Jurnal Borneo Institute

28
Tahun 1 Nomor 1/2013 Jurnal ŽƌŶĞŽ /ŶƐƟƚƵƚĞ DĞĚŝĂ /ŶĨŽƌŵĂƐŝ <ŽŵƵŶŝŬĂƐŝ Θ <ƌŝƟŬ <ĞďƵĚĂLJĂĂŶ ĂLJĂŬ <ĂůŝŵĂŶƚĂŶ dĞŶŐĂŚ ROFIL BORNEO INSTITUTE Perspektif Borneo institute mencermati isu-isu kemasyarakatan yang PHQFDNXS .RQチLN $JUDULD 3URJUDP 7UDQVPLJUDVL .HKXWDQDQ 3HUNHEXQDQ 7DPEDQJ GDQ 5HQFDQD SHQJHPEDQJDQ UHO NHUHWD DSL \DQJ GLSDQGDQJ GDSDW PHPEDZD GDPSDN XQWXN PDV\DUDNDW DGDW %RUQHR ,QVWLWXW EHNHUMD DWDV GDVDU SULQVLSSULQVLS DNDGHPLN WHUEXND SDUWLVLSDWLI EHULPEDQJ GDQ XWXK %RUQHR ,QVWLWXWH %,7 DGDODK /HPEDJD 3HQHOLWLDQ GDQ 3HQJHPEDQJDQ PDV\DUDNDW %RUQHR ,QVWLWXWH PHQ\HOHQJJDUDNDQ ULVHW OLQJNXQJDQ KXWDQ NHEXGD\DDQ SROLWLN GDQ SHPEDQJXQDQ GL ,QGRQHVLD \DQJ GLPDNVXGNDQ XQWXN PHQ\HGLDNDQ LQIRUPDVL \DQJ DNXUDW NUHGLEHO GDQ DNXQWDEHO Jurnal Tahun 1 Nomor 1/2013 Tahun 1 Nomor 1/2013 Harga : Rp. 50.000,- Christian P. Sidenden, MAg. Penantian Sebuah Sejarah Sosial Komunitas Dayak Eddy Taufan D. Mahar, SPd, MPd. Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam Oleh : Yulius Esel Saden Memimpikan Bangunan Pendidikan yang Ideal di Kalimantan Tengah Oleh : Yanedi Jagau Berdagang di Antara Jalinan Sukubangsa Dayak dan Banjar di Pasar Pahandut Palangka Raya Oleh : Pdt. Tahan MC, MTh Upacara Nahunan dalam Pandangan Beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang DĞŶĐĂƌŝ /ĚĞŶƟƚĂƐ dan Mendudukkan Dayak Sebagai Subyek Mencari Identitas dan Mendudukkan Dayak Sebagai Subyek Pemimpin Umum/Penanggung Jawab Yanedi Jagau Pemimpin Redaksi Christian P. Sidenden Dewan Redaksi Yulius Saden, MA Bambang Riyadi Soetrisno Pemasaran/Sirkulasi Ana Kaprianie, Yunida Iklan Eriwaty Gusti Yanty Kartim Redaksi menerima tulisan berupa artikel, studi singkat, kajian riset (research review) yang berhubungan dengan masalah-masalah kebudaya- an dan adat istiadat Dayak (Kalteng) dengan imbalan yang selayaknya. Redaksi berhak mempertim- bangkan dan menyunting tulisan-tulisan tersebut tanpa mengubah isi dan maknanya. Tulisan-tulisan yang dimuat tidak berarti selalu selaras dengan atau mencerminkan pendapat Lembaga Borneo Institute Alamat Redaksi: Jl. Sang- gabuana II Selatan 63 Palangka Raya, Kalimantan Tengah 73112. Fax/Telp. 0536-3224793. E-mail redaksi: [email protected] Rekening redaksi pada Bank Mandiri KCU Palangka Raya, dengan nama rekening: Borneo Institute, nomor: 1590000845205 Diterbitkan oleh Lembaga Borneo Institute (BIT) Research & Community Development Alamat Jl. Sangga Buana II Selatan no. 63 Palangka Raya Telpon/fax : 0536/3224793 HP 08128354371 Website : borneoistitute.org Mail : [email protected] Sejak berdiri 2003 BIT, kami telah berpengalaman melaksanakan - Menyusun KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) Kalteng, Nopember 2011. - Mendirikan KEBA (Kedai Baca) sejak 2010, suatu perpustakaan masyarakat yang saat ini mencapai 5000 koleksi buku, foto, video dll - Mendirikan Perpustakaan Terapung (Floating Library) pada rumah Segitigs SMK Mandomai Kabupaten Kapuas, pada 2013. - Mendampingi masyarakat Desa Kalawa, Buntoi, Gohong dan Mantaren sejak 2011. Saat ini keempat desa tersebut sudah ditetapkan Menteri kehutanan sebagai Hutan Desa seluas kurang lebih 15.000 hektar. - Menelusuri foto Dayak abad 18 dan 19 dan dokumen dayak bersejarah di berbagai negara di Eropa. - Pada 2013 di Gunung Mas dan Palangka Raya menyelenggarakan pameran foto tua abad 18 dan 19 tentang dayak dan dokumen bersejarah. i Daftar Isi - Pengantar Redaksi ................................................. - Penantian Sebuah Sejarah Sosial ........................... - Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam ......... - Memimpikan Bangunan Pendidikan yang Ideal di Kalimantan Tengah ................................................ - Berdagang di antara Jalinan Sukubangsa Dayak dan Banjar di Pasar Pahandut Palangka Raya ........ - Upacara Nahunan dalam Pandangan Beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang ................................................. i 1 23 53 61 80 Christian P. Sidenden Edi Taufan Yulius Essel Saden Yanedi Jagau Tahan MC, MTh Penulis ii Yulius Essel Saden Lahir di Palangka raya 15 Juli 1973,Lulus tahun 2000 dari Jurusan Bahasa Inggris Univer- sitas Palangka Raya, dan melan- jutkan studi di Hawaii Universi- ty. Sekarang masih menempuh pendidikan di Universitas Pendi- dikan Indonesia, untuk menyele- saikan perkuliahan doctoral. Edi Taufan Lahir di Teluk Betung, 14 April 1973 Lulus tahun 1999 dari Jurusan Bahasa Inggris Univer- sitas Palangka Raya, dan melan- jutkan studi di universitas yang sama pada pasca Sarjana lulus tahun 2011. Tahan Mentria Cambah Pria kelahiran 23 May 1975 menempuh studi di Sekolah Tinggi Theologia GKE Banjarma- sin dan mendapat gelar Sarjana Theologi. Kemudian menamat- kan pasca sarjana di Sekolah Tinggi Theologi Jakarta. Christian P. Sidenden Lahir di Banjarmasin, 24 Sep- tember 1971., menempuh pendi- dikan S1 di Malang pada kampus Institut Teknologi Malang, kemudian melanjutkan studi S2 di Yogyakarta pada Universitas Gajah Mada. Menulis artikel di beberapa media cetak di Indonesia dan pernah bekerja di media harian cetak Palangka raya Yanedi Jagau Lahir di Palangka Raya, 25 Januari 1971, menempuh kuliah di Universitas Palangka Raya jurusan management, kemudian melanjutkan studi di Universitas Indonesia pada Jurusan Perkota- an, lulus pada tahun 2005. Sekarang memimpin lembaga swadaya masyarakat Borneo Institute sejak 2011 sampai sekarang.

Transcript of Jurnal Borneo Institute

Tahun 1 Nomor 1/2013

Jurnal

ROFIL BORNEO INSTITUTE

PerspektifB

orneo institute mencerm

ati isu-isu kem

asyarakatan yang

Jurn

al

Tahun 1 Nomor 1/2013 Tahun 1 Nomor 1/2013

Harga : Rp. 50.000,-

Christian P. Sidenden, MAg.

Penantian Sebuah Sejarah Sosial Komunitas Dayak

Eddy Taufan D. Mahar, SPd, MPd.

Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam

Oleh : Yulius Esel Saden

Memimpikan Bangunan Pendidikan yang Ideal di Kalimantan Tengah

Oleh : Yanedi Jagau

Berdagang di Antara Jalinan Sukubangsa Dayak dan Banjar di Pasar Pahandut Palangka Raya

Oleh : Pdt. Tahan MC, MTh

Upacara Nahunan dalam Pandangan Beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang

dan Mendudukkan Dayak Sebagai Subyek

Mencari Identitas dan M

endudukkan Dayak Sebagai Subyek

Pemimpin Umum/Penanggung JawabYanedi Jagau

Pemimpin RedaksiChristian P. Sidenden

Dewan Redaksi

Yulius Saden, MABambang Riyadi Soetrisno

Pemasaran/SirkulasiAna Kaprianie, Yunida

IklanEriwaty Gusti Yanty

Kartim

Redaksi menerima tulisan berupa artikel, studi singkat, kajian riset (research review) yang berhubungan dengan masalah-masalah kebudaya-an dan adat istiadat Dayak (Kalteng) dengan imbalan yang selayaknya.

Redaksi berhak mempertim-bangkan dan menyunting tulisan-tulisan tersebut tanpa mengubah isi dan maknanya.

Tulisan-tulisan yang dimuat tidak berarti selalu selaras dengan atau mencerminkan pendapat Lembaga Borneo Institute

Alamat Redaksi: Jl. Sang-gabuana II Selatan 63

Palangka Raya, Kalimantan Tengah 73112.

Fax/Telp. 0536-3224793. E-mail redaksi:

[email protected] redaksi pada Bank Mandiri KCU Palangka Raya,

dengan nama rekening: Borneo Institute, nomor:

1590000845205

Diterbitkan oleh

Lembaga Borneo Institute (BIT)

Research & Community Development Al

amat

Jl. S

angg

a Bu

ana

II Se

lata

n no

. 63

Pala

ngka

Ray

a Te

lpon

/fax

: 0

536/

3224

793

HP 0

8128

3543

71

Web

site

:

born

eois

titut

e.or

gM

ail

: th

ebor

neoi

nstit

ute@

gmai

l.com

Seja

k be

rdiri

200

3 BI

T, ka

mi t

elah

be

rpen

gala

man

mel

aksa

naka

n -

Men

yusu

n KL

HS (K

ajia

n Li

ngku

ngan

Hidu

p St

rate

gis)

Kal

teng

, Nop

embe

r 20

11.

-

Men

dirik

an K

EBA

(Ked

ai B

aca)

sej

ak 2

010,

su

atu

perp

usta

kaan

mas

yara

kat y

ang

saat

ini

men

capa

i 50

00 k

olek

si b

uku,

foto

, vid

eo d

ll-

M

endi

rikan

Per

pust

akaa

n Te

rapu

ng (F

loat

ing

Libr

ary)

pad

a ru

mah

Seg

itigs

SM

K M

ando

mai

Ka

bupa

ten

Kapu

as, p

ada

2013

. -

Men

dam

ping

i mas

yara

kat D

esa

Kala

wa,

Bu

ntoi

, Goh

ong

dan

Man

tare

n se

jak

2011

. Sa

at in

i kee

mpa

t des

a te

rseb

ut s

udah

dite

tapk

an M

ente

ri ke

huta

nan

seba

gai H

utan

De

sa s

elua

s ku

rang

lebi

h 15

.000

hek

tar.

-

Men

elus

uri f

oto

Daya

k ab

ad 1

8 da

n 19

dan

do

kum

en d

ayak

ber

seja

rah

di b

erba

gai

ne

gara

di E

ropa

. -

Pada

201

3 di

Gun

ung

Mas

dan

Pal

angk

a Ra

ya m

enye

leng

gara

kan

pam

eran

fot

o tu

a ab

ad 1

8 da

n 19

tent

ang

daya

k da

n do

kum

en

bers

ejar

ah.

i

Daftar Isi

- Pengantar Redaksi .................................................

- Penantian Sebuah Sejarah Sosial ...........................

- Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam .........

- Memimpikan Bangunan Pendidikan yang Ideal di Kalimantan Tengah ................................................

- Berdagang di antara Jalinan Sukubangsa Dayak dan Banjar di Pasar Pahandut Palangka Raya ........

- Upacara Nahunan dalam Pandangan Beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang .................................................

i

1

23

53

61

80

Christian P. Sidenden

Edi Taufan

Yulius Essel Saden

Yanedi Jagau

Tahan MC, MTh

Penulis

ii

Yulius Essel Saden Lahir di Palangka raya 15 Juli 1973,Lulus tahun 2000 dari Jurusan Bahasa Inggris Univer-sitas Palangka Raya, dan melan-jutkan studi di Hawaii Universi-ty. Sekarang masih menempuh pendidikan di Universitas Pendi-dikan Indonesia, untuk menyele-saikan perkuliahan doctoral.

Edi Taufan Lahir di Teluk Betung, 14 April 1973 Lulus tahun 1999 dari Jurusan Bahasa Inggris Univer-sitas Palangka Raya, dan melan-jutkan studi di universitas yang sama pada pasca Sarjana lulus tahun 2011.

Tahan Mentria Cambah Pria kelahiran 23 May 1975 menempuh studi di Sekolah Tinggi Theologia GKE Banjarma-sin dan mendapat gelar Sarjana Theologi. Kemudian menamat-kan pasca sarjana di Sekolah Tinggi Theologi Jakarta.

Christian P. Sidenden Lahir di Banjarmasin, 24 Sep-tember 1971., menempuh pendi-dikan S1 di Malang pada kampus Institut Teknologi Malang, kemudian melanjutkan studi S2 di Yogyakarta pada Universitas Gajah Mada. Menulis artikel di beberapa media cetak di Indonesia dan pernah bekerja di media harian cetak Palangka raya

Yanedi Jagau Lahir di Palangka Raya, 25 Januari 1971, menempuh kuliah di Universitas Palangka Raya jurusan management, kemudian melanjutkan studi di Universitas Indonesia pada Jurusan Perkota-an, lulus pada tahun 2005. Sekarang memimpin lembaga swadaya masyarakat Borneo Institute sejak 2011 sampai sekarang.

Catatan Pengantar

iii

Perkembangan ilmu-ilmu

Makna kehadiran JURNAL BIT

humaniora, termasuk ilmu sejarah dan ilmu

sosiologi di Indonesia secara umum mengalami perkembangan pesat dan menjanjikan dalam era reformasi ini. Faktor-faktor yang mendukungnya antara lain: 1. Kebutuhan memberikan jawaban atas persoalan-persoalan yang dihadapi oleh suatu kelompok masyarakat yang mengalami krisis identitas, utamanya setelah pen-guatan dimensi politik lokal pada era otonomi daerah. 2. Kebutuhan menjawab tantangan pengemban-gan keilmuan sosial lepas dari dominasi hegemoni metodologi penelitian Barat yang banyak mempengaruhi penelitian-peneli-tian sosial di Indonesia dalam era yang lalu.

Persoalan-persoalan utama yang dihadapi oleh suatu komuni-tas tak terkecuali masyarakat Dayak di Kalteng dalam era otonomi daerah itu antara lain: penegasan identitas kultural dan lokal di tengah-tengah pasar globalisasi dunia, penegasan kemandirian politik lokal berhada-pan dengan dominasi politik pusat, dan barangkali masalah penentu-an pilihan-pilihan kebijakana pen-gelolaan sumberdaya alam sebagai

P

iv

lompok yang pertama. Mereka oleh karena pengarahan dari orang tua dan lingkungan, nyatanya lebih memilih untuk mengabdi pada pekerjaan-pekerjaan sebagai PNS dan tenaga-tenaga kerja terapan (guru, bidan, dsb) yang relatifmudah didapat.

Universitas Palangka Raya (UNPAR) mulai dari saat didirikan (1967) hingga kini masih berkutat pada pilihan pengabdian pada ra-nah keilmuan terapan, semacam teknik, ekonomi, kehutanan dan pertanian. Sementara untuk ju-rusan-jurusan antropologi, sosi-ologi dan sejarah, entah sampai kapan baru akan dibuka dan be-tul-betul diperhatikan. Ja waban klasik dari para guru besar di situ, adalah semua cabang keilmuan terakhir itu belum menjadi kebu-tuhan bagi Kalteng yang sedang membangun. Ya, jawaban itu benar pada satu sisi belaka, mem-

tetapi dari segi mentalnya masih jauh tertinggal. Sebab manusia

yang perlu perhatian, tetapi sama pentingnya, soal perkembangan jiwa dan mentalnya juga.

Nampaknya, sebagian besar anggota komunitas Dayak di-

bagian dari pengembangan sumber-daya manusia lokal.Mencari Identitas dan Menduduk-kan Dayak sebagai Subyek

Menjadi tantangan juga kiranya jika kita mengaitkan dengan semua hal di atas, dalam konteks Kaliman-tan Tengah (Kalteng), sebagai bagian dari Indonesia yang satu, pada kenyataanya kita masih merupakan suatu ladang penelitian potensial yang belum begitu banyak untuk dija-mah oleh para peneliti kebudayaan (antropolog), peneliti kemasyarakatan (sosiolog) dan sejarawan. Terutama pula, jika melihat peran peneliti itu teramat sedikit yang berasal dari antara kalangan komunitas Dayak Kalteng itu sendiri. Mengapa peran penting yang seharusnya dijalankan oleh putra-putri daerah ini untuk mengupas lebih dalam, menggali lebih teliti lagi akan keberadaan jati diri mereka itu, belum menjadi titik sentral penemuan kembali identitas Dayak?

Mana yang lebih penting, sebagai pertanyaan mendasar, menjadi seorang teknisi di bengkel-bengkel mobil atau menja-di seorang rekayasawan sosial di bengkel-bengkel kemasyarakatan? Nampaknya, dominasi orientasi kaum muda-mudi di Kalteng masih ditunjukkan oleh pilihan pada ke-

bertahan selama puluhan bahkan ratusan tahun, yang diterima, di-wariskan dan niscaya dipercaya sebagai kebenaran menggambar-kan apa dan bagaimana potret diri Dayak itu. Celakanya, semua itu terjadi nyaris tanpa suara-suara penyeimbang dari dalam komu-nitas Dayak itu sendiri.

Salah satu dari gambaran nyaris abadi atas potret diri ko-munitas Dayak itu adalah warisan dari masa kolonial Hindia-Belan-da. Bahwa masih berkembang dalam bayangan sebagian ma-syarakat Indonesia, bahwa sauda-ra mereka dari etnis Dayak itu se-bagai suatu kelompok masyarakat yang tidak berbudaya, permisif pada longgarnya nilai-nilai moral dan etik, bahkan melanggengkan adab kekerasan dengan ‘senang’ memenggal kepala musuhnya (mengayau). Terminologi Dayak itu secara klise disamakan dengan penduduk asli Benua Amerika yaitu komunitas ‘Indian’ sebagai sebuah persamaan terminologi dengan kolot, keras kepala dan tidak santun. Hal ini tak lain dari satu upaya peminggiran peran yang dilakukan secara sengaja.

Pelembagaan peminggiran komunitas Dayak itu dilakukan

v

dimaksud itu belum sepenuhnya menyadari strategisnya pengenalan pada diri sendiri itu untuk memban-tu mereka berhadapan dengan derasnya permintaan untuk bergaul dalam era globalisasi saat ini. Karena dalam semua pergaulan yang wajar mutlak dibutuhkan suatu tukar me-nukar informasi, dan tidak hanya berat sebelah saja, melulu satu pihak saja memberikan informasi, sementara yang lain hanya bertindak sebagai reseptor lugu (penerima pasif). Akan tetapi belum diketahui apakah ketidaksadaran itu diakibat-kan oleh penyebab luar dari komuni-tas, ataukah itu memang berasal dari bakat inheren (lekat pada dirinya) dalam komunitas itu sendiri? Tentu harus dicari jawaban mana antara keduanya yang lebih benar.

Betapa tidak, jika kita memang berharap bahwa semua penyebab kekurangmampuan komunitas Dayak itu menemukan jatidirinya berasal dari pengaruh luar, maka kita harus siap untuk mendobrak berbagai pintu halangan ilmiah yang terpancang di hadapan kita. Karena penelitian-penelitian sosial sejauh ini yang dilakukan oleh pihak luar terhadap komunitas Dayak itu telah

secara sistematis oleh pemerintah kolonial disebabkan oleh dorongan ideologis mereka. Meskipun yang disebut di sini pemerintah ko lonial itu tidak selalu berarti Barat, tetapi juga oleh sesama Indonesia tetapi yang datang dengan mental pemikiran penjajah juga.

Ideologi kolonial pertama-tama meng anggap masyarakat pribumi tidak mempunyai suatu peranan yang penting dalam perubahan-perubahan sosial yang melibatkan mereka dan bahwa mereka tidak lebih dari sekedar penerima pasif dari setiap penga-ruh yang datang dari luar. Kedua, menolak secara apriori terhadap warisan serta dokumen-do kumen tradisional sebagai sumber-sum-ber sejarah yang tidak dapat dipercaya. Hanya baru-baru ini saja disadari oleh para peneliti Barat tentang ada nya perbedaan antara le genda dan sejarah dalam khasanah tradisi lisan tersebut.

Pragmatisme penelitian Barat atas Dunia Timur itu telah dicoba dijawab oleh beberapa peneliti Asia belakangan. Ilmu sosial yang berkembang di Barat dijelaskan memang meramu asumsi-nilai, preferensi ideologis, apriori kogni-

-

tara ilmu sosial versi Dunia Ke-tiga yang banyak berkembang di perguruan-perguruan tinggi besar seperti UGM dan UI akhir-akhir ini lebih didasarkan pada temuan lo-kal, menggunakan penjelasan se-tempat atau interpretasi pribumi, yang berorientasi pada kebutuhan lokal dan diharapkan dapat mem-berikan jawaban langsung terha-dap masalah-masalah setempat.

Proses untuk menjawab tan-tangan kolonisasi pengetahuan yang didominasi cara berpikir Barat ini dikenal sebagai deko-lonisasi. Dalam sikap yang pro-dekolonisasi itu seharusnya pihak yang terjajah harus lebih kreatif dan lebih cerdik dari penjajahnya, untuk mengajukan pemikiran alternatif, diiringi dengan dasar-dasar pertimbangan akademis yang lebih kuat dan mandiri. Tanpa tekad dan kemandirian untuk merumuskan persoalan yang dihadapinya, sebaliknya, hanya manut dan membebek saja de ngan pemikiran luar untuk mencitrakan dirinya, pada haki-katnya bukanlah sikap suatu ko-munitas yang merdeka. Untuk itu harus diketahui bentuk-bentuk ko lonisasi apa saja yang sudah dan sementara berlangsung di

atas Bumi Isen Mulang.Kolonisasi itu dalam penger-

tian di sini, tidak hanya dilaku-kan oleh pihak Barat, tetapi yang juga dilanggengkan oleh para pengambil kebijakan nasional Indonesia itu sendiri. Istilah yang tepat digunakan di sini adalah ‘Belanda sawo matang’ itu tidak juga lebih baik dari ‘Belanda putih’ yang telah mencoba mena-namkan kuku dominasinya atas Borneo ratusan tahun lampau. Pihak ko lonial entah apapun et-nisnya dapat seka ligus membawa dampak secara politis, ekonomis, kultural, dan kehadirannya tidak telanjang sebagai satu pola pi-kiran saja.

Proses kolonisasi atas Tanah Dayak terjadi dengan urut-urutan kolonisasi politik – kolonisasi eko-nomi – kolonisasi budaya – kolo-nisasi energi. Sekalipun Tanah Dayak tidak separah wilayah-wilayah di Jawa-Sumatera yang mengalami proses kolonisasi poli-tik-ekonomi-budaya dari pemer-intah Hindia-Belanda lebih lama, tetapi akibatnya nyaris sama bagi mandegnya sistem kemasyara-katan lokal untuk berperan aktif dalam setiap pengambilan kepu-tusan. Lembaga-lembaga gereja,

di lain pihak, sebagai contoh, sebagai bagian dari peninggalan kolonial, adalah pihak yang paling tidak kreatif dan tanggap zaman, dikarenakan sudah terbiasa dime-kanisasi dengan mental birokrasi dan prosedural yang turut andil memandulkan proses-proses so-sial di sekitarnya.

Bentuk kolonisasi ekonomi lebih tepatnya berlangsung dalam masa Indonesia Merdeka, berupa pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) eksklusif oleh De-partemen Kehu tanan kepada beberapa perusahaan kroni rezim yang berkuasa. Termasuk pula izin eksklusif penambangan emas, antara lain di Hampalit, turut menjadi land-mark penjajahan ekonomi Jakarta atas Palangka Raya. Selama periode intensif eksploitasi membabi buta terha-dap bumi dan masyarakat Dayak, antara periode tahun 1971 hingga 2001 lalu diperkirakan hingga 3 juta hektar hutan perawan di Kalteng habis dibabat dan menga-lami kerusakan ekologis yang cukup mengkhawatirkan. Hal ini ditambah lagi de ngan kegagalan Proyek Lahan Gambut (PLG) Se-juta Hektar yang dimulai pada tahun 1994 sudah mengubah

v viii

wajah ekologi dan hilangnya mata pencaharian sebagian warga Kalteng, yang diperkirakan baru dapat disem-buhkan akibat ‘luka’ ekologis dan ekonominya hingga 50 tahun lagi.

Kolonisasi budaya di Kalteng terjadi antara periode gubernur-gu-bernur yang didrop dari pusat, yaitu dimulai dari periode Gatot Amrih (1984-1989), Soeparmanto (1989-1994), dan Warsito Rasman (1994-1999). Ekspansi sukubang-sa Jawa yang aktif melalui proyek transmigrasi, telah banyak mengu-bah peta demografis dan geopolitik di Kalteng. Komunitas Dayak yang secara jumlah yang terus men-galami penyusutan mulai digeser ke arah peran-peran politik dan ekonomi yang tidak menguntung-kan pada masa itu. Peran ekonomi dominan pada masa itu dikuasai oleh dua etnis pendatang, Banjar dan Madura. Pada masa-masa itu, patut dicatat sebagian represen-tasi Dayak justru bersikap tidak peka lingkungan sosial, yang mem-biarkan saja berbagai adegan dominasi politik, ekonomi dan budaya, dialami oleh komunitas Dayak. Pada saat itu subur berkem-bang mental asal selamat sendiri.

Kolonisasi energi, merupakan proses kolonisasi yang paling tera-khir, yang justru paling berbahaya dari ketiga jenis kolonisasi di atas. Salah satu bentuk dari kolonisasi ini adalah menghalang-halangi Kalteng untuk bisa mandiri secara energi. Batu bara yang cadangan produksinya mencapai hingga 1 milyar ton di Kalteng lebih banyak diekspor ke Jawa guna menyalakan listrik pulau padat penduduk itu. Sementara ironisn-ya Kalteng tetap gelap gulita. Berb-agai usaha dari lobby pemerintah provinsi terhadap pemerintah pusat, sedang giat dilakukan, agar Kalteng memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sendiri berkapasitas di atas 1.000 MW. Sebab tanpa listrik tidak ada pilihan berarti yang dapat diambil dalam pengembangan industri, peningkatan mutu pendidikan dan standar kesehatan di daerah ini.

Lemahnya peran politik dan ekonomi dari ranah lokal Dayak berhadapan dengan kekuatan luar dirinya, dapat digambarkan sese-bagai tidak adanya kepemimpinan lokal yang kuat, mandiri dan bervisi cemerlang yang dilahirkan selama

ix

masa-masa kolonisasi di atas. Keg-agalan melahirkan pemimpin-pemi-mpin dalam berbagai bidang peng-abdian, yang berwatak panarung, ureh mamut menteng sebagaimana diidealisasikan dalam beberapa karya sastra Dayak, tentu merupa-kan kegagalan dari sistem kemas-yarakatan itu sendiri untuk berpro-duksi, kreatif dan tanggap zaman.

Meskipun dalam era pemer-intahan Agustin Teras Narang sekarang, tema-tema Dayak diper-muliakan kembali, menurut hemat penulis harus segera dicarikan format keberlangsungannya ke depan. Tidak cukup hanya dengan slogan atau jargon pengangkatan nilai-nilai budaya dan adat saja lantas dikatakan semua persoalan selesai. Kelemahan-kelemahan masih nampak pada aras sumber-daya manusia (SDM) yang secara faktual masih lemah, alternatif sumber-sumber ekonomi yang ter-batas dan peran kelembagaan adat yang belum sepenuhnya mandiri.

Untuk melihat suasana keterp-inggiran yang dialami oleh komuni-tas Dayak dapat ditafsirkan sebuah data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalteng. Data itu men-genai perkembangan areal tanam sawit dan karet baru-baru ini.

Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kalteng dimulai pada tahun 1992, yaitu ketika beberapa perusahaan swasta men-gajukan izin guna membuka lahan di Kotawaringin Barat (Kobar) dan Kotawaringin Timur (Kotim). Semen-tara tanaman karet di Kalimantan Tenggara (Kalsel dan Kalteng) dimu-lai setidak-tidaknya sejak dekade 1930-an menyusul penanaman pertama di daerah Hulu Sungai, Kalsel, pada dekade 1920-an silam.

Dikatakan dalam laporan Kalteng dalam Angka 2012, pada tahun 2011 terjadi peningkatan luas areal dan produksi pada tanaman kelapa sawit dan karet di Kalteng. Dengan luas areal sebesar 1.256.444 Ha tanaman kelapa sawit menghasilkan 2.305.515 ton TBS, sedangkan tanaman karet yang memiliki luas areal sebesar 447.938 Ha menghasilkan 256.550 ton karet.

Bisa dibayangkan betapa sen-jangnya hasil produksi didapat per luasan areal penanam jika dilihat dari sisi waktu kedua jenis komodi-tas ini mulai diperkenalkan untuk ditanam di antara kalangan komuni-tas Dayak.

