sini tidak menjadi objek pembelajaran akan tetapi

siswa sebagai subjek dari pembelajaran. Pembahasan ini

sangat penting karena mengingat proses belajar yang terjadi

didalam kelas berlangsung dalam proses komunikasi yang

berisi pesan-pesan yang berkaitan dengan fakta, konsep,

prinsip dan keterampilan yang sering digunakan dalam

sehari-hari. Proses pembelajaran dituntut untuk secara

aktif berpartisipasi. Keaktifan berpartisipasi ini

memberikan kesempatan yang luas mengembangkan potensi,

bakat yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Teori belajar

kognitif menekankan pada cara – cara seseorang menggunakan

pikirannya untuk belajar, mengingat, dan menggunakan

pengetahuan yang telah di peroleh dan disimpan dalam

pikiranya secara efektif. Psikologi kognitif menyatakan

bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang

berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada

4

dirinya sendiri. Berdasarkan pada pandangan tersebut teori

belajar psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses

perfungsian kognisi, terutama unsur pikiran, dengan kata

lain bahwa aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan

pada proses internal dalam pikiran yakni proses pengolahan

informasi. Teori belajar kognitif lebih menekankan pada

belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal

pikiran manusia.

1.2 Rumusan Masalah1. Apakah yang dimaksud dengan Psikologi Kognitif?

2. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Piaget?

3. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Bruner?

4. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Gestalt?

5. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Brownell?

6. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Dienes?

7. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Van

Hiele?

1.3 Tujuan Masalah1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Psikologi

Kognitif.

2. Untuk mengetahui pandangan Piaget mengenai Psikologi

Kognitif.

3. Untuk mengetahui pandangan Bruner mengenai Psikologi

Kognitif.

4. Untuk mengetahui pandangan Gestalt mengenai

Psikologi Kognitif.

5. Untuk mengetahui pandangan Brownell mengenai

Psikologi Kognitif.

5

6. Untuk mengetahui pandangan Dienes mengenai Psikologi

Kognitif.

7. Untuk mengetahui pandangan Van Hiele mengenai

Psikologi Kognitif.

\

BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Definisi Psikologi KognitifPsikologi Kognitif merupakan salah satu cabang dari

psikologi umum yang mencakup studi ilmiah tentang gejala-

gejala kehidupan mental atau psikis yang berkaitan dengan

cara manusia berpikir, seperti dalam memperoleh

pengetahuan, mengolah kesan yang masuk melalui

penginderaan, menghadapi masalah atau problem untuk

mencari suatu penyelesaian, serta menggali dari ingatan

pengetahuan dan prosedur kerja yang dibutuhkan dalam

menghadapi tuntutan hidup sehari-hari.

Cabang ilmu psikologi ini khusus mempelajari gejala-

gejala mental yang bersifat kognitif dan terkait dengan6

proses belajar mengajar di sekolah, yang memiliki hubungan

erat dengan psikologi belajar, psikologi pendidikan dan

psikologi pengajaran. Pengetahuan dan pemahaman tentang

proses belajar tidak hanya menerangkan mengapa siswa

berhasil dalam proses balajar, tetapi juga membantu untuk

mencegah terjadinya penyimpangan dalam proses itu dan

sekali terjadi kesalahan selama periode belajar, untuk

mengoreksinya.

Kehidupan mental atau psikis mencakup gejala-gejala

kognitif, efektif, konatif sampai pada taraf psikomotis,

baik dalam berhadapan dengan diri sendiri maupun dengan

orang lain. Gejala-gejala mental-psikis ini dapat

dibedakan dengan yang lain dan dijadikan objek studi

ilmiah sendiri-sendiri, tetapi tidak pernah dapat

dipisahkan secara total yang satu dari yang lainnya. Oleh

karena itu, psikologi kognitif tidak hanya menggali dasar-

dasar dari gejala yang khas kognitif, tetapi juga meninjau

aspek kognitif dalam gejala mental yang lain, seperti apa

penafsiran dan pertimbangan yang menyertai reaksi perasaan

(afektif) dan keputusan kehendak (konatif). Siswa

disekolah berperasaan sambil belajar dan berkehendak serta

bermotivasi sambil belajar, dapat diselidiki dengan cara

bagaimana berpikir dalam berbagai wujudnya ikut megnambil

bagian dalam berperasaan dan berkehendak. Namun, dalam

bagian ini tekanan diberikan pada analisis tentang cara

berpikir itu sendiri karena perilaku internal inilah yang

paling mendasar dalam belajar di sekolah.

7

Seiring dengan berkembangnya psikologi kognitif, maka

berkembang pula cara-cara mengevaluasi pencapaian hasil

belajar, terutama untuk domain kognitif. Salah satu

perkembangan yang menarik ádalah revisi “Taksonomi Bloom“

tentang dimensi kognitif. Anderson & Krathwohl (dalam wowo

1999) merevisi taksonomi Bloom tentang aspek kognitif

menjadi dua dimensi, yaitu: proses kognitif dan

pengetahuan. Dimensi pengetahuan berisi empat kategori,

yaitu Faktual, Konseptual, Prosedural, dan Metakognitif,

Dimensi proses kognitif terdiri dari  Mengingat,

Pemahaman, Penerapan, Analisis, Evaluasi dan Membuat.

Kesinambungan yang mendasari dimensi proses kognitif

diasumsikan sebagai kompleksitas dalam kognitif, yaitu

pemahaman dipercaya lebih kompleks lagi daripada

mengingat, penerapan dipercaya lebih kompleks lagi

daripada pemahaman, dan seterusnya.

2.2 Teori PiagetTeori perkembangan kognitif Piaget adalah salah satu

teori yang menjelaskan bagaimana anak beradaptasi dan

menginterpretasikan objek dan kejadian-kejadian sekitarnya.

Bagaimana anak mempelajari ciri-ciri dan fungsi dari objek-

objek seperti mainan, perabot, dan makanan serta objek-

objek sosial seperti diri, orangtua dan teman. Bagaimana

cara anak mengelompokan objek-objek untuk mengetahui

persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaannya, untuk

memahami penyebab terjadinya perubahan dalam objek-objek

dan perisiwa-peristiwa dan untuk membentuk perkiraan

8

tentang objek dan peristiwa tersebut. Piaget memandang

bahwa anak memainkan peran aktif dalam menyusun

pengetahuannya mengenai realitas. Anak tidak pasif menerima

informasi. Walaupun proses berpikir dalam konsepsi anak

mengenai realitas telah dimodifikasi oleh pengalaman dengan

dunia sekitarnya, namun anak juga berperan aktif dalam

menginterpretasikan informasi yang ia peroleh melalui

pengalaman, serta dalam mengadaptasikannya pada pengetahuan

dan konsepsi mengenai dunia yang telah ia punya.

Piaget percaya bahwa pemikiran anak-anak berkembang

menurut tahap-tahap atau periode-periode yang terus

bertambah kompleks (Desmita, 2013 : 104). Menurut teori

tahapan Piaget, setiap individu akan melewati serangkaian

perubahan kualitatif yang bersifat invariant, selalu tetap,

tidak melompat atau mundur. Perubahan kualitatif ini

terjadi karena tekanan biologis untuk menyesuaikan diri

dengan lingkungan serta adanya pengorganisasian struktur

berpikir. Sebagai seorang yang memperoleh pendidikan dasar

dalam bidang eksakta, yaitu biologis, maka pendekatan dan

uraian dari teorinya terpengaruh aspek biologi.

Teori Piaget merupakan akar revolusi kognitif saat ini

yang menekankan pada proses mental (Kompasiana, edisi 12

Maret 2011) . Piaget mengambil perspektif organismik, yang

memandang perkembangan kognitif sebagai produk usaha anak

untuk memahami dan bertindak dalam dunia mereka. Menurut

Piaget, bahwa perkembangan kognitif dimulai dengan

kemampuan bawaan untuk beradaptasi dengan lingkungan.

