DNA marker

35
Perkembangan penciri genetik Dr. Muladno 2.1. Pendahuluan Seperti telah dijelaskan dalam Bab Satu, bahwa terdapat dua komponen dari pemetaan genetik yaitu: peta-peta keterpautan dan fisik, peta fisik menunjukkan lokasi fisik di tiap penanda di dalam kromosomnya, sedangkan peta keterpautan terdiri dari kelompok-kelompok dari susunan penanda secara linear dimana posisinya tergantung pada fraksi rekombinan. Di dalam pembentukan sebuah peta keterpautan diperlukan dua komponen utama, pertama adalah sejumlah besar penanda genetik yang menutup secara bersamaan di seluruh genom dengan tiap penandanya terdapat paling tidak dua bentuk yang berbeda, tetapi lebih diutamakan yang memiliki polimorfisme yang tinggi, kedua, diperlukan informasi mengenai pewarisan penenda-penanda tersebut yang berasal dari dua atau lebih baik tiga generasi keluarga. Pembahasan di dalam bab ini akan dibatasi hanya pada peta keterpautan termasuk strategi-strategi untuk pengurutan penenda-penanda genetik polimorfisme secara umumberdasarkan teknik konvensional dan teknologi DNA. Pada kesempatanini akan didefenisikan secara jelas tiap- tiap tipe penanda pada ternak babi, gambaran mengena penjelasan adalah untuk mendeteksi keragaman, pembahasan mengenai mutasi keragaman yang menyebebkan polimorfisme seperti halnya beberapa contoh dari tiap-tiap penanda genetik. Sebagai tambahan, juga dibahas keuntungan dan kerugian yang didapat dari penggunaan beberapa tipe penanda khusus. Topik lain yang ada di dalam baba ini antara lain mengenai strategi untuk membentuk peta keterpautan dan penggambaran secara jelas mengenai proyek kolaborasi internasional PiGMaP yang mencakup keterlibatan Australia di dalamnya. Terakhir dibahas pula mengenai aplikasi-aplikasi peta keterpautan untuk pemuliaan ternak. 2.2. Penanda Genetik Konvensional Pada waktu dulu, sedikitnya sejumlah penanda genetik konvensional menjadi penghambat pengembangan pemetaan keterpautan secara komprehensif. Tetapi penanda-penanda ini dapat memperlihatan kegunaannya dalam beberapa kasus seperti diagnosa untuk pmbawa penyalit genetik, tapi secara umum

Transcript of DNA marker

Perkembangan penciri genetik

Dr. Muladno

2.1. Pendahuluan

Seperti telah dijelaskan dalam Bab Satu, bahwa terdapat dua komponen

dari pemetaan genetik yaitu: peta-peta keterpautan dan fisik, peta fisik

menunjukkan lokasi fisik di tiap penanda di dalam kromosomnya, sedangkan

peta keterpautan terdiri dari kelompok-kelompok dari susunan penanda

secara linear dimana posisinya tergantung pada fraksi rekombinan. Di

dalam pembentukan sebuah peta keterpautan diperlukan dua komponen utama,

pertama adalah sejumlah besar penanda genetik yang menutup secara

bersamaan di seluruh genom dengan tiap penandanya terdapat paling tidak

dua bentuk yang berbeda, tetapi lebih diutamakan yang memiliki

polimorfisme yang tinggi, kedua, diperlukan informasi mengenai pewarisan

penenda-penanda tersebut yang berasal dari dua atau lebih baik tiga

generasi keluarga.

Pembahasan di dalam bab ini akan dibatasi hanya pada peta

keterpautan termasuk strategi-strategi untuk pengurutan penenda-penanda

genetik polimorfisme secara umumberdasarkan teknik konvensional dan

teknologi DNA. Pada kesempatanini akan didefenisikan secara jelas tiap-

tiap tipe penanda pada ternak babi, gambaran mengena penjelasan adalah

untuk mendeteksi keragaman, pembahasan mengenai mutasi keragaman yang

menyebebkan polimorfisme seperti halnya beberapa contoh dari tiap-tiap

penanda genetik. Sebagai tambahan, juga dibahas keuntungan dan kerugian

yang didapat dari penggunaan beberapa tipe penanda khusus. Topik lain

yang ada di dalam baba ini antara lain mengenai strategi untuk membentuk

peta keterpautan dan penggambaran secara jelas mengenai proyek kolaborasi

internasional PiGMaP yang mencakup keterlibatan Australia di dalamnya.

Terakhir dibahas pula mengenai aplikasi-aplikasi peta keterpautan untuk

pemuliaan ternak.

2.2. Penanda Genetik Konvensional

Pada waktu dulu, sedikitnya sejumlah penanda genetik konvensional

menjadi penghambat pengembangan pemetaan keterpautan secara komprehensif.

Tetapi penanda-penanda ini dapat memperlihatan kegunaannya dalam beberapa

kasus seperti diagnosa untuk pmbawa penyalit genetik, tapi secara umum

penada-penansa tersebut memberikan dampak ekonomis dalam industri

peternakan. Pada dasarnya penanda-penanda semacam itu dapat dikategorikan

menjadi tiga tipe termasuk penanda terlihat/tampak, kelompok darah dan

variasi biokimia.

2.2.1. Penanda Terlihat

Penanda ini dapat divisualisasikan pada basis variasi morfologi

seperti muncul atau tidaknya tanduk, tekstur kulit dan pola warna seperti

warna kulit pada kebanyakan ternak domestik. Tentu saja penanda ini akan

sangat mudah dibedakan, tetapi keragaman dari penanda-penanda ini sangat

terbatas dan seringkali pewarisannya sangat kompleks.

2.2.2. Kelompok Ragam Darah

Antigen yang diwariskan dapat terdeteksi pada permukaan sel dengan

antibodi spesifik dimana sebenarnya tipe pertama dari penanda digunakan

pada studi keterpautan dan membuktikan sebagai penanda pertam pada

pemetaan genom babi (Andersson dan Baker, 1964). Secara umum keragaman

kelompok antigen darah dideteksi menggunakan uji kesamaan immunologis

sederhana seperti hasil aglutinasi dari serumpun sel-sel yang tergabung

oleh molekul antibodi yang melekat pada antigen di permukaan sel. Reaksi

inin dapat digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya antigen khusus

pada sel darah merah dari suatu individu (lihat Nielsen, 1961 untuk

contoh). Deteksi pada sel antigen putih lebih komplek dan

membutuhkan prosedur-prosedur lain seperti uji

microlymphocytotoxicity.

Antigen sel darah merah dan sel darah putih dapat digunakan sebagai

penanda genetik. Keragaman pada antigen sel darah merah secara umum lebih

mudah untuk dihitung dan diduga. Antigen sel darah putih memiliki

keuntungan-keuntungan termasuk alel ganda dimana sangat berguna untuk

pengujian keturunan anak dan tetua, tetapi keragaman sulit untuk dihitung

dan diduga.

2.2.3. Ragam Biokimia

Ragam biokimia mencakup bentuk-bentuk protein serum dan enzim

dipisahkan dengan elektroporesis. Bentuk-bentuk tersebut dibedakan pada

perbedaan pengisian atau lebih jarang pada berat molekuler yang

mempengaruhi rata-rata perpindahan di dalam gel. Prosedur teknis untuk

mendeteksi variasi-vasiasi pada produkproduk biokimia digambarkan

dengan, sebagai contoh , Detter et al. (1968) dan Juneja et al. (1979).

Beberapa dari penanda ini sudah dikembangkan dan berhasil digunakan

untuk penempatan beberapa gen porcine (untuk contoh Stratil et al., 1990).

Baru-baru ini percobaan untuk menemukan hubungan antara penanda-penanda

tersebut dengan sifat-sifat kuantitatif, sebagai contoh pertumbuhan dan

sifat karkas sudah dilaporkan (Clamp et al., 1992). Walaupun kaian sudah

membuktikan bahwa penanda-penanda tersebut dapat berguna dalam analisis

keterpautan untuk melokalisasi gen porcine, keragaman yang sangat terbatas

dan bahkan jumlah variabel lokus yang sangat tebatas merupakan masalah

dalam penggunaan penanda tersebut dalam pengembangan peta keterpautan.

2.3. Penanda DNA

Sistem baru keterkaitan penanda-enanda genetik berdasarkan

pendetekdisn tepat pada polimorfisme sekuen DNA menggunakan teknologi DNA

sudah digunakan dalam pengembangan peta keterpautan secara detil pada

manusia, tikus, tanaman ekonomis, dan pada saat ini sudah mulai

diaplikasikan pada pesies ternak domestik. Oleh karena variabel lokus

dalam segmen DNA dalam suatu populasi yang tidak terbatas jumlahnya,

bentuk sekuen DNA merupakan pilihan terbaik sebagai penanda genetik. Pada

mulanya RFLP hadir dari teknologi kloning mendominasi pemetaan

berdasarkan DNA, tetapi dengan adanya teknologi PCR, beberapa tipe baru

penanda DNA sudah dapat digunakan dan sebagai hasilnya perkembangan pesat

dalam studi keterpautan telah dicapai. Lokus penanda genetik baru ini

dijelaskan oleh segmen DNA yang diwakili oleh gen-gen yang sudah

diketahui fungsinya atau lokus-lokus tanpa fungsi. Tipe-tipe penanda DNA

ini dijelaskan di bawah.

2.3.1. Restriction Fragment Length Polymorphisms(RFLPs)

Ketersediaan segmen DNA kloning dari yang berkode atau tidak dari

gen-gen yang dapat dideteksiRFLPs dan penggunan bentuk-bentuk RFLP

sebagai penanda genetik. Seperti namanya, keragaman pada sistem penanda

ini dapat dideteksi sebagai fragmen-fragmen DNA dengan panjang berbeda

setelah digesti dengan enzim restriksi tertentu.

Kemungkinan penggunaan sistem penanda baru ini untuk pembuatan peta

keterpautan yang komprehensif pertama kali dilakukan pada manusia oleh

Bostein et al. (1980). Pada dasarnya RFLP berdasarkan peta keterpautan

sudah berhasil digunakan untuk menginvestigasi penyakit genetik menurun

pada manusia (diulas oleh Gusella,1986 dan Donis-Keller, 1989). Seiring

keberhasilan teknologi DNA rekombinan pada pengembangan dari peta manusia

dan dalam diagnosa penyakit genetik menurun yang berdasarkan pada

pendekatan Botstein, diusulkan bahwa sistem penanda yang mirip RFLP dapat

digunakan pada pengembangan peta-peta gen untuk hewan domestik dengan

tujuan untuk mengidentifikasi dan menempatkan Quantitative Trait Loci (QTL) yang

berpengaruh pada sifat-sifat ekonomis yang penting (lihat Soller dan

Beckmann, 1983 untuk diulas).

2.3.1.1. Strategi Dasar untuk Pendeteksian RFLPs

Enzim pemotong endonuklease yang dapat mengenali sekuen-sekuen

diantara 4 dan 6 nukleotida pada panjang dan potongan sekuen di atau

dekat dengan daerah yang dikenali (Nathans dan Smith, 1975), digunakan

untuk mendeteksi bentuk macam-macam sekuen berbeda ukuran fragmen

pemotongan. Beberapa langkah dibutuhkan untuk memilih enzim-enzim yang

berguna untuk penanda RFLP. Pertama-tama sampel genom DNA dari sejumlah

individu didigesti dengan enzim pemotong tertentu dan fragmen-fragmen

yang dihasilkan dipisahkan berdasarkan ukuran molekularnya dengan

menggunakan del agarose elektroforesis. Penggunaan metode Southern

Blotting (southern, 1975), fragmen-fragmen DNA dari gel agarose

dipindahkan ke membran nitroselulosa atau benda padat lain yang serupa.

Teknik yang lebih sederhana dari gel-gel kering disamping blotting ke

membran-membran , disebut sebagai “Unblot technique” (Stoye et al., 1991),

dapat juga dilakukan dan terbuikti lebih murah dan lebih sensitif

dibandingkan dengan teknik Southern Blotting (Le Tissier et al., 1992).

Ikatan fragmen-fragmen DNA kemudian dihibridisasi dengan penanda label

radioaktif yang terlebih dahulu discreening dari koleksi klon DNA.

