Download this - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

83

Transcript of Download this - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

Jurnal Galam adalah publikasi ilmiah yang memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian dan

sintesis hasil penelitian bidang lingkungan hidup dan kehutanan yang meliputi silvikultur,

mikrobiologi hutan, ekologi, perencanaan, biometrik, teknologi hasil hutan, konservasi

hutan, sosial, ekonomi, kebijakan, dan dampak lingkungan. Jurnal ini terbit berkala dua

kali dalam setahun (Agustus dan Februari). Terbit pertama kali tahun 1998 sebagai

publikasi ilmiah populer dan beberapa kali mengalami perubahan ISSN karena adanya

perubahan nama institusi, Perubahan terakhir pada tahun 2015 sebagai publikasi ilimiah

semi populer dengan ISSN: 2460-0652. Pada tahun 2020 berubah nama menjadi Jurnal

Galam dengan p-ISSN 2723-4924 dan e-ISSN 2723-5084.

Journal Galam is a scientific publication that includes scientific papers from research result and systematic reviews of research results in the field of environment and forestry including silviculture, forest microbiology, ecology, management, biometrics, forest products, forest conservation, social, economy, policy and environmental impact. This journal is issued periodically twice a year (August and Pebruary). It was first published in 1998 as popular publication and experiencing several changes following the institutional changes. First published in 2015 as semi popular publication with the name Galam (ISSN 2460-0652), then in 2020 it is changed into Journal Galam (p-ISSN 2723-4924 and e-ISSN 2723-5084).

Diterbitkan oleh (Published by):

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru (Banjarbaru Environment and Forestry Research and Development Institute)

Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (Research, Development and Innovation Agency) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

(Ministry of Environment and Forestry Republic of Indonesia)

Proses Review (Review Process):

Setiap naskah yang masuk akan dikoreksi oleh dua Mitra Bestari (Reviewer) dan satu Editor Each incoming paper will be reviewed by two Reviewers and one Editor

Submit Online (Online Submission):

https://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM E-mail: [email protected]

Alamat Redaksi :

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru Jl. A. Yani Km. 28,7, Kelurahan Guntung Manggis, Kecamatan Landasan Ulin,

Kota Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia Kode Pos: 70721, Kotak Pos 1065,

Telp. (0511) 4707872, Fax. (0511) 4707872 E-mail: [email protected]

Website : http://banjarbaru.litbang.menlhk.go.id/

Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

i

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI

BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BANJARBARU

Jurnal Galam VOL. 1 No.1 Hal. 1-60 Banjarbaru

Agustus 2020

ISSN

p-ISSN 2723-4924

e-ISSN 2723-5084

Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

ii

DEWAN REDAKSI

Ketua Merangkap Anggota (Editor Board):

M. Abdul Qirom, S.Hut., M.Si. Biometrika Hutan, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru

Anggota (Members):

Prof. (Ris) Dr. Drs. Acep Akbar, M.P. Silvikultur, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru

Dr. Ir. Maman Turjaman, DEA. Mikologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Dr. Dony Rachmanadi, S.Hut., M.Si. Silvikultur, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru

Tri Wira Yuwati, S Hut., M.Sc. Silvikultur, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru

Mitra Bestari (Peer reviewer):

Prof. Dr. Ir. Cahyono Agus DK, M.Agr. Sc. Ilmu Tanah Hutan dan Sustainable Development, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada

Prof. (Ris). Dr. Masganti, M.S. Kesuburan Tanah dan Biologi, Balai Penelitian Tanaman Rawa

Prof. (Ris). Dr. Ir. M. Noor, MS. Kesuburan Tanah dan Biologi Tanah, Balai Penelitian Tanaman Rawa

Dr. Hamdani Fauzi, S.Hut., M.P. Agroforestri, Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat

Dr. Ir. Badruzsaufari, M.Sc. Mikrobiologi, Fakultas MIPA, Universitas Lambung Mangkurat

Dr. Zafrullah Damanik, S.P., M.Si. Agrotechnologi, Peat Soil, Universitas Palangka Raya Dr. Lutfy Abdullah, S.Hut., M.Si. Biometrika Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Ratih Damayanti, S.Hut., M.Si., Ph.D. Anatomi dan Kualitas Lignoselulosa, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Sugeng Budiharta, Ph.D. Ekologi, Biologi Konservasi Tumbuhan, Ekologi Restorasi, Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, LIPI

Dwiko Budi Permadi, S.Hut., M.Sc., Ph.D. Kebijakan dan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada

Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

iii

SEKRETARIAT REDAKSI

Penanggung Jawab:

Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru Ketua Merangkap Anggota (Managing editor):

Dra. Lilis Kurniati Kepala Seksi Data, Informasi dan Kerjasama, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru

Anggota Redaksi Pelaksana (Members):

Sekretariat (Secretariat): Fauziah, S.Hut. Agus Fitriyanto, S.Hut. Norliani, S.Hut.

Pemeriksa Naskah (Copy Editor): Susy Andriani, S.Hut., M.Sc. Safinah Surya Hakim, S.Hut., M.Si. Arif Susianto

Pembaca Naskah (Proof Reader): Junaidah, S.Hut., M.Sc. Dewi Alimah, S.Hut.

Desain Tata Letak (Layout Editor): Hendra Ambo Basiang

Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

iv

UCAPAN TERIMA KASIH

Dewan Redaksi Jurnal Galam mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari (Peer Reviewers) yang telah menelaah naskah yang dimuat pada Edisi Vol.1 No.1, Agustus 2020:

Prof. (Ris). Dr. Masganti, M.S. Kesuburan Tanah dan Biologi, Balai Penelitian Tanaman Rawa Prof. (Ris). Dr. Ir. M. Noor, MS. Kesuburan Tanah dan Biologi Tanah, Balai Penelitian Tanaman Rawa Dr. Hamdani Fauzi, S.Hut., M.P. Agroforestri, Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat Dr. Ir. Badruzsaufari, M.Sc. Mikrobiologi, Fakultas MIPA, Universitas Lambung Mangkurat

Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

v

DAFTAR ISI

Pengelolaan Lahan Gambut di Kawasan Hutan Lindung Liang Anggang Oleh Masyarakat Peduli Gambut (MPG) Sukamaju, Kalimantan Selatan Peat Land Mangement in Liang Anggang Protected Forest by Sukamaju Peat Care Society (PCS), South Kalimantan Nor Ifansyah dan Junaidah ................................................................................................................. 1-14 Keragaman Spora Mikoriza Arbuskula di Bawah Tanaman Shorea balangeran (Korth.) Burck. Sebagai Bioindikator Keberhasilan Revegetasi Diversity of arbuscular mycorrhiza spores under Shorea balangeran (Korth.) Burck. plantation as bioindicator for the revegetation success Tri Wira Yuwati dan Wanda Septiana Putri .................................................................................. 15-26 Fluktuasi Tinggi Muka Air Lahan Gambut di Desa Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah The fluctuation of peatland water table at Tumbang Nusa, Central Kalimantan Purwanto Budi Santosa dan Muhammad Abdul Qirom .......................................................... 27-40 Etnomikologi dan Potensi Pemanfaatan Jamur Petir (Lignosus sp.) di KPH Sengayam, Kotabaru, Kalimantan Selatan Ethnomicology and utilization potential of petir fungi (Lignosus sp.) at KPH Sengayam, Kotabaru, South Kalimantan Safinah S. Hakim dan Eko Priyanto ................................................................................................. 41-48 Potensi Serangga Hutan Sebagai Bahan Pangan Alternatif The potentials of forest insects as alternative food Yeni Nuraeni dan Illa Anggraeni ....................................................................................................... 49-60

Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

vi

Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya.

UDC (OSDCF) 630*114.443 Nor Ifansyah dan Junaidah (Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Kalimantan) Pengelolaan Lahan Gambut di Kawasan Hutan Lindung Liang Anggang Oleh Masyarakat Peduli Gambut (MPG) Sukamaju, Kalimantan Selatan Jurnal Galam Vol.1 No.1, Agustus 2020, Hal 1-14 Pengelolaan lahan gambut pada kawasan hutan lindung bisa dilaksanakan melalui program Perhutanan Sosial (PS). PS merupakan salah satu bentuk solusi terhadap penyelesaian permasalahan pengelolaan lahan gambut, baik itu dalam rangka upaya restorasi gambut terdegradasi maupun upaya penyelesaian konflik sosial dan tumpang tindih lahan serta izin pengelolaan. Tujuan dari kegiatan penelitian adalah untuk mengetahui pola pengelolaan lahan gambut dan penerapan perhutanan sosial oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Masyarakat Peduli Gambut (MPG) Sukamaju, Landasan Ulin, Kalimantan Selatan. Izin resmi pengolahan lahan tersebut tertuang dalam SK. 5902/Menlhk-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 tanggal 14 September 2018 dalam bentuk perizinan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pola pengelolaan lahan yang dilakukan adalah monokultur, agroforestri, agrosilvopastur, apikultur, agrosilvofishery, dan revegetasi. Pengelolaan lahan gambut dilakukan secara swadaya dan melibatkan para pihak, antara lain Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kayu Tangi, Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Badan Restorasi Gambut (BRG), Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Kalimantan. Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan lahan gambut, antara lain pembangunan infrastruktur yang lambat, kurangnya kemampuan sumberdaya manusia (SDM) dalam mengelola lahan gambut, kurangnya koordinasi antara petani dengan pihak peduli gambut, kurangnya pemahaman petani tentang peraturan terkait pengelolaan lahan gambut, dan kurangnya motivasi petani melakukan pola pengelolaan lahan selain pola monokultur sayuran. Bimbingan, penyuluhan, dan komunikasi yang efektif merupakan salah satu bentuk solusi efektif agar bisa mengelola lahan gambut.

Kata kunci: agroforestri, kendala, konflik, pengelolaan, sosialektif agar bisa mengelola UDC (OSDCF) 630*114.61 Tri Wira Yuwati dan Wanda Septiana Putri ((Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru) Keragaman Spora Mikoriza Arbuskula di Bawah Tanaman Shorea balangeran (Korth.) Burck. Sebagai Bioindikator Keberhasilan Revegetasi Jurnal Galam Vol.1 No.1, Agustus 2020, Hal 15-26 Mikoriza arbuskula adalah suatu asosiasi antara jamur dan akar tanaman. Mikoriza arbuskula memiliki banyak fungsi seperti meningkatkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan penyerapan hara tanah, dan meningkatkan toleransi tanaman terhadap kondisi ekstrim. Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus Tumbang Nusa adalah hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah yang terbakar habis pada tahun 2015. Program rehabilitasi lahan gambut telah dimulai sejak tahun 2016 dengan penanaman Shorea balangeran (Korth.) Burck. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman spora mikoriza arbuskula di bawah pohon S. balangeran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur tanaman S. balangeran dan jumlah spora. Lebih lanjut, terdapat 4 spora mikoriza arbuskula yang teridentifikasi, yaitu Glomus sp., Gigaspora sp., Acaulospora sp., dan Scutellospora sp. Kata kunci: mikoriza arbuskula, Kalimantan Tengah, hutan rawa gambut, Shorea balangeran, spora

Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

vii

UDC (OSDCF) 630*114.443 Purwanto Budi Santosa dan Muhammad Abdul Qirom (Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru) Fluktuasi Tinggi Muka Air Lahan Gambut di Desa Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah Jurnal Galam Vol.1 No.1, Agustus 2020, Hal 27-40 Restorasi lahan gambut pasca terbakar dengan penanaman memerlukan kondisi hidrologi yang mantap untuk kemapanan pembuatan tanaman. Fluktuasi tinggi air menjadi tantangan dalam upaya penanaman pada lahan gambut terdegradasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui tinggi muka air pada lahan gambut terdegradasi dan pasca terbakar di sekitar Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Data yang diperoleh dianalisis untuk mengetahui hubungan antara karakteristik hujan, tinggi muka air, dan elevasi lahan. Pengamatan tinggi muka air pada beberapa kejadian kebakaran besar saat terjadi tahun 1997, 2003, 2006, dan 2009. Tinggi muka air diamati dari tepi sungai sampai dengan hutan sekunder sebanyak 17 titik sepanjang 4 km dengan selang jarak 250 m. Tingkat penutupan dan kondisi vegetasi sekitar bervariasi dari vegetasi berkayu jarang dan terbuka sampai dengan kondisi areal yang didominasi tumbuhan berkayu dengan penutupan kanopi baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi muka air tersebut sangat terkait dengan elevasi suatu tempat dan jarak dari saluran air. Fluktuasi tersebut berhubungan erat dengan curah hujan yang terjadi. Namun pengaruh curah hujan tersebut tidak secara langsung tetapi terdapat jeda waktu tertentu sehingga tinggi muka air tersebut menjadi turun atau naik. Kondisi ini harus menjadi perhatian dalam rangka rehabilitasi lahan melalui penentuan jenis tanaman yang tepat dan waktu tanaman sehingga bibit yang ditanam tersebut dapat tumbuh secara optimal. Kata kunci: hidrologi, penanaman, restorasi, terbakar

UDC (OSDCF) 630*172.8 Safinah S. Hakim dan Eko Priyanto (Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru) Etnomikologi dan Potensi Pemanfaatan Jamur Petir (Lignosus sp.) di KPH Sengayam, Kotabaru, Kalimantan Selatan Jurnal Galam Vol.1 No.1, Agustus 2020, Hal 41-48 Dikenal dengan nama lokal jamur petir atau jamur susu harimau, Lignosus sp. merupakan salah satu jamur yang dimanfaatkan sebagai obat. Jamur Lignosus sp. merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang sangat potensial untuk dikembangkan karena manfaatnya yang sangat beragam. Metode yang digunakan dalam studi ini adalah wawancara dan studi literatur. Hasil kajian menunjukkan bahwa saat ini jamur Lignosus sp. di Kabupaten Kotabaru dapat ditemui di sekitar kawasan hutan yang secara administratif masuk dalam wilayah Desa Muara Urie dan Desa Buluh Kuning. Jamur ini dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai bahan pengobatan tradisional antara lain untuk obat batuk dan pemulihan kesehatan ibu yang baru melahirkan. Selain itu, jamur ini juga dipanen dan dijual kepada pengepul. Namun demikian, informasi teknik budidaya jamur Lignosus sp. masih terbatas sehingga informasi tersebut perlu digali lebih dalam terkait besarnya potensi jamur Lignosus sp. Kata kunci: bukan kayu, hutan, obat UDC (OSDCF) 630*145.7 Yeni Nuraeni dan Illa Anggraeni (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan) Potensi Serangga Hutan Sebagai Bahan Pangan Alternatif Jurnal Galam Vol.1 No.1, Agustus 2020, Hal 49-60 Serangga memiliki peran yang penting bagi kehidupan manusia, baik peran negatif/ merugikan maupun positif/menguntungkan. Peran serangga yang merugikan salah satunya yaitu sebagai hama beberapa jenis tanaman, sedangkan peran yang menguntungkan salah

Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

viii

satunya yaitu dapat dijadikan sebagai sumber pangan alternatif. Di beberapa daerah di Indonesia mengkonsumsi serangga sebagai bahan makanan, namun masih banyak masyarakat yang menilai serangga tidak layak untuk dikonsumsi sehingga membuat potensi yang dimiliki oleh serangga tidak termanfaatkan secara maksimal. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi jenis-jenis serangga yang dapat menjadi sumber bahan pangan, serta nilai gizi yang terkandung di dalamnya. Serangga yang umum dikonsumsi yaitu rayap, enthung jati, ulat sagu, belalang dan jangkrik. Nilai gizi yang terkandung pada serangga-seraangga tersebut tergolong cukup tinggi, sehingga kebutuhan gizi masyarakat dapat terpenuhi dengan memanfaatkan serangga sebagai sumber bahan pangan alternatif. Kata kunci: gizi, pangan, serangga

Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM ISSN: 2460-0652

ix

The abstract may be reproduced without permission or charge

UDC (OSDCF) 630* 114.443 Nor Ifansyah dan Junaidah (Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Kalimantan) Peat land mangement in Liang Anggang Protected Forest by Sukamaju Peat Care Society (PCS), South Kalimantan Jurnal Galam Vol.1 No.1, August 2020, Page 1-14 Peatland management in protected forest area can be carried out through Social Forestry (SF) programs. Social forestry (SF) is a form of solution to the resolution of peatland management problems, both in the context of efforts to restore degraded peat as well as efforts to resolve sosial conflicts and overlapping land and management permits. The purpose of this research is to determine the patten of land management and the application of sosial forestry by Sukamaju Peat Cares Society (PSC), Landasan Ulin, South Kalimantan. The official permit to cultivate the land is contained in SK. 5902/Menlhk-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 dated September 14, 2018 with scheme Community Forest (CF). Land management patterns carried out are monoculture, agroforestry, agrosilvopasture, apiculture, agrosilvofishery and revegetation. Management of peatlands is carried out independently and also involves stakeholders, including: The South Kalimantan Provincial Foresty Service, Kayu Tangi Forest Management Unit, Lambung Mangkurat University, Peat Restoration Agency, Kalimantan Social Forestry and Environmental Partnership Institute. The obstacles in peat land management is slow developmet of infrastructure, lack of human resource capacity to manage peatlands, lack of coordination between farmers and peat care parties, lack of farmers’understanding of regulation related to peatland management and lack of motivation from farmers to manage the land other than vegetables monoculture. Effective guidance and communication is one form of effective solutions for managing peatlands. Keywords: agroforestry, obstacles, conflict, management, social

UDC (OSDCF) 630* 114.61 Tri Wira Yuwati dan Wanda Septiana Putri (Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru) Diversity of arbuscular mycorrhiza spores under Shorea balangeran (Korth.) Burck. plantation as bioindicator for the revegetation success Jurnal Galam Vol.1 No.1, August 2020, Page 15-26 Arbuscular mycorrhiza is an association between fungi and plantroots. Arbuscular mycorrhiza has many functions such as improving the plant’s growth, increasing the absorption of soil nutrients and enhancing the plants tolerant to extreme condition. Tumbang Nusa Forest for Specific Purpose is a peat swamp forests in Central Kalimantan that was severely burnt in 2015. Peat land rehabilitation program has started since 2016, by Shorea balangeran (Korth.) Burck planting. The aim of this research was to determine the diversity of arbuscular mycorrhiza spores under S. balangeran tree. The results showed that there was relationship between the age of S. balangeran and number of spores. Moreover, there were 4 spores of arbuscular mycorrhiza identified as Glomus sp., Gigaspora sp., Acaulospora sp. and Scutellospora sp. Keywords: arbuscular mycorrhiza, Central Kalimantan, Shorea balangeran, peat swamp forest, spores UDC (OSDCF) 630*114.443 Purwanto Budi Santosa dan Muhammad Abdul Qirom (Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru) Fluktuasi Tinggi Muka Air Lahan Gambut di Desa Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah Jurnal Galam Vol.1 No.1, August 2020, Page 27-40 Burnt peatland restoration by planting needs stable hydrological condition for the plant’s growth. Water table fluctuation becoming a

Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM ISSN: 2460-0652

x

challenge in the planting effort on degraded peatland. This research aims to determine the water table on degraded peatland and over burnt peat at Tumbang Nusa Forest for Specific Purposes, Pulang Pisau District, Central Kalimantan Province. The data was analyzed to determine the relationship between precipitation characteristics, water table and land elevation. Water table observation was carried out on several fires starting 1997, 2003, 2006 and 2009. We observed 17 points of water table of the total length of 4 km and 250 m distance between points, started from the river edge up to secondary forests. The level of vegetation cover and condition varied from woody plants with low density and open crown up to woody plants with good canopy cover. The result showed that the water table was closely related with the elevation and distance from canal. The fluctuation was closely related with precipitation. Nevertheless, the rainfall did not directly relate but there was a certain interlude period so that the water table was rising or decreasing. This condition shall be considered in the land rehabilitation by planning the right plant in the right time so that the plants can reach optimum growth. Keywords: hydrology, planting, restoration, burnt UDC (OSDCF) 630*172.8 Safinah S. Hakim dan Eko Priyanto (Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru) Ethnomicology and utilization potential of petir fungi (Lignosus sp.) at KPH Sengayam, Kotabaru, South Kalimantan Jurnal Galam Vol.1 No.1, August 2020, Page 41-48 Known locally as the the lightning mushroom or tiger milk mushroom, Lignosus sp. is well-known as mushroom. Lignosus sp. is categorized as non-timber forest product which has potential to be developed due to its advantages. Interview and literature review were carried out during this study to investigate the ecology, ethnomycology, and economic potential of Lignosus sp. Study result showed that currently the fungi Lignosus sp. in Kotabaru Regency can be found around the forest area that is administratively included in the Muara Urie and Buluh Kuning Villages. Local community has been used this fungi as traditional

medicine, such as for cough medicine and post-natal care for mothers. In addition, local people harvest this fungi and sell it to middleman. However, the information of cultivation of this mushroom still limited particularly in South Kalimantan. Therefore, further studies need to be investigate. Keywords: non-timber, forest medicinal UDC (OSDCF) 630*145.7 Yeni Nuraeni dan Illa Anggraeni (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan) Potensi Serangga Hutan Sebagai Bahan Pangan Alternatif Jurnal Galam Vol.1 No.1, August 2020, Page 49-60 Insects have an important role for human life, both negative and detrimental roles as well as positive or beneficial roles. The role of harmful insects is as pest, while the beneficial role can be used as an alternative food source. In some areas in Indonesia, insects are also consumed as food, unfortunately there are still many people who consider insects not suitable for consumption, making the potential possessed by insects not fully utilized. This paper aims to provide information on the types of insects that can be a source of food, as well as the nutritional value contained in insects. Commonly consumed insects are termites, teak caterpillars, sago caterpillars, grasshoppers, and crickets. The insects contain high enough of nutrition that is expected to be used as alternative food source to meet community nutritional needs. Keywords: food, insects, nutrition

https://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM

Diterima: 20-02-2020 Disetujui: 09-08-2020

p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

Artikel

DOI: 10.20886/GLM.2020.1.1.1-14

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI KAWASAN HUTAN LINDUNG LIANG ANGGANG OLEH MASYARAKAT PEDULI GAMBUT (MPG) SUKAMAJU, KALIMANTAN SELATAN

Peat land mangement in Liang Anggang Protected Forest by

Sukamaju Peat Care Society (PCS), South Kalimantan

Nor Ifansyah1-* dan Junaidah2

1Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Kalimantan Jl. Sei Salak, Km. 28, Landasan Ulin, Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan

2Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Banjarbaru Jl. A. Yani Km. 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Pengelolaan lahan gambut pada kawasan hutan lindung bisa dilaksanakan melalui program Perhutanan Sosial (PS). PS merupakan salah satu bentuk solusi terhadap penyelesaian permasalahan pengelolaan lahan gambut, baik itu dalam rangka upaya restorasi gambut terdegradasi maupun upaya penyelesaian konflik sosial dan tumpang tindih lahan serta izin pengelolaan. Tujuan dari kegiatan penelitian adalah untuk mengetahui pola pengelolaan lahan gambut dan penerapan perhutanan sosial oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Masyarakat Peduli Gambut (MPG) Sukamaju, Landasan Ulin, Kalimantan Selatan. Izin resmi pengolahan lahan tersebut tertuang dalam SK. 5902/Menlhk-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 tanggal 14 September 2018 dalam bentuk perizinan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pola pengelolaan lahan yang dilakukan adalah monokultur, agroforestri, agrosilvopastur, apikultur, agrosilvofishery, dan revegetasi. Pengelolaan lahan gambut dilakukan secara swadaya dan melibatkan para pihak, antara lain Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kayu Tangi, Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Badan Restorasi Gambut (BRG), Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Kalimantan. Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan lahan gambut, antara lain pembangunan infrastruktur yang lambat, kurangnya kemampuan sumberdaya manusia (SDM) dalam mengelola lahan gambut, kurangnya koordinasi antara petani dengan pihak peduli gambut, kurangnya pemahaman petani tentang peraturan terkait pengelolaan lahan gambut, dan kurangnya motivasi petani melakukan pola pengelolaan lahan selain pola monokultur sayuran. Bimbingan, penyuluhan, dan komunikasi yang efektif merupakan salah satu bentuk solusi efektif agar bisa mengelola lahan gambut.

