ARANG DAN ARANG KOMPOS ALTERNATIF PILIHAN UNTUK MENGATASI DEGRADASI LAHAN DAN MITIGASI PERUBAHAN...

38
ARANG DAN ARANG KOMPOS ALTERNATIF PILIHAN UNTUK MENGATASI DEGRADASI LAHAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Oleh ; Gusmailina (Peneliti pada Pusat Litbang Hasil Hutan, Balitbang Kehutanan) Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor; Telp/Fax : (0251) 8633378- 8633413 Email : [email protected] RINGKASAN Meningkatnya harga pupuk kimia serta tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hara tanah baik pertanian, perkebunan ataupun kehutanan merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian. Demikian juga dengan peningkatan kualitas lingkungan hidup sudah menjadi program pembangunan nasional lintas sektoral. Degradasi lahan diakibatkan perilaku dan sikap manusia berubah dari konsumsi organis menjadi non organis (anorganik), yaitu mengandalkan penggunaan bahan kimia atau pupuk anorganik. Ketergantungan terhadap pupuk instan (anorganik) dari tahun ke tahun semakin meningkat. Konsumsi pupuk anorganik meningkat dari 0.6 juta ton pada tahun 1976 menjadi 7 juta ton pada tahun 2006, yang berarti dalam kurun waktu 30 tahun meningkat lebih dari 1100%. Rendahnya kandungan bahan organik lahan pertanian di Indonesia, mengindikasikan bahwa pertanian di Indonesia sangat rentan terhadap pengaruh perubahan iklim global. Pemberian bahan organik utamanya yang berasal dari berbagai jenis limbah organik, seperti limbah serbuk gergaji yang apabila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah lingkungan, seperti pengotoran lingkungan, sumber penyakit, serta akan menjadi sumber pemicu kebakaran dan emisi. Serbuk gergaji belum dapat digunakan langsung sebagai sumber bahan organik terutama pada tanaman, sehingga perlu perlakuan terlebih dahulu, antara 1

Transcript of ARANG DAN ARANG KOMPOS ALTERNATIF PILIHAN UNTUK MENGATASI DEGRADASI LAHAN DAN MITIGASI PERUBAHAN...

ARANG DAN ARANG KOMPOS ALTERNATIF PILIHAN UNTUK MENGATASIDEGRADASI LAHAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

Oleh ; Gusmailina

(Peneliti pada Pusat Litbang Hasil Hutan, Balitbang Kehutanan)Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor; Telp/Fax : (0251) 8633378-

8633413Email : [email protected]

RINGKASAN

Meningkatnya harga pupuk kimia serta tuntutan untuk memenuhikebutuhan hara tanah baik pertanian, perkebunan ataupun kehutananmerupakan masalah yang perlu mendapat perhatian. Demikian jugadengan peningkatan kualitas lingkungan hidup sudah menjadiprogram pembangunan nasional lintas sektoral. Degradasi lahandiakibatkan perilaku dan sikap manusia berubah dari konsumsiorganis menjadi non organis (anorganik), yaitu mengandalkanpenggunaan bahan kimia atau pupuk anorganik. Ketergantunganterhadap pupuk instan (anorganik) dari tahun ke tahun semakinmeningkat. Konsumsi pupuk anorganik meningkat dari 0.6 juta tonpada tahun 1976 menjadi 7 juta ton pada tahun 2006, yang berartidalam kurun waktu 30 tahun meningkat lebih dari 1100%.Rendahnya kandungan bahan organik lahan pertanian di Indonesia,mengindikasikan bahwa pertanian di Indonesia sangat rentanterhadap pengaruh perubahan iklim global.

Pemberian bahan organik utamanya yang berasal dari berbagaijenis limbah organik, seperti limbah serbuk gergaji yang apabilatidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah lingkungan,seperti pengotoran lingkungan, sumber penyakit, serta akanmenjadi sumber pemicu kebakaran dan emisi. Serbuk gergaji belumdapat digunakan langsung sebagai sumber bahan organik terutamapada tanaman, sehingga perlu perlakuan terlebih dahulu, antara

1

lain dibuat arang serbuk gergaji (ASG), yang selanjutnya dapatdigunakan langsung sebagai PKT (pembangun kesuburan tanah) atausebagai bahan pembuat arang kompos bioaktif (Arkoba). Produk inimerupakan hasil pengembangan dari Puslitbang Hasil Hutan, Bogoryang dapat digunakan sebagai PKT atau soil conditioning. Dari beberapahasil penelitian yang diperoleh sangat baik dan mempunyai prospekuntuk dikembangkan dan disosialisasikan. Produksi arang maupunarang kompos selain dapat dijadikan sebagai pembenah tanah, jugadapat menekan emisi gas-gas rumah kaca penyebab pemanasan globalyang berdampak terhadap perubahan iklim. Demikian juga dapatberfungsi sebagai pengikat, erat kaitannya dengan isu tentangperanan ekosistem hutan dan tanah sebagai potensi rosot dalampenyerapan karbondioksida udara.

Kata kunci : arang, arang kompos, pembangun kesuburan tanah, degradasi lahan,pemanasan globalI. PENDAHULUAN

Kandungan bahan organik pada lahan yang dicadangkan untuk

hutan tanaman umumnya rendah. Pada pemanenan kayu telah terjadi

proses pengeluaran hara secara besar-besaran akibat penggunaan

alat pemanenan hutan. Selain itu bahan organik pada lapisan

permukaan tanah semakin terancam akibat penyiapan lahan hutan

tanaman secara mekanis. Rendahnya bahan organik akan menurunkan

produktivitas lahan hutan, terutama pada rotasi berikutnya.

Kenyataan juga menunjukkan bahwa program rehabilitasi kerusakan

lahan yang masih meninggalkan lahan kritis seluas 7.269.700 ha

yang harus dihijaukan, serta hutan seluas 5.830.200 ha yang masih

harus dihutankan kembali.

Di sektor pertanian, terjadi penurunan produksi padi

jenis IR 36 akibat pemberian pupuk kimia/anorganik secara

2

intensif selama 25 musim tanam (Martodiresi dan Suryanto, 2001).

