Dinamika Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam

31
1 DINAMIKA PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM Oleh: Djamaluddin Perawironegoro A. Pendahuluan 1. Latarbelakang Tiga di antara temuan ilmiah terpenting di Dunia Islam yang sangat berpotensi memengaruhi perjalanan kehidupan umat Islam secara mendalam dan menyeluruh dalam memasuki abad ke -15 H, selanjutnya memasuki abad ke-21 M, adalah; (1) Problem terpenting yang dihadapi umat Islam saat ini adalah masalah ilmu pengetahuan; (2) ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai (netral) sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman manusia Barat; (3) umat Islam, oleh karena itu, perlu mengislamkan ilmu pengetahuan masa kini dengan mengislamkan symbol-simbol linguistik mengenai realitas dan kebenaran. Demikian diungkapkan oleh Syed M. Naquib Al-Attas dikutip oleh Wan Mohd Nor Wan Daud dalam The Educational Philosophy and Practice. 1 Ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan berbasis nilai, dan Islamisasi ilmu adalah hal yang memberikan perubahan pada kondisi umat Islam di masa yang akan datang. Hal ini bukan sesuatu yang mustahil, mengingat dalam sejarahnya, umat Islam pernah menjadi “leader” dalam pengembangan ilmu pengetahuan di masa kejayaannya. Islamisasi ilmu adalah perkembangan terakhir dari perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Senada dengan hal tersebut diungkapkan oleh Ismail Raji Al-Faruqi dengan Islamization of knowledge. Dalam konteks lain Imam Suprayogo menggunakan istilah Integrasi ilmu, Amin Abdullah menyebutnya dengan integrasi-interkoneksi, dan Haidar Bagir menyebutnya dengan reintegrasi. Fenomena ini bukan hanya sekedar teori dan tanpa realisasi. Ide ini dilanjutkan dengan serius oleh para pakar tersebut. Lihatlah dengan usaha Syed 1 Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed M. Naquib Al- Attas, alih bahasa Hamid Fahmi, dkk. (Bandung: Mizan, 1998), hal.317

Transcript of Dinamika Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam

1

DINAMIKA PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM

Oleh: Djamaluddin Perawironegoro

A. Pendahuluan

1. Latarbelakang

Tiga di antara temuan ilmiah terpenting di Dunia Islam yang sangat

berpotensi memengaruhi perjalanan kehidupan umat Islam secara mendalam dan

menyeluruh dalam memasuki abad ke -15 H, selanjutnya memasuki abad ke-21

M, adalah; (1) Problem terpenting yang dihadapi umat Islam saat ini adalah

masalah ilmu pengetahuan; (2) ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai (netral)

sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan

filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman manusia Barat; (3) umat

Islam, oleh karena itu, perlu mengislamkan ilmu pengetahuan masa kini dengan

mengislamkan symbol-simbol linguistik mengenai realitas dan kebenaran.

Demikian diungkapkan oleh Syed M. Naquib Al-Attas dikutip oleh Wan Mohd

Nor Wan Daud dalam The Educational Philosophy and Practice.1

Ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan berbasis nilai, dan Islamisasi ilmu

adalah hal yang memberikan perubahan pada kondisi umat Islam di masa yang

akan datang. Hal ini bukan sesuatu yang mustahil, mengingat dalam sejarahnya,

umat Islam pernah menjadi “leader” dalam pengembangan ilmu pengetahuan di

masa kejayaannya.

Islamisasi ilmu adalah perkembangan terakhir dari perkembangan ilmu

pengetahuan dalam Islam. Senada dengan hal tersebut diungkapkan oleh Ismail

Raji Al-Faruqi dengan Islamization of knowledge. Dalam konteks lain Imam

Suprayogo menggunakan istilah Integrasi ilmu, Amin Abdullah menyebutnya

dengan integrasi-interkoneksi, dan Haidar Bagir menyebutnya dengan reintegrasi.

Fenomena ini bukan hanya sekedar teori dan tanpa realisasi. Ide ini

dilanjutkan dengan serius oleh para pakar tersebut. Lihatlah dengan usaha Syed

1 Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed M. Naquib Al-

Attas, alih bahasa Hamid Fahmi, dkk. (Bandung: Mizan, 1998), hal.317

2

M. Naquib Al-Attas dengan mendirikan ISTAC (International Institute of Islamic

Thought and Civilization) di Malaysia sejak tahun 1987. Al-Attas juga

membangun budaya organisasi lembaga dengan merancang dan mendesain

bangunan kampus ISTAC, termasuk auditorium dan masjid dengan lanskap dan

dekorasi interior yang bercirikan seni arsitektur Islam yang dikemas dalam

sentuhan tradisional dan gaya cosmopolitan.

Imam Suprayogo menggagas Integrasi ilmu yang diwujudkan dalam

symbol Pohon Ilmu UIN Malang. Dimana Bahasa Arab dan Inggris, Pancasila,

Filsafat, Ilmu Alamiah Dasar, dan Ilmu Sosial Dasar sebagai “akar”. Al-Qur‟an

dan Sunnah, Sirah Nabawiyah, Pemikiran Islam, dan Masyarakat Islam sebagai

batang pohon. Dan Psikologi, Fisika, Kimia, Informatika, Arsitektur, Matematika,

Biologi, Humaniora, Budaya, Tarbiyah, Al-Akhwal Al-Syakhsiyah. Symbol

tersebut tidak sekedar symbol, namun menjadi kurikulum dalam pengembangan

UIN Malang. Sebagai contoh, wujud integrasi ilmu seorang cendekia harus

memiliki kunci yang digunakan untuk membuka khazanah ilmu pengetahuan

tersebut, dan kunci tersebut adalah bahasa, maka penguasaan bahasa mutlak

dibutuhkan. Sehingga untuk menunjang penguasaan bahasa, setiap mahasiswa

diwajibkan untuk mengikuti program bahasa selama setahun di asrama.

Amin Abdullah dengan integrasi-interkoneksi UIN Sunan Kalijaga dengan

symbol jarring laba-laba. Dimana klasifikasi dari setiap tingkatan perkembangan

ilmu pengetahuan berdasarkan atas perkembangan ilmu pengetahuan dalam

perspektif sejarah Islam. Dapat dilihat dalam gambar jaring laba-laba tersebut, di

tengah-tengah sebagai sumber adalah Al-Qur‟an dan Sunnah hingga pada 5

tingkatan lebih luas. Ide tersebut diwujudkan di antaranya dalam bukti fisik

artefak bangunan di UIN Sunan Kalijaga yang saling terkait antara satu gedung

fakultas dengan gedung fakultas lainnya, sebagai gambaran kesatuan dan

keterkaitan antara satu ilmu pengetahuan dan pengetahuan yang lain.

Hal ini menjadi menarik, jika para sarjana mengetahui dinamika

perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Sehingga para cendekiawan yang

disiapkan oleh lembaga pendidikan Islam memahami dengan baik “sangkan

paraning dumadi” dari ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam di masa-masa

3

awal hingga saat ini. Dengan pengetahuan tersebut, para pengelola lembaga,

pendidik, dan para stakeholder memahami arah dan tujuan yang akan dicapai

umat Islam.

2. Fokus Kajian

Dengan latarbelakang tersebut, diharapkan kajian ini memberikan

gambaran tentang hal-hal berikut:

a. Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam

b. Hakikat ilmu pengetahuan dalam Islam

c. Pembagian ilmu pengetahuan dalam Islam

d. Tokoh-tokoh perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam

B. Pembahasan

1. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam

Masa Rasulullah dan Para Sahabat

Ilmu pengetahuan menjadi perhatian yang sangat besar pada masa

Rasulullah Saw. Perhatian tersebut diwujudkan dalam berbagai tindakan di

antaranya adalah:

a. Bahwa wahyu yang pertama kali adalah iqra’ yang berarti bacalah dengan

nama Tuhanmu yang menciptakan alam semesta, memiliki pemahaman

untuk senantiasa belajar dan mencari tahu hakikat dari seluruh alam

semesta yang diciptakan-Nya. Dan membaca itulah sebagai kunci untuk

membuka ilmu pengetahuan.

b. Masyarakat Arab pada saat itu memiliki kelebihan dalam kuatnya hafalan.

Rasulullah Saw menggunakan keunggulan tersebut, dengan

memerintahkan kepada sebagian sahabat untuk menghafal al-Qur‟an.

Tidak hanya itu, beberapa sahabat menyimak, memperhatikan, dan

menanyakan tentang segala sesuatu untuk diketahui kepada Rasulullah

Saw atas apa yang ada pada ayat-ayat Al-Qur‟an. Kelak ucapan, tindakan,

dan keputusan Rasulullah Saw, menjadi sandaran dan sumber bagi ilmu

pengetahuan. Demikian itu sudah ditegaskan dalam Al-Qur‟an bahwa pada

4

dirinya adalah suri tauladan, dan dalam suatu riwayat disebutkan bahwa

prilaku Rasulullah Saw adalah Al-Qur‟an

c. Rasulullah Saw memerintahkan untuk para sahabat menuliskan Al-Qur‟an

selain dengan menghafalkannya. Dengan keterbatasan para sahabat yang

pandai menulis dan membaca, maka saat terdapat tawanan setelah perang

Badar, tawanan yang sanggup untuk membaca dan menulis tebusannya

adalah mengajarkan 10 orang tulis dan baca.

d. Pada masa itu bangsa Arab tidak memiliki sumber ilmu pengetahuan.

