Jurnal Tugas Akhir

11
Jurnal Tugas Akhir 1 ANALISA PENGARUH TEGANGAN SISA DAN DISTORSI PADA PENGELASAN BUTT JOINT DAN T JOINT DENGAN VARIASI TEBAL PLAT Sri Yuni Setyawati 1 , Yeyes Mulyadi 2 , Gatot Dwi Winarto 3 1 Mahasiswa Teknik Kelautan, 2 Staf Pengajar Teknik Kelautan, 3 Staf Pengajar Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya Abstrak Permasalahan utama proses pengelasan adalah terjadinya tegangan sisa dan distorsi. Analisa pengaruh tegangan sisa ini dilakukan dengan eksperimen dan pemodelan pada pengelasan sambungan butt joint dan T joint dengan memvariasikan ketebalan plat. Variasi ketebalan plat tersebut yaitu, 8 mm, 10 mm, 12 mm dan 14 mm. Pada pengelasan butt joint dan T joint, distorsi terbesar terjadi pada pengelasan variasi I yakni dengan tebal plat 8 mm dan distorsi terkecil terjadi pada variasi IV dengan tebal 14 mm. Tegangan sisa maksimum pada variasi I yakni tebal 8 mm dengan harga tegangan sisa untuk butt joint sebesar 0.52 MPa dan T joint sebesar 0.09 MPa. Tegangan sisa minimum dialami variasi IV yakni dengan tebal 14 mm, dimana tegangan sisa untuk butt joint sebesar 0.47 MPa dan T joint sebesar 0.06 MPa. Analisa hasil yang diperoleh dari pemodelan pada Ansys 11.0 model 3 dimensi yaitu tegangan sisa maksimum terjadi pada sambungan butt joint dan T joint pada variasi I dan tegangan minimum pada variasi IV. Konsentrasi tegangan dapat diamati pada sambungan pengelasan yang terjadi pada bagian dalam dan permukaan sambungan. Dari hasil variasi tersebut, perhitungan dapat digunakan untuk memprediksi besarnya tegangan sisa dan sudut distorsi untuk tebal pelat yang lain. Kata kunci : pengelasan, tegangan sisa, distorsi, ,butt joint, T joint 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyambungan logam dengan sambungan las banyak digunakan dalam berbagai bidang manufaktur dan industri. Salah satu tipe sambungan yang banyak digunakan adalah sambungan tipe T dan plat datar (butt), terutama dalam bidang perkapalan dan konstruksi struktur jembatan.Pada saat pengelasan, sumber panas berjalan terus dan menyebabkan perbedaan distribusi temperature pada logam sehingga terjadi pemuaian dan penyusutan yang tidak merata. Akibatnya tegangan sisa dan distorsi akan timbul pada logam yang dilas. Tegangan sisa timbul karena adanya perbedaan temperatur yang besar sedangkan distorsi terjadi jika logam las dibiarkan bergerak leluasa selama proses pendinginan. Tegangan sisa yang terjadi pada kampuh las ini dapat menyebabkan kegagalan (fatigue) yang mana dapat mengurangi kekuatan dari struktur dan komponen. Oleh karena itu tegangan sisa dalam pengelasan harus dikurangi sampai sekecil mungkin untuk mencegah kegagalan desain suatu komponen. Dengan mengerti mekanisme terjadinya tegangan sisa dapat dipelajari untuk mengambil langkah langkah meminimalisasikan tegangan sisa yang terjadi pada saat pengelasan. II. DASAR TEORI 2.1 Pengelasan Pengelasan adalah penyambungan dua buah logam padat dengan mencairkannya melalui pemanasan. Persyaratan berhasilnya penyambungan adalah (Okumura, 1981): 1. Bahwa benda padat tersebut dapat cair saat dipanaskan