Kelapa sawit, secara sederhana menandakan jenis produksi komodi-tas yang terkait dengan produsen

x

terbesarnya berasal dari penduduk pendatang. Sedangkan karet menanda-kan jenis produksi komoditas yang sebagian besar dilakukan oleh produ-sen komunitas Dayak. Jika melihat angka itu di atas, maka akan terlihat bagaimana ketimpangan pola produk-si antara sumber ekonomi yang digarap oleh para pendatang di provin-si ini dengan sumber ekonomi yang dikerjakan oleh komunitas Dayak. Per-bandingan di atas jika dilihat dalam rasio areal lahan yang dipakai untuk in-vestasi menunjukkan hanya sepertiga luasan areal produksi saja yang dikua-sai komunitas Dayak. Tanah, dan nilainya yang terkait erat dengan marta-bat komunitas Dayak itu, dari kenyata-an itu, sudah lebih banyak digarap oleh kaum pendatang. Belum lagi jika melihat betapa kepala-kepala daerah yang ada di Kalteng begitu mudah mele-pas hak pengelolaan tanah kepada para investor sawit, ketimbang memper-tahankan nilai budaya dan adatnya bagi kepentingan komunitas Dayak. Dari perbandingan sederhana ini, dapat terlihat bagaimana proses keterpinggiran dan peminggiran peran ekonomi komunitas Dayak itu terus menggejala. Proses itu terjadi akibat dua tekanan sekaligus, dari luar komunitas dan juga dari dalam

Pemimpin Redaksi

komunitas yang tidak solid itu.Kelemahan seperti yang disam-

paikan terdahulu mestinya dicari apa penyebabnya dan bagaimana solusi untuk menguranginya, - bahkan jika mungkin untuk mengelimi-nasinya sama sekali. Jurnal Borneo Institute (BIT) melalui edisi perdana kali ini mencoba untuk menggelitik suatu kesadaran bersama komunitas Dayak di Kalteng untuk melihat kondisi terkini atas diri dan lingkungan-nya, dengan harapan terjadi suatu gera-kan kebangkitan kesadaran untuk me-nemukan kembali jatidirinya yang telah lama hilang itu. Darinya kita sama-sama berharap agar pilihan-pili-han kemajuan dan kemaslahatan semua anggota komunitas Dayak dapat diambil secara lebih bertanggung-jawab dan cerdas. Selamat membaca!

i

Daftar Isi

- Pengantar Redaksi .................................................

- Penantian Sebuah Sejarah Sosial ...........................

- Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam .........

- Memimpikan Bangunan Pendidikan yang Ideal di Kalimantan Tengah ................................................

- Berdagang di antara Jalinan Sukubangsa Dayak dan Banjar di Pasar Pahandut Palangka Raya ........

- Upacara Nahunan dalam Pandangan Beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang .................................................

i

1

23

53

61

80

Christian P. Sidenden

Edi Taufan

Yulius Essel Saden

Yanedi Jagau

Tahan MC, MTh

Penulis

ii

Yulius Essel Saden Lahir di Palangka raya 15 Juli 1973,Lulus tahun 2000 dari Jurusan Bahasa Inggris Univer-sitas Palangka Raya, dan melan-jutkan studi di Hawaii Universi-ty. Sekarang masih menempuh pendidikan di Universitas Pendi-dikan Indonesia, untuk menyele-saikan perkuliahan doctoral.

Edi Taufan Lahir di Teluk Betung, 14 April 1973 Lulus tahun 1999 dari Jurusan Bahasa Inggris Univer-sitas Palangka Raya, dan melan-jutkan studi di universitas yang sama pada pasca Sarjana lulus tahun 2011.

Tahan Mentria Cambah Pria kelahiran 23 May 1975 menempuh studi di Sekolah Tinggi Theologia GKE Banjarma-sin dan mendapat gelar Sarjana Theologi. Kemudian menamat-kan pasca sarjana di Sekolah Tinggi Theologi Jakarta.

Christian P. Sidenden Lahir di Banjarmasin, 24 Sep-tember 1971., menempuh pendi-dikan S1 di Malang pada kampus Institut Teknologi Malang, kemudian melanjutkan studi S2 di Yogyakarta pada Universitas Gajah Mada. Menulis artikel di beberapa media cetak di Indonesia dan pernah bekerja di media harian cetak Palangka raya

Yanedi Jagau Lahir di Palangka Raya, 25 Januari 1971, menempuh kuliah di Universitas Palangka Raya jurusan management, kemudian melanjutkan studi di Universitas Indonesia pada Jurusan Perkota-an, lulus pada tahun 2005. Sekarang memimpin lembaga swadaya masyarakat Borneo Institute sejak 2011 sampai sekarang.

Akan tetapi mengingat jurnal yang hadir di tangan pembaca ini penting untuk memetakan ber bagai persoalan yang dihadapi oleh sebagian masyarakat ”asli” yang menghuni Pulau Kalimantan/Borneo itu, maka penulis berani mengambil sikap untuk menuturkan apa adanya terminologi Komunitas Dayak itu berdasarkan pengetahuan yang serba ‘sedikit’.

Christian P. Sidenden, MAg.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Penantian Sebuah Sejarah Sosial Komunitas Dayak

1

Penantian Sebuah Sejarah Sosial Komunitas Dayak

Riman dayak te pambelum kalunen, ela sampai jadi jipen

dayak berarti hidup manusiawi menolak diri jadi budak 1

1 Syair Dayak yang diterjemahkah J.J. Kusni.

Merumuskan apa dan bagaimana batasanbatasan dari suatu ko

munitas yang disebut Dayak itu saja, bagi penulis, sudah merupakan satu hal yang tidak mudah. Kesulitan mana yang dihadapi oleh karena penilaian itu harus diberikan sekaligus secara etno

2

Christian P. Sidenden, MAg.

Penggambaran etnografis yang dilakukan kepada kaum Da-yak di seluruh Kalimantan pernah dilakukan oleh J.U. Lontaan yang menga takan bahwa kaum komu-nitas Dayak itu terdiri 7 bagian besar dan 405 sub etnik.2 Mereka tersebar di lima provinsi di Pulau Kalimantan hingga saat ini dalam jumlah antara 2 sampai 3 juta jiwa (menurut Sensus Penduduk 2010). Untuk konteks Kalimantan Tengah (Kalteng) sendiri terdapat sekurang-kurangnya empat sub etnik Dayak yang mengemuka dari segi jumlah yaitu: Ngaju, Dusun (Dusun-Maanyan-Lawangan), Ot-Danum dan Siang.

-cara khusus di Kalteng menga lami peru bahan dari waktu ke waktu, oleh karena secara sosio logis pe ran perpindahan agama dari agama leluhur (kaha ringan) ke agama Islam cende rung mengu-bah pula orientasi etnisitas. Se-bagai contoh ketika sebuah ke-luarga Dayak dari segi genealogis telah resmi menjadi Muslim maka otomatis mereka juga berganti etnisitas menjadi orang Melayu/Banjar yang lebih banyak ber-mukim di daerah pesisir. Mereka jarang atau tidak mau lagi disebut

Dayak yang lebih banyak bermu-kim di peda laman.

Sebagai sebuah pertanggung-jawaban, penulis menghadirkan penggambaran yang menyatakan hal itu dari sebuah laporan fak-tual:

Pada awal abad ke-19 ke-lompok dominan di Kalimantan adalah Dayak dan Melayu. Etnis Melayu umumnya bermukim di daerah pantai. Mere ka penganut Muslim dan lebih dulu mengenal budaya baca tulis. Orang Melayu dalam pandangan Dayak kala itu adalah cermin kemajuan dan ke-mo dern-an. Sebaliknya masyara-kat Dayak; tinggal di pedalaman, berperilaku berbeda dengan Me-layu, beragama asli, belum kenal budaya baca tulis.3

Perpindahan anutan ke-agamaan (proselitisisasi) sebagian

2 Lihat Lontaan, J.U. 1975. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Jakarta: Bumirestu.

3 Dahl, Jens and Alejandro Parellada. 1992. Masyarakat Adat di Dunia: Eksistensi dan Perjuangannya diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA) dan Institut Dayakologi. 2001. Jakarta: Gramedia. Hlm. 82.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Penantian Sebuah Sejarah Sosial Komunitas Dayak

3

komunitas Dayak dari kaharingan ke agama Kristiani, sebaliknya, cenderungnya tidak mengubah identitas sebagian kaum ketu-runan keluarga Dayak yang tetap mempertahankan identitas itu, baik dari segi pemeliharaan nama marga keluarga (sei) ataupun dalam cara hidup keseharian, keaktifan penggunaan bahasa ibu, dan sebagainya.

Jika di Kalteng istilah Dayak sendiri masih belum terkategori-sasi, maka demikian pula istilah Banjar/Melayu di Kalsel. Menu-rut Marko Mahin, seorang pen-deta sekaligus antropolog dari STT GKE Banjarmasin,4 menyatakan bahwa masalah kriteria Melayu itu sumir, di mana tampaknya para pakar masih belum menemukan titik tolak yang bisa disepakati dalam memahami konsep Me-layu. Sebagai contoh, pada ranah wilayah, ada satu kutub pendapat yang tampak bertolak dari konsep Melayu sebagai nama etnik yang sekarang merupakan masyarakat

dominan di Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya, dan kutub pendapat lain justru bertolak dari konsep kultural yang berasaskan peranan bahasa Melayu dalam

biasa disebut “alam Melayu”.Pada ranah lain, ditemukan

pula pola-pola hubungan yang rumit antara konsep Melayu Tua (proto-Melayu) yang kerap dilekatkan pada etnik-etnik yang sekarang mayoritas mendiami ka-wasan pedalaman pulau, seperti etnik Batak di Sumatera, rumpun etnik Dayak di Kalimantan, dan etnik Toraja di Sulawesi, dengan konsep Melayu Muda (deutro-

etnik-etnik pesisir yang termasuk dalam rumpun etnik Melayu, ter-masuk etnik Bugis dan Mandar di Sulawesi serta etnik Kutai dan Banjar di Kalimantan. Bagaimana-pun, masalah ini cukup kompleks dan belum kunjung terpecahkan.

Persoalan dominasi religio-kultural Banjar/Melayu ini relatif tidak terjadi pada wilayah Barito, yang secara sosio-historis memang merupakan asal-usul keberadaan mereka. Urang Banjar dan urang Ma’anyan itu sangat dekat. Misal-nya dituturkan, orang Ma’anyan

4 Lihat antara lain dalam kajiannya dalam http://banuahujungtanah.wordpress.com/2010/10/15/putri-banjar-di-tanah-dayak/ dan juga dalam http://m.adicita.

Usul-dan-Identitasnya

4

Christian P. Sidenden, MAg.

pada mulanya adalah penghuni daerah Kayu Tangi. Karena itu, orang Ma’anyan, dalam bahasa ritual wadian, menyebut dirinya sebagai anak nanyu hengka Kayu Tangi. Hal itu untuk menunjuk-kan, sebelum hidup terserak di beberapa wilayah sekarang, mere-ka tinggal di Kayu Tangi, yaitu wilayah yang sekarang berkem-bang menjadi Kota Banjarmasin.

Menjadi menarik menelisik persoalan ini pula, karena jika sebelumnya komunitas Banjar itu berasal-usul dari komunitas Da-yak-Ma’anyan di wilayah Kalsel, tetapi dalam perkembangan yang terkemudian, lalu tidak mengait-kan diri lagi sebagai komunitas Ma’anyan (yang kini lebih banyak berdomisili di Kalteng) tetapi me-nyebutnya sebagai urang Banjar. Karena dalam perbincangan so-sial maka lekatlah penunjukan komunitas Ma’anyan yang identik de ngan Kristen sementara komu-nitas Banjar identik dengan Islam.

juga dialami oleh sub-etnik Dayak Bakumpay, yang aslinya berasal dari Muara Bahan (Marabahan) di Kalsel. Sebagaimana dituturkan oleh Nasrullah seorang antropolog juga, yang ia sendiri adalah putra

Bakumpay,5 yang menyatakan sebagai berikut:

Induk sub etnik Bakumpay adalah di kota Marabahan, namun “mereka tidak saja tinggal di Mara-bahan, tetapi tersebar dengan keluarga mereka, atau berkum-pul di desa-desa kecil sepanjang Aliran Sungai Barito dan cabang-cabang utamanya seperti Pulau Petak, Sungai Patai, Su ngai Dayu (atau Ayu), sungai Karau, Sungai Montalat, dan Sungai Teweh, dan bahkan jauh di hulu lagi sampai daerah-daerah Siang-Murung. Keberadaan koloni Bakumpai di daerah pedalaman disebab-kan terutama oleh perdagangan” (Schawaner, dalam Syamsuddin, 2001:46)…Ber bagai pendapat tersebut dan yang saling mengu-atkan, jelas sulit bagi kita untuk memberikan bantahan bahwa Bakumpay adalah Dayak, tinggal di Daerah Aliran Sungai Barito, sebagiannya menyebar ke tempat lain yakni sampai ke Tumbang Samba (Kalteng) dan Long Iram (Kaltim). Namun berbicara tentang Bakumpay, masih menyisakan

5 Lihat dalam http://baritobasin.word-press.com/2007/06/25/bakumpai-dayak-dan-muslim/

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Penantian Sebuah Sejarah Sosial Komunitas Dayak

5

permasalahan bahwa Bakumpay yang memeluk Islam tidak lagi menyebut dirinya Dayak, mereka lebih cenderung sebagai Melayu atau Banjar. Seperti halnya de-ngan Dayak Meratus, mereka tidak lagi sebagai Dayak Meratus ketika sudah memeluk Islam.

Sebagai bahan pemban ding, menarik untuk mengetahui bahwa secara demografis, kondisi ke-beradaan etnis di Kalteng (central Borneo) pada tahun 1930, me-nyebutkan dari total penduduk sebesar 619.402 jiwa, jumlah pen-duduk etnis Dayak cukup domi-nan yaitu 393.282 jiwa (63,49%). Menyusul jumlah penduduk dari etnis Melayu (sub-etnik-sub-etnik Minang, Jambi, Riau, dan Kuta ringin) mencapai 164.981 jiwa (26,64%). Kemudian jum-lah penduduk etnis Banjar yang mencapai 36.880 jiwa (5,95%). Mengejutkan mengetahui karena jumlah penduduk dari etnis Jawa (termasuk sub-etnik-sub-etnik Sunda dan Madura) saat itu telah mencapai 15.520 jiwa (2,51%).6

secara geografis keberadaan komunitas Dayak di beberapa wilayah di Pulau Kalimantan juga sudah bergeser, di mana tempat

bermukim mereka berada sema-kin ke daerah pedalaman ataupun jika masih bertahan harus me-nerima berada dalam lingkungan hidup perkampungan dan daerah perkotaan yang berciri multietnis seperti saat ini.

Dua faktor penyebab penyu-sutan wilayah hunian komunitas Dayak pada saat ini adalah: eks-

transmigrasi dari pemerintah pu-sat. Secara khusus buku acuan di atas juga menyebutkan laporan

-kasi program transmigrasi yang dilakukan di Kalimantan sejak masa Orde Baru sampai sekarang (1970-2012):

Kedatangan transmigran juga menimbulkan persoalan-persoalan baru yang sangat sub-stansial, seper ti ganti rugi tanah masyarakat adat yang tidak se-suai, penghancuran kebudayaan masyarakat adat dan perusakan sumber daya alam karena program transmigrasi dipadukan dengan

6 Gooszen, Abrahamine Johanna. 1999. A Demographic History of the Indonesian Archipelago: 1880 – 1942. KITLV: Leiden. Hlm. 106.

6

Christian P. Sidenden, MAg.

kebijakan Hutan Tanaman In-dustri – Transmigrasi (HTI-Trans), Tambak Inti Rakyat (TIR-Trans), Perkebunan Inti Rakyat – Trans-migrasi (PIR-Trans) yang membuka jutaan hektar hutan primer untuk ditanami akasia (HTI) dan kelapa sawit, coklat, kelapa hibrida (PIR). Padahal hutan bagi masyarakat adat adalah sumber kehidupan dan penghidupan mereka. Jika hu-tan hilang, maka keberadaan ma-syarakat adat juga akan hilang...Ini terjadi pada masyarakat adat di Kalimantan misalnya. Populasi masyarakat adat Dayak di banyak lokasi transmigrasi di Kalimantan

jauh sa ngat kecil dibanding jumlah trans migran. Karena itulah ter-jadi dominasi budaya Jawa (luar Dayak) sehingga pelan tapi pasti budaya Dayak akan hilang.7

Selanjutnya secara sosio logis, memetakan ciri-ciri komunitas Dayak itu tidak juga semakin mu-dah. Sebab banyak jejak ciri-ciri Kedayakan dari suatu komunitas

tasi pengaruh dari akibat interaksi dengan pihak kolonial Belanda melalui kegiatan misi Pengin-jilan beberapa abad lampau. Ada banyak ragam sinkretisme yang sudah terjadi dalam tubuh tradisi

adat istiadat komunitas Dayak, terutama sesudah Perjanjian Da-mai di Tumbang Anoi (1894).8

Kehadiran Kekeristenan se-jak dimulainya misi Penginjilan di Tanah Dayak pada tahun 1835 oleh Badan Misi Barmen dan kemudian dilanjutkan oleh Misi Basel dibawah bendera RMG (Rhe-inische Mission Gesselschaft) telah

7 Dahl, loc. cit. Hlm. 85.

8 Perdamaian Tumbang Anoi 1894 menurut penulis hanya merupakan suatu pene-tapan tahun yang umum bagi upaya-upaya pemerintah Hindia-Belanda secara ke-seluruhan untuk memantapkan kolonisasi di atas Tanah Dayak. Hal itu bermakna konsolidasi dan rekonsialiasi antara kepen-tingan-kepentingan pemerintah kolonial dengan komunitas Dayak di sebagian besar wilayah Dayak Besar (Groot Dajaklanden).

Selanjutnya secara sosiologis, memetakan ciri-ciri komunitas Dayak itu tidak juga semakin mudah. Sebab banyak jejak ciri-ciri Kedayakan dari

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Penantian Sebuah Sejarah Sosial Komunitas Dayak

7

mengubah pola hidup komunitas Dayak dari yang sebelumnya ber-ciri masyarakat food-gatherer dan agraris menjadi berciri masyara-kat industrial. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Misi Barmen di beberapa lokasi di Kalteng se-perti antara di Tamiang Layang, Buntoi dan Mandomai, juga di Kuala Kurun telah menjadikan perubahan mentalitas komuni-tas Dayak untuk dipersiapkan menjadi masyarakat sipil Hindia Belanda. Sejak mengenal sekolah dan kemudian melanjutkan pen-didikan hingga ke tingkat kesarja-naan di Banjarmasin itulah maka komunitas Dayak pada peralihan abad ke-19 ke abad ke-20 lalu, pelan tapi pasti, banyak yang mu-lai aktif dalam tugas kekaryaan menjadi pegawai negeri sipil dan bertukang.

Tradisi mentalitas nam-paknya telah menjadi cap yang lekat untuk menimbulkan suatu

persepsi di antara komunitas-komunitas penduduk asli di Ka-limantan. Ketimbang berbicara agama dan adat istiadat, maka pemaknaan paling kerap justru dari segi tingkah laku hidup ke-seharian masing-masing komuni-tas yang menjadi penanda untuk mencirikan komunitas lainnya. Seolah-olah dengan begitu bahwa menjadi pegawai negeri sipil (PNS) itu identik dengan ciri komunitas Dayak (apapun saja), sementara entah benar atau tidak, bahwa kultur enterpreneurship atau berwiraswasta khususnya dalam berniaga itu lebih kerap dijumpai dalam komunitas etnis Melayu/Banjar.

Bahwa, untuk membuktikan-nya, misalnya bagaimana suatu istilah bahasa yang seakar dapat dimaknai justru berkebalikan di antara komunitas-komunitas berbeda. Ungkapan dalam bahasa Dayak Ngaju begawe (dari kata

Sejak mengenal sekolah dan kemudian melanjutkan pendidikan hingga ke tingkat kesarjanaan di Banjarmasin itulah maka komunitas Dayak pada peralihan abad ke-19 ke abad ke-20 lalu, pelan tapi pasti, banyak yang mulai aktif dalam tugas kekaryaan menjadi pegawai negeri sipil

dan bertukang.

8

Christian P. Sidenden, MAg.

dasar gawi yang berarti ‘kerja’) itu mengacu pada persiapan menga-dakan suatu acara pesta, semen-tara dalam istilah yang sama yang diterapkan oleh komunitas Melayu/Banjar diartikan sebagai pergi ke sawah, menangkap ikan, atau berdagang ataupun pergi ke pasar, pokoknya kerja dalam pengertian materialistik.

Kebuntuan Integrasi Sosial yang Memandulkan Proses Alih Gene rasi

Komunitas Dayak itu hidup dan beranak-pinak di sekitar ling-kungan pemukiman yang mengi-kuti keberadaan aliran-aliran su ngai. Rumah tempat mereka tinggal disebut Betang yang me-liputi semua ling kungan di seki-tarnya. Sungai merupakan urat nadi kehidupan komunitas Dayak dan darahnya adalah hutan. Di hutan-hutan yang juga tumbuh di sekitar aliran-aliran su ngai itu, komunitas Dayak memperoleh sebagian besar bahan makanan (hewani dan hayati), bumbu-bum-bu dapur, komoditas yang bisa diperjual-belikan seperti rotan dan getah karet (yang dijual me-lalui sistem barter), apotik hidup

dan tanaman obat keluarga dan sebagainya. Tanpa hutan maka komunitas Dayak akan punah de ngan sendirinya.

Kebebasan mengelola sum-berdaya alam anugerah Tuhan kepada komunitas Dayak itu dilakukan de ngan memberikan ling kungan pe mukiman dan zona ekonomi eksklusifnya diberi suatu payung hukum, yang dinama-kan payung hukum adat. Segala aturan dalam hukum adat itu mengatur hubungan dalam ko-munitas baik itu antar sesama anggota komunitas, antara ma-nusia dengan alam lingkungan-nya dan antara manusia dengan Tuhannya.

Jika terjadi hubungan yang tidak harmonis antar sesama anggota kelompok, oleh karena pelanggaran norma dan etika, maka tetua-tetua komunitas (baik temanggung, ‘kepala kampung’, dan damang, ‘penghulu adat’) melakukan penyelidikan dan penghakiman menurut aturan adat yang sudah disepakati ber-sama. Kepada pihak yang ber-salah atau melanggar diberikan sanksi yang mendidik (‘berefek jera’) si bersang kutan yang di-dapati kesalahannya untuk tidak

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Penantian Sebuah Sejarah Sosial Komunitas Dayak

9

melakukan lagi perbuatan yang sama kepada orang lainnya lagi di waktu yang lain. Demikian pula dalam ketidakharmonisan hu-bungan antara manusia de ngan alam, dan dengan Tuhannya, akan turut dihakimi dan diadili dengan hukum adat itu dengan sanksi-sanksi berbagai ragam dan tingkatan berdasarkan berat-ringannya kesalahan yang sudah dilakukan.

Hidup yang sepenuhnya diatur oleh norma dan etika adat inilah yang dalam terminologi Dayak disebut belom bahadat (‘hidup dengan jalan adat’) yang berlaku sejak zaman dulu hingga saat ini. Sebab tanpa keberadaan hukum adat ini maka keberadaan komunitas Dayak diyakini akan mengalami chaos atau kacau balau. Meskipun belum diketahui pasti sejak kapan mula sesama komunitas Dayak saling menjaga hubungan intra sub-etnik itu de-ngan aturan hukum adat.

Kehidupan yang har monis

de ngan situasi dan suasana hu-tan-hutan rindang dan aliran sungai-sungai besar yang jernih yang mengitari keberadaan ko-munitas Dayak itu pada kekinian mulai sulit untuk ditemukan. Oleh sebab mana, se bagaimana sudah dijelaskan sebagian di atas, komunitas Dayak mengalami be-berapa pergeseran orientasi atau-pun mentalitas budaya sebagai akibat menerima infiltrasi dan pengaruh a sing pada peralihan abad lalu. Mereka mulai hidup di wilayah perkotaan (yang dulunya adalah kampung-kampung yang semakin ramai) dan memilih pekerjaan yang lebih sesuai de-ngan pola hidup modern. Mereka mulai meninggalkan pekerjaan penghi dupan bercocok tanam dan mencari ikan dan memilih mulai bekerja di gedung-gedung perkan-toran untuk menyesuaikan pen-didikan yang sudah didapatnya dengan pekerjaan yang ‘halus’. Se-lanjutnya mereka mulai menganut kepercayaan keagamaan baru,

Hidup yang sepenuhnya diatur oleh norma dan etika adat inilah yang dalam terminologi Dayak disebut belom bahadat (‘hidup dengan jalan

adat’) yang berlaku sejak zaman dulu hingga saat ini.

10

yang sekalipun hal itu ditimpali dengan label demi mereka mema-suki alam modern dan mening-galkan kekolotan, entah dengan menerima menjadi mualaf Muslim maupun tame (‘masuk’) Kristen, dengan meninggalkan tradisi ke-percayaan nenek moyangnya yang bernuansa animisme.

Selain itu dengan keda-tangan etnis-etnis lainnya dari luar Kalimantan sebagai bagian dari program pemerintah se-perti proyek trans migrasi, seperti sudah dijelaskan di atas, maka keberadaan komunitas Dayak itu semakin dijauhkan dari nilai-nilai sejati yang mendasari keberadaan-nya pada mulanya. Hutan jum-lahnya semakin menyusut se-

dan juga dibukanya jalur-jalur pertumbuhan ekonomi melalui penambahan insfrastruktur, jalan raya dan jembatan. Sama halnya sekarang amat sulit untuk dapat menemui kondisi perairan sungai-sungai di Kalimantan yang tidak tercemari dan tidak mengalami polusi, yang ke semuanya itu se-makin membuat identitas Dayak dan komunitas Dayak yang mau dibayangkan itu menjadi sangat sukar.

Menurut J.J. Kusni Sulang,9 salah seorang putra Dayak yang aktif memikirkan pertahanan eksistensi suku Dayak, menye-but dalam perisitilahan lokal Dayak keberadaan komunitas Dayak itu digambarkan sebagai rengan tingang anak jata utus panarung. Anak-anak dewata, cer-dik-pandai, berani, bertanggung jawab, berwawasan luas, sehingga ditetapkan menjadi pewaris bumi. Simbolisasi ini dengan kata lain menyebut bahwa putra-putri Da-yak seharusnya menjadi ksatria/pejuang, berani menerima semua tan tangan dan persoalan, yang bermaksud untuk memberikan kesa daran bagaimana seharus-nya komunitas Dayak pada hari ini menjawab tiap tantangan za-mannya. Tantangan zaman yang dihadapi komunitas Dayak adalah bagaimana mereka menjawab krisis identitas diri se bagai aki-bat perubahan-perubahan yang dihadapinya selama sekian waktu belakangan.

Christian P. Sidenden, MAg.

9 Lihat J.J. Kusni. 2001. Negara Etnik: Beberapa Gagasan Pemberdayaan Suku Dayak. 2001. Yogyakarta: Forum Studi Perubahan dan Peradaban.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Penantian Sebuah Sejarah Sosial Komunitas Dayak

11

Sebagai keturunan dewata,10 yang berakal dan dan potensi ke-cerdasan tinggi, menurut Kusni, komunitas Dayak harus proaktif dalam mengangkat tema-tema ke-budayaannya menjawab berbagai bentuk krisis multidimensional yang dihadapi oleh regional Kali-mantan dan juga nasional Indone-sia secara umum. Krisis multidi-mensional yang dihadapi oleh ko-munitas Dayak itu adalah antara lain persoalan belum sepenuhnya peran adat dan budaya Dayak menjadi dominan dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat dan menjadi cerminan setiap pengam-bilan keputusan di daerah ini. Selain itu masih belum kuatnya tumbuh kesadaran politik dan ekonomi dari sementara kalangan komunitas Dayak dalam ajang kontestasi meraih kepemim pinan lokal dan nasional.

Penulis meyakini bahwa kri-sis jatidiri yang dihadapi oleh sebagian besar komunitas Dayak itu memang berasal dari lemahnya kaderisasi kepemimpinan di an-tara mereka. Mereka gagal melihat dari fakta masa lalu, lalu berkaca dari sejarahnya sendiri untuk mencoba menemukan pemimpin yang memang bisa diandalkan

untuk membawa tema Dayak itu tampil ke muka.

Tidak sulit sebenarnya meng-gagas ide pewarisan kepemim-pinan sebab contohnya ada. Bahwa komunitas Dayak pernah melahirkan seorang pemimpin kaumnya yang cemerlang dapat dikisahkan sekelumit dari seorang

(1885-1943).

Belajar dari Seorang Hausmann Baboe

Benarkah tuduhan bahwa komunitas Dayak itu tak ber-bakat dalam soal enterpreu neur-

10 Keturunan Dewata, tidak dapat dimak-nai secara lurus sebagai “turun dari

yang lain pernah dicoba penulis untuk menggagas makna istilah To Manurung

dengan pengertian lain, bahwa generasi pertama mereka telah turun (manurung) itu bermakna bahwa kedatangan leluhur komunitas Toraja itu berasal dari suatu Negeri di Atas Angin, di sebelah Utara, sementara hampir sebagian besar wilayah Nusantara ini memang digelari Negeri di Bawah Angin, di sebelah Selatan. Melalui hal ini telah dicoba untuk memaknai asal-usul kedatangan leluhur suku Toraja itu memang berasal dari suatu tempat di Dataran Asia Tenggara/Indocina.

12

ship? Tuduhan itu keliru kalau kita menga cu pada fakta bahwa menjelang peralihan abad lalu justru yang mendominasi perda-gangan di Banjarmasin justru representasi putra-putri Dayak. Mi salnya, kekuatan ekonomi, sebagai dasar untuk bisa meraih kekuatan politik ini, merupakan sebentuk gagasan dari seorang putra Dayak kelahiran Kampong Hampatong, bernama Hausmann Baboe. Bersama tokoh-tokoh lainnya seperti M. Lampe, Philips Sinar, Haji Abdulgani, Sian, Lui Kamis, Temanggung Tundan, mereka mendirikan organisasi Syarikat Dayak (SD), pada tahun 1919 silam. Organisasi ini lalu berubah menjadi Pakat Dayak (PD) beberapa tahun kemudian, yang ikut aktif mendidik para nasionalis putra-putri Dayak. Or ganisasi yang didirikan di Tum-bang Kapuas (sekarang Kuala Kapuas) ini menjadi tonggak tersendiri bagi kebangkitan Dayak pada saat itu.

Pokok-pokok perjuangan Hausmann dan kawan-kawannya kala itu, antara lain memper-juangkan pembebasan bea pajak kepala yang dibebankan kepada masyarakat, mendirikan sekolah-

sekolah swasta, menjadikan baha-sa Dayak Ngaju sebagai identitas keetnikan Dayak, dan bahkan se-cara politik berusaha memperoleh kursi perwakilan rakyat Dayak di Volksraad (Dewan Rakjat) di Bata-via. Hausmann nampaknya tidak berasal dari lingkungan gereja, karena ada beberapa persoalan pokok perjuangan yang membuat ia dan institusi itu tidak sejalan.

