EKSISTENSI SUANGGI/NITU DALAM MASYARAKAT TRADISIONAL TERHADAP ASAS NULLUM DELICTUM (SUATU PROBLEMA...

42
1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Indonesia adalah Negara yang kaya dengan beragam suku, adat istiadat, kepercayaan dan budaya. Keberagaman tersebut memberikan warna tersendiri bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih hidup dalam lingkungan tradisional. Masyarakat tradisional tidak terlepas dari kepercaayaan terhadap hal-hal gaib dan mistis terutama bagi mereka yang belum mengenal agama. Istilah suanggi/nitu yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan istilah santet/sihir, adalah satu hal yang dipercaya oleh masyarakat tradisional. Suanggi bisa berarti orang yang memiliki kekuatan magis yang bisa membuat orang lain sakit, celaka bahkan meninggal tanpa orang tersebut kontak fisik dengan orang lain, bisa juga berarti perbuatan membuat

Transcript of EKSISTENSI SUANGGI/NITU DALAM MASYARAKAT TRADISIONAL TERHADAP ASAS NULLUM DELICTUM (SUATU PROBLEMA...

1

BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara yang kaya dengan beragam

suku, adat istiadat, kepercayaan dan budaya.

Keberagaman tersebut memberikan warna tersendiri

bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang sebagian

besar masih hidup dalam lingkungan tradisional.

Masyarakat tradisional tidak terlepas dari

kepercaayaan terhadap hal-hal gaib dan mistis

terutama bagi mereka yang belum mengenal agama.

Istilah suanggi/nitu yang dalam Bahasa Indonesia

dikenal dengan istilah santet/sihir, adalah satu hal

yang dipercaya oleh masyarakat tradisional. Suanggi

bisa berarti orang yang memiliki kekuatan magis yang

bisa membuat orang lain sakit, celaka bahkan

meninggal tanpa orang tersebut kontak fisik dengan

orang lain, bisa juga berarti perbuatan membuat

2

orang lain mengalami penyakit aneh tanpa sebab

bahkan dapat berujung kematian.

Dalam masyarakat tadisonal, suanggi sudah tidak

asing lagi dalam pengertian mereka, dimana suanggi

ini merupakan urban legend yang sangat menakutkan di

beberapa daerah seperti di tanah Papua, Maluku, NTT

maupun daerah lain di Indonesia yang memahami

suanggi dengan istilah yang berbeda beda sesuai

dengan pemahaman mereka seperti Santet, Sihir,

Dukun dll.

Keberadaan suanggi/nitu dalam masyarakat

tradisional sudah menjadi hal biasa namun dapat

menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan, sebab

dengan adanya suanggi ini maka ada orang lain yang

dapat kehilangan nyawanya tetapi tidak dapat

dibuktikan secara hukum siapa atau bagaimana orang

lain tersebut meninggal. Apabila ada orang yang

dituduh sebagai suanggi dapat saja dilakukan

3

tindakan main hakim sendiri untuk menghukum orang

tersebut.

Dari segi hukum masalah suanggi ini dapat

menimbulkan pengabaian terhadap hak seseorang,

terganggunya ketertiban umum dan tindakan main hakim

sendiri. Tatanan hukum positif yang berlaku di

Indonesia, belum mengatur tentang suanggi di mana

aturan hukum itu memiliki unsur unsur hukum yang

jelas tentang sebuah pembuktian bilamana seseorang

dapat dikatakan sebagai suanggi. Dalam asas-asas

hukum pidana yaitu asas legalitas yang dikenal juga

dengan asas Nullum Delictum masalah suanggi ini

tidak dapat diselesaikan.

Problema suanggi dalam masyarakat tradisional

jika diselesaikan melalui jalur hukum tentunya harus

melalui proses penyidikan, penuntutan sampai pada

proses pemerikasan di pengadilan, hendaknya perlu

diperhatikan asas-asas hukum yang dipakai, seperti,

antara lain; asas legalitas, asas keseimbangan, asas

4

Praduga Tak Bersalah, prinsip pembatasan penahanan,

asas ganti rugi dan rehabilitasi, dan asas lainnya

yang dipakai di dalam KUHAP. Namun apakah proses

tersebut dapat dijalankan ? masalah suanggi hanya

dapat diproses apabila telah ada larangan-larangan

yang dirumuskan dalam hukum pidana materiil, jika

tidak, maka akan bertentangan dengan asas legalitas

atau Asas Nullum Delictum.

Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas

eksistensi suanggi/nitu dalam masyarakat tradisional

terhadap asas Nullum Delictum, problema ini dalam

pandangan hukum yang responsif dan suanggi/nitu

dalam perspektif perbandingan hukum.

b. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan maka

dapat dirumuskan beberapa masalah berikut ini :

1. Bagaimana eksistensi Suanggi/nitu dalam masyarakat

tradisional terhadap asas Nullum Delictum?

5

2. Bagaimanakah suanggi/nitu dalam problema hukum

yang responsif?

3. Bagaimana suanggi/nitu dalam perspektif

perbandingan hukum ?

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

a. Pengertian Suanggi/Nitu

Secara umum kata suanggi, selalu dikaitkan dengan

setan, hantu=demon, dan jahat, buruk = evil. Yakni, makhluk

halus yang mempunyai rupa jelek, yang jauh berbeda

dengan rupa seorang manusia biasa. Sedangkan

perbuatannya selalu dikaitkan dengan hal-hal yang

jahat, garang dan keji (devil). Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (W.J.S.Poerwadarminta, 2006), kata

“suanggi” diartikan sebagai hantu yang jahat atau

burung-burung hantu, dan juga disebut dukun yang

bekerja dengan pertolongan orang halus atau yang

disebut dengan mahluk halus.1

Konsep Santet dalam Sistem KUHP2

1 Elstonsius Banjo dan Alfred Mainassy. “Suanggi”dalam Perspektif Hukum Pidana, Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor1; ISSN 2086-0404Universitas Halmahera 2014,hlm;22 Ibid.,. 15

7

Dalam sistem Hukum Pidana Indonesia, masalah

santet dan apalagi konsep tentang “suanggi” belum

dikenal dalam sistem KUHP. Konsep rasionalitas

merupakan dasar dan alasan dibentuknya hukum pidana.

Seseorang dikatakan bersalah apabila telah memenuhi

seluruh rumusan dan unsur-unsur delik yang

dituduhkan kepadanya. Dalam arti bahwa fakta-fakta

hukum yang konkrit merupakan dasar yang menentukan

kesalahan seseorang. Dikatakan bersalah apabila

orang itu mampu bertanggung jawab dan melalui bukti-

bukti yang cukup menyatakan kesalahannya itu.

Jika tidak, maka orang tersebut tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya, apalagi

menghukumnya. Namun demikian, konsep berpikir

irasional masih sangat populer untuk sebagian besar

masyararkat. Cara-cara berpikir gaib memang

merupakan gaya hidup masyarakat Indonesia, karena

selalu mengaitkan kehidupannya dengan masalah-

masalah keagaiban. Tidak heran apabila cara-cara

8

kekerasan pun kerapkali dilakukan hanya dengan

berlandasan pikiran irasional. “Suanggi” merupakan

salah satu di antaranya. Perbuatan - perbuatan yang

dilakukan menurut pikiran rasional bukanlah

merupakan fakta hukum yang konkrit. Oleh karena itu,

sistem KUHP Indonesia hanya menghukum orang yang

telah melakukan suatu tindakan melawan hukum

terhadap orang lain. Termasuk menghukum orang yang

telah melakukan kekerasan atau tindakan melawan

hukum lainnya kepada orang dituduh “suanggi”. Apapun

bentuknya perbuatan tersebut. Dalam kaitannya dengan

santet, termasuk di dalamnya “suanggi”, pelaku

santet tidak dapat dihukum berdasarkan ketentuan

pidana yang berlaku di Indonesia (asas legalitas;

Pasal 1 ayat (1) KUHP). Oleh karena ketentuan-

ketentuan mengenai santet sama sekali belum diatur

di dalam sistem KUHP saat ini. Dengan kata lain,

bahwa rumusan-rumusan delik tentang santet

(“suanggi”) tidak diatur di dalam pasal-pasal KUHP.

9

Karena itu, yang dapat dikenakan hukuman adalah

kepada orang yang telah melakukan suatu kejahatan

terhadap orang lain, secara melawan hukum. Di lihat

dari kasus-kasus yang dilakukan terhadap orang yang

dituduh “suanggi”, sudah merupakan tindakan melawan

hukum.

Karena itu, sudah dapat diproses dan dihukum

sesuai hukum yang berlaku terhadap orang-orang yang

telah melakukan tindakan “main hakim sendiri”. Hukum

pidana sama-sekali tidak membenarkan suatu tindakan

dalam bentuk apapun terhadap seseorang yang dituduh

telah melakukan suatu pelanggaran atau bahkan

kejahatan. Apalagi tindakan tersebut dilakukan

melalui cara-cara kekerasan, tidak berkemanusiaan.