Transcript of Jurnal Tugas Akhir

Jurnal Tugas Akhir

1

ANALISA PENGARUH TEGANGAN SISA DAN DISTORSI PADA PENGELASAN BUTT JOINT DAN T JOINT DENGAN VARIASI TEBAL PLAT

Sri Yuni Setyawati1, Yeyes Mulyadi2, Gatot Dwi Winarto3

1Mahasiswa Teknik Kelautan,2Staf Pengajar Teknik Kelautan, 3Staf Pengajar Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Abstrak Permasalahan utama proses pengelasan adalah terjadinya tegangan sisa dan distorsi. Analisa pengaruh tegangan sisa

ini dilakukan dengan eksperimen dan pemodelan pada pengelasan sambungan butt joint dan T joint dengan

memvariasikan ketebalan plat. Variasi ketebalan plat tersebut yaitu, 8 mm, 10 mm, 12 mm dan 14 mm. Pada

pengelasan butt joint dan T joint, distorsi terbesar terjadi pada pengelasan variasi I yakni dengan tebal plat 8 mm dan

distorsi terkecil terjadi pada variasi IV dengan tebal 14 mm. Tegangan sisa maksimum pada variasi I yakni tebal 8

mm dengan harga tegangan sisa untuk butt joint sebesar 0.52 MPa dan T joint sebesar 0.09 MPa. Tegangan sisa

minimum dialami variasi IV yakni dengan tebal 14 mm, dimana tegangan sisa untuk butt joint sebesar 0.47 MPa dan

T joint sebesar 0.06 MPa. Analisa hasil yang diperoleh dari pemodelan pada Ansys 11.0 model 3 dimensi yaitu

tegangan sisa maksimum terjadi pada sambungan butt joint dan T joint pada variasi I dan tegangan minimum pada

variasi IV. Konsentrasi tegangan dapat diamati pada sambungan pengelasan yang terjadi pada bagian dalam dan

permukaan sambungan. Dari hasil variasi tersebut, perhitungan dapat digunakan untuk memprediksi besarnya

tegangan sisa dan sudut distorsi untuk tebal pelat yang lain.

Kata kunci : pengelasan, tegangan sisa, distorsi, ,butt joint, T joint

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyambungan logam dengan sambungan las banyak digunakan dalam berbagai bidang manufaktur dan industri. Salah satu tipe sambungan yang banyak digunakan adalah sambungan tipe T dan plat datar (butt), terutama dalam bidang perkapalan dan konstruksi struktur jembatan.Pada saat pengelasan, sumber panas berjalan terus dan menyebabkan perbedaan distribusi temperature pada logam sehingga terjadi pemuaian dan penyusutan yang tidak merata. Akibatnya tegangan sisa dan distorsi akan timbul pada logam yang dilas.

Tegangan sisa timbul karena adanya

perbedaan temperatur yang besar sedangkan distorsi terjadi jika logam las dibiarkan bergerak leluasa selama proses pendinginan. Tegangan sisa yang terjadi pada kampuh las ini dapat menyebabkan kegagalan (fatigue) yang mana dapat mengurangi kekuatan dari struktur dan komponen. Oleh karena

itu tegangan sisa dalam pengelasan harus dikurangi sampai sekecil mungkin untuk mencegah kegagalan desain suatu komponen. Dengan mengerti mekanisme terjadinya tegangan sisa dapat dipelajari untuk mengambil langkah – langkah meminimalisasikan tegangan sisa yang terjadi pada saat pengelasan. II . DASAR TEORI

2.1 Pengelasan

Pengelasan adalah penyambungan dua buah logam

padat dengan mencairkannya melalui pemanasan.

Persyaratan berhasilnya penyambungan adalah

(Okumura, 1981):

1. Bahwa benda padat tersebut dapat cair saat

dipanaskan

Jurnal Tugas Akhir

2

2. Bahwa antara benda padat tersebut ada

kesesuaian sifat lasnya sehingga tidak

melemahkan kekuatan sambungan

3. Bahwa cara sambungan harus sesuai dengan sifat

benda yang disambung.

Pengelasan dilakukan untuk menyambung

dua bagian logam menjadi satu, tanpa mengurangi

kekuatan & bentuk dari material logam tersebut.

Selain itu, pengelasan cukup ekonomis & efisien

karena cara penyambungannya dengan cara tetap,

artinya tidak mudah untuk melepas atau membongkar

kembali. Dalam praktek, proses pengelasan sangat

banyak ragamnya demikian pula dengan bentuk

sambungan yang akan di las, jenis kampuh manik las

(weldment) dan posisi pengelasan yang akan

dilakukan.