Kata kunci: agroforestri, kendala, konflik, pengelolaan, sosial

ABSTRACT

Peatland management in protected forest area can be carried out through Social Forestry (SF) programs. Social forestry (SF) is a form of solution to the resolution of peatland management problems, both in the context of efforts to restore degraded peat as well as efforts to resolve sosial conflicts and overlapping land and management permits. The purpose of this research is to determine the patten of land management and the application of sosial forestry by Sukamaju Peat Cares Society (PSC), Landasan Ulin, South Kalimantan. The official permit to cultivate the land is contained in SK. 5902/Menlhk-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 dated September 14, 2018 with scheme Community Forest (CF). Land management patterns carried out are monoculture, agroforestry, agrosilvopasture, apiculture, agrosilvofishery and revegetation. Management of peatlands is carried out independently and also involves stakeholders, including: The South Kalimantan Provincial Foresty Service, Kayu Tangi Forest Management Unit, Lambung Mangkurat University, Peat Restoration Agency, Kalimantan Social Forestry and Environmental Partnership Institute. The obstacles in peat land management is slow developmet of infrastructure, lack of human resource capacity to manage

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 2

peatlands, lack of coordination between farmers and peat care parties, lack of farmers’understanding of regulation related to peatland management and lack of motivation from farmers to manage the land other than vegetables monoculture. Effective guidance and communication is one form of effective solutions for managing peatlands.

Keywords: agroforestry, obstacles, conflict, management, social

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki lahan gambut yang cukup luas yaitu sekitar 14,9 juta ha yang

tersebar di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua (Ritung et al., 2011).

Gambut merupakan penyimpan karbon yang handal (Agus et al., 2012; Page, Rieley, &

Banks, 2011) dan pengatur tata air (Wösten et al., 2008). Lahan gambut juga merupakan

habitat bagi flora dan fauna serta memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hasil

penelitian Osaki, Setiadi, Takahashi, & Evri (2016) menemukan 27 ikan air tawar di Sungai

Kahayan, sedangkan Thornton, Page, Upton, & Harrison (2018) mengidentifikasi 29 jenis

ikan air tawar pada kanal Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah.

Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan permintaan sumberdaya alam

telah menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan gambut untuk pemanfaatan lahan gambut

sebagai penghasil berbagai komoditas pertanian, lahan permukiman, dan pertambangan.

Dalam sepuluh tahun terakhir, pemanfaatan lahan gambut semakin luas karena semakin

sempitnya lahan pertanian yang tersedia (Noor, Nursyamsi, Alwi, & Fahmi, 2014),

keterbatasan lahan mineral, dan relatif rendahnya isu land tenure pada kawasan lahan

gambut (Wibowo, 2010). Sekurangnya 3 juta ha lahan gambut tropis di Indonesia telah

dikonversi menjadi lahan-lahan berkanal yang menurunkan fungsi aslinya sebagai

reservoir air dan karbon serta menyediakan berbagai jasa ekosistem yang penting bagi

kehidupan masyarakat lokal dan global (Miettinen et al., 2017). Alih fungsi lahan gambut

tidak hanya terjadi di lahan milik masyarakat, tapi juga pada lahan milik negara yang

termasuk dalam kawasan hutan lindung. Pengelolaan kawasan hutan lindung gambut yang

tidak optimal oleh pemerintah menimbulkan pemikiran masyarakat untuk mengelola

lahan tersebut karena pandangan lahan yang tidak dimanfaatkan (Suratmo, Said, & Oki,

2013).

Seiring berjalannya waktu, jumlah masyarakat yang mengelola lahan gambut di

kawasan milik negara, khususnya hutan lindung semakin bertambah dan membuat

kelestarian lahan gambut semakin terusik. Irma, Gunawan, & Suratman (2018)

menyebutkan konversi lahan gambut menjadi lahan produksi menyebabkan penurunan

kualitas lingkungan. Disisi lain, masyarakat yang telah cukup lama menetap di lahan

gambut yang termasuk kawasan hutan lindung terancam keluar karena tidak memiliki izin

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 3

pengelolaan lahan. Untuk mempertemukan beberapa kepentingan khususnya antara

pemerintah dan masyarakat sekitar kawasan hutan, perhutanan sosial muncul sebagai

salah satu bentuk solusi yang tertuang dalam Permen LHK Nomor.

P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tanggal 25 Oktober 2016 tentang Perhutanan

Sosial. Perhutanan Sosial (PS) adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan

dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh

masyarakat setempat atau masyarakat hutan adat sebagai pelaku utama untuk

meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya

dalam bentuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat

(HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (KK) (KLHK, 2016). PS merupakan

salah satu bentuk solusi terhadap penyelesaian permasalahan pengelolaan lahan gambut,

baik itu dalam rangka upaya restorasi gambut yang teredegradasi maupun upaya

penyelesaian konflik sosial dan tumpang tindih lahan serta izin pengelolaan.

PS di lahan gambut sendiri mengalami proses perjalanan yang cukup panjang.

Setelah sempat terjadi penghentian pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola

hutan alam primer dan lahan gambut yang tertuang dalam Inpres No. 5 tahun 2019,

akhirnya pemberian izin pengelolaan lahan gambut pada kawasan hutan milik negara

kembali aktif setelah terbit PermenLHK No. 37/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 tanggal

31 Juli 2019 tentang Perhutanan Sosial pada ekosistem gambut. Berdasarkan PermenLHK

tersebut, PS di lahan gambut dapat dilakukan dalam fungsi budidaya dan fungsi lindung

ekosistem gambut. Pemanfaatan ekosistem gambut untuk PS meliputi HPHD, Izin Usaha

Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm), Kemitraan Kehutanan dan Hutan Adat.

Peraturan tersebut juga menetapkan area pemanfaatan ekosistem gambut untuk kegiatan

PS mengacu pada peta Fungsi Ekosistem Gambut (FEG), peta penetapan puncak kubah

gambut, peta hidrotopografi, dan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB)

(KLHK, 2019).

Penerapan PS di lahan gambut sendiri masih belum banyak dilakukan di wilayah

Indonesia. Salah satu kelompok tani yang mendapatkan izin mengelola lahan gambut

dengan skema perhutanan sosial adalah Kelompok Tani Hutan (KTH) Masyarakat Peduli

Gambut (MPG) Sukamaju, Landasan Ulin, Kalimantan Selatan. MPG Sukamaju adalah salah

satu kelompok tani masyarakat di lahan gambut yang mendapatkan izin untuk mengelola

lahan gambut di Kawasan Hutan Lindung (HL) Liang Anggang, Banjarbaru, Kalsel dengan

menggunakan IUPHKm. Perlu adanya kajian tentang pengelolaan lahan gambut dan

penerapan PS oleh MPG Sukamaju sehingga penyempurnaan pelaksaaan PS di masa akan

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 4

datang dapat dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pengelolaan lahan

gambut dan penerapan PS oleh KTH MPG Sukamaju, Landasan Ulin, Kalsel.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan lokasi penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juli-Agustus tahun 2019. Penelitian dilakukan di

Kelurahan Landasan Ulin Utara, Kecamatan Liang Anggang, Kota Banjarbaru, Provinsi

Kalimantan Selatan. Kawasan gambut di wilayah ini termasuk dalam wilayah kerja

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kayu Tangi yang memiliki fungsi sebagai hutan

lindung (HL). Lahan MPG Sukamaju berdasarkan ikim Schmidt Ferguson termasuk dalam

tipe iklim B. Tipe B atau basah memiliki periode bulan basah 9 s.d 10 bulan dan bulan

kering 1 sd. 3 bulan. Lahan yang dikelola terdiri dari tanah tidak bergambut, tanah

bergambut (<50 cm), gambut dangkal (50-100 cm), dan gambut sedang (100-200 cm).

Kondisi lahan MPG Sukamaju disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Tumpang Susun Wilayah Hutan Kemasyarakatan dengan Ketebalan Gambut.

Sumber: KTH MPG Sukamaju, 2019

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 5

Bahan dan alat penelitian

Objek yang diamati dalam penelitian adalah anggota Kelompok Tani Hutan (KTH)

Masyarakat Peduli Gambut (MPG) Sukamaju, Landasan Ulin serta lahan gambut yang

mereka olah. Peralatan yang digunakan, yaitu kamera digital, kuesioner dan alat tulis

menulis.

Metode penelitian

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas survey (observasi)

lapangan, wawancara mendalam, dan studi dokumen terkait dengan proses perizinan PS

di HL Liang Anggang yang dikelola oleh KTH MPG Sukamaju. Data yang dikumpulkan

dalam penelitian terdiri dari dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data

primer adalah data hasil dari survei (observasi) di lapangan dan wawancara mendalam

dengan informan. Penentuan informan kunci dalam penelitian ini dilakukan secara

sengaja (purposive), dalam arti pemilihan informan tidak berdasarkan keterwakilan

jumlah populasi, melainkan dipilih dan ditetapkan berdasarkan kriteria yang

merepresentasikan kemampuan dan kesediaan mereka untuk memberikan informasi yang

dapat mendukung pencapaian tujuan penelitian. Informan dalam penelitian ini meliputi

anggota dan ketua KTH MPG Sukamaju serta para pihak yang relevan dengan tujuan

penelitian. Data sekunder adalah data literatur terkait penelitian.

Analisis data

Data hasil observasi lapangan dan wawancara dilakukan tabulasi dan

pengelompokan data. Data tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pola pengelolaan lahan gambut

Masyarakat Peduli Gambut (MPG) Sukamaju adalah salah satu kelompok tani

masyarakat yang mendapatkan izin untuk mengelola lahan gambut di Kawasan HL Liang

Anggang, Kelurahan Landasan Ulin Utara, Kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru,

Kalimantan Selatan melalui skema IUPHKm. Berdirinya masyarakat peduli gambut

berawal dari kebakaran hebat yang terjadi pada tahun 2014 di kawasan HL Liang Anggang

dan hampir merambah ke areal pertanian masyarakat. Menyadari akan bahaya kebakaran,

maka masyarakat bermusyawarah dan sepakat membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH)

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 6

Masyarakat Peduli Gambut (MPG) “SUKA MAJU” yang ditetapkan oleh Lurah Landasan

Ulin Utara tanggal 06 Januari 2015.

Lahan yang diolah oleh anggota KTH MPG Sukamaju ada yang termasuk dalam areal

kawasan Hutan Lindung berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor

672/KPts-II/1991 dan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor

434/Kpts-II/1996. Sebelumnya, kawasan ini disahkan sebagai kawasan hutan

berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor 819/KPts/Um/11/1982

pada tanggal 10 November 1982 dan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor

247/Kpts-II/1984 tanggal 18 Desember 1984 dengan luasan 2.250 hektar. Lahan HL

sendiri digunakan untuk berbagai hal, seperti fasilitas umum (RS Jiwa Sambang Lihum),

lahan pemukiman/pertanian/perkebunan, jalan, saluran irigasi, dan semak belukar. Luas

kawasan HL yang masih murni dengan fungsi sebagai kawasan HL seluas 1350,7 hektar

yang dikelola oleh pemerintah yang berwenang, yaitu KPH Kayu Tangi dan Dinas

Kehutanan Provinsi Kalsel (Agustina, Fauzi, & Hafizianor, 2020). Faktor yang bisa

menyebabkan masyarakat masuk ke dalam wilayah HL adalah tekanan dan tuntutan

ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan dan motivasi masyarakat untuk memiliki

lahan (Subarna, 2011).

Tabel 1. Pola pengelolaan lahan gambut KTH MPG Sukamaju.

Pola Pengelolaan Komposisi Jenis Keterangan

Monokultur Sayuran: kangkung, sawi, daun sop, daun bawang, bayam, cabe, daun sop, terong, bayam potong, bayam cabut, jagung, ubi jalar, kemangi, keladi dan mentimun

Sayuran ditanam dalam skala luas secara monokultur

Agroforestri Tanaman berkayu + tanaman buah + sayuran Tanaman Berkayu: sengon (Falcataria moluccana), karet (Hevea brasiliensis) dan sawit (Elaesis quinensiss Jack)

Tanaman buah: nenas, jeruk nipis, jeruk peras, papaya, alpukat dan sirsak

Ketiga jenis kelompok tanaman ditanam secara bersama-sama

Agrosilvopasture Tanaman buah + sayuran + ternak (sapi, kambing dan itik petelur jenis Alabio dan Mojosari)

Apikultur Lebah madu kelulut (Trigona spp). Di bawah tegakan sawit

Revegetasi Kopi liberika (Coffea liberica), balangeran (Shorea balangeran), ramin (Gonystilus bancanus), dll.

Penanaman kembali pada lahan bekas terbakar

Agrosilvofishery Tanaman berkayu + budidaya ikan betok/papuyu (Anabas testudineus)+ sayuran

Di bawah tanaman trembesi (Samanea saman)

Sumber : Data primer, 2019

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 7

Lahan di sekitar kawasan HL sendiri telah dibuka masyarakat sejak tahun 1995.

Kondisi awal lahan gambut didominasi oleh jenis galam (Melaleuca cajuputi), kelakai

(Stenochlaena palustris), akasia (Acacia mangium), dan karamunting (Melastoma sp.).

Pembukaan lahan dilakukan secara manual dan dilakukan secara bertahap. Masyarakat

menggunakan berbagai pola pengelolaan lahan. Pola pengelolaan lahan gambut yang

dilakukan oleh KTH MPG Sukamaju adalah monokultur, agroforestri, agrosilvopastur,

apikultur, agrosilvofishery, dan revegetasi.

(a) (b) (c)

Gambar 1. Pengelolaan lahan KTH MPG Sukamaju (a) Plot tanaman agroforestri, (b) Budidaya madu kelulut di bawah tegakan sawit, (c) Peternakan sapi.

Penerapan Perhutanan Sosial oleh KTH MPG Sukamaju

Masyarakat anggota KTH MPG Sukamaju mengelola lahan gambut di sekitar

kawasan HL Liang Anggang sejak tahun 1995. Mereka menjadikan kawasan HL sebagai

lahan pertanian, perkebunan, dan juga permukiman. Setelah terbitnya Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor

P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang perhutanan sosial, maka harapan

masyarakat untuk bisa mengelola kawasan hutan lindung secara legal menjadi terbuka.

Berdasarkan PP tersebut, izin memanfaatkan kawasan hutan lindung dalam bentuk Izin

Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan yang selanjutnya disingkat IUPHKm.

Terbitnya PermenLHK No. 83 tersebut memberikan angin segar bagi masyarakat yang

selama ini bermukim di kawasan hutan lindung dan menggantungkan hidupnya pada

lahan tersebut, termasuk masyarakat sekitar kawasan HL Liang Anggang. Proses perizinan

pemanfaatan lahan gambut di kawasan hutan lindung membutuhkan proses yang cukup

panjang. Dalam proses tersebut, KTH MPG Sukamaju dibantu oleh para pihak meliputi

Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel, Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Badan Restorasi

Gambut (BRG), KPH Kayu Tangi dan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan

(BPSKL) Kalimantan. Langkah awal yang dilakukan masyarakat adalah pembuatan

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 8

kelompok tani hutan yang akhirnya terbentuk pada tahun 2015 yang diberi nama KTH

MPG Sukamaju.

Berdasarkan SK. 5902/Menlhk-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 tanggal 14 September

2018, akhirnya lahan gambut pada kawasan HL Liang Anggang tersebut resmi dikelola

oleh KTH MPG Sukamaju dengan luasan 125 ha dan beranggotakan 138 petani dengan

skema IUPHKm. PermenLHK No. 83 mendefinisikan IUPHKm sebagai izin usaha yang

diberikan kepada kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat untuk

memanfaatkan hutan pada kawasan hutan lindung dan atau kawasan hutan produksi

(KLHK, 2016). Sementara itu, PermenLHK No. 37 tahun 2019 menyebutkan IUPHKm

berada pada Fungsi Budidaya Ekosistem Gambut dan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut

dilakukan pada produksi dan atau hutan lindung (KLHK, 2019).

Program kerja KTH MPG Sukamaju tertuang dalam dokumen Rencana Kerja Usaha

(RKU) 2019-2028 dan Rencana Kerja Tahunan (RKT). Beberapa program KTH MPG

Sukamaju yang tertuang dalam RKU dikelompokkan menjadi 4 (empat) program, yaitu (1)

Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HKm meliputi konservasi, perlindungan, dan

pengamanan; (2) Pemanfaatan hasil tanaman MPTS (Multi Purpose Tree Species); (3)

Pemanfaatan Hasil Hutan bukan kayu (HHBK); dan (4) Edukasi dan jasa lingkungan (KTH

MPG Sukamaju, 2018). Selain melanjutkan beberapa program yang diinisiasi oleh para

pihak terkait sebelumnya, dalam RKU juga mencantumkan beberapa kegiatan tambahan

yang disesuaikan dengan potensi kawasan. Dalam penyusunan RKU tersebut, KTH MPG

Sukamaju difasilitasi oleh BPSKL Kalimantan. BPSKL Kalimantan mengarahkan dan

membimbing petani untuk mengetahui potensi desa, harapan dan keinginan petani serta

kegiatan yang bisa mereka lakukan. KTH MPG Sukamaju memiliki ragam aktivitas, dimana

semua kegiatan tersebut dalam pelaksanaannya selalu dibahas dalam pertemuan anggota

kelompok yang dilaksanakan 2 kali dalam sebulan. Dalam pertemuan tersebut, juga

dibahas berbagai pemasalahan dan perkembangan yang ada di dalam KTH MPG serta

perkembangan dari pihak ke-3 untuk membantu/menfasilitasi kegiatan KTH MPG Suka

Maju.

Pengelolaan lahan gambut dan penerapan program PS oleh KTH MPG Sukamaju

memiliki banyak kendala, baik teknis maupun nonteknis. Beberapa kendala yang dihadapi,

antara lain (1) pembangunan infra struktur yang lambat, (2) kurangnya kemampuan SDM

dari petani untuk mengolah lahan gambut, (3) kurangnya koordinasi antara petani dengan

pihak yang peduli gambut sehingga menimbulkan beberapa permasalahan, dan (4)

kurangnya pemahaman petani tentang peraturan pemerintah terkait pengolahan lahan

gambut.

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 9

Pembahasan

Secara umum, lahan KTH MPG Sukamaju yang berada di Kelurahan Landasan Ulin

Utara merupakan daerah pertanian khususnya di bidang holtikultura. Tidak terkecuali

yang berada di sepanjang jalan Sukamaju, hampir 90 % masyarakat adalah petani sayuran

yang dikelola secara monokultur. Pola lain yang digunakan masyarakat adalah

agroforestri, agrosilvopastur, apikultur, agrosilvofishery, dan revegetasi. Perkembangan

pola budidaya di lahan gambut tidak lepas dari andil para pihak yang memberi dukungan

intensif dalam 5 tahun terakhir untuk pengelolaan lahan gambut yang lebih ramah

lingkungan dan produktif. Para pihak terkait yang mendukung pengelolaan lahan gambut

di daerah tersebut, antara lain ULM, Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel, KPH Kayu Tangi,

BRG, BPSKL Kalimantan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Barito, Balai

Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Banjarbaru, dll. Dukungan para

pihak dilakukan dalam berbagai bentuk, antara lain pembangunan sarana prasarana

pendukung (sumur bor, embung, sekat kanal dan sumur dangkal), bantuan alat

pengolahan lahan agroforestri (traktor, pompa air, paranet, dll), bantuan alat produksi

biogas (digester, metan detector, kompresor, water trap, dll), dukungan modal usaha

(pengadaan stup lebah madu lebah madu Serena sp. dan lebah kelulut Trigona sp., benih

ikan, itik petelur jenis alabio dan mojosari, sapi, bibit pohon dan sayuran), pembuatan

tabat pada kanal, dan anggota KTH MPG Sukamaju diikutkan dalam pelatihan dan studi

banding. Berbagai pola pengelolaan lahan gambut yang diterapkan diharapkan dapat

meningkatkan produktifitas lahan gambut dan dapat mengatasi masalah-masalah yang

timbul akibat terjadinya alih fungsi lahan gambut seperti penurunan kesuburan tanah,

banjir, bahaya kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, dan kepunahan plasma nutfah.

Mayrowani (2016) menyatakan pola agroforestri merupakan sarana yang efektif untuk

mengurangi kemiskinan dan Fahruni (2015) menyebutkan pola agroforestri

menguntungkan secara finansial.

Izin resmi pengelolaan lahan gambut di kawasan HL Liang Anggang yang dikelola

KTH MPG Sukamaju berdasarkan pada SK.5902/Menlhk-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018

tanggal 14 September 2018. Sebelum izin tersebut keluar, terjadi keresahan di masyarakat

tentang status lahan yang telah mereka garap sejak tahun 1995. Dengan adanya izin

tersebut, masyarakat bisa mengelola lahan gambut secara legal. Sebenarnya sudah ada

izin nonformal yang tidak tertulis dari Dinas Kehutanan Provinsi tentang pemanfaatan

lahan di sekitar kawasan HL Liang Anggang dengan tetap menjaga kelestarian hutan

(Agustina et al., 2020). Namun, izin tersebut tidak bisa melegalkan kegiatan yang

dilakukan masyarakat. Keberadaan perhutanan sosial, dalam hal ini IUPHkm telah mampu

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 10

mempertemukan berbagai perspektif dan kepentingan dari para pihak. Agustina et al.,

(2020) menyebutkan terdapat 3 (tiga) pihak utama yang terlibat dalam pengelolaan lahan

KTH MPG Sukamaju, yaitu Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel dan KPH Kayu Tangi, BRG dan

ULM yang memiliki perspektif masing-masing terhadap lahan yang diolah masyarakat.

Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel dan KPH Kayu Tangi selaku pemegang kelola secara

operasional yang menggangap lahan ini sebagai kawasan dengan fungsi perlindungan

sehingga membutuhkan izin pemanfaatan lahan, sedangkan BRG dengan ULM

menganggap lahan KTH MPG Sukamaju sebagai kawasan ekosistem gambut terdegradasi

yang harus dipulihkan dan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut yang telah

membuka dan memanfaatkan lahan sebagai sumber penghidupan mereka.

Program PS sendiri bertujuan untuk pemerataan sektor ekonomi dalam masyarakat

dan untuk mengurangi adanya ketimpangan di sektor ekonomi. Program ini memberikan

akses yang legal kepada masyarakat desa di sekitar kawasan hutan untuk mengakses

hutan di kawasan hutan negara melalui mekanisme penebitan perizinan yang diterbitkan

oleh menteri dalam bentuk surat keputusan (Agusti, Nurjaya, & Kuswahyono, 2019). Izin

pemanfaatan lahan hutan lindung sebagai lahan pertanian diberikan dengan adanya Nota

Kesepakatan Kerjasama (NKK) dan izin kawasan sebagai kawasan Perhutanan Sosial

(Agustina et al., 2020). Terbitnya PermenLHK No. 83 tahun 2016 memberikan peluang

dalam pelaksanaan PS dengan memberikan ruang pada kawasan yang berfungsi lindung.

