FAKTA URBAN DI INDONESIA

18
1 FAKTA URBAN DI INDONESIA (Studi Kasus : Pengamatan Elemen Urban Di Kawasan Kota Bukittinggi) Angra Angreni 1 1 Mahasiswa Program Magister, Departemen Arsitektur, Program Studi Perancangan Perkotaan, Universitas Indonesia [email protected] Pengertian Kawasan Kawasan adalah sebuah tempat yang mempunyai ciri serta mempunyai kekhususan untuk menampung kegiatan manusia berdasarkan kebutuhannya dan setiap tempat yang mempunyai ciri dan identitas itu akan lebih mudah untuk dicari ataupun ditempati untuk lebih melancarkan segala hal yang berhubungan dengan kegiatannya. Kawasan merupakan bagian-bagian wilayah yang ada di dalam sebuah Kota. Kawasan ini terbagi menjadi kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, kawasan industri, kawasan pemerintahan, kawasan perdagangan, kawasan area hijau, dan kawasan wisata. Kawasan Wisata Bukittinggi Kota Bukittinggi adalah salah satu kota di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Gambaran Umum Kota Bukittinggi biasanya disebut "Kota Jam Gadang" atau Kota Wisata, dengan luas wilayah sekitar 25.239 Km 2 dan terletak ditengah-tengah Kabupaten Agam. Kota ini pernah menjadi Ibu Kota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Kota Bukittinggi semula merupakan pasar (pekan) bagi masyarakat Agam Tuo. Kemudian setelah kedatangan Belanda, kota tersebut menjadi kubu pertahanan untuk melawan Kaum Padri. Pada masa pendudukan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera. Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera. Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan. Kota Bukittinggi sekarang telah tumbuh menjadi Kota Wisata berbasis budaya, alam, dan sejarah. Potensi yang menunjang pembangunan pariwisata Kota Bukittinggi adalah kebudayaan dan adat istiadatnya yang unik, keindahan alam, dan kondisi sosial masyarakatnya yang ramah.

Transcript of FAKTA URBAN DI INDONESIA

1

FAKTA URBAN DI INDONESIA (Studi Kasus : Pengamatan Elemen Urban Di Kawasan Kota Bukittinggi)

Angra Angreni1

1Mahasiswa Program Magister, Departemen Arsitektur,

Program Studi Perancangan Perkotaan, Universitas Indonesia

[email protected]

Pengertian Kawasan

Kawasan adalah sebuah tempat yang mempunyai ciri serta mempunyai kekhususan

untuk menampung kegiatan manusia berdasarkan kebutuhannya dan setiap tempat

yang mempunyai ciri dan identitas itu akan lebih mudah untuk dicari ataupun ditempati

untuk lebih melancarkan segala hal yang berhubungan dengan kegiatannya. Kawasan

merupakan bagian-bagian wilayah yang ada di dalam sebuah Kota. Kawasan ini terbagi

menjadi kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, kawasan industri, kawasan

pemerintahan, kawasan perdagangan, kawasan area hijau, dan kawasan wisata.

Kawasan Wisata Bukittinggi

Kota Bukittinggi adalah salah satu kota di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Gambaran

Umum Kota Bukittinggi biasanya disebut "Kota Jam Gadang" atau Kota Wisata, dengan

luas wilayah sekitar 25.239 Km2 dan terletak ditengah-tengah Kabupaten Agam. Kota ini

pernah menjadi Ibu Kota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik

Indonesia. Kota Bukittinggi semula merupakan pasar (pekan) bagi masyarakat Agam

Tuo. Kemudian setelah kedatangan Belanda, kota tersebut menjadi kubu pertahanan

untuk melawan Kaum Padri. Pada masa pendudukan Jepang, Bukittinggi dijadikan

sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera. Setelah

kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera.

Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai

kota perjuangan. Kota Bukittinggi sekarang telah tumbuh menjadi Kota Wisata berbasis

budaya, alam, dan sejarah. Potensi yang menunjang pembangunan pariwisata Kota

Bukittinggi adalah kebudayaan dan adat istiadatnya yang unik, keindahan alam, dan

kondisi sosial masyarakatnya yang ramah.

2

Teori Kevin Lynch

Teori ini disimpulkan berdasarkan hasil penelitian Prof. Kevin Lynch yang telah

melakukan sebuah studi terhadap apa yang diserap oleh penduduk secara psikologis

terhadap fisik sebuah kota. Hasil studinya ini disajikan dalam bentuk buku yaitu “The

Image of The City”. Secara garis besar Lynch menemukan dan mengumpulkan ada lima

elemen pokok atau dasar yang oleh orang digunakan untuk membangun gambaran

visual mereka terhadap sebuah kota, yaitu : Path (Jalur), Landmark (Tengaran), Node

(Simpul), District (Kawasan), Edge (Batas). Kelima elemen pokok ini sudah cukup untuk

membuat survey visual yang berguna dari bentuk sebuah kota. Pentingnya elemen ini

terletak pada kenyataan, bahwa orang-orang selalu berfikir tentang bentuk kota atas

dasar kelima elemen pokok ini. Dan atas dasar ini pulalah terletaknya kepribadian dan

ciri khas dari sebuah kota.