2.2 Shielded Metal Arc Welding (SMAW

Proses pengelasan SMAW yang umumnya

disebut Las Listrik adalah proses pengelasan yang

menggunakan panas untuk mencairkan material dasar

dan elektroda. Panas tersebut ditimbulkan oleh

lompatan ion listrik yang terjadi antara katoda dan

anoda (ujung elektroda dan permukaan plat yang

akan dilas ) dengan kata lain teknik pengelasan ini

memanfaatkan panas busur listrik yang timbul karena

perbedaan tegangan antara elektroda terbungkus

dengan material yang akan disambung. Panas yang

timbul dari lompatan ion listrik ini besarnya dapat

mencapai 4000o sampai 4500o Celcius. Sumber

tegangan yang digunakan ada dua macam yaitu listrik

AC ( Arus bolak balik ) dan listrik DC ( Arus searah

). (Modul Las SMAW, 2008)

Prinsip kerja pengelasan busur elektroda

terbungkus SMAW adalah pengelasan busur listrik

terumpan yang menggunakan elektroda yang

terbungkus fluks sebagai pembangkit busur dan

sebagai bahan pengisi. Panas yang timbul diantara

elektroda dan bahan induk mencairkan ujung

elektroda (kawat) las dan bahan induk, sehingga

membentuk kawah las yang cair, yang kemudian

membeku membentuk lasan. Bungkus (coating)

elektroda yang berfungsi sebagai fluks akan terbakar

pada waktu proses berlangsung, gas yang terjadi akan

melindungi proses terhadap pengaruh udara luar

(Oksidasi) yang sekaligus berfungsi memantapkan

busur. Gas pelindung (Shielded Gas) timbul dari

lapisan pembungkus elektroda atau fluks yang terurai

(decomposition). (Okumura, 1994)

Gambar 2.1 Proses pengelasan SMAW

Fluks yang mencair akan terapung dan

kemudian membeku pada permukaan las berupa terak

(slag). Karena massa jenisnya lebih kecil dari logam

las maka fluks ini berada diatas logam las pada saat

cair . kemudian setelah membeku, fluks cair ini

berubah menjadi terak (slag) yang menutupi logam

las. Pada pengelasan ini yang terpenting adalah

memperhatikan bahan fluks dan jenis las listrik yang

digunakan. (Sonawan, 2003)

2.3 Teori Perpindahan Panas

2.3.1 Area Sebaran Panas

Panas yang terjadi akan mengalami

Jurnal Tugas Akhir

3

perpindahan secara konduksi, untuk melakukan

analisa terhadap hal tersebut maka yang perlu

diperhatikan adalah menentukan daerah temperature

media/material yang dihasilkan dari kondisi batas

tertentu. Oleh karena itu, perlu diketahui distribusi

temperature yang menunjukkan bagaimana variasi

temperatur sesuai fungsi posisi pada suatu medium.

Konduksi flux pada titik tertentu atau permukaan

suatu medium dapat ditentukan dengan menggunakan

hukum Fourier, apabila distribusi temperaturnya

sudah diketahui. Distribusi temperatur pada benda

pejal dapat digunakan untuk menganalisa besarnya

thermal stress, ekspansi dan defleksi struktur.

Pada proses pengelasan dihasilkan siklus

panas yang sangat rumit pada lasan. Siklus panas ini

menyebabkan perubahan struktur mikro material

pada daerah sekitar lasan (heat-affected zone) dan

transient thermal stress, hingga akhirnya tercipta

tegangan sisa (residual stress) dan perubahan bentuk

(distorsi). Sebelum menganalisa permasalahan ini,

harus dilakukan analisa pada aliran panas (heat flow)

selama proses pengelasan.

2.3 Distribusi Temperatur

Sumber panas pada proses pengelasan

berasal dari panas elektrode yang ada. Dimana panas

ini secara matematis dapat dihitung dengan

persamaan empiris (AWS vol I, 1996):

(2.1)

dimana :

���� : Energi input bersih ( J/mm).

E : Tegangan (Volt).

I : Arus (Ampere).

f1 : Efisiensi pemindahan panas

v : Kecepatan pengelasan (mm/s )

Tidak semua energi panas yang terbentuk

dari perubahan energi listrik diserap 100 % oleh

logam lasan, akan tetapi hanya sebagian besar saja.