PS di lahan gambut memiliki potensi menjadi trade off antara kepentingan sosial, nilai

ekonomi, dan lingkungan (Gunawan & Afriyanti, 2019). Izin yang diberikan kepada KTH

MPG Sukamaju adalah izin pengolahan dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm). HKm

sendiri diperuntukkan bagi masyarakat miskin yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan

hutan dan menggantungkan penghidupannya dari memanfaatkan sumberdaya hutan

(Safe’i, Febryano, & Aminah, 2018). Keberadaan program HKm di beberapa daerah dapat

meningkatkan pendapatan KTH sebesar 20-50 % (Mulyadin, Surati, & Ariawan, 2016).

Rencana kerja yang termuat dalam RKU KTH MPG Sukamaju sudah sesuai mandat

dalam PermenLHK No. 83 tahun 2016, dimana pengelola PS nantinya memiliki bermacam

kewajiban, antara lain menjaga areal dari perusakan dan pencemaran lingkungan,

mempertahankan fungsi hutan, dan melakukan perlindungan hutan. PermenLHK No. 37

secara lebih detail menjelaskan tentang PS pada lahan gambut. Selain itu, RKU KTH MPG

Sukamaju juga sudah sesuai dengan mandat PermenLHK No. 37, dimana IUPHKm pada

hutan produksi dan/atau hutan lindung dengan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut dapat

dimanfaatkan untuk kegiatan (1) pemanfaatan kawasan; (2) pemanfaatan jasa lingkungan;

(3) pemanfaatan tanaman kehidupan untuk kebutuhan pangan dengan varietas yang

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 11

adaptif dengan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut; dan/atau (4) pemanfaatan atau

pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) (KLHK, 2019).

Keterlibatan banyak pihak dan kerjasama yang baik antara para pihak dengan

masyarakat, membuat berbagai program kerjasama pengelolaan lahan gambut bisa

berjalan dengan baik. Usaha KTH MPG Sukamaju dalam menyejahterakan anggotanya

dengan mempertahankan kelestarian lingkungan telah membuahkan hasil. Pada tahun

2019, MPG Sukamaju memperoleh predikat Juara I Wanalestari Kategori KTH Tingkat

Provinsi Kalimantan Selatan, Juara Harapan III Wanalestari kategori Kelompok Tani Hutan

(KTH) Tingkat Nasional dan ditetapkan sebagai KTH yang peduli terhadap konservasi

tanaman galam (Melaleuca leucadendron). Saat ini KTH MPG Sukamaju sering menjadi

tempat belajar bagi masyarakat dalam hal pengelolaan lahan gambut dalam kawasan

hutan. Pada tahun 2019, MPG Sukamaju menjadi tempat studi banding KTH pengelola

lahan gambut se-Sumatera yang diprakarsai BPSKL Wilayah Sumatera. Bahkan pada tahun

2019, mendapat kunjungan dari Komisi IV DPR RI tentang pengelolaan lahan gambut.

Keberhasilan KTH MPG Sukamaju memperoleh penghargaan ini tidak terlepas dari peran

serta stakeholder dalam melakukan pendampingan. Pendampingan yang intensif dari

stakeholder yang terlibat memberikan dampak positif terhadap KTH MPG Sukamaju.

Walaupun sudah mendapat penghargaan, penerapan berbagai program KTH MPG

Sukamaju dalam mengelola lahan gambut masih memiliki banyak kendala. Kendala yang

dihadapi adalah kurangnya kemampuan SDM dari petani untuk mengolah lahan gambut

yang ramah lingkungan. Pengolahan lahan gambut yang ramah lingkungan memerlukan

pengetahuan khusus. Beberapa teknik pengolahan yang digunakan oleh masyarakat

selama ini masih konvensional dan sebagian belum bersifat ramah lingkungan seperti

pembukaan lahan dengan teknik membakar. Kendala ini tidak hanya dihadapi oleh KTH

MPG Sukamaju, tetapi juga oleh banyak KTH di Indonesia. Handoyo et al., (2018)

menyebutkan kendala umum yang dihadapi antara lain kurangnya pengetahuan

masyarakat dalam budidaya dan pengolahan komoditas lahan gambut. Dari beberapa

penelitian pola budidaya masyarakat di lahan gambut yang dilakukan P3SEKPI, belum ada

aliran informasi yang baku dari pusat-pusat pengetahuan sektor pertanian/perkebunan

tentang budidaya komoditas di lahan gambut melalui penyuluh. Untuk mengatasi hal

tersebut, anggota KTH MPG Sukamaju mengikuti berbagai pelatihan terkait pengelolaan

lahan gambut. Hasil dari pelatihan tersebut, para anggota memiliki pengetahuan, sikap,

dan keterampilan serta mulai menerapkan dalam pengelolaan lahan gambut terintegrasi

menggunakan konsep 3R, yaitu rewetting, revegetation, dan revitalization sehingga bisa

mendukung program menjaga areal dari kerusakan dan pencemaran lingkungan. Kendala

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 12

lain yang dihadapi dalam pelaksanaan program sesuai RKU adalah pembangunan

infrastruktur yang lambat. Pengolahan lahan gambut banyak dilakukan secara manual

sehingga hasil yang didapatkan belum maksimal. Pengelolaan lahan gambut secara

mekanis lebih cepat dan mudah, tetapi petani terkendala modal yang besar dan terikat

peraturan penggunaan alat mekanis di lahan gambut. Untuk itu perlu dukungan dari para

pihak terkait modal dan pengadaan sapras. Kurangnya koordinasi antara petani dengan

pihak yang peduli gambut dan kurangnya pemahaman petani tentang peraturan terkait

pengolahan lahan gambut juga menjadi kendala. Petani beranggapan peraturan-peraturan

tersebut membatasi petani dalam mengolah lahan. Selain itu, motivasi petani dalam

mengelola lahan gambut dengan pola selain monokultur sayuran masih rendah karena

hasil yang didapatkan dari produk lain selain sayuran membutuhkan waktu yang lebih

lama. Untuk meningkatkan motivasi petani dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas

petani berupa pelatihan, pendidikan, dan penyuluhan yang lebih intensif serta studi

banding berbagai praktik pengelolaan lahan gambut di daerah lain. Faktor lain yang perlu

dikembangkan agar pelaksanaan PS memberikan hasil optimal adalah penguatan

kelembagaan (Nandini, 2013) dan kemitraan (Susilo, 2019). Upaya peningkatan kapasitas

kelembagaan kelompok tani dapat dilakukan melalui peningkatan kedinamisan dan

partisipasi anggota dalam kegiatan kelompok tani (Ruhimat, 2017).

KESIMPULAN

Kelompok Tani Hutan (KTH) Masyarakat Peduli Gambut (MPG) Sukamaju mengelola

lahan gambut di sekitar kawasan HL Liang Anggang dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan

Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm). Pola pengelolaan lahan yang dilakukan adalah

monokultur, agroforestri, agrosilvopastur, apikultur, agrosilvofishery, dan revegetasi.

SARAN

Dukungan dan pendampingan intensif dari para pihak sangat diperlukan, sehingga

program HKm yang telah dimuat dalam RKU kelompok dapat dilaksanakan.

PERNYATAAN KONTRIBUSI

Penulis Nor Ifansyah dan Junaidah sebagai kontributor utama pada karya ilmiah ini.

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 13

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., Wahyunto, Daria’ah, A., Runtunuwu, E., Susanti, E., & Supriatna, W. (2012). Emission reduction options for peatlands in the Kubu Raya and Pontianak districts, West Kalimantan, Indonesia. Journal of Oil Palm Research, 24, 1378–1387.

Agusti, T. M., Nurjaya, I. N., & Kuswahyono, I. (2019). Implementasi regulasi perhutanan sosial yang berkemanfaatan bagi masyarakat sekitar hutan. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 4(2), 300–309. https://doi.org/10.17977/ um019v4i2p300-309

Agustina, L. S., Fauzi, H., & Hafizianor, H. (2020). Pemetaan sosial dan identifikasi pengelolaan lahan oleh masyarakat di Kawasan Hutan Lindung Liang Anggang Kalimantan Selatan. Jurnal Sylva Scienteae, 3(2), 274–285. https://doi.org/10.20257/ 10.20527/jss.v6i3

Fahruni, F. (2015). Analisis pola agroforestri pada kebun petani. Daun, 2(1), 12–25.

Gunawan, H., & Afriyanti, D. (2019). Potensi perhutanan sosial dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam restorasi gambut. Jurnal Ilmu Kehutanan, 13(2), 227–236. https://doi.org/10.22146/jik.52442

Handoyo, Irawanti, S., Surati, Ariawan, K., Setiadi, A., Mulyadin, & Charity, D. (2018). Regulasi perhutanan sosial di lahan gambut”antara political will dan realita”. Policy Brief 12 (4): 1 – 7.

Irma, W., Gunawan, T., & Suratman, S. (2018). Pengaruh konversi lahan gambut terhadap ketahanan lingkungan di DAS Kampar Provinsi Riau Sumatera. Jurnal Ketahanan Nasional, 24(2), 170–191. https://doi.org/10.22146/jkn.36679

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Perhutanan Sosial. , Pub. L. No.

1663. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia

Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 (2016).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Perhutanan Sosial pada

Ekosistem Gambut. , Pub. L. No. 1341. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.37/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019

(2019).

KTH MPG. 2019. Rencana Kerja Usaha (RKU) Hutan Kemasyarakatan KTH MPG Suka Maju Periode 2019 sampai 2028.

Miettinen, J., Hooijer, A., Vernimmen, R., Liew, S. C., & Page, S. E. (2017). From carbon sink to carbon source: extensive peat oxidation in insular Southeast Asia since 1990. Environmental Research Letters, 12(2), 24014. https://doi.org/10.1088/1748-9326/aa5b6f

Mayrowani, H. (2016). Pengembangan agroforestry untuk mendukung ketahanan pangan dan pemberdayaan petani sekitar hutan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 29(2), 83–98. https://doi.org/10.21082/fae.v29n2.2011.83-98

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 14

Mulyadin, R. M., Surati, S., & Ariawan, K. (2016). Kajian hutan kemasyarakatan sebagai sumber pendapatan: kasus di Kab. Gunung Kidul. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 13(1), 13–23. https://doi.org/10.20886/jsek.2016.13.1.13-23

Nandini, R. (2013). Evaluasi pengelolaan hutan kemasyarakatan (Hkm) pada hutan produksi dan hutan lindung di Pulau Lombok. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 10(1), 43–55. https://doi.org/10.20886/jpht.2013.10.1.43-55

Noor, M., Nursyamsi, D., Alwi, M., & Fahmi, A. (2014). Prospek pertanian berkelanjutan di lahan gambut: dari petani ke peneliti dan peneliti ke petani. Jurnal Sumber Daya Lahan, 8(2), 69–79.

Osaki, M., Setiadi, B., Takahashi, H., & Evri, M. (2016). Peatland in Kalimantan. In Tropical Peatland Ecosystems (pp. 91–112). https://doi.org/10.1007/978-4-431-55681-7_6

Page, S. E., Rieley, J. O., & Banks, C. J. (2011). Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool. Global Change Biology, 17(2), 798–818. https://doi.org/10.1111/j.1365-2486.2010.02279.x

Ruhimat, I. S. (2017). Peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry: studi kasus di Desa Cukangkawung, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 14(1), 1–17.

Ritung, S., Wahyunto, K., Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, & Tafakresnanto, C. (2011). Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Bogor, Indonesia: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.

Safe’i, R., Febryano, I. G., & Aminah, L. N. (2018). Pengaruh keberadaan gapoktan terhadap pendapatan petani dan perubahan tutupan lahan di hutan kemasyarakatan. Sosiohumaniora, 20(2), 109–114. https://doi.org/10.24198/sosiohumaniora. v20i2.14349

Subarna, T. (2011). Faktor yang mempengaruhi masyarakat menggarap lahan di hutan lindung: studi kasus di Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 8(4), 265–275. https://doi.org/10.20886/jpsek.2011.8.4.265-275

Suratmo, Said, S., & Oki, G. (2013). Identifikasi okupasi lahan pada kawasan hutan lindung Pinang Luar Kecamatan Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya. Jurnal Hutan Lestari, 1(2).

Thornton, S. A., Page, S. E., Upton, C., & Harrison, M. E. (2018). Peatland fish of Sebangau, Borneo: diversity, monitoring and conservation. Mires & Peat, 22. https://doi.org/10.19189/MaP.2017.OMB.313

Wibowo, A. (2010). Konversi hutan menjadi tanaman kelapa sawit pada lahan gambut: implikasi perubahan iklim dan kebijakan. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 7(4), 251–260. https://doi.org/10.20886/jpsek.2010.7.4.251-260

Wösten, J. H. M., Clymans, E., Page, S. E., Rieley, J. O., & Limin, S. H. (2008). Peat–water Interrelationships in a tropical peatland ecosystem in Southeast Asia. Catena, 73(2), 212–224. https://doi.org/10.1016/j.catena.2007.07.010

https://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM

Diterima: 12-12-2019 Disetujui: 09-08-2020

p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

Artikel

DOI: 10.20886/GLM.2020.1.1.15-26

KERAGAMAN SPORA MIKORIZA ARBUSKULA DI BAWAH TANAMAN Shorea balangeran (Korth.) Burck. SEBAGAI BIOINDIKATOR KEBERHASILAN

REVEGETASI

Diversity of arbuscular mycorrhiza spores under Shorea balangeran (Korth.) Burck. plantation as bioindicator for the revegetation success

Tri Wira Yuwati1* dan Wanda Septiana Putri2

1Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru Jl. A.Yani km 28,7, Landasan Ulin, Banjarbaru Kalimantan Selatan,

Telepon/Fax: 0511-4707872 2 Fakultas MIPA, Universitas Lambung Mangkurat

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Mikoriza arbuskula adalah suatu asosiasi antara jamur dan akar tanaman. Mikoriza arbuskula memiliki banyak fungsi seperti meningkatkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan penyerapan hara tanah, dan meningkatkan toleransi tanaman terhadap kondisi ekstrim. Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus Tumbang Nusa adalah hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah yang terbakar habis pada tahun 2015. Program rehabilitasi lahan gambut telah dimulai sejak tahun 2016 dengan penanaman Shorea balangeran (Korth.) Burck. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman spora mikoriza arbuskula di bawah pohon S. balangeran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur tanaman S. balangeran dan jumlah spora. Lebih lanjut, terdapat 4 spora mikoriza arbuskula yang teridentifikasi, yaitu Glomus sp., Gigaspora sp., Acaulospora sp., dan Scutellospora sp.

Kata kunci: mikoriza arbuskula, Kalimantan Tengah, hutan rawa gambut, Shorea balangeran, spora

ABSTRACT

Arbuscular mycorrhiza is an association between fungi and plantroots. Arbuscular mycorrhiza has many functions such as improving the plant’s growth, increasing the absorption of soil nutrients and enhancing the plants tolerant to extreme condition. Tumbang Nusa Forest for Specific Purpose is a peat swamp forests in Central Kalimantan that was severely burnt in 2015. Peat land rehabilitation program has started since 2016, by Shorea balangeran (Korth.) Burck planting. The aim of this research was to determine the diversity of arbuscular mycorrhiza spores under S. balangeran tree. The results showed that there was relationship between the age of S. balangeran and number of spores. Moreover, there were 4 spores of arbuscular mycorrhiza identified as Glomus sp., Gigaspora sp., Acaulospora sp. and Scutellospora sp.

Keywords: arbuscular mycorrhiza, Central Kalimantan, Shorea balangeran, peat swamp forest, spores

PENDAHULUAN

Kebakaran besar yang terjadi pada hutan di Indonesia, khususnya pada hutan rawa

gambut di Kalimantan Tengah telah membawa dampak kerugian yang amat besar salah

satunya adalah kehilangan keanekaragaman hayati seperti flora, fauna, dan

mikroorganisme, terutama fungi mikoriza arbuskula. Fungi mikoriza arbuskula

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 16

merupakan simbion tertua yang berhasil dikenali oleh para peneliti. Umur simbion ini

diperkirakan berkisar 600 juta–1 miliar tahun dan jauh lebih tua dibandingkan dengan

umur tanaman monokotil dan dikotil (200 juta tahun) ataupun jenis simbion lainnya

(Smith & Read, 2008).

Menurut Nusantara, Bertham & Mansur, (2012) fungi mikoriza arbuskula memiliki

kelas tersendiri, yaitu Glomeromycota yang memiliki ciri berbeda dibandingkan dengan

kerabat dekatnya, yaitu Ascomycota, Basidiomycota atau kelas fungi lainnya. Berdasarkan

kajian biomolekuler dapat diketahui bahwa fungi mikoriza arbuskula (FMA) memiliki

empat ordo (Glomerales, Diversiporales, Paraglomerales, dan Archaeosporales), 11 famili,

dan 17 genus. Lebih lanjut, Nusantara et al. (2012) menyatakan bahwa fungi mikoriza

arbuskula memiliki empat peran fungsional yang penting bagi ekosistem, antara lain:

1. Bioprosesor yang dapat bertindak sebagai pompa hidup bagi tanaman karena mampu

membantu tanaman dalam menyerap unsur hara dan air yang tidak terjangkau oleh

rambut akar.

2. Bioprotektor atau perisai hidup bagi tanaman karena mampu melindungi tanaman dari

cekaman biotik (pathogen, hama, dan gulma) dan cekaman abiotik (suhu, lengas,

kepadatan tanah, dan logam berat).

3. Bioaktivator karena terbukti mampu membantu meningkatkan penyimpanan karbon di

rhizosfer sehingga aktivitas jasad remik meningkat untuk menjalankan proses

biogeokimia.

4. Bioagregator karena teruji mampu meningkatkan agregasi tanah.

FMA mempunyai peranan yang cukup besar dalam meningkatkan produktivitas

tanaman di lahan marjinal dan dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Mikoriza tidak

hanya berkembang pada tanah berdrainase baik, tetapi juga pada lahan tergenang.

Hingga pada lingkungan yang sangat miskin atau lingkungan yang tercemar limbah

berbahaya, fungi mikoriza masih memperlihatkan eksistensinya. Salah satu bentuk

lingkungan yang mencerminkan keadaan demikian dapat ditemui pada tipe tanah Histosol

atau yang lebih umum disebut tanah gambut (Hermawan, Muin & Wulandari, 2015).

Menurut Suharno, Sancayaningsih, Soeharto & Kasiamdari, (2014) mekanisme fungi

mikoriza arbuskula dalam meningkatkan produktivitas tanaman adalah dengan

meningkatkan kesuburan tanaman pada kondisi tanah dengan tingkat kesuburan rendah.

Hifa fungi mikoriza arbuskula berfungsi sebagai perluasan sistem perakaran dalam

memperoleh nutrisi. Selain itu, fungi mikoriza arbuskula juga dapat meningkatkan

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 17

ketahanan suatu tanaman terhadap cekaman baik secara abiotik maupun biotik serta

dapat membantu tanaman dalam mempertahankan stabilitasnya pada kondisi lingkungan

tercemar. Penelitian tentang keanekaragaman mikroba, khususnya FMA di lahan rawa

gambut pasca terbakar telah dilaporkan oleh Yuwati (2003), Yuwati et al., (2017),

Hermawan et al. (2015), Yuwati & Hakim (2018), Yuwati, Rahmi, Hakim & Badruzsaufari

(2020). Yuwati (2003) melakukan isolasi spora FMA pada lahan gambut bekas terbakar

dan menemukan bahwa Glomus adalah genus spora terbanyak yang ditemui di lapangan.

Yuwati et al. (2017) juga melakukan isolasi spora pada tipe tapak yang berbeda, yaitu

pakis, pioneer, dan klimaks di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Tumbang

Nusa dan Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Selain menemukan bahwa

Glomus dan Gigaspora adalah jenis yang mendominasi, penelitian ini juga menekankan

pentingnya pengaruh dari revegetasi terhadap keanekaragaman hayati mikroba. Terdapat

penurunan jumlah spora seiring dengan menurunnya kerapatan vegetasi. Tapak dengan

dominasi jenis klimaks memiliki jumlah spora tertinggi dan tapak dengan vegetasi pakis

memiliki jumlah spora terendah.

Penelitian Turjaman et al. (2011) mengkonfirmasi bahwa jamur ektomikoriza

secara signifikan dapat meningkatkan pertumbuhan Shorea. balangeran (Korth.) Burck.

yang ditanam di lahan gambut terdegradasi. Lebih lanjut, Graham, Turjaman & Page

(2013) juga mengkonfirmasi pengaruh dari mikoriza arbuskula pada S. balangeran yang

ditanam di lapangan. Salah satu usaha revegetasi di lahan hutan rawa gambut

pascaterbakar tahun 2015 di KHDTK Tumbang Nusa Kalimantan Tengah adalah

melakukan penanaman belangeran (S. balangeran) mulai bulan Februari tahun 2016

dengan program RePeat (Rehabilitation of Peatland) (Purwanto & Ariani, 2020). Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui keragaman spora mikoriza arbuskula pada tanaman

belangeran setelah kegiatan rehabilitasi hutan rawa gambut pasca terbakar.

METODE PENELITIAN

Pengambilan sampel tanah

Pengambilan sampel tanah dilakukan di bawah tegakan belangeran yang ditanam

pada Februari 2016 (belangeran 01), Maret 2016 (belangeran 02), April 2016 (belangeran

03), Agustus 2016 (belangeran 04), Desember 2016 (belangeran 05), dan Januari 2017

(belangeran 06). Pada tiap tegakan belangeran diambil sampel tanah di 5 titik kemudian

dilakukan pencampuran tanah supaya homogen (dikompositkan) dan diambil 1 kg tanah.

Secara keseluruhan terdapat 6 sampel tanah yang mewakili tiap tegakan belangeran.

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 18

Prosedur wet sieving (penyaringan basah)

Metode yang digunakan adalah wet sieving (penyaringan basah), yaitu metode

menyaring spora dengan penyaring bertingkat dengan ukuran mesh masing–masing 710,

250, 125, 75, dan 63µm (Brundrett et al., 1996). Sampel tanah masing–masing ditimbang

sebanyak 100 gram, lalu dihomogenkan. Kemudian sebanyak 100 gram sampel dari hasil

homogen diambil dan dimasukkan ke gelas beker (1.000 mL) dengan ditambahkan air

hingga 1.000 mL. Kemudian diaduk dan dituang secara menyebar di test sieve (penyaring)

dengan ukuran 710, 250, 125, 75, dan 63 µm yang sudah disusun secara berurutan untuk

penyaringan sampel tanah. Partikel tanah yang tersaring dimasukkan ke dalam wadah

atau gelas plastik kemudian diberi label.

Prosedur kerja isolasi spora fungi mikoriza arbuskula (FMA)

Sampel yang berada di dalam wadah plastik atau gelas plastik diambil secukupnya

dan dituang ke dalam cawan petri kemudian diletakkan di bawah mikroskop stereo dan

diamati. Jika terdapat spora FMA, maka FMA tersebut diambil menggunakan mikropipet

lalu diletakkan pada cawan petri berdasarkan warna dari spora, yaitu merah kecokelatan,

cokelat kekuningan, cokelat kehitaman, kuning kehitaman, dan merah kehitaman. Spora

FMA berdasarkan warna (kuning, merah, coklat, coklat muda, dan coklat kehitaman) dan

dihitung jumlahnya.