Dengan masuknya agama Islam, ilmu pengetahuan bersumber pada Al-

Qur‟an dan Sunnah Nabi. Di dalam Al-Qur‟an terdapat berbagai kisah

Nabi terdahulu, Hukum-hukum, Sifat-sifat Allah Swt, dan Pengetahuan

tentang alam semesta. Rasulullah melengkapinya dengan penjelasan-

penjelasan yang sesuai untuk zaman itu.

Setelah wafatnya Nabi Saw, Sahabat-sahabat Nabi menjadi sumber

rujukan ilmu pengetahuan. Orang-orang yang ingin mendapatkan ilmu

pengetahuan mereka datang kepada para Sahabat. Para sahabat tersebut

menyampaikan apa yang didapatkan dan difahaminya dari Nabi. Penjelasan para

sahabat atas Al-Qur‟an itulah yang disebut tafsir. Pada saat itu ilmu yang

berkembang adalah ilmu tafsir, qiraat, fiqh, qada (kehakiman), faraidh, dan ilmu

hadits. Sampai disini kiranya dapat dimengerti bahwa antara tafsir dan hadits

merupakan satu kesatuan, atau lebih tepat dikatakan tafsir merupakan bagian dari

hadits pada periode ini.2

Diantara para sahabat yang pandai atau ahli adalah Umar bin Khattab, Ali

bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas‟ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan

Aisyah.

Pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab, Islam menyebar luas.

Penyebaran tersebut berakibat pada semakin bertambahnya jumlah muslimin

dengan berbagai latar belakang, bercampurnya antara bangsa Arab dan „Ajam,

pertemuan dengan berbagai budaya dan peradaban di daerah penaklukan,

memerlukan tenaga da‟wah yang menjelaskan urusan-urusan agama pada

2 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 306

5

masyarakat baru tersebut. Keragaman masyarakat muslim berdampak pada

tuntutan untuk memberikan penjelasan yang dialogis dengan kalangan muslim

yang masih baru.

Diantara Peristiwa-peristiwa ilmiah yang penting pada masa

khulafaurrasyidin, yang memberikan dampak pada perkembangan ilmu

pengetahuan pada masa-masa berikutnya adalah:

a. Pengumpulan Al-Qur‟an yang merupakan hasil dari usaha dua khalifah

Abu Bakar dan Utsman sebab ditakutkan penghafal-penghafal al-Qur‟an

nanti akan meninggal dunia dan hilanglah Al-Qur‟an bersama mereka.

b. Pengumpulan apa yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw baik perkataan,

perbuatan, ataupun keputusan supaya jangan hilang atau dipalsukan orang.

c. Permulaan pembukuan ilmu nahwu¸sebaba sudah mulai muncul dialek

(accent) yang aneh di kalangan orang-orang peranakan.

d. Para ulama mempelopori usaha penafsiran Al-Qur‟an ketika ternyata rasa

seni sastra Arab di kalangan orang-orang yang baru masuk Islam itu mulai

melemah.3

Berbagai usaha tersebut menjadi dasar atas perkembangan ilmu pengetahuan di

masa yang akan datang. Al-Qur‟an yang telah dikumpulkan secara terpisah dari

Hadits Nabi, memberikan kejelasan mana yang menjadi wahyu Allah Swt. dan

sabda Rasulullah Saw. Dengan demikian, Al-Qur‟an dapat dijadikan dasar tentang

pengembangan kajian ilmu bahasa, karena Al-Qur‟an jauh dari kesalahan bahasa.

Demikian juga halnya dalam Hadits Nabi Saw. yang darinya berkembang ulumul

hadits.

Masa Dinasti Umawiyyah

Sebelum munculnya dinasti Umawiyyah terjadi dua cobaan besar pada

umat Islam, pertama terbunuhnya khalifah ke-3 Utsman bin Affan dan para

sahabat menuntut untuk mencari tahu dalang dari pembunuhan tersebut. Kedua,

timbulnya perselisihan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu‟awiyah bin Abi

3 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke 21, (Jakarta: Radar Jaya, 1988), hal.

6-7

6

Sufyan, dalam kejadian itu terdapat apa yang dikenal dengan istilah tahkim. Yang

pada akhirnya menyebabkan Ali bin Abi terbunuh dan muncullah kerajaan

Umawiyah di bawah Mu‟awiyah bin Abi Sufyan.

Dari perselisihan tersebut muncul berbagai firqah dalam aqidah, seperti

Khawarij, Syi‟ah, Ahlu Sunnah, Jabariyah, Qadariyah, dan lain-lain. Dalam

rangka memberikan status atas keputusan khalifah. Setelah kondisi aman, ilmu

pengetahuan pun berkembang dan ilmu pengetahuan pun disusun secara

sistematis, untuk ukuran saat itu. Sehingga pembidangan ilmu tersusun sebagai

berikut:

a. Ilmu pengetahuan bidang agama yaitu, segala ilmu yang bersumber dari

Al-Qur‟an dan Hadits.

b. Ilmu pengetahuan bidang sejarah yaitu, segala ilmu yang membahas

tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat.

c. Ilmu pengetahuan bidang bahasa yaitu, segala ilmu yang mempelajari

bahasa, nahwu, sharaf, dan lain-lain

d. Ilmu pengetahuan bidang filsafat yaitu, segala ilmu yang pada umumnya

berasal dari bangsa asing seperti ilmu mantiq, kedokteran, kimia,

astronomi, ilmu hitung, dan ilmu lain yang berhubungan dengan ilmu-ilmu

tersebut.4

Sampai pada masa dinasti umawiyah ini belum banyak varian kajian ilmu

pengetahuan, dikarenakan gerakan terjemah belum menjadi fokus yang besar.

Namun yang patut dicatat bahwa pada dinasti bani umawiyah kemajuan padan

bidang bahasa telah sampai pada kemapanannya.

Berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan tersebut tidak terbatas pada

aspek ontology dari ilmu-ilmu tersebut. Para ilmuwan muslim juga turut

mengembangkan pada aspek epistimologi dan aksiologi dari ilmu-ilmu tersebut.

Sehingga yang terjadi adalah tidak terbatas pada penulisan dan pemindahan ilmu,

tetapi juga terjadi proses analisis dari ilmu-ilmu yang baru, dan ilmu-ilmu

pengembangan.

4 Musyrifah Sunanto, Sejarah IslamKlasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta:

Kencana, 2004), hal. 42

7

Masa Dinasti Abbasiyah

Kesuksesan Dinasti Bani Umawiyah yang dapat menaklukkan wilayah-

wilayah kerajaan Romawi dan Persia, segera disusul dengan prestasi yang lebih

hebat lagi dalam penaklukan bidang ilmu pada abad berikutnya. Penelaahan ilmu

yang telah dilakukan pada zaman Bani Umawiyah menjadi usaha yang

dioptimalkan pada Bani Abbasiyah.

Gerakan membangun ilmu besar-besaran dirintis oleh khalifah Ja‟far al-

Mansur. Setelah mendirikan kota Bagdad dan menjadikannya ibu kota Negara. Ia

menarik ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di

Baghdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti fiqh, tafsir,

tauhid, hadits, atau ilmu lain seperti ilmu bahasa dan sejarah. Akan tetapi yang

lebih mendapat perhatian adalah penerjemahan ilmu yang berasal dari luar.5

Dengan pertemuannya dengan berbagai peradaban dan kebudayaan

termasuk di dalamnya adalah peradaban Yunani yang tercermin dalam peradaban

Romawi dan Persia. Ilmu-ilmu semakin berkembang, selain itu juga detail

menjadi beragam. Diantara ilmu-ilmu yang dikelola dan berkembang pada Dinasti

Bani Abbasiyah adalah:

A. Pengetahuan agama dan Syar‟iyah: Ilmu tafsir Al-Qur‟an, Ilmu Bacaan,

Ilmu Hadits, Ilmu Musthalahul Hadits, Imu Fiqh, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu

Kalam, dan Ilmu Tasawuf.

B. Ilmu-Ilmu Bahasa dan Sastera: Ilmu Bahasa, Ilmu Nahwu, Sharaf, dan

„Arudh, Ilmu Sastra, Ilmu Balaghah, dan Ilmu Kritik Sastra.

C. Ilmu-ilmu Sejarah dan Sosial: Ilmu Sirah (Peperangan, dan Biografi), ilmu

Sejarah politik dan sosial, Ilmu Jiwa (Pendidikan, Akhlak, Sosiologi,

Ekonomi, Politik, dan Tatalaksana), Ilmu Geografi dan Perencanaan Kota.

D. Ilmu-ilmu Falsafah, Logika, Debat, dan Diskusi.

E. Ilmu-ilmu Bahts; Ilmu Matematika, Ilmu Falak, dan Ilmu Musik

F. Ilmu Kealaman dan Eksperimental; Ilmu Kimia, Ilmu Fisika, dan Ilmu

Biologi.