Sehingga energi busur las dapat ditulis sebagai

berikut (Pilipenko, 2001):

Q = η U I (2.2)

dimana :

Q = net heat input (Watt)

η = Koefisien effisiensi (-)

U = Tegangan Busur (Volt)

I = Arus listrik (Ampere)

Harga koefisien efisiensi η untuk tiap-tiap tipe

pengelasan tentunya berbeda-beda. Sebagai contoh

harga η untuk pengelasan baja dengan cara shield

metal arc welding adalah antara 0,66 sampai dengan

0,85 (Pilipenko 2001).

2.4 Tegangan Termal Selama Pengelasan

Selama proses pemanasan dalam pengelasan

akan mengakibatkan suatu tegangan. Tegangan

akibat pemanasan ini dapat didiskripsikan dengan

membagi daerah lasan menjadi beberapa buah

potongan melintang sebagai berikut :

A-A : Daerah yang belum tersentuh panas,

B-B : Daerah yang mencair tepat pada busur las,

C-C : Daerah terjadinya deformasi plastis selama

proses pengelasan,

D-D : Daerah yang sudah mengalami pendinginan

Bila pengelasan berjalan dari potongan D-D ke

potongan B-B maka akan terjadi distribusi panas

sepanjang pengelasan. Sesaat pengelasan sampai

Jurnal Tugas Akhir

4

dititik O maka setiap potongan pada alur pengelasan

dapat dianalisa distribusi teganganya.

Besarnya tegangan yang terjadi karena adanya

perubahan temperatur selama proses pengelasan

ditunjukkan oleh gambar.

Gambar 2.2 Distribusi temperatur dan tegangan

selama proses pengelasan (AWS vol I, 1996)

Pada daerah A-A, dimana ∆T ≈ 0 maka disini tidak

terjadi tegangan, sedangkan pada daerah B-B yaitu

daerah yang mencair (terjadi suhu maksimum) tepat

pada garis lasan akan terjadi tegangan tekan

(compression) sedangkan disisi kanan dan sisi kiri

dari garis lasan akan terjadi tegangan tarik ( tension ).

Pada daerah C-C, dimana suhu sudah mulai turun,

pada daerah garis lasan akan terjadi tegangan tarik

dan pada daerah sisi kanan dan kirinya akan terjadi

tegangan tekan. Demikian pula pada daerah D-D

yaitu pada daerah yang sudah terjadi pendinginan

(∆T ≈ 0) maka pada garis lasan akan terjadi tegangan

tarik dan pada sisi kanan dan kiri dari garis lasan

akan mengalami tegangan tekan. Tegangan tarik yang

terjadi pada daerah D-D akan sifatnya tetap tinggal

pada material tersebut dan lebih sering disebut

tegangan sisa. (AWS vol I, 1996)

Sedangkan tegangan sisa karena pengaruh

pemanasan dapat dihitung dengan menggunakan

hubungan antara tegangan regangan yang disebabkan

oleh panas :

(2.3)

(2.4)

(2.5)

(2.6)

dengan :

σ = Tegangan sisa ( Pa )

E = Modulus elastisitas ( Pa )

= Panjang mula – mula ( m )

= Perubahan panjang ( m )

= Perubahan temperatur ( K )

α = Koefisien muai panjang (K-1 )

2.5 Tegangan Sisa

Tegangan sisa adalah gaya elastis yang

dapat mengubah jarak antar atom dalam bahan tanpa

adanya beban dari luar. Tegangan sisa ditimbulkan

karena adanya deformasi plastis yang tidak seragam

dalam suatu bahan, antara lain akibat perlakuan panas

yang tidak merata atau perbedaan laju pendinginan

pada bahan yang mengalami proses pengelasan.

Walaupun tegangan sisa secara visual tidak nampak,

namun sesungguhnya tegangan sisa tersebut juga

bertindak sebagai beban yang tetap yang akan

menambah nilai beban kerja yang diberikan dari luar.

2.5.1 Terjadinya Tegangan Sisa

Tegangan sisa selalu muncul apabila sebuah

material dikenai perubahan temperatur non-uniform,

tegangan-tegangan ini disebut tegangan panas.Untuk

Jurnal Tugas Akhir

5

membahas masalah pengelasan, tegangan sisa yang

akan ditinjau adalah tegangan sisa yang ditimbulkan

dari distribusi regangan non-elastik yang tidak merata

pada material.