Analisa Kawasan Bukittinggi Berdasarkan Teori Kevin Lynch

Path (Jalur)

Path adalah elemen yang paling penting dalam citra kota. Kevin Lynch menemukan

dalam risetnya bahwa jika identitas elemen ini tidak jelas, maka kebanyakan orang

meragukan citra kota secara keseluruhan. Path merupakan jalur sirkulasi yang

digunakan oleh orang untuk melakukan pergerakan. Setiap kota mempunyai jaringan

jalur utama dan jaringan jalur minor. Bentuk path (jalur) di kawasan Kota Bukittinggi

terletak pada jalur jalan dan pedestriannya.

Jalan di Jl. Sudirman

Pedestrian

Bangunan pada

kedua sisi jalan

3

Jalan Sudirman merupakan ruas jalan utama menuju pusat kota. Jalan tersebut adalah

jalan yang mudah dikenali karena merupakan jalan yang situasinya berbeda dengan

jalan-jalan lain, yaitu jalan dengan rumah, bangunan perkantoran, dan bangunan

komersil pada kedua sisinya. Fungsi jalan sebagai ruang publik yang optimal memenuhi

kebutuhan segala aktivitas manusia diantaranya adalah manusia dapat melakukan

aktivitas rutin setiap hari seperti pergi ke sekolah, bekerja, belanja, menunggu angkutan

umum, mengantar pesanan, mengantar surat, dan lain-lain. Selain Jl. Sudirman,

komponen Path yang lainnya yaitu terdapatnya rute-rute sirkulasi yang biasanya

digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yakni jalan sekunder,

gang-gang utama, dan jalan transit. Sesuai dengan yang dikatakan Lynch, Jl. Sudirman

merupakan jalan dengan identitas yang lebih baik dan memiliki tujuan yang besar

sebagai pengikat dalam suatu kota, serta ada penampakan yang kuat (misalnya fasad,

pohon, signed, dan lain-lain) yang menjadi ciri jalan tersebut, dan ada belokan yang jelas.

Selain jalan, keunikan Kota Bukittinggi yaitu banyaknya elemen jembatan dan jenjang.

Elemen ini menjadi daya tarik tersendiri dari kota ini. Jembatan dan jenjang tersebut

yaitu :

1. Janjang Saribu yang terletak di Bukit Apit Puhun sebagai sentra pengolahan kopi

bubuk merupakan lintasan jalan kaki menuruni dan menaiki tebing Ngarai Sianok

yang vertikal dan sangat menantang. Diatas Janjang Seribu tersebut terdapat tempat

beristirahat untuk menikmati pemandangan Gunung Merapi dan Gunung

Singgalang. Area sekitarnya sering dimanfaatkan untuk rekreasi dan berkemah.

2. Janjang Ampek Puluah dibangun pada tahun 1908. Pada mulanya jenjang ini

digunakan sebagai penghubung antara Pasar Atas dengan Pasar Bawah. Selain itu

terdapat Janjang Gudang dan Janjang Pasanggrahan sebagai penghubung antara

jalan utama kota dengan kawasan Pasar Atas.

3. Janjang Gantuang dibangun tahun 1932 pada masa kolonial Belanda. Jenjang ini

dimaksudkan untuk menghubungkan Pasar Atas dan Pasar Lereng dengan Pasar

Bawah. Sampai saat ini jenjang ini masih tetap terjaga kelestariannya karena

merupakan bangunan bersejarah.

4. Jembatan Limpapeh diresmikan pada bulan Maret 1992 oleh Menteri Pariwisata,

Pos dan Telekomunikasi. Jembatan ini berfungsi sebagai penghubung antara objek

wisata Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan dengan Benteng Fort De Kock.

4

Landmark (Tengaran)

Merupakan elemen terpenting dari bentuk kota, karena berfungsi untuk membantu

orang dalam mengarahkan diri dari titik orientasi untuk mengenal kota itu sendiri

secara keseluruhannya dan kota-kota lain. Selain itu, Landmark adalah elemen eksternal

dan merupakan bentuk visual yang menonjol dari kota. Kota Bukittinggi memiliki Jam

Gadang sebagai landmarknya. Jam Gadang merupakan sebuah menara jam yang sangat

besar. Jam Gadang terletak di pusat Kota Bukittinggi di kawasan jantung kota Bukittinggi

yang secara administratif berada di jalan Istana Kelurahan Bukit Cangang, Kecamatan

Guguk Panjang, Kota Bukittinggi. Arsitektural bangunan Jam Gadang sangat kental

dengan arsitektural Belandanya. Terlihat dari bentuk tiang-tiang tebal khas gaya Doric,

bentuk jendela dan tangga, dan pola hias bangunannnya. Keunikan tak hanya pada

bangunan menaranya. Jamnya sendiri terbuat dari tembaga dan besi kuningan yang

diproduksi di Jerman dengan nama Brixlion. Mesin jam ini disebut-sebut hanya ada dua

di dunia. Selain di Bukittinggi, kembaran dari mesin jam tersebut saat ini terpasang di

Menara Big Ben di London, Inggris.Ini berarti Jam Gadang merupakan landmark yang

mempunyai identitas yang lebih baik dengan bentuknya yang jelas dan unik dalam

lingkungan Kota Bukittinggi tersebut, fasade yang berbeda dengan fasade bangunan di

sekitarnya, dan ada sekuens landmark (merasa nyaman dalam orientasi).

