FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA AKTIVITAS LUTEAL POST PARTUM BERKEPANJANGAN PADA SAPI PERAH...

32
MAKALAH SEMINAR MANDIRI KOASISTENSI REPRODUKSI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA AKTIVITAS LUTEAL POST PARTUM BERKEPANJANGAN PADA SAPI PERAH DENGAN PRODUKSI TINGGI YANG SECARA KLINIS SEHAT Judul Asli Factors affecting the occurrence of postpartum prolonged luteal activity in clinically healthy high-producing dairy cowsMojtaba Kafi, Abdolah Mirzaei, Amin Tamadon, Mehdi Saeb Oleh Yekhonya Rehuel Sidjabat 13/358755/KH/7974 Dosen Pembimbing : Dr. drh. Surya Agus Prihatno, MP BAGIAN REPRODUKSI DAN KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2014

Transcript of FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA AKTIVITAS LUTEAL POST PARTUM BERKEPANJANGAN PADA SAPI PERAH...

MAKALAH SEMINAR MANDIRI

KOASISTENSI REPRODUKSI

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA AKTIVITAS

LUTEAL POST PARTUM BERKEPANJANGAN PADA SAPI PERAH

DENGAN PRODUKSI TINGGI YANG SECARA KLINIS SEHAT

Judul Asli

“Factors affecting the occurrence of postpartum prolonged luteal

activity in clinically healthy high-producing dairy cows”

Mojtaba Kafi, Abdolah Mirzaei, Amin Tamadon, Mehdi Saeb

Oleh

Yekhonya Rehuel Sidjabat

13/358755/KH/7974

Dosen Pembimbing :

Dr. drh. Surya Agus Prihatno, MP

BAGIAN REPRODUKSI DAN KEBIDANAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014

HALAMAN PENGESAHAN

MAKALAH MANDIRI KOASISTENSI REPRODUKSI

Terjemahan

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA AKTIVITAS LUTEAL

POST PARTUM BERKEPANJANGAN PADA SAPI PERAH DENGAN

PRODUKSI TINGGI YANG SECARA KLINIS SEHAT

Disusun oleh:

Yekhonya Rehuel Sidjabat

13/358755/KH/7974

Telah dipertahankan dalam Seminar Koasistensi Reproduksi pada tanggal

dan diterima guna memenuhi sebagian persyaratan

untuk memperoleh derajat

DOKTER HEWAN

Dosen Pembimbing

Dr. drh. Surya Agus Prihatno, MP.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan terjemahan yang berjudul “Faktor yang

mempengaruhi aktivitas luteal post partum berkepanjangan pada sapi perah

dengan produksi tinggi yang secara klinis sehat”. Terjemahan ini disusun sebagai

syarat untuk memperoleh gelar dokter hewan pada Koasistensi Reproduksi dan

Kebidanan di FKH UGM. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Dr. drh. Surya Agus Prihatno, MP. selaku Dosen pembimbing Koasistensi

Reproduksi dan Kebidanan yang telah banyak membantu dan

membimbing penulis dalam penyelesaian makalah terjemahan ini,

2. drh. Agung Budiyanto, MP., Ph.D selaku koordinator Koasistensi

Reproduksi dan Kebidanan FKH UGM Yogyakarta,

3. Staf laboratorium Reproduksi dan Kebidanan FKH UGM Yogyakarta,

4. Teman-teman kelompok A.13.01 dan semua pihak yang telah banyak

membantu penulis. Atas perhatian dan kerja samanya penulis

mengucapkan terima kasih.

Akhirnya penulis berharap semoga makalah terjemahan ini dapat

memberikan manfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, April 2014

Penulis

iv

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

KATA PENGESAHAN ................................................................................... ii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v

DAFTAR TABEL ........................................................................................... vi

ABSTRAK ...................................................................................................... vii

PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

MATERI DAN METODE .............................................................................. 3

2.1. Hewan ............................................................................................. 3

2.2. Produksi susu, BCS, dan pemeriksaan reproduksi ......................... 4

2.3. Analisis serum ................................................................................ 4

2.4. Definisi ........................................................................................... 5

2.5. Parameter reproduksi ...................................................................... 6

2.6. Analisis statistik .............................................................................. 6

HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 9

3.1. Produksi susu dan fase luteal berkepanjangan ............................... 9

3.2. Skor kondisi tubuh dan fase luteal berkepanjangan ........................ 10

3.3. Metabolit energi serum, progesteron, dan fase luteal berkepan-

jangan ............................................................................................... 12

3.4. Parameter reproduksi dan fase luteal berkepanjangan .................... 13

UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 20

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Mean (±SD) konsentrasi serum α-1 Glikoprotein asam (AGP,

mg/mL) pada sapi perah produksi tinggi yang secara klinis sehat

(●) atau pada sapi dengan fase luteal yang berkepanjangan (■) di

berbagai interval waktu (minggu) setelah calving. ....................... 10

Gambar 2. Hubungan antara kategori puncak produksi susu (kg) dan

kejadian (%) sapi perah produksi tinggi yang secara klinis sehat

dengan fase luteal berkepanjangan (PLP).. ................................... 11

Gambar 3. Mean (± SD) produksi susu (a), skor kondisi tubuh (BCS, b),

dan konsentrasi serum beta-hidroksibutirat (βHB, c) dan non-

esterified fatty acid (NEFA, d) sapi perah berproduksi tinggi

yang secara klinis sehat dengan aktivitas luteal normal (●) atau

fase luteal yang berkepanjangan (■) di berbagai interval waktu

setelah beranak.. ............................................................................ 11

Gambar 4. Mean (± SD) konsentrasi serum progesteron (P4, ng/mL) dari

sapi perah produksi tinggi yang secara klinis sehat dengan

aktivitas luteal normal (●) atau fase luteal yang berkepanjangan

(■) pada interval waktu yang berbeda (d) dari saat beranak.. ....... 14

Gambar 5. Kurva survival waktu untuk inseminasi pertama (a) dan waktu

untuk konsepsi (b) pada sapi dengan aktivitas luteal normal (n =

52; garis utuh) atau fase luteal berkepanjangan (n = 36; garis

putus-putus).. ................................................................................. 16

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Mean ( SD) parameter hasil susu pada sapi perah produksi tinggi

yang sehat secara klinis dengan aktivitas luteal normal (NLA;

n=50) atau fase luteal diperpanjang (PLP; n=36)........................

Tabel 2. Odds ratio dari variabel-variabel termasuk final logistic regression

model untuk sapi perah produksi tinggi dengan fase luteal

diperpanjang .................................................................................