5 Musyrifah Sunanto, Sejarah IslamKlasik;hal. 57

8

G. Ilmu-ilmu Terapan Praktis; Ilmu Kedokteran, Ilmu Farmasi, dan Ilmu

Pertanian.6

Pada masa tersebut muncul banyak tokoh-tokoh dan ahli dalam berbagai

ilmu pengetahuan. Menariknya, adalah dalam satu tokoh tertentu memiliki

penguasaan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yang lain, utamanya adalah

ilmu-ilmu agama. Artinya bahwa pada saat tersebut tidak terjadi dikotomi ilmu

pengetahuan. Sehingga model kesatuan ilmu pengetahuan yang bersumber dari

Al-Qur‟an dan Sunnah meberikan motivasi untuk membaca dan menganalisa lebih

dalam akan makna yang terkandung dalam Islam.

Masa Kemunduran

Zaman kemunduran diungkapkan oleh Musyrifah Sunanto terjadi ketika

kekuasaan keturunana Mongol berakhir pada tahun 1525. Zaman ini diawali

dengan kemajuan bidang politik tiga kerajaan bear: Usmaniyah, Shafawiyah,

Mughol, India, sesudah itu seluruh Dunia Islam mundur secara berangsur-angsur

dan akhirnya jatuh di bawah kekuasaan Barat.7 Ciri-ciri dari masa ini adalah:

Pintu ijtihad seakan-akan tertutup, Putusnya hubungan antar Ulama, dan Zaman

ikhtiar dan Syarah.

Pemindahan pemikiran rasional dan ilmu pengetahuan yang berkembang

dalam Islam ke Eropa, menurut Harun Nasution melalui 3 jalur:

a. Andalus yang mempunyai universitas-universitas yang dikunjungi oleh

orang-orang Eropa, seperti Michael Scot, Robert Chester, Adelard Barth,

Gerard dari Cremona dan lain-lain. Toledo mempunyai peranan penting

dalam hal ini.

b. Sisilia pernah dikuasai oleh Islam dari tahun 831 sampai tahun 1091,

ketika pulau itu jatuh ke tangan kaum Norman di bawah pimpinan Roger.

Di pulau ini pengetahuan juga berkembang di tangan ulama-ulama Islam,

bukan pada zaman kekuasaan Islam saja, tetapi juga pada zaman

kekuasaan Norman. Sebagaimana halnya di Toledo, Spanyol, Palermo, ibu

6 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam, hal. 11-12

7 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, hal. 88

9

kota Sisilia terdapat pula kegiatan penerjemahan buku-buku ulama ke

dalam Bahasa Latin. Di sini buku-buku yang ditejemahkan itu dibawa ke

Eropa bagian Selatan, suatu hal yang melahirkan Renaissans Itali.

c. Perang Salib, bila diperbandingkan dengan kedua jalur di atas, peranannya

dalam memindahkan ilmu pengetahuan Islam ke Barat tidak besar. Tetapi,

di Suriah terjadi juga penerjemahan buku-buku, Rumah-rumah sakit, dan

pemandian-pemanidian umum, yang banyak dijumpai orang-orang Barat

di Suriah pada waktu itu, muncul pula di Eropa.8

Perpindahan ilmu pengetahuan ke Eropa merupakan suatu proses dialogis

antara masyarakat muslim dengan masyarakat Eropa. Yang pada saat itu,

masyarakat muslim dengan daerah kekuasaannya mencakup beberapa daerah di

Andalusia dan Sisilia memberikan kesempatan kepada masyarakat Eropa untuk

belajar ilmu yang dimiliki oleh masyarakat muslim. Proses transformasi ilmu ini

menjadi dasar atas kebangkitan masyarakat Eropa yang dikenal dengan

Renaissance. Beberapa peneliti Barat mengungkapkan akan hutang budi

masyarakat Eropa terhadap peradaban Islam yang mengembangkan ilmu

pengetahuan dengan damai dan toleran.

Masa Kebangkitan

Sains dalam pengertiannya yang modern adalah pengembangan dari

filsafat alam yang merupakan bagian dari filsafat yang menyeluruh dalam

khazanah keilmuan Yunani. Namun, filsafat Yunani terlalu deduktif, yang lebih

berdasarkan pada pemikiran spekulatif.9 Barat yang mewarisi hal tersebut

memisahkannya dengan agama, terlebih kegagalan agama Kristen dalam

mendiskusikan antara ilmu dan agama. Yang terjadi adalah sekulerisasi sains yang

diikuti sekularisasi politik ternyata melahirkan peradaban Barat yang kuat secara

ekonomi militer, berbasis sains dan teknologi.

Sekularisasi tersebut menimbulkan masalah. Masalahnya adalah dampak

negative pada kehidupan manusia dan lingkungannya. Dan salah satu dampaknya

8 Harun Nasution, Islam Rasional, hal. 301-302

9 Armahedi Mahzar, Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sanis dan Teknologi

Islami, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 210

10

adalah ketidakharmonisan antara sains dan agama. Dalam ketidakharmonisan

tersebut yang terjadi adalah konflik dan independensi. Meminjam istilah Ian G.

Barbour, tentang kesenjangan antara Ilmu dan agama pada empat tahapan yaitu

konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi.10

Kritik dimunculkan oleh Sayyed Hossein Nasr yang menekankan

perbedaan antara sains Islam tradisional pada masa kejayaan Islam yang

paradigmanya sama sekali berbeda dengan sains Barat modern yang sekuler.

Sayyid M. Naquib Al-Attas, Ismail Raji Al-Faruqi, diantaranya yang

memunculkan paradigma baru yaitu Islamisasi Ilmu.

Integrasi sains dan agama dapat dilakukan dengan mengambil inti filosofis

ilmu-ilmu keagamaan fundamental Islam sebagai paradigm sains masa depan. Inti

filosofis itu adalah adanya hirarki epistimologis, aksiologis, kosmologis, dan

teologis yang berkesesuaian dengan hierarki integralisme; materi, energy,

informasi, nilai-nilai dan sumber. Proses integrasi ini dapat dianggap sebagai

bagian dari proses Islamisasi peradaban masa depan.11

2. Hakikat Ilmu Pengetahuan Dalam Islam

Syamsuddin Arif menyebutkan beberapa definisi ilmu menurut para

ulama‟ sebagai berikut:

a. Al-Raghib al-Isfahani (w.443/1060), dalam karyanya Kamus Istilah

Qur’an, ilmu didefinisikan sebagai “persepsi suatu hal dalam hakikatnya”

(al-‘ilm idrak al-Shay’ bi-haqiqatihi).

b. Imam Al-Ghazali (w.505/1111), yang memberikan definisi ilmu

“pengenalan sesuatu atas dirinya” (ma’rifat al-Shay ‘ala ma huwa bihi).

c. Athir al-Din al-Abhari (w.663/1264), yang memberikan definisi ilmu

adalah menghampirnya “gambar” suatu benda dalam pikiran. Yang

demikian pula Ibnu Sina (w.428/1037) mendefinisikan.

10

Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, (Bandung : Mizan, 2002), hal.

39-42 11

Rasmianto, Relasi Agama dan Sains dalam Studi Islam di PTAI, dalam Ulul Albab Jurnal Studi

Islam, Vol.9. No. 1. 2008, hal. 18

11

d. Al-Sharif al-Jurjani (w.816/1413) dalam bukunya Ta’rifat mendefinisikan

ilmu sebagai tibanya minda12

pada makna sesuatu.

e. Syed M. Naquib Al-Attas dalam The Concept of Education in Islam,

menyebutkan ilmu adalah “tibanya makna dalam jiwa, sekaligus tibanya

jiwa pada makna”.

f. Ibnu „Arabi (w.638/1240) mendefinisikan ilmu sebagai penerimaan mental

atas (ilmu tentang) segala hal dalam batas dirinya apa adanya (tahsil al-

qalb amran ma ‘ala had ma huwa ‘alayhi dhalika al-amr).13

Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany dalam “Falsafah at-Tarbiyah

al-Islamiyah” menyebutkan lima prinsip dasar teori pengetahuan dalam pemikiran

Islam, yaitu; Pertama, Percaya pada pentingnya pengetahuan (makrifah) sebagai

salah satu tujuan pokok; Kedua, Percaya bahwa pengetahuan manusia adalah

maklumat, fikiran-fikiran, pengertian-pengertian, tafsiran-tafsiran yang diyakini,

hukum-hukum, tanggapan-tanggapan, gambaran yang pasti yang kita capai

tentang sesuatu sebagai akibat kita menggunakan panca indra kita, atau akal kita,

atau kedua-duanya sekali, atau sebagai akibat dari suatu yang kita peroleh melalui

ilham, atau perasaan, atau penglihatan dengan mata, atau melalui kasyaf, atau

melalui ajaran agama dan diturunkan melalui wahyu ilahi; Ketiga, Percaya bahwa

pengetahuan manusia berbeda mutu dan nilainya sesuai dengan perkara, tujuan

dan jalannya. Keempat, Percaya bahwa pengetahuan manusia itu mempunyai

sumber yang bermacam-macam, yang dalam Islam merujuk pada lima sumber

pokok yaitu: indera, akal, intuisi, ilham, dan wahyu ilahi. Kelima, percaya bahwa

pengetahuan terlepas dari akal yang mengamatinya dan tersimpan di dalamnya,

dan juga benda-benda mempunyai fakta-fakta yang tetap dan mempunyai wujud

yang bebas dalam fikiran kita. Keenami, Percaya bahwa pengetahuan sebenarnya

ialah yang cukup keyakinan dan pasti, merendah diri di depan keagungan Allah

dan luasnya ilmu-Nya, sesuai dengan jiwa agama dan prinsip akhlak yang mulia

yang ditentukannya, menimbulkan rasa tenang dan tentram dalam jiwa, tepat dan

12

Minda yaitu keadaan di mana sesuatu itu tidak lagi asing bagi orang tersebut karena dikenali

oleh minda orang tersebut. 13

Syamsuddin Amir, Mendefinisiak dan Memetakan Ilmu, dalam Adian Husaini, et.al. Filsafat

Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, (Depok: Gema Insani Press, 2013), hal. 75-78

12

obyektif, dan meneguhkan amal yang baik, pengalaman yang Berjaya dan

memudahkan jalan kemajuan dan kekuatan masyarakat.14

Dari berbagai definisi tersebut dapat ditarik garis lurus, bahwa ilmu

pengetahuan dalam perspektif Islam memiliki dua kandungan makna yaitu Ilmu

pengetahuan sebagai objek, dan ilmu pengetahuan sebagai proses. Mengenai

proses mendapatkan ilmu pengetahuan, para ilmuwan muslim berhati-hati dalam

context of discovery dan context of justifikasi dari mendalami ilmu pengetahuan.

