DALAM NOVEL MEI MERAH 1998: KALA ARWAH BERKISAH ...

110
DOKSA PEREMPUAN TIONGHOA DALAM NOVEL MEI MERAH 1998: KALA ARWAH BERKISAH KARYA NANING PRANOTO: PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia Oleh Bertha Tria Iriani NIM: 174114024 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2021 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Transcript of DALAM NOVEL MEI MERAH 1998: KALA ARWAH BERKISAH ...

DOKSA PEREMPUAN TIONGHOA

DALAM NOVEL MEI MERAH 1998: KALA ARWAH BERKISAH

KARYA NANING PRANOTO:

PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Bertha Tria Iriani

NIM: 174114024

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2021

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

v

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk mereka yang selalu mendoakan,

mendampingi serta mendukung saya:

Tuhan Yesus dan Bunda Maria

Kedua orang tua saya yang saya cintai

Kakak saya yang saya kasihi

Serta teman dan sahabat yang mendukung saya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

vi

MOTTO

“Yang meremehkan akan diremehkan pada waktunya”

-Bertha Tria Iriani-

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya”

-Pengkotbah 3:1-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ix

ABSTRAK

Iriani, Bertha Tria. 2021. “Doksa Perempuan Tionghoa Dalam Novel Mei

Merah 1998: Kala Arwah Berkisah Karya Naning Pranoto: Perspektif Pierre

Bourdieu”. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas

Sastra. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini mengkaji doksa perempuan Tionghoa dalam novel Mei

Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning Pranoto perspektif Pierre

Bourdieu. Tujuan penelitian ini adalah (i) mengkaji dan mendeskripsikan struktur

novel, (ii) mengkaji dan mengungkap doksa dalam novel Mei Merah 1998: Kala

Arwah Berkisah karya Naning Pranoto.

Penelitian ini menggunakan paradigma MH Abrams, dengan pendekatan

diskursif. Penelitian ini menggunakan dua teori yakni teori struktural serta

strukturasi kekuasaan Pierre Bourdieu. Metode pengumpulan data yang digunakan

adalah metode studi pustaka. Metode analisis data yang digunakan adalah metode

analisis isi. Hasil analisis data disajikan menggunakan metode deskriptif

kualitatif.

Hasil penelitian ini adalah (1) struktur novel Mei Merah 1988: Kala

Arwah Berkisah yang menunjukkan adanya (a) tiga perempuan asli Tionghoa

yang memiliki perwatakan bulat serta mengalami perkembangan watak akibat

konflik yang mengenai tokoh utama, serta dua tokoh tambahan yang berperan

penting bagi perkembangan alur novel (b) latar waktu yang tergambar pada novel

ini yakni bulan Mei tahun 1998 dengan latar peristiwa penjarahan, kerusuhan dan

pemerkosaan yang melibatkan para perempuan dari etnis Tionghoa mulai dari

pemilik status sosial rendah hingga tingkat atas; (c) tahap alur dengan lima tahap,

yaitu penyituasian (situation), pemunculan konflik (generating circumstances),

peningkatan konflik (rising action), klimaks (climax) dan penyelesaian

(denouement). (2) Strukturasi kekuasaan yang menunjukkan adanya (a) dominasi

dari ras dan etnis perempuan Tionghoa yang ditentukan oleh modal ekonomi serta

modal simbolik nama Cina; (b) kepemilikan modal ekonomi serta simbolik

menempatkan tokoh perempuan Tionghoa dalam kelas dominan, (c) modal

budaya yang dimiliki oleh tokoh utama Humaira, menempatkan dirinya dalam

habitus kelas borjuis kecil, sehingga membuat dirinya memiliki keinginan untuk

menaiki tangga sosial. (3) Doksa perempuan Tionghoa, yang meliputi (a)

ortodoksa berupa doksa perempuan cina dan kekayaannya (b) heterodoksa, yaitu

etnis Cina, rendah hati dan ramah. (4) Kekerasan simbolik diakibatkan masyarakat

pribumi merasa tersaingi dengan adanya ras Tionghoa yang mendominasi

Indonesia serta tergesernya perekonomian masyarakat pribumi berupa anggapan

bahwa ras Cina merupakan etnis yang haram dan disamakan dengan binatang

babi, melalui body shaming yang menyebut-nyebut mereka dengan mata sipit. (5)

Kekerasan fisik berupa pembakaran hidup-hidup dan kekerasan seksual berupa

pemerkosaan.

Kata kunci: strukturasi kekuasaan, doksa, ortodoksa, heterodokda, kekerasan

simbolik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

x

ABSTRACT

Iriani, Bertha Tria. 2021. "Chinese Women’s Doxa in Mei Merah 1998: Kala

Arwah Berkisah Novel by Naning Pranoto: Pierre Bourdieu's Perspective".

Thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Faculty of

Letters. Sanata Dharma University Yogyakarta.

This research analyzes Chinese women's doxa in Mei Merah 1998: Kala

Arwah Berkisah novel by Naning Pranoto using Pierre Bourdieu’s perspective.

The aims of this research are (i) to analyze and represent the novel’s structures,

(ii) to analyze and reveal the doxa in Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah

novel by Naning Pranoto.

This research used MH Abrams' paradigm and a discursive approach. This

study used two theories, namely structural theory and Pierre Bourdieu's theory of

power structuration. The data collection method used was literature study method.

Content analysis method was chosen as the main research instrument. The results

of data analysis were presented using a qualitative descriptive method.

The results of this study were (1) the structures of Mei Merah 1988: Kala

Arwah Berkisah novel which proved (a) three native Chinese women who had

unanimous characteristics and got character development because of conflicts

regarding the main character, as well as two additional characters who played

important roles in developing the characteristic of the novel's plot (b ) the setting

of time showed in this novel that was in May 1998, and the setting of events were

looting, rioting and raping involving Chinese women started from low to high-

level social status owners; (c) there were five stages of plot, namely situation,

generating circumstances, rising action, climax and denouement. (2) The structure

of authority which showed the existence of (a) the dominances of Chinese

women’s race and ethnicity which were determined by economic and symbolic

capital of Chinese names; (b) the possession of economic and symbolic capital

placed Chinese women figures in the dominant class, (c) the cultural capital that

owned by the main character Humaira, placing herself in the petty bourgeois

class, till she had the desire to climb the social ladder. (3) Chinese women’s doxa

included (a) orthodox in the form of Chinese women's doxa and their wealth (b)

heterodox, namely Chinese ethnic who were humble and friendly. (4) Symbolic

violence was caused by natives who felt competed because Chinese race

dominating Indonesia and displacing the natives’ economy in the assumption that

Chinese race was an ethnic group that was haram and equated to pig, through

body shaming which mentioned them with slanted eyes. (5) Physical violence

includes burning alive and sexual violence in the form of rape.

Keywords: novel structure, authority structuration, doxa, orthodox, heterodox,

symbolic violence.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... 1

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ....................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................ iii

Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah .................................................... iv

PERSEMBAHAN ................................................................................................... v

MOTTO.................................................................................................................. vi

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii

ABSTRAK ............................................................................................................. ix

ABSTRACT .............................................................................................................. x

DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 6

1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 6

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 6

1.4.1 Manfaat Teoretis ................................................................................... 7

1.4.2 Manfaat Praktis ..................................................................................... 7

1.5 Tinjauan Pustaka ................................................................................... 7

1.6 Landasan Teori ................................................................................... 12

1.6.1 Struktur Novel..................................................................................... 13

1.6.1.1 Tokoh .................................................................................................. 13

1.6.1.2 Alur ..................................................................................................... 13

1.6.1.3 Latar .................................................................................................... 14

1.6.2 Doksa dalam Teori Pierre Bourdieu ................................................... 15

1.6.2.1 Habitus ................................................................................................ 19

1.6.2.2 Arena ................................................................................................... 20

1.7 METODE PENELITIAN ................................................................... 22

1.7.1 Paradigma dan Pendekatan ................................................................. 22

1.7.2 Metode Pengumpulan Data ................................................................. 23

1.7.3 Metode Analisis Data.......................................................................... 23

1.7.4 Metode Penyajian Analisis Data ......................................................... 24

1.8 Sumber Data ....................................................................................... 24

1.9 Sistematika Penyajian ......................................................................... 25

BAB II ANALISIS STRUKTUR NOVEL MEI MERAH 1998 KARYA

NANING PRANOTO ........................................................................................... 26

2.1 Pengantar ............................................................................................ 26

2.2 Tokoh .................................................................................................. 26

2.2.1 Humaira .............................................................................................. 28

2.2.2 Luk-luk................................................................................................ 31

2.2.3 Shinta .................................................................................................. 35

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xii

2.2.4 Cik Lin ................................................................................................ 37

2.2.5 Bu Inten............................................................................................... 38

2.2.6 Suster Jo .............................................................................................. 40

2.2.7 Rangkuman ......................................................................................... 40

2.3 Latar .................................................................................................... 41

2.3.1 Latar Tempat ....................................................................................... 42

2.3.2 Latar Waktu ........................................................................................ 45

2.3.3 Latar Sosial ......................................................................................... 48

2.3.3.1 Latar Sosial Berkenaan Dengan Prinsip ............................................. 48

2.3.3.2 Latar Sosial Berkenaan dengan Kekuasaan ........................................ 49

2.3.3.3 Latar Sosial Berkenaan dengan Status Sosial ..................................... 50

2.3.3.4 Latar Sosial Berkenaan dengan Budaya ............................................. 51

2.3.4 Rangkuman ......................................................................................... 52

2.4 Alur ..................................................................................................... 54

2.4.1 Tahap awal (Situation) ........................................................................ 55

2.4.2 Tahap pemunculan konflik (Generating Circumstance) .................... 56

2.4.3 Tahap peningkatan konflik (Rising Action). ....................................... 57

2.4.4 Tahap Klimaks (Climax) ..................................................................... 57

2.4.5 Tahap penyelesaian (Denouement) ..................................................... 59

2.5 Rangkuman ......................................................................................... 61

BAB III DOKSA DALAM NOVEL MEI MERAH 1998: Kala Arwah Berkisah

KARYA NANING PRANOTO. ........................................................................... 63

3.1 Pengantar ............................................................................................ 63

3.2 Habitus ................................................................................................ 63

3.2.1 Habitus Kelas Dominan ...................................................................... 64

3.2.2 Habitus Kaum Borjuis Kecil ............................................................... 66

3.2.3 Habitus Kelas Populer ........................................................................ 67

3.2.4 Modal .................................................................................................. 68

3.2.5 Modal Ekonomi .................................................................................. 69

3.2.6 Modal Budaya ..................................................................................... 70

3.2.7 Modal Simbolik .................................................................................. 72

3.3 Arena ................................................................................................... 73

3.3.1 Arena Sosial Politik ............................................................................ 73

3.3.2 Arena Etnis Tionghoa ......................................................................... 74

3.3.3 Arena Perempuan ................................................................................ 75

3.4 Doksa .................................................................................................. 76

3.4.1 Doksa Berkaitan dengan Ras dan Etnis .............................................. 78

3.4.2 Doksa Berkaitan dengan Status Sosial dan Ekonomi ......................... 79

3.4.3 Ortodoksa ............................................................................................ 81

3.4.4 Heterodoksa ........................................................................................ 81

3.5 Kekerasan Simbolik ............................................................................ 82

3.5.1 Kekerasan Fisik dan Kekerasan Seksual ............................................ 82

3.6 Rangkuman ......................................................................................... 84

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xiii

BAB IV ................................................................................................................. 91

PENUTUP ............................................................................................................. 91

4.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 91

4.2 Saran ................................................................................................................ 94

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 95

LAMPIRAN .......................................................................................................... 97

BIOGRAFI PENULIS ........................................................................................ 101

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Konsep Doksa ...................................................................................... 15

Gambar 2 Doksa dan Habitus ............................................................................... 17

Gambar 3 Alur Penelitian Doksa .......................................................................... 18

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Rangkuman Tokoh Novel Mei Merah 1998 ............................................ 41

Tabel 2 Rangkuman Latar Tempat Novel Mei Merah 1998 ................................. 53

Tabel 3 Rangkuman Latar Waktu Novel Mei Merah 1998................................... 54

Tabel 4 Rangkuman Strukturasi Kekuasaan Novel Mei Merah 1998................... 85

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra memiliki sebuah kebebasan untuk memasukkan hampir semua

aspek kehidupan yang dimiliki manusia membuat karya sastra sangat dekat

dengan aspirasi masyarakat. Ciri utama karya sastra adalah aspek estetika, namun

secara intens karya sastra mengandung sebuah etika, logika, filsafat serta ilmu

pengetahuan. Terdapat beberapa contoh karya sastra yang mengandung unsur

tersebut yaitu, karya sastra Pujangga Baru mengandung nasionalisme, karya sastra

Lekra mengandung ideologi Marxisme dan sebagainya. Setiap karya sastra

mengandung sebuah aspek kemasyarakatan yang mungkin pernah, sedang dan

akan terjadi (Ratna, 2004: 337-338).

Karya sastra fiksi merupakan sebuah bangunan cerita yang menampilkan

dunia yang sengaja dikreasikan oleh pengarang. Sebuah novel merupakan hasil

dari karya sastra fiksi, novel memiliki bagian unsur yang berkaitan satu dengan

yang lain guna menghidupkan sebuah cerita. Secara garis besar unsur tersebut

terdiri dari unsur intrinsik (intrinsic) dan ekstrinsik. Unsur intrinsik berupa unsur-

unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, unsur yang dimaksud berupa

peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, alur, latar, sudut pandang penceritaan,

bahasa atau gaya bahasa. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di

luar karya sastra itu sendiri, yaitu psikologi tokoh, pembaca mau pun penerapan

prinsip piskologi dalam ceritanya, pandangan hidup tokoh (Nurgiyantoro, 2010:

22-24).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2

Novel secara khusus dianggap paling dominan dalam menampilkan

adanya unsur sosial. Adanya alasan yang dapat ditemukan, yaitu 1) novel

menampilkan unsur cerita paling lengkap, memiliki media yang luas, menyajikan

masalah kemasyarakatan, 2) penggunaan bahasa dalam novel cenderung

menggunakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam

masyarakat. Novel merupakan genre paling sosiologis serta reponsif, sebab sangat

peka terhadap fluktuasi sosiohistoris (Ratna, 2004: 335-336).

Novel mengandung aspek sosial masyarakat serta mewakili sebuah zaman di

mana hal tersebut mungkin pernah terjadi (Ratna, 2004: 336). Permasalahan di

Indonesia terhadap etnis Tionghoa kadang ditafsirkan sebagai ungkapan

ketidaksenangan dari golongan miskin terhadap golongan kaya. Sekalipun hal ini

seringkali hanya merupakan rasionalisasi bentuk dukungan bagi keistimewaan

yang diberikan kepada pengusaha peribumi. Secara khas, kekerasan anti Tionghoa

lebih diajukan kepada hak milik dari pada yang mencakup perusakan mobil, toko

dan rumah serta lainnya. Dengan hal itu anti Tionghoa dapat dikatakan bahwa anti

Tionghoa adalah suatu ketakutan dari ketidaksenangan terhadap Tiongkok,

Tionghoa ataupun budaya Tionghoa dan segala sesuatu yang berhubungan dengan

hal tersebut. Perasaan tersebut lebih diajukan kepada masyarakat etnis Tionghoa

yang berstatus minoritas yang berada di luar Tiongkok, etnis Tionghoa yang

bermasalah dengan status imigrasinya, keracunan warga negara mereka dan

kesenjangan ekonomi (Wigarani, 2009: 3).

Etnis Tionghoa yang berada di Indonesia berpendapat bahwa mereka

mengalami banyak perlakuan negatif karena perbedaan budaya yang mereka

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3

miliki. Persepsi terhadap etnis Tionghoa dipengaruhi dengan adanya sterotipe

serta anggapan negatif dari masyarakat mengenai budaya mereka. Sterotipe

tersebut menyebabkan deskriminasi serta perlakuan tidak adil terhadap etnis

Tionghoa yang dianggap tidak memiliki akar budaya asli Indonesia terus menerus

terjadi hingga saat ini (Khaerunisa, 2018: iv).

Novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah yang ditulis oleh Naning

Pranoto mengisahkan seorang perempuan keturunan etnis Tionghoa yang menjadi

salah satu korban pemerkosaan pada tragedi kerusuhan yang terjadi pada tahun

1998. Perempuan tersebut bernama Humaira, tahun 1998 menjadi tahun yang naas

bagi ia dan perempuan lainnya. Ia mengandung buah hati hasil pemerkosaan para

warga yang mengamuk akibat kerusuhan tersebut. Trauma akibat pemerkosaan

tersebut membuat Humaira memilih bunuh diri setelah buah hatinya lahir. Namun

setelah dewasa Luk-luk anak Humaira mengalami pergulatan batin dalam mencari

jati dirinya, sebab istilah anak haram hasil dari pemerkosaan tahun itu terlanjur

melekat pada Luk-luk.

Naning Pranoto meraih gelar sarjana di bidang bahasa dan sastra dari

Universitas Nasional, Jakarta (1986). Tahun 1985 studi di Sekolah Tinggi

Publistika Jakarta. Mendapatkan gelar masternya (MA) di bidang Chinese Studies

dari Bond University Australia (2001). Kariernya dimulai di majalah Mutiara

Sinar Harapan Grup (1977-1978). Selanjutnya ia bekerja di majalah Ananda

Kartini Grup (1978-1980). Tahun 1981-1982 ia sebagai Pemimpin Redaksi

Majalah Jakarta-Jakarta. Tahun 2003 ia mendirikan Yayasan Garda Budaya

Indonesia (GBI) bersama Penyair Sides Sudyarto DS. Naning Pranoto telah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4

menulis 20 judul novel, 12 judul buku anak-anak, 28 textbook, ratusan cerita

pendek, puisi dan puluhan judul karya tulis ilmiah. Juga menulis ratusan judul

cerpen yang dimuat di berbagai media massa. Novelnya yang berjudul Wajah

Sebuah Vagina tercatat sebagai bestseller 2005. Tahun 2013 menerbitkan Seni

Menulis Sastra Hijau dan Fun Writing, Antologi Cerpen Indonesia-Malaysia dan

Antologi Cerita Etni 5 Negara Serumpun. Tahun 2014 menerbitkan A Metode 33

KISS Menulis Fiksi dan Nonfiksi dan Antologi Puisi Negeri Poci 5-6-7, Suara-

Suara Rakyat Kecil serta Antologi Puisi Sang Perenoka. Tahun 2015 menerbitkan

Seni Menulis Cerita Pendek dan Berguru Pada Empu dan Writing for Therapy.

Tahun 2017 menciptakan Wayang Hijau, tahun 2018 menerbitkan Kumpulan

Puisi berjudul Ode Yang Tak Pernah Mati (Pranoto, 2018: 128-222).

Hal yang membuat peneliti tertarik dengan novel ini yaitu; 1) Novel ini

menceritakan mengenai kemelut tragedi pemerkosaan pada tahun 1998, 2) Dalam

novel ini digambarkan serta dituturkan dengan jelas mengenai doksa yang

tertanam di benak masyarakat tentang perempuan Tionghoa dari jaman dahulu

hingga sekarang dan masih menjadi permasalahan sosial.

Penelitian ini menggunakan dua konsep teori Pierre Bourdieu, yakni

habitus dan arena, kemudian dari dua konsep tersebut memunculkan konsep

mengenai doksa. Habitus merepresentasi subjek, sedangkan arena merepresentasi

struktur. Interaksi antara habitus dan arena itulah yang menghasilkan doksa.

Bourdieu memaknai doksa sebagai perangkat aturan, nilai, konvensi dan wacana

yang mengatur arena secara keseluruhan dan berpengaruh sejak lama atau

disajikan sebagai akal sehat (Zurmailis, 2014: 49).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5

Habitus merupakan sebuah kerangka penafsiran yang berguna untuk

memahami dan menilai sebuah realitas dan sekaligus sebagai penghasil praktik-

praktik kehidupan yang sesuai struktur obyektifnya. Habitus menjadi suatu dasar

kehidupan individu. Pembentukan serta berfungsinya habitus sangat

memperhitungkan hasil keteraturan perilaku dan modalitas praktiknya

mengandalkan improvisasi dan bukan pada kepatuhan sebuah aturan. Terdapat

dua gerak timbal balik, pertama pada struktur obyektif yang dibatinkan; kedua

gerak subyektif yang menyingkapkan hasil pembatinan yang berupa nilai-nilai

(Haryatmoko, 2016:41-42). Sedangkan arena menurut Bourdieu adalah

perjuangan kekuasaan merupakan lingkup hubungan-hubungan kekuatan antara

berbagai jenis modal atau, lebih tepatnya antara para pelaku yang memiliki jenis-

jenis modal tertentu sehingga mampu mendominasi medan perjuangan yang

terkait, dan yang perjuangannya semakin intensif meskipun nilai yang terkait

dengan modal tersebut dipertanyakan (Haryatmoko, 2016: 51).

Alasan penulis menggunakan teori ini yaitu; 1) teori strukturasi milik

Bourdieu adalah salah satu teori mengenai praktik sosial yang dianggap mampu

membantu menguraikan adanya praktik sosial yang terdapat dalam novel Mei

Merah 1998: Kala Arwah Berkisah, 2) guna mengungkap adanya doksa tentang

perempuan Tionghoa serta permasalahan sosial dengan cara menganalisis melalui

adanya konsep habitus dan arena pada teori tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, maka dirumuskan

permasalahan sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimana struktur novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya

Naning Pranoto?

1.2.2 Bagaimana bentuk doksa dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah

Berkisah karya Naning Pranoto?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, ditetapkan tujuan penelitian sebagai

berikut:

1.3.1 Mengkaji dan mendeskripsikan struktur novel Mei Merah 1998: Kala

Arwah Berkisah karya Naning Pranoto, khususnya tokoh, alur, dan latar.

Hal ini akan disajikan dalam Bab II.

1.3.2 Mengkaji dan mengungkap doksa dalam novel Mei Merah 1998: Kala

Arwah Berkisah karya Naning Pranoto. Doksa akan diungkap melalui

kajian habitus dan arena serta modal yang terdapat dalam habitus. Hasil

kajian akan disajikan di dalam Bab III.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini berupa deskripsi strukturasi bentuk doksa yang tertanam

pada Perempuan Tionghoa dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah

karya Naning Pranoto menggunakan teori perspektif Pierre Bordieu. Dengan

demikian, manfaat teoretis dan praktis penelitian ini, sebagai berikut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7

1.4.1 Manfaat Teoretis

Penelitian ini bermanfaat guna menambah perbendaharaan kritik sastra berupa

penerapan teori praktik sosial. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk

menambah pijakan atau pedoman referensi tentang sebuah praktik sosial guna

penelitian selanjutnya yang menggunakan teori milik Bordieu untuk meneliti

novel berlatar belakang sebuah tragedi mau pun sebuah kejadian yang bersejarah.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian bermanfaat menambah apresiasi dan kritik sastra terhadap novel

Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning Pranoto. Penelitian ini juga

diharapkan menjadi salah satu rujukan studi praktik sosial dalam karya sastra

novel berlatar belakang sebuah tragedi atau catatan kelam Indonesia. Bagi

pembaca secara umum, penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan secara

umum dalam memaknai sebuah doksa yang muncul dalam masyarakat yang

memang alamiah terbentuk dari pola pikir manusia serta agar tidak adanya

pandangan rasisme terhadap kaum minoritas.

1.5 Tinjauan Pustaka

Prihantoro (2008), dalam artikel berjudul “Analisis Strktural Novel Towards

Zero Karya Agatha Christie serta Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di

SMK”. Penelitiannya bertujuan untuk mendeskripsikan struktur pada novel

Towards Zero karya Agatha Christie yang terdiri dari penokohan, alur, latar, tema

bahasa dan amanat. Prihantoro menyimpulkan bahwa dalam penelitian tersebut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8

adanya hubungan antara unsur intrinsik novel Towards Zero dengan KTSP

(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), untuk siswa kelas XII semester II,

standar kompetensi mampu menyimak untuk memahami secara kreatif suatu

karya sastra antara lain cerpen, puisi dan novel.

Sonia (2012), dalam skripsinya berjudul “Struktur Naratif Penokohan Tokoh

Utama Pada Novel Garuda Putih Karya Suparto Brata”. Dalam penelitiannya,

Sonia menemukan bahwa: 1) terdapat struktur naratif dalam novel Garuda Putih.