12

13

vii

ABSTRAK

FAKTOR YANG MEMENGARUHI TERJADINYA AKTIVITAS LUTEAL

BERKEPANJANGAN POST PARTUM PADA SAPI PERAH DENGAN

PRODUKSI TINGGI YANG SECARA KLINIS SEHAT

Yekhonya Rehuel Sidjabat

Tujuannya adalah mengetahui faktor risiko yang memengaruhi terjadinya

fase luteal berkepanjangan (PLP) saat postpartum, dengan kondisi sehat secara

klinis, pada sapi perah yang berproduksi tinggi. Pemeriksaan USG transrektal dari

saluran reproduksi dilakukan dua kali seminggu, dari minggu ke-1 sampai ke-8

setelah melahirkan pada 151 sapi Holstein multipara laktasi yang sehat secara

klinis (mean SD puncak produksi susu = 56.7 7.4 kg). Sampel serum

dikumpulkan dua kali seminggu untuk mengukur progesteron dan setiap 2 minggu

untuk mendeteksi ß-hydroxybutyrate (ßHB), dan α1-acid glikoprotein (AGP).

Body Condition Score (BCS) tercatat mingguan setelah kelahiran. Berdasarkan

profil serum progesteron, 52 (34,4%) sapi memiliki aktivitas ovarium normal

(NLA), sedangkan 36 (23,8%) sapi memiliki fase luteal berkepanjangan (PLP),

jenis yang paling umum dari pola abnormal aktivitas luteal. Selain itu, 63 ekor

sapi dengan aktivitas luteal pendek, ovulasi pertama tertunda, atau sista ovarium

diabaikan dari penelitian ini. Konsentrasi AGP serum, sebagai indikasi

endometritis kronis postpartum, tidak berbeda (P > 0,05) antara sapi dengan NLA

dan PLP. Kategori puncak produksi susu (kg) berkorelasi positif dengan kejadian

(%) sapi dengan PLP (r = 0,87, P = 0,02). Selain itu, puncak produksi susu, hari

puncak produksi susu, mean produksi susu (8 minggu dalam susu), dan produksi

susu pada hari yang diharapkan terjadi luteolisis lebih tinggi (P < 0,05) pada sapi

dengan PLP daripada NLA, dan sapi dengan PLP mengalami penurunan BCS (P =

0,007) dibandingkan dengan NLA. Kemungkinan sapi dengan PLP mengalami

penurunan sebesar 0,9 kali lipat untuk setiap 1 hari keterlambatan dimulainya

aktivitas luteal (C-LA). Selain itu, kemungkinan sapi dengan PLP mengalami

peningkatan 1,8 kali lipat untuk setiap kenaikan 1 mmol/L dalam 1 minggu

pertama konsentrasi serum ßHB. Kesimpulannya, rata-rata produksi susu yang

lebih tinggi, penurunan BCS yang lebih besar, C-LA dini, dan kemudian puncak

produksi susu adalah faktor risiko utama yang memengaruhi terjadinya PLP

postpartum pada sapi perah yang secara klinis sehat dan berproduksi tinggi.

©2012 Elsevier Inc. All rights reserved.

Kata Kunci : Fase luteal berkepanjangan; Faktor risiko; Sapi perah produksi

tinggi; Periode post-partum; Siklus estrus

1

PENDAHULUAN

Sapi perah yang berproduksi tinggi telah dipilih untuk menghasilkan lebih

banyak susu, sebagian besar melalui kemampuan mereka untuk memobilisasi

lemak dan otot untuk mendukung produksi susu di awal laktasi. Hal ini

menyebabkan menurunnya Body Condition Score (BCS) dan berhubungan dengan

perubahan dalam metabolit dan profil hormon darah, yang pada gilirannya

memengaruhi kesuburan [1,2]. Meskipun kembalinya aktivitas siklik ovarium

yang normal merupakan hal yang sangat penting, hal itu mungkin terkait dengan

aktivitas luteal abnormal. Dalam studi sebelumnya, berdasarkan air susu yang

dihasilkan atau konsentrasi serum progesteron (P4), negative energy balance

(NEB) dikaitkan dengan kejadian yang lebih besar dari pola aktivitas luteal

postpartum yang tidak teratur [3-7]. Penyimpangan ini terdiri dari ovulasi pertama

yang tertunda [8], fase luteal berkepanjangan (PLP), fase luteal pendek [8,9], dan

sista ovarium [10].

Faktor predisposisi seperti NEB yang lebih besar, infeksi uterus, heat stress,

nutrisi, dan latar belakang genetik dapat meningkatkan terjadinya pola aktivitas

luteal abnormal pada sapi postpartum [4,7,11,12]. Faktor yang berkontribusi

mungkin kurangnya estrogenik folikel dominan pada waktu yang diharapkan

terjadinya regresi luteal [13]. Estradiol dari folikel dominan diyakini akan

menginduksi pembentukan reseptor oksitosin uterus, menyebabkan pelepasan

bertahap prostaglandin F2α (PGF2α) [14 -16]. Banyak faktor yang telah diusulkan

yang memengaruhi peningkatan risiko PLP, termasuk paritas, distokia, masalah

2

kesehatan selama bulan pertama laktasi, heat stress, dan mungkin ovulasi dini

setelah melahirkan [9].

Terjadinya PLP dikaitkan dengan gangguan puerperal uterus seperti

metritis, pyometra, dan endometritis klinis [9,17-19]. Selain itu, Horadagoda et al

[20] melaporkan bahwa dapat juga berhubungan dengan fase akut protein dalam

sapi dengan peradangan, serum amiloid A, dan kenaikan haptoglobin dalam

kasus-kasus akut. Sebaliknya, dalam kasus kronis, α1 acid glikoprotein (AGP)

lebih mungkin meningkat. Pada kelahiran dan selama periode segera setelah itu,

ketika involusi uterus terjadi dan eliminasi kontaminan bakteri, AGP darah

meningkat [21].

Oleh karena itu, kami sengaja memilih sapi perah post-partum yang secara

klinis sehat di sebuah peternakan yang dikelola dengan baik untuk menghindari

efek buruk dari penyakit uterus klinis saat kembalinya aktivitas ovarium. Ini

memberikan kita kemungkinan untuk mempelajari faktor-faktor lain yang

memengaruhi terjadinya PLP pada sapi perah yang berproduksi tinggi. Tujuan

dari penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi faktor risiko yang memengaruhi

terjadinya fase luteal berkepanjangan dalam periode postpartum pada sapi perah

produksi tinggi yang secara klinis sehat.

3

MATERI DAN METODE

The Committee for Animal Experiments of Shiraz University menyetujui

metode eksperimental.