Prosedur identifikasi morfologi spora mikoriza arbuskula (FMA)

Spora FMA yang sudah diisolasi berdasarkan warna dan ukuran masuk ke dalam

tahap berikutnya, yaitu tahap identifikasi spora. Menurut Hermawan et al., (2015) untuk

mengetahui karakteristik spora FMA dapat menggunakan larutan Polyvinil Alcohol Lactic

Acid Glycerol (PVLG) dan larutan Melzer. Spora FMA diletakkan di kaca objek dan masing-

masing ditetesi larutan tersebut. Selanjutnya, dilakukan pengamatan terhadap perubahan

yang terjadi di antara spora FMA yang sudah ditetesi tersebut. Beberapa karakteristik jenis

spora yang diamati dalam tahapan identifikasi meliputi bentuk spora, warna spora,

dinding spora, lekatan tangkai hifa, dan tekstur permukaan spora. Untuk mengetahui hasil

dari reaksi menggunakan larutan Melzer, terdapat acuan hasil yang dijadikan patokan.

Menurut Nusantara et al., (2012) ciri-ciri dari enam genus spora di atas adalah sebagai

berikut.

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 19

Glomus

Spora Glomus terbentuk dari pembengkakan ujung hifa hingga mencapai batas

maksimumnya. Ujung hifa yang menggembung itu kemudian akan terlepas dan kemudian

berubah menjadi spora. Spora yang berasal dari perkembangan hifa disebut dengan

klamidospora. Hifa dari Glomus tidak jarang memiliki percabangan dan dari setiap cabang

akan membentuk klamidospora. Klamidospora yang mengumpul menjadi satu akan

membentuk tandan spora (sporocarp). Ukuran dari spora Glomus berkisar antara 50–100

µm. Spora berbentuk bulat dan berjumlah banyak. Jumlah spesies yang berhasil dikenali

dari genus Glomus kurang lebih sebanyak 180 spesies. Spora Glomus memiliki dinding yang

berlapis-lapis dan tidak bereaksi terhadap larutan Melzer. Walaupun spora memiliki

dudukan hifa (substending hyphae) lurus, akan tetapi tidak memiliki ornamen. Warna

spora adalah bening, hialin (transparan), putih, kuning, dan coklat.

Gigaspora

Gigaspora memiliki ukuran spora berkisar dari 100–250 µm. Genus ini memiliki

lapisan dinding spora tipis (± 2 lapisan) dan bereaksi secara menyeluruh dengan larutan

Melzer. Gigaspora tidak memiliki ornamen namun hifa mampu membentuk bulbous

suspensor (dudukan hifa yang membulat). Gigaspora memiliki auxiliary cell yang dapat

dikatakan sebagai perwujudan vesikula eksternal. Warna dari Gigaspora didominasi

kuning cerah.

Scutellospora

Ukuran dari spora Scutellospora berkisar antara 100–250 µm. Scutellospora memiliki

lapisan dinding spora yang tipis (± 2 lapisan) dan bereaksi dengan larutan Melzer secara

menyeluruh. Spora dari Scutellospora memiliki ornamen berupa germination shield dan

hifa mampu membentuk bulbous suspensor atau dudukan hifa yang membulat. Sama

dengan Gigaspora, Scutellospora juga memiliki sel auksilari yang merupakan perwujudan

dari vesikula eksternal. Warna spora didominasi warna merah coklat.

Acaulospora

Ukuran dari spora Acaulospora berkisar antara 100–200 µm. Lapisan luar

Acaulospora tidak bereaksi dengan larutan Melzer, akan tetapi lapisan dalam bereaksi

dengan larutan Melzer (warna lebih gelap-merah keunguan). Spora dari Acaulospora

memiliki berbagai ornamen. Warna spora didominasi warna merah. Genus ini memiliki

satu cicatrix (parut) sebagai tanda.

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 20

Entrophospora

Ukuran dari spora Entrophospora berkisar antara 100–200 µm. Entrophospora

memiliki lapisan dinding spora luar dan dalam. Warna spora didominasi warna kuning

coklat. Genus ini memiliki dua buah cicatrix sebagai tanda.

Sclerocycstis

Spora genus ini memiliki tandan spora (sporocarp) juga memiliki ukuran yang sama

dengan Acaulospora. Lapisan dinding Sclerocystis menggerombol dan tidak bereaksi

dengan larutan Melzer. Spora ini juga memiliki ornamen dua macam yaitu yang berlapis

dan tidak berlapis. Lapisan dinding dalam bereaksi dengan larutan Melzer (warna gelap-

keunguan). Spora memiliki warna dominan merah dan memiliki satu cicatrix sebagai

tanda.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Jumlah spora FMA pada berbagai sampel disajikan pada Tabel 1. yang

memperlihatkan jumlah total spora FMA terbanyak diperoleh dari bawah tegakan

belangeran 01 (tahun tanam Februari 2016) dan terendah diperoleh dari bawah tegakan

belangeran 05 (tahun tanam Desember2016). Identifikasi spora FMA di bawah tegakan

belangeran diperoleh 4 jenis genus spora FMA, yaitu Glomus, Gigaspora, Acaulospora dan

Scutellospora (Tabel 2).

Tabel 1. Jumlah spora FMA yang tertampung pada berbagai ukuran tapisan (mesh) beserta warna dominan spora.

Sampel

Total Spora FMA Warna Dominan

Spora FMA 250 µm

125 µm

75 µm

63 µm

Jumlah Total Spora FMA

Belangeran 01 73 301 566 330 1.270 Merah kecoklatan, merah

Belangeran 02 113 205 364 243 925 Merah, kuning kecoklatan

Belangeran 03 105 115 461 219 900 Merah, coklat kehitaman

Belangeran 04 44 175 305 225 749 Merah kecoklatan

Belangeran 05 63 123 209 171 566 Coklat kehitaman

Belangeran 06 97 157 303 194 751 Merah, kuning kecoklatan

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 21

Tabel 2. Identifikasi FMA di bawah tegakan belangeran dengan menggunakan reagen Melzer.

Warna Spora Awal

Warna Spora Setelah Ditetesi

Reagen Melzer

Reaksi Reagen Melzer

Karakteristik Spora Nama Genus

Spora

Coklat kekuningan

Coklat kekuningan

- - Ukuran spora 50-100 µm

- Bentuk spora oval

- Lapisan dinding spora berlapis-lapis (2 lapisan)

Glomus

Kuning gelap Kuning cerah + - Ukuran spora 100-250 µm

- Bentuk spora bulat

- Lapisan dinding spora tipis (2 lapisan)

Gigaspora

Coklat kehitaman

Coklat kehitaman

- - Ukuran spora 50-100 µm

- Bentuk spora bulat

- Lapisan dinding spora berlapis-lapis (3 lapisan)

Acaulospora

Merah kecoklatan

Merah kecoklatan

+ - Ukuran spora 100-250 µm

- Bentuk spora bulat

- Lapisan dinding spora tipis (2 lapisan)

Scutellospora

Hasil identifikasi spora FMA di bawah tegakan belangeran sebelum dan setelah

ditetesi larutan Melzer disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Gambar spora FMA di bawah tegakan belangeran sebelum dan setelah ditetesi larutan Melzer.

Sebelum Ditetesi Setelah Ditetesi Nama Genus Spora

Glomus

(coklat kekuningan) (coklat kekuningan)

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 22

Sebelum Ditetesi Setelah Ditetesi Nama Genus Spora

Gigaspora

(kuning kehitaman) (kuning cerah)

Acaulospora

(coklat kehitaman) (coklat kehitaman)

Scutellospora

(merah kecoklatan) (merah kecoklatan terang)

Pembahasan

Bentuk simbiosis FMA tedapat pada hampir semua jenis tanaman. FMA dapat

ditemukan hampir pada sebagian besar tanah dan pada umumnya tidak mempunyai inang

yang spesifik. Walaupun demikian, tingkat populasi sangat beragam dan dipengaruhi oleh

karakteristik tanaman dan faktor lingkungan seperti suhu, pH tanah, kelembaban tanah,

kandungan fosfor, dan nitrogen. Dengan demikian, setiap ekosistem mempunyai

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 23

kemungkinan dapat mengandung FMA dengan jenis yang sama atau bisa juga berbeda

karena keanekaragaman dan penyebaran FMA sangat bervariasi sebagai akibat adanya

kondisi lingkungan yang bervariasi (Nursanti, Tamin & Hamzah, 2012).

Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 1.) terdapat peningkatan spora FMA di bawah

tegakan balangeran 01 dan 02. Lokasi pengambilan tanah belangeran 01 dan 02

merupakan areal RePeat KHDTK Tumbang Nusa yang ditanami tanaman belangeran

sekitar bulan Februari hingga Maret 2016. Rata-rata spora FMA dengan kelimpahan yang

tinggi banyak ditemukan pada penyaringan 75 hingga 63 µm. Sampel tanah diambil pada

kedalaman berkisar 0–20 cm. Menurut Hermawan et al., (2015) spora FMA sampai

kedalaman tanah gambut 100 cm masih ditemukan. Hal tersebut dipengaruhi oleh

penyebaran akar tanaman yang mampu menerobos kelapisan bawah tanah gambut. Selain

itu, menurut Caris et al., (1998) hifa mikoriza dapat menjangkau matriks tanah yang tidak

terjangkau akar tanaman dan melalui hifanya hara dapat ditransfer ke dalam tanaman.

Mikoriza banyak ditemukan di belangeran 01, dimana akar tanaman ini sudah mampu

menerobos lapisan tanah gambut dibandingkan belangeran 06, yaitu belangeran yang

ditanam di bulan Februari 2017. Dari keragaman spora yang meningkat sesuai dengan

peningkatan umur tanaman, maka keragaman spora mikoriza arbuskula ini dapat

dijadikan bioindikator keberhasilan kegiatan revegetasi.

Pada penelitian yang dilakukan Hermawan et al., (2015) apabila mikoriza itu sendiri

mengalami tekanan pada lingkungannya, maka akan cenderung membentuk alat

reproduksi (spora) lebih banyak. Faktor yang mempengaruhi proses asosiasi cendawan

mikoriza adalah jumlah karbohidrat yang dapat dikirim oleh tanaman inangnya kepada

cendawan. Asosiasi akan terjadi secara sempurna, jika karbohidrat yang diterima oleh

cendawan dapat dipergunakan secara maksimal untuk perkembangan cendawan itu

sendiri. Oleh karena itu, tanaman yang berasosiasi dengan cendawan mikoriza harus

mendapatkan sinar matahari yang cukup untuk menghasilkan karbohidrat dengan

konsentrasi yang tinggi.

Berdasarkan hasil pengamatan karakteristik spora diketahui bahwa terdapat empat

genus yang ditemukan pada lokasi, yaitu Glomus, Gigaspora, Scutellospora, dan

Acaulospora. Dari keempat genus tersebut yang paling banyak ditemukan adalah Glomus.

Hal ini menunjukan bahwa genus Glomus memiliki tingkat penyebaran dan adaptasi yang

tinggi terhadap lingkungan yang ekstrim dibandingkan dengan jenis lainnya. Genus Glomus

memiliki kemampuan simbiosis dan kemampuan adaptasi yang lebih luas terhadap kondisi

setempat (Yuwati & Hakim, 2018). Glomus merupakan genus dari mikoriza selain

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 24

Gigaspora yang mampu bertahan hidup, dimana Glomus toleran terhadap lingkungan yang

ekstrim. Hasil pengukuran pH tanah gambut pada lokasi tersebut relatif rendah (asam),

yaitu 3,65.

Penelitian Hermawan et al. (2015) menyebutkan bahwa Glomus adalah jenis FMA

yang paling dominan penyebarannya, yaitu 25 spesies dari 37 spesies yang ditemukan

adalah tipe Glomus. Pada penelitian ini, spora Glomus ditemukan hampir di semua lokasi

pengambilan sampel tanah. Hermawan et al. (2015) menyebutkan proses perkembangan

spora genus Glomus adalah melalui ujung hifa yang membesar sampai ukuran maksimal

dan terbentuk spora. Karena sporanya berasal dari perkembangan hifa, maka disebut

chlamydospora, kadang hifa bercabang-cabang dan tiap cabang terbentuk chlamydospora

dan membentuk sporocarp. Pada saat dewasa spora dipisahkan dari hifa pelekat oleh

sebuah sekat, spora berbentuk globos, subglobos, ovoid ataupun obovoid dengan dinding

spora terdiri atas lebih dari satu lapis. Spora Glomus yang berwarna kuning kecoklatan,

coklat kekuningan, coklat tua, kuning bening, dan hialin, permukaan dinding spora relatif

halus, dan memiliki dinding spora yang tebal.

Genus Gigaspora ditemukan di beberapa sampel tanah. Spora Gigaspora terbentuk

dari ujung hifa yang membulat (bulbous suspensor), selanjutnya muncul bulatan kecil yang

semakin membesar mencapai ukuran maksimum yang akhirnya menjadi spora (Budi et al.,

2011). Gigaspora tidak memiliki dinding perkecambahan fleksibel yang dibentuk (inner

wall), dan suspensor melekat pada permukaan terluar dinding spora. Karakteristik yang

khas adalah adanya bulbous suspensor tanpa germination shield. Selain itu, spora Gigaspora

dihasilkan secara tunggal di dalam tanah. Ukurannya besar, bentuk globos atau subglobos,

spora tidak mempunyai lapisan dinding dalam, tabung kecambah dihasilkan secara

langsung dari dinding spora, sel pelengkap berduri dan berdinding tipis (INVAM, 2018).

Spora Gigaspora yang ditemukan pada penelitian ini memiliki karakteristik terdapat

bulbus suspensor dan ada juga yang bulbus suspensor-nya tidak ada atau sudah terlepas,

bentuk spora ada yang bulat dan bulat agak lonjong. Lapisan dinding sporanya tipis

beraturan dan ada yang tidak beraturan, dan spora berwarna kuning kecoklatan, coklat

kehitaman, coklat kekuningan dan kuning kehijauan.

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 25

KESIMPULAN

Revegetasi berpengaruh terhadap keragaman spora mikoriza arbuskula. Semakin

tua umur tegakan belangeran, maka semakin tinggi keragaman spora mikoriza

arbuskulanya. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman spora mikoriza arbuskula dapat

dipakai sebagai bioindikator keberhasilan revegetasi. Terdapat empat genus spora FMA

yang ditemukan dari bawah tegakan belangeran, yaitu genus Glomus, Gigaspora,

Scutellospora, dan Acaulospora.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Badan Restorasi Gambut yang telah

mendanai penelitian ini.

PERNYATAAN KONTRIBUSI

Tri Wira Yuwati dan Wanda Septiana Putri berkontribusi dalam pengambilan data,

analisis data, dan penulisan artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Brundrett, M. C,. N. Bougher,. B. Dells,., T. Grove., & N. Malajozuk. (1996). Working with mycorrhizas in forestry and agriculture Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra.

Budi, H., Gulamadi,M., Darusman L.K., Aziz S. A. & Mansur. I. ( 2011). Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Rizosfer Tanaman Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban. Jurnal Litri. 17 (1): 32-40.

Caris.C., Hordt, W., Hawkins, H.J. , Rombled, V., & George, E. (1998). Study of Iron transport by arbuscular mycorrizal hyphae from soil to peanut and soybean plant. Mycorriza, United State.

Graham L.L.B, Turjaman M & Page S.E. (2013) Shorea balangeran and Dyera polyphylla (syn. Dyera lowii) as tropical peat swamp forest restoration transplant species: effects of mycorrhizae and level of disturbance. Wetland Ecology and Management 21 DOI 10.1007/s11273-013-9302-x

Hermawan, H., Muin., A. & Wulandari, R. S. (2015). Kelimpahan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Tegakan Ekaliptus (Eucalyptus pellita) berdasarkan Tingkat Kedalaman di Lahan Gambut. Jurnah Hutan Lestari.. 3(1) : 124-132

INVAM. 2018. International culture collection of (vesicular) arbuscularmycorrhizalfungi.Tersedia:http://invam.caf.wvu.edu/Mycoinfo/Taxonomy/clas sification.htm. [30 Oktober 2018]

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 26

Nursanti, R., Tamin P. & Hamzah. 2012. Identifikasi fungi mikoriza arbuskular (FMA) di hutan lindung mangrove pangkal babu kabupaten Tanjung Jabung Barat Jambi. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains. 14 (2): l. 29-34.

Nusantara, A. D., Bertham.,Y. H. & Mansur, I. (2012). Bekerja dengan Fungi Mikoriza

Arbuskula. Seameo Biotrop, Bogor.

Purwanto, B.S. & Ariani, R. (2020). Penampilan Tanaman Belangeran untuk Restorasi

Lahan Gambut. Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah Volume 5

Nomor 3 Halaman 122-125( p-ISSN 2623–1611; e-ISSN 2623-1980)

Smith, E.S and Read, D. J. (2008). Mycorrhizal symbiosis : Third ed. Academic Press, USA.

Suharno., R. P. Sancayaningsih., E. S. Soeharto, S. & Kasiamdari, R. S.( 2014). Keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula di Kawasan Tailing Tambang Emas Timika sebagai Upaya Rehabilitasi Lahan Ramah Lingkungan. Jurnal Manusia dan Lingkungan. 21(3) : 295- 303.

Turjaman M., Santoso E., Susanto A., Gaman S., Limin SH, Tamai Y., Osaki M & Tawaraya K. (2011) Ectomycorrhizal fungi promote growth of Shorea balangeran in degraded peat swamp forest. Wetland Ecology and Management 19: 331-339

Yuwati, T.W. (2003). Keberadaan mikoriza asli setempat pada hutan rawa gambut paska

kebakaran, Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah. Buletin Tekno Hutan Tanaman 1

(1) Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur,

Banjarbaru.

Yuwati, T. W. & Hakim, S. S. (2018). Status Asosiasi Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Akar Tanaman Sengon (Falcataria moluccana) Di Lahan Gambut Dangkal Liang Anggang Kalimantan Selatan. Galam. 4(2): 35-42.

Yuwati, T.W., Hakim, S.S., Alimah, D., Hermawan, B. & Musthofa, A. A. (2017).

Keanekaragaman spora mikoriza arbuskula di hutan rawa gambut Kalimantan

Tengah, dalam Diana, R., Sulistioadi, YB., Karyati, Sarminah, R., Widiati, K.Y.,

Kuspradini, H., Sari, D.R., Mulyadi, R. (eds). Prosiding Seminar Nasional Silvikultur

IV, Balikpapan 19–20 Juli 2019, ISBN: 978-602-61183-1-8, 487-492.

Yuwati, T.W., Rahmi, A.N.R., Hakim, S.S. and Badruzsaufari. (2020). The Abundance of Arbuscular Mycorrhiza Infective Propagules Under Galam Stand at Shallow Peat of South Kalimantan. BIO Web of Conferences 20, 03008 (2020). https;//doi.org/101051/bioconf/200202003008

https://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM

Diterima: 12-09-2018 Disetujui: 09-08-2020

p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

Artikel

DOI: 10.20886/GLM.2020.1.1.27-40

FLUKTUASI TINGGI MUKA AIR LAHAN GAMBUT DI DESA TUMBANG NUSA, KALIMANTAN TENGAH

The fluctuation of peatland water table at Tumbang Nusa, Central Kalimantan

Purwanto Budi Santosa1*, Muhammad Abdul Qirom2

1,2Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru Jl. A. Yani Km 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan

Telepon/Fax.: (+62)511 4707872 *E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Restorasi lahan gambut pasca terbakar dengan penanaman memerlukan kondisi hidrologi yang mantap untuk kemapanan pembuatan tanaman. Fluktuasi tinggi air menjadi tantangan dalam upaya penanaman pada lahan gambut terdegradasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui tinggi muka air pada lahan gambut terdegradasi dan pasca terbakar di sekitar Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Data yang diperoleh dianalisis untuk mengetahui hubungan antara karakteristik hujan, tinggi muka air, dan elevasi lahan. Pengamatan tinggi muka air pada beberapa kejadian kebakaran besar saat terjadi tahun 1997, 2003, 2006, dan 2009. Tinggi muka air diamati dari tepi sungai sampai dengan hutan sekunder sebanyak 17 titik sepanjang 4 km dengan selang jarak 250 m. Tingkat penutupan dan kondisi vegetasi sekitar bervariasi dari vegetasi berkayu jarang dan terbuka sampai dengan kondisi areal yang didominasi tumbuhan berkayu dengan penutupan kanopi baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi muka air tersebut sangat terkait dengan elevasi suatu tempat dan jarak dari saluran air. Fluktuasi tersebut berhubungan erat dengan curah hujan yang terjadi. Namun pengaruh curah hujan tersebut tidak secara langsung tetapi terdapat jeda waktu tertentu sehingga tinggi muka air tersebut menjadi turun atau naik. Kondisi ini harus menjadi perhatian dalam rangka rehabilitasi lahan melalui penentuan jenis tanaman yang tepat dan waktu tanaman sehingga bibit yang ditanam tersebut dapat tumbuh secara optimal.

Kata kunci: hidrologi, penanaman, restorasi, terbakar

ABSTRACT

Burnt peatland restoration by planting needs stable hydrological condition for the plant’s growth. Water table fluctuation becoming a challenge in the planting effort on degraded peatland. This research aims to determine the water table on degraded peatland and over burnt peat at Tumbang Nusa Forest for Specific Purposes, Pulang Pisau District, Central Kalimantan Province. The data was analyzed to determine the relationship between precipitation characteristics, water table and land elevation. Water table observation was carried out on several fires starting 1997, 2003, 2006 and 2009. We observed 17 points of water table of the total length of 4 km and 250 m distance between points, started from the river edge up to secondary forests. The level of vegetation cover and condition varied from woody plants with low density and open crown up to woody plants with good canopy cover. The result showed that the water table was closely related with the elevation and distance from canal. The fluctuation was closely related with precipitation. Nevertheless, the rainfall did not directly relate but there was a certain interlude period so that the water table was rising or decreasing. This condition shall be considered in the land rehabilitation by planning the right plant in the right time so that the plants can reach optimum growth.

Keywords: hydrology, planting, restoration, burnt

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 28

PENDAHULUAN

Hutan rawa gambut (HRG) Asia Tenggara merupakan lahan gambut tropika terluas

di dunia (Page, Rieley, & Banks, 2011). HRG tersebut seluas 246.974 km2 dan sebagian

besar berada di Indonesia dengan luas 206,950 km2 (Page et al., 2011). HRG di Indonesia

tersebar di tiga pula besar yakni Kalimantan (25,6%), Sumatera (30,8%), dan Papua

(33,5%) (Hooijer et al., 2010; Posa, Wijedasa, & Corlett, 2011; Ritung et al., 2011).

Kawasan HRG yang luas tersebut sangat potensial dalam penyerapan karbon (Cattau et al.,

2016; Hooijer et al., 2010), habitat berbagai macam flora dan fauna (Mirmanto, 2010; Posa

et al., 2011), dan pengatur tata air (Wosten et al., 2008).

Saat ini, kondisi HRG Indonesia mengalami degradasi lahan yang cukup parah.