Autoradiograf dari hasil hibridisasi membentuk pola pita dimana posisi

pita muncul mewakili ukuran dari fragmen-fragmen dimana penanda

terhibridisasi. Oleh karena itu polimorfisme fragmen DNA dideteksi dengan

perbedaan pola pita diatara individu. Strategi untuk mendeteksi RFLP

menggunakan metode hibridisasi DNA digambarkan dalam gambar 2.1.

Probe sudah dikembangkan dan sukses digunakan untuk studi

keterpautan pada ternak domestik seperti sapi potong (Fries et al., 1989);

ayam (Bumstead dan Palyga, 1992) dan babi Andersson et al., 1993). Probe

dapat dikategorikan sebagai probe gen, menjadi sekuen DNA pada setiap

genom atau sekuen DNA dari gen yang telah diketahui fungsinya atau probe

anonimous, dimana fungsi dari sekuen DNA tidak diketahui.

2.3.1.2. Probe Gen

Nama gen yang digunakan disini dimaksudkan sebagai semua bagian dari

sepanjang DNA yang belum berkode untuk fungsi tertentu yang diketahui,

biasanya protein. Baik introns (daerah tidak berkode) dan exons (daerah

berkode) yang menyediakan gen sebagai calan probe yang berguna. Lebih

sering klon cDNA yang disiapkan dan disintesis dari RNA pembawa pesan

(mRNA) digunakan sebagai bakal untuk menghasilkan gen probe. Klon ini

mengandung daerah berkode pada gen saja dan biasanya produk gen yang

sedang diteliti sudah diketahui sebelumnya, sebagai contoh, sebuah enzim

atau hormon. Mengikuti karakteristik inisial dari RFLPs manusia pada

lokus globin dan insulin (lihat untuk contoh Jeffreys, 1979), banyak

RFLPs pada lokus gen yang diketahui sudah digunakan pada pembuatan peta

genetik di banyak spesies yang berbeda.

Gen probe yang diisolasi dari spesies yang diteliti diketahui

sebagai probe homolog. Beberapa langkah diperlukan untuk mengembangkan

cDNA probe homolog dimana kemungkinan mencakup persiapan dari antiserum

merusak protein Ge et al., 1979); isolasi dari mRNA; transkripsi terbalik

dan pembuatan koleksi cDNA probe homolog; screening koleksi;

pengkarakterisasian cDNA terisolasi; dan pelabelan dari klon untuk

membuat probe radioaktif (Maniatis et al., 1982). Contoh yang releva dari

keberhasilan pengembangan probe dilaporkan oleh Davies e al. (1987) yakni

yang mengkarakterisasi dan mendeteksi polimorfisme pada ge yang digunakan

untuk isomerase glucosephosphate porcin. Lima alel yang dideteksi dari

PvuII-digested DNA genom dari 29 babi tanpa hubungan keluarga dan lima

alel lain juga dideteksi dari sampel digesti yang sama dengan SacI.

GAMBAR 2.1.

Gambar 2.1. Pendeteksian RFLPs oleh hibridisasi DNA probe (diambil dari Gusella, 1986). 2.1.A.

Peta dari tempat enzim B pada lokus A bayangan. RFLPs bayangan muncul pada lokus bebas (A)

dengan pencernaan oleh endonuklease B. Alel 1 dan 2 terpisah seiring dengan munculnya daerah

enzim pemisah tambahan kemudian dengan pengurangan dari 12 kilobasa menjadi 4 kilobasa

besarnya fragmen yang dideteksi oleh probe untuk klon lokus dalam vektor plasmid. 2.1.B.

Pendeteksian RFLP oleh probe untuk lokus A. Gambar alur menunjukkan langkah-langkah yang

diambil untuk menentukan fenotipe dan genotipe pada lokus A dalam DNA genom tiga individu

menggunakan hibridisasi dengan klon probe dalam gambar 2.1.A. Hasil autoradiograf

menunjukkan bahwa ketiga individu memiliki masing-masing fenotipe yang berbeda, satu

homozigot untuk 1 alel, satu heterozigot, dan satu homozigot untuk 2 alel.GAMBAR 2.1.

Gambar 2.1. Pendeteksian RFLPs oleh hibridisasi DNA probe (diambil dari

Gusella, 1986). 2.1.A. Peta dari tempat enzim B pada lokus A bayangan.

RFLPs bayangan muncul pada lokus bebas (A) dengan pencernaan oleh

endonklease B. Alel 1 dan 2 terpisah seiring dengan munculnya daerah

enzim pemisah tambahan kemudian dengan pengurangan dari 12 kilobasa

menjadi 4 kilobasa besarnya fragmen yang dideteksi oleh probe untuk klon

lokus dalam vektor plasmid. 2.1.B. Pendeteksian RFLP oleh probe untuk

lokus A.

Gambar alur menunjukkan langkah-langkah yang diambil untuk

menentukan fenotipe dan genotipe pada lokus A dalam DNA genom tiga

individu menggunakan hibridisasi dengan klon probe dalam gambar 2.1.A.

Hasil autoradiograf menunjukkan bahwa ketiga individu memiliki masing-

masing fenotipe yang berbeda, satu homozigot untuk 1 alel, satu

heterozigot, dan satu homozigot untuk 2 alel.

Kemampuan untuk memperbanyak probe ini tentu saja tergantung pada

jumlah gen yang tersedia di dalam genom. Ohta dan Kimura (1971)

mengestimasi jumlah total dari sekuen yang sudah terkode pada genom

mamalia sekitar 35.000. Oleh karena itu banyak sekali terdapat sumber gen

probe. Pad mamalia terdapat bukti banwa sekuen yang terkode lebih

terkonsentrasi pada beberapa daerah dibandingkan yang lainnya. Pada

kondisi ekstrim beberapa untaian DNA sperti sekuen sederhana di dalam

heterokromatin centromeric, mengandung sekuen-sekuen yang belum terkode

dengan panjang lebih dari puluhan megabasa. Di lain hal, sedikitnya 80

gen ditemukan pada bentangan 2 megabasa di daerah kelas II dan kelas III

dari lokus Major Histocompatibility Complex (MHC) padakromosom 6

(Trowsdale et al., 1991). Pada babi gen-gen terisolasi dan tersedia sebagai

penanda umlahnya meningkat. Beberapa probe porcin yang berguna dan

sejumlah alel-alel yang terdeteksi pada genom porcin ditampilkan dalam

Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Contoh analisis RFLPs menggunakan probe homolog dalam genom

porcine

Lokus Gen Enzim Pemisah No Alelterdeteksi

Referensi

Glucose-phosphatase-isomerase (Gpi)

PvuIISacI

55

Davies et al. (1987;1988)

Calcium release channel gene (CRC)

TaqI 6 Mariani et al. (1992)

Lipoprotein lipase(LPL)

HindIII 3 Harbitz et al. (1992)

Albumin (ALB) TaqI 3 Chowdhary et al. (1993)Transferrin (TF) TaqI 2 Chowdhary et al.

(1993)Interleukin-1 alpha (IL1A)

BamHI 3 Shalhevet et al. (1993b)

Interleukin-1 beta IL1B)

BamHI 2 Feltes et al. (1993b)

Gen pengontrol hormon tampilan pertumbuhan

BamHI2

Tuggle et al. (1993)

Heat Shock Protein (HSP70)

PstI 18 Ruohonen-Lehto et al. (1993)

80Ada/tidak adanya polimorfisme

Untuk memfasilitasi, karena mereka memiliki gen homolog yang sedikit

untuk hibridisasi, gen probe juga diperoleh dari spesies lain dimana pada

kondisi/kasus mereka disebut sebagai probe heterolog. Sejak exon-exon

sudah dikonservasi, probe heterolog biasanya diperoleh dari klon cDNA.

Penggunaan probe heterolog tergantung pada kerja yang dilakukan pada

spesies lain dimana memindahkan kebutuhan dari pengembangan probe. Sekali

homologi antara spesies terbentuk maka probe akan siap digunakan untuk

analisis RFLP. Oleh karena itu kemajuan dalam pengidentifikasian gen-gen

dalam manusia dan tikus sudah dapat menyediakan keuntungan besar untuk

hewanhewan domestik. Pada babi dan hewan domestik lain, sebagai contoh,

banyak gen probe digunakan untuk mendeteksi RFLPs yang berasal dari cDNA

manusia dan beberapanya dari spesies lain.

Masina (1985), sebagai contoh, menganalisis kluster gen porcin β-

globin untuk polimorfisme dengan menggunakan probe yang berasal dari gen

β1-globin kelinci. Tiga alel diobservasi dari DMA HindIII-digested dari

individu-individu yang tidak berkerabat. Anaisiis dari beberapa RFLPs

menggunakan probe cDNA heterolog lain dari spesies yang berbeda dan

jumlah alel yang tidak terdeteksi pada sampel-sampel babi diringkas dalam

Tabel 2.2.

Tanel 2.2. Beberapa analisa RFLPs menggunakan probe heterolog dalam genom

porcin

Lokus gen Asalspesies

Enzim pemisah No alelterdeteksi

Referensi

β-globin kelinci HindIII 3 Rando dan Masina(1985)

γ2 crystallin tikus BamHI 6 Atac et al. (1993)Enolase1(ENO1)

manusia EcoRI 2 Clamp et al. (1993)

AlkalinePhosphatase(ALPL)

manusia HindIII 3 Shalhevet et al. (1993a)

TransformingGrowth Factorβ-1 (TGFβ-1)

manusia DraI 2 Feltes et al. (1993a)

Perhatian khusus yang ditujukan pada kesempatan ini adalah MHC

sebagai probe yang sering digunakan karena tingkat polimormisme yang

tinggi dan heterolog. MHC adalah kelompok lokus yang berperan penting

dalam kebaradaan dan pengenalan antigen sendiri dan secara konsekuen

dalam penolakan dari transplantasi organ dan jaringan serta pencangkokan

kulit. Struktur MHC pada manusia dan spesis lain sudah dipetakan dengan

baik. Secara umum MHC terdiri dari lokus terkode untuk antigen kelas-I,

antigen terkode kelas-II, dan lokus-lokus terkode untuk den gabungan,

termasuk komponen dan komplemen yang bervariasi. Protein yang polimorfis

dan sudah terkode dengan set yang berbeda pada gen kelas-I atau kelas-II,

sudah ditemukan berdasarkan pada bentuk secara struktur, distribusi dan

fungsi jaringan (lihat Hulme et al., 1993 untuk diskusi).

Probe-probe yang diperoleh dari gen-gen HLA suah dikembangkan dan

sukses sihibridisasi dengan genom DNA dari spesies hewan (Carroll et al.,

1985 untuk contoh). Sebagai tambahan probe-probe yang homolog diperoleh

dari daerah porcin MHC juga sudah dikembangkan. Sampai sekarang hasil-

hasil dari analisis RFL dalam porcin MH masih terbatas tetappi mereka

terus bertambah (lihat Elterbusch-Gayken e al., 1992 dan Chardon et al.,

1992).

Jelasnya ketersediaan probe-probe heterolog yang diperoleh adalah

bernilai untuk mulai mengidentifikasi an dan meneliti pada gen-gen yang

menarik pada suatu spesies dengan menggunakan informasi dari spesies

lain.

Dengan kehadiran teknologi PCR dan ketersediaan informasi sekuen-

sekuen dari banyak gen pada GenBank dan database serupa, pendekatan lain

untuk analisis RFLPs pada daerah-daerah khusus pada gen-gen apapun yang

tersedia. Pada saat daerah atau wilayah yang diminati apa teridentifikasi

, primer forward dan reverse dapat didesain dan digunakan unuk

mengamplifikasi daerah. Produk PCR kemudian dicerna dengan enzim

restriksi dan polimorfisme dapat dideteksi dengan mengelektroforesis

fragmen-fragmen yang dihasilkan dalam gel agarose normal. Kirkpatrick

(1993a), sebagai contoh, meneliti variasi panjang fragmen dialel pada

intron kedua dari daerah gen hormom pertumbuhan porcin setelah dicerna

oleh HaeII dan MspI. Keuntungan dari penggunaan PCR pada anaisis RFLP

termasuk pengurangan dari kebutuhan penggunaan radioaktivitas dan

pengurangan jumlah DNA untuk analisis dengan sedikitnya dua skala

instruksi.

