Dinamika Produktifitas Ekosistem Hutan Berdasarkan Nilai NDVI Citra MODIS

16
Halaman | 1 DINAMIKA PRODUKTIVITAS EKOSISTEM DI BERBAGAI TIPE HUTAN DI JAWA DENGAN PENDEKATAN NILAI NDVI (Normalized Difference Vegetation Indeks) CITRA MODIS 2006 - 2010 1 Hero Marhaento 2 Intisari Studi mengenai dinamika produktivitas ekosistem hutan merupakan salah satu upaya untuk mengetahui karakter berbagai vegetasi hutan dalam merespon perubahan lingkungannya. Dinamika produktivitas ekosistem hutan dapat diukur dengan memperbandingkan nilai indikator produktivitas ekosistem hutan secara runtut waktu. Penelitian ini menggunakan algoritma NDVI sebagai indikator produktivitas ekosistem hutan yang diekstraksi dari citra MODIS selama periode Januari 2006 Desember 2010. Nilai NDVI yang digunakan untuk analisis adalah nilai NDVI yang sudah terkoreksi dengan hasil pengukuran di lapangan dengan nilai Rsquare 0,64. Hasil penelitian menunjukkan hutan tanaman merupakan tipe hutan dengan produktivitas paling tinggi yang diikuti hutan sekunder, hutan primer, hutan mangrove sekunder, dan terakhir hutan rakyat. Rendahnya produktivitas hutan rakyat dibandingkan dengan tipe hutan lain terutama disebabkan kondisi penurunan pada bulan Juli 2008. Fenomena lain terjadi pada tahun 2007 dimana produktivitas hutan tanaman dan hutan sekunder sempat mengalami penurunan pada bulan Februari, dan mengalami kenaikan cukup signifikan pada bulan desember. Dengan melakukan analisis korelasi bivariat antara produktivitas dan data curah hujan diperoleh informasi bahwa curah hujan memiliki korelasi non-linier dengan nilai produktivitas. Hubungan curah hujan dengan produktivitas ekosistem hutan ternyata mampu dijelaskan dengan baik oleh regresi polynomial orde 2 dengan nilai Rsquare > 0,80. Hubungan variabel produktivitas dan curah hujan yang berbentuk kurva parabolik menunjukkan bahwa kondisi produktivitas optimal dicapai pada kondisi curah hujan tertentu saja yaitu pada kondisi rata-rata CH adalah 3,5 ± 0,25 mm/hari. Produktivitas optimal pada tahun 2007-2009 terjadi pada periode bulan Juni dan awal oktober, sedangkan pada tahun 2006 terjadi pada awal juli dan bulan november. Pada tahun 2008 terjadi durasi produktivitas yang cukup panjang pada bulan mei juni yang selanjutnya menunjang produktivitas ekosistem hutan yang optimal. Kejadian fluktuasi produktivitas pada periode tahun 2007 dan 2008 terjadi karena kondisi cuaca yang kurang mendukung produktivitas ekosistem secara optimal, yaitu durasi hujan yang cukup panjang. Produktivitas kembali normal pada periode tahun 2009-2010, namun trend menunjukkan bahwa pada akhir periode 2010 menuju tahun 2011 akan mengalami penurunan kembali. Hasil penelitian tersebut selanjutnya menjelaskan bahwa produktivitas ekosistem hutan sangat terpengaruh terhadap kondisi lingkungan (curah hujan). Produktivitas ekosistem akan menurun apabila terjadi cuaca ekstrim (basah atau kering). Kata Kunci : dinamika produktivitas, NDVI, Citra MODIS 1 Penelitian Hibah IMHERE Nomor: 005/Act 1.1/Fkt/I-Mhere B 2c/Kt/2010, Tanggal 20 Mei 2010 2 Staf Pengajar Bagian Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Transcript of Dinamika Produktifitas Ekosistem Hutan Berdasarkan Nilai NDVI Citra MODIS

Halaman | 1

DINAMIKA PRODUKTIVITAS EKOSISTEM DI BERBAGAI TIPE HUTAN DI

JAWA DENGAN PENDEKATAN NILAI NDVI (Normalized Difference Vegetation

Indeks) CITRA MODIS 2006 - 20101

Hero Marhaento2

Intisari

Studi mengenai dinamika produktivitas ekosistem hutan merupakan salah satu upaya

untuk mengetahui karakter berbagai vegetasi hutan dalam merespon perubahan

lingkungannya. Dinamika produktivitas ekosistem hutan dapat diukur dengan

memperbandingkan nilai indikator produktivitas ekosistem hutan secara runtut waktu.