Degradasi tersebut mencapai lebih dari 12,9 MHa. Sumatera dan Kalimantan sebagai pulau

dengan tingkat degradasi lahan gambut terluas (Hooijer et al., 2010; Uda, Hein, & Sumarga,

2017). Degradasi lahan tersebut disebabkan oleh kebakaran, deforestasi, dan drainase

yang berlebihan (Hirano, Kusin, Limin, & Osaki, 2014) serta konversi lahan (Posa et al.,

2011). Menurut Burhanuddin, Kabirun, Radjagukguk, & Sumardi, (2011) pembuatan kanal

eks-PLG dengan total panjang 2.008,7 km dan berbagai ukuran lebar serta kedalaman

menyebabkan kerusakan status hidrologi secara drastis seperti terjadi pengatusan air di

lahan gambut berlebihan serta rendahnya retensi air dan tinggi muka air tanah (TMA).

Degradasi tersebut menyebabkan perubahan karakteristik ekosistem lahan gambut

sehingga lahan gambut tidak berfungsi secara optimal terutama fungsi ekologis sebagai

pengatur tata air (Limin, et al., , 2000).

TMA sebagai faktor yang penting dalam pengelolaan lahan gambut baik lahan

gambut yang baik maupun lahan gambut terdegradasi. Menurut Badan Restorasi Gambut

(BRG), (2016) pemulihan lahan gambut harus memenuhi tiga prinsip restorasi yakni

pembasahan (rewetting), penanaman (revegetation), dan revitalisasi mata pencaharian

masyarakat (revitalization). Prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan kondisi lahan gambut

terdegradasi. Hal ini karena lahan gambut mengalami perubahan kondisi mikrotopografi

(Lampela et al., 2016), miskin permudaan (Blackham, Webb, & Corlett, 2014), perubahan

sifat gambut baik fisika dan kimia tanah (Sinclair et al., 2020), perubahan fluktuasi air

pada dua musim yang berbeda (Lampela, Jauhiainen, Sarkkola, & Vasander, 2018), dan

perubahan suhu pada permukaan gambut (Lampela, Jauhiainen, Sarkkola, & Vasander,

2017).

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 29

Informasi TMA dalam pengelolaan dan restorasi lahan gambut dalam suatu kawasan

sangat diperlukan. Kondisi ini karena adanya interaksi keberhasilan penanaman dengan

fluktuasi TMA (Lampela et al., 2017). Berdasarkan data BRG, sebagian besar lahan gambut

mengalami kerusakan (79%) dan 21% dalam kondisi terkelola dengan baik (Badan

Restorasi Gambut (BRG), 2016a). Pada kondisi tersebut, lahan gambut cenderung kering

dan TMA di bawah permukaan tanah pada musim kemarau (Lampela et al., 2018).

Monitoring dan pendataan tinggi muka air sangat penting dilakukan karena prinsip

restorasi adalah menjaga agar gambut selalu tetap dalam kondisi basah (Sulaiman, Sari, &

Saad, 2017). Informasi TMA akan memberikan gambaran kondisi lahan dan sebagai bahan

perencanaan rehabilitasi restorasi. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari dinamika

fluktuasi tinggi muka air pada lahan gambut yang pernah terbakar di Desa Tumbang Nusa,

Kab. Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan lokasi penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan September tahun

2013. Lokasi penelitian terletak di Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi

Kalimantan Tengah, termasuk di dalam wilayah DAS Kahayan. Secara geografis areal ini

terletak pada 3027’ s/d 3059 LS dan 11302’36” s/d 114044’00” BT. Berdasarkan letak

dalam Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), areal ini terletak pada sub-KHG 4 yaitu di

antara sungai Kahayan dan sungai Sebangau (Dohong et al., 2017).

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan adalah areal lahan rawa gambut bekas terbakar dengan

ketebalan 4 - 7 meter. Tingkat kematangan gambut adalah fibrik. Secara umum kondisi

vegetasi terbuka yang didominasi jenis-jenis kelakai (Stenoclaea sp.), pakis-pakis

(Nephrolepsis sp.), sedangkan vegetasi berkayu jenis pioner yang dijumpai yaitu Tanah-

tanah (Combretocarpus rotundatus), Gerunggang (Crotoxylum glaucum), dan Terentang

(Campnosperma spp.). Alat yang digunakan antara lain pipa paralon berdiameter 2,5 inchi,

panjang ± 2 meter, cat semprot, altimeter, kompas, pita meteran dan alat tulis. Data

pendukung lain yang diperlukan adalah data curah hujan.

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 30

Metode Penelitian

Pengukuran tinggi muka air gambut.

Pemasangan pipa paralon diameter 2,5 inchi dan panjang ± 2 meter ditancapkan

pada titik-titik yang telah ditentukan. Titik pengamatan dimulai dari tepi Sungai Kahayan

dari kondisi areal yang terbuka sampai ke dalam hutan sekunder atau Log Over Area (LOA)

sejauh 4 km dengan selang jarak 250 m. Pengukuran tinggi muka air dilakukan dari

permukaan gambut dengan cara mengukur menggunakan pita meter permukaan air di

dalam paralon. Jika posisi permukaan air di bawah permukaan gambut, dicatat sebagai

tanda negatif (-) dan jika permukaan air berada diatas permukaan gambut atau kondisi

tergenang dicatat sebagai tanda plus (+). Pengukuran tinggi muka air dilakukan pada

bulan Maret, Mei dan Juli tahun 2013.

Data curah hujan

Curah hujan diukur menggunakan penakar hujan otomatis. Pendataan curah hujan

dilakukan setiap hari dimulai pada bulan Januari-Desember 2013.

Analisis data

Data dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Analisis ini digunakan untuk

mendapatkan bentuk hubungan antara curah hujan dengan tinggi muka air tanah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Karakteristik curah hujan

Karakteristik curah hujan di lokasi penelitian digambarkan berdasarkan analisis

data dari stasiun pengamat hujan di Palangkaraya tahun 1999-2000. Curah hujan berkisar

antara 89-343 mm/bulan dengan periode bulan basah (CH > 100 mm) terjadi pada bulan

September-Juni, sedangkan periode bulan kering pada bulan Juli-Agustus. Berdasarkan

data curah hujan pada saat dilakukan penelitian, yaitu pada bulan Maret-September 2013

diketahui bahwa curah hujan yang terjadi berada dibawah hasil analisis historis seperti

pada Gambar 1. Berdasarkan data curah hujan selama tahun 2013, musim hujan terjadi

bulan November-Juli dengan puncak hujan terjadi pada bulan Februari dengan curah

hujan sebesar 142,4 mm, sedangkan musim kemarau terjadi pada Agustus-Oktober

dengan puncak musim kemarau terjadi pada bulan Agustus. Jika dibandingkan curah

hujan tahun 2013 dengan rata-rata curah hujan, terdapat pergeseran pola hujan dimana

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 31

musim hujan mundur 2 bulan yaitu terjadi bulan November sedangkan rata-rata terjadi

pada bulan September. Musim kemarau pada tahun 2013 terjadi selama 3 bulan dan

mundur 1 bulan dibandingkan dengan rataan curah hujan (Gambar 1).

Gambar 1. Perbandingan curah hujan pada saat penelitian dibanding rata-rata curah hujan.

Distribusi jumlah hari hujan pada tahun 2013 rata-rata adalah 18 hari hujan/bulan.

Jumlah hari hujan tertinggi terjadi pada bulan Mei dan Desember 2013 sebanyak 26 hari

hujan, sedangkan pada bulan September paling sedikit, yaitu hanya 8 hari/bulan

(Gambar 2).

Gambar 2. Jumlah hari hujan di lokasi penelitian tahun 2013.

0

50

100

150

200

250

300

350

400

Jan Feb Mar April Mei Juni Jul Agt Sep Okt Nop Des

cura

h h

uja

n (

mm

)

CH 1998-2000 CH Tb.Nusa

0

5

10

15

20

25

30

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

ha

ri

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 32

Pengamatan hidrologi

Pengamatan hidrologi dilakukan dengan mengukur tinggi muka air di lokasi

penelitian yang secara umum merupakan areal bekas terbakar tahun 1997, 2003, 2006,

dan 2009. Areal pengamatan tinggi muka air dilakukan dengan pemasangan pipa

pengukuran tinggi muka air yang dimulai dari tepi Sungai Kahayan, dari kondisi areal yang

terbuka sampai ke dalam hutan sekunder (LOA) sejauh 4 km. Pada kegiatan ini, titik

pengamatan tinggi muka air ditempatkan sejajar dengan parit (lebar ± 8 meter) dan jarak

dari tepi parit ± 10 meter. Jumlah titik pengamatan tinggi muka air yang dipasang adalah

17 buah. Titik-titik pengamatan dan kondisi areal sekitarnya dapat dilihat pada Tabel 1.

berikut.

Tabel 1. Titik pengamatan tinggi muka air dan kondisi areal sekitar

Titik pengamatan Jarak dari tepi

Sungai Kahayan (m) Keterangan

1 0 Terbakar tahun 1997 2 250 Terbakar tahun 1997 3 500 Terbakar tahun 2003 & 2006 4 750 Terbakar tahun 2003 & 2006 5 1.000 Terbakar tahun 2003 & 2006 6 1.250 Terbakar tahun 2003 7 1.500 Terbakar tahun 2003 8 1.750 Terbakar tahun 2009 9 2.000 Terbakar tahun 2009

10 2.250 Terbakar tahun 2009 11 2.500 Terbakar tahun 2003 12 2.750 Terbakar tahun 2003 13 3.000 Terbakar tahun 2003 14 3.250 Terbakar tahun 2003 15 3.500 Terbakar tahun 1997 16 3.750 Bekas tebangan tahun 1983 17 4.000 Bekas tebangan tahun 1983

Kondisi areal dan penutupan lahan di sekitar titik pengamatan tinggi muka air dari

tepi sungai Kahayan (titik pengamatan 1 sampai titik pengamatan ke 15) merupakan areal

yang pernah terbakar dengan vegetasi terbuka yang didominasi oleh kelakai (Stenoclaea

sp.), pakis-pakis (Nephrolepsis sp.) sedangkan di sekitar titik pengamatan tinggi muka air

ke 16 dan 17 terdapat vegetasi dengan kanopi tertutup yang merupakan vegetasi bekas

tebangan tahun 1983 (LOA) yang belum pernah terbakar. Di antara titik pengamatan

tinggi muka air ke 10 dan ke 11 terdapat jalan raya trans Kalimantan yang diapit 2 buah

parit dengan lebar ± 4 meter seperti terlihat pada Gambar 3.

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 33

Gambar. 3 Lokasi penempatan titik pengukuran tinggi muka air

Hasil pengukuran TMA yang dilakukan selama 4 kali, yaitu pada bulan Maret, Mei, Juli,

dan September tahun 2013 dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Perbandingan tinggi muka air dan elevasi lahan

Pendataan TMA (titik pengamantan ke-1) merupakan titik terendah elevasi lahan

yang berlokasi di tepi Sungai Kahayan, sedangkan elevasi lahan tertinggi berjarak 2,25 km

0

10

20

30

40

50

60

-80

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

100

0 250 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 2250 2500 2750 3000 3250 3500 3750 4000

ele

va

si l

ah

an

(m

)

tin

gg

i m

uk

a a

ir (

cm)

Jarak dari sungai (m)

elevasi march may july rata2 sept

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 34

dari tepi sungai (titik pengamatan ke-10). Sementara itu, pada elevasi lahan terdapat 2

puncak elevasi tertinggi, yaitu dari tepi sungai sampai puncak elevasi pertama yaitu 49 m,

selanjutnya elevasi turun dan meningkat lagi sampai pada puncak elevasi 46 m (titik

pengamantan ke-17). TMA dari tepi Sungai Kahayan sampai titik pengamatan ke-10

fluktuasi cenderung lebih variatif dan setelah itu TMA lebih stabil sampai ke titik

pengamatan ke-17. Elevasi lahan antara 0-500 meter (titik pengamatan ke-1 sampai ke-3)

dari tepi Sungai Kahayan adalah lebih rendah dari permukaan sungai, yaitu 15-25 m dpl

sehingga pada titik pengamatan tersebut selalu tergenang karena dipengaruhi oleh luapan

air Sungai Kahayan. TMA pada 4 kali pengamatan, permukaan air selalu tergenang atau

berada di atas permukaan gambut setinggi 5 cm-89 cm.

Pada titik pengamatan 4-10 TMA yang terjadi lebih fluaktif daripada titik

pengamatan ke 11-17. Hal ini karena pada titik pengamatan 4-10 terdapat kanal dengan

lebar ±8 meter yang mempengaruhi tinggi muka air karena air mengalir masuk ke dalam

kanal, sedangkan pada titik pengamatan 11-17 merupakan areal bervegetasi bekas

terbakar yang sudah mulai mengalami suksesi.

Hubungan curah hujan dan tinggi muka air

Gambar 5. Fluktuasi curah hujan dan tinggi muka air

Gambar 5. di atas menunjukkan dinamika fluktuasi TMA dan curah hujan yang

terjadi pada saat pengamatan TMA yang dilakukan pada bulan Maret, Mei, Juli dan

September. Secara umum TMA pada pengamatan ini berada di bawah permukaan gambut.

Curah hujan pada waktu pengamatan bulan Juli yaitu 71,7 mm, dengan TMA -7,8 cm dan

TMA=13,786CH2 + 72,5CH-98,429 R2= 0,9334

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 35

curah hujan pada bulan September yaitu 34,4 mm dengan TMA -25,6 cm. Hal ini

menunjukkan bahwa dinamika fluktuasi TMA dipengaruhi oleh curah hujan. Meskipun

terdapat hubungan antara pola curah hujan dan ketinggian muka air di lahan, terdapat

keterlambatan respon turunnya TMA kurang lebih 1 bulan. Hal ini dapat dilihat dari TMA

pada bulan September sebesar -25,6 cm, sedangkan pada saat curah hujan bulanan

terendah bulan Agustus sebesar 24,7 mm dan meningkat 9,7 mm menjadi 34,4 mm pada

bulan September.

Pembahasan

TMA ini sebagai faktor yang penting dalam penilaian kerusakan gambut dan

keberhasilan restorasi lahan gambut. Berdasarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan, (2017) status/tingkat kerusakan ekosistem gambut pada fungsi budidaya dan

lindung diketahui dengan pengukuranTMA. TMA ini dapat digunakan dalam penentuan

jenis untuk tanaman revegetasi. Hal ini karena tidak semua jenis tanaman dapat tahan

terhadap genangan. Menurut Santosa et al, (2014) tanaman mengalami kematian pada

umur 4-6 minggu setelah tanam jika areal penanaman tergenang dengan ketinggian

melebihi tinggi bibit yang ditanam. Hal ini menjadi faktor dalam penentuan jenis bibit

yang akan ditanam. Jenis-jenis yang sesuai dalam penanaman hutan rawa gambut setelah

terbakar antara lain jenis Shorea balangeran dan Dyera lowii (Graham, 2013). Hal ini

menunjukkan masing-masing tanaman mempunyai daya serap/kebutuhan air yang

berbeda. Penelitian Burhanuddin et al. (2011) juga mendapatkan hal yang sama yakni

pertumbuhan semai Combretocarpus rotundatus dan Dyera lowii terbaik pada TMA 20 cm

di bawah permukaan. Pada kondisi yang ekstrim, S. balangeran masih dapat tumbuh pada

kedalaman TMA sampai dengan 90 cm (Santosa & Supriyo, 2012).

Secara umum, areal terdegradasi akibat kebakaran hutan mempunyai potensi

regenerasi alami yang rendah (Blackham et al., 2014). Jenis-jenis pioneer mendominasi

areal bekas kebakaran seperti merapat (C. rotundatus) dan gerunggang (Cratoxylon

glaucum). Kondisi ini berbeda dengan areal bekas tebangan. Yuwati et al, (2014)

melaporkan bahwa vegetasi pohon pada areal bekas tebangan didominasi jenis Shorea

teysmaniana. Pada areal bekas kebakaran tahun 1997 atau 17 tahun setelah terbakar

dilaporkan bahwa komposisi jenis penyusun tegakannya terdiri dari 41 jenis semai> 39

jenis sapling > 24 jenis tiang > 12 jenis pohon (Yuwati et al., 2014). Hal ini

mengindikasikan bahwa tahapan pemulihan alami telah berjalan (Qirom, 2017). Menurut

Alue Dohong, Aziz, & Dargusch (2018) pemulihan alami areal bekas terbakar sangat

mungkin terjadi jika kebakaran berulang tidak terjadi. Kemampuan pemulihan tersebut

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 36

akan berkurang jika areal kebakaran tersebut kembali terbakar dalam waktu yang lebih

singkat (Hoscilo, Page, Tansey, & Rieley, 2011).

Fluktuasi TMA sangat tergantung pada penutupan lahan, dimana pada areal yang

berhutan terjadi penurunan TMA sebesar -1,4 m sedangkan pada areal budidaya

pertanian terjadi penurunan sebesar 2 m (Jaya, 2005). Penurunan TMA juga sangat

terkait dengan intensitas kebakaran gambut. Intensitas kebakaran yang sering

menyebabkan berat jenis lahan gambut semakin meningkat dan menyebabkan penurunan

kadar air yang lebih besar (Sinclair et al., 2020). Pada penutupan yang berbeda, fluktuasi

TMA tersebut berkorelasi dengan besarnya respirasi tanah (Ishikura et al., 2017).

Respirasi tanah pada lahan rawa gambut terbesar pada areal dengan penutupan semak

belukar/padang rumput dan terjadi pada musim kemarau (Ishikura et al., 2017).

Faktor lain yang berpengaruh terhadap TMA di lahan rawa gambut adalah

ketinggian muka air pada saluran drainase (Dariah, Jubaiedah, Wahyunto, & Pitono, 2013).

Kondisi ini sesuai dengan penelitian Sinclair et al. (2020) yang menyebutkan bahwa

semakin jauh dari kanal maka pengaruh fluktusi TMA tersebut berkurang. TMA juga

berkaitan erat dengan curah hujan. Namun, penurunan TMA tersebut tidak terjadi secara

langsung. Hasil studi Runtunuwu et al. (2011) di Kecamatan Jabiren Kalimantan Tengah

menyatakan bahwa terjadi juga keterlambatan respon penurunan TMA dari kondisi curah

hujan minimum. Hal ini disebabkan oleh gerakan air tanah pada lahan gambut secara

vertikal sangat lambat sedangkan gerakan secara horisontal sangat cepat. Musim juga

berpengaruh terhadap fluktuasi TMA. Namun, fluktuasi tersebut bukan hanya ditentukan

oleh curah hujan setempat tetapi besarnya curah hujan di bagian hulu. Pada gambut

dengan tingkat kematangan fibrik, pelepasan air di musim kemarau sangat besar dan

sebaliknya pada musim hujan menyimpan air besar. Kapasitas gambut sebagai penyimpan

air mengalami penurunan pada gambut terdegradasi. Penurunan tersebut mencapai

setengah dari gambut yang masih bagus (Runtunuwu et al., 2011).

KESIMPULAN

Tinggi muka air (TMA) di KHDTK Tumbang Nusa sangat berfluktuasi dan

berhubungan erat dengan kondisi curah hujan. berubahnya vegetasi, penggunaan lahan

dan adanya kanal. TMA pada areal terbuka, bekas terbakar dan terdapat kanal akan lebih

befluktuasi dibandingkan MA pada areal yang semakin jauh dari kanal, areal suksesi bekas

terbakar dan suksesi hutan sekunder.

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 37

SARAN

Fluktuasi tinggi muka air (TMA) di KHDTK Tumbang Nusa harus diperhitungkan

dalam pemilihan jenis tanaman dalam upaya revegetasi lahan gambut terdegradasi akibat

kebakaran. Pada musim kemarau, fluktuasi TMA di lahan gambut dapat digunakan dalam

penentuan strategi pencegahan kebakaran.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Sumitomo Corporation dan Sumitomo

Forestry yang telah bekerja sama dengan Balai Litbang LHK Banjarbaru. Ucapan terima

kasih juga disampaikan kepada kepada teman-teman Teknisi Litkayasa yang telah

membantu di lapangan, yaitu Riswan A., Budi H., Eko P, Arif S., Supriyadi, Dian C.B., dan

M. Effendy.

PERNYATAAN KONTRIBUSI

Purwanto Budi Santosa dan Muhammad Abdul Qirom bersama-sama berkontribusi

melakukan desain penelitian, pengambilan, pengolahan data dan melakukan pembuatan

naskah publikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Restorasi Gambut (BRG). (2016a). Mengawali Restorasi Gambut Indonesia. Jakarta.

Badan Restorasi Gambut (BRG). (2016b). Rencana Strategis Badan Restorasi Gambut 2016-2020. Jakarta.

Blackham, G. V., Webb, E. L., & Corlett, R. T. (2014). Natural regeneration in a degraded tropical peatland, Central Kalimantan, Indonesia: Implications for forest restoration. Forest Ecology and Management, 324, 8–15. http://doi.org/10.1016/j.foreco.2014.03.041

Burhanuddin, Kabirun, S., Radjagukguk, B., & Sumardi. (2011). Kajian water table pada semai perapat (Combretocarpus rotundatus Miq) dan jelutung (Dyera lowii Hook) diinokulasi Glomus sp 3 di tanah gambut. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 8(3), 187–196.

Cattau, M. E., Harrison, M. E., Shinyo, I., Tungau, S., Uriarte, M., & Defries, R. (2016). Sources of anthropogenic fire ignitions on the peat-swamp landscape in Kalimantan, Indonesia. Global Environmental Change, 39, 205–219. http://doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2016.05.005

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 38

Dariah, A., Jubaiedah, Wahyunto, & Pitono, J. (2013). Effect Of drainage water level, fertilizer, and ameliorant on CO2 emission at oil palm plantation on peatland. Jurnal Littri, 19(2).

Dohong, A., Aziz, A. A., & Dargusch, P. (2018). A Review of Techniques for Effective Tropical Peatland Restoration. Wetlands, 38(2), 275–292. http://doi.org/10.1007/s13157-018-1017-6

Dohong, A., Cassiophea, L., Sutikno, S., Triadi, B., Wirada, F., Rengganis, P., & Sigalingging, L. (2017). Modul Pelatihan: Pembangunan infrastruktur pembasahan gambut sekat kanal berbasis masyarakat. Jakarta: Kedeputian Bidang Konstruksi, Operasi dan Pemeliharaan, Badan Restorasi Gambut Republik Indonesia, Jakarta.

Graham, L. L. B. (2013). Restoration from within : an interdisciplinary methodology for tropical peat swamp forest restoration in Indonesia. University of Leicester.

Hirano, T., Kusin, K., Limin, S., & Osaki, M. (2014). Carbon dioxide emissions through oxidative peat decomposition on a burnt tropical peatland. Global Change Biology, 20(2), 555–565. http://doi.org/10.1111/gcb.12296

Hooijer, A., Page, S., Canadell, J. G., Silvius, M., Kwadijk, J., Wösten, H., & Jauhiainen, J. (2010). Current and future CO 2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences, 7(5), 1505–1514. http://doi.org/10.5194/bg-7-1505-2010

Hoscilo, A., Page, S. E., Tansey, K. J., & Rieley, J. O. (2011). Effect of repeated fires on land-cover change on peatland in southern Central Kalimantan, Indonesia, from 1973 to 2005. International Journal of Wildland Fire, 20(4), 578–588. http://doi.org/10.1071/WF10029

Ishikura, K., Yamada, H., Toma, Y., Takakai, F., Morishita, T., Darung, U., … Hatano, R. (2017). Effect of groundwater level fluctuation on soil respiration rate of tropical peatland in Central Kalimantan, Indonesia. Soil Science and Plant Nutrition, 63(1), 1–13. http://doi.org/10.1080/00380768.2016.1244652

Jaya, A. (2005). Study of Carbon and Water on Tropical Peatlands for Ecological Planning. University of Nottingham.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.15 tahun 2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gambut (2017).