Jam Gadang

5

Node (Simpul)

Simpul merupakan pertemuan antara beberapa jalan/lorong yang ada di kota, sehingga

membentuk suatu ruang tersendiri. Masing-masing simpul memiliki ciri yang berbeda,

baik bentukan ruangnya maupun pola aktivitas umum yang terjadi. Node merupakan

suatu pusat kegiatan fungsional dimana disini terjadi suatu pusat inti/core region. Node

ini juga juga melayani penduduk di sekitar wilayahnya atau daerah hiterlandnya. Ada

dua titik lokasi yang menjadi node Kota Bukittinggi. Pertama, lokasi sekitar monumen

Jam Gadang yang merupakan salah satu ruang publik di Kota Bukittinggi yang lebih

dikategorikan sebagai alun-alun kota dengan bahan batuan dan semen yang ditanami

beberapa tanaman. Dalam tulisan yang berjudul Social Life of Small Urban Spaces,

William H. Whyte melakukan penelitian dengan memperhatikan pola sosial individu

(pergerakan manusia) di ruang publik (plaza). Beliau memaparkan bahwa ruang publik

yang aktif digunakan adalah ruang publik yang mengutamakan kenyamanan individu.

Selain itu, dengan menambahkan beberapa elemen pendukung juga mempengaruhi

fungsi dan keberadaan ruang publik tersebut.

Ruang publik di kawasan Jam Gadang merupakan taman kota yang bebas didatangi

siapa saja dan kapan saja. Terdapat beberapa elemen pendukung yang melengkapi

taman kota tersebut, diantaranya adalah terdapat kursi taman sebagai tempat duduk

para pengunjung, toilet umum, lampu taman, deretan pedagang makanan, dan dekat

dengan pusat perbelanjaan. Sehingga, sebagai simbol kebanggaan Kota Bukittinggi,

ruang publik (alun-alun kota) kawasan tersebut tidak pernah sepi oleh pengunjung

terutama saat sore hari. Semakin sore pengunjung akan semakin ramai, dan semakin

banyak pedagang yang menggelar dagangannya di sekitar lokasi monumen. Ini artinya,

kawasan tersebut tetap hidup pada malam harinya, karena malamnya akan disinari

lampu dan dijadikan arena bermain dan berkumpul bagi warga Bukittinggi atau

wisatawan. Selain itu, pedestrian di kawasan Jam Gadang juga menjadi daya tarik untuk

tempat berkumpul.

Kawasan Jam Gadang pada siang hari

Kawasan Jam Gadang pada malam hari

6

Node yang kedua adalah pasar tradisional Bukittinggi yang terdiri dari Pasar Ateh (pasar

atas) dan Pasar Bawah. Pasar Ateh berada di daerah perbukitan dan Pasar Bawah di

dataran yang lebih rendah. Kedua pasar tersebut berada berdekatan dengan Jam Gadang

yang merupakan pusat keramaian kota.

Dengan demikian, kawasan sekitar Jam Gadang dan pasar tradisional Bukittinggi

merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis di mana arah atau terdapat aktivitas

yang saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas lain. Node berupa taman

kota, square (alun-alun), dan pasar. Pada tempat tersebut orang mempunyai perasaan

‘masuk’ dan ‘keluar’ dalam tempat yang sama. Node Kota Bukittinggi mempunyai

identitas yang baik karena tempatnya memiliki bentuk yang jelas (lebih mudah diingat),

dengan tampilan berbeda dari lingkungannya.

District (Kawasan)

Kawasan merupakan suatu daerah/bagian kota yang memiliki ciri-ciri yang hampir

sama dan memberikan citra yang sama. Sebuah district (kawasan) memiliki ciri khas

yang mirip (bentuk, pola, dan wujudnya) dan khas pula dalam batasnya, di mana orang

merasa harus mengakhiri atau memulainya. Kawasan Kota Bukittinggi dikategorikan

menjadi dua. Pertama, berdasarkan fungsi kawasan Kota Bukittinggi dikategorikan

sebagai kawasan wisata, yang terdiri dari wisata alam, wisata budaya, wisata kuliner,

dan tempat perbelanjaan. Kedua, berdasarkan letak kawasan Kota Bukittinggi adalah

sebuah kota yang berada di utara Propinsi Sumatera Barat. Seluruh wilayah kota ini

berbatasan langsung dengan Kabupaten Agam yang merupakan salah satu cikal bakal

Pasar Tradisional Bukittinggi

7

pembagian wilayah kabupaten di suku Minangkabau (Sumatera Barat). Dulunya,

Minangkabau hanya terdiri dari Tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Lima Puluh Kota,

Kabupaten Tanah Datar, dan Kabupaten Agam.

Distrik yang ada di pusat kota berupa daerah komersial yang didominasi oleh kegiatan

ekonomi dan berdekatan dengan daerah pusat pemerintahan. Daerah tersebut

merupakan pusat kegiatan yang dinamis, hidup dan gejala spesialisasinya semakin

ketara. Daerah ini selain merupakan tempat utama dari perdagangan, juga terdapat

tempat wisata, hiburan-hiburan, dan lapangan pekerjaan. Hal ini ditunjang oleh adanya

sentralisasi sistem transportasi dan sebagian penduduk kota masih tinggal pada bagian

dalam kota-kotanya (innersections). Untuk daerah-daerah yang berbatasan dengan

distrik pusat kota, terdapat tempat-tempat yang agak longgar dan banyak digunakan

untuk kegiatan ekonomi berupa daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi

rendah dan sebagian lain digunakan untuk tempat tinggal.