Penelitian ini menggunakan algoritma NDVI sebagai indikator produktivitas ekosistem hutan

yang diekstraksi dari citra MODIS selama periode Januari 2006 – Desember 2010. Nilai

NDVI yang digunakan untuk analisis adalah nilai NDVI yang sudah terkoreksi dengan hasil

pengukuran di lapangan dengan nilai Rsquare 0,64. Hasil penelitian menunjukkan hutan

tanaman merupakan tipe hutan dengan produktivitas paling tinggi yang diikuti hutan

sekunder, hutan primer, hutan mangrove sekunder, dan terakhir hutan rakyat. Rendahnya

produktivitas hutan rakyat dibandingkan dengan tipe hutan lain terutama disebabkan kondisi

penurunan pada bulan Juli 2008. Fenomena lain terjadi pada tahun 2007 dimana produktivitas

hutan tanaman dan hutan sekunder sempat mengalami penurunan pada bulan Februari, dan

mengalami kenaikan cukup signifikan pada bulan desember. Dengan melakukan analisis

korelasi bivariat antara produktivitas dan data curah hujan diperoleh informasi bahwa curah

hujan memiliki korelasi non-linier dengan nilai produktivitas. Hubungan curah hujan dengan

produktivitas ekosistem hutan ternyata mampu dijelaskan dengan baik oleh regresi

polynomial orde 2 dengan nilai Rsquare > 0,80. Hubungan variabel produktivitas dan curah

hujan yang berbentuk kurva parabolik menunjukkan bahwa kondisi produktivitas optimal

dicapai pada kondisi curah hujan tertentu saja yaitu pada kondisi rata-rata CH adalah 3,5 ±

0,25 mm/hari. Produktivitas optimal pada tahun 2007-2009 terjadi pada periode bulan Juni

dan awal oktober, sedangkan pada tahun 2006 terjadi pada awal juli dan bulan november.

Pada tahun 2008 terjadi durasi produktivitas yang cukup panjang pada bulan mei – juni yang

selanjutnya menunjang produktivitas ekosistem hutan yang optimal. Kejadian fluktuasi

produktivitas pada periode tahun 2007 dan 2008 terjadi karena kondisi cuaca yang kurang

mendukung produktivitas ekosistem secara optimal, yaitu durasi hujan yang cukup panjang.

Produktivitas kembali normal pada periode tahun 2009-2010, namun trend menunjukkan

bahwa pada akhir periode 2010 menuju tahun 2011 akan mengalami penurunan kembali.

Hasil penelitian tersebut selanjutnya menjelaskan bahwa produktivitas ekosistem hutan

sangat terpengaruh terhadap kondisi lingkungan (curah hujan). Produktivitas ekosistem akan

menurun apabila terjadi cuaca ekstrim (basah atau kering).

Kata Kunci : dinamika produktivitas, NDVI, Citra MODIS

1 Penelitian Hibah IMHERE Nomor: 005/Act 1.1/Fkt/I-Mhere B 2c/Kt/2010, Tanggal 20 Mei 2010

2 Staf Pengajar Bagian Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Halaman | 2

Latar Belakang

Tantangan terbesar dalam studi karbon akunting adalah mengukur dan memonitor

dinamika ekosistem dalam skala lansekap, regional, atau global. Berbagai studi yang

dilakukan adalah untuk menghasilkan prediksi yang akurat mengenai produktivitas ekosistem

dalam suatu siklus karbon (Morisette et al., 2002; Turner et al.,2004). Stagakis et al. (2007)

menjelaskan bahwa komponen paling penting yang menentukan produktivitas suatu

ekosistem adalah vegetasi. Kandungan klorofil yang dimiliki oleh suatu vegetasi menentukan

kemampuannya dalam berfotosintesis. Proses fotosintesis akan mengubah zat-zat anorganik

H2O dan CO2 menjadi zat organik karbohidrat dengan menggunakan energi matahar (IPCC,

2003).

