ARANG DAN ARANG KOMPOS ALTERNATIF PILIHAN UNTUK MENGATASI DEGRADASI LAHAN DAN MITIGASI PERUBAHAN...
Transcript of ARANG DAN ARANG KOMPOS ALTERNATIF PILIHAN UNTUK MENGATASI DEGRADASI LAHAN DAN MITIGASI PERUBAHAN...
ARANG DAN ARANG KOMPOS ALTERNATIF PILIHAN UNTUK MENGATASIDEGRADASI LAHAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM
Oleh ; Gusmailina
(Peneliti pada Pusat Litbang Hasil Hutan, Balitbang Kehutanan)Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor; Telp/Fax : (0251) 8633378-
8633413Email : [email protected]
RINGKASAN
Meningkatnya harga pupuk kimia serta tuntutan untuk memenuhikebutuhan hara tanah baik pertanian, perkebunan ataupun kehutananmerupakan masalah yang perlu mendapat perhatian. Demikian jugadengan peningkatan kualitas lingkungan hidup sudah menjadiprogram pembangunan nasional lintas sektoral. Degradasi lahandiakibatkan perilaku dan sikap manusia berubah dari konsumsiorganis menjadi non organis (anorganik), yaitu mengandalkanpenggunaan bahan kimia atau pupuk anorganik. Ketergantunganterhadap pupuk instan (anorganik) dari tahun ke tahun semakinmeningkat. Konsumsi pupuk anorganik meningkat dari 0.6 juta tonpada tahun 1976 menjadi 7 juta ton pada tahun 2006, yang berartidalam kurun waktu 30 tahun meningkat lebih dari 1100%.Rendahnya kandungan bahan organik lahan pertanian di Indonesia,mengindikasikan bahwa pertanian di Indonesia sangat rentanterhadap pengaruh perubahan iklim global.
Pemberian bahan organik utamanya yang berasal dari berbagaijenis limbah organik, seperti limbah serbuk gergaji yang apabilatidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah lingkungan,seperti pengotoran lingkungan, sumber penyakit, serta akanmenjadi sumber pemicu kebakaran dan emisi. Serbuk gergaji belumdapat digunakan langsung sebagai sumber bahan organik terutamapada tanaman, sehingga perlu perlakuan terlebih dahulu, antara
1
lain dibuat arang serbuk gergaji (ASG), yang selanjutnya dapatdigunakan langsung sebagai PKT (pembangun kesuburan tanah) atausebagai bahan pembuat arang kompos bioaktif (Arkoba). Produk inimerupakan hasil pengembangan dari Puslitbang Hasil Hutan, Bogoryang dapat digunakan sebagai PKT atau soil conditioning. Dari beberapahasil penelitian yang diperoleh sangat baik dan mempunyai prospekuntuk dikembangkan dan disosialisasikan. Produksi arang maupunarang kompos selain dapat dijadikan sebagai pembenah tanah, jugadapat menekan emisi gas-gas rumah kaca penyebab pemanasan globalyang berdampak terhadap perubahan iklim. Demikian juga dapatberfungsi sebagai pengikat, erat kaitannya dengan isu tentangperanan ekosistem hutan dan tanah sebagai potensi rosot dalampenyerapan karbondioksida udara.
Kata kunci : arang, arang kompos, pembangun kesuburan tanah, degradasi lahan,pemanasan globalI. PENDAHULUAN
Kandungan bahan organik pada lahan yang dicadangkan untuk
hutan tanaman umumnya rendah. Pada pemanenan kayu telah terjadi
proses pengeluaran hara secara besar-besaran akibat penggunaan
alat pemanenan hutan. Selain itu bahan organik pada lapisan
permukaan tanah semakin terancam akibat penyiapan lahan hutan
tanaman secara mekanis. Rendahnya bahan organik akan menurunkan
produktivitas lahan hutan, terutama pada rotasi berikutnya.
Kenyataan juga menunjukkan bahwa program rehabilitasi kerusakan
lahan yang masih meninggalkan lahan kritis seluas 7.269.700 ha
yang harus dihijaukan, serta hutan seluas 5.830.200 ha yang masih
harus dihutankan kembali.
Di sektor pertanian, terjadi penurunan produksi padi
jenis IR 36 akibat pemberian pupuk kimia/anorganik secara
2
intensif selama 25 musim tanam (Martodiresi dan Suryanto, 2001).
Hal ini akibat menurunnya kandungan bahan organik tanah dari
musim ke musim yang tak bisa digantikan perannya oleh pupuk kimia
NPK, sehingga kemampuan padi membentuk anakan menurun. Keadaan
ini menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan stabilitas bahan
organik tanah bagi kelestarian produktivitas baik pertanian,
perkebunan maupun kehutanan. Bahan organik tanah bukan hanya
berfungsi sebagai pemasok hara, tetapi juga berguna untuk menjaga
kehidupan biologis di dalam tanah. Oleh sebab itu untuk membangun
kembali kesuburan lahan diperlukan suatu teknologi, salah satu
teknologi yang dapat diterapkan adalah dengan penambahan arang.
Hal ini dimungkinkan karena arang mempunyai pori yang efektif
untuk mengikat dan menyimpan hara tanah yang akan dilepaskan
secara perlahan sesuai konsumsi dan kebutuhan tanaman (slow
release). Selain itu arang bersifat higroskopis sehingga hara
dalam tanah tidak mudah tercuci dan lahan berada dalam keadaan
siap pakai.
Degradasi lahan diakibatkan perilaku dan sikap manusia
berubah dari konsumsi organis menjadi non organis (anorganik),
yaitu mengandalkan penggunaan bahan kimia atau pupuk anorganik.