Hukum menghendaki suatu kejahatan haruslah diproses

sesuai hukum yang berlaku. Suanggi adalah setan jadi

tidak dapat menjadi subyek dan pelaku delik,

sedangkan orang yang “bersuanggi” dapat menjadi

pelaku delik dan dapat dipertanggung-jawabkan

10

perbuatannya apabila perbutan tersebut, dapat

menjadi fakta hukum menurut sistem Hukum Pidana

Materril dan Formiil, yaitu:

a. Hukum Pidana Formiil, hukum Pembuktian, harus

memenuhi syarat- syarat pembuktian.

b. Hukum Pidana Materiil: rumusan deliknya harus

sesuai atau mencakup konsep tentang “suanggi”.

b. Asas Nullum Delictum

“Nullum Delictum nulla poena sine  praevia legi

poenali”, yang berarti “tidak ada delik, tidak ada

pidana . Merupakan salah satu asas dalam Asas – asas

Hukum Pidana yang dikenal dengan Asas Legalitas.

Asas legalitas tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP

yang berbunyi “ Tiada suatu perbuatan ( feit) yang

dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan

perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.

Istilah  feit dapat juga diartikan “peristiwa”,

karena dengan istilah tersebut meliputi baik

11

perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh

hukum pidana maupun mengabaikan sesuatu yang

diharuskan.

Arti dan Makna Asas Legalitas3

Asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1)

KUHP yang berbunyi “tiada suatu perbuatan yang boleh

dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana

dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari

perbuatan itu. Asas legalitas (the principle of legality)

yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa

pidana (delik/ tindak pidana ) harus diatur terlebih

dahulu oleh suatu aturan undang-undang atau setidak-

tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau

berlaku sebelum orang itu melakukan perbuatan.

Setiap orang yang melakukan delik diancam dengan

3 Buku Ajar Hukum Pidana 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2007, hlm. 39 dalam Amir Ilyas Asas-Asas Hukum Pidana, Mahakarya Rangkang Offset, Yogyakarta, 2012, hlm.12-13.

12

pidana dan harus mempertanggungjawabkan secara hukum

perbuatannya itu.

Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di

atas memberikan sifat perlindungan pada undang-

undang pidana yang melindungi rakyat terhadap

pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari

pemerintah. Ini dinamakan fungsi melindungi dari

undang-undang pidana. Di samping fungsi melindungi,

undang-undang pidana juga mempunyai fungsi

instrumental, yaitu di dalam batas-batas yang

ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan

oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan.

Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hukum

pidana Jerman, sehubungan dengan kedua fungsi itu,

merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa

Latin, yaitu :

Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan

pidana menurut undang-undang.

13

Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan

pidana.

Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana

tanpa pidana menurut undang-undang.

Dari asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP

mengandung tiga pokok pengertian yakni :

a. Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana

(dihukum) apabila perbuatan tersebut tidak diatur

dalam suatu peraturan perundang-undangan

sebelumnya/terlebih dahulu, jadi harus ada aturan

yang mengaturnya sebelum orang tersebut melakukan

perbuatan;

b. Untuk menentukan adanya peristiwa pidana

(delik/tindak pidana) tidak boleh menggunakan

analogi; dan

c. Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan

tidak boleh berlaku surut;

14

c. Hukum Responsif4

Hukum responsif adalah hukum yang beorientasi

pada tujuan dari hukum dengan mengkolaborasikan

antara nilai ideal dari suatu hukum dengan tujuan

yang tampak sebagai kebutuhan-kebutuhan masyarakat

dalam konteks kekinian.

Analisis secara komprehensif tentang hukum

responsif sejatinya adalah bukan ranah hukum secara

keseluruhan akan tetapi lebih berarti kepada suatu

gerakan revolusioner untuk mengubah hukum dengan

mempengaruhi kekuasaan politis. Hukum responsif

bukanlah suatu perubahan cara berhukum akan tetapi

lebih menekankan kepada pembangkangan terhadap hukum

yang dibuat oleh pemerintah dengan justifikasi atau

legitimasi moral yang mana nilai-nilai regulatif

telah menciderai rasa keadilan masyarakat sehingga4 Philip Nonet dan Philip Selznick, Hukum

Responsif , Nusa Media Bandung, 2010 .

15

perlu dilakukan upaya kritis dengan sarana

mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk kembali

kepada nilai-nilai keadilan substantif.