Dengan demikian, district Kota Bukittinggi menjadi identitas yang baik dengan batasnya

dibentuk dengan pola yang jelas pada tampilannya dan dapat dilihat homogeny, serta

fungsi dan posisinya jelas (introver/ekstrover atau berdiri sendiri atau dikaitkan

dengan yang lain).

Edge (Batas)

Merupakan batas, dapat berupa suatu desain, jalan, sungai, gunung. Edge memiliki

identitas yang kuat karena tampak visualnya yang jelas. Edge merupakan penghalang

walaupun kadang-kadang ada tempat untuk masuk yang merupakan pengakhiran dari

sebuah district atau batasan sebuah district dengan yang lainnya.

Kota Bukittinggi merupakan daerah yang terletak di dataran tinggi, sehingga dikelilingi

oleh ngarai (lembah). Ngarai Sianok adalah sebuah lembah curam (jurang) yang terletak

di perbatasan Kota Bukittinggi dan dibawahnya mengalir sebuah anak sungai yang

berliku-liku menelusuri celah-celah tebing dengan latar belakang Gunung Merapi dan

Gunung Singgalang. Lembah ini memanjang dan berkelok sebagai garis batas kota dari

selatan ngarai Koto Gadang sampai di Ngarai Sianok Enam Suku, dan berakhir sampai

Palupuah. Ngarai Sianok memiliki pemandangan yang indah dan menjadi salah satu

objek wisata utama provinsi. Selain ngarai, daerah perbatasan Kota Bukittinggi terdiri

dari lahan tidak terbangun dan fisik bangunan yang semakin rendah yang terdapat pada

perkampungan penduduk.

8

Dari gambaran di atas, edge Kota Bukittinggi berupa ngarai, lahan kosong, dan

perkampungan penduduk sudah berhasil menjadi elemen penghalang dan pengakhiran

dari sebuah kawasan Kota Bukittinggi tersebut dengan kawasan lain. Meskipun sebagai

penghalang dan pengakhiran, namun edge tersebut tetap menjadi fungsi batas yang

jelas, yaitu membagi atau menyatukan antara dua kawasan yang berbatasan. Kota

Bukittinggi sebagai pusat perekonomian, wisata, dan pemerintahan dan perkampungan

sebagai pemukiman penduduk, keduanya memiliki identitas masing-masing tetapi

saling berkaitan. Sebagai contoh adalah roda perekonomian perkampungan penduduk

yang ada di perbatasan Kota Bukittinggi saling mempengaruhi dengan kondisi

perekonomian di kota. Edges Kota Bukittinggi terbentuk karena pengaruh dari fasade

bangunan, fungsi lahan, kondisi alam, dan karakteristik fungsi kawasan.

Dari analisa yang telah dilakukan tentang kawasan Kota Bukittinggi berdasarkan teori

Kevin Lynch, maka di kawasan Kota Bukittinggi memiliki kelima elemen teori Kevin

Lynch. Sehingga dapat dikatakan bahwa kawasan Kota Bukittinggi telah memiliki

kepribadian dan citra kota yang kuat yang terbentuk dari kualitas lingkungan fisik yang

ada di kawasan tersebut sehingga menciptakan kawasan yang unik, khas, dan menarik

perhatian. Kemudian, mempermudah seseorang untuk mengakses dan mengingat

kawasan tersebut.

Analisa Kawasan Bukittinggi Berdasarkan Teori Jane Jacob

Jane Jacob memaparkan untuk membangkitan sebuah kota, perlu adanya keberagaman

pada beberapa kondisi, yaitu : (1) Keberagaman pada jenis aktivitas/fungsi utama di

suatu kawasan. (2) Jarak tempuh yang cenderung pendek dan jalan-jalan terdapat

peluang untuk mengubah sudut (belokan) harus sering. (3) Keberagaman usia

bangunan, perubahan fungsi bangunan saat dulu dan sekarang, dan keberagaman user

Lahan Tidak Terbangun Perkampungan Penduduk dan Gunung yang Mengelilinginya

Ngarai Sianok

9

(konsumen) bangunan tersebut. (4) Adanya kepadatan penduduk yang akan menunjang

perekonomian kawasan.

Perkembangan penduduk Kota Bukittinggi tidak terlepas dari berubahnya peran kota ini

menjadi pusat perdagangan di dataran tinggi Minangkabau. Akan tetapi, perdagangan

bukan menjadi satu-satunya aspek penggerak di kota tersebut. Karena, perkembangan

Kota Bukittinggi didukung oleh aspek lainnya, seperti : pusat pemerintahan, bisnis,

pariwisata, transportasi, dan pendidikan. Dilihat dari segi sosial kemasyarakatan,

Bukitinggi berperan dalam urusan pemerintahan skala regional, nasional, dan

internasional. Di kota tersebut sering diadakan rapat-rapat kerja Pemerintah,

pertemuan-pertemuan ilmiah, kongres-kongres oleh organisasi kemasyarakatan dan

lain sebagainya. Itu berarti aktivitas pemerintahan berperan penting untuk kemajuan

kota. Selanjutnya, kegiatan perekonomian (misalnya pertokoan) dan berbagai macam

kegiatan bisnis (misalnya : bisnis properti, kerajinan, dan lain-lain) juga menjadi pemicu

perkembangan kawasan. Untuk mengurangi penumpukan pada satu lokasi, pemerintah

Bukittinggi juga mengembangkan kawasan perkotaan ke arah timur dengan

membangun Pasar Aur Kuning, yang saat ini merupakan salah satu pusat perdagangan

grosir terbesar di Pulau Sumatera. Jadi, sektor perdagangan merupakan salah satu

generator dalam meningkatkan pendapatan penduduknya. Dari segi transportasi, Kota