Teknologi penginderaan jauh merupakan tools yang direkomendasikan oleh panel

IPCC sebagai sarana untuk studi karbon global. Penginderaan jauh efektif dalam

mengestimasi kandungan biomassa vegetasi dan mengukur kemampuan hutan dalam

menyerap karbon dalam areal yang luas (Rosenqvist et al., 2003 dalam Solicha, 2007). Studi

vegetasi dengan metode penginderaan jauh dilakukan berdasarkan konsep bahwa setiap

obyek memiliki karakteristik pantulan spektral yang khas terhadap sumber energi yang

datang. Teknik penginderaan jauh tidak mengukur biomassa secara langsung, namun

menduga biomassa dari hubungan karakteristik hutan di lapangan dengan reflektansi kanopi

pada citra satelit (Brown et al. 1989).

Pada umumnya kegiatan deteksi vegetasi dengan citra satelit adalah dengan

menggunakan transformasi indeks vegetasi. Indeks vegetasi merupakan kombinasi matematis

antara band merah dan band NIR (Near Infra Red) yang telah lama digunakan sebagai

indikator keberadaan dan kondisi vegetasi (Lillesand dan Kiefer, 1994). Menurut Danoedoro

(1996), hasil transformasi indeks vegetasi akan menghasilkan citra baru yang lebih

representatif dalam menyajikan aspek-aspek yang berkaitan dengan vegetasi.

Jensen (1998) menyebutkan bahwa metode analisis indeks vegetasi ada beberapa

macam, antara lain : NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), GI (Green Index) dan

WI (Wetness Index). NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan indeks

vegetasi yang paling populer dalam studi perilaku vegetasi (La puma et al., 2007). Banyak

penelitian indeks vegetasi menggunakan NDVI karena ia dapat memperkecil pengaruh

topografi (Holben dan Justice 1981, diacu dalam McGwire et al. 2000), tidak memerlukan

pengetahuan tentang kondisi lapangan yang rinci, dan sensitif terhadap fotosintesis (Myneni

et al. 1992 dan Tucker 1979: diacu dalam McGwire et al. 2000).

Halaman | 3

Pada transformasi NDVI, kisaran nilai obyek air pada saluran inframerah dekat adalah

minimal (mendekati nol) karena absorbansi maksimal untuk air pada julat spektrum ini

saluran merah adalah minimum (mendekati nol) sehingga nilai NDVI-nya +1. Semakin tinggi

nilai NDVI (mendekati 1) menunjukkan kerapatan vegetasi lebih tinggi

(http://earthobservatory.nasa.gov).

NDVI sering digunakan untuk melakukan analisis yang terkait dengan studi

produktivitas ekosistem terutama hutan, antara lain : tutupan tajuk, karbon permukaan tanah,

kandungan klorofil, leaf area, dan fenologi (Zhang, 2006), fraction absorbed PAR

(fAPAR/fPAR) (Myneni and William, 1994), produktivitas primer kotor (PPK), produktivitas

primer bersih (PPB) (Running et al., 1999), emisivitas, albedo, dan kondisi biofisik lansekap

lainnya (Zhang, 2006).

Berbagai penelitian sudah dilakukan untuk mengetahui hubungan NDVI dengan

berbagai parameter produktivitas. Myneni and William (1994) menjelaskan bahwa NDVI

berkorelasi kuat dengan fAPAR. Korelasi tersebut selanjutnya bisa digunakan untuk

menentukan produktivitas primer kotor dengan menggunakan model Light Use Efficiency

(LUE) (Running et al., 1999).

Gambar 1. Hubungan fAPAR dan Top of Canopy (TOC) NDVI (Myneni and Williams, 1994)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika produktivitas ekosistem dari

berbagai tipe hutan yang ada di jawa dengan menggunakan pendekatan dinamika nilai NDVI

Halaman | 4

citra MODIS selama periode 2006 – 2010. Citra MODIS (Moderate Resolution Imaging

Spectroradiometer) digunakan karena kelebihan dalam resolusi spasial dan temporal-nya.