Hausmann sendiri menurut beberapa laporan dari peneliti Koninklijk Instituut voor –Taal, -Land, en –Volkenkunde (KITLV) Leiden Belanda, Gerry van K linken,11 aktif mengu sahakan pesatuan dagang pribumi (ko-perasi) untuk melawan dominasi perda gangan dari etnis Cina yang bermukim di Banjarmasin pada tahun 1920. Untuk apa melaku-kan kegiatan perlawanan eko-nomi, kalau Hausmann sendiri bukan pelaku ekonomi yang aktif? Hal ini untuk menjawab keragu-raguan soal kemampuan putra-putri Dayak pada masa penye-maian benih-benih nasionalisme

Christian P. Sidenden, MAg.

11 Lihat misalnya tulisan Gerry van Klinken (2004) dalam situs http://www.knaw.nl/Content/Internet_KNAW/internationaal/indonesia/workshop/2004_7.pdf.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Penantian Sebuah Sejarah Sosial Komunitas Dayak

13

Indonesia juga sedang menguat, utamanya di Jawa. Selain itu, ke-sadaran akan peran pendidikan yang tinggi dari Hausmann telah mengharuskan di kampung ha-lamannya, Tumbang Kapuas, bisa memiliki suatu sekolah menengah guna menyediakan tenaga-tenaga pemuda berbakat untuk bekerja dan berusaha. Syarat untuk bekerja dan berusaha pada ketika itu adalah diperlukannya ijazah sekolah menengah. Bersama saudara sepupunya Mahir Mahar, Hausmann akhirnya mendirikan Hollandsche Dajak School (HDS), Sekolah Dayak Belanda. Perseko-lahan pertama HDS itu tercatat dimulai pada tanggal 1 Juli 1924 dengan jumlah siswa 12 orang.

Dalam sebuah edisi pada Harian Soeara Borneo (16 Oktober 1926), yang merupakan koran yang turut didirikan Hausmann di Banjarmasin,12 ide-idenya tentang

persatuan Indonesia itu ternyata mendahului peristiwa Soempah Pemoeda 1928. Kata-kata Haus-mann dalam edisi SB hari itu men-

jadi begitu bernas: “Ada ba njak soekoe-soekoe bangsa, seper ti bangsa Djawa, bangsa Soematera, bangsa Borneo – dan sebagainja – dan mereka semoeanja itoe ber-harapan oentoek mendjadi Djawa Raja, Soematera Raja, djoega Borneo Raja. Akan tetapi mereka semoea itoe senasib, sehingga se-baiknjalah kita menjeboet diri kita sebagai bangsa Indonesia, rak-jat Indonesia yang bertoedjoean melepaskan diri dari kekoeatan a sing.”

Silahkan para pembaca me-nilai apakah kata-kata di atas itu umum diucapkan oleh seorang yang dalam keadaan terjajah? Hidup yang memanusia itu adalah ia tak mau menjadi jipen atau bu-dak, meskipun secara lahiriah se-seorang itu hidup dalam konteks zaman penjajahan. Sebaliknya, belum tentu ada orang Dayak yang hidup dalam suasana In-

12 Melihat fakta ini, menjadi pertanyaan pula bahwa mengapa belum ada gerakan un-tuk mengusung Hausmann Baboe sebagai Bapak Pers Kalimantan hingga sekarang?

Hidup yang memanusia itu adalah ia tak mau menjadi jipen atau budak, meskipun secara lahiriah seseorang itu hidup dalam konteks zaman

penjajahan.

14

donesia Merdeka, yang nyatanya berpikiran merdeka.

Ironis, Hausmann Baboe itu gugur sebagai seorang yang merdeka saat kekejaman Pemerin-tahan Bala Tentara Jepang sedang berkuasa di Banjarmasin. Pengu-asa Jepang mengeksekusinya di Landasan Ulin bersama beberapa puluh administrator Keresidenan lainnya dengan tuduhan hendak melakukan makar, tepatnya pada 20 Desember 1943. Nama be-sarnya, entah mau atau tak mau dihargai oleh sebagian besar ko-munitas Dayak, di Palangka Raya, sebagai pengakuan atas identitas Hausmann sebagai Dayak secara sekedarnya, diabadikan menjadi nama sebuah jalan ‘pendek’, te-pat di belakang Rumah Jabatan Kepala Polda Kalteng.

Jika memang sangat fun-damental segala yang sudah ditunjukkan oleh Hausmann Baboe, sebagai salah seorang putra Dayak yang kreatif, berani, bervisi dan tanpa basa-basi, pada masa lalu, mengapa tidak ada lagi generasi penerus dari komunitas Dayak saat ini bisa sedemikian rupa dalam pola kepemimpinan dan kepengasuhannya? Mengapa terjadi kegagalan alih generasi

dari antara sementara pemimpin Dayak dalam perjalanan se-jarahnya yang kemudian. Apa sebab-sebab dari kegagalan alih generasi itu?

Salah satu jawaban kritis mungkin perlu kita dengarkan dari MJ. Akien Alif dari Institute of Dayako logy Research and De-velopment (Pontianak) yang pernah mencirikan kegagalan komunitas Dayak itu untuk terus memimpin secara berkesinambungan, adalah ide mere ka, setidak-tidaknya setelah era Tjilik Riwut, untuk turut menunjang subur nya nepo-tisme dan superiority complex. Lebih jauh dipaparkannya,

Kekuasaan selalu ingin dipe-gang seumur hidup. Enggan untuk menyerahkannya kepada generasi berikutnya, karena dianggap tidak mampu, atau karena alasan lain yang tidak jelas. Artinya, orang Dayak yang sudah mapan lebih suka memperta hankan status quo. Dia lalu bersikap curiga dan menumpuk kekuasaan pada diri-nya sendiri. Bila kekuasaan tadi jatuh atau lepas dari padanya, terjadilah kevakuman kepemim-pinan dalam kelompoknya, lan-taran pim pinan baru belum siap atau sengaja tidak disiapkan. Ka-

Christian P. Sidenden, MAg.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Penantian Sebuah Sejarah Sosial Komunitas Dayak

15

derisasi kepemim pinan jarang ter-jadi dalam masyarakat Dayak.13

Oleh karena tidak mau meng-kaderkan pemimpin dan tidak mau kekuasaan itu lepas dari tangannya, maka saat ini terjadi krisis kepemimpinan di kalangan komunitas Dayak. Terpinggirkan karena tidak memiliki pemimpin yang berwatak ksatria, bervisi ke masa depan dan tanggap zaman. Kondisi yang terpinggirkan dari komunitas Dayak yang dialami di lapangan-lapangan politik, eko-nomi, sosial dan budaya selama 40 tahun belakangan, menurut Kusni, sebagai buah dari pilihan politik yang tidak mawas diri dari sementara pemimpin Dayak dalam rentang waktu itu untuk

menjadi batu loncatan menjaga terjaminnya masa depan anak cucu mereka. Membiarkan ma-suknya dominasi politik pusat dalam menentukan pilihan mem-bangun Kalimantan, terutama dalam era rezim Orde Baru, pada akhirnya membuat kondisi lokal Kalteng saat ini menjadi sangat

tidak menguntungkan.

Pentingnya Pengetahuan Sejarah Sosial

Sekalipun penulis setuju dengan beragam pendapat soal ke depannya dari resolusi komu-nitas Dayak menjawab tantangan yang dihadapinya, antara lain seperti yang digagas J.J. Kusni sebagai Dayak Bermutu dan oleh Gubernur A. Teras Narang de-ngan Kalteng Harati, tetapi penulis merasa perlu juga untuk menge-nal tumbuhnya pada komunitas Dayak itu suatu penin jauan kem-bali terhadap ke sadaran historis yang masih belum tuntas, yang menjadi sebab latar belakang

tidak solidnya persatuan komu-nitas Dayak untuk siap menjadi rengan tingang anak jata utus panarung itu. Pertanyaannya adalah bagaimana bisa mencip-

Oleh karena tidak mau mengkaderkan pemimpin dan tidak mau kekuasaan itu lepas dari tangannya, maka saat ini terjadi krisis

kepemim pinan di kalangan komunitas Dayak.

13 Lihat tulisannya yang ‘menggigit’ pada Buletin Kalimantan Review, Nomor 03 Tahun II, Januari-April 1993. Hlm. 35.

16

takan tema insan-insan Dayak Bermutu, membuat oloh Kalteng Harati yang siap menjawab tan-tangan zaman dan siap bersaing dengan pendatang, jikalau diketa-hui bahwa komunitas Dayak yang mau dibayangkan itu saja masih belum sadar dengan sejarah so-sialnya sendiri?

Menjadi harapan di sini adalah, sembari mengenang, merefleksikan akan peristiwa-peristiwa keseja rahannya, suatu komunitas dapat menyaksikan siapa dirinya, memperbaiki keke-liruan-kekeliruan di masa lalu, untuk kemudian dipakai menyem-purnakan langkah-langkah ke depan. Sebab dikatakan oleh Im-manuel Kant, Out of the crooked timber of humanity, no straight thing was ever made. “Tidak per-nah ada hal bernas yang benar, yang lurus akan terjadi dari batang kayu kemanusiaan yang bengkok.”

Hematnya, tanpa ketersedia-an sebuah buku sejarah sosial Kalteng, merupakan suatu bentuk dari ke timpangan kemanusiaan. Bermutu, harati, tidak hanya soal hari kemudian, bahkan mungkin akan tak pernah tercapai jika tak dimulai dari kesadaran pada diri,

memahami betul siapa dirinya dan bagaimana dirinya terkait dengan lingkungan alam dan sosial, yang itu nanti akan dibawa untuk men-jawab setiap tantangan zaman yang dihadapinya.

Karena menjadi persoalan di sini adalah, inheren dalam sejarah sosial di Tanah Dayak itu adalah masalah latennya persaingan dan perta rungan sub-sub etnik Dayak Kalteng itu berdasarkan ego aliran-aliran sungai. Bahwa di Kalteng secara khusus, terdapat lima sungai besar yang mendasari letak egoisme kewi layahan – dan juga egoisme kultural itu, yaitu Barito, Kapuas, Kahayan, Ka-tingan dan Arut. Secara khusus perta rungan yang paling laten di antaranya adalah di antara anak-anak Dayak dari sungai-sungai Kahayan, Kapuas dan Barito.

Tanpa menyelesaikan atau setidak-tidaknya mendamaikan perseteruan di antara kaum ko-munitas Dayak dari ketiga wilayah ini, maka resolusi macam apapun yang mau coba dihasilkan, entah itu melalui Kelembagaan Adat ataupun lewat proyek ‘bagi-bagi kue politik’ di an tara ketiga sub-etnik penghuni tiga DAS itu tadi, maka upaya menciptakan komu-

Christian P. Sidenden, MAg.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Penantian Sebuah Sejarah Sosial Komunitas Dayak

17

nitas Dayak yang dibayangkan ke depan tetap tidak akan bisa terwujud. Sebab obat-obat anal-gesik semacam itu hanya bisa meredakan ‘sakit’ kebudayaan untuk sementara belaka, tetapi tidak pernah membunuh sumber penyakitnya.

Penulis beranggapan bahwa dalam fora-fora pertemuan ma-syarakat adat lokal yang digagas baik oleh pemerintah daerah

maupun oleh komunitas adat yang diadakan akhir-akhir ini, tidak pernah mencoba mengurai persoalan inheren sejarah so-sial itu, tetapi alih-alih mencari perdamaian utuh di antara me-reka sendiri, malah upaya yang dilahirkan adalah mengadakan persatuan de ngan menciptakan musuh bersama.14 Para pe-mimpin Dayak saat ini justru terus menajamkan persaingan di antara elit-elit komunitas Dayak dari masing-masing wilayah. Kepen tingan sesaat yang di-agendakan dari beberapa per-temuan Dewan Adat itu adalah bagaimana tetap memperta-

hankan putra-putri Dayak un-tuk tetap memegang tampuk pimpinan politik di Kalteng.15 Pertanyaannya, sampai kapan akan tetap memegang kekua-saan politik, jika melihat fakta dari segi jumlah saja semakin menyusut, kalah jauh dengan para pendatang, sementara pada sisi lain, kualitas sumber-daya manusianya tidak kunjung menga lami peningkatan?

14 Musuh-musuh bersama yang diciptakan agar komunitas Dayak itu bersatu adalah Rezim Soeharto dan Orde Baru saat Re-formasi 1998, dan sesudahnya, Etnis Madura, saat Kalteng sedang menegaskan dirinya sebagai sebuah provinsi Etnis Dayak. Hal ini nampak dari dua kali Kong-res Rakyat Dayak (KRD-KT) dalam masa reformasi yaitu tahun-tahun 2001 dan 2010. Khususnya dalam KRD-KT yang kedua seluruh komponen Dayak di empat provinsi di Pulau Kalimantan berhasil menetapkan pembentukan Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) guna menyatu-kan identitas Dayak se-Kalimantan.

15 Sebagai contoh Lembaga Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah (LMDD-KT) merupakan suatu organisasi massa kedaerahan yang paling jelas me-nyuarakan hal ini.

Para pemimpin Dayak saat ini justru terus menajamkan persaingan di antara elit-elit komunitas Dayak dari masing-masing wilayah.

18

Penajaman perseteruan itu dicontohkan, nampak dari berkembangnya isu-isu peme-karan provinsi di masa kepe-mimpinan Agustin Teras Narang sebagai Gubernur Kalteng se-lama delapan tahun belakangan (2005-2013). Kalteng diharap-kan untuk segera dimekarkan menjadi tiga provinsi, masing-masing Kotawaringin Raya, Kali-mantan Tengah dan Barito Raya. Meskipun Teras Narang sendiri selaku wakil pemerintah pusat di daerah ini tidak bergeming dengan berbagai lontaran per-tanyaan siap tidaknya provinsi yang dipimpinnya itu untuk dimekarkan. Hal ini contoh konkrit dari bagaimana kepe-mimpinan dari putra daerah asal DAS Kapuas, segera mendapat-kan ‘ten tangan’ dari komponen komunitas Dayak lainnya dari DAS yang berbeda.

Lebih dulu dari persoalan pemekaran ini, hambatan utama dalam terciptanya persatuan atau integrasi sosial di antara komunitas Dayak itu dimulai dengan pembiaran sejarah se-lama proses kelahiran provinsi Kalteng pada tahun 1957 itu sen diri. Pembiaran sejarah itu

adalah diabaikannya peran sosio-historis dari warga komu-nitas Dayak di Lembah Barito, yang melembaga dalam Ge-rakan Mandau Talawang Panca Sila (GMTPS) pimpinan Uria Mapas alias Christian Simbar, yang mana organisasi itu terus eksis sampai saat ini. Christian Simbar merupakan Panglima Tertinggi perjuangan GMTPS hingga tahun 1957. Gerakan ini merupakan gerakan poli-tik bersenjata yang militan di dalam menuntut pembentukan Provinsi Kalteng yang berdiri sendiri terpisah dari Kalsel. Sekalipun bersama-sama meng-inginkan Kalteng berdiri sen-diri, lepas dari Kalsel, nyatanya terjadi perbedaan sikap antara Simbar dan Tjilik Riwut, yang tak bisa diselesaikan hingga keduanya wafat. Apa penyebab perbedaan sikap itu dan menga-pa tidak terselesaikan hingga keduanya tiada, menarik untuk dikaji secara keilmuan sejarah.

Sebagaimana sudah dija-wab oleh tokoh-tokoh keseja-rahan Kalteng, seperti Sabran Ahmad (Ketua Dewan Adat Da-yak Provinsi Kalteng), dikatakan bahwa ide bahwa pemerdekaan

Christian P. Sidenden, MAg.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Penantian Sebuah Sejarah Sosial Komunitas Dayak

19

Kalteng adalah buah dari per-juangan bersenjata itu tidak benar. Sebab perjuangan rakyat Kalteng ingin lepas dari domina-si politik, ekonomi dan kultural Kalsel itu tidak perlu dengan kekerasan. Melainkan melalui lobby politik. Usulan-usulan dari Panitia Penjaloer Hasrat Rakjat Kalimantan Tengah yang bersidang di Banjarmasin pada Desember 1956 merupakan upa-ya damai pemisahan dari Kalsel. Sebaliknya, malah ditanyakan Sabran, apakah perlu kala itu menembaki saudara-saudari kita di Kalsel yang notabene adalah sesama anak bangsa Indonesia yang merdeka. Sebab le pasnya Kalteng dari Kalsel itu, terbukti hanya merupakan lobby politik saja bukan dilakukan dengan kekuatan bersenjata.

Isu politik daerah ini ke de-pan diharapkan dapat memberi-kan peran serta dari masing-ma-sing komponennya untuk mem-bangun Kalteng yang lebih ber-harkat dan bermartabat. Mene-tapkan keberadaan ibukota di

Pahandut (kini, Palangka Raya) demi menghindari terjadinya perselisihan soal di mana pu-sat pemerintahan provinsi yang baru dilahirkan itu seharusnya juga dibarengi dengan upaya menyelesaikan pula soal pele-takan pusat egoisme kultural pada ketika itu, termasuk sam-pai saat ini. Egoisme kultural itu harus bisa de ngan sikap bijak dibina, bukan malah dipertajam oleh karena adu domba dari pihak-pihak luar.

Kita memerlukan suatu pence rahan sejarah. Pencerahan sejarah Kalteng itu antara lain menggali lebih dalam lagi dari peran wilayah dan masyarakat Lembah Barito. Padahal dari kawasan itu pernah lahir se-buah ke rajaan maritim yang mendahului ke rajaan-kerajaan besar di bagian Barat Nusan-tara, Sriwijaya dan Majapahit, yaitu Kerajaan Nan Sarunai. Bahwa beberapa ribu tahun lalu para pelayar lautan dari Lembah Barito sudah melanglang buana dengan menjelajahi berbagai

dipertajam oleh karena adu domba dari pihak-pihak luar.

20

Christian P. Sidenden, MAg.

derasnya ombak lautan, hingga mereka berhasil mendarati Pu-lau Madagaskar di Pantai Timur Benua Afrika, yang menjadi fakta historis penting yang seharusnya turut menjadi wa-risan kekayaan sejarah Kalteng – bukannya malah melulu locus sejarah Kalsel,16 seperti yang sementara ini masih berlangsung. Fakta sejarah ini, yang termasuk sudah mendapatkan pengakuan dari pihak internasional, nyata-nya tidak pernah berhasil dikem-bangkan oleh pemerintah daerah Kalteng menjadi suatu komoditas pariwisata sejarah. Hal ini tak mengherankan akibatnya seperti membiarkan romantisme sejarah cucu-cicit pewaris Nan Sarunai itu selalu saja berorientasi ke arah Banjarmasin, dan bukannya seha-rusnya menatap ke masa depan mereka dari Palangka Raya.

Dengan kata lain membicara-kan suatu komunitas Dayak yang di ba yangkan kita memerlukan suatu resep baru untuk mencapai tahap integrasi sosial lebih kuat, yang mana syarat terjadinya pen-capaian itu harus didorong oleh suatu common will (kehendak ber-sama) dari komunitas Dayak itu. Apa, lalu, kehendak bersama itu?

Perlunya Mengacu pada Penu-lisan Sejarah Lisan Komunitas Dayak

Di saat Kalteng sendiri masih belum memiliki sebuah buku (text

16 Salah satu bukti pemakaian sumber itu dapat dilihat dalam situs internet http://infokalsel.blogspot.com/2011/05/sejarah-kesultanan-banjar.html. Beri-kut ini petikannya: “...Menurut mitologi suku Maanyan, suku tertua di Kaliman-tan Selatan yang mendirikan kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya memper-satukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pu-lau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat serangan dari Jawa (Majapahit) sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke peda-laman (wilayah suku Lawangan). Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20)…Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kera-jaan Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur.”

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Penantian Sebuah Sejarah Sosial Komunitas Dayak

21

book) sejarah sosial yang berwiba-wa dan menjadi acuan, gerakan penulisan sejarah dan penelitian sosial di daerah ini terbukti sangat sedikit. Universitas Palangka Raya (UNPAR) termasuk perguruan tinggi yang belum lagi memiliki pokok perhatian pada kajian-kajian humaniora. Pendidikan hu-maniora mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan pernyataan-pernyataan simbolisnya meru-pakan bagian integral dari sistem budaya.17 Kesulitan terbesar dari penulisan buku sejarah semacam itu disebabkan oleh karena tidak tersedianya materi-materi atau dokumen ke sejarahan di Kalteng. Masih terdapat ketergantungan besar pada sumber-sumber tertu-lis, tetapi jika itu menjadi masalah mengapa tidak malah memanfaat-

kan sumber-sumber lisan.Kesulitan yang dialami oleh

sebagian penulisan sebuah karya kesejarahan masa kini tertolong oleh sudah banyak yang menem-patkan sumber-sumber lisan sebagai sumber utama. Hal ini antara lain diungkapkan oleh Asvi Warman Adam, peneliti se-jarah kawakan dari Lembaga Ilmu Penge tahuan Indonesia (LIPI) Ja-karta. Dikatakannya bahwa,

Sumber lisan mungkin dapat mengakibatkan para sejarawan lebih dekat dengan masyarakat dari pada para sejarawan harus melakukan kajian terhadap kelom-pok-kelompok elite…bahwa peneli-tian lisan mengembalikan sejarah pada masyarakat…sejarah lisan menggeser fokus tokoh…mengakui kelompok masyarakat yang terlu-

pakan…dan menjadikan sejarah lebih demokratis.18

Peran pengkajian sejarah sosial komunitas Dayak selama ini masih terlalu berkutat pada peran ketokohan dan terikat de-ngan sumber-sumber tertulis dan

17 Kuntowijoyo, Dr. 1999 (cetakan kedua).Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Hlm. 37.

18 Lihat catatan pengantarnya dalam Se-jarah Lisan di Asia Tenggara: Teori dan Metode. Editor P. Lim Pui Huen et al. 2000. Jakarta: LP3ES. Hlm. xvii.

Peran pengkajian sejarah sosial komunitas Dayak selama ini masih terlalu berkutat pada peran ketokohan dan terikat dengan

sumber-sumber tertulis dan resmi.

22

Christian P. Sidenden, MAg.

resmi. Padahal sumber-sumber non-dokumenter yang mengitari masyarakat adat Dayak yang jumlahnya tak terkira tersedia, semacam kisah-kisah rakyat (folklor), syair-syair rakyat (seperti sansana bandar), wawancara de-ngan kaum tua-tua Dayak yang masih hidup, catatan-catatan harian dari para mi sionaris dan lain-lain, storytelling diary yang bertebaran di berbagai jejaring sosial-internet, bahkan surat-surat keluarga-keluarga kiranya semua itu berguna untuk dija-dikan bahan penulisan sejarah sosial komunitas Dayak.

Pentingnya dilaksanakan ber bagai penelitian keseja rahan lokal di antara kalangan ko-munitas Dayak menjadi satu langkah bernas dan perlu un-tuk memupuk suatu kesa daran hidup bersama. Darinya, akan berguna untuk menanamkan suatu pola integrasi sosial yang mampu menjawab berbagai per-masalahan di lapangan-lapangan politik, ekonomi, sosial dan se bagainya. Tanpa soliditas di antara kelompok-kelompok yang masih mengetengahkan egoisme kultural nya tentu agak sulit mencapai tujuan bersama. Sebab

penulis meyakini, hanya dengan menunggu dan mengandalkan jawaban dari sisi pemerintah sipil seperti yang selama ini terjadi tentu bukan merupakan langkah kebudayaan yang paling benar dan paling bagus.

Penutup

Tulisan ini bukan mengang-gap pada dirinya dapat menun-taskan segala persoalan yang dihadapi oleh komunitas Dayak pada saat ini. Melainkan dari itu, hanya sekedar sebuah pintu pemikiran memasuki ana lisis so-sial dan kesejarahan yang lebih mendalam dalam tulisan-tulisan lanjutannya. Selain memang ma-sih bersifat penglihatan dari luar, tulisan ini lebih bermaksud untuk meng gugah berbagai pihak dalam ko munitas Dayak untuk mulai kritis dan konstruktif menciptakan ba ngunan pemikiran sosial mereka sendiri.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam

23

I. Rekam Jejak Pengelolaan Hutan

Praktek pengelolaan sumber-daya alam dan lingkungan yang berkelanjutan sudah pernah di-praktekan oleh masyarakat Dayak Kalimantan Tengah sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam, yang persisnya sebelum diter-bitkannya PP No 21/1970 junto PP No 18/1975 tentang Hak Pe-ngusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) dengan tujuan untuk mendukung peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Pena-

naman Modal Asing (PMA) di bi-dang pengusahaan sumber daya hutan, sehingga mulai saat itu kegiatan eksploitasi sumber daya hutan dilakukan secara besar-besaran. Sejak dikeluarkannya peraturan pemerintah tersebut, maka pola pemanfaatan dan penge lolaan sumberdaya alam dilakukan secara terpusat (sen-tralistik), yang pada prinsipnya telah mengabaikan kepentingan, kebutuhan dan berbagai bentuk kearifan lokal yang ada di ma-syarakat.

Praktek pola pengelolaan SDA

Eddy Taufan D. Mahar, SPd, MPd.

Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam

Mengelola Sumber Daya Alam

24

Eddy Taufan D. Mahar, SPd, MPd.

secara sentralistik mewarnai per-jalanan sejarah pembangunan di Indonesia dan telah memberikan dampak yang cukup luas. Salah satu dampak yang sangat dahsyat akibat sentralisasi pemerintahan dan manajemen pemerintahan Orde Baru adalah hilangnya ini-siatif lokal dan masyarakat dalam mengkreasi dan mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya seperti potensi hutan. Masyara-kat seperti terhipnotis oleh lakon pejabat mulai dari pusat hingga daerah yang secara semena-mena dan tanpa mempertimbangkan ekosistem dan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang sejak turun-temurun dimiliki masyara-kat dan telah berinteraksi dengan

ekosistem hutan yang menurut mereka sebagai bagian dari mata-pencaharian lestari.

Pada era tersebut para penye-lenggara negara selalu meman-dang sumber daya alam, ter-masuk hutan sebagai sumber daya sebagai engine of growth atau sebagaimana pandangan

yang dianut oleh ilmuwan eko-nomi konvensional seperti Adam Smith dan David Ricardo. Akibat cara pandang yang cenderung eksploitatif tersebut, maka sum-ber daya alam (hutan) termasuk sumber daya alam yang ‘dikuasai’ oleh peme rintah pusat yang dike-lola secara sentralistis. Padahal di sisi lain masyarakat tidak me-mandang hutan sebagaimana cara pandang pengusaha dan pemerin-tah pusat pada saat itu, dimana hutan sebagai potensi ekonomi yang dilihat sebagai potensi kayu yang memiliki nilai ekspor tinggi. Akan tetapi masyarakat menilai ber bagai potensi yang ada dalam hutan akan menye lamatkan gene-rasi masa mendatang karena hu-

tan masyarakat bisa hidup dan menyelamatkan generasi yang akan datang.

Dengan sistem pemerintahan yang sentralistik, pengelolaan sumber daya alam khususnya sumber daya hutan sangat di-tentukan oleh pemerin tah pusat. Kebijakan peme rintah untuk

Dengan sistem pemerintahan yang sentralistik, pengelolaan sumber daya alam khususnya sumber daya hutan sangat ditentukan

oleh pemerin tah pusat.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam

25

mengelola hutan secara legal mendorong praktek ekstraksi sumber daya hutan. Artinya pe-nerima manfaat yang besar adalah pemerintah pusat dan pengusaha, sementara daerah mendapat ba-gian yang sangat kecil bahkan untuk daerah penghasil khusus-nya masyarakat hanya menjadi penonton dan penerima dampak langsung yang ditimbulkan oleh pengu sahaan hutan. Bahkan masyarakat seringkali menjadi kam bing hitam sebagai penyebab dampak negatif yang ditimbul-kan oleh praktek-praktek swasta (pengusaha hutan) dan kebijakan pemerintah.

Praktek sentralisme dan ke tertutupan birokrasi tersebut juga berdampak buruk pada pola penge lolaan sumber-sum-ber potensi ekonomi yang cen-derung mengabaikan kepentingan masyarakat banyak dan tidak memperhitungkan dampak yang ditimbulkan akibat rusaknya ekosistem yang sangat penting bagi kehi dupan masyarakat di masa datang. Bukti-bukti empiris seperti yang terjadi saat ini seperti banjir bandang di berbagai pe-losok republik yang terjadi secara terus menerus, peristiwa tanah

longsor, dan terjadinya keke-ringan adalah akibat dari pola-pola pengelolaan lingkungan atas dasar kepen tingan sesaat yang tidak ber orientasi kedepan.

Memperhatikan kondisi tersebut, perubahan paradigma pembangunan khususnya pola pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan ber-kesinambungan dengan mengacu kepada prinsip kesinambungan, keseimbangan dan kelestarian merupakan pilihan yang harus dipilih oleh pemerintah. World Commission on Environment and Development (WCED) atau Brundtland Commission memberi-

bangunan berkelanjutan se bagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan.

II. Konsep Pengelolaan Sumber Daya Alam pada Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah

Alam adalah ruang hidup bagi masyarakat Dayak dan hu-tan adalah napas. Begitu lekat-nya hubungan manusia Dayak dengan alamnya, sehingga alam juga dipandang layaknya seorang ibu yang harus dihormati, dimu-

26

liakan, dan dirawat dengan penuh kasih.

Perspektif masyarakat Dayak dalam memperlakukan alam

sungguh sangat kontras dengan per spektif ekonomis. Masyara-kat Dayak berpandangan bahwa alam beserta isinya bukanlah sebuah benda mati semata. Di dalam perspektif etnoreligi Ka-haringan, semua benda alam me-miliki semacam roh, yang disebut ‘gana’. ‘Gana’ ini tidak terbatas pada sesuatu yang bergerak atau bernapas.

Semua yang diciptakan oleh Tuhan, baik berupa benda hidup maupun benda mati, menjadi keharusan untuk diperlakukan secara baik. Flora dan fauna yang ada di alam dianggap memiliki hak yang sama untuk memperoleh perlakuan yang baik.

memberikan kemaslahatan (ben-) bagi masyarakat Dayak

mendapatkan perlakuan yang baik. Padi, misalnya bukan sema-ta tumbuhan yang hanya meng-hasilkan beras saja. Padi, sama

seperti sejarah tentang padi di berbagai masyarakat Timur, me-miliki roh yang menempati tempat yang khusus. Jadi, ketika ma-syarakat berladang padi, bukan soal pemenuhan kebutuhan hidup saja, tetapi meneruskan amanat Pencipta untuk melestarikan dan menyediakan makanan bagi bumi.