2.3.1.3. Probe Anonim

Klon acak yang terpilih dapat digunakan sebagai probe. Karena

fungsi dari segmen DNA belum diketahui secara lengkap, probe dikenal

sebagai anonimous probe atau klon anonimous. Klon-klon dapat berasal

dari daerah mana saja dari genom dan mungkin pula mengandung DNA ulangan.

Beberapa strategi sudah dikembangkan tergantung pada tipe probe yang

digunakan.

Sebagai langkah pertama pada pembuatan probe-probe anonimous dari

perpustakaan genom, klon-klon diambil secara acak. Probe tersebut

kemudian dihibridisasi menjadi menjadi DNA genom dengan beberapa enzim

restriksi yang berbeda untuk mengidentifikasi penenda-penanda tersebut

yag menghasilkan pola ikatan yang sederhana dan dapat diintepretasikan.

Pita tebal maupun tipis akan muncul pada autoradiograph jika penanda

tersebut mengandung sekuen ulangan dan klon-klon seperti ini tidak dapat

digunakan untuk penyelidikan penanda-penanda. Untuk mencegah masalah

seperti ini, klon-klon yang mengandung sejumlah sekuen ulangan yang jelas

harus diidentiikasi lebih dulu dengan hibridisasi untuk ulangan DNA yang

diketahui (Gasella et al., 1980). Kemudian klon-klon yang mengandung

sekuen kopi tunggal dapat dihibridisasi pada sejumlah sampel DNA genom

yang berasal dari hewan-hewan yang tidak berkerabat yang sebelumnya sudah

didigesti dengan beberapa enzim restriksi yang berbeda. Hal ini adalah

untuk mencari varian panjang fragmen restriksi. Berdasarkan pada pola

ikatan yang didapat, dipilihlah penggunaan probe-probe yang tidak dikenal

yang dapat mendeteksi RFLPs.

Sebuah penegertian yang berharga bahwa, walaupun sekuen DNA dengan

ulangan banyak secara umum dihindari dalam probe, beberapa kelas dari

sekuen ulangan DNA adalah penting dan berguna sebagai penanda DNA dalam

penelitian pemetaan kekerabatan. Minisatelit, yang akan dibahas pada bab

selanjutnya, merupakan sebuah contoh dari sekuen tersebut. Sebagai

tambahan, pada beberapa kasus probe yang mengandung kopi tunggal dan

ulangan DNA dapat juga berhasil digunakan untuk mendeteksi polimorfisme

(Litt dan White, 1984). Jika probe tersebut diprehibridisasi terlebih

dulu dengan sekuen ulangan DNA tidak berlabel dalam jumlah berlebih yang

berikatan dengan sekuen ulangan dalam probe dan mencegahnya dari

penempelan diantara sekuen ulangan di dalam DNA yang terdigesti.

Laporan pertama tentang terdeteksinya RFLPs dengan sebuah probe DNA

kopi tunggal anonim dilakukan oleh Wyman dan White (1980). Sebuah klon

manusia sepanjang 16-kb terdeteksi derajat polimofisme yang tinggi,

dengan setidaknya terdapat 8 alel dan lebih dari 75% individu yang diuji

adalah heterozigot. Fragmen-fragmen tersebut juga ditemukan pewarisan

model Mendelian pada sebanyak tiga generasi. Oleh karena itu, makin

banyak klon-klon acak sudah diidentifikasi dan digunakan sebagai probe

terutama pada manusia. Schumm et al. (1988), sebagai contohnya sudah

berhasil mengidentifikasi lebih dari 500 RFLPs dengan memilih klon secara

acak dari perpustakaan genom.

Perpustakaan kromosom spesifik yang dipersiapkan dari kromosom-

kromosom terpilih (Davies et al., 1981 dan Kunkel et al., 1982) juga sudah

digunakan sebagai sumber dari probe untuk mengidentifikasi RFLPs pada

kromosom-kromosom tertentu. Identifikasi RFLPs menggunakan probe dari

perpustakaan kromosom spesifik sudah dilakukan pada manusia oleh Van

Dilla et al. (1986), yang memetakan semua itu diseluruh kromosom manusia.

Perpustakaan itu juga dapat dipersiapkan dari garis sel hibrid yang

mengandung kromosom tunggal (sebagai contoh Watkins et al.,1985 dan Bufton

et al., 1986).

Probe dapat juga berasal dari cDNA anonim. Klon yang tidak

terkarakterisaasi dari sebuah perpustakaan cDNA sudah diuji untuk

digunakan sebagai probe anonim. (sebagai contoh Ballazs et al., 1984). Klon

cDNA setidaknya sebagian terkarakterisasikan pada jaringan dimana mRNA

yang diekstraksi sudah diketahui. Tanpa memperhatikan apakah klon-klon

anonim tersebut mengandung sekuen terkode atau tidak, kemampuan untuk

mendeteksi polimorfisme adalah hal paling penting dalam pemetaan gen.

Dalam menghasilkan probe anonim untuk penelitian kekerabatan, baik

ukuran sisipan kecil maupun besar dari perpustakaan sudah berhasil

digunakan untuk menyediakan lokus penanda (Barker et al.,1984 dan Feder et

al.,). Tetapi menurut Wisjman (1984), sisipan berukuran besar lebih

mungkin untuk mendeteksi RFLPs dibandingkan dengan yang berukuran kecil.

Oleh karena itu, perrpustakaan cosmid dimana rataan ukuran sisipan

sekitar 30-40 kb harus lebih menjadi sumber probe yang cocok.

Dengan lebih dari 2000 endonuklease restriksi yang tersedia saat ini

(Roberts dan Macelis, 1993), probe dari semua bagian genom menghasilkan

penanda polimorfisme dalam jumlah yang besar kecuali dari daerah sekuen

ulangan DNA yang tinggi. Probabilitas dapat ditemukannya sebuah RFLPs

adalah sebuah fungsi dari jumlah enzim-enzim restriksi yang digunakan dan

divergensi genetik diantara individu yang digunakan dalam analisis ini.

Laporan terbaru menunjukkan bahwa ribuan penanda RFLPs anonim sudah

diidentifikasikan pada manusia (Cuticchia et al., 1993), tetapi hanya 9

penanda RFLP anonim dari klon-klon yang sudah dipetakan secara fisik pada

genom babi (Andersson et al., 1993).

2.3.1.4. Mutasi penyebab RFLPs

Dikarenakan setiap endonuklease restriksi mengenali daerah spesifik

di dalam sekuen DNA, setiap panjang variasi fragmen yang dihasilkan harus

berdasarkan atau tergantung pada mutasi sekuen DNA. Berdasarkan pada

tipe-tipe mutasi yang terkait, RFLP dapat dibagi menjadi dua kategori

utama yaitu Restriction Site Polymorphism (RSP) dan Insertion/Deletion Polymorphism

(IDP). RSP dihasilkan pada saat variasi di sepanjang fragmen DNA

disebabkan oleh mutasi dari substitusi basa tunggal dan insersi atau

delesi basa tunggal. Tipe mutasi ini akan mengeliminasi atau menciptakan

sebuah daerah belahan unuk enzim tertentu. Hasil variasi dialelik kecuali

saat terdapatnya beberapa daerah restriksi variabel diantara daerah yang

tertutupi oleh probe.

IDP adalah variasi dalam panjang fragmen DNA yang disebabkan oleh

pengaturan kembali segmen-segmn DNA (baik karena insersi, delesi atau

inversi) diantara daerah tertentu. Variasi seperti itu secara umum

adalah multialelik. Keragaman Variable Number Tandem Repeat (VNTR), yaitu

minisatelit dan mikrosatelit, dimana dibahas lebih lengkap dalam sesi

berikutnya, dapat dikategorikan sebagai IDP.

2.3.1.5. Keterbatasan RFLPs sebagai Penanda Genetik

Banyak penelitian terhadap penggunaan probe gen untuk mendeteksi

RFLP dalam pemetaan gen yang sudah didokumentasikan. Walaupun pendekatan

ini cukup memiliki kekuatan untuk diijinkan pengembangan peta gen secara

cepat, tetapi hal itu adalah hambatan. Pada khususnya kebanyakan RFLP

adalah tipe RSP dan kaya akan dialel. Sebuah RFLP yang memiliki dua alel

secara maksimal informatif jika kedua alel dalam kondisi seimbang di

dalam populasi, dimana kasus heterozigositas pada sistem penanda RFLP

adalah 50 %. Heterozigositas maksimal ini dapat meningkat sampai 75%

pada saat dua penanda RFLP dialeleik independen berdekatan dan

berkombinasi untuk menghasilkan sebuah haplotipe (lihat Geffrotin et al.,1991).

Derajat polimorfime yang rendah membatasi nilai mereka untuk pemetaan gen

berdasarkan pada penelitian kerabat, khususnya untuk pengidentifikasian

QTLs. Dengan heterozigositas yang rendah, kerabat dan individu-individu

dalam jumlahh besar akan diperlukan untuk mengidentifikasi keterpautan

dan QTLs. Persilangan alternatif pasti terjadi diantara galur atau bahkan

subspesies, dimana tinggi kemungkinan untuk memiliki perbedan-perbedaan

daerah restriksi. Dalam hal ini heterozigositas dapat mendekati 100% atau

bahkan untuk sistem dialelik (berdasarkan peta genetik Mus musculus X Mus

spretus).

Prosedur teknis yang termasuk dalam analisis RFLP adalah pemakaian

waktu dan keperluan laboratorium. Biaya untuk enzim terbatas dan bahan-

bahan lain juga dapat menjadi faktor masalah dalam menggunakan RFLPs

untuk pemetaan gen seperti diperlukannya jumlah yang cukup banyak genom

DNA dari masing-masing hewan yang dianalisa. Walaupun dalam teori adanya

jumlah tak terbatas penanda yang mungkin dihasilkan untuk menutupi semua

genom, ini tidak akan mudah karena variabelitas yang terbatas dari

sebagian besar RFLPs yang muncul. Oleh karena itu, sistem penanda

alternatif dengan tingkat heterozigositas yang lebih tinggi dan lebih

efisien juga diperlukan dalam analisis keterpautan. Untungnya baik

minisaelit maupun mikrosatelit memenuhi syarat yang dibutuhkan dan

mikrosatelit secara operasional lebih maju dan reliabel dibanding RFLPs.

2.3.2. Minisatelit

Minisatelit adalah rangkaian DNA yang memiliki ulangan tandem dari

motif sekuen pendek. Panjang ulangan berkisar antara 16-62 bp dan jumlah

ulangan tiap bagian berkisar antara 3 sampai 40 (Jeffreys et al., 1985).

Secara tak terduga minisatelit ditemukan pada sejumlah gen manusia,

seperti alpha-related gen globin (Higgs et al., 1981; Proudfoot et al., 1982;

Goodburn et al., 1983); gen insulin manusia (Bell et al., 1982); Ha-as

protooncogenes (Capon et al., 1983); dan gen myoglobin (Weller et al., 1984).

Karena variabelitas panjang fragmen dalam lokus ini berhubungan dengan

jumlah kopi ulangan dalam tiap bagian, minisatelit juga dikemal sebagai

Variable Number of Tandem Repeats (VNTR) (lihat bagian 2.3.2.1.2.).

Dengan definisi ini, mikrosaelit dengan unit ulangan lebih pendek

(dibahas dalam 2.3.3.), juga dapat dikategorikan sebagai VNTR.

Tergantung pada probe yang digunakan untuk mendeteksi polimorfisme,

minisatelit diklasifikasi menjadi dua kategori, yaitu minisatelit multi-

lokus dan minisatelit singel-lokus.

2.3.2.1. Minisatelit multi-lokus

Minisatelit multi-lokus dideteksi dengan sekuen probe inti (lihat

Jeffreys et al., 1985). Sejumlah lokus berisi ulangan tandem dari sekuen

sejenis yang dibelah dari genom akan terlihat pada basis dari bentuk

fragmen restriksi. Karena sekuen probe inti dapat mendeteksi secara terus

menerus variabel lokus, mereka dapat menyediakan complex, individual-

specific DNA fingerprints.