Alur dalam novel Garuda Putih dibagi menjadi 28 episode. Struktur naratif dalam

novel Garuda Putih terbagi menjadi lima peristiwa inti dan dua peristiwa flash

back. Peristiwa inti merupakan keadaan dan tindakan yang dilakukan oleh tokoh

utama yaitu Handaka, sedangkan flash back merupakan kisah dari Garuda Putih

yang diceritakan kembali. (2) Penokohan tokoh utama dalan novel Garuda Putih,

lalu tokoh yang dibahas adalah tokoh utama yaitu Detektif Handaka. Perwatakan

yang digambarkan oleh tokoh Handaka antara lain pintar, melindungi, cerdik,

tenang, cekatan, dan pandai menyamar.

Zurmailis dan Faruk (2017), dalam artikelrnya berjudul “Doksa, Kekerasan

Simbolik dan Habitus Yang Ditumpangi Dalam Konstruksi Kebudayaan di

Dewan Kesenian Jakarta” dimuat dalam jurnal Adabiyyat: Jurnal Bahasa dan

Sastra membahas tentang doksa yang diusung oleh Dewan Kesenian Jakarta.

Dalam penelitiannya, Frauk menemukan bahwa habitus dan juga perspektif yang

ditempatkan oleh Dewan Kesenian Jakarta disebut sebagai doksa yang dijadikan

pedoman dalam praktik budaya bagi rancangan program kesenian, berasal dari

struktur budaya yang dibangun melalui adanya kekerasan simbolik untuk agen

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9

terlibat serta disosialisasikan di arena budaya melalui sebuah cara yang sama,

lewat sebuah kekerasan simbolik.

Sollisa (2018), dalam artikelnya berjudul “Habitus dan Arena Dalam Novel

Taman Api Karya Yonathan Rahardjo”. Dalam penelitiannya, Sollisa menemukan

bahwa 1) novel Taman Api menggambarkan bentuk habitus atau cara pandang

seseorang dalam menentukan sebuah tindakan. Sebuah habitus agen dapat

bergerak dari waktu ke waktu, pergerakan tersebut diakibatkan oleh sebuah

pengalaman, didikan bahkan pergaulan. 2) Arena dalam novel Tanah Api berupa

arena kedokteran yang dianggap arena seseorang yang berkelas. Namun, dalam

arena tersebut agennya tidak mencerminkan akhlak yang baik. Arena selanjutnya

yaitu arena bisnis di mana setiap agennya berupaya menjalani fungsinya dengan

baik agar jaringan yang dibangun tetap aman untuk kepentingan bersama. Arena

terakhir adalah arena waria, setiap agen dalam arena tersebut dianggap sebagai

perusak sebuah tatanan moralitas dan sering menjadi sasaran kekerasan dari para

penguasa.

Ginting (2019), dalam artikelnya yang berjudul “Novel Sang Pemimpin Karya

Andrea Hirata: Analisis Habitus dan Modal dalam Arena Pendidikan Menurut

Perspektif Pierre Bourdieu” membahas tentang bagaimana memahami dan

kebiasaan pada teori modal dalam novel Sang Pemimpin karya Andrea Hirata.

Dalam penelitiannya, Ginting menemukan kebiasaan dan modal berupa Ikal

memiliki 6 habitus: pekerja keras, pantang menyerah, senang berolahraga,

optimis, gemar menabung, serta religius. Arai memiliki 6 kebiasaan, yaitu:

pekerja keras, pantang menyerah, optimis, penasaran, hemat dan murah hati.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

10

Jimbron memiliki 4 kebiasaan, yaitu: pekerja keras, terobsesi dengan kuda, hemat

dan juga polos. Analisis dari segi modal berupa ekonomi, budaya, sosial, dan

simbolik. Analisis modal ekonomi menunjukkan bahwa tokoh Ikal, Arai dan

Jimbron tidak memiliki modal ekonomi. Analisis modal budaya menunjukkan

tokoh Ikal memiliki lebih banyak modal budaya yang lebih dominan dari pada

Arai dan Jimbron. Analisis modal sosial menunjukkan bahwa tokoh Ikal, Arai dan

Jimbron memiliki sebuah modal sosial. Analisis terakhir berupa modal simbolik

yang menunjukkan bahwa Ikal, Arai dan Jimbron tidak memiliki modal simbolik.

Objek material novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning

Pranoto pernah diteliti oleh Putri (2019) dalam skripsinya yang berjudul

“Gambaran Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Novel Mei Merah 1998: Kala

Arwah Berkisah Karya Naning Pranoto (Pendekatan Sosiologi Sastra)”. Putri

membahas mengenai adanya kekerasan terhadap perempuan yang sering menjadi

sebuah permasalah sosial yang terdapat dalam cerita novel Mei Merah 1998: Kala

Arwah Berkisah karya Naning Pranoto. Dalam penelitiannya, Putri menemukan

adanya kekerasan fisik, kekerasan seksual serta kekerasan bukan intersional yang

memberikan dampak pada perendahan, pengancaman dan penghancuran kepada

seseorang. Kekerasan tersebut disebabkan oleh kerusuhan yang terjadi pada Mei

1998, perilaku yang menyebabkan terpancingnya nafsu sehingga menyebabkan

kekerasan penolakan dan karena kesibukan dalam bekerja.

Langobelen (2020), dalam skripsinya berjudul “Strukturasi Kekuasaan Dan

Kekerasan Simbolik dalam Tiga Cerpen Afriyanto Keyn: Prespektif Pierre

Bourdieu”. Tujuan penelitian tersebut guna mendeskripsikan strukturasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

11

kekuasaan serta kekerasan simbolik dalam tiga cerpen karya Afriyanto Keyn.

Dalam penelitiannya, Langobelen menemukan: 1) adanya empat modal yang

mendukung kedudukan kelas dominan, yaitu modal budaya, modal ekonomi,

modal sosial dan modal simbolik. 2) Tokoh yang termasuk dalam kelas dominan

adalah tokoh Mola dalam cerpen “Ketika Rik Menjadi Suanggi” dan tokoh Bapa

Suku satu pada cerpen “Sepatah Kata Maaf”. 3) Habitus dari keempat tokoh

tersebut terbentuk dari pengalaman selama hidupnya serta lingkungan dan posisi

kedudukan atau status sosial. 4) Arena dari ketiga cerpen tersebut adalah arena

budaya dan arena pendidikan. Doksa dalam cerpen “Kelewang dan Tiga Cerita

Kematian” adalah keyakinan kedudukan tinggi, bahwa kaum ata ribu ratu harus

menghormati serta mematuhi keputusan kaum ata belen. Kemudian ortodoksa

berupa cerita tentang menaka atau suanggi dan aturan pernikahan yang melarang

kaum ata belen menikah dengan kaum ata ribu ratu. Heterodoksa berupa rasa

kurang percaya terhadap ceita tentang menaka. Pada cerpen “Ketika Rik Menjadi

Suanggi”, terdapat dua doksa; a) dalam arena pendidikan, doksa berupa

pandangan ilmu pengetahuan yang logis, bahwa cerita pendek hanya sebuah

karangan fiksi. Ortodoksnya adalah segala sesuatu yang berangkat dari titik

nirlogis tentang suanggi. Heterodoksa berupa perlawanan terhadap keputusan

Bapa Suku 1 dan rasa kurang percaya terhadap kisah menaka. 5) Ditemukannya

kekerasan simbolik yang terjadi melalui mekanisme eufemisasi dan mekanisme

sensorisasi dalam bentuk sopan santun, rasa hormat, pandangan dan belas kasihan.

Berdasarkan tinjauan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian

tentang teori strukturasi milik Pierre Boudieu sudah banyak dilakukan penelitian.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

12

Hanya ada satu penelitian yang menggunakan novel Mei Merah 1998: Kala

Arwah Berkisah karya Naning Pranoto sebagai salah satu objek material dalam

sebuah penelitian. Serta belum pernah ada yang mengkaji teori strukturasi

kekuasaan milik Pierre Boudieu pada novel Mei Merah 1998: Kala Arwah

Berkisah karya Naning Pranoto.

1.6 Landasan Teori

Menurut Ratna (2015: 1-2) jika berhubungan dengan dunia keilmuan, teori

berarti perangkat pengertian, konsep, proposisi yang mempunyai korelasi dan

telah teruji kebenarannya. Pada dasarnya, teori dengan praktik, kumpulan konsep

dengan kumpulan data penelitian, bersifat saling membantu, saling melengkapi.

Objek melahirkan teori, sebaliknya, teori memberikan berbagai kemudahan untuk

memahami objek. Teori berfungsi untuk mengubah dan membangun pengetahuan

menjadi ilmu pengetahuan.

Dalam skripsi ini, digunakan dua teori, yaitu (1) teori struktural untuk

menganalisis unsur tokoh, alur, dan latar novel Mei Merah 1998: Kala Arwah

Berkisah karya Naning Pranoto dan (2) strukturasi kekuasaan Pierre Bourdieu

untuk menganalisis doksa perempuan Tionghoa dalam novel Mei Merah 1998:

Kala Arwah Berkisah karya Naning Pranoto melalui konsep habitus dan arena

serta modal yang terdapat dalam sebuah habitus.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

13

1.6.1 Struktur Novel

Sebuah karya sastra dibangun melalui adanya unsur-unsur sebagai pendukung

jalannya cerita. Unsur pembangun dalam sebuah novel secara bersama

membentuk sebuah totalitas di samping unsur formal bahasa. Secara garis besar

unsur tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu unsur intrinsik dan

ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.

Kepanduan antar berbagai unsur dalam struktur novel inilah yang membuat cerita

dalam novel terwujud. Unsur yang dimaksud yaitu, peristiwa, cerita, plot,

penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritan, bahasa atau gaya bahasa

(Nurgiyantoro, 2010: 22-23).

1.6.1.1 Tokoh

Tokoh menurut Iskandar dalam Hastuti (2012: 16) adalah pelaku cerita,

tokoh dalam cerita tidak selalu berwujud sebagai manusia. Tergantung kepada

siapa yang diceritakannya dalam suatu cerita tersebut. Tokoh cerita dalam novel

ditampilkan secara lebih lengkap, hal tersebut berhubungan dengan ciri fisik,

keadaan sosial, tingkah laku serta sifat dan kebiasaan tokoh tersebut termasuk

bagaimana keadaan antar tokoh yang dilakukan secara langsung mau pun tidak

langsung (Nurgiyantoro, 2010: 13).

1.6.1.2 Alur

Alur atau plot merupakan unsur fiksi terpenting dalam sebuah karya sastra,

banyak orang beranggapan bahwa alur merupakan unsur terpenting di antara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

14

berbagai unsur fiksi lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh adanya kejelasan alur

dalam sebuah cerita yang erat kaitannya dengan jalinan antar perstiwa yang

disajikan oleh penulis, sehingga dapat membantu mempermudah pemahaman kita

terhadap cerita yang ditampilkan. Kejelasan alur berarti kejelasan cerita,

kesederhanaan alur berarti kemudahan cerita untuk dimengerti (Nurgiyantoro,

1995: 110).

1.6.1.3 Latar

Menurut Abrams latar atau setting dapat disebut juga sebagai landasan tumpu,

menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu serta lingkungan sosial

tempat terjadinya suatu peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 2010: 216).

Novel melukiskan keadaan suatu latar secara lebih rinci sehingga dapat

memberikan gambaran yang lebih jelas, konkret dan pasti. Walau demikian, cerita

yang dianggap baik hanya akan melukiskan detail tertentu yang dianggap perlu.

Jika berkepanjangan justru akan terasa membosankan serta mengurangi kadar

ketegangan dari sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2010: 13-14).

Ketiga unsur tersebut dipilih karena menjadi dasar untuk mengungkap doksa

yang terdapat dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning

Pranoto.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

15

1.6.2 Doksa dalam Teori Pierre Bourdieu

Pierre Bourdieu adalah seorang filsuf yang memaparkan tentang teori

strukturasi praktik sosial. Bourdieu lahir di Bearn pada tahun 1930. Ia

mempelajari tentang filsafat di Ecole Normale Superiure di Paris. Agar Bourdieu

bisa mengatasi dikotomi yang keliru, kemudian ia mengembangkan konsep

tentang agen yang bebas dari voluntarisme serta idealisme pemahaman

subjektivistik, yaitu sebuah konsep tentang ruang sosial yang bebas dari kausalitas

deterministik serta mekanistik yang inheren pada pendekatan objektivistik.

Kemudian ia mengembangkan konsepnya menjadi habitus dan arena (Bourdieu,

2016: xiv).

Gambar 1 Konsep Doksa (Sumber: Taum, 2020)

Untuk memahami doksa, menurut Bourdieu, perlu untuk dikaji dua aspek

penting, yakni habitus sebagai representasi subjek dan arena sebagai representasi

struktur. Habitus adalah kesadaran subjek yang dilatih dan berkembang dalam

lingkungan masyarakat. Arena dikuasai dan diatur oleh doksa, yaitu perangkat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

16

aturan, nilai, konvensi, atau wacana yang mengatur arena sejak lama dan sudah

dianggap sebagai ‘akal sehat’ (common sense). Doksa itu bersifat implisit,

"implicit and unformulated because it is unquestioned” (Karnanta, 2013: 12-13).

Bourdieu menjelaskan proses terjadinya atau mekanisme kuasa simbolik

melalui apa yang disebutnya doksa. Bourdieu memaknai doksa sebagai perangkat

aturan, nilai, konvensi dan wacana yang mengatur arena secara keseluruhan dan

berpengaruh sejak lama atau disajikan sebagai akal sehat (Bourdieu, 1996: 228).

Perangkat aturan tersebut lahir dari sebuah pengalaman yang dijadikan hasil

akumulasi pembelajaran dan sosialisasi individu atau kelompok di dalam lingkup

sosial melalui sebuah relasi dialektis antara agen dan struktur. Masa lalu yang

tidak disadari dan dianggap sebagai hal yang wajar, berpengaruh bagi

pembentukan struktur mental, pada tahap tertentu merupakan produk

penggabungan struktur sosial. Pengaruh yang tidak disadari dan dianggap sebagai

sesuatu yang wajar merupakan sebuah proses dalam pembentukan habitus, yaitu

asas yang melahirkan dan menyusun kebiasaan (Zurmailis, 2017: 49).

Bourdieu juga memahami doksa sebagai suatu kepercayaan yang diterima

apa adanya, tidak pernah dipertanyakan, yang telah mengarahkan cara pandang

seseorang dalam mempersepsi dunia atau arena di mana doksa tersebut berada

(Taum, 2020: 10).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

17

Gambar 2 Doksa dan Habitus (Sumber: Taum, 2020: 11)

Pada gambar 2 menjelaskan bahwa Bourdieu menyebut adanya dua konsep

doksa, yaitu konsep heterodoksa dan ortodoksa. Pemikiran “yang menantang”

disebutnya sebagai heterodoksa, yaitu pemikiran yang disampaikan secara

eksplisit yang mempertanyakan sah atau tidaknya skema persepsi dan apresiasi

yang tengah berlaku. Sedangkan ortodoksa merujuk pada situasi di mana doksa

dikenali dan diterima dalam praktik. Dengan kata lain, kelompok dominan yang

memiliki kuasa berusaha mempertahankan struktur ranah yang didominasinya

dengan memproduksi ortodoksa (Taum, 2020: 10).

Dengan kata lain konsep habitus merepresentasi subjek, sedangkan konsep

arena merepresentasi struktur. Doksa dikaji melalui adanya interaksi antara

habitus dan arena dalam suatu praktik sosial, dari hasil interaksi itulah yang dapat

menghasilkan doksa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

18

Gambar 3 Alur Penelitian Doksa (Sumber: Firdaus, 2019: 65)

Studi yang dilakukan Firdaus (2019: 65) memperlihatkan sebuah alur

penelitian untuk mengkaji dan mengidentifikasi doksa yang kemudian

mengakibatkan kekerasan simbolik (pada Gambar 3). Menurutnya, untuk meneliti

doksa di dalam sebuah arena, kita perlu mengidentifikasi habitus dan modal. Dari

kedua hal itulah kita menyimpulkan doksa yang pada ujungnya mengakibatkan

kekerasan simbolik.

Dalam penelitian ini, gambar 3 hanya digunakan untuk menyimpulkan

sebuah alasan atau argumen mengapa perempuan Tionghoa mengalami kekerasan

simbolik berupa hinaan, body shaming, hingga kekerasan fisik dan seksual berupa

penyeretan paksa, penyekapan, pemerkosaan hingga pembakaran para korban.

Tentang habitus dan arena akan dijelaskan di dalam uraian tersendiri di bawah ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

19

1.6.2.1 Habitus

Habitus merupakan sebuah kerangka penafsiran yang berguna untuk

memahami dan menilai sebuah realitas dan sekaligus sebagai penghasil praktik-

praktik kehidupan yang sesuai struktur obyektifnya. Habitus menjadi suatu dasar

kehidupan individu. Pembentukan serta berfungsinya habitus sangat

memperhitungkan hasil keteraturan perilaku dan modalitas praktiknya

mengandalkan improvisasi dan bukan pada kepatuhan sebuah aturan. Terdapat

dua gerak timbal balik, pertama pada struktur objektif yang dibatinkan; kedua

gerak subjektif yang menyingkapkan hasil pembatinan yang berupa nilai-nilai.

(Haryatmoko, 2016:41-42).

Habitus dalam pemikiran Bourdieu merupakan konsep yang mau

menjelaskan mengapa individu bertindak dalam masyarakat sesuai dengan skema

yang sudah ada sebelumnya, dan cenderung memproduksi hubungan-hubungan

sosial yang ditandai oleh dominasi kelompok tertentu terhadap yang lain. Menurut

Bourdieu, sekaligus ada habitus individual dan habitus kelas. Keberatan utama

terhadap konsep ini ialah pernyataan tentang kesatuan disposisi,

keberlangsungannya selama hidup dan pengaruhnya dalam segala situasi

kehidupan sehari-hari (Haryatmoko, 2016: 59).

Habitus sendiri merupakan sebuah hasil dari pencangkokan individu,

dimulai pada masa kanak-kanak, kemudian menjadi semacam ‘pengindaran

kedua’ (second sense) atau juga hakikat alamiah yang kedua (second nature).

Disposisi tersebut direpresentasikan oleh habitus dan memiliki sifat; 1) ‘bertahan

lama’ yang berarti bertahan sepanjang waktu tertentu, 2) ‘bisa dipindahkan’ yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

20

berarti sanggup melahirkan praktik diberbagai arena, 3) ‘struktur yang

distrukturkan’ yang berarti mengikutsertakan kondisi sosial objektif dan 4)

‘struktur-struktur yang menstrukturkan’ dengan artian mampu melahirkan praktik

yang sesuai dengan situasi khusus (Bourdieu, 2016: 16).

Habitus menghasilan serta dihasilkan oleh masyarakat dalam kehidupan

sosial. Habitus juga mencerminkan mengenai pembagian objektif dalam struktur

kelas berupa: 1) umur, 2) jenis kelamin (gender), dan 3) kelas-kelas sosial dalam

masyarakat (Taum, 2020: 8).

1.6.2.2 Arena

Arena menurut Pierre Bourdieu merupakan sebuah ruang sebagai tempat

para agen sosial saling bersaing untuk mendapatkan berbagai sumber daya

material mau pun sebuah kekuatan simbol. Persaingan dalam suatu ranah

bertujuan untuk memastikan perbedaan dan juga status para pelaku atau agen

sosial yang digunakan sebagai sumber kekuasaan simbolis (Siregar, 2016: 81).

Arena perjuangan dimengerti sebagai sebuah jaringan atau konfigurasi

hubungan obyektif antara berbagai posisi. Posisi tersebut dibatasi oleh keberadaan

mereka serta penentuan yang dipaksakan kepada pihak yang menempati, entah

pelaku atau sebuah institusi, oleh situasi aktual dan potensial mereka dalam suatu

struktur pembagian kekuasaan atau modal. Arena ini mirip dengan pasar, artinya

ada sebuah penghasilan dan konsumen, yang disebut penghasilan adalah mereka

yang memiliki kapital-kapital tertentu yang saling berhadapan. Pertarungannya

terletak pada sebuah akumulasi bentuk kapital lain yang memungkinkan untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

21

menjamin dominasi pada bidang tersebut. Kapital tak hanya berfungsi sebagai

sarana tetapi sekaligus sebagai tujuan (Haryatmoko, 2016: 50-51).

Menurut Bourdieu, terdapat empat jenis modal. Bourdieu (dalam

Haryatmoko, 2016: 45) menyebutkan modal pertama, modal ekonomi (Economic

Capital) yang merupakan sumberdaya yang bisa menjadi sebuah sarana produksi

serta sarana finansial. Modal ini paling mudah untuk dikonversikan ke kapital

lain. Kedua modal budaya (Culture Capital) yang dapat berupa ijazah,

pengetahuan, kode budaya, cara bicara, kemampuan menulis, cara pembawaan,

cara bergaul yang berperan dalam penentuan kedudukan sosial. Ketiga, modal

sosial (Social Capital) merupakan sebuah jaringan hubungan sebagai sumber daya

untuk penentuan kedudukan sosial. Keempat, modal simbolik (Symbolik Capital)

merupakan kapital yang menghasilkan kekuasaan simbolik. Pada modal ini

membutuhkan simbol-simbol kekuasaan seperti jabatan, gelar, status tinggi, mobil

mewah, kantor prestise, dan nama keluarga ternama. Jadi modal simbolik ini

merupakan semua bentuk pengakuan oleh kelompok baik secara institusional atau

tidak.

Dengan kata lain arena adalah sebuah konsep di mana adanya sebuah

pertarungan atau persaingan antara pemilik kapital untuk mencapai suatu

tujuannya. Semakin banyak sumber yang mereka peroleh maka terjadilah

perbedaan antara individu satu dengan yang lain.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

22

1.7 METODE PENELITIAN

1.7.1 Paradigma dan Pendekatan

Penentuan metode pendekatan yang akan diterapkan pada penelitian harus

didasarkan pada paradigma dan teori yang digunakan dalam kerangka pikiran.

Studi ini menggunakan paradigma M. H. Abrams yang membagi kajian sastra atas

empat pendekatan, yakni 1) pendekatan ekspresif merupakan pendekatan yang

menitikberatkan pada penulis, 2) pendekatan mimetic merupakan pendekatan

yang menitikberatkan semesta, 3) pendekatan pragmatik yang menitikberatkan

pembaca dan 4) pendekatan objektif merupakan pendekatan yang menitikberatkan

karya itu sendiri (Taum, 2017: 4).

Dalam reposisi paradigma Abrams, Taum (2017: 4-5) menambahkan dua

pendekatan, yakni pendekatan ekletik dan pendekatan diskursif. Pendekatan

ekletik merupakan pendekatan yang menggabungkan secara selektif beberapa

pendekatan untuk dapat memahami sebuah fenomena. Pendekatan diskursif

merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada sebuah diskursus (wacana

sastra) sebagai sebuah praktik diskursif.

Pendekatan ini merupakan reposisi dari pendekatan M. H. Abrams. Teori

diskursif memiliki macam-macam metode serta acuan teori. Beberapa metode dan

acuan tersebut digunakan dalam kritik sastra diskursif yang diambil dari teori

yang umum dikenal sebagai teori Postrukturalis. Teori ini sangat populer di dalam

kajian postrukturalisme, yang bisa diterapkan di kritik sastra diskursif.

(Haryatmoko, 2016).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

23

Alasan penggunaan pendekatan tersebut karena pendekatan tersebut mampu

memberikan bantuan terhadap peneliti guna memahami kemungkinan sebuah teks

sebagai bagian dari wacana serta pendekatan ini dapat membantu dalam

menyingkap adanya praktik sosial yang terjadi dalam teori milik Pierre Bourdieu.

Pendekatan dan teori tersebut diturunkan ke dalam metode penelitian, yang

meliputi tiga tahap, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penyajian data.

1.7.2 Metode Pengumpulan Data

Data pada penelitian ini diperoleh dari dua sumber, yakni: sumber data

primer yaitu novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning Pranoto

yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta pada tahun 2018,

sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari berbagai kajian teoritis mengenai

topik kajian. Dari data sekunder tersebut dapat dibagi menjadi sumber data online

(internet) dan juga sumber data offline (pustaka). Data penelitian dikumpulkan

menggunakan metode studi pustaka, secara lebih spesifik melalui teknik baca dan

catat. Membaca keseluruhan kajian teoritis yang berhubungan dengan topik kajian

perspektif Pierre Bourdieu, kemudian mencatat bagaimana unsur intrinsik novel,

bentuk habitus dan arena yang kemudian menimbulkan sebuah doksa.