Terjadinya tegangan sisa ditunjukkan pada gambar

2.3 di bawah ini, dimana daerah C mengembang pada

waktu pengelasan. Pengembangan pada daerah C

ditahan oleh daerah A, sehingga pada daerah C

terjadi tegangan tekan dan pada daerah A terjadi

tegangan tarik. Tetapi bila luas pada daerah A jauh

lebih besar dari daerah C, maka daerah C akan terjadi

perubahan bentuk tetap (distorsi), sedangkan pada

daerah A terjadi perubahan bentuk elastis. Ketika

proses pengelasan selesai, terjadi proses pendinginan

dimana daerah C menyusut cukup besar karena

disamping pendinginan juga karena tegangan tekan.

Penyusutan ini ditahan oleh daerah A, oleh sebab itu

daerah C akan terjadi tarik yang diimbangi oleh

tegangan tekan pada daerah A.

Gambar 2.3 Pembentukan tegangan sisa

(Wiryosumarto, 1981)

2.5.2 Pengukuran Besarnya Tegangan Sisa

Tegangan sisa dapat dihitung melalui

besarnya regangan sisa yang terjadi dengan

menggunakan hukum Hooke. Sedangkan besarnya

regangan sisa dapat diukur dari perubahan ukuran

antara batang sebelum dipotong, yaitu ukuran yang

digambarkan pada bagian yang akan ditentukan

tegangan sisanya dan ukuran sebenarnya yang

didapat setelah bagian yang akan diuji dipotong. Dari

hukum Hooke jelas bahwa perubahan ukuran ini

disebabkan oleh adanya tegangan, karena itu

besarnya tegangan dapat dihitung.

Dalam hal terjadi tegangan sisa dengan dua

dimensi dapat dilakukan perhitungan dengan

persamaan (2.9) dan (2.10)

(2.7)

(2.8)

Dengan :

= Tegangan tegak lurus garis las

= Tegangan searah garis las

= Regangan tegak lurus garis las

= Regangan searah garis las

= Angka perbandingan Poisson

2.6 Terjadinya Distorsi

Pada proses pengelasan, tegangan sisa dan

distorsi merupakan kejadian yang saling

Jurnal Tugas Akhir

6

berhubungan. Ketika siklus pemanasan dan

pendinginan yang berlangsung dalam proses

pengelasan, regangan panas muncul di antara weld

metal dan base metal pada daerah yang dekat dengan

weld bead. Peregangan ini menimbulkan suatu

tegangan dalam yang terdapat di dalam material dan

bisa menyebabkan terjadinya bending, buckling, dan

rotasi. Deformasi inilah yang disebut distorsi.

Distorsi terjadi jika logam las dibiarkan bergerak

leluasa selama proses pendinginan. Jadi distorsi

terjadi karena adanya pemuaian dan penyusutan yang

bebas akibat siklus termal las

Distorsi akan menyebabkan :

a. Bentuk akhir tidak memenuhi syarat baik

keindahan maupun letak

b. Terjadi misalignment

c. Dapat menjadi bagian terlemah

d. Mengganggu distribusi gaya

Macam-macam distorsi yang terjadi pada pengelasan

(lihat gambar 2. 4) :

a. Transverse shrinkage.

Penyusutan yang terjadi tegak lurus terhadap arah

garis las.

b. Angular change.

Distribusi panas yang tidak merata pada kedalaman

menyebabkan distorsi (perubahan sudut).

c. Rotational distortion.

Distorsi sudut dalam bidang plat yang berkaitan

dengan perluasan thermal.

d. Longitudinal shrinkage.

Penyusutan yang terjadi searah garis las.

e. Longitudinal bending distortion.

Distorsi dalam bidang yang melalui garis las dan

tegak lurus terhadap plat.

f. Buckling distortion.

Kompresi yang berkenaan dengan panas

menyebabkan ketidakstabilan ketika platnya tipis.