Kegunaan minisatelit multi-lokus sebagai penanda genetik teah

didemonstrasikan oleh Jeffreys et al. (1985). Dengan menggunakan probe yang

diturunkan dari sebuah ulangan 33-bp dalam gen myoglobin, mereka

menunjukkan bahwa probe dapat dideteksi, pada DNA genomic manusia,

sejumlah lokus yang berisi ulangan tandem dari sekuen sejenis. Setidaknya

40 klon dari perpustakaan genom manusia telah diidentifikasi oleh plak

hibridisasi dengan 33-bp probe ulangan. Dalam populasi sampel terbatas

yang dipelajari, empat dari delapan minisatelit probe terdeteksi

polimorfisme, dengan tiga contoh sedang dalam terpolimorfisasi dengan

lima sampai delapan alel-alel resolvable HinfI panjang fragmen terdeteksi

per lokus. Analisis keturunan juga menunjukkan bahwa fragmen-fragmen

telah ditransmisikan dalam model Mendelian. Banyak studi dalam

minisatelit telah diinvestigasi pada sejumlah spesies sesudahnya,

termasuk hewan domestik (Georges et al., 1988). Dalam genom babi, sekuen

minisatelit hipervariabel telah diisolasi tanpa terduga, selama usaha

untuk meng-klon gen untuk serum protein PO2 babi, yang mana terpaut dekat

dengan lokus Hal (Coppieters et al., 1990). Seperti untuk minisatelit

manusia, heterozigositas tingkat tinggi (73%) telah diobservasi dalam 41

sampel babi yang tidak berhubungan. Walaupun sejumlah inisatelit terletak

dalam gen-gen yang telah dikenal fungsinya (Pochernyaev et al., 1989 sebagai

contoh), sisanya sebagian besar tetap anonim (Tynan et al., 1991; Vergnaud et

al., 1991b; Haberfeld et al., 1991 sebagai contoh).

Pusat sekuen-sekuen dari minisatelit juga sudah diperlihatkan untuk

dapat dikonservasi dengan penandaan antar spesies (Wetton et al., 1987;

Burke dan Bruford, 1987; Jeffres dan Morton, 1987; Vassart et al., 1987;

Georges et al., 1988; Gyllensten et al., 1989 dan Troyer et al., 1989). Lagi, hal

ini diikuti bahwa sekuen probe inti dari satu spesies dapat bernilai

untuk pendeteksian polimorfisme pada yang lain dan probe-probe dapat

digunakan secara bergantian antar spesies. Daripada mengisolasi dan

membuat minisatelit dari spesies tertentu, penggunaan probe yang sudah

dikonservasi dari spesies lain dapat membantu secara lebih pengembangan

penanda.

Sebagai tambahan, ada sumber-sumber yang tidak diharapkan dari

penanda-penanda tersebut. Hong dan Kim (1991) dan Gatei et al. (1991)

sebagai contoh, telah mendemonstrasikan bahwa penanda tipe liar

bacteriophage M13 mendeteksi minisatelit hipervariabel dalan DNA manusia,

hewan dan tanaman. Oligonukleotid sintetis yang mengandung sekuen ulangan

acak secara alternatif juga dapat digunakan (lihat Vergnaud, 1989).

Individu spesifik, DNA fingerprint multi-lokus sudah digunakan luas

dalam banyak wilayah yang beebeda termasuk identifikasi forensik (Gill et

al., 1985), penentuan dari zigositas individu kembar dan verifikasi

hubungan keluarga (Jeffreys et al., 1991). Pada ternak potong, DNA

fingerprint multi-lokus sudah berhasil digunakan dalam penelitian

kekerabatan, sebagai contoh pada sapi potong (Georges et al., 1990).

Bagaimanapun juga, fragmen restriksi dalam jumlah besar terungkap secara

bersamaan pada sejumlah lokus oleh homologi parsial pada sekuen probe

inti membuat interpretasi seri alel resultan menjadi sangat sulit.

2.3.2.2 Minisatelit Lokus Tunggal

Jika probe-probe berasal dari sekuen-sekuen yang bertetangga dengan

minisatelit dan digunakan pada fleksibilitas yang tinggi hal ini

menandakan bahwa mereka mengidentifikasikannya satu penanda. Hal ini

sedikit berbeda dari minisatelit multi-lokus dimana pusat probe-probe

mengidentifikasikan sejumlah besar dari lokus yang hipervariabel secara

simultan. Oleh karena itu sebagai hasilnya sebuah lokus tunggal spesifik

dalam genom dapat terlihat dan polimorfisme dideteksi tergantung pada

perbedaan jumlah pengulangan pada lokus ini sendiri. Untuk mengisolasi

lokus penanda, beberapa laboratorium mencoba untuk mengklon anggota-

anggota tunggal dari kerabat-kerabat minisatelit hipervariabel.

Penggunaan sekuen-sekuen oligonukleotid sintetik dari beberapa lokus

minisatelit yang dikenal sebagai probe, Nakamura et al. (1987) telah

diidentifikasi banyak lokus tunggal VNTRs manusia yang baru. Derajat

heterozigositas yang tinggi antara 33% dan 94% dapat diobservasi pada

sekitar 80 penanda. Informasi lokus VNTR pada level ini membuat mereka

sangat berguna pada analisis keragaman yang luas pada genetik.

Dibandingkan dengan multi lokus DNA fingerprint, profil DNA yang

ditemukan dari lokus tunggal VNTRs lebih mudah untuk diinterpretasikan.

Seperti yang diharapkan, penanda lokus tunggal VNTR sudah

didemonstrasikan untuk lebih berguna dalam situasi keragaman yang tinggi.

Walaupun probe-probe multi lokus tetap digunakan pada diagnosa keturunan

dan pengobatan forensik, penggunaan dari penanda lokus tunggal VNTR tetap

lebih dipilih. Dengan keberadaan dalam jumlah yang sangat besar, lokus

tunggal minisatelit telah menjadi penanda-penanda pada ketertarikan

terhadap pengembangan pemetaan gen. Ratusan penanda VNTR yang saat ini

tersedia sudah memberikan kontribusi secara nyata pada penyibakan genom

manusia. Beberapa gen penyakit juga dipetakan menggunakan penanda VNTR.

Setidaknya terdapat 7 lokus tunggal penanda VNTR sudah dipetakan secara

fisik pada genom babi (Archibald et al., dimasukan untuk publikasi).

2.3.2.3. Isolasi minisatelit dan Deteksi Variannya

Isolasi dan karakterisasi dari minisatelit sangat mudah dimengerti.

Secara umum, ini mengandung konstruksi dari peta genom dan screening

kumpulan sekuen minisatelit dengan hibridisasi DNA (Southern, 1975)

dengan menggunakan oligonukleotid sebagai probe (Vergnaud, 1989). Sekuen

oligonukleotid dapat berdasarkan pada minisatelit yang sudah dikenal atau

sekuen acak. Beberapa oligonukleotid yang sama dapat digunakan untuk

mencari keberadaan minisatelit di perpustakaan. Klon-klon positif

kemudian dikarakterisasi dan digunakan sebagai probe untuk mendeteksi

polimorfisme.

Deteksi polimorfisme secara teknis sama seperti untuk RFLPs, tetapi

pada penggunaan enzim restriksi tidak diperkenankan adanya belahan

diantara pusat sekuen minisatelit. Setelah sampel DNA yang berasal dari

sejumlah individu-individu yang tidak berelasi didigesti dengan enzim

restriksi tertentu, hasil dari fragmen DNA dielektroforesis pada gel

agarose standar, ditransfer pada membran, dihibridisasi dengan label

probe secara radioaktif dan divisualisasi dengan autoradiografi.

Dengan ketersediaan teknologi PCR, hal ini menjadi metode lain untuk

mendeteksi keragaman minisatelit atau untuk menganalisis produk DNA

ampifikasi (Boerwinkle et al., 1989, Budowle et al., 1991 dan Roux et

al., 1992). Pada kasus ini, sekuen pada sisi minisatelit digunakan untuk

mendesain primer forward dan reverse untuk mengamplifikasi daerah

minisatelit. Panjang fragmen yang berbeda dari produk PCR kemudian dapat

terlihat setelah elektroforesis. Polimorfisme terdeteksi dan secara mudah

diinterpretasikan pada analisis ini. Tetapi, analisis PCR terbatas untuk

lokus minisatelit yang berukuran kecil dan ini juga tidak dapat

diaplikasikan pada banyak lokus dengan ukuran yang terlalu besar

(Jeffreys et al., 1988).

2.3.2.4. Mekanisme Penyebab Pemanjangan Variasi

Jeffreys et al. (1985) mengajukan bahwa tingginya tingkat

polimorfisme minisatelit mungkin tergantung pada perubahan meiosis tidak

seimbang selama rekombinasi. Mereka menyarankan bahwa daerah-daerah

minisatelit merupakan hotspot untuk rekombinasi meiotik. Argumentasi ini

didukung dengan fakta bahwa sebagian besar analisis pengulangan pada saat

itu mengandung bagian daerah sentral terdiri atas sekuen invarian

GGGCAGGAXG yang mirip dengan tanda untuk menyamakan rekombinasi dalam

Escherischia coli (Smith et al., 1981). Gambar 2.2. menunjukkan model yang

diajukan Jeffreys.

Wolff et al. (1988 dan 1989) menyarankan bahwa meekanisme-mekanisme

lain mungkin tidak terlibat karena mereka menemukan bahwa tidak ada

rekombinasi yang terjadi diantara 2 penanda pada sisi alel mutasi yang

baru. Penemuan ini mendukung Armour et al. (1989) yang menyatakan bahwa

mutasi-mutasi pada lokus minisatelit juga dapat terjadi pada keadaan

tanpa meiosis. Collick dan Jeffreys (1990) melaporkan bahwa 40 kDa

protein, termed Msbp 1, ditemukan pada semua jaringan tikus yang diuji,

ikatan spesifik dan dengan kemiripan yang tinggi oleh rangkaian dobel DNA

mengandung sekuen ulangan yang berelasi dengan sekuen sntral minisatelit;

dan ikatan mengharuskan kehadiran unit ulangan multipel. Hal ini

merupakan demonstrasi pertama bahwa minisatelit dapat berfungsi sebagai

sinyal pemberitahu spesifik untuk ikatan DNA protein endogenus. Sebagai

tambahan, Jacobson et al. (1992) mengidntifikasi sebuah minisatelit yang

mengandung sebuah sekuen inti yang memiliki kesamaan yang tinggi dengan

Escherischia coli “chi” sekuen yang dikenal sebagai daerah rekombinasi

tergantung recBCD. Yamazaki et al. (1992) mengidentifikasi sebuah

minisatelit terikat protein (Msbp-4), dipurifikasi dari sel-sel tumor

tikus yang mengikat pada minisatelit hipervariabel Pc-1 dan Pc-2. Mereka

menyarankan bahwa DNA protein kompleks dihasilkann dalam formasi/bentuk

pembesaran DNA ikatan tunggal dari ikatan G-rich di minisatelit yang

mungkin meningkatkan kemampuannya untuk rekombinasi undergo. Tetapi,

Cederberg et al. (1993) menolak interpretasi dan merumuskan bahwa

rekombinasi seperti itu tidak memenuhi syarat untuk perubahan panjang

generasi. Kesimpulan mereka berdasarkan pada sebuah studi yang

menunjukkan frekuensi generasi yang spontan pada minisatelit alel MS1

manusia dalam galur haploid pada kapang Saccharomyces cerevisiae, setelah

minisatelit tersebut terintegrasi dengan galur kapang.

Gambar 2.2.

2.3.2.5. Kelebihan dan kekurangan minisatelit sebagai penanda genetik

Minisatelit mwmiliki potensi untuk digunakan pada peembuatan penanda

DNA pada penelitian mengenai keterpautan. Beberapa keuntungan dari

penanda minisatelit termasuk bukti-bukti bahwa: i) beberapa enzim

memerlukan untuk dapat diuji untuk mendeteksi polimorfisme, sehingga

dapat menekan biaya; ii) banyak lokus yang dapat diuji secara simultan

dengan menggunakan probe inti, sehingga mengurangi jumlah hibridisasi

untuk determnasi RFLP, tetapi hal ini meningkatkan kesulitan dalam

interpretasi dan tidak praktis; iii) mereka sangat informatif, dengan

alel-alel yang memiliki varian-varian yang multipel pada setiap lokus dan

iv) mereka terdapat dalam jumlah yang besar dalam genom.

Walaupun beberapa sekuen minisatelit tersebar luas di seluruh genom,

seperti yang ditemukan pada sapi (Georges et al., 1991 sebagai contoh),

tetapi secara umum tidak. Jabs et al. (1984) dan Willard et al. (1985)

mengklaim bahwa minisatelit terkelompok dalam daerah tertentu di dalam

genom. Pada penelitian yang lebih jauh dikonfirmasikan bahwa dengan

percobaan hibridisasi in situ pada kromosom manusia, penyeberan

minisatelit dalam genom terlihat terkelompok terhadap daerah telomeric

(Lathrop et al., 1988a,b.; Nakamura et al., 1988a,b,c.; Royle et al.,

1988 dan O’Connell et al., 1989), dengan stidaknya 4 dari 6 pemetaan

minisatelit terletak pada terminal G-Bands autosom dan 2 sisanya terletak

berhadapan dengan ujung kromosom 1. Oleh karena itu sekuen minisatelit

tidak dapat sesuai sebagai penanda genetik untuk analisis pemetaan pada

keeterpautan secara keseluruhan pada hewan domestik, karena gen-gen

mempengaruhi sifat-sifat penting sedara ekonomis mereka lebih tersebar di

seluruh genom. Untuk tujuan-tujuan selain pemetaan, pemotongan sekuen

ulangan pada daerah genom tertentu tidaka akan menjadi masalah. Pada

tanaman tomat sebagai contohnya, tingginya variabel sekuen minisatelit

pada daerah telomeric dapat digunakan untuk membedakan varietas yang

berkerabat dekat pada ulangan variasi di daerah tersebut.

2.3.3. Mikrosatelit

Seperti halnya minisatelit, mikrosatelit terdiri atas ulangan DNA

secara acak dengan elemen-elemen ulangan hampir mendekati 1-6 bp dan

memiliki panjang total yang relatif pendek. Mikrosatelit terdapat

dalamjumlah banak dan menyebar di dalam genom. Sebagai contoh, ulangan

dinukleotida (CA)n yang paling banyak dipelajari pada mikrosatelit,

diduga terdapat pada genom manusia rata-rata setiap 30 kbp (Hamada et

al., 1982; Tautz dan Renz, 1984; Litt dan Luty, 1989). Pada genom babi

diduga jumlah ulangan dinukleotida (CA)n adalah sekitar 30.000-64.500

(Johansson et al., 1992 dan Wintero et al., 1992). Tipe-tipe lain dari

mikrosatelit juga ditemukan dalam jumlah besar. Mikrosatelit Tri dan

tetranukleotid sebagai contoh, terdapat setiap 300-500 kbp pada kromosom

x manusia (Edwards et al., 1991). Banyak motif-motif berbeda yang berada

pada kromosom individu manuusia yang lain sudah didokumentasikan (contoh

Decker et al., 1992; Fougerousse et al., 1992 dan Petersen et al., 1992).

Karena sekuen mikrosatelit yang pendek, menyebabkan dapat dengan

efisien diamplifikasi dengan PCR menggunakan sekuen pengapit sebagai

primer. Keanekaragaman jumlah ulangan pada mikrosatelit dapa dideteksi

dengan mengelektroforesis produk DNA yang sudah diamplifikasi di dalam

sekuen gel standar, yang dapat memisahkan fragmen-fragmen yang membedakan

tiap-tiap nukleotida. Pada manusia, empat grup independen (Weber dan May,

1989; Tautz, 1989; Litt dan Luty, 1989 dan Smeets et al., 1989)

melaporkan bahwa mikrosatelit memiliki jumlah varian alel yang tinggi

dengan tingkat heterozigositas yang tinggi pula. Tingkat polimorfisme

yang tinggi juga sudah didemonstrasikan pada hewan ternak, termasuk

domba, sapi (Fries et al., 1990), babi (Johansson et al., 1992) dan kuda

(Ellegren et al., 1992). Penurunan varian mikrosatelit Codominant

Mendelian dinyatakan sebagai aturan umum. Kejadian alel-alel null,

bagaimanapun juga, sudah diobservasi dimana sbuah alel tidak akan dapat

teramplifikasi selama PCR Rohrer et al., 1994).

Sejaka mikrosatelit ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak di

dalam genom, dengan tingkat polimorfisme yang tinggi dan mudah

dianalisis, mikrosatelit menjadi penanda pilihan untuk pemetaan genetik

dan analisis keterpautan pada hampir semua spesies. Peta dengan resolusi

tinggi yang secara eksklusif terdiri ata penanda mikrosatelit sudah

dibuat pada mencit (Love et al., 1990 dan Dietrich et al., 1992) dan pada

manusia (Guyer, 1992 dan Weissenbach et al., 1992). Peta mikrosatelit

resolusi rendah sudah diproduksi untuk tikus (Serikawa et al., 1992) dan

baru-baru ini 367 mikrosatelit porcine sudah dipetakan untuk 13 kromosom

autosom dan kromosom x pada babi (Rohrer et al., 1994).

2.3.3.1. Variabelitas dalam mikrosatelit dan mekanismenya

Seperti pada minisatelit, keragaman mikrosatelit tergantung pada

variasi dalam jumlah ulangan pada pusat sekuen. Derajat keragaman secara

positif sangat berkorelasi dengan panjang ulangan sekuen (Weber, 1990 dan

Johansson et al., 1992), dengan panjang mikrosatelit kurang dari 20 bp

maka akan kurang ingkat polimorfismenya.

Tipe dan “kemurnian” dari ulangan-ulangan juga mempengaruhi

keragaman. Seperti yang dijelaskan Weber (1990), mikrosatelit terbagi

menjadi 3 kaegori, yaitu ulangan sempurna terdiri atas sekuen yang tidak

terdapat gangguan di dalam ulangannya; ulangan tidak sempurna terdiri

atas sekuen dengan satu atau lebih gangguan di dalam ulangan; dan ulangan

gabungan terdiri atas gabungan ulangan sempurna dan tidak sempurna yang

menyebabkan ulangan sekuen sederhanan yang lain. Ulangan sempurna menjadi

lebih polimorfik dibandingkan dengan 2 tipe yang lain. Tabel 2.3.

menyajikan contoh 3 kategori ulangan dinukleotida pada genom porcine.

Kategori Sekuen flanking

Sekuen ulangan

Sekuen flanking

Sempurna CACATTAGTCCCACTTGTAA

(GT)17

(CA)23

CGACCACATATCTTCAATAA

Tidak sempurna

CATGGAAAATGGCTCAGAGA

(AC)4(CA)23

(TG)16TT(TG)11

GGCTTTGGATTATGGTCTTA

Gabungan CTCTTGCTTTGGGAGGGTTT

(GT)14(GA)16

(GT)7(GA)8

GGATTAAAATCTGTGTATAT

Masih banyak terdapat spekulasi mengenai apa fungsi sesungguhnya

dari microsatelit. Seperti yang dilaporkan oleh Hamada et.al (1984),

bahwa ulangan sekuen (GT)n memiliki aktivitas peningkatan transkripsi.

Baru-baru ini Naylor dan Clark (1990) membuktikan untuk regulator penurun

menyebabkan sekuen ulangan blok dari (GT)n.

Beberapa penelitian mendemonstrasikan efek patologik dari

peningkatan jumlah ulangan pada ekspresi gen yang sudah didokumentasikan.

Setidaknya dua penyekit genetik manusia disebabkan oleh amplifikasi

ulangan mikrosatelit. Pada kasus sindrom x, terdapat amplifikasi dari

ulangan trinukleotida (CGN)n (Fu et.al., 1991), yang menyebabkan penyakit

distropi miotonik, ulangan yang teramplifikasi adalah trinukleotida

(AGC)n (Brook et.al., 1991). Pengulangan sekuen ini dimana akan

mewariskan x lemah dan keturunan distropi miotonik, berubah pada jumlah

perbanyakan setiap meiosis. Ketidakstabilan mekanisme dari ulangan sekuen

trinukleotida sudah ditujukan sebagai mutasi dinamis, karena kemungkinan

dari mutasi adalah merupakan fungsi dari jumlah cetakan. Sebagai

hasilnya, produk dari hasil mutasi memiliki perbedaan dengan mutasi dari

predecessor. Mutasi dinamis juga lebih merupakan sebuah proses multi-step

dibandingkan dengan sebuah kejadian tunggal: transisi dari jumlah cetakan

normal dengan jumlah cetakan nyata klinis dapat mengaitkan sejumlah

langkah-langkah/tahapan (Richards dan Sutherland, 1994). Argumen ini

didukung oleh tim kerja Wooster dkk (1994), yang mendemonstrasikan bahwa

ketidakstabilan ditemukan pada ulangan trinukleotida lokus myotonik

distropi pada penyakit manusia, bertanggungjawab untuk memulai ulangan

pada akhir dari kisaran normal untuk lokus tersebut.

Mekanisme mutasi menghasilkan perubahan pada jumlah ulangna cetakan

dimana materi dari variasi mikrosatelit masih dalam perdebatan antar

genetikawan. Strand slippage terjadi selama replikasi atau perbaikan DNA

(Efstratiadis et.al., 1980; Levinson dan Gutman, 1987) memberikan saran

bahwa hal tersebut merupakan kemungkinan paling besar penyebab mutasi

pada selangan acak sekuen sederhana. Penelitian mengenai mutasi in vitro

( Scholettere dan Tautz, 1991) juga mendukung argumen tersebut. Oleh

karena itu kebanyakan mutasi yang terjadi pada sekuen mikrosatelit

merupakan hasil dari kejadian-kejadian intrakromosom tanpa adanya sekuen

homolog pada kromosom-krmosom lain (Webber, 1990). Jeffreys et.al. (1994)

menekankan bahwa mwkanisme dari variasi pada jumlah ulangan cetakan akan

berbeda pada satu ulangan dengan ulangan yang lain. Kemungkinan mekanisme

terjadinya strand slippage didasari oleh adanya satu atau dua rantai

tunggal yang putus yang terjadi diantara ulangan selama proses replikasi

seperti yang diusulkan oleh Richards dan Sutherland (1994) disajikan

pada gambar 2.3.

Pada model ini ulangan yang paling lama lebih mungkin terjadinya dua

kerusakan secara simultan diantara ulangan itu sendiri. Rantai DNA

diantara belahan ini tidak berubah tempat oleh adanya sekuen unik dan

dapat terpeleset selama polimerisasi. Perbaikan dari produk ini dapat

dilihat pengawalan dari banyak kkopi ulangan dibandingkan dengan

keberadaannya pada sekuen asli/mula.

2.3.3.2. Variasi deteksi dalam mikrosatelit

Keanekaragaman mikrosatelit dapat dilihat dengan menggunakan PCR,

dimana sekuen unik digunakan sebagai primer-primer untuk mengamplifikasi

daerah mikrosatelit. Keraaman pada ukuran fragmen DNA yang diamplifikasi

dapat divisualisasi dengan pewarnaan etidium bromida setelah

elektroforesis dengan gel tidak terdenaturasi (Hearne et.al., 1991 dan

Aitman et.al., 1991). Penggunaan gel asli dengan pewarnaan perak juga

dilakukan untuk uji yang lebih sensitif Klinkicht dan Tautz, 1992 sebagai

icontoh). Sebagai metode non-radioaktif, hal ini memberikan keuntungan

dari peningkatan keamanan laboratorium. Tetapi secara umum metode seperti

ini diterima sebagai metode yang kurang sensitif. Kepadatan gel dapat

ditingkatkan dengan pelabelan fluoroesen pada primer PCR (Edwards et.al.,

1991).

Gambar 2.3

Secara jumlah fluoroesen sangat cukup untuk reaksi amplifikasi dan alel-

alel sebenarnya/yang ada dapat dibedakan dengan intensitas relatif

mereka. Empat pemberat fluoroesen tersedia untuk pelabelan primer PCR

untuk deteksi laser dengan sesitivitas yang tinggi. Analisis komputer

untuk sinyal dari laser scanning dapat membedakan produk-produk primer

yang berbeda berdasarkan panjang yang diperoleh pada saat jumlahnya

berlebih. Ukuran-ukuran alel secara akurat dan kosisten ditentukan untuk

ukuran standar fluoroesen pada tiap-tiap sampel. Amplifikasi simultan

dari lokus-lokus yang berbeda, yang dikenal sebagai PCR multiplex, sudah

ditingkatkan secara besar-esaran dengan menggunakan teknologi pelabelan

fluoroesen ini (Edwards et.al., 1991).

Fragmen DNA diketahui dapat dibedakan menjadi sekecil nukleotida,

sekuensing gel standar untuk pemisahan produk PCR terlabel secara

radioaktif tetap digunakan secara luas. Baik direct incorporation atau

end-labellingkeduanya dapat digunakan untuk melabelkan produk-produk PCR.

Ikatan kecil/minor sesekali muncul pada gel. Hal ini sering terjadi

dengan ulangan dinukleotida dan mononukleotida. Litt dan Luty (1989)

menyatakan bahwa ikatan-ikatan ini merupakan hasil dari beberapa bentuk,

seperti slippage selama amplifikasi PCR, atau ini dapat membuat keadaan

mikrohomogenitas pada panjang ulangan dinukleotida in vivo. Kesempatan

homolog dari primer dengan sisi yang lain dapat juga menjadi penyebab

produk artifact. Tautz (1990) juga menyatakan bahwa produk truncated bisa

terjadi dari kesalahan pasangan pada template dan sintesis rantai baru

selama pemanjangan penyilangan lajur dinukleotida atau oleh karena sebuah

kombinasi hal tersebut dan aktivitas dari Taq polymerase. Masalah ini dapat

diselesaikan dengan pengurangan jumlah siklus reaksi (Todd et.al., 1991).

2.3.3.3. Strategi membuat mikrosatelit sebagai penanda DNA

Distribusi secara meluas dari ulangan sekuen mikrosatelit pada genom

mamalia sudah dapat dikenali secara baik, terutama untuk motif

dinukleotida yang sudah lebih dipelajari lebih luas. Penggunaan metode

Primed In Situ Labelling (PRINS), Wintero et.al. (1992) mengobservasi

bahwa sekuen (dG-dT)n.(dC-dA)n secara sama disebarkan dalam bagian

eucromatik pada semua kromosom babi. Oleh karena itu, mikrosatelit-

mikrosatelit ini akan sangat berguna untuk penelitian pemetaan. Disini,

strategi/cara untuk mengisolasi keberadaan mikrosatelit di daam genom

akan dibahas. Dua metode utama akan secara normal digunakan untuk

mengidentifiasi mikrosatelit.

2.3.3.3.1. Microsatellites associated with genes

Mikrosatelit jenis ini dapat di ekstrak dari database elektronik DNA

sekuen seperti EMBL (European Molecular Biological Laboratory) dan

database GenBank. Tentu saja bentuk/artifak seperti sekuen cDNA dengan

ekor poly-A dan sekuen yang mengandung C atau G di akhir yang muncul dari

srategi kloning menggunakan terminal transerase harus dihilangkan.

Melalui pendekatan ini, Moran (1993) mengidentifikasi 23 model gen yang

mengandung sekuen ulangan mono-, di-, tri-, dan tetra nukleotida.

Ulangan-ulangan tersebut berada pada 5’-tidak terkode, 3’-tidak terkode,

3’-tidak terartikan, 5’-tidak terartikan, dan daerah-daerah pengkodean.

Sesekali sebuah daerah membawa sekuen mikrosatelit dapat diketahui,

sekuen-sekuen flanking mikrosatelit digunakan untuk mendesain primer-primer

untuk amplifikasi PCR. Polimorfisme dapat dideteksi dengan

mengamplifikasi DNA genom dari individu-individu yang tidak berkerabat

menggunakan primer pada rreaksi PCR. Penggunaan pendekatan semacam ini

untuk memproduksi penanda-penanda mikrosatelit sudah dilakukan pada

sejumlah spesies termasuk sapi dan domba (Moore et.al., 1992), babi

(Ellegreen et.el., 1993) dan ayam (Toye, 1993).

Konservasi sekuen-sekuen diantara gen-gen spesies yang berbeda sudah

diketahui secara baik (O’Brien dan Marshall Graves, 1991). Lokasi dari

nenerapa motif sekuen berulang seperti mikrosatelit diantara atau gen

yang berdekatan jug sudah ditemukan untuk dikonservasi/dilestarikan (Wong

et.al., 1990). Hal ini menandakan bahwa penanda mikrosatelit pada satu

spesies mungkin saja dapat dihasilkan dengan mengunakan informasi sekuen

dari spesies lain. Sebuah penelitian dilaporkan oleh Kirkpatrick (1992)

merupakan contoh yang baik. Beliau meggunakan keberadaan ulangan

mikrosatelit (AC)n di dalam gen Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1)

manusia (Rotwein et.al., 1986) dan tikus (Shimatsu dan Rotwein, 1987)

untuk mengembangkan primerprimer dari hampir sebagian daerah yang

dikonservasi untuk mengamplifikasi genom mikrosatelit bovine dan porcine.

Setelah melalui kegagalan, dia kemudian berhasil mengamplifikasi sekuen

mikosaelit yang dilestarikan dalam gen IGF-1 bovine dan porcine, dan

mendeteksi 6 dan 3 variasi alel berturut-turut dari gen bovine dan

porcine. Untuk lebih dekatnya hubungan spesies seperti donba dan sapi

(Moore et.al., 1992), pendekatan seperti inni sudah lebih berhasil.

Tetapi, jumlah yang relatif sedikit dari masuknya sekuen-sekuen baru

yang mengandung mikrosatelit ke dalam database tidak menjadikan

perkembangan yang cepat pada penanda-penanda baru dan trategi alternatif

harus dilakukan.

2.3.3.3.2. Mikrosatelit Anonim

Klon-klon genom yang mengandung sekuen mikrosatelit dapat

dipilihacak dari perpustakaan genom dengan hibridisasi DNA menggunakan

penanda oligonukleotida. Klon-klon yang mengandung mikrosatelit kemudian

dapat dipurifikasi dan disekuensing. Selanjutnya, 2 primer didesain dari

sekuen flanking.

Dua strategi atau cara digunakan untuk memproduksi penanda

mikrosatelit, dimana dibedakan berdasarkan pada ukuran di dalam klon-

klon. Untuk klon-klon dengan ukuran kecil (50-350 bp), sisipan dilakukan

secara kloning normal ke plasmid atau semacamnya. Pada kasusu ini,

mikrosatelit pada sisipandapat disekuen mwnggunakan primer pada sekuen-

sekuen vektor. Sebagai hasil dari sekuen flanking, mikrosatelit kemudian

digunakan untuk mendesain primer unik (lihat Taylor et.al., 1992 sebagai

contoh). Walaupun metode ini mudah digunakan, tetapi hanya sedikit saja

klon yang mengandung mikrosatelit yang ditemukan. Seperti yang dilaporkan

oleh Tautz (1989), hanya 1% dari 30 bp klon sisipan secara acak di

perpustakaan yang memperlihatkan sinyal positif untuk keberadaan

mikrosatelit. Secara jelas, penggunaan perpustakaan klon acak tidak

efisien dan akan memakan waktu. Perpustakaan yang secara spesifik kaya

akan mikrosatelit adalah merupakan alternatif untuk meningkatkan

efisiensi. Metode simpel dan cepat menggunakan affinity DNA kromatographi

(Brernig dan Brem, 1991) sedah dikembangkan. Metode ini menggunakan

kloning cepat dari sisipan kecil secara spesifik mengandung mikrosatelit

apa saja.

Pada sisipan dengan ukuran besar seperti cosmid, yang memiliki

sisipan 30-45 kbp, daerah mikrosatelit akan sulit mencapai sekuen primer

dengan vektor. Untuk menghasilkan penanda DNA dari mikrosatelit dengan

sisipan berukuran besar, Yuille et.al. (1991) mengembangkan sebuah metode

untuk menentukan sekuen mikrosatelit flanking secara langsung menggunakan

primer-primer komplemen untuk daerah ulangan. Metode ini menggunakan satu

set oligonukleotida yang hanya satu yang akan melakukan reaksi sekuensing

secara normal untuk menghasilkan sekuen sisi mikrosatelit pada klon yang

terlebih dahulu diidentifikasi dengan hibridisasi. Primer-primer

mikrosatelit terdiri atas motif ulangan yang diikuti dengan nukleotida

tunggal yang spesifik pada akhir 3’ pada primer yang akan mengapit reaksi

sekuensing ke satu sisi mikrosatelit. Pada kasus sekuen mikrosatekit

(CA)n, sebagai contohnya, terdapat enam kombinasi motif ulangan dan

nukleotida bukan motif 3’. Tiga dari nukleotida adalah dalam bentuk

(5’dG-dT3’)X (dimana X=A, C atau T) dan tiga sisanya dalam bentuk (5’dT-

dG3’)Y (dimana Y=A, C atau G). Satu set dalam enam primer dapat digunakan

untuk sekuen dalam flank yang lainnya. Dan itu akan merupakan bentuk

(5’dC-dA3’)X’ (dimana X’=A,G atau T) dan (5’dA-dC3’)Y’ (dimana Y’=C, G

atau T). Hanya satu oligonukleotida yang akan mengapit reaksi sekuensing

dari daerah mikrosatelit. Sekuen flanking pertama kemudian akan bisa

igunakan untuk mendesain primer untuk sekuen belakang di sepanjang

mikrosatelit dan juga pada flank yang lain, yang digunakan untuk

mendesain primer lain. Pendekatan serupa yang lain sewperti di atas juga

sudah dikembangkan (Browne dan Litt, 1991). Tetapi, metode Yuille lebih

mudah dan dengan begitu lebih banyak digunakan untuk menghasilkan

mikrosatelit. Permasalahan pada pendekatan ini dapat terjadi jika

terdapat lebih dari satu ulangan pada nukleotida flanking yang sam

diantara sebuah osmid atau jika ulangan diinterupsi oleh nukleotida yanf

sama yang ditemukan pada flank 3’ pada ulangan.

Selain mengembangkan klon-klon dari perpustakaan DNA genom total,

dapat pula digunakan perpustakaan kromosom spesifik. Hal tersebut sudah

berhasil digunakan pada manusia untuk mengisolasi beberapa kromosom x dan

penanda kromosom individu (Weber dan May, 1989; Luty et.al., 1990; Decker

et.al., 1992; Fougerousse et.al., 1992; Hazan et.al., 1992; Petersen

et.al., 1992; Taylor et.al., 1992; Thompson et.al., 1992) dan juga sudah

berhasil diaplikasikan pada kromosom 13 pada babi (Davies et. al., 1992).

Walaupun prosedur kloning sudah terbangun dengan baik, tetap saja

langkah ini sangat memakan waktu dalam pengembangn penanda mikrosatelit.

Dalam usaha untuk mencari jalan keluar dari masalah ini, Charlieu et.al.

(1992) mengembangkan pendekatan baru untuk menghasilkan penanda

polimorfik pada manusia tanpa harus melakukan kebutuhan untuk kloning

atau sekuensing, berdasarkan pada amplifikasi pada akhir 3’ sekuen Alu.

Primer Lau biasa, digunakan sebagai satu atau dua primer, dimana primer

lain dihasilkan secara acak. Ssayangnya, keragaman sekuen mikrosatelit

pada akhir 3’ dari sekuen Alu ditemukan sangat rendah. Oleh karena itu

pendekatan ini sudah tidak efisien dalam pengembangan penanda

mikrosatelit. Sintesis primer secara acak juga merupakan kerugian lain

dari pendekatan ini karena terdapatnya hasil-hasul yang tidak diharapkan

setelah amplifikasi DNA.

2.3.3.3.4. Kegunaan potensial mikrosatelit untuk pemetaan gen

Tingkat keragaman mikrosatelit yang tinggi sudah ditemukan diantara

genatau daerah fenom yang tidak diketahui . Pada saat ini, puluhan dari

ribuan mikrosatelit sudah terdapat dalam genom. Kemudahan dan kecepatan

untuk mengetahui mikrosatelit menggunakan teknologi PCR sangat mudah

diinterpretasikan, hal ini membuat mikrosatelit menjadi penanda paling

baik dalam pemetaan gen. Mikrosatelit memiliki polimorfisme yang tinggi

yang berasal dari macam-macam bangsa untuk meningkatkan kemungkinan

heterozigositas pada populasi F1 kemungkinan tidak lagi diperlukan.

Dikarenakan kebanyakan mikrosatelit hipervariabel, jumlah genotipe

individu F2 untuk analisis segregasi juga secara besar dikurangi.

Karakteristik mikrosatelit yang menarik ini telah mengurangi secara

besar-besaran penggunaan dari penanda RFLP dalam peneitian pemetaan

genetik.

Secara praktis, penggunaan mikrosatelit sebagai penanda sanga mudah

ditangani. Pertukaran penanda antar laboratorium yang terkait dalam

proyek pemetaan gen hanya mensyaratkan pertukaran dari sekuen

oligonukleotida yang digunakan secabagai primer dalam PCR. Hal tersebut

dapat dilakukan dengan transmisi secara elektronik melalui komputer.

Tidak terdapat adanya persyaratan untuk pertukaran klon rekombinan

diantara laboratorium. Pengerjaan langsung secara fisik mikrosatelit dari

sisipan klon besar kepada kromosom individu menggunakan teknik semacam

hibridisasi in situ telah meningkatkan keuntungan mikrosatelit sebagai

penanda dalam konstruksi peta gen. Oleh karena itu tidak diragukan lagi,

penelitian mengenaipenelitian mengenai kekerabatan harus terfokus pada

penggunaan mikrosatelit.

2.3.4. Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

Seperti yang diganbarkan sebelumnya, banyak sekali usaha yang

ditujukan untuk menghasilkan penanda mikrosatelit. Hal ini juga termasuk

pembuatan perpustakaan yang memperkaya mikrosatelit, screening klon

mikrosatelit, sequencing daerah mikrosatelit atau pencarian sekuen

mikrosatelit alternatif dari database, dan kemudian mendesain primer

untuk mengamplifikasi mikrosatelit yang dimaksud/dituju. Kesemuanya akan

sangat memakan waktu dan biaya.

Bertumpu pada amplifikasi DNA genom dengan PCR, William et al.

(1990) mengembangkan sebuah sistem penanda baru yang kemudian dikenal

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Sistem ini meliputi penggunaan

dari primer tunggal (atau multipel) dari sekuen nukleotida arbitrary,

biasanya sepanjang 9-10 nukleotida, untuk mengamplifikasi sekuen dari

genom DNA asal. Hal ini dipercaya bahwa substitusi aau perubahan

nukleotida lain dalam daerah komplemen primer akan mencegah amplifikasi

dari sebuah produk. Oleh karena itu, pada lokus tertentu,

terjadi/tidaknya polimorfisme dialelik bisa ditemukan. Tetapi seperti

kebanyakan lokus bisa diamplifikasi dengan primer tertentu, sebuah

fingerprint komlek akan dihasilkan. Polimorfisme dapat dideteksi pada

pengujian ini sebagai penanda DNA dominan atau resesif dan dapat

digunakan untuk membuat peta genetik. Keuntungan dari strategi ini adalah

tidak dilakukannya semua langkah yang terkait dengan kloning, screening

dan sequencing sangat diperlukan dalam pengembangan penanda mikrosatelit.

2.3.4.1. Mendesain primer RAPD

Williams et al. (1990) sangat merekomendasikan bahwa komposisi dasar

dari primer menjadi 40% atau lebih banyak kandungan G+C dalam 10-mer.

Tidak ada produk spesifik dihasilkan jika kandungan G+C kurang dari 40%

atau panjang primer kurang dari 9-mer. Dua pendekatan sudah digunakan

untuk menghasilkan penanda RAPD menggunakan primer arbitrary.

2.3.4.1.1. Primer-primer tunggal

Dua primer decamer acak dalam satu reaksi PCR dapat juga digunakan

untuk menghasilkan pita-pita tambahan. Klein-Lankhorst et al. (1991)

telah berhasil mendemonstrasikan bahwa kombinasi dari dua primer acak

(dalam rasio 1:1) diperoleh hasil pada penampakan dari fragmen DNA

teramplifikasi baru yang tidak dihasilkan pada saat tiap primer digunakan

secara terpisah. Istimewanya penggunaan dari dua primer menghasilkan

fragmen DNA, yaitu secara rata-rata lebih kecil dari yang dihasilkan pada

PCR dengan komponen primer tunggal. Hal tersebut sudah disarankan bahwa

kompetisi antara primer-primer dan daerah annealling selama reaksi PCR

dapat memberikan hasil dalam sintesis fragmen besar dengan frekuensi yang

lebih rendah daripada fragmen yang lebih kecil. Pendekatan ini sangat

menarik perhatian dalam hal meningkatkan jumlah pita-pita spesifik yang

dihasilkan.

2.3.4.2. Mekanisme pembuatan variabelitas RAPD

Mekanisme keragaman ukuran antar lokus secara menyeluruh belum

jelas. Tetapi jumlah daerah primer komplemen dan orientasi serta

posisinya dalam genom secara inisial dipercaya dapat bertanggungjawab

untuk keragaman. Oleh karena itu sebuah primer oligonukleotida tunggal

akan berikatan dengan sekuen komplemen dalam arah yang berlawanan pada

tiap untaian dan membuat mereka tidak terpisah terlalu jauh, dan ini akan

mengamplifikasi daerah antara. Frekuensi dari ulangan-ulangan dalam genom

akan dicerminkan oleh jumlah pita-pita yang dihasilkan setelah

amplifikasi PCR. Oleh karena itu fingerprint primer spesifik yang mungkin

berbeda antar individu-individu dipercaya juga berbeda dalam distribusi

dan orientasi sekuen primer komplemen antar genom yang diuji.

Keragaman antar iindividu tanaman dan hewan dipercaya karena adanya

perubahan basa tunggal dalam daerah primer pada DNA genom (Williams et

al., 1990). Interpretasi ini berdasarkan pada fakta bahwa substitusi

sebuah basa tunggal dalam sebuah primer dapat mengakibatkan adanya

ketidakcocokan tunggal dalam primer-genom DNA duplex pada kedua daerah

uyang membatasi sebuah segmen DNA. Kemungkinan lain untuk

keragaman/polimorfisme dapat menghilangkan sebuah daerah primer; insersi

yang mengembalikan beberapa jarak daerah primer untuk mendukung

amplifikasi, atau insersi yang merubah ukuran sebuah segmen DNA tanpa

mencegah amplifikasinya.

Untuk mekannisme yang tertulis di atas, tentunya terdapat sebuah

korelasi positif antar jumlah fragmen DNA yang teramplifikasi dan ukuran

genom. Tetapi hal ini bukanlah permasalahannya. Seperti yang

didemonstrasikan oleh Williams et al. (1990), sejumlah fragmen yang mirip

diamplifikasi pada saat pengerjaan prosedur diaplikasikan pada DNA genom

bakteri (prokariotik) dan kacang kedelai (organisme kariotik). Sebagai

hasilnya, Fristensky (1991) menyatakan bahwa mekanisme di bawah variasi

RAPD menghasilkan produk artifactual selama siklus pertama siklus pertama

dalam PCR (lihat Gambar 2.4). Jika dalam siklus pertama PCR struktur

hairpin terjadi di bawah daerah ikatan primer, dan kemudian hairpin

memanjang dengan arah terbalik (kebanyakan seperti untaian pertama

sintesis cDNA) melalui ikatan daerah primer, maka sebuah ulangan terbalik

dari daerah ikatan primer akan dihasilkan saat pemanjangan hairpin

terdenaturasi dalam siklus PCR selanjutnya. Ulangan terbalik artifactual

ini kemudian akan dihasilkan secara seksama melalui PCR-RAPD. Sebagai

konsekuensinya, prediksi dari kemungkinan jumlah fragmen teramplifikasi

per primer akan lebih sulit.

Gambar 2.4

2.3.4.3. Deteksi polimorfisme dalam RAPD dan kegunaan potensialnya

Pada sistem ini polimorfisme dapat dengan mudah dideteksi melalui

elektroforesis dan pewarnaan ethidium bromide dalam agarose. Produk PCR

dapat dipisahkan dalam 2-2,5% gel agarose dan pola-pola pita yang berbeda

dihasilkan dari primer yang sama pada individu yang berbeda dapat

divisualisasikan menggunakan iliminasi ultraviolet. Penanda RAPD adalah

dominan, seperti segmen-segmen DNA yang sama panjang akan teramplifikasi

dari sebuah lokus atau gagal untuk teramplifikasi. Oleh karena itu

munculnya pita heterozigot dan homozigot tidak dapat terpercaya untuk

dibedakan.

Primer penanda RAPD baik tunggal maupun ganda keduanya sudah

digunakan untuk membuat peta gen pada beberapa spesies, termasuk tomat

(Klein-Lankhorst et al., 1991), selada (Paran et al., 1991), Brassica

(Quiros et al., 1991), fungi (Anfavre-Brown et al., 1992), kentang (Waugh

et al., 1992) dan pohon kelapa (Wilde et al., 1992); pada nematoda

(Caswell-Chen et al., 1992) dan pada bakteri Listeria (Mazurier dan Werners,

1992). Beberapa penelitian pada penanda penanda RAPD untuk pemataan gen

pada hewan yang sudah dilaporkan, yaitu pada mencit (Cox dan Lehrach,

1991; Woodward et al., 1992) dan ayam (Levin et al., 1993 dan Toye,

1993).

Seperti yang dinyatakan oleh Williams et al. (1998), penanda RAPD

dapat potensial digunakan untuk membantu sebuah pengerjaan yang efisien

pada identifikasi dan isolasi yang cepat pada kromosom fragmen DNA

spesifik. Pada pemetaan genetik, penggunaan penanda RAPD memiliki

beberapa keuntungan lebih dibandingkan metode-metode lain, termasuk : (i)

sebuah set primer umum dapat digunakan untuk analisis genom dalam spesies

yang memiliki variasi yang tinggi, (ii) tidak perlu dilakukan pekerjaan

pendahuluan seperti isolasi klon probe DNA, hibridisasi dan sekuensing

nukleotida, (iii) tiap marker adalah sama dengan sebuah Sequence Tagged

Site yang mana dapat lebih mempermudah transfer informasi pada program-

program penelitian kolaborasi dan (iv) penentuan genotipe dapat secara

otomatis sehingga peta genetik yang terdapat penanda RAPD dapat diperoleh

dengan cara sangat efisien.

Tetapi, disamping keterbatasan dari polimorfisme dominan/resesif,

dimana secara bersatu padu kurang informatif, efek samping yang paling

penting dari RAPD sebagai penanda genetik adalah tidak adanya kontrol

untuk mengkonfirmasi kemampuan reproduksi penanda dalam amplifikasi PCR.

Banyak laboratorium telah meninggalkan penggunaannya karena beberapa

masalah pada hasil reproduksinya.

2.3.5. Prosedur lain untuk mendeteksi variasi sekuen DNA

Polimorfisme pada tipe-tipe penanda yang digambarkan di atas

dideteksi berdasarkan pada variaasi panjang fragmen DNA atau muncul

tidaknya fragmen dalam gel elektroforesis. Tetapi sekarang tersedia

beberapa teknik untuk screening variasi sekuen DNA, yang juga sudah

difasilitasi oleh adanya teknologi PCR. Gambaran jelas mengenai teknik-

teknik tersebut akan dijelaskan disini sebagaimana beberapa contoh

keberhasilan penggunaan teknologi-teknologi tersebut.