1.7.3 Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini data yang sudah dikumpulkan kemudian dianalisis

menggunakan metode analisis isi atau konten, metode ini diungkapkan guna

mengungkap arti dan makna dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

24

karya Naning Pranoto. Analisis ini berfokus pada isi pesan cerita. Setelah

pembacaan novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah selesai dilakukan, maka

penulis akan mencatat mengenai data yang akan dilakukan pada penelitian,

mengenai ketiga unsur novel, dan adanya doksa yang sering disematkan pada

perempuan Tionghoa pada umumnya yang menyebabkan permasalahan sosial

hingga saat ini (Ratna, 2004: 48).

1.7.4 Metode Penyajian Analisis Data

Hasil analisis data yang sudah ada akan disajikan secara deskriptif

kualitatif. Pada penelitian kualitatif, metode ini secara keseluruhan memanfaatkan

cara-cara penafsiran dan menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Metode kualitatif

memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan

konteks keberadaannya. Cara-cara inilah yang mendorong metode kualitatif

dianggap sebagai multimetode sebab penelitian pada gilirannya melibatkan

sejumlah besar gaya sosial yang relevan. Dalam penelitian karya sastra, misalnya,

akan dilibatkan pengarang, lingkungan sosial di mana pengarang berada, termasuk

unsur-unsur kebudayaan pada umumnya (Ratna, 2004: 46-47).

1.8 Sumber Data

Penulis Novel : Naning Pranoto

Judul Novel : Mei Merah 1998 (Kala Arwah Berkisah)

Ukuran Novel : 13 x 18 cm

Tebal Novel : viii + 222 halaman

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

25

Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Tahun Terbit : Desember, 2018

1.9 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri atas empat bab. Pada bab I diuraikan mengenai latar

belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan

pustaka, landasan teori, dan metode penelitian. Bab II berisi tentang deskripsi

analisis data novel mengenai tokoh, alur dan latar novel Mei Merah 1998: Kala

Arwah Berkisah karya Naning Pranoto. Bab III berisi deksripsi analisis data

mengenai strukturalisme kekuasaan Pierre Bourdieu yang meliputi habitus, arena,

modal yang terdapat dalam habitus seingga melalui ketiga tahap tersebut

menghasilkan doksa dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya

Naning Pranoto. Bab IV berisi penutup, pada bab ini terdiri dari kesimpulan hasil

penelitian, saran dan lampiran penelitian. Kesimpulan yang dimaksud adalah: 1)

deskripsi mengenai struktur novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah yang

terdiri dari tokoh, alur dan latar, 2) mengenai strukturasi kekuasaan Pierre

Bourdieu yang terdiri dari habitus, arena serta modal yang terdapat di dalam

sebuah habitu. Kemudian ditemukannya doksa perempuan Tionghoa yang terdiri

dari ortodoksa dan heterodoksa yang menyebabkan kekerasan simbolik dan

perlawanan simbolik dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya

Naning Pranoto.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

26

BAB II

ANALISIS STRUKTUR NOVEL MEI MERAH 1998: KALA ARWAH

BERKISAH KARYA NANING PRANOTO

2.1 Pengantar

Dalam Bab II ini akan disajikan hasil analisis struktur novel Mei Merah

1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning Pranoto. Sebagaimana disebutkan di

dalam Landasan Teori, kajian struktur merupakan analisis usur intrinsik berupa

unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Menurut Nurgiyantoro,

unsur-unsur intrinsik yang dimaksud berupa peristiwa, cerita, plot, penokohan,

tema, alur, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa

(Nurgiyantoro, 2010: 22-24). Dalam studi ini, analisis unsur intrinsik dibatasi

pada tiga aspek saja, yakni: tokoh, latar, dan alur.

2.2 Tokoh

Tokoh dalam sebuah cerita fiksi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis

penamaan berdasarkan dari sudut pandang penamaan itu berasal atau dilakukan.

Berdasarkan adanya perbedaan sudut pandang serta tinjauan, seorang tokoh dapat

dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus, misalnya sebagai

tokoh utama-protagonis-berkembang-tipikal (Nurgiantoro, 2010: 176).

Dari segi peranan serta pentingnya tokoh, terdapat beberapa jenis tokoh

yaitu 1) tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang sering

dibicarakan dalam cerita tersebut, kehadirannya dalam cerita selalu mendominasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

27

serta sebagai penentu perkembangan alur secara keseluruhan. Tokoh utama juga

sebagai tokoh yang dikenai kejadian konflik, baik yang dituturkan dari sudut

pandangnya langsung maupun dari sudut pandang tokoh lain. 2) Tokoh tambahan,

tokoh ini kehadirannya tidak tergolong penting dan tidak mendominasi cerita

selain yang berhubungan dengan tokoh utama. Kehadirannya dalam cerita hanya

dimunculkan sesekali. 3) Tokoh protagonis, tokoh ini merupakan tokoh yang

memiliki kepribadian ideal seperti yang kita harapkan (Nurgiyantoro, 2010: 176-

178).

Berdasarkan perwatakannya, tokoh-tokoh tersebut dapat dibagi menjadi

dua jenis, yaitu tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh

yang hanya memiliki satu kualitas pribadi serta watak tertentu serta kehidupannya

tidak diungkapkan dalam cerita. Sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang

kehidupan serta jati dirinya diungkapkan dalam suatu cerita (Nurgiantoro, 2010:

181-183).

Berdasarkan kriterianya, tokoh-tokoh tersebut dibagi menjadi dua, yaitu

kriteria tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh yang

karakteristiknya tidak mengalami perubahan akibat adanya perubahan yang

disebabkan oleh lingkungan sosial. Sedangkan tokoh berkembang adalah tokoh

yang mengalami perubahan atau perkembangan yang disebabkan oleh peristiwa

yang terjadi dalam cerita tersebut. Perubahan tersebut diakibatkan oleh

lingkungan sosial maupun yang lainnya. Akibatnya dapat mengubah

perkembangan sifat dan perwatakannya (Nurgiantoro, 2010: 188).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

28

2.2.1 Humaira

.

Tokoh utama adalah tokoh yang sering dibicarakan dalam cerita tersebut,

kehadirannya dalam cerita selalu mendominasi serta sebagai penentu

perkembangan alur secara keseluruhan. Dalam novel Mei Merah 1998: Kala

Arwah Berkisah karya Naning Pranoto terdapat dua tokoh yang kehadirannya

selalu mendominasi dalam cerita yaitu Humaira dan Luk-luk. Cerita dalam novel

Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning Pranoto bergulir melalui

penceritaan kedua tokoh ini, baik dari sudut pandang tokohnya langsung maupun

melalui sudut pandang penceritaan tokoh lain. Humaira dikatakan sebagai tokoh

utama karena dalam novel tersebut terdapat dua belas bab pembagian cerita, tujuh

bagian bab menceritakan Humaira dari sudut pandang dirinya sendiri, Shinta dan

suster Jo. Sedangkan lima bagian bab menceritakan tentang Luk-luk. Selain itu

dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah, Humaira dan Luk-luk

sebagai tokoh utama yang dikenai konflik. Berikut kutipan yang membuktikan

bahwa Humaira adalah tokoh utama sebab seringnya muncul konflik yang

dialaminya yang dituturkan dari sudut pandangnya langsung maupun dari orang

lain.

(1) Yang menempel lekat di memoriku hingga sekarang adalah

hari-hariku menjelang pecahnya tragedi kelam yang

membuatku gila, hamil, meninggalkan bayiku di klinik

bersalin, lalu aku gantung diri (Pranoto, 2018:49).

(2) Bedebah! Bedebah! Siapa para bajingan yang memperkosa

Humaira itu? Mereka itu anak manusia apa anak serigala? Dosa

apa, salah apa Humaira mereka perkosa? Salah alamat

menyerang Humaira dengan brutal begitu dia tak ada

hubungannya dengan penguasa yang dianggap gagal mengelola

negara. Humaira gadis desa yang merantau ke Jakarta untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

29

menggapai cita-citanya menjadi perempuan mandiri yang

bermartabat. Kenapa kalian hancurkan? Sungguh tidak adil.

Sungguh biadab kalian. Bagaimana bila itu terjadi pada saudara

perempuan kalian? Atau bahkan calon istri kalian? Tidaklah

kalian berpikir (Pranoto, 2018: 79).

(3) Aku lalu teringat peristiwa yang menimpaku detik-detik

menjelang aku pingsan. Ya, para bedebah itu. Gila. Edan.

Bajingan. Mataku berkunang-kunang, perutku mual mengingat

wajah-wajah itu yang merobek pakaianku dan alat kelamin

yang buas itu. Tanpa sadar, aku langsung teriak-teriak karena

dicekam perlakuan yang sangat mengerikan itu (Pranoto,

2018:124).

Kutipan nomor (1) sampai (3) menggambarkan mengenai detail tragedi

yang menimpa Humaira, hal ini sebagai bukti bahwa Humaira sebagai tokoh

utama yang dikenai konflik yang menjadi akar untuk permasalahan yang nantinya

dialami Luk-luk. Ia masih mengingat betapa mengenaskannya ia waktu itu,

mendapatkan perlakuan yang begitu kasar oleh orang-orang yang tak ia kenali.

Peristiwa tersebut yang menyebabkan goncangan jiwa pada diri Humaira.

Berdasarkan perwatakannya, Humaira termasuk tokoh bulat. Perwatakan

tokoh bulat adalah tokoh yang diungkap berbagai kemungkinan sisi

kehidupannya, kepribadian dan juga jati dirinya. Berikut bukti kutipan bahwa

tokoh Humaira memiliki perwatakan bulat yang dituturkan dari sudut pandangnya

langsung maupun dari orang lain.

(4) Koh Wi dibantu adiknya, Cik Wani sebagai kasir. Ia berwajah

cantik dan genit. Kegenitannya membuatnya banyak

digandrungi pria tua maupun muda. Buahnya sungguh pahit, ia

hamil di luar nikah dan itu dianggap aib oleh keluarganya.

Ketika bayinya lahir, anak perempuan, diserahkan pada Bu

Inten yang pada waktu baru saja keguguran. Suaminya,

Sunarto- mendukung Bu Inten merawat bayi Cik Wani. Bayi

itu adalah aku (Pranoto, 2018: 55).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

30

Berdasarkan kutipan nomor (4) digambarkan mengenai identitas asli

Humaira, bahwa ia adalah anak dari perempuan Cina bernama Cik Wani yang

dihamili oleh seseorang kemudian kehamilan tersebut dianggap aib oleh Koh Wi

selaku kokonya. Setelah itu akhirnya Humaira diadopsi oleh Bu Inten seorang

dadah bayi. Namun hubungan darah Humaira dengan Cik Wani diputus oleh Bu

Inten, sehingga walaupun dia berdarah Cina, namun ia tidak menguasai apapun

yang berkaitan dengan etnis tersebut. Hal ini dibuktikan pada kutipan nomor (5).

(5) Jadi, meskipun aku berdarah Cina, tak satu kata pun bahasa

Cina yang kukuasai. Karena sejak aku diadopsi Bu Inten, ia

sengaja memutuskan hubungan dengan keluarga Koh Wi.

Ketika Koh Wi memberi santunan untuk biaya

membesarkanku, Bu Inten menolak tegas. Alasannya, demi

ketenangan hidupku. Keluarga Koh Wi takut akan ketegasan

Bu Inten. Aku bangga diasuh oleh perempuan yang punya

prinsip kuat seperti Bu Inten (Pranoto, 2018: 56).

Humaira berasal dari keluarga yang cukup mampu di daerahnya, sebab

bisa dilihat dari pekerjaan Bu Inten seorang dadah bayi, namun ayahnya sudah

meninggal. Humaira hidup berkecukupan karena selalu diberi uang jajan oleh Bu

Inten. Hal ini dijelaskan pada kutipan nomor (6).

(6) Orangtua Humaira keluarga mampu. Bahkan, termasuk kaya di

desanya. Kala aku mengenalnya, ayahnya memang telah

meninggal tapi ibunya sangat aktif sebagai breadwinner atau

pencari nafkah yang produktif sebagai tukang pijat bayi dan

petani pemilik sawah berhektar hektar. Tapi kenapa, Humaira

begitu gigih ingin memberi “uang jajan” kepada ibunya?

Sementara ibunya sangat memanjakannya, dengan kasih

sayang maupun materi. Sungguh aku heran (Pranoto, 2018:

87).

Selain tentang kehidupan Humaira, juga digambarkan mengenai

kepribadiannya yang rasional dan kritis, ia juga selalu mendapatkan ranking

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

31

teratas lima besar sewaktu sekolah. Humaira juga sosok yang memiliki cita-cita

besar. Hal ini dijelaskan pada kutipan nomor (7) dan (8).

(7) Ira, kamu memang gadis yang tegar. Ketegaran itu

membentuk kepribadian kamu sebagai sosok yang rasional dan

kritis. Maka tidak heran jika prestasi akademik kamu selalu

berada di ranking teratas dari lima besar (Pranoto, 2018: 133).

(8) Humaira gadis desa yang merantau ke Jakarta untuk

menggapai cita-citanya menjadi perempuan mandiri yang

bermartabat (Pranoto, 2018: 79).

Berdasarkan kriterianya, Humaira termasuk dalam tokoh berkembang.

Tokoh dengan kriteria tersebut mengalami perubahan atau perkembangan yang

disebabkan oleh peristiwa yang terjadi dalam cerita tersebut. Perubahan tersebut

diakibatkan oleh lingkungan sosial mau pun yang lainnya. Akibatnya dapat

merubah perkembangan sifat dan perwatakannya. Berikut bukti kutipan bahwa

tokoh Humaira mengalami perubahan dalam cerita tersebut.

(9) Aku memahami sepenuhnya, kondisi yang amat menakutkan

menimbulkan trauma yang mengguncang jiwa. Aku tak

menyangka sama sekali musibah berat ini menimpamu, Nak.

Bukan karena kamu berdarah Cina. Hal ini perlu kutegaskan

kepada kamu. Karena, menurut data tim relawan yang

menolong para korban kerusuhan Mei yang lalu itu, yang

menjadi korban pemerkosaan tidak hanya perempuan

berdarah Cina tapi juga beberapa putri asli negeri ini”

(Pranoto, 2018: 136).

2.2.2 Luk-luk

Luk-luk adalah tokoh utama perempuan setelah Humaira, Ibunya. Luk-luk

termasuk dalam tokoh utama karena kemunculannya dalam cerita juga sangat

mendominasi. Kemunculannya dalam setiap bab yang dituturkan langsung dengan

sudut pandangnya maupun orang lain mengisi sebagian bab yang setengahnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

32

menceritakan Humaira. Tokoh Luk-luk dikisahkan pada bagian prolog, bab 2, bab

3, bab 6, bab 9, bab 10, bab 11 dan bab 12. Berikut bukti bahwa Luk-luk termasuk

tokoh utama karena kemunculannya pada setiap bab selalu mendominasi dan

sebagai tokoh yang dikenai kejadian konflik.

(10) Air mata itu juga mendidihkan dadaku. Nyeri! Ngilu!

Kupegangi dadaku erat-erat agar tidak meledakkan raungan

tangis. Aku pun segera istigfar untuk meredakan amuk

tangisku, seperti yang telah terbiasa kulakukan sejak aku tahu

siapa diriku. Aku Lu’lu’- ya Luk-luk, bagian dari generasi

milenial. Aku buah Rahim Humaira, salah seorang

perempuan korban pemerkosaan saat pecahnya kerusuhan di

ibu kota pertengahan Mei 1998 (Pranoto, 2018: 2).

(11) Maaf, sekali lagi, aku tidak sedang marah kepada Tuhan.

Hanya, aku sedang melampiaskan ketidakpuasanku atas

eksistensiku. Ya, aku… yang lahir dari sperma lelaki yang

telah memperkosa perempuan yang melahirkanku: Humaira!

(Pranoto, 2018: 32).

(12) Aku tak mau kehilangan jejak Luk-luk, gadis cerdas yang

sedang kujadikan ‘kelinci percobaan’. Maksudnya, jadi

sasaran teroranku. Aku memang sedang belajar jadi teroris

tapi gak pake bom mau pun senjata jenis apa pun. Jurus

terorku cuma pake rayuan gombalku versi modus alias modal

dusta (Pranoto, 2018: 164).

Luk-luk juga sebagai tokoh utama yang dikenai konflik dari konflik utama

yang lebih dahulu mengenai ibunya. Pada kutipan nomor (10) dan (11)

menggambarkan bagaimana konflik yang mengenai Luk-luk, ia mengetahui jati

dirinya bahwa ia anak dari perempuan yang diperkosa pada Mei’98. Ia merasa

marah dan hancur sebab ia dilahirkan dari sperma hasil pemerkosaan tragis.

Kemudian konflik tersebut dibuat oleh Lexy yang mencoba meneror Luk-luk

dengan memberi tahu jati diri Luk-luk. Hal ini dijelaskan pada kutipan nomor

(11).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

33

Berdasarkan perwatakannya, Luk-luk termasuk dalam jenis tokoh bulat,

sebab dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah kehidupan serta jati

diri Luk-luk diungkapkan melalui sudut pandang tokoh Luk-luk langsung mau

pun melalui sudut pandang tokoh lain. Berikut bukti kutipan bahwa Luk-luk

termasuk dalam jenis tokoh perwatakan bulat.

(13) Setelah Luk-luk sah kami adopsi, ia kami bawa ke sebuah

kota di Kalimantan Selatan, provinsi suami saya bertugas

mengajar di SMA. Ia guru Bahasa Indonesia sesuai dengan

bidang kesarjanaannya ketika kuliah di IKIP. Kami kembali

ke Yogya ketika Luk-Luk sudah kelas III Sekolah Dasar dan

suaminya saya waktu itu diangkat sebagai kepala sekolah di

sebuah SMA di wilayah selatan Yogyakarta. Luk-luk kami

perkenalkan kepada siapa pun sebagai anak kandung kami,

anak nomor dua alias si bungsu (Pranoto, 2018: 24).

Diceritakan pula mengenai awal mula Luk-luk diadopis oleh Bu Yayuk

dan suaminya. Kemudian setelah Luk-luk diadopsi, ia dibawa ke Kalimantan

selatan di mana suami Bu Yayuk bertugas, kemudian pindah kembali ke Jogja

ketika suaminya diangkat menjadi kepala sekolah di SMA di wilayah selatan

Jogja. Hal ini dijelaskan pada kutipan nomor (13). Setelah Luk-luk besar ia

menjadi anak yang berprestasi, memenangkan lomba bulutangkis hingga tingkat

provinsi, hal ini dijelaskan pada kutipan nomor (14).

(14) Alhamdulillah, ketika Luk-luk di bangku SMP berkali-kali

berhasil jadi juara dalam pertandingan bulutangkis sebagai

perwakilan sekolahnya di ajang PROSENI dari tingkat

kecamatan hingga berlaga di tingkat provinsi. Beberapa

medali emas, perak dan perunggu telah ia kantongi dan itu

sangat membahagiakan suamiku (Pranoto, 2018: 27).

Berdasarkan kriterianya, Luk-luk termasuk jenis tokoh berkembang, sebab

dalam novel Mei Merah 1998 karya Naning Pranoto tokoh Luk-luk mengalami

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

34

perubahan watak serta tingkahlaku yang diakibatkan oleh adanya konflik yang

terjadi. Perubahan tersebut diakibatkan oleh lingkungan sosial maupun yang

lainnya. Akibatnya dapat mengubah perkembangan sifat dan perwatakannya.

Berikut bukti kutipan bahwa tokoh Luk-luk mengalami perubahan dalam cerita

tersebut.

(15) Sungguh saya terkejut ketika pada suatu sore sepulangnya

dari latihan bulutangkis muka Luk-luk cemberut. Ia masuk ke

dalam rumah tanpa berucap salam dan mencium tangan saya.

Sikap itu menyimpang dari kebiasaannya.

(16) “Terima kasih Mbak, membawaku menuju jalan terang.

Kapan aku dipertemukan dengan Bunda Yayuk”

“Lebih dari kangen, Mbak. Aku bikin dosa besar padanya.

Aku anak yang tak tahu diri. Aku takut kualat.”

“Aku mau sungkem padanya!” (Pranoto, 2018: 161-162).

(17) “Iya Bunda… aku bersalah. Mohon maaf. Aku tak mau

bertanya lagi tentang itu, tentang ibu kandungku. Aku sudah

bisa menerima takdirku. Aku sudah bisa hadapi kenyataan

nasibku, Bunda. Demi Allah, ndak apa-apa, Bunda. Aku

senang Bunda masih mau menerimaku.” (Pranoto, 2018:

186).

Perubahan Luk-luk disebabkan oleh konflik yang dibuat oleh tokoh Lexy

yang mencoba membongkar jati diri Luk-luk. Perubahan yang terjadi yaitu

perubahan sikap Luk-luk yang menyimpang dari biasanya melalui kutipan no

(15). Setelah ia kabur dari rumah dan bertemu dengan Mbak Darwati, ia

mendapatkan pencerahan, sikap Luk-luk berubah dengan ditunjukkan pada

kutipan no (16) ia menyadari akan kesalahannya dan meminta maaf pada Bu

Yayuk.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

35

2.2.3 Shinta

Shinta merupakan tokoh tambahan protagonis, karena dalam novel Mei

Merah 1998: Kala Arwah Berkisah digambarkan bahwa ia memiliki karakter

ideologi seorang sahabat yang pembaca bayangkan. Shinta adalah sahabat

Humaira yang saling bertemu di lembaga pendidikan sekretaris, kemudian ia yang

memberitahu Humaira tentang lowongan kerja di Jakarta. Berikut ini kutipan yang

menjelaskan Shinta sebagai tokoh protagonis.

(18) Sejak Humaira tinggal bersamaku dan mengikuti training,

aku mengantar dan menjemputnya. Kulakukan ini agar

Humaira tak harus naik kendaraan umum. Aku khawatir

terjadi apa-apa dengannya, sebagai penghuni baru ibu kota.

Aku sudah berjanji pada Bu Inten, untuk menjaga putrinya

itu. Maka lebih baik Humaira kuantar jemput (Pranoto, 2018:

72).

(19) Mulyadi kita jemput Humaira. Humaira! Pintaku menjerit,

dicekam ketakutan dan kekhawatiran akan keselamatan

sahabatku itu (Pranoto, 2018: 75)

(20) Oh Ira! Aku pernah gila karena memikirkan nasibmu. Kacau

balau perasaanku pada saat aku gila: tak bisa tidur, tak nafsu

makan, seluruh sendi-sendiku nyeri (Pranoto, 2018: 94).

Dari kutipan no (18) sampai (20) dapat disimpulkan bahwa Shinta adalah

tokoh protagonis, sebab ia memiliki karakteristik ideologi sebagai sahabat yang

baik bagi Humaira, karena begitu mengkhawatirkan Humaira sampai membuat

goncangan jiwa pada diri Shinta yang ditunjukkan pada kutipan no (20). Selain

mencarikan pekerjaan untuk Humaira, Shinta juga kerap mengantar jemput

Humaira saat training karena ia begitu khawatir.

Berdasarkan perwatakannya, Shinta termasuk dalam tokoh tokoh bulat.

Perwatakan tokoh bulat adalah tokoh yang diungkap berbagai kemungkinan sisi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

36

kehidupannya, kepribadian dan juga jati dirinya. Kutipan berikut akan

menjelaskan mengenai kehidupan, kepribadian dan jati diri Shinta. Ia adalah

seorang perempuan berdarah Cina, ia lahir dari keturunan Cina Hakka yang

memiliki marga Lie. Dalam tradisi keluarganya tidak pernah memandang rendah

kaum perempuan. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut.

(21) Aku Shinta. Itu nama Indonesiaku. Nama asliku Lie Fong

Moij, anak semata wayang dari keluarga Lie, keturunan Cina

Hakka atau lazim disebut Khek. Kata apak-ku, ayahku,

leluhurnya berasal dari Meizhou wilayah provinsi

Guangdong. Apak-ku ingin sekali aku jadi sarjana. Karena

kondisi ekonomi yang waktu itu tidak menentu dampak dari

perang kemerdekaan RI (Pranoto, 2018: 90).