Dengan kemampuan bawaan yang bersifat biologis itu, Piaget

9

mengamati bayi-bayi mewarisi refleks-refleks seperti

refleks menghisap. Refleks ini sangat penting dalam bulan-

bulan pertama kehidupan mereka, namun semakin berkurang

signifikansinya pada perkembangan selanjutnya.

Pertumbuhan atau perkembangan kognitif terjadi melalui tiga proses

yang saling berhubungan, yaitu:

a) Organisasi

Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk

mengintegrasikan pengetahuan kedalam sistem-sistem.

Dengan kata lain, organisasi adalah sistem pengetahuan

atau cara berpikir yang disertai dengan pencitraan

realitas yang semakin akurat.

Contoh: anak laki-laki yang baru berumur 4 bulan

mampu untuk menatap dan menggenggam objek. Setelah itu

dia berusaha mengkombunasikan dua kegiatan ini (menatap

dan menggenggam) dengan menggenggam objek-objek yang

dilihatnya.

Dalam sistem kognitif, organisasi memiliki

kecenderungan untuk membuat struktur kognitif menjadi

semakin kompleks. Struktur-struktur kognitif disebut

skema. Skema adalah pola prilaku terorganisir yang

digunakan seseorang untuk memikirkan dan melakukan

tindakan dalam situasi tertentu. Contoh: gerakan refleks

menyedot pada bayi yaitu gerakan otot pada pipi dan

bibir yang menimbulkan gerakan menarik.

b) Adaptasi

Merupakan cara anak untuk memperlakukan informasi

baru dengan mempertimbangkan apa yang telah mereka

10

ketahui. Adaptasi ini dilakukan dengan dua langkah yaitu

sebagai berikut:

Asimilasi

Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk

merujuk pada peleburan informasi baru kedalam struktur

kognitif yang sudah ada. Seorang individu dikatakan

melakukan proses adaptasi melalui asimilasi, jika

individu tersebut menggabungkan informasi baru yag dia

terima kedalam pengetahuan mereka yang telah ada.

Contoh asimilasi kognitif: seorang anak yang

diperlihatkan segi tiga sama sisi, kemudian setelah itu

diperlihatkan segitiga yang lain yaitu siku-siku.

Asimilasi terjadi jika si anak menjawab bahwa segitiga

siku-siku yang diperlihatkan adalah segitiga sama sisi.

Akomodasi

Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk

merujuk pada perubahan yang terjadi pada sebuah

struktur kognitif dalam rangka menampung informasi

baru. Jadi, dikatakan akomodasi jika individu

menyesuaikan diri dengan informasi baru. Melalui

akomodasi ini, struktur kognitif yang sudah ada dalam

diri seseorang mengalami perubahan sesuai dengan

rangsangan-rangsangan dari objeknya. Contoh: si anak

bisa menjawab segitiga siku-siku pada segitiga yang

diperlihatkan kedua.

Ekuilibrasi

Yaitu istilah yang merujuk pada kecenderungan untuk

mencari keseimbangan pada elemen-elemen kognisi.

11

Ekuilibrasi diartikan sebagai kemampuan yang mengatur

dalam diri individu agar ia mampu mempertahankan

keseimbangan dan menyesuaikan diri terhadap

lingkungannya. Agar terjadi ekuilibrasi antara diri

dengan lingkungan, maka peristiwa asimilasi dan

akomodasi harus terjadi secara terpadu, bersama-sama

dan komplementer. Contoh: bayi yang biasanya mendapat

susu dari payudara ibu ataupun botol, kemudian diberi

susu dengan gelas tertutup (untuk latihan minum dari

gelas). Ketika bayi menemukan bahwa menyedot air gelas

membutuhkan gerakan mulut dan lidah yang berbeda dari

yang biasa dilakukannya saat menyusu dari ibunya, maka

si bayi akan mengakomodasi hal itu dengan akomodasi

skema lama. Dengan melakukan hal itu, maka si bayi

telah melakukan adaptasi terhadap skema menghisap yang

ia miliki dalam situasi baru yaitu gelas. Dengan

demikian asimilasi dan akomodasi bekerjasama untuk

menghasilkan ekuilibrium dan pertumbuhan.

Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif Menurut Piaget,

pikiran anak-anak dibentuk bukan oleh ajaran orang

dewasa atau pengaruh lingkungan lainnya. Anak-anak

memang harus berinteraksi dengan lingkungan untuk

berkembang, namun merekalah yang membangun struktur-

struktur kognitif baru dalam dirinya. Piaget juga yakin

bahwa individu melalui empat tahap dalam memahami

dunia. Masing-masing tahap terkait dengan usia dan

terdiri dari cara berpikir yang khas/berbeda.

12

Tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget adalah sebagai berikut

:

Tahap Sensori k Motor ik

Tahap ini merupakan tahap pertama. Tahap ini dimulai

sejak lahir sampai usia 2 tahun. Pada tahap ini, bayi

membangun suatu pemahaman tentang dunia dengan

mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensor (seperti

melihat dan mendengar) dengan tindakan-tindakan fisik.

Dengan berfungsinya alat-alat indera serta kemampuan-

kemampuan melakukan gerak motorik dalam bentuk refleks

ini, maka seorang bayi berada dalam keadaan siap untuk

mengadakan hubungan dengan dunianya.

Piaget membagi tahap sensorik motorik ini kedalam 6

periode (Desmita, 2013 : 105), yaitu:

Periode 1: Penggunaan Refleks-Refleks (Usia 0-1

bulan)

Refleks yang paling jelas pada periode ini adalah

refleks menghisap (bayi otomatis menghisap kapanpun

bibir mereka disentuh) dan refleks mengarahkan kepala

pada sumber rangsangan secara lebih tepat dan terarah.

Misalnya jika pipi kanannya disentuh, maka ia akan

menggerakkan kepala kearah kanan.

Periode 2: Reaksi Sirkuler Primer (Usia 1-4 bulan)

13

Reaksi ini terjadi ketika bayi menghadapi sebuah

pengalaman baru dan berusaha mengulanginya. Contoh:

menghisap jempol.

Pada contoh menghisap jempol, bayi mulai

mengkoordinasikan 1). Gerakan motorik dari tangannya

dan 2). Penggunaan fungsi penglihatan untuk melihat

jempol.

Periode 3: Reaksi Sirkuler sekunder (Usia 4-10

bulan)

Reaksi sirkuler primer terjadi karena melibatkan

koordinasi bagian-bagian tubuh bayi sendiri, sedangkan

reaksi sirkuler sekunder terjadi ketika bayi menemukan

dan menghasilkan kembali peristiwa menarik diluar

dirinya.

Periode 4: Koordinasi skema-skema skunder (Usia 10-

12 bulan)

Pada periode ini bayi belajar untuk

mengkoordinasikan dua skema terpisah untuk mendapatkan

hasil. Contoh: suatu hari Laurent (anak Piaget) ingin

memeluk kotak mainan, namun Piaget menaruh tangannya

ditengah jala. Pada awalnya Laurent mengabaikan tangan

ayahnya. Dia berusaha menerobos atau berputar

mengelilinginya tanpa menggeser tangan ayahnya. Ketika

Piaget tetap menaruh tangannya untuk menghalangi

anaknya, Laurent terpaksa memukul kotak mainan itu

sambil melambaikan tangan, mengguncang tubuhnya sendiri

dan mengibaskan kepalanya dari satu sisi ke sisi lain.

Akhirnya setelah beberapa hari mencoba, Laurent

14

berhasil menggerakkan perintang dengan mengibaskan

tangan ayahnya dari jalan sebelum memeluk kotak mainan.

Dalam kasus ini, Laurent berhasil mengkoordinasikan dua

skema terpisah yaitu: 1). Mengibaskan perintang 2).

Memeluk kotak mainan.

Periode 5: Reaksi Sirkuler Tersier (Usia 12-18

bulan)

Pada periode 4, bayi memisahkan dua tindakan untuk

mencapai satu hasil tunggal. Pada periode 5 ini bayi

bereksperimen dengan tindakan-tindakan yang berbeda

untuk mengamati hasil yang berbeda-beda. Contoh: Suatu

hari Laurent tertarik dengan meja yang baru dibeli

Piaget. Dia memukulnya dengan telapak tangannya

beberapa kali. Kadang keras dan kadang lembut untuk

mendengarkan perbedaan bunyi yang dihasilkan oleh

tindakannya.