Sensor Aqua MODIS mengamati seluruh permukaan bumi setiap 1-2 hari dengan

whisk-broom scanning imaging radiometer. MODIS dengan lebar view/tampilan (lebih 2300

km) menyediakan citra radiasi matahari yang direfleksikan pada siang hari dan emisi termal

13 siang/malam diseluruh penjuru bumi. Resolusi spasial MODIS berkisar dari 250- 1000 m

(Janssen dan Hurneeman, 2001), sehingga cocok untuk analisis tingkat regional dan global.

tabel 1. Karakteristik Citra MODIS

Primary Use Band Bandwidth1

Spectral Required

Radiance2

SNR3

Land/Cloud/Aerosols 1 620 - 670 21.8 128

Boundaries 2 841 - 876 24.7 201

1 Bands 1 to 19 are in nm; Bands 20 to 36 are in µm

2 Spectral Radiance values are (W/m

2 -µm-sr)

3 SNR = Signal-to-noise ratio

4 NE(delta)T = Noise-equivalent temperature difference

Orbit: 705 km, 10:30 a.m. descending node (Terra) or

1:30 p.m. ascending node (Aqua), sun-

synchronous, near-polar, circular

Scan Rate: 20.3 rpm, cross track

Swath Dimensions: 2330 km (cross track) by 10 km (along track at

nadir)

Telescope: 17.78 cm diam. off-axis, afocal (collimated), with

intermediate field stop

Size: 1.0 x 1.6 x 1.0 m

Weight: 228.7 kg

Power: 162.5 W (single orbit average)

Data Rate: 10.6 Mbps (peak daytime); 6.1 Mbps (orbital

average)

Quantization: 12 bits

Spatial Resolution: 250 m (bands 1-2)

Halaman | 5

500 m (bands 3-7)

1000 m (bands 8-36)

Design Life: 6 years

Sumber : http://modis.gsfc.nasa.gov

Metodologi

Pengumpulan data

Data yang digunakan merupakan citra Aqua MODIS level 1B yang sudah terkoreksi

radiometrik namun belum terkoreksi secara geometrik. Pengumpulan data citra dilakukan

setiap bulan selama lima tahun yaitu mulai tahun 2006 sampai 2010. Data citra diperoleh

dengan cara mendownload dari situs http://modis.gsfc.nasa.gov/. Citra yang dipilih

merupakan citra yang memiliki tutupan awan yang paling sedikit, karena tutupan awan

tersebut akan berpengaruh terhadap pengolahan citra, terutama dalam menentukan nilai pada

tiap piksel. Selain itu, citra yang dipilih harus mencakup wilayah Jawa secara utuh.

Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan secara bertahap, tahap pertama adalah pra-pengolahan

(preprocessing) yang bertujuan untuk mengkoreksi citra supaya memberikan informasi yang

akurat baik secara radiometrik dan geometris. Koreksi radiometrik bertujuan untuk

mendapatkan detail informasi yang jelas, sehingga akan mengurangi kesalahan dalam

menginterpretasi, mengidentifikasi, dan mengklasifikasikan citra satelit dan juga untuk

mereduksi efek distorsi radiometrik yang menyebabkan kekaburan pada citra. Selain itu,

koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai dengan yang

seharusnya dengan mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan

utama. Koreksi radiometrik dilakukan dengan menggunakan software ENVI 4.5, yaitu

dengan meng-kalikan nilai piksel terhadap faktor peng-kali pada masing- masing saluran

(bands), sehingga diperoleh nilai piksel yang benar. Koreksi geometrik yang bertujuan untuk

untuk melakukan rektifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar koordinat citra

sesuai dengan koordinat geografi dan untuk registrasi citra ke peta yang menghasilkan citra

dengan sistem proyeksi tertentu. Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan

Software ENVI 4.5, yaitu dengan menggunakan tools georeference MODIS yang juga secara

otomatis akan melakukan koreksi bowtie pada citra.

Halaman | 6

Hasil dari proses koreksi citra kemudian dilakukan operasi masking sesuai wilayah

kajian penelitian, yaitu pulau Jawa. Peta dasar yang digunakan adalah peta administrasi se-

jawa dari Bakosurtanal.

Tahap berikutnya adalah pengolahan data (data processing). Seluruh citra yang

terkumpul tiap bulan selama periode tahun 2006 – 2010 dilakukan analisis dengan formula

NDVI sebagai berikut :

NDVI =

MerahSaluranDekatInframerahSaluran

MerahSaluranDekatInframerahSaluran

Hasil analisis NDVI pada citra kemudian dilakukan cek lapangan (ground check) untuk

mengetahui akurasi nilai NDVI citra sekaligus memperbaiki nilai NDVI agar sesuai kondisi

lapangan. Cek lapangan dilaksanakan dengan menggunakan dasar peta tipe hutan dari Balai

Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) XI. Tiap tipe hutan akan diambil sampel untuk diukur

nilai NDVI lapangan dengan menggunakan rotating-kamera digital merk NIKON yang

dibidik ke tajuk pohon. Perhitungan NDVI lapangan didasarkan atas perbedaan jumlah pixel

dari penutup tajuk (daun dan ranting atau cabang pohon) (Macfarlane et al.,2007). Rumus

yang digunakan merupakan perbandingan antara luas tutupan tajuk yang dinyatakan dengan

satuan piksel dengan jumlah total piksel yang sekaligus merupakan resolusi yang dimiliki

oleh kamera yaitu sebesar ± 4 megapiksel.

gT adalah jumlah pixel total tutupan tajuk

Pemilihan plot pengukuran dilakukan berdasarkan sampel yang dipilih dengan cara

stratified purposive sampling, yang artinya pengambilan sampel dilakukan pada perwakilan

tiap tipe hutan, dimana pemilihan plot pengukuran ditentukan berdasarkan kemudahan dalam

aksesibilitas.

Dasar pembuatan plot pengukuran adalah dengan mengacu pada resolusi spasial citra

MODIS yaitu 1km. Untuk memudahkan pengukuran, setiap plot ukur (satu piksel 1km x

1km) diambil tiga titik yang dibuat dalam satu garis diagonal, dengan tujuan supaya mampu

mewakili kondisi tutupan satu piksel.

Halaman | 7

Gambar 2. Ilustrasi Plot Sampling NDVI

Hasil cek lapangan selanjutnya akan digunakan sebagai dasar perbaikan nilai NDVI

pada citra MODIS. Nilai hasil koreksi NDVI inilah yang selanjutnya digunakan sebagai dasar

analisis dinamika produktivitas tiap kelas hutan di jawa.

Hasil dan Pembahasan

Sebelum dilakukan analisis dinamika produktivitas, nilai NDVI citra MODIS

dilakukan revisi dengan menghitung korelasi antara nilai NDVI citra dengan hasil

pengukuran dilapangan. Hasil dari pengukuran lapangan di 60 titik lokasi (lihat gambar 2)

yang tersebar di wilayah jawa, diperoleh hasil perhitungan algoritma baru untuk hutan

tanaman (Deciduous Forest) adalah : dan untuk hutan selain

hutan tanaman (Mixed forest) adalah dengan nilai Rsquare 0,64.

Gangguan awan pada citra MODIS diduga sebagai penyebab rendahnya korelasi antara nilai

NDVI di citra dengan pengukuran di lapangan.

Titik sampling

1 Km

1 K

m

Halaman | 8

Gambar 2. Peta lokasi pengukuran NDVI lapangan

Hasil NDVI citra terkoreksi selanjutnya digunakan sebagai unit analisis dinamika

produktivitas tiap tipe hutan. Sebagai dasar pengukuran, dipilih sampel pixel di tiap tipe

hutan sebagai representasi nilai produktivitas tiap tipe hutan. Jumlah sampel adalah 30 di tiap

tipe hutan. Dasar penentuan tipe hutan di Jawa adalah menggunakan peta tipe hutan dari

BPKH XI yang kemudian dilakukan proses deliniasi ulang dengan menggunakan dasar citra

MODIS dan hasil cek lapangan. Tipe hutan yang berhasil diidentifikasi adalah : hutan alam,

hutan sekunder, hutan tanaman, hutan rakyat, dan hutan mangrove sekunder (lihat gambar 3).

Gambar 3. Peta Sebaran Tipe Hutan di Jawa

Halaman | 9

Hasil analisis data menunjukkan bahwa hutan tanaman memiliki nilai produktivitas

yang paling tinggi dibandingkan dengan kelas hutan yang lain. Secara berurutan nilai

produktivitas tiap kelas hutan di jawa adalah : hutan tanaman, hutan sekunder, hutan primer,

hutan mangrove sekunder, dan terakhir hutan rakyat. Rendahnya nilai produktivitas hutan

rakyat dibandingkan kelas hutan lain cukup mengejutkan karena hutan rakyat dianggap

sebagai tipe hutan dengan potensi cadangan karbon tinggi. Namun, dalam hal ini nilai

produktivitas hutan rakyat paling rendah dibandingkan kelas hutan lain terutama karena

fluktuasi produktivitasnya yang cukup tinggi. Berdasarkan pada gambar 4., tampak bahwa

fluktuasi hutan rakyat terutama disebabkan kondisi penurunan nilai pada periode tahun 2008,

sementara kelas hutan yang lain relatif stabil.