(22) Namun yang paling membuatku bahagia adalah, aku –

perempuan berdarah Hakka. Dalam adat dan tradisi Hakka,

tidak memandang rendah kaum perempuan. Kesetaraan

gender diterapkan dalam kehidupan mereka sehingga kaum

perempuannya tidak tertindas oleh praktik patriarki (Pranoto,

2018: 90-91).

Berdasarkan kriterianya, Shinta termasuk tokoh berkembang. Sebab dalam

novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning Pranoto Shinta

mengalami perubahan yang diakibatkan oleh konflik yang mengenai tokoh utama.

Kutipan berikut ini akan menjelaskan mengenai perubahan yang dialami oleh

tokoh Shinta.

(23) Oh Ira! Aku pernah gila karena memikirkan nasibmu. Kacau-

balau perasaanku pada saat aku gila: tak bisa tidur, tak nafsu

makan, seluruh sendi-sendiku nyeri. Napasku sesak, kepalaku

sangat pusing, emosiku labil. Aku mudah marah, tak mampu

mengontrol diri. Semua orang dekatku bingung, sedih dan

tertekan: anakku, suamiku, apak-ku, amak-ku bahkan kakak

angkatku: Cik Lin (Pranoto, 2018: 94).

(24) “Iya, dia sempat gila mikirin,” Lin angkat bicara lantang,

“Gilanya di Australia. Hampir dua tahun dia dalam kondisi

labil jiwa. Untung bisa sembuh.” (Pranoto, 2018: 108).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

37

Kutipan nomor (23) dan (24) membuktikan bahwa tokoh Shinta memiliki

kriteria yang berkembang sebab dalam ceita ia mengalami perubahan mental yang

disebabkan oleh konflik yang mengenai tokoh utama Humaira.

2.2.4 Cik Lin

Cik Lin merupakan tokoh tambahan dalam novel Mei Merah 1998: Kala

Arwah Berkisah karya Naning Pranoto. Dalam cerita, tokoh Cik Lin digambarkan

sebagai wanita berusia 40-an dengan gaya hidup mewah serta berdarah Cina. Cik

Lin berperan sebagai bos Humaira, pemilik restoran Cina di Jakarta. Berdasarkan

wataknya, Cik Lin termasuk dalam tokoh berwatak bulat sebab dalam novel ini

diceritakan singkat mengenai kehidupan serta watak Cik Lin. Hal tersebut

dijelaskan pada kutipan berikut.

(25) Aku melihat seorang perempuan berusia sekitar 40-an turun

dari mobil mewah buatan Jerman. Ia mengenakan celana dan

blazer berwarna gelap, kontras dengan kulitnya yang kuning

mulus. Rambutnya yang model bob layer dicat warna

burgundy, membuatnya tampak modis. Ketika sudah dekat

aku dapat melihat bahwa rias matanya warna terang, sehingga

membuat matanya besar cemerlang. Wajah dan

penampilannya yang anggun mengingatkanku akan sosok

Gong Li, aktris film Cina yang sukses di Hollywood

(Pranoto, 2018: 62-63).

(26) Karena saat tragedi itu terjadi, aku sedang mengikuti training

sebagai pembekalan untuk bekerja di restoran milik

perempuan Cina yang baik hati: Herlinawati. Nama aslinya

Bong Huan Yue yang artinya ‘sekeras karang’. Sesuai dengan

namanya, Cik Lin – demikian, ia memintaku memanggilnya,

adalah perempuan yang tegar. Sejak kecil yatim-piatu,

tumbuh dan besar bersama koko-nya, dari Bangka merantau

ke Jakarta. Berkat keahliannya memasak dan ulet dalam

usahanya, ia pun jadi perempuan sukses dalam usia 40-an. Ia

rendah hati (Pranoto, 2018: 117).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

38

(27) Cik Lin penganut Kristen yang taat dan penuh toleransi

(Pranoto, 2018: 118).

(28) Padahal, kala aku remaja dijuluki “atu disco”, karena hobiku

ngegol di diskotik. Hiruk-pikuknya musik dan hingar-

bingarnya lampu diskotik membuatku merasa eksis dan

meratu: akulah cewek paling cantik di antara cewek yang

cantik-cantik. Akulah cewek yang paling glamour di antara

para cewek yang sok tampil glamour. Aku memang bintang.

Maka aku harus dalam posisi cemerlang dalam segala hal.

Makanya aku jadi pekerja keras. Orang menyebutnya

workaholic. Ada juga yang menjulukiku sebagai little iron

lady (Pranoto, 2018: 180).

Berdasarkan perkembangannya, tokoh Cik Lin termasuk dalam tokoh

berkembang. Hal ini dikarenakan tokoh mengalami perubahan akibat adanya

konflik yang mengenai tokoh utama. Perubahan tersebut dijelaskan pada kutipan

berikut.

(29) Tapi, setelah aku mengalami trauma akut akibat tragedi Mei

– sembilan delapan, aku berubah. Aku bertrasformasi. Aku

bukan lagi seorang workaholic maupun little iron. Aku jadi

perempuan dalam setiap inci senyap. Maksudnya, aku menepi

dari kancah segala hiruk-pikuk pergaulan maupun bisnisku.

Aku memilih membaktikan diri sebagai pelayan Tuhan,

sebagai rasa syukurku pada-Nya, yang berkenan

memperpanjang hidupku (Pranoto, 2018: 180-181).

2.2.5 Bu Inten

Tokoh Bu Inten berperan sebagai ibu angkat dari Humaira. Bu Inten

termasuk dalam tokoh tambahan, sebab kemunculan dalam cerita tidak terlalu

sering dan hanya jika ceritanya memiliki keterkaitan dengan tokoh utama

Humaira. Namun berdasarkan wataknya, Bu Inten termasuk dalam tokoh

berkembang karena diceritakan mengenai latar belakang serta kehidupannya. Hal

ini dijelaskan pada kutipan berikut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

39

(30) Membantu ibuku yang berprofesi sebagai pemijat atau tukang

dadah bayi. Bu Inten, nama lengkapnya Juminten. Ia

perempuan yang merawat dan mengasuhku sejak bayi merah.

Perempuan bertubuh gempal, wajahnya bulat telur dan murah

senyum itu sangat populer di kota kabupaten tempat kami

tinggal. Aktivitasnya membuat Bu Inten selalu sibuk setiap

hari kecuali hari Jumat ambil libur setengah hari untuk

belajar mengaji pada seorang Ibu Nyai. Ibu Inten adalah

penganut islam abangan, yaitu golongan masyarakat

penganut agama islam tapi tidak sepenuhnya menjalankan

sesuai syariat (Pranoto, 2018: 52-53).

Selain itu juga digambarkan mengenai status sosial Bu Inten yang cukup

dibilang mampu untuk ukuran perekonomian di lingkungannya. Saat krisis

moneter pun ia tak pernah merasakannya, sebab penghasilannya tidak

terpengaruhi akibat adanya Krismon tersebut. Ia dikatakan sebagai pemilik status

sosial tinggi menengah dengan cara penggambaran dalam kutipan berikut.

(31) Statusnya ia termasuk orang berada di desa kami dengan

barometer: rumahnya tembok, tempat tidurnya berkasur,

mebel isi rumah lengkap dibuat dari kayu jati, punya sepeda

motor, punya sawah dua hektar dan punya perhiasan lengkap

yang terdiri dari kalung, gelang, subang, bros, peniti

renteng,dan jam tangan. Ia sungguh mukti makmur (Pranoto,

2018: 54).

Juga diceritakan mengenai pekerjaan Bu Inten sebelum menjadi tukang

dadah bayi yang dijelaskan pada kutipan berikut.

(32) Sebelum menjadi tukang pijat, di masa mudanya Bu Inten

adalah pelayan toko kelontong milik Koh Wi (Pranoto, 2018:

54).

Berdasarkan perkembangannya, Bu Inten termasuk dalam tokoh

berkembang karena mengalami perkembangan akibat dari konflik yang mengenai

tokoh Humaira. Hal ini dibuktikan pada kutipan berikut.

(33) Kabar itu membuat ibumu strok. Seminggu kemudian

meninggal (Pranoto, 2018: 140).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

40

2.2.6 Suster Jo

Suster Jo merupakan seorang biarawati yang menjabat sebagai kepala

sekolah di SMA Humaira. Keluarga Humaira juga sangat dekat dengan beliau.

Saat tragedi 98 terjadi, Romo Danu membawa Humaira kepada Suster Jo, di

situlah mereka dipertemukan kembali dan Suster Jo sangat berarti dalam

kehidupan Humairan dan juga Luk-luk. Suster Jo merupakan tokoh tambahan

yang kehadirannya tidak terlalu mendominasi bahkan hanya ada jika menyangkut

tokoh utama. Dalam perwatakannya, suster Jo termasuk tokoh yang sederhana

yang tidak digambarkan mengenai riwayat hidupnya. Berdasarkan

perkembangannya, suster Jo tidak mengalami sebuah perkembangan atau

termasuk tokoh statis, perwatakannya tetap sama walaupun dipengaruhi oleh

adanya kejadian yang mengenai tokoh utama.

2.2.7 Rangkuman

Kajian tokoh pada penelitian ini dibatasi pada lima tokoh yang memiliki

watak serta perkembangan yang sama yaitu tokoh Humaira, Luk-luk, Shinta, Cik

Lin dan Bu Inten. Pembatasan kajian juga berdasarkan fokus pembahasan

perempuan berdarah Cina yaitu, tokoh Humaira, Shinta dan juga Cik Lin. Dari

hasil penelitian ditemukannya satu tokoh utama yaitu Humaira yang kehadirannya

dalam penceritaan amat medominasi serta memiliki perwatakan bulat dan

mengalami perubahan akibat konflik yang mengenainya. Tokoh utama tambahan

yaitu Luk-luk yang kehadirannya dalam cerita cukup mendominasi setengah dari

penceritaan tokoh Humaira, Luk-luk termasuk tokoh berwatak bulat serta

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

41

mengalami perubahan. Tiga tokoh tambahan yakni Shinta, Cik Lin dan Bu Inten

yang memiliki perwatakan bulat serta mengalami perkembangan sejalan dengan

perkembangan alur. Kemudian satu tokoh tambahan yang berwatak sederhana dan

tidak mengalami perkembangan (statis) walaupun alur mengalami perkembangan,

yaitu tokoh Suster Jo. Tokoh terakhir ini sangat berperan penting bagi kehidupan

Humaira dan Luk-luk.

Dari analisis tokoh yang dilakukan di atas, dapat dikatakan bahwa novel

Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah menggambarkan tokoh-tokoh ceritanya

dengan serius seperti tampak pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1 Rangkuman Tokoh Novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah

No Pembedaan Tokoh

Berdasar Peran Berdasarkan Watak Berdasarkan

Perkembangan

Utama Tambahan Bulat Sederhana Berkembang Statis

1. Humaira + +

2. Luk-luk + +

3. Shinta (pro) + +

4 Cik Lin + +

5 Bu Inten + +

6 Suster Jo + +

2.3 Latar

Latar disebut pula sebagai landasan tumpu yang sering menyudutkan pada

sebuah tempat, waktu serta lingkungan sosial di mana peristiwa itu terjadi. Ketiga

hal tersebut secara konkret membentuk suatu cerita. Tokoh cerita adalah tokoh

yang mengalami suatu kejadian dan dalam kejadian tersebut harus ada pijakan di

mana dan kapan agar lebih mempertegas cerita.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

42

Latar tempat adalah hal yang mengarah pada lokasi terjadinya suatu

peristiwa yang diceritakan dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah

karya Naning Pranoto. Latar tempat dengan nama biasanya dapat dijumpai di

dunia nyata, misalnya Magelang, Yogyakarta, Juranggede, Cemarajajar, Kramat,

Grojogan, dan lain-lain. Nama tempat juga dapat berupa inisial, misalnya Kota M,

T, S dan desa B. Sedangkan latar tempat dengan nama jelas biasanya berupa

penyebutan jenis dan sifat umum tempat tersebut (Nurgiantoro, 2010: 227).

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa

yang diceritakan dalam karya fiksi. Unsur waktu dalam novel sangat dominan

serta mempengaruhi perkembangan plot dan cerita secara keseluruhan. Latar

waktu juga dikaitkan dengan latar tempat, sebab kenyataannya memang saling

berkaitan (Nurgiantoro, 2010: 232-233).

Latar sosial berhubungan pada hal yang memiliki hubungan dengan

perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan. Latar

sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan

hidup, cara berpikir dan bersikap. Selain itu, latar sosial juga berhubungan dengan

status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah atau atas.

2.3.1 Latar Tempat

Dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning

Pranoto terdapat adanya berbagai tempat yang berkaitan dengan penggambaran

lokasi di mana para tokoh mengalami kejadian dalam cerita. Latar tempat akan

dibuktikan pada kalimat berikut ini.

(34) Kemudian sim card itu kupatahkan menjadi beberapa keping

dan dengan cepat kulempar ke sungai yang menghampar di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

43

hadapanku. Untunglah, air sungai itu sangat keruh sehingga

tidak membuatku sentimental ketika menyaksikan nomor alat

komunikasiku itu hanyut, entah akan bermuara di mana

(Pranoto, 2018: 1).

Kutipan nomor (34) menunjukkan lokasi di mana Luk-luk saat kabur dan

mencoba membuang sim cardnya untuk menghilangkan jejak dari orang-orang

yang mungkin mencarinya, terutama Bu Yayuk ibu sambungnya.

(35) Menurut penerawangannya, Luk-luk sedang berada di Stasiun

Kereta Api Tugu untuk berangkat ke Jakarta (Pranoto, 2018:

48).

Kutipan nomor (35) menunjukkan lokasi tempat di mana Luk-luk saat itu

berada. Kutipan tersebut dituturkan melalui sudut pandang tokoh Kamboja (teman

Humaira) yang mencoba menerawang keberadaan Luk-luk saat itu.

(36) Tapi, restoran Cik Lin yang mewah telah porak-poranda:

kaca-kacanya pecah, berbagai lukisan Cina yang menghiasi

temboknya rahib, perabotan mebelnya dijarah dan menu

makan siang berserakan sisa-sisanya (Pranoto, 2018:76).

(37) Demikian pemberian uang secara estafet terus berlangsung

hingga kami sampai ke sebuah hotel berbintang di wilayah

Jalan Gatot Subroto. Hotel itu ada di bilangan Senayan dan

dijaga puluhan polisi yang siaga (Pranoto, 2018: 85).

Masa yang mengamuk menjarah restoran milik Cik Lin yang baru buka

beberapa minggu yang lalu yang ditunjukkan pada nomor (36). Cik Lin, Shinta

dan Mulyadi berhasil keluar dari tempat kejadian kerusuhan tersebut dengan

bantuan para preman dengan syarat memberikan uang 10 juta. Akhirnya mereka

bisa lolos dan mengungsi di salah satu hotel berbintang di Senayan. Hal ini

dibuktikan pada kutipan nomor (37).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

44

(38) Karena melhat beberapa lelaki datang menghampiriku dan

sebagian naik ke lantai tiga untuk mencari sasaran yang akan

mereka perkosa (Pranoto, 2018: 123).

Kemudian kutipan pada nomor (38) menunjukkan lokasi di mana para

lelaki biadab itu mencari mangsanya, setelah membabi buta di lantai satu dan dua.

Mereka mencari para pekerja Cik Lin yang sedang bersembunyi.

(39) “Anda kami rawat di rumah singgah kami.” (Pranoto, 2018:

125).

(40) Kalau hujan aku meneduh di bawah jembatan (Pranoto, 2018:

129).

Kutipan nomor (39) menunjukkan tempat di mana keberadaan Humaira

setelah ia ditolong oleh para medis, ia di bawa ke rumah singgah dan diberi

pengobatan. Kutipan nomor (40) menunjukkan tempat di mana Humaira tinggal

selama ia kabur dari rumah singgah untuk melakukan bunuh diri.

(41) Dua hari selanjutnya, kamu menggantung diri dengan stagen

di pohon itu (Pranoto, 2018: 145).

Kutipan nomor (41) menunjukkan lokasi ketika Humaira memutuskan

untuk bunuh diri dengan cara menggantungkan dirinya di suatu pohon setelah ia

melahirkan Luk-luk, karena ia merasa tidak kuat untuk menjalani hidupnya sebab

beban yang ia tanggung cukup berat.

(42) Kini Luk-luk berada di tempat kosku. Aku menempati

ruangan yang mirip pavilium, milik seorang janda, pensiunan

guru Sumiati namanya (Pranoto, 2018: 154).

Setelah Luk-luk ditemukan oleh satpam stasiun, ia tak mau untuk

diserahkan ke kantor polisi agar segera kembali ke rumah. Kemudian Luk-luk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

45

dibawa oleh Mbak Darwati salah satu satpam perempuan di Stasiun Tugu yang

ditunjukkan pada kutipan nomor (42).

(43) Taksi yang dinaiki Luk-luk dan Bu Satpam masuk ke

halaman sebuah hotel bintang lima di jantung kota Yogya

Pranoto, 2018: 176).

Pak Suwiryo dan Mbak Darwati membuat kesepakatan untuk

mempertemukan Luk-luk dengan Bu Yayuk, kemudian Mbak Darwati mengantar

Luk-luk menuju salah satu hotel berbintang yang berada di jantung kota

Yogyakarta. Hal ini dijelaskan pada kutipan nomor (43) menunjukkan tempat di

mana Lexy berhasil menemukan keberadaan Luk-luk yang saat itu ia ikuti.

(44) Kupilih satu pohon berbatang baling besar, berdaun paling

rindang dan berakar paling kuat: pohon trembesi. Aku

bernaung di atasnya, sambil membaca surat dari si Kamboja,

untuk kedua kalinya (Pranoto, 2018: 200).

(45) “Luk-luk akan menziarahimu seminggu sekali. Setiap jumat

sore. Rumahmu akan selalu wangi oleh doa dan taburan

bunga yang ia persembahkan untukmu.” (Pranoto, 2018:

215).

Kutipan pada nomor (44) menunjukkan lokasi tempat di mana tokoh

Humaira bersemayam, karena pada bab tersebut diceritakan sosoknya dari sudut

pandang arwah maka ia bertempat tinggl di pohon besar, berdaun rindang serta

betrakar kuat. Pohon itu adalah pohon trembesi. Sedangkan kutipan nomor (45)

menunjukkan lokasi tempat makam tokoh Humaira, di mana jasadnya berada.

2.3.2 Latar Waktu

Dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning

Pranoto terdapat adanya berbagai latar waktu yang berkaitan dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

46

penggambaran kapan para tokoh-tokoh tersebut mengalami kejadian dalam cerita.

Latar waktu akan dibuktikan pada kalimat berikut ini.

(46) Sungguh saya terkejut ketika pada suatu sore sepulangnya

dari latihan bulutangkis muka Luk-luk cemberut (Pranoto,

2018: 20).

Kutipan nomor (46) menunjukkan latar waktu sore hari ketika tokoh Luk-

luk dikenai konflik pertama kalinya, setelah ada seseorang yang mengatakan

bahwa ia bukan anak kandung Bu Yayuk, melainkan anak perempuan yang

diperkosa pada Mei’98.

(47) Tragedi pemerkosaan di ibu kota tanggal 13-14 Mei 1998,

pada saat Jakarta membara karena adanya pembakaran mobil-

mobil, pusat-pusat pertokoan disertai penjarahan di berbagai

wilayah. Para mahasiswa yang pada waktu itu

memperjuangkan reformasi atas dominasi Presiden Soharto

selaku penguasa Orde Baru (Orba) (Pranoto, 2018: 34).

Kerusuhan, penjarahan serta pemerkosaan yang terjadi di Jakarta terjadi

pada tanggal 13 sampai dengan tanggal 14 Mei tahun 1998 yang menyebabkan

kerusakan fasilitas umum. Hal ini dijelaskan pada kutipan nomor (47).

(48) Pesan itu kuterima sekitar pukul 10.00 WIB, dikirim melalui

pager (radio panggil, alat komunikasi sebelum telepon seluler

dimiliki masyarakat secara luas) yang membawaku dari desa

kecil di lereng pegunungan di selatan Yogya merantau ke

Jakarta (Pranoto, 2018: 49).

(49) Hari berikutnya, pada sore hari, yang tepatnya hari sabtu aku

berangkat ke Jakarta naik kereta api senja (Pranoto, 2018:

58).

(50) Hari minggu, pertama aku jadi penghuni Kota Jakarta yang

telah lama kuimpikan (Pranoto, 2018: 59)

Kutipan nomor (48) menunjukkan waktu pukul 10.00 WIB ketika Humaira

mendapatkan kabar dari Shinta untuk Humaira segera datang ke Jakarta untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

47

mendapatkan tawaran pekerjaan, setelah itu pada latar waktu sore hari, tepatnya

hari sabtu Humaira berangkat dari Yogyakarta menuju Jakarta yang dibuktikan

pada kutipan nomor (49). Kemudian kutipan nomor (50) menunjukka latar waktu

hari minggu, saat Humaira pertama kali menginjakkan kaki di ibu kota.

(51) Hari ini, 20 tahun yang lalu, merupakan perpisahanku

dengannya. Perpisahan selamanya. Perpisahan yang

meninggalkan luka di hati dan trauma yang mendalam

menggoncangkan jiwa (Pranoto, 2018: 69)

(52) Dua hari kemudian, ibu yang berhati mulia itu meninggal.

Tepatnya, tanggal 17 mei 1998, demikian berita yang

kudengar (Pranoto, 2018: 93).

Kutipan nomor (51) menunjukkan latar waktu tahun 1998 jika dihitung

mundur dari tahun 2018 (20 tahun yang lalu), dalam kutipan tersebut Shinta

menceritakan awal mula ia benar-benar kehilangan Humaira, sahabatnya.

Kemudian pada kutipan nomor (52) menunjukkan latar waktu tanggal 17 Mei

1998 ketika Ibu Inten meninggal dunia karena stroke mendadak mendengar

putrinya menjadi korban Mei’98.

(53) Wajahnya makin menciut, bahkan berurai air mata ketika

menceritakan kisah lahirnya bayi Mawar. Tragedi

pemerkosaan di ibu kota tahun 1998 (Pranoto, 2018: 100).

(54) Bahkan aku juga tidak menghendaki hamil dalam usiaku saat

terjadinya pemerkosaan itu bagian dari kerusuhan Mei’98

yang menengarai reformasi di negedsxri ini (Pranoto, 2018:

117).

Latar waktu pada tahun 1998 pada novel Mei Merah 1998 karya Naning

Pranoto menunjukkan dua peristiwa, yaitu peristiwa kerusuhan, penjarahan dan

pemerkosaan yang menimpa tokoh Humaira. Kejadian tersebut menyebabkan ia

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

48

hamil dan mengalami gangguan kejiwaan. Peristiwa yang kedua yaitu lahirnya

Luk-luk pada masa kerusuhan Mei 1998.

2.3.3 Latar Sosial

Dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning

Pranoto terdapat adanya berbagai latar sosial yang berhubungan dengan

kehidupan para tokoh dalam cerita. Latar sosial akan dibuktikan pada kalimat

berikut ini.

2.3.3.1 Latar Sosial Berkenaan Dengan Prinsip

Terdapat adanya tiga prinsip dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah

Berkisah karya Naning Pranoto. Prinsip yang pertama dimiliki oleh Bu Inten yaitu

Ibu angkat Humaira. Sebagai orang Jawa, Bu Inten memiliki sebuah prinsip dalam

hidupnya yaitu “mangan ora mangan kumpul”. Prinsip ini jika diterjemahkan

dalam bahasa Indonesia artinya adalah lebih baik hidup susah di desa sendiri dari

pada harus berpisah atau meninggalkan keluarga hanya untuk mencari makan di

tempat lain. Prinsip kedua yaitu sebuah prinsip yang dipercayai oleh etnik Cina

Hakka, mereka memiliki prinsip bahwa pendidikan tinggi bagi mereka sangat

penting. Yang terakhir adalah prinisp dalam dunia bisnis tokoh Cik Lin. Ia

memiliki prinsip bahwa mitra kerja harus terampil, kreatif dan mampu mengatasi

masalah denga cepat. Prinsip itu ia pegang agar bisnisnya dapat berjalan dengan

baik. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut.