2.1. Hewan

Penelitian ini dilakukan dari Juli hingga September 2005 dan Februari

2008 sampai Mei 2009 pada 151 sapi Holstein yang terdaftar di peternakan

Nemoneh dari Astan e Ghods di Mashad (lintang 36°20’ N dan bujur 59°35’ E,

980 m di atas permukaan laut), di timur laut Iran. Sepanjang tahun, sapi berada di

bawah struktur beratap (free-stall barns) dengan sisi terbuka (zero-grazzing

system), dengan washed sand untuk bedding, dan diberi total ransum campuran),

disusun sesuai dengan NRC 2001. Ransum yang diberikan terutama alfalfa, silase

jagung, beet pulp, biji kapas, kedelai, jagung, dan barley. Sapi yang diteliti adalah

non-musiman, dengan sepanjang tahun dapat beranak. Sapi-sapi diperah dengan

mesin tiga kali sehari. Hanya sapi yang sehat, bebas dari deteksi gangguan

reproduksi dan penyakit klinis selama interval dari minggu ke-1 hingga ke-9

setelah melahirkan, yang digunakan. Pengecualian kriteria adalah gangguan

termasuk distokia, retensi plasenta (selaput janin ditahan lebih dari 24 jam setelah

melahirkan), endometritis dengan jelas terdeteksi, metritis, mastitis, leleran

abnormal dari organ genital, dan penyakit metabolik (misalnya, hipokalsemia

klinis atau ketosis).

4

2.2. Produksi susu, BCS, dan pemeriksaan reproduksi

Produksi susu tercatat mingguan sampai minggu ke-9 postpartum. BCS

(skala 1-5 dengan kenaikan 0,25) tercatat mingguan sampai minggu ke-8

postpartum [22]. Transrektal ultrasound scanning dari saluran reproduksi

dilakukan dua kali seminggu (3 hari terpisah) dari 1 sampai 8 minggu postpartum

untuk menentukan kondisi ovarium. A real-time B-mode ultrasound scanner

(Ultra Scan 900, Ami, Medical Alliance Inc, Montreal, QC, Canada) dilengkapi

dengan 5 MHz, linear-array transducer digunakan. Semua struktur yang terlihat

pada ovarium dicatat. CL dewasa mudah dideteksi karena perbatasanya terlihat

dengan jelas dan memiliki echotexture khas [23]. Palpasi transrektal uterus dan

pemeriksaan visual vagina dilakukan untuk mendeteksi leleran yang abnormal.

2.3. Analisis serum

Sampel darah diambil dari semua sapi, dua kali seminggu dari 1 sampai 8

minggu postpartum, untuk menentukan konsentrasi serum P4, β-hidroksibutirat

(βHB), non-esterified fatty acid (NEFA), dan α1-asam glikoprotein (AGP). Serum

dipisahkan dengan sentrifugasi (10 menit pada 3.000 X g) dan disimpan pada -

22°C sampai diuji.

Konsentrasi serum P4 ditentukan dua kali seminggu menggunakan

radioimmunoassay kit komersial yang tervalidasi (Immunotech kit, Marseille

France). Koefisien intra dan variasi inter-assay (CV) dari tes adalah 5,8 dan 9,0

%, masing-masing. Sensitivitas tes adalah 0,05 ng/mL dan tingkat pemulihan

assay berkisar 85-110%. Serum βHB dan konsentrasi NEFA ditentukan setiap 2

minggu oleh kit D-3-hidroksibutirat dan kit NEFA (Randox Laboratories Ltd,

5

Crumlin, Antrim, UK), masing-masing. Konsentrasi serum AGP diukur setiap 2

minggu oleh imunodifusi radial tunggal, menggunakan kit komersial yang tersedia

(TRIDELTA Development Ltd, Maynooth, County Kildare, Irlandia). Menurut

petunjuk, standar yang tinggi (A: 1.000 µg/mL) dan rendah (B : 250 µg/mL)

terdapat pada setiap gel. Pelat diinkubasi selama 24 jam, dimana diameter cincin

precipitin diukur dengan menggunakan skala pengukuran cincin precipitin.

Diameter dari dua standar digunakan untuk membuat referensi kurva. Interassay

CV standar pada 14 gel < 1 % untuk A (9,0 mm) dan B (5,6 mm). Dari kurva

referensi, konsentrasi AGP masing-masing sampel uji murni dihitung. Ukuran

dari sampel serum presipitasi cincin adalah antara dua standar.

2.4. Definisi

Sapi dengan konsentrasi serum P4 ≥ 1 ng / mL pada pada setidaknya dua

sampling darah berturut-turut yang dianggap memiliki aktivitas luteal [24]. Hari

pertama kenaikan progesteron didefinisikan sebagai hari dimulainya aktivitas

luteal (C-LA). Sapi diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, berdasarkan

karakteristik profil P4 mereka:

1) Kembalinya aktivitas luteal normal (NLA): ovulasi terjadi ≤ 45 hari

setelah beranak, diikuti oleh aktivitas luteal yang berlangsung 10 sampai 19 hari

[5,25].

2) fase luteal berkepanjangan (PLP): jika ovulasi terjadi kurang dari 45

hari setelah melahirkan, dengan satu atau lebih siklus ovarium saat aktivitas luteal

masih berlangsung ≥ 19 hari [26].

6

Sapi yang menunjukkan pola-pola aktivitas luteal postpartum abnormal,

termasuk aktivitas luteal pendek, ovulasi pertama tertunda, dan sista ovarium

[4,7,8] tidak digunakan dari penelitian ini.

2.5. Parameter reproduksi

Performa reproduksi sapi di masa sekarang dievaluasi dengan

menggunakan parameter berikut; interval waktu beranak sampai inseminasi

pertama (hari dari melahirkan hingga inseminasi pertama), interval waktu

melahirkan sampai konsepsi (hari dari melahirkan sampai konsepsi seperti yang

didefinisikan oleh deteksi kebuntingan berdasarkan USG transrektal pada 40 hari

setelah inseminasi), dan inseminasi per konsepsi (jumlah inseminasi yang

diperlukan untuk mencapai satu kali kebuntingan).

2.6. Analisis Statistik

Korelasi kategori puncak produksi susu dengan kejadian sapi perah yang

berproduksi tinggi dengan PLP dianalisis dengan korelasi Pearson. Selain itu,

regresi linier dilakukan untuk menghitung efek kategori puncak produksi susu

pada sapi dengan kejadian PLP.