Hal ini akibat menurunnya kandungan bahan organik tanah dari

musim ke musim yang tak bisa digantikan perannya oleh pupuk kimia

NPK, sehingga kemampuan padi membentuk anakan menurun. Keadaan

ini menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan stabilitas bahan

organik tanah bagi kelestarian produktivitas baik pertanian,

perkebunan maupun kehutanan. Bahan organik tanah bukan hanya

berfungsi sebagai pemasok hara, tetapi juga berguna untuk menjaga

kehidupan biologis di dalam tanah. Oleh sebab itu untuk membangun

kembali kesuburan lahan diperlukan suatu teknologi, salah satu

teknologi yang dapat diterapkan adalah dengan penambahan arang.

Hal ini dimungkinkan karena arang mempunyai pori yang efektif

untuk mengikat dan menyimpan hara tanah yang akan dilepaskan

secara perlahan sesuai konsumsi dan kebutuhan tanaman (slow

release). Selain itu arang bersifat higroskopis sehingga hara

dalam tanah tidak mudah tercuci dan lahan berada dalam keadaan

siap pakai.

Degradasi lahan diakibatkan perilaku dan sikap manusia

berubah dari konsumsi organis menjadi non organis (anorganik),

yaitu mengandalkan penggunaan bahan kimia atau pupuk anorganik.

Ketergantungan terhadap pupuk instan (anorganik) dari tahun ke

tahun semakin meningkat. Konsumsi pupuk anorganik meningkat dari

0.6 juta ton pada tahun 1976 menjadi 7 juta ton pada tahun 2006,

yang berarti dalam kurun waktu 30 tahun meningkat lebih dari

1100% (Alimoeso, 2007). Selama kurun waktu tersebut, penggunaan

pupuk organik sama sekali ditinggalkan, kecuali untuk bberapa

3

jenis tanaman sayuran. Akibatnya kesehatan dan daya dukung lahan

terus menurun. Kandungan bahan organik di dalam tanah di

Indonesia saat ini rata-rata hanya 2% sedangka yang ideal lahan

pertanian produktif mempunyai kandungan bahan organik sekitar 4%

(Alimoeso, 2007) atau lebih baik jika 5% seperti yang dikemukakan

di atas. Rendahnya kandungan bahan organik lahan pertanian di

Indonesia, mengindikasikan bahwa pertanian di Indonesia sangat

rentan terhadap pengaruh perubahan iklim global.

Arang merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung

karbon yang berbentuk padat dan berpori. Sebagian besar porinya

masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain

yang komponennya terdiri dari abu, air, nitrogen dan sulfur.

Menurut Ogawa (1989), keuntungan pemberian arang pada lahan

sebagai pembangun kesuburan tanah (PKT), yaitu karena arang

mempunyai kemampuan dalam memperbaiki sirkulasi air dan udara di

dalam tanah, sehingga dapat merangsang pertumbuhan akar serta

memberikan habitat yang baik untuk pertumbuhan tanaman. Selain

dapat meningkatkan pH tanah, arang juga dapat memudahkan

terjadinya pembentukan dan peningkatan jumlah spora dari ekto

mupun endomikoriza. Suhardi (1998), mengemukakan bahwa pemberian

arang pada tanah selain dapat membangun kesuburan tanah,

berfungsi sebagai pengikat. Hal ini erat kaitannya dengan isu

tentang peranan ekosistem hutan (hutan dan tanah) sebagai

potensi rosot dalam penyerapan karbondioksida udara, sehingga

saat ini dikenal juga dengan istilah ”biochar”.

4

Arang kompos bioaktif (Arkoba) adalah campuran arang dan

kompos hasil proses pengomposan dengan bantuan mikroba

lignoselulotik yang tetap hidup di dalam kompos. Mikroba

tersebut mempunyai kemampuan sebagai biofungisida, yaitu

melindungi tanaman dari serangan penyakit akar sehingga disebut

bioaktif. Keunggulan lain dari Arkoba adalah sebagai agent

pembangun kesuburan tanah, karena arang yang menyatu dalam

kompos mampu meningkatkan pH tanah sekaligus memperbaiki

sirkulasi air dan udara di dalam tanah (Gusmailina dan

Komarayati, 2008). Merupakan produk lanjutan dari arang yang

dapat diandalkan untuk mengatasi berbagai masalah penurunan

tingkat kesuburan tanah atau produktivitas lahan di Indonesia.

Tulisan ini merupakan tinjauan tentang prospek arang dan arang

kompos sebagai alternatif pilihan untuk mengatasi kerusakan

lahan sekaligus mitigasi perubahan iklim, yang didasari oleh

beberapa hasil percobaan yang telah dilakukan di Pusat

Penelitian Hasil Hutan, Bogor

II. ARANG SEBAGAI PKT (Pembangun Kesuburan Tanah) A. Arang, fungsi dan manfaatnya Arang merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung

karbon yang berbentuk padat dan berpori. Sebagian besar porinya

masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain

yang komponennya terdiri dari abu, air, nitrogen dan sulfur.

Proses pengarangan akan menentukan dan berpengaruh terhadap

kualitas arang yang dihasilkan (Sudradjat dan Soleh, 1994).

Proses pembuatan arang dilakukan dengan cara memanaskan dalam

5

suatu tempat tertutup (kiln) tanpa kontak dengan udara langsung

pada suhu 400 – 600 oC. Kiln dapat terbuat dari bata, logam,

atau tanah liat. Pembuatan arang pada prinsipnya hampir sama di

beberapa negara (Pari dan Nurhayati, 1997). Perbedaannya hanya

pada disain dan model tungku yang digunakan, namun tujuannya

sama yaitu untuk mendapatkan arang yang berkualitas tinggi. Di

Jepang arang kayu dibedakan dalam 2 kategori yaitu, arang keras

dan arang lunak. Arang keras dibuat pada temperatur 1000oC.

Dengan sifat keras karena mengalami suatu masa karbonisasi sama.

Sedangkan arang tidak keras terbentuk dari proses pembakaran 400

– 700 oC, lebih lembut dari arang keras dengan masa karbonisasi

yang tidak sama. Untuk penggunaan di bidang pertanian, adalah

arang yang tidak keras. Untuk itu bahan yang digunakan sebagai

bahan baku biasanya berasal dari limbah.

Arang mempunyai pori yang jika diberikan ke dalam

tanah sangat efektif untuk mengikat dan menyimpan hara tanah.