(55) Karena ia sangat Jawa, maka menerapkan prinsip: mangan

ora mangan kumpul. Ah, aku menolak prinsip itu (Pranoto,

2018: 51).

(56) Karena kondisi ekonomi yang pada waktu itu tidak menentu

dampak dari perang kemerdekaan RI, membuat apak-ku

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

49

hanya bisa menempuh pendidikan sampai bangku setingkat

Sekolah Dasar di Cikampek, lalu sekolahnya bubar. Padahal

ia bercita-cita jadi guru. Ini bisa kupahami karena Cina

Hakka memang menjunjung tinggi pendidikan (Pranoto,

2018: 90).

(57) Prinsipnya, mitra kerja harus terampil, kreatif dan mampu

mengatasi masalah denga cepat (Pranoto, 2018: 117).

Dari kutipan nomor (55) menggambarkan tentang prinsip orang Jawa yang

meski tidak bisa makan (tak memiliki penghasilan) yang terpenting adalah

kumpul dengan keluarga. Kutipan nomor (56) menggambarkan prinsip yang

dimiliki oleh etnis Cina Hakka yang menjunjung tinggi nilai pendidikan.

Kemudian kutipan nomor (57) menggambarkan prinsip yang dimiliki oleh Cik Lin

dalam kehidupan bisnisnya.

2.3.3.2 Latar Sosial Berkenaan dengan Kekuasaan

Unsur kekuasaan dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah

digambarkan dengan simbol uang. Dengan memiliki banyak uang berarti dapat

melepaskan seseorang dari suatu masalah yang ia hadapi, dengan uang semuanya

terasa menjadi mudah. Jika seseorang memiliki uang, maka ia akan memiliki

kekuasaan yang cukup besar. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut.

(58) Lelaki bertopeng memberi isyarat pada Ipul agar memberi

uang kepada si lelaki bertubuh kecil. Ipul pun menantinya.

Demikian pemberian uang secara estafet terus berlangsung

hingga kami sampai ke sebuah hotel berbintang di wilayah

Jalan Gatot Subroto (Pranoto, 2018: 85).

Dari kutipan teks nomor (58) menggambarkan tentang kekuasaan yang

dipegang oleh para preman tersebut dapat membuat orang-orang yang berani

membayarnya maka akan bisa keluar dari kerusuhan tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

50

2.3.3.3 Latar Sosial Berkenaan dengan Status Sosial

Status sosial yang tergambar dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah

Berkisah ini mulai dari kelas ekonomi rendah, menengah hingga kelas atas.

Dimulai dari penggambaran tokoh Bu Inten yang termasuk ke dalam kelas orang

berada di desanya, kemudian para perempuan etnis Tionghoa yang berasal dari

kelas atas, etnis Cina dan keluarga yang memiliki marga Cina. Hal ini dijelaskan

pada kutipan berikut.

(59) Para korban pemerkosaan yang termasuk dari kelas ekonomi

papan atas pada umumnya dilarikan ke luar negeri oleh

keluarganya (Pranoto, 2018: 35)

(60) Statusnya ia termasuk orang berada di desa kami dengan

barometer: rumahnya tembok, tempat tidurnya berkasur,

mebel isi rumah lengkap dibuat dari kayu jati, punya sepeda

motor, punya sawah dua hektar dan punya perhiasan lengkap

yang terdiri dari kalung, gelang, subang, bros, peniti

renteng,dan jam tangan. Ia sungguh mukti makmur (Pranoto,

2018: 54).

(61) Kemudian kerusuhan berkobar-kobar membara diberbagai

penjuru Jakarta yang dihuni Cina pada tanggal tiga belas,

empat belas dan lima belas (Pranoto, 2018: 108).

(62) Nama asliku Lie Fong Moij, anak semata wayang dari

keluarga Lie, keturunan Cina Hakka atau lazim disebut Khek

(Pranoto, 2018: 90).

(63) Aku melihat seorang perempuan berusia sekitar 40-an turu

dari mobil mewah buatan Jerman. Ia mengenakan setelan

celana dan blazer berwarna gelap, kontras dengan kulitnya

yang kuning mulus (Pranoto, 2018: 62).

(64) Ditilik dari busana dan aksesoris yang mereka kenakan,

mereka dari kelas ekonomi atas (Pranoto, 2018: 106).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

51

Pada kutipan nomor (59) menggambarkan korban pemerkosaan dari status

sosial papan atas yang dilarikan ke luar negeri. Kutipan nomor (60)

menggambarkan bahwa status sosial Ibu Inten cukup jika dikatakan lebih dari

berkecukupan. Kutipan nomor (61) menggambarkan etnis Cina yang menghuni

Jakarta pada masa itu. Kutipan nomor (62) menggambarkan status sosial dari Cina

Hakka, kutipan nomor (63) menggambarkan status sosial Cik Lin yang kaya,

memiliki mobil mewah dan dandanan yang nyentrik. Kemudian kutipan terakhir

nomor (64) menggambarkan status sosial Cik Lin dan Shinta pada tahun 2018.

2.3.3.4 Latar Sosial Berkenaan dengan Budaya

Ada berbagai macam budaya yang tergambar dalam novel Mei Merah 1998:

Kala Arwah Berkisah. Budaya tersebut antara lain adalah budaya agama dengan

budaya klenik (Jawa), dan tradisi etnis Cina Hakka. Hal ini dijelaskan pada

kutipan berikut.

(65) Bahkan, ada yang beranggapan bahwa Islam abangan terkat

erat dengan adat kejawen yang dipengaruhi oleh agama

Hindu dan Buddha yang dilandasi dengan sesaji, tirakat,

semedi, bertapa hingga klenik (Pranoto, 2018: 53).

(66) Dalam adat dan tradisi Hakka, tidak memandang rendah

kaum perempuan. Kesetaraan gender diterapkan dalam

kehidupan mereka sehingga perempuannya tidak tertindas

oleh praktik patriarki (Pranoto, 2018: 91).

(67) Menurut cerita apak-ku, kaum laki-laki dan perempuan

bekerjasama di sawah ladang. Bahkan, kaum perempuan

selain bersawah atau berladang masih harus mengasuh anak-

anaknya dan mengurus rumah-tangganya. Sambil menunggu

panen, ada juga kaum perempuan yang menjual jasa sebagai

ibu susu (menyusui bayi yang bukan anak kandungnya) dan

ada pula yang membuat kue (Pranoto, 2018: 91).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

52

Latar sosial yang berkenaan dengan budaya yang terdapat dalam novel

Mei Merah 1998 karya Naning Pranoto menggambarkan tentang budaya yang

dimiliki oleh umat Islam abangan yang masih menganut adat kejawen, yang

dibuktikan pada kutipan nomor (65). Dalam novel ini juga terdapat budaya

tentang Cina Hakka yang dalam adat dan tradisinya tidak memandang rendah

kaum perempuan, hal ini dibuktikan pada kutipan nomor (66). Cina Hakka juga

memiliki kebiasaan kaum laki-laki dan perempuannya. Ada yang bekerjasama di

sawah dan ladang ada juga kaum perempuan yang membuat kue-kue serta

menjadi ibu asi, hal tersebut dibuktikan pada kutipan nomor (67).

2.3.4 Rangkuman

Dari analisis latar yang dilakukan, pada penelitian ini data kajian meliputi

latar waktu, latar tempat serta latar sosial. Kemudian di bagian latar sosial dibagi

atas tiga jenis, yaitu yang berkenaan dengan prinsip, sosial dan kekuasaan serta

budaya.

Latar tempat yang tergambar dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah

Berkisah yaitu di depan sungai, Stasiun Kereta Tugu, Jakarta, restoran Cik Lin, hotel Jl.

Gatot Subroto, rumah singgah, di bawah jembatan, di pohon, kos Mbak Darwati, hotel di

jantung kota Yogyakarta, pohon trembesi, dan rumah Humaira. Pemilihan latar dibatasi

dengan memilih berbagai tempat yang bersangkutan langsung dengan tokoh utama

maupun tokoh utama tambahan. Latar waktu yang tergambar dalam novel Mei Merah

1998 yaitu pada waktu sore hari, tanggal 13 sampai 14 Mei tahun 1998, pukul 10:00

WIB, sabtu sore, 20 tahun yang lalu, dan 17 Mei 1998. Pembatasan kajian latar waktu

berdasarkan garis besar rangkaian peristiwa yang mengenai konfik terhadap tokoh utama

dan tokoh utama tambahan. Latar sosial, latar sosial yang tergambar dalam novel Mei

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

53

Merah 1998 dibagi atas tiga jenis yaitu, 1) yang berkenaan dengan prinsip antara lain

prinsip jawa, prinsip Cina Hakka dan prinsip bisnis. 2) Yang berkenaan dengan sosial dan

kekuasaan yaitu kelas atas, kelas berada, etnis Cina, dan wanita kaya, yang berkenaan

dengan kekuasaan yaitu uang. 3) Yang berkenaan dengan budaya yaitu adat kejawen,

kesetaraan gender milik Cina Hakka dan Ibu ASI.

Tabel 2

Rangkuman Latar Tempat Novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah

No. Tempat Keterangan Kutipan

1. Di depan sungai Ketika Luk-luk mencoba memutus kontak dengan

orang sekitarnya

2. Stasiun Kereta

Tugu

Keberadaan Luk-luk yang diterawang oleh

Kamboja

3. Restoran Cik Lin Salah satu tempat jarahan & eksekusi pemerkosaan

4. Hotel Jl. Gatot

Subroto

Tempat berlindung Cik Lin, Shinta dan Mulyadi

5. Rumah Singgah Ketika Humaira ditolong oleh para relawan

6. Di bawah jembatan Sebagai tempat Humaira berteduh dan tempat ia

ditemukan

7. Di pohon Tempat Humaira menggantung diri

8. Kos Mbak Darwati Tempat Luk-luk menginap sebelum dipulangkan ke

ibunya

9. Hotel di jantung

kota yk

Ketika Luk-luk diantar bertemu dengan Bu Yayuk

10. Pohon trembesi Tempat arwahnya Humaira tinggal

11 Rumah Humaira Makam, tempat bersemayamnya raga Humaira

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

54

Tabel 3

Rangkuman Latar Waktu Novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah

No. Waktu Keterangan Kutipan

1. Sore Hari Awal mula konfik yang dialami oleh Luk-luk

2. 13-14 Mei Saat tragedi penjarahan, kerusuhan dan

pemerkosaan terjadi

3. Pukul 10:00 WIB Ketika pertama kali Humaira mendapatkan

kabar dari Shinta

4. Sabtu sore Ketika Humaira berangkat ke Jakarta

5. 20 tahun yang lalu Ketika Shinta kehilangan Humaira

6. 17 Mei 98 Ibu Inten meninggal dunia

2.4 Alur

Dalam penggambaran alur yang terdapat dalam novel Mei Merah 1998:

Kala Arwah Berkisah karya Naning Pranoto dibagi atas lima tahap analisis yang

berguna untuk menjelaskan urutan terjadinya suatu keutuhan cerita dalam novel.

Lima tahapan alur tersebut yaitu, 1) Tahap penyituasian (situation) yang

berisikan tahap pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Dalam tahap ini disebut

sebagai tahap pembukaan cerita, memberikan informasi awal, maupun gambaran

konflik yang akan terjadi pada tahap selanjutnya. 2) Tahap pemunculan konflik

(generating circumstance) yang mulai memunculkan konflik-konflik. Kemudian

konflik tersebut berkembang atau akan dikembangkan pada tahap berikutnya. 3)

Tahap peningkatan konflik (rising action), konflik yang sudah berkembang pada

tahap sebelumnya semakin memuncak dan tokoh yang mengarah ke tahap klimaks

tidak dapat dihindari. 4) Tahap klimaks (climax), konflik serta pertentangan yang

terjadi ditampilkan oleh para tokoh cerita mencapai titik puncak. Tahap klimaks

cerita akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

55

terjadinya konflik utama. 5) Tahap akhir yaitu penyelesaian (denouement), konflik

yang telah mencapai puncak klimaks diberi penyelesaian, ketegangan

dikendorkan, konflik lain diberi jalan keluar kemudian cerita diakhiri

(Nurgiantoro, 2010: 149-150).

2.4.1 Tahap awal (Situation)

Tahap awal ini dimulai dari penceritaan tentang tokoh utama, Humaira.

Saat itu ia diberi kabar oleh sahabatnya yang bernama Shinta, bahwa ada

lowongan pekerjaan untuk Humaira di Jakarta. Dari tahap ini juga diceritakan

mengenai pengenalan gambaran kehidupan tokoh Humaira. Hal tersebut terdapat

pada kutipan berikut.

(68) “Iya, Ibu. Saya memang mau matur serius. Tadi Shinta

menghubungi saya. Dia bilang, ada lowongan pekerjaan

untuk saya.” Kataku dengan sangat hati-hati, agar ibuku

membuka hati, mengizinkanku ke Jakarta (Pranoto, 2018:

56).

Setelah Humaira mendapatkan izin dari Bu Inten, hari sabtu Humaira

berangkat ke Jakarta diantar oleh ibu dan tetangganya. Kemudian ia sampai di

Jakarta dan tinggal sementara bersama di asrama milik Shinta. Hal ini dijelaskan

dalam kutipan berikut.

(69) Kamar yang ditempati Shinta cukup luas dan ditata rapi.

Tempat tidurnya ukurang single tapi dilengkapi sofa berjorok

empuk, bisa digunakan tidur leluasa. Aku memilih tidur di

sofa dan Shinta di tempat tidurnya. Sambil istirahat, sehabis

mandi dan makan, shinta mulai menjelaskan lowongan

pekerjaan yang akan kuisi (Pranoto, 2018: 60).

(70) Untuk sementara, atas izin Pak Bos-nya Shinta, aku diizinkan

tinggal di kamar Shinta sehingga aku tidak harus buru-buru

mencari tempat kos (Pranoto, 2018: 65).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

56

Akhirnya Humaira langsung diterima di restoran milik Cik Lin, namun

untuk lebih membuat Humaira semakin lancar dalam bekerja ia harus mengikuti

training terlebih dahulu bersama 50 teman lainnya. Hal ini dijelaskan pada

kutipan berikut ini.

(71) Tanpa proses birokrasi, aku langsung diterima bekerja oleh

Cik Lin. Seperti yang dikatakan Shinta, tugasku sebagai kasir

merangkap tenaga pembukuan. Restoran Cik Lin akan dibuka

sebulan lagi. Tapi Cik Lin sudah menentukan gaji pokokku

dan uang lembur. Untuk memperlancar tugas sebagai

profesional, aku di-training bersama 50 orang karyawan

lainnya (Pranoto, 2018: 64).

2.4.2 Tahap pemunculan konflik (Generating Circumstance)

Pemunculan konflik digambarkan melalui pesan dari bos Shinta yang

memberi tahu bahwa di Trisakti sedang ada kerusuhan. Hal ini dijelaskan dalam

kutipan percakapan berikut.

(72) “Jangan. Jangan ke pabrik. Kamu dan temen-temen di situ

aja. Di luar gawat. Lagi ada bakar-bakar di Trisakti!” seru

Pak Bos suaranya bergetar.

“Trisakti kan jauh dari sini Pak Bos,” jawabku nyantai.

Karena letak Universitas Trisakti berada di Grogol, wilayah

Jakarta Barat sedangkan posisi kami di Pluit, Jakarta Utara.

“Hus. Kamu jangan bandel. Di Trisakti ada truk sampah

dibakar massa. Lalu menjarah Mal Ciputra. Mobil-mobil

mahasiswa juga dibakar. Udah dulu. Aku mau ngungsi.”

(Pranoto, 2018: 74).

Kemudian Shinta panik dan mengajak Mulyadi untuk menjemput

Humaira, sebab tadi ia sempat meminta Humaira untuk datang menemuinya

selesai mengikuti training. Hal ini dijelaskan pada kutipan percakapan berikut.

(73) “Mulyadi, kita jemput Humaira. Humaira!” pintaku menjerit,

dicekam ketakutan dan kekhawatiran akan keselamatan

sahabatku itu (Pranoto, 2018: 75).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

57

Sesampainya Shinta dan Mulyadi di restoran Cik Lin suasana sangat

mencekam. Restoran milik Cik Lin rusak diamuk kumpulan massa Shinta tidak

menemukan Humaira, namun menemukan Cik Lin dalam keadaan

mengkhawatirkan. Hal tersebut dijelaskan pada kutipan berikut.

(74) Ia bersembunyi di lemari cabinet dalam kondisi setengah

telanjang. Mulyadi kuberi isyarat agar tidak mendekat.

Sambil memelukku, Cik Lin menangis. “Humaira diseret

beberapa lelaki setelah diperkosa. Entah sekarang dia di mana

sekarang?” kalimatnya tak berlanjut. Cik Lin lalu pingsan,

wajahnya memutih seputih mori (Pranoto, 2018: 77).

2.4.3 Tahap peningkatan konflik (Rising Action).

Tahap ini menimbulkan konflik yang semakin meningkat. Setelah

Humaira dinyatakan oleh Cik Lin bahwa ia diperkosa kemudian diseret oleh

beberapa lelaki ternyata Humaira ditemukan oleh tenaga medis namun mengalami

goncangan jiwa yang cukup parah. Hal ini dijelaskan dalam kutipan berikut.

(75) Aku ingin bangun. Tapi, ketika tubuhku kugerakkan, seluruh

sendiku terasa linu dah astagfirullah…vaginaku nyeri dan

perih sekali. Ketika kuraba, aku sangat terkejut, karena aku

memegang gumpalan pembalut yang membasah darah. Aku

lalu teringat peristiwa yang menimpaku detik-detik

menjelang aku pingsan. Ya, para bedebah itu. Gila. Edan.

Bajingan. Mataku berkunang-kunang, perutku mual

mengingat wajah-wajah itu yang merobek pakaianku dan alat

kelamin yang buas itu. Tanpa sadar, aku langsung teriak-

teriak karena dicekam perlakuan yang sangat mengerikan itu

(Pranoto, 2018: 124).

(76) “Maaf anda siapa ya?” tanyaku bersambung.

“Kami relawan, kami menolong siapa pun kaum perempuan

yang memang harus kami tolong,” jawab salah satu dari para

perempuan yang mengerumuniku (Pranoto, 2018: 125).

2.4.4 Tahap Klimaks (Climax)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

58

Pada tahap ini konflik yang dimunculkan semakin meningkat. Dalam alur

ceritanya, tahap ini menceritakan tentang Humaira yang ternyata sperma dari

salah satu para lelaki buas tersebut berhasil bertahan di rahim miliknya. Ia

ditemukan oleh Romo Danu dalam keadaan hamil dan dibawa ke Jogja untuk

dirawat oleh suster Jo, kakak dari Romo Danu. Hal ini dijelaskan dalam kutipan

berikut.

(77) Tadi malam, kamu dibawa oleh Romo Danu, adikku, ke

Susteran di mana aku dan kamu sering membahas puisi di

halamannya (Pranoto, 2018: 138).

(78) Kabar itu yang membuatku dan mbak Tere bingung. Bahkan

juga orang-orang yang merawat kamu semua bingung.

Perkaranya: ternyata kamu hamil. Anehnya bayimu sehat.

Lebih sehat dari dari tubuhmu yang rapuh (Pranoto, 2018:

144).

Jiwa Humaira tidak dapat bertahan pulih lebih lama, ternyata setelah

Suster Jo berusaha merawat kesehatan mental Humaira ia memilih untuk gantung

diri di bawah pohon karena tidak kuat dengan goncangan serta tekanan yang

terjadi pada dirinya. Hal tersebut dibuktikan pada kutipan berikut.

(79) Dua hari selanjutnya, kamu menggantung diri dengan stagen

di pohon itu. Ngilu aku menyaksikannya. Pilu aku

merasakannya. Sebelum kamu menggantung gantung diri,

kamu tinggalkan kenangan sebuah nama yang kamu tulis di

secarik kertas: Luk-luk! – untuk nama anakku! Artinya:

sebuah mutiara – demikian kalimat kamu yang membuat

tangisku pecah menggelegar (Pranoto, 2018: 145-146).

Kemudian anak yang dilahirkan Humaira diadopsi oleh Bu Yayuk, ia

tumbuh sebagai anak yang cantik, baik serta cerdas. Namun setelah menginjak

usia remaja ia diteror oleh Lexy yang ia kenal lewat Facebook. Kemudian ia

megetahui jati dirinya, bahwa ia adalah anak dari perempuan yang diperkosa pada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

59

tragedi Mei’98. Kemudian Luk-luk kabur dari rumahnya untuk mencari ibu

kandungnya, Humaira. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut.

(80) Hampir 19 tahun kemudian, tangisku kembali menggelegar

karena mendengar kabar bahwa Lik-luk meninggalkan ibu

angkatnya, Bu Yayuk. Ira, Luk-luk mencari kamu! (Pranoto,

2018: 146).

Luk-luk yang keras kepala tetap ingin mencari Humaira dan ia tidak mau

pulang ke rumah Bu Yayuk. Ia disuruh oleh lelaki yang dari tadi berbincang

dengannya untuk pulang, namun Luk-luk menolak. Hal itu dibuktikan pada

kutipan berikut.

(81) “Ayo pulang kau!” suaranya terdengar lagi, nadanya

melembut.

“Emoh. Aku ndak mau pulang,” bantahku tiba-tiba, di luar

kontrolku.

“Aku pengin ketemu perempuan yang nglairin aku,” kata

hatiku tak bisa kubendung (Pranoto, 2018: 38).

2.4.5 Tahap penyelesaian (Denouement)

Tahap penyelesaian ini digambarkan dengan Luk-luk yang ditemukan oleh

Mbak Darwati satpam Stasiun Tugu Yogyakarta, setelah Luk-luk diizinkan untuk

menginap di rumah Mbak Darwati, Luk-luk mau pulang ke Ibu Yayuk. Hal

tersebut dijelaskan pada kutipan berikut.

(82) “Pak Komandan, mohon masalahku diselesaikan secara

kekeluargaan. Malam ini aku ingin nginap di rumah Mbak

Darwati. Besok aku mau pulang. Sumpah. Demi Allah.

Aku...aku jujur.” (Pranoto, 2018: 153).

Luk-luk menyadari bahwa yang ia lakukan salah, kemudian setelah ia

diajak berzikir oleh Mbak Darwati ia merasa rindu dengan Bu Yayuk dan segera

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

60

ingin pulang dan sungkem padanya. Hal ini dijelaskan dalam kutipan percakapan

berikut.

(83) “Terima kasih Mbak, membawaku menuju jalan terang.

Kapan aku dipertemukan dengan Bunda Yayuk?”

“Tunggu kabar dari Pak Komandan,” jawabku gembira.

“Kangen ya sama Bunda?”

“Lebih dari kangen, Mbak. Aku bikin dosa besar padanya.

Aku anak yang tak tahu diri. Aku takut kualat.” Suaranya

penuh penyesalan. Ini yang kutunggu-tunggu.

“Aku mau sungkem padanya!” sambungnya lirih, tapi tulus.

Mengharukan (Pranoto, 2018: 162).

(84) Tapi kepanikanku lenyap ketika mendengar kabar dari Mbak

Yayuk bahwa Luk-luk ditemukan oleh satpam Stasiun Tugu.

Lalu, pagi ini ia diantar oleh satpam yang menemukannya ke

hotel tempatku menginap (Pranoto, 2018: 182).

Luk-luk meminta maaf kepada Bu Yayuk dan ia tidak akan lagi

mengungkit masalah jati dirinya, Luk-luk mau menerima jati dirinya bahwa ia

dilahirkan dari perempuan yang diperkosa pada tragedi Mei’98. Hal ini dijelaskan

pada kutipan berikut.

(85) “Iya Bunda…aku bersalah. Mohon maaf. Aku tak mau

bertanya lagi tentang itu, tentang ibu kandungku. Aku sudah

bisa menerima takdirku. Aku sudah bisa hadapi kenyataan

nasibku, Bunda. Demi Allah, ndak apa-apa, Bunda. Aku

senang Bunda masih mau menerimaku,” ucap Luk-luk,

bersujud pada Mbak Yayuk (Pranoto, 2018: 186).

Setelah mengetahui kabar dari Kamboja mengenai kondisi Luk-luk yang

baik-baik saja, akhirnya kegalauan Humaira sirna serta kini arwahnya sudah lebih

tenang. Hal ini jelaskan dalam kutipan berikut.