Periode 6: Permulaan Berpikir (Usia 18-24 bulan)

Pada periode 5 semua temuan-temuan bayi terjadi

lewat tindakan fisik, pada periode 6 bayi kelihatannya

mulai memikirkan situasi secara lebih internal sebelum

pada akhirnya bertindak. Jadi, pada periode ini anak

mulai bisa berpikir.dalam mencapai lingkungan, pada

periode ini anak sudah mulai dapat menentukan cara-cara

baru yang tidak hanya berdasarkan rabaan fisis dan

internal, tetapi juga dengan koordinasi internal dalam

gambaran atau pemikirannya.

Tahap Pemikiran Pra-Operasional

15

Tahap ini berada pada rentang usia antara 2-7 tahun.

Pada tahap ini anak mulai melukiskan dunia dengan kata-

kata dan gambar-gambar atau simbol. Menurut Piaget,

walaupun anak-anak prasekolah dapat secara simbolis

melukiskan dunia, namun mereka masih belum mampu untuk

melaksanakan “ Operation (operasi) ”, yaitu tindakan

mental yang diinternalisasikan yang memungkinkan anak-

anak melakukan secara mental yang sebelumnya dilakukan

secara fisik. Perbedaan tahap ini dengan tahap

sebelumnya adalah “ kemampuan anak mempergunakan

simbol” (Desmita, 2013 : 130 ). Penggunaan simbol bagi

anak pada tahap ini tampak dalam lima gejala berikut:

Imitasi tidak langsung

Anak mulai dapat menggambarkan sesuatu hal yang

dialami atau dilihat, yang sekarang bendanya sudah

tidak ada lagi. Jadi pemikiran anak sudah tidak

dibatasi waktu sekarang dan tidak pula dibatasi oleh

tindakan-tindakan indrawi sekarang. Contoh: anak dapat

bermain kue-kuean sendiri atau bermain pasar-pasaran.

Ini adalah hasil imitasi.

Permainan Simbolis

Sifat permainan simbolis ini juga imitatif, yaitu

anak mencoba meniru kejadian yang pernah dialami.

Contoh: anak perempuan yang bermain dengan bonekanya,

seakan-akan bonekanya adalah adiknya.

Menggambar

Pada tahap ini merupakan jembatan antara permainan

simbolis dengan gambaran mental. Unsur pada permainan

16

simbolis terletak pada segi “kesenangan” pada diri anak

yang sedang menggambar. Sedangkan unsur gambaran

mentalnya terletak pada “usaha anak untuk memulai

meniru sesuatu yang riil”. Contoh: anak mulai

menggambar sesuatu dengan pensil atau alat tulis

lainnya.

Gambaran Mental

Merupakan penggambaran secara pikiran suatu objek

atau pengalaman yang lampau. Gambaran mental anak pada

tahap ini kebanyakan statis. Anak masih mempunyai

kesalahan yang sistematis dalam mengambarkan kembali

gerakan atau transformasi yang ia amati. Contoh yang

digunakan Piaget adalah deretan lima kelereng putih dan

hitam.

Bahasa Ucapan

Anak menggunakan suara atau bahasa sebagai

representasi benda atau kejadian. Melalui bahasa anak

dapat berkomunikasi dengan orang lain tentang peristiwa

kepada orang lain.

Tahap Operasi berpikir Kongkret

Tahap ini berada pada rentang usia 7-11 tahun.tahap

ini dicirikan dengan perkembangan sistem pemikiran yang

didasarkan pada aturan-aturan yang logis. Anak sudah

mengembangkan operasi logis. Proses-proses penting

selama tahapan ini adalah:

Pengurutan

Yaitu kemampuan untuk mengurutkan objek menurut

17

ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila

diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat

mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang

paling kecil.

Klasifikasi

Kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi

serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau

karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian

benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam

rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki

keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa

semua benda hidup dan berperasaan).

Decentering

Anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari

suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai

contoh anak tidak akan lagi menganggap gelas lebar tapi

pendek lebih sedikit isinya dibanding gelas kecil yang

tinggi.

Reversibility

Anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda

dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk

itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama

dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.

Konservasi

Memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah

benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan

atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut.

Sebagai contoh, bila anak diberi gelas yang seukuran

18

dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air

dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di

gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi gelas lain.

Penghilangan sifat Egosentrisme

Kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang

orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan

cara yang salah). Sebagai contoh, Lala menyimpan boneka

di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian

Baim memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu

baru Lala kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi

kongkrit akan mengatakan bahwa Lala akan tetap

menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu

tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci

oleh Baim.

Tahap Operasi berpikir Formal

Tahap operasional formal adalah periode terakhir

perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini

mulai dialami anak dalam usia 11 tahun dan terus

berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah

diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak,

menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari

informasi yang tersedia.

Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal

seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Dilihat dari

faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat

terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai

masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif,

19

penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan

perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya

mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia

tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang

dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap

operasional kongkrit.

Pada tahap ini, remaja telah memiliki kemampuan

untuk berpikir sistematis, yaitu bisa memikirkan semua

kemungkinan untuk memecahkan suatu persoalan. Contoh:

ketika suatu saat mobil yang ditumpanginya mogok, maka

jika penumpangnya adalah seorang anak yang masih dalam

tahap operasi berpikir kongkret, ia akan berkesimpulan

bahwa bensinnya habis. Ia hanya menghubungkan sebab

akibat dari satu rangkaian saja. Sebaliknya pada remaja

yang berada pada tahap berpikir formal, ia akan

memikirkan beberapa kemungkinan yang menyebabkan mobil

itu mogok. Bisa jadi karena businya mati, atau karena

platinanya, dll.

Seorang remaja pada tahap ini sudah mempunyai

ekuilibrum yang tinggi, sehingga ia dapat bepikir

fleksibel dan efektif, serta mampu berhadapan dengan

persoalan yang kompleks. Remaja dapat berpikir

fleksibel karena dapat melihat semua unsur dan

kemungkinan yang ada. Dan remaja dapat berpikir efektif

karena dapat melihat pemikiran mana yang cocok untuk

persoalan yang dihadapi.

20

Implementasi Teori Perkembangan Kognitif Piaget Dalam

Pembelajaran (Kompasiana edisi 12 Maret 2011).

Dalam hal ini, peran seorang pendidik sangatlah

vital. Beberapa implementasi yang harus diketahui dan

diterapkan adalah sebagai berikut:

1.    Memfokuskan pada proses berpikir atau proses

mental anak tidak sekedar pada produknya. Di samping

kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses

yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban

tersebut.

2.    Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-

anak yang penting sekali dalam inisiatif diri dan

keterlibatan aktif dalam kegaiatan pembelajaran. Dalam

kelas Piaget penyajian materi jadi (ready made) tidak

diberi penekanan, dan anak-anak didorong untuk

menemukan untuk dirinya sendiri melalui interaksi

spontan dengan lingkungan.

3.    Tidak menekankan pada praktik - praktik yang

diarahkan untuk menjadikan anak-anak seperti orang

dewasa dalam pemikirannya.

4.    Penerimaan terhadap perbedaan individu dalam

kemajuan perkembangan, teori Piaget mengasumsikan bahwa

seluruh anak berkembang melalui urutan perkembangan

yang sama namun mereka memperolehnya dengan kecepatan

yang berbeda.

21

2.3 Teori Bruner Jerome Bruner menyatakan bahwa belajar matematika

akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepadakonsep-konsep dan struktur-struktur dalam pokok bahasanyang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antarakonsep-konsep dan struktur-struktur.