Kemudian akan dilepaskan secara perlahan sesuai konsumsi dan

kebutuhan tanaman (slow release). Selain itu arang bersifat

higroskopis sehingga hara dalam tanah tidak mudah tercuci dan

lahan berada dalam keadaan siap pakai. Manfaat arang secara

terpadu di bidang pertanian antara lain: mem-perbaiki dan

meningkatkan kondisii tanah, meningkatkan aliran air tanah,

mendorong pertumbuhan akar tanaman, menyerap residu pestisida dan

kelebihan pupuk dalam tanah, meningkatkan bakteri tanah serta

sebagai media mikro-organisme untuk simbiosis, mencegah penyakit

tertentu, serta meningkatkan rasa buah dan produksi (Anonimus,

6

2002). Di bidang pertanian arang dapat digunakan untuk menaikkan

pH tanah dari asam ke tingkat netral yang biasanya dilakukan

dengan menambahkan kapur pertanian yang mengandung senyawa Ca

dan Mg ke dalam tanah, sehingga dapat mengurangi dan menetralkan

sifat racun dari Al serta akibat buruk lainnya akibat kondisi

tanah yang asam. Karena sifatnya juga arang dapat digunakan

sebagai agen untuk meningkatkan pH tanah, oleh sebab itu arang

baik digunakan untuk lahan-lahan marginal yang tersebar luas di

Indonesia. Selain itu arang dapat memperbaiki struktur, tekstur,

serta aerasi dan drainase tanah, sehingga dapat memacu

perkembangan mikroorganisme penting dalam tanah. Dengan demikian

pemberian arang pada tanah dapat memperbaiki sifat fisik, kimia

dan biologi tanah. Jika struktur dan tekstur tanah baik, maka

kehidupan mikroorganisme tanah yang berperan juga akan berkembang

lebih baik, sehingga memudahkan pembentukan dan peningkatan

jumlah spora dari ekto mupun endomikoriza.

JDFDA (1994), melaporkan bahwa pemberian arang dan kalsium

posfat secara bersamaan pada beberapa jenis tanaman kehutanan

dapat meningkatkan populasi mikoriza 4 kali lebih banyak

dibanding tanpa pemberian arang. Di Jepang, penggunaan arang

dapat meningkatkan produksi padi sampai 50 %. Selain itu

penggunaan arang dapat menambah jumlah daun serta memperluas

tajuk pohon tanaman hutan kota, sehingga efektif untuk mengurangi

serta menurunkan polusi dan suhu udara melalui penyerapan CO2

udara (Japan Domestic Fuel Dealers Association/JDFDA, 1994).

Pada tanaman Pinus, secara nyata meningkatkan pembentukan cabang

7

dan daun. Demikian juga pada tanaman bambu dapat meningkatkan

jumlah anakan. Di Indonesia, Faridah (1996), menyimpulkan bahwa

pemberian serbuk arang pada kadar 10 % volume media berpengaruh

positif terhadap pertumbuhan awal tinggi semai kapur (Dryobalanops

sp). Sunarno dan Faiz (1997) menyarankan pemberian arang sekam

padi sebagai bahan utama media semai di dalam pot tray sebagai

alternatif pengganti gambut.

Menurut para ahli, miliaran ton karbon yang lepas dari

penguraian biomassa sisa pertanian, perkebunana dan kehutanan

dapat di simpan dalam tanah di dunia. Karbon yang tersimpan di

dalam pori arang atau saat ini lebih dikenal dengan ”BIOCHAR”,

merupakan alternatif penting untuk mengatasi emisi gas rumah

kaca. Biochar muncul untuk mengunci karbon dalam waktu lebih

lama, dapat selama 15 sampai 20 tahun, bahkan informasi terakhir

mengemukakan bahwa biochar dapat menjadi store dalam tanah

setidaknya 100 tahun, bahkan beberapa ahli mengatakan lebih dari

5000 tahun (http://www.airterra.ca/biochar).

Komponen hara yang terkandung pada ASG (Arang Serbuk Gergaji)

8

Gambar Arang dengan pori-pori pada permukaan yang berfungsi sebagai penjerap dan penyerap (sequester) CO2 dan gas rumah kaca lainnya di dalam tanah,

Komposisi arang umumnya terdiri dari air, volatile

matter, tar dan cuka kayu, abu, dan karbon terikat. Komposisi

tersebut tergantung dari jenis bahan baku, dan metode

pengarangan, namun tetap memiliki keunggulan komparatif pada

setiap penggunaan. Misalnya pada pertanian kesemua unsur sangat

diperlukan, namun di bidang industri kandungan air diharapkan

seminimal mungkin (Anonimus, 2002). Kandungan hara yang

terdapat pada arang serbuk gergaji bergantung kepada bahan baku

serbuk gergaji. Secara umum arang yang dihasilkan dari serbuk

gergaji campuran mempunyai kandungan hara N berkisar antara 0,3

sampai 0,6 %; kandungan P total dan P tersedia berkisar antara

200 sampai 500 ppm dan 30 sampai 70 ppm ; kandungan hara K

berkisar antara 0,9 sampai 3 meq/100 gram; kandungan hara Ca

berkisar antara 1 sampai 15 meq/100 gram; dan kandungan hara Mg

berkisar antara 0,9 sampai 12 meq/100 gram (Gusmailina dkk.

1999).

Tabel 1. Komposisi dan kualitas ASGNo Karakteristik Jumlah1 Rendemen, % 24,5 2 Kadar air, % 2,783 Kadar abu, % 5,744 Kadar zat terbang, % 20,105 Kadar karbon, % 74,166 Derajat keasaman (pH) 10,20

Kandungan unsur hara, ppm7 Nitrogen (N) 5397,608 Fosfor (P) 1476,09 Kalium (K) 783,1310 Natrium (Na) 313,6911 Kalsium (Ca) 1506,0312 Magnesium (Mg) 1234,013 Besi (Fe) 1617,6

9

14 Tembaga (Cu) 103,6415 Seng (Zn) 62,3216 Mangan (Mn) 112,9517 Belerang (S) 528,92

B. Meningkatkan pH tanah dan aktivitas mikrorganisme tanah

Kondisi lahan yang rusak (kritis) mempunyai pH yang masam

(rendah), keadaan ini tidak memungkinkan bagi aktif dan

berkembangnya mikroorganisme tanah, sehingga lahan menjadi mati

dan unsur hara tidak tersedia bagi tumbuhan. Pemberian arang

pada tanah dapat meningkatkan pH tanah menjadi normal sehingga

aktivitas mikroorganisme tanah dapat hidup dan berkembang

kembali. Pada Gambar 1 dapat dilihat pengaruh penambahan arang

terhadap peningkatan pH tanah dan aktivitas mikroorganisme di

dalam tanah.

