nilai sosial dalam novel kubah karya ahmad tohari dan ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of nilai sosial dalam novel kubah karya ahmad tohari dan ...
NILAI SOSIAL DALAM NOVEL KUBAH
KARYA AHMAD TOHARI DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA DI SMA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Oleh:
Siti Humaeroh Miladiyah
109013000018
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
iii
ABSTRAK
Siti Humaeroh Miladiyah, NIM: 109013000018. Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul skripsi, “Nilai Sosial dalam Novel
Kubah Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan
Sastra di SMA”. Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M.Hum.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yaitu mengkaji
hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, bagaimana hubungan itu terjadi,
dan apa akibat yang ditimbulkan atas hubungan tersebut. Penelitian ini
mendeskripsikan unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Kubah karya Ahmad
Tohari, diantaranya: tema, tokoh dan penokohan, alur, latar (tempat, waktu,
suasana, dan sosial), sudut pandang, dan gaya bahasa. Selain itu, hasil penelitian
ini dapat menemukan nilai sosial yang terkandung dalam novel Kubah karya
Ahmad Tohari. Nilai sosial yang dimaksud yaitu hubungan manusia dengan
masyarakat, diantaranya: nilai agama, musyawarah, gotong-royong, tolong
menolong, saling memaafkan, kasih sayang, serta tanggung jawab. Nilai sosial ini
merupakan ciri khas sifat masyarakat Pegaten yang ramah menerima kembali
kehadiran sosok manusia yang pernah terjerumus ke dalam politik yang
mengakibatkan dirinya diasingkan ke pulau buangan. Banyak hikmah yang dapat
diambil dari kehidupan masyarakat Pegaten setelah menganalisis unsur intrinsik
serta nilai sosial yang terkandung di dalamnya sehingga dapat diimplikasikan
terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesiadi sekolah, dalam aspek
membaca. Pada pembelajaran ini, kompetensi yang harus dicapai peserta didik
ialahmemahami struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun
tulisan,dengan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel serta menemukan
nilai sosial dalam novel Kubah, sertamengembangkan sikap apresiatif dalam
menghayati karya sastra.
Kata Kunci: nilai sosial,novel Kubah, Pegaten, Ahmad Tohari.
iv
ABSTRACT
Siti Humaeroh Miladiyah, NIM: 109 013 000 018. Department of Education
Indonesian Language and Literature, Faculty of Tarbiyah and Teaching, Syarif
Hidayatullah State Islamic University Jakarta. The title essay, "The Social Value
of Work in Ahmad Tohari Novel Kubah and Implications of Learning Language
and Literature in high school". Supervisor: Diah Novi Haryanti, M.Hum.
This study uses sociological approach to literature that examines the relationship
between literature and society, how does it happen, and what the impact of the
above relationships. This study describes the elements contained in the novel
intrinsic Kubah by Ahmad Tohari, including: theme, character and
characterization, plot, setting (place, time, atmosphere, and social), angle of view,
and style. In addition, the results of this research can find the social values
embodied in the novel by Ahmad Tohari Kubah. In addition, the results of this
study also found that the values embodied in the novel by Ahmad Tohari Kubah,
ie, social value. Social value is that human relationships with the community,
including: religious values, consensus, mutual help, mutual help, mutual
forgiveness, compassion, and responsibility. The social values are characteristic
properties Pegaten friendly community receive the presence of the human figure
ever fall into the resulting political exiles himself exiled to the island. Many of the
lessons learned from public life Pegaten after analyzing the intrinsic elements as
well as social values contained in it so it can be implied to learning English and
Literature Indonesiadi school, in the aspect of reading. In this study, competency
to be achieved learners ialahmemahami novel structures and rules text either
through oral or written, to explain the intrinsic elements in the novel and find
social value in the novel Kubah, appreciative attitude in living literature.
Keywords: social values, novel Kubah, Pegaten, Ahmad Tohari.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil „alamin, segala puji syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Kuasa akan segala sesuatu yang berada di seluruh alam raya, yang
menciptakan kenikmatan dan memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga
penelitian ini dapat terselesaikan.Salawat dan salam semoga senantiasa Allah
SWT berikan kepada Nabi Muhammad SWA, keluarga, sahabat, dan para
pengikutnya.
Dalam penyelesaian penelitian ini, penulis banyak menerima saran,
petunjuk, bimbingan, dan masukkan dari berbagai pihak. Penulis berutang jasa
kepada mereka yang telah mendampingi dalam proses penyelesaian skripsi
sebagai tugas akhir menempuh S1. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima
kasih kepada:
1. Nurlena Rifa‟i, M.A, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA,M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia.
3. Novi Diah Haryanti, M.Hum selaku dosen pembimbing skripsi,yang telah
memberikan bimbingan, semangat, dan meminjamkan buku koleksi
perpustakaan pribadi sebagai penunjang penelitian, sehingga peneliti yakin
penelitian ini dapat terselesaikandengan baik. “Terima kasih, Bu. You are my
inspiration.”
4. Ayahanda Nasrudin dan Ibunda Sopiah selaku orang tua penulis, serta
keluarga besar penulis yang senantiasa mendoakan setiap saat, memberikan
dorongan moral, serta memotivasi penulis, sehingga penelitian ini dapat
terselesaikan dengan baik.
5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi ilmu
pengetahuan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
vi
6. Teman-teman PBSI seperjuangan angkatan 2009, khususnya kelas Ayang
dengan sabar selalu membantu dan memberi informasi kepada penulis.
7. Para sahabatku, diantaranya:Dini, Hasna, Windi, Yulia, Dewi, Nita, Ria,
Wiwi yang tidak henti-hentinya selalu memberikan semangat kepada penulis
serta membantu penulis dalam mencari referensi yang berkaitan dalam
penelitian ini.
8. Terima kasih untuk Nuryahya, yang telah menyempatkan waktunya untuk
menemani serta mengantar penulis dalam mencari referensi yang terkait
dengan penelitian ini.
9. Teman seperjuanganku yaitu, Reni Rahmawati yang selalu memberikan
semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Pimpinan dan karyawan perpustakaan FITK dan UIN Jakarta, yang telah
memberikan kemudahan bagi peneliti dalam memperoleh bahan ataupun
informasi.
11. Terima kasih pula kepada semua pihak yang telah membantu proses
penyelesaian penelitian ini. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian.
Jakarta, 6 Mei 2014
Penulis
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ ii
ABSTRAK ........................................................................................................... iii
ABSTRACT ......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................... 3
C. Batasan Masalah ........................................................................... 4
D. Rumusan Masalah ........................................................................ 4
E. Tujuan Penelitian.......................................................................... 4
F. Manfaat Penelitian........................................................................ 4
G. Metode Penelitian ......................................................................... 5
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................ 8
A. Pengertian Novel .......................................................................... 8
B. Unsur Intrinsik Novel ................................................................... 9
1. Tema ...................................................................................... 9
2. Alur ........................................................................................ 11
3. Tokoh dan Penokohan ............................................................ 12
4. Latar atau Setting ................................................................... 13
5. Sudut Pandang ........................................................................ 15
6. Gaya Bahasa ........................................................................... 16
C. Pengertian Sosiologi Sastra .......................................................... 17
D. Nilai Sosial dalam Karya Sastra .................................................. 20
1. Hakikat Nilai ........................................................................... 20
2. Hakikat Sosial ......................................................................... 21
3. Hakikat Nilai Sosial ............................................................... 22
4. Macam-Macam Nilai Sosial .................................................... 23
viii
E. Hakikat Pembelajaran Sastra ........................................................ 25
F. Penelitian yang Relevan ............................................................... 26
BAB III PROFIL AHMAD TOHARI ........................................................... 30
A. Biografi Ahmad Tohari .................................................................. 30
1. Karya Ahmad Tohari ................................................................ 32
2. Penghargaan yang Pernah Diraih ............................................. 33
B. Data Novel Kubah .................................................................................. 33
C. Sinopsis Novel Kubah .................................................................... 34
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................... 37
A. Analisis Unsur Intrinsik dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari 37
1. Tema ........................................................................................ 37
2. Alur ........................................................................................ 38
3. Tokoh dan penokohan ............................................................. 45
4. Latar ........................................................................................ 58
5. Sudut Pandang ......................................................................... 68
6. Gaya Bahasa ............................................................................ 69
B. Nilai Sosial dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari .............. 71
1. Hubungan Manusia dengan Masyarakat ................................ 73
2. Hasil Penemuan Nilai Sosial ................................................... 93
C. Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia101
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 104
A. Simpulan .......................................................................................... 104
B. Saran ................................................................................................. 105
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 106
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra hadir sebagai wujud nyata imajinatif kreatif seorang
sastrawan dengan proses yang berbeda antara pengarang yang satu dengan
pengarang lain, terutama dalam penciptaan cerita fiksi. Proses tersebut bersifat
individualis artinya cara yang digunakan oleh tiap-tiap pengarang dapat berbeda.
Perbedaan itu meliputi beberapa hal diantaranya metode, munculnya proses
kreatif, dan cara mengekspresikan apa yang ada dalam diri pengarang hingga
bahasa penyampaian yang digunakan.
Lahirnya sebuah karya sastra merupakan reaksi dari keadaan yang terjadi
di lingkungan tempat karya sastra itu tercipta yang dihasilkan oleh seorang
pengarang. Dalam menganalisis karya sastra, peneliti harus berangkat dari latar
manusia yang digambarkan dalam karya sastra tersebut karena karya sastra
merupakan gambaran kehidupan masyarakat serta jiwa tokoh yang hidup di suatu
masa, tempat, dan bersifat fiksi.
Melalui karya sastra sering diketahui keadaan, cuplikan-cuplikan
kehidupan masyarakat, seperti dialami, dicermati, ditangkap, dan direka oleh
pengarang.1Sastra dan masyarakat erat kaitannya karena pada dasarnya
keberadaan sastra sering bermula dari persoalan dan permasalahan pada manusia
serta lingkungannya. Kemudian, dengan adanya imajinasi yang tinggi seorang
pengarang tinggal menuangkan masalah-masalah disekitarnya menjadi sebuah
karya sastra.
Salah satu karya sastra yang dapat dikaji dalam pembelajaran sastra, yaitu,
novel. Novel dapat dikaji dari beberapa aspek, misal penokohan, isi, cerita, latar,
alur dan makna. Salah satu ciri teks sastra yang multiinterpretasi membuat
tanggapan pembaca terhadap satu novel yang sama tentu akan berbeda-beda
sesuai dengan tingkat pemahaman dan daya imajinasi pembaca. Hal tersebut
1Riris K. Toha-Sarumpaet, Sastra Masuk Sekolah, (Indonesia Tera Anggota IKAPI:
Magelang, 2002), h. 37.
2
membuat pengajaran sastra yang merupakan bagian dari pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia di sekolah menjadi lebih menarik, terlebih jika guru mampu
memilih bahan ajar yang pas untuk didiskusikan di kelas.
Pengajaran apresiasi sastra di sekolah merupakan rangka memperkenalkan
karya sastra kepada siswa. Hal tersebut bertujuan agar siswa memiliki
kemampuan menghayati, memahami, dan menikmati serta menilai karya sastra
yang dibacanya. Setelah usaha itu dilakukan siswa diharapkan dapat mengambil
manfaat dari karya yang dibacanya. Siswa diharapkan akan meneladani sikap dan
nilai-nilai kehidupan yang positif dari tokoh-tokoh yang ada di dalam karya satra
itu.
Salah satu yang dapat dipakai dalam pembelajaran sastra di sekolah ialah
novel Kubah karya Ahmad Tohari. Novel Kubah berisikan tentang seorang aktivis
politik yang sempat terjerumus ke jalan yang salah, yaitu tokoh Karman. Sewaktu
kecil, hidup Karman sangat sederhana setelah ditinggal ayahnya untuk selamanya.
Semasa kecilnya ia sudah diajarkan bekerja keras, sehingga untuk makan sehari-
harinya ia harus bekerja pada keluarga Haji Bakir. Ketika dewasa ia dikenal
sebagai sosok yang cerdas dan sangat berpotensi dalam bidang politik. Meskipun
demikian, ia memiliki sifat mudah terpengaruh oleh orang lain. Hal tersebut
menjadikannya terjerumus kejalan yang salah. Ia menjadi salah satu anggota PKI.
Akibat perbuatannya tersebut, membuat dirinya diasingkan ke pulau Buangan.
Selama dalam pengasingan Karman menyadari semua kesalahan yang
telah dilakukannya itu. Sampai tibanya Karman dibebaskan dari pulau B, ia
bermaksud pulang ke kampung halamannya, Pegaten. Namun, Karman ragu untuk
pulang kembali ke Pegaten. Keraguan yang menghinggapi dirinya hilang seketika,
ketika ia diterima kembali oleh masyarakat Pegaten. Hingga pada suatu ketika,
Karman melihat masjid milik Haji Bakir telah usang dan terlihat sangat tua. Ia
ingat dengan pendidikan keterampilan bertukang saat dia berada di penjara.
Karman lalu menemui Haji Bakir, dan menawarkan diri untuk membangun kubah
asalkan materialnya disediakan, dan Haji Bakir menyetujuinya. Hingga akhirnya
proses pembuatan kubah dan perbaikan masjid itu selesai. Karman beserta yang
3
lainnya sangat puas. Setelah itu, Karman menjadi sosok manusia yang rajin
ibadah.
Ahmad Tohari merupakan salah satu sastrawan yang karyanya tidak
terlepas dari latar pedesaan serta nilai agama dan nilai sosial di dalamnya. Latar
pedesaan yang selalu dipakai dalam karyanya merupakan kekuatan bagi dirinya
untuk menggambarkan bagaimana memainkan para tokoh dalam karyanya. Selain
itu, dalam karyanya Ahmad Tohari selalu menggambarkan peristiwa G30S PKI, ia
bercerita tentang anak desa yang terjun ke dalam partai komunis. Hal tersebut
dapat dibuktikan dalam salah satu karyanya yang berjudul Kubah.
Bila dilihat dari segi unsur intrinsik serta nilai-nilai yang terkandung di
dalam novel Kubah sangat menarik untuk dipelajari oleh siswa tingkat SMA. Oleh
karena itu, peneliti tertarik untuk membuat penelitian yang berjudul “Nilai Sosial
dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka identifikasi masalah
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Siswa kesulitan menganalisis nilai sosial yang terkandung di dalam novel
Kubah.
2. Siswa sulit membandingkanrelevansi antara novel Kubah dengan situasi
masyarakat zaman sekarang.
3. Kurangnya minat baca siswa terhadap buku pembelajaran.
4. Siswa dituntut untuk memahami isi cerita novel Kubah.
5. Pembaca kesulitan dalam menganalisis konflik bathin tokoh Karman yang
terlalu rumit.
6. Siswa kesulitan memahami unsur intrinsik teks.
7. Bahan ajar sastra di sekolah kurang variatif.
4
C. Batasan Masalah
Berdasarkan banyaknya identifikasi masalah yang ada, maka penelitian ini
hanya dibatasi pada:
1. Unsur intrinsik dalam novel Kubah,
2. Nilai sosial dalam novel Kubah dan implikasinya terhadap pembelajaran
bahasa dan sastra di SMA.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana unsur intrinsik dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari?
2. Bagaimana nilai sosial yang terkandung dalam novel Kubah karya Ahmad
Tohari?
3. Bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia?
E. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan unsur intrinsik dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari.
2. Mendeskripsikan nilai-nilai sosial dalam novel Kubah karya Ahmad
Tohari.
3. Mendeskripsikan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi para pembaca,
baik bersifat teori maupun praktis.
Manfaat Teori:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
perkembangan ilmu sastra, khususnya terkait nilai sosial karya sastra.
2. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperkaya penggunaan
teori-teori sastra secara teknik analisis terhadap karya sastra.
Manfaat Praktis:
5
1. Bagi pembaca penelitian ini dapat menambah minat baca dalam
mengapresiasikan karya sastra.
2. Bagi peneliti, penelitian ini dapat mempermudah peneliti yang ingin
mengambil novel Kubah sebagai bahan kajian untuk memperkaya
wawasan sastra dan menambah khasanah penelitian sastra Indonesia
sehingga bermanfaat bagi perkembangan sastra Indonesia.
G. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat yang digunakan dalam penelitian ini tidak terikat pada suatu
tempat karena objek yang dikaji berupa naskah (teks) novel. Artinya setiap
tempat dapat digunakan jika memungkinkan dan mendukung untuk
dilaksanakan penelitian. Waktu yang digunakan dalam penelitian mulai dari
15 Februari 2013 sampai dengan 4 Mei 2014.
2. Sumber Data
Sumber data merupakan tempat ditemukannya data-data yang akan
ditulis. Adapun sumber data dalam penelitian ini berupa sumber data tertulis
yang terdapat pada novel Kubah karya Ahmad Tohari. Sumber data yang
diperoleh yaitu berdasarkan cerita atau analisis tentang novel Kubah maupun
analisis pengarang dengan karya-karyanya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik pustaka yaitu
dengan menganalisis isi. Pada analisis ini peneliti menyimak kemudian
mencatat dukomen-dokumen yang diambil dari data primer yang berkaitan
dengan masalah dan tujuan penelitian. Datanya berupa novel, maka peneliti
mencoba menelaah isi novel. Adapun langkah-langkah pengumpulan data
dalam novel Kubah yaitu:
1. Membaca secara cermat novel Kubah karya Ahmad Tohari,
2. Menentukan unsur intrinsik dalam novel Kubah
6
3. Mencatat kalimat yang menggambarkan adanya nilai-nilai sosial dalam
novel Kubah karya Ahmad Tohari,
4. Menganalisis nilai-nilai sosial dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses mengatur urutan data
menggolongkannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.
Kegiatan analisis data itu dilakukan dalam suatu proses. Proses berarti
pelaksanaannya sudah mulai sejak pengumpulan data dilakukan dan
dikerjakan secara itensif.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode
pembacaan heuristik merupakan cara kerja yang dilakukan oleh pembaca
dengan menginterprestasikan teks sastra secara referensial. Pembacaan
heuristik juga dapat dilakukan secara struktural. Kerja heuristik menghasilkan
pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat.2
Tahap pertama analisis data dalam penelitian ini adalah pembacaan
heuristik yaitu penulis menginterprestasikan teks novel Kubah melaui dengan
membaca cermat dan teliti tiap kata, kalimat, ataupun paragraf dalam novel
guna analisis unsur intrinsik. Selain itu, pembaca heuristik digunakan untuk
menemukan nilai-nilai sosial dalam novel Kubah. Tahap kedua penulis
melakukan pembacaan hermeneutik yakni dengan menafsirkan makna
peristiwa atau kejadian-kejadian yang terdapat dalam novel Kubah hingga
dapat menemukan nilai-nilai sosial dalam cerita tersebut.
5. Prosedur Penelitian
Berikut merupakan prosedur penelitian dalam skripsi ini, yaitu:
a. Pembacaan Data
Pembacaan data dalam penelitian ini dengan menggunakan dua
metode, yaitu heuristik dan humanistik. Kedua metode ini telah dijelaskan
sebelumnya pada bagian Teknik Analisis Data.
2 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 32
7
b. Reduksi Data
Pada langkah ini data yang diperoleh dicatat dalam uraian yang
terperinci. Dari data-data yang sudah dicatat tersebut, kemudian dilakukan
penyederhanaan data. Data-data yang dipilih hanya data yang berkaitan
dengan masalah yang akan dianalisis, dalam hal ini tentang nilai-nilai sosial
dalam novel Kubah. Informasi-informasi yang mengacu pada permasalahan
itulah yang menjadi data dalam penelitian ini.
c. Penyajian Hasil Identifikasi dan Klasifikasi Data
Pada langkah ini data-data yang sudah ditetapkan kemudian disusun
secara teratur dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut
kemudian dianalisis sehingga diperoleh deskripsi tentang nilai-nilai sosial
pada novel Kubah karya Ahmad Tohari.
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Novel
Kata novel berasal dari bahasa Latin novellas yang terbentuk dari kata
novus berarti baru atau new dalam bahasa Inggris. Ada juga yang mengatakan
bahwa novel berasal dari bahasa Itali novella artinya sama dengan bahasa Latin.
Novel juga diartikan sebagai suatu karangan atau karya sastra yang lebih pendek
daripada roman, tetapi jauh lebih panjang daripada cerita pendek, isinya hanya
mengungkapkan suatu kejadian penting, menarik dari kehidupan seseorang (dari
suatu episode). Perwatakan pelaku-pelakunya digambarkan secara garis besar
saja, tidak sampai pada masalah yang sekecil-kecilnya. Kejadian yang
digambarkan itu mengandung suatu konflik jiwa dan mengakibatkan adanya
perubahan nasib.1
Novel (Inggris: novel) merupakan bentuk karya sastra sekaligus disebut
fiksi, bahkan dalam perkembangannya, kemudian novel dianggap bersinonim
dengan fiksi. Sebutan novel dalam bahasa Inggris—dan inilah yang kemudian
masuk ke Indonesia—berasal dari bahasa Italia novella (dalam bahasa Jerman:
novelle). Secara harfiah novella berarti „sebuah barang baru yang kecil‟, dan
kemudian diartikan sebagai „cerita pendek dalam bentuk prosa.2
Ketika membaca novel hanya sebagian saja, hal seperti ini membuat si
pembaca tidak akan dapat memahami keseluruhan makna cerita di dalam novel,
selain itu juga dikarenakan novel tersebut memang sukar dipahami. Dengan
demikian, novel hanya dapat lebih dipahami oleh pembaca yang melakukan suatu
analisis ketika membacanya. Dalam hal ini, kegiatan menganalisis karya sastra
hasilnya dapat digunakan untuk mencoba menerangkan peranan masing-masing
unsur yang terdapat dalam cerita, seperti bagaimana kaitan unsur-unsur tertentu
seperti penokohan, pelataran, penyudutan, dan sebagainya.
1 Wijaya dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Yuma Pustaka: Surakarta,
2010), h. 46 2Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Gadjah Mada Universty Press:
Yogyakarta, 2000), h. 9
9
Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, berupa model
kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, kemudian dibangun melalui berbagai
unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-
lain. Dari semua itu tentu saja juga bersifat imajinatif.3
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa novel adalah
suatu cerita fiksi yang terdiri dari tokoh, tema, alur, latar. Novel merupakan
bagian dari karya sastra yang berbentuk fiksi atau cerita rekaan, namun ada pula
merupakan kisah nyata. Selain itu, novel merupakan sebuah cerita fiktif yang
menggambarkan atau melukiskan kehidupan tokoh-tokohnya dengan
menggunakan alur. Cerita fiktif tidak hanya sebagai cerita khayalan semata, tetapi
pengarang menghasilkan sebuah imajinasi berupa realitas atau fenomena yang
dapat dilihat dan dirasakan.
B. Unsur Intrinsik Novel
Kajian intrinsik membatasi diri pada karya sastra itu sendiri, tanpa
menghubungkan karya sastra dengan dunia di luar karya sastra itu. Dalam kajian
intrinsik, sastra dianggap sebagai sebuah dunia otonom. Karena kajian intrinsik
hanya memperhatikan karya sastra sebagai sebuah dunia otonom, maka yang
dikaji adalah unsur-unsur sastra dalam karya sastra itu sendiri, antara lain adalah
penokohan, konflik, latar, tema, dan hal-hal semacam itu. Kejayaan sebuah karya
sastra, dengan demikian, ditentukan oleh keberhasilan pengarang dalam mengolah
unsur-unsur sastra itu.4
Berikut ini merupakan uraian-uraian dari unsur intrinsik dalam novel:
1. Tema
Tema merupakan sesuatu yang penting dalam suatu cerita karena tema
merupakan inti cerita yang penting dalam suatu cerita karena tema
merupakan inti cerita yang mendasari suatu cerita. Bertolak dari inti cerita,
pengarang akan mengembangkan cerita menjadi suatu bentuk yang lebih
3 Ibid., h. 4
4 Budi Darma, Pengantar Teori Sastra, (Pusat Bahasa Depdiknas: Jakarta, 2004), h. 23
10
luas.5 Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperanan
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang
diciptakannnya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan
tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.6
Tema memiliki beberapa tingkatan menurut Shipley, diantaranya:
pertama tema tingkat fisik (banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan),
kedua tema tingkat organik (menyangkut masalah seksualitas), ketiga tema
tingkat sosial (manusia sebagai makhlik sosial), keempat tema tingkat egoik
(manusia sebagai individu), kelima tema tingkat divine (masalah hubungan
manusia dengan sang pencipta).7 Tema tingkat sosial yang merupakan
manusia sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat yang merupakan
tempat aksi dan interaksinya manusia dengan sesama dan dengan
lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik dan lain-lain
yang menjadi objek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu antara lain
berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta
kasih, propaganda, hubungan atasan-bawahan, dan berbagai masalah dan
hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi
kritik sosial.8
Perlu diingat bahwa suatu novel akan dapat dianalisis dengan
sejumlah besar tema yang berbeda atau bahkan saling terkait. Pembaca
menentukan apa kekuatan dan kepentingan utama yang ada dalam novel
tersebut. Artinya, dari sekian tema tersebut dapat ditarik agar ia memiliki
tema besar yang dikandungnya.
Kesimpulan dari berbagai pendapat di atas tema merupakan gagasan
utama. Hampir semua gagasan yang ada dalam hidup ini bisa dijadikan
tema, sekalipun dalam praktiknya tema-tema yang paling sering diambil
5 Sri Widati Pradopo, dkk, Struktur Cerita Rekaan Jawa Modern Berlatar Perang. hlm.
42 6 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (PT. Grasindo: Jakarta,2008), hlm. 161
7 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 80
8 Ibid., h. 81
11
adalah beberapa aspek atau karakter dalam kehidupan ini, seperti ambisi,
kesetiaan, kecemburuan, frustasi, kemunafikan, ketabahan, dan sebagainya.
2. Alur
Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku
dalam suatu cerita. Ada beberapa pendapat tentang tahapan-tahapan
peristiwa dalam suatu cerita. Tahapa-tahapan peristiwa tersebut antara lain:
pengenalan, konflik, klimaks, penyelesaian.9
Penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan diri
pada urutan waktu saja belum merupakan alur. Agar menjadi sebuah alur,
peristiwa-peristiwa itu haruslah diolah dan disiasati secara kreatif, sehingga
hasil pengolahan dan penyiasatannya itu sendiri merupakan sesuatu yang
indah dan menarik, khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang
bersangkutan secara keseluruhan. Kegiatan ini dilihat dari sisi pengarang,
merupakan pengembangan plot atau dapat juga disebut sebagai pemplotan,
pengaluran. Kegiatan pemplotan itu sendiri meliputi kegiatan memilih
peristiwa yang akan diceritakan dan kegiatan menata (baca: mengolah dan
menyiasati) peristiwa-peristiwa itu ke dalam struktur linear karya fiksi.10
Alur adalah suatu urutan cerita atau peristiwa yang teratur dan
terorganisasi. Plot dalam pengertian ini dapat dijumpai dalam novel
bukannnya dalam kehidupan yang sewajarnya. Hidup memiliki cerita, tetapi
novel memiliki cerita dan plot. Sebagaimana dikatakan oleh E.M. Forster,
cerita adalah pengisahan peristiwa-peristiwa yang disusun berdasar urutan
waktu, sedangkan plot adalah pengisahan peristiwa-peristiwa dengan
penekanan kepada kausalitas.11
Alur merupakan salah satu unsur yang penting dalam suatu novel atau
karya sastra lainnya di samping tema, penokohan, latar, dan unsur lain.
Dalam suatu karya sastra, hal tersebut sebagai alur tidak sama dengan apa
9 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (SINAR BARU). hlm. 83.
10 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 113.