Belajar merupakan aktivitas yang menempuh beberapaproses yang bertahap. Perubahan-perubahan tersebut timbulmelalui tahapan yang saling bertalian secara berurutan.Bruner mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya anakmelewati 3 tahap yaitu:

a.Tahap EnaktifYaitu tahap anak secara langsung terlibat dalam

manipulasi (mengotak-atik) objek.b.Tahap IkonikKegiatan anak berhubungan dengan mental yang merupakan

gambaran dari objek-objek manipulasinya. Anak tidak secaralangsung memanipulasi objek seperti yang dilakukan dalamtahap enaktif.

c.Tahap SimbolikTahap ini anak memanipulasi simbol-simbol atau

lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikatdengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Anak sudah mampumenggunakan notasi tanpa tergantung pada objeksesungguhnya.

Sedangkan menurut Burner yang dikutip (Syah, 2003)dalam bukunya Psikologi Belajar proses belajar yang ditempuhsiswa ada tiga tahap yaitu:

a.Tahap Informasi (penerimaan materi)Seorang siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah

keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari. Diantarainformasi tersebut ada yang baru dikenali, ada pula yangmenambah, memperkaya, dan memperdalam pengetahuan yang lainyang telah dimiliki.

b.Tahap Transformasi ( tahap pengubahan materi)

22

Informasi yang telah diterima itu diproses,dianalisis, diubah menjadi bentuk yang abstrak ataukonseptual supaya nanti bisa dimanfaatkan lagi bagi hal-halyang lebih luas. Bagi pemula tahap ini akan berlangsungsulit jika tanpa bimbingan guru yang diharapkan memilikikompeten dalam mentransformasikan informasi tersebut.

c.Tahap Evaluasi (tahap penilaian materi)Seorang siswa menilai sendiri sampai dimana informasi

yang telah ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkannyauntuk memahami dan memecahkan masalah yang dihadapi. Tidakada penjelasan rinci tentang bagaimana cara mengevaluasiini.

Menurut Bruner ada beberapa dalil tentang belajaranak:

a.Dalil Penyusunan (Simanjuntak, Manurung, & C. Matutina, 1993) Menurut J.S.

Bruner langkah yang paling baik belajar matematika adalahdengan melakukan penyusunan presentasinya, karena langkahpermulaan belajar konsep, pengertian akan lebih melekatbila kegiatan-kegiatan yang menunjukkan representasi(model) konsep dilakukakan oleh siswa. Apabila dalamproses penyusunan presentasi tersebut disertai benda-bendakongkret maka mereka akan lebih mudah memahami danmengingat makna-makna dari ide-ide yang dipelajari. Dalamtahap ini anak memperoleh penguatan makna yang diakibatkaninteraksinya dengan benda-benda kongkret yangdimanipulasinya.

Misal jika ingin menunjukkan angka 3(tiga) supayamenunjukkan sebuah himpunan dengan tiga anggotanya. Untukmenanamkan pengertian 3 diberikan 3 buah himpuan kelereng.Tiga kelereng sama dengan 3 kelereng. Dan biar kan si anakmencoba sendiri dalam bentuk-bentuk manipulasi lainnya.Misal kita ambil 5 permen jika si anak mengatakan 5 denganmemisah-misah permen tersebut menjadi lima bagian maka sianak telah benar-benar mengerti konsep dari pengertianbilangan itu sendiri.

23

b.Dalil NotasiDalil notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian

konsep, notasi memegang peran penting. Notasi yangdigunakan berarti menyatakan konsep tertentu yang harusdisesuaikan dengan perkembangan pemikiran anak. Berartiuntuk menyatakan suatu rumus maka notasinya harus dapat dipahami oleh anak, tidak rumit dan mudah dimengerti.

Contoh:F(x)=2x+1Kita notasikan sebagai =(2 x ) +1Lalu untuk anak yang sudah mempelajari konsep fungsi

lebih lanjut diberikan notasi fungsi [(x,y)Iy=2x+1, x,y=R]Notasi yang diberikan berurutan tahap demi tahap dari

yang paling sederhana ke paling rumit. Penyajian sepertiini dalam matematika merupakan pendekatan spiral.(Simanjuntak, Manurung, & C. Matutina, 1993) Pendekatanspiral dalam belajar matematika adalah menanamkan konsepyang dimulai dengan benda-benda kongkrit secara intuitif,kemudian pada tahap-tahap yang lebih tinggi (sesuai dengankemampuan siswa) konsep ini diajarkan dalam bentuk yangabstrak dengan menggunakan notasi yang lebih umum dipakaidalam matematika. Atau secara sistematis disajikan denganmenggunakan notasi-notasi yang bertingkat. Pada awalsederhana lalu dilanjutkan dengan bentuk yang lebihkompleks yang mungkin sebelumnya belum dipahami oleh anak.Umumnya notasi yang lebih kompleks inilah yang akan banyakdigunakan dan diperlukan dalam pembangunan konsepmatematika lanjutan.

c.Dalil Pengontrasan dan KeanekaragamanDalam dalil ini pengontrasan dan keanekaragaman sangat

penting dalam melakukan perubahan konsep yang dipahamisecara mendalam, diperlukan banyak contoh dan latihan,sehingga anak mampu mengetahui ciri-ciri atau karakteristikdari konsep tersebut. Anak perlu diberikan contoh yangmemenuhi rumusan atau konsep yang diberikan dan perlu jugadiberikan contoh yang tidak memenuhi rumusan, sifat atau

24

teorema sehingga anak dapat membedakan antara konsep satudengan konsep lainnya.

Sebagai contoh ketika anak mempelajari bangun ruangbola, maka si anak juga harus mempelajari bangun ruangkubus, balok dan lain-lain, ini dimaksudkan agar anak dapatmembedakan mana yang termasuk bola atau tidak.

d.Dalil pengait (konektivitas)

Dalam dalil ini dikatakan bahwa dalam matematika

antara konsep satu dan konsep lainnya memiliki hubungan

atau keterkaitan, bukan hanya dari segi isi tetapi juga

dari segi rumus yang digunakan. Materi yang satu mungkin

menjadi prasyarat bagi materi lainnya atau konsep tertentu

mungkin diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya.

Contohnya dalam penggunaan rumus-rumus trigonometri yang

nantinya juga akan digunakan dalam turunan ataupun integral

trigonometri.

2.4 Teori GestaltTokoh aliran ini adalah John Dewey. Ia mengemukakan

bahwa pelaksanaan Kegiatan Belajar mengajar yang

diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal

berikut ini (Tim MKPBM, UPI).

a)Penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian

b)Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus

memperhatikan kesiapan intelektual siswa, dan

c)Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar.

Dari ketiga hal diatas, dalam menyajikan pelajaran

guru jangan memberikan konsep yang harus diterima begitu

saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman terhadap

25

proses terbentuknya konsep tersebut daripada hasil akhir.

Untuk hal ini guru bertindak sebagai pembimbing dan

pendekatan yang digunakan adalah pendekatan proses melalui

metode induktif. Pendekatan dan metode yang digunakan

tersebut haruslah disesuaikan pula dengan kesiapan

intelektual siswa. Dalam pelaksanaan kegiatan belajar

mengajar mulailah dengan menyajikan contoh-contoh konkret

yang beraneka ragam, kemudian mengarah pada konsep abstrak

tersebut. Dengan cara seperti ini diharapkan kegiatan

belajar mengajar bisa berjalan secara bermakna.

GESTALT DALAM PEMBELAJARAN

Kontribusi paling penting dari teori gestalt terhadap

pemahaman kita mengenai pembelajaran adalah pada studi

tentang wawasan (insight). Seringkali pembelajaran terjadi

secara tiba-tiba disertai perasaan bahwa kita benar-benar

telah mengerti sekarang. Pembelajaran semacam itu

kemungkinan sangat sulit untuk dilupakan dan sangat mudah

untuk ditransfer ke situasi-situasi baru. Pembelajaran

semacam itu kita sebut sebagai pembelajaran dengan

melibatkan wawasan. Dalam kasus-kasus tersebut penjelasan

gestalt mengenai reorganisasi perceptual bisa diterapkan

dengan tepat. Pelajar yang memiliki wawasan akan memandang

segenap situasinya dengan cara baru, dimana terkandung

pemahaman atas hubungan logis atau persepsi atas hubungan

antara sarana dan tujuan.