A B

Gambar 1. Pengaruh penambahan arang terhadap peningakatan pH tanah (A) dan perkembangan mikroorganisme tanah (B) Keterangan : AKT = Arang kulit tusam ; AKM = Arang kulit mangium (SB= soil bacteria; NFB = Nitrogen Fixing bacteria)

10

0

5

10

15

20

25

30

kontrol charcoalSB NFB

C. Arang memacu pertumbuhan anakan

Aplikasi arang memberikan respon positif, baik terhadap

tinggi tanaman maupun diameter batang tanaman Acacia mangium

sampai umur 1,5 bulan (Gambar 2 ). Pemberian arang sebagai

campuran media semai tanaman secara nyata meningkatkan diameter

batang Eucalyptus urophylla.

Gambar 2. Pengaruh pemberian beberapa jenis arang terhadap pertumbuhan diameter batang tanaman E urophylla (Sumber: Gusmailina, dkk. 1999) Keterangan : ASP = arang sekam padi; ASG = arangserbuk gergaji; AB = arang bambu ASR = Arang serasah daun;AJ = Arang limbah jati; K = control

Penambahan 20 % beberapa jenis arang menunjukkan bahwa media

yang dicampur dengan arang serasah memberikan respon terbaik,

kemudian diikuti oleh perlakuan penambahan arang sekam padi.

Demikian juga perlakuan penambahan 30 %, menunjukkan bahwa

pertumbuhan anakan lebih baik pada media yang dicampur dengan

arang serasah. Hasil sementara aplikasi arang pada tanaman

Eucalyptus urophylla di lapangan sampai umur 15 bulan menunjukkan

bahwa rata-rata pertambahan tinggi pada perlakuan penambahan

Cm

11

arang 12isban memberikan hasil yang lebih baik dibanding ASG.

Gambaran hasil secara umum hingga saat ini menunjukkan bahwa

pemberian arang baik sebagai campuran media, ataupun di lapangan

memiliki prospek untuk dikembangkan. Pemberian arang berpengaruh

baik terhadap pertumbuhan tanaman Acacia mangium dan Eucalyptus

urophylla. Serbuk gergaji dan serasah merupakan bahan baku yang

potensial dan mempunyai prospek yang baik serta dapat disarankan

sebagai arang untuk PKT.

III. PENERAPAN TEKNOLOGI ARKOBA (ARANG KOMPOS BIOAKTIF) SAMPAH KOTA DI TPA; SUATU ALTERNATIF REDUKSI EMISI DAN PEMANASAN GLOBAL

A. Arkoba (Arang Kompos Bioaktif)

Arang kompos bioaktif (Arkoba) adalah campuran arang dan

kompos hasil proses pengomposan dengan bantuan mikroba

lignoselulotik yang tetap hidup di dalam kompos. Mikroba tersebut

mempunyai kemampuan sebagai biofungisida, yaitu melindungi

tanaman dari serangan penyakit akar sehingga disebut bioaktif.

Keunggulan lain dari Arkoba adalah sebagai agent pembangun

kesuburan tanah, karena arang yang menyatu dalam kompos mampu

meningkatkan pH tanah sekaligus memperbaiki sirkulasi air dan

udara di dalam tanah (Gusmailina dan Komarayati, 2008).

Merupakan produk lanjutan dari arang yang dapat diandalkan untuk

mengatasi berbagai masalah penurunan tingkat kesuburan tanah atau

produktivitas lahan di Indonesia.

12

B. Pemanasan Global

Pemanasan global merupakan kondisi yang diakibatkan oleh

meningkatnya konsentrasi GRK (gas rumah kaca) di atmosfir yang

diakibatkan oleh berbagai aktivitas manusia. Selain itu

pertambahan populasi penduduk dan pesatnya pertumbuhan teknologi

dan industri juga memberikan kontribusi besar pada pertambahan

GRK. Salah satu GRK yang berasal dari tempat pembuangan sampah

akhir (TPA) dengan sistem landfill adalah CH4 (metana) yang

dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik sampah secara

alami. Sekalipun keberadaannya di atmosfir lebih sedikit

dibanding dengan CO2 (karbondioksida) tetapi memiliki potensi

pemanasan global 21 kali lebih besar dari pada CO2. Sehingga

pengomposan merupakan salah satu alternatif untuk mengendalikan

emisi gas metana dari TPA.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan pada tahun

2004 telah melakukan kegiatan pembuatan Arang kompos bioaktif

(Arkoba) di TPA Bangkonol, Pandeglang. Arkoba yang dihasilkan

selanjutnya diaplikasikan di beberapa lokasi lahan Gerhan

(Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan).

Di Indonesia, GRK yang berasal dari aktivitas manusia dapat

dibedakan atas beberapa hal. Pada Tabel 1 dapat dilihat sumber

penghasil GRK dari beberapa aktivitas antara lain: (1) kerusakan

hutan termasuk perubahan tata guna lahan, (2) pemanfaatan energi

fosil, (3) pertanian dan peternakan, serta (4) sampah.

Pertanian, peternakan serta sampah berperan sebagai penyumbang

GRK berupa gas metana (CH4) yang memiliki potensi pemanasan

13

global 21 kali lebih besar dari pada gas karbondioksida/CO2

(Suprihatin, dkk., 2003). Emisi CH4 dari sampah berasal dari

proses dekomposisi bahan organik sampah secara alami di lokasi

tempat pembuangan sampah akhir (TPA). Sehingga pengomposan

merupakan salah satu alternatif untuk mengendalikan emisi gas

metana dari TPA.

Tabel 2. Gas rumah kaca penting, sumber dan kontribusinya terhadap peningkatan efek rumah kaca

SenyawaSumber

Kontribusi relativeterhadap efek gas rumah

kaca, %Hanks(1996)

Porteus(1992)

CO2 Pembakaran bahan bakar fosil, penebangan hutan

60 50

CH4 Peternakan. dekomposisi sampah, lahan persawahan, gambut, dan lain-lain

15 20

NOx Industri pupuk 5 5 (mencakupuap air)

CFC AC, refrigerator, busa aerosol 12 15O3 Konversi polutan otomobil oleh

sinar matahari8 10

Sumber Suprihatin, dkk., (2003)

C. TPA Sebagai Emitter GRK, Salah Satu Pemicu Pemanasan Global

Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 450 TPA yang

berpotensi sebagai sumber emisi gas metana. Sebagai contoh,

sampah sebanyak 1000 ton, dengan kandungan sampah organik 56

persen akan menghasilkan gas metana 21.000 ton setiap tahunnya

14

atau setara dengan CO2 486.500 ton. Masyarakat Eropa sepakat

bahwa pada tahun 2005 tidak membuang sampah organiknya langsung

ke TPA. Sampah organik diolah terlebih dahulu agar gas tidak

diproduksi dalam jumlah besar. Pengolahan dapat berupa

insinerasi, pengomposan, dan produksi biogas. Pengomposan adalah

proses yang dipilih oleh Global Environment Facility yang dianggap

sesuai untuk diterapkan di Indonesia untuk mereduksi produksi GRK

sekaligus untuk membantu perbaikan sistem pengelolaan sampah di

Indonesia.