Padi, menurut mitos mulanya adalah makanan para penghuni Alam Atas ( yang disebut demi kelang sungan hidup ma-nusia di bumi. Maka tidak lah mengherankan bahwa di dalam masyarakat Dayak, khususnya Kaharingan, dilingkupi dengan beraneka ritus dalam rangka memperlakukan alam.

Pohon kayu, sebagai contoh, ketika menimpa salah seorang

Eddy Taufan D. Mahar, SPd, MPd.

Masyarakat Dayak berpandangan bahwa alam beserta isinya bukanlah sebuah benda mati semata.

Flora dan fauna yang ada di alam dianggap memiliki hak yang sama untuk memperoleh perlakuan yang baik.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam

27

warga kampung yang mengaki-batkan meninggal dunia, akan dilakukan ritual yang disebut “mangayau kayu”. Ri tual ini bertujuan untuk menyelaraskan kembali hubungan yang tercede rai antara manusia dengan ciptaan Tuhan lainnya.

Perspektif demikian meng-giring masyarakat Dayak untuk bijak dalam memanfaatkan alam beserta isinya. Pemanfaatan alam, khususnya hutan tidak dilakukan secara sembarangan dan serakah. Pemanfaatan hutan dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan hidup (life and need fulfilment) dan pencadangan bagi gene rasi selanjutnya, menjadi mutlak di-lakukan.

Menurut Schärer (1963), masyarakat Dayak mengenal ada-nya dualitas kekuasaan (bukan dualis me) yang dimanifestasikan ke dalam tiga ‘wilayah’ kekuasaan: Pantai Danum Sangiang (Dunia Atas) yang dikuasai oleh Allah Ter-tinggi (Ranying Mahatala La ngit), Pantai Danum Kalunen (Dunia Manusia) dan Pantai Danum Basu-hun Bulau Saramai Rabia (Dunia Bawah) yang dikuasai oleh Jatha Balawang Bulau. Dunia Atas dan Dunia Bawah merupakan dualitas

yang menyatu, yakni dua aspek: maskulin dan feminin.

Sebagai manusia yang men-jalani dan menaati “hadat”, ma-syarakat Dayak sangat menjaga harmonisasi hubungan ketiga dunia tersebut. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hadat yang mengatur hubungan triarkis an-tara manusia dengan Tuhan dan alam, maka kewajiban manusia adalah melakukan restorasi dari sistem kosmis yang dirusak dan melakukan pemulihan (re covery) sehingga keseimbangan kosmis dapat terpelihara dan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia di muka bumi.

Masyarakat Dayak Kaha-ringan percaya bahwa bumi yang ditempati sebagai “pinjaman” atau “dunia yang ditopang oleh kekuasaan dualitas Dunia Bawah (Jatha Balawang Bulau)” bersama-sama dan satu dengan Dunia Atas (Ranying Mahatala Langit). Oleh karenanya, masyarakat Dayak diwajibkan menjaga keselarasan hubungan antarsesama manu-sia, alam dan hubungan dengan Tuhan.

Dengan demikian, mereka dapat memperoleh kemaslahatan dari apa yang diperlakukan-

8

nya kepada sesama dan alam dalam rangka menuju kesela rasan hubungan de ngan Tuhan. Di dalam mencapai misi menuju ke-matian sempurna setelah dilaku-kan upacara tiwah (good dead, Scharer 1963), mereka terlebih dulu menaati “hadat” melalui perbuatan baik (kepada sesama manusia, Tuhan, dan alam).

III. Model Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal

Alam merupakan “titipan atau pinjaman”dari Tuhan (Lewu Injam Tingang) yang hanya bersi-fat sementara. Oleh karenanya, manusia hanya mengusai alam de ngan arif dan bijaksana. Mereka tidak memiliki kekuasaan terha-dap alam, sebab alam telah dicip-takan dan diatur tatanannya oleh Tuhan (Ranying Mahatala Langit).

Karena alam berupa “titipan

atau pinjaman”, maka manusia ha nya memanfaatkan alam seper-lunya saja untuk kepentingan memper tahankan hidup. Hal ini

tercermin dalam perilaku ma-syarakat Dayak di dalam menjaga agar komponen di dalam alam dapat dimanfaatkan secara ber-kesinambungan. Hutan, misalnya, merupakan komponen penting bagi kelangsungan hidup mereka. Di dalam memanfaatkannya tidak dilakukan dengan sembarangan dan membabi buta.

Jauh sebelum adanya pemi-kiran tentang konservasi dan hu-tan lindung, masyarakat Dayak sudah mencadangkan kawasan hutan. Mereka memiliki hutan cadangan yang disebut pukung pahewan (hutan adat; hutan ca-dangan). Hal ini dimaksudkan se-bagai penyangga keanekaragaman hayati dan cadangan bagi generasi mendatang.

Kearifan lain adalah apabila salah satu warga meninggal dunia akibat tertimpa kayu, maka tetua adat akan melakukan serangkaian upacara ritual mangayau kayu

de ngan maksud agar setelahnya hubungan manusia dengan alam kembali dipulihkan.

Eddy Taufan D. Mahar, SPd, MPd.

Alam merupakan “titipan atau pinjaman”dari Tuhan (Lewu Injam Ti ngang) yang hanya bersifat sementara.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam

29

--

-

--

-

-

dahiang

-

-

-

-

-

--

-

30

merupakan kearifan dan penge-tahuan lokal yang akan terus dikembangkan.

Budidaya padi dan palawija serta sayur-mayur yang tumbuh di hutan, buah-buahan hutan, dan lain-lain, termasuk ta naman hutan bagi pengo batan dan ke-sehatan. Pada bidang per ikanan, misalnya terdapat ber bagai teknologi lokal yang ramah ling-kungan, seperti alat tangkapan ikan tradisional, kegiatan manuwe ikan (menuba, “mengaburkan pandangan mata ikan” dalam air) dari getah pohon alami dan tidak berbahaya bagi kesehatan.

Beberapa alat tangkapan tradi sional lainnya, seperti jerat, dondang (sejenis tombak pelon-tar), rangkep (perangkap), dan lain-lain, tidak bertujuan untuk mengakibatkan terjadinya kepu-nahan. Semua aktivitas pengusa-haan alam dan hutan didasarkan

pada pemahaman pemi kiran yang telah dibuktikan berabad la-manya demi kepentingan generasi setelahnya.

Serta dalam rangka upaya

pemenuhan amanat sebagai bakti bumi manusia Dayak terhadap Sang Pencipta. Pengelolaan sum-ber daya alam yang berbasis pengetahuan dan kearifan lokal demikian niscaya akan memberi-kan kemaslahatan bagi masyara-kat, baik generasi kini maupun mendatang.

Dalam kaitannya dengan upaya menumbuhkembangkan kewirausahaan sosial, konteks ke-arifan lokal dan pengetahuan lokal menjadi sa ngat relevan. Adanya multiplier effects yang dapat kita rasakan manfaatnya. Masyarakat tetap mengusahakan alam dengan arif dan bijak, sementara di sisi lain mereka mampu meningkat-kan kualitas hidupnya.

Jiwa kewirausahaan sosial akan berkembang seiring de-ngan kearifan lokal masyarakat demi upaya sebagai bakti bumi dan kelangsungan hidup gene-

rasi mendatang. Oleh karena nya, teknologi modern perlu adanya penyelarasan dengan kearifan dan pengetahuan lokal, sehingga tidak akan memberikan dampak negatif

Eddy Taufan D. Mahar, SPd, MPd.

di sisi lain mereka mampu meningkatkan kualitas hidupnya.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam

31

bagi kelestarian alam.Pula, diharapkan hal ini men-

peminat kewirausahaan, setidak-nya sebagai pengetahuan awal bagi para generasi kini yang akan membaktikan ilmunya. Demi ke-jayaan dan kemakmuran Bangsa yang kita cita-citakan bersama.

Suatu karunia Tuhan, bahwa Pulau Kalimantan sangat kaya akan sumber daya alam, baik hu-tan dan kekayaan perut buminya. Sebuah tanggung jawab besar berada di baliknya. Tanggung jawab seluruh masyarakat Dayak, bersama-sama dengan komponen lainnya.

Demi mencapai tujuan pem-bangunan yang sejahtera dan bermartabat, Pemerintah Daerah telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 13/2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak di Atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah. Regulasi ini sebagai bukti keseriusan Pemerintah Daerah dalam memberikan ruang hidup bagi kelangsungan kelestarian tanah dan hutan adat. Disadari pula, bahwa tanah dan hutan adat merupakan bagian yang tidak ter-pisahkan dari kelangsungan ke-hidupan bagi masyarakat Dayak

itu sendiri.Pada pihak lain, dalam rang-

ka penguatan kelembagaan adat Dayak, diterbitkan pula Per-aturan Daerah Nomor 16/2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah, dengan maksud dan tujuan agar lembaga-lembaga adat yang ada mampu melakukan aktualisasi dan bersinergi dengan Pemerin-tah. Lembaga-lembaga adat ini diharapkan akan terus mengawal tujuan pembangunan yang ber-wawasan lingkungan dan pem-bangunan integritas manusia Dayak yang semakin sejahtera dan bermartabat.

Penguatan ekonomi ma-syarakat berbasis pengetahuan lokal akan terus dikembangkan. Dampak dari pengetahuan dan ke-arifan lokal tersebut masih dapat kita rasakan hingga sekarang ini. Dengan demikian, ke selarasan hubungan dan keseim bangan ekologis (ecological equilibrium) yang dijadikan pe doman ma-syarakat Dayak hingga kini akan tercipta. Manusia mendapatkan keuntungan dari mengusahakan alam untuk meningkatkan kuali-tas hidupnya, di pihak lain alam akan terjaga kelestariannya.

32

Eddy Taufan D. Mahar, SPd, MPd.

IV. Konsep Kearifan Lokal (Local Wisdom)

Secara umum local wisdom (kearifan setempat) dapat dipa-hami sebagai ga gasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bi-jaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sar-tini, 2004). Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budi-nya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007). Pengertian di atas, disusun se-cara etimologi, wisdom dipahami se bagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pi-kirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi.

Sebagai sebuah istilah wis-dom sering diartikan sebagai ‘ke-arifan/kebijaksanaan’. Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lo-

kal yang sudah dialami bersama-sama.

Dalam pengertian keba-hasaan kearifan lokal, berarti kearifan setempat (local wisdom) yang dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan lokal yang bersi-fat bijaksana, penuh kearifan, ber-nilai, yang tertanam dan diikuti oleh warga masyarakatnya. Dalam konsep antropologi, kearifan lokal dikenal pula sebagai pengetahuan setempat (indigenous or local knowledge), atau kecerdasan se-tempat (local genius), yang men-jadi dasar identitas kebudaya an (cultural identity). Pengertian ke-arifan lokal dalam perbin cangan ini, adalah jawaban kreatif ter-hadap situasi geografis-politis, historis, dan situasional yang bersifat lokal yang mengandung sikap, pandangan, dan kemam-puan suatu masyarakat di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya. Semua itu, sebagai upaya untuk dapat memberikan kepada warga masyarakatnya suatu daya tahan dan daya tum-buh di wilayah di mana masyara-kat itu berada. Lantaran itu, ke arifan lokal merupakan perwu-judan dari daya tahan dan daya tumbuh yang dimanifestasikan

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam

33

melalui pandangan hidup, penge-tahuan, dan pelbagai strategi kehidupan yang berupa aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal untuk menjawab berbagai masalah dalam peme nuhan kebu-tuhan hidupnya, sekaligus meme-lihara kebudayaannya.

Dalam pengertian inilah ke-arifan lokal sebagai jawaban un-tuk bertahan dan menumbuhkan secara berkelanjutan kebudaya-an yang didukungnya. Setiap masyarakat termasuk masyara-kat tradisional, dalam konteks ke arifan lokal seperti itu, pada dasarnya terdapat suatu proses untuk menjadi pintar dan ber-pengetahuan. Hal itu berkaitan dengan adanya keinginan agar dapat mempertahankan dan me-langsungkan kehidupan, sehingga warga masyarakat secara spon-tan memikirkan cara-cara untuk melakukan, membuat, dan men-ciptakan sesuatu yang diperlukan dalam mengolah sumber daya alam demi menjamin dan keterse-dianya sumber daya alam tanpa mengganggu keseimbangan alam. Dalam proses tersebut suatu penemuan yang sangat berharga dapat terjadi tanpa disengaja. Artinya, setiap warga masyara-

kat dapat menghimpun semua informasi itu dan melestarikan-nya, serta mewariskannya turun temurun sebagai upaya melang-sungkan kehidupannya. Sejalan dengan perubahan budaya dalam kehi dupan masyarakat, juga se-cara perlahan mengembangkan pengetahuan yang telah diwaris-kan, dan kemudian menciptakan metode untuk membangun penge-tahuan.

Penciptaan pengetahuan itu pada dasarnya merupakan cara-cara atau teknologi asli (in-digenous ways) guna mendaya-gunakan sumber daya alam bagi kelangsungan kehidupan ma-syarakatnya. Oleh karena itu, ma-syarakat mengembangkan suatu sistem pengetahuan dan teknologi yang asli – suatu kearifan lokal (indigenous or local knowledge), yang mencakup berbagai macam cara untuk mengatasi kehidupan, seperti kesehatan, pangan dan pengolahan pangan, serta kon-servasi tanah. Kearifan lokal yang sedemikian itu, umumnya berben-tuk tradisi lisan, dan lebih banyak berkembang di daerah perdesaan.

Pengetahuan itu dikembang-kan karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahan-

34

kan, dan melangsungkan hidup se suai dengan situasi, kondisi, kemampuan dan nilai-nilai yang dihayati di dalam masyarakat-nya. Karena itu, pengetahuan lokal menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif, agar dapat memecahkan segala per-masalahan hidup yang mereka hadapi, sehingga mereka dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan, dapat berkembang secara berkelanjutan. Kadangkalanya, pengetahuan lokal seperti ini bi-asa disebut sebagai suatu bentuk kearifan masyarakat yang diang-gap tidak relevan dan tidak me-miliki kekuatan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan produktivi-tas dalam dunia modern. Dalam situasi semacam inilah penge-tahuan lokal kerap ditinggalkan pendukungnya, hanya karena dinilai tidak rasional dan mo-deren. Padahal pengetahuan lokal yang dianggap tidak rasional dan bersifat tradisional serta kerapkali dianggap unik itu masih dapat di-jumpai dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat, terutama di perdesaan untuk menjawab perubahan lingkungan alam saat ini. Bahkan, pada sebagian ma-syarakat perdesaan kearifan lokal

serupa ini merupakan bagian Menurut Syafaat (2008) kon-

sep kearifan lokal berakar dari sistem pengetahuan tradisional. Pengetahuan tradisional meru-pakan informasi dalam suatu masyarakat, berdasarkan penga-laman dan adaptasi terhadap budaya lokal dan ling kungan, telah dikembangkan dari waktu ke waktu, dan terus berkembang.

Pengetahuan ini digunakan untuk mempertahankan masyara-kat dan budayanya serta untuk mempertahankan sumber daya genetik yang diperlukan untuk kelangsungan hidup masyara-kat (Hansen dan VanFleet 2003). Pengetahuan tradisional juga mencakup sistem kepercayaan yang memainkan peran mendasar dalam kehidupan masyarakat. Pengetahuan lokal juga memiliki sifat yang dinamis dan mencakup eksperimen baru (Hansen dan VanFleet 2003).

Pengetahuan tradisional bersifat kolektif di alam dan sering dianggap sebagai milik seluruh komunitas, dan tidak dimiliki secara individu. Hal ini diterus-kan melalui budaya tertentu dan mekanisme pertukaran informasi tradisional, misalnya, dipelihara

Eddy Taufan D. Mahar, SPd, MPd.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam

35

dan diteruskan secara oral me-lalui sesepuh atau nenek moyang ataupun spesialis (Hansen dan VanFleet 2003).

Menurut Damanik (2010) ke arifan lokal merupakan ha-sil akumulasi dari pengamatan dan penga laman masyarakat dalam proses interaksi yang terus menerus dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Kearifan lokal (traditional wisdom) adalah sistem sosial, politik, budaya, ekonomi dan lingkungan dalam lingkup komunitas lokal serta memiliki sifat yang dinamis, berkelanjutan dan dapat diterima. Kearifan lokal dimanfaatkan untuk menciptakan suatu keteraturan dan keseim-bangan antara kehidupan sosial, budaya dan kelestarian sumber-daya alam. Dalam penerapannya, kearifan lokal bisa dalam bentuk

hukum, pengetahuan, keahlian, nilai dan sistem sosial dan etika yang hidup dan berkembang dari satu generasi ke generasi berikut-nya (Pattiselanno dan Mentansan 2010).

Sementara itu, Suhartini (2009) menjelaskan bahwa ke-arifan lokal merupakan suatu bentuk tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinterak si dengan lingkungan-nya pada suatu suatu tempat atau daerah. Oleh karena itu kearifan lokal menjadi tidak sama pada tempat, waktu dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebab-kan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga penga lamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan ber-bagai sistem pengetahuan baik yang berhu bungan dengan ling-kungan maupun sosial. Seba gai salah satu bentuk perilaku ma-nusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu,

tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat. Sesuai pula de-ngan pendapat Dove (1985) dalam Soendjoto dan Wahyu (2007) bahwa sistem budaya tradisional

Kearifan lokal dimanfaatkan untuk menciptakan suatu keteraturan dan keseimbangan antara kehidupan sosial, budaya dan kelestarian

sumberdaya alam.

36

tidak bersifat statis, tetapi selalu mengalami perubahan dan tidak berten tangan dengan proses pem-bangunan. Seluruh kearifan lokal dihayati, dipraktikkan, diajarkan, dan diwariskan dari generasi ke gene rasi lain yang sekaligus mem-bentuk pola perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dari penjelasan ini maka dapat dirinci bahwa kearifan lokal adalah mi-lik komunitas yang dimiliki dan disebarluaskan secara kolektif bagi semua anggota komunitas yang di ketahui dan bahkan wajib diajarkan secara terbuka kepada semua anggota komunitas; ke-arifan tradisional juga berarti pengetahuan tradi sional yang bersifat praktis sehingga selalu ada berbagai aturan untuk men-jalankan aktivitas kehidupan; ke-arifan tradisional bersifat holistik karena menyangkut pengetahuan

dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan seluruh relasi-nya di alam semesta; kearifan tradisional merupakan aktivitas moral yang dituntun dan didasar-kan pada prinsip yang bersumber

pada kearifan tradisional; kearifan lokal bersifat lokal karena terkait dengan tempat yang partikular dan konkrit (Keraf, 2002). Ber-dasarkan penjelasan Keraf (2002) maka kearifan lokal memiliki beberapa kesamaan sifat dengan pengetahuan tradisional seperti yang dijelakan oleh Hansen dan VanFleet (2003).

Oleh karena itulah penge-tahuan tradisional menjadi akar dari konsep kearifan lokal. Dalam konteks konservasi sumberdaya hutan, kearifan lokal memiliki posisi yang terkait de ngan upaya masyarakat lokal dalam meman-faatkan sumberdaya hutan secara lestari, walaupun sulit dijelaskan secara terpisah (Aliadi, 2002).

Dalam pengertian kamus, kearifan local (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan local (local). Dalam Kamus

Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, lokal berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijak-sanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat

Eddy Taufan D. Mahar, SPd, MPd.

Oleh karena itulah pengetahuan tradisional menjadi akar dari konsep kearifan lokal.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam

37

dipahami sebagai gagasan-ga-gasan setempat (local) yang bersi-fat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat lainnya.

Dalam disiplin ilmu Antro-plogi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang pertama kali dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio menga takan bah-wa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian bu-daya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986).

Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986) menga-takan bahwa unsur budaya dae-rah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuan-nya untuk bertahan sampai seka-rang. Ciri-cirinya adalah: 1. mampu bertahan terhadap

budaya luar 2. memiliki kemampuan meng-

akomodasi unsur-unsur bu-daya luar

V. Kriteria Kearifan dan Pengetahuan Lokal

Kriteria kearifan lokal yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) terdiri dari: 1. Nilai-Nilai luhur yang berlaku

dalam tata kehidupan ma-syarakat

2. Melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara les-tari dan berkelanjutan Kriteria Pengetahuan Tra-

disional (PT) terkait Perlindungan dan Penge lolaan Lingkungan Hidup (Harry Alexander dan Mi-randa Risang Ayu, 2011), secara garis-besar, adalah: 1. Dihasilkan, direpresentasikan,

dikembangkan, dilestarikan, dan ditransmisikan dalam konteks tradisional dan antar-generasional,

2. Secara nyata dapat dibeda-kan, atau diakui menurut ke-biasaan, sebagai berasal dari suatu komunitas masyarakat hukum adat, yang melestari-kan dan mentransmisikan Pengetahuan Tradisional (PT) tersebut dari generasi ke gene-rasi, dan terus mengguna-

38

kan dan mengembangkannya dalam konteks tradisional di dalam komunitas itu sendiri,

3. Merupakan bagian integral dari indentitas budaya suatu masyarakat hukum adat, yang dikenal dan diakui se-bagai pemegang hak atas Pengetahuan Tradisional (PT) itu melalui aktivitas pemang-kuan, penjagaan, pemilikan kolektif, maupun tanggung-jawab budaya. Kaitan antara Pengetahuan Tradisi onal (PT) dan pemangkunya ini dapat diungkapkan, baik secara formal atau informal, melalui praktek-praktek kebiasaan atau praktek-praktek tradi-sional, protokol, atau hukum nasional yang berlaku.

4. Diwariskan dari genera-si ke gene rasi, meski pun pemakaian nya mungkin tidak terbatas lagi di dalam komu-nitas terkait saja.

VI. Fungsi Kearifan Lokal

Kearifan Lokal mempunyai fungsi, mengatur interaksi ke-giatan masyarakat atau komu-nitasnya, memperlakukan Alam sekitarnya, termasuk pola per-

gaulan yang arif dan bijaksana.

VII. Penerapan Model Kearifan Lokal Pada Masyarakat

Dayak Kalimantan Tengah

Praktek pengelolaan sum-ber daya alam yang diterapkan masyarakat Dayak Kalimantan Tengah adalah :

1. Model Konservasi Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah

Tajahan

Tajahan merupakan suatu lo-kasi yang dikeramatkan oleh Suku Dayak khususnya yang beragama Kaharingan. Dilokasi tajahan didirikan rumah berukuran kecil sebagai tempat untuk menaruh sesajen sebagai tanda persem-bahan kepada roh-roh halus yang bersemayam ditempat itu. Rumah kecil tersebut biasanya disertai dengan beberapa patung kecil yang merupakan simbol atau replika dari anggota keluarga yang sudah meninggal dan roh orang meninggal tersebut diyakini ber-diam dalam patung-patung kecil tersebut sehingga tidak meng-ganggu anggota keluarga yang

Eddy Taufan D. Mahar, SPd, MPd.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam

39

masih hidup. Lokasi tajahan biasanya pada

kawasan hutan yang masih lebat dan terkesan angker dan sebab itu biasanya pada lokasi tempat terse-but dilarang melakukan aktivitas manusia seperti menebang hutan, berburu dan lain-lainnya. Konsep tajahan sangat relevan dengan ke-giatan konservasi karena didalam-nya terdapat aspek perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati.

Kaleka

Kaleka merupakan daerah peninggalan nenek moyang Suku Dayak zaman dahulu kala yang biasanya ditandai dengan adanya bekas tiang-tiang rumah betang/rumah panggung, pohon-pohon besar dan berumur tua seperti du-rian, langsat dan sebagainya. Lo-kasi tersebut umumnya dipelihara dan dilindungi oleh pihak keluarga secara turun temurun sebagai harta waris yang peruntukan dan pemanfaatannya (misal mengambil buah-buahan) untuk kepentingan

bersama (common property). Dari perspektif konservasi ekologis, kale-ka dapat dipandang sebagai gudang plasma nuftah (genetic pool).

Sepan-Pahewan

Sepan-pahewan merupakan tempat sumber mata air asin di-mana binatang-binatang seperti rusa, kijang, kancil dan lain-lain meminum air asin sebagai sumber mineral. Dalam bahasa Dayak Kenyah sepan-pahewan disebut dengan istilah Sungan. Lokasi sepan-pahewan merupakan tem-pat perburuan Suku Dayak untuk memenuhi kebutuhan hewani dan oleh sebab itu lokasi tersebut umumnya selalu dipelihara dan dilindungi. Perlindungan lokasi sepan-pahewan sangat relevan de ngan konsepsi perlindungan satwa pada konservasi modern.

Pukung Himba

Pukung himba adalah ba-gian dari kawasan hutan rimba yang dicadang kan untuk tidak

Perlindungan lokasi sepan-pahewan sangat relevan de ngan konsepsi perlindungan satwa pada konservasi modern.

40

ditebang/dieks ploitasi karena fungsinya se bagai lokasi untuk pemindahan roh-roh halus (Gana dalam bahasa Dayak Ngaju) dari daerah/kawasan yang akan dija-dikan ladang.

Setiap kaum peladang Suku Dayak di Kalimantan Tengah memahami betul bahwa di dalam kegiatan pembukaan ladang, harus ada kawasan hutan yang harus dicadangkan sebagai tem-pat untuk memidahkan roh-roh penunggu (gana) yang bermukim pada lokasi yang akan dijadikan ladang ke lokasi baru yang dalam bahasa Dayak Ngaju sering dise-but dengan pukung himba. Ciri-ciri daerah yang dijadikan pukung himba umumnya wilayah yang berhutan lebat dan berumur tua dengan diameter vegetasi kayu rata-rata berukuran relatif sangat besar, belum banyak terjamah

oleh kegiatan manusia dan ba-nyak dihuni oleh satwa liar. Hutan yang berumur tua dengan ukuran kayu besar dan terkesan sangat angker dipercayai sebagai tempat

yang disenangi roh-roh (gana) un-tuk tempat bermukim.

Keberadaan dan konsep pu-kung himba dari perspektif kon-servasi merupakan usaha peles-tarian kawasan hutan beserta dengan keanekaragaman hayati di dalamnya.

2. Strategi Menghadapi Ancaman Kebakaran Hutan

Dan Lahan

Beje dan kebakaran hutan/lahan gambut

Kebakaran hutan/lahan di Indonesia tidak hanya terjadi pada lahan kering tetapi juga terjadi pada lahan basah seperti hutan/lahan gambut. Kebakaran terjadi diakibatkan mengeringnya hu-tan/lahan gambut lahan basah tersebut terutama pada musim

kemarau. Lahan/hutan gambut yang pelan-pelan digerogoti api di bawah tanah memiliki potensi an-caman amat besar dan dampak-nya sangat merugikan. Kebakaran

Eddy Taufan D. Mahar, SPd, MPd.

Keberadaan dan konsep pukung himba dari perspektif konservasi merupakan usaha pelestarian kawasan hutan beserta dengan

keanekaragaman hayati di dalamnya.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam

41

hutan/lahan gambut menyebab-kan terdegradasinya ling kungan (penurunan kualitas lahan, ke-anekaragaman hayati, fungsi hidrologi, pemanasan global), menurunnya derajat kesehatan masyarakat, dan memperkecil ke-sempatan ekonomi. Pengendalian kebakaran hutan/lahan gambut sangat penting dilakukan, meng-ingat fungsi dan potensi hutan/lahan gambut dimana ekosistem gambut merupakan ekosistem khas yang memiliki multifungsi (cadangan/penyimpan air, pe-nyangga lingkungan, lahan per-tanian dan penyimpan karbon), dampak kebakaran dan tipe ke-bakaran yang terjadi (tipe ground

yang sangat sulit dilakukan pemadaman).

Kerawanan terjadinya keba-karan hutan dan lahan gambut tertinggi pada musim kemarau di-mana curah hujan sangat rendah dan intensitas panas matahari

terdegradasi (akibat aktivitas -gal logging, konversi lahan, pem-buatan parit/kanal yang illegal maupun legal) serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat penyangga hutan (masyarakat mempertahankan hidupnya ha-

nya de ngan berburu/menangkap ikan dan menebang kayu) juga mempengaruhi kerawanan ter-jadinya kebakaran di hutan dan lahan gambut.

Menurut Nugroho (2003) bahwa kegiatan pencegahan yang berbasiskan masyarakat perlu di-upayakan untuk meminimalisasi potensi dan kebakaran hutan/la-han gambut. Salah satu ke giatan yang dapat dilakukan adalah pembangunan sekat bakar, yang ditujukan untuk memisahkan bahan bakar dengan sumber ke-bakaran dan membatasi penye-baran api. Suatu bentuk sekat bakar yang khas Kalteng adalah beje. Beje adalah sebuah kolam perangkap ikan yang dibuat oleh masyarakat (umumnya oleh suku Dayak) di pedalaman hutan Kali-mantan Te ngah. Beje umumnya berukuran lebar 2 M, kedalaman 1.5 M dan panjang bervariasi bisa sampai ratusan meter jika dilakukan bersama-sama (bukan milik perorangan). Beje-beje akan tergenang oleh air luapan dari sungai dan sekitarnya serta terisi oleh ikan-ikan alami pada musim penghujan. Kemudian air akan surut kembali pada musim ke-marau. Beje-beje menjadi kolam-

42

kolam tempat pembesaran ikan di dalamnya, dan siap di panen pada musim kemarau.

Parit yang menghubungkan sungai dengan hutan dibuat oleh masyarakat adalah untuk menge-luarkan kayu hasil tebangan pada saat musim hujan. Di Muara Pu-ning-Kalteng, panjang parit-parit ini berkisar antara 3-5 Km, lebar 60-200 Cm dan kedalaman 35-95 Cm. Selain parit yang dibuat oleh masyarakat terdapat juga kanal yang secara resmi se ngaja dibuat oleh pemerintah sebagai saluran irigasi (kawasan eks PLG), kanal-kanal ini lebarnya 15-20 M dan panjangnya puluhan kilo meter serta jumlahnya ratusan (primer, sekunder, tersier). Parit/

menyebabkan pengeringan yang

berlebihan di musim kemarau karena terjadinya aliran air ke sungai. Penutupan/sekat parit/kanal adalah suatu cara yang dapat dilakukan untuk meng-hambat terjadinya a liran ke su-ngai. Penutupan ini juga berman-faat untuk meningkatkan muka

air tanah, menjaga gambut tetap lembab dan mengurangi resiko kebakaran.