Wawasan semacam itu tidak hanya terbatas pada manusia.

Selama Perang Dunia I, Kohler yang diasingkan ke Kepulauan

26

Canary melakukan studi intensif mengenai pemecahan masalah

dengan wawasan pada simpanse. Ini dijelaskan dalam bukunya

The Mentality of Apes (1925). Simpanse diberi sebuah masalah

berupa pisang yang panjang diluar jangkauannya dan hanya

bisa diraih dengan teknik-teknik yang baru bagi pengalaman

simpanse. Contohnya, sebuah pisang digantung diatap sangkar

hewan tersebut, sementara didalam sangkar terdapat kotak-

kotak berserakan yang bisa ditumpuk dan menjadi tumpukan

kera untuk meraih pisang itu. Atau sebuah pisang diletakkan

cukup jauh diluar kandang dan hanya bisa diraih dengan

menariknya kedalam menggunakan sebatang tongkat. Dari sudut

pandang Gestalt, rancangan semacam ini memiliki kelebihan

yang memungkinkan semua elemen pemecahan bisa tertangkap

oleh hewan, yang tidak bisa ditemui dalam kasus kotak teka-

teki (puzzle) atau lorong berliku (maze). Kohler

membuktikan bahwa masalah-masalah ini seringkali dipecahkan

secara tiba-tiba, dan pemecahan serta-merta itu terjadi

setelah berlalu satu periode tertentu dimana kera tidak

aktif berusaha meraih pisang. Kadang-kadang setelah gagal

meraih pisang dengan metode-metode biasa, hewan itu duduk

dan nampak memikirkan masalah tersebut untuk kemudian tiba-

tiba menangkap pemecahannya. Insiden semacam ini amat cocok

dengan penjelasan restrukturisasi perceptual. Kohler bisa

mengatakan bahwa kera tiba-tiba melihat kotak-kotak itu

bukan sebagai benda meainan lagi melainkan sebagai tumpuan

untuk dinaiki. Kera tersebut melihat hubungan antara kotak-

kotak dan pisang. Ketika kera itu tidak aktif melakukan

apapun untuk memecahkan masalahnya, ia mengalami proses

27

restrukturisasi yang, ketika selesai, memunculkan pemecahan

secara tiba-tiba.

Bagaimanapun juga, kita tidak perlu membayangkan

contoh-contoh dramatik seperti itu saja untuk menjelaskan

tentang wawasan tiba-tiba dan komplit seperti itu menurut

peristilahan Gestalt. Pembelajaran bertahap melalui upaya

coba-coba juga bisa diinterpretasi sebagai rangkaian

wawasan yang kecil-kecil dan parsial. Masalah yang

disodorkan Kohler dirancang sedemikian rupa sehingga kera

bisa melihat semua elemen pemecahan yang diperlukan

sekaligus. Yang diperlukan hanyalah bagaimana agar elemen-

elemen itu bisa diorganisir menjadi gestalt yang tepat.

Sebaliknya, seekor tikus didalam sebuah maze tidak bisa

melihat adanya hubungan antara pola belokan dan makanan

diujungnya kecuali ketika hubungan ini terungkap oleh

pengalaman. Dengan demikian restrukturisasi tikus bersifat

bertahap dan sedikit demi sedikit, karena situasi yang ada

tidak memberikan kemungkinan lainnya. sekalipun demikian,

fakta bahwa pola belokan tertentu ternyata mengarah pada

makanan juga membentuk restrukturisasi kognitif sebagaimana

fakta bahwa kotak-kotak yang disusun mengarah pada makanan.

Sifat tiba-tiba pada restrukturisasi ini bergantung pada

masalah dan cara penyajiannya pada subjek, namun prinsipnya

tetap sama.

WAWASAN DALAM PENDIDIKAN

Kontribusi Wertheimer yang paling menonjol bagi

perkembangan psikologi Gestalt adalah dalam aplikasi bidang

28

pendidikan. Ia memberikan perhatian pada pembelajaran

berwawasan dikalangan anak-anak sekolah. Apabila Kohler

meneliti wawasan pada kera untuk tujuan teoritis,

Wertheimer memiliki minat yang amat praktis pada anak-anak

sekolah. Ia memandang bahwa para guru terlalu banyak

menekankan hapalan atau ingatan buta dengan mengorbankan

pemahaman. Untuk itu ia mengarahkan studi-studinya guna

menghasilkan cara tertentu agar pembelajaran disertai

wawasan yang lebih besar dipihak siswa.

Dalam bukunya Productive Thinking, Wertheimer (1945)

membedakan dua tipe pemecahan masalah. Dalam pemecahan tipe

A terdapat originalitas dan wawasan; dalam pemecahan tipe B

yang ada adalah ketentuan-ketentuan lama yang diterapkan

secara tidak tepat, dan dengan demikian tidak menjadi

pemecahan. Pembedaan ini bukan berarti bahwa pemecahan B

bergantung pada pengalaman sebelumnya dan pemecahan A

tidak. Keduanya sama-sama bergantung pada pengalaman

sebelumnya; perbedaannya ada pada susunan orisinil yang

mencirikan pemecahan A.

Wertheimer mendapati bahwa geometri merupakan bidang

yang amat berguna untuk mengkaji pendekatan yang berbeda

terhadap masalah. Salah satu masalah yang ia berikan kepada

orang dewasa dan anak-anak mengharuskan subjek untuk

mencari luas jajaran genjang (parallelogram). Awalnya

Wertheimer menjelaskan kepada subjek cara mencari luas

persegi panjang; ia tidak hanya menyatakan rumus panjang

kali lebar, namun juga menjelaskan alasan diperolehnya

rumus tersebut. Ia melakukannya dengan membagi persegi29

panjang itu menjadi bujur sangkar-bujur sangkar kecil dan

menunjukkan bahwa luas persegi panjang adalah jumlah bujur

sangkar yang ada dalam satu kolom dikalikan dengan jumlah

kolomnya. Ia kemudian memperlihatkan sebuah jajaran genjang

yang terbuat dari kertas dan menyuruh subjek untuk mencari

luasnya. Sebagian orang menjawab bahwa ini merupakan soal

baru dan mereka menganggap tidak bisa menyelesaikan soal

tersebut tanpa diberitahu caranya. Sebagian langsung

mengulang rumus perkalian satu sisi dikalikan sisi yang

lainnya, yang sekarang terbukti tidak berlaku: ini adalah

‘pemecahan’ tipe B. yang lainnya berusaha untuk menemukan

pemecahan yang orisinal, namun tetap tidak bisa menemukan

hubungan kedua persoalan itu. Akan tetapi, beberapa

diantaranya sampai pada pemecahan A yang orisinal. Salah

satu anak mengamati bahwa yang membuat soal itu sulit

adalah dua pojok tepi jajaran genjang yang mencuat; ia

meminta gunting, memotong salah satu tepi dan menyatukannya

dengan tepi yang lainnya, sehingga jajaran genjang tersebut

sekarang menjadi persegi panjang. Subjek yang lainnya

sampai pada hasil yang sama dengan membengkokkan jajaran

genjang itu menjadi sebuah cincin, sehingga kedua ujungnya

menyatu, dan kemudian memotong cincin itu secara melintang

sehingga menjadi sebuah persegi panjang. Kedua individu ini

menunjukkan pemahaman orisinal atas situasi tersebut yang

memungkinkan pemecahan yang orisinal dan benar.

Jika kedua individu ini menerapkan ketentuan ‘panjang

kali lebar’ yang ada pada persegi panjang untuk menghitung

jajaran genjang, perhitungan yang diperoleh tentu benar,

30

namun demikian tetap menunjukkan tidak ada pemahaman. Hal

itu lebih mirip dengan penyelesaian B, walaupun secara

kebetulan juga benar. Namun demikian, yang mereka lakukan

adalah mencari cara orisinil dengan mengubah soal baru ini

menjadi soal yang familiar bagi mereka, soal yang mereka

ketahui cara penyelesaiannya. Penyelesaiannya akhirnya amat

bergantung pada pengalaman sebelumnya, namun pengalaman

sebelumnya itu diorganisir dengan cara baru. Hal penting

dalam penyelesaian tersebut adalah adanya wawasan yang

dengannya situasi soal baru itu direstrukturisasi. Dari

sudut pandang para pemecah masalah itu, jajaran genjang

diubah menjadi Gestalt yang lebih baik, menjadi persegi

panjang.