Ontologi

Di dalam Al-Qur‟an, Allah Swt memerintahkan kepada manusia untuk

menggunakan akal. Dengan akal tersebut manusia dapat meneliti dan mencari

tahu bagaimana alam semesta. Perintah untuk menggunakan akal, dan meneliti

alam semesta, menuntun manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Demikian itu

dapat ditemui dalam banyak ayat-ayat Al-Qur‟an dan Sunnah.

Quraish Shihab menyebutkan bahwa kata ilmu dengan berbagai bentuknya

terulang 854 kali dalam Al-Qur‟an. Kata ini digunakan dalam arti proses

pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Objek ilmu mencakup alam

materi dan alam nonmateri. Mengutip pendapat sufi memperkenalkan ilmu yang

mereka sebut al-hadharat al-Ilahiyah al-Khams (lima kehadiran ilahi), untuk

menggambarkan hierarki keseluruhan realitas wujud. Lima hal tersebut adalah; (1)

alam nasut (alam materi), (2) alam malakut (alam kejiwaan), (3) alam jabarut

(alam ruh), (4) alam lahut (sifat-sifat ilahiyah), dan (5) alam hahut (wujud zat

ilahi).15

Dinar Dewi Kania menyebutkan bahwa objek dari pada ilmu yang

bersumber pada al-Qur‟an yaitu alam metafisik (‘alam al-Ghayb), dan alam fisik

yang tampak (álam al-Syahadah).16

Dengan dua jenis alam tersebut,

menyebabkan ada dua jenis ilmu yang disebut dalam Al-Qur‟an, yaitu ilmu

14

Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyah, alih bahasa

Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 259-310 15

Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung:

Mizan, 2012), hal. 574 16

Dinar Dewi Kania, Objek Ilmu dan Sumber-Sumber Ilmu, dalam Adian Husaini, et.al. Filsafat

Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, (Depok: Gema Insani Press, 2013), hal.88

13

tentang alam metafisik (ma’rifah) dan ilmu tentang alam fisik (‘ilm/Science).

Menurut pendapatnya, meskipun al-Qur‟an menyebutkan perbedaan antara alam

metafisik dan fisik, namun keduanya tidak dapat dilepaskan satu dengan lainnya,

karena tujuan untuk mempelajari alam fisik adalah menunjukkan kepada ilmu

tentang alam metafisik.

Abu Hamid al-Ghazali memandang bahwa ilmu yang wajib dicari menurut

agama adalah terbatas pada pelaksanaan kewajiban-kewajiban syari‟at Islam yang

harus diketahui dengan pasti,17

yang mengacu pada ilmu tentang jalan menuju

kehidupan sesudah kematian, di sini dikategorikannya sebagai fardhu ‘ain. Yang

kemudian dibaginya dengan dimensi eksoterik (‘ilm mu’amalah) dan esoteric

(‘ilm al-mukasyafah).18

Sedangkan ilmu-ilmu yang termasuk dengan fardhu kifayah

dikategorikannya menjadi dua ilmu yaitu “ilmu agama” dan “ilmu nonagama”.

Dengan ilmu agama (‘ulum syar’i), beliau maksudkan kelompok ilmu yang

diajarkan lewat ajaran-ajaran Nabi dan Wahyu. Sedangkan yang lainnya adalah

kelompok “ilmu nonagama”. Ilmu nonagama juga diklasifikasikan menjadi tiga

yaitu terpuji (Mahmud), dibolehkan (Mubah), dan tercela (Madzmum).19

Terdapat

tiga derajat perolehan pengetahuan yaitu terbatas (iqtishar), cukup (iqtishad), dan

lanjut (istiqsha).20

Di sini pembatasan diberikan oleh Al-Ghazali dimana untuk

ilmu-ilmu fardhu ‘ain wajib diketahui walaupun dalam batas iqtishar, sedangkan

dalam ilmu fardhu kifayah tidak boleh lebih dari iqtishad. Demikian itu

dimaksudkan karena ilmu-ilmu tersebut sangat luas, dan usia manusia terbatas,

sehingga dikhawatirkan melalaikan tujuan akhirat.

Mahdi Ghulsyani berpendapat bahwa kata “ilmu” sebagaimana yanga ada

di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah nampak di dalam makna generiknya (umum)

ketimbang merujuk secara ekslusif kepada studi agama-agama. Di dalam Islam,

batasan untuk mencari ilmu hanyalah bahwa orang-orang Islam harus menuntut

17

Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, alih bahasa Agus Efendi, (Bandung:

Mizan, 1998), hal. 40 18

Osman Bakar, Hirarki Ilmu, hal. 238 19

Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains, hal. 41 20

Osman Bakar, Hirarki Ilmu, hal. 239

14

ilmu yang berguna. Islam hanya melarang orang-orang Islam dari menerjunkan

dirinya dalam mencari suatu cabang-cabang ilmu yang bahayanya lebih besar dari

manfaatnya.21

Artinya adalah bahwa mempelajari ilmu tidak terbatas pada ilmu-

ilmu syari‟ah saja, melainkan dalam berbagai ilmu pengetahuan. Meskipun tidak

semua orang harus mempelajari ilmu-ilmu alam, karena tidak semua diberikan

kelebihan untuk mengetahui dan memahami alam semesta.

Epistimologi

Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan pada umumnya terdapat dua jalan.

Yaitu melalui usaha manusia, dan ilmu yang diberikan oleh Allah Swt.

Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui usaha ada empat jenis, yaitu;

(1) Pengetahuan empiris yang diperoleh melalui indera, (2) Pengetahuan sains

yang diperoleh melalui indera dan akal, (3) Pengetahuan filsafat yang diperoleh

melalui akal, dan (4) Pengetahuan intuisi yang diperoleh melalui qalb (hati).

Sedangkan pengetahuan yang diberikan Allah Swt berupa (1) Wahyu yang

disampaikan kepada para Rasul, (2) Ilham yang diterima oleh akal manusia, dan

(3) Hidayah yang diterima oleh qalb manusia.22

Quraish Shihab menambahkan

bahwa selain dengan mata, telinga, dan pikiran sebagai sarana meraih

pengetahuan, Al-Qur‟an pun menggarisbawahi pentingnya peranan kesucian

hati.23

Mahdi Ghulsyani menyebutkan bahwa untuk memahami Alam dapat

dilakukan melalui tiga hal, yaitu: Pertama, Indera-indera eksternal (dengan indera

ini pengamatan dan eksperimen dapat dilakukan); Kedua, Intelek yang tak

terkotori oleh sifat-sifat buruk (yang menguasai kehendak-kehendak dan

khayalan-khayalan, dan bebas dari peniruan buta); Ketiga, Wahyu dan inspirasi.24

Yang dimaksud dengan intelek yaitu hati (qalb), yang dapat digunakan sebagai

alat untuk mendapatkan persepsi.

21

Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains, hal. 47 22

Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sistemis Pendidikian dan

Pemikiran Para Tokohnya, (Bandung: Kalam Mulia, 2009), hal. 78 23

Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hal. 576 24

Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains, hal. 84

15

Al-Ghazali menunjukkan dua cara berbeda dalam mendapatkan

pengetahuan. Pengetahuan yang dihadirkan bersifat langsung, serta-merta,

suprarasional, intuitif, dan kontemplatif disebut sebagai pengetahuan yang

dihadirkan (ilm hudhuuri) dengan kata lain Al-Ghazali menyebutnya ‘ilm alduni

dan ‘ilm al-mukasyafah. Jenis pengetahuan lainnya yang diperoleh oleh pikiran

melalui bantuan konsep-konsep antara disebut pengetahuan capaian atau

pengetahuan yang diperoleh (ilm hushuuli).25

Dalam pandangan Al-Farabi perkembangan pengindraan jiwa manusia

melalui lima tahap yaitu: pertumbuhan, mengindra (al-Quwwah al-Hassah),

bernafsu (al-Quwwah al-nuzuuliyah), mengkhayal, dan berfikir.26

Kelima-limanya

membentuk hierarki, setiap tahap pengindraan hadir demi tahap di atasnya, dan

yang tertinggi adalah daya berfikir.