Ketergantungan terhadap pupuk instan (anorganik) dari tahun ke
tahun semakin meningkat. Konsumsi pupuk anorganik meningkat dari
0.6 juta ton pada tahun 1976 menjadi 7 juta ton pada tahun 2006,
yang berarti dalam kurun waktu 30 tahun meningkat lebih dari
1100% (Alimoeso, 2007). Selama kurun waktu tersebut, penggunaan
pupuk organik sama sekali ditinggalkan, kecuali untuk bberapa
3
jenis tanaman sayuran. Akibatnya kesehatan dan daya dukung lahan
terus menurun. Kandungan bahan organik di dalam tanah di
Indonesia saat ini rata-rata hanya 2% sedangka yang ideal lahan
pertanian produktif mempunyai kandungan bahan organik sekitar 4%
(Alimoeso, 2007) atau lebih baik jika 5% seperti yang dikemukakan
di atas. Rendahnya kandungan bahan organik lahan pertanian di
Indonesia, mengindikasikan bahwa pertanian di Indonesia sangat
rentan terhadap pengaruh perubahan iklim global.
Arang merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung
karbon yang berbentuk padat dan berpori. Sebagian besar porinya
masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain
yang komponennya terdiri dari abu, air, nitrogen dan sulfur.
Menurut Ogawa (1989), keuntungan pemberian arang pada lahan
sebagai pembangun kesuburan tanah (PKT), yaitu karena arang
mempunyai kemampuan dalam memperbaiki sirkulasi air dan udara di
dalam tanah, sehingga dapat merangsang pertumbuhan akar serta
memberikan habitat yang baik untuk pertumbuhan tanaman. Selain
dapat meningkatkan pH tanah, arang juga dapat memudahkan
terjadinya pembentukan dan peningkatan jumlah spora dari ekto
mupun endomikoriza. Suhardi (1998), mengemukakan bahwa pemberian
arang pada tanah selain dapat membangun kesuburan tanah,
berfungsi sebagai pengikat. Hal ini erat kaitannya dengan isu
tentang peranan ekosistem hutan (hutan dan tanah) sebagai
potensi rosot dalam penyerapan karbondioksida udara, sehingga
saat ini dikenal juga dengan istilah ”biochar”.
4
Arang kompos bioaktif (Arkoba) adalah campuran arang dan
kompos hasil proses pengomposan dengan bantuan mikroba
lignoselulotik yang tetap hidup di dalam kompos. Mikroba
tersebut mempunyai kemampuan sebagai biofungisida, yaitu
melindungi tanaman dari serangan penyakit akar sehingga disebut
bioaktif. Keunggulan lain dari Arkoba adalah sebagai agent
pembangun kesuburan tanah, karena arang yang menyatu dalam
kompos mampu meningkatkan pH tanah sekaligus memperbaiki
sirkulasi air dan udara di dalam tanah (Gusmailina dan
Komarayati, 2008). Merupakan produk lanjutan dari arang yang
dapat diandalkan untuk mengatasi berbagai masalah penurunan
tingkat kesuburan tanah atau produktivitas lahan di Indonesia.
Tulisan ini merupakan tinjauan tentang prospek arang dan arang
kompos sebagai alternatif pilihan untuk mengatasi kerusakan
lahan sekaligus mitigasi perubahan iklim, yang didasari oleh
beberapa hasil percobaan yang telah dilakukan di Pusat
Penelitian Hasil Hutan, Bogor
II. ARANG SEBAGAI PKT (Pembangun Kesuburan Tanah) A. Arang, fungsi dan manfaatnya Arang merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung
karbon yang berbentuk padat dan berpori. Sebagian besar porinya
masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain
yang komponennya terdiri dari abu, air, nitrogen dan sulfur.
Proses pengarangan akan menentukan dan berpengaruh terhadap
kualitas arang yang dihasilkan (Sudradjat dan Soleh, 1994).
Proses pembuatan arang dilakukan dengan cara memanaskan dalam
5
suatu tempat tertutup (kiln) tanpa kontak dengan udara langsung
pada suhu 400 – 600 oC. Kiln dapat terbuat dari bata, logam,
atau tanah liat. Pembuatan arang pada prinsipnya hampir sama di
beberapa negara (Pari dan Nurhayati, 1997). Perbedaannya hanya
pada disain dan model tungku yang digunakan, namun tujuannya
sama yaitu untuk mendapatkan arang yang berkualitas tinggi. Di
Jepang arang kayu dibedakan dalam 2 kategori yaitu, arang keras
dan arang lunak. Arang keras dibuat pada temperatur 1000oC.
Dengan sifat keras karena mengalami suatu masa karbonisasi sama.
Sedangkan arang tidak keras terbentuk dari proses pembakaran 400
– 700 oC, lebih lembut dari arang keras dengan masa karbonisasi
yang tidak sama. Untuk penggunaan di bidang pertanian, adalah
arang yang tidak keras. Untuk itu bahan yang digunakan sebagai
bahan baku biasanya berasal dari limbah.
Arang mempunyai pori yang jika diberikan ke dalam
tanah sangat efektif untuk mengikat dan menyimpan hara tanah.
Kemudian akan dilepaskan secara perlahan sesuai konsumsi dan
kebutuhan tanaman (slow release). Selain itu arang bersifat
higroskopis sehingga hara dalam tanah tidak mudah tercuci dan
lahan berada dalam keadaan siap pakai. Manfaat arang secara
terpadu di bidang pertanian antara lain: mem-perbaiki dan
meningkatkan kondisii tanah, meningkatkan aliran air tanah,
mendorong pertumbuhan akar tanaman, menyerap residu pestisida dan
kelebihan pupuk dalam tanah, meningkatkan bakteri tanah serta
sebagai media mikro-organisme untuk simbiosis, mencegah penyakit
tertentu, serta meningkatkan rasa buah dan produksi (Anonimus,
6
2002). Di bidang pertanian arang dapat digunakan untuk menaikkan
pH tanah dari asam ke tingkat netral yang biasanya dilakukan
dengan menambahkan kapur pertanian yang mengandung senyawa Ca
dan Mg ke dalam tanah, sehingga dapat mengurangi dan menetralkan
sifat racun dari Al serta akibat buruk lainnya akibat kondisi
tanah yang asam. Karena sifatnya juga arang dapat digunakan
sebagai agen untuk meningkatkan pH tanah, oleh sebab itu arang
baik digunakan untuk lahan-lahan marginal yang tersebar luas di
Indonesia. Selain itu arang dapat memperbaiki struktur, tekstur,
serta aerasi dan drainase tanah, sehingga dapat memacu
perkembangan mikroorganisme penting dalam tanah. Dengan demikian
pemberian arang pada tanah dapat memperbaiki sifat fisik, kimia
dan biologi tanah. Jika struktur dan tekstur tanah baik, maka
kehidupan mikroorganisme tanah yang berperan juga akan berkembang
lebih baik, sehingga memudahkan pembentukan dan peningkatan
jumlah spora dari ekto mupun endomikoriza.