(86) Kegalauanku pun lenyap, tergantikan ketentraman yang

membuat arwahku tenang.

Lexy yang meneror Luk-luk kini menggantung diri menggunakan ikat

pinggang di di kamar mandi hotel setelah ketahuan bahwa ia adalah pelaku yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

61

selama ini meneror Luk-luk dengan membongkar jati dirinya sehingga

menyebabkan goncangan mental pada diri Luk-luk. Hal ini dijelaskan dalam

kutipan berikut.

(87) “Heloooww… Bagaimana pula nasib si pemuda yang neror

putrimu? Apa dia dipolisikan? Pertanyaan Pita mereduksi

kebahagiaanku.

“Wah, kalau itu sih kabar buruk,” jawabku apa adanya, “Dia

gantung diri pake ikat pinggangnya, di kamar mandi hotel.

Ibunya, Julia, nangis guling-guling lalu terserang strok berat.

Ia sangat shock, anak semata wayangnya brengsek. Tentu ia

sangat malu.” (Pranoto, 2018: 201).

2.5 Rangkuman

Kajian struktural pada bab ini mengkaji tentang unsur intrinsik karya fiksi

yang dibatasi pada tiga unsur, yaitu tokoh, latar dan alur. Ketiga unsur tersebut

dikaji karena memiliki keterkaitan serta persoalan dengan tahap kajian

selanjutnya, yaitu doksa, yang terdiri dari ortodoksa dan heterodoksa yang akan

dibahas melalui konsep stukturasi kekuasaan milik Pierre Bourdieu yang terdiri

dari konsep modal, habitus serta arena.

Ketiga unsur novel ini dipilih karena adanya saling keterkaitan antara

unsur yang ada dalam struktur novel dengan unsur yang ada dalam konsep

strukturasi kekuasaan Pierre Bourdieu. Analisis tokoh berkaitan dengan doksa,

dapat dilihat tokoh mana yang memiliki doksa tersebut. Selain itu, melalui analisis

tokoh juga dapat berkaitan dengan habitus. Setelah mengetahui seluk-beluk

kehidupan antar tokohnya, maka dapat disimpulkan tokoh tersebut termasuk ke

dalam salah satu jenis habitus yang ada. Modal juga dapat diketahui melalui

analisis penceritaan tokoh dan dapat disimpulkan mengenai modal yang mereka

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

62

miliki. Unsur latar sosial memiliki keterkaitan dengan konsep habitus dan juga

arena. Lingkungan di mana tokoh tersebut berada dapat menunjukkan habitus

yang mereka miliki. Selain itu, melalui analisis unsur latar juga dapat diketahui

posisi arena yang melibatkan para tokoh tersebut. Ketiga unsur tersebut memiliki

keterkaitan dengan konsep doksa yang terdiri dari ortodoksa dan heterodoksa

yang akan dijelaskan menggunakan teori pemikiran Pierre Bourdieu melalui tahap

analisis habitus dan arena serta modal yang terdapat di dalam habitus. Selanjutnya

penelitian akan sampai pada kekerasan simbolik dan juga kekerasan fisik yang

dialami tokoh Perempuan Tionghoa. Kemudian untuk menyimpulkan argument

kekerasan terhadap perempuan Tionghoa menggunakan tahap gambar 2.

Selanjutnya hal ini akan dijelaskan pada analisis strukturasi kekuasaan Pierre

Bourdieu melalui tahap habitus, arena serta modal yang ada di dalam habitus pada

penjelasan bab III.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

63

BAB III

DOKSA DALAM NOVEL MEI MERAH 1998: KALA ARWAH BERKISAH

KARYA NANING PRANOTO.

3.1 Pengantar

Setelah melalui tahap analisis struktural yang telah disajikan pada bab II,

penelitian selanjutnya akan menyajikan mengenai analisis strukturasi kekuasaan

milik Pierre Bourdieu. Dalam penelitian ini, akan dibatasi pada dua konsep dasar

yaitu habitus dan arena serta modal yang terdapat di dalam sebuah habitus yang

akan digunakan untuk mengungkap adanya doksa perempuan Tionghoa dalam

novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning Pranoto.

Menurut Bourdieu (2016), untuk mengatasi suatu dikotomi yang

menurutnya keliru, kemudian ia mengkombinasikan analisis tentang struktur

sosial yang objektif dengan analisis asal-usul struktur mental yang terbentuk

secara sosial dan mengkristal dalam diri individu tertentu yang melahirkan

praktik-praktik. Berdasarkan kerangka kerjanya kemudian Bourdieu

mengembangkan konsep tersebut menjadi: habitus dan arena (Bourdieu, 2016: 12-

14).

3.2 Habitus

Habitus merupakan sebuah kerangka penafsiran yang berguna untuk

memahami dan menilai sebuah realitas dan sekaligus sebagai penghasil praktik-

praktik kehidupan yang sesuai struktur objektifnya. Habitus menjadi suatu dasar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

64

kehidupan individu. Pembentukan serta berfungsinya habitus sangat

memperhitungkan hasil keteraturan perilaku dan modalitas praktiknya

mengandalkan improvisasi dan bukan pada kepatuhan sebuah aturan. Terdapat

dua gerak timbal balik, pertama pada struktur objektif yang dibatinkan; kedua

gerak subjektif yang menyingkapkan hasil pembatinan yang berupa nilai-nilai.

(Haryatmoko, 2016:41-42).

3.2.1 Habitus Kelas Dominan

Habitus kelas dominan ditandai dengan besarnya kepemilikan modal.

Kelas ini mengakumulasi berbagai modal. Mereka juga yang mendefinisikan serta

menentukan budaya yang sah (Haryatmoko, 2016: 46).

Habitus kelas dominan yang terdapat dalam novel Mei Merah 1998: Kala

Arwah Berkisah karya Naning Pranoto dimiliki oleh tokoh Cik Lin, ia yang paling

mendominasi modal terbesar. Dengan adanya uang yang ia miliki dapat

membebaskan mereka dari tempat kejadian tragedi Mei’98. Hal ini dijelaskan

pada kutipan berikut.

(88) “Begimana kau? Kau bilang aja ama boss kau. Aku kenal

kok. Nyonyah Lin kan?”… “Kalau Nyah Lin mau kasih duit

kite, akan kite kawal ampe keluar sini. Setelah itu terserah

dia. Mau pulang ke rumahnye atau mau ke Cina. Bebas deh.”

(Pranoto, 2018: 81).

(89) “Kagak usah banyak-banyak. Kite dikasih sepuluh juta juga

oke. Slamet. Kite jamin. Sono elu bilang Nyonyah Lin.”…

(Pranoto, 2018: 81).

(90) Tanpa banyak bicara, Cik Lin menyerahkan segepok uang

yang dibagi dua, diserahkan pada dua lelaki itu sambil

berkata “Bang Bonar, Kang Ipul yuk kawal saya sampai

hotel,” pinta Cik Lin dengan tenang (Pranoto, 2018: 82).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

65

Kutipan nomor (99) sampai (101) menjelaskan mengenai saat Shinta dan

Mulyadi tengah bingung mencari cara untuk keluar dari tempat itu, datanglah dua

preman yang memang tinggal disekitar resto Cik Lin. Dua preman tersebut

membuat kesepakatan dengan Mulyadi, bahwa mereka bisa keluar dengan selamat

dari tempat itu asalkan Cik Lin mau memberi mereka uang sepuluh juta sebagai

imbalan mengawal Cik Lin. Karena Cik Lin mengetahui maksud mereka, tanpa

basa-basi Cik Lin memberikan uang yang telah disepakati, lalu Cik Lin meminta

agar dua preman itu mengantar Cik Lin, Shinta dan Mulyadi sampai ke hotel.

(91) “Nyah Lin, minta uang. Buat kasih mereka biar kaca mobil

Nyonyah kagak dipecahin.” Pinta Ipul yang duduk di samping

sopir Mulyadi. Suara Ipul nadanya cemas (Pranoto, 2018:

84).

(92) “Iya, Nyah…cepet siapkan duit. Biar aman. Mobil gak

dihancurin.” (Pranoto, 2018: 84).

(93) Tanpa banyak bicara, Cik Lin menyerahkan segepok uang

rupiah diberikan kepada Ipul. “Bagi rata ke temen-temen

kalian, sono,” bisik Cik Lin. “Kami harus selamat sampai

tujuan.” (Pranoto, 2018: 84).

(94) Demikian pemberian uang secara estafet terus berlangsung

hingga kami sampai ke sebuah hotel berbintang di wilayah

Jalan Gatot Subroto (Pranoto, 2018: 85).

Kutipan nomor (102) sampai (105) menjelaskan bahwa kedua preman

tersebut meminta uang kedua kalinya kepada Cik Lin dengan alasan agar kaca

mobil mereka tidak dipecahkan oleh kerumunan massa. Namun, Cik Lin dengan

mudah mengiyakan apa yang diminta oleh kedua preman tersebut. Cik Lin

mementingkan keselamatan dirinya, Shinta dan juga Mulyadi. Ia tidak peduli

dengan dampak tindakannya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

66

(95) Berkat keahliannya memasak dan ulet dalam usahanya, ia

pun jadi perempuan sukses dalam usia 40-an. Ia rendah hati,

selalu mengatakan bahwa kesuksesannya adalah berkat

dukungan pegawainya yang ia sebut sebagai mitra usaha

bukan bawahan atau anak buahnya. Prinsipnya, mitra kerja

harus terampil, kreatif dan mampu mengatasi masalah dengan

cepat (Pranoto, 2018: 117).

Berkat modal budaya dan ekonomi yang dimiliki oleh Cik Lin tersebutlah

yang dapat menjadikannya dalam tataran kelas dominan serta ingin menaikkan

tangga sosialnya.

Ahli hukum juga termasuk pemilik modal besar, sebab para ahli hukum

membela orang yang bersalah atas dasar uang yang diterima untuk menutupi

kesalahan clientnya. Hanya orang yang memiliki uang banyak yang bisa terbebas

dari hukum. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut.

(96) Telah menjadi rahasia umum, keadilan hanya diberikan

kepada yang mampu membayar para ahli hukum. Transaksi

model jualan keadilan itu kemudian jadi anekdot milik

publik: membela yang bayar! (Pranoto, 2018: 8).

3.2.2 Habitus Kaum Borjuis Kecil

Habitus kaum borjuis kecil yaitu mereka yang memiliki kesamaan sifat

dengan kaum bourjuis, yaitu sebuah keinginan untuk menaiki tangga sosial.

Mereka masuk dalam posisi kelas menengah dalam lingkup sosial. Dalam novel

Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah yang termasuk dalam kaum borjuis kecil

yaitu Humaira, yang hanya memiliki modal sosial dan budaya yang menginkan

untuk menaiki tangga sosial dengan cara ingin bekerja di Jakarta. Hal ini

dijelaskan pada kutipan berikut.

(97) “…Kapan kamu menjemputku? Jakarta, Shinta…hanya

Jakarta yang bisa membuatku maju. Aku bekerja. Biar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

67

mandiri. Biar bisa kasih uang ibuku, tanda baktiku. Diberi

terus menerus ndak enak. Aku kan bukan benalu. Aku juga

belum jompo. Mosok sih malah jadi beban terus. Tolong ya

Shin kalau ada lowongan. Kutunggu.” (Pranoto, 2018: 92).

3.2.3 Habitus Kelas Populer

Habitus ini ditandai dengan tidak adanya kepemilikan modal. Dengan kata

lain, mereka hampir tidak memiliki jenis modal yang disebutkan di atas. Nilai

yang menyatukan mereka ialah sejumlah praktik serta representasi yang

menemukan makna dalam keunggulan fisik serta penerimaan dominasi. Mereka

adalah seorang buruh pabrik dan buruh tani, pekerja dengan upah kecil

(Haryatmoko, 2016: 47).

(98) Ia sungguh beruntung. Lulus dari kuliah langsung dapat

pekerjaan di Jakarta. Ia bilang, kerja sebagai tenaga

administrasi di pabrik makanan olahan. Gajinya tidak besar,

tapi ia dapat tempat tinggal di asrama. Sehingga tidak perlu

indekos. Ia juga tidak harus mengeluarkan uang transport

karena asramanya berada satu kompleks dengan pabriknya.

Maka walau gajinya kecil Shinta mengaku bisa menabung

(Pranoto, 2018: 50).

Kutipan nomor (109) menjelaskan bahwa Shinta termasuk ke dalam kelas

populer, sebab Shinta memenuhi kriteria ciri kelas populer yaitu, tidak memiliki

jenis modal sedikit serta ia adalah seorang pekerja pabrik yang upahnya tidak

banyak.

(99) Menurut cerita apak-ku, kaum laki-laki dan perempuan

bekerja sama di sawah ladang. Bahkan, kaum perempuan

selain bersawah atau berladang masih harus mengasuh anak-

anaknya dan mengurus rumah-tangganya. Sambil menunggu

panen, ada juga kaum perempuan yang menjual jasa sebagai

ibu susu (menyusui bayi yang bukan anak kandungnya) dan

ada pula yang membuat aneka kue (Pranoto, 2018: 91).

Berdasarkan kutipan di atas dapat dipahami bahwa warga etnis Cina

Hakka beberapa termasuk dalam kelas populer, sebab dalam kutipan tersebut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

68

digambarkan bahwa laki-laki dan perempuan bekerja di sawah atau ladang. Selain

para wanita yang sedang menyusui dan memiliki asi lebih, mereka akan menjadi

ibu susu (memberikan asinya untuk anak yang kekurangan asi), mereka juga

membuat aneka kue untuk dijual.

(100) Tapi, aku mempertahankannya, akan kurawat di Panti

Asuhan. Perihal merawat calon anak kamu sering

menimbulkan perdebatan di antara kami. Tapi, perdebatan

yang indah. Karena semua argument yang muncul bermisi

visi sehati, yaitu merawat bayi kamu dengan suka cita dan

kasih sayang tulus (Pranoto, 2018: 145).

Kutipan nomor (126) menunjukkan sikap Suster Jo yang memiliki teladan

seorang biarawati yang selalu mau menolong sesama dengan ketulusan hatinya.

Sebagai seorang biarawati, ia mau menerima dan akan merawat bayi yang

nantinya akan dilahirkan oleh Humaira, meski dalam mengambil keputusannya

Suster Jo mengalami banyak perdebatan. Namun dengan ketulusannya ia mampu

mempertahankan bayi Humaira. Suster Jo sebagai kaum borjuis. Berdasarkan

kutipan di atas, Suster Jo berasal dari habitus kelas populer sebagai seorang

biarawati yang tidak memiliki modal besar sehingga ia tidak akan mencari

keuntungan untuk memiliki kenaikan kelas yang menguntungkan baginya. Suster

Jo begitu berjasa bagi kehidupan Humaira.

3.2.4 Modal

Menurut Bourdieu, terdapat empat jenis modal. Bourdieu (dalam

Haryatmoko, 2016: 45) menyebutkan modal pertama, modal ekonomi (economic

capital) yang merupakan sumber daya yang bisa menjadi sebuah sarana produksi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

69

serta sarana finansial. Modal ini paling mudah untuk dikonversikan ke kapital

lain. Kedua modal budaya (culture capital) yang dapat berupa ijazah,

pengetahuan, kode budaya, cara bicara, kemampuan menulis, cara pembawaan,

cara bergaul yang berperan dalam penentuan kedudukan sosial. Ketiga, modal

sosial (social capital) merupakan sebuah jaringan hubungan sebagai sumber daya

untuk penentuan kedudukan sosial. Keempat, modal simbolik (symbolik capital)

merupakan kapital yang menghasilkan kekuasaan simbolik. Pada modal ini

membutuhkan simbol-simbol kekuasaan seperti jabatan, gelar, status tinggi, mobil

mewah, kantor prestise, dan nama keluarga ternama. Jadi modal simbolik ini

merupakan semua bentuk pengakuan oleh kelompok baik secara institusional atau

tidak.

3.2.5 Modal Ekonomi

Modal ekonomi yang terdapat dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah

Berkisah dimiliki tokoh Cik Lin. Cik Lin sebagai bos pemilik rumah makan Cina

yang mewah. Modal ekonomi yang ia punya dapat menjadi syarat dalam menaiki

tangga status sosial. Modal ekonomi yang dimiliki oleh Cik Lin dijelaskan pada

kutipan berikut.

(101) “…adiknya – yang bernama Herlinawati, mau buka restoran

makanan Cina – seafood…” (Pranoto, 2018: 60).

(102) Tanpa banyak bicara, Cik Lin menyerahkan segepok uang rupiah

diberikan kepada Ipul (Pranoto, 2018: 84).

(103) Demikian pemberian uang secara estafet terus berlangsung hingga

kami sampai ke sebuah hotel berbintang di wilayah Jalan Gatot

Subroto (Pranoto, 2018: 85).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

70

Kutipan nomor (88) sampai (90) menunjukkan modal ekonomi yang

dimiliki oleh Cik Lin. Kutipan nomor (88) menggambarkan bahwa Cik Lin adalah

seorang pemilik restoran Cina, ia juga tidak mempermasalahkan soal uang yang ia

berikan kepada preman-preman yang mengawalnya untuk bisa keluar dari lokasi

kejadian tragedi Mei’98 yang dijelaskan pada kutipan nomor (89) dan (90).

3.2.6 Modal Budaya

Modal budaya dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah

dimiliki oleh beberapa tokoh yaitu, Humaira, Suster Jo dan Cik Lin dan Bu Inten.

Modal budaya berupa cara pembawaan yang beberapa tokoh miliki, beberapa

dapat mempengaruhi naiknya status sosial. Hal ini dijelaskan pada kutipan

berikut.

(104) Bukankah aku punya potensi menciptakan masa depanku

sendiri? Tapi, ibuku selalu menghalanginya dengan

kesentimentalan. Oh, sampai kapan aku bertahan? Ku kira,

sudah waktunya aku berani meneguhkan apa keinginanku:

mandiri! Kabar lowongan pekerjaan dari Shinta bisa

kujadikan titik tolak membuat suatu lompatan. Aku harus

meninggalkan desaku, Jakarta menjadi tujuanku. Jakarta.

Harus! Untuk mewujudkan impianku (Pranoto, 2018: 52).

Kutipan tersebut menggambarkan modal budaya yang dimiliki oleh

Humaira. Ia memiliki keberanian dan tekad yang kuat untuk mewujudkan

mimpinya, ia tidak ingin menyusahkan Bu Inten walaupun sebenarnya ia sudah

hidup berkecukupan, namun ia tetap ingin mandiri. Modal budaya yang dimiliki

oleh Humaira berfungsi untuk menaikan status sosialnya.

(105) Karena semua argumen yang muncul bermisi visi sehati,

yaitu merawat bayi kamu dengan suka cita dan kasih sayang

tulus (Pranoto, 2018: 145).

Kutipan tersebut menggambarkan modal budaya yang dimiliki oleh Suster

Jo, ia memiliki pembawaan sebagai seorang biarawati yang memiliki kasih sayang

tulus. Suster Jo berusaha untuk mempertahankan anak yang dikandung oleh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

71

Humaira, walau pun ia tahu itu tidak akan mudah dan selalu menjadi perdebatan

antara ia dengan relawan yang mengurus Humaira terlebih dahulu. Namun,

dengan modal jiwa kebiarawatiannya ia hanya berusaha untuk menolong Humaira

dan bayinya, tanpa memikirkan hal yang menguntungkan untuk menaikkan status

sosialnya.

(106) Berkat keahliannya memasak dan ulet dalam usahanya, ia

pun jadi pengusaha sukses dalam usia 40-an. Ia rendah hati,

selalu mengatakan bahwa kesuksesannya adalah berkat

dukungan pegawainya yang ia sebut sebagai mitra usaha

bukan bawahan atau anak buahnya. Prinsipnya, mitra kerja

harus terampil, kreatif dan mampu mengatasi masalah dengan

cepat (Pranoto, 2018: 117).

Berdasarkan kutipan tersebut digambarkan modal budaya yang dimiliki

oleh Cik Lin. Modal yang dimilikinya yaitu modal keahlian memasak, serta

keuletan dalam bekerja. Dalam pembawaannya, Cik Lin memiliki sifat yang

rendah hati. Selain itu, Cik Lin juga mempunyai prinsip dalam bisnisnya, yaitu

sebagai mitra kerja harus terampil, kreatif serta mampu mengatasi permasalahan

dengan cepat. Modal budaya yang dimiliki oleh Cik Lin bertujuan untuk

menaikkan status sosialnya.

(107) …berkat keahliannya sebagai tukang dadah alias pemijat

bayi. Pelanggannya tidak hanya bayi-bayi di desa tempat

kami tinggal, tapi juga bayi-bayi dari desa tetangga, bahkan

dari penjuru kota kabupaten (Pranoto, 2018: 52).

(108) Sebagai tukang dadah bayi yang andal Bu Inten

berpenghasilan lumayan besar untuk ukuran kelas ekonomi di

desa kami (Pranoto, 2018: 53).

Berdasarkan kutipan nomor (94) dan (95) menggambarkan modal budaya

yang dimiliki oleh Bu Inten, yaitu keahlian sebagai dadah bayi. Jika dilihat dari

segi ekonomi, Bu Inten termasuk orang yang memiliki pemasukan besar, ia

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

72

terhitung dalam kelas ekonomi menegah di desanya. Berkat modal budaya

keahlian sebagai dadah bayi berguna untuk menaikkan status sosial Bu Inten.

3.2.7 Modal Simbolik

Modal simbolik yang terdapat dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah

Berkisah dimiliki oleh dua tokoh, yaitu tokoh Shinta dan Cik Lin. Modal simbolik

yang dimiliki oleh Shinta yaitu nama keluarga ternama dari keluarga Lie,

sedangkan modal simbolik yang dimiliki oleh Cik Lin berupa nama keluarga Cina

yaitu Bong, selain memiliki modal simbolik berupa nama kecinaan, Cik Lin juga

mempunyai fasilitas mobil mewah yang ia miliki. Hal ini akan dijelaskan pada

kutipan berikut.

(109) Nama asliku Lie Fong Moij, anak semata wayang dari

keluarga Lie, keturunan Cina Hakka atau lazim juga disebut

Khek (Pranoto, 2018: 90).

(110) Nama aslinya Bong Huan Yue yang artinya ‘sekeras karang’

(Pranoto, 2018: 117).

Modal simbolik yang sangat menonjol yaitu kepemilikan nama Cina yang

dimiliki oleh dua tokoh Shinta dan Cik Lin. Mereka berasal dari keluarga Cina

ternama.

(111) Aku melihat seorang perempuan berusia sekitar 40-an turun

dari mobil mewah buatan Jerman (Pranoto, 2018: 62).

Kutipan nomor (98) menggambarkan modal simbolik yang dimiliki oleh

Cik Lin berupa mobil mewah yang ia kendarai. Dari modal simbolik tersebut

sudah bisa terlihat bahwa Cik Lin memiliki status sosial tinggi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

73

3.3 Arena

Arena perjuangan dimengerti sebagai sebuah jaringan atau konfigurasi

hubungan obyektif antara berbagai posisi. Posisi tersebut dibatasi oleh keberadaan

mereka serta penentuan yang dipaksakan kepada pihak yang menempati, entah

pelaku atau sebuah institusi, oleh situasi aktual dan potensial mereka dalam suatu

struktur pembagian kekuasaan atau modal. Arena ini mirip dengan pasar, artinya

ada sebuah penghasilan dan konsumen, yang disebut penghasilan adalah mereka

yang memiliki kapital-kapital tertentu yang saling berhadapan. Pertaruhannya

terletak pada sebuah akumulasi bentuk kapital lain yang memungkinkan untuk

menjamin dominasi pada bidang tersebut. Kapital tak hanya berfungsi sebagai

sarana tetapi sekaligus sebagai tujuan (Haryatmoko, 2016: 50-51).

Dengan kata lain arena adalah sebuah konsep di mana adanya sebuah

pertarungan atau persaingan antara pemilik kapital untuk mencapai suatu

tujuannya. Semakin banyak sumber yang mereka peroleh maka terjadilah

perbedaan antara individu satu dengan yang lain. Dalam novel Mei Merah 1998:

Kala Arwah Berkisah terdapat adanya beberapa arena yang menjadi medan

perjuangan serta persaingan antar tokoh.