Hukum Responsif lebih berorientasi pada suatu

gerakan revolusioner untuk mempengaruhi hukum

melalui sarana-sarana politis ketimbang merubah cara

berhukum dalam mewujudkan keadilan substantif di

pengadilan.

d. Perbandingan Hukum 5

Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin

ilmu pengetahuan dan merupakan cabang dari ilmu

hukum dan merupakan suatu metode pendekatan yang

bersifat khusus dan mendasar dalam ilmu hukum yang

bermaksud untuk menyelidiki dan mengkaji serta

membandingkan mengenai titik perbedaan dan

persamaan serta sebab-sebab yang menimbulkan

terjadinya persamaan dan perbedaan yang ada dalam

5 S. Yohanes. Buku Ajar Perbandingan Hukum, Universitas Nusa Cendana, Kupang 2014,hlm.29.

16

berbagai sistem atau tradisi hukum yang berlaku di

berbagai Negara di dunia.

Hakikat perbandingan hukum :

1. Secara substantif, merupakan wadah dalam upaya

mempelajari, mengetahui, dan memahami berbagai

prinsip atau asas-asas hukum dan kaidah hukum

serta lembaga-lembaga hukum yang bersifat

universal, sumber-sumber dan karakter hukum

yang melekat pada setiap sistem hukum atau

tradisi hukum/keluarga hukum atau tata hukum

(hukum positif) yang berlaku di berbagai negara

di dunia.

2. Secara fungsional hakikat perbandingan hukum

sebagai suatu metode kerja atau metode

pendekatan yang digunakan dalam ilmu hukum

dengan maksud :

a. Untuk menyelidiki, mengkaji, dan menganalisis

berbagai permasalahan hukum yang terjadi atau

dipraktekkan/diterapkan dalam berbagai Negara

17

di dunia sesuai dengan sistem atau tradisi

hukum yang dianut, sehingga dapat mencari dan

menemukan solusi atas permasalahan hukum yang

terjadi

b. Untuk menemukan titik taut perbedaan dan

persamaan yang terjadi di antara sistem

hukum/tata hukum dengan sistem hukum/tata

hukum yang lainnya yang berlaku di berbagai

Negara

c. Untuk mengadakan pembaruan atau perubahan

sistem hukum atau tata hukum yang berlaku

dalam suatu Negara tertentu, termasuk

Indonesia sehingga sejalan dengan sistem

hukum yang berlaku di dunia internasional.

d. Untuk melakukan unnifikasi hukum, kodifikasi

hukum, dan harmonisasi hukum seta

sinkronisasi hukum di berbagai Negara jika

terdapat kesamaan pandangan atau ideology

18

yang dianut oleh suatu bangsa atau Negara

yang bersangkutan.

e. Untuk memperhitungkan dan membandingkan

secara cermat dan teliti mengenai kebaikan

dan keburukan atau kekurangan dan keuntungan

dari setiap sistem hukum/tata hukum yang

berlaku dan dianut oleh berbagai Negara di

dunia sebelum suatu Negara tertentu

(Indonesia) mengadopsi sistem hukum/tata

hukum yang berlaku di Negara yang lain

tersebut.

19

BAB III

PEMBAHASAN

a. Eksistensi Suanggi/nitu dalam Masyarakat

Tradisional terhadap Asas Nullum Delictum

Kehidupan masyarakat tradisional sangat dekat

dengan mistik atau hal-hal gaib. Setiap daerah

punya nama tersendiri untuk mengistilahkan hal

tersebut. Di daerah timur seperti Maluku, Papua

dan Nusa Tenggara Timur dikenal istilah

“suanggi/nitu”. Dari beberapa cerita yang

berkembang dalam masyarakat tradisional, ada yang

mengatakan sosok suanggi sangat menakutkan dengan

mata yang merah, dan memiliki gigi gigi yang

tajam, diceritakan pula sosok suanggi suka memakan

daging manusia, atau saat mengincar korbannya dia

akan terbang menggunakan pelepah daun, dan

mengintip korbannya dari atas, suanggi juga dapat

20

berubah wujud menjadi binatang atau apa saja yang

dia mau sehingga mudah melakukan aksinya.

Dalam cerita masyarakat yang berkembang,

percaya atau tidak ternyata keberadaan suanggi itu

memang benar ada. Di mana orang yang dianggap

suanggi itu dapat membuat orang lain menjadi sakit

berat hingga meninggal dunia dengan tidak wajar.