JDFDA (1994), melaporkan bahwa pemberian arang dan kalsium
posfat secara bersamaan pada beberapa jenis tanaman kehutanan
dapat meningkatkan populasi mikoriza 4 kali lebih banyak
dibanding tanpa pemberian arang. Di Jepang, penggunaan arang
dapat meningkatkan produksi padi sampai 50 %. Selain itu
penggunaan arang dapat menambah jumlah daun serta memperluas
tajuk pohon tanaman hutan kota, sehingga efektif untuk mengurangi
serta menurunkan polusi dan suhu udara melalui penyerapan CO2
udara (Japan Domestic Fuel Dealers Association/JDFDA, 1994).
Pada tanaman Pinus, secara nyata meningkatkan pembentukan cabang
7
dan daun. Demikian juga pada tanaman bambu dapat meningkatkan
jumlah anakan. Di Indonesia, Faridah (1996), menyimpulkan bahwa
pemberian serbuk arang pada kadar 10 % volume media berpengaruh
positif terhadap pertumbuhan awal tinggi semai kapur (Dryobalanops
sp). Sunarno dan Faiz (1997) menyarankan pemberian arang sekam
padi sebagai bahan utama media semai di dalam pot tray sebagai
alternatif pengganti gambut.
Menurut para ahli, miliaran ton karbon yang lepas dari
penguraian biomassa sisa pertanian, perkebunana dan kehutanan
dapat di simpan dalam tanah di dunia. Karbon yang tersimpan di
dalam pori arang atau saat ini lebih dikenal dengan ”BIOCHAR”,
merupakan alternatif penting untuk mengatasi emisi gas rumah
kaca. Biochar muncul untuk mengunci karbon dalam waktu lebih
lama, dapat selama 15 sampai 20 tahun, bahkan informasi terakhir
mengemukakan bahwa biochar dapat menjadi store dalam tanah
setidaknya 100 tahun, bahkan beberapa ahli mengatakan lebih dari
5000 tahun (http://www.airterra.ca/biochar).
Komponen hara yang terkandung pada ASG (Arang Serbuk Gergaji)
8
Gambar Arang dengan pori-pori pada permukaan yang berfungsi sebagai penjerap dan penyerap (sequester) CO2 dan gas rumah kaca lainnya di dalam tanah,
Komposisi arang umumnya terdiri dari air, volatile
matter, tar dan cuka kayu, abu, dan karbon terikat. Komposisi
tersebut tergantung dari jenis bahan baku, dan metode
pengarangan, namun tetap memiliki keunggulan komparatif pada
setiap penggunaan. Misalnya pada pertanian kesemua unsur sangat
diperlukan, namun di bidang industri kandungan air diharapkan
seminimal mungkin (Anonimus, 2002). Kandungan hara yang
terdapat pada arang serbuk gergaji bergantung kepada bahan baku
serbuk gergaji. Secara umum arang yang dihasilkan dari serbuk
gergaji campuran mempunyai kandungan hara N berkisar antara 0,3
sampai 0,6 %; kandungan P total dan P tersedia berkisar antara
200 sampai 500 ppm dan 30 sampai 70 ppm ; kandungan hara K
berkisar antara 0,9 sampai 3 meq/100 gram; kandungan hara Ca
berkisar antara 1 sampai 15 meq/100 gram; dan kandungan hara Mg
berkisar antara 0,9 sampai 12 meq/100 gram (Gusmailina dkk.
1999).
Tabel 1. Komposisi dan kualitas ASGNo Karakteristik Jumlah1 Rendemen, % 24,5 2 Kadar air, % 2,783 Kadar abu, % 5,744 Kadar zat terbang, % 20,105 Kadar karbon, % 74,166 Derajat keasaman (pH) 10,20
Kandungan unsur hara, ppm7 Nitrogen (N) 5397,608 Fosfor (P) 1476,09 Kalium (K) 783,1310 Natrium (Na) 313,6911 Kalsium (Ca) 1506,0312 Magnesium (Mg) 1234,013 Besi (Fe) 1617,6
9
14 Tembaga (Cu) 103,6415 Seng (Zn) 62,3216 Mangan (Mn) 112,9517 Belerang (S) 528,92
B. Meningkatkan pH tanah dan aktivitas mikrorganisme tanah
Kondisi lahan yang rusak (kritis) mempunyai pH yang masam
(rendah), keadaan ini tidak memungkinkan bagi aktif dan
berkembangnya mikroorganisme tanah, sehingga lahan menjadi mati
dan unsur hara tidak tersedia bagi tumbuhan. Pemberian arang
pada tanah dapat meningkatkan pH tanah menjadi normal sehingga
aktivitas mikroorganisme tanah dapat hidup dan berkembang
kembali. Pada Gambar 1 dapat dilihat pengaruh penambahan arang
terhadap peningkatan pH tanah dan aktivitas mikroorganisme di
dalam tanah.
A B
Gambar 1. Pengaruh penambahan arang terhadap peningakatan pH tanah (A) dan perkembangan mikroorganisme tanah (B) Keterangan : AKT = Arang kulit tusam ; AKM = Arang kulit mangium (SB= soil bacteria; NFB = Nitrogen Fixing bacteria)
10
0
5
10
15
20
25
30
kontrol charcoalSB NFB
C. Arang memacu pertumbuhan anakan
Aplikasi arang memberikan respon positif, baik terhadap
tinggi tanaman maupun diameter batang tanaman Acacia mangium
sampai umur 1,5 bulan (Gambar 2 ). Pemberian arang sebagai
campuran media semai tanaman secara nyata meningkatkan diameter
batang Eucalyptus urophylla.