Ketika suatu penyelesaian terbukti benar, penting

untuk dibedakan apakah disana terkandung pemahaman nyata

atau tidak. Pemahaman tidak sama dengan logika. Baik

metode-metode logika induktif dan deduktif bisa diterapkan

secara membuta. Metode induktif, dimana seseorang menalar

dari contoh-contoh partikular menuju kesimpulan umum,

sebenarnya hanya merupakan upaya coba-coba. Sesorang

lainnya mungkin mencoba berbagai rumus untuk menemukan luas

jajaran genjang, ia mendapati bahwa panjang kali lebar

menghasilkan jawaban sama seperti yang ad dibuku untuk

sejumlah kasus, dan menyimpulkan bahwa inilah rumus yang

benar namun tanpa mengetahui sebabnya. Meskipun memadai

untuk tujuan-tujuan praktis, cara ini adalah penyelesaian

tanpa pemahaman. Wertheimer gemar memberikan contoh kasus

dimana induksi seperti itu mengarah pada kesimpulan yang

31

ternyata keliru. Metode deduktif, dimana seseorang menalar

secara logis dari satu prinsip ke hal lainnya, juga bisa

diterapkan secara membuta. Seorang siswa mungkin

menggunakan aljabar dengan teliti sampai iya bisa

membuktikan benarnya suatu persamaan, namun ia mungkin

tetap tidak memahami persamaan itu dalam pengertian seperti

yang dimaksud oleh Wertheimer. Pemahaman bukan hanya

melibatkan kebenaran logika melainkan juga persepsi

mengenai persoalan sebagai keseluruhan yang utuh, mengenai

cara menggunakan sarana untuk mengarah ketujuan. Dalam

proses pembuktian aljabar misalnya, disetiap langkahnya

siswa perlu bertanya bukan hanya, bagaimana secara logis

ini diperoleh dari langkah sebelumnya? Melainkan juga

bagaimana ini mengarah pada pemecahan? Dalam pendapat

Wertheimer, seharusnya pendidikan menjadikan pemahaman atau

persepsi mengenai Gestalt-Gestalt utuh seperti itu sebagai

tujuan pokoknya.

Penyelesaian soal secara kreatif bukan hanya penting

untuk situasi-situasi intelektual murni seperti tersebut

diatas. Wetheimer mengilustrasikan pentingnya hal itu dalam

situasi-situasi sosial melalui sebuah anekdot mengenai dua

orang anak yang tengah bermain badminton. Anak yang lebih

besar bermain lebih baik daripada anak yang lebih kecil dan

selalu menang, sehingga anak kecil pun akhirnya menolak

melanjutkan permainan. Karena suasana gembira menjadi

buyar, bagi anak yang lebih besar hal ini menjadi

persoalan. Bagaimana caranya agar ia bisa mengajak anak

kecil itu untuk terus bermain badminton? Bisa saja ia

32

menyuruh agar anak kecil itu bersikap sportif (kemungkinan

tidak berhasil), atau bisa saja ia bermain dengan cara

mengalah (pendekatan ini lebih baik namun tidak menjadi

jawaban bagi persoalan awalnya). Kemudian anak yang besar

menyadari bahwa akar persoalannya adalah pada kompetisi,

karena itu ia menawarkan penyelesaian yang konstruktif.

Permainan kompetitif berupa pertandingan meraih angka

sekarang diganti menjadi permainan kooperatif dimana mereka

berusaha bekerja sama menjaga bolanya agar tetap melayang,

sehingga keduanya bisa menikmati permainan itu lagi. Sekali

lagi, pemahaman terhadap situasi akan menuntun pada

pemecahan yang berwawasan.

Bila disandingkan dengan karya Guthrie Psychology of

Learning, buku Wertheimer menunjukkan perbedaan antara

perspektif kognitif dan koneksionis mengenai pembelajaran

dalam bentuk-bentuknya yang ekstrim. Kedua buku tersebut

memperlihatkan perhatian yang kuat pada psikologi

pembelajaran terapan, khusunya dikalangan anak-anak.

Guthrie menekankan bagaimana mendidik anak agar melakukan

respon yang tepat terhadap stimuli yang tepat.

Pertanyaannya selalu berupa apa yang dilakukan oleh anak?

Sebaliknya Wertheimer menekankan bagaimana mendidik anak

agar memiliki wawasan mengenai materi yang ada.

Pertanyaannya adalah apa yang dipahami oleh anak? Ini bukan

berarti bahwa perbedaan keduanya tidak bisa dipertemukan,

karena Wertheimer pun membahas kemampuan pemecahan masalah

secara efektif dan Guthrie pun berbicara tentang pemahaman

menurut stimuli yang dihasilkan oleh gerakan. Tetapi

33

penekanan diantara keduanya amat berbeda. Penekanan

terhadap pemahaman, persepsi mengenai hubungan yang ada

dalam keseluruhan yang terorganisir, adalah sumbangan besar

psikologi gestalt bagi interpretasi pembelajaran.

2.5 Teori Brownell

Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran

dalam teori belajar adalah William Artur Brownell dilahirkan

tanggal 19 mei 1895 dan wafat pada tanggal 24 mei 1977, yang

mendedikasikan hidupnya dalam dunia pendidikan. Brownell

(1935) “…he characterized his point of view as the “meaning theory.” In

developing it, he laid the foundation for the emergence of the “new mathematics.”

He showed that understanding, not sheer repetition, is the basis for children's

mathematical learning…” pada penelitiannya mengenai pembelajaran

anak khususnya pada aritmetika mengemukakan belajar

matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar

pengertian atau yang dikenal dengan Meaning Theory (teori

bermakna) dan dalam perkembangannya ia meletakkan pondasi

munculnya matematika baru. Jika dilihat dari teorinya ini

sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt yang muncul

pada pertengahan tahun 1930. Dimana menurut teori Gestalt,

latihan hafalan atau yang dikenal dengan sebutan drill

adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara drill

diberikan setelah tertanam pengertian.

Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di SD,

Meaning Theory (teori makna) yang diperkenalkan oleh

Brownel merupakan alternatif dari Drill Theory (teori

latihan hafal/ulangan).

34

Teori Drill dalam pengajaran matematika berdasarkan

kepada teori belajar asosiasi yang lebih dikenal dengan

sebutan teori belajar stimulus respon yang dikembangkan oleh

Edward L. Thorndike (1874-1949). Teori belajar ini

menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses

pembentukan hubungan antara stimulus dan respons. Menurut

hukum ini belajar akan lebih berhasil bila respon siswa

terhadap suatu stimulus segera diikuti rasa senang atau

kepuasan. Rasa senang atau puas ini bisa timbul sebagai

akibat siswa mendapat pujian atau ganjaran sehingga ia

merasa puas karena sukses yang diraihnya dan sebagai

akibatnya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan

berikutnya.

Menurut teori drill ikatan antara stimulus (soal) dan

respon (jawab) itu bisa dicapai oleh siswa dengan latihan

berupa ulangan (drill), atau dengan kata lain dengan latihan

hapal atau menghapal. Intisari pengajaran matematika menurut

teori drill adalah sebagai berikut:

a.   Matematika (aritmetika) untuk tujuan pembelajaran

(belajar mengajar) dianalisis sebagai kumpulan fakta (unsur)

yang berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan.

b.     Anak diharuskan untuk menguasai unsur-unsur yang

banyak sekali tanpa diperhatikan pengertiannya.

c.      Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti

yang akan digunakan nanti pada kesempatan lain.

d.     Anak akan mencapai tujuan ini secara efektif dan

efisien dengan melalui pengulangan atau drill.