11 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Ghalia Indonesia: Bogor,
2010), h. 68
12
yang dikenal oleh orang awam sebagai cerita. Forster mengatakan bahwa
sebuah cerita adalah suatu paparan peristiwa yang diatur menurut tahapan
waktu. Alur di lain pihak, juga merupakan paparan peristiwa, tetapi tekanan
jatuh pada hubungan sebab akibat. Rangkaian pola alur suatu cerita pada
kenyataannya menampilkan susunan pola yang terdiri dari lima bagian.12
a) Situation: pengarang mulai melukiskan suatu keadaan.
b) Generating Circumstances: peristiwa mulai bergerak.
c) Rising Action: keadaan mulai memuncak.
d) Climax: peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya.
e) Denouement: pengarang memberikan pemecahan soal bagi semua
peristiwa.
Sesungguhnya gambaran apa yang dimaksudkan dengan plot atau alur
akan menjadi jelas kalau kita menyadari bahwa cerita cerpen maupun novel
dapat digolongkan dalam beberapa jenis, seperti: cerita ide, cerbung, cerpen.
Dapat disimpulkan dari berbagai pendapat bahwa plot atau alur adalah
rangkaian kejadian dan perbuatan, rangkaian hal-hal yang diderita dan
dikerjakan oleh pelaku-pelaku sepanjang novel yang bersangkutan. Plot atau
alur merupakan struktur penyusunan kejadian-kejadian dalam cerita tapi
yang disusun secara logis.
3. Tokoh dan Penokohan
Tokoh cerita menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan
dalam suatu karya naratif, atau drama, oleh pembaca ditafsirkan memiliki
kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti diekspresikan dalam
ucapan dan dilakukan dalam tindakan.13
Penokohan adalah salah satu unsur
yang penting dalam membina struktur. Penokohan sudah selayaknya ada
dalam setiap cerkan, karena tanpa tokoh cerita tidak akan terbentuk. Stanton
mengungkapkan bahwa kebanyakan cerita menampilkan satu tokoh utama
yang berkaitan dengan setiap peristiwa yang terjadi dalam cerita. Dikatakan
pula bahwa setiap pengarang ingin pembacanya memahami tokohnya dan
12
Sri Widati Pradopo, dkk, op. cit., h. 62—63 13
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 166
13
motivasi mereka melalui apa yang mereka katakan dan lakukan.14
Cerita dalam sebuah novel tidak akan ada tanpa tokoh yang
menggerakkan cerita dan membentuk alur dengan segala macam
permasalahan yang dialaminya. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh
merupakan hal penting dalam sebuah novel. Aspek penokohan dalam cerita
sangatlah penting karena menggambarkan cara pengarang menampilkan
tokoh. Penokohan berhubungan erat dengan perwatakan tokoh yaitu dari
dokumen lain di luar karya sastra.15
Dengan kata lain, pembaca tidak perlu merujuk pada data di luar novel,
karena segala perihal tokoh sudah dapat diketahui dari data yang ada dalam
novel tersebut. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pengamatan
mengenai tingkah laku tokoh dapat dihubungkan, dijelaskan, dan
dipertimbangkan. Setelah itu dilakukan, barulah dapat diambil sebuah
kesimpulan mengenai perwatakan tokoh dalam suatu novel.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh dalam
cerita dapat didefinisikan sebagai subjek dan sekaligus objek peristiwa
dan kejadian, pelaku dan sekaligus sasaran kedua hal tersebut. Tanpa
tokoh, tidak akan tercipta peristiwa. Tokoh selalu mempunyai identitas,
mempunyai watak tertentu, yang menentukan tindakannya dan sikapnya
terhadap lingkungan di sekitarnya, baik yang berupa tokoh-tokoh lain
maupun yang berupa lingkungan benda-benda alam dan benda-benda
budaya. Seorang tokoh tidak dapat berdiri sendiri atau berkelakuan
sendiri tanpa kehadiran tokoh lain.
4. Latar atau Setting
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran
pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
14
Sri Widati Pradopo, dkk, op. cit., h. 84 15
Diah W indu Wulan, Aspek Keberagamaan Dengan Analisis Kata Hati Tokoh Utama
Dalam Novel Atheis Dan Novel Kubah Serta Implikasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA, h.
40
14
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.16
Setting adalah latar
peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa.17
Membaca sebuah novel kita akan bertemu dengan lokasi tertentu
seperti nama kota, desa, jalan, hotel, penginapan, kamar, dan lain-lain
tempat terjadinya peristiwa. Di samping itu, kita juga akan berurusan
dengan hubungan waktu seperti tahun, tanggal, pagi, siang, malam, pukul,
saat bulan purnama, saat hujan gerimis diawal bulan, atau kejadian yang
menyarankan pada waktu tipikal tertentu, dan sebagainya. 18
Secara terperinci bahwa latar suatu cerita mencakup hal-hal sebagai
berikut:19
a) Tempat, baik tempat di dalam rumah maupun di luar rumah yang
melingkupi pelaku atau tempat terjadinya peristiwa ataupun
keseluruhan cerita.
b) Lingkungan kehidupan yang berhubungan dengan tempat, seperti
lingkungan pekerjaan dan sebagainya.
c) Sistem kehidupan, seperti aturan-aturan dan tata cara yang mengatur
kehidupan suatu lingkungan tertentu.
d) Alat-alat atau benda-benda yang berhubungan dengan kehidupan atau
lingkungan hidup tertentu.
e) Waktu terjadinya peristiwa, seperti pagi, siang, sore, musim hujan,
musim panas, atau juga periode sejarah tertentu.
Kesimpulan dari keseluruhan kutipan-kutipan istilah latar atau setting
ini berkaitan dengan elemen-elemen yang memberikan kesan abstrak
tentang lingkungan, baik tempat maupun waktu, di mana para tokoh
menjalankan perannya. Latar ini biasanya diwujudkan dengan menciptakan
kondisi-kondisi yang melengkapi cerita. Baik dalam dimensi waktu maupun
tempatnya, suatu latar bisa diciptakan dari tempat dan waktu imajiner atau
pun faktual. Dan yang paling menentukan bagi keberhasilan suatu latar,
16
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 216. 17
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (SINAR BARU), h. 67 18
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 218. 19
Sri Widati, dkk, op. cit., h. 7.
15
selain deskripsinya, bagaimana novelis memadukan tokoh-tokohnya dengan
latar di mana mereka melakoni perannya.
5. Sudut Pandang
Dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, terdapat tiga sudut pandang
yakni sudut pandang persona ketiga “Dia”, sudut pandang persona pertama
“Aku”, dan sudut pandang campuran. Sudut pandang orang ketiga terbagi
menjadi dua, yaitu “Dia” mahatahu dan “Dia” terbatas (sebagai pengamat).
Sudut pandang orang pertama dibagi menjadi dua, yakni “Aku” tokoh utama
dan “Aku” tokoh tambahan.20
Siswanto menyatakan bahwa sudut pandang
adalah tempat sastrawan memandang ceritanya mengenai tokoh, peristiwa,
tempat, dan waktu dengan gayanya sendiri.21
Pusat pengisahan menerangkan “siapa yang bercerita”. Pusat
pengisahan ini penting untuk memperoleh gambaran tentang kesatuan cerita.
Dalam kesusastraan Indonesia, ada lima macam “pencerita”, yaitu: Pertama
tokoh utama menuturkan ceritanya sendiri, kedua tokoh bawahan
menuturkan cerita tokoh utama, ketiga pengarang sebagai pengamat
(menuturkan cerita dari luar sebagai seorang observer), keempat pengarang
analitik (menuturkan cerita tidak hanya sebagai seorang pengamat, tetapi
berusaha juga menyelam ke dalam), kelima campuran antara (1) dan (4),
yaitu cara melaksanakan cakapan batin. 22
Kesimpulan dari pendapat di atas sudut pandang adalah cara sebuah
cerita dikisahkan. Segala sesuatu yang diceritakan menjadi kebebasan
pengarang untuk berkreasi bahkan mampu memperlihatkan teknik
pengarang dalam menggagas sesuatu. Sudut pandang dapat diketahui
melalui unsur intrinsik lainnya, seperti percakapan antar tokoh, gerak-gerik
tokoh, alur dalam cerita tersebut, dan gaya bahasa yang digunakan
pengarang.
20
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 248. 21
Siswanto, op. cit., h. 151. 22
Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (UPI PRESS:
Bandung, 2006), h. 47.
16
6. Gaya Bahasa
Gaya adalah cara pengarang menggunakan bahasa.23
Aminuddin
menyatakan bahwa gaya bahasa mengandung pengertian keindahan dan
keharmonisan bahasa yang digunakan pengarang dalam menyampaikan
cerita sehingga mampu menuansakan makna, menyentuh daya intelektual,
dan mampu menggugah emosi pembaca.24
Semi menyatakan bahwa gaya
penceritaan adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa
yang menjadikan sastra hadir. Pada dasarnya karya sastra merupakan salah
satu kegiatan pengarang yang membahas atau menuturkan sesuatu kepada
orang lain.25
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa
secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai
bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur
berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik.26
Pada buku tentang
pengajaran gaya bahasa ini, ada beberapa jenis gaya bahasa, diantaranya:
majas hiperbola, personifikasi, dan klimaks. Majas hiperbola adalah sejenis
gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan
jumlahnya, ukurannya atau sifatnya dengan maksud memberi penekanan
pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan
dan pengaruhnya.27
Majas personifikasi ialah jenis majas yang melekatkan
sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak.28
Majas klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-
urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari
gagasan-gagasan sebelumnya.29
23
Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Yuma
Pustaka: Surakarta, 2010), Cet. 1, h. 20. 24
Aminuddin, op. cit., h. 72. 25
Atar Semi, Anatomi Sastra, (tt.p.: Angkasa Raya, t.t.), h. 47. 26
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Angkasa: Bandung, 2009), h. 5 27
Ibid., h. 55 28
Ibid., h. 17 29
Ibid., h. 79
17
Beberapa pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pengertian gaya bahasa atau majas adalah cara khas dalam menyatakan
pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan. Gaya bahasa
merupakan ciri khas si pengarang dalam menggunakan bahasa yang dipakai
pada sebuah karyanya untuk menyampaikan sebuah pesan kepada si
pembaca.
C. Pengertian Sosiologi Sastra
Wellek Warren mengungkapkan bahwa sastra adalah institusi sosial yang
memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisonal seperti simbolisme dan
matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi
pula sastra “menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari
kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif
manusia. Penyair adalah warga masyarakat yang memiliki status khusus.
Penelitian yang menyangkut sastra dan masyarakat biasanya terlalu sempit dan
menyentuh permasalahan dari luar sastra. Sastra dikaitkan dengan situasi tertentu,
atau dengan sistem politik, ekonomi, dan sosial tertentu. Penelitian dilakukan
untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan kedudukan sastra
dalam masyarakat. 30
Sosiologi adalah telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam
masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Dengan mempelajari
lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik,
dan lain-lain—yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial—kita
mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang
menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing.31
Sosiologi dan sastra memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam
masyarakat. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan
30
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (PT Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta, 1993), h. 109 31
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, (PPPB
Depdikbud: Jakarta, 1978), h. 6
18
menghasilkan kebudayaan. Masyarakat juga merupakan kumpulan individu yang
tinggal pada suatu wilayah. Sastra adalah lembaga sosial yang menampilkan
gambaran kehidupan yang mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmanusia,
dan antarperistiwa yang terjadi di dalam batin seseorang. Selain itu pendekatan
sosiologi ini pengertiannya mencakup berbagai pendekatan, masing-masing
didasarkan pada sikap dan pandangan teoritis tertentu, namun semua pendekatan
ini menunjukkan satu ciri kesamaan, yaitu mempunyai perhatian terhadap sastra
sebagai institusi sosial yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota
masyarakat.
Menurut Silbermann ada lima penelitian sosiologi sastra, yaitu: (a)
Penelitian tentang pengaruh seni terhadap kehidupan seorang manusia, (b)
Penelitian tentang perkembangan dan kepelbagaian sikap dan obyek sosial melalui
seni, (c) Penelitian tentang pengaruh dari seni terhadap pembentukan kelompok,
konflik-konflik di dalamnya dan sebagainya, (d) Penelitian tentang pembentukan
pertumbuhan dan hilangnya lembaga artistik sosial, (e) Penelitian tentang faktor-
faktor dan bentuk-bentuk tipikal dari organisasi sosial yang mempengaruhi seni.32
Pendekatan terhadap sastra mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan
oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Sejauh mana sastra dianggap
sebagai mencerminkan keadaan masyarakat. Dalam hubungan ini terutama harus
mendapat perhatian adalah sifat seorang pengarang atau sastrawan sering
mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya,
sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya
mungkin sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang
sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti
barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan
masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus mempertimbangkan apabila sastra
akan dinilai sebagai cermin masyarakat.33
Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Istilah itu pada
32
Umar Junus, Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar, (PT Gramedia: Jakarta, 1985), h. 84 33
Jabrohim, Teori penelitian Sastra, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2012), h. 219
19
dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis
atau pendekatan struktural terhadap sastra. Sosiologi sastra dalam pengertian ini
mencakup berbagai pendekatan, masing-masing didasarkan pada sikap dan
pandangan teoritis tertentu.34
Karya sastra diciptakan oleh seorang pengarang untuk dinikmati, dipahami
dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengarang adalah anggota masyarakat yang
terikat dengan status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang
menggunakan bahasa sebagai medium (alat): bahasa itu sendiri merupakan ciptaan
sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan itu sendiri sebagai suatu
kenyataan sosial. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa sastra adalah lembaga
sosial karena sastra menampilkan gambaran kehidupan.
Beberapa uraian di atas dapat disimpulkan masalah sosiologi sastra ada
tiga hal yaitu:
1. Pengarang atau pencipta karya sastra dengan latar belakang kehidupannya
dihubungkan dengan karya sastra yang dihasilkannya,
2. Karya sastra sebagai cermin masyarakat tempat karya sastra tersebut
dihasilkan, jadi sebagai dokumen sosiobudaya,
3. Pembaca karya sastra, bagaimana pengaruh sebuah karya terhadap
masyarakat pembacanya.
Pernyataan di atas sebenarnya juga menyiratkan bahwa seorang penyair
pada hakikatnya adalah seorang anggota masyarakat. Oleh karena itu ia terikat
oleh status sosial tertentu. Itulah sebabnya sastra dapat dipandang sebagai institusi
sosial yang menggunakan sarana bahasa. Bahasa itu sendiri merupakan produk
sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah
suatu kenyataan sosial. Dari pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan
antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang termasuk penyair dengan
antarmasyarakat, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang.
34
Ibid., h. 217
20
D. Nilai Sosial dalam Karya Sastra
Nilai sosial yaitu nilai-nilai yang terkait dengan norma atau aturan dalam
kehidupan bermasyarakat dan berhubungan dengan orang lain misalnya, saling
memberi tenggang rasa saling menghormati pendapat orang lain.
1. Hakikat Nilai
Nilai merupakan satu prinsip umum yang menyediakan anggota
masyarakat dengan satu ukuran atau standar untuk membuat penilaian dan
pemilihan mengenai tindakan dan cita-cita tertentu. Nilai adalah konsep,
suatu pembentukan mental yang dirumuskan dari tingkah laku manusia.
Nilai adalah persepsi yang sangat penting, baik dan dihargai.35
Kata nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga
mempunyai arti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan. Kata nilai diartikan sebagai harga, kadar, mutu, kualitas
untuk mempunyai nilai.
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas,
dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga
atau berguna bagi kehidupan manusia. Nilai sebagai kualitas yang
independen akan memiliki ketetapan yaitu tidak berubah yang terjadi pada
objek yang dikenai nilai. Persahabatan sebagai nilai (positif/ baik) tidak
akan berubah esensinya manakala ada pengkhianatan antara dua yang
bersahabat. Artinya nilai adalah suatu ketetapan yang ada bagaimanapun
keadaan di sekitarnya berlangsung.
Penilaian dalam telaah sastra adalah penilaian yang didasarkan kriteria
yang ada dan pembahasannya tidak dilandasi sikap apriori.36
Dengan
demikian, hasil yang diberikan adalah hasil yang obyektif. Penilaian yang
obyektif terhadap karya sastra itulah yang akan memacu pengarang untuk
meningkatkan mutu karya sekaligus menumbuhkan kretivitasnya.
35
Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter, (LaksBang
PRESSindo: Yogyakarta, 2011), h. xiv 36
Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Muhammadiyah University Press: Surakarta,
2001), h. 70
21
Kesimpulan dari pendapat diatas, nilai merupakan sesuatu yang
dianggap berharga, dipergunakan sebagai landasan, pedoman atau
pegangan seseorang dalam menjalankan sesuatu sebagai pengukuran
terhadap apa yang telah dikerjakan atau diusahakan. Sesuatu yang bernilai
berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia.
2. Hakikat Sosial
Sepanjang hayat masih di kandung badan, kita tidak akan lepas dari
masyarakat, mencari nafkah, serta menerima pengaruh dari lingkungan
sosial yang disebut masyarakat.37
Setiap orang ada dalam konteks sosial
yang disebut masyarakat, ia akan mengenal orang lain, dan paling utama
mengenal diri sendiri selaku anggota masyarakat.
Menurut Paul Ernest bahwa sosial lebih dari sekedar jumlah manusia
secara individu karena mereka terlibat dalam berbagai kegiatan bersama.
Sedangkan, menurut Peter Herman Sosial adalah sesuatu yang dipahami
sebagai suatu perbedaan namun tetap merupakan sebagai satu kesatuan.38
Kata sosialisasi berasal dari kata sosial. Kata “sosial” digunakan
untuk menunjukan sifat dari makhluk yang bernama manusia. Sehinga
munculah ungkapan “manusia adalah makhluq sosial”. Ungkapan ini
berarti bahwa mnusia harus hidup berkelompok atau bermasyarakat.
Mereka tidak dapat hidup dengan baik kalau tidak berada dalam kelompok
atau masyarakat.39
Dengan kata lain untuk hidup secara memadai dia harus
berhubungan dengan orang lain. Masing-masing manusia (orang) saling
membutuhkan pertolongan sesamanya.
Kesimpulan dari beberapa bendapat di atas, bahwa kata “sosial” tidak
lepas dengan manusia dalam arti individu dan masyarakat dalam arti
kelompok. Hidup dalam masyarakat yang bersosialisasi, mereka saling
37
Nursid Sumaatmadja, Manusia Dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan Hidup,
(IKAPI: Bandung, 1996), h. 39 38
Carapedia, Pengertian dan Definisi Sosial Menurut Para Ahli, 2013, (http://Pengertian
dan Definisi Sosial Menurut Para Ahli - Ilmu Pengetahuan - CARApedia.htm), diakses pada 19
September 2013. 39
“Pengertian Sosial”, 2013, (http://SOSIAL pengertian sosial.htm), diakses pada 19
September 2013.
22
membutuhkan satu sama lainnya. Manusia tidak akan bisa hidup sendiri,
karena mereka saling membutuhkan pertolongan dengan masyarakat
lainnya.
3. Hakikat Nilai Sosial
Nilai sosial lebih ditekankan sebagai petunjuk arah demi tercapainya
tujuan sosial masyarakat. Menurut Huky dalam Abdulsyani, ada beberapa
fungsi umum nilai-nilai sosial, yaitu, pertama nilai sosial menyumbangkan
seperangkat alat yang siap dipakai untuk menetapkan patokan sosial
pribadi, grup atau kelompok. Kedua nilai sosial bisa mengarahkan atau
membentuk cara berpikir dan bertingkah laku. Ketiga nilai sosial sebagai
patokan bagi manusia dalam memenuhi peranan sosialnya. Keempat nilai
sosial juga berfungsi sebagai pengawasan sosial, mendorong, menuntun,
bahkan menekan manusia untuk berbuat baik. Kelima Nilai sosial
berfungsi sebagai sikap solidaritas dikalangan masyarakat.40
Goldmann mendefenisikan novel sebagai cerita tentang suatu
pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan
oleh seorang hero yang problematik dalam sebuah dunia yang juga
terdegradasi.41
Dapat diartikan bahwa maksud dari nilai-nilai yang otentik
itu adalah totalitas kehidupan.
Nilai yang diacu dalam sastra adalah kebaikan yang ada dalam makna
karya sastra bagi kehidupan seseorang. Hal ini berarti bahwa dengan
adanya berbagai wawasan yang dikandung dalam karya sastra khususnya
novel akan mengandung berbagai macam nilai kehidupan yang akan
sangat bermanfaat bagi pembaca. Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh
masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap
buruk oleh masyarakat.
40
Wahyu Saputra, “ Nilai-Nilai Sosial Dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya
Pramoedya Ananta Toer”, Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FBS Universitas Negeri Padang, Padang, 2012, h. 410, tidak dipublikasikan. 41
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-
modernisme, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2012), h. 91
23
Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas, dalam sebuah karya sastra
pasti terkandung nilai-nilai kehidupan yang berlaku pada masyarakat di
mana karya sastra tersebut diciptakan. Nilai-nilai tersebut menggambarkan
norma, tradisi, aturan, dan kepercayaan yang dianut atau dilakukan pada
suatu masyarakat. Nilai-nilai sosial mengacu pada hubungan individu
dengan individu yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana
seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah,
dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial. Dalam
masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian
diri adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan
masyarakat.
4. Macam-Macam Nilai Sosial
Ada beberapa macam nilai sosial dalam masyarakat yang berfungsi
sebagai sarana pengendalian dalam kehidupan bersama. Nilai tersebut
sebagai nilai yang bersifat umum berlaku pada semua masyarakat. Adapun
nilai sosial yang dimaksud, diantaranya:
a. Agama
Nilai sosial yang terkait dengan agama adalah tindakan-
tindakan sosial yang terkait dengan tuntunan ajaran agama yang
ada. Apakah seseorang menjalankan kewajiban agama secara benar
dan baik ataukah ia tidak menjalan kewajiban keagamaannya
secara baik.
b. Musyawarah
Musyawarah adalah proses pembahasan suatu persoalan
dengan maksud mencapai keputusan bersama. Mufakat adalah
kesepakatan yang dihasilkan setelah melakukan proses
pembahasan dan perundingan bersama. Jadi musyawarah mufakat
24
merupakan proses membahas persoalan secara bersama demi
mencapai kesepakatan bersama.42
c. Gotong-royong
Gotong royong dapat diartikan sebagai aktivitas sosial,
namun yang paling penting dalam memaknainya adalah
menjadikannya filosofi dalam hidup yang menjadikan kehidupan
bersama sebagai aspek yang paling penting.43
d. Tolong-menolong
Tolong menolong merupakan kewajiban bagi setiap manusia,
dengan tolong menolong dapat membantu orang lain dan jika kita
perlu bantuan tentunya orangpun akan menolong. Dengan tolong
menolong dapat membina hubungan baik dengan semua orang.
Tolong menolong dapat memupuk rasa kasih sayang
antar tetangga, antar teman, antar rekan kerja. Singkat kata tolong
menolong adalah sifat hidup bagi setiap orang.
e. Saling memaafkan
Memohon dan memberi maaf dengan tulus sejatinya
memiliki makna yang dalam, dengan saling memaafkan maka tidak
ada lagi rasa dendam, sakit hati, marah dan sebagainya, yang ada
adalah rasa suka cita penuh kebahagiaan dalam ketulusan cinta
kasih, tidak ada lagi batas pemisah semua menyatu sebagai sesama
manusia ciptaan Tuhan.
f. Kasih sayang
Rasa kasih sayang adalah rasa yang timbul dalam diri hati
yang tulus untuk mencintai, menyayangi, serta memberikan
kebahagian kepada orang lain , atau siapapun yang dicintainya.
Kasih sayang diungkapkan bukan hanya kepada kekasih tetapi
42
Anonim, “musyawarah” di dalam http://cindycindyaritonang. Blogspot. com/2012/01/
pengertian - musyawarah.html (diunduh pada Minggu, 29 Juni 2014 pkl 20:00 WIB) 43
Anonim, “Gotong-royong” di dalam http://karakter0809.weebly.com/makna-gotong-
royong.html (diunduh pada Minggu, 29 Juni 2014 pkl 20:00 WIB)
25
kasih kepada Allah, orang tua, keluarga, teman, serta makhluk lain
yang hidup dibumi ini.44
g. Tanggung Jawab
Tanggung jawab dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
keadaan dimana wajib menanggung segala sesuatu, sehingga
berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala
sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.
E. Hakikat Pembelajaran Sastra
Pembelajaran sastra merupakan bagian dari pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia yang diberikan di sekolah formal.
“Belajar sastra pada dasarnya adalah belajar bahasa dalam praktek”. Belajar
sastra harus selalu berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya
merupakan kumpulan kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis, dan
diintegrasikan.45
Sebagai sarana pendidikan, sastra memberi pelajaran tentang arti
hidup bagi diri sendiri dan orang lain (humanitas). Sastra sebagai sarana
pendidikan informal memberikan pengayaan tentang bagaimana memanfaatkan
hidup tanpa menyia-nyiakannya.46
Sastra memperkaya kehidupan dan pengalaman
kita di dalam usaha hidup bermasyarakat dalam hubungan sosial dengan orang
lain dari berbagai tingkat dan status. Sastra bisa menjadi sarana pendidikan
informal jika kita menganggapnya serius, bukan sekedar sarana pengisi waktu
luang tetapi sarana pendidikan yang membawa melihat jauh ke masa depan.
Sastra mampu memberikan manfaat lebih ketika kita mampu dari sekedar
menjadi pembaca. Pembelajaran sastra akan memberikan dasar atau kriteria untuk
dijadikan pegangan penilaian, di samping uraian-uraian mengenai nilai dalam
karya yang sedang ditelaah.
Dalam pembelajaran sastra, guru harus memperhatikan prinsip pembelajaran
sastra. Mengenai hal ini dalam bukunya Djago Tarigan mengungkapkan: pertama
44
Anonim, “Kasih sayang” di dalam http://bima-san.blogspot.com/2013/10/pengertian-
kasih-sayang.html (diunduh pada Minggu, 29 Juni 2014 pkl 21:00 WIB) 45
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Kanisius: Yogyakarta, 1988), h. 38 46
Nico A. Likumahua, Sastra Suatu Sarana Pendidikan Informal, (WS Press: Salatiga,
2001), h. 9
26
pembelajaran apresiasi sastra berfungsi meningkatkan kepekaan rasa pada budaya
bangsa, khususnya bidang kesenian. Kedua pembelajaran apresiasi sastra
memberikan kepuasan batin dan pengayaan pada karya estesis melalui bahasa.
Ketiga Pembelajaran apreasiasi sastra bukan pengajaran tentang sejarah, aliran,
dan teori tentang sastra. keempat Pembelajaran apresiasi sastra adalah
pembelajaran untuk memahami nilai kemanusiaan dari karya sastra tersebut.47
Pembelajaran sastra tidak hanya menggali unsur-unsur intrinsik atau
ekstrinsik saja tapi juga dapat digali berbagai pelajaran hidup dari karya sastra
yang disampaikan pengarang melalui caranya yang khas. Cara penyampaian inilah
yang membuat pengarang berbeda dengan penceramah. Konsekuensi model
pembelajaran seperti itu, menuntut guru pandai melakukan pilihan atas karya-
karya yang baik dan bermutu. Oleh karena itu, setiap guru atau calon guru bahasa
dan sastra Indonesia wajib menyukai sastra dan membaca banyak karya sastra.
Dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran sastra adalah untuk
mengapresiasikan karya sastra dan memanfaatkan nilai-nilai yang terkandung di
dalam karya sastra tersebut.
F. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan ini disebut juga sebagai tinjauan pustaka. Tinjauan
pustaka berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang penelitian sebelumnya
yang telah dilakukan. Kajian terhadap hasil penelitian sebelumnya ini hanya akan
dipaparkan beberapa penelitian sejenis yang berkaitan dengan permasalahan nilai-
nilai sosial.
“Gaya Bahasa Kias dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari” oleh Verri
Yuliyanto, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas
Negeri Malang 2012. Tujuan kajian ini mendeskripsikan jenis dan ciri gaya
bahasa kias yang digunakan pada novel Kubah karya Ahmad Tohari dan
mendeskripsikan kekuatan gaya bahasa kias dalam membangun tokoh, watak,
penokohan, latar, dan amanat pada novel Kubah karya Ahmad Tohari. Kajian ini
47
Diah W indu Wulan, op. cit., h. 42.
27
menghasilkan 12 jenis dan ciri gaya bahasa kias yang terdapat dalam novel Kubah
karya Ahmad Tohari.48
Selanjutnya, tesis berjudul “Analisis Struktur dan Religiusitas dalam Novel
Kubah Karya Ahmad Tohari” oleh Shinta Dewi, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya
2011. Tesis dengan judul ”Analisis Struktur dan Religiusitas dalam Novel Kubah
Karya Ahmad Tohari” berisi analisis tentang unsur intrinsik yang membangun
jalannya cerita, serta analisis tentang religiusitas yang terkandung di dalamnya.
Sebelum melakukan analisis terhadap religiusitas, terlebih dahulu penulis
menganalisis unsur intrinsik berupa tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran,
latar dan pelataran, serta tema dan amanat pada novel Kubah dengan
menggunakan metode struktural. Untuk melakukan analisis terhadap religiusitas
dalam novel Kubah, penulis tidak menggunakan metode khusus. Hanya dengan
pemahaman mendalam tentang analisis unsur intrinsik yang telah dilakukan. Hasil
analisis novel Kubah yang penulis dapatkan adalah novel Kubah sarat dengan
ajaran agama Islam, baik ajaran tentang ketakwaan ataupun keimanan. Selain itu
novel Kubah juga mengajarkan betapa pentingnya saling memaafkan terhadap
kesalahan orang lain agar tercipta rasa solidaritas yang tinggi. Seperti halnya sikap
pemaaf warga masyarakat Pegaten ketika menerima kehadiran Karman dari
pengasingan. Masyarakat Pegaten sama sekali tidak menyimpan rasa dendam
terhadap Karman dan kesalahannya pada masa lalu.49
Selanjutnya, skripsi berjudul “Analisis Pesan Moral dalam Novel Kubah
karya Ahmad Tohari dan Aspek Pembelajarannya di SMP” oleh Sri Budi,
mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas
Pancasakti Tegal 2011. Penelitian ini akan membahas pesan moral yang terdapat
dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari, dengan rumusan masalah; Bagaimana
pesan moral yang terkandung dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari?
Tujuannya Mendeskripsikan pesan moral yang terkandung dalam novel Kubah
48
Verri Yuliyanto, Gaya Bahasa Kias Dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari, Skripsi
pada Universitas Negeri Malang, Malang, 2012, tidak dipublikasikan. 49
Shinta Dewi, ANALISIS STRUKTUR DAN RELIGIUSITAS DALAM NOVEL KUBAH
KARYA AHMAD TOHARI, pada tesis Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang,
2011, tidak dipublikasikan.
28
karya Ahmad Tohari, dengan metode yang dipakai adalah penelitian kualitatif.
Penelitian sastra dengan pendekatan struktural semiotik sesungguhnya
dikarenakan bahwa karya sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bemakna
tanpa memperhatikan struktur karya sastra atau novel, tanda maka sulit dimengerti
maknanya secara optimal. Berdasarkan analisis yang penulis lakukan, pesan moral
dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari tidak lepas dari telaah heuristik untuk
analisis awal dan dengan analisis hermeneutik untuk analisis lanjutan.50
Selanjutnya, tesis berjudul “Aspek Kejiwaan dan Nilai Pendidikan dalam
Novel Kubah Karya Ahmad Tohari (Pendekatan Psikologi Sastra dan Nilai
Pendidikan)” oleh M. Riyanton, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Solo, 2013. Penelitian
ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan proses kreatif penulisan novel Kubah (2)
mendeskripsikan struktur novel Kubah karya Ahmad Tohari, meliputi: tema,
penokohan dan perwatakan, latar, alur (3) mendeskripsikan aspek kejiwaan yang
terkandung dalam novel Kubah (4) mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan yang
terkandung dalam novel Kubah. Bentuk penelitian ini adalah kualitatif deskriptif
dengan menggunakan metode content analysis.Sumber data penelitian ini adalah:
(1) teks, yaitu novel Kubah (2) informan, yaitu Ahmad Tohari pengarang novel
Kubah, (3) buku-buku referensi yang relevan. Penelitian ini mendapatkan
simpulan bahwa (1) latar belakang pengarang dalam penciptaan novel sangat
menentukan hasil karyanya dalam hal ini keadaan sekitar yang mempengaruhi
proses kreatif novel Kubah (2) struktur meliputi tema, penokohan dan perwatakan,
latar, alur (3) aspek kejiwaan, meliputi: perasaan dan emosi, konflik, persepsi,
sikap, dan respons (3) Nilai-nilai pendidikan dalam novel Kubah adalah
pendidikan agama, moral, dan sosial budaya.51
Penelitian sebelumnya membicarakan tentang analisis unsur intrinsik
secara umum maupun secara khusus serta nilai yang terkandung dalam novel
50
Sri Budi, Analisis Pesan Moral dalam Novel Kubah karya Ahmad Tohari dan Aspek
Pembelajarannya di SMP, pada skripsi Universitas Pancasakti Tegal , Tegal, 2011, tidak
dipublikasikan. 51
M. Riyanto, Aspek Kejiwaan dan Nilai Pendidikan dalam Novel Kubah Karya Ahmad
Tohari (Pendekatan Psikologi Sastra dan Nilai Pendidikan), 2013 (http://Program Pascasarjana
UNS Solo.htm)
29
Kubah terutama nilai pendidikan, nilai religius, dan aspek kejiwaan dalam novel
Kubah. Sedangkan, penelitian saya ini mengangkat nilai sosial yang terkandung
dalam novel Kubah melalui pendekatan Sosiologi Sastra.
30
BAB III
PROFIL AHMAD TOHARI
A. Biografi Ahmad Tohari
Ahmad Tohari lahir di Desa Tinggarjaya Kecamatan Jatilawang Kabupaten
Banyumas, Jawa Tengah, pada 13 Juni 1948. Ia terlahir dari kalangan keluarga
yang beragama Islam. Setelah tamat SMA tahun 1967, ia meneruskan kuliah di
Fakultas Kedokteran Yarsi Jakarta. Kemudian, tahun 1970 ia menikah dan bekerja
di BNI 46 Jakarta, kemudian pindah ke surat kabar harian merdeka, dan timbul
perasaan jemu, maka kembalilah ia ke Banyumas mengikuti kuliah di Fakultas
Ekonomi UNSUD Purwokerto, lantas pindah lagi ke Fakultas Sospol. Akan tetapi,
ia merasa bosan juga dan akhirnya keluar, kemudian ia memilih mengasuh sebuah
pesantren di Tinggarjaya, dan kini pindah lagi ke Jakarta, turut mengasuh majalah
amanah.1 Ia pun pernah mengikuti International Writing Progam di Iowa City,
Amerika Serikat (1990).2
Ahmad Tohari merasa bahagia, dua buah karyanya yang berjudul Kubah
dan Ronggeng Dukuh Paruk mendapat tawaran dari Mr. Juji Imura, untuk
diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Juji Imura adalah direktur Imura Cultural
Interprice, sebuah badan penerbitan yang berdomisili di Tokyo Jepang. Sebelum
tawaran itu datang, novel Ronggeng Dukuh Paruk pernah diresensi oleh sebuah
majalah Belanda. Resensi itu ditulis oleh H. I. Maier yakni salah seorang
pengamat sastra Indonesia di Negara Kincir Angin menyimpulkan Ronggeng
Dukuh Paruk adalah novel yang bertema manusiawi dan universal. Kemungkinan
alasan seperti itulah yang mendorong orang Jepang untuk menerjemahkan
karyanya. Novel Kubah diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1981, oleh PT.
Dunia Pustaka Jaya, dan pada tahun itu juga buku ini terpilih sebagai novel
terbaik oleh Yayasan Buku Utama.3
1 Anonim, Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk, (Eksponen: Jakarta, 1986), h. 8
2 Yudiono K. S, op, cit., h. 1—2
3 Anonim, Ahmad Tohar, (Mutiara: Jakarta, 1985), h. 34
31
Dick Hartoko mengatakan, bahwa Ahmad Tohari memiliki tiga ciri:
pertama, dia orang Jawa, selain itu ia merupakan sastrawan santri. Kedua, dia
amat dekat dengan alam desa, dan lahir dari pengamatan dan pengalaman
sekelilingnya. Ketiga, alam baginya merupakan guru yang arif dan bijaksana.4
Ahmad Tohari sebagai sastrawan santri, memang teramat setia pada
dunianya. Meski sudah bekerja cukup mapan sebagai redaktur di majalah Amanah
Jakarta, tetapi pada 1992 ia tinggalkan. Ia kembali ke kampung desa Tinggarjaya,
Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, semata-mata supaya bisa secara total
menulis.5
Proses menulis Ahmad Tohari adalah sebuah ketidaksengajaan. Ahmad
Tohari mengatakan bahwa terpeleset menjadi seorang penulis, karena ia kehabisan
biaya untuk melanjutkan kuliahnya di Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi,
Jakarta. Tak lebih dua tahun sejak 1968 hingga 1970 ia merangkai keinginan
menjadi seorang dokter, akan tetapi kendala ekonomi tak mewujudkan keinginan
itu. Pada saat dalam keterdesakan ekonomi itu Ahmad Tohari sadar bila ia
memiliki kemampuan menulis yang kelak bisa menjadi tumpuan hidupnya, maka
mulailah merangkai berbagai tulisan berbentuk cerita pendek dan esai. Semua
tulisan yang lahir dari tangannya, ia selalu menyisakan jejak. Ia selalu
menyisipkan sebuah renungan moral untuk pembacanya.6
Sastrawan kelahiran 13 Juni 1948 ini, telah memilih kampung
(kelahirannya) sebagai tempat menciptakan karya-karyanya. Ia memang selalu
saja merasa sulit untuk menulis karya-karya kreatif dengan suasana kota. Maka,
tidak mengherankan kalau hampir semua novel-novelnya berbicara tentang desa
dan tentang orang-orang yang seperti belum terjamah modernisme. Kekuatan
karya-karyanya ialah tentang deskripsi latar (pedesaan) tempat bermain tokoh-
tokohnya.7
4 Anonim, Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk, (Eksponen: Jakarta, 1986), h. 8
5 Anonim, Sang ‘Punokawan’ yang Holistik dari Tinggarjaya, (Media Indonesia: Jakarta,
1994), h. 4. 6 Anonim, “Ahmad Tohari Menatap Kota dengan Kacamata Wong Cilik”, (Mingguan
Koran Tempo: Jakarta, 2002), h. 8 7 Ibid., h. 8.
32
Ahmad Tohari tidak dikenal sebagai pengarang yang karya-karyanya
sudah mendunia, tetapi tetap saja dikenal sebagai seorang santri atau wartawan
dengan kehidupan sehari-hari yang sederhana. Ternyata pandangan masyarakat
seperti itu justru menguntungkan keberadaan dirinya, sebab kehidupan sehari-hari
menjadi tetap lugas dan berjalan sebagaimana adanya, meskipun kadang-kadang
dirasakan menghambat kesempatannya mengarang. Hambatan non teknis itu
berkaitan dengan kesibukannya sebagai seorang warga masyarakat yang tidak
terlepas dari kewajiban-kewajiban sosial. 8 Ahmad Tohari menikah 1970 dengan
gadis idamannya Siti Syamsiah. Dia sekarang dikarunia lima orang anak dari hasil
perkawinannya itu. Selain menulis novel dan cerpen, Ahmad Tohari juga menulis
kolom tetap di majalah Panji Masyarakat Jakarta.
Nama Ahmad Tohari dalam peta sastra Indonesia modern bukan lagi
sebuah nama yang asing dan baru. Bahkan, ia seakan telah menjadi “cap”
tersendiri bagi tema-tema yang berlatar pedesaan serta segala kompleksitas
sosialnya.9 “Kalem dan bersahaja”, seperti kalimat-kalimat pendek dalam karya-
karyanya adalah cermin diri Ahmad Tohari. Ia orang yang tidak munafik. Kendati
dididik dalam lingkungan Islam yang ketat, ayahnya seorang kyai, ayah lima anak
itu kenal betul kehidupan ronggeng yang bisa dikatakan menganut paham seks
bebas, namun, yang menurun kepada dirinya adalah keronggengannya.10
Sebagai pengarang berlatar Jawa, dengan pemahaman dan penghayatannya
sebagai bagian dari kesadarannya. Kenyataan seperti ini sama dengan apa yang
dialami YB Mangunwijaya, Umar Kayam, dan Linus Suryadi Ag. yang hidup
dalam konteks budaya yang sama dipahami dan dihayatinya. Ahmad Tohari
mengatakan bahwa Jawa sebagai subsistem budaya nasional, relatif lebih kaya
dan mapan dibandingkan dengan sub budaya lainnya.11
1. Karya Ahmad Tohari
Berikut ini merupakan karya-karya Ahmad Tohari:
8 Yudiono K. S, op. cit., h. 8
9 Syahrial, Resensi Potret-Potret Ahmad, (Jakarta, 1989), h. 17
10 Anonim, Ahmad Tohari: Memangku Ronggeng, (Majalah Editor: jakarta, 1989).
11 Anonim, Gugatan Gaya Jawa Lebih Arif untuk Zaman Sekarang, (Suara Pembaruan:
Jakarta, 1988), h. 8.
33
a. Novel-novel berwarna geger polotik 1965 (Ronggeng Dukuh Paruk,
Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala, Kubah, Lingkar Tanah
Lingkar Air),
b. Novel-novel berwarna korupsi sebagai dampak pembangunan (Di Kaki
Bukit Cibalak, Berkisar Merah, Belantik, Orang-Orang Proyek), dan
c. Cerpen-cerpen berwarna pelangi kehidupan sosial yang terkumpul dalam
Senyum Karyamin dan Nyanyian Malam.12
2. Penghargaan yang Pernah Diraih
Berikut ini merupakan beberapa karya Ahmad Tohari yang telah
mendapat penghargaan:
a. Karya-karya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa lain yaitu
Ronggeng Dukuh Paruk dan Kubah akan diterbitkan dalam bahasa
Jepang oleh Imura Cultural Co. Ltd, Tokyo, Jepang.
b. Karya-karya yang pernah disiarkan melalui radio dan televisi yaitu
Ronggeng Dukuh Paruk yang difilmkan oleh PT Gramedia dengan judul
Darah Mahkota Ronggeng, 1983.
c. Hadiah harapan Sayembara Cerpen Xincir Emas Radio Nederland, untuk
cerpen Jasa-jasa Buat Sanwirya, 1977.
d. Hadiah harapan lomba novel DKJ, untuk novel Di Kaki Bukit Cibalak.13
e. Pada tahun 1995 menerima Hadiah Sastra ASEAN.14
B. Data Novel Kubah
Kubah adalah salah satu novel karya Ahmad Tohari yang diterbitkan
pertama kali oleh Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, tahun 1981.15
Novel ini pernah
mendapatkan penghargaan dari Yayasan Buku Utama tahun 1981, serta telah
diterbitkan dalam edisi bahasa Jepang. Novel Kubah diterbitkan oleh Gramedia
Pustaka Utama di Jakarta bulan Juni 1995 berisi 192 halaman. Kemudian novel
12
Yudiono K.S., op. cit., h. 176 13
Anonim, Achmad Tohari Novelis dari Desa Tinggarjaya, (Yudha Minggu: Jakarta,
1984), h. 4. 14
Yudiono K. S., op. cit., h. 2. 15
Hasanuddin WS, op. cit., h. 525.
34
ini mengalami cetak ulang pada tahun 2001 diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka
Utama berukuran 11 x 18 cm dengan ketebalan 190 halaman.16
Novel ini menceritakan seorang pemuda yang bergaul dengan orang-
orang PKI, sehingga dia terhasut PKI. Latar tempat cerita ini tidak begitu jelas,
namun terjadi di Indonesia pada masa pergolakan paham komunis pada tahun
1960-an. Tetapi dari nama-nama tokoh dalam novel ini diperkirakan latar tempat
novel ini adalah suatu tempat di Jawa.
Novel Kubah memiliki alur sorot balik atau flash back. Ceritanya diawali
konflik batin Karman yang sudah meninggi, yakni bebasnya Karman dari penjara
Pulau B. Kemudian, diceritakan dengan runtut progesif-kronologis. Dalam novel
Kubah teknik pembalikan cerita dilakukan Karman dengan cara tokoh
merenungkan kembali masa lalunya.
C. Sinopsis Novel Kubah
Karman yang lahir di Desa Pegaten tahun 1935, sejak usia 12 tahun sudah
ditinggal ayahnya, Pak Mantri. Mulai saat itulah, ia bersama ibu dan adik
perempuan satu-satunya hidup dalam keadaan sengsara. Sebenarnya, Pak Mantri
sendiri termasuk seorang Priyayi. Hanya ketika pada zaman Jepang, banyak orang
kelaparan dan cuma makan ubi atau bongkol pisang, Pak Mantri merasa tidak
layak menerima nasib seperti itu. Ia lebih suka menukar sawahnya dengan padi
Haji Bakir, Hingga sawah Pak Mantri tak tersisa.
Memasuki zaman perang kemerdekaan, sikap kepriyayian Pak Mantri
tetap tak berubah. Maka ia memilih jadi recomba daripada ikut perang Gerilya. Di
luar dugaan, ia malah ditangkap para pemuda pejuang. Bagi Karman, inilah awal
kehidupan yang penuh derita. Ia mulai ikut membantu ibunya mencari singkong
atau ubi, hanya agar keluarganya dapat mengisi perut.
Melihat kehidupan Karman ini, Haji Bakir merasa kasihan. Karena
pemuda itu sangat rajin dan jujur, taat beragama, dan saleh, haji Bakir dan istrinya
sangat menyayanginya dan menganggapnya seperti anak mereka sendiri. Bahkan,
mereka myekolahkan Karman di sekolah rakyat.
16
Yudiono K. S, op. cit., h. 53
35
Setamat dari sekolah rendah, Karman melanjutkan sekolahnya ke SMP
atas biaya pamannya. Hasyim seorang mantan tentara Hisbullah. Namun, setamat
dari SMP, ia tidak melanjutkan sekolahnya karena tidak mempunyai biaya. Sejak
saat itu, dia hanya menganggur saja. Dalam keadaan menganggur itulah ia
bertemu dengan Triman, seorang kader PKI yang menawarkan pekerjaan
kepadanya.
Pada suatu hari Karman bermaksud melamar Rifah. Namun, lamarannya
ditolak oleh haji Bakir. Sebenarnya, penolakan lamaran Karman bukan karena haji
Bakir membenci pemuda itu, melainkan karena Rifah telah dilamar oleh Abdul
Rahman, seorang saudagar mutiara dari Pakistan. Karman merasa kecewa karena
lamarannya ditolak. Berkat hasutan Triman dan Margo, pemuda itu menjadi benci
terhadap keluarga haji Bakir.
Setelah penolakan itu, Karman menjadi frustasi. Dalam keadaan demikian,
Triman dan Margo dengan mudah dapat memasukkan ajaran-ajaran komunis pada
dirinya. Hubungannya dengan orang-orang PKI semakin akrab. Akibat
keakrabannya dengan orang-orang PKI, Karman mulai dijauhi oleh orang-orang
yang sebelumnya mencintainya. Haji Bakir pun mulai menjauhinya karena ia
sangat anti terhadap PKI. Itulah sebabnya, ketika Karman melamar Rifah untuk
kedua kalinya, setelah suami Rifah meninggal dunia akibat kecelakaan, Haji Bakir
menolaknya. Orang tua itu menolak lamaran Karman karena ia membenci tingkah
lakunya yang telah berubah dari pemuda yang sopan santun dan taat beragama,
menjadi orang yang meninggalkan ajaran agama, angkuh, dan sombong. Ia tidak
ingin melihat anaknya menikah dengan orang yang berpaham komunis.
Ketika ia bertemu dengan Marni, seorang gadis yang sangat mirip dengan
Rifah, sikap Karman berbalik. Hubungan keduanya semakin akrab dan akhirnya
mereka memutuskan untuk menikah. Dari pernikahan mereka, lahir anak
perempuan bernama Tini. Kebahagiaan rumah tangga Karman tidak berlangsung
lama. Akibat kegagalan Partindo dalam mendukung usaha PKI untuk mengambil
alih kekuasaan negara, Karman dikejar-kejar pemerintah. Beberapa temannya,
seperti Triman dan Margo ditangkap dan dihukum mati. Karman berhasil
melarikan diri, namun tak lama kemudian, ia pun tertangkap. Ia tidak dihukum
36
mati, melainkan diasingkan disebuah penjara terpencil di Pulau Buru. Selama
menjalani hukuman di Pulau Buru, Karman mulai menyadari perbuatannya yang
salah. Dalam dirinya timbul penyesalan yang amat dalam. Timbulnya kesadaran
dalam dirinya juga berkat usaha yang tak kenal lelah dari Kapten Somad. Seorang
sipir penjara Pulau Buru, yang banyak memberikan bimbingan rohani kepada
Karman.
Dengan kesadaran penuh, bekas kader PKI itu datang ke desanya.
Sementara masyarakat desa Pegaten menerimanya dengan ikhlas tanpa sedikitpun
dendam. Penerimaan itu makin nyata ketika Tini (anaknya) menikah dengan Jabir
(anak Rifah) yang tak lain adalah cucu Haji Bakir. Kemudian, kesadaran dan
tekad Karman bertobat diwujudkan dengan dipersembahkannya sebuah kubah
untuk Masjid di desa itu. Karman telah bertobat dan masyarakat menerimanya
dengan sadar.
37
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Unsur Intrinsik dalam Novel Kubah Karya Ahmad
Tohari
Di bawah ini akan dipaparkan struktur novel Kubah karya Ahmad
Tohari yang terdiri atas tema, tokoh, alur, latar (setting), sudut pandang, dan
gaya bahasa.
1. Tema
Pada analisis ini, dapat berangkat dari tema yang merupakan ide
dasar sebuah cerita. Tema merupakan sesuatu unsur penting dalam suatu
cerita karena tema merupakan inti cerita yang mendasari suatu cerita.
Bertolak dari inti cerita, pengarang akan mengembangkan cerita menjadi
suatu bentuk yang lebih luas.1Tema yang diangkat dari novel ini adalah
insyafnya seorang ekstapol setelah mengalami berbagai gejolak
kehidupan. Dilihat dari tema yang diangkat, isi cerita ini menggambarkan
tokoh utama yang taat beragama hingga terjerumus ke dalam politik dan
diakhiri dengan sebuah penyesalan.
Tema ini menonjol ketika peristiwa bertemunya Karman dengan
Kastagethek di Kali Sikura. Pertemuan inilah merupakan awal kesadaran
Karman dalam kesalahannya terjerumus ke dalam politik. Hal ini
dibuktikan dalam kutipan berikut:
Dalam kesadaran ketika bayangan regu tembak sudah muncul di
depan mata, Karman merasa sangat iri terhadap Kastagethek
dengan segala perilakunya yang amat tenang, mengalir, dan pasrah.
Karman dapat memastikan bahwa ketenangan hidup Kastagethek
berkaitan dengan shalatnya, dengan zikirnya, dengan tasbihnya.
―Ah, ketiga ritus itu telah lama kuingkari dan kucampakkan.2
Dari kutipan diatas tergambar bagaimana Karman menyadari
bahwa politik telah menjauhkan dirinya kepada tiga hal yang selama ini
1 Sri Widati Pradopo, dkk, op. cit., h. 42.
2Ahmad Tohari, Kubah, (PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1995), h. 152.
38
ditinggalkannya, ketiga hal tersebut yaitu shalat, zikir, dan tasbih. Ketiga
hal ini menurut Karman merupakan paket sebagai pegangan hidup dalam
menjalani kehidupan yang tenang, mengalir, dan pasrah. Ia menyadari
hidupnya yang kini berantakan, karena meninggalkan ketiga hal tersebut.
Selain itu, tema ini dapat dibuktikan pula pada syair yang
dilantunkan Kastagethek, syair tersebut mengingatkan Karman pada masa
kecil sering melantunkan syair tersebut. Syair ini berjudul Sangkan-
paraning dumadi; dari mana dan mau ke mana segala keterjadian.
Aku mbiyen ora ana
Saiki dadi ana
Mbesuk maneh ora ana
Padha bali marang rahmatullah
Dulu aku tiada
Kini aku meng-ada
Kelak aku lagi tiada
Kembali ke rahmat ilahi3
Syair di atas menggambarkan pertobatan Karman dalam agamanya.
Syair yang sering dilantunkan ketika ia bersama anak-anak kecil lainnya di
serambi masjid Haji Bakir. Syair ini merupakan peringatan bagi umatNya
bahwa sebagai manusia yang hidup di dunia akan kembali kepada asal-
usul mereka diciptakan.
Setelah analisis tema, peneliti akan menganalisis alur yang terdapat
dalam novel Kubah.
2. Alur
Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para
pelaku dalam suatu cerita. Ada beberapa tahapan-tahapan peristiwa dalam
suatu cerita. Tahapan-tahapan peristiwa tersebut antara lain: pengenalan,
konflik, klimaks, penyelesaian.4
3Ibid., h. 152
4Aminuddin, op. cit., h. 83.
39
klimaks
konflik leraian
pengenalan penyelesaian
Alur dalam novel Kubah ini merupakan alur campuran, karena
kisah awal menceritakan kebebasan tokoh Karman, kemudian
mengisahkan kembali ke masa lalu sejak ia kecil sampai saat ia terjerumus
ke dalam anggota PKI, dan berakhir pada kisah setelah ia diterima kembali
oleh masyarakat Pegaten serta dipercaya dalam pembuatan kubah masjid.
Berikut ini pemaparan alur dalam novel Kubah:
a. Tahap Pengenalan
Pada awal kisah ini pengarang mulai melukiskan suatu keadaan.
Kisah ini berawal dari kebebasan tokoh Karman dari Markas Komando
Distrik Militer (tempat Karman ditahan), hatinya bergetar-getar karena
menerima surat pembebasan dirinya. Hal dapat dilihat dari kutipan berikut:
Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak -geriknya
serba kikuk sehingga mengundang rasa kasihan. Kepada
Komandan, Karman membungkuk berlebihan. Kemudian dia
mundur beberapa langkah, lalu berbalik. Kertas -kertas itu
dipegangnya dengan hati-hati, tetapi tangannya bergetar. Karman
merasa yakin seluruh dirinya ikut terlipat bersama surat-surat tanda
pembebasannya itu. Bahkan pada saat itu Karman merasa totalitas
dirinya tidak semahal apa yang kini berada dalam genggamannya.5
Kutipan di atas merupakan gambaran keadaan dan perasaan si
Karman yang bertahun-tahun dalam penjaran serta pada akhirnya ia bebas
dari tahanan tersebut. Kebebasan ini masih dibingungkan oleh Karman, ia
masih tak percaya kertas yang berada digenggamannya itu sebagai tanda
kebebasannya. Kutipan ini pula merupakan narasi yang diluncurkan oleh si
pengarang sebagai kisah awal karyanya. Hal ini dapat dilihat pada episode
pertama halaman tujuh sampai halaman delapan belas.
5Ahmad Tohari, op. cit., h, 7
40
b. Tahap Pemunculan Konflik
Tahap pemunculan konflik dalam novel ini menggambarkan
keraguan tokoh Karman ketika hendak pulang untuk menikmati
kebebasannya setelah sekian lama berada dalam pengasingan di Pulau B
(Buru). Dia ragu untuk pulang karena khawatir akan dicibir dan dibenci
orang-orang sedesanya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
Setelah berhasil mengedepankan gejolak perasaannya, Karman
sadar bahwa dirinya sedang berada dalam perjalanan pulang yang
panjang dari Pulau B. Pulang? Tanya Karman berkali-kali kepada
dirinya sendiri. Pulang ke mana? Aku memang lahir di sana, di
Pagetan. Di sana aku dibesarkan dan di sana aku pernah punya
rumah, istri dan anak. Namun masih adakah semua itu? Dan,
apakah kampungku, terutama orang-orang, mau menerima aku
kembali? Sebuah letupan kekuatan tiba-tiba mengoyahkan hatinya.6
Keraguan dan kekhawatiran Karman dapat dimengerti, karena
Karman sadar akan statusnya sebagai bekas tahanan politik yang baru saja
dibebaskan dari Pulau B. Semua orang tahu bahwa Pulau B adalah tempat
pengasingan para tahanan politik (orang-orang PKI), sehingga wajar kalau
Karman punya kekhawatiran dirinya tidak akan diterima oleh orang-orang
di desanya. Di tambah lagi istrinya yang sangat dicintainya sudah tidak
bisa hidup bersama lagi karena sudah jadi istri orang. Karman teringat
kembali kenangan ketika dia harus merelakan istrinya, Marni, untuk
menikah dengan Parta, lelaki teman sekampung, sedangkan waktu itu dia
sendiri masih berada di pengasingan.
Meskipun diberi hak untuk kembali ke tengah pergaulan
masyarakat, Karman sulit menghapus kekhawatirannya akan ditolak,
dibenci, dan dikucilkan oleh masyarakat yang dahulu pernah
dirongrongnya sendiri. Akan tetapi, tidak ada jalan lain kecuali harus
melangkah pulang ke desanya, Pegaten. Kemudian dia memutuskan ke
rumah Gono, saudara sepupunya yang tidak jauh dari pusat kota.
Sambutan Bu Gono yang tulus merupakan isyarat awal tentang keikhlasan
6Ibid., h. 30
41
masyarakat menerima kembali orang-orang bekas PKI. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan berikut:
Mas Karman, saudaraku, tinggallah bersama kami di sini. Kau
takkan menemukan apa-apa lagi di Pegaten. Rumahmu habis
dimusnahkan, tanahmu habis terjual. Dan, oalah Gusti, Marni
istrimu telah kawin lagi dan beranak pinak. Anakmu yang terkecil
meninggal. Mas Karman, kau tak punya apa-apa lagi di Pegaten.
Kau tak punya apa-apa lagi.7
Konflik awal yang dialami Karman yaitu ketika kisah ini
mengingatkan kembali ke masa lalu di mana tokoh Marni yang tak lain
adalah mantan istrinya meminta izin menikah dengan Parta teman
sekampungnya. Karman pun harus merelakan sang istri untuk menikah
lagi, karena pada saat itu posisi dirinya sedang berada di Pulau Buru
(tahanan). Pada konflik awal ini merupakan kilas balik dari jalannya cerita
dalam novel ini.
Yang menguasai seluruh lamunan Karman adalah Parta,
seorang teman sekampung. Tujuh tahun yang lalu, ketika Karman
masih menjadi penghuni pulau buangan, Parta menceraikan
istrinya dan kemudian mengawini Marni. Meskipun sudah punya
tiga anak, Marni memang lebih cantik daripada istri Parta yang
diceraikan. Hal ini tidak akan dibantah oleh siapa pun di Pegaten,
tidak juga oleh Karman.8
Selanjutnya, konflik kedua yang dialami Karman ketika kehidupan
semasa ia ditinggal oleh ayahnya dan hanya hidup dengan ibu beserta
adiknya. Dalam kehidupan ini ia merasa sebagai pengganti ayahnya dan
bertanggung jawab kepada keluarganya. Ia mesti mencari singkong atau
ubi untuk makan ibu dan adiknya yang masih kecil.
Sepeninggal ayahnya, Karman hidup hanya dengan ibu dan
seorang adik perempuan yang masih kecil. Sebenarnya Karman
mempunyai dua kakak lelaki. Tetapi keduanya meninggal dalam
bencana kelaparan pada zaman Jepang. Keadaan keluarga Karman
amat menyedihkan.9
7Ibid., h. 34
8Ibid., h. 12
9Ibid., h. 56
42
Dari kutipan di atas menggambarkan perubahan kehidupan
Karman yang bermula hidup serba kecukupan sehingga harus menjalankan
kepahitan hidup bersama keluarganya.
Konflik ketiga yaitu, ketika Karman melamar Rif‘ah anak Haji
Bakir tetapi ditolak oleh Haji Bakir lantaran Rif‘ah telah dilamar oleh
pemuda lain. Pemuda tersebut bernama Abdul Rahman, ia adalah seorang
santri dari sebuah pesantren di daerah Jawa Timur. Sebelumnya calon
suami Rif‘ah sudah ditentukan oleh keluarga Haji Bakir.
Sayangnya ada satu hal yang pasti tak disadari oleh Karman;
Rifah sudah dilamar oleh pemuda lain.10
c. Tahap Klimaks
Tahap klimaks dari alur novel Kubah ini berawal dari hasutan
Margo dan Triman kepada Karman. Dua orang tersebut ingin menjauhkan
Karman dengan Haji Bakir. Mereka memanfaatkan situasi seperti ini,
karena orang tua Karman pernah memiliki satu hektar tanah yang saat ini
sudah menjadi milik Haji Bakir. Masalah tanah ini menjadi senjata utama
bagi Margo dan Triman untuk menghasut Karman, mereka memutar
balikan fakta, bahwa tanah milik orang tua Karman telah dikuasai oleh
Haji Bakir. Pada kenyataannya ketika ayah Karman masih hidup tanah
tersebut sudah ditukar oleh bahan pangan untuk para tetangganya, itulah
sebabnya tanah tersebut sudah sah dimiliki oleh Haji Bakir.
Selain itu pula Margo serta Triman tidak begitu puas dalam
menghasut Karman, mereka tidak tinggal diam serta selalu mencari cara
agar hasutan untuk menjauhkan Karman dan Haji Bakir semakin kuat.
Belum lama masalah tanah selesai, Karman melamar Rifah yang kedua
kalinya, keadaan seperti ini sangat dimanfaatkan oleh Margo dan Triman.
Karman pun harus menerima nasib yang sama saat melamar Rifah yang
pertama, ia pun ditolak kembali oleh Haji Bakir dengan alasan sudah
terlambat melamar Rifah. Haji Bakir yang sebelumnya sudah benci pada
partai adalah salah satu alasan utama penolakan lamaran Karman. Akan
10
Ibid., h. 76
43
tetapi Karman menganggapnya berbeda, ia beranggapan bahwa penolakan
tersebut mengatasnamakan harta atau materi, karena sebelumnya suami
Rifah adalah pemuda yang kaya, sedangkan dirinya hanya dari kalangan
keluarga miskin.
Akibat dendam terhadap Haji Bakir serta hasutan yang
mempengaruhi pikiran Karman maka, ia sudah siap dengan keputusan
untuk meninggalkan Pegaten atas rasa sakit hati dan merasa tidak berarti
lagi tinggal di Pegaten tempat kelahirannya. Ia juga sampai hati
meninggalkan ajaran agamanya, karena terlalu banyak hasutan yang
diterima olehnya dari Margo dan Triman. Hasutan Margo dan Triman
yang semakin menguasai pikiran Karman, membuat Karman semakin
membenci masyarakat Pegaten terutama terhadap Haji Bakir.
Karman pun berani berterus terang meninggalkan mesjid,
meninggalkan peribadatan bahkan tentang agama, Karman sudah
pandai mengutip kata-kata Margo, bahwa agama adalah candu
untuk membius kaum tertindas.11
Kutipan di atas merupakan klimaks dari cerita novel Kubah karya
Ahmad Tohari. Hal ini terlihat ketika Karman mulai berani meninggalkan
kampungnya bahkan meninggalkan agamanya, di sinilah puncak
kemarahan Karman serta hasutan yang diberikan oleh Margo.
d. Tahap Peleraian
Tahap peleraian alur dalam novel ini yaitu pelarian Karman untuk
menyelamatkan diri dari kepungan polisi dan tentara akibat kebodohannya
yang terjebak sebagai anggota partai. Karman berusaha pergi ke tempat
yang dapat menyelamatkan dirinya dari kepungan polisi. Setiap kali ia
selalu berpindah tempat yang menurut dirinya aman sebagai tempat untuk
bersembunyi. Akan tetapi, ke mana pun ia bersembunyi tetap saja
tertangkap oleh warga yang menemukannya.
Dan tamat sudah kisah pelariaannya, karena seorang gembala
kerbau melihat segala gerak-geriknya. Di siang itu beberapa orang
11
Ibid., h. 94
44
pamong desa datang ke Astana Lopajang. Karman ditangkap dalam
keadaan sakit payah. Boleh jadi karena keadaannya itulah orang
tidak tega menghabisi nyawanya.12
e. Tahap Penyelesaian
Pada tahap terakhir ini menceritakan kepulangan Karman ke
Pegaten yang diterima kembali oleh masyarakat. Masyarakat pegaten
menerima dan memaafkan atas semua kesalahan Karman di masa lalu,
mereka tidak menyimpan dendam sedikit pun kepada bekas tahanan
politik ini. Karman dijemput anaknya yang bernama Tini ke rumah Bu
Mantri yang tak lain adalah ibunya sendiri. Pada tahap akhir ini pula
menceritakan rencana pernikahan Tini anak Karman dan Marni dengan
Jabir anak Rifah wanita yang pernah ia cintai.
Tini bersama Jabir keluar dari rumah Bu Mantri. Mereka baru
menjemput Karman dari kota. Ayah Tini yang baru pulang dari
Pulau B itu sekarang berada di rumah Bu Mantri, nenek Tini.13
Rasa saling memaafkan yang dimiliki oleh masyarakat Pegaten
ditunjukkan ketika Karman dipercaya untuk membangun kubah masjid
milik Haji Bakir. Kubah yang dibuat Karman terlihat indah ketika sudah
terpasang di atap bangunan masjid. Masyarakat Pegaten yang melihat
kubah tersebut saling memuji atas apa yang telah dibuat oleh Karman.
―Luar biasa bagusnya,‖ kata seseorang ketika kubah masjid
hasil kerja Karman selesai dipasang menjadi puncak bangunan
mesjid.14
Kutipan di atas menggambarkan kepuasan masyarakat Pegaten atas
kinerja Karman dalam pembuatan kubah di masjid Haji Bakir. Akhir kisah
Karman, seorang bekas tahanan politik yang telah menemukan kesadaran
hidupnya merupakan akhir jalannya cerita dalam novel Kubah ini.
Kesadarannya yang telah hilang kini kembali lagi menjadi seorang taat
beragama dan berguna bagi masyarakat di sekelilingnya.
12
Ibid., h. 166 13
Ibid., h. 167 14
Ibid., h. 189
45
Berdasarkan paparan alur tersebut, tampak alur cerita
menggunakan alur campuran.
3. Tokoh dan penokohan
Cerita dalam sebuah novel tidak akan ada tanpa tokoh yang
menggerakkan cerita dan membentuk alur dengan segala macam
permasalahan yang dialaminya. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh
merupakan hal penting dalam sebuah novel. Aspek penokohan dalam cerita
sangatlah penting karena menggambarkan cara pengarang menampilkan
tokoh.
Pada novel Kubah karya Ahmad tohari yang termasuk ke dalam
tokoh utama yaitu, tokoh Karman. Tokoh Karman ini yang mengalami
banyak konflik di dalamnya, karena tokoh Karman sebagai pusat yang
diceritakan oleh Ahmad Tohari. Namun, terdapat pula tokoh tambahan
yang membangun konflik tokoh Karman, diantaranya: Haji Bakir, Rif‘ah,
Marni, Margo, Triman, Parta, Kastaghetek, Kapten Somad.
a. Karman
Karman adalah seorang bekas tahanan politik yang mengalami
berbagai gejolak dalam hidupnya. Pada mulanya Karman merupakan
anak dari kalangan keluarga keturunan Priyayi, ayahnya seorang mantri
pasar. Akan tetapi, kepriayiyannya itu hilang ketika ayahnya dibawa
oleh para pemuda pejuang dan tidak kembali lagi ke Pegaten. Pada
novel Kubah ini, Karman di posisikan sebagai tokoh utama, karena ia
selalu muncul dalam setiap episode dan peristiwa yang dialaminya.
Apabila diurutkan peristiwa-peristiwa yang menimpa diri tokoh
utamanya, yaitu Karman, dari masa kecil sampai ia bebas dari
pengasingan Pulau Buangan dan kemudian diterima kembali oleh
masyarakat, akan terlihat jalur perkembangan wataknya.15
Peristiwa
pertama menggambarkan sikap Karman yang pasrah ketika harus
15
Anonim, Aspek Filosofis dalam Novel Kubah Ahmad Tohari, (Berita Buana: Jakarta,
1985).
46
merelakan istrinya menikah dengan orang lain pada saat dirinya berada
di Pulau Buangan.
―Nah, baiklah. Marni kulepaskan walaupun hati dan jiwaku
tak pernah menceraikannya. Takkan pernah!‖16
Kutipan di atas menunjukkan Karman yang berat hati dalam
mengambil keputusan bahwa dirinya telah merelakan Marni dengan
orang lain, walaupun sebenarnya Karman tidak pernah menceraikan
Marni.
Selanjutnya, peristiwa ketika Karman sedang berada di Pulau
Buangan. Pada saat itu dirinya dalam keadaan sakit, karena lelah
memikirkan yang sudah terjadi terhadap rumah tangganya. Hal ini
menunjukkan sikap Karman yang pasrah dan mudah putus asa.
―Apa yang bisa saya harapkan sesudah saya sembuh?
Rasanya saya sudah kehilangan tujuan. Kehilangan segala-gala.
Hidup saya terasa sangat enteng. Dan kosong.‖17
Selanjutnya, sikap Karman dapat dilihat kembali ke masa
kecilnya merupakan anak yang mandiri dan memiliki tanggung jawab
terhadap keluarganya, karena ia telah ditinggal oleh ayahnya sekitar
tahun 40-an. Sikap mandiri dan rasa tanggung jawab Karman dapat
dilihat dari kutipan berikut:
―Tak pantas pada waktu panen seperti ini ibuku tak punya beras.
Sebaiknya aku ikut menuai padi agar ibuku sempat merasakan
nasi yang empuk.‖18
Pada di atas, menunjukkan bahwa sikap Karman sebagai anak
yang memiliki rasa tanggungjawab dan sebagai tulang punggung
keluarga setelah ditinggal oleh sang ayah. Terlihat jelas ketika musim
panen tiba, bagaimana caranya pada musim panen saat ini ibu dan
adiknya harus bisa memakan serta menikmati nasi yang didapatkannya
dari hasil upah tuaian di sawah tetangganya. Ia memutuskan untuk
16
Ahmad Tohari, op. cit., h. 16 17
Ibid., h. 24 18
Ibid., h. 63
47
menuai padi agar mendapatkan upah dari hasil tuain padi yang
diperolehnya.
Selanjutnya, sikap tanggungjawab Karman dapat dilihat ketika
ia diberi pekerjaan oleh Haji Bakir untuk mengasuh Rifah anak
bungsunya. Karman pun menjaga dan melindungi Rifah dengan baik.
Karman maju melindungi Rifah yang menjerit dengan
muka biru. Kedua tanduk binatang itu ditangkapnya. Karena
tenaganya kalah kuat terayun-ayun oleh hempasan binatang
yang marah itu.19
Kutipan di atas menggambarkan sosok Karman yang berani
melawan amukan binatang bertanduk itu demi melindungi Rifah. Ia
sama sekali tidak memikirkan dirinya dalam keadaan berbahaya karena
menahan binatang yang sedang mengamuk itu.
Selain itu, Karman juga memiliki rasa peduli antarsesama. Ia
tidak memandang kejelekan yang telah diperbuat oleh tetangganya,
walaupun masyarakat Pegaten sangat menjunjung tinggi nilai moral
dalam beragama. Hal ini terlihat ketika peristiwa yang terjadi pada saat
penuaian padi di sawah Sanawi.
Karena melihat Kinah masih berdiri menuai padi, Karman
bertindak. Padi dan ani-ani diletakkannya di atas pematang.
Kemudian secepatnya ia berlari. Ketika sampai tujuan, hal
pertama yang dilakukannya adalah menyapu tubuh bayi Kinah
dengan kain.20
Dari kutipan ini, terlihat bagaiman rasa kepedulian Karman
terhadap tetangganya itu. Ia rela menghentikan penuaiannya demi
menolong seorang anak bayi yang tidak lain merupakan anak
tetangganya. Ketika yang lain sibuk dengan tuaian mereka, ia hanya
seorang diri menolong bayi tersebut. Walaupun yang lainnya
menyaksikan keadaan yang terjadi di sawah, mereka tidak bisa berbuat
apa-apa dan tak ada satu orang pun yang mau menolong bayi Kinah
19
Ibid., h. 62 20
Ibid., h. 71
48
kecuali Karman. Mereka membenci perbuatan Kinah melahirkan
seorang bayi, tetapi tak memiliki seorang suami. Hal ini disebabkan
mereka benci dengan percabulan.
Perubahan sikap Karman selanjutnya, ketika lamarannya ditolak
oleh Haji Bakir. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
―Seandainya keadaanku lebih baik daripada Abdul Rahman,
barangkali Haji Bakir akan menghapus kata ‗terlambat‘ dan aku
akan diterima menjadi menantunya. Pokoknya tidak adil.‖21
Dari kutipan di atas terlihat jelas bagaimana Karman menilai
sosok Haji Bakir terhadap dirinya. Ia menjadi sosok yang selalu
berburuk sangka terhadap orang disekitarnya.Ia merasa dari penolakan
tersebut merupakan sebab dari kedudukan derajat yang harus
berimbang diantara kedua belah pihak. Berhubung Karman dari
kalangan keluarga kurang mampu, berbeda halnya dengan kedudukan
pria pilihan Haji bakir yang merupakan dari kalangan keluarga
terpandang di daerahnya. Hal ini, yang menyebabkan Karman berburuk
sangka terhadap keputusan Haji Bakir.
Sikap Karman selanjutnya yaitu sebagai seorang pendendam
terhadap orang lain yang tidak disukainya. Hal ini dilihat ketika
Karman dikecewakan oleh Haji Bakir yang selama ini telah
menganggap dirinya sebagai keluarga sendiri.
Rasa kecewa, marah, dan malu berbaur di hati
Karman.Akibatnya ia mendendam dan membenci Haji Bakir. 22
Kutipan di atas menggambarkan bagaimana sosok Karman
adalah manusia yang mudah kecewa, marah dan malu dengan sebuah
perlakuan yang mungkin kurang berkenan di hatinya, yakni
kekecewaan terhadap Haji Bakir.
Sikap Karman yang jauh dari ajaran agama akibat dirinya
mudah dipengaruhi oleh kawan partainya dapat dilihat kembali pada
21
Ibid., h. 91 22
Ibid., h. 91
49
alur klimaks ketika Karman sudah siap meninggalkan masjid serta desa
Pegaten demi kepentingan partai. Hal ini dapat di lihat pada pemaparan
alur klimaks. Selain itu, sikap Karman yang mudah terpengaruh dapat
diakui oleh teman separtainya.
Karman memiliki sifat terlalu perasa. Juga sedikit gampang
terpengaruh, dan sewaktu-waktu bisa marah.23
Perubahan-perubahan sikap diri Karman yang akhirnya ia sadar
kembali setelah mengalami berbagai gejolak dalam kehidupannya.
Seperti yang sudah dipaparkan dalam analisis tema novel Kubah
mengisahkan seorang bekas tahanan politik, tema tersebut telah
membuktikan bahwa tokoh utama inilah yang menjadi pusat fokus
dalam cerita Kubah.
b. Haji Bakir
Haji Bakir merupakan salah seorang tokoh agama dan orang
terkaya di daerah Pegaten. Selain kaya, Haji Bakir termasuk orang yang
sayang terhadap anak yatim dan peduli terhadap tetangganya. Hal ini
dapat dibuktikan ketika iamenolong penderitaan keluarga Karman dari
kemiskinan serta sulitnya mendapatkan makanan yang jarang ia
temukan bersama ibu dan adiknya. Kemudian, Haji Bakir memberikan
Karman pekerjaan pada saat dirinya masih kecil setelah sepeninggalan
ayahnya.
Ternyata keluarga Haji Bakir tidak pernah memperlakukan
Karman sebagai pembantu rumah tangga yang sebenarnya.
Anak itu diberi kesempatan menamatkan pendidikannya di
sekolah rakyat yang sudah dua tahun ditinggalkannya. Pekerjaan
yang diberikan kepada Karman adalah pekerjaan sederhana yang
bisa diselesaikan oleh anak seusianya; mengantarkan makanan
bagi orang yang sedang bekerja di sawah, menyapu rumah dan
halaman, memelihara ikan di kolam dan melayani si manja
Rifah.24
23
Ibid., h. 102 24
Ibid., h. 60
50
Kutipan di atas menggambarkan bahwa sikap Haji Bakir yang
bijaksana dan tidak memberikan beban kepada anak yatim dalam
memperoleh uang atau upah untuk keluarga. Haji Bakir menganggap
Karman seperti keluarga sendiri, tidak menganggapnya sebagai
pembantu di rumahnya, bahkan Karman diberikan pekerjaan yang
ringan sesuai dengan usianya pada saat itu.
Selain kutipan di atas ada juga kutipan lain yang menunjukkan
tokoh Haji Bakir berikut adalah kutipannya.
Dengan ijazah SMP ternyata Karman tidak mudah
mendapatkan pekerjaan. Dua tahun dicari dan ditunggu,
pekerjaan yang sangat diharapkan tak kunjung tiba. Untung Haji
Bakir tetap bersedia memberinya kesibukan sehingga Karman
tidak nganggur. Pak Haji sering meminta Karman mengantar
bertruk-truk kelapa ke pabrik minyak.25
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh Haji Bakir begitu
baik masih mau memberikan kesibukan kepada Karman agar tidak
menganggur dan sering meminta pada Karman untuk mengangkut
bertruk-truk kelapa ke pabrik minyak semasa Karman belum
mendapatkan pekerjaan. Tokoh Haji Bakir dengan teknik dramatik
sebagai tokoh yang baik, suka menolong, pemaaf dan bersahaja di
masyarakat Pegaten, karena beliau tokoh ulama di daerah Pegaten.
Haji Bakir termasuk orang yang bijaksana dalam mengambil
keputusan. Hal ini, dapat dilihat jawaban Haji Bakir ketika Karman
melamar Rifah yang kedua kalinya.
Sulit sekali rasanya. Tetapi aku mempunyai pedoman yang
teguh; aku hanya rela menjodohkan Rifah dengan laki-laki yang
dapat membimbing Rifah di dunia sampai ke akhirat. Kulihat
keadaanmu telah jauh berubah. Kini rasanya kau bukan laki-laki
yang cocok dengan persyaratan yang kumaksud. Bagiku setiap
orang sama derajatnya selagi penilaian itu tidak menyangkut
iman dan takwa kepada Tuhan.26
25
Ibid., h. 75 26
Ibid., h. 121
51
Kutipan di atas menjelaskan maksud dari penolakan Haji Bakir
terhadap Karman. Haji Bakir sadar bahwa anak didiknya itu telah
banyak berubah berbeda ketika sebelum Karman terjun ke politik. Oleh
karena itu, Haji Bakir menolak lamaran Karman, ia hanya ingin
anaknya memiliki suami yang dapat membimbingnya di dunia dan
akhirat.
Selain memiliki sifat yang baik, tokoh Haji Bakir termasuk ke
dalam pembangun konflik tokoh utama. Tokoh Karman yang pernah
dikecewakan oleh Haji Bakir karena telah menolak lamaran untuk
meminang putrinya itu, membuat tokoh utama membenci Haji Bakir.
Hal ini, merupakan salah satu gejolak batin yang dialami Karman.
c. Marni
Marni merupakan gadis cantik yang telah memikat hati Karman
ketika ia sedang patah hati dan sakit hati terhadap Haji Bakir karena
telah menolak lamarannya. Pada akhirnya Karman bertemu Marni dan
meminang Marni untuk dijadikan seorang istri. Marni termasuk seorang
istri yang setia ketika suaminya sedang berada di Pulau Buangan.
Mula-mula Marni menolak kawin lagi meski sudah lima
tahun ditinggal suami. Betapapun, tekad Marni saat itu, ia akan
menunggu suaminya kembali. ―Siapa tahu, suamiku masih
hidup. Dan perasaanku mengatakan, entah kapan dia akan
kembali.‖27
―.........istrimu lumayan setia karena tahan tidur sendiri
selama lima tahun.‖28
Dari kedua kutipan di atas menggambarkan sosok Marni yang
setia dan teramat sayang terhadap suaminya. Ia rela menunggu
suaminya datang kembali untuk tinggal bersama dirinya dan anak-anak.
Walaupun seiring jalannya waktu, kesetiaan yang dimiliki Marni tidak
berlangsung lama karena melihat kondisi kehidupan ekonominya
27
Ibid., h. 13 28
Ibid., h. 15
52
bersama anak-anak. Marni yang didesak oleh sanak keluarganya untuk
menikah lagi agar dapat memenuhi kebutuhan ekonomi dirinya beserta
ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Hal seperti ini membuat dirinya
bingung antara menerima lamaran dari orang lain atau lebih memilih
setia dan menanti kedatangan suaminya kembali. Setelah dipikirkan
matang-matang oleh Marni dan akhirnya ia pun menerima pendapat
dari keluarganya untuk menikah lagi.
Selain itu, Marni termasuk orang yang bijak sebagai orang tua
ketika berhadapan dengan anaknya.
Untung ibu yang bijak itu bisa mengalihkan perhatian
Tini.29
Dari kutipan di atas menggambarkan sosok Marni yang
bijaksana dalam mencari perhatian anaknya. Walaupun keadaan apapun
Marni tetap berusaha untuk menjadi ibu yang baik dan adil bagi anak-
anaknya.
Kutipan lain yang dapat menunjukkan sosok Marni dapat
ditemukan pada kutipan berikut.
Di kamar persalatan Marni berusaha mencari kesadaran
tertinggi agar bisa berdekat-dekat dengan Tuhan. Ia bersimpuh
dan merasa begitu kecil dan lemah. Namun dalam kesadaran
akan ditempuhnya. ‖Besok, aku akan bertawakal; membiarkan
apa yang harus terjadi, terjadilah.‖30
Kutipan di atas menunjukkan bagaimana sosok Marni selalu
berserah diri kepada Allah SWT sebagai tempat dirinya mengadu dan
bersimpuh sebagai seorang hamba. Apapun yang akan terjadi padanya
esok ia serahkan hanya pada Allah SWT semata. Kutipan-kutipan di
atas mencerminkan tokoh Marni sebagai seorang yang sudah matang,
tetapi masih cantik. Marni mempunyai lekuk di sudut bibir yang
29
Ibid., h. 45 30
Ibid., h. 50
53
menarik, ramping, berlengan kecil, bersuara bening, serta selalu tampak
tenang, selalu berserah diri kepada Allah, tabah dan lembut.
Hubungan Marni dengan konflik batin Karman yaitu ketika
Marni sudah matang dengan keputusannya untuk menikah dengan
orang lain. Hal ini, yang membuat jiwa Karman terguncang dan jatuh
sakit ketika berada di Pulau Buangan.
d. Parta
Parta adalah teman sekampung Karman, ia juga yang telah
menikahi istrinya. Parta juga merupakan tokoh tambahan yang
membangun konflik tokoh utama. Hal ini dapat dilihat ketika Parta
berencana untuk menikahi Marni. Hati Karman menjadi gelisah bahkan
membuat dirinya jatuh sakit. Rencana Parta untuk menikahi Marni,
dikarenakan gadis ini lebih cantik dari istri pertamanya, sehingga
sampai hati Parta menceraikan istri pertamanya itu. Dapat disimpulkan
atas kejadian ini, Parta merupakan orang yang memanfaatkan keadaan.
Kecantikan Marni adalah sebab utama mengapa Parta
sampai hati melepas istri pertamannya.31
Apabila dilihat dari kutipan di atas, Parta merupakan sosok yang
hanya melihat dari segi fisik pendamping hidupnya. Ia merupakan pria
yang tidak setia terhadap istri sebelumnya.
Meskipun demikian, Parta termasuk pria yang bertanggung
jawab terhadap Marni. Hal ini, dapat dilihat dari kutipan berikut:
Pada dasarnya Parta bukan suami yang mengecewakan
Marni, kecuali penyakit asma yang dideritanya serta sikapnya
terhadap Rudio.32
Kutipan di atas menggambarkan sosok Parta yang bertanggung
jawab sehingga tidak pernah mengecewakan Marni. Akan tetapi, di sisi
lain Parta termasuk orang tua yang tidak adil terhadap anak tirinya.
31
Ibid., h. 13 32
Ibid., h. 40
54
Selain itu, Parta digambarkan sebagai sosok pria yang penyakitan, ia
menderita sakit asma.
Berdasarkan paparan tersebut tampak kemunculan Parta pada
cerita memunculkan konflik pada diri Karman. hadirnya orang ketiga
dalam rumah tangga Karman dan Marni membuat rumah tangga mereka
hancur. Marni menulis surat pada Karman dan memintanya untuk
melepas Marni.
e. Margo
Margo merupakan seorang kader partai yang menghasut pikiran
Karman. Ia sangat pandai dalam berbicara tentang politik sehingga
banyak orang terjebak oleh hasutannya untuk masuk ke dalam anggota
partai yang dianutnya. Ia selalu memanfaatkan keadaan untuk
keberhasilan rencananya itu. Karman yang mengalami berbagai gejolak
batinnya itu dengan mudah terhasut oleh ajakan Margo. Ia juga yang
telah memisahkan Karman dari lingkungannya. Selain itu pula Margo
yang membuat Karman membenci Haji Bakir dan menjauhkan Karman
dari ajaran agamanya akibat masuk ke dalam anggota Partai.
Karman sudah pandai mengutip kata-kata Margo, bahwa
agama adalah candu untuk membius kaum tertindas.33
Selain itu, Margo memiliki sifat yang cerdik dan ulet. Akibat
kecerdikan yang ia miliki, dimanfaatkannya untuk kepentingan partai.
Cerdik dan ulet serta sangat gemar membaca buku atau brosur
yang menyangkut partainya. Ia pun berlangganan Harian Merah,
sebuah organ partai yang sangat dibanggakannya.34
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Margo sebenarnya orang
yang terpelajar, selain itu ia juga menjadi seorang guru di Pegaten.
Rekan-rekan separtai biasa memanggilnya dengan panggilan Kawan
Margo, karena ia salah seorang kader pilihan di partainya. Dia adalah
seorang yang cerdik dan ulet serta gemar membaca buku atau brosur
33
Ibid., h. 94 34
Ibid., h. 76
55
yang menyangkut partainya, bahkan dia berlangganan Harian Merah
kebanggaannya.
Hubungan antara Margo dengan Karman adalah kawan separtai.
Dari partailah tokoh Margo dimunculkan sebagai tokoh yang
membangun tokoh utama. Margo dihadirkan untuk menghasut pikiran
Karman, sehingga Karman memiliki konflik yang cukup berat dengan
masyarakat Pegaten terutama terhadap Haji Bakir. Hasutan demi
hasutan membuat konflik Karman ini mencapai klimaks dengan
pelariannya dari masyarakat Pegaten dan Haji Bakir.
f. Triman
Triman adalah seorang terpelajar sama halnya dengan Margo
teman separtainya. Ia bekerja sebagai kepala Kantor penerangan.
Berikut merupakan kutipan tentang sosok Triman:
Satu hal yang Kawan Margo ketahui, pengaruh Kawan
Triman terhadap Camat. Meskipun Kawan Triman hanya
seorang kepala Kantor Penerangan tingkat kecamatan,
wibawanya cukup besar. Camat yang sok ningrat dan bersikap
asal tahu beres itu sering menggunakan Kawan Triman untuk
menutupi semua kekurangannya. Dan di sana peran Kawan
Triman tidak mencolok sebab dia tidakdikenal sebagai orang
kita, melainkan orang Partindo.35
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Triman mrmpunyai
pengaruh dan wibawa cukup besar di kecamatan, meskipun
Trimanhanya pekerja kantor penerangan. Triman tidak terlalu mencolok
sebagai partai Komunis, tetapi melainkan orang Partindo.
Tokoh Triman digambarkan oleh pengarang sebagai seorang
lelaki yang terpelajar, ia bekerja sebagai kepala Kantor Penerangan,
ramah tapi dia seorang yang licik dan mempunyai pengaruh di kantor
kecamatan. Hubungan Triman dengan Karman sama seperti Margo
sebagai teman separtai. Ia disebut sebagai tokoh yang membantu untuk
membangun konflik tokoh utama, karena peranannya sama halnya
35
Ibid., h. 79
56
dengan Margo. Kelicikan yang dimiliki keduanya merupakan untuk
mencapai tujuan yang sama, yaitu menjauhkan Karman dari lingkungan
masyarakat Pegaten dan Haji Bakir semata-mata hanya demi
kepentingan partainya.
g. Kastaghetek
Kastaghetek adalah manusia bebas yang menyadari
ketergantungannya dengan masyarakat, alam dan Tuhan. Kastaghetek
seorang rakyat biasa, tukang rakit, namun seorang sosok manusia yang
mengerti peranannya sebagai makhluk Tuhan. Kastaghetek yang lugu
dan tidak mengerti politik, ternyata dapat menangkap makna eksistensi
manusia, dengan mendendangkan lagu religi.
Aku mbiyen ora ana
Saiki dadi ana
Mbesuk maneh ora ana
Padha bali marang rahmatullah
Dulu aku tiada
Kini aku meng-ada
Kelak aku lagi tiada
Kembali ke rahmat ilahi36
Lirik lagu di atas sebelumnya telah tercantum pada analisis
tema. Pentingnya lagu ini muncul kembali untuk menemukan watak
seorang Kastaghetek. Dengan munculnya tembang di atas, tergambar
sikap Kasta yang religi dan pasrah kepada Tuhan akan kehidupan yang
dijalaninya. Sikap hidup seperti itulah yang justru memungkinkan
hadirnya keselarasan, keharmonisan, dan kebahagiaan.
Pengarang memunculkan tokoh Kastaghetek sebagai tokoh
tambahan yang membantu kesadaran Karman akan kesalahan di masa
lalunya. Sikap hidup Kastaghetek yang lugu, bersahaja, dan tahu akan
keberadaan dirinya sebagai makhluk Tuhan secara tidak langsung
mempengaruhi Karman dan seolah-olah membawa nurani dan akalnya
36
Ibid., h. 152
57
untuk berpikir tentang eksistensi dirinya. Sehingga secara otomatis
timbul getar-getar suara hati dalam diri Karman untuk mencari
jawabannya ke arah yang lebih baik.
h. Kapten Somad
Kapten Somad adalah seorang perwira yang bertugas membina
kehidupan rohani para tahanan. Perwira ini memiliki sikap yang tegas,
bijaksana, disiplin, baik, teliti dalam menjalankan tugasnya serta
perhatian terhadap para tahanan salah satunya kepada Karman. Ketika
Karman jatuh sakit di dalam tahanan yang selalu mengurusi dan
memberikan perhatian kesehatan kepadanya yaitu Kapten Somad.
Kebetulan Kapten Somad diberikan tugas untuk memperhatikan kondisi
Karman, perhatiannya yang sangat teliti dapat membantu kesembuhan
Karman.
Beberapa saat kemudian Kapten Somad itu berbalik menuju
dipan tempat Karman terbaring. Bagaimanapun, wajahnya tetap
jernih dan tersenyum. Perwira yang baik itu tahu mengambil
sikap yang benar dalam segala keadaan. Dengan gaya seoranga
ayah, Kapten Somad meraba dahi Karman sambil berkata, ―Ya,
ya, Karman aku mengerti. Aku dapat merasakan
penderitaanmu.‖37
Kutipan di atas menunjukkan sikap tokoh Kapten Somad yang
sabar, penuh kasih sayang, perhatian, pengertian, serta bijaksana.
Selain itu ia juga selalu memberikan nasihat-nasihat yang sangat
menjiwai hati Karman. Dalam keterpurukan kehidupan Karman yang
sulit untuk bangkit lagi, Kapten Somad selalu memberikan semangat
untuk memotivasi Karman agar bangkit kembali. Kapten Somad pula
yang membantu Karman agar kembali ke ajarannya sebelum ia masuk
sebagai anggota politik. Sehingga Karman telah sadar dari
kesalahannya di masa lalu, perubahan seperti ini ia bawa pulang
kembali ke lingkungan masyarakat Pegaten.
37
Ibid., h. 21
58
―Dan yang pasti, sikap putus asa tidak pernah menjadi
jawaban yang benar. Tidak pernah!‖38
―Bila kau dapat menyingkirkan angan-angan untuk
berputus asa, kau akan sampai pada jalan yang terbaik.‖39
Selain kutipan di atas, terdapat pula kutipan bahwa Kapten
Somad menasehati Karman dengan memberikan pencerahan bahwa
yang dapat menyembuhkan jiwa Karman adalah berawal dari
kepercayaan. Kepercayaan yang selama ini ia hilangkan selama menjadi
seorang atheis akibat mengikuti partai komunis.
―Ya, kepercayaan bahwa ada kekuatan besar yang berkuasa
atas dirimu. Kekuatan itu mengatasi apa saja yang ada
padamu.‖40
Tokoh Kapten Somad dimunculkan oleh pengarang sebagai
tokoh tambahan yang dapat membantu menyembuhkan kejiwaan tokoh
utama dalam menghadapi gejolak hidupnya. Peranan Kapten Somad
hampir sama dengan Kastaghetek yaitu, menawarkan dan mengajak
Karman untuk merenungkan apa dan siapa dirinya. Di sini nasehat
Kapten Somad menawarkan kepada Karman suatu perenungan ke arah
kebaikan.
4. Latar
Latar dalam novel ini terbagi menjadi empat, diantaranya: latar tempat,
latar waktu, latar suasana, dan latar sosial. Berikut merupakan pemaparan
latar:
a. Latar Tempat
Latar tempat yang terdapat dalam novel Kubah ini, hanya
diambil dua tempat, yaitu Pegaten dan pulau Buangan. Kedua tempat
ini sangat bersejarah bagi kehidupan serta peristiwa yang dialami
tokoh utama. Desa pegaten disebut sebagai tempat bersejarah bagi
tokoh utama, karena di dalamnya menggambarkan kehidupan serta
38
Ibid., h. 21 39
Ibid., h. 22 40
Ibid., h. 25
59
keadaan yang terjadi di desa Pegaten. Selanjutnya, Pulau Buangan
merupakan tempat kedua yang telah disinggahi oleh tokoh utama
akibat kesalahan di masa lalunya. Berikut pemaparan desa Pegaten dan
pulau Buangan:
1. Pegaten
Desa Pegaten adalah sebuah nama desa tempat Karman
dilahirkan dan dibesarkan sebelum ia diasingkan ke Pulau Buru
dan kembali lagi ke desa Pegaten. Cerita-cerita yang terdapat
dalam novel ini pun seringkali menceritakan tentang keadaan desa
Pegaten dan masyarakat yang hidup di dalamnya.
Desa Pegaten yang kecil itu dibatasi oleh Kali Mudu
di sebelah barat. Bila datang hujan, sungai itu berwarna
kuning tanah. Tetapi pada hari-hari biasa air di Kali Mudu
bening dan sejuk. Di musim kemarau Kali Mudu berubah
menjadi selokan besar penuh pasir dan batu.41
Kutipan di atas merupakan ciri-ciri keadaan yang terdapat
di desa Pegaten. Kali Mudu merupakan salah satu sungai yang
berada di wilayah desa Pegaten. Selain itu, tergambar pula keadaan
sungai yang setiap musimnya sewaktu-waktu akan berubah
keadaan airnya.
Selain itu terdapat pula kutipan yang menunjukan bahwa
desa Pegaten inilah merupakan tempat kelahiran Karman, serta
tempat ayahnya bekerja sebagai gurbemen. Diceritakan pula mata
pencaharian masyarakat Pegaten tidak jauh dari seorang petani.
Karman lahir di Pegaten pada tahun 1935. Ayahnya
seorangmantri pasar di sebuah kota kecamatan. Waktu itu
gaji seorang mantri pasar bisa diandalkan untuk mencukupi
kebutuhan rumah tangga. Hampir semua warga desa
Pegaten adalah petani. Maka ayah Karman sangat bangga
akan jabatannya sebagai pegawai gubermen.42
41
Ibid., h. 36 42
Ibid., h. 54
60
Selain tempat kelahiran serta tempat tinggal Karman, desa
Pegaten juga memiliki sebuah tradisi yang tak bisa ditinggalkan
kesempatannya yang biasa dilakukan oleh para tetangganya yaitu
menuai padi pada saat musim panen tiba.
Hampir musim panen. Anak-anak di Pegaten mulai
meniup-niup puput. Di pagi hari burung-burung gelatik dan
murai terbang berkelompok – kelompok menuju sawah.
Musim ini panenan baik. Orang-orang yang tidak
mempunyai sawah ikut senang. Mereka ikut menuai. Dari
hasil tuaian itu mereka berhak atas sepertujuh seperdelapan
bagian. Sebagiannya menjadi hak pemilik sawah.43
Kutipan di atas menggambarkan kehidupan masyarakat
Pegaten pada saat musim panen tiba. Mereka berlomba-lomba
menuai padi agar mendapatkan upah dari hasil tuaiannya tersebut.
Tak seorang pun melewatkan kesempatan seperti ini, demi dapat
memakan nasi yang empuk mereka rela seharian menuai padi di
sawah para tetangga. Selain itu, tidak hanya orang tua saja yang
sibuk menuai, bahkan anak-anak pun sibuk bermain dengan
meniup-niupkan puput. Musim panen ini merupakan musim yang
sangat istimewa bagi masyarakat Pegaten. Hal ini dapat diakui oleh
Bu Haji Bakir.
Perempuan itu sadar bahwa masa panen adalah masa
istimewa bagi semua anak kampung. Maka Karman
diberinya kesempatan ikut terjun ke sawah untuk
melaksanakan kepentingan sendiri.44
Bagi diri Karman desa Pegaten banyak mengisahkan
kenang-kenangan di masa lalunya. Di sinilah ia dilahirkan, bekerja
di rumah Haji Bakir, banyaknya konflik yang dialaminya,
terjerumusnya ke dalam partai komunis, belajar mandiri setelah
ditinggal oleh ayahnya, bergaul dengan masyarakat Pegaten
terutama budaya yang sudah menjadi tradisi pada saat musim
43
Ibid., h. 63 44
Ibid., h. 63—64
61
panen tiba, serta diterimanya kembali tinggal di desa ini. Pada
akhirnya desa Pegaten pula yang telah menerima Karman tinggal
kembali di desa ini sehingga ia dipercaya membuat sebuah kubah
untuk masjid milik Haji bakir. Hal ini, dapat dilihat pada alur akhir
cerita novel Kubah ini.
2. Maluku Utara (Pulau Buangan)
Maluku Utara merupakan tempat kedua yang sangat
bersejarah bagi Karman selain Pegaten. Di tempat inilah Karman
menyadari kekhilafan yang telah diperbuatnya. Karman ditahan
karena kesalahannya yang telah mengikuti anggota Partai Komunis
Indonesia selama berteman dengan Margo dan Triman. Berikut
kutipan yang menunjukkan bahwa Pulau Buangan tepatnya berada
di Maluku Utara:
Jabir memang tak urusan dengan kenyataan ayah Tini
seorang penghuni pulau tahanan, jauh di Maluku Utara.45
Di tempat ini pula Karman bertemu dengan Kapten Somad
yang telah menyadarkan dirinya dari ajaran atheis.
Ada seorang perwira yang karena pembawaan pribadi
serta tugasnya harus memperhatikan Karman. Dia adalah
Kapten Somad, perwira yang bertugas membina kehidupan
rohani para tahanan.46
Kutipan di atas menggambarkan kehidupan di penjara tidak
hanya sekedar ditahannya para ekstapol, tetapi adanya siraman
rohani yang diberikan oleh salah satu petugas tahanan yaitu,
Kapten Somad.
Pulau Buangan ini merupakan tempat bersejarah bagi diri
Karman, karena selama ia ditahan di Pulau Buangan banyak
pelajaran yang ia tangkap. Selain siraman rohani yang diterimanya
dari Kapten Somad, ia juga belajar bagaimana menjadi seorang
45
Ibid., h. 38 46
Ibid., h. 18
62
tukang. Pekerjaan seperti inilah ia bawa ke Pegaten sehingga
dirinya dipercaya dan diterima kembali oleh masyarakat Pegaten
akan perubahannya itu. Pada kesempatan yang istimewa bagi
Karman, ia menyanggupi untuk membuat kubah masjid Haji Bakir.
Ketika tinggal dalam pengasingan Karman pernah
belajar mematri dan mengelas.47
―Beruntung,‖ sambung yang lain, ―kita mendapatkan
Karman kembali. Kalau tidak, niscaya kita tidak bisa
bersembahyang di dalam masjid sebagus ini.‖48
b. Latar Waktu
Latar waktu yang pertama terjadi pada Oktober 1965. Pada saat
itu terjadi kegegeran, peristiwa ini menyebabkan seseorang di asingkan
ke Pulau Buangan. Selain itu, merupakan sebuah peristiwa terpisahnya
antara anak dengan ibu, suami dengan istri, anak dengan ayah yang
dicintainya.Kegegeran ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
Geger Oktober 1965 sudah dilupakan orang juga di
Pegaten. Orang-orang yang mempunyai sangkut paut dengan
peristiwa itu, baik yang pernah ditahan atau tidak, telah menjadi
warga masyarakat yang taat. Tampaknya mereka ingin disebut
sebagai orang yang sungguh-sungguh menyesal karena telah
menyebabkan guncangan besar di tengah kehidupan
masyarakat. Bila ada perintah kerja bakti, merekalah yang
paling dulu muncul. Sikap mereka yang demikian itu cepat
mendatangkan rasa bersahabat diantara sesama warga desa
Pegaten.49
Latar waktu selanjutnya yaitu pada permulaan tahun ajaran baru,
tahun 1950. Pada tahun ini, Hasyim yang tak lain adalah paman dari
Karman merencanakan untuk menyekolahkan keponakannya itu.
Karman pun di ambil kembali oleh keluarganya dari Haji Bakir, dan
beliau pun tidak dapat menolak keputusan keluarga Karman yang ingin
menyekolahkannya ke tingkat menengah. Karman merasa menjadi
anak yang paling bahagia, karena ia bisa melanjutkan sekolahnya ke
47
Ibid., h. 187 48
Ibid., h. 189 49
Ibid., h. 36
63
tingkat SMP. Selain itu, Karman pun menjadi anak Pegaten pertama
yang menempuh pendidikan sampai ke tingkat menengah. Hal ini
dapat dibuktikan dengan:
Karman merasa menjadi anak yang paling berbahagia di
dunia. Pada permulaan tahun ajaran baaru tahun1950, Karman
sudah menjadi seorang murid SMP di sebuah kota kabupaten
yang terdekat. Karman menjadi anak Pegaten pertama yang
menempuh pendidikan sampai ke tingkat menengah.50
Latar waktu selanjutnya adalah awal tahun enam puluhan. Pada
tahun enam puluhan ini keadaan ekonomi masyarakat Pegaten sangat
krisis. Keadaan alam pun sangat tidak mendukung untuk hasil panen
mereka. Hanya singkong kukus yang dapat mereka makan. Kesulitan
seperti ini membuat masyarakat Pegaten terserang penyakit busung
lapar. Mereka jarang menemukan makanan yang lebih baik lagi untuk
dikonsumsi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Yang terjadi di Pegaten pada awal tahun enam puluhan,
sama seperti yang terjadi dimana-mana. Boleh jadi orang-orang
tidak senang mengingat masa itu kembali karena kepahitan
hidup yang terjadi waktu itu.51
Latar waktu selanjutnya adalah bulan Agustus tahun 1977. Pada
tahun ini, merupakan tahun kebebasan Karman dari Pulau Buru.
Walaupun sudah beberapa tahun yang lalu Karman meninggalkan desa
kelahirannya, akan tetapi, nama Pegaten tidak mengalami perubahan
dan entah sampai kapan nama Pegaten ini dilestarikan sebagai nama
desa tempat ia tinggal.
Dari dulu desa itu bernama Pegaten, juga pada bulan
Agustus 1977 dan entah sampai kapan lagi. Tadi malam ada
hujan walaupun sebentar. Cukuplah untuk melunturkan debu
yang melapisi dedaunan. Tanah berwarna coklat kembali setelah
beberapa bulan memutih karena tiada kandungan air.52
50
Ibid., h. 74 51
Ibid., h. 132 52
Ibid., h. 167
64
Bulan Agustus ini pula Tini dan Jabir menyambut kedatangan
Karman serta menjemputnya ke kota. Karman yang telah dijemput
oleh anak dan calon menantunya itu, kini tinggal di rumah Bu Mantri,
ibunya sendiri (nenek dari Tini).
c. Latar Suasana
Latar suasana yang pertama adalah gembira dan bercampur
dengan kepedihan. Kabar yang sudah ditunggu-tunggu sekian lamanya
walaupun hanya melalui sepucuk surat. Hal ini terjadi ketika Marni
mengirimkan surat kepada Karman, saat Karman berada di Pulau
Buru. Surat tersebut berisikan bahwa Marni meminta izin nikah lagi
dengan Parta teman sekampung Karman. Mendapatkan surat dari
seorang istri yang terpisah beberapa tahun lamanya merupakan suatu
kegembiraan bagi seorang suami. Akan tetapi, dibalik surat tersebut
ada suatu kepedihan bagi si suami yang masih mengharapkan istrinya
untuk setia walaupun jarak ribuan kilometer telah memisahkan
keduanya. Dapat dibayangkan betapa hancurnya hati serta jiwa
Karman terguncang mendengar kabar tersebut, hal ini membuat diri
Karman hilang semangat sehingga dirinya jatuh sakit di Pulau Buru.
Semakin hari semakin terguncang hatinya ketika teman-temannya
mengejek curhatannya tentang Marni, karena menurut mereka Karman
bernasib sama dengan teman-temannya itu bahwa sama-sama ditinggal
nikah dengan orang lain. Apalagi dengan keadaan wajah Marni yang
cantik merupakan sebab orang lain terpikat dengan kecantikannya itu.
Waktu menerima surat dari Marni itu, di Pulau Buru, mula-
mula Karman merasa sangat gembira. Surat dari istri yang
terpisah ribuan kilometer adalah sesuatu yang tidak ternilai
harganya bagi seorang suami yang sedang jauh terbuang.
Sebelum membaca surat itu, sudah terbayang oleh Karman
lekuk sudut bibir Marni yang bagus; suaranya yang lembut, atau
segala tingkah lakunya yang membuktikan Marni adalah
perempuan yang bisa jadi penyejuk hati suami. Tetapi selesai
membaca surat itu, Karman mendadak merasa sulit bernapas.
Padang datar yang kerontang dan penuh kerikil seakan
mendadak tergelak di hadapannya. Padang yang sangat
65
mengerikan, asing, dan Karman merasa seorang diri.
Keseimbangan batin Karman terguncang keras. Semangat
hidupnya nyaris runtuh.53
Latar suasana selanjutnya adalah peristiwa yang menegangkan.
Hal ini terjadi ketika lamaran Karman ditolak oleh Haji Bakir,
keadaan seperti ini sangat dimanfaatkan oleh Margo dan Triman untuk
menghasut Karman terhadap Haji Bakir. Hasutan demi hasutan telah
menguasai diri Karman, sehingga ia tidak mendengarkan alasan
kenapa penolakannya ditolak oleh Haji Bakir. Pada lamaran yang
kedua kalinya pun Karman ditolak oleh tuan tanah ini, seperti
biasanya keadaan inilah dimanfaatkan kembali oleh kedua orang
partai tersebut. Bukan hanya persoalan lamarannya untuk meminang
Rifah, tetapi ada persoalan lain pula yaitu Margo dan Triman
menghasut masalah tanah milik Pak Mantri yang dulu dijual kepada
Haji Bakir. Margo dan Triman menghasut pikiran Karman bahwa
sawah milik ayahnya itu telah dikuasai oleh Haji Bakir, namun, pada
kenyataannya tidak seperti itu. Namun, hasutan yang diterima oleh
Karman sudah menguasai dirinya,sehingga akhirnya Karman merasa
dendam kepada Haji Bakir. Terbukti dengan:
Rasa kecewa, marah, dan malu berbaur dihati Karman.
Akibatnya, ia mendendam dan membenci Haji Bakir. Karman
memulai dengan enggan bertemu, bahkan enggan menginjak
halaman rumah orang tua Rifah. Sembahyang wajib ia tunaikan
di rumah. Dan ia memilih tempat yang lain bila menunaikan
sembahyang Jumat.54
Kutipan di atas menggambarkan apa yang dilakukan Karman
semata-mata hanya untuk membalas dendam. Ia merasa disakiti atau
dizholimi oleh Haji Bakir dan keluarganya. Dengan meninggalkan
sembahyang wajib dan meninggalkan masjid Haji Bakir merupakan
suatu kepuasan bagi diri Karman dalam membalas dendamnya itu.
53
Ibid., h. 14 54
Ibid., h. 91
66
Selanjutnya, latar suasana dalam novel ini adalah mengharukan.
Suasana mengharukan dalam novel ini ketika Marni menjenguk
Karman di rumah Bu Mantri. Hati Marni yang merasa bingung harus
bagaimana setelah ia bertemu Karman, rasa rindu dan bimbang
menjadi satu. Di satu sisi ia rindu kepada Karman yang telah
meninggalkannya selama beberapa tahun, di sisi lain juga ia harus
memikirkan perasaan Parta yang telah menjadi suaminya selama
Karman berada di Pulau Buru hingga sampai sekarang ini. Ketika
mereka dipertemukan kembali di rumah Bu Mantri suasana
mengharukan itu pun terjadi, diantara keduanya terlihat saling
menahan rasa rindu yang teramat sangat setelah sekian lama berpisah.
Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
Orang tak usah mencari kata-kata yang berlebihan, karena
yang kemudian terjadi memang sulit dilukiskan dengan bahasa.
Perempuan-perempuan yang menahan isak. Lelaki-lelaki yang
tiba-tiba jadi gagu. Dan suasana mendadak bisu tetapi penuh
haru-biru.55
Latar suasana yang terakhir adalah suatu kehormatan dan
kebanggaan bagi diri Karman, ia merasa hidupnya berarti kembali
untuk masyarakat disekitarnya. Masyarakat Pegaten yang sangat
memiliki sikap solidaritas tinggi, membuat kesalahan Karman di masa
lalu telah dimaafkan. Sikap pemaaf yang dimiliki masyarakat Pegaten
telah dibuktikan ketika Karman dipercaya untuk membuat bangunan
kubah di masjid milik Haji Bakir.
Tetapi Karman menganggap pekerjaan membuat kubah itu
sebagai kesempatan yang istimewa.56
d. Latar Sosial
Latar sosial dalam novel Kubah ini disesuaikan dengan keadaan
sosial tempat dan waktu yang digambarkan dalam cerita. Di dalam
novel ini pengarang menampilkan latar sosial mengenai kehidupan
55
Ibid., h. 175 56
Ibid., h. 188
67
masyarakat Pegaten yang masih menggunakan sistem perjodohan.
Apabila dilihat pada zaman sekarang kemungkinan sangat tipis adanya
sistem perjodohan seperti yang dilakukan oleh keluarga Haji Bakir
ketika menjodohkan Rifah dengan Abdul Rahman seorang pemuda
santri disebuah pesantren daerah Jawa Timur.
Calon suami Rifah telah ditemukan oleh keluarga Haji
Bakir. Pemuda itu sedang belajar di sebuah pesantren di Jawa
Timur, dan boleh jadi Rifah pun belum tahu apa-apa tentang
perjodohannya.57
Kutipan di atas menunjukkan latar sosial masih adanya
gambaran sistem perjodohan yang dilakukan keluarga Haji Bakir
terhadap putrinya, Rifah. Apabila dikaitkan dengan zaman sekarang,
bisa saja yang menggunakan sistem perjodohan hanyalah di tempat-
tempat terpencil pedalaman, jika memiliki anak gadis para orang tua
menjodohkan anaknya dengan pria pilihan mereka bukan pilihan sang
anak.
Selain latar sosial yang menggunakan sistem perjodohan di
dalam Novel Kubah ini, ada pula latar sosial pada zaman PKI. Hal ini
berkaitan pada latar waktu 1965 terjadinya kegegeran yang merugikan
masyarakat Pegaten sehingga menyebabkan seseorang masuk ke dalam
tahanan politik.
Berikut ini kutipan yang menggambarkan adanya latar sosial
yang lain dalam novel Kubah:
Di Madiun, September 1948 terjadi pemberontakan besar.
Makar itu dikobarkan untuk merobohkan Republik yang baru
berusia tiga tahun, dan menggantinya dengan sebuah
pemerintahan komunis. Namun makar yang meminta ribuan
korban itu gagal. Para pelaku yang tertangkap diadili dan
dihukum mati.58
Kutipan di atas menunjukkan adanya latar sosial di mana masih
ada pemberontakan besar. Banyaknya para korban yang berjatuhan
57
Ibid., h. 76 58
Ibid., h. 76
68
pada pemberontakan ini. Peristiwa ini menggambarkan para PKI
berusaha untuk merobohkan sistem pemerintahan Republik yang
masih sangat muda dengan merubahnya menjadi sistem pemerintahan
komunis.
Latar sosial selanjutnya, dapat dilihat pada latar tempat
bagaimana kehidupan serta keadaan di daerah Pegaten. Kekompakan
masyarakat Pegaten pada saat musim panen tiba berlomba-lomba
menuai padi di sawah para tetangga demi mendapatkan nasi untuk
mereka makan.
Latar sosial yang terakhir dalam novel Kubah yaitu, diterimanya
kembali kehadiran Karman di Pegaten dari pengasingan. Masyarakat
Pegaten telah memaafkan semua kesalahan Karman di masa lalu.
Karman dipercaya untuk membuat kubah di masjid Haji Bakir, hal ini
membuktikan bahwa masyarakat Pegaten telah memaafkan
kesalahannya.
Keinginan Karman mendapat sambutan. Hasyim menjual
tiga ekor kambing untuk membeli bahan-bahan pembuat kubah
serta biaya sewa alat-alat las dan patri.59
5. Sudut Pandang
Sudut pandang dalam sebuah cerita merupakan dari posisi mana
sebuah cerita dilihat. Sudut pandang berkaitan dengan siapa yang
membawakan cerita atau narator. Hal ini terkait pula dengan di mana
seorang pengarang memposisikan dirinya dalam cerita. Penggunaan sudut
pandang yang tepat, membuat cerita menjadi lebih kuat dalam segi
penyampaian dan mencapai tujuan yang diharapkan.
Dalam novel Kubah ini menggunakan sudut pandang orang ketiga
dia maha tahu, karena dalam novel ini pun tampak diawali pada bagian
pertama dengan sudut pandang dia maha tahu. Dari sudut pandang orang
ketiga dia serba tahu ini, mengetahui segala hal yang terjadi pada setiap
tokoh yang terdapat dalam cerita, baik dari segi peristiwa, perasaan,
59
Ibid., h. 189
69
pikiran, maupun pandangan setiap tokoh terhadap berbagai hal. Terlihat di
awal kisah pengarang memposisikan dirinya sebagai narator, dapat dilihat
dari kutipan berikut:
Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak -geriknya serba
kikuk sehingga mengundang rasa kasihan. Kepada Komandan,
Karman membungkuk berlebihan. Kemudian dia mundur beberapa
langkah, lalu berbalik. Kertas -kertas itu dipegangnya dengan hati-
hati, tetapi tangannya bergetar. Karman merasa yakin seluruh
dirinya ikut terlipat bersama surat-surat tanda pembebasannya itu.
Bahkan pada saat itu Karman merasa totalitas dirinya tidak
semahal apa yang kini berada dalam genggamannya.60
Kutipan di atas menggambarkan suasana dan keadaan yang dialami
tokoh utama setelah dibebaskan dari Pulau Buangan.
Dari episode ke episode hingga akhir cerita Ahmad tohari
memposisikan dirinya sebagai orang ketiga dia maha tahu. Hal ini dapat
dilihat dalam setiap cerita novel Kubah, Ahmad Tohari selalu
menyebutkan nama para tokoh atau menggunakan kata ganti: ia, dia,
mereka. Selain itu, ia sering menyebutkan nama tokoh utama dalam cerita
ini.
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa
secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai
bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur
berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik.61
Gaya bahasa yang digunakan oleh Ahmad Tohari tidak terlepas
dari gaya bahasa kias, sama halnya seperti pengarang lainnya. Gaya
bahasa yang digunakan Ahmad Tohari antara lain mengunakan majas
hiperbola, personifikasi, dan klimaks. Diantara ketiga majas ini, Ahmad
Tohari lebih banyak menggunakan majas personifikasi yang menggunakan
60
Ibid., h. 7 61
Henry Guntur Tarigan, op. cit., h. 5
70
alam sebagai benda hidup. Berikut merupakan penjabaran hasil penelitian
gaya bahasa dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari:
a. Hiperbola
Ahmad Tohari menyisipkan majas hiperbola dalam novel Kubah
menggambarkan keadaan gejolak batin yang dialami Karman ketika
mendapatkan surat dari Marni. Jiwanya terguncang, seakan-akan
Karman merasa sesak nafas mendengar berita tersebut.
Padang datar yang kerontang dan penuh kerikil seakan
mendadak tergelak di hadapannya. Padang yang sangat
mengerikan, asing, dan Karman merasa seorang diri.62
Dari kutipan di atas, tergambar bagaimana kata-kata tersebut
sangat menakutkan atau dibuat pernyataan berlebih-lebihan dengan
maksud memberikan penekanan pada keadaan yang dialami Karman.
b. Personifikasi
Analisis novel Kubah, Ahmad Tohari juga menyisipkan beberapa
majas personifikasi, diantaranya terdapat pada kutipan berikut:
Terik matahari langsung menyiram tubuhnya begitu Karman
mencapai tempat terbuka di halaman gedung. Panas. Rumput dan
tanaman hias yang tak terawat tampak kusam dan layu. Banyak
daun dan rantingnya yang keing dan mati. Debu mengepul
mengikuti langkah-langkah lelaki yang baru datang dari Pulau B
itu.63
Majas personifikasi pada kutipan di atas, menggambarkan
matahari seolah-olah seperti benda hidup. Pada kenyataannya matahari
tidak dapat menyiram, melainkan teriknya menyinari tubuh seseorang,
sehingga tubuh yang dimaksud mengeluarkan keringat akibat sinar
yang dipancarkan oleh matahari.
Majas personifikasi dapat dilihat pula pada bagian yang
mengisahkan sekelompok burung dengan para penuai padi. Berikut
kutipannya:
62
Ahmad Tohari, op. cit.., h. 14 63
Ibid., h. 7
71
Burung branjangan terbang tinggi mengitari para penuai yang
sedang sibuk memotong tangkai bulir-bulir padi. Suaranya
renyah. Unggas itu terkenal pintar menirukan suara burung-
burung yang lain. Segumpal awan tiba-tiba mengelilingi matahari.
Sejuk, walaupun sejenak.64
Kutipan di atas menggambarkan kegiatan antara sekelompok
burung dengan sekelompok para penuai yang terjadi di sawah. Suara
burung diibaratkan seperti rasa mengunyah makanan, suara renyah
disini maksudnya yaitu, suara yang nyaring.
c. Klimaks
Majas klimaks digunakan Ahmad Tohari pada bagian nasehat
yang diberikan Kapten Somad terhadap Karman.
Bila kau dapat menyingkirkan angan-angan untuk berputus
asa, kau akan sampai pada jalan yang terbaik.65
Kutipan di atas mengarahkan Karman agar tidak menjadi manusia
yang mudah berputus asa. Ungkapan di atas mengandung susunan yang
semakin lama semakin mengandung penekanan. Majas klimaks ini
dapat dilihat dari kata awal ―bila‖, yang berarti merupakan syarat jika
ingin mencapai tujuan, dan kata ―menyingkirkan‖ yang berarti
merupakan suatu ajakan.
Dengan demikian, gaya bahasa yang paling dominan dipakai oleh
Ahmad Tohari yaitu, majas personifikasi. Ahmad tohari seorang penulis
desa selalu menggambarkan keadaan alam yang ia ibaratkan sebagai
benda hidup. Oleh karena itu, majas personifikasi ini merupakan salah
satu ciri khas gaya penulisan Ahmad Tohari.
B. Nilai Sosial dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari
Novel Kubah karya Ahmad Tohari ini menceritakan pertobatan
seseorang yang terjerumus ke dalam anggota PKI. Gambaran pertobatan
yang dilakukan tokoh Karman merupakan isyarat bahwa para anggota
64
Ibid., h. 67 65
Ibid., h. 22
72
ekstapol hanya mungkin dapat diterima masyarakat jika mereka
menunjukkan pertobatannya lewat amal perbuatan yang baik. Gerakan 30
September yang merupakan tragedi nasional itu, memang sulit untuk
dilupakan. Namun, tidak pada tempatnya jika masyarakat menolak mereka
yang sungguh-sungguh sudah insyaf dan hendak bertobat.
Selain itu, novel Kubah karya Ahmad Tohari mengisahkan kehidupan
yang terdapat dalam masyarakat Pegaten. Bisa dibilang masyarakat Pegaten
sangat terbelakang dalam hal pendidikan, hanya beberapa orang saja yang
bisa melanjutkan sekolah. Namun, hal seperti ini tidak menjadi masalah
bagi mereka. Mata pencaharian masyarakat Pegaten mayoritas sebagai
seorang petani, mereka bekerja di sawah-sawah para tetangga. Maka, setiap
musim panen tiba mereka selalu mengisi waktu dengan berlomba-lomba
menuai padi agar mendapatkan upah berupa beras.
Selain tradisi penuaian padi, ada pula tradisi yang tidak bisa
ditinggalkan oleh anak-anak masyarakat Pegaten, hal ini dapat dilihat ketika
menceritakan tokoh utama semasa kecil. Anak-anak di Pegaten lebih senang
tidur di masjid milik Haji Bakir ketimbang di rumah masing-masing.
Sewaktu subuh tiba mereka berkumpul di pancuran air wudhu untuk bersih-
bersih sebelum melaksanakan salat. Hal seperti ini, menggambarkan
masyarakat Pegaten yang bernuansa religi.
Ada pula tradisi masyarakat Pegaten yang sangat tipis kemungkinan
untuk dilakukan pada masa sekarang. hal ini dapat dilihat kembali pada latar
sosial yang menjelaskan adanya sistem perjodohan contohnya pada keluarga
Haji Bakir.
Apabila dilihat dari latar tempat dan latar belakang pengarang, nama
Pegaten berada di daerah pulau Jawa. Hal ini, dapat dilihat dari tembang
yang menggunakan bahasa Jawa.
―Aku mbiyen ora ana
Saiki dadi ana
Mbesuk maneh ora ana
Padha bali marang rahmatullah.‖66
66
Ibid., h. 152
73
Tembang ini muncul kembali pada analisis nilai sosial kebudayaan
masyarakat Pegaten, untuk membuktikan latar belakang kehidupan Ahmad
Tohari sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan Jawa berpengaruh
dengan munculnya filsafat Jawa yang terkandung dari tembang tersebut.
Bila saja Ahmad Tohari bukan suku Jawa, ia mungkin tidak akan
menangkap makna yang terkandung dari tembang tersebut sehingga ia tidak
akan mencantumkan dalam karya-karyanya. Wawasan imajinasi dan
pengalamannya tidak terlepas dari aspek sosial budaya yang melingkupinya
ataupun ideologi yang dianutnya.67
Maksud adanya hubungan latar belakang Ahmad Tohari dengan karya
sastra yaitu, bahwa karya sastra bukan salinan biografi Ahmad Tohari.
Melainkan, karya sastra hanyalah imajinasi penulis, tetapi secara tidak sadar
mungkin latar belakang kehidupan pengarang ikut mempengaruhi, dan
kehidupan yang sejak kecil melingkari kehidupan pengarang karyanya.68
Dari berbagai pendapat di atas, menunjukkan adanya kaitan antara
pengarang dengan latar belakang kehidupannya. Maka, dalam analisis nilai
sosial masyarakat Pegaten penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra
yakni, berkaitan dengan mempertimbangkan segi-segi kemayarakatan yang
ada dalam karya sastra. Di dalam sebuah karya sastra pasti terkandung nilai-
nilai kehidupan yang berlaku pada masyarakat di mana karya sastra tersebut
diciptakan. Nilai-nilai tersebut menggambarkan norma, tradisi, aturan, dan
kepercayaan yang dianut atau dilakukan pada suatu masyarakat.
Dalam melakukan analisis ini, penulis membaginya berdasarkan nilai
sosial yang terdapat di masyarakat Pegaten. Berikut pemaparannya:
1. Hubungan Manusia dengan Masyarakat
Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku
dan tata cara hidup sosial. Hal ini berkaitan erat dengan karya sastra,
karena karya sastra dapat pula bersumber dari kenyataan-kenyataan
yang terjadi di masyarakat. Nilai tersebut mencakup kebutuhan hidup
67
Anonim, Sastra Religius Ahmad Tohari dalam Ideologi Islam. (Harian Republika:
Jakarta, 2003). 68
Ibid.
74
bersama, seperti kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan
penghargaan. Nilai sosial yang dimaksud adalah kepedulian terhadap
lingkungan sekitar. Nilai dalam karya sastra, nilai sosial dapat dilihat
dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan sehingga
diharapkan mampu memberikan peningkatan kepekaan rasa
kemanusiaan.
Pentingnya berhubungan baik dengan tetangga maupun orang
lain dapat mempererat tali silaturahmi antarsesama. Berbuat baik
terhadap orang lain akan membuat hidup terasa tenang dan tentram. Ini
merupakan nilai sosial yang patut untuk dijalankan dalam kehidupan
sehari-hari. Banyak hikmah yang dapat diambil dari nilai sosial
hubungan antara manusia dengan masyarakat. Seperti halnya di dalam
novel Kubah, banyak peristiwa yang perlu diteladani untuk setiap
manusia yang merupakan makhluk sosial.
Manusia tidak akan bisa hidup sendiri tanpa kehadiran orang
lain di sekitarnya. Suatu saat pasti akan membutuhkan pertolongan dari
orang lain. Pentingnya hidup bermasyarakat maupun bertetangga,
adalah untuk bersosialisasi, karena hakikatnya manusia merupakan
makhluk sosial. Seperti halnya yang terjadi di masyarakat Pegaten yang
memiliki sikap kebersamaan dalam lingkungan sekitar. Hal ini dapat
dilihat dari tradisi-tradisi serta kehidupan yang dijalani oleh masyarakat
Pegaten. Masyarakat Pegaten bisa dikatakan sangat terbelakang dalam
hal pendidikan, namun mereka merupakan orang-orang yang wajib
dikagumi, lantaran sifat pemaaf masyarakat sangat berarti bagi Karman
yang merupakan tokoh utama pada novel Kubah ini.
Hubungan antara manusia dengan masyarakat pada novel Kubah
dapat di tunjukkan dari kehidupan yang terjadi di Pegaten, diantaranya:
a. Agama
Nilai-nilai sastra religius yang tampak dalam novel-novel
Ahmad Tohari sangat terasa dipengaruhi oleh kehidupan
kesehariaanya yang bernafaskan ideologi Islam, sehingga unsur
75
keagamaannya adalah Islami. Pada analisis ini dilihat dari tokoh
utama yang menggambarkan pertaubatannya dengan cara membuat
kubah, kemudian menempelkan sebuah nasihat dari Kapten Somad
yang merupakan referensi utama dari Al-Qur‘an.
Leher kubah dihiasi kaligrafi dengan teralis. Empat ayat
terakhir dari surat Al-Fajr terbaca di sana: Hai jiwa yang
teduh dan tentram, kembalikan engkau kepada-Ku. Maka
masuklah barisan hamba-hamba-Ku dan temuilah
kedamaian abadi Surga-Ku.69
Dari kutipan di atas, tergambar bagaimana Karman ingin
sungguh-sungguh bertobat dari kesalahan di masa lalu. Ia
mencantumkan empat ayat surat Al-Fajr pada bagian leher kubah
yang dibuatnya.
Peristiwa di atas juga menampakkan unsur religi, hal ini
tampak adanya keinginan Karman untuk mendapatkan kembali
kepercayaan dari masyarakat, juga kesadaran Karman untuk
mengangkat kembali martabatnya sebagai manusia dengan langkah
pertamanya membuat kubah untuk masjid di desanya.
Selain kutipan di atas, terdapat pula kutipan yang
menunjukkan adanya hubungan manusia dengan Tuhan. Kutipan
berikut dilihat dari nasihatnya Kapten Somad untuk Karman yang
sedang merenungkan kesalahannya di masa lalu. Kesalahan tersebut
berawal dari politik yang membuat dirinya jauh dari kepercayaan,
yakni agama. Berikut kutipannya:
Yah dengarlah apa yang kumaksud dengan syarat itu.
Untuk mendasari upaya penyembuhan jiwamu kau harus
memulai dari kepercayaan. Ya kepercayaan. 70
Keyakinan atau yakin merupakan kunci segalanya dalam
ajaran Islam. Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa keyakinan
merupakan puncak dari segala keimanan atau Iman. Oleh karena itu
69
Ahmad Tohari, op. cit., h.189 70
Ibid., h. 25
76
keyakinan merupakan kunci dari segala aktifitas yang kaitannya
hablumminallah (hubungan manusia dengan Allah).
Selain itu, ada pula tradisi yang biasa dilakukan anak-anak
Pegaten, yaitu, tidur di mesjid Haji Bakir. Menjelang subuh, sumur
mesjid Haji Bakir selalu ramai dengan gurauan atas kejahilan anak-
anak yang iseng kepada teman-temannya. Hal ini dapat dilihat dari
kutipan berikut:
Demikianlah sumur mesjid itu selalu ramai oleh gurau
anak-anak selagi fajar merekah di timur. Hiruk-pikuk baru
berakhir apabila sembahyang subuh sudah dimulai. Dan
ketika jamaah yang tua-tua masih berzikir sehabis
sembahyang, anak-anak sudah bubar berhambura. Mereka
kembali ke rumah masing-masing dengan gurauan yang
gembira.71
Kutipan di atas didasari oleh ajaran Islam yang
mencerminkan adanya konsep ideologi Islam yang dianut si
pengarang, dalam hal ini Ahmad Tohari sendiri. Bahwa kehidupan
Ahmad Tohari sebagai orang Jawa dilatarbelakangi unsur-unsur
budaya Jawa dan kehidupan yang sejak kecil telah akrab dengan
surau dan masjid.72
Selanjutnya, terdapat pula peristiwa yang menunjukkan
bahwa manusia tidak bisa terlepas menggantungkan dirinya kepada
Tuhan. Hal ini terlihat pada sosok Kastaghetek, yaitu, seorang
manusia bebas yang ditemukan Karman ketika dalam pelariannya.
Pertemuan inilah yang merupakan awal kesadaran Karman dalam
melakukan kesalahannya selama ini. Hal seperti ini dapat dilihat dari
kutipan berikut:
Dalam kesadaran ketika bayangan regu tembak sudah
muncul di depan mata, Karman merasa sangat iri terhadap
Kastagethek dengan segala perilakunya yang amat tenang,
mengalir, dan pasrah. Karman dapat memastikan bahwa
ketenangan hidup Kastagethek berkaitan dengan shalatnya,
71
Ibid., h. 64 72
Anonim, Sastra Religius Ahmad Tohari dalam Ideologi Islam. (Harian Republika:
Jakarta, 2003).
77
dengan zikirnya, dengan tasbihnya. ―Ah, ketiga ritus itu telah
lama kuingkari dan kucampakkan.73
Sebelumnya kutipan di atas sudah terdapat pada analisis
tema. Kutipan ini diambil kembali untuk menunjukkan kekuatan
hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ketenangan hidup seorang
kastaghetek, lantaran ia menyadari bahwa dirinya sebagai makhluk
Tuhan yang tak bisa meninggalkan perintah-Nya dalam keadaan
apapun. Sikap hidup seperti inilah, justru lebih memungkinkan
hadirnya keselarasan, keharmonisan, dan lebih jauh lagi
kebahagiaan di balik kemiskinan yang dijalaninya.
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan hubungan
manusia dengan Tuhan dilihat dari kesungguhan Karman dalam
bertaubat atas kesalahannya di masa lalu yang telah meninggalkan
ajaran agamanya. Selanjutnya dilihat dari tradisi anak-anak yang
biasa menginap di masjid dan melaksanakan salat subuh berjamaah.
Hal ini membuktikan bahwa pentingnya membiasakan anak-anak
untuk beribadah sejak dini, karena agama merupakan pedoman hidup
manusia. Selanjutnya yang terakhir menggambarkan adanya
interaksi manusia dengan Tuhannya melalui salat serta zikir.
b. Musyawarah
Masyarakat Pegaten memiliki suatu ciri khas jika ingin
melakukan sesuatu. Setiap kegiatan yang ada di desa Pegaten,
masyarakat selalu bermusyawarah terlebih dahulu untuk kepentingan
bersama. Kekompakan masyarakat Pegaten sangat terlihat ketika
adanya kegiatan-kegiatan yang menyangkut keharmonisan dan
kenyamanan warga sekitar. Hal ini dapat dilihat kembali dengan
latar belakang Ahmad Tohari yang tidak bisa jauh dari kehidupan
mesjid atau surau. Salah satu contoh kegiatan musyawarah yang
mereka lakukan ketika mengadakan kegiatan perbaikan mesjid Haji
73
Ahmad Tohari, op. cit., h. 152
78
Bakir. Tokoh utama dalam novel Kubah ini ikut serta dalam kegiatan
musyawarah yang dilaksanakan oleh warga. Menurut Karman yang
merupakan tokoh utama, ini kesempatan istimewa baginya, agar
dapat membuktikan kesungguhannya dalam bertaubat. Berikut
kutipan yang merupakan salah satu hasil musyawarah masyarakat
Pegaten:
Para jamaah sepakat hendak memugar mesjid itu. Pikiran
demikian makin mendesak karena jumlah jamaah terus
bertambah banyak.
Tanpa membentuk sebuah panitia, pekerjaan itu dimulai.
Semua orang mendapat bagian menurut kecakapan masing-
masing.‖74
Kutipan di atas menggambarkan bagaimana kekompakan
yang terjadi di Pegaten. Pada saat Keadaan terdesak pun mereka
melaksanakan tugas yang menjadi bagiannya masing-masing,
walaupun tanpa adanya pembentukan panitia.
Selain itu, Karman yang ingin membuktikan pertobatannya
menawarkan diri untuk membuat sebuah bangunan kubah di mesjid
Haji Bakir. Keputusan Karman ini dapat disetujui oleh masyarakat
sebagai pembuktian bahwa dirinya telah diterima kembali.
Karman memberanikan diri meminta bagiaannya. Ia
menyanggupi membuat kubah yang baru bila tersedia bahan
dan perkakasnya. Ketika tinggal dalam pengasingan Karman
pernah belajar mematri dan mengelas. Keinginan Karman
mendapat sambutan.75
Kutipan di atas menggambarkan keberanian Karman
meminta haknya untuk membuat kubah, karena sebelumnya ia telah
mendapatkan ilmu yang berkaitan dengan hal arsitektur sewaktu
masih dalam tahanan. Keinginan Karman pun disambut baik oleh
warga. Nilai sosial yang terkandung di dalamnya yaitu, suatu
74
Ahmad Tohari, op. cit., h. 187 75
Ibid., h. 187
79
penghargaan dari masyarakat Pegaten untuk Karman dipercaya
dalam membuat kubah mesjid Haji Bakir.
Musyawarah yang sering dilakukan dalam masyarakat
Pegaten tidak hanya sekedar membicarakan kegiatan kerja bakti di
desanya. Namun, terdapat pula sistem perjodohan yang masih kental
dilakukan oleh masyarakat Pegaten, yakni, mengharuskan mereka
berunding untuk kelancaran rencana masa depan anak-anaknya. Hal
seperti ini dapat dilihat dari keluarga Haji Bakir ketika melamarkan
cucunya, yaitu Jabir untuk meminang Tini yang merupakan anak
dari pasangan Karman dengan Marni. Karman yang kebetulan belum
lama pulang dari pengasingannya mendapatkan kabar gembira
bahwa keluarga Haji Bakir akan datang ke rumah Bu Mantri.
Kedatangan keluarga Haji Bakir ini membuktikan bahwa kegiatan
musyawarah tidak hanya ketika ingin melakukan kerja bakti,
melainkan hal apapun dapat dimusyawarahkan. Berikut kutipan
musyawarah yang di lakukan keluarga Haji Bakir dengan keluarga
Karman:
Tengah malam perundingan itu berakhir. Semua pihak
bangkit dari tempat duduk dengan rasa lega dan puas.
Sebelum meninggalkan rumah Bu Mantri, Ibu Haji Bakir
menyerahkan kain kebaya untuk diberikan kepada Tini
sebagai tanda pengikat. Telah disepakati pula hari dan bulan
untuk melaksanakan perkawinan antara Tini dan Jabir.76
Kutipan di atas menggambarkan adanya musyawarah yang
dilakukan oleh keluarga Haji Bakir dengan keluarga Karman.
mereka berunding untuk menentukan tanggal serta bulan yang baik
untuk pernikahan Jabir dengan Tini. Selain itu istri Haji Bakir
memberikan kebaya kepada Tini sebagai tanda pengikat bahwa
dirinya telah dipinang oleh Jabir. Namun, bila dilihat dalam
kehidupan zaman sekarang bisa dikatakan hal tersebut merupakan
pertunangan antara si pria dan wanita yang saling mencintai, tetapi
76
Ibid., h. 185
80
pada zaman sekarang mereka menggunakan cincin sebagai tanda
pengikat si wanita. Mungkin dalam tradisi masyarakat Pegaten
menggunakan apa saja yang dapat digunakan sebagai tanda pengikat
dalam sebuah hubungan.
Dari analisis musyawarah di atas, dapat disimpulkan bahwa
kegiatan musyawarah yang dilakukan oleh masyarakar Pegaten
bukan hanya untuk merencanakan kegiatan gotong-royong maupun
sejenisnya, akan tetapi ditunjukkan pula oleh keluarga Haji Bakir
dengan keluarga besar Karman ketika melakukan perjodohan serta
menentukan tanggal pernikahan untuk Jabir dan Tini.
c. Kegiatan Gotong-Royong
Kegiatan gotong royong bisa terjadi di manapun dan
kapanpun, termasuk pada zaman sekarang kegiatan gotong royong
masih dijalankan oleh masyarakat perkampungan, tidak seperti
masyarakat perkotaan yang sudah sangat jauh dalam hal
kebersamaan. Bila di daerah perkampungan biasanya warga
menjalankan gotong-royong pada saat hari Kemerdekaan tiba,
tepatnya 17 Agustus. Selain itu, pada setiap hari-hari besar
contohnya, menyambut hari raya Idul Fitri dan Idul Adha serta
Maulid Nabi, tradisi seperti ini selalu dijalankan oleh warga
kampung. Namun, contoh dalam novel Kubah tradisi kegiatan
gotong-royong dilakukan ketika memperbaiki mesjid Haji Bakir. Hal
ini dapat dilihat kembali dalam kegiatan musyawarah masyarakat
Pegaten.
Selain itu, kegiatan gotong royong yang sudah menjadi tradisi
dalam masyarakat Pegaten yaitu, ketika musim panen tiba. Semua
warga turun langsung ke sawah para tetangga, dan tugas pemilik
sawah hanya memberikan upah atas hasil tuaian warga. Masyarakat
Pegatenlah yang diberi kesempatan untuk menikmati nasi hasil
tuaian mereka.
81
Hampir musim panen. Anak-anak di Pegaten mulai
meniup-niup puput. Di pagi hari burung-burung gelatik dan
murai terbang berkelompok-kelompok menuju sawah. Musim
panen baik. Orang-orang yang tidak mempunyai sawah ikut
senang. Mereka ikut menuai. Dari hasil tuaian itu mereka
berhak atas sepertujuh atau seperdelapan bagian. Selebihnya
menjadi hak pemilik sawah.77
Kutipan di atas menggambarkan suasana yang terjadi ketika
musim panen. Masyarakat Pegaten bergotong royong menuai padi di
sawah tetangga. Musim ini bukan hanya sekedar suatu kebahagiaan
bagi si pemilik sawah, tetapi bagi warga yang tidak memiliki sawah
pun ikut senang menyambut musim panen. Hal ini suatu kesempatan
mereka untuk mendapatkan nasi atau beras. Bukan hanya sekedar
orang dewasa saja yang ikut terjun langsung ke sawah, melainkan
Karman pun yang merupakan anak kecil pada saat itu ikut serta di
dalamnya. Berikut kutipannya:
―Tak pantas pada waktu panen seperti ini ibuku tak punya
beras. Sebaiknya aku ikut menuai padi agar ibuku sempat
merasakan nasi yang empuk.‖78
Kutipan di atas sebelumnya sudah tercantum pada analisis
tokoh utama untuk mengetahui watak si tokoh. Namun, untuk kali
ini kutipan di atas sebagai gambaran bahwa Karman ikut serta dalam
penuaian padi pada saat musim panen.
Selain itu, terdapat pula kutipan bahwa Karman ikut serta
dalam gotong royong yang diadakan warga untuk membersihkan
sumur mesjid Haji Bakir. Berikut kutipannya:
Karman sungguh-sungguh telah berbaur kembali dengan
tiap gerak kehidupan di Pegaten. Ia tampak pada tiap kenduri
yang diadakan orang, ia ikut kerja bakti membersihkan
saluran irigasi yang sudah dibangun di desa itu. Dan Karman
merasa bangga sekali ketika ia diberi kesempatan
memperbaiki sumur mesjid Haji Bakir.79
77
Ibid., h. 63 78
Ibid., h. 63 79
Ibid., h. 179
82
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Karman selalu siap
siaga menjalankan gotong-royong yang diadakan oleh masyarakat
Pegaten walaupun dirinya belum lama kembali ke desa Pegaten.
Kutipan di atas dapat pula dikaitkan dengan sikap pemaaf
masyarakat Pegaten, karena rasa pemaaf inilah yang membuat
Karman diberi kesempatan untuk ikut serta dalam kegiatan kerja
bakti memperbaiki sumur mesjid milik Haji Bakir.
Dari analisis di atas, dapat disimpulkan kegiatan gotong
royong ini di tunjukan ketika memperbaiki mesjid Haji Bakir dan
sumur mesjid Haji Bakir. Selain itu, ditunjukkan pula pada saat
musim panen, seluruh warga Pegaten yang tidak memiliki sawah
bersama-sama menuai padi di sawah tetangga mereka.
d. Tolong-Menolong
Sikap tolong-menolong ini sangat penting bagi siapa pun,
karena pada dasarnya manusia terkadang butuh pertolongan terhadap
orang disekitarnya. Sebagai manusia yang beriman maka wajib
menolong antar sesama. Jiwa penolong yang ditanamkan dalam
kehidupan sehari-hari sangat membantu kebahagiaan orang lain.
Inilah pentingnya hidup bermasyarakat, karena saling melengkapi di
saat saling membutuhkan satu sama lainnya. Di dalam novel Kubah
sikap saling menolong terlihat ketika si tokoh utama menolong anak
tetangganya yang sedang digerumuti semut merah pada saat orang-
orang sibuk menuai padi di sawah.
Ketika sampai tujuan, hal pertama yang dilakukannya
adalah menyapu tubuh bayi kinah dengan kain. Karman tahu
bayi itu masih kelenger. Kulitnya yang sudah membiru
tampak bentol-bentol. Karman panik. Tetapi Karman inget di
sekolah ia pernah lihat gurunya melakukan gerakan membuat
napas buatan. Karman mencoba menirukan gurunya dan
berhasil. Bayi Kinah bisa mengembalikan napas lalu kembali
menjerit.80
80
Ibid., h.71
83
Kutipan di atas menjukkan rasa iba Karman terhadap bayi
Kinah yang sedang dipenuhi semut pada tubuhnya. Karman cepat-
cepat menolong bayi Kinah dan menghentikan kegiatan tuaiannya
tersebut. Ketika dalam keadaan panik Karman teringat ilmu yang di
ajarkan gurunya bagaimana cara membuat napas buatan, dan hal itu
pun dilakukan Karman demi menolong bayi Kinah. Kemudian
Karman pun berhasil mengembalikan napas bayi Kinah yang
sebelumnya tidak mengeluarkan suara. Nilai sosial dari kisah ini
yaitu, jiwa penolong Karman yang membantu bayi kinah dari
serangan semut merah.
Pada novel ini, menjelaskan pula sikap penolong Bu Haji
Bakir sebelum memberikan pekerjaan kepada Karman, terlebih
dahulu ia di bawa ke rumah Haji Bakir oleh putrinya, yaitu, Rifah.
Ibu Haji Bakir merasa iba melihat keadaan Karman dan adiknya
yang sudah lama tidak menemukan nasi untuk di makan. Kemudian,
melihat keadaan seperti itu Bu Haji Bakir memberinya dua piring
nasi untuk Karman dan adiknya.
Diam-diam Bu Haji Bakir memperhatikan Karman dan
adiknya. Kedua anak yatim itu makan dengan sangat lahap.
Mungkin mereka sudah beberapa bulan hanya bertemu
singkong dan kini mereka menghadapi sepiring nasi.81
Kutipan di atas, menggambarkan betapa pedulinya Bu Haji
Bakir terhadap Karman dan adiknya. Karman sangat menikmati
sepiring nasi yang telah disediakan oleh Bu Haji Bakir untuk dirinya,
karena sejak di tinggal oleh ayahnya ia hanya bertemu dengan
singkong. Berkat keluarga Haji Bakir lah ia menemukan kembali
sepiring nasi yang selama beberapa bulan ini tidak pernah ia makan
selain singkong.
Selain memberikan makan, sikap tolong-menolong ini terlihat
pula pada tokoh Haji Bakir yang merupakan warga Pegaten. Ketika
81
Ibid., h. 59
84
Karman masih kecil dan belum memiliki pekerjaan, kehidupannya
dibantu oleh Haji Bakir. Haji Bakir memberikan pekerjaan kecil-
kecilan kepada Karman sesuai dengan usianya pada saat itu.
Selalu ada pekerjaan kecil-kecilan yang bisa dikerjakan
Karman sementara anak itu momong adiknya. Dengan
memberi pekerjaan kecil, Bu Haji bermaksud mendidik
Karman bekerja sehingga ia tidak terbiasa bergantung kepada
pemberian orang.82
Kutipan di atas, selain menggambarkan rasa sayang keluarga
Haji Bakir terhadap Karman, kutipan tersebut menggambarkan jiwa
penolong keluarga Haji Bakir terhadap Karman yang pada saat itu
menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Karman diberi
pekerjaan kecil-kecilan oleh Bu Haji Bakir. Pekerjaan tersebut tidak
terlalu berat untuknya, jadi ia bisa sambil mengasuh adiknya yang
masih kecil. Bu Haji Bakir membantunya agar menjadi anak yang
tidak selalu bergantung terhadap bantuan dari orang lain.
Pada novel Kubah ini, menonjolkan jiwa penolong Karman
terhadap Rifah yang merupakan anak Haji Bakir. Hubungan
keduanya sebagai pengasuh dan anak asuh. Karman sebagai
pengasuh mengorbankan dirinya untuk keselamatan Rifah yang
merupakan anak asuhnya. Sifat tersebut juga bertujuan untuk
membangun sikap saling peduli dan saling peka antar sesama. Hal
ini terbukti pada kutipan ketika Karman masih kecil ia pernah
mengorbankan nyawanya demi menolong Rifah yang hampir
diterjang Kambing milik Haji Bakir.
Karman maju melindungi Rifah yang menjerit dengan
muka biru. Kedua tanduk binatang itu ditangkapnya. Karena
tenaganya kalah kuat Karman terayun-ayun oleh empasan
binatang yang marah itu.83
Kutipan di atas menggambarkan pengorbanan Karman
terhadap anak asuhnya itu, ia tidak memikirkan keselamatan untuk
82
Ibid., h. 59 83
Ibid., h. 62
85
dirinya sendiri. Tenaga Karman kalah kuat oleh binatang yang
sedang mengamuk itu sehingga tubuhnya terpontang panting. Hal ini
membuktikan nilai sosial yang terkandung yaitu berkorban untuk
orang lain tanpa memikirkan diri sendiri.
Selain itu, dapat dilihat pada tahap akhir cerita novel ini
terdapat bukti bahwa Karman menolong masyarakat dalam
pembuatan kubah masjid Haji Bakir. Pembuatan kubah ini
kesempatan yang istimewa baginya, karena ini menyangkut untuk
mendapatkan kepercayaan warga terhadap dirinya bersungguh-
sungguh ingin bertaubat. Selain itu, pembuatan kubah ini merupakan
kepentingan bersama dalam kekhusyu‘an beribadah.
......Bahkan dengan menyanggupi pekerjaan itu ia hanya
ingin memberi jasa. Bagaimana juga sepulang dari
pengasingan ia merasa ada yang hilang pada dirinya. Ia ingin
memperoleh kembali bagian yang hilang itu. Bila ia
mendapat memberi sebuah kubah yang bagus kepada orang-
orang Pegaten, ia berharap akan memperoleh apa yang hilang
itu.84
Kutipan di atas menggambarkan keinginan Karman yang
sungguh-sungguh ingin menolong memperbaiki kubah masjid Haji
Bakir. Selain itu, ia ingin mendapatkan kembali kepercayaan
masyarakat Pegaten. Karman ingin membuktikan bahwa seorang
bekas tahanan masih bisa melakukan sesuatu yang berharga bagi
orang-orang disekitarnya.
Dari kutipan-kutipan di atas nilai sosial yang terkandung
dalam novel Kubah yaitu, saling tolong menolong terhadap sesama.
Hal ini membuktikan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri,
melainkan suatu saat nanti mereka akan membutuhkan pertolongan
dari masyarakat di sekitarnya.
Kesimpulan dari analisis ini, sikap tolong menolong
ditunjukkan pada tokoh Karman ketika menolong anak Kinah yang
84
Ibid., h. 188
86
sedang dikerubungi semut merah. Selain itu, sikap tong menolong ini
ditunjukkan pada keluarga Haji Bakir yang merasa kasihan terhadap
Karman, sehingga ia memberikan Karman pekerjaan kecil-kecilan.
Sikap tolong menolong terdapat pada tokoh Bu Haji Bakir yang
memberikan makanan kepada Karman dan adiknya.
e. Saling Memaafkan
Memaafkan kesalahan orang lain sangat penting, selain
menambah pahala dapat pula menjalin silaturahmi yang baik. Sikap
saling memaafkan ini akan membuat hidup terasa tenang dan
tentram. Di dalam novel Kubah menceritakan tokoh Karman yang
menjadi sasaran sebagai pembuat kesalahan terhadap masyarakat
Pegaten. Kesalahan Karman yang sulit dimaafkan itu dengan
mudahnya dan ramahnya masyarakat Pegaten menerima maaf dari
Karman. Masyarakat Pegaten yang cinta perdamaian telah ikhlas
memaafkan kesalahan Karman.
Selain Gono yang sudah memaafkan kesalahan Karman
selama ini, ternyata masyarakat serta para tetangga-tetangga Karman
telah memaafkannya juga. Hal ini terlihat ketika Karman kembali
tinggal di Pegaten, ia diajak bermusyawarah untuk perbaikan
bangunan mesjid milik Haji Bakir dan dipercaya untuk membuat
kubah.
Bila dikaitkan dengan alur yang sudah dipaparkan
sebelumnya, akan terlihat awal mula Karman diterima kembali ke
lingkungan Pegaten, berawal dari keluarga yang dengan ramahnya
mengajak Karman tinggal bersama dengan sanak keluarga. Cerita
seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat Pegaten memiliki rasa
saling memaafkan, walaupun pada kenyataan zaman sekarang sangat
sulit memaafkan kesalahan orang lain yang sebelumnya dapat
merugikan masyarakat sekitar.
87
Penerimaan kembalinya Karman dari Pulau B, pada mulanya
terlihat ketika Karman menghadapi gejolak perasaan takut tidak
diterima kembali oleh lingkungannya, dan pada saat itu ia
memutuskan untuk pulang terlebih dahulu ke rumah saudara
sepupunya yaitu Gono. Hal seperti ini menandakan bahwa kesalahan
Karman telah dimaafkan oleh keluarganya sendiri.
Mas Karman, saudaraku, tinggallah bersama kami di sini.
Kau takkan menemukan apa-apa lagi di Pegaten. Rumahmu
habis dimusnahkan, tanahmu habis terjual. Dan, oalah Gusti,
Marni istrimu telah kawin lagi dan beranak pinak. Anakmu
yang terkecil meninggal. Mas Karman kau tak punya apa-apa
lagi di Pegaten. Kau tak punya apa-apa lagi.85
Kutipan di atas menggambarkan kepedulian Gono terhadap
Karman yang merupakan seorang bekas tahanan politik. Gono
merasa kasihan terhadap diri Karman yang sekarang sudah tidak
memiliki apa-apa lagi di Pegaten. Hal ini menunjukkan sikap Gono
sebagai masyarakat Pegaten yang memiliki rasa pemaaf serta peduli
terhadap seorang bekas tahanan.
Selain itu, Karman pun telah menyadari kesalahanya, hal ini
terdapat pula nilai sosial pada diri Karman ketika ia mengakui
kesalahannya terhadap orang lain yang dulu pernah menganggap
dirinya sebagai keluarga sendiri. Karman menyadari kesalahannya di
masa lalu, setelah ia kembali ke Pegaten ia meminta maaf kepada
masyarakat terutama terhadap Haji Bakir.
―Begitu Haji Bakir masuk ke rumah Bu Mantri itu,
Karman berlari menjemputnya, lalu menjatuhkan diri.
Dengan bertumpu kepada kedua lututnya, Karman memeluk
orang tua itu pada pinggangnya. Ia menangis seperti anak
kecil. Haji Bakir yang merasa tidak bisa berbuat apa-apa
membiarkan Karman memuaskan tangisnya.‖86
Kutipan di atas menggambarkan penyesalan Karman akan
kesalahannya terhadap Haji Bakir di masa lalu. Karman meminta
85
Ibid., h. 34 86
Ibid., h. 174
88
maaf terhadap Haji Bakir serta istrinya. Betapa menyesalnya Karman
sewaktu di masa lalu telah memusuhi orang yang selama ini telah
membantu kehidupan keluarganya. Ia memeluk kedua orang tua
tersebut sambil menangis seperti anak kecil.
Selain keluarga, terdapat pula bukti bahwa masyarakat
Pegaten telah memaafkan kesalahan Karman. Hal ini dapat
dibuktikan ketika Karman pulang ke rumah ibunya, banyak para
tetangga yang datang menjenguk Karman.
Di rumah orangtuanya, Karman sedang dirubung oleh para
tamu, tetangga-tetangga yang sudah amat lama ditinggalkan.
Ia merasa heran dan terharu, ternyata orang-orang Pegaten
tetap pada watak mereka yang asli. Ramah, bersudara, dan
yang penting gampang melupakan kesalahan orang lain.87
Kutipan di atas menunjukkan watak yang dimiliki oleh
masyarakat Pegaten. Ramah, bersaudara, dan gampang melupakan
kesalahan orang lain merupakan ciri-ciri sifat masyarakat Pegaten.
Watak inilah yang membuat Karman terharu setelah sekian lamanya
ia meninggalkan Pegaten, namun tidak ada perubahan pada diri
masyarakat Pegaten.
Selain itu, terdapat pula keyakinan masyarakat Pegaten yang
menilai Karman bertobat dengan sungguh-sungguh. Hal ini dapat
dilihat kembali pada bagian ketika ia di ajak bermusyawarah dan
dipercaya dalam pembuatan kubah serta mendapat pujian dari
masyarakat ketika melihat hasil kubah yang sudah terpampang di
atap mesjid Haji Bakir.
―Luar biasa bagusnya,‖ kata seseorang ketika kubah
mesjid hasil kerja Karman selesai dipasang menjadi puncak
bangunan mesjid.
―Beruntung,‖ sambung yang lain, ―kita mendapatkan
Karman kembali. Kalau tidak, niscaya kita tidak bisa
bersembahyang di dalam mesjid sebagus ini.‖88
87
Ibid., h. 173 88
Ibid., h. 189
89
Nilai sosial yang terkandung di dalamnya yaitu, rasa pemaaf
masyarakat Pegaten terhadap kesalahan Karman di masa lalu,
mereka tidak menaruh dendam kepada Karman.
Kesimpulan dari analisis ini menunjukkan jiwa pemaaf
masyarakat Pegaten sangat berarti bagi diri Karman. Masyarakat
Pegaten memaafkan kesalahan Karman ditunjukkan dengan cara ia
diterima kembali tinggal di Pegaten. Selain itu, Karman dipercaya
untuk membuat kubah mesjid Haji Bakir.
f. Kasih Sayang
Kasih sayang pada novel ini dilihat dari tokoh Haji Bakir
yang sangat menyayangi anak yatim, salah satunya yaitu Karman.
Karman yang telah ditinggal oleh ayahnya sejak kecil, tetapi ia
mendapatkan kasih sayang oleh keluarga Haji Bakir. Haji Bakir telah
menganggap Karman sebagai keluarga sendiri bukan sebagai
pembantu rumah tangga di rumahnya.
Ternyata keluarga Haji Bakir tidak pernah memperlakukan
Karman sebagai pembantu rumah tangga yang sebenarnya.
Anak itu diberi kesempatan menamatkan pendidikannya di
sekolah rakyat yang sudah dua tahun ditinggalkannya.
Pekerjaan yang diberikan kepada Karman adalah pekerjaan
sederhana yang bisa diselesaikan oleh anak seusianya.89
Kutipan di atas menggambarkan sosok Haji Bakir yang
memberikan kasih sayangnya terhadap Karman dengan cara
menganggap Karman sebagi keluarganya. Selain itu, Haji Bakir
memberikan pekerjaan yang dapat diselesaikan oleh anak seusia
Karman, ia tidak memberatkan Karman dalam masalah pekerjaan.
Haji Bakir membiarkan Karman melanjutkan sekolahnya yang sudah
dua tahun terputus.
Sikap Haji Bakir inilah menunjukkan nilai sosial yang
terdapat dalam novel Kubah, yaitu menyayangi anak yatim. Haji
89
Ibid., h. 60
90
Bakir merupakan warga dari desa Pegaten. Kembali ke latarbelakang
Ahmad Tohari yang bernafaskan islami. Tokoh Haji Bakir
digambarkan sebagai sosok manusia yang berlatarkan Islam sebagai
pedoman hidupnya. Islam mengajarkan umatnya agar tidak
menghardik anak yatim.
Rasa kasih sayang dalam novel ini, di tunjukkan pula pada
tokoh Hasyim, yaitu paman Karman yang merupakan adik dari
ibunya. Hasyim sangat kasihan melihat penderitaan hidup kakaknya
itu. Pada akhirnya hasyim membantu kakaknya, yaitu Bu Mantri
memberikan modal untuk berdagang nasi rames. Selain memberikan
modal, Hasyim berniat untuk menyekolahkan keponakannya itu.
Dan karena kasihan melihat kehidupan Bu Mantri, Hasyim
memberi kakaknya itu modal buat berdagang nasi rames.
Hasyim juga pergi menemui Haji Bakir untuk berbicara
tentang Karman. kemenakannya ini diminta kembali ke
rumah orang tuanya karena akan di sekolahkan ke tingkat
lanjutan.90
Kutipan di atas menunjukkan kasih sayang yang dimiliki
Hasyim terhadap keluarganya. Hasyim tidak hanya sekedar
menganggap Karman sebagai keponakan, melainkan menganggap
Karman sebagai anaknya sendiri. Rasa kasih sayang yang diberikan
terhadap Bu Mantri, yakni kakaknya sendiri di tunjukkan dengan
memberinya modal untuk berdagang nasi rames. Selain itu, kasih
sayang terhadap Karman di gambarkan dengan menyekolahkannya
ke tingkat yang lebih tinggi.
Kasih sayang yang Karman terima tidak hanya dari orang-
orang terdekat saja, melainkan dari masyarakat pun ia mendapatkan
kasih sayang. Hal ini terbukti ketika ia pulang dari pengasingan,
masyarakat Pegaten tidak menaruh dendam sedikitpun terhadap
dirinya. Walaupun secara logika kesalahan tersebut sangat sulit
untuk dimaafkan dalam kehidupan zaman sekarang ini.
90
Ibid., h. 74
91
Ia merasa heran dan terharu, ternyata orang-orang
Pegaten tetap pada watak mereka yang asli. Ramah,
bersaudara, dan yang penting; gampang melupakan kesalahan
kesalahan orang lain. Padahal yang sangat dikhawatirkan
oleh Karman adalah sikap membenci dan dendam yang
mungkin diterimanya begitu ia muncul kembali di Pegaten.91
Kutipan di atas menggambarkan betapa beruntung menjadi
diri Karman yang merupakan bagian dari masyarakat Pegaten. Ia
tinggal di lingkungan yang sangat menyayangi dirinya walaupun
dirinya pernah melakukan kesalahan di masa lalu. Setelah
kepulangannya dari pengasingan, banyak warga yang menengok
Karman ke rumah Bu Mantri. Hal ini menunjukkan bahwa sikap
masyarakat Pegaten selain pemaaf, tetapi memiliki sikap kasih
sayang dan peduli antar sesama tanpa memikirkan dendam di masa
lalu.
Berdasarkan analisis nilai sosial bagian kasih sayang, dapat
disimpulkan bahwa rasa kasih sayang dalam novel ini ditunjukkan
pada keluarga Haji Bakir yang tidak pernah menganggap Karman
sebagai pembantu rumah tangga, melainkan menganggapnya sebagai
keluarga sendiri. Selain Haji Bakir, rasa kasih sayang ini ditunjukkan
pada tokoh pamannya Karman, yaitu Hasyim, yang ingin
menyekolahkan Karman ke tingkat lanjutan. Paman Hasyim
menganggap Karman sebagai anaknya sendiri.
g. Tanggung Jawab
Pada novel Kubah terdapat sosok manusia yang bertanggung
jawab untuk dirinya sendiri sebagai suami, anak, maupun seorang
pekerja. Berikut kutipan manusia yang bertanggung jawab sebagai
seorang suami.
91
Ibid., h. 173
92
―Ah suami muda itu masuk kembali ke rumah dan keluar lagi
dengan sebuah golok di tangan. Tanpa pikir macam-macam,
pohon yang tak seberapa besar itu ditebangnya. Tumbang.‖92
Kutipan di atas menceritakan Karman sebagai seorang suami
bertanggung jawab kepada istrinya yang sedang ngidam. Ketika istrinya
mengidam ingin makan buah kedondong, maka Karman mencari akal
bagaimana ia harus mendapatkan kedndong dari pohonnya, pada
akhirnya Karman pun mengambil cara untuk menebang pohon tersebut,
karena ia tidak bisa memanjat pohon. Hal ini membuktikan rasa
tanggung jawab yang tinggi terhadap dirinya sendiri sebagai suami.
Masih menceritakan tokoh utama yang bertanggung jawab
terhadap dirinya sendiri sebagai seorang anak. Hal ini dapat dilihat
kembali pada analisis penokohan yang telah dipaparkan sebelumnya.
Terbukti bahwa Karman merupakan anak yang memiliki rasa tanggung
jawab terhadap ibu serta adiknya, sewaktu kecil ia hidup menderita
setelah sepeninggalan ayahnya pada zaman Jepang. Hanya Karmanlah
yang bisa diandalkan oleh keluarganya, karena kakaknya pun sudah
meninggal.
―Maka Karman yang masih bocah biasa mengumpulkan
singkong dari ladang orang dan dibawa pulang sebagai bahan
makanan. Singkong direbus, ditanak, atau malah singkong
cukup dibenam dalam api sampai empuk. Semuanya cukup buat
mengganjal perut Karman bersama ibu dan adiknya.‖93
Kutipan di atas menggambarkan betapa pahitnya kehidupan
Karman sewaktu kecil. Usia masih kecil harus memikirkan makan
sehari-hari untuk ibu dan adiknya. Hal ini membuktikan bahwa nilai
yang terkandung di dalamnya yaitu, walaupun usia masih dini tidak
harus bergantung kepada orang tua, tetapi berusaha belajar mandiri dan
bisa bertanggung jawab kepada diri sendiri sebagai anak.
92
Ibiid., h. 52 93
Ibid., h. 57
93
Selain itu, dalam novel Kubah menggambarkan sosok Karman
yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri dengan melanjutkan
sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Hidup di tengah-tengah
masyarakat yang tertinggal jauh dalam hal pendidikan, namun itu
semua tidak menjadi halangan Karman dalam semangatnya untuk
melanjutkan sekolah.
―Karman merasa menjadi anak yang paling berbahagia di
dunia. Pada permulaan tahun ajaran baaru tahun 1950, Karman
sudah menjadi seorang murid SMP di sebuah kota kabupaten
yang terdekat. Karman menjadi anak Pegaten pertama yang
menempuh pendidikan sampai ke tingkat menengah.‖94
Kutipan di atas menggambarkan kegembiraan Karman, karena
bisa melanjutkan sekolah SMP. Karman merupakan seorang anak dari
desa Pegaten yang bisa melanjutkan sekolah ketimbang teman-teman di
sekitarnya. Nilai sosial yang terkandung yaitu, kesadaran Karman
sebagai anak berkewajiban untuk melanjutkan sekolah. Selain itu, jiwa
Karman dalam semangatnya untuk sekolah dan menghargai pamannya
yang telah membiayainya sekolah. Karman menyadari bahwa sekolah
akan membantunya menjadi lebih baik lagi untuk masa depannya.
2. Hasil Penemuan Nilai Sosial dalam Novel Kubah
Setelah melakukan analisis isi yang berkaitan dengan nilai sosial
dalam novel Kubah, dapat dibuat tabel untuk mempermudah
memperoleh hasil penghitungan nilai sosial yang paling dominan
dicantumkan oleh pengarang dalam karyanya:
No. Kategori Teks Novel Jumlah
1. Agama 1. ―Leher kubah dihiasi kaligrafi dengan
teralis. Empat ayat terakhir dari surat
Al-Fajr terbaca di sana: Hai jiwa yang
teduh dan tentram, kembalikan engkau
4
94
Ibid., h. 74
94
kepada-Ku. Maka masuklah barisan
hamba-hamba-Ku dan temuilah
kedamaian abadi Surga-Ku.” (Toh,
1995: 189)
2. “Yah dengarlah apa yang kumaksud
dengan syarat itu. Untuk mendasari
upaya penyembuhan jiwamu kau harus
memulai dari kepercayaan. Ya
kepercayaan.‖ (Toh, 1995: 25)
3. ―Demikianlah sumur mesjid itu selalu
ramai oleh gurau anak-anak selagi fajar
merekah di timur. Hiruk-pikuk baru
berakhir apabila sembahyang subuh
sudah dimulai. Dan ketika jamaah yang
tua-tua masih berzikir sehabis
sembahyang, anak-anak sudah bubar
berhambura. Mereka kembali ke rumah
masing-masing dengan gurauan yang
gembira.‖ (Toh, 1995: 64)
4. ―Dalam kesadaran ketika bayangan
regu tembak sudah muncul di depan
mata, Karman merasa sangat iri
terhadap Kastagethek dengan segala
perilakunya yang amat tenang,
mengalir, dan pasrah. Karman dapat
memastikan bahwa ketenangan hidup
Kastagethek berkaitan dengan
shalatnya, dengan zikirnya, dengan
tasbihnya. ―Ah, ketiga ritus itu telah
lama kuingkari dan kucampakkan.‖
(Toh, 1995: 152)
95
2. Musyawarah 1. ―Para jamaah sepakat hendak memugar
mesjid itu. Pikiran demikian makin
mendesak karena jumlah jamaah terus
bertambah banyak.
Tanpa membentuk sebuah panitia,
pekerjaan itu dimulai. Semua orang
mendapat bagian menurut kecakapan
masing-masing.‖ (Toh, 1995: 187)
2. ―Karman memberanikan diri meminta
bagiaannya. Ia menyanggupi membuat
kubah yang baru bila tersedia bahan
dan perkakasnya. Ketika tinggal dalam
pengasingan Karman pernah belajar
mematri dan mengelas. Keinginan
Karman mendapat sambutan.‖ (Toh,
1995: 187)
3. ―Tengah malam perundingan itu
berakhir. Semua pihak bangkit dari
tempat duduk dengan rasa lega dan
puas. Sebelum meninggalkan rumah Bu
Mantri, Ibu Haji Bakir menyerahkan
kain kebaya untuk diberikan kepada
Tini sebagai tanda pengikat. Telah
disepakati pula hari dan bulan untuk
melaksanakan perkawinan antara Tini
dan Jabir.‖ (Toh, 1995: 185)
3
3. Gotong Royong 1. ―Hampir musim panen. Anak-anak di
Pegaten mulai meniup-niup puput. Di
pagi hari burung-burung gelatik dan
murai terbang berkelompok-kelompok
menuju sawah. Musim panen baik.
3
96
Orang-orang yang tidak mempunyai
sawah ikut senang. Mereka ikut
menuai. Dari hasil tuaian itu mereka
berhak atas sepertujuh atau
seperdelapan bagian. Selebihnya
menjadi hak pemilik sawah.‖ (Toh,
1995: 63)
2. ―Tak pantas pada waktu panen seperti
ini ibuku tak punya beras. Sebaiknya
aku ikut menuai padi agar ibuku sempat
merasakan nasi yang empuk.‖ (Toh,
1995: 63)
3. ―Karman sungguh-sungguh telah
berbaur kembali dengan tiap gerak
kehidupan di Pegaten. Ia tampak pada
tiap kenduri yang diadakan orang, ia
ikut kerja bakti membersihkan saluran
irigasi yang sudah dibangun di desa itu.
Dan Karman merasa bangga sekali
ketika ia diberi kesempatan
memperbaiki sumur mesjid Haji Bakir.‖
(Toh, 1995: 179)
4. Tolong Menolong 1. ―Ketika sampai tujuan, hal pertama
yang dilakukannya adalah menyapu
tubuh bayi kinah dengan kain. Karman
tahu bayi itu masih kelenger. Kulitnya
yang sudah membiru tampak bentol-
bentol. Karman panik. Tetapi Karman
inget di sekolah ia pernah lihat gurunya
melakukan gerakan membuat napas
buatan. Karman mencoba menirukan
5
97
gurunya dan berhasil. Bayi Kinah bisa
mengembalikan napas lalu kembali
menjerit.‖ (Toh, 1995: 71)
2. ―Diam-diam Bu Haji Bakir
memperhatikan Karman dan adiknya.
Kedua anak yatim itu makan dengan
sangat lahap. Mungkin mereka sudah
beberapa bulan hanya bertemu
singkong dan kini mereka menghadapi
sepiring nasi.‖ (Toh, 1995: 59)
3. ―Selalu ada pekerjaan kecil-kecilan
yang bisa dikerjakan Karman sementara
anak itu momong adiknya. Dengan
memberi pekerjaan kecil, Bu Haji
bermaksud mendidik Karman bekerja
sehingga ia tidak terbiasa bergantung
kepada pemberian orang.‖ (Toh, 1995:
59)
4. ―Karman maju melindungi Rifah yang
menjerit dengan muka biru. Kedua
tanduk binatang itu ditangkapnya.
Karena tenaganya kalah kuat Karman
terayun-ayun oleh empasan binatang
yang marah itu.‖ (Toh, 1995: 62)
5. ―......Bahkan dengan menyanggupi
pekerjaan itu ia hanya ingin memberi
jasa. Bagaimana juga sepulang dari
pengasingan ia merasa ada yang hilang
pada dirinya. Ia ingin memperoleh
kembali bagian yang hilang itu. Bila ia
mendapat memberi sebuah kubah yang
98
bagus kepada orang-orang Pegaten, ia
berharap akan memperoleh apa yang
hilang itu.‖ (Toh, 1995: 188)
5. Saling Memaafkan 1. ―Mas Karman, saudaraku, tinggallah
bersama kami di sini. Kau takkan
menemukan apa-apa lagi di Pegaten.
Rumahmu habis dimusnahkan, tanahmu
habis terjual. Dan, oalah Gusti, Marni
istrimu telah kawin lagi dan beranak
pinak. Anakmu yang terkecil
meninggal. Mas Karman kau tak punya
apa-apa lagi di Pegaten. Kau tak punya
apa-apa lagi.‖ (Toh, 1995: 34)
2. ―Di rumah orangtuanya, Karman
sedang dirubung oleh para tamu,
tetangga-tetangga yang sudah amat
lama ditinggalkan. Ia merasa heran dan
terharu, ternyata orang-orang Pegaten
tetap pada watak mereka yang asli.
Ramah, bersudara, dan yang penting
gampang melupakan kesalahan orang
lain.― (Toh, 1995: 173)
3. ―Luar biasa bagusnya,‖ kata seseorang
ketika kubah mesjid hasil kerja Karman
selesai dipasang menjadi puncak
bangunan mesjid.
―Beruntung,‖ sambung yang lain, ―kita
mendapatkan Karman kembali. Kalau
tidak, niscaya kita tidak bisa
bersembahyang di dalam mesjid
sebagus ini.‖ (Toh, 1995: 189)
4
99
4. ―Begitu Haji Bakir masuk ke rumah Bu
Mantri itu, Karman berlari
menjemputnya, lalu menjatuhkan diri.
Dengan bertumpu kepada kedua
lututnya, Karman memeluk orang tua
itu pada pinggangnya. Ia menangis
seperti anak kecil. Haji Bakir yang
merasa tidak bisa berbuat apa-apa
membiarkan Karman memuaskan
tangisnya.‖ (Toh, 1995: 174)
6. Kasih Sayang 1. ―Ternyata keluarga Haji Bakir tidak
pernah memperlakukan Karman
sebagai pembantu rumah tangga yang
sebenarnya. Anak itu diberi kesempatan
menamatkan pendidikannya di sekolah
rakyat yang sudah dua tahun
ditinggalkannya. Pekerjaan yang
diberikan kepada Karman adalah
pekerjaan sederhana yang bisa
diselesaikan oleh anak seusianya.‖
(Toh, 1995: 60)
2. ―Dan karena kasihan melihat kehidupan
Bu Mantri, Hasyim memberi kakaknya
itu modal buat berdagang nasi rames.
Hasyim juga pergi menemui Haji Bakir
untuk berbicara tentang Karman.
kemenakannya ini diminta kembali ke
rumah orang tuanya karena akan di
sekolahkan ke tingkat lanjutan.‖ (Toh,
1995: 74)
3. ―Ia merasa heran dan terharu, ternyata
orang-orang Pegaten tetap pada watak
3
100
mereka yang asli. Ramah, bersaudara,
dan yang penting; gampang melupakan
kesalahan kesalahan orang lain. Padahal
yang sangat dikhawatirkan oleh
Karman adalah sikap membenci dan
dendam yang mungkin diterimanya
begitu ia muncul kembali di Pegaten.‖
(Toh, 1995: 173)
7. Tanggung Jawab 1. ―Ah suami muda itu masuk kembali ke
rumah dan keluar lagi dengan sebuah
golok di tangan. Tanpa pikir macam-
macam, pohon yang tak seberapa besar
itu ditebangnya. Tumbang.‖ (Toh,
1995: 52)
2. ―Maka Karman yang masih bocah biasa
mengumpulkan singkong dari ladang
orang dan dibawa pulang sebagai bahan
makanan. Singkong direbus, ditanak,
atau malah singkong cukup dibenam
dalam api sampai empuk. Semuanya
cukup buat mengganjal perut Karman
bersama ibu dan adiknya.‖ (Toh, 1995:
57)
3. ―Karman merasa menjadi anak yang
paling berbahagia di dunia. Pada
permulaan tahun ajaran baaru tahun
1950, Karman sudah menjadi seorang
murid SMP di sebuah kota kabupaten
yang terdekat. Karman menjadi anak
Pegaten pertama yang menempuh
pendidikan sampai ke tingkat
menengah.‖ (Toh, 1995: 74)
3
101
Bila dilihat dari tabel di atas, terlihat jelas bahwa nilai sosial yang
paling dominan pada penelitian ini yaitu sikap tolong menolong masyarakat
Pegaten. Selain itu, sikap tolong menolong ini merupakan ciri khas yang
biasa dimiliki oleh masyarakat pedesaan apalagi dalam kehidupan
bertetangga. Pada intinya manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan
orang lain di sekitarnya. Dari hasil analisis ini pula terlihat jelas bahwa
Ahmad Tohari sebagai pengarang novel Kubah ini merupakan seorang
sastrawan yang tidak terlepas dari alam pedesaan serta menggambarkan
watak masyarakat pedesaan dalam karyanya.
C. Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Pada umumnya pelajaran bahasa Indonesia di sekolah SMA memiliki
satu materi ajar yang berkaitan dengan apresiasi sastra. Apresiasi sastra di
sekolah berkaitan dengan pengkajian terhadap sastra berupa puisi, prosa, dan
drama. Salah satunya yaitu novel yang merupakan bagian dari prosa. Selama
ini pengkajian terhadap novel yang dilakukan di sekolah hanya membahas
bagian-bagian tertentu saja.
Pada hakikatnya pembelajaran apresiasi sastra ialah memperkenalkan
kepada siswa tentang nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra.
Siswa diajak untuk menghayati pengalaman-pengalaman yang tergambar di
dalam karya sastra. Pembelajaran apresiasi sastra bertujuan mengembangkan
kepekaan siswa terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra. Nilai
tersebut misalnya nilai sosial yang terefleksi dalam sebuah karya sastra.
Pembahasan mengenai novel Kubah ini berkaitan dengan pengajaran
sastra di sekolah SMA, yakni, terdapat di kurikulum 2013 dengan kompetensi
dasar yaitu Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, tanggung jawab dalam
penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan hasil analisis
teks novel serta memahami struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan
maupun tulisan.
Pada analisis terhadap struktur novel dapat dijadikan bahan ajar untuk
kompetensi dasar yang berkaitan dengan pemahaman serta pengetahuan dan
102
penerapannya. Pemahaman tersebut mengenai keterkaitan antarunsur dalam
novel ini dapat memberikan pengetahuan kepada siswa mengenai analisis
struktur novel secara lebih mendalam. Melalui analisis keterkaitan antarunsur
dalam novel, siswa diarahkan untuk membaca lebih teliti agar mempermudah
menemukan bagian unsur intrinsik di dalamnya. Siswa harus berpikir secara
kritis ketika menganalisis makna yang terkandung dalam novel. Proses
mencari keterkaitan antarunsur dalam novel, siswa harus mampu
menghubungkan setiap unsur cerita yang telah dianalisisnya sehingga cerita
dapat diterima secara baik.
Kaitan dengan pengajaran sastra di sekolah guru perlu memahami
bahwa tujuan pengajaran sastra di sekolah di arahkan pada aspek kognitif
(pengetahuan), afektif (sikap), psikomotorik (keterampilan). Ranah kognitif
dalam pembelajaran sastra ini, yaitu, respons yang diberikan peserta didik
dalam bentuk pemahaman setelah membaca sebuah karya sastra. Selanjutnya
guru dapat menilai pemahaman siswa dengan cara mengetahui pengetahuan
yang diperoleh setelah membaca. Ranah afektif dalam pembelajaran sastra
terkait dengan perubahan sikap siswa terhadap karya sastra yang telah
dibacanya. Dalam ranah ini, guru diharuskan memperhatikan peserta didik
setelah membaca karya sastra, apakah peserta didik merasa antusias dalam
karya yang dibacanya atau tidak, apakah peserta didik mengalami perubahan
setelah membaca karya sastra. Selanjutnya, ranah psikomotorik terkait dengan
keterampilan peserta didik setelah diberikan penerapan nilai-nilai yang
terdapat dalam karya sastra pada kehidupan sehari-hari.
Lewat karya sastra seperti novel Kubah ini, diharapkan siswa
mempunyai pengetahuan berkenaan dengan nilai sosial dan menumbuhkan
kreativitas dan minat siswa untuk belajar sastra, serta mampu
mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai sosial. Nilai sosial dalam
novel Kubah ini sangat penting untuk diteladani oleh siswa dikehidupannya
sehari-hari. Nilai sosial tersebut salah satunya yaitu, sifat saling memaafkan
yang dimiliki oleh masyarakat Pegaten. Pada dasarnya, siapapun yang
melakukan kesalahan maka ia wajib untuk meminta maaf, dan sebaliknya
103
sebagai orang yang merasa dirinya menjadi korban, maka ia wajib untuk
memaafkannya. Betapa mulianya hati mereka yang dengan mudahnya
memaafkan seorang bekas tahanan politik. Jiwa solidaritas yang tinggi
membuat mereka datang ke rumah orang tua Karman hanya sekedar ingin
melihat keadaan Karman setelah sekian lama mendekap di tahanan. Sikap
seperti inilah yang mesti ditanamkan untuk semua orang terutama terhadap
pelajar.
104
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap novel Kubah karya
Ahmad Tohari, maka penulis dapat menyimpulkan hal sebagai berikut:
1. Peneliti menganalisis unsur intrinsik yang meliputi:
Tema yang terkandung di dalamnya yaitu insyafnya seorang bekas
tahanan politik. Alur dalam novel Kubah ini merupakan alur campuran.
Tokoh utama dalam novel Kubah ini yaitu, tokoh Karman. Tokoh
tambahan, diantaranya: Haji Bakir, Rif’ah, Marni, Margo, Triman, Parta,
Kastaghetek, Kapten Somad. Latar yang dipakai dalam novel Kubah ini,
diantaranya: latar tempat, latar waktu, latar suasana, dan latar sosial. Sudut
pandang dalam novel Kubah ini menggunakan orang ketiga dia maha tahu.
Gaya bahasa yang digunakan Ahmad Tohari antara lain mengunakan
majas hiperbola, personifikasi, dan klimaks.
2. Nilai sosial dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari berkaitan dengan
kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat Pegaten. Nilai sosial tersebut,
yaitu, Hubungan manusia dengan masyarakat yang digambarkan ketika
seseorang berguna bagi lingkungannya, nilai sosial ini, diantaranya:
agama, musyawarah, gotong-royong, tolong-menolong, saling memaafkan,
kasih sayang, tanggung jawab.
3. Implikasi
Pembahasan mengenai novel Kubah ini berkaitan dengan
pengajaran sastra di sekolah SMA, yakni, terdapat di kurikulum 2013
dengan kompetensi dasar yaitu Menunjukkan perilaku jujur, peduli,
santun, tanggung jawab dalam penggunaan bahasa Indonesia untuk
memahami dan menyajikan hasil analisis teks novel serta memahami
struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun tulisan.
105
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan perlunya pemahaman terhadap
nilai-nilai sastra yang bermanfaat bagi kehidupan. Agar seni sastra, khususnya
apresiasi novel dapat bermanfaat dan digemari oleh semua pihak, perlu dilakukan
apresiasi karya sastra. Hal itu karena karya sastra banyak mengandung ajaran
moral, kesadaran akan pengalaman hidup. Selain itu, sebagai pendidik sebaiknya
mengajarkan kepada peserta didik agar mengaplikasikan nilai-nilai yang
terkandung di dalam karya sastra. Ketika proses belajar mengajar, hendaknya guru
bidang studi Bahasa Indonesia memilih karya sastra yang tepat. Salah satunya
karya sastra yang baik untuk dikaji yaitu, novel Kubah. Hal ini, dikarenakan
dalam novel Kubah terkandung nilai sosial yang mengajarkan bagaimana manusia
berhubungan dengan Tuhan, manusia berhubungan dengan masyarakat, manusia
berhubungan dengan dirinya sendiri.
106
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. tt.p: Sinar Baru, t.t.
Aziez, Furqonul., and Hasim, Abdul. Menganalisis Fiksi. Bogor: Ghalia
Indonesia, Cet. 1, 2010.
Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
PPPB Depdikbud, 1978.
Darma, Budi. Pengantar Teori Sastra. jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. 2004.
Fananie, Zainuddin. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press,
Cet. 2, 2001.
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-
modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Jabrohim. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012.
Junus, Umar. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia, 1985.
K.S., AHMAD TOHARI Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo. 2003.
___________, Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo. 2009.
Likumahua, Nico A. Sastra Suatu Sarana Pendidikan Informal. Salatiga: Widya
Sari Press. 2001.
Mustari, Mohamad. Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter.
Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. 2011.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian fiksi. Yogyakarta:Gajah Mada Press.
2000.
Pradopo, Sri Widati, dkk. Struktur Cerita Rekaan Jawa Modern Berlatar Perang.
Jakarta: Depdikbud, Cet. 1, 1988.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra (Pegangan Guru Pengajar Sastra).
Yogyakarta: Kanisius. 1989.
107
Santosa, Wijaya Heru., and Wahyuningtyas, Sri. Pengantar Apresiasi Prosa.
Surakarta: Yuma Pressindo, Cet. 1, 2010.
Saputra, Wahyu. “ Nilai-Nilai Sosial Dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya
Pramoedya Ananta Toer”, Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia FBS Universitas Negeri Padang, Padang, 2012, tidak
dipublikasikan.
Sarumpaet, Riris K. Toha. Sastra Masuk Sekolah. Magelang: Indonesia Tera
Anggota IKAPI, 2002.
Semi, M. Attar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008.
Sumaatmadja, Nursid. Manusia Dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan
Hidup. Bandung: CV. Alfabeta, Cet. 1, 1996.
Syahrial, Resensi Potret-Potret Ahmad. Jakarta: PDS H.B. Jassin, 1989.
Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. 2009.
Tohari, Ahmad. Kubah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet. 1, 1995.
Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1993.
Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung:
UPI PRESS, 2006.
Wijaya dan Sri Wahyuningtyas. Pengantar Apresiasi Prosa. Surakarta: Yuma
Pustaka, 2010.
WS, Hasanuddin. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. 2009.
Wulan, Diah Windu. “Aspek Keberagamaan Dengan Analisis Kata Hati Tokoh
Utama Dalam Novel Atheis Dan Novel Kubah Serta Implikasinya Dalam
Pembelajaran Sastra Di SMA”, skripsi pada Uiversitas Negri Jakarta,
Jakarta, 2004.
Anonim. Achmad Tohari Novelis dari Desa Tinggarjaya. Jakarta: Yudha
Minggu, 1984.
108
_______. Ahmad Tohari. Jakarta: Mutiara, 1985.
_______. Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Eksponen, 1986.
_______. Sang ‘Punokawan’ yang Holistik dari Tinggarjaya. Jakarta: Media
Indonesia, 1994.
_______. Ahmad Tohari Menatap Kota dengan Kacamata Wong Cilik. Jakarta:
Mingguan Koran Tempo, 2002.
_______. Ahmad Tohari: Memangku Ronggeng. Jakarta: Majalah Editor, 1989.
_______. Gugatan Gaya Jawa Lebih Arif untuk Zaman Sekarang. Jakarta: Suara
Pembaruan, 1988.
_______. Aspek Filosofis dalam Novel Kubah Ahmad Tohari. Jakarta: Berita
Buana, 1985.
_______. Sastra Religius Ahmad Tohari dalam Ideologi Islam. Jakarta: Harian
Republika, 2003.
Carapedia, Pengertian dan Definisi Sosial Menurut Para Ahli, 2013,
(http://Pengertian dan Definisi Sosial Menurut Para Ahli - Ilmu
Pengetahuan - CARApedia.htm). diakses pada 19 September 2013.
“Pengertian Sosial”, 2013, (http://SOSIAL pengertian sosial.htm). diakses pada
19 September 2013.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Satuan Pendidikan : SMA
Kelas/Semester : XII/2
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Topik : Komunikasi dalam Kehidupan
Alokasi Waktu : 2 jam pelajaran
A. Kompetensi Inti
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
2. Menghayati dan mengamalkan perlaku jujur, disiplin, tanggung jawab,
peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan
proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial
dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam
pergaulan dunia.
3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual,
prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian,
serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang
spesifik sesuai dengan bakat dan mintanya untuk memecahkan masalah.
4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak
terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara
mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.
B. Kompetensi Dasar
1. Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, tanggung jawab dalam
penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan hasil
analisis teks novel.
2. Memahami struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun
tulisan.
3. Mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra.
C. Indikator
1. Memiliki sikap tanggung jawab peduli, responsif, dan santun dalam
menggunakan bahasa Indonesia untuk menganalisis teks novel baik melalui
lisan maupun tulisan.
2. Menganalisis struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun
tulisan.
3. Mampu mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra.
E. Tujuan Pembelajaran
1. Setelah proses pembelajaran siswa memiliki sikap tanggung jawab, peduli,
responsif, dan santun dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk
menganalisis novel baik melalui lisan maupun tulisan.
2. Siswa mampu menganalisis struktur teks novel dalam bahasa Indonesia
secara lisan maupun tulisan.
3. Siswa mampu mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya
sastra.
1. Materi Pembelajaran
1. Penjelasan mengenai struktur teks novel
Tema
Tokoh dan Penokohan
Alur
Latar tempat, waktu, suasana, dan sosial.
Sudut pandang dan penyudutpandangan.
Gaya bahasa
2. Interpretasi makna teks novel
Membaca teks novel
Menulis hasil analisis teks novel
Menyampaikan hasil analisis teks novel secara lisan.
2. Alokasi waktu
2 x 45 Menit
3. Strategi/Metode/Pendekatan Pembelajaran
Metode: eksplorasi, elaborasi, konfirmasi.
4. Kegiatan Pembelajaran
KEGIATAN DESKRIPSI KEGIATAN ALOKASI
WAKTU
Pendahuluan 1. Siswa merespon salam dan
pertanyaan dari guru berhubungan
dengan kondisi dan pembelajaran
sebelumnya.
2. Siswa menerima informasi tentang
keterkaitan pembelajaran sebelumnya
dengan pembelajaran yang akan
dilaksanakan.
3. Siswa menerima informasi
kompetensi, materi, tujuan, dan
langkah pembelajaran yang akan
dilaksanakan.
15
Inti
Mengamati:
Membaca teks tentang struktur dan
kaidah teks novel.
Mencermati uraian yang berkaitan
dengan struktur dan kaidah teks
novel.
Mempertanyakan
Tanya jawab tentang hal-hal yang
berhubungan dengan isi bacaan.
Mengeksplorasi:
Mencari dari berbagai sumber
informasi tentang struktur dan
kaidah teks novel.
Mengasosiasikan:
Mendiskusikan tentang struktur dan
kaidah teks novel.
Menyimpulkan hal-hal terpenting
60
dalam struktur dan kaidah teks
novel.
Mengomunikasikan:
Menuliskan laporan kerja kelompok
tentang struktur dan kaidah teks
novel.
Membacakan hasil kerja kelompok
di depan. kelas, dan siswa lain
memberikan tanggapan.
Menginterpretasi makna teks novel
baik secara lisan maupun tulisan.
Kegiatan Penutup Siswa bersama guru menyimpulkan
pembelajaran
Siswa melakukan refleksi terhadap
kegiatan yang sudah dilakukan.
Siswa dan guru merencanakan tindak
lanjut pembelajaran untuk pertemuan
selanjutnya.
15
5. Sumber/Media Pembelajaran
a. Sumber : Buku teks bahasa Indonesia SMA Kelas XII.
Buku referensi lain yang menunjang materi struktur dan
kaidah teks novel.
Novel Kubah karya Ahmad Tohari.
b. Media : Teks novel.
6. Penilaian Proses dan Hasil Belajar
Indikator Pencapaian Kompetensi Teknik Penilaian Bentuk Instrumen
a. Menggunakan bahasa Indonesia
sesuai dengan kaidah dan konteks
untuk mempersatukan bangsa.
Penilaian Observasi Lembar penilaian
sikap
b. Memiliki sikap tanggung jawab
peduli, responsif, dan santun dalam
menggunakan bahasa Indonesia
untuk menganalisis teks novel
melalui lisan maupun tulisan
dengan kreatif.
c. Menganalisis struktur dan kaidah
teks novel dalam bahasa bahasa
1. Penilaian Observasi
kinerja penulisan
laporan.
1. Tes tertulis.
Indonesia baik secara lisan maupun
tulisan.
d. Mengembangkan sikap apresiatif
dalam menghayati karya sastra.
1. Latihan
menginterpretasi
makna teks novel.
1. Lembaran
tugas latihan.
7. Pedoman Penskoran
1. Jelaskan tema dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya!
No Nama Kelompok Aspek Skor
Tepat dan disertai kutipan. 5
Tepat dan tidak disertai kutipan. 4
Kurang tepat dan disertai kutipan. 3
Kurang tepat dan tidak disertai
kutipan.
2
2. Jelaskan tokoh dan penokohan dalam teks novel dengan menyertakan
kutipannya!
No. Nama Kelompok Aspek Skor
Tepat dan disertai kutipan. 5
Tepat dan tidak disertai kutipan. 4
Kurang tepat dan disertai kutipan. 3
Kurang tepat dan tidak disertai
kutipan.
2
3. Jelaskan bagaimana alur dalam teks novel dengan menyertakan
kutipannya!
No. Nama kelompok Aspek Skor
Tepat dan disertai kutipan 5
Tepat dan tidak disertai kutipan 4
Kurang tepat dan disertai kutipan 3
Kurang tepat dan tidak disertai
kutipan
2
4. Jelaskan macam-macam latar dalam teks novel dengan menyertakan
kutipannya!
No. Nama kelompok Aspek Skor
Tepat dan disertai kutipan 5
Tepat dan tidak disertai kutipan. 4
Kurang tepat dan disertai kutipan. 3
Kurang tepat dan tidak disertai
kutipan.
2
5. Jelaskan bagaimana sudut pandang dan penyudutpandangan dalam teks
novel dengan menyertakan kutipannya!.
No. Nama kelompok Aspek Skor
Tepat dan disertai kutipan. 5
Tepat dan tidak disertai kutipan. 4
Kurang tepat dan disertai kutipan. 3
Kurang tepat dan tidak disertai
kutipan.
2
Jakarta, 15 April 2014
Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
BIOGRAFI PENULIS
Siti Humaeroh Miladiyah, atau biasa
dipanggil Mila. Dia adalah anak pertama dari tiga
bersaudara, lahir di Tangerang, 29 September 1990
dari pasangan Bapak Nasruddin dan Ibu Sopiah. Gadis
berzodiak Libra ini menuntaskan pendidikan dasarnya
di SDN Priyang II Tangerang, lalu melanjutkan
sekolahnya di Mts. Raudlatu Irfan, Tangerang.
Kemudian melanjutkan ke MA Daarut Tafsir, Bogor.
Setelah itu melanjutkan jenjang pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi
ternama di Indonesia yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan
2009. Semasa kuliah, ia bekerja sebagai tenaga pendidik di salah satu tempat
bimble daerah Pondok Betung, Bintaro.
Gadis berdarah sunda ini memiliki hobi membuat kaligrafi. Beberapa
penghargaan telah diraihnya semenjak duduk di kelas VII MTs. Selain itu, ia juga
sebagai pengajar kaligrafi disalah satu TPA daerah Tangerang Selatan. Gadis yang
sangat mencintai keluarga ini memiliki pandangan hidup “Innallaha Ma’ash
Shoobiriin”.