Struktur tritunggal badan (corpus), jiwa (anima, psyche), dan ruh

(spiritus), yang diidentikkan dengan daya mengindra, daya mengkhayal, dan daya

berpikir juga sesuai dengan struktur tritunggal dunia ragawi, jiwa, dan ruhani

kosmos.27

Pada prinsipnya terdapat berbagai istilah dalam epistimologi Islam, dan

setiap ulama memiliki istilah-istilah tersendiri. Seperti Al-Farabi dengan

metodenya al-Ittishol, Al-Ghazali dengan metodenya al-Mukaasyafah, Quthb ad-

Diin al-Syirozi dengan metodenya Hikmatul Isyraq atau yang sering dikenal

dengan ilmuinasi, al-Hallaj dengan wihdatul wujud, dan Ibnu „Arabi dengan al-

Ittihaad. Dan beberapa ulama‟ lain. Yang pada intinya, adalah ilmu yang

sedemikian luasnya mencakup tiga teori umum yaitu bayany, burhany, dan

‘irfany.

Epistimologi bayany adalah suatu cara mendapatkan pengetahuan yang

bersumber pada pemahaman yang komprehensip terhadap teks. Teks tersebut

dapat difahami secara langsung, atau bisa juga melalui tafsir ataupun takwil. Pada

intinya, model epistimolgi bayany lebih menekankan pada pemahaman teks.

25

Osman Bakar, Hirarki Ilmu, hal. 221 26

Osman Bakar, Hirarki Ilmu, hal. 66 27

Osman Bakar, Hirarki Ilmu, hal. 66

16

Epositmologi burhany adalah suatu cara memperoleh pengetahuan dengan

pendekatan rasional, artinya bahwa pengetahuan yang didapati adalah berdasarkan

struktur nalar logika, dimana data yang ada dikumpulkan dan disusun secara

sistematis, kemudian diujikan kebenarannya. Epistimologi burhany lebih bersifat

rasionalistis.

Sedangkan epistimologi irfani yaitu suatu cara mendapatkan pengetahuan

dengan pendekatan ma’rifah, yaitu dengan berbasiskan pengalaman

keberagamaan seseorang yang darinya ia mendapatkan intuisi “kasyf” dengan

Tuhan. Dan pada epistimologi irfani lebih dekat dengan penjelasan yang

bersumber pada pengalaman.

Ketiga pendekatan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-

masing. Namun dengan tidak mengurangi nilai kelebihannya, bahwa setiap model

epistimologi dapat diaplikasikan pada satu ilmu tertentu dan terkadang tidak dapat

diaplikasikan dengan cara yang sama terhadap ilmu yang lain. Sebagai contoh,

dalam kajian bahasa yang bersumber pada teks, tentuk lebih dekat dengan

menggunakan metode bayany daripada burhany, demikian juga untuk ilmu-ilmu

yang lain. Dengan kata lain, tiga model epistimologi ini dapat digunakan sesuai

dengan karakter dari ilmu pengetahuan yang ingin di dalami.

Aksiologi

Fungsi dari ilmu pengetahuan secara umum adalah (1) untuk berubudiyah

kepada Allah Swt, (2) untuk membedakan yang hak dengan yang bathil, dan (3)

sebagai modal untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan hidup di dunia dan di

akhirat.28

Mahdi Ghulsyani berpendapat bahwa ilmu tersebut dianggap berguna

berdasarkan pemahaman bahwa tujuan manusia adalah mendekatkan diri kepada

Allah dan mendapatkan ridha-Nya; aktivitas-aktivitasnya harus difokuskan pada

arah ini. Segala sesuatu yang mendekatkan kepada Tuhan atau petunjuk-petunjuk

pada arah tersebut adalah terpuji. Sehingga, ilmu hanya berguna jika dijadikan alat

untuk mendapatkan pengetahuan tentang Allah, keridhaan dan kedekatan kepada-

28

Ramayulis dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 80

17

Nya. Jika tidak, ilmu itu sendiri akan menjadi penghalang yang besar (hijab al-

akbar), apakah ia tercakup dalam ilmu-ilmu kealaman maupun ilmu-ilmu

syari‟ah.29

3. Pembagian Ilmu Pengetahuan

Al-Farabi

Al-Farabi dalam memberikan gambaran pemeringkatan atau hirarki dalam

ilmu pengetahuan didasari oleh kriteria-kriteria berikut: Pertama, kemuliaan

materi sujek (Syaraf al-maudhu’i), berasal dari prinsip fundamental ontologi,

yaitu bahwa dunia wujud tersusun secara hierarkis. Kedua, kedalaman bukti-bukti

(istisqha al-Barahiin), didasarkan atas pandangan tentang sistematika pernyataan

kebenaran dalam berbagai ilmu yang ditandai oleh perbedaan derajat kejelasan

dan keyakinan. Ketiga, tentang besarnya manfaat („izham al-Jadwa) dari ilmu

yang bersangkutan, didasarkan pada fakta bahwa kebutuhan praktis dan spiritual

yang berkaitan dengan aspek kehendak jiwa juga tersusun secara hirarkis.30

Selain dengan mendasari hirarki ilmu pengetahuan dengan pendekatan

epistimologis, Al-Farabi juga mendasarinya dengan daya jiwa yang ada pada

manusia, yang membaginya menjadi lima tahap, yaitu: pertumbuhan, mengindra

(al-quwwat al-hassah), bernafsu (al-quwwat al-nuzuuliyah), mengkhayal dan

berpikir.31

Dengan tiga hal tersebut dapat dimengerti bahwa jiwa manusia dalam

mendapatkan pengetahuan, menurut pendapat al-Farabi melalui tiga unsur yaitu

badan (jism), jiwa (nafs), dan ruh (‘aql). Tiga unsur tersebut diidentikkan dengan

tiga tindakan yaitu mengindra, mengkhayal, dan berfikir.

Al-Farabi membagi ilmu pengetahuan secara berurut dengan tingkatannya

pada enam tingkatan, yaitu:

a. Ilmu Bahasa (‘ilm al-Lisaan)

29

Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains, hal. 55 30

Osman Bakar, Hirarki Ilmu, hal. 65 31

Osman Bakar, Hirarki Ilmu, hal. 67

18

b. Logika (‘ilm al-manthiq)

c. Ilmu-ilmu Matematis atau propaedetik (ulum al-ta’alim), di dalamnya

terdapat Aritmatika, Geometri, Optika, Ilmu perbintangan, Musik, Ilmu

tentang berat, dan Teknik

d. Fisika atau ilmu kealaman (al-‘Ilmu ath-Thabi’i)

e. Metafisika (al-‘Ilm al-Ilahy)

f. Ilmu Politik (al-‘ilm al-madani), yurisprudensi (‘ilm al-fiqh) dan teologi

dialektis (‘ilm al-kalam)32

Dari pembagian oleh al-Farabi sebagaimana tersebut di atas, dapat

dimengerti bahwa susunan antara enam tingkatan tersebut dibagi berdasarkan

dengan kekuatan manusia dalam mendapatkan pengetahuan sebagaimana yang

dipersepsikan, yaitu mengindra, mengkhayal, dan berfikir.

Al-Ghazali

Osman Bakar mengklasifikasikan ilmu pengetahuan dalam perspektif Al-

Ghazali dengan merujuk pada The Book of Knowledge (Kitab ilmu) dari Ihya’

ulumiddin dan Al-Risaalat al-Laaduniyah. Dan dua karya sebagai penunjang

yaitu The Jewels of the Qur’an (Mutiara Al-Qur’an) dan Mizan al-‘amal

(Timbangan Amal). Dalam karya-karya ini Al-Ghazali menyebutkan empat

sistem klasifikasi yang berbeda:

a. Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.

b. Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuuri)

dan pengetahuan yang dicapai (hushuuli).

c. Pembagian atas ilmu-ilmu religius (al-‘uluum asy-Syar’iyah) dan

intelektual (‘aqliyah)

d. Pembagian ilmu menjadi fardh ‘ain (wajib atas setiap individu) dan fardh

kifayah (wajib atas umat)33

Al-Ghazali mendefinisikan ilmu-ilmu religius (al-ulum al-Syar’iyah),

sebagai “ilmu-ilmu yang diperoleh para nabi-nabi dan tidak hadir pada mereka

32

Osman Bakar, Hirarki Ilmu, hal. 145-148 33

Osman Bakar, Hirarki Ilmu, hal. 231

19

melalui akal, seperti aritmatika, atau melalui percobaan, seperti pengobatan

(kedokteran), atau dengan mendengar, seperti bahasa. Al-Ghazali menggunakan

istilah ilmu-ilmu religius sebagai sinonim ilmu-ilmu yang ditransmisikan.

Klasifikasi ilmu-ilmu religius terpuji menjadi empat, memasukkan buhkan hanya

ilmu-ilmu kebahasaan, tetapi juga semua ilmu yang secara tradisional

diidentifikasi dengan kategori pengetahuan yang ditransmisikan. Tetapi, dia

menjelaskan bahwa ilmu kebahasaan baru dapat dimasukkan ke dalam kategori itu

sepanjang ia merupakan salah satu pengantar (muqaddimat) dari ilmu-ilmu

religius.

Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu-ilmu intelektual (al-ulum al-

‘aqliyah) tidak lain berbagai ilmu yang dicapai atau diperoleh melalui intelek

manusia semata. Adapun pembagiannya sebagai berikut:

a. Ilmu-ilmu religius dibagi menjadi dua: Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar

(al-Ushul), dan Ilmu tentang cabang-cabang (furu’) atau prinsip-prinsip

turunan.

Dalam kategori ilmu ushul adalah: Pertama, Ilmu tentang keesaan ilahi

(ilm al-tawhid). Kedua, Ilmu tentang kenabian-Ilmu ini juga berkenaan

dengan ihwal para sahabat serta penerus religius dan spiritualnya. Ketiga,

Ilmu tentang akhirat atau eskatologi. Keempat, Ilmu tentang sumber

pengetahuan religius. Ada dua sumber primer atau dasar, yaitu Al-Qur‟an

dan Sunnah (tradisi-tradisi Nabi). Dua lainnya adalah sumber sekunder;

consensus (ijma’) dan tradisi para Sahabat (atsar al-sahabah).

Ilmu tentang sumber pengetahuan religius terbagi menjadi dua kategori

(a) Ilmu pengantar atau ilmu-ilmu alat (muqaddimah), antara lain ilmu

tulis-menulis dan berbagai cabang ilmu kebahasaan.

(b) Ilmu-ilmu pelengkap (mutammimat) yang terdiri dari;

(1) Ilmu-ilmu Qur‟an termasuk, di dalamnya ilmu tafsir

(interpretasi)

(2) Ilmu-ilmu tentang tradisi nabi seperti ilmu penukilan

(periwayatan hadits)

(3) Ilmu-ilmu tentang pokok-pokok yurisprudensi (ushul al-Fiqh)

20

(4) Biografi yang berhubungan dengan kehidupan para Nabi,

sahabat, dan orang-orang terkenal.

Dalam kategori ilmu tentang cabang-cabang (furu’) atau prinsip-prinsip

turunan adalah:

1. Ilmu tentang kewajiban manusia kepada Tuhan. Ini adalah ilmu

tentang ritus-ritus religius dan pengabdian (ibadah).

2. Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat. Ilmu-ilmu ini

terdiri dari:

(a) Ilmu tentang transaksi. Ilmu ini terutama membentuk transaksi-

transaksi bisnis dan keuangan. Jenis-jenis lain transaksi termasuk

di antaranya qishash (hukum balas-dendam).

(b) Ilmu tentang kewajiban kontraktual. Ilmu ini berhubungan

terutama dengan hukum keluarga.

3. Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri. Ilmu ini

membahas kualitas-kualitas moral (ilm ‘al-akhlaq)

b. Adapun ilmu-ilmu intelektual, pembagiannya adalah sebagai berikut:

1. Matematika: Artimatika, Geometri, Astronomi dan astrologi, dan

Musik.

2. Logika

3. Fisika atau Ilmu Alam: Kedokteran, Meteorologi, Mineraologi, dan

Kimia

4. Ilmu-ilmu di luar wujud alam atau metafisika:

(a) Ontologi

(b) Pengetahuan tentang esensi, sifat, dan aktifitas ilahi

(c) Pengetahuan tentang substansi sederhana, yaitu intelegensi-

intelegensi dan substansi-substansi malakut (‘angelic)

(d) Pengetahuan tentang dunia halus

(e) Ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian ilmu tentang mimpi

21

(f) Teurigi (nairanjiyaaat). Ilmu ini menggunakan kekuatan-kekuatan

bumi untuk menghasilkan efek tampak seperti supernatural.34

Dari pembagian yang diberikan oleh Al-Ghazali, kiranya dapat difahami

bahwa klasifikasi yang dibangun berdasarkan atas pemahamannya bagi para

pencali ilmu. Dalam persepsinya para pencari ilmu dibagi menjadi empat yaitu

Teolog (mutakallimun), yaitu orang-orang yang mengaku diri mempunayi

spekulasi intelektual dan penalaran bebas. Filosof (Falasifah), yaitu orang-orang

yang mengklaim diri sebagai “ahli logika dan demonstrasi apodeiktik”.

Ta‟limiyah (al-Bathiniyah), yaitu orang-orang yang mengklaim diri sebagai

pemilik satu-satunya al-ta’lim dan penerima hak istimewa pengetahuan yang

diperoleh dari Imam yang tanpa dosa. Dan Sufi (al-Shufah), yaitu orang-orang

yang mengklaim bahwa hanya mereka sajalah yang dapat turut serta dalam

kehadiran Ilahi, dan sebagai orang-orang yang mempunyai visi mistik

(Musyahadah) serta pencerahan (mukasyafah).

Al-Syirazi

Al-Syirazi menyajikan klasifikasi ilmu sebagai berikut:

A. Ilmu-ilmu filosofis (uluum hikmy)

Ilmu-ilmu ini dibagi menjadi ilmu teoretis (nazhariy), yaitu berdasarkan

atas eksistensi yang keberadaannya tidak bergantung pada kehendak manusia.

Sedangkan praktis („amaliy), yaitu yang eksistensi keberadaanya bergantung pada

kehendak manusia.

(1) Ilmu-ilmu filosofis teoretis terdiri dari; Metafisika (Mayor: Ilmu Ilahi

dan Filsafat Pertama. Minor: Ilmu tentang kenabian atau nubuwwah,

Ilmu tentang otoritas religius atau imamah, dan eskatologi),

Matematika (Mayor: Geometri, Aritmetika, Astronomi, dan Musik.

Minor; Optika, Aljabar, Ilmu tentang berat, Pengukuran tanah, Ilmu

hitung, Teknik Mesin, Ilmu tentang neraca timbangan, Ilmu tentang

tabel dan almanac astronomis, dan ilmu tentang irigasi/pengairan).

Filsafat alam / Ilmu Alam (Mayor: Ilmu tentang hal-hal alami yang

34

Osman Bakar, Hirarki Ilmu, hal. 231-237

22

didengar, Sifat benda-benda sederhana dan senyawa, Penciptaan dan

penghancuran benda-benda, Meteorologi, Mineralogi, Botani, Zoologi,

dan Psikologi. Minor: Kedokteran, Astrologi yudisial atau horoskop,

Pertanian, Fisiognomi, Oneiromancy, Sihir alami atau ilmu tentang

tenung, Kimia, dan Theurigi). Dan Logika (dalam ilmu logika, Syirazi

mengikuti pembagian logika paripatetik muslim tradisional menjadi

semblan buku Organon karya Aristoteles).

(2) Ilmu-ilmu filosofis praktis terdiri dari; Etika, Ekonomi, dan Politik.

Pembagian ini didasari atas tiga tipe tindakan manusia yaitu: (1)

Perbuatan individual, (2) Perbuatan kolektif pada level atau keluarga,

dan (3) Perbuatan kolektif pada level kota atau negara.

B. Ilmu-ilmu nonfilosofis (uluum ghair hikmiy) atau Religius

Menurut Qutb al-Din, ilmu religius meliputi antara lain ilmu-ilmu (1)

naqli, (2) ‘aqli (intelektual) atau (3) naqli sekaligus „aqli. Yang dimaksud dengan

ilmu naqli adalah ilmu-ilmu yang hanya dapat dibangun dengan bukti-bukti yang

didengar atau dinukilkan dari otoritas-otoritas yang relevan. Sedangkan ilmu aqli

adalah ilmu-ilmu yang dapat ditetapkan dengan intelek manusia, tidak jadi maslah

apakah ada bukti naqli nya atau tidak.

Ilmu-ilmu ini diistilahkan sebagai ilmu-ilmu religius (diniy) jika

didasarkan atas, atau termasuk dalam, ajaran-ajaran Syari’ah (hukum wahyu). Jika

sebaliknya maka disebut ilmu-ilmu non-religius (ghair diniy).

Ilmu-ilmu religius dapat diklasifikasikan menurut dua cara yang berbeda;

(1) Klasifikasi dalam ilmu-ilmu naqlydan ilmu-ilmu intelektual („aqliy)

(2) Klasifikasi dalam ilmu tentang pokok-pokok atau ushul (Pengetahuan

tentan Esensi unik Tuhan, Pengetahuan tentang Sifat-sifat ilahi,

Pengetahuan tentang perbuatan-perbuatan Tuhan, dan Pengetahuan

tentang kenabian dan pesan Ilahi serta kebijaksannannya yang terkait

dengannya). Dan ilmu tentang cabang-cabang atau furu’ (Ilmu yang

dianggap sebagai tujuan : Ilmu tentang Kitab yaitu Al-Qur‟an, Ilmu

tentang Hadits, Ilmu tentang prinsip-prinsip yurisprudensi, dan

23

Yurisprudensi. Ilmu tentang Kesusastraan atau literature; Lafal

idiomatic, Komposisi kata, Etimologi, ilmu I’rab, semantic, Kritik

sastra, Ilmu persajakan, ‘ilmi qawafi, menulis huruf, menulis puisi,

Kaligrafi, Wacana).35

Konsep kunci dalam klasifikasi Quthb Al-Din adalah hikmat (filosofi atau

filsafat). Perbedaan antara bentuk hikmat dan bentuk bukan hikmat pengetahuan

merupakan basis mendasar klasifikasinya.