Gambar 2. 4 Macam – macam distorsi yang terjadi pada pengelasan

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Spesimen Pada penelitian ini material yang digunakan adalah material ship plate grade DH36 dengan memvariasikan ketebalan plat yaitu, 8 mm, 10 mm, 12 mm dan 14 mm. Pengelasan yang dilakukan adalah pengelasan butt joint dan T joint dengan proses SMAW. Dimensi material yang dipakai dalam pengerjaan Tugas Akhir ini adalah : o Butt Joint dengan ukuran panjang dan lebar

adalah @ 300 mm x 300 mm

o T-Joint dengan ukuran panjang fillet, lebar flange, dan tinggi web adalah @ 300 x 200 x 150 mm

Detail gambar dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Jurnal Tugas Akhir

7

Gambar 3.1 material uji untuk sambungan fillet T joint

Gambar 3.2 material uji untuk sambungan Butt joint

IV. PEMBAHASAN 4.1 Distorsi Nilai distorsi pada pengelasan butt joint dan T joint dapat diukur dengan alat pengukur distorsi atau disebut dengan dengan alat dial gauge. Dan dapat diketahui bahwa jenis distorsi yang terjadi pada pengelasan butt joint dan T joint adalah kombinasi antara bending distortion dan angular shrinkage atau disebut dengan distorsi sudut. Berikut merupakan gambaran umum tentang jenis distorsi angular shrinkage yang terjadi pada pengelasan butt joint dan T joint.

Gambar 4.1 Angular Shrinkage pada pengelasan butt

joint

Gambar 4. 2 Angular shrinkage pada pengelasan T

joint

Grafik Perbandingan nilai distorsi dan tebal plat.

Gambar 4.3 Nilai distorsi pada sambungan butt joint

dan T joint

4.2 Tegangan sisa

4.2.1 Perhitungan Tegangan Sisa 2 Dimensi

Hasil dari perhitungan tegangan sisa tersebut di dapatkan suatu grafik hubungan antara tebal plat dan tegangan sisa seperti yang tercantum di bawah ini :

2.000

2.500

3.000

3.500

4.000

6 11 16

Te

ba

l P

lat

(mm

)

Nilai Distorsi (mm)

Tebal Plat vs nilai distorsi

Butt Joint

T Joint

Jurnal Tugas Akhir

8

Gambar 4.4 Grafik Perbandingan nilai tegangan sisa dan tebal plat pada butt joint dan T joint

4.3 Hasil Pemodelan

Pada bagian ini akan dibahas hasil dari permodelan 3 dimensi yang telah dilakukan dengan software ANSYS 11, yaitu model untuk analisa thermal structural pada material akibat pengelasan. Sesuai dengan sifat pembebanan yang dinamik yaitu perubahan beban berdasarkan fungsi posisi dan waktu maka analisa yang dilakukan adalah analisis transient full solution method.

Pemodelan pengelasan yang dilakukan dalam tugas akhir ini adalah dengan pemberian beban heat flux transient. Artinya perubahan beban berdasarkan fungsi waktu dan posisi. Analisa thermal yang dilakukan akan menghasilkan tegangan panas transient, yang kemudian di masukkan dalam analisa structural sebagai beban dinamis. Output akhirnya adalah berupa transient stress dan total stress pada struktur akibat pengelasan. Variasi yang dilakukan dalam pemodelan ini adalah variasi tebal plat dengan asumsi kondisi pengelasan tidak berubah, yang kemudian akan ditinjau hubungan antara perubahan tebal plat dengan perubahan sudut distorsi serta tegangan sisa yang dihasilkan.

4.3.1 Pada Pengelasan Butt Joint

4.3.1.1 Hasil Pemodelan Variasi I

Variasi ini menggunakan plat dengan ketebalan 8 mm

Pengelasan Variasi I menghasilkan tegangan sisa seperti gambar dibawah ini :

Berdasarkan pola distribusi tegangan total (von missed stress) tersebut dapat diamati posisi titik (node) dan harga tegangan maksimum yang terjadi tetap pada sambungan-Butt. Pola distribusi tegangan menunjukkan harga tegangan sisa pada daerah HAZ dan berangsur berkurang pada material induk. Tegangan sisa maksimum sebesar 0.372 MPa terjadi pada pertemuan las dan batas material induk dan merupakan titik dan daerah kritis dari sambungan-Butt.