Potensi keberadaan beje dan parit yang sudah tidak di-gunakan lagi inilah yang dapat dimanfaatkan menjadi sekat bakar partisipatif. Masyarakat akan memperoleh manfaat dari beje/parit yang disekat (dapat difungsikan sebagai beje/kolam biasa) dan resiko terjadinya kebakaran dapat berkurang. Apabila konsep penye katan parit ini diaplikasikan di kanal-kanal eks-PLG, dapat kita bayangkan berapa banyak beje/kolam bi-asa yang dihasilkan dan dapat dimanfaatkan serta dapat ber-fungsi sebagai sekat bakar. Dalam hal pemanfaatan beje dan parit sebagai sekat bakar, beje/

parit yang telah ada diperbaiki kondisinya yaitu dengan mem-buang lumpur di dalamnya se-hingga volume air di dalam beje atau parit yang disekat dapat dipertahankan dan kondisi beje/parit sebagai habitat ikan dapat dipertahankan.

Eddy Taufan D. Mahar, SPd, MPd.

Penutupan ini juga bermanfaat untuk meningkatkan muka air tanah, menjaga gambut tetap lembab dan mengurangi resiko kebakaran.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam

43

3. Model Pengelolaan Lahan untuk Area Perkebunan dan Pertanian

Pola perladangan berpindah

Suatu contoh nilai-nilai ke-arifan lokal yang diterapkan pada usaha perladangan berpindah diuraikan oleh Alamsyah (2010) ialah :

1. Pola yang digunakan ma-syarakat adalah pola berladang gilir balik. Pola ini berarti bila, suatu areal sudah dibuka dan diladangi oleh masyarakat, maka akan ditinggal beberapa waktu tertentu untuk membuka lahan baru. Kemudian, setelah ladang pertama subur, maka masyarakat akan kembali lagi untuk menyam-bung perkebunan pada lahan tersebut.

2. Para peladang tradisional suku Dayak lebih suka meman-faatkan Jekau (hutan sekunder) dari pada Empak (hutan primer).

3. Para peladang selalu me-la kukan survey tentang kualitas lahannya sebelum berladang. Ke-biasaan survey ini sudah menjadi

adat kebiasaan turun temurun pada masyarakat Tentunya hanya hutan Jekau yang menurut petani sangat mudah untuk ditebang dan diurus namun kualitas tanahnya juga subur yang dijadikan ladang.

4. Dalam setiap kegiatan berladang, masyarakat selalu melakukan upacara-upacara ritual adat untuk memohon ke-pada Sang Pencipta untuk mem-berikan kesuburan tanah selain juga dimaksudkan untuk men-jauhkan masyarakat dari bencana alam. Hal tersebut dapat diarti-kan bahwa masyarakat memang sangat dekat dengan alamnya, dan menunjukan bahwa mereka mempunyai semangat yang tinggi untuk pelestarian alam dan ling-kungan hidup.

la han, tentunya tidak semua tum-buhan dan fauna yang dibabat, namun masih ada sebagian yang dibiarkan tumbuh subur di ladang mereka yang dianggap bermanfaat di kemudian hari.

6. Peristiwa berladang se-benar nya adalah peristiwa bu-daya, dimana budaya handep

44

hapa kat atau kerjasama sejak menebas, membakar, menanam, hingga memanen merupakan rangkaian kearifan yang ditoreh-kan dalam kebersamaan dan se-mangat cinta kasih.

7. Berladang adalah budaya regeneratif, dimana karet, rotan, damar dan tumbuhan lainnya ditanam pasca perladangan se-belumnya. Budaya ini, kare-nanya masyarakat Dayak mena-nam tumbuhan tersebut dibekas ladang terdahulu adalah suatu keharusan.

8. Masyarakat Dayak Kalteng adalah masyarakat tradisional yang masih menghormati dan me-megang erat hukum adat mereka. Hukum adat yang masih kuat, karenanya para tokoh masyara-kat seperti, Peng hulu, Damang, Kepala Adat atau Tetua Kampung masih dominan untuk menye-lesaikan berbagai permasalahan dan persoalan yang muncul di masyarakat.

9. Hukum adat memberikan sanksi kepada mereka yang meru-sak hutan dan lahan dengan cara membakar. Hukum adat yang dimaksud dapat berupa Denda

Adat, Pati Pamali, Penggantian Kerugian dan yang lebih berat biasanya sampai “hukum sosial” yaitu rasa malu yang harus di-tanggung oleh pelaku jika meru-sak kebun atau ladang orang lain.

VIII. Pengaturan Peruntukan dan pemanfaatannya :

Pukung Pahewan adalah kawasan tanah adat dayak ngaju yang dikelola secara turun temu-run serta diwariskan kepada anak cucu sehingga kawasan tersebut dikembangkan atau dilestarikan menjadi hutan lindung yang di-anggap tempat leluhur serta di-keramatkan sebagai tempat orang halus (nyaring dan jin), siapapun tidak boleh menjamah tempat ini, tanpa permisi dan seizin dengan penghuni kawasan hutan terse-but. Kawasan hutan adat Dayak Ngaju ini juga dijadikan sebagai tempat ritual adat secara khusus.

Sahepan merupakan ka-wasan tanah adat Dayak Ngaju dikelola dan dikembangkan men-jadi hutan produksi tempat ma-syarakat setempat berburu. Di dalam kawasan hutan tersebut banyak binatang buruan yang boleh diburu ataupun diman-

Eddy Taufan D. Mahar, SPd, MPd.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam

45

faatkan dan sumber daya alam dari kawasan tersebut seperti kayu, gemor, getah pantung, ro-tan, obat-obatan tradisional dan lain-lain.

Kaleka adalah kawasan ta-nah adat yang bersejarah yang juga pernah dikelola secara ke-arifan lokal oleh nenek moyang pada jaman dulu dan dijadikan tempat mendokoh (tempat pemu-kiman kecil), tempat berladang, dan juga ada pening galan berupa kuburan, sanding dan tanaman keras, karena terlalu lama diting-gal sehingga ditumbuhi semak be-lukar dan sewaktu-waktu kaleka dapat kembali dijadikan sebagai tempat berladang.

Tajahan merupakan kawasan tanah adat mencakup beberapa nama yang jauh dari DAS (su-ngai) besar. Akan tetapi dibagian ujung anak sungai kecil wilayah tersebut ba nyak beje (sejenis kolam), baruh/loto (kolam alami) dan sekelilingnya ditumbuhi kayu yang besar dan tempat ikan berkembang biak. Masyarakat setempat dapat memanfaatkan kawasan tersebut pada musim kemarau dengan menggunakan alat tradisional berupa tangguk, siap (penjaring) dan lain-lain un-

tuk menangkap ikan.Bahu adalah kawasan tanah

adat Dayak Ngaju yang setiap tahunnya dikelola atau digarap serta digunakan masyarakat un-tuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai sandang pangan.

Sifat kawasan tersebut lebih ke kawasan perluasan lahan per-tanian padi gunung, sayur mayur dan palawija.

IX. Pengaturan Peruntukan Tanah :

Petak Katam adalah tanah adat Dayak Ngaju berwarna ku-ning muda yang berada diping-gir sungai, kemungkinan bisa dibangun untuk permukiman masyarakat atau bisa juga dija-dikan sebagai perkeb unan karet, cempedak, durian, ramunia dan lain-lain.

Petak Pamatang adalah ta-nah adat dayak ngaju sejenis tanah mine ral (padat) yang bisa digunakan untuk perladangan, tanaman rotan, karet, buah- b u-ah an dan lain-lain.

Tanah Sahep adalah tempat masyarakat adat dayak ngaju berusaha mencari nafkah sehari-hari untuk keebutuhan rumah

46

Eddy Taufan D. Mahar, SPd, MPd.

tangga. Tanah Sahep ini terdiri dari dua jenis, yang pertama adalah tanah gambut tipis antara 50 Cm – 1,5 Cm, tanah ini masih bisa dijadikan tempat pertanian padi gunung, sayur mayur, pa-lawija dan juga bisa dijadikan tempat perkebunan karet, rotan dan lain-lain dan tanah sahep yang kedua adalah tanah gam-but dalam di atas dari 2 M -16 M, tanah gambut dalam ini tidak bisa dimanfaatkan sebagai tem-pat perkebunan karet atau per-tanian, kawasan ini hanya bisa dikembangkan tanaman hutan untuk industri, jelutung, rotan, gemur dan jenis-jenis kayu yamg cocok hidup dan yang dianggap bermanfaat untuk kehidupan masyarakat adat Dayak Ngaju. Di daerah gambut dalam ini juga sering terendam air akan tetapi rendamannya tidak terlalu lama.

Tanah Luwau adalah seje-nis tanah yang bergambut dalam sering terendam lama oleh air dan bisa mencapai setengah tahun terkecuali baru terlihat tanahnya apa bila musim kemarau panjang yang mencapai 3 bulan-4 bulan lamanya. Di tanah luwau ini banyak danau-danau besar atau pun kecil dengan kedalaman 10

M - 20 M di sinilah temat ikan-ikan besar berkembang biak dan selain itu banyak juga buaya, ular bermacam-macam jenis, kura-kura, biyuku, bidawang, kodok besar dan lain. Tanah luwau ini juga ditumbuhi kayu yang besar dan bagian bawah ditumbuhi re-rumputan atau akar-akaran juga sering terdapat pohon gemur. Wilayah tanah luwau ini tidak bisa dijadikan tempat berkebun dan berladang, hanya yang bisa untuk dijaga serta di lestarikan dan kawasan ini sebagai tempat masyarakat adat Dayak Ngaju berusaha mencari ikan, mencari gemur (kulit kayu), material kayu untuk bahan bangunan rumah serta obat-obatan tradisional dan sebagainyanya. Tanah luwau sangat berguna sekali karena bisa diguna kan sebagai pupuk organik.

Konsep tata kelola tersebut telah dijalankan selama berta-hun-tahun oleh Masyarakat Adat Dayak Ngaju, hal itu telah berha-sil menjaga kelestarian gambut sekaligus telah menyumbangkan perekonomian bagi warga setem-pat dan daerah.

Masyarakat Adat Dayak Ngaju Desa Mantangai Hulu ra-

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber Daya Alam

47

ta-rata memiliki kebun karet per kepala keluarga. Selama musim kemarau, masyarakat bisa menu-tupi kebu tuhan hidup dari hasil penjualan getah karet. Namun ketika musim hujan tiba, getah karet mereka tidak bisa disadap. Kalaupun dipaksa, hasilnya tidak maksimal bahkan batang karet terancam mati.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup dimusim hujan, sebagian menanam padi ladang gunung jenis geragai, sambil menunggu padi dipanen, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyara-kat mencari rotan di hutan, men-cari kulit gemur, serta menangkap ikan di sungai kecil/besar, danau, baruh/loto (kolam Alami) dan beje.

Melihat cara bertahan hidup masyarakat yang bergantung ke-pada alam dan musim, bahwa Ma-syarakat Adat Dayak Ngaju di Desa

Mantangai Hulu atau di wilayah gambut tidak bisa di pisahkan antara kehidupannya dengan lahan gambut dan hutan karena untuk mencapai kesejahtera an

ekonomi maka Masyarakat Adat Dayak Ngaju mengandalkan hasil kekayaan alam dari lahan gambut dan hutan serta kebun karet dan ladang padi (budidaya pertanian).

Untuk mencapai taraf se-jahtera, mereka perlu porsi lebih dan leluasa dalam mengakses hutan disekitarnya. Sebab demi memenuhi kebutuhan hidup, mereka memerlukan daya jela-jah luas untuk mendapat rotan, gemor, ikan dan kayu. Kemudian hal itu disebut Daya Jelajah atau sebagai wilayah kelola Masyarakat Adat Da yak Ngaju. Daya jelajah berbeda de ngan lahan yang dike-lola sehari-hari seperti karet dan padi. Daya jelajah diartikan oleh penduduk setempat sebagai tem-pat berusaha bersama.

Pergantian musim meru-pakan siklus alam yang tak bisa disangkal. Konsekuensi dari per-gantian musim itu mau tidak mau

harus dihadapi oleh Masyarakat Adat Dayak Ngaju yang bermukim di wilayah Gambut seperti Desa Mantangai Hulu. Kondisi terkini, berbagai proyek yang menga-

Untuk mencapai taraf sejahtera, mereka perlu porsi lebih dan leluasa dalam mengakses hutan disekitarnya.

48

Eddy Taufan D. Mahar, SPd, MPd.

tasnamakan kepentingan daerah, nasional bahkan internasional telah membatasi daya jelajah masyarakat. Padahal, luas daya jelajah tersebut sangat berpe-ngaruh kepada mata pencaharian masyarakat, seiring de ngan masih bergantungnya kehi dupan ma-syarakat kepada keadaan musim dan kondisi hutan. Lebih jelasnya, pola mata pencaharian Masyara-kat Adat Dayak Ngaju banyak tertuju ke arah lahan Gambut dan hutan sangat berbeda dengan pola mata pencaharian masyarakat yang bermukin ditanah mineral.

Namun beberapa pihak, ter-

masuk pemerintah, tidak mema-hami kondisi tersebut. Sehingga berbagai proyek pembangunan seperti PLG, Perkebunan Sawit, Konservasi, dan REDD didatang-kan dari luar tanpa memperha-tikan atau berkonsultasi dengan masyarakat setempat yang sudah hidup bertahun-tahun lama nya. Akhirnya, proyek yang tadinya bertujuan untuk menyejahtera-kan rakyat, akan tetapi menjadi proyek pemiskinan yang dilaku-kan secara terus menerus karena tidak menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Teras Narang, 2012, Masyarakat Daya, Filosofi dan kearifan Lokal 2. Anthony Nyahu, 010, Ayo Belajar Bahasa Dayak Ngaju3. Sumber-sumber lainnya.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Memimpikan Bangunan Pendidikan yang Ideal di Kalimantan Tengah

53

Pendidikan Sebagai Pilar Budaya dan Demokrasi

Thomas Rhys Wil l iams, seorang sosiolog Amerika dalam bukunya A Borneo Childhood: En-culturation in Dusun Society (1969) menulis sebagai berikut:

“Education, in every cultural setting, is an instrument for sur-vival. It is also an instrument for

adaptation and change. To under-stand it as it is – embedded in the culture of which it is an integral part and which it serves.” (Pen-didikan dalam setiap latar kebu-dayaan, adalah sebuah alat untuk bertahan. Termasuk pula alat untuk beradaptasi dan berubah.

Untuk memahaminya lebih jauh lagi – pendidikan adalah bagian yang tak terpisahkan dan menjadi

Memimpikan Bangunan Pendidikan yang Ideal di Kalimantan Tengah

Oleh : Yulius Esel Saden

Pendidikan dalam setiap latar kebudayaan, adalah sebuah alat untuk bertahan.

54

Oleh : Yulius Esel Saden

pelayan kebudayaan itu.)Pernyataan Williams ini

membawa pesan yang sangat kuat dan relevan bila dikaitkan dengan kondisi terkini dunia pendidikan di Indonesia secara umum dan Kalimantan Te ngah secara khu-sus. Mengapa? Dalam formulasi Williams sedikitnya terdapat 3 ide dasar pendidikan se bagai pilar demokrasi dan budaya yang seja-lan dengan harapan masyarakat Kalimantan Tengah.

Yang pertama pendidikan adalah media untuk bertahan hidup. Dalam konteks ini muncul pertanyaan apakah pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia sudah menjalankan fungsi ini. Tentu saja tidak akan ada jawaban yang jelas. Masyara-kat biasa akan dengan sa ngat mudah membuat klaim bahwa pendidikan hanya menciptakan ketergantungan pada pemerintah

dan pengusaha dalam penyediaan lapangan kerja. Buktinya adalah angka pengangguran yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebaliknya pemerintah akan

menga takan bahwa pendidikan telah berada pada jalur yang benar dengan banyak indikator misalnya menurunnya angka buta huruf, naiknya angka partisipasi belajar dan lain-lain. Perbedaan pendapat semacam ini adalah hal yang sa-ngat lumrah dan sah-sah saja.

Bagian kedua dari pemikiran Williams adalah bahwa pendi-dikan merupakan sarana untuk adaptasi dan perubahan. Kita per-caya bahwa yang dimaksud oleh Williams adalah adaptasi dan pe-rubahan dalam makna yang posi-tif. Mari kita lihat dalam konteks budaya Dayak. Kami mengambil contoh masyarakat Dayak karena mereka adalah penduduk asli yang mewakili masyarakat adat (indigenous people) di Kaliman-tan Tengah. Beratus-ratus tahun silam masyarakat Dayak hidup dalam satu rumah besar yang kita sebut Betang dalam bahasa

Dayak Ngaju. Mereka hidup se-cara harmonis tanpa terjadi friksi apapun. Dan malah mereka bisa memelihara ikatan kekeluargaan yang kuat. Seiring waktu, mereka-

Beratus-ratus tahun silam masyarakat Dayak hidup dalam satu rumah besar yang kita sebut Betang dalam bahasa Dayak Ngaju.

55

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Memimpikan Bangunan Pendidikan yang Ideal di Kalimantan Tengah

pun berubah. Meski harus kita akui bahwa bergesernya budaya Rumah Betang lebih karena pan-dangan yang buruk masyarakat non-Dayak terhadap cara hidup berkelompok semacam ini (Pickel, 1996). Pergeseran dari pola hidup berkelompok dalam keluarga be-sar Betang memaksa masyarakat Dayak untuk beradaptasi dalam lingkungan yang lebih besar dan heterogen yang salah satunya adalah kompetisi. Suka atau tidak suka masyarakat Dayak secara tradisional bukanlah masyara-kat yang suka berkompetisi. Di sinilah peran pendidikan itu berjalan. Perlahan-lahan dengan pendidikan terbukti masyarakat Dayak bisa bertahan dalam arus pergaulan multi-etnik dan budaya yang berbeda.

Bagian ketiga dari ide Wil-liams adalah pendidikan (yang benar) dilaksanakan sesuai de-

ngan konteks budaya setempat. Jika saja wacana ketiga ini bisa dilaksanakan maka pendidikan telah dapat melaksanakan tang-gung jawabnya dengan sangat

baik. Kami bisa memberi beberapa contoh misalnya: tidak akan ter-jadi ketimpangan pembangunan di pulau Jawa dan luar pulau Jawa serta tidak akan ada dominasi bu-daya satu atas budaya yang lain. Sayangnya, dalam faktanya, kon-teks pem bangunan pendidikan di Indonesia pokok pi kiran ketiga ini diabaikan begitu saja. Pendidikan yang dilaksanakan de ngan senga-ja mengabaikan simbol-simbol lokal. Bahwa benar misalnya ada mata pelajaran muatan lokal se-bagai upaya untuk mengakomodir nilai-nilai budaya setempat, tetapi menjadi ironis ketika justeru diisi dengan Bahasa Inggris ataupun mata pelajaran lainnya. Alasan yang paling klasik adalah tidak adanya guru yang bisa mengajar-kan pelajaran yang berhubungan dengan nilai-nilai ke-Dayak-an. Memang perlu juga diberi apresi-asi pada usaha pemerintah untuk

memberikan perhatian lebih pada budaya lokal. Misalnya pelajaran Bahasa Dayak pada SD dan SMP. Namun perlu menjadi perhatian bahwa usaha semacam itu tidak

Pendidikan yang dilaksanakan de ngan sengaja mengabaikan simbol-simbol lokal.

56

Oleh : Yulius Esel Saden

cukup. Perlu usaha yang lebih luas dan intensif agar budaya lokal tidak hanya menjadi barang dagangan tetapi lebih menjadi identitas yang dibanggakan.

Fakta dan Harapan

Apakah pemikiran Williams

syarakat Kalimantan Te ngah dapat direalisasikan? Tentu saja bisa. Pendidikan di Indonesia

manisme yang sangat kuat. Pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu tujuan pendirian bangsa Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehi dupan bangsa.

paian tujuan ini pada pasal 31 ditegaskan bahwa pendidikan,

pendidikan dasar menjadi hak rakyat dan kewajiban pemerintah untuk membiayainya. Kewajiban inilah yang kemudian dibelokkan oleh pemerintah berkuasa dengan kampanye pendidikan gratis, sebuah jargon politik praktis yang cenderung menyesatkan opini publik.

Hal yang sama juga terjadi dengan Ujian Nasional (UN) yang

terus menerus menjadi perdebatan. UN pada dasarnya adalah

rintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendi dikan. Dalam peraturan peme rintah ini disebutkan ada 8 Standar Nasional Pendidikan yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Tidak ada yang keliru dengan UN sebagai sebuah amanat peraturan peme rintah yang merupakan

undang. Bahwa kemudian menjadi masalah karena dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003 pasal 4 dikatakan “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” UN ini diskriminatif ketika lebih memprioritaskan 1 dari 8 standar nasional pendidikan yang dilaksanakan yaitu standar penilaian pendidikan. Idealnya peme rintah

57

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Memimpikan Bangunan Pendidikan yang Ideal di Kalimantan Tengah

mengusahakan standarisasi 7 standar nasional pendidikan yang lain barulah bicara tentang UN. Sangat disayangkan bahwa pemerintah lebih memilih menge-depankan poin ke delapan yaitu melaksanakan UN dan baru bi-cara usaha standarisasi 7 (tujuh) bidang yang lain.

Yang selanjutnya adalah

dari kebijakan ini adalah Undang

Nomor 20 Tahun 2003 serta Per-aturan Peme rintah Nomor 74

undang undang dan peraturan pemerintah ini dikatakan bahwa

formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai

adalah jabatan profesional atau ahli. Jika guru tidak mempunyai

keahlian maka ketika para orang-tua mengirim anak-anaknya ke sekolah berarti sama saja dengan pepatah “membeli kucing dalam karung” karena guru-guru tem-

pat anak-anak mereka belajar bukanlah para profesional. Jika demikian mengapa harus ada sertifikasi guru?Tidak lain dan

usaha meningkatkan penghasilan

memberikan kontribusi yang sig--

tas belajar mengajar di sekolah

harapan yang diinginkan dalam undang undang dan peraturan

menciptakan “kasta” di sekolah antara guru “profesional” dan guru “amatir.”

Langkah-langkah Solutif

Cita-cita Williams sebagai cerminan bangunan pendidikan yang ideal di Kalimantan Tengah bisa diimplementasikan de ngan

beberapa syarat.Syarat pertama, dalam usaha

menjadikan pendidikan sebagai pilar budaya dan demokrasi, pemerintah dalam kewajiban

58

Oleh : Yulius Esel Saden

konsti tusionalnya harus mempu-nyai peta pendidikan yang kompre-hensif dan detail. Peraturan Dae-rah Provinsi Kalimantan Te ngah Nomor 12 Tahun 2005 Tanggal 12 November 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Daerah Kalimantan Te-ngah Tahun 2006-2025 bagian 4.7 tentang arah pembangunan di bidang pendidikan menyebutkan 5 hal pokok. Satu, mempercepat kualitas pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar dan menengah. Kedua,mempercepat peningkatan kualitas pendidikan non-formal, budaya pembelajaran, keperpustakaan dan kearsipan. Ketiga, peningkatan kualitas dan kesejahteraan pendidik secara adil di Provinsi Kalimantan Tengah. Keempat, peningkatan kualitas manajemen pelayanan, peneli-tian dan pengembangan teknologi informasi pendidikan. Kelima, penge lolaan keragaman budaya untuk peningkatan kualitas hidup bangsa yang memperkuat per-satuan dan kesatuan bangsa. Peta pem bangunan pendidikan yang termuat dalam peraturan daerah ini memang sangat kom-prehensif dan menyentuh hal-hal yang menjadi kebutuhan daerah

yang sangat mendasar. Namun demikian kami kira tetap perlu disampaikan dua catatan untuk proposal program pembangunan pendidikan ini yaitu satu, peme-rintah daerah Kalimantan Tengah perlu lebih memberikan perhatian pada usaha mendorong pengem-bangan pendidikan tinggi. Dinas terkait bisa melakukan sinergi dengan berbagai lembaga pendi-dikan tinggi di daerah ini. Dua, prog ram pendidikan di atas juga perlu diterjemahkan dalam ben-tuk yang bisa yang diukur pelak-sanaan dan pencapaiannya.

Syarat kedua dari ide Wil-liams, pendidikan sebagai pilar budaya dan demokrasi harus dibe-baskan dari unsur politik praktis dengan memberikan otonomi yang luas kepada para penyelenggara pendidikan misalnya Dinas Pen-didikan untuk berkreasi. Dalam tuntutan ini Kepala Daerah harus berani untuk memilih Kepala Di-nas Pendidikan yang memang ca-pable dalam bidangnya. Sehingga, tuduhan yang disampaikan oleh Ke tua Umum PGRI bahwa 50% dari Kepala-kepala Dinas Pendi-dikan adalah Tim Sukses Kepala Daerah dan ngaconya lagi ba-nyak di antara mereka yang tidak

59

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Memimpikan Bangunan Pendidikan yang Ideal di Kalimantan Tengah

berkompeten dalam pendidikan (www.detiknews.com, diunduh pada Selasa, 20/01/2009 16:22 WIB) menjadi tidak benar.

Syarat ketiga adalah ke te -gasan pemimpin daerah. Con-tohnya adalah pada kasus Ujian Nasional. Di tengah penolakan yang begitu kuat terhadap Ujian Nasional tak pernah terdengar ada seorang gubernur atau bupatipun yang dengan lantang menga takan bahwa Ujian Nasional itu diskri-minatif dan meminta agar Ujian Nasional tidak dilaksanakan.

Penutup

Pendidikan adalah pilar yang sangat penting dal ma

pembangunan di bidang budaya dan demokrasi.

Pendidikan menjadi pilar yang sangat penting dalam pem-bangunan di bidang budaya dan demokrasi. Tulisan ini menunjuk-kan bahwa pendidikan akan dapat memenuhi impian rakyat untuk memiliki bangunan pendidikan yang ideal yaitu kebi-jakan pendidikan yang demokratis, adil, serta memberikan ruang yang luas kepada masyarakat adat Dayak sebagai representasi mas-yarakat di bumi Isen Mulang dan sikap yang tegas terhadap kebija-kan di bidang pendidikan yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Rakyat sedang menunggu.

Ketegasan semacam ini menjadi penting mengingat kepala daerah dipilih oleh rakyat untuk menyalurkan aspirasi mereka.

60

Oleh : Yulius Esel Saden

Referensi:

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Te ngah Nomor 12 Tahun 2005 Tanggal 12 November 2005 Tentang Rencana Pem bangunan Jangka Panjang Provinsi Daerah Kalimantan Tengah Tahun 2006-2025

Pemerintah Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2009 Tentang Guru

Pemerintah Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan

Pickell, D. (Ed). (1996) Kalimantan, Indonesian Borneo. Singapore: Periplus Editions

Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang

Sistem Pendidikan NasionalUndang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang

Guru dan DosenWilliams, T. R. A Borneo Childhood: Enculturation in Dusun Society.

Ohio: Holt, Rinehart and Winston, 1969.www.detiknews.com, diunduh pada Selasa, 20/01/2009 16:22 WIB

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Berdagang di Antara Jalinan Sukubangsa Dayak dan Banjar di Pasar Pahandut Palangka Raya

61

Kenapa Banjar dan Dayak?

Kedua sukubangsa ini hidup pada satu pulau yang sama, su-dah banyak kawin mawin, ikatan persaudaraan dan kekerabatan sudah lama terjalin erat-- sisi yang saya ulas dalam tulisan ini di-harapkan makin memperkuat si-kap saling memahami dan meng-hormati mutual understanding dan mutual respect.

Bahkan tak sedikit yang me-nyebutkan Dayak adalah Banjar demikian juga sebaliknya. Demi

kejernihan melihat persoalan ak tivitas bisnis dan kesukubang-saan, saya membagi dan mem-bedakan kedua suku yang masih terbilang bersaudara tersebut.

Banjar dan Dayak telah me-lewati dan menorehkan banyak peristiwa sejarah, catatan sastra berupa sansana maupun tuturan lisan beredar luas di seputar Kali-mantan yang umumnya menceri-takan kesatuan dan kerjasama mereka.

Tulisan ini akan menunjuk-kan hubungan antar sukubangsa

Berdagang di Antara Jalinan Sukubangsa Dayak dan Banjar

di Pasar Pahandut Palangka Raya

Oleh : Yanedi Jagau

62

Dayak dan Banjar dalam kegiatan berdagang di pasar Pahandut. Ke-ragaman sukubangsa memainkan peran penting di pasar tradisional Pahandut untuk mewujudkan ko-laborasi dua sukubangsa (Dayak dan Banjar ) – k in i hal i tu bukan lagi suatu pilihan untuk memajukan pasar tradisional se-mata melainkan keniscayaan bagi terwujudnya keharmonisan masa depan kemanusiaan di Palangka Raya. Pasar tradisional tentu saja bukan semata dilihat pada dimensi ekonomi semata melain-kan juga wahana bagi berkem-bangnya nilai kemanusiaan yang merupakan konsensus bersama masyarakat.

Pasar tradisional sebagian besar masih disukai warga ma-syarakat meskipun persaingan

makin berat semenjak muncul mall, supermarket, mini market (modern). Umumnya pasar tra-disional lekat dengan pasar sayur dan ikan yang becek, jorok dan

bau. Agar pasar tradisional makin diminati mestinya bisa berbenah diri menjaga kebersihan. Sisi ma-nusiawi yang menarik pada pasar tradisional adalah suasana tawar menawar penuh kekeluargaan, obrolan penjual dan pembeli yang bersahabat merupakan warisan berharga yang harus dijaga dan dilestarikan.

Entah apa jadinya masa de-pan pasar jika semua barang tak bisa ditawar harganya lan taran sudah terlabelkan (ciri pasar modern) dalam harga mati, dunia terasa kering, pro ses jual beli tak lagi berisikan dimensi sosial yang bersahabat.

Pasar berasal dari kata “ba-zaar” yang diambil dari bahasa Persia yang dikenal sebagai ba-hasa Parsi yang digunakan se-

cara luas di Iran, Tajikistan dan Afghanistan. Arti kata itu sendiri adalah tempat dan ruang yang luas untuk berjual beli dan per-tukaran secara terbuka, dalam

Oleh : Yanedi Jagau

Keragaman sukubangsa memainkan peran penting di pasar tradisional Pahandut untuk mewujudkan kolaborasi dua sukubangsa (Dayak dan

Banjar) – kini hal itu bukan lagi suatu pilihan untuk memajukan pasar tradisional semata melainkan keniscayaan bagi terwujudnya

keharmonisan masa depan kemanusiaan di Palangka Raya.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Berdagang di Antara Jalinan Sukubangsa Dayak dan Banjar di Pasar Pahandut Palangka Raya

63

bahasa Inggris “bazaar” kemudian diartikan sebagai pasar derma. Pasar adalah pranata penting dalam ke giatan ekonomi dan so-sial.