Dari pembagian klasifikasi tersebut, dapat difahami bahwa Qutb al-Din al-

Syirozi mengklasifikasikan berdasarkan pada makna hikmat yang dalam

pemahamannya tentang hikmat dia mengikuti tradisi ahl ma’rifah (arti harfiah;

orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang benar). Tentang kolompok ini,

Osman Bakar berpendapat yang dimaksud adalah para filosof. Dimana

kecenderungan gagasan-gagasan filosofis Quthb al-Din adalah mazhab filosofis

paripatetik Ibn Sina dan Isyarat Suhrawardi.

Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan yang dipelajari manusia dalam

dua bagian Pertama, Aqli yakni, ilmu alami bagi manusia yang dapat diperoleh

dengan akal dan pikirannya. Kedua, Naqli, yakni ilmu yang diperoleh dari orang

yang mengajarkannya. Dalam cakupan ilmu Aqliadalah ilmu-ilmu hikmah dan

filsafat, sedangkan dalam cakupan ilmu Naqli adalah ilmu-ilmu yang diajarkan

atau ditransformasikan.36

Ilmu Naqli bersumber pada Al-Qur‟an, Hadits, Ijma‟, dan Qiyas. Yang

termasuk dalam ilmu naqli adalah ilmu tafsir (ilmu tafsir Naqli dan Ilmu tafsir

Aqli), ilmu Qira‟at (termasuk ilmu tulis atau gambar huruf), Ilmu-ilmu Hadits

(berkembang di dalamnya ilmu musthalah hadits), Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Fiqh,

Ilmu Faraidh/Mawarits, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, Ilmu Tafsir Mimpi.

Ilmu-ilmu Aqli atau ilmu-ilmu rasional atau dinamakan ilmu filsafat dan

ilmu hikmah, mencakup empat ilmu:

35

Osman Bakar, Hirarki Ilmu, hal. 279-289 36

Ibnu Khaldun, Muqaddimah, alih bahasa. Masturi Irham, dkk. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,

2012), hal. 804

24

a. Ilmu Logika

b. Ilmu Alam: Ilmu Kedokteran, Pertanian, Psikologi, Fisika, Kimia

c. Ilmu ilahy atau ilmu ketuhanan/Teologi (Metafisika)

d. Ilmu yang mengamati tentang ukuran-ukuran (Bilangan): Teknik; ilmu

pertanahan, Optik, Aritmatika: Ilmu berhitung, Al-Jabar, Ilmu

Perbandingan, Mu‟amalah, Ilmu Faraidh, Musik, dan Astronomi; Ilmu

teknik tabel-tabel astronomi, ilmu hukum perbintangan.

Selain daripada dua ilmu tersebut, terdapat ilmu alat (ilmu lisan) untuk

memahami ilmu-ilmu agama yaitu ilmu bahasa, dalam ilmu bahasa terdapat Ilmu

Nahwu, Ilmu Lughah, Ilmu Bayan, dan Ilmu Adab

Paradigma Integrasi Ilmu

Imam Suprayogo menyebutkan bahwa klasifikasi ilmu pengetahuan saat

ini dalam tiga golongan yaitu ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu sosial (social

science), dan ilmu-ilmu humaniora (humanities). 37

Ilmu-ilmu alam yang bersifat

murni (pure science) adalah Ilmu Fisika, Ilmu Kimia, Ilmu Biologi, dan sementara

orang memasukkan Matematika. Ilmu sosial yang masuk kategori ilmu murni

(pure science) adalah Ilmu Sosiologi, Ilmu Psikologi, Ilmu Antropologi, dan Ilmu

Sejarah. Sedangkan Ilmu humaniora yang termasuk kategori ilmu murni (pure

science) adalah ilmu bahasa, ilmu filsafat, ilmu sastra, dan seni. Dari ilmu murni

(pure science) tersebut berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan (applied science)

yang terus berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Lalu kemudian umat Islam memiliki cara pandang yang berbeda mengenai

ilmu-ilmu tersebut, yaitu dengan melandasinya berdasarkan Al-Qur‟an dan

Hadits. Al-Qur‟an dan Hadits dalam pengembangan ilmu diposisikan sebagai

sumber ayat-ayat qawliyah sedangkan hasil observasi, eksperimen dan penalaran

logis diposisikan sebagai sumber ayat-ayat kawniyah. Dengan posisinya seperti ini

37

Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam; Perspektif UIN Malang,

(Malang: UIN Malang Press, 2006), hal. 22

25

maka berbagai cabang ilmu pengetahuan selalu dapat dicari sumbernya dari Al-

Qur‟an dan hadits.38

Dengan gambaran tersebut yaitu pembagian ilmu pengetahuan dan

pembagian al-Qur‟an sebagai ayat qawliyah dan ayat kawniyah adalah merupakan

satu alternative dalam membangun keilmuan yang bersifat integrative. Sehingga

tidak terjadi pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum.

Sejalan dengan hal tersebut adalah diungkapkan oleh Azhar Arsyad, yang

mengutip pendapat dalam Konferensi Pendidikan Islam Sedunia I di Makkah pada

1977. ilmu pengetahuan menjadi dua yaitu ilmu Naqli dan ‘Aqli, sedangkan dalam

ilmu ‘Aqli juga dibagi menjadi sains-sains alam (natural science), dan sains

kemanusiaan (social science and humanities).39

Dalam pendapatnya juga disebutkan bahwa sains adalah sejumlah konsep

dan binaan hipotesis (hypothetical construct) yang terwujud sebagai hasil dari

pada proses pengamatan dan eksperimen yang pada gilirannya membawa kepada

lebih banyak pengamatan dan eksperimen.40

Dari hal tersebut dimaknai sains

memiliki dua unsur utama yaitu kandungan sains tersebut dan proses yang

membawa kepada upaya menemukan fakta dan konsep yang membentuk

kandungan itu.

Integrasi dan interkoneksitas yang dikonsepsikan Azhar Arsyad adalah

gambaran Sel Cemara. Dengan akar adalah Al-Qur‟an dan Sunnah, kemudian

batang (1) Ilmu alat untuk memahami al-Qur‟an utamanya bahasa Arab, (2) Alat

untuk mendapat ilmu yaitu Panca indra, akal, dan intuisi (ilham dan wahyu), dan

(3) Methodology and Approach.41

Dan pada buahnya muncul berbagai ilmu

pengetahuan. Sel cemara itu didahului dengan aktifitas fisik dan emosi yang

mengorbit pada Spiritual Quoition (SQ). Di dalamnya merupakan perpaduan

antara IQ, EQ, dan SQ.

38

Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam; hal. 30 39

Azhar Arsyad, Buah Cemara Integrasi dan Interkoneksitas Sains dan Ilmu Agama, dalam Jurnal

Hunafa Vol. 8. No. 1 Juni 2011, hal. 3 40

Azhar Arsyad, Universitas Islam; Integrasi dan Interkoneksitas Sains dan Ilmu Agama Menuju

Peradaban Islam Universal, dalam Jurnal Tsaqafah Vol. 2, No. 2, 2006/1427, hal. 162 41

Azhar Arsyad, Buah Cemara Integrasi dan Interkoneksitas Sains dan Ilmu Agama, hal. 12

26

4. Tokoh-Tokoh Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam

a. Al-Kindi

Abu Yusuf Ya‟qub ibnu Ishaq Al-Kindi (801/873), yang dikenal dengan

sebutan Al-Kindi. Adalah seorang filosof Muslim pertama dan ilmuwan dalam

bidang filsafat, matematika, logika, sampai kepada music, dan ilmu kedokteran.

Minat besarnya pada kajian filsafat menjadikan dirinya sebagai tokoh pendiri

filsafat paripatetik Islam. Dalam pandangan Al-Kindi, Filsafat adalah pengetahuan

tentang yang benar. Agama dan Filsafat tidak saling bertentangan, karena

keduanya bertujuan mencari yang benar. Agama berdasar wahyu, dan filsafat

berdasar akal. Yang Benar Pertama adalah Tuhan, dan filsafat tertinggi adlaah

filsafat ketuhanan.

b. Al- Farabi

Abu Nasr Al-Farabi (870-900), orang barat menyebutnya Al-Farabius.

Adalah tokoh Islam yang pertama dalam bidang logika sehingga sebutannya

adalah al-Mu’allim al-Thani, karena komentarnya atas filsafat Aristoteles. Al-

Farabi mengembangkan dan mempelajari ilmu fiskia, matematika, etika, filsafat,

politik, dan lain sebagainya.