4.3.1.1 Hasil Pemodelan Variasi IV

Variasi ini menggunakan plat dengan ketebalan 14 mm

Pengelasan Variasi IV menghasilkan tegangan sisa seperti gambar dibawah ini :

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

7 9 11 13 15

Nil

ai

Te

ga

ng

an

Sis

a (

MP

a)

Tebal Plat (mm)

TeganganSisa vs Tebal Plat

Teg Sisa Butt

joint searah x

Teg Sisa Butt

Joint searah y

Teg Sisa T

Joint searah x

Teg Sisa T

Joint searah y

Gambar 4.5 Tegangan total (von missed

stress) pada pengelasan variasi I

Gambar 4.6 Detail Tegangan total (von missed stress)pada pengelasan variasi I

Gambar 4.7 Tegangan total (von missed stress)

pada pengelasan variasi IV

Jurnal Tugas Akhir

9

Berdasarkan pola distribusi tegangan total (von missed stress) tersebut dapat diamati posisi titik (node) dan harga tegangan maksimum yang terjadi tetap pada sambungan-Butt. Pola distribusi tegangan menunjukkan harga tegangan sisa pada daerah HAZ dan berangsur berkurang pada material induk. Tegangan sisa maksimum sebesar 0.108 MPa terjadi pada pertemuan las dan batas material induk dan merupakan titik dan daerah kritis dari sambungan-Butt.

4.4. Pada Pengelasan T Joint

4.4.1 Hasil Pemodelan Variasi I

Variasi ini menggunakan plat dengan ketebalan 8 mm

Pengelasan Variasi I menghasilkan tegangan sisa seperti gambar dibawah ini :

Berdasarkan pola distribusi tegangan total (von missed stress) tersebut dapat diamati posisi titik (node) dan harga tegangan maksimum yang terjadi pada sambungan tipe T. Pola distribusi tegangan menunjukkan harga tegangan sisa antara 7.2x10-5 – 0.23 Mpa. Tegangan sisa yang besar terjadi pada daerah dimana pelat dijepit dan ditumpu. Di daerah HAZ tegangan berangsur berkurang pada material induk.

4.4.2 Hasil Pemodelan Variasi IV

Variasi ini menggunakan plat dengan ketebalan 8 mm

Pengelasan Variasi IV menghasilkan tegangan sisa seperti gambar dibawah ini :

Gambar 4.8 Detail tegangan total (von missed stress) pada pengelasan variasi IV

Gambar 4.9 Tegangan total (von missed stress)

pada pengelasan variasi I

Gambar 4.10 Detail tegangan total (von missed stress) pada pengelasan variasi I

Gambar 4.11 Tegangan total (von missed

stress) pada pengelasan variasi I

Jurnal Tugas Akhir

10

Berdasarkan pola distribusi tegangan total (von missed stress) tersebut dapat diamati posisi titik (node) dan harga tegangan maksimum yang terjadi pada sambungan tipe T. Pola distribusi tegangan menunjukkan harga tegangan sisa antara 3.19x10-5 – 0.095 Mpa. Tegangan sisa yang besar terjadi pada daerah dimana pelat dijepit dan ditumpu. Di daerah HAZ tegangan berangsur berkurang pada material induk.

4.5 Grafik Hasil Pemodelan Butt joint dan T joint

Gambar 4.13 Grafik Phasil pemodelan butt joint dan T joint

Dari nilai distorsi dan tegangan sisa yang telah di dapatkan, dari eksperimen pengelasan sambungan Butt Joint dan T Joint maka semakin tebal pelat tersebut maka distorsi yang terjadi semakin kecil. Hal ini dapat dimengerti karena berdasarkan analisa tegangan sisa (von missed stress) menjelaskan bahwa semakin tebal plat yang digunakan semakin dapat mereduksi tegangan sisa hingga mencapai batas aman. Hal ini dikarenakan nilai tegangan yang dihantarkan pada material terbagi secara merata pada keseluruhan volume material induk, sehingga dengan

beban yang sama tapi di salurkan pada material bervolume lebih besar sudah barang tentu membuat tegangan yang diterima node-node / elemen-elemen pada material akan semakin mengecil.

V. KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan

Bedasarkan hasil analisa dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya mengenai pengaruh tegangan dan distorsi yang terjadi pada material ship plate gr.DH36, maka dapat disimpulkan :

• Dari nilai distorsi yang telah di dapatkan dari eksperimen pengelasan sambungan Butt Joint dan T Joint maka semakin tebal pelat tersebut maka distorsi yang terjadi semakin kecil. Hal ini sesuai dengan analisa tegangan sisa (von missed stress) menjelaskan bahwa semakin tebal plat yang digunakan semakin dapat mereduksi tegangan sisa hingga mencapai batas aman.