Bukittinggi berada pada posisi strategis Jalur Lintas Sumatera, yang menghubungkan

Padang, Medan, dan Palembang, serta berada di antara Padang dan Pekanbaru. Aktivitas

pendidikan/pelatihan salah satunya adalah beberapa program dalam mengentaskan

kemiskinan, yaitu pelatihan keterampilan membordir dan pelatihan pembuatan kebaya,

guna menumbuhkan wirausaha baru. Kemudian, Kota Bukittinggi sebagai kota dengan

fungsi pariwisata yang beragam (wisata berbasis budaya, alam, dan sejarah) jelas

menjadi salah satu faktor utama penggerak perkembangan kawasan.

Di Kota Bukittinggi jarak antara fungsi bangunan yang satu dengan yang lainnya atau

jarak tempuh antara jenis kegiatan/aktivitas yang satu dengan yang lainnya tidak

cenderung dekat. Akan tetapi, perkembangan dan kemajuan kawasan tetap berjalan.

Jadi, jarak tempuh dan jarak block bangunan yang relatif pendek seperti yang dikatakan

oleh Jane Jacob, tidak mempengaruhi secara signifikan kebangkitan Kota Bukittinggi. Hal

tersebut dikarenakan kondisi jalan dan pedestrian sebagai ruang gerak manusia

cenderung aman dan nyaman, sehingga tidak mengalami kesulitan untuk keperluan

berbagai aktivitas.

10

Keberagaman usia bangunan dan perubahan fungsi bangunan saat dulu dan sekarang

memang menjadi generator keberlangsungan Kota Bukittinggi. Beberapa benda cagar

budaya dan bangunan cagar budaya di tengah kota memiliki nilai penting bagi kawasan.

Misalnya menara Jam Gadang yang dulunya dibangun untuk mengintai gerak-gerik

pengikut Imam Bonjol semasa Perang Paderi kini berubah fungsi menjadi landmark kota

dan menjadi salah satu tempat tujuan wisata sejarah karena di dalamnya menyimpan

benda-benda peninggalan sejarah. Itu berarti kawasan Jam Gadang dapat memberikan

efek positif terhadap roda perekonomian masyarakat Bukittinggi pada khususnya.

Contoh lain adalah Lobang Jepang yang merupakan tempat pertahanan para prajurit

Jepang dahulunya sekarang menjadi tempat objek wisata yang dapat dinikmati oleh

siapa saja. Fort de Kock adalah benteng peninggalan Belanda yang berdiri di Kota

Bukittinggi tepatnya di 1 Km dari pusat Kota Bukittinggi sekarang menjadi sebuah

taman dengan banyak pepohonan rindang dan mainan anak-anak. Selain peninggalan

sejarah tersebut, di kawasan Kota Bukittinggi juga terdapat bangunan-bangunan

modern (baru), seperti supermarket sebagai tempat perbelanjaan modern, bangunan

hotel, bangunan perkantoran, dan lain-lain. Terdapat juga pasar tradisional dan deretan

pertokoan-pertokoan kecil di sepanjang jalan utama kota. Bangunan-bangunan tersebut

digunakan oleh masyarakat dari berbagai kalangan dan berbagai kepentingan.

Kondisi keempat yang dipaparkan Jane Jacob yaitu mengenai kepadatan penduduk yang

akan menunjang perekonomian kawasan. Saat ini Bukittingi merupakan kota terpadat di

Provinsi Sumatera Barat, dengan tingkat kepadatan mencapai 4.400 jiwa/km². Jumlah

angkatan kerja sebanyak 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan

pengangguran. Itu berarti jumlah angkatan kerja ada sekitar 93%. Tingkat konsumsi

orang yang bekerja lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak bekerja. Hal itu

akan berpengaruh pada kemajuan ekonomi kawasan. Ditambah lagi dengan berbagai

daya tarik Kota Bukittinggi menjadi pemicu pemusatan konsentrasi manusia pada

kawasan pada waktu-waktu tertentu, misalnya di saat hari libur, hari lebaran, dan

peringatan tahun baru.

Analisa Kawasan Bukittinggi Berdasarkan Teori Paul D. Spreiregen

Dalam bacaan Making A Visual Survey, Paul D. Spreiregen menjelaskan elemen-elemen

yang digunakan dalam melakukan peninjauan (survey) ketika melihat suatu kota.

Elemen tersebut juga dapat digunakan oleh perancang kota dalam mempertimbangkan

design atau redesign kota. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kevin Lynch

11

membagi lima elemen yang membentuk image sebuah kota, yaitu : path, landmark, node,

district, dan edge. Selain elemen yang lima itu, Paul D. Spreiregen menambahkan

elemen-elemen lain yang perlu diamati oleh urban designer.