3.3.1 Arena Sosial Politik

Arena pertama yang terdapat dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah

Berkisah yaitu arena komunikasi sosial politik yang melibatkan mahasiswa yang

memiliki modal keberanian sebagai agen yang berjuang meraih keadilan bagi

masyarakat yang memiliki modal habitus kecil. Para mahasiswa berperan sebagai

komunikator dari masyarakat, guna menyampaikan aspirasi akibat dari runtuhnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

74

perekonomian Indonesia dan mengakibatkan kerusuhan, penjarahan dan

kekerasan seksual pada para perempuan.

(112) Kerusuhan, pemerkosaan dan penjarahan di Ibu Kota pada

pertengahan Mei 1998 merupakan puncak dari rangkaian

berbagai peristiwa perlawanan mahasiswa terhadap

pemerintah Soeharto yang dipicu oleh runtuhnya ekonomi

Indonesia pada bulan Juli 1997 (Pranoto, 2018: 34).

(113) “Iya, saya masih ingat, liat di tivi. Mahasiswa yang demo

sampai bludak dan naik ke atap Gedung Parlemen,” sela

Mbak Tutik (Pranoto, 2018: 108).

Pada kutipan nomor (111) dan (112) menunjukkan adanya arena

perjuangan sosial yang dihadapi oleh para mahasiswa yang menuntut serta

memperjuangkan keadilan akibat runtuhnya ekonomi di Indonesia pada masa

pemerintahan Presiden Soeharto yang terjadi di Jakarta pada tanggal tiga belas

sampai empat belas Mei’98.

3.3.2 Arena Etnis Tionghoa

Arena kedua menunjukkan adanya perjuangan yang terjadi di arena etnis

Tionghoa. Saat kerusuhan terjadi, Ibu Kota Jakarta didominasi oleh para etnis

Cina yang berasal dari kaum borjuis kecil. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut.

(114) Kemudian kerusuhan berkobar-kobar membara di berbagai

penjuru Jakarta yang dihuni Cina pada tanggal tiga belas,

empat belas dan lima belas.

(115) Ibu Tokoh Relawan itu menjelaskan bahwa para perempuan

yang menjadi sasaran pemerkosaan pada umumnya berusia

sekitar 18-19 tahun, berciri kulit kuning dan bermata sipit

dari kelas ekonomi papan atas, papan tengah maupun papan

terendah – kaum papa (Pranoto, 2018: 35).

(116) “He…sekarang ini para sipit lagi kagak aman. Mau slamet

kagak?” kata suara yang lain kudengar, kasar.”Sono bilang

sama bos kau.” (Pranoto, 2018: 80).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

75

(117) Mereka berlompatan seperti kawanan monyet, ada juga yang

mengaum seperti harimau, ada yang menggonggong seperti

anjing, memaki-maki Cina sambil mengamuk...(Pranoto,

2018: 121).

(118) Teh Titi diperkosa? Mungkin mereka mengira Teh Titi Cina

karena kulitnya warna langsat (Pranoto, 2018: 123).

(119) …dia tak ada hubungannya dengan penguasa yang dianggap

gagal mengelola negara (Pranoto, 2018: 79).

Berdasarkan kutipan nomor (114) sampai (119) menunjukkan adanya

arena sosial yang dialami oleh etnis Cina pada saat kerusuhan di ibu kota terjadi.

Saat itu Jakarta sedang dihuni para etnis Cina, kebanyakan mereka membuka

peluang usaha yang sangat mendominasi kelasnya. Kemudian pada saat runtuhnya

perekonomian yang dialami oleh kelas populer yang memiliki modal terendah,

mereka membabi buta dan menjadikan etnis Cina sebagai kambing hitam, karena

mereka menganggap persaingan Cina akan mengalami kenaikan tangga sosial.

3.3.3 Arena Perempuan

Arena perjuangan ketiga yaitu arena perempuan, di mana para perempuan-

perempuan dari etnis Tionghoa maupun pribumi dari berbagai kelas dan modal

yang menghadapi kekerasan seksual serta pelecehan yang dilakukan oleh para

agen dari kelas populer. Hal ini akan dijelaskan pada kutipan berikut.

(120) Maka selayaknya kaum perempuan dimuliakan. Tapi

mengapa, justru dilecehkan? Hai, para lelaki bejat, lelaki

amoral, mengapa perempuan-perempuan itu termasuk

Humaira, kalian perkosa? Itu sama saja kalian memperkosa

ibu kalian masing-masing. Sungguh biadab kamu semua!

(Pranoto, 2018: 33).

(121) Karena melihat beberapa lelaki datang menghampiriku dan

sebagian naik ke lantai tiga untuk mencari sasaran yang akan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

76

mereka perkosa. Di lantai tiga banyak perempuan, termasuk

Cik Lin. Lalu aku tak sadar (Pranoto, 2018: 123).

Kutipan nomor (119) dan (120) menunjukkan arena perjuangan para

wanita. Dalam ranah ini kaum perempuan bukan dinaikkan derajadnya, melainkan

mendapatkan pelecehan seksual serta martabatnya sangat direndahkan oleh kaum

laki-laki. Perempuan adalah sumber penerus generasi bangsa yang memiliki

rahim-rahim suci. Para agen dari kelas populer menganggap bahwa para

perempuan Tionghoa ini nantinya akan bisa menghasilkan para penerus bangsa

yang mereka anggap sebagai penguasa di arena ekonomi serta menaiki tangga

sosial. Maka dengan alasan tersebut mereka menghancurkan para perempuan.

3.4 Doksa

Bourdieu menjelaskan proses terjadinya atau mekanisme kuasa simbolik

melalui apa yang disebutnya doksa. Bourdieu memaknai doksa sebagai perangkat

aturan, nilai, konvensi dan wacana yang mengatur arena secara keseluruhan dan

berpengaruh sejak lama atau disajikan sebagai akal sehat (Bourdieu, 1996: 228).

Perangkat aturan tersebut lahir dari sebuah pengalaman yang dijadikan hasil

akumulasi pembelajaran dan sosialisasi individu atau kelompok di dalam lingkup

sosial melalui sebuah relasi dialektis antara agen dan struktur. Masa lalu yang

tidak disadari dan dianggap sebagai hal yang wajar, berpengaruh bagi

pembentukan struktur mental, pada tahap tertentu merupakan produk

penggabungan struktur sosial. Pengaruh yang tidak disadari dan dianggap sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

77

sesuatu yang wajar merupakan sebuah proses dalam pembentukan habitus, yaitu

asas yang melahirkan dan menyusun kebiasaan. (Faruk, Zurmailis, 2017).

Bourdieu menyebut adanya dua konsep doksa, yaitu konsep heterodoksa

dan ortodoksa. Pemikiran “yang menantang“ ini disebutnya sebagai heterodoksa,

yaitu pemikiran yang disampaikan secara eksplisit yang mempertanyakan sah atau

tidaknya skema persepsi dan apresiasi yang tengah berlaku. Sedangkan ortodoksa

merujuk pada situasi di mana doksa dikenali dan diterima dalam praktik. Dengan

kata lain, kelompok dominan yang memiliki kuasa berusaha mempertahankan

struktur ranah yang didominasinya dengan memproduksi ortodoksa (Taum, 2020:

10).

Dengan kata lain konsep habitus merepresentasi subjek, sedangkan konsep

arena merepresentasi struktur. Doksa dikaji melalui adanya interaksi antara

habitus dan arena dalam suatu praktik sosial, dari hasil interaksi itulah yang dapat

menghasilkan doksa.

Penggambaran adanya tokoh berdarah Cina pada novel Mei Merah 1998:

Kala Arwah Berkisah cukup dominan, mulai dari tokoh Humaira yang sebenarnya

berdarah Cina, Shinta, dan juga Cik Lin. Tragedi kerusuhan, penjarahan serta

pemerkosaan yang terjadi di Ibu Kota Jakarta juga melibatkan etnis tersebut dalam

medan, habitus serta arena yang bermacam-macam. Dalam novel Mei Merah

1998: Kala Arwah Berkisah terdapat adanya doksa tentang etnis Tionghoa yang

akan dijelaskan sebagai berikut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

78

3.4.1 Doksa Berkaitan dengan Ras dan Etnis

Doksa berkaitan dengan ras dan etnik digambarkan melalui gambaran

secara fisik yang identik dimiliki oleh mereka. Penggambaran tersebut

berdasarkan ciri fisik mata dan juga warna kulit, hal ini berdasarkan sesuatu yang

paling menonjol serta paling diingat oleh pemikiran masyarakat pada umumnya.

Hal tersebut dijelaskan pada kutipan berikut.

(122) Teh Titi diperkosa? Mungkin mereka mengira Teh Titi Cina

karena kulitnya warna langsat (Pranoto, 2018: 123).

(123) Pada mulanya Siti heran ketika aku salat, karena kulitku yang

kuning dan bermata sipit (Pranoto, 2018: 119).

Kutipan nomor (122) dan (123) menjelaskan mengenai penggambaran

fisik yang dimiliki oleh etnis Cina, yaitu berkulit putih dan bermata sipit. Seperti

hal yang dituduhkan kepada tokoh Teh Titi, bahwa ia diperkosa oleh para lelaki

tersebut dikarenakan Teh Titi memiliki warna kulit yang langsat seperti orang

Cina, kemudian seperti kutipan nomor (122) bahwa Teh Titi mengira bahwa

Humaira bukan umat Islam, sebab ia berkulit kuning dan bermata sipit. Aggapan

dari Teh Titi, bahwa orang Cina bukan berasal dari agama Islam, oleh sebab itu ia

merasa bingung setelah melihat Humaira salat.

(124) Aku melihat seorang perempuan berusia sekitar 40-an turun

dari mobil buatan Jerman. Ia mengenakan setelan celana dan

blazer berwarna gelap, kontras dengan kulitnya yang kuning

mulus (Pranoto, 2018: 62).

(125) Pemuda yang jangkung, yang meremas payudaraku sambil

meneriakkan kata mesum: Entot! Ayo kita entot! Tapi teman-

temannya menolak dengan berteriak, “Babiiii…babi. Najis.

Haram!” (Pranoto, 2018: 76).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

79

Dari kutipan nomor (121) sampai (124) dijelaskan penggambaran tentang

fisik perempuan Tionghoa yang memiliki mata sipit serta berkulit kuning/kuning

langsat Dari anggapan bahwa Cina selalu bermata sipit dan berkuli kuning, itulah

yang disebut dengan doksa. Tak hanya itu, perempuan Cina biasanya walaupun

usianya sudah tua, tetapi masih cantik dengan dandanan yang mewah serta

memiliki kendaraan mahal seperti yang telah dijelaskan pada kutipan nomor

(124). Kemudian doksa melalui ras dan etnis juga digambarkan melalui anggapan

bahwa etnis Cina itu seperti babi yang dianggap haram oleh masyarakat pribumi,

karena ia mengkonsumsi makanan non-halal yang dianggap oleh kaum mayoritas

yaitu daging babi. Hal ini sudah dijelaskan dalam kutipan nomor (125).

3.4.2 Doksa Berkaitan dengan Status Sosial dan Ekonomi

Doksa yang kedua yaitu doksa yang berkaitan dengan adanya status sosial

dan juga ekonomi. Suku Cina Hakka memiliki habitus kaum borjuis kecil yang

memiliki modal ekonomi serta memiliki keinginan untuk menaiki tangga sosial.

Oleh sebab itu, mereka pasti memiliki usaha pribadi seperti membuka toko

kelontong, restoran China dan seafood. Usaha yang mereka lakukan yaitu guna

menaikkan status sosial mereka. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut.

(126) Kata apak-ku, ayahku, leluhurnya berasal dari Meizhou

wilayah Provinsi Guangdong. Mereka merantau ke Indonesia

tahun 1992-an dampak dari pecahnya revolusi di Tiongkok

yang menimbulkan huru-hara dan krisis ekonomi yang sangat

parah. Setibanya di Indonesia, leluhur apak-ku, tinggal di

perkebunan wilayah Subang Jawa Barat…Di perkebunan di

wilayah Subang, mereka membuka toko kelontong hingga

tahun 1940-an sebelum Indonesia merdeka (Pranoto, 2018:

90).

(127) Ketika merantau – meninggalkan Tiongkok, kerjasama

tersebut berlanjut, turun-temurun. Maka tak heran jika Apak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

80

dan Amak-ku begitu kompak mengelola usahanya: toko

kelontong, restoran makanan Cina dan oleh-oleh khas

Cirebon (Pranoto, 2018: 91).

(128) “…Oei Hui Lan itu putrinya Oei Tiong Ham si Raja Gula dan

Candu dari Semarang, orang terkaya di Asia Tenggara abad

ke-19…” (Pranoto, 2018: 64).

Bermula pada tahun 1920-an adanya dampak dari pecahnya revolusi di

Tiongkok yang mengakibatkan huru-hara serta krisis ekonomi yang sangat parah.

Hal tersebut yang menyebabkan etnis Tionghoa memasuki Indonesia, mereka

berpindah-pindah tempat sampai ke Jakarta pada tahun 1998. Para etnis Cina dari

kaum borjuis kecil membuka usaha dengan membuka rumah makan, restoran serta

toko kelontong guna menaikkan tangga sosial mereka di arena ekonomi. Aturan di

Cina untuk saling membantu antara perempuan dan laki-laki telah turun temurun

dari leluhur mereka. Aturan tersebut adalah doksa yang dimiliki oleh etnis Cina,

hal tersebut telah dijelaskan pada kutipan nomor (127). Sejak abad ke-19 etnis

Cina sudah berada di posisi pemilik kelas ekonomi atas yang dijelaskan pada

kutipan nomor (127) yang menggambarkan bahwa dahulu ada seorang putri raja

yang kaya rasa di Asia Tenggara.

Doksa perempuan Tionghoa yang terdapat dalam novel Mei Merah 1998:

Kala Arwah Berkisah digambarkan melalui 1) doksa yang berkaitan dengan ras

dan etnis, dan 2) doksa yang berkaitan dengan kelas sosial dan ekonomi.

Jika dikaitkan dengan tragedi penjarahan, kerusuhan dan pemerkosaan di

Ibu Kota Jakarta Mei’98, terdapat adanya doksa perempuan Tionghoa, yaitu doksa

bahwa yang menjadi korba Mei’98 merupakan perempuan Tionghoa. Jika dirunut

lagi menggunakan struktur kekuasaan milik Pierre Bourdieu maka akan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

81

disimpulkan bahwa etnis Tionghoa berasal dari habitus kaum borjuis kecil dan

kelas dominan yang memiliki keinginan untuk menaikkan tangga sosial dengan

modal ekonomi membuka restoran makanan Cina dan toko kelontong. Kemudian,

pada arena perjuangan politik para pribumi menganggap bahwa etnis Tionghoa

memegang kekuasaan ekonomi tertinggi dan akan menindas kaum kelas populer

yang tidak memiliki banyak modal. Mereka beranggapan bahwa nantinya generasi

baru akan lahir melalui para perempuan Tionghoa, oleh sebab itu saat kerusuhan

terjadi mereka membabi-buta berusaha untuk merusak dan membunuh perempuan

Tionghoa. Dalam arena perjuangan kaum populer berusaha mempertahankan

kedudukannya sebagai penguasa arena, serta ingin menaikkan tangga sosial

melalui kerusuhan Mei’98.

3.4.3 Ortodoksa

Doksa perempuan Tionghoa adalah etnis Cina serta kekayaan yang mereka

miliki. Karena mereka adalah etnis Cina yang dikenal oleh masyarakat peribumi

sebagai etnis yang mendominasi kekayaan di Indoneisa, maka doksa yang mereka

miliki bahkan menjadi ortodoksa. Di arena tersebut pemikiran mengenai praktik

sosial dianggap. Ortodoksa berupa doksa Perempuan tionghoa adalah etnis dan

kekayaannya.

3.4.4 Heterodoksa

Keterlanjuran pemikiran masyarakat peribumi mengenai doksa yang

dimiliki oleh para perempuan Tionghoa menjadika para peribumi tidak memiliki

pemikiran yang positif terhadap etnis tersebut. Mereka tetap menganggap bahwa

etnis Cina adalah kalangan orang kelas atas, hidup serba mewah, sombong dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

82

pelit. Namun sebenarnya dalam novel tersebut heterodoksa perempuan Tionghoa

berupa rendah hati dan juga ramah.

3.5 Kekerasan Simbolik

Masyarakat peribumi tetap memandang negatif etnis Tionghoa, mereka

merasa tersaingi bahkan mereka takut jika etnis Tionghoa akan menggeser

populasi warga asli peribumi karena perdagangan sudah terlebih dahulu di

dominasi etnis Tionghoa. Agar masyarakat pribumi tidak merasa tersaingi dengan

adanya ras Tionghoa yang mendominasi Indonesia serta tergesernya

perekonomian masyarakat pribumi maka menyebabkan adanya kekerasan

simbolik (symbolic violence) yaitu kekerasan secara tidak sadar yang dilakukan

pada etnis Cina yang berupa anggapan bahwa ras Cina merupakan etnis yang

haram dan disamakan dengan binatang babi. Tidak hanya berupa hinaan tetap juga

melalui body shaming yang menyebut-nyebut mereka dengan mata sipit. Doksa

pada novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning Pranoto berupa

etnis Cina dan kekayaannya bahkan hal tersebut sudah menjadi sebuah ortodoksa

bagi orang-orang peribumi.

3.5.1 Kekerasan Fisik dan Kekerasan Seksual

Kebencian dari peribumi terhadap etnis Tionghoa memuncak ketika

diawali dengan kerusuhan yang ada di Ibu Kota Jakarta. Kerusuhan diawali dari

tragedi Trisakti hingga merembet pada kerusuhan yang melibatkan perempuan

Tionghoa. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut.

(129) “Aku bisa berkata demikian setelah membaca kliping-kliping

berita dari berbagai surat kabar yang mewartakan tentang

tragedi pemerkosaan di ibu kota tanggal 13-14 Mei 1998,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

83

pada saat Jakarta membara karena adanya pembakaran mobil-

mobil, pusat-pusat pertokoan disertai penjarahan di berbagai

wilayah. Tepatnya peristiwa kelam tersebut terjadi sehari

setelah tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa.

Mereka ini bagian dari para mahasiswa yang pada waktu itu

memperjuangkan reformasi atas dominasi Presiden Soeharto

selaku penguasa Orde Baru (Orba). Kerusuhan, pemerkosaan

dan penjarahan di ibu kota pada pertengahan Mei 1998

merupakan puncak dari rangkaian berbagai peristiwa

perlawanan mahasiswa terhadap pemerintahan Soeharto yang

dipicu oleh runtuhnya ekonomi Indonesia pada bulan Juli

1997 (Pranoto, 2018:33-34).

Kumpulan massa tidak hanya merusak fasilitas umum saat melakukan aksi

kerusuhan serta penjarahan barang-barang di mal, di rumah makan dan toko

kelontong milik etnis Tionghoa, tetapi mereka juga menculik para perempuan

Tionghoa, menyekap, memperkosa dan bahkan ada sebagian yang mereka bakar

hidup-hidup. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut.

(130) “Humaira diseret beberapa lelaki setelah diperkosa. Entah

sekarang dia di mana sekarang?” (Pranoto, 2018: 79).

(131) “Tapi, ketika tubuhku kugerakkan, seluruh sendiku terasa dan

astagfilrullah …vaginaku nyeri dan perih sekali. Ketika

kuraba, aku sangat terkejut, karena aku memegang gumpalan

pembalut yang membasah darah. Aku lalu teringat peristiwa

yang menimpaku detik-detik menjelang aku pingsan. Ya,

para bedebah itu. Gila. Edan. Bajingan. Mataku berkunang-

kunang, perutku mual mengingat wajah-wajah itu yang

merobek pakaianku dan alat kelamin yang buas itu” (Pranoto,

2018: 124).

Perlakuan dari para peribumi sangat tidak terpuji bahkan tidak manusiawi,

mereka begitu benci dengan etnis Tionghoa dan mereka berpikir agar tidak ada

lagi keturunan mereka sebagai penerus di Indonesia. Kemudian mereka berpikir

untuk menghancurkan para perempuan Tionghoa. Banyak kekejaman yang tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

84

manusiawi yang mereka lakukan terhadap para perempuan bermata sipit itu

setelah mereka berhasil memperkosanya. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut.

(132) “Karena di antara kalian tidak hanya menyetubuhi tubuh

korban, tapi juga menyodok vagina dengan linggis, potongan

kayu bahkan pecahan botol. Ada juga yang merobek-robek

payudara, pantat-pantat dan paha-paha mulus tak berdosa.”

(Pranoto, 2018:33).

Dari kutipan nomor (132) sangat jelas terlihat kekejaman yang dialami

oleh para perempuan Tionghoa pada masa itu. Kekejaman yang sangat tidak

manusiawi, jahat dan begitu tragis. Hal ini membuktikan ketidakadilan yang

mereka dapatkan, sebab dari sebagian korban tidak ada yang berani melapor

karena kurangnya saksi yang mau memihak perempuan Tionghoa.

3.6 Rangkuman

Berdasarkan analisis doksa melalui pemikiran Bourdieu, dapat

disimpulkan bahwa terdapat adanya doksa pada arena perempuan etnis Tionghoa

yang memiliki modal ekonomi kelas atas yang berasal dari habitus kelas dominan

dan kelas borjuis kecil yaitu karena mereka adalah etnis Cina serta kedudukan

mereka di bidang ekonomi cukup mendominasi dan berada di tataran tingggi

maka mereka dianggap sebagai musuh dan harus disingkirkan. Agar masyarakat

pribumi tidak merasa tersaingi dengan adanya ras Tionghoa yang mendominasi

Indonesia serta tergesernya perekonomian masyarakat pribumi maka

menyebabkan adanya kekerasan simbolik (symbolic violence) yaitu kekerasan

secara tidak sadar yang dilakukan pada etnis Cina yang berupa anggapan bahwa

ras Cina merupakan etnis yang haram dan disamakan dengan binatang babi. Tidak

hanya berupa hinaan tetap juga melalui body shaming yang menyebut-nyebut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

85

mereka dengan mata sipit. Tidak hanya sebatas hinaan dan juga body shaming,

tetapi para perempuan Tionghoa mendapatkan perlakuan yang sangat buruk

bahkan tidak manusiawi. Stelah para perempuan Tionghoa diperkosa, mereka

mengalami banyak kekerasan fisik, seperti vaginanya ditusuk menggunakan kayu,

payudaranya dirobek, pantatnya dirobek. Akibatnya mereka mengalami luka yang

luar biasa, bahkan ada sebagian dari mereka meninggal dunia, dibakar hidup-

hidup dan bahkan jika ada yang selamat mereka mengalami gangguan mental

akibat dari trauma tragedi tersebut. Doksa pada novel Mei Merah 1998: Kala

Arwah Berkisah karya Naning Pranoto berupa etnis Cina dan kekayaannya bahkan

hal tersebut sudah menjadi sebuah ortodoksa bagi orang-orang pribumi.

Heterodoksa perempuan Tionghoa berupa sikap rendah hati dan juga ramah.

Tabel 4

Rangkuman Strukturasi Kekuasaan Novel Mei Merah 1998: Kala Arwah

Berkisah

No Struktur Kekuasaan Keterangan

1.

Modal

Modal Ekonomi

Modal ekonomi, budaya serta

simbolik yang dimiliki oleh Cik

Lin. Cik Lin adalah seorang

pemilik restoran Cina seafood, ia

tidak mempermasalahkan soal uang

yang ia berikan kepada preman-

preman yang mengawalnya untuk

bisa keluar dari lokasi kejadian

tragedi Mei’98.

Modal budaya yang dimiliki oleh

Humaira. Ia memiliki keberanian

dan tekad yang kuat untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

86

Modal Budaya

mewujudkan mimpinya, ia tidak

ingin menyusahkan Bu Inten

walaupun sebenarnya ia sudah

hidup berkecukupan, namun ia

tetap ingin mandiri. Modal budaya

yang dimiliki oleh Humaira

berfungsi untuk menaikan status

sosialnya.

Modal Simbolik

Modal simbolik dimiliki oleh dua

tokoh yaitu, Shinta dan Cik Lin.

Modal simbolik Sinta berupa nama

keluarga ternama. Shinta

merupakan perempuan Tionghoa

yang memiliki marga ternama yaitu

Lie, sebab Shinta termasuk dalam

keturunan Cina Hakka. Sedangkan

modal simbolik yang dimiliki oleh

Cik Lin berupa mobil mewah yang

ia kendarai. Dari modal simbolik

tersebut sudah bisa terlihat bahwa

Cik Lin memiliki status sosial

tinggi.