Pada tahun 2008 produksi sampah di Indonesia diperkirakan

mencapai 167 ribu ton/hari yang dihasilkan dari 220 juta jiwa

jumlah penduduk Indonesia atau sama dengan 800 gram/hari/orang

(Laksono, 2008). Dari volume sampah tersebut diperkirakan akan

menghasilkan gas metana sebanyak 8.800 ton/hari. Volume tersebut

dapat meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca sebesar 745,2Gg

(giga gram). Jika produksi rata-rata gas metana adalah 235 L per

kg sampah, dimana 80 persen sampah ditimbun di TPA, maka sebanyak

0,5 juta ton metana (setara 12,8 juta ton CO2) dihasilkan dari

TPA. Akan tetapi meskipun konstribusinya terhitung kecil, daya

rusak gas metana terhadap lapisan ozon 21 kali lebih kuat

dibandingkan dengan karbondioksida/CO2 (Houghton, et al.,1990).

Berdasarkan data dari Kementrian Lingkungan Hidup (KLH),

pada tahun 2008 sampah yang diolah menjadi kompos hanya sekitar 5

persen atau 12.800 ton/hari. Apabila dikelola dengan baik maka

sampah akan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan Negara

(Laksono, 2008)

15

D. Estimasi Emisi Metana di TPA

Di TPA, bahan organik terdekomposisi secara alami menjadi

CH4, karbon dioksida (CO2), dan sejumlah kecil N2, H2, H2S, H2O

(Morissoy and John, 1998). Saat ini belum banyak penelitian yang

mendalam tentang reaksi perombakan sampah. Estimasi pembentukan

gas sebagai fungsi dari waktu sering dilakukan dengan bantuan

model matematis. Karena struktur landfill di TPA tidak homogen,

sehingga model tersebut hanya merupakan dasar matematis. Suatu

model dari Abwasser Technische Vereinigung (ATV) (Anonim, 1989) sering

digunakan untuk untuk menduga produksi gas metana dari sludge

yaitu :

Ge = 1.868⋅Co⋅(0,014⋅T+0,28)

dengan Ge = volume gas yang terbentuk (m3),

Co = karbon organik (kg/t sampah, tipikal 200 kg/t),

dan

T = temperatur (oC, tipikal 40 oC untuk kondisi

landfill).

Abwasser Technische Vereinigung (ATV) (Anonimus, 1989) juga

mengemukakan model lain yang dipercaya dan cukup handal untuk

keperluan praktis yaitu :

Gt = Ge(1 – 10 –k . t) dalam m3 gas/t sampah

dengan Gt = volume gas yang terbentuk m3 gas/t sampah

k = konstanta degradasi (tipikal untuk landfill:

0,03 - 0,06), dan

t = waktu (tahun).

16

Dikemukakan bahwa struktur model tersebut masih memerlukan

pengkajian lebih lanjut untuk verifikasi, terutama berkaitan

dengan kondisi riil proses dekomposisi sampah. Dengan bantuan

model tersebut dapat dilakukan estimasi produksi gas dengan

menggunakan berbagai parameter. Pada Gambar 1 dapat dilihat

estimasi emisi metana dari sampah di beberapa landfill TPA se

Jabotabek (Suprihatin, dkk., 2003).

Gambar 3. Estimasi emisi metana pada berbagai tingat persentase sampah yang ditimbun di landfill TPA di Jabotabek (Suprihatin, dkk., 2003).

Di dalam Abwasser Technische Vereinigung (ATV) (Anonimus,

1989) menjelaskan bahwa jumlah dan komposisi gas yang dihasilkan

sangat ditentukan oleh karakteristik sampah. Sebagai contoh,

produksi gas spesifik teoritis untuk karbohidrat adalah 0,8

Nm3/kg dengan kandungan CH4 50 %, sedangkan untuk lemak dan

protein masing-masing 0,7 and 1,2 Nm3/kg dengan kandungan CH4 70

dan 67 %. Karena komposisi sampah pada dasarnya tidak seragam,

produksi gas spesifik dan komposisi gas dari suatu landfill di

17

TPA dapat berbeda dari TPA lainnya. Di sebutkan juga bahwa

potensi pembentukan gas dari dekomposisi sampah di TPA berkisar

antara 150 dan 250 m3 gas/t (Anonimus, 1989) atau 0 – 300 m3 CH4/t

sampah (Yusrizal, 2000).

Menurut Henry and Heinke (1996), estimasi produksi gas

teoritis dapat mencapai 200-270 L CH4 per kg sampah, tergantung

pada karakteristik sampah dan kondisi fisik TPA, temperatur dan

kelembaban. Sebagi contoh jika digunakan nilai produksi gas

spesifik rata-rata 235 L CH4/kg sampah dan 80 % sampah di

Jabotabek dibuang ke TPA, maka sebanyak 0,5 juta ton metana per

tahun akan terbentuk di TPA. Jumlah produksi metana ini akan

terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan

jumlah produksi sampah. Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa

perkiraan emisi metana pada tahun 2015 mencapai 1,3 ton

metana/tahun, jika tidak dilakukan tindakan pencegahan dan

pengendalian.