Belakangan ini (setidaknya tahun 1998 – 2013) menyodorkan fakta-fakta yang mencengangkan, gangguan keamanan dan keter-

antar-sukubangsa. Satu demi satu pasar tradisional berubah

-

bangsa. Pasar Kramat Jati Jakarta terjadi pertikaian antara Orang Banten dengan Petugas Tramtib, kemudian Pasar Pramuka di Ja-

antara Orang Banten dengan Orang Madura. Kasus lainnya di Ambon lebih ekstrim lagi mem-bagi pasar berdasarkan Agama. Selanjutnya kasus yang mirip walaupun tidak sama baru saja

antar sukubangsa Madura de-

ngan sukubangsa Dayak di Pasar Pahandut Palangkaraya provinsi Kalimantan Tengah.

Kalau saja semua pasar tradisional Indonesia berubah

-kubangsa, akibatnya sangatlah merugikan. Dalam situasi dan waktu tertentu komunikasi an-tar sukubangsa terkadang tidak harmonis karena antar peda-gang berkompetisi bisnis dengan mengikutsertakan sentimen ke-

sukubangsaan, hal ini dapat me--

antar-sukubangsa.

Teori Kebudayaan Dominan (Dominant Culture Theory)

Menginterpretasi corak ung kapan kesukubangsaan di Palangka Raya dapat dipergu-nakan teori Bru ner seperti yang ditulis dalam Suparlan (2004):

Kalau saja semua pasar tradisional Indonesia berubah menjadi arena

64

“…tentang hipotesa kebu-dayaan dominan (Dominant Culture Theory) dengan be-berapa ciri-ciri (1). secara de-mografi sosial atau rasio popu-lasi terdapat adanya mayoritas. (2). ada nya kebudayaan lokal atau setempat yang mantap yang berlaku dalam kehidupan kota tersebut ; (3). ada atau tidaknya pengistimewaan bagi satu kelompok etnik atau su-kubangsa yang mayoritas dan yang mempunyai kebudayaan lokal yang mantap dari kota tersebut untuk mendominasi kekuasaan dan pendistribusi-annya di dalam administrasi pemerintahan setempat.”

Sukubangsa di Kalimantan Tengah meliputi Sukubangsa Dayak (Ngaju, Maanyan, Ot Danum), ketiga suku tersebut sering juga disebut sebagai su-kubangsa Dayak Kalimantan Tengah, di samping itu terdapat sukubangsa Banjar, Padang, Cina, Batak dan Bugis. Di pasar tradisional Pahandut Palangka Raya, keberadaan sukubang-sa Dayak Kalimantan Tengah sendiri bukan lagi menjadi yang dominan. Pendistribusian ba-rang dari hilir ke hulu sungai

menuju pasar Pahandut dike-lola oleh sukubangsa Banjar demikian juga halnya mengenai pengaturan keamanan, kurang lebih 30 tahun terakhir ini (1970-2004) di pasar tradi sional Palangka Raya sudah silih ber-ganti pemain diantaranya oleh Sukubangsa Madura dan Su-kubangsa Banjar.

Nama Pasar yang Berganti-ganti

Obyek penelitian ini adalah Pasar Pahandut Palangka Raya yang terletak di Kecamatan Pa-handut Kota Palangka Raya, pa-sar tersebut memiliki nama yang bermacam-macam. Penamaan pasar ini simpang siur. Pasar Pa handut, Pasar Besar, Pasar Induk, Pasar Tampung Untung dan Pasar Baru adalah empat nama dari sekian banyak nama yang dikenal sebagian warga masyarakat Palangka Raya.

Pasar Pahandut berdiri tahun 1960-an, penguasaan pasar silih berganti antara satu sukubangsa ke sukubangsa yang lain. Pengaruh pasar tra-disional di Palangka Raya dira-sakan keberadaannya sampai ke perdesaan sekitarnya. Sewaktu

Oleh : Yanedi JagauJurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013

Berdagang di Antara Jalinan Sukubangsa Dayak dan Banjar di Pasar Pahandut Palangka Raya

65

pasar modern semacam super market, mini market dan lain-nya bermunculan, kedudukan pasar tradisional tetap pen-ting dan memiliki pelanggan yang tetap setia. Pasar bukan hanya tempat bertemu antara pedagang dan pembeli tetapi juga tempat perjum paan orang-orang yang berbeda secara su-kubangsa.

Sebelum tahun 1960-an geliat pasar berlangsung di dae-rah dermaga/pelabuhan sungai, kemudian berkembang ke arah daratan yang agak menjauh dari sungai. Mula-mula berada di blok Palangka Sari, kemu-dian berlanjut pembangunan blok Baru A yang dilaksanakan tahun 1970-an. Periode beri-kutnya adalah tahun 1990-an pem bangunan pasar (blok) jalan Lombok mulai dikembangkan -- tentang blok Lombok oleh sebagian orang ada upaya me-namakan tempat itu sebagai Blok Pasar Tampung Untung diantaranya yang mengusulkan nama itu ialah oleh H. Naspan Susilo. Beberapa waktu kemu-dian organisasi kepengurusan pasar pimpinan H. Harun Efendi (periode 2000-2005) mengusul-

kan nama pasar ini menjadi Pasar Besar.

Pada tahun 2002 sejum-lah pengusaha mendirikan ba-ngunan yang diberi nama Blok Citra Raya yang menandai keha-diran pasar yang lebih modern, upaya modernisasi itu terlihat dari bentuk ruang dan fasilitas escalator. Fasilitas ini diperke-nalkan untuk memudahkan pembeli berbelanja.

Berdagang di antara Sukubangsa yang Berbeda

Perjumpaan sukubang-sa Banjar, Dayak, Jawa dan Tionghoa di pasar Pahandut lebih banyak berkaitan dengan urusan tukar menukar dan transaksi dagang. Sukubangsa Dayak dan sebagian besar juga dari Jawa menjual barang hasil pertanian (kebun) sedangkan Sukubangsa Banjar pekerjaan utamanya adalah pada sek-tor jasa perdagangan di pasar. Umum nya corak hubungan yang terwujud adalah Sukubangsa Banjar berperan sebagai peda-gang grosir sedangkan orang Dayak adalah pedagang eceran.

Orang Banjar meng anggap

66

Orang Dayak adalah pembeli yang tidak suka bertele-tele dan tidak cerewet dalam tawar menawar harga barang, mereka cenderung bersikap “terserah kepada juragan Banjar”

Pembeli eceran dari ka-langan Sukubangsa Dayak dapat dibedakan menjadi dua bagian, yang pertama adalah pembeli yang berjualan di pasar setempat saja, kesehariannya berdagang, sedangkan yang kedua adalah pembeli yang seterusnya men-jual kembali barang tersebut me-lalui kios-kios di rumah pemu-kiman penduduk, kebanyakan mereka adalah pegawai negeri dan usaha kios dianggap kerja sampingan.

Jumlah Pedagang berdasarkan sukubangsa

Jumlah seluruh pedagang sekitar 3000 orang. Urut-urutan prosentase pedagang berdasar-kan sukubangsa dapat dijelas-kan sebagai berikut: Sukubang-sa Banjar sebanyak 94%, diikuti oleh 6% merupakan gabungan suku-sukubangsa Dayak, Jawa, Cina, Padang, Bugis dan lain-lain.

Tabel IJumlah Pedagang di Pasar Pa handut

Berdasarkan Sukubangsa

Nomor Sukubangsa Jumlah %

1. Banjar 2770 orang 94 %

2. Dayak 60 orang 2 %

3 Cina 20 orang 1 %

4 Jawa 40 orang 1%

5 Padang 20 orang 1 %

6 Bugis 18 orang 1 %

2928 orang 100 %

Salah satu blok yang pa ling besar di Pasar Pahandut adalah blok B, tempat penulis pernah mewawancarai dan mengamati aktivitas pedagang di kawasan tersebut. Pedagang di Blok B ba-nyak memberikan informasi dan data yang melengkapi penelitian ini, lagipula di blok ini warga su-kubangsa yang berdagang lebih beragam ketimbang blok lainnya di pasar itu.

Pedagang di Blok B menjual beraneka barang, berdasarkan j en is barang dagangannya pedagang dapat digolongkan seperti terlihat pada tabel di bawah ini

Oleh : Yanedi JagauJurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013

Berdagang di Antara Jalinan Sukubangsa Dayak dan Banjar di Pasar Pahandut Palangka Raya

67

Tabel IITabel Jumlah Pedagang

Berdasarkan Jenis Barang dan Sukubangsa Pada Blok B

Pasar Pa handut

Nomor Jenis Dagangan

Jumlah berdasarkan asal sukubangsa

Banjar Dayak

1. Kain/Baju/celana 64 52. Sepatu 12 -

3. Perabot Rumah, Piring, Gelas dll 18 1

4. Emas dan Perhiasan 8 -

5. Sembako 108 6

6. Parfum dll) 15 -

7 Ikan dan Sayur mayur 21 2

Jumlah keseluruhan 260 orang 2 4 6 14

Di sekeliling pasar jarang dijumpai orang Dayak yang me-miliki toko dan kios, mereka lebih menyukai lokasi pedagang kaki lima, lapak dan dagangan yang terhampar di jalan raya.

Seperti tertulis dalam tabel II di atas, memperlihatkan ke-14 orang Dayak yang berjualan hanya terdapat dua orang yang berdagang di kios, selebihnya adalah pedagang lapak dan tenda kaki lima.

Pedagang yang berasal dari sukubangsa Tionghoa menjual

mi numan kaleng dan botol, mere-ka juga mengelola restoran dan rumah makan khas Cina. Semen-tara itu di seputaran pasar terse-but hanya terdapat satu warung makanan dan minuman khas Padang yang disesuaikan dengan rasa dan selera setempat.

Kerjasama Pedagangan Pada Satu Sukubangsa

Kerjasama yang dimaksud di sini adalah tindakan-tin-dakan bersama saling mem-bantu antara dua orang atau dua kelompok untuk sesuatu tujuan tertentu secara ber-sama. Kerjasama itu sendiri dapat dilihat menurut tujuan-nya yang dapat bersifat positif maupun sebaliknya. Kerjasama yang positif adalah kerjasama yang sehat dan biasanya dalam sebuah pasar kerjasama se-perti ini terungkapkan melalui kerjasama menjaga keamanan pasar, kerjasama menjaga ke-bersihan pasar dan lain-lain. Di samping itu kerjasama yang negatif tentu saja tujuannya di-rancang untuk menghancurkan pihak lain yang dianggap lawan dan lain-lain.

68

Kerjasama Perdagangan antar Orang Dayak

Untuk melihat secara men-

dalam bentuk kerjasama antar orang Dayak mesti mengamati kesibukan beberapa blok pasar yang terbagi menjadi A, B dan C. Yang dimaksud blok adalah bagian dari kawasan pasar yang dibatasi oleh jalan.

Saya mewawancarai seorang tokoh masyarakat yang dikenal memiliki banyak blok di pasar Pahandut yang disewakan kepada para pedagang. Kerjasama yang dilakukan oleh salah satu pemilik kios pada Blok B Dehel Rum-bang ialah menyediakan ruang/kios toko yang akan digunakan oleh orang Dayak melalui harga yang jauh lebih rendah dari orang yang bukan sukubangsa Dayak, tetapi kenyataanya jumlah orang Dayak yang berjualan di situ tidak ber tambah banyak. Dia pernah menga takan: “Hengan aku payah ah, uluh Dayak tuh, dia hakun

mangumpul keuntungan je ba ratus due” (“Heran saya melihatnya, orang Da yak tidak mau mengum-pul keun tungan seratus atau dua ratus rupiah“).

Dari pendapat tersebut terkan dung pemahaman bahwa Orang Dayak kurang bersedia mengumpulkan keuntungan yang sedikit. Mengingat perdagangan di pasar Pahandut dominan pada skala kecil agak sulit rasanya mendapatkan orang yang menda-dak untung besar (instan). Pemilik Blok B sudah memberi keringanan dan keleluasan bagi kerabatnya sekampung yang notabene orang Dayak, namun seperti yang dike-luhkannya ternyata tidak banyak yang tertarik.

Kemampuan bekerjasama dan berorganisasi di antara Orang Dayak nampaknya perlu diperbaiki jika i ngin mengimbangi rivalitas bisnis yang makin keras dan sulit. Adalah fakta yang tak dapat di-pungkiri jumlah orang dayak yang berdagang (blok B) kurang dari 5%.

Oleh : Yanedi Jagau

Kemampuan bekerjasama dan berorganisasi di antara Orang Dayak nampaknya perlu diperbaiki jika i ngin mengimbangi rivalitas bisnis yang makin keras dan sulit. Adalah fakta yang tak dapat dipungkiri

jumlah orang dayak yang berdagang (blok B) kurang dari 5%.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Berdagang di Antara Jalinan Sukubangsa Dayak dan Banjar di Pasar Pahandut Palangka Raya

69

Bentuk kerjasama lainnya yang ditampilkan pedagang se-sama satu Sukubangsa Dayak adalah menghimbau orang-orang Dayak membeli barang dan jasa yang dikomersilkan melalui a lasan kedayakannya (menampilkan atribut etnis). Biasanya kerjasama ini terbentuk karena ada prinsip simbiosis mutualisme, semi-sal memberi kemudahan seperti mempersilahkan mengambil ba-rang dagangan sistem kredit atau meng angsur pembayaran.

Kerjasama Perdagangan Sesama Orang Banjar

Solidaritas dagang Orang Banjar terbentuk dari sejarah kedatangan mereka ke Palangka Raya karena merasa kelompoknya (bubuhan) adalah orang-orang yang merantau dan mencari tempat untuk mengembangkan dagang di lokasi masyarakat yang samasekali baru.

Kelompok sukubangsa Ban-jar yang datang ke Palangka Raya setidaknya dapat digolongkan menjadi Orang Hulu Sungai dan Orang Martapura. Umumnya orang Martapura lebih banyak menekuni pekerjaan sebagai peng-

rajin emas, kondisi ini tercipta karena situasi ekologi lingkungan alam mereka di tempat asalnya yang kaya dengan kan dungan emas dan intan Martapura, tak mengherankan jikalau mereka menggalang kerjasama para peng-rajin emas untuk berdagang per-mata dan perhiasan di Palangka Raya, keahlian yang tinggi terse-but sangat mendukung penjang-kauan usaha dagang mere ka di Palangka Raya. Lembaga formal maupun non formal yang ber-kaitan dengan pengga bungan keahlian dan asal-usul daerah muncul dengan nama, Persatuan Perdagang Permata dan Perhiasan Pasar Pahandut Palangka Raya.

Hubungan formal dan infor-mal terjalin antar Orang Banjar melalui organisasi, berdasar-kan semangat yang berkembang mengedepankan prinsip saling menguntungkan antar pedagang. Sebagai contoh misalnya seorang pembeli menanyakan tentang sesuatu barang, tetapi pedagang (pedagang pertama) tidak memi-likinya namun peluang tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan cara mencari barang di tempat terdekat. Pedagang per-tama yang orang Banjar mehu-

70

Oleh : Yanedi Jagau

bungkan pedagang Banjar lainnya (pedagang kedua) yang memiliki barang yang dimaksudkan oleh pembeli. Selanjutnya barang diambil dari pe dagang kedua de-ngan terlebih dahulu menyepa kati harga dalam kisaran tertentu. Bilamana barang tersebut laku terjual maka peminjam barang menyerahkan sejumlah uang se-suai kesepakatan awal tadi.

Selain itu, upaya kerjasama yang sering berlangsung antar pedagang satu asal kesukubang-saan adalah memberi pinjaman sejumlah uang dan atau barang kepada sesama pedagang karena atas dasar saling percaya. Para pedagang tersebut menyebutnya sebagai manalangi, yang berasal dari bahasa Banjar yang artinya meminjamkan lebih dulu, kerap-kali yang dipinjamkan biasanya adalah uang, jarang yang ada me-minjamkan barang. Dalam kamus bahasa Indonesia hanya memuat kata menalangi yang merupakan pengembangan dari kata me + ta-lang + i, sedangkan dalam bahasa Banjar awalan me selalu dirubah menjadi ma, sehingga jadilah kata manalangi (ma + talang + i). Dalam menalangi akan memunculkan atribut kekerabatan dan kesu-

kubangsaan di ka langan Orang Banjar.

Sukubangsa Banjar mengem-bangkan beberapa perkum pulan wadah berkomunikasi dan mem-bicarakan seputar lika-liku perda-gangan mereka. Wadah berkum-pulnya adalah mesjid dan mushala sekitar pasar Pahandut. Sewaktu obrolan santai orang-orang Banjar bercerita tentang bisnisnya. Selain itu organisasi yang populer di ka-langan orang Banjar yang dapat membantu adalah Naga Banjar yang merupakan kepanjangan dari Anang Galuh Banjar.

Hubungan kekerabatan dan kesukubangsaan di kalangan orang Banjar berlaku mantap dalam ke giatan bisnis dan eko-nomi di Pasar Pahandut. Walau-pun orang tua yang berdagang tidak akan mendikte atau menga-jarkan secara langsung kepada anaknya tentang lika-liku bisnis.

Corak kerjasama yang ter-lihat pada Sukubangsa Banjar dapat diamati dari mereka yang menjual barang perhiasan emas dan intan di Pasar Pa handut, hampir dapat dipastikan bahwa mereka yang berdagang di Pasar Pahandut adalah Orang Mar-tapura. Warga sukubangsa Ban-

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Berdagang di Antara Jalinan Sukubangsa Dayak dan Banjar di Pasar Pahandut Palangka Raya

71

jar kelahiran Martapura terkenal karena mereka pandai dan ahli dalam bidang pengolahan intan dan perhiasan lainnya. Di Kali-mantan Tengah mereka mema-hami dan menjalani bisnis ini turun temurun dari keluarga/bubuhan yang satu ke bubuhan yang lain.

Jaringan perniagaan mas dan permata Orang Banjar Mar-tapura, semisal di Kereng Pangi tempat pertambangan emas rak-yat, mereka pengrajin emas yang ahli. Selain kesukubangsaan yang mampu mendorong solidaritas di bidang perdagangan di kalangan Orang Banjar, kemungkinan besar aspek kekerabatan juga menguatkan kerjasama dagang antar-sukubangsa. Kekerabatan berperan penting dalam mem-perkuat sebuah bisnis yang dike-lola beberapa keluarga Banjar.

Dayak dan Banjar, Kerjasama Per da gangan Pada Sukubangsa yang ber lainan

Kerjasama antar pedagang yang berbeda sukubangsa dapat terlaksana karena dorongan prin-sif saling menguntungkan. Selain itu karena kesamaan barang yang

diperdagangkan dan kedekatan dalam jaringan sosial. Umum-nya Orang Dayak yang masuk ke dalam jaringan dagang Orang Banjar sudah terlebih dahulu mengaktifkan atribut kesuku-bangsaan Banjar, dan dapat di-pastikan bahasa pengantar adalah Bahasa Banjar.

Saya akan menunjukkan contoh, misalnya dua orang Lelaki Dayak berdagang secara eceran yang hendak membeli barang dari seorang pedagang grosir yang disebut Juragan Banjar, kedua Lelaki Dayak ini berbahasa Ban-jar dengan sang juragan sewak-tu mereka bertransaksi di toko Ju ragan, selanjutnya, sewaktu ke dua lelaki ini tiba di rumah me reka kembali menggunakan bahasa Dayak untuk berkomu-nikasi. Di dalam rumah berba-hasa Dayak, sedangkan di luar (di pasar) berbahasa Banjar, mereka beralih bahasa setiap kali keluar masuk pintu rumah.

Kedua sukubangsa ini dapat bekerjasama dengan cara mem-bagi bidang-bidang pekerjaan berdasarkan kesukubangsaan. Kerjasama sosial misalnya ada pedagang yang sakit, dengan sendirinya pedagang yang ber-

72

Oleh : Yanedi Jagau

sebelahan dan bertetangga de-ngannya walaupun berbeda suku-bangsa tetapi urusan menjenguk sakit dan sikap membantu tetap berlangsung. Situasi dan kon-disi seperti ini sebenarnya adalah peng hubung yang melampaui ba-tas-batas sosial antara masyara-kat Banjar dan Da yak. Mereka ini seumpama jembatan pemer-satu antar kedua sukubangsa. Perbedaan sukubangsa sewaktu interaksi berlangsung disimpan oleh masing-masing pelakunya, tetapi akan tetap berlanjut dalam situasi-situasi atau arena-arena interaksi lainnya.

Persaingan Antar Pedagang pada Sukubangsa yang Berbeda

Persaingan yang dimaksud disini adalah proses dan per-juangan meraih keuntungan me-lalui penjualan barang dan jasa yang diperjualbelikan. Pendorong

persaingan umumnya muncul dari keinginan mendapatkan pembeli dan pelanggan secara cepat demi meraih keuntungan melalui penjualan barang. Tempat per saingan berlangsung adalah di toko, kios, los, warung, tenda kaki lima sampai lapak dan jalan sekitar pasar.

Persaingan selalu berkaitan dengan harga dan pelayanan kepada para pembeli. Sebagai contoh misalnya seorang pembeli diiming-imingi harga yang murah sembari memojokkan pedagang lainnya yang katanya lebih mahal dan mutu barang kurang bagus. Cara seperti ini dilakukan secara lugas oleh pedagang atau secara diam-diam atau berbisik tetapi jika sudah memanas biasanya pedagang menegur dan bahkan disertai kalimat dengan nada an-caman.

Pada hakekatnya persaingan tersebut menurut sifatnya dapat

Situasi dan kondisi seperti ini sebenarnya adalah penghubung yang melampaui batas-batas sosial antara masyarakat Banjar dan Da yak.

Mereka ini seumpama jembatan pemersatu antar kedua sukubangsa. Perbedaan sukubangsa sewaktu interaksi berlangsung disimpan oleh

masing-masing pelakunya, tetapi akan tetap berlanjut dalam situasi-situasi atau arena-arena interaksi lainnya.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Berdagang di Antara Jalinan Sukubangsa Dayak dan Banjar di Pasar Pahandut Palangka Raya

73

dibedakan menjadi persaingan positif dan negatif. Persaingan yang positif dapat terungkapkan dari bentuk pelayanan yang makin baik terhadap pembeli dan aki-batnya antar pedagang berlomba menata perdagangannya de ngan demikian terjadi suasana kompe-tisi yang sehat tanpa menyer takan kecurangan-kecurangan memo-jokkan dan menjelek-jelekan antar pedagang, sedangkan yang nega-tif biasanya mengarah kepada upaya memojokkan, menjelekkan bahkan mencurangi pedagang pihak lain de ngan cara tertentu yang bertentangan dengan norma dan hukum.

Tempo dan waktu bersaing adalah pada saat banyak orang membutuhkan barang dan jasa yang dipasarkan. Pada saat pem-beli dan pengunjung datang ke pasar adalah salah satu momen-

tum penting. Peristiwa bersaing berlangsung terus menerus, kli-maks persaingan terjadi manakala pembeli dan pengunjung datang ke pasar. Pada saat tersebut peda-gang yang terdiri dari dua pihak

atau lebih bersaing mendapatkan pembeli. Siapa yang agresif dan pandai menarik pembeli dapat dipastikan mampu menggaet dan mengejar untung. Sementara yang kalah akan menganggap per saingan dagang itu adalah bi-asa dan lumrah dimana-dimana dapat terjadi, tetapi bagi mereka yang tak terima dengan keka lahan akan mengambil langkah lain yang meneruskan persaingan ke derajat yang lebih tinggi yaitu ke pertentangan.

Sukubangsa Banjar tentu saja memiliki hubungan yang lebih ba nyak dengan pihak luar dan pihak di dalam pasar. Pi-hak dalam pasar yang dimaksud adalah para kerabat pedagang yang bisa saja terdiri dari ayah, ibu, anak, paman, tante dan ke-ponakan. Sedangkan yang dari luar adalah seperangkat pendu-

kung pasar yaitu pusat distribusi atau pemasok barang.

Khusus mengenai Orang Dayak yang berdagang di pasar Pahandut mereka tidak mengan-dalkan pihak dalam pasar karena

Tempo dan waktu bersaing adalah pada saat banyak orang membutuhkan barang dan jasa yang dipasarkan.

74

Oleh : Yanedi Jagau

jarang ada kerabat yang ikut menge lompok berdagang di pasar, sementara hubungan dengan pihak luar relatif tidak dapat di-andalkan karena bukan dari ka-langan pebisnis.

Kemampuan bersaing pada kalangan Sukubangsa Banjar ter-lihat relatif lebih awet ketimbang yang dimiliki pedagang dari ka-langan Sukubangsa Dayak. Akses pedagang dari Sukubangsa Banjar terhadap kondisi dan informasi pasar tentu saja lebih terbuka, didukung oleh organisasi per-satuan pedagang yang terdapat di pasar hampir semua dipimpin oleh Orang Banjar.

Contoh kasus persaingan bisnis adalah pada warung yang menjual makanan dan ini meru-pakan bentuk dari persaingan

bisnis tidak langsung. Warung makan Banjar menampilkan atribut Sukubangsa dan kebu-dayaan Islam dengan memajang

foto-foto kyai tertentu yang asal-usulnya dari sukubangsa Banjar, situasi itu mempunyai makna bahwa makanan yang dijual di warung tersebut dijamin ‘halal’. Selain itu Sukubangsa Banjar ter-masuk pandai memahami selera makan orang-orang di Palangka Raya, buktinya adalah pengun-jung rumah makan Banjar di-datangi oleh Orang Dayak, Jawa, Tionghoa dan lain-lain.

Tahun 1997-1998 ketika ma-sih banyak Orang Madura yang mengu asai pelabuhan dan termi-nal. Para pekerja yang bera sal dari sukubangsa Madura menguasai sektor jasa seperti kuli angkut, buruh pelabuhan dan tukang ojek.

Persaingan yang mengikut-sertakan kesukubangsaan be-

berapa kali terjadi dan menye-barkan streotipe (prasangka) yang belum jelas kebenarannya, bahkan terkadang menyangkut

Contoh kasus persaingan bisnis adalah pada warung yang menjual makanan dan ini merupakan bentuk dari persaingan bisnis tidak

langsung. Warung makan Banjar menampilkan atribut Sukubangsa dan kebudayaan Islam dengan memajang foto-foto kyai tertentu yang

asal-usulnya dari sukubangsa Banjar, situasi itu mempunyai makna

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Berdagang di Antara Jalinan Sukubangsa Dayak dan Banjar di Pasar Pahandut Palangka Raya

75

isu penggunaan kekuatan haram yang ber kaitan dengan penggu-naan kekuatan gaib yang mis-terius semacam tuyul dan setan gundul dan lain-lain, kalau sudah seperti ini tak jarang berakhir

Persaingan yang tak ter-kendalikan, terbuka, curang dan ber akhir pada tindak kejahatan muncul karena kondisi sosial

perti itu diduga salah satu penye-

Palangka Raya tahun 1999-2000, disamping itu penegakan hukum yang lemah membuat persaingan

Persaingan Pedagang pada Sukubangsa yang Sama

Pada prinsipnya pedagang di pasar Pahandut menganggap persaingan di Pasar Pahandut

-disi tersebut berlangsung karena perebutan tempat berdagang sampai penetapan harga murah yang membuat pedagang lain

saingan dagang atau persaingan bisnis dari orang-orang satu su-kubangsa yang sama asal-usulnya

lebih banyak karena didorong oleh perasaan iri dan tidak mensyukuri

Corak yang menyolok dalam persaingan perdagangan yang terbuka dan demokratis di Pasar Pahandut, pembeli cenderung membeli di kios dan toko Orang Banjar yang dinilai lebih lengkap

-gang adalah profesi yang baru dikenal dalam kehidupan Orang

Pertentangan

Pertentangan merupakan proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya de ngan jalan menan-tang pihak lawannya yang disertai

Persaingan usaha dan perbe-daan kepentingan ekonomi adalah pemicu utamanya, dan biasanya

sebagian orang yang berasal dari Sukubangsa Dayak mencoba mengkoordinir pengamanan pasar Pahandut bekerjasama dengan Polsek Pahandut, tetapi menggu-nakan tenaga anak muda setem-

76

Oleh : Yanedi Jagau

Dan menurut penuturan dari Pedagang pasar, mereka harus menyetor kepada ormas tertentu sebagai uang keamanan.

Para pemuda ini menye-tor kembali hasil pungutan dari pedagang dan mereka dibayar oleh organisasi sesuai dengan aturan yang ada dalam organisasi. Pere-butan lokasi berdagang adalah sumber masalah yang membuat pertentangan di Palangka Raya meluas tak terkendali, kemudian para preman yang tidak mengerti pokok persoalan dipergunakan kekuatan ototnya untuk memper-tahankan kepentingan dari pihak yang membayar preman tersebut.

Pada konflik etnis tahun 2000, beberapa organisasi formal mempergunakan anak –anak muda yang dianggap berani mem-bela kepentingan orang-orang ter-tentu yang meng aktifkan atribut kesukubangsanya dengan demiki-an muncul rasa primordial yang sempit pada kalangan anak muda ini.

Setelah Sukubangsa Madura tidak lagi menjaga keamanan pasar maka preman yang mengak-tifkan atribut Sukubangsa Dayak yang disebut “PASUS” mengganti-kan kedu dukan orang terdahulu

dan melakukan pekerjaan yang prinsipnya hampir sama dengan orang terdahulu tadi. Perten-tangan muncul karena kesenga-jaan preman yang mengganggap tidak sesuainya setoran para pedagang ataupun juga karena ketidaksengajaan semisal preman yang tersenggol badannya oleh pedagang yang sebenarnya hal kecil dapat berujung kekerasan yang meluas dengan cepat.

Patron Klien di Pasar Pahandut

Pertalian patron-klien di Pasar Pahandut umumnya ber-langsung pada kalangan peda-gang kaki lima, karena bersifat saling menguntungkan dua pi-hak. Keuntungan yang diperoleh dalam pertukaran tersebut relatif menguntungkan klien ketimbang patron.

Patron yang berpengaruh terhadap pedagang kaki lima di pasar adalah selalu bergelar Haji, sebagai predikat dan kedudukan seseorang yang disegani dalam aspek keagamaan sekaligus juga dianggap sebagai orang yang mampu secara ekonomi. Biasanya pedagang grosir pakaian yang ternama akan berposisi dan atau

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Berdagang di Antara Jalinan Sukubangsa Dayak dan Banjar di Pasar Pahandut Palangka Raya

77

terposisikan sebagai patron. Setiap ada permasalahan

pedagang kaki lima yang mengam-bil barang kepada Bapak Haji akan menyampaikan segala se-

suatu tentang bisnis dan perma-salahannya. Pedagang kaki lima yang mempunyai hubungan de-ngan patron menunjukkan tanda-tanda ketergantungan ekonomi yang erat dengan patron. Untuk mereka yang memiliki hu bungan secara tetap maka hubungan patro n klien juga makin kuat.