2.3.5.1. Denaturation Gradient Gel Elektrophoresis (DGGE)

Teknik ini meliputi elektroporesis fragmen DNA untai ganda melalui

sebuah gel acrylamid standar yang mengandung sebuah linear gradien

denaturasi DNA seperti formamide dan urea atau temperatur. Dalam gel,

fragmen DNA bermigrasi tergantung pada ukurannya sampai mereka memasuki

bagian gradien, dimana molekul akan mulai untuk di-denaturasi. Pada saat

DNA terdenaturasi, ini akan membuka pertama kali pada nukleotida dengan

daerah stabil yang terendah sehingga konformasi dari perubahan fragmen

dari untai ganda menjadi bentuk-bentuk potongan cabang. Pada poin ini

tingkatan migrasi dalam gel menjadi pelan secara tiba-tiba. Varian-varian

yang dibedakan dengan substitusi A/T untuk G/C memiliki kestabilan suhu

yang berbeda dan dapat dikenali oleh poin pada saat denaturasi terjadi.

Nukleotida missmatch selanjutnya dalam sebuah daerah contoh adalah sebuah

heteroduplek mennganti posisi dari penurunan secara tiba-tiba dalam

tingkatan migrasi. Sesekali molekul-molekul akan terdenaturasi secara

lengkap, posisi mereka dalam gradien menjadi semata-mata sebuah fungsi

dari ukuran. Karena substitusi pada kebanyakan daerah stabil fragmen

tidak dapat terdeteksi, daerah suhu buatan ditambahkan pada produk PCR

untuk memastikan bahwa semua substitusi dapat dideteksi. Hal ini dapat

pula dicapai dengan menambah DNA yang kaya akan GC mendekati 40pb,

dikenal sebagai GC-clamp, pada satu primer PCR (Myers et al., 1985a dan

Sheffield et al., 1989). Gambar 2.5 merupakan ilustrasi deteksi mutasi

dengan DGGE.

Untuk membantu mendeteksi substitusi dengan DGGE, sangat berguna

untuk menentukan profil cairan sebuah fragmen DNA, dengan tujuan untuk

mengidentifikasi kondisi tertentu untuk sebagian cairan dan kemudian

untuk menguji secara empiris cairan setiap fragmen. Profil cairan dapat

ditentukan menggunakan software komputer, seperti Lerman dan Silverstein

(1987).

Gambar 2.5

Kelayakan primer PCR dan kondisi denaturasi sudah ditentukan untuk

daerah yang spesifik. DGGE dapat menjadi sebuah metode yang cepat untuk

screening mutasi. Perbedaan basa tunggal dalam produk PCR dengan panjang

lebih dari 600pb dapat dideteksi. Penggunaan teknik DGGE, substitusi

nukleotida menyeabkan beberapa substitusi asam amino dalam gen-gen

tertentu pada manusia yang telah dideteksi. Sebagai contoh sebuah

substituai nukleotida dalam insulin reseptor gen manusia menyebabkan

penempatan Arginin oleh Glysin pada koodon 1152 (Cocozza et al., 1992) telah

dideteksi dalam cara ini. Detelsi dari perbedaan sekuen DNA juga

dilaporkan untuk exon 4 dari sebuah gen encoding apolipoprotein E (apoE)

(Parker et al., 1993). Pada ternak perah, Tee et al., (1992) dapat mendeteksi

sebuah basa tunggal yang adalah mutasi penyebab yang membedakan alel A

dan B dari gen β-lactoglobulin. Substitusi sebuah pasangan basa AT pada

alel A oleh pasangan basa GC pada alel lain dapat berhasil dideteksi

menggunakan teknik screening ini. Daripada menggunakan bahan-bahan

kimiawi, mereka memilih menggunakan temperatur sebagai denaturan, yang

disebut sebagai Temperature Gradient Gel Elektrophoresis (TGGE).

2.3.5.2. Pemecahan RNase A

Pengujian ini berdasarkan pada fakta bahwa beberapa daerah missmatch

basa tunggal dalam hibrid RNA-DNA akan dipecah oleh Rnase A (Myers et al.,

1985b). Hibrid antara sebuah radioaktif ribo-probe tipe liar dan mutan,

dihasilkan oleh PCR, adalah sebagai subjek untuk dipecah oleh Rnase A.

Enzim ini akan mengenali dan memecah untaian tunggal RNA pada

tempat/lokasi missmatch. Reaksi ini kemudian dianalisis dengan

elektroforesis dan autoradiografi, dan lokasi dari mutasi ditentukan oleh

pemecahan ikatan dari ukuran yang seharusnya. Ilustrasi mengenai teknik

ini disajikan pada Gambar 2.6.

Ketentuan tepatnya mengenai keberhasilan serangan RNase belum jelas,

tetapi hal itu sepertinya ada kemungkinan 30-50% kesalahan basa tunggal

akan terbelah (Myers et al., 1985b dan Winter et al., 1985). Mismatch yang

dihasilkan dari dilesi, insersi, atau pengaturan ulang menawarkan potensi

lebih besar untuk RNase A memecah karena daerah untai tunggal yang lebih

ekstensif dalam hibrid. Pengujian ini suda berhasil digunakan untuk

identifikasi dan penempatan mutasi lokus Lesch-Nyhan pada manusia (Gibbs

dan Caskey, 1987).

Gambar 2.6. Deteksi mutasi oleh Pemecahan R Nase (diambil dari Prosser,

1993)

2.3.5.3. Chemical Cleavage of Mismatch (CCM)

Dalam analisis CCM seperti yang dikembangkan oleh Cotton et al. (1998)

(lihat Gambar 2.7), sebuah hibrid antar radiolabel DNA tipe liar dan DNA

mutan (atau RNA) dihasilkan oleh denaturasi dan reannealling. Basa-basa

yang mengalami mismatch pada daerah mutasi dalam hibrid kemudian secara

kimia akan dimodifikasi menggunakan sekuensing kimia Maxam-Gilbert (Maxam

dan Gilbert, 1977). Pelabelan DNA dipisahkan oleh piperidin pada daerah

modifikasi diikuti dengan denaturasi Polyacrilamide Gel Electrophoresis

dan autoradiografi. Osmium tetroxide digunakan untuk modifikasi pada

kesalahan berpasangan timin dan hidroxilamin untuk sitosin yang mismatch.

Dibandingkan dengan teknik screening yang lain, pengujian ini memiliki

keterbatasan paling sedikit untuk mendeteksi fragmen DNA ukuran besar.

Produk PCR dengan panjang sekitar 1,7kb sudah berhasil diuji (Zheng et al.,

1991). Beberapa keuntungan lain dari penggunaan teknik ini adalah

mencakup: i) sensitifitas terhadap deteksi mutasi dapat mencapai 100%

(Forrest et al., 1991); ii) teknik pelabelan non-isotopik dapat juga

digunakan (Saleeba et al., 1992); dan iii) PCR multiplek dapat terlihat

(Kilimann et al., 1992).

Gambar 2.7. Deteksi mutasi oleh Chemical Cleavage of Mismatch (diambil

dari Prosser, 1993)

2.3.5.4. Single Strand Conformation Polymorphisms (SSCP)

Single Strand Conformation Polymorphisms dapat dideteksi oleh

denaturasi PCR-amplifikasi DNA untai ganda diikuti dengan elektroforesis

produk dalam gel polyacrilamid non-denaturasi. Substitusi nukleotida

dideteksi oleh pergerakan pergantian konformasi semistable untaian tunggal

DNA dalam gel (Orita et al., 1989). Kedua molekul DNA untai tunggal dari

denaturasi produk PCR diasumsikan memiliki konformasi tiga dimensi yang

tergantung pada sekuen dasarnya. Sebuah sekuen yang berbeda (mutasi)

antar tipe liar dan DNA mutan dapat menghasilkan dalam migrasi yang

berbeda dari satu atau kedua untaian mutan (Gambar 2.8). Produk PCR

dengan pola migrasi yang berubah kemudian dapat dianalisis dengan

sekuensing DNA untuk menentukan perubahan alami yang tepat.

Gambar 2.8. Deteksi mutasi oleh SSCP (diambil dari Prosser, 1993)

Sensitifitas (kemungkinan mendeteksi setidaknya satu strand shift)

dari analisis PCR-SSCP diperkirakan lebih dari 99% untuk fragmen dengan

panjang 100-300bp dan 89% untuk 300-450bp (Hayashi, 1992). Sebagai

tambahan, pendekatan SSCP ini secara teknis adalah sederhana. Sampai saat

ini analisis SSCP adalah pilihan teknik untuk screening mutasi atau

delesi minor di dalam fragmen DNA. Laporan mengenai deteksi polimorfisme

dengan SSCP pada ternak potong sudah dipublikasikan baru-baru ini. Varian

dialelik ditemukan dalam Insulin-like Growth Factor-1 intron ketiga

(Kirkpatrick, 1993b), tiga alel dideteksi pada gen inhibitor activator

plasminogen tipe 1 pada sapi (Neibergs dan Womack, 1993), dan empat alel

ditemukan dalam gen prolaktin sisi 5’ (Hart et al., 1993). Segregasi

sederhana Mendelian juga sudah didemonstrasikan pada semua alel yang

diuji.

Sebagai alternatif untuk polimorfisme standar untaian tunggal,

Kirkpatrick et al. (1993) memperkenalkan sebuah teknik untuk deteksi Double-

Stranded Conformational Polymorphisms (DSCP). Hal ini hampir sama dengan

pendeteksian SSCP, tetapi untuk DSCP, DNA adalah subjek untuk

elektroforesis pada peningkatan (50oC) atau penurunan (4oC) suhu.

Perbedaan dalam bentuk dsDNA diharapkan untuk menunjukkan sebagai pembeda

mobilitas elektroforetik pada pengurangan dan bukan pada peningkatan

suhu. Dengan menggunakan pendekatan ini mereka mengidentifikasi dua

bentuk alel dari porcine hormon pertumbuhan sisi 5’ dan empat bentuk alel

dari daerah exon/intron kedua.

2.3.5.5. Polimorfisme Heterodupleks

Analisis heterodupleks adalah sensitivitas lain yang ditujukan untuk

mendeteksi substitusi basa tunggal dalam produk PCR. Dasar dari teknik

ini berbentuk heterodupleks antar dua sekuen asal DNA yang berbeda muncul

secara simultan dalam sebuah rekasi PCR. Jika mutan dan sekuen tipe liar

diamplifikasi bersamaan dalam sebuah reaksi PCR dan elektroforesis dalam

gel polyacrilamid reguler, molekul heterodupleks dengan sebuah variasi

pasangan basa tunggal akan memperlihatkan perbedaan mobilitas dari

homodupleks (Nagamine et al., 1989) karena migrasi yang terdahulu lebih

perlahan dibandingkan dengan koresponden homodupleksnya terhadap basa

yang mismatch. Fenomena ini diperkirakan dapat terjadi karena perubahan

konformasi sekuen terikat dalam DNA untai ganda (Gambar 2.9). Daripada

mencampurkan dua template dalam sebuah reaksi PCR , Whhite et al. (1992)

menyarankan untuk mencampurnya setelah mereka teramplifikasi secara

masing-masing. Kedua produk PCR didenaturasi dan perlahan ter-renaturasi

untuk menghasilkan heterodupleks sebagaimana menggunakan homodupleks.

Penggunaan pengujian ini, 80-90% dari mutasi dapat teedeteksi dalam

fragmen DNA kecil kurang dari 300bp (Perry dan Carrell, 192 dan White et.

al., 1992). Karena kesederhanaan dan karena pendeteksian dapat dilakukan

menggunakan baik metode radioaktif (White et al., 1992) ataupun metode non-

radioaktif (Perry dan Carrell, 1992), teknik ini menarik dan sudah

terbukti berhasil dilakukan dalam studi beberapa kelainan genetik pada

manusia (lihat sebagai contoh Keen et al., 1991 dan Artlich et al., 1992).

Gambar 2.9. Deteksi mutasi oleh analisis heteroduplex (diambil dari

Prosser, 1993)

Sejumlah metode untuk mendeteksi mutasi pengganti dasar tunggal yang

dikembangkan belakangan telah memfasilitasi secara luas screening secara

virtual dari variasi DNA. Walupun begitu, fragmen DNA yang tidak dapat

menunjukkan variasi pada basis mungkin dapat berguna untuk dites

menggunakan teknik-teknik baru ini.