35

Brownell mengemukakan ada tiga keberatan utama

berkenaan dengan teori drill pada pengajaran matematika.

a.Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari

siswa yang hampir tidak mungkin dicapai. Menurut hasil

penelitian menunjukkan anak yang tahu 3 + 6 = 9 ternyata

tidak tahu dengan baik, bahwa 6 + 3 = 9. Penelitian lain

menunjukkan bahwa penguasaan 3 + 6 = 9 tidak menjamin

dikuasainya 13 + 6 = 19, 23 + 6 = 29 atau 43 + 6 = 49, dan

sebagainya.

b.Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang

dihasilkan oleh drill. Pada saat guru memberikan drill pada

keterampilan aritmetika, ia berasumsi bahwa murid akan

berlatih sebagai reaksi dari yang telah ditentukan. Misalkan

pada waktu guru memberi tugas 4 + 2 = 6 dan 9 – 5 = 4, ia

mengharap semua siswa akan dengan diam berpikir atau

mengucapkan dengan keras, 4 dan 2 sama dengan 6, 9

dikurangi 5 sama dengan 4. Guru percaya dengan sering

mengulanginya akhirnya siswa selalu menjawab 6 dan 4 untuk

ke dua tugas tersebut. Kemudian melalui penelitian diketahui

bahwa hanya 40% dari siswa yang dapat menjawab dengan benar

berdasarkan ingatannya. Kegiatan ini menunjukkan bahwa drill

tidak menghasilkan respons otomatis untuk siswa-siswa di

kelas 1 dan kelas 2 SD, padahal tugas dan beban belajar

mereka relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan kelas-

kelas yang lebih atas.

c.Aritmetika adalah paling tepat dipandang sebagai

suatu sistem berpikir kuantitatif. Pandangan ini merupakan

kriteria penilaian suatu sistem pengajaran matematika yang

36

memadai atau tidak. Jelas dari sudut pandang ini, teori

drill dalam pengajaran aritmetika tidak memadai, sebab

pengajaran melalui drill tidak menyediakan kegiatan untuk

berpikir secara kuantitatif. Agar siswa dapat berpikir

secara kuantitatif ia harus mengetahui maksud dari apa yang

dipelajarinya (mengerti), yang tidak pernah menjadi

perhatian dari sistem pengajaran aritmetika melalui drill

(balapan).

Menurut Brownell kemampuan mendemosntrasikan operasi-

operai hitung secara mekanis dan otomatis tidaklah cukup.

Tujuan utama dari pengajaran aritmetika adalah

mengembangkan atau pentingnya kemampuan berpikir dalam

situasi kuantitatif.

Brownell mengusulkan agar pengajaran aritmetika pada

anak lebih menantang kegiatan berpikirnya dari pada kegiatan

mengingatnya. Program aritmetika di SD haruslah membahas

tentang pentingnya (significance) dan makna (meaning) dari

bilangan. Pentingnya bilangan (the significance of number) adalah

nilainya atau pentingnya dalam kehidupan keseharian manusia.

Pengertian signifikansi bilangan bersifat fungsional

atau dengan kata lain penting dalam kehidupan sosial

manusia. Sedangkan makna bilangan (the meaning of number) adalah

bersifat intelektual, yaitu bersifat matematis sebagai suatu

sistem kuantitatif.

Jadi pembelajaran aritmetika yang dikembangkan oleh

Brownel, menekankan bahwa keterampilan hitung tidak hanya

sekedar mengetahui cara menyelesaikan prosedur-prosedur

37

tetapi juga harus mengetahui bagaimana prosedur-prosedur

tersebut bekerja atau dengan kata lain harus mengetahui

makna dari apa yang dipelajari.

Pengaplikasian teori kognitif Brownell dalam belajar

bergantung pada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan

suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar,

karena ia tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui

saja dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan usaha

untuk dapat mengakomodasikan.

Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam

pembelajaran sebagai berikut:

a.       Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan

orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar dengan

menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak.

b.       Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat

menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak

agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

c.        Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya

dirasakan baru tetapi tidak asing.

d.       Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap

perkembangannya.

e.        Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling

berbicara dan diskusi dengan siswa lain.

Dengan demikian, dalam teori bermakna yang

dikembangkan oleh Brownell bahwa pengajaran operasi hitung

akan mudah dipahami oleh siswa apabila makna bilangan dan

operasinya diikutsertakan dalam proses operasi. Kita percaya

38

bukan keputusan mengajarkan matematika dengan bermakna saja

yang dapat menyebabkan perubahan dalam reformasi pendidikan,

tetapi bagaimana cara kita menginterpretasikan istilah

pembelajaran matematika yang bermakna yang telah dan akan

melanjutkan usaha perbaikan dalam matematika. Tentu saja

pengajar (guru) matematika harus berusaha mengajar dengan

efektif dan bermakna. Karena pada hakikatnya mengajarkan

matematika dengan lebih bermakna akan mengantarkan siswa

pada sikap menghargai matematika sebagai ilmu yang memiliki

peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.

2.6 Teori Dienes

Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang

memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap

anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan

pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian

rupa sehinnga sistem yang perkembangannya itu menarik bagi

anak yang mempelajari matematika.

Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika

dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-

misahkan hubungan-hubungan di antara struktur –struktur dan

mengkategorikan hubungan-hubungan di antara sturtur-

struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau

prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang

konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti

bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan

akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam

pengajaran matematika.

39

Dienes (Bell, 1978: 124) percaya bahwa semua abstraksi

didasarkan pada intuisi dan pengalaman konkret, maka dari

itu sistem dalam pembelajaran matematika menekankan pada

mathematics laboratories, memanipulasi objek, dan permainan

matematika.

Menurut Dienes (Bell, 1978: 125-126), konsep-konsep

matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap

tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6

tahap, sebagai berikut.

a)      Free Play (permainan bebas). Permainan bebas

merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak

berstruktur dan tidak diarahkan. Walaupun guru memberikan

arahan yang bervariasi dari materi untuk siswa memanipulasi.

Disini siswa mendapatkan pengalaman yang pertama dari suatu

konsep baru melalui interaksi dengan lingkungan yang mana

berisi representation  konkret dari konsep. Pada tahap ini

struktur dan bakat mental siswa dibentuk yang mana disiapkan

untuk memahami konsep struktur matematika .

b)      Games (permainan yang disertai aturan). Pada

tahap ini siswa akan memulai mengobservasi pola dan

keteraturan  yang diwujudkan dalam konsep. Melalui permainan

anak mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur

matematika itu. Pada tahap ini anak juga sudah mulai

mengabstraksikan konsep. Untuk membuat konsep abstrak, anak

didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-

macam pengalaman, dan kegiatan untuk menolak yang tidak

relevan dengan pengalaman itu.

40

c)      Searching for communities (permainan kesamaan sifat).

Pada tahap ini siswa belum mampu mengklasifikasikan contoh

dan bukan contoh dari suatu konsep. Dienes menyarankan bahwa

guru dapat membantu siswa melihat struktur communality dalam

contoh dari konsep yang ditunjukan kepada siswa bagaimana

tiap contoh dapat ditransfer kedalam tiap contoh yang lain

tanpa merubah sifat abstrak yang umum dari semua contoh.

d)     Representation (representasi). Representasi adalah

tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang

sejenis. Para anak didik menentukan representasi dari

konsep-konsep tertentu. Representasi yang diperoleh bersifat

abstrak. Dengan melakukan representasi anak didik telah

mengarah pada pengertian struktur matematika yang bersifat

abstrak pada topik-topik yang sedang dipelajari.

e)      Symbolization (simbolisasi). Simbolisasi adalah

belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan

representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan

simbol matematika atau melalui perumusan verbal.

f)       Formalization (formalisasi). Setelah siswa

mempelajari sebuah konsep dan hubungannya dengan struktur

matematika, siswa harus memahami sifat dari konsep dan

mengingat akibat dari sifat tersebut. Sifat dasar struktur

matematika adalah sistem aksioma yang diambil dari sifat

teorema dan prosedur. Pada tahap ini siswa dituntut

menggunakan konsep untuk memecahkan masalah dan

mengaplikasikan masalah dalam matematika.