Pembuktian akan kebenaran atas hal itu hanya dapat

dibuktikan dengan sumpah adat dan diakhiri dengan

doa pengampunan. Sebagai contoh di daerah Alor,

Nusa Tenggara Timur dimana seseorang dapat

disuanggi dengan membuat ritual yang mereka

percaya dapat membuat orang lain sakit keras

hingga berujung maut. Misalnya si A ingin

disuanggi oleh si B, maka si B dapat mengambil

seekor hewan yang melambangkan tubuh dan jiwa si A

dan menyiksa hewan tersebut hingga mati, maka tak

lama kemudian si A akan sakit keras dan meninggal

dunia. Namun dalam pelaksanaan itu tentu si B

21

memiliki konsekuensi tekanan mental dan jiwa yang

besar, dimana dalam penilaian masyarakat setempat

bahwa kematian si A pasti dan tidak lain adalah

perbuatan si B. Sehingga si B bisa saja menjadi

tertekan batin, dan dalam tekanan batin itulah si

B minta untuk didoakan oleh pendeta atau pastor

setempat, Maka dari situlah si B mengakui segala

perbuatan jahatnya itu.

Namun di sisi lain, keberadaan suanggi atau

santet ini masih ada berbagai penilaian atau

argumen yang berbeda dari setiap orang dimana ada

yang percaya atau meyakini maupun tidak menyakini.

Menurut Elstonsius Banjo dan Alfred Mainassy

(2014) “suanggi” atau orang yang “bersuanggi”

adalah seseorang yang memelihara atau berteman

dengan setan atau mahkluk halus, roh jahat. Dari

pertemanan atau pemeliharaan tersebut, lama

kelamaan terjadi hubungan yang sangat intim antara

22

keduanya sehingga sifat-sifat jahat si setan

diturunkan kepada orang tersebut. Pada fase

tertentu, setan itu telah menguasai sifat dan

perilaku orang itu. Pada akhirnya sifat dan prilaku

orang itu menjadi atau serupa dengan setan. Apa

yang diperintahkan oleh setan itu akan dituruti

oleh orang tersebut. Sebaliknya, orang tersebut

dapat melakukan kemauan dan maksud jahatnya atas

bantuan setan itu. Orang inilah yang disebut dengan

“suanggi” atau “bersuanggi”, karena sifat dan

perilakunya telah menyatu dengan setan. Jadi,

terdapat dua kepribadian dalam tubuh orang yang

dikatakan “suanggi” tersebut. Ketika orang yang

“bersuanggi”melakukan suatu per-buatan, sebagaimana

yang dituduhkan oleh masyarakat kepadanya, maka

yang melakukannya adalah pribadi setan, tetapi yang

Nampak adalah rupa dan wajah dari tubuh pribadinya.

Dengan demikian, “suanggi”sebetulnya adalah manusia

yang setengah setan tetapi juga setengah manusia.

23

Setengah setan karena ia telah menyerupai setan,

memiliki sifat-sifat jahat, melakukukan hal-hal

yang jahat, tetapi juga memilki kekuatan gaib.

Setengah manusia karena ia adalah manusia tetapi

memiliki kekuatan setan (gaib), dan hidup sebagai

manusia normal sebagaimana biasanya.

Oleh karena itu, terasa sulit menentukan

mereka sebagai subyek dan pelaku delik, karena ada

dua personal di dalam diri mereka. Dua pribadi yang

hidup dalam “tubuh yang satu” atau dua kepribadian

dalam satu tubuh. Personal manusia pribadi yang

normal tetapi juga melekat personal setan yang

tidak normal, gaib. Lagi pula, pembuktiannya hanya

melalui media yang gaib pula. Maksudnya,

membuktikan hal-hal gaib harus pula dilakukan

melalui cara-cara yang gaib. Ini yang tidak dapat

dilakukan melalui sistem hukum pembuktian yang

mengandalkan fakta hukum yang konkrit, rasional dan

dapat diterima akal sehat. Dalam arti, bahwa

24

seseorang dapat dijadikan sebagai pelaku delik

jikalau ada bukti yang kuat menyertai perbuatannya.

Ini merupakan hal yang sulit untuk dibuktikan.

Meskipun delik santet yang dirumuskan adalah bentuk

delik formiil, tetapi itu pun memerlukan

pembuktian.

Walaupun Pembuktiannya, tidak sampai pada

masalah yang gaib tetapi paling kurang berhubungan

dengan kegaiban, atau bahkan mendekati kegaiban.

Namun demikian, apabila ada orang (dukun) yang

mampu membuktikan kebenaran perbuatannya, maka hal

itu dapat menjadi fakta hukum yang konkrit,

sehingga perbuatan “suanggi” dapat dikenakan

hukuman.

Berkaitan dengan hal diatas tentu harus dapat

dibuktikan secara hukum, sehingga menghindari

adanya tindakan main hakim sendiri oleh warga

masyarakat dalam menaggapi problematika yang

disebut santet tersebut yang berkembang dalam

25

kehidupan mereka. Dalam tatanan hukum positif yang

berlaku di Indonesia, belum ada aturan hukum yang

mengatur tentang suanggi dimana aturan hukum itu

memiliki unsur unsur hukum yang jelas tentang

sebuah pembuktian bilamana seseorang dapat

dikatakan sebagai suanggi.

Contoh misalnya orang menggunakan suanggi

untuk menipu orang lain dengan mengiming imingi

sejumlah uang yang besar, namun ternyata upaya

suangginya tidak berhasil, dari contoh di atas

dapat disimpulkan bahwa keberadaan suanggi memang

secara hukum belum dapat dibuktikan dengan nyata,

karena sulit membuktikan seseorang melakukan

praktek suangginya terhadap orang lain dengan

menggunakan alat sebagai barang bukti dan kepada

siapa praktek suangginya itu ditujukan, kenapa

demikian? karena suanggi itu sendiri berhubungan

dengan sesuatu yang gaib, dan boleh dikatakan

memiliki keahlian khusus. Lain hal apabila orang

26

tersebut mengakui perbuatannya, bahwa orang yang

sakit keras atas meninggal dunia itu adalah

perbuatannya.

Terhadap asas Nullum Delictum, masalah suanggi

tidak dapat diselesaikan karena belum ada norma

yang mengatur tentang itu. Asas Nullum Delictum

mengandung konsekuensi dalam menentukan perbuatan-

perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan

saja tentang macamnya perbuatan yang harus

dirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya

pidana yang diancamkan, perbuatan suanggi/nitu

belum dirumuskan. Sehingga orang yang bersuanggi

dapat saja terus berbuat karena secara hukum tidak

bisa dipidana.

b. Suanggi/nitu, Problema Hukum yang Responsif

Hukum responsif menurut Nonet dan Selznick

dipahami sebagai hukum otonom terbuka di mana perlu

adanya legitimasi terhadap segala kebutuhan dan

27

perubahan sosial masyarakat untuk dirumuskan dalam

suatu nilai yang bersifat preskriptif.

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang

kental pluralisme, hukum yang responsif diperlukan

untuk mengakomodir masalah-masalah sosial yang

berkembang dalam masyarakat yang menimbulkan masalah

hukum. Karena hukum ada untuk memecahkan masalah-

masalah yang ada dalam masyarakat. Ciri khas hukum

responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang

terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Hukum tidak

saja merupakan aturan yang kaku tetapi fleksibel

mengikuti dinamika kehidupan masyarakat.

Dengan demikian perlu adanya respon serta

peran aktif masyarakat tradisional dalam menanggapi

fenomnena ini, di mana suanggi ini sendiri adalah

sesuatu hal yang dinilai negatif oleh masyarakat,

dengan adanya pencerahan atau pentahiran yang

dilakukan oleh pemuka masyarakat atau agama maka

28

orang yang merasa dirinya suanggi dapat bertobat

dan kembali ke jalan yang benar.

Salah satu cara yang telah dilakukan oleh

penyelenggara Negara adalah dengan membuat Rancangan

Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (RUUKUHP) yang dalam salah satu Pasalnya

yaitu Pasal 293 memasukkan masalah santet. Hal ini

adalah salah satu bentuk hukum responsif dalam

menyelesaikan masalah suanggi/nitu.

Kutipan bunyi Pasal 293 RUUKUHP adalah :

1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai

kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan

harapan, menawarkan atau memberikan bantuan

jasa kepada orang lain bahwa karena

perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan

mental atau fisik seseorang, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana

denda paling banyak Kategori IV;

29

2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam ayat 1 melakukan perbuatan tersebut untuk

mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata

pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya

ditambah dengan sepertiga."

Sementara dalam penjelasannya disebutkan bahwa

ketentuan itu dimaksudkan untuk mengatasi keresahan

masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam

(black magic) yang secara hukum menimbulkan kesulitan

dalam pembuktiannya. Ketentuan ini dimaksudkan juga

untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik

main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga

masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai

dukun teluh (santet).

Sejalan dengan itu Elstonsius Banjo dan Alfred

Mainassy menyatakan bahwa, dalam Rumusan Rancangan

KUHP Baru delik santet mulai diperkenalkan. Termasuk

asas legalitas yang telah diperluas maknanya diatur

30

pada Pasal 1 Ayat (3) dan Ayat (4). Berikut ini

lengkapnya:

Pasal 1:

(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan

tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah

ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku pada saat

perbuatan itu dilakukan.

(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana

dilarang menggunakan analogi.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup

dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang

patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak

diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat

sebagaimana dimaksud ayat (3) sepanjang sesuai

dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-

prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat

31

bangsa-bangsa. Apabila diperhatikan Pasal 1

Rancangan KUHP tersebut, maka jelas bahwa konsep

asas legalitas telah diperluas maknanya. Yakni,

setiap perbuatan yang dapat dikenakan hukuman bukan

hanya oleh perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan

sebagai delik (tindak pidana) dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan

dilakukan, tetapi juga menurut hukum yang hidup

dalam masyarakat yang bahwa seseorang patut

dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur

dalam peraturan perundangundangan.

Artinya, bahwa meskipun tidak ada peraturan

perundang-undangan atas perbuatan itu terlebih

dahulu, tetapi apabila menurut hukum yang hidup

dalam masyarakat menentukan seseorang itu patut

dihukum hukum, maka ia patut dihukum. Dari rumuasan

ayat (3) dan ayat (4) dapat ditangkap bahwa dasar

hukumnya adalah ditentukan oleh dan/atau menurut

hukum yang hidup dalam masyarakat.

32

Sehingga diperlukan kajian lebih jauh tentang

peraturan perundangan yang mengatur tentang

santet/suanggi. Hukum yang lahir dari masyarakat

bukan dari pejabat atau penguasa, selaras dengan

sifat responsif yang dapat diartikan sebagai

melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang

dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan

oleh rakyat. Menurut Menteri Kehakiman dan HAM

Yusril Ihza Mahendra dalam Harian Umum Suara Harian

Merdeka, Jakarta (2010) menyebut, santet dan

sejenisnya merupakan beyond science. Oleh karena itu,

yang dibuktikan bukan bagaimana cara menyantet

melainkan pengakuan seseorang yang bermufakat untuk

mengancam nyawa atau fisik seseorang dengan jalan

ilmu hitam. Bukan membuktikan ilmu hitamnya sebagai

tindak pidana melainkan perbuatannya. 7 Maksudnya

dalam menangani beberapa kasus kejahatan magis,

penyidik menerapkan pasal-pasal lain dalam KUHP agar

pembuktiannya jadi lebih mudah. Pada kejahatan magis

33

seperti hipnotis, peramalan atau dukun palsu akan

diterapkan pasal penipuan (Pasal 378 KUHP) .

Kemudian dalam kasus kejahatan magis yang

menyebabkan kematian orang, maka polisi akan

menjeratnya dengan pasal pembunuhan (Pasal 338

KUHP).

Oleh karena itu suanggi/nitu merupakan suatu

problema hukum yang responsif di mana diperlukan

pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-

prinsip dan tujuan dan pentingnya kerakyatan baik

sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.

c. Suanggi/nitu dalam Perspektif Perbandingan Hukum

Perbandingan hukum ditujukan untuk memperoleh

pemahaman yang komperhensif tentang semua sistem

hukum yang ada di dunia dengan memahami bagaimana

sistem hukum nasional di Negara sendiri dan

mengadopsi hal-hal yang positif dari sistem hukum

asing guna pembangunan hukum nasional juga sebagai

34

pedoman dalam harmonisasi hukum dan pembentukan

hukum.

Sistem hukum Indonesia merupakan suatu sistem

hukum yang merefleksikan keanekaragaman hukum yang

ada dalam masyarakat Indonesia. Sistem hukum

nasional yaitu sistem hukum yang berlaku dalam suatu

negara belum dimiliki Indonesia karena sistem hukum

Indonesia masih dipengaruhi oleh berbagai sistem

hukum antara lain sistem hukum Eropa Kontinental

(Civil Law), hukum adat dan hukum Islam namun juga

terdapat sistem hukum Common Law yang muncul seiring

dengan perkembangan jaman. Kecenderungan pada Sistem

Hukum Adat, Hukum warisan dan hukum Agraria masih

berpedoman pada hukum adat, selain itu budaya hukum

sistem hukum Indonesia sangat terpengaruh oleh

nilai-nilai yang dianut dan dilaksanakan oleh

masyrakat Indonesia.

35

Dalam perspektif perbandingan hukum, penanganan

hukum untuk masalah suanggi/nitu dapat diselesaikan

dengan mengkolaborasikan beberapa sistem hukum yang

ada. Penyelesaian masalah hukum suanggi tidak dapat

dilakukan dengan sistem civil law yang identik

dengan kodifikasi yaitu berdasar pada aturan-aturan

yang tersusun dalam kitab undang-undang, maka dapat

dikaji dengan pendekatan sistem hukum common law

yang berdasar pada kebiasaan masyarakat. Hukum adat

yang masih berlaku dan diakui oleh masyarakat

tradisioanal. Jika dilihat dari hukum responsif maka

hukum adat sejalan dengan ciri hukum responsif,

karena berasal dari masyarakat.

Problema suanggi/nitu dalam masyarakat yang ada

saat ini memang belum dipidana tetapi dalam

masyarakat tradisional sudah ada hukum adat yang

mengatur itu, dalam hukum adat dikenal adanya

pelanggaran adat. Menurut I Gede A. B. Wiranata

dalam bukunya Hukum Adat Indonesia pelanggaran adat

36

adalah semua bentuk perbuatan atau kejadian yang

bertentangan dengan kepatutan, kerukunan,

ketertiban, keamanan, rasa keadilan dan kesadaran

hukum masyrakat bersangkuta baik hal itu akibat

perbuatan seseorang maupun perbuatan penguasa adat

sendiri.

Dalam pelanggaran adat tidaklah mutlak rumusan

pelanggaran ada terlebih dahulu dari perbuatan

hukum. Hukum adat bersifat terbuka sehingga delik

yang dimaksud adalah setiap perbuatan yang

mengakibatkan keseimbangan masyarakat terganggu

sehingga akan menimbulkan suatu reaksi adat.

Bentuk hukuman dalam hukum adat bermacam-macam

antara lain : pengucilan dari masyarakat, diusir

keluar dari tempat tinggalnya, bahkan hukum cambuk

atau dirajam. Meskipun dengan hukuman-hukuman

tersebut belum tentu memberikan efek jera bagi yang

melakukan pelanggaran tetapi ada usaha dari

37

masyarakat untuk menciptakan rasa aman dan nyaman

mellaui hukum adat tersebut.

Hukum adat yang tidak dapat dipungkiri masih

berlaku dalam masyarakat Indonesia memberikan warna

tersendiri dalam sistem hukum Indonesia, yang secara

tidak langsung juga telah menyelesaikan masalah-

masalah hukum dalam masyarakat seperti problema

suanggi/nitu ini. Dengan memahami perbandingan hukum

maka diharapkan dapat dilakukan pengembangan dan

pembaharuan dalam sistem hukum yang ada yang akan

timbul sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan

masyarakat yang senantiasa berkembang.

38

BAB IV

PENUTUP

a. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang diuraikan di atas

maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Eksistensi Suanggi/nitu dalam masyarakat

tradisional terhadap asas Nullum Delictum

bertentangan karena belum ada norma yang

mengatur tentang suanggi/nitu. Asas Nullum

Delictum mengandung konsekuensi dalam

menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di

dalam peraturan bukan saja tentang macamnya

perbuatan yang harus dirumuskan dengan jelas,

tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan dan

perbuatan suanggi/nitu belum dirumuskan.

2. Suanggi/nitu merupakan suatu problema hukum

yang responsif di mana diperlukan pergeseran

penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip

39

dan tujuan dan pentingnya kerakyatan baik

sebagai tujuan hukum maupun cara untuk

mencapainya.

3. Suanggi/nitu dalam perspektif perbandingan

hukum dapat dikaji melalui sistem hukum common

law yang dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat

dalam hal ini hukum adat yang berlaku dalam

masyarakat tradisional.

b. Saran

1. Diperlukan kajian lebih mendalam dalam

penyelesaian masalah suanggi/nitu dalam masyarakat

tradisional, karena sudah cukup menggangu

ketertiban umum, keamanan, dan kenyamanan

masyarakat.

2. Diperlukan hukum yang responsif dari masyarakat

untuk pembentukan pertaturan perundangan yang

40

dapat memberikan efek jera bagi masyarakat tentang

problema suanggi/nitu.

41

DAFTAR PUSTAKA

Amir Ilyas, 2012, Asas – Asas Hukum Pidana, Yogyakarta,

Mahakarya Rangkang Offset .

Arief Sidharta,2008, Asas-Asas Hukum Secara Umum Bandung,

Retika Adhitama.

Elstonsius Banjo dan Alfred Mainassy 2014, “Suanggi”

dalam Perspektif Hukum Pidana, Halmahera, Jurnal

UNIERA Volume 3 Nomor .

I Gede A.B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia, Bandung,

PT. Citra Aditya Bakti .

Iman Sudiyat, 1999, Asas - Asas Hukum Adat, Yogyakarta,

Liberty.

Philip Nonet dan Philip Selznick, 2010, Hukum Responsif,

Bandung, Nusa Media.

Saryono Yohanes, 2014, Buku Ajar Perbandingan Hukum,

Kupang, Universitas Nusa Cendana.

42

R. Subekti,1980, Hukum Pembuktian,Jakarta,Pradnya

Paramita.

Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum,Yogyakarta, Kanisius.

Undang-Undang :

Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUAHP)