Calon Arang Karya Pramoedya Ananta Toer dan Janda dari Jirah Karya Cok Sawitri : Kajian...

19
1 CERITA CALON ARANG KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER DAN JANDA DARI JIRAH KARYA COK SAWITRI : KAJIAN INTERTEKSTUAL DAN POSTKOLONIAL Oleh : Laga Adhi Dharma Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM Email: [email protected] Abstrak Tulisan ini akan mencoba menelaah bagaimana relasi kekuasaan Jawa dan Luar Jawa yang terdapat dalam Cerita Calon Arang Karya Pramoedya Ananta Toer dan Janda dari Jirah Karya Cok Sawitri. Melalui konsep Jawa sebagai pusat (superior) dan “yang lain” adalah pinggirannya (inferior), mengakibatkan munculnya persepsi dari beberapa wilayah bahwa Jawa dicitrakan sebagai ”bangsa” yang layak diwaspadai dan dipinggirkan karena kekuasaan Jawa menjadi sangat dominan. Jawa menjadi ancaman potensial yang harus dilawan meskipun hanya pada tataran wacana. Teori yang digunakan dalam tulisan ini mengunakan teori intertekstual untuk melakukan perbandingan Calon Arang berdasarkan teks hipogram dan transformasinya, serta melihat dengan kacamata postkolonial untuk menguraikan hasil interteks yang telah dilakukan. Dari analisis yang dilakukan terjadi tiga proses inferiorisasi, yaitu : politik, sosial keagamaan dan gender. Proses tersebut melahirkan resistensi, baik bersifat radikal atau mimikri. Kata Kunci: Calon Arang, Jawa sebagai pusat, inferiorisasi, resistensi A. Pendahuluan Jawa adalah pusat. Konsep inilah yang selalu dinarasikan teks lama, terutama yang berasal dari kerajaan Jawa. Muncul konsep otherism atau otherness, di luar Jawa. Dasar pandangan itu bersifat etnosentris yang memandang bahwa diri sendiri, etnis atau bangsa sendiri (dalam konteks ini Jawa) adalah makhluk terpilih atau lebih mulia dibanding yang

Transcript of Calon Arang Karya Pramoedya Ananta Toer dan Janda dari Jirah Karya Cok Sawitri : Kajian...

1

CERITA CALON ARANG KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER DAN JANDA

DARI JIRAH KARYA COK SAWITRI :

KAJIAN INTERTEKSTUAL DAN POSTKOLONIAL

Oleh :

Laga Adhi Dharma

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM

Email: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini akan mencoba menelaah bagaimana relasi kekuasaan Jawa dan Luar Jawa

yang terdapat dalam Cerita Calon Arang Karya Pramoedya Ananta Toer dan Janda dari

Jirah Karya Cok Sawitri. Melalui konsep Jawa sebagai pusat (superior) dan “yang lain”

adalah pinggirannya (inferior), mengakibatkan munculnya persepsi dari beberapa wilayah

bahwa Jawa dicitrakan sebagai ”bangsa” yang layak diwaspadai dan dipinggirkan karena

kekuasaan Jawa menjadi sangat dominan. Jawa menjadi ancaman potensial yang harus

dilawan meskipun hanya pada tataran wacana.

Teori yang digunakan dalam tulisan ini mengunakan teori intertekstual untuk

melakukan perbandingan Calon Arang berdasarkan teks hipogram dan transformasinya, serta

melihat dengan kacamata postkolonial untuk menguraikan hasil interteks yang telah

dilakukan. Dari analisis yang dilakukan terjadi tiga proses inferiorisasi, yaitu : politik, sosial

keagamaan dan gender. Proses tersebut melahirkan resistensi, baik bersifat radikal atau

mimikri.

Kata Kunci: Calon Arang, Jawa sebagai pusat, inferiorisasi, resistensi

A. Pendahuluan

Jawa adalah pusat. Konsep inilah yang selalu dinarasikan teks lama, terutama yang

berasal dari kerajaan Jawa. Muncul konsep otherism atau otherness, di luar Jawa. Dasar

pandangan itu bersifat etnosentris yang memandang bahwa diri sendiri, etnis atau bangsa

sendiri (dalam konteks ini Jawa) adalah makhluk terpilih atau lebih mulia dibanding yang

2

lain. Konsep ini lebih lanjut memunculkan superioritas etnis atau bangsa tertentu.

Superioritas adalah konsep politik dan sosioekonomi yang berkaitan dengan peristiwa-

peristiwa politik, militer, sejarah ekonomi yang mutakhir serta tradisi kultural dari suatu

negara atau kelompok (Harrison, 2003: 74). Padahal, superioritas ras adalah sebuah konstruk

sosial (Brace, 2006: 270). Dia dipersepsikan, agar memperoleh kemenangan dalam kontestasi

wacana yang berkembang saat itu.

Dengan demikian, “perbedaan” pada dasarnya adalah persoalan psikologis. Orang

cenderung curiga terhadap siapa saja yang kelihatan berbeda. Dari sinilah, persepsi terhadap

“yang beda” pada hakikatnya berpusat pada diri. Lebih lanjut, Brace mengatakan bahwa

Liyan adalah diri dan semua realitas adalah subjektif karena merupakan konstruk (Brace,

2006). Hal inilah yang menarik untuk dikaji, ketika melihat Jawa sebagai pusat dan “yang

lain” adalah pinggirannya. Kondisi ini mengakibatkan, munculnya persepsi dari beberapa

wilayah bahwa Jawa dicitrakan sebagai ”bangsa” yang layak diwaspadai dan dipinggirkan

karena kekuasaan Jawa telah menjadi sangat dominan. Jawa menjadi ancaman potensial yang

harus dilawan dan diberontaki meskipun hanya pada tataran wacana. Narasi seperti Hang

Tuah (Melayu), Trunojoyo (Madura), hingga Calon Arang (Bali) adalah beberapa contohnya.

Calon Arang adalah salah satu cerita yang menarik untuk dikaji. Teks pertama tentang

Calon Arang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Poerbatjaraka (1926), yaitu LOr

5279 (5387), LOr 4562 dan LOr 4561. Terjemahan bebas dari salah satu versi Calon Arang

dimuat dalam majalah Bahasa dan Budaya No. 2/1954. Tardjan Hadidjaja menerbitkan

ringkasan cerita Calon Arang dalam Kepustakaan Jawa (1957). Pekerjaan ini dilanjutkan

oleh Soewito Santoso yang menerjemahkan Calon Arang dari bahasa Belanda (yang disusun

Poerbatjaraka) ke dalam bahasa Indonesia berjudul Calon Arang, Si Janda dari Girah (1975).

Teks ini juga diminati oleh C. Hooykaas, yang menyajikan episode cerita Calon Arang dalam

bahasa Belanda (1933) dan menerbitkannya lagi pada tahun 1979. Sementara J. Gonda (1933)

membuat catatan kata-kata Jawa Kuna yang diberi arti yang diambil dari De Calon Arang

edisi Poerbatjaraka (Suastika, 1997:6–7). Semua teks ini memosisikan Calon Arang sebagai

subjek yang “salah” dan perlu untuk ditumpas.

Dalam perkembangannya, muncul teks transformasi yang menjadikan teks Calon

Arang tersebut sebagai hipogram, diantaranya : Pramoedya Ananta Toer dalam Cerita Calon

Arang (2003) yang pernah terbit sebelumnya dengan judul Dongeng Calon Arang (1954).

Femmy Syaharani dalam Galau Putri Calon Arang (Gramedia, 2005) dan Toety Heraty

menulis kajian feminisme berdasarkan legenda Calon Arang berjudul Calon Arang: Kisah

3

Perempuan Korban Patriarki (YOI, 2000). Selain itu, ada pula Cok Sawitri yang terinspirasi

dari cerita ini yang menulis novel Janda dari Jirah.

Dari berbagai teks transformasi, minimal ada dua narasi besar yang bisa menjadi

poros utama, yaitu mengikuti pola yang ada (sebagaian besarnya) dan melakukan dekontruksi

(inovasi). Teks adalah sebuah metafora yang melihat keseluruhan kompleks wacana sebagai

suatu anyaman atau tenunan (Segers, 1988:300). Dengan demikian, apabila sebuah teks

dibaca, baik oleh pembaca individual maupun oleh suatu kelompok dengan cara

berkomunikasi dengannya, teks di tenun atau dianyam kembali berdasarkan benang-benang

lain yang jumlahnya tidak terbatas (Barthes via Young, 1981:32).

Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer adalah salah teks yang tidak

banyak melakukan dekontruksi (inovasi), sehingga relatif mengikuti pola hipogramnya.

Tokoh-tokohnya digambarkan memiliki karakter yang hitam-putih. Raja Airlangga dan Empu

Baradah digambarkan sebagi protagonis perlambang kebajikan dan Calon Arang

digambarkan sebagai antagonis perlambang kejahatan yang harus dibinasakan. Mungkin

karena prioritas menjadikan karyanya ini sebagai karya sastra anak (bervisi pembelajaran)

menjadikan ruang inovasi relatif minim (Toer, 1999:v-vi). Mungkin juga, pengaruh

feodalisme Jawa yang masih kentara di benak Pramoedya, sehingga proses narasi besarnya

masih memosisikan Jawa sebagai pusat. Kondisi ini berbeda dengan karya Janda dari Jirah

karya Cok Sawitri. Dia justru membongkar relasi kekuasaan Jawa melalui novel tersebut.

Calon Arang tentu dipersepsikan berbeda dengan apa yang diwacanakan sebelumnya.

Untuk itu, kajian terhadap keduanya adalah pilihan yang menarik. Komparasi

terhadap wacana yang muncul terhadap keduanya diharapkan memunculkan cara pandang

kita terhadap wacana kekuasaan tertentu, yaitu pengukuhan kekuasaan terhadap Jawa dan

proses resistensinya.

B. Perbandingan Terjemahan Teks Calon Arang Prosa LOr 5387/5279 dengan Cerita

Calon Arang Karya Pramoedya Ananta Toer dan Janda dari Jirah Karya Cok Sawitri

Terjemahan Teks Calon Arang Prosa LOr 3587/5278 yang dilakukan oleh I Made

Suastika dipilih sebagai hipogram dalam analisis ini. Mengacu pada apa yang diungkap

Riffaterre, teks hipogram adalah teks yang melatarbelakangi penciptaan teks-teks yang lahir

kemudian (1984:23). Hipogram dapat tercipta diantaranya melalui klise-klise dan kutipan

dari teks-teks lain (Riffaterre, 1984:63). Tulisan terjemahan ini didasarkan pada tulisan I

Made Suastika (1997:92–127), sebagai bagian dari hipogram.

4

Dimulai dengan menceritakan seorang pendeta bernama Mpru Baradah yang tinggal

di Lemah Tulis. Dikemudian hari, diketahui bahwa istri dari Mpu Baradah sakit lalu

meninggal dunia. Mpu Baradah akhirnya hidup dengan anaknya yang bernama Wedawati.

Namun dalam perjalanannya, Mpu Baradah memutuskan untuk menikah lagi meskipun

mendapat tentangan oleh anaknya. Pernikahan berlangsung dan akhirnya Wedawati memiliki

ibu tiri yang tidak begitu suka kepadanya. Akhirnya Wedawati berusaha untuk melarikan diri

sari rumah dan mendatangi makam ibu kandungnya. Hal ini diketahui oleh Mpu Baradah

yang akhirnya membuatkan asrama di kuburun mantan istrinya tersebut, tempat yang tadinya

dianggap angker lalu dirubah menjadi tempat yang indah yang akhirnya ditempati oleh

Wedawati.

Diceritakanlah seorang raja yang sangat termashyur memimpin kerajaan Daha

bergelar Maharaja Airlangga, mulai gelisah karena ada janda di wilayahnya yang memiliki

ilmu hebat dan jahat bernama Calon Arang bertempat tinggal di Girah dan memiliki seorang

anak bernama Ratna Manggali. Calon Arang mendapatkan perhatian khusus karena

kekuatannya dapat mengacam kekuasaan Maharaja Airlangga dalam menjalankan roda

pemerintahan di Kerajaan Daha. Untuk mengantisipasi kekuatan jahat Calon Arang supaya

tidak meluas akhirnya Maharaja Airlangga mengutus Ken Kanuruhan untuk menemui Mpu

Baradah agar meruwat kerajaannya, supaya terbebas dari segala bentuk kejahatan terutama

yang dilakukan oleh Calon Arang.

Ahirnya setelah menemui Mpu Baradah, Kanuruhan disuruh pulang dan Mpu

Baradah mengutus Mpu Bahula untuk mengikutinya dengan tujuan untuk menikahi putri

Calon Arang yaitu Ratna Manggali. Dengan cara tersebutlah perlahan kekuatan Calon Arang

mudah dibaca oleh Mpu Baradah. Setelah sampai Girah, Mpu Bahula langsung menemui

Calon Arang dengan mengutarakan maksudnya untuk menikahi Ratna Manggali. Keinginan

tersebut langsung diamini oleh Calon Arang karena sejatinya Ratna Manggali memang

sedang mencari jodoh. Setelah menjadi keluarga, akhirnya Mpu Bahula dan Ratna Manggali

tinggal di Girah. Lama kelamaan, aktifitas Calon Arang terpantau jelas oleh Mpu Bahula,

sehingga kekuatan Calon Arang dapat diketahui oleh Mpu Bahula karena menurut

informasinya dari Ratna Manggali Calon Arang mempunyai lipyakara, yang berisihan

tentang ajaran menuju kesempurnaan, tetapi oleh Calon Arang ajaran di dalam lipyakara

tersebut dibelokkan, sehingga yang dijalankan oleh Calon Arang adalah ilmu sihir yang

dapat menyesatkannya di dunia.

Setelah lipyakara tersebut berhasil diserahkan oleh Mpu Baradah, akhirnya Mpu

Baradah berusaha datang ke Girah dan mencoba untuk menaklukkan Calon Arang. Dengan

5

menggunakan astacapala Calon Arang akhirnya dapat ditaklukkan oleh Mpu Baradah.

Maharaja Airlangga merasa sangat bahagia mendengar Calon Arang telah ditaklukkan oleh

Mpu Baradah, sehingga segala jenis bentuk balas jasa diberikan oleh Maharaja Airlangga

kepada Mpu Baradah.

Setelah Kerajaan Daha mengalami kemakmuran, muncul lagi perpecahan dalam

keuarga kerajaan sehingga Maharaja Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua bagian

yaitu Jenggala dan Kadiri. Kerajaan Jelangga kelak akan dipimpin oleh anak turun dari Ken

Apatih anak Maharaja Airlangga yang pertama, sementara Kerajaan Kadiri dipimpin oleh

Ken Kanuruhan anak yang nomor dua. Meskipun dalam perjalanannya kedua kerajaan ini

juga saling bersitegang, tetapi hal tersebut dapat diredam oleh Mpu Baradah yang akhirnya

kedua kerajaan tersebut memiliki hubungan yang harmonis. Di akhir cerita, Mpu Baradah

dapat moksa dengan anaknya Wedawati dengan tenang.

Kemudian, bagaimana perbandingan yang muncul ketika dihadapkan pada teks

transformasinya, karena setiap teks adalah mozaik kutipan-kutipan, penyerapan dan

transformasi dari teks lain (Kristeva via Culler, 1975:139). Artinya, sebuah karya sastra pada

dasarnya merupakan tanggapan terhadap teks sebelumnya (Teeuw, 1983:19). Eksplorasi lebih

lanjut, akan dijelaskan sebagai berikut.

B.1 Calon Arang

Dalam terjemahan teks ini Teks Calon Arang Prosa LOr 3587/5278 Calon Arang

digambarkan sebagai sosok yang sesat karena memiki sihir jahat.Sebenarnya pustaka yang

dimiliki Calon Arang yaitu lipyakara merupakan kitab ajaran untuk menuntun manusia

sehingga memperoleh kesempurnaan hidup di dunia. Namun, hal tersebut oleh Calon Arang

sengaja diputar balikkan ajarannya, sehingga yang dijalani oleh Calon Arang merupakan hal

sesat yang dapat menimbulkan kekacauan terhadap masyarakat sekitar terutama masyakarat

Girah dan lebih luas adalah masyarakat Kerajaan Daha. Sosok yang jahat terus melekat pada

diri Calon Arang sehingga Raja Airlangga memutuskan untuk melenyapkan keberadaan

Calon Arang di wilayah kerajaannya, sebelum dia justru semakin menyengsarakan warga

kerajaan Daha.

8a: “Sang Raja berkata dengan sedih. Kemudian beliau marah.“Manakah rakyat dan

parjuritku” tidak lama bersamaan datang prajurit “tentara rahasia”. “pergilah kamu,

serbu dan bunuh Calon Arang. Jangan engkau seorang diri, hendaklah engkau

membawa prajurit yang banyak, jangan lengah” (Suastika, 1997: 97).

6

Konsep ini relatif sama, dengan apa yang ditulis Pramoedya. Calon Arang dalam

penggambaran Pramoedya merupakan lambang sisi gelap manusia dengan segala sifat

buruknya. Dalam karya Pramoedya, Calon Arang sebagai perempuan pembawa bencana

bagi Kerajaan Daha (sekarang Kediri) karena berambisi menjadi penguasa dengan

tindakannya yang tidak manusiawi, yaitu membunuh, merempas, dan menyakiti.

Calon Arang seorang perempuan setengah tua. Ia mempunyai seorang anak perawan

yang berumur lebih dua puluh lima tahun. Ratna Manggali namanya. Bukan main

cantik gadis itu.

Sekalipun demikian tak seorang pun pemuda yang datang meminang, karena takut

kepada ibunya, Calon Arang. Calon Arang ini memang buruk kelakuannya. Ia senang

menganiaya sesama manusia, membunuh, merampas dan menyakiti. Calon Arang

berkuasa. Ia tukang teluh dan punya banyak ilmu ajaib untuk membunuh orang.

Sebagai pendeta perempuan pada Candi Dewi Durga banyak sekali murid dan

pengikutnya. Ia seorang dukun yang banyak mantranya. Dan mantra-mantranya itu

manjur belaka. Itulah sebabnya tak ada orang berani padanya (Toer, 1999: 3-4).

Berbeda dengan sosok Calon Arang yang digambarkan dalam karya Cok Sawitri

berjudul Janda dari Jirah. Dalam novel Sawitri ini, Calon Arang dipanggil Rangda Ing Jirah

atau Ibu Ratna Manggali. Rangda adalah pendeta perempuan yang taat menjalankan ajaran

Budha. Sosok perempuan baik tampak dalam diri Calon Arang yaitu lembut, berwibawa,

dan tegas dengan bukti wilayah Kabikuan Jirah yang dipimpinnya hidup damai dengan

limpahan hasil sawah, ladang, dan ternak. Hal ini adalah gambaran sosok yang sangat

kontras dengan Calon Arang dalam hiprogram yang telah saya jelaskan di atas. Calon Arang

dalam hipogramnya digambarkan sebagai penganut siwa akan tetapi dalam Cok Sawitri

Calon Arang merupakan penganut Budha. Bukti atas semuanya itu, dapat dianalisis dari teks

berikut.

“Hamba pun demikian, Bapa. Dalam perlindungan Hyang Budha, hamba dikirim ke

Jirah untuk belajar hidup. Seperti yang Bapa ketahui, selama masa belajar, hamba

tidak diperkenalkan untuk keluar Kabikuan oleh ibu...(Sawitri, 2007:156).

“Jika dibandingkan dengan Kabupaten Galuh, sesungguhnya luas Jirah lebih luas dan

dari kemakmuran mereka lebih makmur...”

Airlangga mengerutkan keningnya. Kabikuan Jirah dekat dengan Wura Wuri, apalagi

ratu Wura Wuri penganut Tantrayana, pastilah sangat menghormati pemimpin

Kabikuan Jirah. Berdebarlah hatinya memberi tanda dalam ingatannya, tak satu pun

pendeta dari Kabikuan Jirah pernah menghadap ke istana untuk memohon derma.

Sepetak tanah apalagi, sejumput rumput mereka tak pernah meminta (Sawitri, 2007:

32).

7

B.2 Raja Airlangga

Raja Airlangga digambarkan sebagai sosok raja yang peduli terhadap rakyatnya.

Kerajaan Daha yang digambarkan dalam kesejahteraan dan termashyur, sebelum

kemunculan ilmu hitam Calon Arang. Hal ini dapat dianalisis dari teks berikut. Teks yang

menceritakan kemasyuran kerajaan.

Tidak lama datanglah jamuan dengan segala perlengkapan upacara sangat indah

kelihatannya, tuak, nasi, ikan, tampo, berem, kilang, juga serebad badur (Suastika,

2007:102)

Kondisi ini sama dengan teks Pramoedya yang memosisikan Raja Airlangga sebagai raja

yang agung, berwibawa, bijaksana dan berbudi. Hal ini dapat dianalisis dari teks berikut.

Yang memerintah negara itu Airlangga namanya. Baginda terkenal bijaksana dan

berbudi. Pendeta-pendeta yang membuka pertapaan dan asrama sampai jauh di gunung-

gunung mendapat perlindungan belaka (Toer, 1999: 2).

Kondisi ini berbeda dengan apa yang diungkap dalam teks Janda dari Jirah. Kegelisahan,

selalu menyelimuti kehidupan kerajaan, karena konflik internal.

Dengan muram, Airlangga menyampaikan “keponakanku, Samarawijaya telah tiba,

bukan soal dia di mana selama ini. Semua pusaka Medang ia yang membawa aku

meminta kalian memberiku nasihat, sebab aku tidak mau ketenangan Kediri terusik

oleh pertikaian antar saudara...” (Sawitri, 2007:157).

Selain itu, dalam karya Cok Sawitri, dua tokoh anak Raja Airlangga Ken Apatih dan Ken

Kanuruhan tidak disebutkan.

B.3 Mpu Baradah dan Mpu Bahula

Mpu Baradah sangat berperan dalam cerita Calon Arang versi hipogram, disini Mpu

Baradah menjadi tokoh sentral yang dapat menjembatani keinginan Raja Airlangga dan

keturunan-keturunannya. Peran Mpu Baradah sangat keliatan pada saat diminta oleh Raja

Airlangga untuk menaklukkan Calon Arang. Mpu Baradah pula yang mengusulkan taktik

agar dilakukan penaklukan secara persuasif, hal tersebut yang akhirnya diperankan oleh

Mpu Bahula muridnya yang menikahi Ratna Manggali anak dari Calon Arang. Strategi ini

cukup berhasil sebagai langkah awal untuk penaklukan Calon Arang, karena setelah Mpu

Bahula menikah dengan Ratna Manggali terbeberkan dari mana kekuatan Calon Arang.

8

Melalui Mpu Bahula, akhirnya Mpu Baradah mempelajari kitab lipyakara yang dijadikan

pedoman Calon Arang menjalankan ilmu hitamnya. Meskipun menurut Mpu Baradah

lipyakara berisi tentang ajaran-ajaran kesempurnaan hidup, tetapi justru diputar balikkan

oleh Calon Arang mengenai isinya tersebut.

18a :Ketika Calon Arang sedang pergi ke kuburan. Pustaka (lipayakara) itu diberikan

oleh sang Manggali kepada kakaknya. Lalu dibaca oleh Mpu Bahula, kemudian

hendak minta ijin kepada adiknya untuk dimohonkan nasihat kepada Sang Pendeta.

Lalu diijinkannya. Mpu Bahula segera pergi menuju Buh Citra. Tidak diceritakan

dalam perjalanan. Ia Segera datang di asrama (Suastika, 1997: 104).

Kondisi ini sama dengan teks Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Tour.

Proses dan pesitiwa pun hampir sama. Hanya saja, ada perbedaan situasi Calon Arang,

ketika diambil kitabnya. Jika teks hipogramnya ada di kuburan. Dalam teks Pramoedya ini,

situasi calon Arang sedang tertidur.

Pada suatu hari Calon Arang sedang tidur. Nyeyak sekali tidurnya. Bersitinjak Ratna

Manggali mendekati tempat tidur. Dengan tak terdengar oleh ibunya, kitab bertuah

itu di ambilnya. Segera diserahkannya kitab itu kepada suaminya (Toer, 1999:79).

Dalam karya Cok Sawitri, Mpu Baradah adalah perantara hubungan antara Airlangga

dengan Rangda. Disini Mpu Bahula yang menikah dengan Ratna Manggali merupakan

proses yang terjadi secara alami karena saling cinta bukan melalui perjodohan dan tidak ada

motif penaklukan Rangda seperti dalam kisah hipogramnya, tetapi ada motif agama. Mpu

Bahula membantu ibu mertuanya menjalankan tatakrama di Kabikuan dan juga menjadi

bagian dari Kerajaan Daha. Hal ini dapat dianalisis dari teks berikut.

“Ada masa di mana ajaran Budha akan memenuhi semua pilah daun lontar, ada masa

di mana kalian akan diburur-buru. Jangan menangis pabila seorang lelaki bernama

Bahula tiba. Dia sesungguhnya mencintaiku, dan sesungguhnyalah ajaran Ibu akan

dilanjutkan oleh keturunan kami. Namun dia seorang sisia yang taat” (Sawitri, 2007:

37).

B.4 Ratna Manggali

Ratna Manggali pada teks terjemahannya merupakan tokoh penting dalam

penaklukan Calon Arang, meskipun Ratna Manggali merupakan anak kandung dari Calon

Arang sendiri. Ratna Manggali dikisahkan memang tidak mengetahui apabila pernikahannya

dengan Mpu Bahula merupakan strategi Raja Airlangga untuk menaklukan Calon Arang.

9

Disini peran Mpu Bahula sebagai eksekutor yang diperintahkan langsung oleh Mpu Baradah

sangat berhasil membuat dia diterima oleh Calon Arang dan Ratna Manggali sendiri,

sehingga kepercayaan penuh yang diberikan kepada Mpu Bahula. Peristiwa penting yang

dilakukan oleh Ratna Manggali adalah pada saat Mpu Bahula menanyakan perihal Calon

Arang yang setiap malam melakukan ritual di kuburan. Pada saat itu Ratna Manggali

memberikan pustaka (lipyakara) yang digunakan Calon Arang sebagai acuan dalam

melakukan ritual-ritualnya di kuburan. Berikut rayuan Mpu Bahula kepada istrinya yang

akhirnya, berhasil mempengaruhi Ratna Manggali, sehingga diceritakan semuanya tentang

apa yang dilakukan oleh Calon Arang.

17b: “Dinda, adikku tercinta, mengapakah ibu selalu pergi pada malam hari? Saya

khawatir Dinda, dengan ibu. Beritahulah sesungguhnya, Adikku! Apakah sebenarnya

pekerjaan ibu”(Suastika, 1997: 104).

Konteks ini sama dengan apa yang ditulis oleh Pramoedya dalam Cerita Calon Arang. Hal

ini dapat dianalisis dari teks berikut.

“kemanakah setiap sore ibu pergi sendirian?

Kelihatannya perlu sekali.

........

“Tidakkah engkau menghawatirkan ibu?” Tanya Bahula

“Tidak”, jawab Ratna Manggali (Toer, 1999:77).

Dalam Janda dari Jirah, disebutkan juga bahwa Ratna Manggali mengetahui jodohnya

sebelum Bahula datang. Hal itu karena kekuatan dalam melihat masa depan yang dimilikinya.

Siapa pun yang tinggal dan hidup di Kabikuan akan memiliki kekuatan di luar nalar manusia.

Jadi situasi dalam teks hipogram atau teks Pramoedya tidak ada. Hal ini dapat dianalisis dari

teks berikut.

“Kelak di sebuah pulau kecil, dari mana lelaki yang melompati air berasal, akan lahir

tradisi yang mentaati ajaran Ibu... ” Ratna Manggali memulai kisahnya, “dengarlah

penganut Budha kecil, tujuh turunan dari sekarang, keturunanmu akan menyeberang ke

sana. Kalian harus sabar mengikuti kemauan zaman. Ada masa di mana ajaran Budha

akan memenuhi semua pilah daun lontar, ada masa di mana klaian akan diburu-buru.

Jangan menangis pabila seorang lelaki bernama Bahula tiba. Dia sesungguhnya

mencintaiku, dan sesungguhnyalah ajaran Ibu akan dilanjutkan oleh keturunan kami.

Namun dia seorang sisia yang taat. Mengalahkan segala kebenaran dan mengalahkan

segala cinta. Dia bagai Ganesha, murid siwa yang utama. Dia bagaikan Iswaku di mata

Patanjali...” (Sawitri, 2007: 36).

10

B.5 Wedawati

Wedawati merupakan tokoh yang pada awal pembukaan teks terjemahan Calon

Arang menjadi tokoh sentral. Wedawati merupak anak dari Mpu Baradah dari istri yang

pertama. Wedawati diceritakan tidak setuju apabila Mpu Baradah menikah lagi, sehingga

ketika Mpu Baradah menikah dia lebih memilih sering tinggal di kuburan ibu nya yang telah

meninggal. Sampai pada akhirnya Wedawati dibuatkan asrama di kuburan tersebut, sehingga

dia tetap dapat tinggal berdampingan dengan ibunya. Di akhir cerita Wedawatilah yang

menganjurkan Mpu Baradah moksa bersama dengannya karena urusan duniawi telah

terselesaikan.

50b: Setelah beliau selesai berkata, segera moksa Sang Maha Bijaksana berdua

bersama putrinya. Sang Wedawati, moksa hilang lenyaplah dia. (Suastika, 1997: 127).

Konsep itu, juga mengalami persamaan dengan teks Pramoedya. Widyawati ditinggalkan

ibunya. Kemudian, dia memilih nertempat tinggal di kuburan, karena mengalami percecokan

dengan sang ibu. Akhirnya, keduanya pergi (meskipun tidak disebutkan moksa).

Maka nampaklah kedua kedua orang itu berjalan bersama-sama, naik gunung.

Tambah lama, tambah kecil penglihatannya (Toer, 1999:101).

Sedangkan dalam Cok Sawitri, tokoh Wedawati ini justru tidak disebutkan sama sekali,

sehingga tidak cerita tentang Wedawati.

B.6 Keterpecahan Kerajaan Daha

Ada dua versi, bagaimana proses keterpecahan kerajaan Daha. Dalam Pramoedya,

proses keterpecahan itu muncul dari inisistif Airlangga dan diberikan kepada kedua anaknya.

Konsep ini berbeda dengan apa yang diungkap Sawitri. Dalam Janda dari Jirah, proses

keterpecahan itu justru hadir karena tanah di Jirah telah diberikan kepada Samarawijaya

(keponakannya). Merespon itu, agar tidak terjadi polemik, barulah Airlangga membagi

kerajaannya menjadi dua, untuk keponakannya dan anaknya. Hal ini bisa dibandingkan dari

kutipan dari kedua novel berikut.

“Tuanku, baiklah kerajaan ini diparoh dua. Yang sebelah dinamaiKediri dan

diperintah oleh putra sulung. Yang sebelah lagi dinamai Jenggala dan diperintah oleh

putra bungsu” (Toer, 1999:100).

11

“Mereka juga membeli tanah-tanah di desa-desa lain dan setiap tahun mereka

membuka sawah dan ladang yang baru...”

Tanpa senjata mereka meluaskan wilayah. Airlangga tersenyum lagi karena

terkagum-kagum. Banyak hal yang harus ia pelajari sebagai penguasa baru.

Setiap bulan para telik sandi mengirimkan laporan tentang desa-desa yang

letaknya dekat dengan Wura-Wuri, namun hanya Kabikuan Jirah yang selalu

menjadi perhatian Airlangga (Sawitri, 2007:32).

Bagian yang semula dikenal sebagai ibukota Medangakan diserahkan kepada

Samarawijaya, anakku dari sepupu, sebagian yang lain yang dikenal dengan

Daha, akan ku serahkan pada sepupu Samara Wijaya, putriku, putri mahkota ing

Daha (Sawitri, 2007:181)

C. Cerita Calon Arang dan Janda Dari Jirah : Kajian Postkolonial

Cerita Calon Arang dapat dilihat menggunakan kacamata postkolonial. Secara tersirat

maupun tersurat, cerita Calon Arang mengkonstruksikan kelompok dominan dan kelompok

inferior. Said menjelaskan istilah timur dan barat. Timur ditujukan untuk kelompok inferior

dan barat sebagai kelompok dominan. Pada cerita Calon Arang, kelompok dominan adalah

manusia Jawa yang direpresentasikan oleh Airlangga. Sedangkan kelompok yang

diinferiorkan adalah manusia di luar Jawa (Bali) yang direpresentasikan oleh Calon Arang.

Menurut Edward Said, orang Eropa (Barat) menganggap Timur sebagai tempat yang

penuh romansa, makhluk-makhluk eksotik, dunia yang asing, misterius, primitif, brutal

kenangan, panorama yang indah, dan pengalaman-pengalaman yang mengesankan (2010:1).

Hal ini sesuai dengan penggambaran Calon Arang. Calon Arang versi Pramoedya

digambarkan sebagai seorang janda yang tinggal di dusun Girah. Dalam versi ini, Calon

Arang beserta daerah tempat tinggal dan para pengikutnya dianggap sebagai tempat yang

misterius, penuh dengan keburukan. Oleh sebab itu raja Airlangga sebagai representasi

kelompok dominan menginginkan dusun Girah untuk dikuasai.

Hal ini juga ditemukan dalam cerita Calon Arang versi Cok Sawitri (2007). Calon

Arang dalam novel disebut Ibu Ratna Manggali menduduki suatu tempat yang dijuluki

Kabikuan. Tempat ini dianggap sebagai tempat yang berbeda dengan tempat yang lain.

Bahkan terdapat teks yang menguatkan hal ini.

“...para pedagang di pasar bahkan semua penduduk Kadiri tahu, bagaimana perilaku

murid-murid Kabikuan Jirah, “mereka tak jelas jenis kelaminnya...hehe!” ucap para

lelaki yang kebingungan setiap memperhatikan orang-orang Kabikuan.” (Sawitri,

2007: 28).

12

Dalam konteks ini, Kabikuan Jirah dianggap inferior, meskipun pada versi ini Airlangga

mengakui kebesaran Calon Arang.

Pada versi Pramoedya, dusun Girah terasa jauh dengan dusun lain karena orang sangat

takut mendekati dusun ini. oleh sebab itu dusun ini dikucilkan oleh warga yang lain.

Sedangkan pada versi Sawitri, Kabikuan Jirah digambarkan tempat suci pemberian raja-raja

terdahulu kepada para pendeta yang tidak boleh dilalui oleh para pegawai kerajaan. Tempat

bermukimnya Calon Arang beserta murid-muridnya “terasa” sulit dijangkau tersebut adalah

sebuah tempat yang sebenarnya bersebelahan dengan permukiman warga, bahkan adalah

bagian dari kerajaan Kediri itu sendiri. Namun, karena ia adalah kawasan yang “dianggap”

melahirkan beragam misteri, ia menjadi liyan. Batas abstrak tersebut kemudian menjadi garis

imajinatif yang membedakan antara “kita” dan “mereka”.

Hal ini bisa disamakan dengan Timur dalam wacana orientalisme. Bagi orang-orang

Eropa, Timur tidak hanya bersebelahan dengan kawasan mereka… (tetapi juga) bagian dari

imajinasi Eropa yang terdalam. Timur adalah “yang lain” (the other) bagi Eropa (Said,

1994:2). Dengan demikian, Timur yang antah berantah adalah imajinasi Barat belaka. Dalam

pembahan ini, akan dipaparkan bagaimana inferioritas ini dimunculkan oleh kelompok

dominan. Akibat adanya pembedaan kelompok ini akan memunculkan resistensi bagi

kelompok yang terinferiorkan. Oleh sebab itu, pada analisis ini juga disertakan resistensi-

resistensi yang muncul.

C.1 Inferiorisasi Politik dan Resistensinya

Secara politik, baik dusun Girah atau Kabikun Jirah termasuk dalam kekuasaan Kadiri

(Daha), sehingga wilayah tersebut harus tunduk terhadap aturan dari kerajaan. Cerita Calon

Arang versi Pramoedya, Calon Arang diinferiorkan oleh Airlangga dengan berbagai cara,

antara lain menyebarkan isu bahwa Calon Arang dan murid-muridnya menganut ajaran sesat,

dianggap berbahaya, siapa yang berani melawan akan dimusnahkan, suka membunuh, jahat,

atau berkeramas menggunakan darah manusia. Apa yang dilakukan Calon Arang tersebut

dianggap mengganggu stabilisasi keamanan kerajaan. Oleh sebab itu, Airlangga juga

melakukan perlawanan guna melindungi daeraah kekuasaannya.

“Penyakit ini harus dilenyapkan. Kalau tidak bisa, setidak-tidaknya harus dibatasi.

Kirimkan balatentara ke dusun Girah. Tangkap Calon Arang. Kalau melawan, bunuh

dia bersama murid-muridnya.”(Toer, 2010: 32).

13

Resistensi yang dilakukan Calon Arang adalah dengan menghukum (menenung)

orang-orang yang menyakiti kerabat-kerabatnya. Bahkan beberapa kali dicceritakan prajurit

Airlangga dilawannya dengan mudah. Selain itu, Calon Arang juga melakukan resistensi

dengan menyembah dewi Durga. Dengan menyembah dewi Durga tersebut, Calon Arang

berusaha memperluas guna-guna sampai mendekati kawasan dalam keraton.

Penyakit tambah menghebat. Ratusan orang mati tiap hari. Tak sempat lagi orang

menguburkan kerabat atau sahabat yang meninggal. Mayat tergolek di sepanjang jalan,

di dalam rumah, di sawah, bahkan di dekat-dekat istana demikian pula (Sawitri,

2007:53).

Namun apa yang dilakukannya memunculkan ambivalensi. Di satu sisi ia ingin

membunuh semua orang yang ada di sekitarnya, di sisi lain ia masih berharap ada laki-laki

yang mau menikahi putrinya. Konsep Bhaba, yaitu menyebut bahwa proses meniru, bisa

menjadi proses resistensi pribumi. Baginya, proses peniruan tidak pernah lengkap atau

sempurna. Begitupun dengan hasilnya, bukan sebuah gambaran yang sempurna karena

otoritas kolonial dibuat “ambivalen”, sehingga membuka ruang bagi terjajah untuk

menyelewengkan wacana induk (Bhabba via Loomba, 2003:117).

Cerita Calon Arang versi Cok Sawitri (2007) menggambarkan sosok Calon Arang

yang memiliki kekuasaan yang lebih. Wilayah kekuasaannya bisa dikatakan makmur. Hal ini

dapat dianalisis dari teks berikut.

Banyak yang percaya, air di Kabikuan Jirah memangberbeda, karena disucikan setiap

purnama, mereka sangat taat memuja Brahma dan menjalankan agama Budha, karena

itu tangan mereka menjadi dingin, segala yang disentuh akan bermanfaat (Sawitri,

2007:30).

Meskipun pengarang telah berupaya untuk menulisakan cerita Calon Arang dengan

sudut pandang baru (berbeda dengan cerita Calon Arang yang telah beredar), namun Calon

Arang dapat dikatakan tetap dalam posisi inferior. Calon Arang merasa terinferior setelah ia

tahu apa yang terjadi di masa yang akan datang. Ia melihat dirinya dituduh sebagai penganut

ilmu hitam, orang yang berkhianat terhadap Airlangga, dan sebagai penyebab perang saudara

di Kediri. Di saat itu, Ratna manggali hanya menangis.

14

Anak-anak kecil itu melompat riang. Membiarkan rambut mereka lepas dan berkibas-

kibas. “Bahkan ketika kejayaan raja-raja lenyap, akan selalu pemikiran ibu yang

digunakan...” ucap merekadengan suara kanak, telah menerka apa yang diucapkan

Ratna Manggali.

...........

Ratna Manggali tak tahan tak menangis, ia jatuh dalam isak, “Oh, Ibu, ajari aku

melepas ikatan ini (Sawitri, 2007:37–38).

Pada novel ini resistensi yang dilakukan Calon Arang lebih bersifat batin. Salah satu

resistensi yang dilakukan Calon Arang adalah dengan memperluas wilayah. Ia membeli

tanah-tanah untuk dihuni dan dijadikan tempat yang subur. Bahkan tanpa sepengetahuan Raja,

Calon Arang hampir memiliki wilayah hampir seproh luas kerajaan. Selain itu diam-diam ia

memelihara cucu Dharmmawangsa Tguh, Samarawijaya. Samarawijaya merupakaan pewaris

tahta yang sah. Sehingga ia memiliki hak terhadap kerajaan Medang (Kadiri). Di akhir cerita,

Calon Arang memberikan seluruh tanahnya untuk dikuasai oleh Samarawijaya. Namun

demikian, tindakan Calon Arang tersebut merupakan sebuah tindakan ambivalensi. Di awal

cerita, Calon Arang sebagai pemimpin Kabikuan berikrar untuk tidak memihak raja manapun.

Namun pada akhirnya ia justru memberikan kekuasaan kepada Samarawijaya karena ia

adalah cucu Dharmmawangsa Tguh.

Di pihak lain, Airlangga merasa posisinya terancam. Kabikuan Jirah merupakan

kawasan suci di mana para pegawai istana dilarang untuk melawati, apalagi untuk

kepentingan perang. Banyak warga yang lebih suka tinggal di kawasan Kabikuan ini.

Alasannya adalah karena kabikuan bebas dari pajak negara, tanah subur, aman, tentra, dan

warga memperoleh banyak ilmu. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran Airlangga karena ada

kemungkinan warga lebih setia dan patuh terhadap Calon Arang daripada dia. Kedekatan

Kabikuan dengan kerajaan Wura-wuri juga menambah kekhawatiran Airlangga. Oleh sebab

itu, Airlangga mengirimkan telik sandi untuk mengawasi perkembangan Kabikuan, terutama

mengenai perluasan tanah. Hal ini dapat dianalisis dari teks berikut.

“Mereka juga membeli tanah-tanah di desa-desa lain dan setiap tahun mereka

membuka sawah dan ladang yang baru...”

....

Banyak hal yang harus ia pelajari sebagai penguasa baru. Setiap bulan para telik sandi

mengirimkan laporan tentang desa-desa yang letaknya dekat dengan Wura-Wuri,

namun hanya Kabikuan Jirah yang selalu menjadi perhatian Airlangga (Sawitri,

2007:32).

15

C.2 Inferiorisasi Sosial Keagamaan dan Resistensinya

Kedua versi cerita calon arang terdapat wacana tentang kehidupan sosial agama, yaitu

agama Budha dan Hindu Siwa. Pada versi Pramoedya diceritakan bahwa Calon Arang

menganut agama hindu yang sesat. Hal ini dikarenakan Calon Arang yang menyembah dewi

Durga guna memperkuat ilmu sihirnya. Berbagai ritual yang identik dengan ajaran sesat

adalah dengan mengorbankan nyawa orang untuk dewi durga, serta berkeramas

menggunakan darah manusia.

Raja Airlangga telah menetapkan bahwa ajaran yang disebarkan oleh Calon Arang

adalah ajaran yang sesat, mengganggu stabilisasi kehidupan sosial di Daha. Oleh sebab itu,

Calon Arang beserta ajarannya harus segera ditumpas. Calon Arang merasa tertekan. Ada

kekhawatiran pada diri Calon Arang terhadap kekuatan Airlangga. Ia kembali mengandalkan

pujaannya, yaitu dewi Durga. Hal ini merupakan resistensi yang dilakukan oleh Calon Arang,

yaitu justru dengan meneruskan perlawannanya terhadap raja Airlangga.

“Ampun, Dewi pujaan hamba. Izinkanlah hamba membuat penyakit besar-besaran.

Biarlah penyakit itu sampai merambat ke dalam ibu kota, bahkan ke dalam istana

sekalipun. Paduka Sang Dewi telah tahu juga, bahwa Sang Baginda Airlangga sangat

marah karena teluhan hamba. Sang Baginda pun telah menjatuhkan perintah untuk

membunuh hamba.”(Toer, 1999: 46).

Berbeda dengan cerita versi Cok Sawitri. Pada novel Janda dari Jirah ini sosok Calon

Arang atau lebih dikenal sebagai Rangda Jirah digambarkan sebagai penganut Budha.

Sedangkan Airlangga penganut Hindu Siwa. Terdapat suatu kekhawatiran Calon Arang akan

kehadiran Airlangga. Kekhawatiran tersebut berkaitan dengan agama Airlangga. Hal ini dapat

diamati dalam teks:

“Namun ratumu, ia sejak muda lebih menyukai ajaran Siwa, ketika masih di Jawa, ia

mencapai kesempurnaan dalam Bhairawa, kelak keturunannya akan mencapai

paripurna, ketika orang-orang berkulit kuning membuang sauh di pantai timur”

(Sawitri, 2007: 99).

Kekhawatiran Calon Arang tersebut mengindikasikan bahwa agama Budha terinferior oleh

kedatangan Airlangga yang beragama Hindu (menuju paripurna). Terdapat kemungkinan

wacana bahwa raja Airlangga akan menghindukan seluruh daerah kekuasaannya. Bahkan

tidak menutup kemungkinan akan menjalar sampai ke Bali. Orang-orang berkulit kuning

16

dalam arti representasi orang Jawa yang melempar sauh atau melakukan pelayaran.

Membuang sauh di pantai timur berarti akan menuju pulau Bali.

Berbagai tindakan yang dilakukan Calon Arang dapat diartikan sebagai wujud

resistensi dirinya mewakili agama Budha. Yang pertama adalah usaha Calon Arang yang

memperluas daerah Kabikuan, yaitu dengan membeli tanah-tanah dan mendekatkan

hubungan dengan kerajaan Wura Wuri. Hal ini dapat disinyalir sebagai usaha memperluas

kawasan ajarannya. Selain itu, secara diam-diam ia menerima Samarawijaya sebagai

muridnya. Samarawijaya dididik ajaran Budha. Dan pada akhirnya Calon Arang memberikan

seluruh wilayah Kabikuan untuk Samarawijaya. Samarawijaya merupakan keturunan

langsung dari Dharmmawangsa Tguh yang memiliki hak atas kekuasaan Kadiri. Ini

bertendensi sebagai usaha mempertahankan ajaran Budha melalui kekuasaan Samarawijaya.

Hal ini dapat dianalisis dari teks berikut.

“Hamba pun demikian, Bapa. Dalam perlindungan Hyang Budha, hamba dikirim ke

Jirah untuk belajar hidup. Seperti yang Bapa ketahui, selama masa belajar, hamba

tidak diperkenalkan untuk keluar Kabikuan oleh ibu...

“Kini pangeran telah selesai belajar. Maka tugas kami, mengantarkan ke ibu kota

untuk menghadap Rake Halu, Pananda Samara wijaya.

.........

Pusaka-pusaka kekerajaan Medang yang selama ini dicari-cariAirlanggaternyata ada

di Jirah (Sawitri, 2007:156).

C.3 Inferiorisasi Gender dan Resistensinya

Pada versi Pramoedya, puncak kemarahan Calon Arang adalah ketika tidak ada satu

laki-laki yang mau menikahi anaknya, Ratna Manggali. Tendensi yang muncul adalah baik

Calon Arang atau Ratna Manjali sebagai wanita yang terinferior, dianggap rendah derajatnya,

hina, terpinggirkan, dan sejenis manusia “tidak biasa”. Resistensi pun dilakukan, yaitu

melalui berbagai tindakan sihir yang dilakukannya, sehingga berujung kematian bagi warga

sekitar.

Penyakit tambah menghebat. Ratusan orang mati tiap hari. Tak sempat lagi orang

menguburkan kerabat atau sahabat yang meninggal. Mayat tergolek di sepanjang jalan,

di dalam rumah, di sawah, bahkan di dekat-dekat istana demikian pula (Sawitri,

2007:53).

17

Selain itu, Untuk mengatasi hal itu, Ratna Manggali haruslah menikah. Pada akhir cerita

datanglah empu Bahula yang bersedia menikahi Ratna Manggali. Empu Bahula merupakan

representasi Jawa karena empu Bahula adalah asli dari Jawa.

“bukan main girang Calon Arang. Sekarang ia tak akan disindir-sindir dan

dipercakapkan orang lagi. Sebentar lagi anaknya jadi pengantin.” (Toer, 2010: 72).

Terlihat bahwa kedatangan empu Bahula sangatlah penting. Ia tidak lagi dianggap “tidak

biasa” bagi orang lain. Dari sini dapat dikatakan bahwa Calon Arang sebagai representasi

Bali membutuhkan Bahula (manusia Jawa) agar dirinya sempurna seperti kontruksi sosial

masyarakat, yaitu wanita yang menikah.

Wacana gender yang terdapat dalam Calon Arang versi Sawitri, sebenarnya memiliki

kemiripan dengan Calon Arang versi Pramoedya. Calon Arang sama-sama membutuhkan

kehadiran sosok empu Bahula. Namun pada versi kedua ini, empu Bahula justru diharapkan

menurunkan generasi penerus ajaran Budha.

“Ada masa di mana ajaran Budha akan memenuhi semua pilah daun lontar, ada masa

di mana kalian akan diburur-buru. Jangan menangis pabila seorang lelaki bernama

Bahula tiba. Dia sesungguhnya mencintaiku, dan sesungguhnyalah ajaran Ibu akan

dilanjutkan oleh keturunan kami. Namun dia seorang sisia yang taat” (Sawitri, 2007:

37).

Sama halnya dengan versi yang pertama, Mpu Bahula dihadirkan sebagai menantu dari putri

Calon Arang untuk tujuan yang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberadaan orang

Bali dianggap inferior daripada orang Jawa. Orang Jawa justru hadir untuk menaikan nilai

orang Bali. Munculnya ramalan masa depan, juga merupakan resistensi, ketika posisi Budha

dicitrakan semakin terdesak. Keturunan kemudian dianggap sebagai solusi untuk melanjutkan

misi keagamaan tersebut.

D. Kesimpulan

Ketika melihat Jawa sebagai pusat dan “yang lain” adalah pinggirannya. Kondisi ini

mengakibatkan, munculnya persepsi dari beberapa wilayah bahwa Jawa dicitrakan

sebagai ”bangsa” yang layak diwaspadai dan dipinggirkan karena kekuasaan Jawa telah

menjadi sangat dominan. Jawa menjadi ancaman potensial yang harus dilawan dan

diberontaki meskipun hanya pada tataran wacana. Narasi seperti Hang Tuah (Melayu),

Trunojoyo (Madura), hingga Calon Arang (Bali) adalah beberapa contohnya. Calon Arang

18

adalah salah satu cerita yang menarik untuk dikaji, karena semua teks ini memosisikan Calon

Arang sebagai subjek yang “salah” dan perlu untuk ditumpas.

Terjemahan Teks Calon Arang Prosa LOr 3587/5278 yang dilakukan oleh I Made

Suastika dipilih sebagai hipogram dalam analisis ini. Teks transformasinya mengacu pada

novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer dan Janda dari Jirah karya Cok

Sawitri. Berdasar analisis peneliti, hampir terjadi kesamaan antara teks hipogram, dengan

teks dari Pramoedya. Perbedaannya hanya pada perbedaan posisi Calon Arang ketika sedang

diambil kitabnya dan akhir cerita Wedawati. Adapun dalam teks Cok Sawitri, terjadi proses

dekontruksi tokoh sebagai representasi peristiwa, seperti; Calon Arang, Raja Airlangga,

Ratna Manggali, Mpu Barda, Mpu Bahula, hingga Wedawati.

Dalam kajian postkolonial, yang mengacu pada kedua teks transformasi tersebut,

terjadi tiga proses inferiorisasi, yaitu : politik, sosial keagamaan dan gender. Proses tersebut

melahirkan resistensi, baik bersifat radikal atau mimikri. Proses penenunan oleh Calon Arang

adalah salah satu bentuk resistensinya, sedangkan itupun memunculkan ambivalensi antara

keinginan untuk anaknya dinikahi dan banyak membunuh laki-laki karena kebenciannya.

19

Referensi

Aschroft dan Grifith dan Tiffin. 2003. Menelanjangi Kuasa Bahasa: Teori dan Praktik Sastra

Postkolonial (terj) Fatie Suwandi dan Agus Mokamat. Yogyakarta: Qalam.

Barthes, Roland. 1981. “Theory of the Text” dalam Untying The text : A Post-Structuralist

Reader. Boston: Rouledge&Kegan Paul.

Brace, C. Loring. 2006. “Race” Is aFour-Letter World: The Genesis of the Concept. New

York: Oxford University Press.

Culler, Jonathan. 1975. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and The Study of

Literature. London: Roulege & Kegen Paul.

Faruk. 2007. Belenggu Pasca-kolonial: Hegemoni dan Resistensi Sastra Indonesia.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Horrison, Nicholas. 2003. Postcolonial Criticism. Cambridge: Polity.

Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta:Gramedia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari

Strukturalisme hingga Postrukturalisme.: Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Riffaterre, Michael. 1984. Semiotics of Poetry. Blomington: Indiana University Press.

Said, Edward W. 1994. Culture and Imprealism. New York: Vintage Book.

____________. 2010. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur

sebagai Subjek (Terj) Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sawitri, Cok. 2007. Janda dari Jirah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Segers, Rien T. 1978. The Evaluation of Literaty Texts. New York : The Peterde Rider Press.

Suastika. I Made. 1997. Calon Arang Dalam Tradisi Bali. Yogyakarta : Duta Wacana

University Press.

Toer, Ananta Toer. 2007. Cerita Calon Arang. Cetakan Ke-5. Jakarta: Lentera Dipantara.