Tabel 2. Dinamika produktivitas dengan pendekatan NDVI MODIS

kelas hutan di jawa periode tahun 2006 -2010

Kelas

Hutan

tahun Rata-rata

Std

Deviasi 2006 2007 2008 2009 2010

HT 0,884884 0,886368 0,885129 0,88647 0,887484 0,886067 0,000953

HS 0,775225 0,775673 0,775299 0,775703 0,776009 0,775582 0,000287

HP 0,774932 0,775141 0,775232 0,775732 0,775966 0,775401 0,000386

HMS 0,774943 0,775054 0,774332 0,775841 0,775923 0,775218 0,000595

HR 0,773072 0,772046 0,770147 0,772964 0,774246 0,772495 0,001366

Rata-rata 0,796611 0,796856 0,796028 0,797342 0,797926 0,796953

Std Deviasi 0,049353 0,050059 0,049854 0,049839 0,05007

Sumber : Pengolahan data primer (2011)

Gambar 4. Grafik Dinamika Kelas Hutan di Jawa selama periode 2006 - 2010

Apabila kondisi dinamika produktivitas dipantau tiap bulan pada tiap tipe hutan, maka

akan memunculkan data-data yang cukup menarik. Kondisi produktivitas hutan rakyat yang

Halaman | 10

cenderung turun pada tahun 2008, ternyata disebabkan kondisi perubahan yang cukup

mencolok pada bulan Juli, 2008 (lihat gambar 5).

Selain hutan rakyat, fenomena cukup menarik juga terjadi pada hutan tanaman

terutama pada periode tahun 2007. Dari gambar 5 terlihat bahwa pada periode tersebut,

produktivitas hutan tanaman sempat mengalami penurunan pada bulan Februari, dan

mengalami kenaikan cukup signifikan pada bulan desember. Kondisi ini juga dialami oleh

tipe hutan sekunder, walaupun signifikansinya tidak sebesar hutan tanaman.

Gambar 5. Grafik dinamika produktivitas per bulan pada tiap kelas hutan di jawa

Halaman | 11

Untuk menjelaskan fenomena dinamika produktivitas tiap tipe hutan, maka dilakukan

pendugaan faktor penyebab fenomena tersebut. Karena pendugaan dari faktor manusia sulit

dilakukan, maka pendugaan dari faktor alam dilakukan dengan dasar penduga adalah data

iklim se-jawa selama periode tahun 2006 – 2009. Data iklim yang berhasil dikumpulkan

adalah data klimatologi dari 22 stasiun cuaca yang tersebar di Jawa (sumber : World

Meteorological Organization-WMO, 2011). Data tersebut meliputi : suhu udara, suhu titik

embun, kelembaban relatif, kecepatan angin, dan curah hujan. Data tahun 2010 tidak tersedia,

sehingga analisis dilakukan dengan hanya menggunakan data klimatologi hingga tahun 2009.

Hasil analisis korelasi bivariat terhadap parameter-parameter klimatologi dengan nilai

produktivitas, diperoleh data bahwa seluruh parameter-parameter klimatologi tersebut

memiliki korelasi non-linier dengan nilai produktivitas. Hubungan dua variabel tersebut

(terutama curah hujan dengan produktivitas) ternyata mampu dijelaskan dengan baik oleh

regresi polynomial orde 2 dengan nilai Rsquare > 0,80 (lihat gambar 6). Hubungan variabel

produktivitas dan curah hujan yang berbentuk kurva parabolik menunjukkan bahwa kondisi

produktivitas optimal dicapai pada kondisi curah hujan tertentu saja, dalam hal ini rata-rata

CH adalah 3,5 ± 0,25 mm/hari.

Gambar 6. Regresi polinomial antara rata-rata produktivitas dan rata-rata curah hujan selama

periode tahun 2006 – 2009 tiap tipe hutan di Jawa

Dengan memperhatikan data curah hujan harian rata-rata se-jawa, maka dapat

diketahui bahwa produktivitas optimal pada tahun 2007-2009 terjadi pada periode bulan Juni

dan awal oktober, sedangkan pada tahun 2006 terjadi pada awal juli dan bulan november

Halaman | 12

(lihat gambar 7 dan 8). Pada tahun 2008 terjadi durasi produktivitas yang cukup panjang pada

bulan mei – juni. Kondisi ini menunjang pertumbuhan yang optimal.