Hubungan pedagang toko/warung dengan pedagang kaki lima dan lapak nampaknya tidak terlalu kuat terutama pada saat pedagang mendapatkan lokasi lapak. Para pedagang dapat men-jual atau memberikan lapak itu kepada pengelola lapak, tetapi dalam keseharian ada kesepa-katan saling memahami antara pedagang dan pengelola lapak.

Peranan patron atau koor-

dinator pedagang kaki lima adalah mem bangun kesepakatan yang tidak tertulis namun sebagai pe-doman para pedagang kaki lima saat berdagang. Setiap patron

yang memimpin mempunyai gaya dan selera serta aturan yang ber-beda dalam mengkoordinir klien-nya. Patron mempunyai “daerah kekuasaan” sendiri yang diakui oleh pihak lain yang juga berperan sebagai patron.

Pembagian dan pengakuan daerah kekuasaan serta kesepa-katan untuk tidak saling meng-gangu diantara patron tersebut menjadi sangat penting agar tidak terjadi rebutan area semisal areal parkir motor dan mobil. Kondisi ini menyebabkan pedagang kaki lima bergantung pada patron.

Permodalan Usaha

Pedagang mendapatkan mo-dal usaha dari milik sendiri dan

Biasanya pedagang grosir pakaian yang ternama akan berposisi dan atau terposisikan sebagai patron.

78

Oleh : Yanedi Jagau

dari milik orang lain lewat cara meminjam. Modal milik sendiri ber-asal dari tabungan maupun bagian keun tungan yang disisihkan dari menjual barang. Peminjaman di kalangan pe dagang eceran dan kaki lima berbeda dengan pemin jaman yang dilakukan oleh organisasi

Modal Sendiri

Modal sendiri adalah yang berasal dari tabungan maupun dengan cara menjual barang yang dianggap berharga milik keluarga. Pedagang tipe seperti ini tidak

kalaupun meminjam akan berpikir yang lama.

Fasilitas kredit yang dise-diakan Bank tidak dapat mere-ka jangkau karena keruwetan adminis trasi dan memerlukan ga-ransi yang ketat. Karena te kanan ekonomi dan i ngin mengembang-kan usaha secara mudah dan cepat pedagang tipe ini akan bera-lih ke rentenir atau periba uang.

Modal dari Pinjaman Rentenir

Umumnya mereka memin-

modal--meminjam de ngan be-ban bunga yang beragam ter-gantung pada jumlah pin jaman dan lama pengembalian ang-suran.

Cara yang lazim ditempuh pedagang ialah meminjam Rp.

-likannya menyicil harian mem-

waktu satu bulan diharapkan lunas. Bunga yang dibebankan adalah 20% dari total pinjaman. Alternati f lainnya mencoba memberi tempo dua bulan (60 hari).

Meminjam dari Teman Satu Sukubangsa dan Satu Kampung

Peminjaman uang atas dasar kesetiakawanan dan fak-tor kekerabatan berlangsung karena yang meminjam dan di-pinjam masih dalam lingkaran keluarga. Cara ini dirasa paling ringan bagi pedagang pemula—mereka tidak perlu membayar bunga dan tanpa ada batas waktu yang ketat. Pendatang baru dalam berdagang dilatih berdagang untuk menjadi ahli berdagang melalui pemberian modal.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Berdagang di Antara Jalinan Sukubangsa Dayak dan Banjar di Pasar Pahandut Palangka Raya

79

Penutup

Penulis melihat bahwa nilai-nilai sukubangsa memainkan peran di pasar Pahandut Palangka Raya, diterapkan dalam per-saingan bahkan kerjasama bisnis – atribut sukubangsa diungkap-kan oleh pedagang kepada etnis yang sama atau berbeda dalam masyarakat. Selain itu atribut etnisitas digunakan untuk mem-bedakannya dari kawan atau ang-gota kelompok dan kepada siapa mereka menjadi pesaing. Tampak-

nya hu bungan antar masyarakat sukubangsa di pasar saling meng-golongkan dan membagi peranan dalam corak sosial yang sangat kompleks.

Pemerintah mesti pandai memfasilitasi masyarakat demi terciptanya kerukunan dan ke-harmonisan antar sukubangsa pelaku bisnis jual beli barang dan jasa di pasar Pa handut. Selain itu pemerintah juga memberda-yakan pelaku usaha kecil agar tak terlibas akibat munculnya pasar-pasar modern.

Tampaknya hu bungan antar masyarakat sukubangsa di pasar saling menggolongkan dan membagi peranan dalam corak sosial yang sangat

kompleks.

80

1 Mulanya Agama Kaharingan disebut sebagai Agama Hindu Kaharingan setelah beberapa waktu lalu dintegrasikan ke dalam Agama Hindu. Namun, para penganut Agama Kaharingan menolak integrasi tersebut dengan alasan terdapat perbedaan yang cukup besar antara Agama Kaharingan dengan Agama Hindu Kaharingan. Tulisan ini disusun ulang oleh Pdt. Tahan MC, MTh dari tesis Pdt. Tahan MC, “Liturgi Inisiasi Kanak~kanak dalam Ritus Upacara Nahunan” (Kontekstualiusasi Liturgi Inisiasi Anak di Jemaat Tanjung Talio, Resort GKE Palangkaraya Hilir), 2008. Tanjung Talio adalah nama yang dikenal di kalangan orang Kristen, Desa Bukit Pinang lebih dikenal oleh kalangan pemerintah. Tanjung Talio terletak sekitar empat kilometer dari jalan utama menuju bandar udara Tjilik Riwut Palangka Raya.

2 Upacara mengantarkan roh si mati ke negeri Tatau Habaras Bulau semacam ‘surga’. Di beberapa daerah penyebutan upacara Tiwah terdapat perbedaan. Bagi Suku Dayak Maayan disebut Ijambe, bagi Suku Dayak Tabuyan, Suku Dusun Malang menyebutnya Wara, dst.

Upacara Nahunan dalam Pandangan Beberapa Tokoh Kaharingan: Studi

Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang1

Oleh : Pdt. Tahan MC, MTh

Pendahuluan

Secara umum, Suku Dayak Ngaju memiliki berbagai macam upacara. Beberapa upacara yang tergolong besar seperti perka-

winan, kematian, dan Tiwah atau upacara mengantar arwah orang mati ke Lewu Tatau Habaras Bulau (Surga).2 Upacara-upacara adat besar ini harus dipimpin oleh seorang Balian atau Basir.

Oleh : Pdt. Tahan MC, MThJurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013

Upacara Nahunan dalam Pandangan beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang

81

Pada zaman dulu upacara Na hunan tergolong upacara besar. Menurut Ukur, pada waktu lalu upacara Nahunan dilakukan atas orang Dayak Ngaju waktu anak mereka berumur empat sampai sepuluh tahun. Upacara Nahunan saat itu tergolong upacara besar dan dipimpin oleh balian, an-tara lima sampai sembilan orang balian. Ukur menggambarkan urutan ritusnya sebagai berikut:

Sebuah perahu yang disebut Banama Tingang diturunkan ke su ngai. Di tengah perahu ditem-patkan daun sawang yang dike-lilingi oleh benda-benda lainnya. Perahu ini didorong ke tempat yang dianggap “Labehun Jata” (Pela-buhan Jata) dan di sanalah air di-

ambil lalu dimasukkan dalam tem-payan khusus. Air ini kelak diper-gunakan untuk baptisan. Setelah perahu kembali, para balianpun naik ke darat. Sebuah tempayan tanah diisi dengan air dari tepian tersebut lalu dicampur dengan air dari Labehun Jata tadi. Kemudian upacara penyucian sungai tempat upacara baptisan dilakukan.

Air yang telah bercampur dalam tempayan tadi dipercik dengan darah binatang kurban. Si anak yang akan dibaptiskan diba-wa ke tepi sungai dan didudukkan di atas sebuah gong. Para balian yang mengelilingi tempayan air meludahkan kinangan dari mu-lut mereka ke dalam tempayan, sehingga air tersebut berwarna merah. Air yang telah berwarna merah itu lalu digosok di seluruh tubuh si anak. Barulah kemudian anak itu masuk ke dalam air di sungai dengan diapungkan oleh dua buah tempayan kosong agar tidak tenggelam dan di dalam ait itu si anak membersihkan tubuh-nya. Setelah bersih dan anak itu naik ke darat, dilanjutkan dengan upacara penguatan roh si anak. Kepadanya diberikan kalung dari berbagai batu mulia dan kepala-nya ditaburi beras.3

3 Fridolin Ukur, Tantang Jawab Suku Da-yak, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1971), 98-99. Ditulis ulang oleh penulis dengan kata-kata yang disesuaikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Huruf miring dari penulis. Bnd. Tjilik Ri-wut (Nila Riwut dan Agus Fahri Husein, ed.), Kalimantan Membangun: alam dan Kebudayaan,(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993), 320-321. Menurut Riwut, pada zaman dulu upacara Nahunan di-lakukan selama tujuh hari, tujuh malam. Jumlah hari tersebut sejajar dengan jumlah hari pelaksanaan upacara adat besar lainnya dalam tradisi suku Dayak, seperti perkawinan, balaku untung, dan balian Hai.

82

Namun, pada masa kini, upa-cara Nahunan sudah tidak lagi dianggap sebagai upacara adat besar. Upacara Nahunan meru-pakan salah satu upacara yang ber-

kaitan dengan kehidupan dan pada masa kini, yang paling berperan dalam memimpin upacara Nahunan adalah “Bidan Kampung”4 beserta orangtua si anak dan keluarganya.5 Dalam hal ini, terlihat bahwa keha-diran tokoh agama seperti balian dalam upacara Na hunan dianggap tidak terlalu penting. “Bidan Kam-

pung” dan orangtualah yang sangat beperan, di samping masyarakat sekitarnya.

Upacara Nahunan dicantum-kan dalam Kitab Suci Agama

Kaharingan yakni Panaturan dan ditegaskan juga oleh para pemimpin Agama Kaha ringan. Berdasarkan pengamatan penulis, terdapat per-bedaan pendapat mengenai detail pelaksanaan upacara Nahunan an-tara tokoh Kaharingan satu de ngan lainnya. Beberapa persyaratan yang biasanya digunakan di daerah ter-tentu, belum tentu diberlakukan di daerah lainnya. Demikian pula dengan urutan upacaranya.

I. Upacara Nahunan dan Upacara lainnya yang berkaitan dengan Upacara Nahunan

Berdasarkan Kitab Panaturan

Upacara Nahunan tergolong upacara yang dilakukan pada masa kanak-kanak. Upacara Nahunan hakikatnya adalah “Upacara Pem-berian Nama” seperti yang tercan-tum dalam Panaturan.6 Meskipun

Oleh : Pdt. Tahan MC, MTh

4 Sebutan yang dikenakan pada bidan atau orang menolong persalinan yang tidak berlatar belakang medis.

5 Thian Agan, Wawancara, Palangka Raya, 17 Juli 2007; Simal Penyang, Wawancara, Palangka Raya, 17 Juli 2007; Indu Duyak, Wawancara, Tanjung Talio, 16 Nopember 2007. Dalam penelitian Atria juga menun-jukkan bahwa Bidan Kampung menjadi pemimpin dalam upacara Nahunan, lihat dalam Atria, “Makna Upacara Nahunan Dalam Agama Kaharingan Suku Dayak Ngaju”, Makalah D III (Banjarmasin: STT-GKE, 2003), 15.

6 Kitab Suci Agama Hindu Kaharingan.

Upacara Nahunan dicantumkan dalam Kitab Suci Agama Kaharingan yakni Panaturan dan ditegaskan juga oleh para pemimpin Agama Kaha ringan.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Upacara Nahunan dalam Pandangan beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang

83

demikian, upacara tersebut tidak sekedar upacara pemberian nama semata, tanpa ada makna yang mendalam. Di dalamnya terkan-dung makna teologis dan sosial. Secara sosial, upacara ini sebagai inisiasi dan wujud kebersamaan antar keluarga serta masyarakat yang terlihat dalam suasana go-tong royong mempersiapkan upa-cara tersebut. Selain itu, upacara tersebut juga bermakna teologis yakni penye rahan diri kepada Yang Ilahi.

A. Upacara Tiga Bulan Kehamilan

Panaturan juga menjelas-kan bahwa sebelum memasuki upacara Nahunan, terdapat upa-cara lainnya yang dimulai dari tiga bulan usia kehamilan atau disebut sebagai upacara Paleteng Kalangkang Sawang, seperti yang dituliskan dalam Pasal

20 ayat 13 yang berbunyi:Jadi sukup bulan tagale,

genep bintang patendue, nduan telu bulan tanggar langit Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan handiwung ka nyurung pusue, hete Manyemei Tunggul Garing jan-juhan Laut malalus kakare gawi

tumun peteh RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU, Paleteng Kalangkang Sawang manyadiri, akan tihin bu-lan bambaie.

(terjemahan dalam Bahasa In donesia)

Sudah tiba saatnya, ge-nap tiga bulan langit, Kameluh Puta Bulau Janjulen Karangan mengan dung anaknya, maka Manyamei Tunggul Garing Jan-jahunan Laut, melaksanakan semua upacara yang sudah di-pesan oleh RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU, yaitu: Melakukan Upacara Pa-leteng Kalangkang Sawang, untuk kandungan isterinya.7

Meskipun demikian, upa-cara tiga bulan usia kehamilan ini sudah jarang dilakukan secara umum oleh umat Kaharingan sendiri.8 Upacara ini sebenarnya cukup penting dan wajib dilaku-kan sebagai sebuah ritual yang

7 Majelis Besar Agama Hindu Kaha-ringan, Kitab Panaturan (Palangkaraya: MBAHK,2007), 88.

8 Indu Duyak, Wawancara, Tanjung Talio, 24 Nopember 2007.

84

seharusnya dijalani oleh seorang warga Suku Dayak Ngaju.

B. Upacara Tujuh Bulan Kehamilan

Selain itu, pada bulan yang ketujuh, dilakukan lagi suatu upacara yang disebut sebagai Manyaki Ehet. Menurut kutipan dalam Panaturan Pasal 20 ayat 14 tertulis,

Kalute kea amun jadi sukup katahi tinai, nduan uju bulan tang-gar langit, Manyamei Tunggul Ga-ring Janjahunan laut malalus pe-teh mandehen RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU, ie manyaki Ehet palus manyadia Sangguhan Manak akan bulan bawi bambai Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan.

Demikian pula apabila su-dah saatnya tujuh bulan langit, Ma nyamei Tunggul Garing Jan-jahunan Laut, melaksanakan lagi pesan RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU menyaki ehet isterinya lang-sung mempersiapkan Sangguhan Manak, yaitu: Tempat melahir-kan untuk isterinya Kameluh

Putak Bulau Janjulen Ka rangan.9

Upacara ini meliputi pembe-rian ehet dari si suami (Manyamei) dan mempersiapkan peralatan yang akan digunakan dalam masa kelahiran istrinya nanti. Upacara ini juga sudah jarang dilakukan oleh orang Dayak Ngaju sendiri, kecuali mereka yang berada di pedalaman Kalimantan dan mere-ka yang masih memegang teguh kepercayaan Kaharingan.

II. Upacara Nahunan

Bila memerhatikan bunyi Kitab Panaturan Pasal 20 ayat 17, terlihat bahwa berdasarkan ekspresi tersebutlah maka Manya-mei melaksanakan upacara Na-hunan sebagai janji atau nazar kepada Yang Ilahi dan secara singkat upacara Nahunan dipa-hami sebagai upacara pemberian nama..

Ayat 18 berbuyi:Ie Manyamei Tunggul Garing

Janjahuan Laut Maluput hajat miat umba RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU, palus malalus gawi Nahunan ma-nampa gangguranan aran anake sintung telu.

Terjemahanannya : Maka

Oleh : Pdt. Tahan MC, MTh

9 Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, op. cit, 88.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Upacara Nahunan dalam Pandangan beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang

85

Manyamei Tunggul Garing Jan-jahunan Laut menyampaikan kurban suci kepada RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU, sekaligus melaksanakan upacara Nahunan, yaitu: Upacara pemberian nama bagi ketiga ba-yinya.10

Hal itulah juga yang dise-butkan dalam penjelasan yang ditulis oleh tokoh Agama Hindu Kaha ringan, Thian Agan. Agan menyatakan bahwa rangkaian upacara Nahunan merupakan upacara yang dimulai sejak uju bu-lan atau tujuh bulan. Kete rangan tersebut agak berbeda dengan penjelasan yang terdapat dalam Kitab Panaturan. Upacara ini juga diajarkan di sekolah-sekolah Agama Hindu Kaharingan.11

A. Upacara Nahunan Menurut Beberapa Tokoh Kaharingan

Menurut Thian Agan,12 ada empat upacara yang biasanya di-lakukan oleh Suku Dayak Ngaju berkaitan dengan upacara Nahu-nan, sesuai dengan pengetahuan yang diwa risinya. Upacara-upa-cara tersebut yakni Upacara Uju Bulan Uluh Bawi Ije Batihi, Katika Awau Lahir, Awau Lumpeng Puser,

dan Nahunan.13

Di dalam Panaturan tidak dibahas secara detail mengenai pelaksanaan upacara Nahunan tersebut. Dalam penelitian se-belumnya (Atria: 2003 maka-lah dan Liliyanti: 2007 skripsi), telah digambarkan secara jelas bagaimana praktik upacara Na-hunan dilakukan di kalangan Suku Dayak Ngaju. Agar tidak mengu lang penelitian-penelitian itu, maka penulis menambahkan versi Suku Dayak Ngaju yang disusun oleh Basir Handepang Telun, Thian Agan, sambil mem-bandingkannya dengan pendapat beberapa tokoh lainnya. Dalam kedua penelitian di atas kurang

10 Ibid., 89.

11 Upacara ini diajarkan sejak orang Dayak masih ada dalam usia muda, di sekolah-sekolah tertentu. Lihat dalam Rangkap Inau, dkk: Tim Penyusun Buku Pela jaran, Agama Hindu Kaharingan (Palangka Raya: tanpa tahun dan penerbit), 14 dst.

12 Beliau adalah salah satu Balian atau imam Agama Hindu Kaharingan yang menuliskan pengetahuannnya. Sebuah buku juga dituliskannya secara khusus mengenai tata cara upacara Nahunan.

13 Thian Agan, “Upacara Nahunan” (Palangka Raya: tidak diterbitkan, 1990), 1-7.

86

dijelaskan upacara pra-Nahunan ini.

Upacara yang dilakukan sebelum upacara Nahunan pada dasarnya terdiri atas beberapa bagian yang akan digambarkan berikut. Dalam wawancara yang penulis lakukan, tokoh Kaha-ringan lainnya tidak menjelaskan sedetail Thian Agan.14

B. Upacara Pra-Nahunan

1) Upacara Uju Bulan Uluh Bawi Ije Batihi atau Tujuh Bulan Kehamilan15

Upacara ini menurut Agan, terdiri atas dua yakni: 1) Pertama, suami atau mertua si istri yang hamil manenung mangundik, men-cari sahur parapah atau ‘petunjuk Ilahi’ dan menggantung pinggan sahur atau semacam peralatan sesajen. Alat-alat upacara terse-

but akan terus dipelihara sampai anak yang bersangkutan dewasa kelak. 2) Kedua, suami atau mertua istri yang sedang hamil mamalas (manyaki)16 si istri yang hamil dengan persyaratannya an-tara lain: darah babi, lilis manas atau semacam manik-manikan, beras, minyak untuk tampung tawar, minyak harum, air dalam mangkuk tanah, amak pasar, batu asa, Bangkang lasung sulau gara-nuhing (semacam gelang yang ter-buat dari kuningan) akan peteng (untuk mengikat), dan Ehet ime-teng kalingkang kahang (semacam tali temali yang diikatkan di seke-liling pingang).

Sambil memalas, suami atau mertua laki-laki si istri tersebut menga takan:

“Nyakiku tutuktunjuk paim panyarung nanjung nyurung kea tuah rajakim untung ganam (Kuoles ujung kakimu supaya eng-kau banyak rejeki dan beruntung)

ikau manak batihi tuh bujur buah dia haban pehe dia calaka bahaya.

(engkau akan melahirkan de ngan baik dan dijauhkan dari bahaya dan celaka)

Nyakiku likut tatap, mala-patap sial umba belum, nyakiku

Oleh : Pdt. Tahan MC, MTh

14 Tokoh lain misal seperti Bajik Simpei, Wawancara, Palangka Raya, 18 Juli 2007. Rangkap Inau, Wawancara, Palangka Raya, 20 Juli 2007, dan lain-lain.

15 Upacara manyaki ehet yang secara hu-

16 Artinya mengoles.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Upacara Nahunan dalam Pandangan beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang

87

tinai buku laling hila luar maling (Kuoles punggung kaki sebelah luar membuang kesialan dan kuoles mata kaki agar terhindar dari kemalangan)

malewar peres badi sial kawe utang silu bunu hantu. (sakit pe-nyakit kesialan dan hutang)

Nyakiku buku laling hila huang bataling asengm belum aluh menda nyahu batengkung dia (kuoles mata kaki sebelah dalam agar dalam keadaan badai topan)

giring bulum nyaluluk kilat hapantap iseng ginjal tulang.(de-mam atau ketakutan)

Nyakiku tambang takep ha-pam nambang kare uang duit panatau panuhan jawet tuah ra-jaki. (kuoles tanganmu agar dapat mengambil uang serta harta dan beruntung)

Nyakiku utut tantungan tu-lang mangat bunggut aseng be-lum ikau baumur panjang haring (kuoles dengkulmu agar memiliki nafas panjang dan umur panjang) banyamae ambu. Nyakiku rahepan samben hapam naharep kare uluh awang bapangkat bagalar. (kuoles tulang rusukmu agar kuat meng-hadap orang yang berkedudukan)

Nyakiku likut rakuren barum hatalikut ikau dengan kare sial

kawe pali endus dahiang baya (kuoles punggung belakangmu agar engkau dijauhkan dari ke-sialan dan bahaya) utang silih bunu hantu (hutang).

Nyakiku tulang salangkam hapan nyangka hagian peres ba-ratus gangguranan arae. (kuoles tulang selangkangmu untuk me-nolak segala sakit penyakit)

Nyakiku hunjun baham kasampahan panyampah garing mana rantang panyahep sihung malalundung. (kuoles pundakmu agar semua harta kamu peroleh)

Nyakiku balengkung tingang batengkung kambang nyahun ta-rungm belum tatau manyambung. (kuoles lehermu agar dapat hidup dengan kaya dan panjang umur)

Nyakiku pipim mipi hagagian sial kawe peres badi utang silih lau hutus calaka bahaya. (kuoles pipimu agar dijauhkan segala kesialan, sakit penyakit, hutang, bahaya, dan celaka)

Nyakiku tutuk urung hatan-turung ikau dengan kamangat kasanang ha tanturung dengan tuah rajaki. (kuoles ujung hi-dungmu agar kesenangan sam-bung menyambung dengan bere-jeki)

Nyakiku bulu langkang

kamalang kang kambang tarung belum sanang mangat bujur buah. (kuoles alismu agar hidup senang dan baik-baik saja)

Nyakiku pandung lambaran balaum, mahalau sial indang naran tang bitim kawem miham malalun dung balitam, tende batu junjun kare purum mahunjun kam-bang nyahun tarungm belum tatau manyambung mahunjun kea tuah rajakim belum. (kuoles rambutmu agar kesialan terhalau daripa-damu sehingga engkau hidup sejahtera dan selalu mendapat beruntung dan selalu mendapat rejeki)

Kasadingen dahan manuk bawui tuh kasadingen aseng nyaman manak batihi batuah marajaki. (dinginnya darah ayam dan babi ini, begitu juga dingin dan enaknya nafasmu, hamil dan beranak serta beruntung)

Ikau manak manjaria bujur buah, panjang umur aseng, dia pahingen, dia badengan basidok, dia babute babilas, dia kait kamitu anak jariam pintar harati ureh ngalawan. (engkau akan beranak dengan baik, umur panjang, tidak cacat, tidak tuli, tidak buta, ju-ling tidak sakit parah/lumpuh/kaku dan anak-anakmu pandai

serta kuat menghadapi segala sesuatu)17

Setelah itu, upacara dilan-jutkan dengan mameteng Lami-ang/Manas atau mengikat manik-manik (batu-batu mulia) dengan kata-kata:

“Tuh harungkangkuh lamiang bua garing belum hanyang pating perang bahandang ije hatampulu asan batu jalayan hulu danum dia tau hubah handang isen tau layau baluhur. Kalute kea untung ganam tuah rajakim. Imbuwurku behas tuh kilau behas ije tau mangkar manyi wuh nagalan ije supak ije gantang tau narantang pulu kalute ampin tuah rajakim manak man-jaria, uhusku petak sinta kasam-buyan kilau petak ije dia tau rugi una ninjak awi tuan raja jipen tatau nyuhu manyurung jadi bukit panjang kalute kea ampin umur aseng tuah rajakim. Mantisku undus tuh ije malisen ulih hapa mangarak kare gita like kuring kalute. Kea sial kawe pali endus uras bakarak hajamban undus tuh. Akam mangkit sanaman tuh katekang sanaman hambaruam. Meteng ehet tuh kayun panyalem-

17 Thian Agan, “Upacara Nahunan”,... 2-3.

Oleh : Pdt. Tahan MC, MTh

88

bang karuhei mangat manak batihi batuah marajaki anak jariam harati ureh ngalawan.”18

Terjemahannya: Kuikat lami-ang batu mulia yang tidak dapat berubah. Begitu juga keberun-tungan mengikutimu. Beras kuta-bur seperti beras yang jika dima-sak akan menjadi nasi, begitulah rejekimu. Kuoles engkau dengan tanah, selayaknya seperti tanah yang tidak dapat berkurang dan subur. Begitulah panjang umur

dan rejekimu. Ku teteskan mi-nyak yang dapat membersihkan kotoran. Begitulah segala kesialan dilepaskan. Gigitlah besi sebagai tanda penguat jiwa. Ehet diling-karkan agar dapat melahirkan

dan keturunanmu nanti pintar ha-rati.19 Secara singkat, makna nya meminta berkat kepada Tuhan agar “si hamil” selalu mendapat untung, sehat, memiliki anak yang sehat, dan terhindar dari kesialan dan malapetaka.

2) Katika Awau Lahir20 atau Upacara Kelahiran

Upacara ini cukup penting dalam lingkup Suku Dayak Ngaju. Menurut Agan, suami yang ber-

sangkutan haruslah hadir saat si istri tiba waktunya melahir-kan. Menurut Agan, kehadiran si suami atau calon ayah adalah manumun sapuna atau sudah sepa tutnya.21 Kehadiran ini sangat penting menunjukkan keperdu-lian seorang suami atas istrinya yang berjuang untuk melahirkan anaknya.

Selain itu, tambuni atau ari-ari bayi harus diperlakukan dengan baik seperti halnya pahari atau “saudara” si bayi. Biasanya ari-ari bayi itu dibekali dengan alat menginang (sirih dan pinang),

18 Ibid., 4.

19 Diterjemahkan bebas oleh penulis. Kata pintar harati sulit diterjemahkan ke dalam

pandai dan memiliki hikmat. Mungkin bisa berarti hikmat dari Tuhan.

20 Awau berarti bayi

21 Lengkapnya lihat dalam Ibid., 5.

Selain itu, tambuni atau ari-ari bayi harus diperlakukan dengan baik seperti halnya pahari atau “saudara” si bayi.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Upacara Nahunan dalam Pandangan beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang

89

rokok, beras, dan dupa. Tambuni tersebut disimpan dalam sebuah periuk kecil yang digantung, atau dikubur, atau dihanyutkan di air dengan layak.22

3) Awau Lumpeng Puser

Lumpeng Puser berarti bekas potongan tali pusat si bayi telah sembuh dan terlepas.23 Pada saat itu, si bayi biasanya dibawa ke de-pan rumah dan dibawa berjalan-jalan di bawah pepohonan. Seekor ayam dikorbankan untuk mama-las tali pusat tersebut. Saat itu juga ayah-ibu si bayi harus me-rencanakan upacara Nahunan.24

B. Upacara Inti Nahunan

1) Persiapan Upacara a) Keadaan Fisik Bayi

Upacara Nahunan boleh dilakukan ketika si bayi sudah lumpeng puser atau terlepas-nya ujung pusat si bayi setelah dipotong sewaktu melahir-kan. Dalam keadaan tertentu, kadang-kadang juga dilakukan setelah si anak telah beru-mur satu tahun25 atau tergan-tung kesiapan keluarga yang bersangkutan. Namun, Indu

Duyak lebih menganjurkan agar kepada anak-anak sesegera mungkin dilakukan upacara Nahunan. Hal itu menurutnya akan lebih baik ket imbang menunda-nunda.26

b) Keadaan alamSebenarnya tidak ada aturan

tertulis yang menandakan bahwa dalam keadaan tertentu upacara Nahunan dilaksanakan. Namun, biasanya persiapan upacara terse-but dilakukan jauh-jauh hari. Oleh sebab itu, ada kegiatan mangun-dik dan menenung.27 Menurut ke-terangan Atria, upacara Nahunan

22 Ibid.

23 Dunis, Wawancara, Palangka Raya, 18 Nopember 2007.

24 Agan, “Upacara Nahunan”, 6.

25 Simal Penyang, Wawancara, Palangka Raya, 17 Juli 2007. Thian Agan, Wawan-cara, Palangka Raya, 18 Juli 2007.

26 Indu Duyak, Wawancara, Tanjung Talio, 24 Nopember 2007.

27 Agan, “Upacara Nahunan”, 1. Upacara semacam upacara kecil dalam mencari waktu yang tepat dalam melaksanakan sesuatu kegiatan.