Topography

Merupakan gambaran tentang tingkat kemiringan dan ketinggian tanah dari permukaan

laut. Kondisi kemiringan tanah merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi

kesesuaian lahan terhadap pembentukan massa bangunan di lokasi tersebut. Survey

topografi adalah suatu metode untuk menentukan posisi tanda-tanda (features) buatan

manusia maupun alamiah di atas permukaan tanah. Survei topografi juga digunakan

untuk menentukan konfigurasi medan (terrain). Kota Bukittinggi memiliki topografi

berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah

perkotaan. Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur

sepanjang pulau Sumatera, dan dikelilingi oleh dua gunung berapi yaitu Gunung

Singgalang dan Gunung Marapi. Kota ini berada pada ketinggian 909–941 m DPL, dan

memiliki hawa cukup sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1–24.9 °C. Sementara itu,

dari total luas wilayah Kota Bukittinggi saat ini (25,24 km²), 82,8% telah diperuntukkan

menjadi lahan budidaya, sedangkan sisanya merupakan hutan lindung. Terdapat lembah

yang dikenal dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75–110 m,

yang di dasarnya mengalir sebuah sungai.

Dengan kondisi alam yang demikian, fitur-fitur landscape kawasan menjadi ciri khas

tersendiri yang membuat perancangan Kota Bukittinggi berbeda dengan kota lain di

Sumatera Barat. Sehingga sensibilitas orang terhadap kota juga tinggi. Perancangan

kawasan berorientasi ke alam yang dipengaruhi juga oleh konsep-konsep Islam tentang

ruang dan waktu, serta konsep adat dan budaya yang sangat kental. Ditumbuhi dengan

beraneka ragam tanaman, seperti yang terlihat di tepi kiri kanan jalan maupun ruang-

ruang terbuka kota. Pada umumnya, suatu lingkungan ruang terbuka, dirancang dengan

menggunakan kaidah-kaidah estetika dan memakai pola-pola geometris-simetris yang

jelas, sehingga dapat membangkitkan kesan tertentu dalam benak seseorang. Bangunan,

lahan, dan alamnya merupakan satu kesatuan desain. Terdapat masalah paling kritis

dalam perancangan perletakkan bangunan pada tapak yang topografinya miring, serta

pada puncak bukit yang secara visual mandiri. Daya dukung tanah di wilayah berbukit

dan curam relatif kurang stabil dan dapat menimbulkan longsor. Sehingga sebagai solusi

desainnya adalah berupa cara yang alami, yaitu dengan menggabungkan bangunan segi

12

empat terhadap tapak yang tidak teratur biasanya berdiri tegak lurus satu sama lain.

Pada tapak yang memiliki perbedaan ketinggian atau topografi miring, pengelompokan

bangunan cenderung ditempatkan secara informal sesuai dengan kondisi konturnya.

Ketika lereng bukit ditutupi oleh bangunan yang rapat dari dasar permukaan tanah

sampai ke puncak maka bentuk lansekap yang asli terlihat tetap bertahan. Namun jika

keseluruhan didominasi oleh satu bangunan yang besar, bentuk lansekap akan

mengalami perubahan besar. Permukiman yang diapit oleh gunung adalah suatu contoh

yang baik dari suatu bentuk lansekap yang dikembangkan di Bukittinggi ini, dimana

kondisi topografi yang asli tidak dirusak oleh pengembangan yang terjadi di sekitar

kawasan tersebut. Kasus ini merupakan contoh ‘grand gesture’.

Microclimate

Pada umumnya di kota Bukittinggi banyak turun hujan, rata-rata 2,381 milimeter per

tahun dengan jumlah hujan rata-rata 193 hari per tahun dan kelembaban hawa berkisar

antara 82,0% - 90,8%. Oleh karena itu daerah ini beriklim sedang, berhawa sejuk

dengan suhu udara 17-24⁰C. Bulan-bulan dengan curah hujan tertinggi terjadi pada

Oktober sampai Desember, curah hujan bulanan terbesar 400 mm, sedangkan curah

hujan terendah terjadi pada bulan Juni dan Juli dengan curah hujan terendah bulanan 50

mm. Perubahan unsur-unsur lingkungan dari yang alami menjadi unsur buatan

menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik iklim mikro. Oleh karena itu,

Pengelompokan Bangunan

Permukiman di kaki gunung

13

perubahan-perubahan tersebut sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam

perancangan dan perencanaan kota. Saat ini, lebih dari 50% penduduk yang ada di

Indonesia tinggal di kawasan perkotaan. Dampaknya timbul isu semakin menurunnya

kondisi lingkungan perkotaan seperti : Pemanasan Global, Perubahan Iklim, Penurunan

Daya Lingkungan, Kepadatan Kawasan Perkotaan. Salah satu respon untuk menjawab

isu-isu tersebut adalah dengan konsep Kota Hijau yang diterapkan di Kota Bukittinggi.

30% dari wilayah kota berwujud Ruang Terbuka Hijau, terdiri dari RTH Publik 20% dan

RTH Privat 10%. Pengalokasian 30 % RTH ini ditetapkan dalam Peraturan Daerah

(Perda) tentang RTRW Kota. Jadi, perlu diwujudkan suatu pengembangan kawasan

perkotaan yang mengharmonisasikan lingkungan alamiah dan lingkungan buatan untuk

keberlangsungan tata kehidupan kota.