Lampela, M., Jauhiainen, J., Kämäri, I., Koskinen, M., Tanhuanpää, T., Valkeapää, A., & Vasander, H. (2016). Ground surface microtopography and vegetation patterns in a tropical peat swamp forest. Catena, 139, 127–136. http://doi.org/10.1016/j.catena.2015.12.016

Lampela, M., Jauhiainen, J., Sarkkola, S., & Vasander, H. (2017). Promising native tree species for reforestation of degraded tropical peatlands. Forest Ecology and Management, 394, 52–63. http://doi.org/10.1016/j.foreco.2016.12.004

Lampela, M., Jauhiainen, J., Sarkkola, S., & Vasander, H. (2018). To treat or not to treat? The seedling performance of native tree species for reforestation on degraded tropical peatlands of SE Asia. Forest Ecology and Management, 429(February), 217–225. http://doi.org/10.1016/j.foreco.2018.06.029

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 39

Limin, S. H., Tampung, S. ., Patricia, E. ., Untung, D., & Layuniyati. (2000). Konsep pemanfaatan hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah. In Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan Ekspose Hasil Penelitian di Hutan Lahan Basah. (pp. 9–14). Banjarmasin: Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru.

Mirmanto, E. (2010). Vegetation analyses of Sebangau peat swamp forest , Central Kalimantan. Biodiversitas, 11(2), 82–88. http://doi.org/10.13057/biodiv/d110206

Page, S. E., Rieley, J. O., & Banks, C. J. (2011). Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool. Global Change Biology, 17(2), 798–818. http://doi.org/10.1111/j.1365-2486.2010.02279.x

Posa, M. R. C., Wijedasa, L. S., & Corlett, R. T. (2011). Biodiversity and Conservation of Tropical Peat Swamp Forests. BioScience, 61(49), 49–57. http://doi.org/10.1525/bio.2011.61.1.10

Qirom, M. A. (2017). Kemampuan Pemulihan Areal Bekas Terbakar pada Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah. In Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016 (pp. 1073–1078). Universitas Lambang Mangkurat.

Ritung, S., Wahyunto, Nugroho, K., Sukarman, Hikmatullah, Suparto, & Tafakresnanto, C. (2011). Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Jakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian.

Runtunuwu, E., Kartiwa, B., Sudarman, K., Nugroho, W. T., & Firmansyah, A. (2011). Dinamika elevasi muka air pada lahan dan saluran di lahan gambut. Riset Geologi Dan Pertambangan, 21(2), 63–74. http://doi.org/10.14203/risetgeotam2

Santosa, P. B., & Supriyo, H. (2012). Kondisi Lingkungan Tempat Tubuh Balangeran di Hutan Rawa Gambut. In Suryanto & T. S. Hadi (Eds.), Budidaya Shorea Balangeran di Lahan Gambut (I, pp. 55–65). Banjarbaru: Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.

Santosa, P. B., Yuwati, T. W., Rachmanadi, D., Rusmana, & Graham, L. (2014). Response Of Peat Swamp Forest Species Seedlings To Flooding. Technical Report. Tropical peat swamp forest silviculture in Central Kalimantan. Banjarbaru.

Sinclair, A. L., Graham, L. L. B., Putra, E. I., Saharjo, B. H., Applegate, G., Grover, S. P., & Cochrane, M. A. (2020). Effects of distance from canal and degradation history on peat bulk density in a degraded tropical peatland. Science of The Total Environment, 699, 134199. http://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2019.134199

Sulaiman, A., Sari, E. N., & Saad, A. (2017). Panduan Teknis Pemantauan Tinggi Muka Air Lahan Gambut Sistem Telemetri. Jakarta: Badan Restorasi Gambut.

Uda, S. K., Hein, L., & Sumarga, E. (2017). Towards sustainable management of Indonesian tropical peatlands. Wetlands Ecology and Management, 25(6), 683–701. http://doi.org/10.1007/s11273-017-9544-0

Wosten, J. H. M., Clymans, E., Page, S. E. E., Rieley, J. O. O., Limin, S. H. H., Wösten, J. H. M., … Limin, S. H. H. (2008). Peat-water interrelationships in a tropical peatland ecosystem in Southeast Asia. Catena, 73(2), 212–224. http://doi.org/10.1016/j.catena.2007.07.010

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 40

Yuwati, T. W., Harun, M. ., Qirom, M. A., Santosa, P. B., & Ariani, R. (2014). Research to The Trials of Agroforestry System and The Monitoring of The Natural Regeneration After Forest Fire on Peatland Rehabilitation in Central Kalimantan. Banjarbaru.

https://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM

Diterima: 29-10-2019 Disetujui: 09-08-2020

p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

Artikel

DOI: 10.20886/GLM.2020.1.1.41-48

ETNOMIKOLOGI DAN POTENSI PEMANFAATAN JAMUR PETIR (Lignosus sp.) DI KPH SENGAYAM, KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN

Ethnomicology and utilization potential of petir fungi (Lignosus sp.) at

KPH Sengayam, Kotabaru, South Kalimantan

Safinah S. Hakim1*, Eko Priyanto2

1,2Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Banjarbaru Jl. A. Yani Km. 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Dikenal dengan nama lokal jamur petir atau jamur susu harimau, Lignosus sp. merupakan salah satu jamur yang dimanfaatkan sebagai obat. Jamur Lignosus sp. merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang sangat potensial untuk dikembangkan karena manfaatnya yang sangat beragam. Metode yang digunakan dalam studi ini adalah wawancara dan studi literatur. Hasil kajian menunjukkan bahwa saat ini jamur Lignosus sp. di Kabupaten Kotabaru dapat ditemui di sekitar kawasan hutan yang secara administratif masuk dalam wilayah Desa Muara Urie dan Desa Buluh Kuning. Jamur ini dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai bahan pengobatan tradisional antara lain untuk obat batuk dan pemulihan kesehatan ibu yang baru melahirkan. Selain itu, jamur ini juga dipanen dan dijual kepada pengepul. Namun demikian, informasi teknik budidaya jamur Lignosus sp. masih terbatas sehingga informasi tersebut perlu digali lebih dalam terkait besarnya potensi jamur Lignosus sp.

Kata kunci: bukan kayu, hutan, obat

ABSTRACT

Known locally as the the lightning mushroom or tiger milk mushroom, Lignosus sp. is well-known as mushroom. Lignosus sp. is categorized as non-timber forest product which has potential to be developed due to its advantages. Interview and literature review were carried out during this study to investigate the ecology, ethnomycology, and economic potential of Lignosus sp. Study result showed that currently the fungi Lignosus sp. in Kotabaru Regency can be found around the forest area that is administratively included in the Muara Urie and Buluh Kuning Villages. Local community has been used this fungi as traditional medicine, such as for cough medicine and post-natal care for mothers. In addition, local people harvest this fungi and sell it to middleman. However, the information of cultivation of this mushroom still limited particularly in South Kalimantan. Therefore, further studies need to be investigate.

Keywords: non-timber, forest medicinal

PENDAHULUAN

Selain dikonsumsi, manfaat jamur sebagai bahan obat sudah banyak disebutkan,

baik secara saintifik maupun secara turun-menurun (Waktola & Temesgen, 2018; Cheung,

2010). Banyak jamur yang diketahui memiliki khasiat obat (Comandini & Rinaldi, 2020;

Rai et al., 2005). Beberapa jenis yang sudah banyak diketahui adalah jamur shiitake

(Lentinus edodes), jamur maitake (Grifolla fondosa), jamur ling tzhi (Ganoderma lucidum),

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 41-48, Agustus 2020 42

dan jamur Lignosus sp. Meskipun namanya tidak setenar jenis jamur-jamur yang

disebutkan sebelumnya, jamur Lignosus sp. merupakan salah satu jamur yang diketahui

memiliki banyak manfaat obat, terutama di Malaysia. Bahkan jamur ini disebut sebagai

national treasure. Ada banyak nama daerah jenis ini, yakni susu harimau, betes kismas,

tish am ong, petih (Malaysia), betes susu mergas, keris mas, susu rimau (Sumatera),

hurulingzi (Cina) dan hijiritake (Jepang) (Lau, et al., 2015). Di Kalimantan Selatan, jamur

ini dikenal dengan jamur petir sesuai dengan mitos masyarakat bahwa jamur ini banyak

muncul pada saat musim hujan disertai petir.

Di berbagai daerah, terutama di Malaysia jamur ini merupakan jamur yang sangat

penting dan bernilai ekonomi tinggi karena memiliki khasiat yang baik bagi kesehatan.

Beberapa catatan, terutama dari masyarakat di Malaysia menyebutkan jamur ini bisa

menyembuhkan kanker payudara, masalah pencernaan, asma, batuk, demam dan berbagai

penyakit lainnya. Bahkan, di China jamur ini juga diketahui memiliki manfaat yang luas.

Tak sama halnya dengan di luar negeri, di Kalimantan Selatan, infomasi tentang jamur ini

tidak banyak diketahui.

Di Kalimantan Selatan jamur petir bisa ditemui di Desa Muara Urie, Kec. Hampang

dan Desa Buluh Kuning, Kec. Sungai Durian, Kab. Kotabaru. Akhir-akhir ini di Desa Muara

Urie terdapat permintaan terhadap jamur petir. Hal ini mendorong beberapa masyarakat

untuk melakukan pencarian dan pengumpulan terhadap jamur ini di hutan sekitar desa,

meskipun masyarakat di daerah tersebut belum banyak mengetahui kegunaan jamur ini.

Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk (a) memberikan informasi terkait biologi

jamur Lignosus sp. termasuk aspek manfaat, etnomikologi, dan manfaat farmakologi.

BAHAN DAN METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan tulisan berdasarkan studi

literatur dan wawancara. Wawancara dilakukan pada pengumpul jamur petir di

masyarakat Desa Muara Urie, Kec. Hampang dan Desa Buluh Kuning, Kec. Sungai Durian

Kab. Kotabaru, Kalimantan Selatan menggunakan metode snowball sampling pada bulan

Agustus 2019. Wawancara dilakukan secara langsung dengan memberikan pertanyaan

dan menggali informasi secara mendalam terkait jamur tersebut meliputi habitat, tempat

pemanenan jamur, penggunaan jamur, dan pemanfaatan jamur secara ekonomi. Data yang

diperoleh selanjutnya disajikan secara deskriptif.

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 41-48, Agustus 2020 43

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Jamur Lignosus sp. di Kab. Kotabaru dikenal dengan nama jamur petir. Penamaan ini

disesuaikan dengan mitos setempat yang beranggapan jamur ini akan mudah didapatkan

dan tumbuh saat musim hujan yang banyak disertai petir. Sebagian masyarakat di Desa

Muara Urie, Kec. Hampang dan Desa Buluh Kuning, Kec. Sungai Durian, Kab. Kotabaru

cukup familiar dengan jamur ini sehubungan dengan adanya permintaan akan jamur ini

yang cukup bernilai ekonomis. Secara morfologi jamur Lignosus sp. dicirikan dengan

adanya pileus yang ditopang dengan stipe keras seperti kayu yang muncul dari sclerotia

yang tumbuh di dalam tanah (Gambar 1). Informasi lain yang berhasil dihimpun selama

proses wawancara disajikan dalam Tabel 1.

Gambar 1. Jamur Lignosus sp. (A), Kondisi jamur di tanah (B), Kondisi jamur baru dipanen

(C). (Sumber foto : Rahman, 2019)

Tabel 1. Informasi etnomikologi jamur Petir di Kab. Kota Baru, Kalimantan Selatan.

Hal Deskripsi

Habitat Di Desa Buluh Kuning, berdasarkan informasi jamur dapat juga ditemui

di beberapa lokasi kebun masyarakat dengan inang tanaman kayu

kemiri

Kondisi tempat tumbuh lembab dan sangat minim sinar matahari yang

tembus ke lantai tegakan, dimana intensitas matahari +25%

Tanah tempat tumbuh jamur berupa tanah subur yang kaya bahan

organik berupa bekas lapukan batang dan dahan tanaman

Pemanfaatan secara

ekonomi Harga jual Rp.300.000,00/kg hingga Rp.500.000,00/kg

Jamur dibersihkan dan dicuci kemudian dijemur di bawah sinar

matahari kemudian dikemas dalam karung

Pemanfaatan untuk

pengobatan

Pemulihan stamina ibu pasca melahirkan dengan tujuan mengurangi

terjadinya pendarahan dan mempercepat proses penyembuhan luka

serta obat pada penderita batuk kronis

A B C

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 41-48, Agustus 2020 44

Pembahasan

Jamur ini merupakan jamur yang dijumpai di beberapa wilayah tropis, khususnya

Asia Tenggara seperti Malaysia (Lau et al., 2013) dan Indonesia. Penelusuran referensi

menunjukkan jamur ini bisa dijumpai di beberapa wiayah di Indonesia, yakni di Sumatera

Utara (Susiarti & Sambas, 2018), Kalimantan Barat, dan Pekanbaru (Wahyudi et al., 2016).

Namun, beberapa referensi menunjukkan bahwa spesies ini dapat ditemui di hutan tropis

di China (Cui et al., 2011), New Zealand, dan Australia (Chee, 2018). Jika mengacu pada

studi referensi, diyakini bahwa jamur ini dimungkinkan dapat ditemukan di sebagian

besar wilayah Kalimantan, tetapi hanya sedikit data yang mendukung asumsi tersebut.

Secara morfologi, berbeda dengan jamur pada umumnya, jamur ini adalah tubuh buah

yang tumbuh dari sclerotium yang terletak di dalam tanah. Secara klasifikasi ilmiah,

berikut klasifikasi dari jamur Lignosus sp.:

Kerajaan : Fungi

Divisi : Basidiomycota

Kelas : Agaricomycetes

Ordo : Polyporales

Family : Polyporaceae

Genus : Lignosus

Jenis : Lignosus sp.

Berbeda dengan masyarakat di Kotabaru yang menyebut jamur ini dengan sebutan

jamur petir, di beberapa wilayah Malaysia jamur ini disebut dengan jamur susu harimau.

Mitos mengatakan bahwa jamur ini muncul karena harimau mengeluarkan air susu untuk

anaknya. Di Indonesia, referensi yang menyebutkan tentang pemanfaatan Lignosus sp.

oleh masyarakat sangat terbatas. Dari sedikit informasi yang berhasil dihimpun, salah satu

daerah yang memanfaatkan jamur petir ini adalah masyarakat suku Batak dan Nias.

Berbeda dengan di Indonesia, pemanfaatan jamur ini di Malaysia cukup tinggi. Banyak

masyarakat memanfaatkan jamur ini sebagai obat herbal untuk penyakit seperti batuk

kronis, kanker, demam, batuk, dan asma serta pemulihan stamina. Di Cina, jamur ini juga

cukup diketahui manfaatnya untuk mengobati kanker, liver, hepatitis kronik, dan

gangguan pencernaan.

Cara konsumsi dalam pemanfaatan jamur ini untuk kesehatan sangat beragam, yakni

mulai dari memakan langsung, dipotong dan dikeringkan lalu diseduh serta ada juga yang

direbus. Untuk penggunaan luar, umumnya jamur ini diaplikasikan langsung pada bagian

yang luka seperti campak dan alergi lainnya. Pemanfaatan dengan direbus, umumnya

digunakan untuk penyakit dalam seperti menambah stamina dan demam. Beberapa

manfaat jamur Lignosus sp. serta cara pemanfaatannya dijabarkan dalam Tabel 2.

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 41-48, Agustus 2020 45

Tabel 2. Pemanfaatan jamur petir oleh masyarakat.

Lokasi/suku Manfaat Medis Bagian yang

Dimanfaatkan Cara Pemanfaatan Referensi

Malaysia Lelah dan

kanker payudara

Sclerotium Dimakan mentah (Chee,

2018)

Lelah,

meningkatkan

stamina

Sclerotium dikikis halus dan

diseduh dengan air panas lalu

diminum seperti minum jamu

Batak

Mandailing

dan Nias

Jantung Sclerotium/tuber Dicuci, dicampur dengan

kunyit, dikunyah, dan

dibuang

(Susiarti &

Sambas,

2018)

Memperlancar

air susu ibu

Diparut dan dicampur

dengan sayur

Sakit Gigi Tuber dipotong kecil-kecil

dan diletakkan di gigi

Disentri Tuber dimakan langsung

Kesurupan Tuber dimakan langsung

Campak Diparut dan diaplikasikan

Pemulihan ibu

pascamelahirkan

Interview

langsung

Asma Dibakar dan diaplikasikan di

dada/dimakan langsung,

direbus,

Kanker

payudara

Diparut, dicampur dengan

garam dan diaplikasikan

(Lau et al.,

2015)

Demam Direbus

Seiring dengan kemajuan pengetahuan, banyak riset dilakukan terkait efek

farmakologis jamur Lignosus sp. Berbagai uji telah dilakukan, dan diketahui jamur ini

memang terbukti mengandung kandungan nutrisi yang baik. Tubuh buah dan sclerotium

jamur ini kaya akan karbohidrat dan fiber, mielianya mengandung kalium, fosfor,

magnesium, riboflavin, niacin, asam lemak esensial, dan asam amino esensial (Lau et al,.

2015). Selain itu juga mengandung nutrisi makro dan mikro serta sebagai antioksidan dan

antiinflamasi. Beberapa contoh informasi farmakologi jamur Lignosus sp. disajikan dalam

Tabel 3. Kemampuan untuk memproduksi antioksidan dan antiinflamasi (peradangan)

pada Lignosus sp. paling banyak disebutkan dalam berbagai publikasi yang menganalisis

manfaat farmakologis dari jamur ini (Nallathamby et al., 2016; Mohanarji et al., 2012). Hal

ini membuktikan bahwa pengetahuan masyarakat dalam pemanfaatan jamur ini

dibenarkan dengan adanya berbagai studi. Selain itu, khasiat jamur ini untuk meredakan

asma juga didukung oleh Lee et al. (2018).

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 41-48, Agustus 2020 46

Tabel 3. Manfaat farmakologis Lignosus sp.

Bagian yang

Dimanfaatkan Manfaat Farmakologis Referensi

Sclerotium Antioksidan dan antineuroinflammation (Nallathamby, Serm, Raman,

Nurestri, et al., 2016)

Antioksidan dan antineuroinflammation (Keong et al., 2016)

Menstimulasi neurite in vitro (Eik et al., 2012)

Bronchorelaxation (Lee et al., 2018)

Berdasarkan kajian yang dilakukan dalam studi ini, potensi Lignosus sp. baik untuk

kesehatan maupun untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Oleh

karena itu, budidaya Lignosus sp. perlu dicoba dan dikembangkan. Studi terkait budidaya

jenis jamur ini sudah dilakukan, salah satunya oleh Abdullah et al., (2013). Harga jual

masyarakat Kab. Kotabaru untuk jamur ini adalah Rp.300.000,00/kg. Harga ini jauh lebih

rendah jika jamur ini dijual di Malaysia yakni sekitar 80 USD atau sekitar Rp.1.200.000,00

(Lau et al., 2015). Riset yang dilakukan oleh penulis di beberapa marketplace (Tokopedia

dan Shopee) menunjukkan harga jual jamur ini berada pada kisaran Rp.800.000,00/kg-

Rp.4.500.000,00/kg tergantung dari kualitasnya. Kualitas jamur ini ditentukan oleh

ukuran sclerotium-nya. Semakin besar ukurannya, maka harga jual yang tertera pada

market place tersebut semakin mahal.

Melihat potensi di alam sekitar kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)

Sengayam, Kab. Kotabaru keberadaan jamur ini dapat dipandang sebagai salah satu

potensi yang layak dikembangkan, dimana saat ini hanya tergantung dari alam. Selain itu,

hal yang perlu dipelajari lebih lanjut adalah musim panen jamur ini yang tumbuh di alam

hanya saat musim penghujan datang, terutama saat banyak petir. Kegiatan pemberian

pelatihan dan peningkatan pengetahuan masyarakat terkait pemanfaatan jamur juga perlu

ditingkatkan agar masyarakat dapat memperoleh manfaat kesehatan dan juga ekonomi

dari adanya komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) ini. Adanya kesadaran

masyarakat yang tinggi terhadap potensi jamur ini secara tidak langsung dapat

meningkatkan kelestarian hutan karena dengan kondisi hutan yang terjaga maka

keberlangsungan jenis ini akan lestari.

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 41-48, Agustus 2020 47

KESIMPULAN

Jamur Lignosus sp. merupakan salah satu produk HHBK yang memiliki potensi

ekonomi untuk dikembangkan di wilayah Kab. Kotabaru, Kalimantan Selatan. Berdasarkan

kearifan lokal, oleh masyarakat setempat jamur ini telah digunakan sebagai obat secara

turun temurun meskipun masih dalam skala kecil (terbatas).

PERNYATAAN KONTRIBUSI

Penulis Safinah Surya Hakim dan Eko Priyanto adalah kontributor utama pada karya

ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, N., Haimi, M. Z. D., & Lau, B. F. (2013). Domestication of a wild medicinal sclerotial mushroom , Lignosus rhinocerotis ( Cooke ) Ryvarden. Industrial Crops and Products, 47, 256–261.

Chee, B. (2018). Kulat Susu Harimau Bantu Pulihkan Tenaga. Dewan Kosmik, November, 56–59.

Cheung, P. C. K. (2010). The nutritional and health benefits of mushrooms. In Nutrition Bulletin (Vol. 35, Issue 4, pp. 292–299). https://doi.org/10.1111/j.1467-3010.2010.01859.x

Comandini, O., & Rinaldi, A. C. (2020). Ethnomycology in Europe: The Past, the Present, and the Future. In J. Pérez-Moreno, A. Guerin-Laguette, R. F. Arzú, & F. Q. Yu (Eds.), Mushrooms, Humans and Nature in a Changing World: Perspectives from Ecological, Agricultural and Social Sciences (Issue April, pp. 341–364). Springer Nature Switzerland. https://doi.org/10.1007/978-3-030-37378-8

Cui, B.-K., Tang, L.-P., & Dai, Y.-C. (2011). Morphological and molecular evidences for a new species of Lignosus (Polyporales, Basidiomycota) from tropical China. Mycol Progress (2011), 10, 267–271.