Dengan rata-rata yang diamati, perubahan produksi susu, BCS, metabolit

energi serum (ßHB dan NEFA), P4, dan konsentrasi AGP di sapi dengan dua pola

aktivitas luteal ditentukan, interaksi yang lebih tinggi dianalisis dengan ANOVA

untuk kemudian diulang menggunakan prosedur GLM dari SPSS (SPSS for

Windows, Version 11.5, SPSS Inc, Chicago, IL, USA). Perbedaan antara rata-rata

susu yang dihasilkan dari minggu ke-2 sampai ke-7 postpartum, BCS dari minggu

ke-2 sampai ke-8 postpartum, konsentrasi serum AGP dari minggu ke-1 sampai

7

minggu ke-5 postpartum dan konsentrasi metabolit energi serum (ßHB dan

NEFA) minggu ke-1 sampai minggu ke-7 postpartum pada NLA dan PLP

dianalisis dengan ANOVA satu arah.

Efek yang mungkin dari faktor risiko pada PLP dieksplorasi menggunakan

analisis regresi logistik. Data dari sapi dengan NLA digunakan sebagai referensi.

Data dari masing-masing kelompok aktivitas luteal dibandingkan dengan analisis

regresi logistik, menggunakan aktivitas luteal sebagai variable dependen (0

menunjukkan NLA dan 1 menunjukkan PLP) dan rata-rata dari puncak produksi

susu dan minggu dari puncak produksi susu, mean dari produksi susu (2 hingga 8

minggu postpartum), BCS (2 dan 3 minggu postpartum), konsentrasi serum ßHB

(1 dan 3 minggu postpartum), paritas, periode eksperimental, hari C-LA, dan

produksi susu pada hari yang diharapkan terjadinya luteolisis (hari C-LA+16 hari)

sebagai faktor independen. Mean untuk puncak produksi susu, puncak minggu

produksi susu, dan produksi susu menyatakan variabel kelas. Empat kelas puncak

produksi susu didefinisikan (< 40, 40-50, 50-60, dan > 60 kg) dan 4 minggu kelas

puncak produksi susu didefinisikan (1, 2, 3, dan 4 minggu postpartum). Akhirnya,

tiga kelas produksi susu rata-rata didefinisikan (< 40, 40-50, dan > 50 kg).

Analisis regresi dilakukan sesuai dengan metode Hosmer dan Lemeshow

[27]. Faktor risiko potensial yang terpilih yang kemudian mengalami stepwise

logistic regression dengan pendekatan swapping dan backward elimination yang

hirarkis. Nilai P untuk data inklusi dan eksklusi yang ditetapkan sebesar 0,05 dan

0,10, masing-masing. Semua variabel yang telah dipilih atau dipertahankan dalam

8

pendekatan memasuki akhir rasio yang dimungkinkan (LR), di mana odds ratio

akhir diperkirakan dengan interval kepercayaan 95%.

Perbandingan untuk dimulainya kegiatan luteal, panjang siklus estrus

pertama, dan inseminasi per konsepsi dilakukan antara sapi dengan NLA dan PLP

menggunakan uji Mann-Whitney. Uji Tabel Kehidupan digunakan untuk

membandingkan calving interval pada inseminasi pertama dan membandingkan

calving interval antara sapi dengan NLA vs PLP. Semua sapi diinseminasi oleh

160 DIM. Sapi yang tidak bunting oleh 300 DIM atau dimusnahkan, disensor

dalam analisis waktu untuk konsepsi. Hari median untuk inseminasi pertama atau

konsepsi diperoleh dengan uji Kaplan-Meier. Survival plot dihasilkan

menggunakan pilihan survival option dari GraphPad Prism version 5.01 for

Windows (GraphPad software Inc, San Diego, CA, USA). Semua data yang

ditampilkan sebagai mean ( SD) atau median (range), dan nilai probabilitas P

0,05 dianggap signifikan.

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mean (SD) puncak produksi susu (9 minggu postpartum) adalah 56,7

7,4 kg. Lima puluh dua dari 151 (34,4%) sapi memiliki pola NLA postpartum,

sedangkan 36 dari 151 (23,8 %) memiliki pola PLP postpartum abnormal, yang

merupakan tipe paling umum dari pola aktivitas luteal abnormal. Enam puluh tiga

ekor sapi dengan pola aktivitas luteal postpartum lainnya diabaikan pada

penelitian ini. Median dan jangkauan paritas sapi dengan PLP mirip dengan sapi

dengan NLA (2 dan 2 sampai 6 vs 3 dan 2 sampai 8 tahun; P = 0.134, masing-

masing). Panjang siklus pertama sapi dengan NLA kurang dari sapi dengan PLP

(median dan kisaran 15 dan 11-22 vs 28 dan 21-38 hari, masing-masing, P =

0,001). Konsentrasi serum AGP tidak berbeda antara sapi perah yang berproduksi

tinggi dengan NLA dan PLP selama 1 sampai 5 minggu postpartum (P > 0,05, Gb.

1).

3.1. Produksi susu dan fase luteal berkepanjangan

Puncak pada kategori produksi susu (kg) berkorelasi positif dengan

kejadian (%) sapi perah berproduksi tinggi dengan PLP (r = 0,87, P = 0,02;

Gambar 2). Selain itu, peningkatan produksi susu pada sapi dengan PLP lebih

tinggi dibandingkan dengan NLA (P = 0,01; Gb. 3a). Hasil rata-rata susu sapi

dengan PLP lebih tinggi dari sapi dengan NLA pada 4 (P = 0,04), 6 (P = 0,004),

dan 8 (P = 0,001) minggu postpartum. Rata-rata dari puncak produksi susu (kg; P

= 0,003), hari puncak produksi susu (P = 0,02), rata-rata produksi susu (8 minggu

dalam susu; kg; P = 0,004 ), dan produksi susu pada hari yang diperkirakan

10

luteolysis (kg; P = 0,007) pada sapi dengan PLP lebih tinggi daripada sapi dengan

NLA (Tabel 1).

Analisis regresi logistik menunjukkan efek signifikan pada parameter

produksi susu pada kemungkinan sapi dengan PLP. Sapi dengan produksi susu

rata-rata 40-50 kg memiliki kemungkinan PLP lebih rendah ( OR = 0.085, P <

0,01) dibandingkan dengan referensi (> 50 kg) kategori (Tabel 2).

Gambar. 1. Mean (±SD) konsentrasi serum α-1 Glikoprotein asam (AGP, mg/mL)

pada sapi perah produksi tinggi yang secara klinis sehat (●) atau pada

sapi dengan fase luteal yang berkepanjangan (■) di berbagai interval

waktu (minggu) setelah calving.

3.2. Skor kondisi tubuh dan fase luteal berkepanjangan

Penurunan BCS pada sapi dengan PLP lebih tinggi dibandingkan sapi

dengan NLA (P = 0,007; Gb. 3b). BCS rata-rata pada sapi dengan PLP lebih

tinggi dibandingkan sapi dengan NLA dalam 2 (P = 0,01) dan 3 (P = 0,04)

minggu postpartum.

11

Gb. 2. Hubungan antara kategori puncak produksi susu (kg) dan kejadian (%) sapi

perah produksi tinggi yang secara klinis sehat dengan fase luteal

berkepanjangan (PLP).

Gb. 3. Mean (± SD) produksi susu (a), skor kondisi tubuh (BCS, b), dan

konsentrasi serum beta-hidroksibutirat (βHB, c) dan non-esterified fatty

acid (NEFA, d) sapi perah berproduksi tinggi yang secara klinis sehat

dengan aktivitas luteal normal (●) atau fase luteal yang berkepanjangan

(■) di berbagai interval waktu setelah beranak.

*Perbedaan (P < 0,05) antara aktivitas luteal normal dan berkepanjangan

selama seminggu ditunjukkan.

12

3.3. Metabolit energi serum, progesteron, dan fase luteal berkepanjangan

Penurunan konsentrasi serum βHB pada sapi dengan PLP lebih tinggi dari

NLA (P = 0,01; Gb. 3c). Rata-rata konsentrasi serum βHB pada sapi dengan PLP

lebih tinggi dari pada sapi dengan NLA dalam 1 (P = 0,003), 3 (P = 0,002), dan 5

(P = 0,003) minggu postpartum. Kemungkinan sapi dengan PLP meningkat

sebesar 1,8 kali lipat untuk setiap kenaikan 1 mmol / L dalam konsentrasi serum

βHB di 1 minggu postpartum (P = 0,03; Tabel 2).

Tabel 1

Mean ( SD) parameter hasil susu pada sapi perah produksi tinggi yang sehat

secara klinis dengan aktivitas luteal normal (NLA; n=50) atau fase luteal

diperpanjang (PLP; n=36).

Parameter Aktivitas luteal post partum Nilai-P

NLA PLP

Produksi susu saat hari yang

diharapkan terjadinya luteolisis (kg)*

45.2 9.5 50.6 7.3 0.007

Puncak produksi susu (kg) 48.4 7.8 53.6 7.2 0.003

Hari saat puncak produksi susu 19.0 6.9 22.6 6.8 0.02

Mean produksi susu (8 minggu dalam

susu; kg)

44.1 8.1 49.0 6.6 0.004

*Hari yang diharapkan terjadinya luteolisis dihitung sebagai 16 hari setelah

dimulainya aktivitas luteal

Tidak ada perbedaan dalam konsentrasi serum dari NEFA antara NLA dan

PLP selama 1 sampai 7 minggu postpartum (P > 0,05; Gb. 3d). Mean serum

konsentrasi NEFA di sapi dengan PLP lebih tinggi dibandingkan sapi dengan

NLA pada 5 minggu postpartum (P = 0,03).

Peningkatan konsentrasi serum P4 pada sapi dengan PLP lebih tinggi

daripada NLA (P = 0,001; Gb. 4). Rata-rata konsentrasi serum P4 pada sapi

13

dengan PLP lebih tinggi dibandingkan sapi dengan NLA 38-52 hari postpartum (P

< 0,05). Selain itu, sapi dengan PLP memiliki kegiatan luteal lebih awal

dibandingkan dengan sapi dengan NLA (median dan kisaran 29,5 dan 10-56 vs 24

dan 10-38 hari, masing-masing, P = 0,047). Lebih jauh lagi, kemungkinan sapi

dengan PLP menurun sebesar 0,9 kali lipat untuk setiap 1 hari penundaan C-LA

(P = 0,02; Tabel 2).

Tabel 2

Odds ratio dari variabel-variabel termasuk final logistic regression model untuk

sapi perah produksi tinggi dengan fase luteal diperpanjang

Variabel Kelas Odds

ratio

Interval

kepercayaan 95%

Nilai-

P

Mean dari produksi

susu (kg; 8 minggu

dalam susu)

< 40

40-50

> 50

0.083

0.085

Referensi

0.00–3.45

0.02–0.45

0.19

0.004

Puncak produksi

susu (kg)

< 40

40-50

50-60

> 60

0.276

1.141

0.182

Referensi

0.00–34.67

0.06–20.55

0.02–2.22

0.60

0.93

0.18

Puncak produksi

susu (kg) x minggu

saat puncak produksi

susu

Minggu ke-1

Minggu ke-2

Minggu ke-3

Minggu ke-4

1.026

0.978

1.030

Referensi

0.98–1.08

0.95–1.01

0.99–1.06

0.31

0.19

0.06

Hari dimulainya

aktivitas luteal

Lanjutan 0.896 0.82–0.98 0.02

Minggu pertama

konsentrasi serum

ßHB (mmol/L)

Lanjutan 1.803

1.07–3.03 0.03

Paritas Lanjutan 1.620 0.90–2.91 0.11

Backward likelihood ratio test = 40.74, 9 df, P = 0.0001; Hosmer dan Lemeshow

goodness-of-fit test = 5.64, 8 df, P = 0.68; the model fits.

3.4. Parameter reproduksi dan fase luteal berkepanjangan

Sapi dengan PLP memiliki hari median yang lebih besar sampai interval

inseminasi (60,5 vs 52,5 hari, masing masing; P = 0,05; Gb. 5a) dan hari-hari rata-

rata konsepsi (137,5 vs 94,5 hari, masing-masing; P = 0,01; Gb. 5b) dibandingkan

dengan sapi dengan NLA. Median dan jangkauan dari inseminasi per konsepsi

14

sapi dengan PLP mirip dengan sapi dengan NLA (2 dan 1 sampai 5 vs 2 dan 1

sampai 7; P = 0.33, masing-masing).

Gb. 4. Mean (± SD) konsentrasi serum progesteron (P4, ng/mL) dari sapi perah

produksi tinggi yang secara klinis sehat dengan aktivitas luteal normal (●)

atau fase luteal yang berkepanjangan (■) pada interval waktu yang berbeda

(d) dari saat beranak.

*Perbedaan (P < 0,05) antara aktivitas luteal normal dan berkepanjangan

selama seminggu ditunjukkan

Insiden PLP (23,8 %) adalah pola aktivitas luteal abnormal yang paling

umum pada sapi perah berproduksi tinggi yang sehat secara klinis. Konsisten

dengan temuan kami, kejadian PLP pada sapi perah pada studi sebelumnya adalah

28,3% [28] dan 20% [8]. Yimer et al [29] melaporkan bahwa kejadian PLP lebih

tinggi pada sapi perah dibandingkan sapi potong (26,7 vs 0 %). Dalam penelitian

lain, kejadian PLP pada sapi silangan potong dan perah adalah 11% [30], dan pada

sapi potong yang sedang laktasi 3% [31]. Selain itu, kejadian PLP menjadi lebih

tinggi pada produksi susu yang meningkat pada sapi perah berproduksi tinggi

yang sehat secara klinis. Hommeida et al [28] melaporkan produksi susu yang

lebih besar pada sapi dengan PLP. Selain itu, puncak produksi susu, hari puncak

produksi susu, rata-rata hasil susu, dan produksi susu pada hari yang diharapkan

15

terjadi luteolysis pada sapi dengan PLP lebih tinggi dibandingkan sapi dengan

NLA. Sejauh mana efek ini memiliki dasar genetik masih belum jelas. Royal et al

[32] melaporkan bahwa PLP yang terjadi pada siklus pertama adalah mungkin

diturunkan (0,13), namun disimpulkan bahwa ada efek fenotipik dari produksi

susu pada kejadian PLP.

Kemungkinan sapi dengan PLP menurun sebesar 0,9 kali lipat untuk

setiap 1 hari penundaan C-LA selama 45 hari postpartum pada sapi perah

berproduksi tinggi yang sehat secara klinis. Umumnya C-LA terjadi lebih awal

pada sapi perah dibandingkan sapi potong [33]. Friggens et al [34] melaporkan

bahwa lebih dari 25% dari sapi memiliki PLP, yang konsisten dengan insiden

yang lebih tinggi dari C-LA dini. Sapi mengalami interval yang lebih pendek

untuk C-LA lebih mungkin untuk mengalami fase luteal pertama yang

diperpanjang [32,35-37]. Selain itu, C-LA adalah faktor risiko untuk PLP pada

sapi perah [9,30,38,39]. Kafi dan Mirzaei [5] menyarankan bahwa ovulasi dini

(dan merupakan awal C-LA) di samping produksi susu tinggi, dapat

meningkatkan terjadinya PLP sapi perah yang sehat secara klinis.

16

Gb. 5. Kurva survival waktu untuk inseminasi pertama (a) dan waktu untuk

konsepsi (b) pada sapi dengan aktivitas luteal normal (n = 52; garis utuh)

atau fase luteal berkepanjangan (n = 36; garis putus-putus).

Ketika ovulasi terjadi sebelum uterus mengeluarkan semua eksudat dan

debris, pertumbuhan tinggi bakteri seperti Arcanobacterium pyogenes terjadi, dan

CL dipertahankan untuk interval yang lama [40,41]. Sebuah respon purulen

eksudatif dihasilkan dalam endometrium, dan kemampuan uterus untuk

memproduksi atau melepaskan PGF2 cukup dikompromikan [40,42]. Meskipun

abnormalitas uterus dapat menyebabkan PLP [9,17], sapi perah berproduksi tinggi

yang sehat secara klinis pada penelitian ini, konsentrasi serum AGP sebagai

indikasi peradangan kronis postpartum seperti endometritis [21] tidak berbeda

antara sapi dengan NLA dan sapi dengan PLP selama 1 sampai 5 minggu

postpartum.

Ada indikasi peningkatan kejadian PLP pada sapi perah dalam penelitian

ini, juga seperti penelitian lain [25,39]. Mekanisme fisiologis tertentu yang

mungkin memengaruhi produksi susu yang lebih tinggi untuk insiden yang lebih

tinggi dari PLP masih belum jelas. Namun, konsentrasi estradiol plasma yang

17

tidak memadai dilaporkan untuk dihubungkan dengan PLP [43]. Selain itu,

peningkatan konsumsi bahan kering yang terkait dengan produksi susu tinggi dan

peningkatan resultan pada waktu pengeluaran volume cairan biologis yang secara

total dari metabolisme mengurangi konsentrasi estradiol plasma [44-46], sehingga

menunda luteolysis [47]. Peningkatan produksi susu telah dikaitkan dengan

peningkatan aliran darah di hati dan pembersihan metabolisme hormon steroid

[44].

Sebaliknya, infeksi uterus postpartum mungkin berkontribusi untuk

kematian awal CL [48]. Selain itu, CL pertama pada sapi dengan penyakit uterus

mengeluarkan lebih sedikit P4 dibandingkan pada hewan normal [49]. Kaneko

dan Kawakami [50] melaporkan bahwa infusi A. pyogenes ke dalam uterus

menyebabkan regresi luteal; akibatnya, gelombang folikel dominan pertama, yang

biasanyamenjadi atresia, berovulasi pada setengah dari sapi yang terkena infusi A.

pyogenes. Namun, CL tidak regresi pada sapi sisanya, dan mekanisme penentuan

nasib CL masih belum jelas. Umur dari CL diatur oleh sekresi PGF2 dan

prostaglandin E2 (PGE2) dari endometrium, dengan yang terakhir terdapat peran

luteotrophik [51]. Kaneko dan Kawakami [52] menunjukkan bahwa A. pyogenes

dalam uterus memiliki potensi untuk merangsang pelepasan PGs dan menginduksi

ovulasi. Sehubungan dengan peristiwa itu, PGF2 memainkan peran lebih penting

daripada PGE2, dan peningkatan rasio PGF2 , daripada jumlah absolut, dapat

memutuskan nasib CL [52]. Dalam penelitian ini, konsentrasi serum P4 pada sapi

dengan PLP lebih tinggi daripada sapi dengan NLA, menunjukkan bahwa

18

terjadinya PLP pada sapi perah berproduksi tinggi yang sehat secara klinis tidak

terkait dengan infeksi uterus.

Meskipun strategi pemberian pakan tidak berpengaruh pada kejadian

PLP [53], dalam penelitian ini, penurunan BCS pada sapi yang secara klinis sehat

dengan PLP lebih tinggi daripada NLA. Konsisten dengan temuan kami,

Hommeida et al [28] melaporkan penurunan yang lebih besar dari BCS pada sapi

dengan PLP. Selain itu, kemungkinan sapi yang secara klinis sehat dengan PLP

meningkat 1,8 kali lipat untuk setiap 1 mmol/L peningkatan konsentrasi serum

ßHB pada minggu pertama. Folikel pada sapi juga dipengaruhi NEB dan

dilaporkan berukuran lebih kecil dan menghasilkan lebih sedikit estrogen [54].

Namun, beberapa studi telah menunjukkan bahwa PLP tidak terkait dengan

gangguan reproduksi klinis yang jelas [8,42].

Sapi perah berproduksi tinggi yang sehat secara klinis dengan PLP

memiliki interval antara beranak sampai inseminasi pertama lebih besar

dibandingkan dengan NLA. Namun, pada sapi dengan NLA mengalami sedikit

penundaan ovulasi, mereka adalah sapi yang berproduksi tinggi. Selain itu,

interval waktu beranak sampai konsepsi diperpanjang pada sapi dengan PLP.

Martin et al [30] melaporkan bahwa PLP berhubungan positif dengan peningkatan

waktu days open. Selain itu, tingkat permintaan inseminasi buatan yang tinggi,

tingkat konsepsi, dan angka kebuntingan antara 44 dan 100 hari postpartum

dilaporkan pada sapi perah dengan siklus ovarium yang normal dalam 44 hari

pertama postpartum dibandingkan dengan PLP [7,25]. Oleh karena itu, penundaan

19

waktu ovulasi pertama pada sapi perah berproduksi tinggi yang sehat secara klinis

dengan NLA mengurangi interval untuk inseminasi pertama dan konsepsi.

Sebagai kesimpulan, rata-rata produksi susu yang lebih tinggi, penurunan

BCS yang lebih besar, aktivitas luteal postpartum yang lebih awal, dan kemudian

puncak produksi susu adalah faktor risiko utama yang memengaruhi terjadinya

aktivitas luteal postpartum berkepanjangan pada sapi perah berproduksi tinggi

yang sehat secara klinis.

20

UCAPAN TERIMAKASIH

Para penulis berterima kasih kepada staf pertanian di Nemoneh farm e

Ghods Astan untuk kerjasama yang baik. Penelitian ini didukung secara finansial

oleh hibah no. 8611834 dari Iran National Science Foundation and the Center of

Excellence for Research on High-Producing Dairy Cows.

37

DAFTAR PUSTAKA

[1] Pryce JE, Coffey MP, Simm G. The relationship between body condition

score and reproductive performance. J Dairy Sci 2001;84:1508 –15.

[2] Wathes DC, Fenwick M, Cheng Z, Bourne N, Llewellyn S, Morris DG,

Kenny D, Murphy J, Fitzpatrick R. Influence of negative energy balance on

cyclicity and fertility in the high producing dairy cow. Theriogenology

2007;68:S232– 41.

[3] Tamadon A, Kafi M, Saeb M, Mirzaei A, Saeb S. Relationships between

insulin-like growth factor-I, milk yield, body condition score, and

postpartum luteal activity in high-producing dairy cows. Trop Anim Health

Prod 2010;43:29 –34.

[4] Mirzaei A, Kafi M, Ghavami M, Mohri M, Gheisari HR. Ovarian activity in

high and average producing Holstein cows under heat stress conditions.

Comp Clin Path 2007;16:235– 41.

[5] Kafi M, Mirzaei A. Effects of first postpartum progesterone rise,

metabolites, milk yield and body condition score on the subsequent ovarian

activity and fertility in lactating Holstein dairy cows. Trop Anim Health

Prod 2010;42:761–7.

[6] Gautam G, Nakao T, Yamada K, Yoshida C. Defining delayed resumption

of ovarian activity postpartum and its impact on subsequent reproductive

performance in Holstein cows. Theriogenology 2010;73:180 –9.

[7] Shrestha HK, Nakao T, Higaki T, Suzuki T, Akita M. Resumption of

postpartum ovarian cyclicity in high-producing Holstein cows.

Theriogenology 2004;61:637– 49.

[8] Opsomer G, Coyyn M, Deluyker H, de Kruif A. An analysis of ovarian

dysfunction in high yielding dairy cows after calving based on progesterone

profiles. Reprod Domest Anim 1998;33: 193–204.

[9] Opsomer G, Gröhn YT, Hertl J, Coryn M, Deluyker H, de Kruif A. Risk

factors for post partum ovarian dysfunction in high producing dairy cows in

Belgium: A field study. Theriogenology 2000;53:841–57.

[10] Bosu WTK, Peter AT. Evidence for a role of intrauterine infections in the

pathogenesis of cystic ovaries in postpartum dairy cows. Theriogenology

1987;28:725–36.

38

[11] McCoya MA, Lennoxa SD, Maynea CS, McCaugheya WJ, Edgara HWJ,

Catneya DC, Vernera M, Mackeya DR, Gordona AW. Milk progesterone

profiles and their relationship with fertility, production and disease in dairy

cows in Northern Ireland. Anim Sci 2006;82:213–22.

[12] Weigel KA. Prospects for improving reproductive performance through

genetic selection. Anim Reprod Sci 2006;96:323–30.

[13] Wiltbank MC, Gümen A, Sartori R. Physiological classification of

anovulatory conditions in cattle. Theriogenology 2002;57: 21–52.

[14] Knickerbocker JJ, Thatcher WW, Foster DB, Wolfenson D, Bartol FF,

Caton D. Uterine prostaglandin and blood flow responses to estradiol-

17[beta] in cyclic cattle. Prostaglandins 1986;31:757–76.

[15] Thatcher WW, Macmillan KL, Hansen PJ, Drost M. Concepts for regulation

of corpus luteum function by the conceptus and ovarian follicles to improve

fertility. Theriogenology 1989;31: 149–64.

[16] McCracken JA, Custer EE, Lamsa JC. Luteolysis: A neuroendocrine-

mediated event. Physiol Rev 1999;79:263–323.

[17] Mateus L, Costa LL, Bernardo F, Silva JR. Influence of puerperal uterine

infection on uterine involution and postpartum ovarian activity in dairy

cows. Reprod Domest Anim 2002;37: 31–5.

[18] Shrestha HK, Nakao T, Suzuki T, Akita M, Higaki T. Relationships

between body condition score, body weight, and some nutritional

parameters in plasma and resumption of ovarian cyclicity postpartum during

pre-service period in high-producing dairy cows in a subtropical region in

Japan. Theriogenology 2005;64:855– 66.

[19] Sheldon IM, Wathes DC, Dobson H. The management of bovine

reproduction in elite herds. Vet J 2006;171:70–8.

[20] Horadagoda NU, Knox KMG, Gibbs HA, Reid SWJ, Horadagoda A,

Edwards SER, Eckersall PD. Acute phase proteins in cattle: discrimination

between acute and chronic inflammation. Vet J 1999;144:437– 41.

[21] Sheldon M, Noakes DE, Rycroft A, Dobson H. Acute phase protein

responses to uterine bacterial contamination in cattle after calving. Vet Rec

2001;148:172–5.

[22] Ferguson JD, Galligan DT, Thomsen N. Principal descriptors of body

condition score in Holstein cows. J Dairy Sci 1994;77:2695–703.

39

[23] Hanzen CH, Pieterse M, Scenczi O, Drost M. Relative accuracy of the

identification of ovarian structures in the cow by ultrasonography and

palpation per rectum. Vet J 2000;159:161–70.