E. Potensi Kontribusi Pengomposan Sampah Terhadap Reduksi Emisi CH4

Pengomposan sampah merupakan salah satu target alternatif

untuk mereduksi emisi metana dari TPA. Jika produksi kompos

sebesar 100.000 ton per tahun, maka dapat mereduksi emisi gas

rumah kaca sebesar 600.000 ton karbon dioksida ekuivalen per

tahun (Anonimus, 1989). Menurut Henry and Heinke (1996), dari

pengomposan 1,9 ton sampah dapat dihasilkan satu ton kompos,

sedangkan satu ton sampah jika ditimbun di landfill dapat

menghasilkan 0,20-0,27 m3 CH4. Metana memiliki densitas 0,5547

18

g/L. Dengan demikian, dengan menghasilkan satu ton kompos, emisi

gas rumah kaca sebesar 0,21- 0,29 ton CH4 atau 5-7 ton CO2

ekuivalen dapat dicegah. Hubungan antara emisi metana dan

produksi kompos dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 4. Hubungan antara reduksi emisi metana dan tingkatproduksi kompos

(Suprihatin, dkk., 2003)

Jika 2 ton sampah dikonversi menjadi 1 ton kompos, maka emisi

sebesar 0,2-0,3 ton CH4 dapat dicegah. Nilai ini setara dengan 5-

7 ton CO2. Dengan kata lain produksi kompos telah mereduksi emisi

CH4 sebesar 0,2-0,3 ton atau setara dengan 5-7 ton CO2.

F. Reduksi CH4 Dari Pembuatan Arang Kompos Bioaktif Di Tpa

Bangkonol, Pandeglang

Pembuatan arang kompos bioaktif di TPA Bangkonol, Pandeglang

menggunakan sampah organik pasar. Hampir 60 persen terdiri dari

19

bahan-bahan organik seperti sampah sayuran, buah, pangkasan pohon

lindung dari penghijauan kota. Volume sampah per hari rata-rata

mencapai 5-10 ton. Dalam proses pengomposan volume penyusutan

mencapai 50 %, karena sebagian besar bahan yang digunakan

terdiri dari sampah dengan kadar air yang tinggi. Dari 12 ton

sampah yang dikomposkan volume akhir menjadi sekitar 6 ton

kompos/bulan (mulai proses awal). Selanjutnya arang kompos

dikemas dalam karung sebanyak 110 karung dengan bobot masing-

masing karung berkisar antara 50 – 55 kg (Gusmailina, dkk.,

2005). Jika menggunakan persamaan dan estimasi menurut Anonimus

(1989), maka dari 6 ton arang kompos yang dihasilkan di TPA

Pandeglang, telah mencegah emisi CH4 dari TPA sebesar 6 x 0,3 ton

= 1,8 ton CH4, atau setara dengan 30 – 42 ton CO2 atau seharga

dengan US $ 150 – 210/bulan (harga minimal), karena pada Protokol

Kyoto 1997 salah satunya adalah mengatur kerangka kerja konvensi

pada perubahan iklim global, dimana emisi gas rumah kaca dapat

diperdagangkan, meskipun reduksi emisi gas rumah kaca memerlukan

verifikasi dan sertifikasi. Harga reduksi emisi tersebut berkisar

US$ 5 to 20 per ton CO2 (Soemarwoto, 2001).

Jika di TPA Bangkonol, Pandeglang kontinyu menghasilkan minimal

kompos 6 ton per bulan, maka akan dihasilkan kompos 72 ton kompos

per tahun. Berarti dari TPA, Bangkonol Pandeglang dapat mencegah

emisi metan sebesar 21,6 ton CH4, atau setara dengan 108 – 151,2

ton CO2. Maka volume ini dapat menghasilkan nilai ER (Emissions

Reduction) minimal per tahun sebesar US $ 540 – 756. Nilai ER ini

kemudian dapat digunakan sebagai sumber dana untuk menjamin

20

kesinambungan pengelolaan sampah yang baik (sustainable municipal solids

waste management).

G. Analisis Kandungan Unsur Hara Arang Kompos Bioaktif (ARKOBA)

Dari beberapa percobaan yang telah dilakukan, kualitas

Arkoba bervariasi tergantung dari bahan baku yang dipakai,

seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2 berikut yang dibandingkan

dengan kompos biasa.

Tabel 3. Kandungan unsur hara kompos (K), Arkoba serbuk gergaji,dan arkoba serbuk gergaji + jerami padi sebagai campuranmedia tumbuh anakan bulian (E. Zwageri) dan gaharu (A.Malaccensis)

No. Parameter

Nilai Standar *)Kompos ASG ASGJ

1 pH (1 : 1,25) 7,10 7,30 7,20 7,30

2 Kadar air , % 19,63 23,03 24,13 24,90

3 C organik, % 11,46 32,45 34,98 19,60

4 Nitrogen total, % 0,6 1,53 1,78 1,10

5 Nisbah C/N (C/N ratio) 19,1 21,20 19,65 10-20

6 P2O5 total, % 0,23 2,12 2,16 1,80

7 CaO total, % 0,43 0,97 0,83 2,70

8 MgO total, % 0,37 1,67 1,61 1,60

9 K2O total, % 0,51 2,19 2,34 1,40

10 KTK, meq/100 gr 21,32 36,42 36,61 30,00

Keterangan (Remarks): ASG Arkoba serbuk gergaji (sawdust bioactivecharcoal compost ); ASGJ Arkoba serbuk gergaji + jeramipadi (sawdust +rice straw bioactive charcoal compost); *) Anonim(2000)

21

Pada Tabel 1 diketahui bahwa secara umum kualitas arkoba

ASGJ sedikit lebih baik dari arkoba ASG dan kompos. Hal ini

dapat dilihat dari total kandungan C-organik, Nitrogen, Posfat

(P2O5), Kalium (K2O) dan KTK. Kandungan C-organik ASGJ, ASG,

kompos dan standar secara berurut masing-masing 34,98%, 32,45%,

11,46% dan 19,60%. Jumlah C-organik dalam tanah menunjukkan

banyaknya bahan organik yang terkandung, dan itu dapat menentukan

tingkat interaksi antara komponen abiotik dan biotik dalam

ekosistem tanah. Menururt Hanafiah et al., (2005), kandungan bahan

organik dalam bentuk C-organik di tanah harus dipertahankan tidak

kurang dari 2 persen. Agar kandungan bahan organik dalam tanah

tidak menurun akibat proses dekomposisi (mineralisasi),

penambahan harus diberikan setiap tahun, yaitu pada waktu

pengolahan tanah. Selain itu kandungan bahan organik juga

berkaitan erat dengan Kapasitas Tukar Kation (KTK), sehingga

tanpa penambahan bahan organik tanah akan mengalami degradasi

kimia, fisik, dan biologi menyebabkan agregat tanah merusak dan

menjadi padat (Anonim 1991).

IV. PENUTUP

Penggunaan arang tidak hanya sebagai bahan bakar alternatif,

namun secara inovatif dapat diaplikasikan di bidang pertanian,

peternakan, maupun pada kehidupan sehari-hari. Walaupun bukan

sebagai pupuk, arang dapat membangun kualitas kondisi tanah baik

secara fisik, kimia dan biologi tanah.

22

Aplikasi arang pada tanah yang berasal dari limbah sangat

sesuai dengan pola pembangunan berkelanjutan dan berwawasan

lingkungan, karena dapat menbantu menyelesaikan masalah limbah

sekaligus memperbaiki lahan-lahan masam dan kritis, serta membuat

tanah dalam keadaan stabil. Karakteristik arang berguna sebagai

agent bagi pembangun, penyubur sekaligus menjaga stabilitas

tanah, sehingga arang mempunyai peran sebagai pemberi kehidupan

berjangka panjang pada tanah dan tanaman yang tumbuh di atasnya.

Arang yang bersifat alkalis dapat meningkatkan pH tanah yang

masam, mempunyai daya serap yang tinggi terhadap residu pestisida

dan sisa pupuk kimia yang berada di dalam tanah, mengandung

mineral yang berguna bagi pertumbuhan tanaman, serta mempunyai

pori-pori yang luas, sehingga memberikan kondisi yang baik bagi

perkembangan mikroorganisme tanah yang diperlukan oleh tanaman.

Aplikasi arang pada tanah sangat diperlukan di masa sekarang

dan masa datang, mengingat sifat dan perannya yang cukup penting.

Oleh sebab itu arang jangan dipandang sebagai komoditi energi dan

ekonomi saja, namun memiliki nilai ekologis yang tinggi. Karena

Arang atau ”BIOCHAR” dapat menjadi sumberdaya potensial untuk

mitigasi perubahan iklim, karena dapat berfungsi sebagai

sequester yang tahan lama, bahkan ratusan tahun. Dengan demikian

perlu dikembangkan model pertanian/peternakan dan kehutanan

berbasis teknologi arang secara terpadu, sebagai model

percontohan inovatif, selain untuk memperbaiki kerusakan lahan

23

juga sebagi komoditi biochar untuk mengatasi perubahan iklim dan

pemanasan global.

Arang kompos bioaktif (Arkoba) adalah campuran arang dan

kompos hasil proses pengomposan dengan bantuan mikroba

lignoselulotik yang tetap hidup di dalam kompos. Mikroba tersebut

mempunyai kemampuan sebagai biofungisida, yaitu melindungi

tanaman dari serangan penyakit akar sehingga disebut bioaktif.

Keunggulan lain dari Arkoba adalah sebagai agent pembangun

kesuburan tanah, karena arang yang menyatu dalam kompos mampu

meningkatkan pH tanah sekaligus memperbaiki sirkulasi air dan

udara di dalam tanah (Gusmailina dan Komarayati, 2008).

Merupakan produk lanjutan dari arang yang dapat diandalkan untuk

mengatasi berbagai masalah penurunan tingkat kesuburan tanah atau

produktivitas lahan di Indonesia. Dari 6 ton arang kompos yang

telah dihasilkan di TPA Bangkonol Pandeglang, telah dapat

mencegah emisi CH4 dari TPA sebesar 1,8 ton/bulan, atau setara

24

dengan 30 – 42 ton CO2 atau seharga dengan US $ 150 – 210/bulan

(harga minimal).

Jika di TPA Bangkonol, Pandeglang kontinyu menghasilkan

minimal kompos 6 ton per bulan, maka akan dihasilkan kompos 72

ton per tahun. Berarti dari TPA, Bangkonol Pandeglang dapat

mencegah emisi CH4 sebesar 21,6 ton/tahun, atau setara dengan 108

– 151,2 ton CO2/tahun Nilai ini dapat menghasilkan ER (Emissions

Reduction) minimal per tahun sebesar US $ 540–756, yang kemudian

dapat digunakan sebagai sumber dana untuk menjamin kesinambungan

pengelolaan sampah yang baik. Nilai ini tentu akan bertambah

lagi dengan hasil penjualan arang kompos bioaktifnya.

Teknologi arang kompos bioaktif dari sampah tidak hanya

memberikan keuntungan teknis, tetapi juga memiliki implikasi

ekonomis. Hal ini dimungkinkan melalui mekanisme perdagangan gas

rumah kaca dengan harga reduksi emisi sebesar US$ 5–20 per ton

karbon.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2007. Climate Change. The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Summary for Policymakers. Diakses pada 2 Februari 2007.

Anonimus, 1989. Abwasser Technische Vereinigung (ATV), Recovery,Processing and Utilization of Biogas, Korrespondenz Abwasser, 36(13), pp. 153 – 164, 1989.

Anonim, 2000. Pedoman pengharkatan hara kompos. LaboratoriumNatural Products, SEAMEO – BIOTROP. Bogor.

25

Anonim, 2009. Siklus mineral. Bahan Kuliah Biotani. FakultasMIPA, Universitas Lampung. Lampung

Clark, W.C. 1990. Usable knowledge for managing global climate change. Report. The Stockholm Environment Institute. Stockholm.

Gusmailina, G. Pari dan S. Komarayati. 2000. Teknik penggunaanarang sebagai “ Soil Conditioning” pada tanaman. LaporanProyek Pusat Penelitian Hasil Hutan. Badan LitbangKehutanan. Bogor (Tidak diterbitkan).

Gusmailina, G. Pari dan Sri Komarayati. 2002 (a). PedomanPembuatanArang

Kompos. Pusat Penelitian dan Pengembangan TeknologiHasilHutan.B

26

adan

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.ISBN:979-3132-27

Gusmailina, S. Komarayati ; G. Pari dan D. Hendra. 2002. Arangserbuk gergaji memperbaiki kesuburan tanah. ProsidingSeminar Nasional dan Pameran Pertanian Organik. BadanLitbang pertanian. Jakarta. 2-3 Juli. Hal 43.

Gusmailina, G. Pari dan S. Komarayati. 2002 (b). Kajian Teknisdan Implementasi Produksi POSG (Pupuk Organik SerbukGergaji). Laporan Kerjasama antara P3THH Bogor, JIFPROJepang, Dinas Kehutanan Propinsi Tk I Jambi dan KoperasiSawmill Siginjai, Sengeti – Muaro Jambi, Jambi. (Tidakditerbitkan)

Gusmailina, S. Komarayati, G. Pari dan M. Ali. 2005. Mengenalmanfaat arang dan arang kompos. 17 Pebruari 2005. DiskusiIntern BP2HT-IBB, Palembang.

27

Gusmailina, Saepulloh, Mahpudin, dan S. Komarayati. 2006.Aplikasi dan diseminasi arang kompos bio aktif; Teknologiinovatif untuk mendukung gerhan dan pembangunan kehutananyang berkesinambungan. Gelar Teknologi, Cianjur 13 Desember2006. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan HasilHutan dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Cianjur.

Gusmailina, 2007. Mengeliminasi Kemungkinan Kegagalan GERHANMelaluiteknologi

dan Aplikasi Arang Kompos Bioaktif. Buku panduandalamrangkaPel

28

atihan

Peningkatan Pelatihan peningkatan Kualitas arangKomposBioaktifdiKabupaten

Garut. 12 Desember 2007. Kerjasama Dinas KehutananKabupa

29

tenGarutdengan

KopKar GEPAK Wira Satria Sejati.

Gusmailina, 2007. Pembuatan arang dan arang kompos dari limbahPLTB.Makalah

pada Acara Gelar Teknologi Penyiapan Lahan TanpaBakar(PLT

30

B).Palembang29

Nopember Kerjasama. Puslitbang Hutan Tanaman danBalaiPenelitianKehutanan

31

Palembang.

Gusmailina dan S. Komarayati. 2008. Teknologi inovasipenangananlimbahindustripulp

dan kertas menjadi arang kompos bioaktif. Prosidingseminar

32

TeknologiPemanfaatan

Limbah Industri Pulp dan Kertas Untuk Mengurangi BebanLingkungan.Bogor

24 November. Pusat Penelitian dan Pengembangan HasilH

33

utan,Bogor.Hal:18-30

Gusmailina, 2009. Arang kompos bioaktif; inovasi teknologipemanfaatanlimbah

34

dalam

rangka menunjang pembangunan kehutanan yangberkesinambungan.MakalahGelar

Teknologi Palembang, 4 Mei 2009. Kerjasama PuslitbangHut

35

anTanamandanBalai

Penelitian Kehutanan Palembang. Muara Enim, Palembang.

Gusmailina, S. Komarayati dan G. Pari. 2005. Pengembangan pembuatan arang kompos dalam rangka menunjang Gerhan (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) Di Pandeglang, Prop. Banten. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.

Hanks, S., 1996. Ecology and the Biosphere Journal. St. Luice Press, Florida, pp. 108-110, 1996.

Henry, J. G., 1996. Solid wastes (Chapter 14). Environmental Scienceand Engineering, ed. J. G. Henry and G.W. Heinke, Prentice-Hall International: New Jersey, pp. 567-619,

Houghton, J.T., G.J. Jenkins and J.J. Epharaums, 1990. Climate change. The IPCE Scientific Assessment Cambridge University Press. New York.

Hakim N, M.Y. Nyakpa, A.M Lubis, S.G Nogroho, M.R. Saul, M.A. Diha, Go Bang Hong, H.H. Bailey, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Tanah , Penerbit Universitas Lampung, Lampung

36

Hanafiah, K. A., A. Napoleon, N Ghofur. 2005. Biologi TanahEkologi & Mikrobiologi Tanah. Penerbit Rajawali Pers.pp184. Jakarta

Hardjowigeno, 2003, Klasifikasi Tanah Dan Pedogenesis. Penerbit Akademika Presindo, Jakarta

JDFDA. 1994. Example of New utilization of charcoal. JapanDomestic Fuel Dealers Association.

Komarayati, S., Gusmailina dan G. Pari. 2001. Pemanfaatan limbahkulit kayu dan serasah tusam untuk kompos dan arang kompos.Laporan Hasil Penelitian. Proyek DIK-S. Sumber DanaReboisasi. Tahun Anggaran 2001.

Komarayati, S., Gusmailina dan G. Pari. 2002. Pembuatan komposdan arang kom-pos dari serasah dan kulit kayu tusam. BuletinPenelitian Hasil Hutan. 20 (3) : 231 – 242. Pusat LitbangTeknologi Hasil Hutan, Bogor.

Komarayati, S., Gusmailina dan G. Pari. 2003. Aplikasi arangkompos pada anakan tusam (Pinus merkusii). Buletin PenelitianHasil Hutan. 21 (1) : 15 – 21. Pusat Litbang Teknologi HasilHutan. Bogor.

Komarayati, S. 2004. Penggunaan arang kompos pada media tumbuhanakan mahoni. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 22 (4) : 193 –203. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

Komarayati, S., Gusmailina dan G.Pari. 2004. Application ofcompost charcoal on two species of forestry plants.Voluntary paper. Proceeding of The International Workshop on“ Better Utilization of Forest Biomass for Local Communityand Environment” Bogor. 16 -17 Maret. Pusat Litbang HasilHutan dan JIFPRO.

Laksono, T.S. 2009. Asdep Pengendalian Limbah Domestik Kementrian Negara LH, Jakarta. (Diskusi langsung).

37

Morissoy, W. A. and John, R. J. 1998. Global Climate Change. CRS Issue Brief for Congress. The Committee for the national Institute for the Environmental. Washington, D. C.

Ogawa, M. 1989. Mycorrhizza and their utilization in forestry. Report of Shortterm Research Cooperation. The Tropical RainForest Research Project JTA-9A (137). JICA. Japan.

Porteous, A. 1992. Dictionary of Environmental Science and Technology, 2nd ed. John Wiley and Sons, New York

Soemarwoto, O. 2001. Peluang Berbisnis Lingkungan Hidup Di Pasar Global untuk Pembangunan Berkelanjutan. Makalah Seminar “Kebijakan Perlindungan Lingkungan dan Pembangunan berkelanjutan Indonesia di Era Reformasi dalam Menghadapai KTT Rio. Jakarta, 8 Februari 2001

Suprihatin, N.S. Indrasti dan M. Romli. 2003. Potensi PenurunanEmisi Gas Rumah Kaca melalui Pengomposan Sampah di Wilayah Jabotabek. Departemen Teknologi Industri Pertanian, FakultasTeknologi Pertanian IPB. Environmental Of Research Center. PPLH-IPB. Bogor

Yusrizal, Z., 2000. Estimation of methane emission from landifill site Bantar Gebang, Bekasi. Thesis at the Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Bogor Agricultural University (IPB), Bogor.

38