Eik, L., Naidu, M., David, P., Wong, K., Tan, Y., & Sabaratnam, V. (2012). Lignosus rhinocerus ( Cooke ) Ryvarden: A Medicinal Mushroom That Stimulates Neurite Outgrowth in PC-12 Cells. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, 2012. https://doi.org/10.1155/2012/320308

Keong, C. Y., Vimala, B., Daker, M., Hamzah, M. Y., Mohamad, S. A., Lan, J., Chen, X. D., & Yang, Y. P. (2016). Fractionation and biological activities of water-soluble polysaccharides from sclerotium of tiger milk medicinal mushroom, lignosus rhinocerotis (Agaricomycetes). In International Journal of Medicinal Mushrooms (Vol. 18, Issue 2, pp. 141–154). https://doi.org/10.1615/IntJMedMushrooms.v18.i2.50

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 41-48, Agustus 2020 48

Lau, B. F., Abdullah, N., Aminudin, N., Boon, H., & Jean, P. (2015). Ethnomedicinal uses , pharmacological activities , and cultivation of Lignosus spp . ( tiger ’ s milk mushrooms ) in Malaysia – A review. Journal of Ethnopharmacology, 169, 441–458. https://doi.org/10.1016/j.jep.2015.04.042

Lee, M. K., Li, X., Chee, A., Yap, S., Chi, P., & Cheung, K. (2018). Airway Relaxation Effects of Water-Soluble Sclerotial Extract From Lignosus Airway Relaxation Effects of Water-Soluble Sclerotial Extract From Lignosus rhinocerotis. In Frontiers in Microbiology (Vol. 9, Issue May, pp. 1–9). https://doi.org/10.3389/fphar.2018.00461

Mohanarji, S., Dharmalingam, S., & Kalusalingam, A. (2012). Screening of Lignosus rhinocerus Extracts as Antimicrobial Agents against Selected Human Pathogens. Journal of Pharmaceutical and Biomedical Sciences, 18(11), 1–4.

Nallathamby, N., Serm, L. G., Raman, J., Nurestri, S., Malek, A., Naidu, M., Kuppusamy, U. R., & Sabaratnam, V. (2016). Identification and in vitro Evaluation of Lipids from Sclerotia of. Natural Product Communications, 11(10), 1485–1490. https://doi.org/10.1177/1934578X1601101016

Rai, M., Tidke, G., & Wasser, S. (2005). Therapeutic Potential of Mushrooms. Indian J Nat Prod Resour, 4, 246–257.

Susiarti, S., & Sambas, E. (2018). Local Knowledge on Medicinal Plants of Batak Mandailing and Nias Communities in Batang Toru , North Sumatra , Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science.

Wahyudi, T. R., Rahayu, S., & Azwin. (2016). Keanekaragaman Jamur Basidiomycota di Hutan Tropis Dataran Rendah Sumatera, Indonesia ( Studi Kasus Di Arboretum Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning Pekanbaru ). Wahana Forestra, 11(2), 98–111.

Waktola, G., & Temesgen, T. (2018). Application of Mushroom as Food and Medicine. Advances in Biotechnology & Microbiology, 11(4). https://doi.org/10.19080/aibm.2018.11.555817

https://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM

Diterima: 23-10-2019 Disetujui: 09-08-2020

p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

Artikel

DOI: 10.20886/GLM.2020.1.1.49-60

POTENSI SERANGGA HUTAN SEBAGAI BAHAN PANGAN ALTERNATIF

The potentials of forest insects as alternative food

Yeni Nuraeni1* dan Illa Anggraeni2

1,2Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Kotak Pos 165, Bogor 16118

Telp. (0251) 8633234, 7520067 Fax. (0251) 8638111 *Email: [email protected]

ABSTRAK

Serangga memiliki peran yang penting bagi kehidupan manusia, baik peran negatif/merugikan maupun positif/menguntungkan. Peran serangga yang merugikan salah satunya yaitu sebagai hama beberapa jenis tanaman, sedangkan peran yang menguntungkan salah satunya yaitu dapat dijadikan sebagai sumber pangan alternatif. Di beberapa daerah di Indonesia mengkonsumsi serangga sebagai bahan makanan, namun masih banyak masyarakat yang menilai serangga tidak layak untuk dikonsumsi sehingga membuat potensi yang dimiliki oleh serangga tidak termanfaatkan secara maksimal. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi jenis-jenis serangga yang dapat menjadi sumber bahan pangan, serta nilai gizi yang terkandung di dalamnya. Serangga yang umum dikonsumsi yaitu rayap, enthung jati, ulat sagu, belalang dan jangkrik. Nilai gizi yang terkandung pada serangga-seraangga tersebut tergolong cukup tinggi, sehingga kebutuhan gizi masyarakat dapat terpenuhi dengan memanfaatkan serangga sebagai sumber bahan pangan alternatif.

Kata kunci: gizi, pangan, serangga

ABSTRACT

Insects have an important role for human life, both negative and detrimental roles as well as positive or beneficial roles. The role of harmful insects is as pest, while the beneficial role can be used as an alternative food source. In some areas in Indonesia, insects are also consumed as food, unfortunately there are still many people who consider insects not suitable for consumption, making the potential possessed by insects not fully utilized. This paper aims to provide information on the types of insects that can be a source of food, as well as the nutritional value contained in insects. Commonly consumed insects are termites, teak caterpillars, sago caterpillars, grasshoppers, and crickets. The insects contain high enough of nutrition that is expected to be used as alternative food source to meet community nutritional needs.

Keywords: food, insects, nutrition

PENDAHULUAN

Serangga merupakan salah satu kelompok hewan terbesar di dunia. Kelompok ini

mencapai lebih 70% dari seluruh jenis hewan dan 1 juta jenis telah diidentifikasi

(Scaraffia & Miesfeld, 2013). Serangga memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan

manusia terutama bidang pertanian dan kehutanan. Keberadaan serangga masih dianggap

sebagai hewan yang merugikan karena peran serangga tersebut hanya dilihat dari

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 50

kepentingan manusia atau antropsentris (Untung, 2010) bukan dilihat dari perannya

secara keseluruhan.

Serangga berpotensi menjadi hama jika kelompok ini mengalami ledakan populasi.

Kondisi tersebut terjadi pada belalang yang menyerang tanaman jagung di Lampung

(Sudarsono, Hasibuan, & Swibawa, 2011). Serangan belalang menyebabkan gagalnya

panen jagung di provinsi tersebut. Selain belalang, ulat jati juga berpotensi sebagai hama.

Ulat ini memakan daun jati muda sehingga pertumbuhan jati menjadi terhambat (Pratiwi,

Karmanah, & Gusmarianti, 2012). Serangga lain yang potensial sebagai hama adalah rayap.

Studi Nandika, Rismayadi, & Diba (2015) menyatakan bahwa serangan rayap yang tinggi

akan menurunkan kualitas dari kayu.

Namun demikian, terdapat peran positif serangga yang tidak disadari yakni sebagai

agen penyerbuk bagi sebagian besar tumbuhan di alam dan sumber pangan alternatif.

Beberapa studi menyebutkan bahwa serangga dapat menjadi sumber makanan baik bagi

manusia maupun binatang lain (Food and Agriculture Organization (FAO), 2013; Girsang,

2018; Scaraffia & Miesfeld, 2013; Sentana, 2013). Studi tentang kandungan gizi

menunjukkan bahwa kandungan gizi dari serangga dapat memenuhi kebutuhan pangan

manusia (FAO, 2013; Girsang, 2018; Sentana, 2013). Hasil studi FAO, (2013) menemukan

lebih dari 1900 serangga berpotensi sebagai sumber pangan global. Selain itu, studi

tersebut menyatakan peningkatan jumlah penduduk dunia yang mencapai lebih dari 9,8

miliar orang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan pangan dunia menjadi dua kali

lipat. Kondisi ini mengharuskan adanya sumber pangan alternatif yang dapat memenuhi

kebutuhan pangan dan gizi sehingga manusia terhindar dari bencana kelaparan (FAO,

2013). Namun demikian, sosialisasi serangga sebagai pangan alternatif harus dilakukan

karena paradigma masyarakat masih menganggap bahwa serangga merupakan makanan

yang tidak layak dikonsumsi (Girsang, 2018).

Penulisan ini bertujuan memberikan informasi kepada masyarakat bahwa serangga

dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif dalam memenuhi kebutuhan gizi

dan protein. Hal ini sebagai salah satu upaya sosialisasi dalam rangka merubah paradigma

masyarakat tentang serangga dan mendorong pemanfaatan serangga sebagai sumber

protein alternatif yang murah dan mudah didapatkan.

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 51

BAHAN DAN METODE

Waktu

Penelitian ini berupa studi pustaka. Pustaka dikumpulkan dari beberapa

perpustakaan Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan, jurnal-jurnal di bidang kehutanan, pertanian, dan pangan, serta

sumber dari e-journal dan e-majalah ilmiah. Studi pustaka ini dilaksanakan pada tahun

2018.

Metode penelitian

Penelusuran pustaka dengan menggunakan search engine google. Kata kunci yang

digunakan berbahasa Indonesia dan Inggris antara lain: serangga, potensi pemanfaatan,

hama, kandungan protein, pangan, edible, insect, entomophagy, nutritional and protein.

Hasil penulusuran tersebut kemudian dipilah berdasarkan kategori dari tulisan yang

ditemukan. Tulisan-tulisan dari blog dan berita tidak digunakan dalam analisis/proses

review. Tulisan-tulisan/karya tulis ilmiah kemudian dianalisis secara tabulasi terutama

untuk memperoleh gambaran jenis yang telah dimanfaatkan, kandungan gizi dan protein,

daerah-daerah pemanfaatan, jenis serangan hama, dan potensi pemanfaatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Serangga potensial sebagai sumber pangan

Serangga merupakan sumber daya yang memiliki hubungan erat dengan manusia.

Namun serangga lebih dikenal sebagai hama baik pada tanaman pertanian maupun

kehutanan. Pada kondisi lingkungan tertentu, serangga hama akan berkembang dengan

pesat sehingga populasinya meningkat dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai

makanan. Pada beberapa daerah di Indonesia telah memiliki kearifan lokal dalam

memanfaatkan serangga sebagai sumber pangan. Serangga-serangga tersebut dapat

dimanfaatkan secara langsung maupun dalam bentuk olahan (Tabel 1).

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 52

Tabel 1. Jenis-jenis serangga potensial sebagai sumber pangan.

Jenis Jenis Hama Bagian yang

dimanfaatkan Daerah Cara pengolahan

Rayap Pemakan kayu anak rayap (laron)

seluruh Indonesia digoreng, rempeyek

Entung jati Pemakan daun-daun muda jati

Seluruh bagian Pesisir Pulau Jawa seperti Jepara, Rembang, Blora, Gunung Kidul, Tuban dan Bojonegoro

digoreng dan ditumis

Ulat sagu Pemakan batang sagu

Seluruh bagian dan sebagai makanan ternak

Maluku dan beberapa daerah di Indonesia

digoreng

Belalang Pemakan daun Seluruh bagian Sebagian daerah di Pulau Jawa

digoreng, ditumis

Jangkrik Pemakan bibit tanaman

Seluruh bagian Beberapa daerah di Indonesia

digoreng

Sumber: Pengolahan data sekunder.

Serangga pada Tabel 1. sangat potensial dimanfaatkan sebagai sumber pangan

karena kandungan gizi yang cukup tinggi. Hasil studi literatur menunjukkan bahwa

kandungan gizi tersebut cukup lengkap (Tabel 2).

Tabel 2. Komposisi gizi jenis-jenis serangga sebagai bahan pangan (per 100 gram bagian serangga).

Jenis serangga Energi (kkal)

Air (%)

Protein (%)

Lemak (%)

Karbo (%)

Serat (%)

Semut terbang - Betina - Jantan

- -

60,0 60,0

3,0

10,1

9,5 1,3

- -

- -

Kumbang 192 56,2 27,1 3,7 11,2 6,4 Larva kumbang kelapa - Mentah - Kering

86

430

81,1 9,1

10,6 52,9

2,7

15,4

4,2

16,9

2,8 5,4

Jangkrik - Mentah

117

76,0

13,7

5, 3

2,9

2,9

Belalang - Mentah - Kering

170 420

62,7 7,6

26,8 62,2

3,8

10,4

5,5

15,8

2,4

-

Rayap - Mentah - Kering

356 656

44,5 1,7

20,4 35,7

28,0 54,3

4,2 3,5

2,7

-

Sumber: Data diolah Girsang, (2018).

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 53

Tabel 3. Kandungan protein pada kelompok serangga.

No. Jenis serangga Tingkat pertumbuhan Kandungan Protein (%)

1. Coleoptera: kumbang Dewasa, larva 23-66

2. Lepidoptera: ngengat, rayap Kepompong, larva 14-68

3. Hemiptera: kepik Dewasa, larva 42-76

4. Homoptera: wereng, kutu daun Dewasa, larva, telur 45-57

5. Hymenoptera: tawon, lebah, semut

Dewasa, kepompong, larva, telur

13-77

6. Odonata: Capung Dewasa, muda 46-65

7. Orthoptera: belalang, jangkrik Dewasa, muda 23-65

Sumber: Data diolah dari Bernard & Womeni, (2017), Girsang, (2018).

Kandungan protein pada beberapa jenis serangga tersebut berbeda-beda tergantung

jenis dan tingkat pertumbuhannya. Pada jenis serangga tertentu kandungan proteinnya

mencapai lebih dari 75 % (Tabel 3). Kandungan protein beberapa serangga sebanding

dengan kandungan protein dari beberapa jenis ikan (Tabel 4).

Tabel 4. Perbandingan kandungan protein pada kelompok serangga dan ikan.

Kelompok hewan

Jenis hewan Tingkat

pertumbuhan Kandungan protein/

100gr (%) Serangga (mentah)

Belalang Larva Dewasa

14-18 13-28

Ulat sutera Dewasa 10-17

Ulat kelapa/sagu Larva 7-36

Larva kumbang/ulat Hongkong Larva 14-25

Jangkrik Dewasa 8-25

Rayap Dewasa 13-28

Ikan Ikan bersirip Ikan nila Ikan kembung Ikan lele

16-19 16-28 17-28

Crustasea Lobster Udang (Malaysia) Udang

17-19 16-19 13-27

Mollusca Sotong 15-18

Sumber: Data diolah dari Bernard & Womeni, (2017), Girsang, (2018).

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 54

Pembahasan

Rayap

Rayap termasuk ke dalam Ordo Isoptera, merupakan serangga sosial yang hidup

secara berkoloni. Koloni rayap terdapat tiga kasta yaitu kasta prajurit, kasta pekerja, dan

kasta reproduktif. Jumlah spesies rayap di dunia sebanyak 2.648 jenis yang

dikelompokkan ke dalam 7 famili dan 281 genus (Handru, Herwina, & Dahelmi, 2012).

Rayap meresahkan masyarakat karena berperan sebagai hama dengan tingkat kerusakan

yang cepat dan ganas (Nandika et al., 2015).

Gambar 1. Rayap.

Sumber: Nuraeni, Anggraeni, & Bogidarmanti, (2016).

Menurut Nandika et al., (2015) rayap ditemukan hampir disetiap daerah di

Indonesia (Gambar 1). Pemanfaatan rayap sebagai sumber pangan dalam bentuk laron.

Laron menjadi sumber pangan sebagai pengganti daging dan protein hewani (Uhi, Jachja,

Mutia, & Nandika, 2001). Rayap tanah (Glyptotermes montanus) memiliki kandungan

protein sebesar 14,2% pada berat basah tubuh atau sebesar 55,7% pada berat kering

tubuh (Uhi et al., 2001).

Entung jati

Hyblaea puera Cr. dikenal dengan entung jati termasuk ke dalam Ordo Lepidoptera.

Pada fase larva (Gambar 2), entung jati berpotensi sebagai hama dengan cara memakan

daun-daun muda yang lunak dan hanya menyisakan tulang-tulang daun saja yang

biasanya terjadi pada awal musim hujan (Anggraeni, 2017). Serangan dari hama ini tidak

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 55

menyebabkan kematian pada tanaman tetapi menurunkan potensi kayu sebesar 44%

(Chandrasekhar, Sajeev, Sudheendrakumar, & Benerjee, 2005).

Gambar 2. Larva/ulat jati.

Sumber: Pattiwael,(2018).

Entung jati telah lama dimanfaatkan sebagai sumber pangan pada daerah-daerah

tersebut (Tabel 1). Kandungan gizi pada entung jati yaitu protein (13,9%), lemak (2,3%),

dan air sebanyak 75% (Sentana, 2013). Menurut Sentana (2013) serangga ini dapat diolah

menjadi makanan kecil. Praktek ini sudah mulai dikembangkan di Gunung Kidul.

Ulat sagu

Ulat sagu merupakan larva dari kumbang merah kelapa (Rhynchophorus

ferrugenesis). Kumbang merah kelapa betina biasanya meletakan telur-telurnya pada luka-

luka di batang (Triwahyuni, Mukaromah, & Ethica, 2018). Pemanfaatan ulat sagu banyak

dilakukan di wilayah Indonesia Bagian Timur seperti Maluku dan Papua (Hastuty, 2016).

Menurut Hastuty (2016) ulat sagu memiliki kandungan protein sebesar 9,34%.

Selain mengandung protein, ulat sagu juga mengandung beberapa asam amino esensial,

diantaranya yaitu asam aspartat (1,84%), asam glutamate (2,27%), tirosin (1,87%), lisin

(1,97%), dan methionin (1,07%). Berdasarkan beberapa studi ulat sagu (Gambar 3) tidak

hanya sebagai sumber pakan tetapi dapat menambah protein pada hewan ternak. Namun

ulat sagu mempunyai kelemahan yakni mudah mengalami pembusukan sehingga usaha

pengawetan harus dilakukan. Pengawetan yang dilakukan dengan pengeringan dan

pemberian garam (Fahima, 2018).

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 56

Keterangan: A: Masa bertelur tersedia, mimimum 1 bulan dan maksimum 3 bulan, B: masa telur menetas, 2 – 3 hari, C= masa larva, 2 bulam. D: masa pupa, 2-3 minggu, E: masa imago dan kumbang dewasa

Gambar 3. Serangga Ulat Sagu.

Sumber: Bustaman, (2008)

Belalang

Belalang termasuk ke dalam Ordo Orthoptera dan sebagian besar merupakan

pemakan tumbuhan. Belalang juga berperan sebagai predator. Ciri umum belalang yaitu

memiliki dua pasang sayap (Napitu, Meiganati, & Panjaitan, 2012).

Belalang merupakan salah satu serangga yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat

pada beberapa daerah di Indonesia. Hal ini karena belalang mengandung beberapa nutrisi.

Kandungan nutrisinya antara lain 654,2g/kg protein; 83,0g/kg lemak; dan 87,3g/kg kitin,

sedangkan asam amino yang terkandung yaitu asam amino lisin, metionin, dan sistein

(Asthami, Estiasih, & Maligan, 2016; Wang et al., 2007). Belalang dapat dikonsumsi dan

diolah secara langsung. Namun terdapat produk-produk olahan belalang dalam bentuk

lain. Diversifikasi makanan olahan telah dilakukan, salah satunya yakni mie instan. Hasil

penelitian Asthami et al. (2016) pembuatan mie instan dengan penambahan tepung

belalang meningkatkan kualitas dari mie yang dihasilkan. Mie yang dihasilkan mempunyai

kualitas dan kuantitas protein lebih tinggi dibandingkan dengan mie yang berada di

pasaran (Asthami et al., 2016).

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 57

Gambar 4. Serangga Belalang

Sumber: Riyanto, (2017)

Jangkrik

Menurut Erniwati (2012) jangkrik (Gambar 5) merupakan serangga yang berukuran

kecil sampai besar. Jangkrik berkerabat dengan belalang dan termasuk ke dalam Ordo

Orthoptera. Jenis jangkrik di dunia teridentifikasi sebanyak 900 jenis dan 123 jenis

terdapat di Indonesia. Pemanfaatan serangga tersebut sebagai hewan piaraan dan sumber

pakan untuk beberapa jenis burung/ternak. Erniwati (2012) menyatakan bahwa

pemanfaatan jangkrik bukan hanya terbatas untuk makanan tetapi penggunaannya

sebagai bahan tambahan untuk industri farmasi.

Hal ini karena jangkrik banyak mengandung senyawa organik seperti protein, lemak

dan karbohidrat. Selain itu jangkrik juga mengandung senyawa anorganik seperti mineral,

asam glutamat, glisin, dan sistein. Protein pada jangkrik dapat bermanfaat untuk

mencegah penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah. Beberapa jenis jangkrik

mengandung asam amino, asam lemak, kadar kolagen, omega 3 dan omega 6, seperti pada

jangkrik kalung (Gryllus bimaculatus) (Siswoyo., Sailah., & Suryani, 2008). Asam amino

pada jangkrik kering dan sudah menjadi tepung sebesar 44, 76 mg/g.

Berdasarkan kandungan gizi dan proteinnya (Tabel 2, 3, dan 4) menunjukkan bahwa

serangga memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. Protein merupakan unsur yang

sangat penting bagi tubuh karena berfungsi sebagai bahan bakar. Selain itu protein juga

berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein mengandung unsur-unsur

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 58

asam amino (C, H, O, dan N), fosfor, belerang, unsur logam seperti besi dan tembaga

(Nurohman, 2016; Triwahyuni et al., 2018).

Gambar 5. Serangga Jangkrik.

Sumber: Nugroho et al., (2020).

KESIMPULAN

Serangga hutan yang selama ini dikenal sebagai hama mempunyai potensi sebagai

bahan pangan alternatif. Serangga tersebut antara lain rayap, entung jati, ulat sagu,

belalang, dan jangkrik. Nilai gizi dan protein yang terkandung pada serangga tergolong

cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa serangga tersebut sangat potensial menjadi

sumber pangan masyarakat.

SARAN

Eksplorasi terhadap sumber pangan alternatif lain harus dilakukan karena serangga

sebagai salah satu jenis yang melimpah di alam dan pembudidayaannya relatif mudah.

Selain itu, jenis serangga mempunyai nilai gizi dan protein yang cukup tinggi sehingga

jenis ini sangat potensial sebagai sumber pangan baru.

PERNYATAAN KONTRIBUSI

Yeni Nuraeni dan Illa Anggraeni bersama-sama berkontribusi melakukan desain

penelitian, studi pustaka , pengolahan data dan melakukan pembuatan naskah publikasi

ini.

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 59

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, I. (2017). Hama dan Penyakit Tanaman Jati (Tectona grandis L.f).Bogor-Indonesia. Bogor: IPB Press.

Asthami, N., Estiasih, T., & Maligan, J. M. (2016). Mie instan belalang kayu (Melanoplus cinereus): Kajian Pustaka. Jurnal Pangan Dan Agroindustri, 4(1), 238–244.

Bernard, T., & Womeni, H. M. (2017). Entomophagy: Insect as Food. In Intech Open Science Open Minds, (pp. 234–253). http://doi.org/10.1016/j.colsurfa.2011.12.014

Bustaman, S. (2008). Potensi ulat sagu dan prospek pemanfaatannya. Jurnal Litbang Pertanian, 27(10), 50–54. Retrieved from http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3272082.pdf

Chandrasekhar, N., Sajeev, T. V., Sudheendrakumar, V. V., & Benerjee, M. (2005). Population dynamics of the teak defoliator (Hyblea puera Cramer) in Nilambur teak plantations using Randomly Amplified Gene Endcoding Primers (RAGEP). BMC Ecology, 5(1), 1–11.

Erniwati. (2012). Biologi Jangkrik (Orthoptera: Gryllidae) Budidaya dan Perananya. Fauna Indonesia, 11(2), 10–14.

Fahima, A. (2018). Profil Protein Berbasis SDS-PAGE pada Ulat Sagu Hasil Pengeringan dengan garam dan tanpa garam. Universitas Muhamadiyah Semarang.

Food and Agriculture Organization (FAO). (2013). Edible Insects : future prospects for food and feed security. Rome Italy.

Girsang, P. (2018). Serangga, solusi pangan masa depan. Jurnal Pembangunan Perkotaan, 6(2), 69–76.

Handru, A., Herwina, & Dahelmi. (2012). Jenis-jenis rayap (Isoptera) di kawasan hutan Bukit Tengah Pulau dan areal perkebunan kelapa sawit, Solok Selatan. Jurnal Universitas Andalas., 1(1), 69–77.