Gambar 8. Fluktuasi curah hujan harian rata-rata di Jawa pada periode 2006 – 2009

Gambar 7. Perbandingan Fluktuasi curah hujan harian rata-rata tiap bulan selama

periode 2006 - 2009

Dengan merujuk pada hasil korelasi antara produktivitas dan klimatologi, maka

fenomena fluktuasi produktivitas pada periode tahun 2007 dan 2008 dapat dijelaskan. Pada

periode tersebut, terjadi kondisi cuaca yang kurang mendukung produktivitas ekosistem

secara optimal, yaitu durasi hujan yang terjadi cukup panjang. Produktivitas kembali normal

pada periode tahun 2009-2010, namun trend menunjukkan bahwa pada akhir periode 2010

menuju tahun 2011 akan mengalami fluktuasi kembali. Selain didukung data tersebut diatas,

hasil laporan dari WMO (WMO press release No.791) juga menjelaskan bahwa pada periode

Halaman | 13

tahun 2007 – 2008 terjadi cuaca ekstrim global. Dari hal tersebut kemudian dapa disimpulkan

bahwa produktivitas ekosistem hutan sangat terpengaruh terhadap kondisi lingkungan (curah

hujan). Produktivitas ekosistem akan menurun apabila terjadi cuaca ekstrim (basah dan

kering).

Kesimpulan

1. Dinamika produktivitas ekosistem hutan dapat diukur dengan memperbandingkan nilai

NDVI sebagai indikator produktivitas ekosistem hutan

2. Spesifikasi citra MODIS yang memiliki resolusi temporal tinggi (1-2 harian) dan resolusi

spasial 1 km sangat sesuai untuk digunakan sebagai media monitoring produktivitas

ekosistem hutan pada skala regional.

3. Hasil pengukuran dinamika produktivitas ekosistem tiap tipe hutan di Jawa menunjukkan

bahwa hutan tanaman merupakan tipe hutan dengan produktivitas paling tinggi yang

diikuti hutan sekunder, hutan primer, hutan mangrove sekunder, dan terakhir hutan

rakyat.

4. Hasil analisis korelasi bivariat antara produktivitas dan data curah hujan diperoleh

informasi bahwa curah hujan memiliki korelasi non-linier dengan nilai produktivitas.

Hubungan curah hujan dengan produktivitas ekosistem hutan ternyata mampu dijelaskan

dengan baik oleh regresi polynomial orde 2 dengan nilai Rsquare > 0,80.

5. Produktivitas ekosistem tiap tipe hutan di jawa mencapai optimal pada kondisi rata-rata

CH adalah 3,5 ± 0,25 mm/hari.

6. Produktivitas ekosistem optimal pada tahun 2007-2009 terjadi pada periode bulan Juni

dan awal oktober, sedangkan pada tahun 2006 terjadi pada awal juli dan bulan november.

Pada tahun 2008 terjadi durasi produktivitas yang cukup panjang pada bulan mei – juni

yang menunjang produktivitas ekosistem hutan yang optimal.

7. produktivitas ekosistem hutan sangat terpengaruh terhadap kondisi lingkungan (curah

hujan). Produktivitas ekosistem akan menurun apabila terjadi cuaca ekstrim (basah atau

kering)

Halaman | 14

Daftar Pustaka

Brown, S., A.J.R. Gillespie and A.E. Lugo. 1989. Biomass estimation methods for tropical

forests with applications to forest inventory data. Forest Science 35(4):8881 – 902

Dafang, Zhuang, Liu Ronggao, and Shi Runhe. 2004. Multi-Temporal MODIS Data Product

For Carbon Cycles Research. Terrapub : Global Environmental Change in the Ocean

and on Land, Eds., M. Shiyomi et al., pp. 441–451.

Danoedoro, P., 1996. Pengolahan Citra Digital : Teori dan Aplikasinya dalam Bidang

Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

David P. Turner et al. 2006. Evaluation of MODIS NPP and GPP products across multiple

biomes. Remote Sensing of Environment 102 (2006) 282–292

Hansen, M., R. DeFries, et al. 2000. Global land cover classification at the 1km spatial

resolution using a classification tree approach. International Journal of Remote

Sensing 21: 1331-1364.

Holben, B., & Justice, C. 1981. An Examination of Spectral Band Ratioing to Reduce the

Topographic Effect in Remotely Sensed Data. International Journal of Remote Sensing,

2, 115 – 133

http://earthobservatory.nasa.gov

http://modis.gsfc.nasa.gov

http://www.wmo.int/pages/mediacentre/press_releases/pr_791_en.html

IPCC. 2003. Good Practice Guidance for Landuse, Landuse Change and Forestry

Janssen, L.F.L and Huurneman C.G. 2001. Principles of Remote Sensing. ITC Educational

Texbooks Series. ITC, Enshede, Netherlands

Jeffrey T. Morisette, Jeffrey L. Privette, Christopher O. Justice, 2002, A framework for the

validation of MODIS Land products. Remote Sensing of Environment, Volume 83,

Issues 1-2, November 2002, Pages 77-96

Jensen, J.R. 2000. Remote Sensing of The Environmental Earth Resource Prespective.

Prentice hall. New Jersey - USA

John S. Kimball et al. 2009. A Satellite Approach to Estimate Land–Atmosphere CO2

Exchange for Boreal and Arctic Biomes Using MODIS and AMSR-E. IEEE

Transactions on Geoscience And Remote Sensing , Vol. 47, No. 2, February 2009

Halaman | 15

La Puma, I.P., T.E.Philippi, and S.F. Oberbauer. 2007. Development of a global

evapotranspiration algorithm based on MODIS and Global Meteorology Data.

Remote Sensing of Environment, 109, 225 - 236

Lillesand, F.M., and R.W. Kiefer. 1994. Remote Sensing and Image Interpretation. Third

Edition. John Wiley and Sons. New York – USA

Macfarlane, C., Hoffman, M., Eamus, D., Kerp, N., Higginson, S., McMurtrie, R. & Adams,

M.. 2007. Estimation of Leaf Area Index in Eucalypt Forest Using Digital

Photography. Agricultural and Forest Meteorology, 143 (3-4) : 176 - 188

McGwire, K., Minor, T., and Fenstermaker, L. 2000. Hyperspectral Mixture Modelling for

Quantifying Sparse Vegetation Cover in Arid Environment. Remote Sensing of

Environment, 72(3), 360 - 374

Myneni, R.B., and D.L. Williams. 1994. On the Relationship Between FAPAR and NDVI.

Remote Sensing of Environment, 49, 200-211.

Solicha, N., 2007. Estimating Above Ground Biomass and Carbon Stock of Forest Cover

Using Multispectral Satellites Images in Lore Lindu National Park – Central

Sulawesi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Stavros Stagakis et al. 2007. Forest Ecosystem Dynamics Using Spot And Modis Satellite

Images. Proiding ‘Envisat Symposium 2007’, Montreux, Switzerland 23–27 April

2007

Steven W. Running et al. 1999. Modis Daily Photosynthesis (PSN) And Annual Net Primary

Production (NPP) Product (Mod17)

Tucker, C.J., 1979. Red and Photographic Linear Combinations to Monitor Vegetation.

Remote Sensing and Environment, 8, 127 – 150.

Turner, D.P., Guzy, M., Lefsky, M.A., Ritts, W.D., Van Tuyl, S., Law, B.E., 2004.

Monitoring Forest Carbon Sequestration with Remote Sensing and Carbon Cycle

Modelling. Environmental Management, 33, 457 – 466

Ulumuddin, Yaya. I. 2005. Korelasi Stok Karbon Dengan Karakteristik Spektral Citra

Landsat : Studi Kasus Gunung Papandayan. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV

“Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh untuk Kesejahteraan Bangsa”. Institut

Teknologi Sepuluh Nopember : Surabaya.

Warren B cohen et al. 2007. Linking In Situ Measurements, Remote Sensing, And Models to

Validate MODIS Products Related to the Terrestrial Carbon Cycle. Big Foot Project,

funded by NASA’s terrestrial Ecology Program

Halaman | 16

Zhang, C. 2006. Monitoring Biological Heterogenity in a Northern Mixed Prairie Using

Hierarchical Remote Sensing Methods. Thesis. Saskatoon, Saskatchewan-Canada:

University of Saskatchewan

Zhuang DAFANG et al. 2004. Multi-Temporal MODIS Data Product For Carbon Cycles

Research. Global Environmental Change in the Ocean and on Land, Eds., M. Shiyomi

et al., pp. 441–451. © by TERRAPUB, 2004