Diantara karyanya adalah al-Madinah al-Fadhilah yang menjadi rujukan

akademisi dan praktisi politik di kemudian hari. Dalam hal filsafat ketuhanan, al-

Farabi menemukan teori emanasi. Selain daripada itu al-Farabi juga membuat

hirarki ilmu pengetahuan sebagaimana dijelaskan di atas.

c. Al-Razi

Muhammad Ibnu Zakaria Al-Razi (865-965 M/ 251-313 H) atau di Barat

dikenal dengan sebutan Razes. Dia adalah seorang dokter klinis terbesar pada

zamannya. Bidang keahliannya, adalah Alchemiyang sekarang kita kenal dengan

ilmu kimia, dan ilmu kedokteran.

d. Jabir Bin Hayyan

27

Jabir Ibnu Hayyan (721-815 M/ 103-200 H) adalah seorang tokoh Islam

pertama yang mempelajari dan mengembangkan Alchemi di dunia Islam. Ilmu ini

kemudian berkembang dan kita kenal sekarang sebagai ilmu kimia, karya

utamanya adalah Miah wa Itsnaasyar Kitab dan Sab’ata Asyar Kitab. Bidang

keahliannya yang lain adalah bidang logika, filsafat, kedokteran, fisika, mekanika.

e. Ibnu Haitham

Abu Ali Al-Hasan Ibnu Haitham (965-1039), dikenal dengan nama Latin

Al-Hazen. Adalah seorang ahli fisika yang ternama dan seorang ahli fisika Islam

yang pertama. Kecuali ilmu fisika ia juga mengembangkan ilmu-ilmu lain sepertai

ilmu matematika, astronomi, ilmu jiwa, dan ilmu kedokteran. Karyanya yang

paling utama adalah di bidang optic.

f. Ibnu Sina

Abu Ali Al-Husein Ibnu Sina (980-1037 M/ 370-428 H), yang dilatinkan

dengan nama Avicenna. Dia adalah seorang ilmuwan dan filosof yang besar pada

waktu itu, hingga kepadanya diberikan julukan Syeikh al-Rais. Bidang

keahliannya adalah ilmu fisika, geologi, ilmu kedokteran, mineralogy, dan lain

sebagainya.

Ibnu Sina menyempurnakan teori emanasi al-Farabi. Dan memperdalam

dan menambah secara lebih detail teori spekulatif al-Farabi dalam logika,

epistemology, dan metafisika

g. Al-Khawarizmi

Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi (w. 863 M/ 249 H), yang sangat

terkenal dengan bidang matematika, di antara karyanya adalah al-Jabr wa al-

Muqabalah (Aljabar).

h. Al-Ghazali

Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (1059-1111 M / 450-

505 H), dikenal dengan al-Ghazali. Bidang yang dikuasai mencakup berbagai

28

ilmu pengetahuan di antaranya filsafat, kalam, tasawuf. Dan menulis banyak karya

yang terkenal di antaranya adalah Maqaashid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah,

Ihya Ulumiddin.

i. Ibnu Rusyd

Abu al Walid Muhammad Ibnu Rusyd (1126-1198) yang dikenal di Barat

dengan sebutan Averroes. Tokoh ini dalam pandangan Barat adalah seorang tokoh

yang besar sehubungan dengan aliran rasionalisme yang disamping astronomi,

filsafat, dan lain-lainnya. Karyanya yang terkenal adalah kritik atas al-Ghazali

dengan kitab Tahafut at-Tahaafut.

j. Al-Syirozi

Quthb al-Din Mahmud ibn Dhia al-Din Mas‟ud al-Syirozi (1236-1311 M/

634-710 H), dikenal dengan sebutan Al-Syirozi. Al-Syirozi mempunyai minat

universal hampir pada semua cabang ilmu dan seni di samping filsafat dan teologi.

Karya-karyanya banyak di berbagai bidang ilmu pengetahuan tentang kedokteran,

geometri, optika, astronomi, geografi, ilmu bahasa, filsafat, dan ilmu-ilmu religius

termasuk komentar-komentar atas al-Qur‟an. Karya utamanya dalam pembagian

ilmu adalah kitab Durrat al-Taj, dalam bidang astronomi kitab Nihayat al-Idrak fi

dirayat al-Aflak dan Al-Tuhfat al-Syahiyah fi l-haiah.

k. Ibnu Khaldun

Abdullah Abd al-Rahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibn Khaldun (1332-

1406 M/ 732-808 H), dikenal dengan sebutan Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun adalah

sejarawan dan bapak sosiologi modern. Bidang kajiannya adalah Politik,

Sosiologi, Ekonomi, Sejarah, Tasawuf, dan berbagai ilmu pengetahuan yang lain.

Karyanya yang monumental adalah Muqaddimah.

C. Kesimpulan

Dari pemaparan pemakalah di atas kiranya dapat diambil beberapa kesimpulan

berikut:

29

a. Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam

Perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam seiring bersamaan dengan

pemahaman dan pemaknaan Al-Qur‟an dan Sunnah. Selain daripada itu,

Pertemuan budaya dan ilmu dengan peradaban lain, para cendekiawan muslim

turut berperan aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan, pun demikian tidak

melepaskan dari Al-Qur‟an dan Sunnah.

b. Hakikat ilmu pengetahuan dalam Islam

Ilmu pengetahuan dalam Islam menyangkut dua hal yang tidak terpisahkan

satu sama lain, yaitu ilmu sebagai objek dan ilmu sebagai proses. Sehingga ilmu

yang didapatkan tidak menjadi bebas nilai, karena di sana terdapat proses yang

juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ilmu pengetahuan.

c. Pembagian ilmu pengetahuan dalam Islam

Pada hakikatnya tidak terdapat dikotomi ilmu pengetahuan dalam Islam.

Karena pada dasarnya Al-Qur‟an dalam kalam Tuhan mengenai alam semesta dan

isinya, sedangkan seisi alam semesta adalah ciptaan-Nya yang menjadi objek

kajian ilmu pengetahuan. Namun pembagian yang dilakukan al-Ghazali sebagai

fardhu ‘ain dan fardhu kifayah adalah merupakan suatu ikhtiar untuk memahami

bahwa sebaik apapun ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah untuk

mempersiapkan kita menuju akhirat. Maka selain menentukan dengan fardhu ‘ain

dan fardhu kifayah, al-Ghazali memberikan tiga tingkatan dalam mendalami ilmu-

ilmu tersebut.

d. Tokoh-tokoh perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam

Ada banyak tokoh-tokoh ilmu pengetahuan yang muncul dalam Dinasti

Bani Umayyah, dan lebih banyak lagi pada Dinasti Bani Abbasiyah. Dari semua

tokoh tersebut, pada umumnya adalah selain menguasai berbagai ilmu

pengetahuan seperti filsafat, kimia, kedokteran, sastra, seni, mereka juga

mendalami ilmu agama. Model penguasaan ilmu pengetahuan agama dan ilmu

pengetahuan umum dalam diri para ulama dan ilmuwan pada masa kejayaan

Islam, menjadi motivasi bagi para cendekiawan muslim saat ini untuk

merumuskan suatu model integrasi ilmu pengetahuan.

30

Daftar Rujukan

Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy, Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyah,

alih bahasa Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Amir, Syamsuddin, Mendefinisiak dan Memetakan Ilmu, dalam Adian Husaini,

et.al. Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Depok: Gema Insani

Press, 2013.

Barbour, Ian G. Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, Bandung : Mizan,

2002.

Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, alih bahasa Agus Efendi,

Bandung: Mizan, 1998.

Husaini, Adian, et.al. Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Depok: Gema

Insani Press, 2013.

Ibnu Khaldun, Muqaddimah, alih bahasa. Masturi Irham, dkk. Jakarta: Pustaka al-

Kautsar, 2012

Kania, Dinar Dewi, Objek Ilmu dan Sumber-Sumber Ilmu, dalam Adian Husaini,

et.al. Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Depok: Gema Insani

Press, 2013.

Langgulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke 21, Jakarta: Radar

Jaya, 1988.

_____, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Penerbit Al-Husna, 1987.

Mahzar, Armahedi, Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sanis

dan Teknologi Islami, Bandung: Mizan, 2004.

Nasution, Harun Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan,

1998.

Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sistemis

Pendidikian dan Pemikiran Para Tokohnya, Bandung: Kalam Mulia,

2009.

Shihab, Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan

Umat, Bandung: Mizan, 2012.

Sunanto, Musyrifah, Sejarah IslamKlasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Islam, Jakarta: Kencana, 2004.

31

Suprayogo, Imam, Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam; Perspektif UIN

Malang, Malang: UIN Malang Press, 2006.

_____, Universitas Islam Unggul: Refleksi Pemikiran Pengembangan

Kelembagaan dan Reformulasi Paradigma Keilmuan Islam, Malang: UIN

Malang Press, 2009.

Wan Daud, Wan Mohd Nor, The Educational Philosophy and Practice of Syed

M. Naquib Al-Attas, alih bahasa Hamid Fahmi, dkk. Bandung: Mizan,

1998.

Jurnal

Arsyad, Azhar, Buah Cemara Integrasi dan Interkoneksitas Sains dan Ilmu

Agama, dalam Jurnal Hunafa Vol. 8. No. 1 Juni 2011, hal. 3

_____, Universitas Islam; Integrasi dan Interkoneksitas Sains dan Ilmu Agama

Menuju Peradaban Islam Universal, dalam Jurnal Tsaqafah Vol. 2, No. 2,

2006/1427, hal. 162

Rasmianto, Relasi Agama dan Sains dalam Studi Islam di PTAI, dalam Ulul

Albab Jurnal Studi Islam, Vol.9. No. 1. 2008, hal. 18

Shobahussurur, Lembaga Pendidikan Dalam Khazanah Islam Klasik; Telaah atas

Proses Sejarah dan Transmisi Ilmu Pengetahuan, Vol. 2, No. 2,

2006/1427

Suprayogo, Imam. Perjuangan Mewujudkan Universitas Islam (Pengalaman UN

Malang), Jurnal Tsaqafah Vol. 2, No. 2, 2006/1427