• Pada pemodelan, diperoleh hasil tegangan sisa lebih besar daripada eksperimen, hal ini karena pada eksperimen dilakukan perhitungan secara 2 dimensi sedangkan pada pemodelan dilakukan secara 3 dimensi dengan material properties lebih detail dan pembebanan dilakukan pada tiap elemen

• Bentuk sambungan pengelasan mempengaruhi besarnya tegangan sisa yang terjadi, yaitu pada pengelasan butt joint mengalami distorsi yang lebih besar dibandingkan pada pengelasan T joint.

• Presentase setiap perubahan ketebalan plat 2 mm terhadap terjadinya tegangan sisa dan distorsi, yaitu:

- Pada pengelasan butt joint, selisih presentase terjadinya tegangan sisa 9.28 % dan untuk distorsi sebesar 4.23 %

- Pada pengelasan T joint, selisih presentase terjadinya tegangan sisa yaitu 5.54 % dan untuk distorsi sebesar 3.46 %

Dari nilai presentase tersebut kita dapat memprediksi besarnya tegangan sisa dan distorsi pada ketebalan plat yang lain.

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0.4

7 9 11 13 15

Nil

ai

Te

ga

ng

an

Sis

a (

MP

a)

Tebal Plat (mm)

Butt

JointT Joint

Gambar 4.12 Detail tegangan total (von missed stress) pada pengelasan variasi I

Jurnal Tugas Akhir

11

5.2 Saran 1. Hendaknya di lakukan eksperimen pada

pengelasan butt joint di las pada satu sisi dan pada T joint di las pada dua sisi untuk mengetahui pengaruh tegangan sisa dan distorsi pada urutan pengelasan.

2. Agar analisa yang dilakukan lebih teliti maka ukuran meshing pada pemodelan lebih diperkecil.

3. Elektroda yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis AWS E 7016 dan E 7018. Untuk penelitian lebih lanjut, dapat dilakukan dengan jenis elektroda yang lain.

4. Hendaknya dilakukan pengujian yang lainnya seperti: uji impact, uji fracture toughness, uji fatigue, dan lain sebagainya untuk mengetahui besarnya pengaruh tegangan sisa dan distorsi pada kekuatan struktur.

DAFTAR PUSTAKA

American Bureau of Shipping ( ABS) . 2001 . United Stated. Act of Legislature of Thr State of New York

Anggono, Juliana. 1999. “Pengaruh Besar Input Panas Pengelasan SMAW Terhadap Distorsi Sambungan T Baja Lunak SS 400“. Jurnal Teknik Mesin 1: 45 – 54.

Firmandha, Topan. (2007). “Analisa Perilaku Tegangan Sisa Dan Perubahan Sudut Distorsi Pada Sambungan Tumpul Dengan Variasi Tebal Plat Menggunakan Metode Elemen Hingga, Tugas Akhir. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.

Futichah, Rifa’i Muslich. (2007).“Korelasi antara Arus Pengelasan dengan Tegangan Sisa pada Sambungan Las Tutup Kelongsong Elemen Bakar Nuklir Zircaloy-2”.Jurnal. Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir – BATAN. Serpong.

Moaveni, Saeed. 2003. ”Finite Element Analysis: Theory and Application with ANSYS”. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Perdana Putra, Yudhistira. (2005). “Analisa Tegangan Sisa dan Distorsi pada

Penngelasan Fillet T-Joint denngan Metode Elemen Hingga”. Jurnal Teknik Material & Metalurgi. Fakultas Teknologi Industri. ITS. Surabaya.

Pilipenko, Artem, 2001. “Computer Simulation of Residual Stress and Distortion of Thick Plates in Multi-Electrode Submerged Arc Welding”.Department of Machine Design and Material Technology, Norway.Surabaya.

Saiful Anam, Muhammad. (2008). “Analisa Perilaku Tegangan Sisa dan Sudut Distorsi pada Sambungan Fillet dengan Variasi Tebal Pelat Menggunakan Metode Elemen Hingga”. Tugas Akhir. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Surabaya

Sorensen, Martin B, 1999. Simulation of Welding

Distortions in Ship Section. Departement of Naval Architecture and Offshore Engineering, Technical University of Denmark.

Wiryosumarto, H dan Okumura, T. (1996). “Teknologi Pengelasan Logam”. Jakarta: Pradnya Paramita.

________, 1991. “Welding Handbook vol. I & II”. Miami : American Welding Society