Gambar 2. Pengaruh pemberian beberapa jenis arang terhadap pertumbuhan diameter batang tanaman E urophylla (Sumber: Gusmailina, dkk. 1999) Keterangan : ASP = arang sekam padi; ASG = arangserbuk gergaji; AB = arang bambu ASR = Arang serasah daun;AJ = Arang limbah jati; K = control
Penambahan 20 % beberapa jenis arang menunjukkan bahwa media
yang dicampur dengan arang serasah memberikan respon terbaik,
kemudian diikuti oleh perlakuan penambahan arang sekam padi.
Demikian juga perlakuan penambahan 30 %, menunjukkan bahwa
pertumbuhan anakan lebih baik pada media yang dicampur dengan
arang serasah. Hasil sementara aplikasi arang pada tanaman
Eucalyptus urophylla di lapangan sampai umur 15 bulan menunjukkan
bahwa rata-rata pertambahan tinggi pada perlakuan penambahan
Cm
11
arang 12isban memberikan hasil yang lebih baik dibanding ASG.
Gambaran hasil secara umum hingga saat ini menunjukkan bahwa
pemberian arang baik sebagai campuran media, ataupun di lapangan
memiliki prospek untuk dikembangkan. Pemberian arang berpengaruh
baik terhadap pertumbuhan tanaman Acacia mangium dan Eucalyptus
urophylla. Serbuk gergaji dan serasah merupakan bahan baku yang
potensial dan mempunyai prospek yang baik serta dapat disarankan
sebagai arang untuk PKT.
III. PENERAPAN TEKNOLOGI ARKOBA (ARANG KOMPOS BIOAKTIF) SAMPAH KOTA DI TPA; SUATU ALTERNATIF REDUKSI EMISI DAN PEMANASAN GLOBAL
A. Arkoba (Arang Kompos Bioaktif)
Arang kompos bioaktif (Arkoba) adalah campuran arang dan
kompos hasil proses pengomposan dengan bantuan mikroba
lignoselulotik yang tetap hidup di dalam kompos. Mikroba tersebut
mempunyai kemampuan sebagai biofungisida, yaitu melindungi
tanaman dari serangan penyakit akar sehingga disebut bioaktif.
Keunggulan lain dari Arkoba adalah sebagai agent pembangun
kesuburan tanah, karena arang yang menyatu dalam kompos mampu
meningkatkan pH tanah sekaligus memperbaiki sirkulasi air dan
udara di dalam tanah (Gusmailina dan Komarayati, 2008).
Merupakan produk lanjutan dari arang yang dapat diandalkan untuk
mengatasi berbagai masalah penurunan tingkat kesuburan tanah atau
produktivitas lahan di Indonesia.
12
B. Pemanasan Global
Pemanasan global merupakan kondisi yang diakibatkan oleh
meningkatnya konsentrasi GRK (gas rumah kaca) di atmosfir yang
diakibatkan oleh berbagai aktivitas manusia. Selain itu
pertambahan populasi penduduk dan pesatnya pertumbuhan teknologi
dan industri juga memberikan kontribusi besar pada pertambahan
GRK. Salah satu GRK yang berasal dari tempat pembuangan sampah
akhir (TPA) dengan sistem landfill adalah CH4 (metana) yang
dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik sampah secara
alami. Sekalipun keberadaannya di atmosfir lebih sedikit
dibanding dengan CO2 (karbondioksida) tetapi memiliki potensi
pemanasan global 21 kali lebih besar dari pada CO2. Sehingga
pengomposan merupakan salah satu alternatif untuk mengendalikan
emisi gas metana dari TPA.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan pada tahun
2004 telah melakukan kegiatan pembuatan Arang kompos bioaktif
(Arkoba) di TPA Bangkonol, Pandeglang. Arkoba yang dihasilkan
selanjutnya diaplikasikan di beberapa lokasi lahan Gerhan
(Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan).
Di Indonesia, GRK yang berasal dari aktivitas manusia dapat
dibedakan atas beberapa hal. Pada Tabel 1 dapat dilihat sumber
penghasil GRK dari beberapa aktivitas antara lain: (1) kerusakan
hutan termasuk perubahan tata guna lahan, (2) pemanfaatan energi
fosil, (3) pertanian dan peternakan, serta (4) sampah.
Pertanian, peternakan serta sampah berperan sebagai penyumbang
GRK berupa gas metana (CH4) yang memiliki potensi pemanasan
13
global 21 kali lebih besar dari pada gas karbondioksida/CO2
(Suprihatin, dkk., 2003). Emisi CH4 dari sampah berasal dari
proses dekomposisi bahan organik sampah secara alami di lokasi
tempat pembuangan sampah akhir (TPA). Sehingga pengomposan
merupakan salah satu alternatif untuk mengendalikan emisi gas
metana dari TPA.
Tabel 2. Gas rumah kaca penting, sumber dan kontribusinya terhadap peningkatan efek rumah kaca
SenyawaSumber
Kontribusi relativeterhadap efek gas rumah
kaca, %Hanks(1996)
Porteus(1992)
CO2 Pembakaran bahan bakar fosil, penebangan hutan
60 50
CH4 Peternakan. dekomposisi sampah, lahan persawahan, gambut, dan lain-lain
15 20
NOx Industri pupuk 5 5 (mencakupuap air)
CFC AC, refrigerator, busa aerosol 12 15O3 Konversi polutan otomobil oleh
sinar matahari8 10
Sumber Suprihatin, dkk., (2003)
C. TPA Sebagai Emitter GRK, Salah Satu Pemicu Pemanasan Global
Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 450 TPA yang
berpotensi sebagai sumber emisi gas metana. Sebagai contoh,
sampah sebanyak 1000 ton, dengan kandungan sampah organik 56
persen akan menghasilkan gas metana 21.000 ton setiap tahunnya
14
atau setara dengan CO2 486.500 ton. Masyarakat Eropa sepakat
bahwa pada tahun 2005 tidak membuang sampah organiknya langsung
ke TPA. Sampah organik diolah terlebih dahulu agar gas tidak
diproduksi dalam jumlah besar. Pengolahan dapat berupa
insinerasi, pengomposan, dan produksi biogas. Pengomposan adalah
proses yang dipilih oleh Global Environment Facility yang dianggap
sesuai untuk diterapkan di Indonesia untuk mereduksi produksi GRK
sekaligus untuk membantu perbaikan sistem pengelolaan sampah di
Indonesia.
Pada tahun 2008 produksi sampah di Indonesia diperkirakan
mencapai 167 ribu ton/hari yang dihasilkan dari 220 juta jiwa
jumlah penduduk Indonesia atau sama dengan 800 gram/hari/orang
(Laksono, 2008). Dari volume sampah tersebut diperkirakan akan
menghasilkan gas metana sebanyak 8.800 ton/hari. Volume tersebut
dapat meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca sebesar 745,2Gg
(giga gram). Jika produksi rata-rata gas metana adalah 235 L per
kg sampah, dimana 80 persen sampah ditimbun di TPA, maka sebanyak
0,5 juta ton metana (setara 12,8 juta ton CO2) dihasilkan dari
TPA. Akan tetapi meskipun konstribusinya terhitung kecil, daya
rusak gas metana terhadap lapisan ozon 21 kali lebih kuat
dibandingkan dengan karbondioksida/CO2 (Houghton, et al.,1990).
Berdasarkan data dari Kementrian Lingkungan Hidup (KLH),
pada tahun 2008 sampah yang diolah menjadi kompos hanya sekitar 5
persen atau 12.800 ton/hari. Apabila dikelola dengan baik maka
sampah akan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan Negara
(Laksono, 2008)
15
D. Estimasi Emisi Metana di TPA
Di TPA, bahan organik terdekomposisi secara alami menjadi
CH4, karbon dioksida (CO2), dan sejumlah kecil N2, H2, H2S, H2O
(Morissoy and John, 1998). Saat ini belum banyak penelitian yang
mendalam tentang reaksi perombakan sampah. Estimasi pembentukan
gas sebagai fungsi dari waktu sering dilakukan dengan bantuan
model matematis. Karena struktur landfill di TPA tidak homogen,
sehingga model tersebut hanya merupakan dasar matematis. Suatu
model dari Abwasser Technische Vereinigung (ATV) (Anonim, 1989) sering
digunakan untuk untuk menduga produksi gas metana dari sludge
yaitu :
Ge = 1.868⋅Co⋅(0,014⋅T+0,28)
dengan Ge = volume gas yang terbentuk (m3),
Co = karbon organik (kg/t sampah, tipikal 200 kg/t),
dan
T = temperatur (oC, tipikal 40 oC untuk kondisi
landfill).
Abwasser Technische Vereinigung (ATV) (Anonimus, 1989) juga
mengemukakan model lain yang dipercaya dan cukup handal untuk
keperluan praktis yaitu :
Gt = Ge(1 – 10 –k . t) dalam m3 gas/t sampah
dengan Gt = volume gas yang terbentuk m3 gas/t sampah
k = konstanta degradasi (tipikal untuk landfill:
0,03 - 0,06), dan
t = waktu (tahun).
16
Dikemukakan bahwa struktur model tersebut masih memerlukan
pengkajian lebih lanjut untuk verifikasi, terutama berkaitan
dengan kondisi riil proses dekomposisi sampah. Dengan bantuan
model tersebut dapat dilakukan estimasi produksi gas dengan
menggunakan berbagai parameter. Pada Gambar 1 dapat dilihat
estimasi emisi metana dari sampah di beberapa landfill TPA se
Jabotabek (Suprihatin, dkk., 2003).
Gambar 3. Estimasi emisi metana pada berbagai tingat persentase sampah yang ditimbun di landfill TPA di Jabotabek (Suprihatin, dkk., 2003).
Di dalam Abwasser Technische Vereinigung (ATV) (Anonimus,
1989) menjelaskan bahwa jumlah dan komposisi gas yang dihasilkan
sangat ditentukan oleh karakteristik sampah. Sebagai contoh,
produksi gas spesifik teoritis untuk karbohidrat adalah 0,8
Nm3/kg dengan kandungan CH4 50 %, sedangkan untuk lemak dan
protein masing-masing 0,7 and 1,2 Nm3/kg dengan kandungan CH4 70
dan 67 %. Karena komposisi sampah pada dasarnya tidak seragam,
produksi gas spesifik dan komposisi gas dari suatu landfill di
17
TPA dapat berbeda dari TPA lainnya. Di sebutkan juga bahwa
potensi pembentukan gas dari dekomposisi sampah di TPA berkisar
antara 150 dan 250 m3 gas/t (Anonimus, 1989) atau 0 – 300 m3 CH4/t
sampah (Yusrizal, 2000).
Menurut Henry and Heinke (1996), estimasi produksi gas
teoritis dapat mencapai 200-270 L CH4 per kg sampah, tergantung
pada karakteristik sampah dan kondisi fisik TPA, temperatur dan
kelembaban. Sebagi contoh jika digunakan nilai produksi gas
spesifik rata-rata 235 L CH4/kg sampah dan 80 % sampah di
Jabotabek dibuang ke TPA, maka sebanyak 0,5 juta ton metana per
tahun akan terbentuk di TPA. Jumlah produksi metana ini akan
terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan
jumlah produksi sampah. Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa
perkiraan emisi metana pada tahun 2015 mencapai 1,3 ton
metana/tahun, jika tidak dilakukan tindakan pencegahan dan
pengendalian.
E. Potensi Kontribusi Pengomposan Sampah Terhadap Reduksi Emisi CH4
Pengomposan sampah merupakan salah satu target alternatif
untuk mereduksi emisi metana dari TPA. Jika produksi kompos
sebesar 100.000 ton per tahun, maka dapat mereduksi emisi gas
rumah kaca sebesar 600.000 ton karbon dioksida ekuivalen per
tahun (Anonimus, 1989). Menurut Henry and Heinke (1996), dari
pengomposan 1,9 ton sampah dapat dihasilkan satu ton kompos,
sedangkan satu ton sampah jika ditimbun di landfill dapat
menghasilkan 0,20-0,27 m3 CH4. Metana memiliki densitas 0,5547
18
g/L. Dengan demikian, dengan menghasilkan satu ton kompos, emisi
gas rumah kaca sebesar 0,21- 0,29 ton CH4 atau 5-7 ton CO2
ekuivalen dapat dicegah. Hubungan antara emisi metana dan
produksi kompos dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 4. Hubungan antara reduksi emisi metana dan tingkatproduksi kompos
(Suprihatin, dkk., 2003)
Jika 2 ton sampah dikonversi menjadi 1 ton kompos, maka emisi
sebesar 0,2-0,3 ton CH4 dapat dicegah. Nilai ini setara dengan 5-
7 ton CO2. Dengan kata lain produksi kompos telah mereduksi emisi
CH4 sebesar 0,2-0,3 ton atau setara dengan 5-7 ton CO2.
F. Reduksi CH4 Dari Pembuatan Arang Kompos Bioaktif Di Tpa
Bangkonol, Pandeglang
Pembuatan arang kompos bioaktif di TPA Bangkonol, Pandeglang
menggunakan sampah organik pasar. Hampir 60 persen terdiri dari
19
bahan-bahan organik seperti sampah sayuran, buah, pangkasan pohon
lindung dari penghijauan kota. Volume sampah per hari rata-rata
mencapai 5-10 ton. Dalam proses pengomposan volume penyusutan
mencapai 50 %, karena sebagian besar bahan yang digunakan
terdiri dari sampah dengan kadar air yang tinggi. Dari 12 ton
sampah yang dikomposkan volume akhir menjadi sekitar 6 ton
kompos/bulan (mulai proses awal). Selanjutnya arang kompos
dikemas dalam karung sebanyak 110 karung dengan bobot masing-
masing karung berkisar antara 50 – 55 kg (Gusmailina, dkk.,
2005). Jika menggunakan persamaan dan estimasi menurut Anonimus
(1989), maka dari 6 ton arang kompos yang dihasilkan di TPA
Pandeglang, telah mencegah emisi CH4 dari TPA sebesar 6 x 0,3 ton
= 1,8 ton CH4, atau setara dengan 30 – 42 ton CO2 atau seharga
dengan US $ 150 – 210/bulan (harga minimal), karena pada Protokol
Kyoto 1997 salah satunya adalah mengatur kerangka kerja konvensi
pada perubahan iklim global, dimana emisi gas rumah kaca dapat
diperdagangkan, meskipun reduksi emisi gas rumah kaca memerlukan
verifikasi dan sertifikasi. Harga reduksi emisi tersebut berkisar
US$ 5 to 20 per ton CO2 (Soemarwoto, 2001).
Jika di TPA Bangkonol, Pandeglang kontinyu menghasilkan minimal
kompos 6 ton per bulan, maka akan dihasilkan kompos 72 ton kompos
per tahun. Berarti dari TPA, Bangkonol Pandeglang dapat mencegah
emisi metan sebesar 21,6 ton CH4, atau setara dengan 108 – 151,2
ton CO2. Maka volume ini dapat menghasilkan nilai ER (Emissions
Reduction) minimal per tahun sebesar US $ 540 – 756. Nilai ER ini
kemudian dapat digunakan sebagai sumber dana untuk menjamin
20
kesinambungan pengelolaan sampah yang baik (sustainable municipal solids
waste management).
G. Analisis Kandungan Unsur Hara Arang Kompos Bioaktif (ARKOBA)
Dari beberapa percobaan yang telah dilakukan, kualitas
Arkoba bervariasi tergantung dari bahan baku yang dipakai,
seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2 berikut yang dibandingkan
dengan kompos biasa.
Tabel 3. Kandungan unsur hara kompos (K), Arkoba serbuk gergaji,dan arkoba serbuk gergaji + jerami padi sebagai campuranmedia tumbuh anakan bulian (E. Zwageri) dan gaharu (A.Malaccensis)
No. Parameter
Nilai Standar *)Kompos ASG ASGJ
1 pH (1 : 1,25) 7,10 7,30 7,20 7,30
2 Kadar air , % 19,63 23,03 24,13 24,90
3 C organik, % 11,46 32,45 34,98 19,60
4 Nitrogen total, % 0,6 1,53 1,78 1,10
5 Nisbah C/N (C/N ratio) 19,1 21,20 19,65 10-20
6 P2O5 total, % 0,23 2,12 2,16 1,80
7 CaO total, % 0,43 0,97 0,83 2,70
8 MgO total, % 0,37 1,67 1,61 1,60
9 K2O total, % 0,51 2,19 2,34 1,40
10 KTK, meq/100 gr 21,32 36,42 36,61 30,00
Keterangan (Remarks): ASG Arkoba serbuk gergaji (sawdust bioactivecharcoal compost ); ASGJ Arkoba serbuk gergaji + jeramipadi (sawdust +rice straw bioactive charcoal compost); *) Anonim(2000)
21
Pada Tabel 1 diketahui bahwa secara umum kualitas arkoba
ASGJ sedikit lebih baik dari arkoba ASG dan kompos. Hal ini
dapat dilihat dari total kandungan C-organik, Nitrogen, Posfat
(P2O5), Kalium (K2O) dan KTK. Kandungan C-organik ASGJ, ASG,
kompos dan standar secara berurut masing-masing 34,98%, 32,45%,
11,46% dan 19,60%. Jumlah C-organik dalam tanah menunjukkan
banyaknya bahan organik yang terkandung, dan itu dapat menentukan
tingkat interaksi antara komponen abiotik dan biotik dalam
ekosistem tanah. Menururt Hanafiah et al., (2005), kandungan bahan
organik dalam bentuk C-organik di tanah harus dipertahankan tidak
kurang dari 2 persen. Agar kandungan bahan organik dalam tanah
tidak menurun akibat proses dekomposisi (mineralisasi),
penambahan harus diberikan setiap tahun, yaitu pada waktu
pengolahan tanah. Selain itu kandungan bahan organik juga
berkaitan erat dengan Kapasitas Tukar Kation (KTK), sehingga
tanpa penambahan bahan organik tanah akan mengalami degradasi
kimia, fisik, dan biologi menyebabkan agregat tanah merusak dan
menjadi padat (Anonim 1991).
IV. PENUTUP
Penggunaan arang tidak hanya sebagai bahan bakar alternatif,
namun secara inovatif dapat diaplikasikan di bidang pertanian,
peternakan, maupun pada kehidupan sehari-hari. Walaupun bukan
sebagai pupuk, arang dapat membangun kualitas kondisi tanah baik
secara fisik, kimia dan biologi tanah.
22
Aplikasi arang pada tanah yang berasal dari limbah sangat
sesuai dengan pola pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan, karena dapat menbantu menyelesaikan masalah limbah
sekaligus memperbaiki lahan-lahan masam dan kritis, serta membuat
tanah dalam keadaan stabil. Karakteristik arang berguna sebagai
agent bagi pembangun, penyubur sekaligus menjaga stabilitas
tanah, sehingga arang mempunyai peran sebagai pemberi kehidupan
berjangka panjang pada tanah dan tanaman yang tumbuh di atasnya.
Arang yang bersifat alkalis dapat meningkatkan pH tanah yang
masam, mempunyai daya serap yang tinggi terhadap residu pestisida
dan sisa pupuk kimia yang berada di dalam tanah, mengandung
mineral yang berguna bagi pertumbuhan tanaman, serta mempunyai
pori-pori yang luas, sehingga memberikan kondisi yang baik bagi
perkembangan mikroorganisme tanah yang diperlukan oleh tanaman.
Aplikasi arang pada tanah sangat diperlukan di masa sekarang
dan masa datang, mengingat sifat dan perannya yang cukup penting.
Oleh sebab itu arang jangan dipandang sebagai komoditi energi dan
ekonomi saja, namun memiliki nilai ekologis yang tinggi. Karena
Arang atau ”BIOCHAR” dapat menjadi sumberdaya potensial untuk
mitigasi perubahan iklim, karena dapat berfungsi sebagai
sequester yang tahan lama, bahkan ratusan tahun. Dengan demikian
perlu dikembangkan model pertanian/peternakan dan kehutanan
berbasis teknologi arang secara terpadu, sebagai model
percontohan inovatif, selain untuk memperbaiki kerusakan lahan
23
juga sebagi komoditi biochar untuk mengatasi perubahan iklim dan
pemanasan global.
Arang kompos bioaktif (Arkoba) adalah campuran arang dan
kompos hasil proses pengomposan dengan bantuan mikroba
lignoselulotik yang tetap hidup di dalam kompos. Mikroba tersebut
mempunyai kemampuan sebagai biofungisida, yaitu melindungi
tanaman dari serangan penyakit akar sehingga disebut bioaktif.
Keunggulan lain dari Arkoba adalah sebagai agent pembangun
kesuburan tanah, karena arang yang menyatu dalam kompos mampu
meningkatkan pH tanah sekaligus memperbaiki sirkulasi air dan
udara di dalam tanah (Gusmailina dan Komarayati, 2008).
Merupakan produk lanjutan dari arang yang dapat diandalkan untuk
mengatasi berbagai masalah penurunan tingkat kesuburan tanah atau
produktivitas lahan di Indonesia. Dari 6 ton arang kompos yang
telah dihasilkan di TPA Bangkonol Pandeglang, telah dapat
mencegah emisi CH4 dari TPA sebesar 1,8 ton/bulan, atau setara
24
dengan 30 – 42 ton CO2 atau seharga dengan US $ 150 – 210/bulan
(harga minimal).
Jika di TPA Bangkonol, Pandeglang kontinyu menghasilkan
minimal kompos 6 ton per bulan, maka akan dihasilkan kompos 72
ton per tahun. Berarti dari TPA, Bangkonol Pandeglang dapat
mencegah emisi CH4 sebesar 21,6 ton/tahun, atau setara dengan 108
– 151,2 ton CO2/tahun Nilai ini dapat menghasilkan ER (Emissions
Reduction) minimal per tahun sebesar US $ 540–756, yang kemudian
dapat digunakan sebagai sumber dana untuk menjamin kesinambungan
pengelolaan sampah yang baik. Nilai ini tentu akan bertambah
lagi dengan hasil penjualan arang kompos bioaktifnya.
Teknologi arang kompos bioaktif dari sampah tidak hanya
memberikan keuntungan teknis, tetapi juga memiliki implikasi
ekonomis. Hal ini dimungkinkan melalui mekanisme perdagangan gas
rumah kaca dengan harga reduksi emisi sebesar US$ 5–20 per ton
karbon.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2007. Climate Change. The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Summary for Policymakers. Diakses pada 2 Februari 2007.
Anonimus, 1989. Abwasser Technische Vereinigung (ATV), Recovery,Processing and Utilization of Biogas, Korrespondenz Abwasser, 36(13), pp. 153 – 164, 1989.
Anonim, 2000. Pedoman pengharkatan hara kompos. LaboratoriumNatural Products, SEAMEO – BIOTROP. Bogor.
25
Anonim, 2009. Siklus mineral. Bahan Kuliah Biotani. FakultasMIPA, Universitas Lampung. Lampung
Clark, W.C. 1990. Usable knowledge for managing global climate change. Report. The Stockholm Environment Institute. Stockholm.
Gusmailina, G. Pari dan S. Komarayati. 2000. Teknik penggunaanarang sebagai “ Soil Conditioning” pada tanaman. LaporanProyek Pusat Penelitian Hasil Hutan. Badan LitbangKehutanan. Bogor (Tidak diterbitkan).
Gusmailina, G. Pari dan Sri Komarayati. 2002 (a). PedomanPembuatanArang
Kompos. Pusat Penelitian dan Pengembangan TeknologiHasilHutan.B
26
adan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.ISBN:979-3132-27
Gusmailina, S. Komarayati ; G. Pari dan D. Hendra. 2002. Arangserbuk gergaji memperbaiki kesuburan tanah. ProsidingSeminar Nasional dan Pameran Pertanian Organik. BadanLitbang pertanian. Jakarta. 2-3 Juli. Hal 43.
Gusmailina, G. Pari dan S. Komarayati. 2002 (b). Kajian Teknisdan Implementasi Produksi POSG (Pupuk Organik SerbukGergaji). Laporan Kerjasama antara P3THH Bogor, JIFPROJepang, Dinas Kehutanan Propinsi Tk I Jambi dan KoperasiSawmill Siginjai, Sengeti – Muaro Jambi, Jambi. (Tidakditerbitkan)
Gusmailina, S. Komarayati, G. Pari dan M. Ali. 2005. Mengenalmanfaat arang dan arang kompos. 17 Pebruari 2005. DiskusiIntern BP2HT-IBB, Palembang.
27
Gusmailina, Saepulloh, Mahpudin, dan S. Komarayati. 2006.Aplikasi dan diseminasi arang kompos bio aktif; Teknologiinovatif untuk mendukung gerhan dan pembangunan kehutananyang berkesinambungan. Gelar Teknologi, Cianjur 13 Desember2006. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan HasilHutan dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Cianjur.
Gusmailina, 2007. Mengeliminasi Kemungkinan Kegagalan GERHANMelaluiteknologi
dan Aplikasi Arang Kompos Bioaktif. Buku panduandalamrangkaPel
28
atihan
Peningkatan Pelatihan peningkatan Kualitas arangKomposBioaktifdiKabupaten
Garut. 12 Desember 2007. Kerjasama Dinas KehutananKabupa
29
tenGarutdengan
KopKar GEPAK Wira Satria Sejati.
Gusmailina, 2007. Pembuatan arang dan arang kompos dari limbahPLTB.Makalah
pada Acara Gelar Teknologi Penyiapan Lahan TanpaBakar(PLT
30
Palembang.
Gusmailina dan S. Komarayati. 2008. Teknologi inovasipenangananlimbahindustripulp
dan kertas menjadi arang kompos bioaktif. Prosidingseminar
32
TeknologiPemanfaatan
Limbah Industri Pulp dan Kertas Untuk Mengurangi BebanLingkungan.Bogor
24 November. Pusat Penelitian dan Pengembangan HasilH
33
dalam
rangka menunjang pembangunan kehutanan yangberkesinambungan.MakalahGelar
Teknologi Palembang, 4 Mei 2009. Kerjasama PuslitbangHut
35
anTanamandanBalai
Penelitian Kehutanan Palembang. Muara Enim, Palembang.
Gusmailina, S. Komarayati dan G. Pari. 2005. Pengembangan pembuatan arang kompos dalam rangka menunjang Gerhan (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) Di Pandeglang, Prop. Banten. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.
Hanks, S., 1996. Ecology and the Biosphere Journal. St. Luice Press, Florida, pp. 108-110, 1996.
Henry, J. G., 1996. Solid wastes (Chapter 14). Environmental Scienceand Engineering, ed. J. G. Henry and G.W. Heinke, Prentice-Hall International: New Jersey, pp. 567-619,
Houghton, J.T., G.J. Jenkins and J.J. Epharaums, 1990. Climate change. The IPCE Scientific Assessment Cambridge University Press. New York.
Hakim N, M.Y. Nyakpa, A.M Lubis, S.G Nogroho, M.R. Saul, M.A. Diha, Go Bang Hong, H.H. Bailey, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Tanah , Penerbit Universitas Lampung, Lampung
36
Hanafiah, K. A., A. Napoleon, N Ghofur. 2005. Biologi TanahEkologi & Mikrobiologi Tanah. Penerbit Rajawali Pers.pp184. Jakarta
Hardjowigeno, 2003, Klasifikasi Tanah Dan Pedogenesis. Penerbit Akademika Presindo, Jakarta
JDFDA. 1994. Example of New utilization of charcoal. JapanDomestic Fuel Dealers Association.
Komarayati, S., Gusmailina dan G. Pari. 2001. Pemanfaatan limbahkulit kayu dan serasah tusam untuk kompos dan arang kompos.Laporan Hasil Penelitian. Proyek DIK-S. Sumber DanaReboisasi. Tahun Anggaran 2001.
Komarayati, S., Gusmailina dan G. Pari. 2002. Pembuatan komposdan arang kom-pos dari serasah dan kulit kayu tusam. BuletinPenelitian Hasil Hutan. 20 (3) : 231 – 242. Pusat LitbangTeknologi Hasil Hutan, Bogor.
Komarayati, S., Gusmailina dan G. Pari. 2003. Aplikasi arangkompos pada anakan tusam (Pinus merkusii). Buletin PenelitianHasil Hutan. 21 (1) : 15 – 21. Pusat Litbang Teknologi HasilHutan. Bogor.
Komarayati, S. 2004. Penggunaan arang kompos pada media tumbuhanakan mahoni. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 22 (4) : 193 –203. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Komarayati, S., Gusmailina dan G.Pari. 2004. Application ofcompost charcoal on two species of forestry plants.Voluntary paper. Proceeding of The International Workshop on“ Better Utilization of Forest Biomass for Local Communityand Environment” Bogor. 16 -17 Maret. Pusat Litbang HasilHutan dan JIFPRO.
Laksono, T.S. 2009. Asdep Pengendalian Limbah Domestik Kementrian Negara LH, Jakarta. (Diskusi langsung).
37
Morissoy, W. A. and John, R. J. 1998. Global Climate Change. CRS Issue Brief for Congress. The Committee for the national Institute for the Environmental. Washington, D. C.
Ogawa, M. 1989. Mycorrhizza and their utilization in forestry. Report of Shortterm Research Cooperation. The Tropical RainForest Research Project JTA-9A (137). JICA. Japan.
Porteous, A. 1992. Dictionary of Environmental Science and Technology, 2nd ed. John Wiley and Sons, New York
Soemarwoto, O. 2001. Peluang Berbisnis Lingkungan Hidup Di Pasar Global untuk Pembangunan Berkelanjutan. Makalah Seminar “Kebijakan Perlindungan Lingkungan dan Pembangunan berkelanjutan Indonesia di Era Reformasi dalam Menghadapai KTT Rio. Jakarta, 8 Februari 2001
Suprihatin, N.S. Indrasti dan M. Romli. 2003. Potensi PenurunanEmisi Gas Rumah Kaca melalui Pengomposan Sampah di Wilayah Jabotabek. Departemen Teknologi Industri Pertanian, FakultasTeknologi Pertanian IPB. Environmental Of Research Center. PPLH-IPB. Bogor
Yusrizal, Z., 2000. Estimation of methane emission from landifill site Bantar Gebang, Bekasi. Thesis at the Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Bogor Agricultural University (IPB), Bogor.
38