Hastuty, S. (2016). Pengolahan Ulat Sagu (Rhynchophorus Ferruginenes) di Kelurahan Bosso Kecamatan Walenrang Utara Kabupaten Luwu, 1(1), 12–19. Retrieved from www.journal.unismuh.ac.id/perspektif

Nandika, D. Y., Rismayadi, & Diba, F. (2015). Rayap: biologi dan pengendaliannya (kedua). Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Napitu, B., Meiganati, K. B., & Panjaitan, B. P. P. (2012). Inventarisasi hama pada Jati Unggul Nusantara di Kebun Percobaan Universitas Nusa Bangsa Cogreg, Bogor. . Journal Nusa Sylva, 12(2), 35–46.

Nugroho, A. A., Sabilla, N. H. S., Setyaningrum, D., Prastin, F. P., & Dani, T. R. (2020). Studi pola interaksi perilaku jangkrik (Gryllus bimaculatus) jantan dan betina. Florea : Jurnal Biologi Dan Pembelajarannya, 7(1), 41. http://doi.org/10.25273/florea.v7i1.6038

Nuraeni, Y., Anggraeni, I., & Bogidarmanti, R. (2016). Identifikasi rayap Benuang bini (Octomeles sumatrana Miq) dI KHDTK Haurbentes. Jurnal Hutan Pulau-Pulau Kecil, 1(2), 92. http://doi.org/10.30598/jhppk.2016.1.2.92

Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 60

Nurohman, S. H. (2016). Kajian kandungan protein tepung kacang koro pedang (Canavalia Ensiformis) yang dikemas LDPE (Low Density Polyethylene) selama penyimpanan menggunakan regresi linier sederhana. Universitas Pasundan.

Pattiwael, M. (2018). Analisis tingkat kerusakan tanaman jati (Tectona grandis L.f) akibat serangan hama di Kelurahan Klamalu Distrik Mariat Kabupaten Sorong. Daun: Jurnal Ilmiah Pertanian Dan Kehutanan, 5(2), 89–96. http://doi.org/10.33084/daun.v5i2.465.

Pratiwi, T., Karmanah, & Gusmarianti, R. (2012). Inventarisasi hama dan penyakit Tanaman Jati Unggul Nusantara di Kebun Percobaan Cogrek Bogor. Jurnal Sains Natural Universitas Nusa Bangsa, 2(2), 123–133.

Riyanto. (2017). Keanekaragaman belalang ordo orthoptera di tepian Sungai Musi Kota Palembang sebagai materi kuliah entomologi di Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya. Jurnal Pembelajaran Biologi, 4(1), 1–14.

Scaraffia, P. Y., & Miesfeld, R. L. (2013). Insect Biochemistry/Hormones. Encyclopedia of Biological Chemistry: Second Edition (2nd ed.). Elsevier Inc. http://doi.org/10.1016/B978-0-12-378630-2.00093-1.

Sentana, S. (2013). Kepompong ulat daun jati sebagai sumber gizi alternatif lokal di Gunung Kidul. Vol V No 8 Tahun 2013 hal 105-113. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan, 5(8), 105–113.

Siswoyo., Sailah., I., & Suryani, A. (2008). Kajian Pengembangan Usaha Budidaya Jangkrik Sebagai Bahan Baku Industri (Studi Kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta). Jurnal MPI, 3(2), 64–71.

Sudarsono, H., Hasibuan, R., & Swibawa, I. G. (2011). Hubungan antara curah hujan dan luas serangan belalang. Jurnal HPT Tropika, 11(1), 95–101.

Triwahyuni, A., Mukaromah, A. H., & Ethica, S. N. (2018). Profil Proteein Berbasis SDS-PAGE pada Ulat Sagu Pengasapan Dengan dan Tanpa Penggaraman. In Seminar Nasional Edusaintek. FMIPA UNIMUS.

Uhi, H. T., Jachja, J., Mutia, R., & Nandika, D. (2001). Pengaruh suplementasi rayap Glyptotermes montanus Kemner sebagai sumber protein terhadap penampilan ayam. Jurnal Ilmu Ternak Dan Veteriner, 6(3).

Untung, K. (2010). Diktat dasar-dasar ilmu hama tanaman. Yogyakarta.

Wang, D., Zhai, S. W., Zhang, C. X., Zhang, Q., & Chen, H. (2007). Nutrition value of the Chinese grasshopper Acrida cinerea (Thunberg) for broilers. Animal Feed Science and Technology, 135(1–2), 66–74. http://doi.org/10.1016/j.anifeedsci.2006.05.013

Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

ISI VOLUME 1

Nomor 1

Nor Ifansyah dan Junaidah Pengelolaan Lahan Gambut di Kawasan Hutan Lindung Liang Anggang Oleh Masyarakat Peduli Gambut (MPG) Sukamaju, Kalimantan Selatan Peat Land Mangement in Liang Anggang Protected Forest by Sukamaju Peat Care Society (PCS), South Kalimantan 1 Tri Wira Yuwati dan Wanda Septiana Putri Keragaman Spora Mikoriza Arbuskula di Bawah Tanaman Shorea balangeran (Korth.) Burck. Sebagai Bioindikator Keberhasilan Revegetasi Diversity of arbuscular mycorrhiza spores under Shorea balangeran (Korth.) Burck. plantation as bioindicator for the revegetation success 15 Purwanto Budi Santosa dan Muhammad Abdul Qirom Fluktuasi Tinggi Muka Air Lahan Gambut di Desa Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah The fluctuation of peatland water table at Tumbang Nusa, Central Kalimantan 27 Safinah S. Hakim dan Eko Priyanto Etnomikologi dan Potensi Pemanfaatan Jamur Petir (Lignosus sp.) di KPH Sengayam, Kotabaru, Kalimantan Selatan Ethnomicology and utilization potential of petir fungi (lignosus sp.) at KPH Sengayam, Kotabaru, South Kalimantan 41 Yeni Nuraeni dan Illa Anggraeni Potensi Serangga Hutan Sebagai Bahan Pangan Alternatif The potentials of forest insects as alternative food 49

Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

INDEKS PENULIS VOLUME 1

Nomor 1

A P

Anggraeni, Illa 49 Priyanto, Eko 41

Putri, Wanda Septian 15

H

Hakim, Safinah S. 41 Q

Qirom, M. Abdul 27

I

Ifansyah, Nor 1 S

Santosa, Purwanto B. 27

J

Junaidah 1 Y

Yuwati, Tri Wira 15

N

Nuraeni, Yeni 49

Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

INDEKS KATA KUNCI VOLUME 1

Nomor 1

A O

Agroforestri 1 Obat 41

B P

Bukan kayu 41 Pangan 49

Penanaman 27

G Pengelolaan 1

Gizi 49

R

H Restorasi 27

Hidrologi 27

Hutan 41 S

Hutan rawa gambut 15 Serangga 49

Shorea balangeran 15

K Sosial 1

Kalimantan Tengah 15 Spora 15

Kendala 1

Konflik 1 T

Terbakar 27

M

Mikoriza arbuskula 15

https://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM

Diterima: 12-09-2018 Disetujui: 09-08-2020

p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084

Artikel

DOI: 10.20886/GLM.2020.1.1.hal

GAYA SELINGKUNG UNTUK MENULIS DI JURNAL GALAM (Judul dalam bahasa Indonesia dibuat tidak lebih dari 2 baris, tidak lebih dari 15 kata.

upper case Cambria 11 Bold, line spacing 1)

Template to write in the Galam Journal

(Judul dalam bahasa Inggris dibuat tidak lebih dari 2 baris, Huruf Cambria 11Bold Italic, sentence case, line spacing 1)

Nama Penulis1*, Nama Penulis2

1Institusi dan alamat, nomor telp/fax penulis 2Institusi dan alamat, nomor telp/fax penulis

*E-mail : Penulis Koresponden

ABSTRAK

Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, tidak lebih dari 250 kata baik dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Abstrak diketik dengan font Cambria, ukuran 10pt, spasi satu. Abstrak bersifat mandiri, ditulis dalam satu paragraf, menggambarkan secara singkat isi tulisan yang memuat latar belakang, tujuan, metode dan hasil penelitian. Prinsip penulisan abstrak yakni Apa yang dilakukan, bagaimana cara melakukan, dan Apa yang dihasilkan. Sangat baik jika mencantumkan rekomendasi atau prospek dari penelitian tersebut. Hindari menggunakan singkatan yang tidak umum, tanpa catatan kaki dan tidak mencantumkan referensi. Cara penulisan Abstrak ini berbeda dengan penulisan hasil pembahasan dan kesimpulan (spacing after 6).

Kata kunci: mininal 3 (tiga) kata dan maksimal 5 (lima) kata, kata kunci sebaiknya berbeda dengan kata-kata di judul dan diurutkan sesuai abjad

ABSTRACT

Abstract is written in English and bahasa, less than 250 words both in English and bahasa. Abstract typed with font Cambria, 10pt, single spaced. Abstract must be able to stand alone, written in one paragraph, describes briefly the content of the whole text includes background, purpose, methods and results. The principles of abstract writing are what was conducted, how to conduct and what the result was. It would be better if there are some recommendations or prospects from the research results. Avoid uncommon abbreviation, footnotes and references (spacing after 6).

Keywords: minimum of 3 (three) words and a maximum of 5 (five) words. Try to find words that were different from the title and arranged in alphabetically ordered

PENDAHULUAN

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dan diketik pada kertas ukuran A4 (210 mm x

297 mm) dengan spasi 1,5. Pada semua tepi kertas dikosongkan 3 cm. Jumlah halaman

antara 12 sampai 15 halaman. Isi tulisan diketik dengan font Cambria, 11pt. Pendahuluan

terdiri dari latar belakang yang menjelaskan permasalahan aktual (fakta), kausal (sebab),

efek (pengaruh), dan tindak lanjut yang diperlukan serta tujuan penelitian. Alur dalam

latar belakang hingga tujuan hendaknya disusun mengerucut seperti piramida terbalik.

Jurnal Galam. Vol. (edisi ke): hal,bulan tahun b

Perlu dijelaskan pula mengenai status riset yang telah/sudah dilakukan selama ini dan

bagaimana posisi riset yang sedang dilakukan (state of the art). Penulisan pendahulan ini

sebaiknya menggunakan paragraf deduktif yakni pada awal kalimat membahas hal yang

bersifat umum atau luas dan berakhir pada kalimat-kalimat khusus.

Tinjauan pustaka merupakan bagian dari pendahuluan diperlukan untuk

mengetahui perkembangan subjek yang sama yang dilakukan oleh penulis dengan

menggunakan kaidah sitasi yang ditetapkan. Penulisan daftar pustaka dan sitasi Jurnal

Galam mengikuti model “American Psychological Association (APA). Sitasi pada teks terdiri

dari beberapa model yakni 1) satu penulis (Graham, 2013); 2) dua penulis (Qirom &

Supriyadi, 2012); 3) tiga penulis (Suryanto, Qirom, & Rahmanto, 2013); 4) empat penulis

(Hairiah, Sitompul, van Noordwijk, & Palm, 2001); dan 5) lebih dari empat penulis

(Brearley et al., 2019). Penulisan pustaka tersebut apabila pengutipan diakhir kalimat.

Penulisan sitasi tersebut berbeda jika sitasi dilakukan pada awal kalimat. Penulisan

tersebut sebagai berikut: 1) Menurut Graham (2013) menunjukkan sitasi oleh satu

penulis; 2) Menurut Qirom & Supriyadi (2012) menunjukkan sitasi oleh satu atau dua

penulis; 3) Menurut Suparno, Akbar, & Rafli, (2018)menunjukkan sitasi oleh tiga penulis;

4) Menurut Hairiah, Sitompul, van Noordwijk, & Palm (2001) menunjukkan sitasi oleh

empat penulis; 5) Menurut Brearley et al. (2019) menunjukkan sitasi oleh lebih dari empat

penulis. Penulisan tersebut berlaku apabila pustaka tersebut pertama kali disitasi. Cara

sitasi untuk penulis lebih dari dua akan berubah jika literatur yang sama disitasi kembali

yakni penulisan menggunakan et al.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan metode ini terdiri dari lokasi dan waktu penelitian, bahan dan alat yang

digunakan selama penelitian, dan metode penelitian. Lokasi penelitian dapat menjelaskan

dimana penelitian dilakukan dan dapat ditambahkan informasi berupa peta, letak

geografis dan administratif termasuk kondisi biofisiknya jika penelitian tersebut

merupakan penelitian lapangan. Waktu penelitian dimulai pada tahap pengumpulan data

dan berakhir pada tahap pengumpulan data.

Bahan dan alat menyampaikan bahan apa saja yang digunakan, sedangkan alat

merujuk pada alat apa saja yang digunakan dan penggunaan alat tersebut. Penyajian

metode memerlukan acuan pustaka, apabila sudah pernah dipublikasi sebelumnya dan

hal ini mencerminkan seberapa valid metode yang digunakan. Uraian mencantumkan

rumusan matematis sehingga hasil numeriknya dapat divalidasi. Untuk rumus dan bahan

Jurnal Galam. Vol. (edisi ke): hal,bulan tahun c

yang telah baku tidak perlu dijelaskan ulang, hanya disebutkan sumbernya, kecuali

apabila ada modifikasi, perlu ada penjelasan. Bab ini memuat lokasi penelitian, bahan

dan alat, metode penelitian, dan analisis data. Prosedur pengumpulan data, hendaknya

dibuat ringkas tetapi cukup informatif bagi pembaca yang ingin mengulangi penelitian

yang dilaporkan.

Apabila terdapat rumus persamaan reaksi atau matematis, diletakkan simetris pada

kolom. Nomor persamaan diletakkan di ujung kanan dalam tanda kurung, dan penomoran

dilakukan secara berurutan. Apabila terdapat rangkaian persamaan yang lebih dari satu

baris, maka penulisan nomor diletakkan pada baris terakhir. Penunjukkan

persamaan dalam naskah dalam bentuk singkatan, seperti Pers. (1). Persamaan ditulis

menggunakan Microsoft equation dengan huruf tidak miring (italic) seperti berikut:

H' N

log N ............................................................................................................. . (1)(Krebs, 2014)

Keterangan:H’:…., ni:……., N:…… (ukuran huruf 9 pt)

Penurunan persamaan matematis tidak perlu ditulis semuanya secara detail,

hanya dituliskan bagian yang terpenting, metode yang digunakan dan hasil akhirnya.

Analisis data merupakan lanjutan dari proses pengolahan data. Analisis data dapat

melalui uji statistik atau analisis deskriptif terhadap data-data yang diolah/dikumpulkan.

Pada bab ini dapat dibuat sub bab sebagai berikut:

Waktu dan lokasi penelitian

Bahan dan alat

Metode penelitian

Pengumpulan data

Pengolahan data

Analisis data

Namun demikian, penulis dapat menambah/menghilangkan sub bab tersebut sesuai

dengan metode selama melaksanakan penelitian.

Jurnal Galam. Vol. (edisi ke): hal,bulan tahun d

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jurnal ini memisahkan antara hasil dan pembahasan. Sub-bab dicetak tebal pada

masing-masing bagian.

Hasil

Hasil merupakan hasil analisis fenomena di wilayah penelitian yang relevan dengan

tema. Hasil yang diperoleh dapat berupa deskriptif naratif, angka-angka, gambar/tabel,

dan suatu alat. Hindari penyajian deskriptif naratif yang panjang lebar, gantikan dengan

ilustrasi (gambar, grafik foto, diagram, atau peta, dan lain-lain), namun dengan penjelasan

serta legenda yang mudah dipahami.

Judul tabel dan keterangan yang diperlukan ditulis dalam bahasa Indonesia dengan

jelas dan singkat. Tabel harus diberi nomor. Penggunaan tanda koma (,) dan titik (.) pada

angka di dalam tabel masing-masing menunjukkan nilai pecahan desimal dan kebulatan

seribu. Tabel tidak menggunakan garis vertikal. Isi dalam tabel menggunakan 1 spasi dan

ukuran huruf 9 pts. Contoh tabel seperti berikut ini:

Tabel 1. Rerata Tinggi dan diameter jati di persemaian (line spacing before 10, after 6)

Perlakuan Tinggi (cm) Dimeter (cm)

6 bulan 12 bulan 6 bulan 12 bulan Pupuk 7,4 8,9 0,1 0,2 Tanpa pupuk 5,8 9,1 0,2 0,2

P 0,513 1,00 0,658 0,513

Sumber: , tahun (ukuran huruf 10 pt, spacing before 6, after 10)

Gambar berupa grafik dan gambar harus kontras. Setiap gambar harus diberi nomor,

judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia seperti contoh dalam Gambar 1.

Foto yang digunakan harus mempunyai ketajaman yang baik dan diinsert dalam format

tex box agar posisi gambar dapat tetap stabil bila terjadi perubahan format. Gambar diberi

judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia. Contoh gambar berupa foto dan

grafik dapat dilihat seperti berikut:

Jurnal Galam. Vol. (edisi ke): hal,bulan tahun e

Gambar 1. Burung Kehicap Ranting di KHDTK Tumbang Nusa (ditulis rata tengah)

Keterangan: = H3PO4 0%, (A) = Tanpa uap air panas

= H3PO4 5%, (B) = Uap air panas selama 60 menit

= H3PO4 10%, (C) = Uap air panas selama 90 menit

= H3PO4 15%, (D)

Gambar 2. Rerata Rendemen arang aktif pada berbagai perlakuan konsentrasi H3PO4

(ditulis rata tengah bila sebaris, tapi justify jika lebih dari 1 baris. line spacing 1, spacing before 6)

Sumber:

Pembahasan

Pembahasan ditulis dengan ringkas dan fokus pada interpretasi dari hasil yang

diperoleh dan bukan merupakan pengulangan dari bagian hasil. Pembahasan tidak perlu

membaca ulang dari grafik, tetapi interpretasi dari hasil yang telah

dikelompokkan/dianalisis. Pembahasan dibuat berdasarkan teori dan hasil penelitian

terdahulu. Pembahasan tersebut difokuskan dari temuan/hasil yang menarik atau

menonjol dari penelitian ini dan membandingkannya dengan hasil penelitian sebelumnya.

Hasil dan pembahasan harus menjawab permasalahan dan tujuan penelitian.

0

25

50

75

A B C D

Ren

dem

en (

%)

Konsentrasi H3PO4

Jurnal Galam. Vol. (edisi ke): hal,bulan tahun f

KESIMPULAN

Kesimpulan adalah hasil dari pembahasan yang menjawab permasalahan penelitian,

bukan tulisan ulang dari pembahasan dan juga bukan ringkasan, melainkan penyampaian

singkat dalam bentuk kalimat utuh. Kesimpulan bisa berupa kesimpulan khusus dan

kesimpulan umum. Kesimpulan khusus merupakan hasil analisis data atau hasil uji

hipotesis tentang fenomena yang diteliti. Kesimpulan umum sebagai hasil generalisasi

atau keterkaitan dengan fenomena serupa di wilayah lain dari publikasi terdahulu. Hal

yang perlu diperhatikan adalah antara permasalahan, tujuan, dan kesimpulan harus

konsisten. Isi kesimpulan menggunakan huruf dan gaya paragraf yang sama dengan

bagian lainnya serta menghindari penggunaan bullet atau nomor.

SARAN

Saran dapat berisi rekomendasi akademik, tindak lanjut nyata, atau implikasi

kebijakan atas kesimpulan yang diperoleh. Saran yang normatif harus dihindari seperti

melanjutkan penelitian dengan parameter yang lain.

UCAPAN TERIMA KASIH

Berisi ucapan terima kasih kepada suatu instansi jika penelitian ini didanai atau

mendapat dukungan oleh instansi tersebut. Pihak yang secara signifikan membantu

langsung penelitian atau penulisan artikel ini apabila pihak tersebut sudah tercantum

sebagai penulis maka pihak tersebut tidak perlu disebutkan lagi.

PERNYATAAN KONTRIBUSI

Penulis A sebagai kontributor utama pada karya ilmiah ini. Penulis B dan C sebagai

kontributor anggota pada makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Seluruh kutipan dari penulis/sumber lain harus disebutkan sumbernya. Pustaka

yang dirujuk diusahakan terbitan paling lama sepuluh tahun terakhir dengan jumlah

pustaka primer paling sedikit sepuluh pustaka. Sumber dituliskan dengan mengikuti

tatacara (style) yang dikeluarkan oleh APA (American Psychological Association). Daftar

pustaka yang dirujuk harus disusun menurut abjad berdasarkan nama belakang penulis

buku/sumber dengan mencamtunkan nama penulis, tahun terbit, judul pustaka, terbitan

Jurnal Galam. Vol. (edisi ke): hal,bulan tahun g

(Vol., No., Hlm.), kota penerbit dan penerbit, spasi 1 dan 6 pt setelahnya. Daftar Pustaka

yang digunakan dalam makalah minimal 15 pustaka (Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI), 2012). Komposisi pustaka tersebut yakni 80% sebagai pustaka primer

dan 80% dari pustaka primer tersebut merupakan terbitan 10 tahun terakhir (Direktorat

Jendral Penguatan Riset dan Pengembangan, 2018).

Kami menyarankan penggunaan aplikasi referensi standar seperti Mendeley,

EndNote, Zotero, dll. Hal ini dilakukan untuk konsistensi cara pengacuan, pengutipan dan

penulisan daftar pustaka. Penulisan daftar pustaka berbeda-beda tergantung jenis

publikasinya. Contoh penulisan daftar pustaka antara lain jurnal, buku, tesis, buku

panduan, bagian dari buku, peraturan, dan laporan kegiatan sebagai berikut:

Brearley, F. Q., Adinugroho, W. C., Cámara-Leret, R., Krisnawati, H., Ledo, A., Qie, L., … Webb, C. O. (2019). Opportunities and challenges for an Indonesian forest monitoring network. Annals of Forest Science, 76(2). http://doi.org/10.1007/s13595-019-0840-0

Direktorat Jendral Penguatan Riset dan Pengembangan. (2018). Pedoman Akreditasi Jurnal Ilmiah (Pertama). Jakarta: Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Graham, L. L. B. (2013). Restoration from within : an interdisciplinary methodology for tropical peat swamp forest restoration in Indonesia. University of Leicester.

Hairiah, K., Sitompul, S., van Noordwijk, M., & Palm, C. (2001). Methods for sampling carbon stocks above and below ground. International Centre for Research in Agroforestry, Bogor, Indonesia, ASB Lecture Note 4B. Bogor: ICRAF Southeast Asia.

Krebs, C. J. (2014). Species diversity measures. In Ecological Methodhology (Third, pp. 532–595). Boston, United States: Addison-Wesley Educational Publishers, Inc.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor: 04/E/2012 tentang Pedoman Karya Tulis Ilmiah (2012).

Qirom, M. A., & Supriyadi. (2012). Penyusunan model penduga volume pohon jenis jelutung rawa (Dyera polyphylla (Miq)V. Steenis). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 9(3), 141–153.

Suparno, S., Akbar, H., & Rafli, M. (2018). Pemetaan dan kesesuaian lahan tanaman pangan di DAS Krueng Pasee Kabupaten Aceh Utara. Jurnal Agrium, 14(2), 26–36. http://doi.org/10.29103/agrium.v15i2.1073

Suryanto, E., Qirom, M. A., & Rahmanto, B. (2013). Pengelolaan KHDTK Rantau. Banjarbaru.