Shape

Berdasarkan daerah terbangunnya, bentuk Kota Bukittinggi mencerminkan pola

konsentrik, hal tersebut dipengaruhi oleh letak kota. Ngarai Sianok membatasi

perkembangan kota ke arah Barat dan sebagian arah utara. Sistem jaringan regional

yang melintasi Kota Bukittinggi ikut membentuk pola ruang kota. Kota Bukittinggi

merupakan titik pertemuan antara jalan Bukittinggi-Medan, Bukittinggi-Pekan Baru,

Bukittinggi-Jambi dan Bukittinggi-Lubuk Basung. Jalan utama kota yaitu Jl. Veteran ke

arah Utara dan Jl. Sudirman ke arah Selatan yang berpotongan di pusat kota (Bappeda

Kota Bukittinggi, 2003). Struktur ruang Kota Bukittinggi eksisting sebagian besar

terbentuk dari kegiatan-kegiatan yang bersifat perkotaan dan sebagian kecil bersifat

perdesaan yang merupakan lahan-lahan pertanian serta kegiatan kepariwisataan dan

jaringan jalan kota. Kegiatan perkotaan yang mempunyai jangkauan pelayanan wilayah

(regional) berupa fasilitas perdagangan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan dan

fasilitas perkantoran/pemerintahan, sedangkan kegiatan-kegiatan kepariwisataan di

Kota Bukittinggi memiliki tingkat pelayanan internasional, nasional maupun regional

antara lain berupa fasilitas akomodasi (hotel berbintang), gedung konferensi, pelayanan

jasa kepariwisataan yang mengkaitkan objek-objek wisata baik yang berada di dalam

kota ataupun yang terletak di luar kota dan daerah lain di provinsi Sumatera Barat. Dari

pengamatan fisik dapat diindikasikan struktur ruang kota dalam kategori komponen

kegiatan fungsional kota (Bappeda Kota Bukittinggi, 2003), yaitu terdiri dari :

1. Kawasan Pusat kota yang merupakan konsentrasi kegiatan perdagangan jasa,

pemerintahan dan perkantoran, pelayanan kegiatan sosial dan pariwisata dengan

14

lingkup pelayanan nasional, regional wilayah kota dan daerah pinggiran. Kegiatan

ini berada di Kelurahan Benteng Pasar Atas, Aur Tajungkang Tengah Sawah, Kayu

Kubu, Bukit Cangang Kayu Ramang, Tarok Dipo, Belakang Balok, Birugo serta Aur

Kuning.

2. Kawasan pariwisata dan kegiatan pendukungnya yaitu sepanjang Ngarai Sianok,

dari Panorama Lama sampai ke Panorama Baru dan Benteng.

3. Kawasan perumahan yang menyebar dengan intensitas yang semakin tinggi ke arah

pusat kota. Bagian timur dan tenggara kota merupakan daerah perkembangan

permukiman yang antara lain di Kelurahan Birugo, Aur Kuning, Kubu Tanjung,

Ladang Cakiah, Parit Antang,dan Koto Selayan.

4. Kawasan Pertanian yang berkembang pada kawasan timur dan tenggara kota yang

besaran lahannya semakin menyusut karena beralih fungsi menjadi lahan

permukiman.

Pattern, Texture, and Grain

Perkembangan pola ruang Kota Bukittinggi berkembang dari nagari yang ada di

Minangkabau (Sumatera Barat), dimana pada awal mulanya Nagari Minangkabau

terbentuk dari grain bangunan yang kecil-kecil, dengan texture tidak beraturan tetapi

membentuk pola konsentris, dan terdapat banyaknya open space. Selanjutnya,

perkembangan Kota Bukittinggi ke dalam bentuk kota yang sekarang, tidak terlepas dari

latar belakang sejarah yang telah dilalui, yaitu Bukittinggi masa nagari (pra kolonial),

masa intervensi pihak asing (kolonial) dan masa kemerdekaan atau pembangunan

berencana (pasca kolonial). Perkembangan fisik-spasial yang ada di setiap periode

waktu perkembangannya memberikan pengaruh terhadap pembentukan ruang Kota

Bukittinggi. Dalam melihat perkembangan kota Bukittinggi, pada masa lampau sampai

sekarang, bisa dengan melakukan kajian sejarah/historical reading dan mengkaji

artikulasi spasial atau cara terbentuknya ruang dan bagaimana ruang tersebut

digunakan sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan seperti kebiasaan dan kegiatan

(konsep seting dari ruang kota). Perkembangan pola ruang Kota Bukittinggi, dari koto

jolang ke Kotamadya, menunjukkan suatu proses perkembangan ruang kota yang

tumbuh dan berkembang dari suatu akar budaya, yaitu adat Minangkabau yang

tercermin dalam proses atau tahapan pembentukan ruang kota dan perkembangan

elemen-elemen ruang nagari. Perkembangan dari elemen-elemen ruang kota yang

mendukung fungsi-fungsi utama ruang kota Bukittinggi, menunjukkan adanya elemen-

15

elemen ruang kota yang selalu ada atau tetap dalam setiap periode perkembangan ruang

Kota Bukittinggi. Terdapat dalam setiap periode perkembangannya membentuk pusat

atau titik-titik pertumbuhan yang berkembang membentuk pusat-pusat kegiatan

dengan perkembangan fisik-spasial yang pesat, sehingga terbentuknya kawasan-

kawasan dominan.

Spreiregen mengatakan bahwa dengan membedakan pola, butiran, dan susunan

pembentuk ruang kota dapat dijadikan sebagai acuan untuk membuat suatu keputusan

bagaimana treatment bentuk kota. Pola perkembangan ruang Kota Bukittinggi

dipengaruhi oleh jarak terhadap perubahan penggunaan ruang atau perubahan tingkat

urban berdasarkan rasio penggunaan lahan. Artinya, semakin menurunnya pengaruh

jarak dari pusat ke wilayah sekitarnya terhadap penggunaan ruang mengindikasikan

adanya peubah lain yang berperan dalam mempengaruhi penggunaan ruang dari pusat

wilayah ke wilayah sekitarnya. Salah satu peubah yang mungkin mempengaruhi

penggunaan ruang adaiah keberadaan fasilitas untuk mengakomodasi aktivitas

penduduk pada suatu wilayah. Hal ini dibuktikan dengan jumlah fasilitas publik yang

tidak dipengaruhi oleh jarak dari pusat wilayah.

Menurut data dari pemerintah Kota Bukittinggi, pada tahun 2032 jumlah penduduk Kota

Bukittinggi diproyeksikan akan berjumJah 250.129 jiwa. Jika pemenuhan kebutuhan

ruang pada tahun 2032 dilakukan dengan konversi lahan pertanian, lahan pertanian

akan tersisa seluas 34.43 Ha (1.36%). Pada tahun 2032, keseluruhan ruang Kota

Bukittinggi akan menjadi ruang terbangun, dan bahkan lahan konservasi akan

diintervensi oleh aktivitas masyarakat dan tidak tertutup kemungkinan akan berubah

menjadi ruang terbangun juga. Untuk mengatasi perkembangan yang cenderung tidak

terkendali tersebut, perlu upaya yang menitikberatkan pada vitalitas dan stabilitas

ekonomi, integrasi antar ruang, kuantitas dan kualitas prasarana dan sarana lingkungan,

serta konservasi aset warisan budaya.

Vista and Skyline

Garis langit merupakan bagian yang utama dalam dekorasi suatu kawasan perkotaan.

Garis langit merupakan penghubung yang menggunakan deretan bangunan ataupun

deretan pohon yang memiliki rupa masif, dimana garis langit dapat dihadirkan dengan

suatu batasan yang berbeda. Garis langit dapat dinikmati dari jauh bergantung pada

skala menara dan bangunan yang besar yang mendominasi di antara bangunan-

bangunan dengan skala kecil dan umumnya rendah yang secara visual monolitis. Efek

16

dekorasi utama bangunan seperti itu adalah bentuk profil bangunan-bangunan tersebut.

Bangunan yang menonjolkan dirinya sendiri sehingga tampak berbeda dari massa

bangunan sekitarnya, harus mempunyai siluet yang menarik. Di masa lalu, bangunan

dengan bentuk kubah dan menara telah menjadi fitur dekorasi utama dari garis langit

kota tradisional. Garis atap yang detail merupakan garis besar bangunan jika dilihat dari

jalur pejalan kaki di dalam kota. Garis atap menyajikan perubahan profil dari kota

sebagaimana warga kota melihatnya sambil bergerak di sekitarnya. Garis atap

bangunan-bangunan harus dirancang dekoratif sehingga memberikan daya tarik pada

pemandangan jalan.

Pengembangan pola “bukit dan lembah” merupakan konsep yang menampilkan

pendekatan pemecahan perancangan yang cenderung menampilkan efek bukit dan

lembah. Bangunan bertingkat tinggi dengan massa bangunan yang lebih besar terletak

di bukit sehingga kualitas pemandangan yang didapat lebih banyak dan bangunan

bertingkat rendah terletak di lembah.

Garis atap berpengaruh pada skenario garis langit pada suatu kawasan, sehingga garis

langit kota dapat berperan sebagai ornamen penting pada suatu kawasan. Bangunan

pada kawasan yang dekat ke pusat kota merupakan kawasan yang penting untuk

dirancang garis langitnya, karena jalan tersebut berpotensi untuk memiliki intensitas

pembangunan yang terus meningkat. Saat ini tampak pada jalan tersebut ketinggian

bangunan-bangunan dan bentuk atap tidak teratur sehingga menggambarkan suatu

garis langit yang tidak memiliki skenario.

Pengembangan pola bukit dan lembah

17

Panduan garis atap sebaiknya dibuat berdasarkan konteks kawasan tersebut.

Merancang panduan untuk kawasan yang berperan dalam perkembangan sejarah suatu

kota akan berbeda dengan kawasan yang sengaja untuk dirancang sebagai kota baru.

Garis atap bangunan-bangunan pada bagian pusat kota menggambarkan tidak jelasnya peraturan

mengenai ketinggian bangunan

18

DAFTAR PUSTAKA

Abdulla, Taufik., Schools and Politics : The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-

1933), Equinox Publishing, 2009.

Cliff Moughtin, Taner OC, dan Steven Tiesdel., Urban Design – Ornamen And Decoration,

Britain : Butter worth Architecture, 1995.

Jacob, Jane., The Generators of Diversity in the Death and Life of Great American Cities,

New York : Random House, 1961.

Lynch, Kevin., The City Image and its elements in the Image of the City, Cambridge : MIT

Press, 1960.

Spreiregen, Paul., Making a Visual Survey in Urban Design, American Institute of Architects

and Mc Graw Hill, 1965.

Whyte, William H., Social Life of Small Urban Space in the Essential William H.Whyte, Albert

LaFarge, editor, NEw York : Fordham University Press, 2000.

sumbar.bps.go.id

www.bukittinggikota.go.id

www.pu.go.id