Oleh : Pdt. Tahan MC, MTh

90

dilaksanakan seiring munculnya bulan baru dan lebih ideal lagi saat bulan purnama.28 Kemun-culan bulan purnama menanda-kan bahwa besok paginya upacara Nahunan dapat dilaksanakan. Upacara Nahunan biasanya di-lakukan pada pagi hari sampai saat makan siang. Kadang-kadang sampai sore hari.29

c) Peralatan Upacara30

c.1 Manatap Kayu Lawas (Menyiapkan Kayu Bakar)

c.2 M a n y a d i a b e h a s bumbu sayur (Bumbu dapur dan sayuran)

c.3 Bawui Manuk dan seterusnya (Babi dan ayam)

c.4 Sirih pinang akan sim-pa (alat dan bahan menginang)

c.5 Pinang mangur i je katampung akan sim-pan puser (Pinang muda)

c.6 Dawen Kajunjung, dawen kanaruhung dan Sungkup 7 (uju) ka dawen tiap macam (Daun Kajunjung dan Kanaruhan, masing-

masing tujuh lembar)c.7 Tali tengang isin pisi,

tali tengang te akan parambut (Tali dan ma ta pancing sejenis simbol alat pancing)

c.8 S a w a n g 3 1, u w e i , Rabayang jala jang-kut, tutup katip tasal batu, lakar. (Daun sawang, rotan, kelam-bu dan alat-alat me-masak)

c.9 Pang inan tambak katupat hampatung sadiri intu kalaya. (Ketupat sesajen dan patung dari tepung)

c.10 Mangkuk sarangan

28 Atria, op.cit., 19.

29 Indu Duyak, Wawancara, Tanjung Talio, 24 Nopember 2007.

30 Agan. “Upacara Nahunan”, 7. diterje-mahan oleh penulis.

31 Sejenis tumbuhan yang biasanya di-gunakan dalam upacara adat. Bentuk daunnya memanjang dan warna daun-nya ada yang berwarna merah dan hijau. Batangnya berbuku memanjang seperti batang kelapa, tetapi besarnya seperti gagang sapu.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Upacara Nahunan dalam Pandangan beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang

91

juhun simpa, danum huang mangkuk (Air dalam mangkuk)

c.11 Kiap eka sirih pinang simpan puser (penam-pi untuk menyimpan tali pusat yang ujung-nya akan terlepas)

c.12 Tanggui layah tege hampatung palawi damek pimping (Topi lebar khas Dayak dan patung dari kayu ringan)

c.13 Sampung Tuyang, tu yang dengan tali tu yang (tali untuk menga yunkan anak-anak kalau mau tidur)

c.14 Panginan masak man-ta hampatung pasak katupat tanteluh ma-nuk (Makanan yang masak dan mentah berupa ketupat dan telur ayam).

c.15 Bangu eka kawu, ba ngu eka sikur ja-rangau dawen tuwe. (Batok kelapa tempat abu dan daun tuba)

c.16 Pisau lantik ije bahalai

entang awau (Parang dan sebuah kain pan-jang untuk menggen-dong bayi)

c.17 Amak Pasar eka ba-ga wi atawa Nahunan (se buah tikar)

c.18 Bandera dan be nang lalangit . Mangkuk tawur garu manyan parapen eka barah apui. (Sebuah bendera dan mangkuk berisi kemenyan)

c.19 Apar ije panginan sa-hur parapah dengan kain lapik. (Alas untuk menaruh makanan)

B.2. Pelaksanaan Upacara

B.2.1 Persiapan AwalPelaksanaan upacara Na-

hunan dilakukan setelah semua peralatan upacara lengkap. Ben-dera dipasang di depan rumah se-belah kanan. Benang lalangit dipa-sang pada tangga. Daun Sawang diletakkan di depan rumah pula. Sesajen ditaruh pada sebuah gong atau tempat lain yang layak. Lalu babi dan ayam yang akan dibunuh sebelumnya diberi kemenyan.32

Babi dan ayam dipotong 32 Agan “Upacara Nahunan”, 8.

Oleh : Pdt. Tahan MC, MTh

92

tersebut kemudian disembelih. Batang Sawang dan uwei Ra-nying Bunu didirikan, serta Jala jangkut disiapkan, untuk ke-mudian diletakkan di sekeliling Batang Sawang beserta sedikit makanan yang telah dimasak. Sesajen dan peralatan itu ditu-jukan untuk dipersembahkan pada Putir Santang (Dewi Ke-selamatan).

B.2.2. Manawur33 Bidan yang menolong persa-

linan disaksikan orang tua si anak mulai pelaksanaan. Tukang tawur pun mulai manawur narinjet sa-hur parapah awau palus narinjet Putir Santang akae umba hadurut. Buah pinang muda dipetik sambil mengucapkan,

“Mantekan, malekak kare sial kawe pal i endus utang silih peres badi burek sangkek heuk hengai. Mantekan tinai mantekan mengkak kare ka-buntat kabureng mengkak ka-humung kamameh.”34 (Secara ringkas artinya melepaskan se-gala kema langan, tabu, hutang, sakit penyakit. Melepaskan se-gala kebodohan).

Hal itu dilakukan seba nyak tiga kali. Buah pinang yang

jatuh dibuang sedangkan yang tidak jatuh diambil untuk simpa atau menginang. Bidan sendiri menginang dan kinangannya diusapkan pada diri bayi sam-bil menga takan: “Natemangku iweh tingang uju taeuk lunuk ije hasambalut aseng darah belum bulau tampung buhul untung panjang tuah rajaki”. (artinya agar anak tersebut seperti burung tingang35 yang panjang umur, hidup rukun da-mai dan banyak rejeki). Semua sisa menginang semua orang yang hadir diikat jadi satu de-ngan mata pancing yang diikat dengan daun Kajunjung, daun Sungkup dan ujung pusar bayi yang telah terlepas tersebut diikat bersamaan. Menurut be-

33 Upacara ini biasanya dilakukan dengan menggunakan media beras. Tujuannya adalah menyampaikan permintaan pada Sangiang atau Yang Ilahi. Martin Baier “Upacara Tawur dan Tantolak Matei“ Bahan Kuliah Agama Suku, STTGKE, 25 Nopember 2006.

34 Agan, “Upacara Nahunan”, 9.

35 Nama burung yang sudah hampir pu-nah, sejenis burung Enggang. Seringkali juga dikaitkan dengan mitos-mitos orang Dayak.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Upacara Nahunan dalam Pandangan beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang

93

berapa keterangan yang penulis peroleh, ampas hasil ki nangan ini menjadi sarana untuk meramal-kan nama si bayi, apakah baik atau tidak.36

B.2.3. Si Bayi Digendong ke Sungai atau Air

Selanjutnya, si bayi digen-dong oleh bidan sambil memakai tanggui layah, semacam topi tradisonal Suku Dayak Ngaju dan sebilah pisau lantik. Si bayi dibawa ke depan pintu. Sebelum-nya, seorang anggota keluarga menaburkan abu sambil berkata, “Mangawu matan kare sial kawe, pali endus dahiang baya, peres badi, utang silih lau hutus ka-singen dereh danum”37 (melepas-kan segala malapetaka, penyakit, hutang, kelaparan, di seluruh wilayah sungai).

Si ayah mengikuti di belakang

bidan, sambil membawa tombak atau sumpit dan daun sawang setelah sebelumnya memberi nama bayinya. Seseorang ditugas-kan membawa kalaya yang berisi hampatung sadiri, hampatung pa-sak panginan masak manta, darah babi dan ayam. Semua peralatan itu dibawa ke sungai dan ditabur-kan pada Bawi Bujang Labata Ra-yung tantan gunting peneng basilu batu desan Jata Balawang Bulau agar tidak menganggu upacara tersebut. Abu, tuwe (tuba), dan hampatung pasak (patung) juga ditaburkan. Pisau lantik (parang panjang) dipakai untuk mahiris (memarang) air sungai.

Baru setelah itu, si anak bayi dimandikan. Si ayah meneteskan air bercampur darah babi melalui tanaman Sawang dan tombak atau sumpit yang dibawa tadi ke kepala si bayi sambil berkata:

“Pantis bulau untung panjang pantis kayun karuhei tuah rajaki umur panjang.” (terjemahannya: Meneteslah keberuntungan dan kemurahan hati, dan rejeki serta

36 Agan, Wawancara, Palangka Raya, 17 Juli 2007. Simal Penyang, Wawancara, Palangka Raya, 17 Juli 2007. bnd. Atria, op. cit., 15.

37 Agan, “Upacara Nahunan”,11.

Menurut beberapa keterangan yang penulis peroleh, ampas hasil ki nangan ini menjadi sarana untuk meramalkan nama si bayi, apakah

baik atau tidak

Oleh : Pdt. Tahan MC, MTh

94

umur panjang).

B.2.4. Si Bayi Digendong Kembali ke Rumah

Setelah itu, bidan menggen-dong si bayi menaiki hejan (tangga atau tempat mandi) ke daratan. Si bayi dituntun untuk menginjak tanah dan menyentuh tanaman dan rerum putan di sekitarnya sambil bidan berkata “mantijak batu sapaunggut belum nekap kayun karuhei, hayak naharep matan andau belum”. (Menginjak batu seumur hidup merasakan kemu rahan senantiasa sambil menghadap matahari terbit).38

3) Tahapan Lanjutan: Dialog di depan Pintu Rumah39

a) Dialog Pertama Bidan kemudian menggen-

dong si bayi kembali ke arah rumah. Seseorang telah menung-gu di depan rumah bertanya ke-pada bidan:Yang bertanya : Datang dari ma-

nakah kamu…(me nyebutkan na-ma bayi)

Bidan : Datang dari me-ran tau di sungai

Yang bertanya : Apa gerangan yang

terjadi?Bidan : Aku tertimpa se su-

atuYang bertanya : T idak apa-apa

(me nyebutkan na-ma bayi) tertim-pa ju ga rejeki dan harta benda pada-mu.

b) Dialog KeduaBidan menaiki anak tangga

rumah yang pertama, orang yang telah dipersiapkan tadi mengaju-kan pertanyaan lagi:Yang bertanya : “Datang dari ma-

nakah kamu?” (me nyebutkan na ma bayi...)

Bidan : Mengembara men -cari nafkah dan mendapat u ang yang ba nyak.

38 Maknanya sebenarnya adalah pengha-rapan dalam kehidupan. Dalam kesem-patan tertentu, telur diinjak oleh si bayi. Simal Penyang, Wawancara, Palangka Raya, 17 Juli 2007. dalam versi Thian Agan ini, dialog antara yang bertanya dengan bidan dilakukan tiga kali tahapan sedangkan menurut Atria empat kali. Bnd. Atria, op. cit., 17.

39 Diterjemahkan dari Agan, “Upacara Na-hunan”, 7-8.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Upacara Nahunan dalam Pandangan beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang

95

Yang bertanya : Apa gerangan yang terjadi?

Bidan : Dahiang hewa balungkang (se-suatu telah ter-jatuh)

Yang bertanya : Diamen hewa ba lungkang He-wan kare kawet ra mu panatau pa nuhan akam.” (Ti dak apa-apa jatuh juga segala harta benda ke pang kuanmu)

c. Dialog KetigaPada anak tangga yang ke-

tiga, dilakukan lagi dialog:Yang bertanya : Datang dari ma-

nakah engkau (menyebutkan na-ma bayi)

Bidan : Datang dari anak istri dan mertua/orang tua, ipar dan sanak famili.

Yang bertanya : Apa ge rangan yang terjadi?

Bidan : Tanah longsorYang bertanya : Tidak apa-apa,

longsor juga se-mua harta benda dan hasil jualan serta kekaya an melimpah ruah jatuh pa damu.

4) Ritus di dalam Rumah

Setelah selesai dengan dialog itu, bidan pun membawa si bayi masuk ke rumah dan si bidan menyentuhkan kaki si bayi pada semua peralatan yang ada di bawah batang Sawang dan bidan menuntun tangan si bayi untuk menggenggam batang Sawang tersebut sebanyak tujuh kali. Si ayah kemudian mengambil si bayi dan menuntun si bayi memegang tiang rumah sambil manukiw dan menghadap matahari terbit. Si anak kemudian diserahkan kepada si ibu yang memangku si bayi40 dan mamalas bayi dengan darah babi, ayam, menabur be-ras, mengikat lilis manas, sambil mengoleskan tanah dan mi nyak sambil mengigit sebatang besi yang telah disiapkan sebelumnya.

40 Biasanya si bayi juga disambut dengan kain yang berlapis tujuh untuk bayi laki-laki dan berlapis lima untuk bayi perem-puan. Indu Duyak, Wawancara, Tanjung Talio,17 Nopember 2007. Lihat juga Atria, op. cit., 18.

Oleh : Pdt. Tahan MC, MTh

96

Setelah selesai si bayi diba-ringkan. Ayah dan ibu si bayi juga memalas bidan sekaligus orangtua bayi membayar laluh lasan41 bidan sambil menyerahkan sehelai baju,

lamiang, buah kelapa, dan sedikit makanan. Jika tahap tersebut telah dilalui, acara tersebut di-anggap selesai. Masing-masing peserta melakukan ritus hasaki hapalas. Dalam keadaan terten-tu, ayah si bayi dapat mengan tar bidan pulang. Sebelum keluar dari rumah, kaki bidan harus disiram dengan air dingin agar “dingin” pula semua pekerjaan yang telah dilakukannya. Urutan upacara di atas pulalah yang dia-jarkan dalam pelajaran muatan lokal di beberapa sekolah yang diajarkan pada generasi muda Kaharingan.42

5) Penutup Upacara dan Makan Bersama

Acara makan bersama adalah kegiatan yang biasa, tetapi sangat sarat dengan ikatan sosiologis bagi Suku Dayak Ngaju. Makan bersama adalah simbol kebersa-

maan dan kekeluargaan. Kegiatan ini dimulai dengan suasana ke-gotongroyongan dalam memasak bersama. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak diperbolehkan

ikut terlibat dalam kegiatan ini. Semua orang diperlakukan sama dalam kegiatan ini.43

Kesediaan menerima dan menyantap makanan dalam ma-syarakat Dayak adalah sebagai lambang penerimaan terhadap komunitas. Sebaliknya, jika tamu atau keluarga yang datang tidak

41 Semacam uang terima kasih.

42 Seperti yang tercantum dalam bahan pe-lajaran siswa SMU, Rangkap Inau, dkk, Agama Hindu Kaharingan untuk SMU kelas 2 (Tanpa tahun, tanpa penerbit), 8 dst.

43 Pada zaman dulu, bila orang bertamu ke rumah seorang Dayak, maka dengan sendirinya disediakan makanan. Tuan rumah akan merasa senang jika tamu memakan semua makanan yang dihi-dangkan. Sebaliknya akan kecewa jika makanan yang dimakan tidak habis. Lihat dalam Tjilik Riwut, Kalimantan Memang-gil, 271.

Acara makan bersama adalah kegiatan yang biasa, tetapi sangat sarat dengan ikatan sosiologis bagi Suku Dayak Ngaju.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Upacara Nahunan dalam Pandangan beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang

97

berapa keterangan yang penulis peroleh, ampas hasil ki nangan ini menjadi sarana untuk meramal-kan nama si bayi, apakah baik atau tidak.36

B.2.3. Si Bayi Digendong ke Sungai atau Air

Selanjutnya, si bayi digen-dong oleh bidan sambil memakai tanggui layah, semacam topi tradisonal Suku Dayak Ngaju dan sebilah pisau lantik. Si bayi dibawa ke depan pintu. Sebelum-nya, seorang anggota keluarga menaburkan abu sambil berkata, “Mangawu matan kare sial kawe, pali endus dahiang baya, peres badi, utang silih lau hutus ka-singen dereh danum”37 (melepas-kan segala malapetaka, penyakit, hutang, kelaparan, di seluruh wilayah sungai).

Si ayah mengikuti di belakang

bidan, sambil membawa tombak atau sumpit dan daun sawang setelah sebelumnya memberi nama bayinya. Seseorang ditugas-kan membawa kalaya yang berisi hampatung sadiri, hampatung pa-sak panginan masak manta, darah babi dan ayam. Semua peralatan itu dibawa ke sungai dan ditabur-kan pada Bawi Bujang Labata Ra-yung tantan gunting peneng basilu batu desan Jata Balawang Bulau agar tidak menganggu upacara tersebut. Abu, tuwe (tuba), dan hampatung pasak (patung) juga ditaburkan. Pisau lantik (parang panjang) dipakai untuk mahiris (memarang) air sungai.

Baru setelah itu, si anak bayi dimandikan. Si ayah meneteskan air bercampur darah babi melalui tanaman Sawang dan tombak atau sumpit yang dibawa tadi ke kepala si bayi sambil berkata:

“Pantis bulau untung panjang pantis kayun karuhei tuah rajaki umur panjang.” (terjemahannya: Meneteslah keberuntungan dan kemurahan hati, dan rejeki serta

36 Agan, Wawancara, Palangka Raya, 17 Juli 2007. Simal Penyang, Wawancara, Palangka Raya, 17 Juli 2007. bnd. Atria, op. cit., 15.

37 Agan, “Upacara Nahunan”,11.

Menurut beberapa keterangan yang penulis peroleh, ampas hasil ki nangan ini menjadi sarana untuk meramalkan nama si bayi, apakah

baik atau tidak

Oleh : Pdt. Tahan MC, MTh

94

umur panjang).

B.2.4. Si Bayi Digendong Kembali ke Rumah

Setelah itu, bidan menggen-dong si bayi menaiki hejan (tangga atau tempat mandi) ke daratan. Si bayi dituntun untuk menginjak tanah dan menyentuh tanaman dan rerum putan di sekitarnya sambil bidan berkata “mantijak batu sapaunggut belum nekap kayun karuhei, hayak naharep matan andau belum”. (Menginjak batu seumur hidup merasakan kemu rahan senantiasa sambil menghadap matahari terbit).38

3) Tahapan Lanjutan: Dialog di depan Pintu Rumah39

a) Dialog Pertama Bidan kemudian menggen-

dong si bayi kembali ke arah rumah. Seseorang telah menung-gu di depan rumah bertanya ke-pada bidan:Yang bertanya : Datang dari ma-

nakah kamu…(me nyebutkan na-ma bayi)

Bidan : Datang dari me-ran tau di sungai

Yang bertanya : Apa gerangan yang

terjadi?Bidan : Aku tertimpa se su-

atuYang bertanya : T idak apa-apa

(me nyebutkan na-ma bayi) tertim-pa ju ga rejeki dan harta benda pada-mu.

b) Dialog KeduaBidan menaiki anak tangga

rumah yang pertama, orang yang telah dipersiapkan tadi mengaju-kan pertanyaan lagi:Yang bertanya : “Datang dari ma-

nakah kamu?” (me nyebutkan na ma bayi...)

Bidan : Mengembara men -cari nafkah dan mendapat u ang yang ba nyak.

38 Maknanya sebenarnya adalah pengha-rapan dalam kehidupan. Dalam kesem-patan tertentu, telur diinjak oleh si bayi. Simal Penyang, Wawancara, Palangka Raya, 17 Juli 2007. dalam versi Thian Agan ini, dialog antara yang bertanya dengan bidan dilakukan tiga kali tahapan sedangkan menurut Atria empat kali. Bnd. Atria, op. cit., 17.

39 Diterjemahkan dari Agan, “Upacara Na-hunan”, 7-8.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Upacara Nahunan dalam Pandangan beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang

95

Yang bertanya : Apa gerangan yang terjadi?

Bidan : Dahiang hewa balungkang (se-suatu telah ter-jatuh)

Yang bertanya : Diamen hewa ba lungkang He-wan kare kawet ra mu panatau pa nuhan akam.” (Ti dak apa-apa jatuh juga segala harta benda ke pang kuanmu)

c. Dialog KetigaPada anak tangga yang ke-

tiga, dilakukan lagi dialog:Yang bertanya : Datang dari ma-

nakah engkau (menyebutkan na-ma bayi)

Bidan : Datang dari anak istri dan mertua/orang tua, ipar dan sanak famili.

Yang bertanya : Apa ge rangan yang terjadi?

Bidan : Tanah longsorYang bertanya : Tidak apa-apa,

longsor juga se-mua harta benda dan hasil jualan serta kekaya an melimpah ruah jatuh pa damu.

4) Ritus di dalam Rumah

Setelah selesai dengan dialog itu, bidan pun membawa si bayi masuk ke rumah dan si bidan menyentuhkan kaki si bayi pada semua peralatan yang ada di bawah batang Sawang dan bidan menuntun tangan si bayi untuk menggenggam batang Sawang tersebut sebanyak tujuh kali. Si ayah kemudian mengambil si bayi dan menuntun si bayi memegang tiang rumah sambil manukiw dan menghadap matahari terbit. Si anak kemudian diserahkan kepada si ibu yang memangku si bayi40 dan mamalas bayi dengan darah babi, ayam, menabur be-ras, mengikat lilis manas, sambil mengoleskan tanah dan mi nyak sambil mengigit sebatang besi yang telah disiapkan sebelumnya.

40 Biasanya si bayi juga disambut dengan kain yang berlapis tujuh untuk bayi laki-laki dan berlapis lima untuk bayi perem-puan. Indu Duyak, Wawancara, Tanjung Talio,17 Nopember 2007. Lihat juga Atria, op. cit., 18.

Oleh : Pdt. Tahan MC, MTh

96

Setelah selesai si bayi diba-ringkan. Ayah dan ibu si bayi juga memalas bidan sekaligus orangtua bayi membayar laluh lasan41 bidan sambil menyerahkan sehelai baju,

lamiang, buah kelapa, dan sedikit makanan. Jika tahap tersebut telah dilalui, acara tersebut di-anggap selesai. Masing-masing peserta melakukan ritus hasaki hapalas. Dalam keadaan terten-tu, ayah si bayi dapat mengan tar bidan pulang. Sebelum keluar dari rumah, kaki bidan harus disiram dengan air dingin agar “dingin” pula semua pekerjaan yang telah dilakukannya. Urutan upacara di atas pulalah yang dia-jarkan dalam pelajaran muatan lokal di beberapa sekolah yang diajarkan pada generasi muda Kaharingan.42

5) Penutup Upacara dan Makan Bersama

Acara makan bersama adalah kegiatan yang biasa, tetapi sangat sarat dengan ikatan sosiologis bagi Suku Dayak Ngaju. Makan bersama adalah simbol kebersa-

maan dan kekeluargaan. Kegiatan ini dimulai dengan suasana ke-gotongroyongan dalam memasak bersama. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak diperbolehkan

ikut terlibat dalam kegiatan ini. Semua orang diperlakukan sama dalam kegiatan ini.43

Kesediaan menerima dan menyantap makanan dalam ma-syarakat Dayak adalah sebagai lambang penerimaan terhadap komunitas. Sebaliknya, jika tamu atau keluarga yang datang tidak

41 Semacam uang terima kasih.

42 Seperti yang tercantum dalam bahan pe-lajaran siswa SMU, Rangkap Inau, dkk, Agama Hindu Kaharingan untuk SMU kelas 2 (Tanpa tahun, tanpa penerbit), 8 dst.

43 Pada zaman dulu, bila orang bertamu ke rumah seorang Dayak, maka dengan sendirinya disediakan makanan. Tuan rumah akan merasa senang jika tamu memakan semua makanan yang dihi-dangkan. Sebaliknya akan kecewa jika makanan yang dimakan tidak habis. Lihat dalam Tjilik Riwut, Kalimantan Memang-gil, 271.

Acara makan bersama adalah kegiatan yang biasa, tetapi sangat sarat dengan ikatan sosiologis bagi Suku Dayak Ngaju.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Upacara Nahunan dalam Pandangan beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang

97

mau makan, maka dianggap tidak menerima persahabatan bahkan terkesan curiga de ngan masakan yang dihidangkan.44 Selain itu, memasak bersama juga meru-pakan budaya kegotongroyongan Suku Dayak Ngaju yang berguna membangun tali persaudaraan.

Menu yang dihidangkan dalam upacara Nahunan biasanya babi, ayam, dan sayur-sayuran se-perti daun singkong dan lain-lain. Biasanya juga masakan daging babi dan ayam dipisahkan untuk sesajen, selebihnya untuk di-makan bersama. Bagian tertentu seperti paha, hati, dari babi atau ayam itu diambil untuk sesajen.45

Makna Upacara Nahunan1. Makna Teologis

Upacara Nahunan mengan-dung makna teologis yang dalam bagi Suku Dayak Ngaju. Setiap kali upacara ini dilakukan maka terjadi pemulihan juga dalam tatanan kos-mis. Sesuai dengan mitologi yang digambarkan dalam Panaturan, Upacara-upacara Pra-Nahunan dan Nahunan merupa kan peteh46 Ra nying Hatalla dan Jata. Perintah untuk upacara-upacara tersebut sangat jelas ditunjukkan dalam Kitab Panaturan. Menurut Agan jika upacara ini tidak dilakukan maka kehidupan manusia tidak-lah sempurna. Tuhan sendiri tidak

akan memberkati kehidupan yang bersangkutan.47 Jadi ada semacam “kejanggalan” jika upacara ini tidak dilakukan bagi seorang Suku Dayak Ngaju.

Selain itu, upacara tersebut merupakan pemberian nama atau status bagi manusia. Nama bagi umat Kaharingan sangat penting untuk membedakan individu satu dengan lainnya. Menurut Riwut, Nahunan adalah sebuah upacara

44 Tjilik Riwut (Nila Riwut (peny.), Maneser Panatau Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur (Palangka Raya: PUSAKALIMA, 2003), 209.

45 Simal Penyang, Wawancara, Palangka Raya, 17 Juli 2007.

46 Arti etimologis berarti “pesan”, lihat dalam Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, op. cit., 88, 90.

47 Thian Agan, Wawancara, Palangka Raya, 17 Juli 2007.

Nama bagi umat Kaharingan sangat penting untuk membedakan individu satu dengan lainnya.

Oleh : Pdt. Tahan MC, MTh

98

“Pemberian Nama” atau “Pem-baptisan atau Permandian Suci” Kaharingan.48 Menurut informasi Atria, nama tersebut disucikan oleh Ranying Hatalla Langit.49 Oleh sebab itu, saat akan memi lih nama, diadakan manenung ma-

ngun dik, mencari petunjuk dari Tuhan atas layak tidaknya nama yang dipilih tersebut. Salah satu caranya adalah dengan melihat “tanda-tanda” pada hati binatang babi yang dibunuh saat upacara tersebut.50 Nama yang diberikan biasanya dipilih dengan baik oleh orangtua dan kaum kerabat.

2. Makna SosiologisSelain status yang diteguh-

kan sesuai dengan nama yang dipilih, makna sosiologis yang terlihat dalam upacara Nahunan. Setiap anggota keluarga dan kaum kerabat serta para tetangga ikut serta dalam upacara tersebut. Upacara tersebut adalah sebuah “perayaan” bagi masyarakat.

Upacara tersebut biasanya dihadiri oleh kaum kerabat dan terutama bidan atau orang yang

ikut terlibat dalam membantu proses kelahiran si bayi. Pihak-pihak keluarga yang berasal dari agama di luar Kaharingan juga diperkenankan hadir. Keha diran itu dianggap se bagai bentuk ke-perdulian atas ikatan sebagai

keluarga atau masyarakat.51

Perubahan UpacaraPada masa kini, tidak semua

aturan dalam praktik upacara Nahunan yang disebutkan di atas dilakukan secara utuh oleh kalangan masyarakat Dayak,

48 Tjilik Riwut (peny. Nila Riwut), Maneser Panatau Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur (Palangkaraya: PUSAKALIMA, 2003) 543.

49 Dimal D. Daya sebagimana dikutip oleh

Atria, op. cit., 12. Keterangan yang sama dinyatakan oleh Simal Penyang, Wawan-cara, Palangka Raya, 17 Juli 2007.

50 Bajik Simpei, Wawancara, Palangka Raya,

15 Juli 2007. Simal Penyang, Wawancara, Palangka Raya, 17 Juli 2007.

51 Simal Penyang, Wawancara, Palangka Raya 17 Juli 2007.

Pihak-pihak keluarga yang berasal dari agama di luar Kaharingan juga diperkenankan hadir.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Upacara Nahunan dalam Pandangan beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang

99

bahkan di kalangan orang Ka-haringan sendiri. Beberapa ritus dipersingkat dan tidak dilakukan secara detail. Banyak hal yang menyebabkan hal tersebut, an-tara lain:

Perkembangan Upacara dalam Praktik

Perbedaan r i tus terse-but tidak hanya terjadi dalam tatanan teoritis pelaksanaan upacara Nahunan, tetapi juga para tokoh yang memimpin upacara Nahunan. Oleh sebab itu, dalam praktiknya terjadi perbedaan-perbedaan versi pelaksanaan upacara. Sebuah rekaman dalam bentuk compact disc (CD) penulis peroleh dari sebuah keluarga yang melaku-kan upacara Na hunan di tahun 2005 di desa Tanjung Talio. Ada beberapa bagian dari tata u rutan yang tidak sesuai de-

ngan apa yang dijelaskan oleh Thian Agan di atas.52

Dalam rekaman CD yang saya sebutkan tadi ada beberapa bagian ritus yang dihilangkan dan ditambah atau diganti. Ritus-ritus yang dihilangkan seperti dialog di depan rumah dan menyentuhkan tangan si bayi pada tumbuhan di sekitar rumah. Ritus yang ditambah-kan seperti penuturan mite mengenai Sumbu Kurung, asap rokok yang ditiupkan ke bayi, ritus mamalas si bayi, dan si bayi dimandikan di dalam gong yang dibalik, sehingga bagian dalamnya dapat memuat air un-tuk memandikan bayi. Padahal, ritus memandikan bayi biasanya dilakukan di sungai.53

PenutupBagaimanapun, harus diakui

bahwa kekayaan kearifan lokal Su ku Dayak Ngaju yang ada dalam kehidupan masyakarat sa ngat meng gairahkan bagi gene-rasi masa kini. Apa pun yang dilakukan di negeri lain atau di tempat lain, lebih bermakna jika dilihat dari kearifan lokal yang dimiliki masyarakat. Nahunan dengan segala tata aturan dan

52 “Manahunan Anak Bapa Rado” (CD Room, 24 April 2005)

53 Ibid. perbedaan lainnya juga terdapat dalam hasil penelitian lainnya seperti yang dilakukan oleh Liliyanti, Upacara Na-hunan, Skripsi (Banjarmasin: STT-GKE, 2007). 30, dst. Perbedaan juga terlihat dalam jumlah peralatan dan jenis sesajen.

Oleh : Pdt. Tahan MC, MTh

86

100

kearifan lokalnya telah hidup dan berkembang di kalangan masya-rakat Suku Da yak Ngaju. Tinggal

kita mengo lah nilai dan manfaat yang relevan dengan kehidupan masa kini.

Jurnal Borneo Institute (BIT) Tahun 1 Nomor 1/2013Upacara Nahunan dalam Pandangan beberapa Tokoh Kaharingan: Studi Kasus di Tanjung Talio Desa Bukit Pinang

101