[24] Stevenson JS. Clinical reproductive physiology of the cow. In: Younquist

RS (ed), Current Therapy in Large Animal Theriogenology. Philadelphia:

WB Saunders, 1997;257– 67.

[25] Shrestha HK, Nakao T, Suzuki T, Higaki T, Akita M. Effects of abnormal

ovarian cycles during pre-service period postpartum on subsequent

reproductive performance of high-producing Holstein cows. Theriogenology

2004;61:1559 –71.

[26] Lamming GE, Darwash AO. The use of milk progesterone profiles to

characterise components of subfertility in milked dairy cows. Anim Reprod

Sci 1998;52:175–90.

[27] Hosmer DW, Lemeshow S. Applied logistic regression. NewYork, USA:

Wiley, 1989.

[28] Hommeida A, Nakao T, Kubota H. Onset and duration of luteal activity

postpartum and their effect on first insemination conception rate in lactating

dairy cows. J Vet Med Sci 2005;67: 1031–5.

[29] Yimer N, Rosnina Y, Wahid H, Saharee A, Yap K, Ganesamurthi P.

Ovarian activity in beef and dairy cows with prolonged postpartum period

and heifers that fail to conceive. Trop Anim Health Prod 2010;42:607–15.

[30] Martin A, Lystad M, Reksen O, Ropstad E, Waldmann A, Nafstad O,

Karlberg K. Assessment of progesterone profiles and postpartum onset of

luteal activity in spring calving Hereford beef suckler cattle. Acta Vet Scand

2010;52:42–50.

[31] Mann GE, Keatinge R, Hunter M, Hedley BA, Lamming GE. The use of

milk progesterone to monitor reproductive function in beef suckler cows.

Anim Reprod Sci 2005;88:169 –77.

[32] Royal MD, Pryce JE, Woolliams JA, Flint APF. The genetic relationship

between commencement of luteal activity and calving interval, body

condition score, production, and linear type traits in Holstein-Friesian dairy

cattle. J Dairy Sci 2002;85: 3071–80.

[33] Yavas Y, Walton JS. Postpartum acyclicity in suckled beef cows: a review.

Theriogenology 2000;54:25–55.

40

[34] Friggens NC, Disenhaus C, Petit HV. Nutritional sub-fertility in the dairy

cow: towards improved reproductive management through a better

biological understanding. Animal 2010;4: 1197–213.

[35] Petersson KJ, Berglund B, Strandberg E, Gustafsson H, Flint APF,

Woolliams JA, Royal MD. Genetic analysis of postpartum measures of

luteal activity in dairy cows. J Dairy Sci 2007;90: 427–34.

[36] Horan B, Mee JF, O’Connor P, Rath M, Dillon P. The effect of strain of

Holstein-Friesian cow and feeding system on postpartum ovarian function,

animal production and conception rate to first service. Theriogenology

2005;63:950 –71.

[37] Pollott GE, Coffey MP. The effect of genetic merit and production system

on dairy cow fertility, measured using progesterone profiles and on-farm

recording. J Dairy Sci 2008;91:3649–60.

[38] Garmo RT, Martin AD, Thuen E, Havrevoll O, Steinshamn H, Prestlokken

E, Randby A, Eknaes M, Waldmann A, Reksen O. Characterization of

progesterone profiles in fall-calving Norwegian Red cows. J Dairy Sci

2009;92:4919 –28.

[39] Royal MD, Darwash AO, Flint APE, Webb R, Woolliams JA, Lamming

GE. Declining fertility in dairy cattle: changes in traditional and endocrine

parameters of fertility. Anim Sci 2000;70:487–501.

[40] Farin PW, Ball L, Olson JD, Mortimer RG, Jones RL, Adney WS,

McChesney AE. Effect of Actinomyces pyogenes and gram-negative

anaerobic bacteria on the development of bovine pyometra. Theriogenology

1989;31:979–89.

[41] Opsomer G, Mijten P, Coryn M, de Kruif A. Post-partum anoestrus in dairy

cows: a review. Vet Q 1996;18:68 –75.

[42] Bulman DC, Lamming GE. Cases of prolonged luteal activity in the non-

pregnant dairy cow. Vet Rec 1977;100:550 –2.

[43] Wilson SJ, Kirby CJ, Koenigsfeld AT, Keisler DH, Lucy MC. Effects of

controlled heat stress on ovarian function of dairy cattle. 2. Heifers. J Dairy

Sci 1998;81:2132– 8.

[44] Sangsritavong S, Combs DK, Sartori R, Armentano LE, Wiltbank MC. High

feed intake increases liver blood flow and metabolism of progesterone and

estradiol-17_ in dairy cattle. J Dairy Sci 2002;85:2831– 42.

41

[45] Roche JF. The effect of nutritional management of the dairy cow on

reproductive efficiency. Anim Reprod Sci 2006;96: 282–96.

[46] Sartori R, Haughian JM, Shaver RD, Rosa GJM, Wiltbank MC. Comparison

of ovarian function and circulating steroids in estrous cycles of Holstein

heifers and lactating cows. J Dairy Sci 2004;87:905–20.

[47] Wiltbank M, Lopez H, Sartori R, Sangsritavong S, Gümen A. Changes in

reproductive physiology of lactating dairy cows due to elevated steroid

metabolism. Theriogenology 2006;6517–29.

[48] Peter AT, Bosu WTK. Effects of intrauterine infection on the function of the

corpora lutea formed after first postpartum ovulations in dairy cows.

Theriogenology 1987;27:593– 609.

[49] Williams EJ, Fischer DP, Noakes DE, England GCW, Rycroft A, Dobson

H, Sheldon IM. The relationship between uterine pathogen growth density

and ovarian function in the postpartum dairy cow. Theriogenology

2007;68:549 –59.

[50] Kaneko K, Kawakami S. Influence of experimental intrauterine infusion of

Arcanobacterium pyogenes solution on ovarian activity in cycling cows. J

Vet Med Sci 2008;70:77– 83.

[51] Poyser NL. The control of prostaglandin production by the endometrium in

relation to luteolysis and menstruation. Prostaglandins Leukot Essent Fatty

Acids 1995;53:147–95.

[52] Kaneko K, Kawakami S. The roles of PGF2_ and PGE2 in regression of the

corpus luteum after intrauterine infusion of Arcanobacterium pyogenes in

cows. Theriogenology 2009;71: 858–63

[53] Cutullic E, Delaby L, Michel G, Disenhaus C. Consequence on reproduction

of two feeding levels with opposite effects on milk yield and body condition

loss in Holstein and Normande cows. J Dairy Sci 2009;92:355.

[54] Beam SW, Butler WR. Effects of energy balance on follicular development

and first ovulation in postpartum dairy cows. J Reprod Fertil Suppl

1999;54:411-24