41

2.7 Teori Van Hiele

Dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang

dikemukakan oleh Van Hiele (1954), yang menguraikan tahap-

tahap perkembangan mental anak dalam geometri. Van Hiele

adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan

penelitian dalam pengajaran geometri. Hasil penelitiannya

itu, yang dirumuskan dalam disertasinya, diperoleh dari

kegiatan tanya jawab dan pengamatan.

Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran

geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode

pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan

dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan

berpikir yang lebih tinggi.

Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar

anak dalam belajar geometri,yaitu: (Tim MKPBM,2001:51)

Tahap pengenalan (Visualisasi)

Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenai suatu

bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu

mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang

dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada seorang anak

diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat

atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus tersebut. Ia

belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi-sisi yang

merupakan bujur sangkar, bahwa sisinya ada 6 buah, rusuknya

ada 12 dan lain-lain.

42

Tahap analisis

Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat

yang dimiliki benda geometri yang diamatinya. Ia sudah

mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda

geometri itu. Misalnya di saat ia mengamati persegi

panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi

yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling

sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui

hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan

benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui

bahwa bujursangkar adalah persegi panjang, bahwa bujur

sangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.

Tahap pengurutan (deduksi informal)

Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan

penarikan kesimpulan, yang kita kenal dengan sebutan

berpikir deduktif. Namun kemampuan ini belum berkembang

secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah, anak

pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia

sudah mengenali bahwa bujur sangkar adalah jajar genjang,

bahwa belah ketupat adalah layang-layang.

Tahap deduksi

Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan

secara deduktif, yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal

yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus.

Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya peranan

43

unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-

unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai

memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak sudah mulai

mampu menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan

dalam pembuktian.

Tahap Akurasi

Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa

pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang

melandasi suatu pembuktian. Misalnya, ia mengetahui

pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari

geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir

yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak

mengherankan jika beberapa anak, meskipun sudah duduk di

bangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap

berpikir ini.

44

BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan Psikologi Kognitif merupakan salah satu cabang dari

psikologi umum yang mencakup studi ilmiah tentang gejala-

gejala kehidupan mental atau psikis yang berkaitan dengan

cara manusia berpikir, seperti dalam memperoleh

pengetahuan, mengolah kesan yang masuk melalui

penginderaan, menghadapi masalah atau problem untuk mencari

suatu penyelesaian, serta menggali dari ingatan pengetahuan

dan prosedur kerja yang dibutuhkan dalam menghadapi

tunututan hidup sehari-hari.

Teori Piaget menyatakan bahwa belajar yang

sebenarnya bukanlah sesuatu yang diturunkan oleh guru,

45

melainkan sesuatu yang berasal dari dalam diri anak

sendiri. Belajar merupakan sebuah proses penyelidikan dan

penemuan spontan. Berkaitan dengan belajar, Piaget

membangun teorinya berdasarkan pada konsep Skema yaitu,

stuktur mental atau kognitif yang menyebabkan seseorang

secara intelektual beradaptasi dan mengoordinasikan

lingkungan sekitarnya. Skema pada prinsipnya tidak statis

melainkan selalu mengalami perkembangan sejalan dengan

perkembangan kognitif manusia. Berdasarkan asumsi itulah,

Piaget berpendapat bahwa belajar merupakan proses

menyesuaikan pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif

yang telah dipunyai seseorang. Bagi Piaget, proses belajar

berlangsung dalam tiga tahapan yakni: asimilasi, akomodasi

dan equilibrasi. Kompleksitas pengetahuan dan struktur

kognitif tidak dengan sendirinya menyebabkan terjadinya

asimiliasi secara mulus. Dalam kasus tertentu asimilasi

mungkin saja tidak terjadi karena informasi baru yang

diperoleh tidak bersesuaian dengan stuktur kognitif yang

sudah ada. Dalam konteks seperti ini struktur kongitif

perlu disesuaikan dengan pengetahuan baru yang diterima.

Proses semacam ini disebut akomodasi. Penekanan Piaget

tentang betapa pentingnya fungsi kognitif dalam belajar

didasarkan pada tahap perkembangan kognitif manusia.

Teori Bruner menyatakan bahwa belajar matematika

akan lebih berhasil jika diarahkan kepada konsep dan

struktur dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping

hubungan yang terkait antara konsep dan struktur. Dalam

teori ini proses belajar anak melewati 3 tahap, yaitu:

46

Tahap Efaktif, Tahap Ikonik, dan Tahap Simbolik. Dalam buku

lain dikatakan ada 3 tahapan, yaitu: Tahap Informasi, Tahap

Transformasi, dan Tahap Evaluasi. Selain itu Bruner juga

mengemukakan beberapa dalil tentang proses belajar, yaitu:

Dalil Penyususnan, Dalil Notasi, Dalil Pengkontrasan dan

Keanekaragaman serta Dalil Pengaitan.

Teori Gestalt mengemukakan bahwa pelaksanaan

kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakan oleh guru

harus memperhatikan hal-hal berikut:

a.Penyajian konsep harus mengutamakan pengertian.

b.Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus

memperhatikan kesiapan intelektual siswa.

c.Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar.

Teori Brownell mengemukakan belajar matematika harus

merupakan belajar bermakna dan pengertian. Dia menegaskan

bahwa belajar pada hakikatnya merupakan suatu proses yang

bermakna.

Teori Dienes mengemukakan bahwa pada dasarnya

matematika dianggap sebagai studi tentang struktur,

memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara struktur-

struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan diantara

struktur-struktur. Dienes mengemukanakan bahwa tiap-tiap

konsep atau prinsip dalam matemtatika yang disajikan dalam

bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini

mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam

bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi

dengan baik dalam pengajaran matematika. Menurut Dienes,

konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari

47

dalam tahap-tahap tertentu, yaitu: Free Play, Games,

Searching for communities, Representation, Symbolization,

dan Formalization.

Teori Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap

belajar anak dalam belajar Geometri, yaitu: Tahap

Pengenalan (visualisasi), Tahap Analisis, Tahap Pengurutan

(deduksi informal), Tahap Deduksi, dan Tahap Akurasi.

3.2 SaranHendaknya pengetahuan tentang kognitif siswa perlu

dikaji secara mendalam oleh para calon guru dan para gurudemi menyukseskan proses pembelajaran di kelas. Tanpapengetahuan tentang kognitif siswa, guru akan mengalamikesulitan dalam membelajarkannya di kelas, yang padaakhirnya mempengaruhi rendahnya kualitas proses pendidikanyang dilakukan oleh guru di kelas. Karena faktor kognitifyang dimiliki oleh siswa merupakan salah satu faktor utamayang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran dikelas. Faktor kognitif merupakan jendela bagi masuknyaberbagai pengetahuan siswa melalui kegiatan belajar baiksecara mandiri maupun secara kelompok.

DAFTAR PUSTAKADanim,Sudarwan.(2011). Perkembangan Peserta Didik. Bandung:

Alfabeta.

Desmita.2013.Psikologi Perkembangan.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

F Kill, Winfred. 2011. Teori-teori Pembelajaran. Bandung: Nusamedia

Simanjuntak, D. L., Manurung, D. P., & C. Matutina, D. (1993).Metode Mengajar Matematika. Jakarta: Rineka Cipta.

Sukardjo & Ukim Komarudin. 2009. Landasan Pendidikan: Konsep danAplikasinya. Jakarta : Rajawali Press

48

Suyono & Hariyanto. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung : PT.Remaja Rosdakarya

Syah, M. (2003). Psikologi Belajar. Jakarta: RajaGrasindo Persada.

Syamsu Yusuf L. N & Nani M. Sugandhi.2013.Perkembangan PesertaDidik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Tim MKPBM. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.Bandung: JICA- UPI

http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/12/teori-perkembangan-kognitif-jean-piaget-dan- implementasinya-dalam-pendidikan-346946.html 18 September 2014 16:35

http://www.psikologizone.com/favicon.ico/Teori KognitifPsikologi Perkembangan Jean Piaget/18 September 2014 16:35

49