2.

Habitus

Habitus Kelas

Dominan

Habitus kelas dominan yang

terdapat dalam novel Mei Merah

1998: Kala Arwah Berkisah karya

Naning Pranoto dimiliki oleh tokoh

Cik Lin, ia yang paling

mendominasi modal terbesar.

Dengan adanya uang yang ia miliki

dapat membebaskan mereka dari

tempat kejadian tragedi Mei’98.

Kedua preman tersebut meminta

uang kedua kalinya kepada Cik Lin

dengan alasan agar kaca mobil

mereka tidak dipecahkan oleh

kerumunan masa. Namun, Cik Lin

dengan mudah mengiyakan apa

yang diminta oleh kedua preman

tersebut. Cik Lin mementingkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

87

keselamatan dirinya, Shinta dan

juga Mulyadi. Ia tidak peduli

dengan dampak tindakannya.

Kaum Borjuis

Kecil

Humaira merupakan kaum borjuis

kecil, sebab kepemilikan modal

budaya dan sosial yang begitu

sedikit membuatnya ingin menaiki

tangga sosial dengan cara meminta

bantuan kepada Shinta untuk

mencarikan lowongan pekerjaan

untuknya di Jakarta.

Kelas Populer

Shinta termasuk ke dalam kelas

populer, sebab Shinta memenuhi

kriteria ciri kelas populer yaitu,

tidak memiliki jenis modal sedikit

serta ia adalah seorang pekerja

pabrik yang upahnya tidak banyak.

Kemudian juga warga etnis Cina

Hakka termasuk dalam kelas

populer, sebab dalam kutipan

tersebut digambarkan bahwa laki-

laki dan perempuan bekerja di

sawah atau lading. Selain para

wanita yang sedang menyusui dan

memiliki asi lebih, mereka akan

menjadi ibu susu (memberikan

asinya untuk anak yang kekurangan

asi), mereka juga membuat aneka

kue untuk dijual.

Suster Jo berasal dari habitus kelas

populer sebagai seorang biarawati

yang tidak memiliki modal besar

sehingga ia tidak akan mencari

keuntungan untuk memiliki

kenaikan kelas yang

menguntungkan baginya. Suster Jo

begitu berjasa bagi kehidupan

Humaira.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88

3.

Arena

Arena Politik

Arena komunikasi sosial politik

melibatkan mahasiswa yang

memiliki modal keberanian sebagai

agen yang berjuang meraih keadilan

bagi masyarakat yang memiliki

modal habitus kecil. Para

mahasiswa berperan sebagai

komunikator dari masyarakat, guna

menyampaikan aspirasi akibat dari

runtuhnya perekonomian Indonesia

dan mengakibatkan kerusuhan,

penjarahan dan kekerasan seksual

pada para perempuan.

Arena Etnis

Tionghoa

Arena sosial yang dialami oleh

etnis Cina pada saat kerusuhan di

ibu kota terjadi. Saat itu Jakarta

sedang dihuni para etnis Cina,

kebanyakan mereka membuka

peluang usaha yang sangat

mendominasi kelasnya. Kemudian

pada saat runtuhnya perekonomian

yang dialami oleh kelas populer

yang memiliki modal terendah,

mereka membabi buta dan

menjadikan etnis Cina sebagai

kambing hitam, karena mereka

menganggap persaingan Cina akan

mengalami kenaikan tangga sosial.

Arena Gender

Perempuan

Dalam ranah ini kaum perempuan

bukan dinaikkan derajadnya,

melainkan mendapatkan pelecehan

seksual serta martabatnya sangat

direndahkan oleh kaum laki-laki.

Perempuan adalah sumber penerus

generasi bangsa yang memiliki

Rahim-rahim suci. Para agen dari

kelas populer menganggap bahwa

para perempuan Tionghoa ini

nantinya akan bisa menghasilkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

89

para penerus bangsa yang mereka

anggap sebagai penguasa di arena

ekonomi serta naik tangga sosial.

Maka dengan alasan tersebut

mereka menghancurkan para

perempuan

4.

Doksa

Doksa Berkaitan

dengan Ras &

Etnis

Perempuan Tionghoa yang

memiliki mata sipit serta berkulit

kuning/kuning langsat Dari

anggapan bahwa Cina selalu

bermata sipit dan berkuli kuning,

itulah yang disebut dengan doksa.

Tak hanya itu, perempuan Cina

biasanya walaupun usianya sudah

tua, tetapi masih cantik dengan

dandanan yang mewah serta

memiliki kendaraan mahal.

Doksa Berkaitan

dengan Status

Sosial &

Ekonomi

Suku Cina Hakka memiliki habitus

kaum borjuis kecil yang memiliki

modal ekonomi serta memiliki

keinginan untuk menaiki tangga

sosial. Oleh sebab itu, mereka pasti

memiliki usaha pribadi seperti

membuka toko kelontong dan juga

restoran China dan seafood. Usaha

yang mereka lakukan yaitu guna

menaikkan status sosial mereka.

Ortodoksa

Ortodoksa berupa doksa Perempuan

tionghoa adalah etnis dan

kekayaannya.

Heterodoksa

Heterodoksa yang dimiliki para

perempuan Tionghoa berupa sikap

rendah hati dan juga ramah

terhadap sesamanya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

90

5.

Kekerasan

Simbolik

Melalui adanya hinaan bahwa etnis

Cina itu haram, seperti babi. Serta

adanya body shaming, karena

mereka bermata sipit dan berkulit

langsat.

Melalui kekerasan seksual berupa

pemerkosaan

Melalui kekerasan fisik berupa

menyodok vagina para korban

menggunakan linggis, potongan

kayu dan pecahan botol, merobek

payudara, pantat dan paha mereka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

91

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur novel serta

mengungkap adanya doksa perempuan Tionghoa melalui perspektif Pierre

Bourdieu yaitu melalui konsep modal, habitus serta arena dalam novel Mei Merah

1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning Pranoto.

Dalam analisis struktur novel melalui tahap tokoh, latar dan alur

ditunjukkan adanya tiga tokoh perempuan berdarah asli Cina, yaitu tokoh

Humaira sebagai tokoh utama yang dikenai konflik. Tokoh kedua, Shinta sebagai

tokoh tambahan protagonis dan tokoh ketiga yaitu Cik Lin sebagai tokoh

tambahan. Ketiga tokoh tersebut sama-sama memiliki perwatakan bulat dengan

dikisahkan mengenai kehidupan dan jati dirinya serta mengalami perkembangan

akibat dari konflik yang mengenai tokoh utama. Kemudian latar waktu yang

tergambar yaitu pada bulan Mei tahun 1998, berlatar tempat di Ibu Kota Jakarta

yang berlatar sosial dari kaum menengah hingga golongan atas. Tahap alur

dijelaskan dengan lima tahap, yaitu penyituasian (situation), pemunculan konflik

(generating circumstances), peningkatan konflik (rising action), klimaks (climax)

dan penyelesaian (denouement).

Melalui tahap strukturasi kekuasaan Pierre Bourdieu dalam novel Mei

Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning Pranoto, terdapat adanya

dominasi dari ras dan etnis perempuan Tionghoa yang ditentukan oleh modal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

92

ekonomi serta modal simbolik nama Cina. Cik Lin, keluarga Shinta dan Koh Wi

sebagai etnis Cina mulai mendominasi Indonesia melalui status sosial ekonomi

mereka dengan membuka restoran Cina yang mewah serta berbagai toko

kelontong. Modal ekonomi dan simbolik berperan sebagai bekal bagi agen untuk

menaiki tangga sosial yang ada dalam arena sosial masyarakat. Etnis Cina

memiliki habitus yang menunjukkan posisi-posisi yang ditempati oleh agen saat

berinteraksi dalam suatu praktik sosial. Posisi agen dalam lingkup kelas sosial

tergantung dari besar kepemilikan modal yang mereka miliki. Kepemilikan modal

yang cukup besar dimiliki oleh tokoh perempuan Tionghoa bernama Cik Lin.

Dengan kepemilikan modal ekonomi serta simbolik menempatkan tokoh

perempuan Tionghoa dalam kelas populer. Modal budaya yang dimiliki oleh

tokoh utama Humaira, menempatkan dirinya dalam habitus kelas borjuis kecil,

sehingga membuat dirinya memiliki keinginan untuk menaiki tangga sosial.

Setiap agen yang memiliki kapital dan habitus akan bersaing untuk saling

mempertahankan dominasinya maupun terbebas dari dominasi. Agen saling

melakukan pertarungan yang melibatkan politik etnis Tionghoa serta para

perempuan.

Melalui tahap analisis pemikiran Bourdieu, dapat disimpulkan bahwa

terdapat adanya doksa pada arena perempuan etnis Tionghoa yang memiliki

modal ekonomi kelas atas yang berasal dari habitus kelas dominan dan kelas

borjuis kecil yaitu karena mereka adalah etnis Cina serta kedudukan mereka di

bidang ekonomi cukup medominasi dan berada di tataran tinggi maka mereka

dianggap sebagai musuh dan harus disingkirkan. Agar masyarakat pribumi tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

93

merasa tersaingi dengan adanya ras Tionghoa yang mendominasi Indonesia serta

tergesernya perekonomian masyarakat pribumi maka menyebabkan adanya

kekerasan simbolik (symbolic violence) yaitu kekerasan secara tidak sadar yang

dilakukan terhadap etnis Cina, yang berupa anggapan bahwa ras Cina merupakan

etnis yang haram dan disamakan dengan binatang babi. Tidak hanya hinaan yang

diterima etnis Cina tetapi juga melalui body shaming yang menyebut-nyebut

mereka dengan mata sipit. Kekerasan seksual dan fisik juga mereka alami melalui

pemerkosaan, berupa menyodok vagina para korban menggunakan linggis,

potongan kayu dan pecahan botol, merobek payudara, pantat dan paha mereka.

Argumen atau alasan kekerasan simbolik tersebut di simpulkan dengan melihat

gambar 3. Habitus serta modal ekonomi besar dimiliki oleh arena perempuan

Tionghoa menyebabkan adanya doksa mengenai etnis cina dan kekayaannya serta

ortodoksa dan heterodoksa. Dari doksa tersebut menyebabkan kekerasan simbolik

berupa kekerasan fisik dan juga kekerasan seksual.

Doksa pada novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning

Pranoto berupa etnis Cina dan kekayaannya, bahkan hal tersebut sudah menjadi

sebuah ortodoksa (situasi di mana doksa dikenali dan diterima dalam praktik) bagi

orang-orang pribumi. Akibat dari keterlanjuran pemikiran mengenai doksa, yang

sudah menjadi ortodoksa, tidak adanya pemikiran yang menantang (heterodoksa)

bahwa etnis Cina berupa sikap rendah hati dan ramah. Agen yang melakukan

heterodoksa yaitu para tokoh perempuan etnis Tionghoa untuk melawan ortodoksa

yang dimiliki para pribumi. Akan tetapi, novel Mei Merah 1998: Kala Arwah

Berkisah ini yang mengungkap doksa dan ortodoksa etnis Cina justru merupakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

94

sebuah heterodoksa yang melakukan perlawanan simbolik terhadap sikap rasisme

yang terjadi di tanah air.

4.2 Saran

Penelitian ini hanya terbatas pada strukturasi kekuasaan Pierre Bourdieu

yang hanya menitik beratkan pada sistem kekuasaan dari setiap agen, namun

penelitian selanjutnya dapat dilanjutkan dengan momfokuskan pada kondisi psikis

dari para korban yang mengalami dampak tragedi tahun 98.

Untuk saran penelitian selanjutnya, novel Mei Merah 1998: Kala Arwah

Berkisah karya Naning Pranoto dapat diteliti melalui teori piskoanalisis

kepribadian Sigmun Freud terhadap para tokoh perempuan yang menjadi korban

kekerasan seksual pada tragedi Mei’98. Naning Pranoto sendiri menciptakan kisah

perjuangan para perempuan yang mengalami diskriminasi dan kekerasan seksual

pada novel ini, sehingga dapat ditemukan perubahan psikis yang mungkin mereka

alami akibat dari tragedi yang menimpa para korban tahun 1998.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

95

DAFTAR PUSTAKA

Agustin, R. Z. (2019). Symbolik Violence Towards Precarious Worker of E-

Commerce Company of Transportation Services. Jurnal Komunikasi

Indonesia, 58-68.

Bourdieu, P. (1996). The Rule of Art, Genesis and Structure of The Literaly Field.

Trans By Susan Emanuel. Cambridge: Polity Press.

Bourdieu, P. (2016). Arena Produksi Kultural. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Faruk, Z. d. (2017). Doksa, Kekerasan Simbolik Dan Habitus Yang Ditumpangi

Dalam Konstruksi Kebudayaan Di Dewan Kesenian Jakarta. Adabiyyat:

Jurnal Bahasa dan Sastra Vol.1 No.1, 44-72.

Ginting, H. S. (2019). Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata: Analisis

Habitus Dan Modal Dalam Arena Pendidikan Menurut Perspektif Pierre

Bourdieu. Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTETIS Vol.13 No.1, 47-56.

Haryatmoko. (2016). Membongkar Rezim Kepastian. Yogyakarta: PT. Kanisius.

Hastuti, P. T. (2012). Novel Padang Bulan Karya Andrea Hirata. Surakarta:

Universitas Sebelas Maret.

Karnanta, K. Y. (2013). Paradigma Teori Arena Produksi Kultural Sastra: Kajian

Terhadap Pemikiran Pierre Bourdieu. Poetika Jurnal Ilmu Sastra.

Khaerunisa, E. (2018). Diskriminasi Terhad Etnis Tionghoa Kecamatan Tenjo

Kabupaten Bogor. Jakarta: Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah .

Langobelen, Y. H. (2020). Strukturasi Kekuasaan Dan Kekerasan Simbolik

Dalam Tiga Cerpen Afryantho Keyn: Perspektif Pierre Bourdieu.

Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Nurgiyantoro, B. (2010). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Pranoto, N. (2018). Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah. Jakarta: Buku Obor.

Prihantoro, A. D. (2008). Analisis Struktural Novel Towards Zero Karya Agatha

Christie Serta Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMK.

Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. (2015). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian

Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

96

Putri, J. (2019). Gambaran Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Novel Mei

Merah 1998: Kala Arwah Berkisah Karya Naning Pranoto (Pendekatan

Sosiologi Sastra). Padang: Universitas Andalas.

Siregar, M. (2016). Teori "Gado-Gado" Pierre Felix Bourdieu. Jurnal Studi Kultur

Vol.1 No.2, 79-82.

Solissa, E. M. (2018). Habitus Dan Arena Dalam Novel Taman Api Karya

Yonathan Rahardjo. Lingua Franca: Jurnal Bahasa, Sastra dan

Pengajarannya, 1-11.

Sonia, G. (2012). Struktur Naratif Dan Penokohan Tokoh Utama Pada Novel

Garuda Putih Karya Suparto Brata. Yogyakarta: Universitas Negri

Yogyakarta.

Taum, Y. Y. (2017). Kritik Sastra Diskursif: Sebuah Reposisi. Kritik Sastra Yang

Memotivasi dan Menginspirasi, 3-5.

Taum, Y. Y. (2020). Memahami Peta Pemikiran Strukturalisme Konstruktif Pierre

Bourdieu.

Wigarani, L. (2009). Kerusuhan Anti Tionghoa Di Semarang Tahun 1980.

Semarang: Universitas Negri Semarang.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

97

LAMPIRAN

Sinopsis

Novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning Pranoto

Novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah bercerita tentang seorang

perempuan Tionghoa bernama Humaira, yang memiliki keinginan serta tekad

yang bulat untuk bisa hidup mandiri dan mendapatkan pekerjaan di Jakarta.

Humaira sebenarnya diceritakan memiliki hidup yang berkecukupan karena

pekerjaan ibu angkatnya sebagai seorang dadah bayi yang terkenal di pegunungan

selatan Yogyakarta. Humaira diadopsi oleh Bu Inten saat ia bekerja di toko

kelontong milik Koh Wi sebelum menjadi tukang dadah bayi. Adik Koh Wi

bernama Cik Wani memiliki paras yang sangat cantik sehingga banyak disukai

para laki-laki, akibatnya Cik Wani dihamili oleh laki-laki tak dikenal. Hal itu

menjadi aib besar bagi keluarga Koh Wi dan akhirnya menyerahkan anak Cik

Wani untuk diasuh Bu Inten yang saat itu belum lama mengalami keguguran.

Namun, ketegasan Bu Inten berhasil memutuskan pertalian darah dari keluarga

Cina milik Koh Wi, segala sesuatu dari Koh Wi tidak ia terima.

Menginjak usia dewasa, Humaira bertekad bulat untuk dapat bekerja ke

Jakarta. Ia meminta bantuan pada sahabatnya yang bernama Shinta untuk

mencarikan pekerjaan untuknya. Benar saja, Shinta berhasil mendapatkan

lowongan pekerjaan untuk Humaira. Setelah menerima telepon dari Shinta,

akhirnya Humaira memberanikan diri untuk meminta izin pada Bu Inten. Awalnya

Bu Inten tidak setuju karena khawatir akan nasib anaknya, sebab Bu Inten

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

98

memiliki prinsip “mangan ra mangan tetep kumpul” yang berarti walau tidak

punya uang yang penting tetap berkumpul bersama. Namun, Humaira berhasil

meyakinkan Bu Inten. Humaira diantar oleh Bu Inten serta beberapa tetangganya

saat hendak meninggalkan Yogyakarta dan berangkat ke Jakarta.

Humaira tinggal sementara bersama dengan Shinta di Jakarta. Nasibnya

mula-mula sangat mujur karena langsung diterima bekerja di restoran mewah

milik perempuan Cina bernama Cik Lin. Untuk memperdalam pengalamannya

nanti, Humaira harus menjalani training. Selama di Jakarta Shinta tak hanya

menjaga sahabatnya, ia juga mau mengantar dan menjemput Humaira saat

menjalani training di restoran Cik Lin. Siang itu Shinta sedang bekerja bersama

rekan-rekannya di salah satu Mall di Jakarta, ia sempat mengatakan pada Humaira

agar menyusulnya sepulang dari training. Karena pengunjung begitu ramai

membuat Shinta harus mengambil lagi stok sosis di kantor, tetapi bosnya

melarang karena ternyata sedang ada aksi demo besar-besaran yang melibatkan

mahasiswa Universitas Trisakti. Benar saja, tak lama kemudian, mall tersebut

dijarah massa. Shinta keluar digendong Mulyadi menunju arena yang lebih aman.

Setelah mengingat Humaira Shinta dan juga Mulyadi bergegas menjemput

Humaira.

Sesampainya di restoran Cik Lin, Shinta tidak menemukan keberadaan

Humaira. Restoran milik Cik Lin bahkan sudah dibuat porak-poranda oleh

sekumpulan massa. Shinta hanya menemukan Cik Lin dengan kondisi

memprihatinkan, badannya lemas, pucat tak bertenaga. Sebelum pingsan, Cik Lin

mengatakan jika Humaira diseret segerombolan laki-lakin dan diperkosa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

99

Mendengar hal itu Shinta menjadi panik. Sambil mereka mencari cara untuk

keluar dari tempat tersebut, datanglah dua preman yang mencoba bernegosiasi

dengan Mulyadi. Mereka mau membantu Cik Lin, Shinta dan Mulyadi untuk bisa

keluar dari tempat tersebut dengan syarat membayar uang sepuluh juta. Tanpa

basa-basi Cik Lin menyetujui dan langsung menyodorkan uang, bahkan dua kali

mereka meminta uang, Cik Lin tetap memberikannya hingga mereka berhasil

sampai ke sebuah hotel berbintang di Jakarta.

Humaira ditemukan oleh para relawan yang mengabdi untuk tragedi

Mei’98 tersebut. Humaira mendapatkan goncangan jiwa akibat pemerkosaan yang

ia alami. Ia berusaha kabur berkali-kali, hingga suatu saat ia ditemukan oleh

seorang biarawan bernama Romo Danu. Humaira ditemukan di bawah jembatan

dengan kondisi hamil. Humaira mengandung sperma dari salah satu lelaki bejat

yang memperkosanya saat itu. Melihat kondisi Humaira yang memprihatinkan,

akhirnya Romo Danu membawa Humaira ke Yogyakarta untuk dirawat oleh

kakaknya yang bernama Suster Jo. Suster Jo ternyata adalah seorang kepala

sekolah di mana Humaira dulu pernah bersekolah, ia sangat mengenal siapa

Humaira. Ia berjanji dengan segenap hatinya akan merawat bayi Humaira. Suster

Jo yang membantu pemulihan kesehatan serta mental Humaira, namun keadaan

tidak bertahan lama. Setelah Humaira berhasil melahirkan anaknya, ia memilih

untuk gantung diri karena tidak kuat dengan badai yang menghempaskan dirinya.

Humaira meninggalkan nama untuk anaknya “Luk-luk”.

Bayi Humaira diadopsi oleh perempuan bernama Bu Yayuk, ia begitu

mengasihi Luk-luk seperti ia juga mengasihi anak kandungnya. Luk-luk tumbuh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

100

menjadi anak yang baik, cerdas, dan sangat berprestasi. Namun, ada seseorang

yang berani mengungkap jati diri Luk-luk bahwa ia bukan anak kandung Bu

Yayuk. Melainkan anak dari seorang perempuan yang diperkosa. Mendengar hal

itu Luk-luk menjadi marah. Ia kemudian mencoba kabur, ia pergi ke stasiun kereta

api untuk berangkat ke Jakarta mencari Humaira, ibu kandungnya.

Namun, belum sampai di Jakarta Luk-luk dihampiri oleh kedua satpam di

Stasiun Kereta Api Tugu karena Luk-luk sampai ketiduran dan pingsan di stasiun.

Karena Luk-luk belum memiliki kartu identitas, akhirnya Luk-luk ditahan oleh

satpam. Saat diminta untuk menghubungi keluarganya, Luk-luk menolak. Setelah

kedua satpam tersebut membuat kesepakatan, Luk-luk akhirnya menginap

sementara di kos Mbak Darwati. Luk-luk diajak berzikir oleh Mbak Darwati, hal

ini yang membuat ia jadi menyesal meninggalkan Bu Yayuk. Ia akhirnya mau

pulang. Pertemuan Luk-luk dengan Ibunya berjalan lancar, Luk-luk akhirnya mau

pulang bersama Bu Yayuk serta mau menerima statusnya sebagai anak Humaira.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

101

BIOGRAFI PENULIS

Bertha Tria Iriani lahir di Abepura, Jayapura,

Papua pada tanggal 16 Mei tahun 1999. Anak ketiga dari

tiga bersaudara pasangan Elizabet Satiyem dan

Stephanus Siswanto. Menyelesaikan jenjang pendidikan

Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Mudi Mulia

Lourdes Minggir tahun 2013, kemudian melanjtkan

Sekolah Menengah Atas (SMA) di Santo Mikael Sleman dengan mengambil

jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) tahun 2015, dan melanjutkan studi

perguruan tinggi di Universitas Sanata Dharma degan jurusan Sastra Indonesia

pada tahun 2017.

Selama masa kuliah, penulis berperan aktif dalam berbagai kegiatan

kepanitiaan yang diselenggarakan pihak kampus antara lain yaitu: (i) Panitia

Paskah 2017 sebagai divisi PDD, (ii) panitia seminar HB Jasin, (iii) panitia

inisiasi fakultas Jalinan Akrab Sastra (Jaksa) sebagai divisi perkap, (iv) panitia

Festival Sastra sebagai divisi dekorasi, (v) panitia Stand Up Comedy Pandji

Pragiwaksono “Septictank” sebagai divisi keamanan, (vi) panitia Pertunjukan

Lakon Dua Dekade “Nyonya-nyonya” sebagai anggota divisi keamanan. Serta

berperan dalam kegiatan organisasi prodi yaitu dalam Bengkel Jurnalistik sebagai

sekertaris dan dalam pembuatan Majalah Karsa sebagai illustrator.

Akhirnya penulis menyelesaikan studinya di Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta dengan judul skripsi “Doksa Perempuan Tionghoa Dalam Novel Mei

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

102

Merah 1998: Kala Arwah Berkisah Karya Naning Pranoto: Perspektif Pierre

Bourdieu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI