nilai sosial dalam novel kubah karya ahmad tohari dan ...

133
NILAI SOSIAL DALAM NOVEL KUBAH KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd) Oleh: Siti Humaeroh Miladiyah 109013000018 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014

Transcript of nilai sosial dalam novel kubah karya ahmad tohari dan ...

NILAI SOSIAL DALAM NOVEL KUBAH

KARYA AHMAD TOHARI DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA

DAN SASTRA INDONESIA DI SMA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh:

Siti Humaeroh Miladiyah

109013000018

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014

iii

ABSTRAK

Siti Humaeroh Miladiyah, NIM: 109013000018. Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul skripsi, “Nilai Sosial dalam Novel

Kubah Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan

Sastra di SMA”. Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M.Hum.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yaitu mengkaji

hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, bagaimana hubungan itu terjadi,

dan apa akibat yang ditimbulkan atas hubungan tersebut. Penelitian ini

mendeskripsikan unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Kubah karya Ahmad

Tohari, diantaranya: tema, tokoh dan penokohan, alur, latar (tempat, waktu,

suasana, dan sosial), sudut pandang, dan gaya bahasa. Selain itu, hasil penelitian

ini dapat menemukan nilai sosial yang terkandung dalam novel Kubah karya

Ahmad Tohari. Nilai sosial yang dimaksud yaitu hubungan manusia dengan

masyarakat, diantaranya: nilai agama, musyawarah, gotong-royong, tolong

menolong, saling memaafkan, kasih sayang, serta tanggung jawab. Nilai sosial ini

merupakan ciri khas sifat masyarakat Pegaten yang ramah menerima kembali

kehadiran sosok manusia yang pernah terjerumus ke dalam politik yang

mengakibatkan dirinya diasingkan ke pulau buangan. Banyak hikmah yang dapat

diambil dari kehidupan masyarakat Pegaten setelah menganalisis unsur intrinsik

serta nilai sosial yang terkandung di dalamnya sehingga dapat diimplikasikan

terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesiadi sekolah, dalam aspek

membaca. Pada pembelajaran ini, kompetensi yang harus dicapai peserta didik

ialahmemahami struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun

tulisan,dengan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel serta menemukan

nilai sosial dalam novel Kubah, sertamengembangkan sikap apresiatif dalam

menghayati karya sastra.

Kata Kunci: nilai sosial,novel Kubah, Pegaten, Ahmad Tohari.

iv

ABSTRACT

Siti Humaeroh Miladiyah, NIM: 109 013 000 018. Department of Education

Indonesian Language and Literature, Faculty of Tarbiyah and Teaching, Syarif

Hidayatullah State Islamic University Jakarta. The title essay, "The Social Value

of Work in Ahmad Tohari Novel Kubah and Implications of Learning Language

and Literature in high school". Supervisor: Diah Novi Haryanti, M.Hum.

This study uses sociological approach to literature that examines the relationship

between literature and society, how does it happen, and what the impact of the

above relationships. This study describes the elements contained in the novel

intrinsic Kubah by Ahmad Tohari, including: theme, character and

characterization, plot, setting (place, time, atmosphere, and social), angle of view,

and style. In addition, the results of this research can find the social values

embodied in the novel by Ahmad Tohari Kubah. In addition, the results of this

study also found that the values embodied in the novel by Ahmad Tohari Kubah,

ie, social value. Social value is that human relationships with the community,

including: religious values, consensus, mutual help, mutual help, mutual

forgiveness, compassion, and responsibility. The social values are characteristic

properties Pegaten friendly community receive the presence of the human figure

ever fall into the resulting political exiles himself exiled to the island. Many of the

lessons learned from public life Pegaten after analyzing the intrinsic elements as

well as social values contained in it so it can be implied to learning English and

Literature Indonesiadi school, in the aspect of reading. In this study, competency

to be achieved learners ialahmemahami novel structures and rules text either

through oral or written, to explain the intrinsic elements in the novel and find

social value in the novel Kubah, appreciative attitude in living literature.

Keywords: social values, novel Kubah, Pegaten, Ahmad Tohari.

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil „alamin, segala puji syukur kehadirat Tuhan Yang

Maha Kuasa akan segala sesuatu yang berada di seluruh alam raya, yang

menciptakan kenikmatan dan memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga

penelitian ini dapat terselesaikan.Salawat dan salam semoga senantiasa Allah

SWT berikan kepada Nabi Muhammad SWA, keluarga, sahabat, dan para

pengikutnya.

Dalam penyelesaian penelitian ini, penulis banyak menerima saran,

petunjuk, bimbingan, dan masukkan dari berbagai pihak. Penulis berutang jasa

kepada mereka yang telah mendampingi dalam proses penyelesaian skripsi

sebagai tugas akhir menempuh S1. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima

kasih kepada:

1. Nurlena Rifa‟i, M.A, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA,M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia.

3. Novi Diah Haryanti, M.Hum selaku dosen pembimbing skripsi,yang telah

memberikan bimbingan, semangat, dan meminjamkan buku koleksi

perpustakaan pribadi sebagai penunjang penelitian, sehingga peneliti yakin

penelitian ini dapat terselesaikandengan baik. “Terima kasih, Bu. You are my

inspiration.”

4. Ayahanda Nasrudin dan Ibunda Sopiah selaku orang tua penulis, serta

keluarga besar penulis yang senantiasa mendoakan setiap saat, memberikan

dorongan moral, serta memotivasi penulis, sehingga penelitian ini dapat

terselesaikan dengan baik.

5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi ilmu

pengetahuan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

vi

6. Teman-teman PBSI seperjuangan angkatan 2009, khususnya kelas Ayang

dengan sabar selalu membantu dan memberi informasi kepada penulis.

7. Para sahabatku, diantaranya:Dini, Hasna, Windi, Yulia, Dewi, Nita, Ria,

Wiwi yang tidak henti-hentinya selalu memberikan semangat kepada penulis

serta membantu penulis dalam mencari referensi yang berkaitan dalam

penelitian ini.

8. Terima kasih untuk Nuryahya, yang telah menyempatkan waktunya untuk

menemani serta mengantar penulis dalam mencari referensi yang terkait

dengan penelitian ini.

9. Teman seperjuanganku yaitu, Reni Rahmawati yang selalu memberikan

semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Pimpinan dan karyawan perpustakaan FITK dan UIN Jakarta, yang telah

memberikan kemudahan bagi peneliti dalam memperoleh bahan ataupun

informasi.

11. Terima kasih pula kepada semua pihak yang telah membantu proses

penyelesaian penelitian ini. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian.

Jakarta, 6 Mei 2014

Penulis

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ ii

ABSTRAK ........................................................................................................... iii

ABSTRACT ......................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ......................................................................................... v

DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ..................................................................... 3

C. Batasan Masalah ........................................................................... 4

D. Rumusan Masalah ........................................................................ 4

E. Tujuan Penelitian.......................................................................... 4

F. Manfaat Penelitian........................................................................ 4

G. Metode Penelitian ......................................................................... 5

BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................ 8

A. Pengertian Novel .......................................................................... 8

B. Unsur Intrinsik Novel ................................................................... 9

1. Tema ...................................................................................... 9

2. Alur ........................................................................................ 11

3. Tokoh dan Penokohan ............................................................ 12

4. Latar atau Setting ................................................................... 13

5. Sudut Pandang ........................................................................ 15

6. Gaya Bahasa ........................................................................... 16

C. Pengertian Sosiologi Sastra .......................................................... 17

D. Nilai Sosial dalam Karya Sastra .................................................. 20

1. Hakikat Nilai ........................................................................... 20

2. Hakikat Sosial ......................................................................... 21

3. Hakikat Nilai Sosial ............................................................... 22

4. Macam-Macam Nilai Sosial .................................................... 23

viii

E. Hakikat Pembelajaran Sastra ........................................................ 25

F. Penelitian yang Relevan ............................................................... 26

BAB III PROFIL AHMAD TOHARI ........................................................... 30

A. Biografi Ahmad Tohari .................................................................. 30

1. Karya Ahmad Tohari ................................................................ 32

2. Penghargaan yang Pernah Diraih ............................................. 33

B. Data Novel Kubah .................................................................................. 33

C. Sinopsis Novel Kubah .................................................................... 34

BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................... 37

A. Analisis Unsur Intrinsik dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari 37

1. Tema ........................................................................................ 37

2. Alur ........................................................................................ 38

3. Tokoh dan penokohan ............................................................. 45

4. Latar ........................................................................................ 58

5. Sudut Pandang ......................................................................... 68

6. Gaya Bahasa ............................................................................ 69

B. Nilai Sosial dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari .............. 71

1. Hubungan Manusia dengan Masyarakat ................................ 73

2. Hasil Penemuan Nilai Sosial ................................................... 93

C. Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia101

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 104

A. Simpulan .......................................................................................... 104

B. Saran ................................................................................................. 105

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 106

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra hadir sebagai wujud nyata imajinatif kreatif seorang

sastrawan dengan proses yang berbeda antara pengarang yang satu dengan

pengarang lain, terutama dalam penciptaan cerita fiksi. Proses tersebut bersifat

individualis artinya cara yang digunakan oleh tiap-tiap pengarang dapat berbeda.

Perbedaan itu meliputi beberapa hal diantaranya metode, munculnya proses

kreatif, dan cara mengekspresikan apa yang ada dalam diri pengarang hingga

bahasa penyampaian yang digunakan.

Lahirnya sebuah karya sastra merupakan reaksi dari keadaan yang terjadi

di lingkungan tempat karya sastra itu tercipta yang dihasilkan oleh seorang

pengarang. Dalam menganalisis karya sastra, peneliti harus berangkat dari latar

manusia yang digambarkan dalam karya sastra tersebut karena karya sastra

merupakan gambaran kehidupan masyarakat serta jiwa tokoh yang hidup di suatu

masa, tempat, dan bersifat fiksi.

Melalui karya sastra sering diketahui keadaan, cuplikan-cuplikan

kehidupan masyarakat, seperti dialami, dicermati, ditangkap, dan direka oleh

pengarang.1Sastra dan masyarakat erat kaitannya karena pada dasarnya

keberadaan sastra sering bermula dari persoalan dan permasalahan pada manusia

serta lingkungannya. Kemudian, dengan adanya imajinasi yang tinggi seorang

pengarang tinggal menuangkan masalah-masalah disekitarnya menjadi sebuah

karya sastra.

Salah satu karya sastra yang dapat dikaji dalam pembelajaran sastra, yaitu,

novel. Novel dapat dikaji dari beberapa aspek, misal penokohan, isi, cerita, latar,

alur dan makna. Salah satu ciri teks sastra yang multiinterpretasi membuat

tanggapan pembaca terhadap satu novel yang sama tentu akan berbeda-beda

sesuai dengan tingkat pemahaman dan daya imajinasi pembaca. Hal tersebut

1Riris K. Toha-Sarumpaet, Sastra Masuk Sekolah, (Indonesia Tera Anggota IKAPI:

Magelang, 2002), h. 37.

2

membuat pengajaran sastra yang merupakan bagian dari pembelajaran bahasa dan

sastra Indonesia di sekolah menjadi lebih menarik, terlebih jika guru mampu

memilih bahan ajar yang pas untuk didiskusikan di kelas.

Pengajaran apresiasi sastra di sekolah merupakan rangka memperkenalkan

karya sastra kepada siswa. Hal tersebut bertujuan agar siswa memiliki

kemampuan menghayati, memahami, dan menikmati serta menilai karya sastra

yang dibacanya. Setelah usaha itu dilakukan siswa diharapkan dapat mengambil

manfaat dari karya yang dibacanya. Siswa diharapkan akan meneladani sikap dan

nilai-nilai kehidupan yang positif dari tokoh-tokoh yang ada di dalam karya satra

itu.

Salah satu yang dapat dipakai dalam pembelajaran sastra di sekolah ialah

novel Kubah karya Ahmad Tohari. Novel Kubah berisikan tentang seorang aktivis

politik yang sempat terjerumus ke jalan yang salah, yaitu tokoh Karman. Sewaktu

kecil, hidup Karman sangat sederhana setelah ditinggal ayahnya untuk selamanya.

Semasa kecilnya ia sudah diajarkan bekerja keras, sehingga untuk makan sehari-

harinya ia harus bekerja pada keluarga Haji Bakir. Ketika dewasa ia dikenal

sebagai sosok yang cerdas dan sangat berpotensi dalam bidang politik. Meskipun

demikian, ia memiliki sifat mudah terpengaruh oleh orang lain. Hal tersebut

menjadikannya terjerumus kejalan yang salah. Ia menjadi salah satu anggota PKI.

Akibat perbuatannya tersebut, membuat dirinya diasingkan ke pulau Buangan.

Selama dalam pengasingan Karman menyadari semua kesalahan yang

telah dilakukannya itu. Sampai tibanya Karman dibebaskan dari pulau B, ia

bermaksud pulang ke kampung halamannya, Pegaten. Namun, Karman ragu untuk

pulang kembali ke Pegaten. Keraguan yang menghinggapi dirinya hilang seketika,

ketika ia diterima kembali oleh masyarakat Pegaten. Hingga pada suatu ketika,

Karman melihat masjid milik Haji Bakir telah usang dan terlihat sangat tua. Ia

ingat dengan pendidikan keterampilan bertukang saat dia berada di penjara.

Karman lalu menemui Haji Bakir, dan menawarkan diri untuk membangun kubah

asalkan materialnya disediakan, dan Haji Bakir menyetujuinya. Hingga akhirnya

proses pembuatan kubah dan perbaikan masjid itu selesai. Karman beserta yang

3

lainnya sangat puas. Setelah itu, Karman menjadi sosok manusia yang rajin

ibadah.

Ahmad Tohari merupakan salah satu sastrawan yang karyanya tidak

terlepas dari latar pedesaan serta nilai agama dan nilai sosial di dalamnya. Latar

pedesaan yang selalu dipakai dalam karyanya merupakan kekuatan bagi dirinya

untuk menggambarkan bagaimana memainkan para tokoh dalam karyanya. Selain

itu, dalam karyanya Ahmad Tohari selalu menggambarkan peristiwa G30S PKI, ia

bercerita tentang anak desa yang terjun ke dalam partai komunis. Hal tersebut

dapat dibuktikan dalam salah satu karyanya yang berjudul Kubah.

Bila dilihat dari segi unsur intrinsik serta nilai-nilai yang terkandung di

dalam novel Kubah sangat menarik untuk dipelajari oleh siswa tingkat SMA. Oleh

karena itu, peneliti tertarik untuk membuat penelitian yang berjudul “Nilai Sosial

dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya Terhadap

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka identifikasi masalah

dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Siswa kesulitan menganalisis nilai sosial yang terkandung di dalam novel

Kubah.

2. Siswa sulit membandingkanrelevansi antara novel Kubah dengan situasi

masyarakat zaman sekarang.

3. Kurangnya minat baca siswa terhadap buku pembelajaran.

4. Siswa dituntut untuk memahami isi cerita novel Kubah.

5. Pembaca kesulitan dalam menganalisis konflik bathin tokoh Karman yang

terlalu rumit.

6. Siswa kesulitan memahami unsur intrinsik teks.

7. Bahan ajar sastra di sekolah kurang variatif.

4

C. Batasan Masalah

Berdasarkan banyaknya identifikasi masalah yang ada, maka penelitian ini

hanya dibatasi pada:

1. Unsur intrinsik dalam novel Kubah,

2. Nilai sosial dalam novel Kubah dan implikasinya terhadap pembelajaran

bahasa dan sastra di SMA.

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana unsur intrinsik dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari?

2. Bagaimana nilai sosial yang terkandung dalam novel Kubah karya Ahmad

Tohari?

3. Bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia?

E. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan unsur intrinsik dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari.

2. Mendeskripsikan nilai-nilai sosial dalam novel Kubah karya Ahmad

Tohari.

3. Mendeskripsikan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi para pembaca,

baik bersifat teori maupun praktis.

Manfaat Teori:

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

perkembangan ilmu sastra, khususnya terkait nilai sosial karya sastra.

2. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperkaya penggunaan

teori-teori sastra secara teknik analisis terhadap karya sastra.

Manfaat Praktis:

5

1. Bagi pembaca penelitian ini dapat menambah minat baca dalam

mengapresiasikan karya sastra.

2. Bagi peneliti, penelitian ini dapat mempermudah peneliti yang ingin

mengambil novel Kubah sebagai bahan kajian untuk memperkaya

wawasan sastra dan menambah khasanah penelitian sastra Indonesia

sehingga bermanfaat bagi perkembangan sastra Indonesia.

G. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat yang digunakan dalam penelitian ini tidak terikat pada suatu

tempat karena objek yang dikaji berupa naskah (teks) novel. Artinya setiap

tempat dapat digunakan jika memungkinkan dan mendukung untuk

dilaksanakan penelitian. Waktu yang digunakan dalam penelitian mulai dari

15 Februari 2013 sampai dengan 4 Mei 2014.

2. Sumber Data

Sumber data merupakan tempat ditemukannya data-data yang akan

ditulis. Adapun sumber data dalam penelitian ini berupa sumber data tertulis

yang terdapat pada novel Kubah karya Ahmad Tohari. Sumber data yang

diperoleh yaitu berdasarkan cerita atau analisis tentang novel Kubah maupun

analisis pengarang dengan karya-karyanya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik pustaka yaitu

dengan menganalisis isi. Pada analisis ini peneliti menyimak kemudian

mencatat dukomen-dokumen yang diambil dari data primer yang berkaitan

dengan masalah dan tujuan penelitian. Datanya berupa novel, maka peneliti

mencoba menelaah isi novel. Adapun langkah-langkah pengumpulan data

dalam novel Kubah yaitu:

1. Membaca secara cermat novel Kubah karya Ahmad Tohari,

2. Menentukan unsur intrinsik dalam novel Kubah

6

3. Mencatat kalimat yang menggambarkan adanya nilai-nilai sosial dalam

novel Kubah karya Ahmad Tohari,

4. Menganalisis nilai-nilai sosial dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah proses mengatur urutan data

menggolongkannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.

Kegiatan analisis data itu dilakukan dalam suatu proses. Proses berarti

pelaksanaannya sudah mulai sejak pengumpulan data dilakukan dan

dikerjakan secara itensif.

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode

pembacaan heuristik merupakan cara kerja yang dilakukan oleh pembaca

dengan menginterprestasikan teks sastra secara referensial. Pembacaan

heuristik juga dapat dilakukan secara struktural. Kerja heuristik menghasilkan

pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat.2

Tahap pertama analisis data dalam penelitian ini adalah pembacaan

heuristik yaitu penulis menginterprestasikan teks novel Kubah melaui dengan

membaca cermat dan teliti tiap kata, kalimat, ataupun paragraf dalam novel

guna analisis unsur intrinsik. Selain itu, pembaca heuristik digunakan untuk

menemukan nilai-nilai sosial dalam novel Kubah. Tahap kedua penulis

melakukan pembacaan hermeneutik yakni dengan menafsirkan makna

peristiwa atau kejadian-kejadian yang terdapat dalam novel Kubah hingga

dapat menemukan nilai-nilai sosial dalam cerita tersebut.

5. Prosedur Penelitian

Berikut merupakan prosedur penelitian dalam skripsi ini, yaitu:

a. Pembacaan Data

Pembacaan data dalam penelitian ini dengan menggunakan dua

metode, yaitu heuristik dan humanistik. Kedua metode ini telah dijelaskan

sebelumnya pada bagian Teknik Analisis Data.

2 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 32

7

b. Reduksi Data

Pada langkah ini data yang diperoleh dicatat dalam uraian yang

terperinci. Dari data-data yang sudah dicatat tersebut, kemudian dilakukan

penyederhanaan data. Data-data yang dipilih hanya data yang berkaitan

dengan masalah yang akan dianalisis, dalam hal ini tentang nilai-nilai sosial

dalam novel Kubah. Informasi-informasi yang mengacu pada permasalahan

itulah yang menjadi data dalam penelitian ini.

c. Penyajian Hasil Identifikasi dan Klasifikasi Data

Pada langkah ini data-data yang sudah ditetapkan kemudian disusun

secara teratur dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut

kemudian dianalisis sehingga diperoleh deskripsi tentang nilai-nilai sosial

pada novel Kubah karya Ahmad Tohari.

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Novel

Kata novel berasal dari bahasa Latin novellas yang terbentuk dari kata

novus berarti baru atau new dalam bahasa Inggris. Ada juga yang mengatakan

bahwa novel berasal dari bahasa Itali novella artinya sama dengan bahasa Latin.

Novel juga diartikan sebagai suatu karangan atau karya sastra yang lebih pendek

daripada roman, tetapi jauh lebih panjang daripada cerita pendek, isinya hanya

mengungkapkan suatu kejadian penting, menarik dari kehidupan seseorang (dari

suatu episode). Perwatakan pelaku-pelakunya digambarkan secara garis besar

saja, tidak sampai pada masalah yang sekecil-kecilnya. Kejadian yang

digambarkan itu mengandung suatu konflik jiwa dan mengakibatkan adanya

perubahan nasib.1

Novel (Inggris: novel) merupakan bentuk karya sastra sekaligus disebut

fiksi, bahkan dalam perkembangannya, kemudian novel dianggap bersinonim

dengan fiksi. Sebutan novel dalam bahasa Inggris—dan inilah yang kemudian

masuk ke Indonesia—berasal dari bahasa Italia novella (dalam bahasa Jerman:

novelle). Secara harfiah novella berarti „sebuah barang baru yang kecil‟, dan

kemudian diartikan sebagai „cerita pendek dalam bentuk prosa.2

Ketika membaca novel hanya sebagian saja, hal seperti ini membuat si

pembaca tidak akan dapat memahami keseluruhan makna cerita di dalam novel,

selain itu juga dikarenakan novel tersebut memang sukar dipahami. Dengan

demikian, novel hanya dapat lebih dipahami oleh pembaca yang melakukan suatu

analisis ketika membacanya. Dalam hal ini, kegiatan menganalisis karya sastra

hasilnya dapat digunakan untuk mencoba menerangkan peranan masing-masing

unsur yang terdapat dalam cerita, seperti bagaimana kaitan unsur-unsur tertentu

seperti penokohan, pelataran, penyudutan, dan sebagainya.

1 Wijaya dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Yuma Pustaka: Surakarta,

2010), h. 46 2Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Gadjah Mada Universty Press:

Yogyakarta, 2000), h. 9

9

Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, berupa model

kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, kemudian dibangun melalui berbagai

unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-

lain. Dari semua itu tentu saja juga bersifat imajinatif.3

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa novel adalah

suatu cerita fiksi yang terdiri dari tokoh, tema, alur, latar. Novel merupakan

bagian dari karya sastra yang berbentuk fiksi atau cerita rekaan, namun ada pula

merupakan kisah nyata. Selain itu, novel merupakan sebuah cerita fiktif yang

menggambarkan atau melukiskan kehidupan tokoh-tokohnya dengan

menggunakan alur. Cerita fiktif tidak hanya sebagai cerita khayalan semata, tetapi

pengarang menghasilkan sebuah imajinasi berupa realitas atau fenomena yang

dapat dilihat dan dirasakan.

B. Unsur Intrinsik Novel

Kajian intrinsik membatasi diri pada karya sastra itu sendiri, tanpa

menghubungkan karya sastra dengan dunia di luar karya sastra itu. Dalam kajian

intrinsik, sastra dianggap sebagai sebuah dunia otonom. Karena kajian intrinsik

hanya memperhatikan karya sastra sebagai sebuah dunia otonom, maka yang

dikaji adalah unsur-unsur sastra dalam karya sastra itu sendiri, antara lain adalah

penokohan, konflik, latar, tema, dan hal-hal semacam itu. Kejayaan sebuah karya

sastra, dengan demikian, ditentukan oleh keberhasilan pengarang dalam mengolah

unsur-unsur sastra itu.4

Berikut ini merupakan uraian-uraian dari unsur intrinsik dalam novel:

1. Tema

Tema merupakan sesuatu yang penting dalam suatu cerita karena tema

merupakan inti cerita yang penting dalam suatu cerita karena tema

merupakan inti cerita yang mendasari suatu cerita. Bertolak dari inti cerita,

pengarang akan mengembangkan cerita menjadi suatu bentuk yang lebih

3 Ibid., h. 4

4 Budi Darma, Pengantar Teori Sastra, (Pusat Bahasa Depdiknas: Jakarta, 2004), h. 23

10

luas.5 Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperanan

sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang

diciptakannnya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan

tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.6

Tema memiliki beberapa tingkatan menurut Shipley, diantaranya:

pertama tema tingkat fisik (banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan),

kedua tema tingkat organik (menyangkut masalah seksualitas), ketiga tema

tingkat sosial (manusia sebagai makhlik sosial), keempat tema tingkat egoik

(manusia sebagai individu), kelima tema tingkat divine (masalah hubungan

manusia dengan sang pencipta).7 Tema tingkat sosial yang merupakan

manusia sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat yang merupakan

tempat aksi dan interaksinya manusia dengan sesama dan dengan

lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik dan lain-lain

yang menjadi objek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu antara lain

berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta

kasih, propaganda, hubungan atasan-bawahan, dan berbagai masalah dan

hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi

kritik sosial.8

Perlu diingat bahwa suatu novel akan dapat dianalisis dengan

sejumlah besar tema yang berbeda atau bahkan saling terkait. Pembaca

menentukan apa kekuatan dan kepentingan utama yang ada dalam novel

tersebut. Artinya, dari sekian tema tersebut dapat ditarik agar ia memiliki

tema besar yang dikandungnya.

Kesimpulan dari berbagai pendapat di atas tema merupakan gagasan

utama. Hampir semua gagasan yang ada dalam hidup ini bisa dijadikan

tema, sekalipun dalam praktiknya tema-tema yang paling sering diambil

5 Sri Widati Pradopo, dkk, Struktur Cerita Rekaan Jawa Modern Berlatar Perang. hlm.

42 6 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (PT. Grasindo: Jakarta,2008), hlm. 161

7 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 80

8 Ibid., h. 81

11

adalah beberapa aspek atau karakter dalam kehidupan ini, seperti ambisi,

kesetiaan, kecemburuan, frustasi, kemunafikan, ketabahan, dan sebagainya.

2. Alur

Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan

peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku

dalam suatu cerita. Ada beberapa pendapat tentang tahapan-tahapan

peristiwa dalam suatu cerita. Tahapa-tahapan peristiwa tersebut antara lain:

pengenalan, konflik, klimaks, penyelesaian.9

Penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan diri

pada urutan waktu saja belum merupakan alur. Agar menjadi sebuah alur,

peristiwa-peristiwa itu haruslah diolah dan disiasati secara kreatif, sehingga

hasil pengolahan dan penyiasatannya itu sendiri merupakan sesuatu yang

indah dan menarik, khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang

bersangkutan secara keseluruhan. Kegiatan ini dilihat dari sisi pengarang,

merupakan pengembangan plot atau dapat juga disebut sebagai pemplotan,

pengaluran. Kegiatan pemplotan itu sendiri meliputi kegiatan memilih

peristiwa yang akan diceritakan dan kegiatan menata (baca: mengolah dan

menyiasati) peristiwa-peristiwa itu ke dalam struktur linear karya fiksi.10

Alur adalah suatu urutan cerita atau peristiwa yang teratur dan

terorganisasi. Plot dalam pengertian ini dapat dijumpai dalam novel

bukannnya dalam kehidupan yang sewajarnya. Hidup memiliki cerita, tetapi

novel memiliki cerita dan plot. Sebagaimana dikatakan oleh E.M. Forster,

cerita adalah pengisahan peristiwa-peristiwa yang disusun berdasar urutan

waktu, sedangkan plot adalah pengisahan peristiwa-peristiwa dengan

penekanan kepada kausalitas.11

Alur merupakan salah satu unsur yang penting dalam suatu novel atau

karya sastra lainnya di samping tema, penokohan, latar, dan unsur lain.

Dalam suatu karya sastra, hal tersebut sebagai alur tidak sama dengan apa

9 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (SINAR BARU). hlm. 83.

10 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 113.

11 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Ghalia Indonesia: Bogor,

2010), h. 68

12

yang dikenal oleh orang awam sebagai cerita. Forster mengatakan bahwa

sebuah cerita adalah suatu paparan peristiwa yang diatur menurut tahapan

waktu. Alur di lain pihak, juga merupakan paparan peristiwa, tetapi tekanan

jatuh pada hubungan sebab akibat. Rangkaian pola alur suatu cerita pada

kenyataannya menampilkan susunan pola yang terdiri dari lima bagian.12

a) Situation: pengarang mulai melukiskan suatu keadaan.

b) Generating Circumstances: peristiwa mulai bergerak.

c) Rising Action: keadaan mulai memuncak.

d) Climax: peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya.

e) Denouement: pengarang memberikan pemecahan soal bagi semua

peristiwa.

Sesungguhnya gambaran apa yang dimaksudkan dengan plot atau alur

akan menjadi jelas kalau kita menyadari bahwa cerita cerpen maupun novel

dapat digolongkan dalam beberapa jenis, seperti: cerita ide, cerbung, cerpen.

Dapat disimpulkan dari berbagai pendapat bahwa plot atau alur adalah

rangkaian kejadian dan perbuatan, rangkaian hal-hal yang diderita dan

dikerjakan oleh pelaku-pelaku sepanjang novel yang bersangkutan. Plot atau

alur merupakan struktur penyusunan kejadian-kejadian dalam cerita tapi

yang disusun secara logis.

3. Tokoh dan Penokohan

Tokoh cerita menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan

dalam suatu karya naratif, atau drama, oleh pembaca ditafsirkan memiliki

kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti diekspresikan dalam

ucapan dan dilakukan dalam tindakan.13

Penokohan adalah salah satu unsur

yang penting dalam membina struktur. Penokohan sudah selayaknya ada

dalam setiap cerkan, karena tanpa tokoh cerita tidak akan terbentuk. Stanton

mengungkapkan bahwa kebanyakan cerita menampilkan satu tokoh utama

yang berkaitan dengan setiap peristiwa yang terjadi dalam cerita. Dikatakan

pula bahwa setiap pengarang ingin pembacanya memahami tokohnya dan

12

Sri Widati Pradopo, dkk, op. cit., h. 62—63 13

Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 166

13

motivasi mereka melalui apa yang mereka katakan dan lakukan.14

Cerita dalam sebuah novel tidak akan ada tanpa tokoh yang

menggerakkan cerita dan membentuk alur dengan segala macam

permasalahan yang dialaminya. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh

merupakan hal penting dalam sebuah novel. Aspek penokohan dalam cerita

sangatlah penting karena menggambarkan cara pengarang menampilkan

tokoh. Penokohan berhubungan erat dengan perwatakan tokoh yaitu dari

dokumen lain di luar karya sastra.15

Dengan kata lain, pembaca tidak perlu merujuk pada data di luar novel,

karena segala perihal tokoh sudah dapat diketahui dari data yang ada dalam

novel tersebut. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pengamatan

mengenai tingkah laku tokoh dapat dihubungkan, dijelaskan, dan

dipertimbangkan. Setelah itu dilakukan, barulah dapat diambil sebuah

kesimpulan mengenai perwatakan tokoh dalam suatu novel.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh dalam

cerita dapat didefinisikan sebagai subjek dan sekaligus objek peristiwa

dan kejadian, pelaku dan sekaligus sasaran kedua hal tersebut. Tanpa

tokoh, tidak akan tercipta peristiwa. Tokoh selalu mempunyai identitas,

mempunyai watak tertentu, yang menentukan tindakannya dan sikapnya

terhadap lingkungan di sekitarnya, baik yang berupa tokoh-tokoh lain

maupun yang berupa lingkungan benda-benda alam dan benda-benda

budaya. Seorang tokoh tidak dapat berdiri sendiri atau berkelakuan

sendiri tanpa kehadiran tokoh lain.

4. Latar atau Setting

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran

pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat

14

Sri Widati Pradopo, dkk, op. cit., h. 84 15

Diah W indu Wulan, Aspek Keberagamaan Dengan Analisis Kata Hati Tokoh Utama

Dalam Novel Atheis Dan Novel Kubah Serta Implikasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA, h.

40

14

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.16

Setting adalah latar

peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa.17

Membaca sebuah novel kita akan bertemu dengan lokasi tertentu

seperti nama kota, desa, jalan, hotel, penginapan, kamar, dan lain-lain

tempat terjadinya peristiwa. Di samping itu, kita juga akan berurusan

dengan hubungan waktu seperti tahun, tanggal, pagi, siang, malam, pukul,

saat bulan purnama, saat hujan gerimis diawal bulan, atau kejadian yang

menyarankan pada waktu tipikal tertentu, dan sebagainya. 18

Secara terperinci bahwa latar suatu cerita mencakup hal-hal sebagai

berikut:19

a) Tempat, baik tempat di dalam rumah maupun di luar rumah yang

melingkupi pelaku atau tempat terjadinya peristiwa ataupun

keseluruhan cerita.

b) Lingkungan kehidupan yang berhubungan dengan tempat, seperti

lingkungan pekerjaan dan sebagainya.

c) Sistem kehidupan, seperti aturan-aturan dan tata cara yang mengatur

kehidupan suatu lingkungan tertentu.

d) Alat-alat atau benda-benda yang berhubungan dengan kehidupan atau

lingkungan hidup tertentu.

e) Waktu terjadinya peristiwa, seperti pagi, siang, sore, musim hujan,

musim panas, atau juga periode sejarah tertentu.

Kesimpulan dari keseluruhan kutipan-kutipan istilah latar atau setting

ini berkaitan dengan elemen-elemen yang memberikan kesan abstrak

tentang lingkungan, baik tempat maupun waktu, di mana para tokoh

menjalankan perannya. Latar ini biasanya diwujudkan dengan menciptakan

kondisi-kondisi yang melengkapi cerita. Baik dalam dimensi waktu maupun

tempatnya, suatu latar bisa diciptakan dari tempat dan waktu imajiner atau

pun faktual. Dan yang paling menentukan bagi keberhasilan suatu latar,

16

Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 216. 17

Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (SINAR BARU), h. 67 18

Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 218. 19

Sri Widati, dkk, op. cit., h. 7.

15

selain deskripsinya, bagaimana novelis memadukan tokoh-tokohnya dengan

latar di mana mereka melakoni perannya.

5. Sudut Pandang

Dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, terdapat tiga sudut pandang

yakni sudut pandang persona ketiga “Dia”, sudut pandang persona pertama

“Aku”, dan sudut pandang campuran. Sudut pandang orang ketiga terbagi

menjadi dua, yaitu “Dia” mahatahu dan “Dia” terbatas (sebagai pengamat).

Sudut pandang orang pertama dibagi menjadi dua, yakni “Aku” tokoh utama

dan “Aku” tokoh tambahan.20

Siswanto menyatakan bahwa sudut pandang

adalah tempat sastrawan memandang ceritanya mengenai tokoh, peristiwa,

tempat, dan waktu dengan gayanya sendiri.21

Pusat pengisahan menerangkan “siapa yang bercerita”. Pusat

pengisahan ini penting untuk memperoleh gambaran tentang kesatuan cerita.

Dalam kesusastraan Indonesia, ada lima macam “pencerita”, yaitu: Pertama

tokoh utama menuturkan ceritanya sendiri, kedua tokoh bawahan

menuturkan cerita tokoh utama, ketiga pengarang sebagai pengamat

(menuturkan cerita dari luar sebagai seorang observer), keempat pengarang

analitik (menuturkan cerita tidak hanya sebagai seorang pengamat, tetapi

berusaha juga menyelam ke dalam), kelima campuran antara (1) dan (4),

yaitu cara melaksanakan cakapan batin. 22

Kesimpulan dari pendapat di atas sudut pandang adalah cara sebuah

cerita dikisahkan. Segala sesuatu yang diceritakan menjadi kebebasan

pengarang untuk berkreasi bahkan mampu memperlihatkan teknik

pengarang dalam menggagas sesuatu. Sudut pandang dapat diketahui

melalui unsur intrinsik lainnya, seperti percakapan antar tokoh, gerak-gerik

tokoh, alur dalam cerita tersebut, dan gaya bahasa yang digunakan

pengarang.

20

Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 248. 21

Siswanto, op. cit., h. 151. 22

Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (UPI PRESS:

Bandung, 2006), h. 47.

16

6. Gaya Bahasa

Gaya adalah cara pengarang menggunakan bahasa.23

Aminuddin

menyatakan bahwa gaya bahasa mengandung pengertian keindahan dan

keharmonisan bahasa yang digunakan pengarang dalam menyampaikan

cerita sehingga mampu menuansakan makna, menyentuh daya intelektual,

dan mampu menggugah emosi pembaca.24

Semi menyatakan bahwa gaya

penceritaan adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa

yang menjadikan sastra hadir. Pada dasarnya karya sastra merupakan salah

satu kegiatan pengarang yang membahas atau menuturkan sesuatu kepada

orang lain.25

Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa

secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai

bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur

berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik.26

Pada buku tentang

pengajaran gaya bahasa ini, ada beberapa jenis gaya bahasa, diantaranya:

majas hiperbola, personifikasi, dan klimaks. Majas hiperbola adalah sejenis

gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan

jumlahnya, ukurannya atau sifatnya dengan maksud memberi penekanan

pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan

dan pengaruhnya.27

Majas personifikasi ialah jenis majas yang melekatkan

sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak.28

Majas klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-

urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari

gagasan-gagasan sebelumnya.29

23

Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Yuma

Pustaka: Surakarta, 2010), Cet. 1, h. 20. 24

Aminuddin, op. cit., h. 72. 25

Atar Semi, Anatomi Sastra, (tt.p.: Angkasa Raya, t.t.), h. 47. 26

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Angkasa: Bandung, 2009), h. 5 27

Ibid., h. 55 28

Ibid., h. 17 29

Ibid., h. 79

17

Beberapa pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa

pengertian gaya bahasa atau majas adalah cara khas dalam menyatakan

pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan. Gaya bahasa

merupakan ciri khas si pengarang dalam menggunakan bahasa yang dipakai

pada sebuah karyanya untuk menyampaikan sebuah pesan kepada si

pembaca.

C. Pengertian Sosiologi Sastra

Wellek Warren mengungkapkan bahwa sastra adalah institusi sosial yang

memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisonal seperti simbolisme dan

matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi

pula sastra “menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari

kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif

manusia. Penyair adalah warga masyarakat yang memiliki status khusus.

Penelitian yang menyangkut sastra dan masyarakat biasanya terlalu sempit dan

menyentuh permasalahan dari luar sastra. Sastra dikaitkan dengan situasi tertentu,

atau dengan sistem politik, ekonomi, dan sosial tertentu. Penelitian dilakukan

untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan kedudukan sastra

dalam masyarakat. 30

Sosiologi adalah telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam

masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Dengan mempelajari

lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik,

dan lain-lain—yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial—kita

mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan

lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang

menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing.31

Sosiologi dan sastra memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam

masyarakat. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan

30

Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (PT Gramedia Pustaka Utama:

Jakarta, 1993), h. 109 31

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, (PPPB

Depdikbud: Jakarta, 1978), h. 6

18

menghasilkan kebudayaan. Masyarakat juga merupakan kumpulan individu yang

tinggal pada suatu wilayah. Sastra adalah lembaga sosial yang menampilkan

gambaran kehidupan yang mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmanusia,

dan antarperistiwa yang terjadi di dalam batin seseorang. Selain itu pendekatan

sosiologi ini pengertiannya mencakup berbagai pendekatan, masing-masing

didasarkan pada sikap dan pandangan teoritis tertentu, namun semua pendekatan

ini menunjukkan satu ciri kesamaan, yaitu mempunyai perhatian terhadap sastra

sebagai institusi sosial yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota

masyarakat.

Menurut Silbermann ada lima penelitian sosiologi sastra, yaitu: (a)

Penelitian tentang pengaruh seni terhadap kehidupan seorang manusia, (b)

Penelitian tentang perkembangan dan kepelbagaian sikap dan obyek sosial melalui

seni, (c) Penelitian tentang pengaruh dari seni terhadap pembentukan kelompok,

konflik-konflik di dalamnya dan sebagainya, (d) Penelitian tentang pembentukan

pertumbuhan dan hilangnya lembaga artistik sosial, (e) Penelitian tentang faktor-

faktor dan bentuk-bentuk tipikal dari organisasi sosial yang mempengaruhi seni.32

Pendekatan terhadap sastra mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan

oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Sejauh mana sastra dianggap

sebagai mencerminkan keadaan masyarakat. Dalam hubungan ini terutama harus

mendapat perhatian adalah sifat seorang pengarang atau sastrawan sering

mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya,

sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya

mungkin sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang

sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti

barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan

masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus mempertimbangkan apabila sastra

akan dinilai sebagai cermin masyarakat.33

Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi

kemasyarakatan ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Istilah itu pada

32

Umar Junus, Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar, (PT Gramedia: Jakarta, 1985), h. 84 33

Jabrohim, Teori penelitian Sastra, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2012), h. 219

19

dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis

atau pendekatan struktural terhadap sastra. Sosiologi sastra dalam pengertian ini

mencakup berbagai pendekatan, masing-masing didasarkan pada sikap dan

pandangan teoritis tertentu.34

Karya sastra diciptakan oleh seorang pengarang untuk dinikmati, dipahami

dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengarang adalah anggota masyarakat yang

terikat dengan status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang

menggunakan bahasa sebagai medium (alat): bahasa itu sendiri merupakan ciptaan

sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan itu sendiri sebagai suatu

kenyataan sosial. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa sastra adalah lembaga

sosial karena sastra menampilkan gambaran kehidupan.

Beberapa uraian di atas dapat disimpulkan masalah sosiologi sastra ada

tiga hal yaitu:

1. Pengarang atau pencipta karya sastra dengan latar belakang kehidupannya

dihubungkan dengan karya sastra yang dihasilkannya,

2. Karya sastra sebagai cermin masyarakat tempat karya sastra tersebut

dihasilkan, jadi sebagai dokumen sosiobudaya,

3. Pembaca karya sastra, bagaimana pengaruh sebuah karya terhadap

masyarakat pembacanya.

Pernyataan di atas sebenarnya juga menyiratkan bahwa seorang penyair

pada hakikatnya adalah seorang anggota masyarakat. Oleh karena itu ia terikat

oleh status sosial tertentu. Itulah sebabnya sastra dapat dipandang sebagai institusi

sosial yang menggunakan sarana bahasa. Bahasa itu sendiri merupakan produk

sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah

suatu kenyataan sosial. Dari pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan

antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang termasuk penyair dengan

antarmasyarakat, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang.

34

Ibid., h. 217

20

D. Nilai Sosial dalam Karya Sastra

Nilai sosial yaitu nilai-nilai yang terkait dengan norma atau aturan dalam

kehidupan bermasyarakat dan berhubungan dengan orang lain misalnya, saling

memberi tenggang rasa saling menghormati pendapat orang lain.

1. Hakikat Nilai

Nilai merupakan satu prinsip umum yang menyediakan anggota

masyarakat dengan satu ukuran atau standar untuk membuat penilaian dan

pemilihan mengenai tindakan dan cita-cita tertentu. Nilai adalah konsep,

suatu pembentukan mental yang dirumuskan dari tingkah laku manusia.

Nilai adalah persepsi yang sangat penting, baik dan dihargai.35

Kata nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga

mempunyai arti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi

kemanusiaan. Kata nilai diartikan sebagai harga, kadar, mutu, kualitas

untuk mempunyai nilai.

Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas,

dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga

atau berguna bagi kehidupan manusia. Nilai sebagai kualitas yang

independen akan memiliki ketetapan yaitu tidak berubah yang terjadi pada

objek yang dikenai nilai. Persahabatan sebagai nilai (positif/ baik) tidak

akan berubah esensinya manakala ada pengkhianatan antara dua yang

bersahabat. Artinya nilai adalah suatu ketetapan yang ada bagaimanapun

keadaan di sekitarnya berlangsung.

Penilaian dalam telaah sastra adalah penilaian yang didasarkan kriteria

yang ada dan pembahasannya tidak dilandasi sikap apriori.36

Dengan

demikian, hasil yang diberikan adalah hasil yang obyektif. Penilaian yang

obyektif terhadap karya sastra itulah yang akan memacu pengarang untuk

meningkatkan mutu karya sekaligus menumbuhkan kretivitasnya.

35

Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter, (LaksBang

PRESSindo: Yogyakarta, 2011), h. xiv 36

Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Muhammadiyah University Press: Surakarta,

2001), h. 70

21

Kesimpulan dari pendapat diatas, nilai merupakan sesuatu yang

dianggap berharga, dipergunakan sebagai landasan, pedoman atau

pegangan seseorang dalam menjalankan sesuatu sebagai pengukuran

terhadap apa yang telah dikerjakan atau diusahakan. Sesuatu yang bernilai

berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia.

2. Hakikat Sosial

Sepanjang hayat masih di kandung badan, kita tidak akan lepas dari

masyarakat, mencari nafkah, serta menerima pengaruh dari lingkungan

sosial yang disebut masyarakat.37

Setiap orang ada dalam konteks sosial

yang disebut masyarakat, ia akan mengenal orang lain, dan paling utama

mengenal diri sendiri selaku anggota masyarakat.

Menurut Paul Ernest bahwa sosial lebih dari sekedar jumlah manusia

secara individu karena mereka terlibat dalam berbagai kegiatan bersama.

Sedangkan, menurut Peter Herman Sosial adalah sesuatu yang dipahami

sebagai suatu perbedaan namun tetap merupakan sebagai satu kesatuan.38

Kata sosialisasi berasal dari kata sosial. Kata “sosial” digunakan

untuk menunjukan sifat dari makhluk yang bernama manusia. Sehinga

munculah ungkapan “manusia adalah makhluq sosial”. Ungkapan ini

berarti bahwa mnusia harus hidup berkelompok atau bermasyarakat.

Mereka tidak dapat hidup dengan baik kalau tidak berada dalam kelompok

atau masyarakat.39

Dengan kata lain untuk hidup secara memadai dia harus

berhubungan dengan orang lain. Masing-masing manusia (orang) saling

membutuhkan pertolongan sesamanya.

Kesimpulan dari beberapa bendapat di atas, bahwa kata “sosial” tidak

lepas dengan manusia dalam arti individu dan masyarakat dalam arti

kelompok. Hidup dalam masyarakat yang bersosialisasi, mereka saling

37

Nursid Sumaatmadja, Manusia Dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan Hidup,

(IKAPI: Bandung, 1996), h. 39 38

Carapedia, Pengertian dan Definisi Sosial Menurut Para Ahli, 2013, (http://Pengertian

dan Definisi Sosial Menurut Para Ahli - Ilmu Pengetahuan - CARApedia.htm), diakses pada 19

September 2013. 39

“Pengertian Sosial”, 2013, (http://SOSIAL pengertian sosial.htm), diakses pada 19

September 2013.

22

membutuhkan satu sama lainnya. Manusia tidak akan bisa hidup sendiri,

karena mereka saling membutuhkan pertolongan dengan masyarakat

lainnya.

3. Hakikat Nilai Sosial

Nilai sosial lebih ditekankan sebagai petunjuk arah demi tercapainya

tujuan sosial masyarakat. Menurut Huky dalam Abdulsyani, ada beberapa

fungsi umum nilai-nilai sosial, yaitu, pertama nilai sosial menyumbangkan

seperangkat alat yang siap dipakai untuk menetapkan patokan sosial

pribadi, grup atau kelompok. Kedua nilai sosial bisa mengarahkan atau

membentuk cara berpikir dan bertingkah laku. Ketiga nilai sosial sebagai

patokan bagi manusia dalam memenuhi peranan sosialnya. Keempat nilai

sosial juga berfungsi sebagai pengawasan sosial, mendorong, menuntun,

bahkan menekan manusia untuk berbuat baik. Kelima Nilai sosial

berfungsi sebagai sikap solidaritas dikalangan masyarakat.40

Goldmann mendefenisikan novel sebagai cerita tentang suatu

pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan

oleh seorang hero yang problematik dalam sebuah dunia yang juga

terdegradasi.41

Dapat diartikan bahwa maksud dari nilai-nilai yang otentik

itu adalah totalitas kehidupan.

Nilai yang diacu dalam sastra adalah kebaikan yang ada dalam makna

karya sastra bagi kehidupan seseorang. Hal ini berarti bahwa dengan

adanya berbagai wawasan yang dikandung dalam karya sastra khususnya

novel akan mengandung berbagai macam nilai kehidupan yang akan

sangat bermanfaat bagi pembaca. Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh

masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap

buruk oleh masyarakat.

40

Wahyu Saputra, “ Nilai-Nilai Sosial Dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya

Pramoedya Ananta Toer”, Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

FBS Universitas Negeri Padang, Padang, 2012, h. 410, tidak dipublikasikan. 41

Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-

modernisme, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2012), h. 91

23

Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas, dalam sebuah karya sastra

pasti terkandung nilai-nilai kehidupan yang berlaku pada masyarakat di

mana karya sastra tersebut diciptakan. Nilai-nilai tersebut menggambarkan

norma, tradisi, aturan, dan kepercayaan yang dianut atau dilakukan pada

suatu masyarakat. Nilai-nilai sosial mengacu pada hubungan individu

dengan individu yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana

seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah,

dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial. Dalam

masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian

diri adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan

masyarakat.

4. Macam-Macam Nilai Sosial

Ada beberapa macam nilai sosial dalam masyarakat yang berfungsi

sebagai sarana pengendalian dalam kehidupan bersama. Nilai tersebut

sebagai nilai yang bersifat umum berlaku pada semua masyarakat. Adapun

nilai sosial yang dimaksud, diantaranya:

a. Agama

Nilai sosial yang terkait dengan agama adalah tindakan-

tindakan sosial yang terkait dengan tuntunan ajaran agama yang

ada. Apakah seseorang menjalankan kewajiban agama secara benar

dan baik ataukah ia tidak menjalan kewajiban keagamaannya

secara baik.

b. Musyawarah

Musyawarah adalah proses pembahasan suatu persoalan

dengan maksud mencapai keputusan bersama. Mufakat adalah

kesepakatan yang dihasilkan setelah melakukan proses

pembahasan dan perundingan bersama. Jadi musyawarah mufakat

24

merupakan proses membahas persoalan secara bersama demi

mencapai kesepakatan bersama.42

c. Gotong-royong

Gotong royong dapat diartikan sebagai aktivitas sosial,

namun yang paling penting dalam memaknainya adalah

menjadikannya filosofi dalam hidup yang menjadikan kehidupan

bersama sebagai aspek yang paling penting.43

d. Tolong-menolong

Tolong menolong merupakan kewajiban bagi setiap manusia,

dengan tolong menolong dapat membantu orang lain dan jika kita

perlu bantuan tentunya orangpun akan menolong. Dengan tolong

menolong dapat membina hubungan baik dengan semua orang.

Tolong menolong dapat memupuk rasa kasih sayang

antar tetangga, antar teman, antar rekan kerja. Singkat kata tolong

menolong adalah sifat hidup bagi setiap orang.

e. Saling memaafkan

Memohon dan memberi maaf dengan tulus sejatinya

memiliki makna yang dalam, dengan saling memaafkan maka tidak

ada lagi rasa dendam, sakit hati, marah dan sebagainya, yang ada

adalah rasa suka cita penuh kebahagiaan dalam ketulusan cinta

kasih, tidak ada lagi batas pemisah semua menyatu sebagai sesama

manusia ciptaan Tuhan.

f. Kasih sayang

Rasa kasih sayang adalah rasa yang timbul dalam diri hati

yang tulus untuk mencintai, menyayangi, serta memberikan

kebahagian kepada orang lain , atau siapapun yang dicintainya.

Kasih sayang diungkapkan bukan hanya kepada kekasih tetapi

42

Anonim, “musyawarah” di dalam http://cindycindyaritonang. Blogspot. com/2012/01/

pengertian - musyawarah.html (diunduh pada Minggu, 29 Juni 2014 pkl 20:00 WIB) 43

Anonim, “Gotong-royong” di dalam http://karakter0809.weebly.com/makna-gotong-

royong.html (diunduh pada Minggu, 29 Juni 2014 pkl 20:00 WIB)

25

kasih kepada Allah, orang tua, keluarga, teman, serta makhluk lain

yang hidup dibumi ini.44

g. Tanggung Jawab

Tanggung jawab dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

keadaan dimana wajib menanggung segala sesuatu, sehingga

berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala

sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.

E. Hakikat Pembelajaran Sastra

Pembelajaran sastra merupakan bagian dari pelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia yang diberikan di sekolah formal.

“Belajar sastra pada dasarnya adalah belajar bahasa dalam praktek”. Belajar

sastra harus selalu berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya

merupakan kumpulan kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis, dan

diintegrasikan.45

Sebagai sarana pendidikan, sastra memberi pelajaran tentang arti

hidup bagi diri sendiri dan orang lain (humanitas). Sastra sebagai sarana

pendidikan informal memberikan pengayaan tentang bagaimana memanfaatkan

hidup tanpa menyia-nyiakannya.46

Sastra memperkaya kehidupan dan pengalaman

kita di dalam usaha hidup bermasyarakat dalam hubungan sosial dengan orang

lain dari berbagai tingkat dan status. Sastra bisa menjadi sarana pendidikan

informal jika kita menganggapnya serius, bukan sekedar sarana pengisi waktu

luang tetapi sarana pendidikan yang membawa melihat jauh ke masa depan.

Sastra mampu memberikan manfaat lebih ketika kita mampu dari sekedar

menjadi pembaca. Pembelajaran sastra akan memberikan dasar atau kriteria untuk

dijadikan pegangan penilaian, di samping uraian-uraian mengenai nilai dalam

karya yang sedang ditelaah.

Dalam pembelajaran sastra, guru harus memperhatikan prinsip pembelajaran

sastra. Mengenai hal ini dalam bukunya Djago Tarigan mengungkapkan: pertama

44

Anonim, “Kasih sayang” di dalam http://bima-san.blogspot.com/2013/10/pengertian-

kasih-sayang.html (diunduh pada Minggu, 29 Juni 2014 pkl 21:00 WIB) 45

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Kanisius: Yogyakarta, 1988), h. 38 46

Nico A. Likumahua, Sastra Suatu Sarana Pendidikan Informal, (WS Press: Salatiga,

2001), h. 9

26

pembelajaran apresiasi sastra berfungsi meningkatkan kepekaan rasa pada budaya

bangsa, khususnya bidang kesenian. Kedua pembelajaran apresiasi sastra

memberikan kepuasan batin dan pengayaan pada karya estesis melalui bahasa.

Ketiga Pembelajaran apreasiasi sastra bukan pengajaran tentang sejarah, aliran,

dan teori tentang sastra. keempat Pembelajaran apresiasi sastra adalah

pembelajaran untuk memahami nilai kemanusiaan dari karya sastra tersebut.47

Pembelajaran sastra tidak hanya menggali unsur-unsur intrinsik atau

ekstrinsik saja tapi juga dapat digali berbagai pelajaran hidup dari karya sastra

yang disampaikan pengarang melalui caranya yang khas. Cara penyampaian inilah

yang membuat pengarang berbeda dengan penceramah. Konsekuensi model

pembelajaran seperti itu, menuntut guru pandai melakukan pilihan atas karya-

karya yang baik dan bermutu. Oleh karena itu, setiap guru atau calon guru bahasa

dan sastra Indonesia wajib menyukai sastra dan membaca banyak karya sastra.

Dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran sastra adalah untuk

mengapresiasikan karya sastra dan memanfaatkan nilai-nilai yang terkandung di

dalam karya sastra tersebut.

F. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan ini disebut juga sebagai tinjauan pustaka. Tinjauan

pustaka berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang penelitian sebelumnya

yang telah dilakukan. Kajian terhadap hasil penelitian sebelumnya ini hanya akan

dipaparkan beberapa penelitian sejenis yang berkaitan dengan permasalahan nilai-

nilai sosial.

“Gaya Bahasa Kias dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari” oleh Verri

Yuliyanto, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas

Negeri Malang 2012. Tujuan kajian ini mendeskripsikan jenis dan ciri gaya

bahasa kias yang digunakan pada novel Kubah karya Ahmad Tohari dan

mendeskripsikan kekuatan gaya bahasa kias dalam membangun tokoh, watak,

penokohan, latar, dan amanat pada novel Kubah karya Ahmad Tohari. Kajian ini

47

Diah W indu Wulan, op. cit., h. 42.

27

menghasilkan 12 jenis dan ciri gaya bahasa kias yang terdapat dalam novel Kubah

karya Ahmad Tohari.48

Selanjutnya, tesis berjudul “Analisis Struktur dan Religiusitas dalam Novel

Kubah Karya Ahmad Tohari” oleh Shinta Dewi, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya

2011. Tesis dengan judul ”Analisis Struktur dan Religiusitas dalam Novel Kubah

Karya Ahmad Tohari” berisi analisis tentang unsur intrinsik yang membangun

jalannya cerita, serta analisis tentang religiusitas yang terkandung di dalamnya.

Sebelum melakukan analisis terhadap religiusitas, terlebih dahulu penulis

menganalisis unsur intrinsik berupa tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran,

latar dan pelataran, serta tema dan amanat pada novel Kubah dengan

menggunakan metode struktural. Untuk melakukan analisis terhadap religiusitas

dalam novel Kubah, penulis tidak menggunakan metode khusus. Hanya dengan

pemahaman mendalam tentang analisis unsur intrinsik yang telah dilakukan. Hasil

analisis novel Kubah yang penulis dapatkan adalah novel Kubah sarat dengan

ajaran agama Islam, baik ajaran tentang ketakwaan ataupun keimanan. Selain itu

novel Kubah juga mengajarkan betapa pentingnya saling memaafkan terhadap

kesalahan orang lain agar tercipta rasa solidaritas yang tinggi. Seperti halnya sikap

pemaaf warga masyarakat Pegaten ketika menerima kehadiran Karman dari

pengasingan. Masyarakat Pegaten sama sekali tidak menyimpan rasa dendam

terhadap Karman dan kesalahannya pada masa lalu.49

Selanjutnya, skripsi berjudul “Analisis Pesan Moral dalam Novel Kubah

karya Ahmad Tohari dan Aspek Pembelajarannya di SMP” oleh Sri Budi,

mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas

Pancasakti Tegal 2011. Penelitian ini akan membahas pesan moral yang terdapat

dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari, dengan rumusan masalah; Bagaimana

pesan moral yang terkandung dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari?

Tujuannya Mendeskripsikan pesan moral yang terkandung dalam novel Kubah

48

Verri Yuliyanto, Gaya Bahasa Kias Dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari, Skripsi

pada Universitas Negeri Malang, Malang, 2012, tidak dipublikasikan. 49

Shinta Dewi, ANALISIS STRUKTUR DAN RELIGIUSITAS DALAM NOVEL KUBAH

KARYA AHMAD TOHARI, pada tesis Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang,

2011, tidak dipublikasikan.

28

karya Ahmad Tohari, dengan metode yang dipakai adalah penelitian kualitatif.

Penelitian sastra dengan pendekatan struktural semiotik sesungguhnya

dikarenakan bahwa karya sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bemakna

tanpa memperhatikan struktur karya sastra atau novel, tanda maka sulit dimengerti

maknanya secara optimal. Berdasarkan analisis yang penulis lakukan, pesan moral

dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari tidak lepas dari telaah heuristik untuk

analisis awal dan dengan analisis hermeneutik untuk analisis lanjutan.50

Selanjutnya, tesis berjudul “Aspek Kejiwaan dan Nilai Pendidikan dalam

Novel Kubah Karya Ahmad Tohari (Pendekatan Psikologi Sastra dan Nilai

Pendidikan)” oleh M. Riyanton, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa

Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Solo, 2013. Penelitian

ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan proses kreatif penulisan novel Kubah (2)

mendeskripsikan struktur novel Kubah karya Ahmad Tohari, meliputi: tema,

penokohan dan perwatakan, latar, alur (3) mendeskripsikan aspek kejiwaan yang

terkandung dalam novel Kubah (4) mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan yang

terkandung dalam novel Kubah. Bentuk penelitian ini adalah kualitatif deskriptif

dengan menggunakan metode content analysis.Sumber data penelitian ini adalah:

(1) teks, yaitu novel Kubah (2) informan, yaitu Ahmad Tohari pengarang novel

Kubah, (3) buku-buku referensi yang relevan. Penelitian ini mendapatkan

simpulan bahwa (1) latar belakang pengarang dalam penciptaan novel sangat

menentukan hasil karyanya dalam hal ini keadaan sekitar yang mempengaruhi

proses kreatif novel Kubah (2) struktur meliputi tema, penokohan dan perwatakan,

latar, alur (3) aspek kejiwaan, meliputi: perasaan dan emosi, konflik, persepsi,

sikap, dan respons (3) Nilai-nilai pendidikan dalam novel Kubah adalah

pendidikan agama, moral, dan sosial budaya.51

Penelitian sebelumnya membicarakan tentang analisis unsur intrinsik

secara umum maupun secara khusus serta nilai yang terkandung dalam novel

50

Sri Budi, Analisis Pesan Moral dalam Novel Kubah karya Ahmad Tohari dan Aspek

Pembelajarannya di SMP, pada skripsi Universitas Pancasakti Tegal , Tegal, 2011, tidak

dipublikasikan. 51

M. Riyanto, Aspek Kejiwaan dan Nilai Pendidikan dalam Novel Kubah Karya Ahmad

Tohari (Pendekatan Psikologi Sastra dan Nilai Pendidikan), 2013 (http://Program Pascasarjana

UNS Solo.htm)

29

Kubah terutama nilai pendidikan, nilai religius, dan aspek kejiwaan dalam novel

Kubah. Sedangkan, penelitian saya ini mengangkat nilai sosial yang terkandung

dalam novel Kubah melalui pendekatan Sosiologi Sastra.

30

BAB III

PROFIL AHMAD TOHARI

A. Biografi Ahmad Tohari

Ahmad Tohari lahir di Desa Tinggarjaya Kecamatan Jatilawang Kabupaten

Banyumas, Jawa Tengah, pada 13 Juni 1948. Ia terlahir dari kalangan keluarga

yang beragama Islam. Setelah tamat SMA tahun 1967, ia meneruskan kuliah di

Fakultas Kedokteran Yarsi Jakarta. Kemudian, tahun 1970 ia menikah dan bekerja

di BNI 46 Jakarta, kemudian pindah ke surat kabar harian merdeka, dan timbul

perasaan jemu, maka kembalilah ia ke Banyumas mengikuti kuliah di Fakultas

Ekonomi UNSUD Purwokerto, lantas pindah lagi ke Fakultas Sospol. Akan tetapi,

ia merasa bosan juga dan akhirnya keluar, kemudian ia memilih mengasuh sebuah

pesantren di Tinggarjaya, dan kini pindah lagi ke Jakarta, turut mengasuh majalah

amanah.1 Ia pun pernah mengikuti International Writing Progam di Iowa City,

Amerika Serikat (1990).2

Ahmad Tohari merasa bahagia, dua buah karyanya yang berjudul Kubah

dan Ronggeng Dukuh Paruk mendapat tawaran dari Mr. Juji Imura, untuk

diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Juji Imura adalah direktur Imura Cultural

Interprice, sebuah badan penerbitan yang berdomisili di Tokyo Jepang. Sebelum

tawaran itu datang, novel Ronggeng Dukuh Paruk pernah diresensi oleh sebuah

majalah Belanda. Resensi itu ditulis oleh H. I. Maier yakni salah seorang

pengamat sastra Indonesia di Negara Kincir Angin menyimpulkan Ronggeng

Dukuh Paruk adalah novel yang bertema manusiawi dan universal. Kemungkinan

alasan seperti itulah yang mendorong orang Jepang untuk menerjemahkan

karyanya. Novel Kubah diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1981, oleh PT.

Dunia Pustaka Jaya, dan pada tahun itu juga buku ini terpilih sebagai novel

terbaik oleh Yayasan Buku Utama.3

1 Anonim, Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk, (Eksponen: Jakarta, 1986), h. 8

2 Yudiono K. S, op, cit., h. 1—2

3 Anonim, Ahmad Tohar, (Mutiara: Jakarta, 1985), h. 34

31

Dick Hartoko mengatakan, bahwa Ahmad Tohari memiliki tiga ciri:

pertama, dia orang Jawa, selain itu ia merupakan sastrawan santri. Kedua, dia

amat dekat dengan alam desa, dan lahir dari pengamatan dan pengalaman

sekelilingnya. Ketiga, alam baginya merupakan guru yang arif dan bijaksana.4

Ahmad Tohari sebagai sastrawan santri, memang teramat setia pada

dunianya. Meski sudah bekerja cukup mapan sebagai redaktur di majalah Amanah

Jakarta, tetapi pada 1992 ia tinggalkan. Ia kembali ke kampung desa Tinggarjaya,

Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, semata-mata supaya bisa secara total

menulis.5

Proses menulis Ahmad Tohari adalah sebuah ketidaksengajaan. Ahmad

Tohari mengatakan bahwa terpeleset menjadi seorang penulis, karena ia kehabisan

biaya untuk melanjutkan kuliahnya di Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi,

Jakarta. Tak lebih dua tahun sejak 1968 hingga 1970 ia merangkai keinginan

menjadi seorang dokter, akan tetapi kendala ekonomi tak mewujudkan keinginan

itu. Pada saat dalam keterdesakan ekonomi itu Ahmad Tohari sadar bila ia

memiliki kemampuan menulis yang kelak bisa menjadi tumpuan hidupnya, maka

mulailah merangkai berbagai tulisan berbentuk cerita pendek dan esai. Semua

tulisan yang lahir dari tangannya, ia selalu menyisakan jejak. Ia selalu

menyisipkan sebuah renungan moral untuk pembacanya.6

Sastrawan kelahiran 13 Juni 1948 ini, telah memilih kampung

(kelahirannya) sebagai tempat menciptakan karya-karyanya. Ia memang selalu

saja merasa sulit untuk menulis karya-karya kreatif dengan suasana kota. Maka,

tidak mengherankan kalau hampir semua novel-novelnya berbicara tentang desa

dan tentang orang-orang yang seperti belum terjamah modernisme. Kekuatan

karya-karyanya ialah tentang deskripsi latar (pedesaan) tempat bermain tokoh-

tokohnya.7

4 Anonim, Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk, (Eksponen: Jakarta, 1986), h. 8

5 Anonim, Sang ‘Punokawan’ yang Holistik dari Tinggarjaya, (Media Indonesia: Jakarta,

1994), h. 4. 6 Anonim, “Ahmad Tohari Menatap Kota dengan Kacamata Wong Cilik”, (Mingguan

Koran Tempo: Jakarta, 2002), h. 8 7 Ibid., h. 8.

32

Ahmad Tohari tidak dikenal sebagai pengarang yang karya-karyanya

sudah mendunia, tetapi tetap saja dikenal sebagai seorang santri atau wartawan

dengan kehidupan sehari-hari yang sederhana. Ternyata pandangan masyarakat

seperti itu justru menguntungkan keberadaan dirinya, sebab kehidupan sehari-hari

menjadi tetap lugas dan berjalan sebagaimana adanya, meskipun kadang-kadang

dirasakan menghambat kesempatannya mengarang. Hambatan non teknis itu

berkaitan dengan kesibukannya sebagai seorang warga masyarakat yang tidak

terlepas dari kewajiban-kewajiban sosial. 8 Ahmad Tohari menikah 1970 dengan

gadis idamannya Siti Syamsiah. Dia sekarang dikarunia lima orang anak dari hasil

perkawinannya itu. Selain menulis novel dan cerpen, Ahmad Tohari juga menulis

kolom tetap di majalah Panji Masyarakat Jakarta.

Nama Ahmad Tohari dalam peta sastra Indonesia modern bukan lagi

sebuah nama yang asing dan baru. Bahkan, ia seakan telah menjadi “cap”

tersendiri bagi tema-tema yang berlatar pedesaan serta segala kompleksitas

sosialnya.9 “Kalem dan bersahaja”, seperti kalimat-kalimat pendek dalam karya-

karyanya adalah cermin diri Ahmad Tohari. Ia orang yang tidak munafik. Kendati

dididik dalam lingkungan Islam yang ketat, ayahnya seorang kyai, ayah lima anak

itu kenal betul kehidupan ronggeng yang bisa dikatakan menganut paham seks

bebas, namun, yang menurun kepada dirinya adalah keronggengannya.10

Sebagai pengarang berlatar Jawa, dengan pemahaman dan penghayatannya

sebagai bagian dari kesadarannya. Kenyataan seperti ini sama dengan apa yang

dialami YB Mangunwijaya, Umar Kayam, dan Linus Suryadi Ag. yang hidup

dalam konteks budaya yang sama dipahami dan dihayatinya. Ahmad Tohari

mengatakan bahwa Jawa sebagai subsistem budaya nasional, relatif lebih kaya

dan mapan dibandingkan dengan sub budaya lainnya.11

1. Karya Ahmad Tohari

Berikut ini merupakan karya-karya Ahmad Tohari:

8 Yudiono K. S, op. cit., h. 8

9 Syahrial, Resensi Potret-Potret Ahmad, (Jakarta, 1989), h. 17

10 Anonim, Ahmad Tohari: Memangku Ronggeng, (Majalah Editor: jakarta, 1989).

11 Anonim, Gugatan Gaya Jawa Lebih Arif untuk Zaman Sekarang, (Suara Pembaruan:

Jakarta, 1988), h. 8.

33

a. Novel-novel berwarna geger polotik 1965 (Ronggeng Dukuh Paruk,

Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala, Kubah, Lingkar Tanah

Lingkar Air),

b. Novel-novel berwarna korupsi sebagai dampak pembangunan (Di Kaki

Bukit Cibalak, Berkisar Merah, Belantik, Orang-Orang Proyek), dan

c. Cerpen-cerpen berwarna pelangi kehidupan sosial yang terkumpul dalam

Senyum Karyamin dan Nyanyian Malam.12

2. Penghargaan yang Pernah Diraih

Berikut ini merupakan beberapa karya Ahmad Tohari yang telah

mendapat penghargaan:

a. Karya-karya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa lain yaitu

Ronggeng Dukuh Paruk dan Kubah akan diterbitkan dalam bahasa

Jepang oleh Imura Cultural Co. Ltd, Tokyo, Jepang.

b. Karya-karya yang pernah disiarkan melalui radio dan televisi yaitu

Ronggeng Dukuh Paruk yang difilmkan oleh PT Gramedia dengan judul

Darah Mahkota Ronggeng, 1983.

c. Hadiah harapan Sayembara Cerpen Xincir Emas Radio Nederland, untuk

cerpen Jasa-jasa Buat Sanwirya, 1977.

d. Hadiah harapan lomba novel DKJ, untuk novel Di Kaki Bukit Cibalak.13

e. Pada tahun 1995 menerima Hadiah Sastra ASEAN.14

B. Data Novel Kubah

Kubah adalah salah satu novel karya Ahmad Tohari yang diterbitkan

pertama kali oleh Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, tahun 1981.15

Novel ini pernah

mendapatkan penghargaan dari Yayasan Buku Utama tahun 1981, serta telah

diterbitkan dalam edisi bahasa Jepang. Novel Kubah diterbitkan oleh Gramedia

Pustaka Utama di Jakarta bulan Juni 1995 berisi 192 halaman. Kemudian novel

12

Yudiono K.S., op. cit., h. 176 13

Anonim, Achmad Tohari Novelis dari Desa Tinggarjaya, (Yudha Minggu: Jakarta,

1984), h. 4. 14

Yudiono K. S., op. cit., h. 2. 15

Hasanuddin WS, op. cit., h. 525.

34

ini mengalami cetak ulang pada tahun 2001 diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka

Utama berukuran 11 x 18 cm dengan ketebalan 190 halaman.16

Novel ini menceritakan seorang pemuda yang bergaul dengan orang-

orang PKI, sehingga dia terhasut PKI. Latar tempat cerita ini tidak begitu jelas,

namun terjadi di Indonesia pada masa pergolakan paham komunis pada tahun

1960-an. Tetapi dari nama-nama tokoh dalam novel ini diperkirakan latar tempat

novel ini adalah suatu tempat di Jawa.

Novel Kubah memiliki alur sorot balik atau flash back. Ceritanya diawali

konflik batin Karman yang sudah meninggi, yakni bebasnya Karman dari penjara

Pulau B. Kemudian, diceritakan dengan runtut progesif-kronologis. Dalam novel

Kubah teknik pembalikan cerita dilakukan Karman dengan cara tokoh

merenungkan kembali masa lalunya.

C. Sinopsis Novel Kubah

Karman yang lahir di Desa Pegaten tahun 1935, sejak usia 12 tahun sudah

ditinggal ayahnya, Pak Mantri. Mulai saat itulah, ia bersama ibu dan adik

perempuan satu-satunya hidup dalam keadaan sengsara. Sebenarnya, Pak Mantri

sendiri termasuk seorang Priyayi. Hanya ketika pada zaman Jepang, banyak orang

kelaparan dan cuma makan ubi atau bongkol pisang, Pak Mantri merasa tidak

layak menerima nasib seperti itu. Ia lebih suka menukar sawahnya dengan padi

Haji Bakir, Hingga sawah Pak Mantri tak tersisa.

Memasuki zaman perang kemerdekaan, sikap kepriyayian Pak Mantri

tetap tak berubah. Maka ia memilih jadi recomba daripada ikut perang Gerilya. Di

luar dugaan, ia malah ditangkap para pemuda pejuang. Bagi Karman, inilah awal

kehidupan yang penuh derita. Ia mulai ikut membantu ibunya mencari singkong

atau ubi, hanya agar keluarganya dapat mengisi perut.

Melihat kehidupan Karman ini, Haji Bakir merasa kasihan. Karena

pemuda itu sangat rajin dan jujur, taat beragama, dan saleh, haji Bakir dan istrinya

sangat menyayanginya dan menganggapnya seperti anak mereka sendiri. Bahkan,

mereka myekolahkan Karman di sekolah rakyat.

16

Yudiono K. S, op. cit., h. 53

35

Setamat dari sekolah rendah, Karman melanjutkan sekolahnya ke SMP

atas biaya pamannya. Hasyim seorang mantan tentara Hisbullah. Namun, setamat

dari SMP, ia tidak melanjutkan sekolahnya karena tidak mempunyai biaya. Sejak

saat itu, dia hanya menganggur saja. Dalam keadaan menganggur itulah ia

bertemu dengan Triman, seorang kader PKI yang menawarkan pekerjaan

kepadanya.

Pada suatu hari Karman bermaksud melamar Rifah. Namun, lamarannya

ditolak oleh haji Bakir. Sebenarnya, penolakan lamaran Karman bukan karena haji

Bakir membenci pemuda itu, melainkan karena Rifah telah dilamar oleh Abdul

Rahman, seorang saudagar mutiara dari Pakistan. Karman merasa kecewa karena

lamarannya ditolak. Berkat hasutan Triman dan Margo, pemuda itu menjadi benci

terhadap keluarga haji Bakir.

Setelah penolakan itu, Karman menjadi frustasi. Dalam keadaan demikian,

Triman dan Margo dengan mudah dapat memasukkan ajaran-ajaran komunis pada

dirinya. Hubungannya dengan orang-orang PKI semakin akrab. Akibat

keakrabannya dengan orang-orang PKI, Karman mulai dijauhi oleh orang-orang

yang sebelumnya mencintainya. Haji Bakir pun mulai menjauhinya karena ia

sangat anti terhadap PKI. Itulah sebabnya, ketika Karman melamar Rifah untuk

kedua kalinya, setelah suami Rifah meninggal dunia akibat kecelakaan, Haji Bakir

menolaknya. Orang tua itu menolak lamaran Karman karena ia membenci tingkah

lakunya yang telah berubah dari pemuda yang sopan santun dan taat beragama,

menjadi orang yang meninggalkan ajaran agama, angkuh, dan sombong. Ia tidak

ingin melihat anaknya menikah dengan orang yang berpaham komunis.

Ketika ia bertemu dengan Marni, seorang gadis yang sangat mirip dengan

Rifah, sikap Karman berbalik. Hubungan keduanya semakin akrab dan akhirnya

mereka memutuskan untuk menikah. Dari pernikahan mereka, lahir anak

perempuan bernama Tini. Kebahagiaan rumah tangga Karman tidak berlangsung

lama. Akibat kegagalan Partindo dalam mendukung usaha PKI untuk mengambil

alih kekuasaan negara, Karman dikejar-kejar pemerintah. Beberapa temannya,

seperti Triman dan Margo ditangkap dan dihukum mati. Karman berhasil

melarikan diri, namun tak lama kemudian, ia pun tertangkap. Ia tidak dihukum

36

mati, melainkan diasingkan disebuah penjara terpencil di Pulau Buru. Selama

menjalani hukuman di Pulau Buru, Karman mulai menyadari perbuatannya yang

salah. Dalam dirinya timbul penyesalan yang amat dalam. Timbulnya kesadaran

dalam dirinya juga berkat usaha yang tak kenal lelah dari Kapten Somad. Seorang

sipir penjara Pulau Buru, yang banyak memberikan bimbingan rohani kepada

Karman.

Dengan kesadaran penuh, bekas kader PKI itu datang ke desanya.

Sementara masyarakat desa Pegaten menerimanya dengan ikhlas tanpa sedikitpun

dendam. Penerimaan itu makin nyata ketika Tini (anaknya) menikah dengan Jabir

(anak Rifah) yang tak lain adalah cucu Haji Bakir. Kemudian, kesadaran dan

tekad Karman bertobat diwujudkan dengan dipersembahkannya sebuah kubah

untuk Masjid di desa itu. Karman telah bertobat dan masyarakat menerimanya

dengan sadar.

37

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Analisis Unsur Intrinsik dalam Novel Kubah Karya Ahmad

Tohari

Di bawah ini akan dipaparkan struktur novel Kubah karya Ahmad

Tohari yang terdiri atas tema, tokoh, alur, latar (setting), sudut pandang, dan

gaya bahasa.

1. Tema

Pada analisis ini, dapat berangkat dari tema yang merupakan ide

dasar sebuah cerita. Tema merupakan sesuatu unsur penting dalam suatu

cerita karena tema merupakan inti cerita yang mendasari suatu cerita.

Bertolak dari inti cerita, pengarang akan mengembangkan cerita menjadi

suatu bentuk yang lebih luas.1Tema yang diangkat dari novel ini adalah

insyafnya seorang ekstapol setelah mengalami berbagai gejolak

kehidupan. Dilihat dari tema yang diangkat, isi cerita ini menggambarkan

tokoh utama yang taat beragama hingga terjerumus ke dalam politik dan

diakhiri dengan sebuah penyesalan.

Tema ini menonjol ketika peristiwa bertemunya Karman dengan

Kastagethek di Kali Sikura. Pertemuan inilah merupakan awal kesadaran

Karman dalam kesalahannya terjerumus ke dalam politik. Hal ini

dibuktikan dalam kutipan berikut:

Dalam kesadaran ketika bayangan regu tembak sudah muncul di

depan mata, Karman merasa sangat iri terhadap Kastagethek

dengan segala perilakunya yang amat tenang, mengalir, dan pasrah.

Karman dapat memastikan bahwa ketenangan hidup Kastagethek

berkaitan dengan shalatnya, dengan zikirnya, dengan tasbihnya.

―Ah, ketiga ritus itu telah lama kuingkari dan kucampakkan.2

Dari kutipan diatas tergambar bagaimana Karman menyadari

bahwa politik telah menjauhkan dirinya kepada tiga hal yang selama ini

1 Sri Widati Pradopo, dkk, op. cit., h. 42.

2Ahmad Tohari, Kubah, (PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1995), h. 152.

38

ditinggalkannya, ketiga hal tersebut yaitu shalat, zikir, dan tasbih. Ketiga

hal ini menurut Karman merupakan paket sebagai pegangan hidup dalam

menjalani kehidupan yang tenang, mengalir, dan pasrah. Ia menyadari

hidupnya yang kini berantakan, karena meninggalkan ketiga hal tersebut.

Selain itu, tema ini dapat dibuktikan pula pada syair yang

dilantunkan Kastagethek, syair tersebut mengingatkan Karman pada masa

kecil sering melantunkan syair tersebut. Syair ini berjudul Sangkan-

paraning dumadi; dari mana dan mau ke mana segala keterjadian.

Aku mbiyen ora ana

Saiki dadi ana

Mbesuk maneh ora ana

Padha bali marang rahmatullah

Dulu aku tiada

Kini aku meng-ada

Kelak aku lagi tiada

Kembali ke rahmat ilahi3

Syair di atas menggambarkan pertobatan Karman dalam agamanya.

Syair yang sering dilantunkan ketika ia bersama anak-anak kecil lainnya di

serambi masjid Haji Bakir. Syair ini merupakan peringatan bagi umatNya

bahwa sebagai manusia yang hidup di dunia akan kembali kepada asal-

usul mereka diciptakan.

Setelah analisis tema, peneliti akan menganalisis alur yang terdapat

dalam novel Kubah.

2. Alur

Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan

peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para

pelaku dalam suatu cerita. Ada beberapa tahapan-tahapan peristiwa dalam

suatu cerita. Tahapan-tahapan peristiwa tersebut antara lain: pengenalan,

konflik, klimaks, penyelesaian.4

3Ibid., h. 152

4Aminuddin, op. cit., h. 83.

39

klimaks

konflik leraian

pengenalan penyelesaian

Alur dalam novel Kubah ini merupakan alur campuran, karena

kisah awal menceritakan kebebasan tokoh Karman, kemudian

mengisahkan kembali ke masa lalu sejak ia kecil sampai saat ia terjerumus

ke dalam anggota PKI, dan berakhir pada kisah setelah ia diterima kembali

oleh masyarakat Pegaten serta dipercaya dalam pembuatan kubah masjid.

Berikut ini pemaparan alur dalam novel Kubah:

a. Tahap Pengenalan

Pada awal kisah ini pengarang mulai melukiskan suatu keadaan.

Kisah ini berawal dari kebebasan tokoh Karman dari Markas Komando

Distrik Militer (tempat Karman ditahan), hatinya bergetar-getar karena

menerima surat pembebasan dirinya. Hal dapat dilihat dari kutipan berikut:

Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak -geriknya

serba kikuk sehingga mengundang rasa kasihan. Kepada

Komandan, Karman membungkuk berlebihan. Kemudian dia

mundur beberapa langkah, lalu berbalik. Kertas -kertas itu

dipegangnya dengan hati-hati, tetapi tangannya bergetar. Karman

merasa yakin seluruh dirinya ikut terlipat bersama surat-surat tanda

pembebasannya itu. Bahkan pada saat itu Karman merasa totalitas

dirinya tidak semahal apa yang kini berada dalam genggamannya.5

Kutipan di atas merupakan gambaran keadaan dan perasaan si

Karman yang bertahun-tahun dalam penjaran serta pada akhirnya ia bebas

dari tahanan tersebut. Kebebasan ini masih dibingungkan oleh Karman, ia

masih tak percaya kertas yang berada digenggamannya itu sebagai tanda

kebebasannya. Kutipan ini pula merupakan narasi yang diluncurkan oleh si

pengarang sebagai kisah awal karyanya. Hal ini dapat dilihat pada episode

pertama halaman tujuh sampai halaman delapan belas.

5Ahmad Tohari, op. cit., h, 7

40

b. Tahap Pemunculan Konflik

Tahap pemunculan konflik dalam novel ini menggambarkan

keraguan tokoh Karman ketika hendak pulang untuk menikmati

kebebasannya setelah sekian lama berada dalam pengasingan di Pulau B

(Buru). Dia ragu untuk pulang karena khawatir akan dicibir dan dibenci

orang-orang sedesanya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

Setelah berhasil mengedepankan gejolak perasaannya, Karman

sadar bahwa dirinya sedang berada dalam perjalanan pulang yang

panjang dari Pulau B. Pulang? Tanya Karman berkali-kali kepada

dirinya sendiri. Pulang ke mana? Aku memang lahir di sana, di

Pagetan. Di sana aku dibesarkan dan di sana aku pernah punya

rumah, istri dan anak. Namun masih adakah semua itu? Dan,

apakah kampungku, terutama orang-orang, mau menerima aku

kembali? Sebuah letupan kekuatan tiba-tiba mengoyahkan hatinya.6

Keraguan dan kekhawatiran Karman dapat dimengerti, karena

Karman sadar akan statusnya sebagai bekas tahanan politik yang baru saja

dibebaskan dari Pulau B. Semua orang tahu bahwa Pulau B adalah tempat

pengasingan para tahanan politik (orang-orang PKI), sehingga wajar kalau

Karman punya kekhawatiran dirinya tidak akan diterima oleh orang-orang

di desanya. Di tambah lagi istrinya yang sangat dicintainya sudah tidak

bisa hidup bersama lagi karena sudah jadi istri orang. Karman teringat

kembali kenangan ketika dia harus merelakan istrinya, Marni, untuk

menikah dengan Parta, lelaki teman sekampung, sedangkan waktu itu dia

sendiri masih berada di pengasingan.

Meskipun diberi hak untuk kembali ke tengah pergaulan

masyarakat, Karman sulit menghapus kekhawatirannya akan ditolak,

dibenci, dan dikucilkan oleh masyarakat yang dahulu pernah

dirongrongnya sendiri. Akan tetapi, tidak ada jalan lain kecuali harus

melangkah pulang ke desanya, Pegaten. Kemudian dia memutuskan ke

rumah Gono, saudara sepupunya yang tidak jauh dari pusat kota.

Sambutan Bu Gono yang tulus merupakan isyarat awal tentang keikhlasan

6Ibid., h. 30

41

masyarakat menerima kembali orang-orang bekas PKI. Hal ini dapat

dilihat dari kutipan berikut:

Mas Karman, saudaraku, tinggallah bersama kami di sini. Kau

takkan menemukan apa-apa lagi di Pegaten. Rumahmu habis

dimusnahkan, tanahmu habis terjual. Dan, oalah Gusti, Marni

istrimu telah kawin lagi dan beranak pinak. Anakmu yang terkecil

meninggal. Mas Karman, kau tak punya apa-apa lagi di Pegaten.

Kau tak punya apa-apa lagi.7

Konflik awal yang dialami Karman yaitu ketika kisah ini

mengingatkan kembali ke masa lalu di mana tokoh Marni yang tak lain

adalah mantan istrinya meminta izin menikah dengan Parta teman

sekampungnya. Karman pun harus merelakan sang istri untuk menikah

lagi, karena pada saat itu posisi dirinya sedang berada di Pulau Buru

(tahanan). Pada konflik awal ini merupakan kilas balik dari jalannya cerita

dalam novel ini.

Yang menguasai seluruh lamunan Karman adalah Parta,

seorang teman sekampung. Tujuh tahun yang lalu, ketika Karman

masih menjadi penghuni pulau buangan, Parta menceraikan

istrinya dan kemudian mengawini Marni. Meskipun sudah punya

tiga anak, Marni memang lebih cantik daripada istri Parta yang

diceraikan. Hal ini tidak akan dibantah oleh siapa pun di Pegaten,

tidak juga oleh Karman.8

Selanjutnya, konflik kedua yang dialami Karman ketika kehidupan

semasa ia ditinggal oleh ayahnya dan hanya hidup dengan ibu beserta

adiknya. Dalam kehidupan ini ia merasa sebagai pengganti ayahnya dan

bertanggung jawab kepada keluarganya. Ia mesti mencari singkong atau

ubi untuk makan ibu dan adiknya yang masih kecil.

Sepeninggal ayahnya, Karman hidup hanya dengan ibu dan

seorang adik perempuan yang masih kecil. Sebenarnya Karman

mempunyai dua kakak lelaki. Tetapi keduanya meninggal dalam

bencana kelaparan pada zaman Jepang. Keadaan keluarga Karman

amat menyedihkan.9

7Ibid., h. 34

8Ibid., h. 12

9Ibid., h. 56

42

Dari kutipan di atas menggambarkan perubahan kehidupan

Karman yang bermula hidup serba kecukupan sehingga harus menjalankan

kepahitan hidup bersama keluarganya.

Konflik ketiga yaitu, ketika Karman melamar Rif‘ah anak Haji

Bakir tetapi ditolak oleh Haji Bakir lantaran Rif‘ah telah dilamar oleh

pemuda lain. Pemuda tersebut bernama Abdul Rahman, ia adalah seorang

santri dari sebuah pesantren di daerah Jawa Timur. Sebelumnya calon

suami Rif‘ah sudah ditentukan oleh keluarga Haji Bakir.

Sayangnya ada satu hal yang pasti tak disadari oleh Karman;

Rifah sudah dilamar oleh pemuda lain.10

c. Tahap Klimaks

Tahap klimaks dari alur novel Kubah ini berawal dari hasutan

Margo dan Triman kepada Karman. Dua orang tersebut ingin menjauhkan

Karman dengan Haji Bakir. Mereka memanfaatkan situasi seperti ini,

karena orang tua Karman pernah memiliki satu hektar tanah yang saat ini

sudah menjadi milik Haji Bakir. Masalah tanah ini menjadi senjata utama

bagi Margo dan Triman untuk menghasut Karman, mereka memutar

balikan fakta, bahwa tanah milik orang tua Karman telah dikuasai oleh

Haji Bakir. Pada kenyataannya ketika ayah Karman masih hidup tanah

tersebut sudah ditukar oleh bahan pangan untuk para tetangganya, itulah

sebabnya tanah tersebut sudah sah dimiliki oleh Haji Bakir.

Selain itu pula Margo serta Triman tidak begitu puas dalam

menghasut Karman, mereka tidak tinggal diam serta selalu mencari cara

agar hasutan untuk menjauhkan Karman dan Haji Bakir semakin kuat.

Belum lama masalah tanah selesai, Karman melamar Rifah yang kedua

kalinya, keadaan seperti ini sangat dimanfaatkan oleh Margo dan Triman.

Karman pun harus menerima nasib yang sama saat melamar Rifah yang

pertama, ia pun ditolak kembali oleh Haji Bakir dengan alasan sudah

terlambat melamar Rifah. Haji Bakir yang sebelumnya sudah benci pada

partai adalah salah satu alasan utama penolakan lamaran Karman. Akan

10

Ibid., h. 76

43

tetapi Karman menganggapnya berbeda, ia beranggapan bahwa penolakan

tersebut mengatasnamakan harta atau materi, karena sebelumnya suami

Rifah adalah pemuda yang kaya, sedangkan dirinya hanya dari kalangan

keluarga miskin.

Akibat dendam terhadap Haji Bakir serta hasutan yang

mempengaruhi pikiran Karman maka, ia sudah siap dengan keputusan

untuk meninggalkan Pegaten atas rasa sakit hati dan merasa tidak berarti

lagi tinggal di Pegaten tempat kelahirannya. Ia juga sampai hati

meninggalkan ajaran agamanya, karena terlalu banyak hasutan yang

diterima olehnya dari Margo dan Triman. Hasutan Margo dan Triman

yang semakin menguasai pikiran Karman, membuat Karman semakin

membenci masyarakat Pegaten terutama terhadap Haji Bakir.

Karman pun berani berterus terang meninggalkan mesjid,

meninggalkan peribadatan bahkan tentang agama, Karman sudah

pandai mengutip kata-kata Margo, bahwa agama adalah candu

untuk membius kaum tertindas.11

Kutipan di atas merupakan klimaks dari cerita novel Kubah karya

Ahmad Tohari. Hal ini terlihat ketika Karman mulai berani meninggalkan

kampungnya bahkan meninggalkan agamanya, di sinilah puncak

kemarahan Karman serta hasutan yang diberikan oleh Margo.

d. Tahap Peleraian

Tahap peleraian alur dalam novel ini yaitu pelarian Karman untuk

menyelamatkan diri dari kepungan polisi dan tentara akibat kebodohannya

yang terjebak sebagai anggota partai. Karman berusaha pergi ke tempat

yang dapat menyelamatkan dirinya dari kepungan polisi. Setiap kali ia

selalu berpindah tempat yang menurut dirinya aman sebagai tempat untuk

bersembunyi. Akan tetapi, ke mana pun ia bersembunyi tetap saja

tertangkap oleh warga yang menemukannya.

Dan tamat sudah kisah pelariaannya, karena seorang gembala

kerbau melihat segala gerak-geriknya. Di siang itu beberapa orang

11

Ibid., h. 94

44

pamong desa datang ke Astana Lopajang. Karman ditangkap dalam

keadaan sakit payah. Boleh jadi karena keadaannya itulah orang

tidak tega menghabisi nyawanya.12

e. Tahap Penyelesaian

Pada tahap terakhir ini menceritakan kepulangan Karman ke

Pegaten yang diterima kembali oleh masyarakat. Masyarakat pegaten

menerima dan memaafkan atas semua kesalahan Karman di masa lalu,

mereka tidak menyimpan dendam sedikit pun kepada bekas tahanan

politik ini. Karman dijemput anaknya yang bernama Tini ke rumah Bu

Mantri yang tak lain adalah ibunya sendiri. Pada tahap akhir ini pula

menceritakan rencana pernikahan Tini anak Karman dan Marni dengan

Jabir anak Rifah wanita yang pernah ia cintai.

Tini bersama Jabir keluar dari rumah Bu Mantri. Mereka baru

menjemput Karman dari kota. Ayah Tini yang baru pulang dari

Pulau B itu sekarang berada di rumah Bu Mantri, nenek Tini.13

Rasa saling memaafkan yang dimiliki oleh masyarakat Pegaten

ditunjukkan ketika Karman dipercaya untuk membangun kubah masjid

milik Haji Bakir. Kubah yang dibuat Karman terlihat indah ketika sudah

terpasang di atap bangunan masjid. Masyarakat Pegaten yang melihat

kubah tersebut saling memuji atas apa yang telah dibuat oleh Karman.

―Luar biasa bagusnya,‖ kata seseorang ketika kubah masjid

hasil kerja Karman selesai dipasang menjadi puncak bangunan

mesjid.14

Kutipan di atas menggambarkan kepuasan masyarakat Pegaten atas

kinerja Karman dalam pembuatan kubah di masjid Haji Bakir. Akhir kisah

Karman, seorang bekas tahanan politik yang telah menemukan kesadaran

hidupnya merupakan akhir jalannya cerita dalam novel Kubah ini.

Kesadarannya yang telah hilang kini kembali lagi menjadi seorang taat

beragama dan berguna bagi masyarakat di sekelilingnya.

12

Ibid., h. 166 13

Ibid., h. 167 14

Ibid., h. 189

45

Berdasarkan paparan alur tersebut, tampak alur cerita

menggunakan alur campuran.

3. Tokoh dan penokohan

Cerita dalam sebuah novel tidak akan ada tanpa tokoh yang

menggerakkan cerita dan membentuk alur dengan segala macam

permasalahan yang dialaminya. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh

merupakan hal penting dalam sebuah novel. Aspek penokohan dalam cerita

sangatlah penting karena menggambarkan cara pengarang menampilkan

tokoh.

Pada novel Kubah karya Ahmad tohari yang termasuk ke dalam

tokoh utama yaitu, tokoh Karman. Tokoh Karman ini yang mengalami

banyak konflik di dalamnya, karena tokoh Karman sebagai pusat yang

diceritakan oleh Ahmad Tohari. Namun, terdapat pula tokoh tambahan

yang membangun konflik tokoh Karman, diantaranya: Haji Bakir, Rif‘ah,

Marni, Margo, Triman, Parta, Kastaghetek, Kapten Somad.

a. Karman

Karman adalah seorang bekas tahanan politik yang mengalami

berbagai gejolak dalam hidupnya. Pada mulanya Karman merupakan

anak dari kalangan keluarga keturunan Priyayi, ayahnya seorang mantri

pasar. Akan tetapi, kepriayiyannya itu hilang ketika ayahnya dibawa

oleh para pemuda pejuang dan tidak kembali lagi ke Pegaten. Pada

novel Kubah ini, Karman di posisikan sebagai tokoh utama, karena ia

selalu muncul dalam setiap episode dan peristiwa yang dialaminya.

Apabila diurutkan peristiwa-peristiwa yang menimpa diri tokoh

utamanya, yaitu Karman, dari masa kecil sampai ia bebas dari

pengasingan Pulau Buangan dan kemudian diterima kembali oleh

masyarakat, akan terlihat jalur perkembangan wataknya.15

Peristiwa

pertama menggambarkan sikap Karman yang pasrah ketika harus

15

Anonim, Aspek Filosofis dalam Novel Kubah Ahmad Tohari, (Berita Buana: Jakarta,

1985).

46

merelakan istrinya menikah dengan orang lain pada saat dirinya berada

di Pulau Buangan.

―Nah, baiklah. Marni kulepaskan walaupun hati dan jiwaku

tak pernah menceraikannya. Takkan pernah!‖16

Kutipan di atas menunjukkan Karman yang berat hati dalam

mengambil keputusan bahwa dirinya telah merelakan Marni dengan

orang lain, walaupun sebenarnya Karman tidak pernah menceraikan

Marni.

Selanjutnya, peristiwa ketika Karman sedang berada di Pulau

Buangan. Pada saat itu dirinya dalam keadaan sakit, karena lelah

memikirkan yang sudah terjadi terhadap rumah tangganya. Hal ini

menunjukkan sikap Karman yang pasrah dan mudah putus asa.

―Apa yang bisa saya harapkan sesudah saya sembuh?

Rasanya saya sudah kehilangan tujuan. Kehilangan segala-gala.

Hidup saya terasa sangat enteng. Dan kosong.‖17

Selanjutnya, sikap Karman dapat dilihat kembali ke masa

kecilnya merupakan anak yang mandiri dan memiliki tanggung jawab

terhadap keluarganya, karena ia telah ditinggal oleh ayahnya sekitar

tahun 40-an. Sikap mandiri dan rasa tanggung jawab Karman dapat

dilihat dari kutipan berikut:

―Tak pantas pada waktu panen seperti ini ibuku tak punya beras.

Sebaiknya aku ikut menuai padi agar ibuku sempat merasakan

nasi yang empuk.‖18

Pada di atas, menunjukkan bahwa sikap Karman sebagai anak

yang memiliki rasa tanggungjawab dan sebagai tulang punggung

keluarga setelah ditinggal oleh sang ayah. Terlihat jelas ketika musim

panen tiba, bagaimana caranya pada musim panen saat ini ibu dan

adiknya harus bisa memakan serta menikmati nasi yang didapatkannya

dari hasil upah tuaian di sawah tetangganya. Ia memutuskan untuk

16

Ahmad Tohari, op. cit., h. 16 17

Ibid., h. 24 18

Ibid., h. 63

47

menuai padi agar mendapatkan upah dari hasil tuain padi yang

diperolehnya.

Selanjutnya, sikap tanggungjawab Karman dapat dilihat ketika

ia diberi pekerjaan oleh Haji Bakir untuk mengasuh Rifah anak

bungsunya. Karman pun menjaga dan melindungi Rifah dengan baik.

Karman maju melindungi Rifah yang menjerit dengan

muka biru. Kedua tanduk binatang itu ditangkapnya. Karena

tenaganya kalah kuat terayun-ayun oleh hempasan binatang

yang marah itu.19

Kutipan di atas menggambarkan sosok Karman yang berani

melawan amukan binatang bertanduk itu demi melindungi Rifah. Ia

sama sekali tidak memikirkan dirinya dalam keadaan berbahaya karena

menahan binatang yang sedang mengamuk itu.

Selain itu, Karman juga memiliki rasa peduli antarsesama. Ia

tidak memandang kejelekan yang telah diperbuat oleh tetangganya,

walaupun masyarakat Pegaten sangat menjunjung tinggi nilai moral

dalam beragama. Hal ini terlihat ketika peristiwa yang terjadi pada saat

penuaian padi di sawah Sanawi.

Karena melihat Kinah masih berdiri menuai padi, Karman

bertindak. Padi dan ani-ani diletakkannya di atas pematang.

Kemudian secepatnya ia berlari. Ketika sampai tujuan, hal

pertama yang dilakukannya adalah menyapu tubuh bayi Kinah

dengan kain.20

Dari kutipan ini, terlihat bagaiman rasa kepedulian Karman

terhadap tetangganya itu. Ia rela menghentikan penuaiannya demi

menolong seorang anak bayi yang tidak lain merupakan anak

tetangganya. Ketika yang lain sibuk dengan tuaian mereka, ia hanya

seorang diri menolong bayi tersebut. Walaupun yang lainnya

menyaksikan keadaan yang terjadi di sawah, mereka tidak bisa berbuat

apa-apa dan tak ada satu orang pun yang mau menolong bayi Kinah

19

Ibid., h. 62 20

Ibid., h. 71

48

kecuali Karman. Mereka membenci perbuatan Kinah melahirkan

seorang bayi, tetapi tak memiliki seorang suami. Hal ini disebabkan

mereka benci dengan percabulan.

Perubahan sikap Karman selanjutnya, ketika lamarannya ditolak

oleh Haji Bakir. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

―Seandainya keadaanku lebih baik daripada Abdul Rahman,

barangkali Haji Bakir akan menghapus kata ‗terlambat‘ dan aku

akan diterima menjadi menantunya. Pokoknya tidak adil.‖21

Dari kutipan di atas terlihat jelas bagaimana Karman menilai

sosok Haji Bakir terhadap dirinya. Ia menjadi sosok yang selalu

berburuk sangka terhadap orang disekitarnya.Ia merasa dari penolakan

tersebut merupakan sebab dari kedudukan derajat yang harus

berimbang diantara kedua belah pihak. Berhubung Karman dari

kalangan keluarga kurang mampu, berbeda halnya dengan kedudukan

pria pilihan Haji bakir yang merupakan dari kalangan keluarga

terpandang di daerahnya. Hal ini, yang menyebabkan Karman berburuk

sangka terhadap keputusan Haji Bakir.

Sikap Karman selanjutnya yaitu sebagai seorang pendendam

terhadap orang lain yang tidak disukainya. Hal ini dilihat ketika

Karman dikecewakan oleh Haji Bakir yang selama ini telah

menganggap dirinya sebagai keluarga sendiri.

Rasa kecewa, marah, dan malu berbaur di hati

Karman.Akibatnya ia mendendam dan membenci Haji Bakir. 22

Kutipan di atas menggambarkan bagaimana sosok Karman

adalah manusia yang mudah kecewa, marah dan malu dengan sebuah

perlakuan yang mungkin kurang berkenan di hatinya, yakni

kekecewaan terhadap Haji Bakir.

Sikap Karman yang jauh dari ajaran agama akibat dirinya

mudah dipengaruhi oleh kawan partainya dapat dilihat kembali pada

21

Ibid., h. 91 22

Ibid., h. 91

49

alur klimaks ketika Karman sudah siap meninggalkan masjid serta desa

Pegaten demi kepentingan partai. Hal ini dapat di lihat pada pemaparan

alur klimaks. Selain itu, sikap Karman yang mudah terpengaruh dapat

diakui oleh teman separtainya.

Karman memiliki sifat terlalu perasa. Juga sedikit gampang

terpengaruh, dan sewaktu-waktu bisa marah.23

Perubahan-perubahan sikap diri Karman yang akhirnya ia sadar

kembali setelah mengalami berbagai gejolak dalam kehidupannya.

Seperti yang sudah dipaparkan dalam analisis tema novel Kubah

mengisahkan seorang bekas tahanan politik, tema tersebut telah

membuktikan bahwa tokoh utama inilah yang menjadi pusat fokus

dalam cerita Kubah.

b. Haji Bakir

Haji Bakir merupakan salah seorang tokoh agama dan orang

terkaya di daerah Pegaten. Selain kaya, Haji Bakir termasuk orang yang

sayang terhadap anak yatim dan peduli terhadap tetangganya. Hal ini

dapat dibuktikan ketika iamenolong penderitaan keluarga Karman dari

kemiskinan serta sulitnya mendapatkan makanan yang jarang ia

temukan bersama ibu dan adiknya. Kemudian, Haji Bakir memberikan

Karman pekerjaan pada saat dirinya masih kecil setelah sepeninggalan

ayahnya.

Ternyata keluarga Haji Bakir tidak pernah memperlakukan

Karman sebagai pembantu rumah tangga yang sebenarnya.

Anak itu diberi kesempatan menamatkan pendidikannya di

sekolah rakyat yang sudah dua tahun ditinggalkannya. Pekerjaan

yang diberikan kepada Karman adalah pekerjaan sederhana yang

bisa diselesaikan oleh anak seusianya; mengantarkan makanan

bagi orang yang sedang bekerja di sawah, menyapu rumah dan

halaman, memelihara ikan di kolam dan melayani si manja

Rifah.24

23

Ibid., h. 102 24

Ibid., h. 60

50

Kutipan di atas menggambarkan bahwa sikap Haji Bakir yang

bijaksana dan tidak memberikan beban kepada anak yatim dalam

memperoleh uang atau upah untuk keluarga. Haji Bakir menganggap

Karman seperti keluarga sendiri, tidak menganggapnya sebagai

pembantu di rumahnya, bahkan Karman diberikan pekerjaan yang

ringan sesuai dengan usianya pada saat itu.

Selain kutipan di atas ada juga kutipan lain yang menunjukkan

tokoh Haji Bakir berikut adalah kutipannya.

Dengan ijazah SMP ternyata Karman tidak mudah

mendapatkan pekerjaan. Dua tahun dicari dan ditunggu,

pekerjaan yang sangat diharapkan tak kunjung tiba. Untung Haji

Bakir tetap bersedia memberinya kesibukan sehingga Karman

tidak nganggur. Pak Haji sering meminta Karman mengantar

bertruk-truk kelapa ke pabrik minyak.25

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh Haji Bakir begitu

baik masih mau memberikan kesibukan kepada Karman agar tidak

menganggur dan sering meminta pada Karman untuk mengangkut

bertruk-truk kelapa ke pabrik minyak semasa Karman belum

mendapatkan pekerjaan. Tokoh Haji Bakir dengan teknik dramatik

sebagai tokoh yang baik, suka menolong, pemaaf dan bersahaja di

masyarakat Pegaten, karena beliau tokoh ulama di daerah Pegaten.

Haji Bakir termasuk orang yang bijaksana dalam mengambil

keputusan. Hal ini, dapat dilihat jawaban Haji Bakir ketika Karman

melamar Rifah yang kedua kalinya.

Sulit sekali rasanya. Tetapi aku mempunyai pedoman yang

teguh; aku hanya rela menjodohkan Rifah dengan laki-laki yang

dapat membimbing Rifah di dunia sampai ke akhirat. Kulihat

keadaanmu telah jauh berubah. Kini rasanya kau bukan laki-laki

yang cocok dengan persyaratan yang kumaksud. Bagiku setiap

orang sama derajatnya selagi penilaian itu tidak menyangkut

iman dan takwa kepada Tuhan.26

25

Ibid., h. 75 26

Ibid., h. 121

51

Kutipan di atas menjelaskan maksud dari penolakan Haji Bakir

terhadap Karman. Haji Bakir sadar bahwa anak didiknya itu telah

banyak berubah berbeda ketika sebelum Karman terjun ke politik. Oleh

karena itu, Haji Bakir menolak lamaran Karman, ia hanya ingin

anaknya memiliki suami yang dapat membimbingnya di dunia dan

akhirat.

Selain memiliki sifat yang baik, tokoh Haji Bakir termasuk ke

dalam pembangun konflik tokoh utama. Tokoh Karman yang pernah

dikecewakan oleh Haji Bakir karena telah menolak lamaran untuk

meminang putrinya itu, membuat tokoh utama membenci Haji Bakir.

Hal ini, merupakan salah satu gejolak batin yang dialami Karman.

c. Marni

Marni merupakan gadis cantik yang telah memikat hati Karman

ketika ia sedang patah hati dan sakit hati terhadap Haji Bakir karena

telah menolak lamarannya. Pada akhirnya Karman bertemu Marni dan

meminang Marni untuk dijadikan seorang istri. Marni termasuk seorang

istri yang setia ketika suaminya sedang berada di Pulau Buangan.

Mula-mula Marni menolak kawin lagi meski sudah lima

tahun ditinggal suami. Betapapun, tekad Marni saat itu, ia akan

menunggu suaminya kembali. ―Siapa tahu, suamiku masih

hidup. Dan perasaanku mengatakan, entah kapan dia akan

kembali.‖27

―.........istrimu lumayan setia karena tahan tidur sendiri

selama lima tahun.‖28

Dari kedua kutipan di atas menggambarkan sosok Marni yang

setia dan teramat sayang terhadap suaminya. Ia rela menunggu

suaminya datang kembali untuk tinggal bersama dirinya dan anak-anak.

Walaupun seiring jalannya waktu, kesetiaan yang dimiliki Marni tidak

berlangsung lama karena melihat kondisi kehidupan ekonominya

27

Ibid., h. 13 28

Ibid., h. 15

52

bersama anak-anak. Marni yang didesak oleh sanak keluarganya untuk

menikah lagi agar dapat memenuhi kebutuhan ekonomi dirinya beserta

ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Hal seperti ini membuat dirinya

bingung antara menerima lamaran dari orang lain atau lebih memilih

setia dan menanti kedatangan suaminya kembali. Setelah dipikirkan

matang-matang oleh Marni dan akhirnya ia pun menerima pendapat

dari keluarganya untuk menikah lagi.

Selain itu, Marni termasuk orang yang bijak sebagai orang tua

ketika berhadapan dengan anaknya.

Untung ibu yang bijak itu bisa mengalihkan perhatian

Tini.29

Dari kutipan di atas menggambarkan sosok Marni yang

bijaksana dalam mencari perhatian anaknya. Walaupun keadaan apapun

Marni tetap berusaha untuk menjadi ibu yang baik dan adil bagi anak-

anaknya.

Kutipan lain yang dapat menunjukkan sosok Marni dapat

ditemukan pada kutipan berikut.

Di kamar persalatan Marni berusaha mencari kesadaran

tertinggi agar bisa berdekat-dekat dengan Tuhan. Ia bersimpuh

dan merasa begitu kecil dan lemah. Namun dalam kesadaran

akan ditempuhnya. ‖Besok, aku akan bertawakal; membiarkan

apa yang harus terjadi, terjadilah.‖30

Kutipan di atas menunjukkan bagaimana sosok Marni selalu

berserah diri kepada Allah SWT sebagai tempat dirinya mengadu dan

bersimpuh sebagai seorang hamba. Apapun yang akan terjadi padanya

esok ia serahkan hanya pada Allah SWT semata. Kutipan-kutipan di

atas mencerminkan tokoh Marni sebagai seorang yang sudah matang,

tetapi masih cantik. Marni mempunyai lekuk di sudut bibir yang

29

Ibid., h. 45 30

Ibid., h. 50

53

menarik, ramping, berlengan kecil, bersuara bening, serta selalu tampak

tenang, selalu berserah diri kepada Allah, tabah dan lembut.

Hubungan Marni dengan konflik batin Karman yaitu ketika

Marni sudah matang dengan keputusannya untuk menikah dengan

orang lain. Hal ini, yang membuat jiwa Karman terguncang dan jatuh

sakit ketika berada di Pulau Buangan.

d. Parta

Parta adalah teman sekampung Karman, ia juga yang telah

menikahi istrinya. Parta juga merupakan tokoh tambahan yang

membangun konflik tokoh utama. Hal ini dapat dilihat ketika Parta

berencana untuk menikahi Marni. Hati Karman menjadi gelisah bahkan

membuat dirinya jatuh sakit. Rencana Parta untuk menikahi Marni,

dikarenakan gadis ini lebih cantik dari istri pertamanya, sehingga

sampai hati Parta menceraikan istri pertamanya itu. Dapat disimpulkan

atas kejadian ini, Parta merupakan orang yang memanfaatkan keadaan.

Kecantikan Marni adalah sebab utama mengapa Parta

sampai hati melepas istri pertamannya.31

Apabila dilihat dari kutipan di atas, Parta merupakan sosok yang

hanya melihat dari segi fisik pendamping hidupnya. Ia merupakan pria

yang tidak setia terhadap istri sebelumnya.

Meskipun demikian, Parta termasuk pria yang bertanggung

jawab terhadap Marni. Hal ini, dapat dilihat dari kutipan berikut:

Pada dasarnya Parta bukan suami yang mengecewakan

Marni, kecuali penyakit asma yang dideritanya serta sikapnya

terhadap Rudio.32

Kutipan di atas menggambarkan sosok Parta yang bertanggung

jawab sehingga tidak pernah mengecewakan Marni. Akan tetapi, di sisi

lain Parta termasuk orang tua yang tidak adil terhadap anak tirinya.

31

Ibid., h. 13 32

Ibid., h. 40

54

Selain itu, Parta digambarkan sebagai sosok pria yang penyakitan, ia

menderita sakit asma.

Berdasarkan paparan tersebut tampak kemunculan Parta pada

cerita memunculkan konflik pada diri Karman. hadirnya orang ketiga

dalam rumah tangga Karman dan Marni membuat rumah tangga mereka

hancur. Marni menulis surat pada Karman dan memintanya untuk

melepas Marni.

e. Margo

Margo merupakan seorang kader partai yang menghasut pikiran

Karman. Ia sangat pandai dalam berbicara tentang politik sehingga

banyak orang terjebak oleh hasutannya untuk masuk ke dalam anggota

partai yang dianutnya. Ia selalu memanfaatkan keadaan untuk

keberhasilan rencananya itu. Karman yang mengalami berbagai gejolak

batinnya itu dengan mudah terhasut oleh ajakan Margo. Ia juga yang

telah memisahkan Karman dari lingkungannya. Selain itu pula Margo

yang membuat Karman membenci Haji Bakir dan menjauhkan Karman

dari ajaran agamanya akibat masuk ke dalam anggota Partai.

Karman sudah pandai mengutip kata-kata Margo, bahwa

agama adalah candu untuk membius kaum tertindas.33

Selain itu, Margo memiliki sifat yang cerdik dan ulet. Akibat

kecerdikan yang ia miliki, dimanfaatkannya untuk kepentingan partai.

Cerdik dan ulet serta sangat gemar membaca buku atau brosur

yang menyangkut partainya. Ia pun berlangganan Harian Merah,

sebuah organ partai yang sangat dibanggakannya.34

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Margo sebenarnya orang

yang terpelajar, selain itu ia juga menjadi seorang guru di Pegaten.

Rekan-rekan separtai biasa memanggilnya dengan panggilan Kawan

Margo, karena ia salah seorang kader pilihan di partainya. Dia adalah

seorang yang cerdik dan ulet serta gemar membaca buku atau brosur

33

Ibid., h. 94 34

Ibid., h. 76

55

yang menyangkut partainya, bahkan dia berlangganan Harian Merah

kebanggaannya.

Hubungan antara Margo dengan Karman adalah kawan separtai.

Dari partailah tokoh Margo dimunculkan sebagai tokoh yang

membangun tokoh utama. Margo dihadirkan untuk menghasut pikiran

Karman, sehingga Karman memiliki konflik yang cukup berat dengan

masyarakat Pegaten terutama terhadap Haji Bakir. Hasutan demi

hasutan membuat konflik Karman ini mencapai klimaks dengan

pelariannya dari masyarakat Pegaten dan Haji Bakir.

f. Triman

Triman adalah seorang terpelajar sama halnya dengan Margo

teman separtainya. Ia bekerja sebagai kepala Kantor penerangan.

Berikut merupakan kutipan tentang sosok Triman:

Satu hal yang Kawan Margo ketahui, pengaruh Kawan

Triman terhadap Camat. Meskipun Kawan Triman hanya

seorang kepala Kantor Penerangan tingkat kecamatan,

wibawanya cukup besar. Camat yang sok ningrat dan bersikap

asal tahu beres itu sering menggunakan Kawan Triman untuk

menutupi semua kekurangannya. Dan di sana peran Kawan

Triman tidak mencolok sebab dia tidakdikenal sebagai orang

kita, melainkan orang Partindo.35

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Triman mrmpunyai

pengaruh dan wibawa cukup besar di kecamatan, meskipun

Trimanhanya pekerja kantor penerangan. Triman tidak terlalu mencolok

sebagai partai Komunis, tetapi melainkan orang Partindo.

Tokoh Triman digambarkan oleh pengarang sebagai seorang

lelaki yang terpelajar, ia bekerja sebagai kepala Kantor Penerangan,

ramah tapi dia seorang yang licik dan mempunyai pengaruh di kantor

kecamatan. Hubungan Triman dengan Karman sama seperti Margo

sebagai teman separtai. Ia disebut sebagai tokoh yang membantu untuk

membangun konflik tokoh utama, karena peranannya sama halnya

35

Ibid., h. 79

56

dengan Margo. Kelicikan yang dimiliki keduanya merupakan untuk

mencapai tujuan yang sama, yaitu menjauhkan Karman dari lingkungan

masyarakat Pegaten dan Haji Bakir semata-mata hanya demi

kepentingan partainya.

g. Kastaghetek

Kastaghetek adalah manusia bebas yang menyadari

ketergantungannya dengan masyarakat, alam dan Tuhan. Kastaghetek

seorang rakyat biasa, tukang rakit, namun seorang sosok manusia yang

mengerti peranannya sebagai makhluk Tuhan. Kastaghetek yang lugu

dan tidak mengerti politik, ternyata dapat menangkap makna eksistensi

manusia, dengan mendendangkan lagu religi.

Aku mbiyen ora ana

Saiki dadi ana

Mbesuk maneh ora ana

Padha bali marang rahmatullah

Dulu aku tiada

Kini aku meng-ada

Kelak aku lagi tiada

Kembali ke rahmat ilahi36

Lirik lagu di atas sebelumnya telah tercantum pada analisis

tema. Pentingnya lagu ini muncul kembali untuk menemukan watak

seorang Kastaghetek. Dengan munculnya tembang di atas, tergambar

sikap Kasta yang religi dan pasrah kepada Tuhan akan kehidupan yang

dijalaninya. Sikap hidup seperti itulah yang justru memungkinkan

hadirnya keselarasan, keharmonisan, dan kebahagiaan.

Pengarang memunculkan tokoh Kastaghetek sebagai tokoh

tambahan yang membantu kesadaran Karman akan kesalahan di masa

lalunya. Sikap hidup Kastaghetek yang lugu, bersahaja, dan tahu akan

keberadaan dirinya sebagai makhluk Tuhan secara tidak langsung

mempengaruhi Karman dan seolah-olah membawa nurani dan akalnya

36

Ibid., h. 152

57

untuk berpikir tentang eksistensi dirinya. Sehingga secara otomatis

timbul getar-getar suara hati dalam diri Karman untuk mencari

jawabannya ke arah yang lebih baik.

h. Kapten Somad

Kapten Somad adalah seorang perwira yang bertugas membina

kehidupan rohani para tahanan. Perwira ini memiliki sikap yang tegas,

bijaksana, disiplin, baik, teliti dalam menjalankan tugasnya serta

perhatian terhadap para tahanan salah satunya kepada Karman. Ketika

Karman jatuh sakit di dalam tahanan yang selalu mengurusi dan

memberikan perhatian kesehatan kepadanya yaitu Kapten Somad.

Kebetulan Kapten Somad diberikan tugas untuk memperhatikan kondisi

Karman, perhatiannya yang sangat teliti dapat membantu kesembuhan

Karman.

Beberapa saat kemudian Kapten Somad itu berbalik menuju

dipan tempat Karman terbaring. Bagaimanapun, wajahnya tetap

jernih dan tersenyum. Perwira yang baik itu tahu mengambil

sikap yang benar dalam segala keadaan. Dengan gaya seoranga

ayah, Kapten Somad meraba dahi Karman sambil berkata, ―Ya,

ya, Karman aku mengerti. Aku dapat merasakan

penderitaanmu.‖37

Kutipan di atas menunjukkan sikap tokoh Kapten Somad yang

sabar, penuh kasih sayang, perhatian, pengertian, serta bijaksana.

Selain itu ia juga selalu memberikan nasihat-nasihat yang sangat

menjiwai hati Karman. Dalam keterpurukan kehidupan Karman yang

sulit untuk bangkit lagi, Kapten Somad selalu memberikan semangat

untuk memotivasi Karman agar bangkit kembali. Kapten Somad pula

yang membantu Karman agar kembali ke ajarannya sebelum ia masuk

sebagai anggota politik. Sehingga Karman telah sadar dari

kesalahannya di masa lalu, perubahan seperti ini ia bawa pulang

kembali ke lingkungan masyarakat Pegaten.

37

Ibid., h. 21

58

―Dan yang pasti, sikap putus asa tidak pernah menjadi

jawaban yang benar. Tidak pernah!‖38

―Bila kau dapat menyingkirkan angan-angan untuk

berputus asa, kau akan sampai pada jalan yang terbaik.‖39

Selain kutipan di atas, terdapat pula kutipan bahwa Kapten

Somad menasehati Karman dengan memberikan pencerahan bahwa

yang dapat menyembuhkan jiwa Karman adalah berawal dari

kepercayaan. Kepercayaan yang selama ini ia hilangkan selama menjadi

seorang atheis akibat mengikuti partai komunis.

―Ya, kepercayaan bahwa ada kekuatan besar yang berkuasa

atas dirimu. Kekuatan itu mengatasi apa saja yang ada

padamu.‖40

Tokoh Kapten Somad dimunculkan oleh pengarang sebagai

tokoh tambahan yang dapat membantu menyembuhkan kejiwaan tokoh

utama dalam menghadapi gejolak hidupnya. Peranan Kapten Somad

hampir sama dengan Kastaghetek yaitu, menawarkan dan mengajak

Karman untuk merenungkan apa dan siapa dirinya. Di sini nasehat

Kapten Somad menawarkan kepada Karman suatu perenungan ke arah

kebaikan.

4. Latar

Latar dalam novel ini terbagi menjadi empat, diantaranya: latar tempat,

latar waktu, latar suasana, dan latar sosial. Berikut merupakan pemaparan

latar:

a. Latar Tempat

Latar tempat yang terdapat dalam novel Kubah ini, hanya

diambil dua tempat, yaitu Pegaten dan pulau Buangan. Kedua tempat

ini sangat bersejarah bagi kehidupan serta peristiwa yang dialami

tokoh utama. Desa pegaten disebut sebagai tempat bersejarah bagi

tokoh utama, karena di dalamnya menggambarkan kehidupan serta

38

Ibid., h. 21 39

Ibid., h. 22 40

Ibid., h. 25

59

keadaan yang terjadi di desa Pegaten. Selanjutnya, Pulau Buangan

merupakan tempat kedua yang telah disinggahi oleh tokoh utama

akibat kesalahan di masa lalunya. Berikut pemaparan desa Pegaten dan

pulau Buangan:

1. Pegaten

Desa Pegaten adalah sebuah nama desa tempat Karman

dilahirkan dan dibesarkan sebelum ia diasingkan ke Pulau Buru

dan kembali lagi ke desa Pegaten. Cerita-cerita yang terdapat

dalam novel ini pun seringkali menceritakan tentang keadaan desa

Pegaten dan masyarakat yang hidup di dalamnya.

Desa Pegaten yang kecil itu dibatasi oleh Kali Mudu

di sebelah barat. Bila datang hujan, sungai itu berwarna

kuning tanah. Tetapi pada hari-hari biasa air di Kali Mudu

bening dan sejuk. Di musim kemarau Kali Mudu berubah

menjadi selokan besar penuh pasir dan batu.41

Kutipan di atas merupakan ciri-ciri keadaan yang terdapat

di desa Pegaten. Kali Mudu merupakan salah satu sungai yang

berada di wilayah desa Pegaten. Selain itu, tergambar pula keadaan

sungai yang setiap musimnya sewaktu-waktu akan berubah

keadaan airnya.

Selain itu terdapat pula kutipan yang menunjukan bahwa

desa Pegaten inilah merupakan tempat kelahiran Karman, serta

tempat ayahnya bekerja sebagai gurbemen. Diceritakan pula mata

pencaharian masyarakat Pegaten tidak jauh dari seorang petani.

Karman lahir di Pegaten pada tahun 1935. Ayahnya

seorangmantri pasar di sebuah kota kecamatan. Waktu itu

gaji seorang mantri pasar bisa diandalkan untuk mencukupi

kebutuhan rumah tangga. Hampir semua warga desa

Pegaten adalah petani. Maka ayah Karman sangat bangga

akan jabatannya sebagai pegawai gubermen.42

41

Ibid., h. 36 42

Ibid., h. 54

60

Selain tempat kelahiran serta tempat tinggal Karman, desa

Pegaten juga memiliki sebuah tradisi yang tak bisa ditinggalkan

kesempatannya yang biasa dilakukan oleh para tetangganya yaitu

menuai padi pada saat musim panen tiba.

Hampir musim panen. Anak-anak di Pegaten mulai

meniup-niup puput. Di pagi hari burung-burung gelatik dan

murai terbang berkelompok – kelompok menuju sawah.

Musim ini panenan baik. Orang-orang yang tidak

mempunyai sawah ikut senang. Mereka ikut menuai. Dari

hasil tuaian itu mereka berhak atas sepertujuh seperdelapan

bagian. Sebagiannya menjadi hak pemilik sawah.43

Kutipan di atas menggambarkan kehidupan masyarakat

Pegaten pada saat musim panen tiba. Mereka berlomba-lomba

menuai padi agar mendapatkan upah dari hasil tuaiannya tersebut.

Tak seorang pun melewatkan kesempatan seperti ini, demi dapat

memakan nasi yang empuk mereka rela seharian menuai padi di

sawah para tetangga. Selain itu, tidak hanya orang tua saja yang

sibuk menuai, bahkan anak-anak pun sibuk bermain dengan

meniup-niupkan puput. Musim panen ini merupakan musim yang

sangat istimewa bagi masyarakat Pegaten. Hal ini dapat diakui oleh

Bu Haji Bakir.

Perempuan itu sadar bahwa masa panen adalah masa

istimewa bagi semua anak kampung. Maka Karman

diberinya kesempatan ikut terjun ke sawah untuk

melaksanakan kepentingan sendiri.44

Bagi diri Karman desa Pegaten banyak mengisahkan

kenang-kenangan di masa lalunya. Di sinilah ia dilahirkan, bekerja

di rumah Haji Bakir, banyaknya konflik yang dialaminya,

terjerumusnya ke dalam partai komunis, belajar mandiri setelah

ditinggal oleh ayahnya, bergaul dengan masyarakat Pegaten

terutama budaya yang sudah menjadi tradisi pada saat musim

43

Ibid., h. 63 44

Ibid., h. 63—64

61

panen tiba, serta diterimanya kembali tinggal di desa ini. Pada

akhirnya desa Pegaten pula yang telah menerima Karman tinggal

kembali di desa ini sehingga ia dipercaya membuat sebuah kubah

untuk masjid milik Haji bakir. Hal ini, dapat dilihat pada alur akhir

cerita novel Kubah ini.

2. Maluku Utara (Pulau Buangan)

Maluku Utara merupakan tempat kedua yang sangat

bersejarah bagi Karman selain Pegaten. Di tempat inilah Karman

menyadari kekhilafan yang telah diperbuatnya. Karman ditahan

karena kesalahannya yang telah mengikuti anggota Partai Komunis

Indonesia selama berteman dengan Margo dan Triman. Berikut

kutipan yang menunjukkan bahwa Pulau Buangan tepatnya berada

di Maluku Utara:

Jabir memang tak urusan dengan kenyataan ayah Tini

seorang penghuni pulau tahanan, jauh di Maluku Utara.45

Di tempat ini pula Karman bertemu dengan Kapten Somad

yang telah menyadarkan dirinya dari ajaran atheis.

Ada seorang perwira yang karena pembawaan pribadi

serta tugasnya harus memperhatikan Karman. Dia adalah

Kapten Somad, perwira yang bertugas membina kehidupan

rohani para tahanan.46

Kutipan di atas menggambarkan kehidupan di penjara tidak

hanya sekedar ditahannya para ekstapol, tetapi adanya siraman

rohani yang diberikan oleh salah satu petugas tahanan yaitu,

Kapten Somad.

Pulau Buangan ini merupakan tempat bersejarah bagi diri

Karman, karena selama ia ditahan di Pulau Buangan banyak

pelajaran yang ia tangkap. Selain siraman rohani yang diterimanya

dari Kapten Somad, ia juga belajar bagaimana menjadi seorang

45

Ibid., h. 38 46

Ibid., h. 18

62

tukang. Pekerjaan seperti inilah ia bawa ke Pegaten sehingga

dirinya dipercaya dan diterima kembali oleh masyarakat Pegaten

akan perubahannya itu. Pada kesempatan yang istimewa bagi

Karman, ia menyanggupi untuk membuat kubah masjid Haji Bakir.

Ketika tinggal dalam pengasingan Karman pernah

belajar mematri dan mengelas.47

―Beruntung,‖ sambung yang lain, ―kita mendapatkan

Karman kembali. Kalau tidak, niscaya kita tidak bisa

bersembahyang di dalam masjid sebagus ini.‖48

b. Latar Waktu

Latar waktu yang pertama terjadi pada Oktober 1965. Pada saat

itu terjadi kegegeran, peristiwa ini menyebabkan seseorang di asingkan

ke Pulau Buangan. Selain itu, merupakan sebuah peristiwa terpisahnya

antara anak dengan ibu, suami dengan istri, anak dengan ayah yang

dicintainya.Kegegeran ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

Geger Oktober 1965 sudah dilupakan orang juga di

Pegaten. Orang-orang yang mempunyai sangkut paut dengan

peristiwa itu, baik yang pernah ditahan atau tidak, telah menjadi

warga masyarakat yang taat. Tampaknya mereka ingin disebut

sebagai orang yang sungguh-sungguh menyesal karena telah

menyebabkan guncangan besar di tengah kehidupan

masyarakat. Bila ada perintah kerja bakti, merekalah yang

paling dulu muncul. Sikap mereka yang demikian itu cepat

mendatangkan rasa bersahabat diantara sesama warga desa

Pegaten.49

Latar waktu selanjutnya yaitu pada permulaan tahun ajaran baru,

tahun 1950. Pada tahun ini, Hasyim yang tak lain adalah paman dari

Karman merencanakan untuk menyekolahkan keponakannya itu.

Karman pun di ambil kembali oleh keluarganya dari Haji Bakir, dan

beliau pun tidak dapat menolak keputusan keluarga Karman yang ingin

menyekolahkannya ke tingkat menengah. Karman merasa menjadi

anak yang paling bahagia, karena ia bisa melanjutkan sekolahnya ke

47

Ibid., h. 187 48

Ibid., h. 189 49

Ibid., h. 36

63

tingkat SMP. Selain itu, Karman pun menjadi anak Pegaten pertama

yang menempuh pendidikan sampai ke tingkat menengah. Hal ini

dapat dibuktikan dengan:

Karman merasa menjadi anak yang paling berbahagia di

dunia. Pada permulaan tahun ajaran baaru tahun1950, Karman

sudah menjadi seorang murid SMP di sebuah kota kabupaten

yang terdekat. Karman menjadi anak Pegaten pertama yang

menempuh pendidikan sampai ke tingkat menengah.50

Latar waktu selanjutnya adalah awal tahun enam puluhan. Pada

tahun enam puluhan ini keadaan ekonomi masyarakat Pegaten sangat

krisis. Keadaan alam pun sangat tidak mendukung untuk hasil panen

mereka. Hanya singkong kukus yang dapat mereka makan. Kesulitan

seperti ini membuat masyarakat Pegaten terserang penyakit busung

lapar. Mereka jarang menemukan makanan yang lebih baik lagi untuk

dikonsumsi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:

Yang terjadi di Pegaten pada awal tahun enam puluhan,

sama seperti yang terjadi dimana-mana. Boleh jadi orang-orang

tidak senang mengingat masa itu kembali karena kepahitan

hidup yang terjadi waktu itu.51

Latar waktu selanjutnya adalah bulan Agustus tahun 1977. Pada

tahun ini, merupakan tahun kebebasan Karman dari Pulau Buru.

Walaupun sudah beberapa tahun yang lalu Karman meninggalkan desa

kelahirannya, akan tetapi, nama Pegaten tidak mengalami perubahan

dan entah sampai kapan nama Pegaten ini dilestarikan sebagai nama

desa tempat ia tinggal.

Dari dulu desa itu bernama Pegaten, juga pada bulan

Agustus 1977 dan entah sampai kapan lagi. Tadi malam ada

hujan walaupun sebentar. Cukuplah untuk melunturkan debu

yang melapisi dedaunan. Tanah berwarna coklat kembali setelah

beberapa bulan memutih karena tiada kandungan air.52

50

Ibid., h. 74 51

Ibid., h. 132 52

Ibid., h. 167

64

Bulan Agustus ini pula Tini dan Jabir menyambut kedatangan

Karman serta menjemputnya ke kota. Karman yang telah dijemput

oleh anak dan calon menantunya itu, kini tinggal di rumah Bu Mantri,

ibunya sendiri (nenek dari Tini).

c. Latar Suasana

Latar suasana yang pertama adalah gembira dan bercampur

dengan kepedihan. Kabar yang sudah ditunggu-tunggu sekian lamanya

walaupun hanya melalui sepucuk surat. Hal ini terjadi ketika Marni

mengirimkan surat kepada Karman, saat Karman berada di Pulau

Buru. Surat tersebut berisikan bahwa Marni meminta izin nikah lagi

dengan Parta teman sekampung Karman. Mendapatkan surat dari

seorang istri yang terpisah beberapa tahun lamanya merupakan suatu

kegembiraan bagi seorang suami. Akan tetapi, dibalik surat tersebut

ada suatu kepedihan bagi si suami yang masih mengharapkan istrinya

untuk setia walaupun jarak ribuan kilometer telah memisahkan

keduanya. Dapat dibayangkan betapa hancurnya hati serta jiwa

Karman terguncang mendengar kabar tersebut, hal ini membuat diri

Karman hilang semangat sehingga dirinya jatuh sakit di Pulau Buru.

Semakin hari semakin terguncang hatinya ketika teman-temannya

mengejek curhatannya tentang Marni, karena menurut mereka Karman

bernasib sama dengan teman-temannya itu bahwa sama-sama ditinggal

nikah dengan orang lain. Apalagi dengan keadaan wajah Marni yang

cantik merupakan sebab orang lain terpikat dengan kecantikannya itu.

Waktu menerima surat dari Marni itu, di Pulau Buru, mula-

mula Karman merasa sangat gembira. Surat dari istri yang

terpisah ribuan kilometer adalah sesuatu yang tidak ternilai

harganya bagi seorang suami yang sedang jauh terbuang.

Sebelum membaca surat itu, sudah terbayang oleh Karman

lekuk sudut bibir Marni yang bagus; suaranya yang lembut, atau

segala tingkah lakunya yang membuktikan Marni adalah

perempuan yang bisa jadi penyejuk hati suami. Tetapi selesai

membaca surat itu, Karman mendadak merasa sulit bernapas.

Padang datar yang kerontang dan penuh kerikil seakan

mendadak tergelak di hadapannya. Padang yang sangat

65

mengerikan, asing, dan Karman merasa seorang diri.

Keseimbangan batin Karman terguncang keras. Semangat

hidupnya nyaris runtuh.53

Latar suasana selanjutnya adalah peristiwa yang menegangkan.

Hal ini terjadi ketika lamaran Karman ditolak oleh Haji Bakir,

keadaan seperti ini sangat dimanfaatkan oleh Margo dan Triman untuk

menghasut Karman terhadap Haji Bakir. Hasutan demi hasutan telah

menguasai diri Karman, sehingga ia tidak mendengarkan alasan

kenapa penolakannya ditolak oleh Haji Bakir. Pada lamaran yang

kedua kalinya pun Karman ditolak oleh tuan tanah ini, seperti

biasanya keadaan inilah dimanfaatkan kembali oleh kedua orang

partai tersebut. Bukan hanya persoalan lamarannya untuk meminang

Rifah, tetapi ada persoalan lain pula yaitu Margo dan Triman

menghasut masalah tanah milik Pak Mantri yang dulu dijual kepada

Haji Bakir. Margo dan Triman menghasut pikiran Karman bahwa

sawah milik ayahnya itu telah dikuasai oleh Haji Bakir, namun, pada

kenyataannya tidak seperti itu. Namun, hasutan yang diterima oleh

Karman sudah menguasai dirinya,sehingga akhirnya Karman merasa

dendam kepada Haji Bakir. Terbukti dengan:

Rasa kecewa, marah, dan malu berbaur dihati Karman.

Akibatnya, ia mendendam dan membenci Haji Bakir. Karman

memulai dengan enggan bertemu, bahkan enggan menginjak

halaman rumah orang tua Rifah. Sembahyang wajib ia tunaikan

di rumah. Dan ia memilih tempat yang lain bila menunaikan

sembahyang Jumat.54

Kutipan di atas menggambarkan apa yang dilakukan Karman

semata-mata hanya untuk membalas dendam. Ia merasa disakiti atau

dizholimi oleh Haji Bakir dan keluarganya. Dengan meninggalkan

sembahyang wajib dan meninggalkan masjid Haji Bakir merupakan

suatu kepuasan bagi diri Karman dalam membalas dendamnya itu.

53

Ibid., h. 14 54

Ibid., h. 91

66

Selanjutnya, latar suasana dalam novel ini adalah mengharukan.

Suasana mengharukan dalam novel ini ketika Marni menjenguk

Karman di rumah Bu Mantri. Hati Marni yang merasa bingung harus

bagaimana setelah ia bertemu Karman, rasa rindu dan bimbang

menjadi satu. Di satu sisi ia rindu kepada Karman yang telah

meninggalkannya selama beberapa tahun, di sisi lain juga ia harus

memikirkan perasaan Parta yang telah menjadi suaminya selama

Karman berada di Pulau Buru hingga sampai sekarang ini. Ketika

mereka dipertemukan kembali di rumah Bu Mantri suasana

mengharukan itu pun terjadi, diantara keduanya terlihat saling

menahan rasa rindu yang teramat sangat setelah sekian lama berpisah.

Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

Orang tak usah mencari kata-kata yang berlebihan, karena

yang kemudian terjadi memang sulit dilukiskan dengan bahasa.

Perempuan-perempuan yang menahan isak. Lelaki-lelaki yang

tiba-tiba jadi gagu. Dan suasana mendadak bisu tetapi penuh

haru-biru.55

Latar suasana yang terakhir adalah suatu kehormatan dan

kebanggaan bagi diri Karman, ia merasa hidupnya berarti kembali

untuk masyarakat disekitarnya. Masyarakat Pegaten yang sangat

memiliki sikap solidaritas tinggi, membuat kesalahan Karman di masa

lalu telah dimaafkan. Sikap pemaaf yang dimiliki masyarakat Pegaten

telah dibuktikan ketika Karman dipercaya untuk membuat bangunan

kubah di masjid milik Haji Bakir.

Tetapi Karman menganggap pekerjaan membuat kubah itu

sebagai kesempatan yang istimewa.56

d. Latar Sosial

Latar sosial dalam novel Kubah ini disesuaikan dengan keadaan

sosial tempat dan waktu yang digambarkan dalam cerita. Di dalam

novel ini pengarang menampilkan latar sosial mengenai kehidupan

55

Ibid., h. 175 56

Ibid., h. 188

67

masyarakat Pegaten yang masih menggunakan sistem perjodohan.

Apabila dilihat pada zaman sekarang kemungkinan sangat tipis adanya

sistem perjodohan seperti yang dilakukan oleh keluarga Haji Bakir

ketika menjodohkan Rifah dengan Abdul Rahman seorang pemuda

santri disebuah pesantren daerah Jawa Timur.

Calon suami Rifah telah ditemukan oleh keluarga Haji

Bakir. Pemuda itu sedang belajar di sebuah pesantren di Jawa

Timur, dan boleh jadi Rifah pun belum tahu apa-apa tentang

perjodohannya.57

Kutipan di atas menunjukkan latar sosial masih adanya

gambaran sistem perjodohan yang dilakukan keluarga Haji Bakir

terhadap putrinya, Rifah. Apabila dikaitkan dengan zaman sekarang,

bisa saja yang menggunakan sistem perjodohan hanyalah di tempat-

tempat terpencil pedalaman, jika memiliki anak gadis para orang tua

menjodohkan anaknya dengan pria pilihan mereka bukan pilihan sang

anak.

Selain latar sosial yang menggunakan sistem perjodohan di

dalam Novel Kubah ini, ada pula latar sosial pada zaman PKI. Hal ini

berkaitan pada latar waktu 1965 terjadinya kegegeran yang merugikan

masyarakat Pegaten sehingga menyebabkan seseorang masuk ke dalam

tahanan politik.

Berikut ini kutipan yang menggambarkan adanya latar sosial

yang lain dalam novel Kubah:

Di Madiun, September 1948 terjadi pemberontakan besar.

Makar itu dikobarkan untuk merobohkan Republik yang baru

berusia tiga tahun, dan menggantinya dengan sebuah

pemerintahan komunis. Namun makar yang meminta ribuan

korban itu gagal. Para pelaku yang tertangkap diadili dan

dihukum mati.58

Kutipan di atas menunjukkan adanya latar sosial di mana masih

ada pemberontakan besar. Banyaknya para korban yang berjatuhan

57

Ibid., h. 76 58

Ibid., h. 76

68

pada pemberontakan ini. Peristiwa ini menggambarkan para PKI

berusaha untuk merobohkan sistem pemerintahan Republik yang

masih sangat muda dengan merubahnya menjadi sistem pemerintahan

komunis.

Latar sosial selanjutnya, dapat dilihat pada latar tempat

bagaimana kehidupan serta keadaan di daerah Pegaten. Kekompakan

masyarakat Pegaten pada saat musim panen tiba berlomba-lomba

menuai padi di sawah para tetangga demi mendapatkan nasi untuk

mereka makan.

Latar sosial yang terakhir dalam novel Kubah yaitu, diterimanya

kembali kehadiran Karman di Pegaten dari pengasingan. Masyarakat

Pegaten telah memaafkan semua kesalahan Karman di masa lalu.

Karman dipercaya untuk membuat kubah di masjid Haji Bakir, hal ini

membuktikan bahwa masyarakat Pegaten telah memaafkan

kesalahannya.

Keinginan Karman mendapat sambutan. Hasyim menjual

tiga ekor kambing untuk membeli bahan-bahan pembuat kubah

serta biaya sewa alat-alat las dan patri.59

5. Sudut Pandang

Sudut pandang dalam sebuah cerita merupakan dari posisi mana

sebuah cerita dilihat. Sudut pandang berkaitan dengan siapa yang

membawakan cerita atau narator. Hal ini terkait pula dengan di mana

seorang pengarang memposisikan dirinya dalam cerita. Penggunaan sudut

pandang yang tepat, membuat cerita menjadi lebih kuat dalam segi

penyampaian dan mencapai tujuan yang diharapkan.

Dalam novel Kubah ini menggunakan sudut pandang orang ketiga

dia maha tahu, karena dalam novel ini pun tampak diawali pada bagian

pertama dengan sudut pandang dia maha tahu. Dari sudut pandang orang

ketiga dia serba tahu ini, mengetahui segala hal yang terjadi pada setiap

tokoh yang terdapat dalam cerita, baik dari segi peristiwa, perasaan,

59

Ibid., h. 189

69

pikiran, maupun pandangan setiap tokoh terhadap berbagai hal. Terlihat di

awal kisah pengarang memposisikan dirinya sebagai narator, dapat dilihat

dari kutipan berikut:

Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak -geriknya serba

kikuk sehingga mengundang rasa kasihan. Kepada Komandan,

Karman membungkuk berlebihan. Kemudian dia mundur beberapa

langkah, lalu berbalik. Kertas -kertas itu dipegangnya dengan hati-

hati, tetapi tangannya bergetar. Karman merasa yakin seluruh

dirinya ikut terlipat bersama surat-surat tanda pembebasannya itu.

Bahkan pada saat itu Karman merasa totalitas dirinya tidak

semahal apa yang kini berada dalam genggamannya.60

Kutipan di atas menggambarkan suasana dan keadaan yang dialami

tokoh utama setelah dibebaskan dari Pulau Buangan.

Dari episode ke episode hingga akhir cerita Ahmad tohari

memposisikan dirinya sebagai orang ketiga dia maha tahu. Hal ini dapat

dilihat dalam setiap cerita novel Kubah, Ahmad Tohari selalu

menyebutkan nama para tokoh atau menggunakan kata ganti: ia, dia,

mereka. Selain itu, ia sering menyebutkan nama tokoh utama dalam cerita

ini.

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa

secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai

bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur

berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik.61

Gaya bahasa yang digunakan oleh Ahmad Tohari tidak terlepas

dari gaya bahasa kias, sama halnya seperti pengarang lainnya. Gaya

bahasa yang digunakan Ahmad Tohari antara lain mengunakan majas

hiperbola, personifikasi, dan klimaks. Diantara ketiga majas ini, Ahmad

Tohari lebih banyak menggunakan majas personifikasi yang menggunakan

60

Ibid., h. 7 61

Henry Guntur Tarigan, op. cit., h. 5

70

alam sebagai benda hidup. Berikut merupakan penjabaran hasil penelitian

gaya bahasa dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari:

a. Hiperbola

Ahmad Tohari menyisipkan majas hiperbola dalam novel Kubah

menggambarkan keadaan gejolak batin yang dialami Karman ketika

mendapatkan surat dari Marni. Jiwanya terguncang, seakan-akan

Karman merasa sesak nafas mendengar berita tersebut.

Padang datar yang kerontang dan penuh kerikil seakan

mendadak tergelak di hadapannya. Padang yang sangat

mengerikan, asing, dan Karman merasa seorang diri.62

Dari kutipan di atas, tergambar bagaimana kata-kata tersebut

sangat menakutkan atau dibuat pernyataan berlebih-lebihan dengan

maksud memberikan penekanan pada keadaan yang dialami Karman.

b. Personifikasi

Analisis novel Kubah, Ahmad Tohari juga menyisipkan beberapa

majas personifikasi, diantaranya terdapat pada kutipan berikut:

Terik matahari langsung menyiram tubuhnya begitu Karman

mencapai tempat terbuka di halaman gedung. Panas. Rumput dan

tanaman hias yang tak terawat tampak kusam dan layu. Banyak

daun dan rantingnya yang keing dan mati. Debu mengepul

mengikuti langkah-langkah lelaki yang baru datang dari Pulau B

itu.63

Majas personifikasi pada kutipan di atas, menggambarkan

matahari seolah-olah seperti benda hidup. Pada kenyataannya matahari

tidak dapat menyiram, melainkan teriknya menyinari tubuh seseorang,

sehingga tubuh yang dimaksud mengeluarkan keringat akibat sinar

yang dipancarkan oleh matahari.

Majas personifikasi dapat dilihat pula pada bagian yang

mengisahkan sekelompok burung dengan para penuai padi. Berikut

kutipannya:

62

Ahmad Tohari, op. cit.., h. 14 63

Ibid., h. 7

71

Burung branjangan terbang tinggi mengitari para penuai yang

sedang sibuk memotong tangkai bulir-bulir padi. Suaranya

renyah. Unggas itu terkenal pintar menirukan suara burung-

burung yang lain. Segumpal awan tiba-tiba mengelilingi matahari.

Sejuk, walaupun sejenak.64

Kutipan di atas menggambarkan kegiatan antara sekelompok

burung dengan sekelompok para penuai yang terjadi di sawah. Suara

burung diibaratkan seperti rasa mengunyah makanan, suara renyah

disini maksudnya yaitu, suara yang nyaring.

c. Klimaks

Majas klimaks digunakan Ahmad Tohari pada bagian nasehat

yang diberikan Kapten Somad terhadap Karman.

Bila kau dapat menyingkirkan angan-angan untuk berputus

asa, kau akan sampai pada jalan yang terbaik.65

Kutipan di atas mengarahkan Karman agar tidak menjadi manusia

yang mudah berputus asa. Ungkapan di atas mengandung susunan yang

semakin lama semakin mengandung penekanan. Majas klimaks ini

dapat dilihat dari kata awal ―bila‖, yang berarti merupakan syarat jika

ingin mencapai tujuan, dan kata ―menyingkirkan‖ yang berarti

merupakan suatu ajakan.

Dengan demikian, gaya bahasa yang paling dominan dipakai oleh

Ahmad Tohari yaitu, majas personifikasi. Ahmad tohari seorang penulis

desa selalu menggambarkan keadaan alam yang ia ibaratkan sebagai

benda hidup. Oleh karena itu, majas personifikasi ini merupakan salah

satu ciri khas gaya penulisan Ahmad Tohari.

B. Nilai Sosial dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari

Novel Kubah karya Ahmad Tohari ini menceritakan pertobatan

seseorang yang terjerumus ke dalam anggota PKI. Gambaran pertobatan

yang dilakukan tokoh Karman merupakan isyarat bahwa para anggota

64

Ibid., h. 67 65

Ibid., h. 22

72

ekstapol hanya mungkin dapat diterima masyarakat jika mereka

menunjukkan pertobatannya lewat amal perbuatan yang baik. Gerakan 30

September yang merupakan tragedi nasional itu, memang sulit untuk

dilupakan. Namun, tidak pada tempatnya jika masyarakat menolak mereka

yang sungguh-sungguh sudah insyaf dan hendak bertobat.

Selain itu, novel Kubah karya Ahmad Tohari mengisahkan kehidupan

yang terdapat dalam masyarakat Pegaten. Bisa dibilang masyarakat Pegaten

sangat terbelakang dalam hal pendidikan, hanya beberapa orang saja yang

bisa melanjutkan sekolah. Namun, hal seperti ini tidak menjadi masalah

bagi mereka. Mata pencaharian masyarakat Pegaten mayoritas sebagai

seorang petani, mereka bekerja di sawah-sawah para tetangga. Maka, setiap

musim panen tiba mereka selalu mengisi waktu dengan berlomba-lomba

menuai padi agar mendapatkan upah berupa beras.

Selain tradisi penuaian padi, ada pula tradisi yang tidak bisa

ditinggalkan oleh anak-anak masyarakat Pegaten, hal ini dapat dilihat ketika

menceritakan tokoh utama semasa kecil. Anak-anak di Pegaten lebih senang

tidur di masjid milik Haji Bakir ketimbang di rumah masing-masing.

Sewaktu subuh tiba mereka berkumpul di pancuran air wudhu untuk bersih-

bersih sebelum melaksanakan salat. Hal seperti ini, menggambarkan

masyarakat Pegaten yang bernuansa religi.

Ada pula tradisi masyarakat Pegaten yang sangat tipis kemungkinan

untuk dilakukan pada masa sekarang. hal ini dapat dilihat kembali pada latar

sosial yang menjelaskan adanya sistem perjodohan contohnya pada keluarga

Haji Bakir.

Apabila dilihat dari latar tempat dan latar belakang pengarang, nama

Pegaten berada di daerah pulau Jawa. Hal ini, dapat dilihat dari tembang

yang menggunakan bahasa Jawa.

―Aku mbiyen ora ana

Saiki dadi ana

Mbesuk maneh ora ana

Padha bali marang rahmatullah.‖66

66

Ibid., h. 152

73

Tembang ini muncul kembali pada analisis nilai sosial kebudayaan

masyarakat Pegaten, untuk membuktikan latar belakang kehidupan Ahmad

Tohari sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan Jawa berpengaruh

dengan munculnya filsafat Jawa yang terkandung dari tembang tersebut.

Bila saja Ahmad Tohari bukan suku Jawa, ia mungkin tidak akan

menangkap makna yang terkandung dari tembang tersebut sehingga ia tidak

akan mencantumkan dalam karya-karyanya. Wawasan imajinasi dan

pengalamannya tidak terlepas dari aspek sosial budaya yang melingkupinya

ataupun ideologi yang dianutnya.67

Maksud adanya hubungan latar belakang Ahmad Tohari dengan karya

sastra yaitu, bahwa karya sastra bukan salinan biografi Ahmad Tohari.

Melainkan, karya sastra hanyalah imajinasi penulis, tetapi secara tidak sadar

mungkin latar belakang kehidupan pengarang ikut mempengaruhi, dan

kehidupan yang sejak kecil melingkari kehidupan pengarang karyanya.68

Dari berbagai pendapat di atas, menunjukkan adanya kaitan antara

pengarang dengan latar belakang kehidupannya. Maka, dalam analisis nilai

sosial masyarakat Pegaten penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra

yakni, berkaitan dengan mempertimbangkan segi-segi kemayarakatan yang

ada dalam karya sastra. Di dalam sebuah karya sastra pasti terkandung nilai-

nilai kehidupan yang berlaku pada masyarakat di mana karya sastra tersebut

diciptakan. Nilai-nilai tersebut menggambarkan norma, tradisi, aturan, dan

kepercayaan yang dianut atau dilakukan pada suatu masyarakat.

Dalam melakukan analisis ini, penulis membaginya berdasarkan nilai

sosial yang terdapat di masyarakat Pegaten. Berikut pemaparannya:

1. Hubungan Manusia dengan Masyarakat

Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku

dan tata cara hidup sosial. Hal ini berkaitan erat dengan karya sastra,

karena karya sastra dapat pula bersumber dari kenyataan-kenyataan

yang terjadi di masyarakat. Nilai tersebut mencakup kebutuhan hidup

67

Anonim, Sastra Religius Ahmad Tohari dalam Ideologi Islam. (Harian Republika:

Jakarta, 2003). 68

Ibid.

74

bersama, seperti kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan

penghargaan. Nilai sosial yang dimaksud adalah kepedulian terhadap

lingkungan sekitar. Nilai dalam karya sastra, nilai sosial dapat dilihat

dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan sehingga

diharapkan mampu memberikan peningkatan kepekaan rasa

kemanusiaan.

Pentingnya berhubungan baik dengan tetangga maupun orang

lain dapat mempererat tali silaturahmi antarsesama. Berbuat baik

terhadap orang lain akan membuat hidup terasa tenang dan tentram. Ini

merupakan nilai sosial yang patut untuk dijalankan dalam kehidupan

sehari-hari. Banyak hikmah yang dapat diambil dari nilai sosial

hubungan antara manusia dengan masyarakat. Seperti halnya di dalam

novel Kubah, banyak peristiwa yang perlu diteladani untuk setiap

manusia yang merupakan makhluk sosial.

Manusia tidak akan bisa hidup sendiri tanpa kehadiran orang

lain di sekitarnya. Suatu saat pasti akan membutuhkan pertolongan dari

orang lain. Pentingnya hidup bermasyarakat maupun bertetangga,

adalah untuk bersosialisasi, karena hakikatnya manusia merupakan

makhluk sosial. Seperti halnya yang terjadi di masyarakat Pegaten yang

memiliki sikap kebersamaan dalam lingkungan sekitar. Hal ini dapat

dilihat dari tradisi-tradisi serta kehidupan yang dijalani oleh masyarakat

Pegaten. Masyarakat Pegaten bisa dikatakan sangat terbelakang dalam

hal pendidikan, namun mereka merupakan orang-orang yang wajib

dikagumi, lantaran sifat pemaaf masyarakat sangat berarti bagi Karman

yang merupakan tokoh utama pada novel Kubah ini.

Hubungan antara manusia dengan masyarakat pada novel Kubah

dapat di tunjukkan dari kehidupan yang terjadi di Pegaten, diantaranya:

a. Agama

Nilai-nilai sastra religius yang tampak dalam novel-novel

Ahmad Tohari sangat terasa dipengaruhi oleh kehidupan

kesehariaanya yang bernafaskan ideologi Islam, sehingga unsur

75

keagamaannya adalah Islami. Pada analisis ini dilihat dari tokoh

utama yang menggambarkan pertaubatannya dengan cara membuat

kubah, kemudian menempelkan sebuah nasihat dari Kapten Somad

yang merupakan referensi utama dari Al-Qur‘an.

Leher kubah dihiasi kaligrafi dengan teralis. Empat ayat

terakhir dari surat Al-Fajr terbaca di sana: Hai jiwa yang

teduh dan tentram, kembalikan engkau kepada-Ku. Maka

masuklah barisan hamba-hamba-Ku dan temuilah

kedamaian abadi Surga-Ku.69

Dari kutipan di atas, tergambar bagaimana Karman ingin

sungguh-sungguh bertobat dari kesalahan di masa lalu. Ia

mencantumkan empat ayat surat Al-Fajr pada bagian leher kubah

yang dibuatnya.

Peristiwa di atas juga menampakkan unsur religi, hal ini

tampak adanya keinginan Karman untuk mendapatkan kembali

kepercayaan dari masyarakat, juga kesadaran Karman untuk

mengangkat kembali martabatnya sebagai manusia dengan langkah

pertamanya membuat kubah untuk masjid di desanya.

Selain kutipan di atas, terdapat pula kutipan yang

menunjukkan adanya hubungan manusia dengan Tuhan. Kutipan

berikut dilihat dari nasihatnya Kapten Somad untuk Karman yang

sedang merenungkan kesalahannya di masa lalu. Kesalahan tersebut

berawal dari politik yang membuat dirinya jauh dari kepercayaan,

yakni agama. Berikut kutipannya:

Yah dengarlah apa yang kumaksud dengan syarat itu.

Untuk mendasari upaya penyembuhan jiwamu kau harus

memulai dari kepercayaan. Ya kepercayaan. 70

Keyakinan atau yakin merupakan kunci segalanya dalam

ajaran Islam. Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa keyakinan

merupakan puncak dari segala keimanan atau Iman. Oleh karena itu

69

Ahmad Tohari, op. cit., h.189 70

Ibid., h. 25

76

keyakinan merupakan kunci dari segala aktifitas yang kaitannya

hablumminallah (hubungan manusia dengan Allah).

Selain itu, ada pula tradisi yang biasa dilakukan anak-anak

Pegaten, yaitu, tidur di mesjid Haji Bakir. Menjelang subuh, sumur

mesjid Haji Bakir selalu ramai dengan gurauan atas kejahilan anak-

anak yang iseng kepada teman-temannya. Hal ini dapat dilihat dari

kutipan berikut:

Demikianlah sumur mesjid itu selalu ramai oleh gurau

anak-anak selagi fajar merekah di timur. Hiruk-pikuk baru

berakhir apabila sembahyang subuh sudah dimulai. Dan

ketika jamaah yang tua-tua masih berzikir sehabis

sembahyang, anak-anak sudah bubar berhambura. Mereka

kembali ke rumah masing-masing dengan gurauan yang

gembira.71

Kutipan di atas didasari oleh ajaran Islam yang

mencerminkan adanya konsep ideologi Islam yang dianut si

pengarang, dalam hal ini Ahmad Tohari sendiri. Bahwa kehidupan

Ahmad Tohari sebagai orang Jawa dilatarbelakangi unsur-unsur

budaya Jawa dan kehidupan yang sejak kecil telah akrab dengan

surau dan masjid.72

Selanjutnya, terdapat pula peristiwa yang menunjukkan

bahwa manusia tidak bisa terlepas menggantungkan dirinya kepada

Tuhan. Hal ini terlihat pada sosok Kastaghetek, yaitu, seorang

manusia bebas yang ditemukan Karman ketika dalam pelariannya.

Pertemuan inilah yang merupakan awal kesadaran Karman dalam

melakukan kesalahannya selama ini. Hal seperti ini dapat dilihat dari

kutipan berikut:

Dalam kesadaran ketika bayangan regu tembak sudah

muncul di depan mata, Karman merasa sangat iri terhadap

Kastagethek dengan segala perilakunya yang amat tenang,

mengalir, dan pasrah. Karman dapat memastikan bahwa

ketenangan hidup Kastagethek berkaitan dengan shalatnya,

71

Ibid., h. 64 72

Anonim, Sastra Religius Ahmad Tohari dalam Ideologi Islam. (Harian Republika:

Jakarta, 2003).

77

dengan zikirnya, dengan tasbihnya. ―Ah, ketiga ritus itu telah

lama kuingkari dan kucampakkan.73

Sebelumnya kutipan di atas sudah terdapat pada analisis

tema. Kutipan ini diambil kembali untuk menunjukkan kekuatan

hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ketenangan hidup seorang

kastaghetek, lantaran ia menyadari bahwa dirinya sebagai makhluk

Tuhan yang tak bisa meninggalkan perintah-Nya dalam keadaan

apapun. Sikap hidup seperti inilah, justru lebih memungkinkan

hadirnya keselarasan, keharmonisan, dan lebih jauh lagi

kebahagiaan di balik kemiskinan yang dijalaninya.

Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan hubungan

manusia dengan Tuhan dilihat dari kesungguhan Karman dalam

bertaubat atas kesalahannya di masa lalu yang telah meninggalkan

ajaran agamanya. Selanjutnya dilihat dari tradisi anak-anak yang

biasa menginap di masjid dan melaksanakan salat subuh berjamaah.

Hal ini membuktikan bahwa pentingnya membiasakan anak-anak

untuk beribadah sejak dini, karena agama merupakan pedoman hidup

manusia. Selanjutnya yang terakhir menggambarkan adanya

interaksi manusia dengan Tuhannya melalui salat serta zikir.

b. Musyawarah

Masyarakat Pegaten memiliki suatu ciri khas jika ingin

melakukan sesuatu. Setiap kegiatan yang ada di desa Pegaten,

masyarakat selalu bermusyawarah terlebih dahulu untuk kepentingan

bersama. Kekompakan masyarakat Pegaten sangat terlihat ketika

adanya kegiatan-kegiatan yang menyangkut keharmonisan dan

kenyamanan warga sekitar. Hal ini dapat dilihat kembali dengan

latar belakang Ahmad Tohari yang tidak bisa jauh dari kehidupan

mesjid atau surau. Salah satu contoh kegiatan musyawarah yang

mereka lakukan ketika mengadakan kegiatan perbaikan mesjid Haji

73

Ahmad Tohari, op. cit., h. 152

78

Bakir. Tokoh utama dalam novel Kubah ini ikut serta dalam kegiatan

musyawarah yang dilaksanakan oleh warga. Menurut Karman yang

merupakan tokoh utama, ini kesempatan istimewa baginya, agar

dapat membuktikan kesungguhannya dalam bertaubat. Berikut

kutipan yang merupakan salah satu hasil musyawarah masyarakat

Pegaten:

Para jamaah sepakat hendak memugar mesjid itu. Pikiran

demikian makin mendesak karena jumlah jamaah terus

bertambah banyak.

Tanpa membentuk sebuah panitia, pekerjaan itu dimulai.

Semua orang mendapat bagian menurut kecakapan masing-

masing.‖74

Kutipan di atas menggambarkan bagaimana kekompakan

yang terjadi di Pegaten. Pada saat Keadaan terdesak pun mereka

melaksanakan tugas yang menjadi bagiannya masing-masing,

walaupun tanpa adanya pembentukan panitia.

Selain itu, Karman yang ingin membuktikan pertobatannya

menawarkan diri untuk membuat sebuah bangunan kubah di mesjid

Haji Bakir. Keputusan Karman ini dapat disetujui oleh masyarakat

sebagai pembuktian bahwa dirinya telah diterima kembali.

Karman memberanikan diri meminta bagiaannya. Ia

menyanggupi membuat kubah yang baru bila tersedia bahan

dan perkakasnya. Ketika tinggal dalam pengasingan Karman

pernah belajar mematri dan mengelas. Keinginan Karman

mendapat sambutan.75

Kutipan di atas menggambarkan keberanian Karman

meminta haknya untuk membuat kubah, karena sebelumnya ia telah

mendapatkan ilmu yang berkaitan dengan hal arsitektur sewaktu

masih dalam tahanan. Keinginan Karman pun disambut baik oleh

warga. Nilai sosial yang terkandung di dalamnya yaitu, suatu

74

Ahmad Tohari, op. cit., h. 187 75

Ibid., h. 187

79

penghargaan dari masyarakat Pegaten untuk Karman dipercaya

dalam membuat kubah mesjid Haji Bakir.

Musyawarah yang sering dilakukan dalam masyarakat

Pegaten tidak hanya sekedar membicarakan kegiatan kerja bakti di

desanya. Namun, terdapat pula sistem perjodohan yang masih kental

dilakukan oleh masyarakat Pegaten, yakni, mengharuskan mereka

berunding untuk kelancaran rencana masa depan anak-anaknya. Hal

seperti ini dapat dilihat dari keluarga Haji Bakir ketika melamarkan

cucunya, yaitu Jabir untuk meminang Tini yang merupakan anak

dari pasangan Karman dengan Marni. Karman yang kebetulan belum

lama pulang dari pengasingannya mendapatkan kabar gembira

bahwa keluarga Haji Bakir akan datang ke rumah Bu Mantri.

Kedatangan keluarga Haji Bakir ini membuktikan bahwa kegiatan

musyawarah tidak hanya ketika ingin melakukan kerja bakti,

melainkan hal apapun dapat dimusyawarahkan. Berikut kutipan

musyawarah yang di lakukan keluarga Haji Bakir dengan keluarga

Karman:

Tengah malam perundingan itu berakhir. Semua pihak

bangkit dari tempat duduk dengan rasa lega dan puas.

Sebelum meninggalkan rumah Bu Mantri, Ibu Haji Bakir

menyerahkan kain kebaya untuk diberikan kepada Tini

sebagai tanda pengikat. Telah disepakati pula hari dan bulan

untuk melaksanakan perkawinan antara Tini dan Jabir.76

Kutipan di atas menggambarkan adanya musyawarah yang

dilakukan oleh keluarga Haji Bakir dengan keluarga Karman.

mereka berunding untuk menentukan tanggal serta bulan yang baik

untuk pernikahan Jabir dengan Tini. Selain itu istri Haji Bakir

memberikan kebaya kepada Tini sebagai tanda pengikat bahwa

dirinya telah dipinang oleh Jabir. Namun, bila dilihat dalam

kehidupan zaman sekarang bisa dikatakan hal tersebut merupakan

pertunangan antara si pria dan wanita yang saling mencintai, tetapi

76

Ibid., h. 185

80

pada zaman sekarang mereka menggunakan cincin sebagai tanda

pengikat si wanita. Mungkin dalam tradisi masyarakat Pegaten

menggunakan apa saja yang dapat digunakan sebagai tanda pengikat

dalam sebuah hubungan.

Dari analisis musyawarah di atas, dapat disimpulkan bahwa

kegiatan musyawarah yang dilakukan oleh masyarakar Pegaten

bukan hanya untuk merencanakan kegiatan gotong-royong maupun

sejenisnya, akan tetapi ditunjukkan pula oleh keluarga Haji Bakir

dengan keluarga besar Karman ketika melakukan perjodohan serta

menentukan tanggal pernikahan untuk Jabir dan Tini.

c. Kegiatan Gotong-Royong

Kegiatan gotong royong bisa terjadi di manapun dan

kapanpun, termasuk pada zaman sekarang kegiatan gotong royong

masih dijalankan oleh masyarakat perkampungan, tidak seperti

masyarakat perkotaan yang sudah sangat jauh dalam hal

kebersamaan. Bila di daerah perkampungan biasanya warga

menjalankan gotong-royong pada saat hari Kemerdekaan tiba,

tepatnya 17 Agustus. Selain itu, pada setiap hari-hari besar

contohnya, menyambut hari raya Idul Fitri dan Idul Adha serta

Maulid Nabi, tradisi seperti ini selalu dijalankan oleh warga

kampung. Namun, contoh dalam novel Kubah tradisi kegiatan

gotong-royong dilakukan ketika memperbaiki mesjid Haji Bakir. Hal

ini dapat dilihat kembali dalam kegiatan musyawarah masyarakat

Pegaten.

Selain itu, kegiatan gotong royong yang sudah menjadi tradisi

dalam masyarakat Pegaten yaitu, ketika musim panen tiba. Semua

warga turun langsung ke sawah para tetangga, dan tugas pemilik

sawah hanya memberikan upah atas hasil tuaian warga. Masyarakat

Pegatenlah yang diberi kesempatan untuk menikmati nasi hasil

tuaian mereka.

81

Hampir musim panen. Anak-anak di Pegaten mulai

meniup-niup puput. Di pagi hari burung-burung gelatik dan

murai terbang berkelompok-kelompok menuju sawah. Musim

panen baik. Orang-orang yang tidak mempunyai sawah ikut

senang. Mereka ikut menuai. Dari hasil tuaian itu mereka

berhak atas sepertujuh atau seperdelapan bagian. Selebihnya

menjadi hak pemilik sawah.77

Kutipan di atas menggambarkan suasana yang terjadi ketika

musim panen. Masyarakat Pegaten bergotong royong menuai padi di

sawah tetangga. Musim ini bukan hanya sekedar suatu kebahagiaan

bagi si pemilik sawah, tetapi bagi warga yang tidak memiliki sawah

pun ikut senang menyambut musim panen. Hal ini suatu kesempatan

mereka untuk mendapatkan nasi atau beras. Bukan hanya sekedar

orang dewasa saja yang ikut terjun langsung ke sawah, melainkan

Karman pun yang merupakan anak kecil pada saat itu ikut serta di

dalamnya. Berikut kutipannya:

―Tak pantas pada waktu panen seperti ini ibuku tak punya

beras. Sebaiknya aku ikut menuai padi agar ibuku sempat

merasakan nasi yang empuk.‖78

Kutipan di atas sebelumnya sudah tercantum pada analisis

tokoh utama untuk mengetahui watak si tokoh. Namun, untuk kali

ini kutipan di atas sebagai gambaran bahwa Karman ikut serta dalam

penuaian padi pada saat musim panen.

Selain itu, terdapat pula kutipan bahwa Karman ikut serta

dalam gotong royong yang diadakan warga untuk membersihkan

sumur mesjid Haji Bakir. Berikut kutipannya:

Karman sungguh-sungguh telah berbaur kembali dengan

tiap gerak kehidupan di Pegaten. Ia tampak pada tiap kenduri

yang diadakan orang, ia ikut kerja bakti membersihkan

saluran irigasi yang sudah dibangun di desa itu. Dan Karman

merasa bangga sekali ketika ia diberi kesempatan

memperbaiki sumur mesjid Haji Bakir.79

77

Ibid., h. 63 78

Ibid., h. 63 79

Ibid., h. 179

82

Kutipan di atas menggambarkan bahwa Karman selalu siap

siaga menjalankan gotong-royong yang diadakan oleh masyarakat

Pegaten walaupun dirinya belum lama kembali ke desa Pegaten.

Kutipan di atas dapat pula dikaitkan dengan sikap pemaaf

masyarakat Pegaten, karena rasa pemaaf inilah yang membuat

Karman diberi kesempatan untuk ikut serta dalam kegiatan kerja

bakti memperbaiki sumur mesjid milik Haji Bakir.

Dari analisis di atas, dapat disimpulkan kegiatan gotong

royong ini di tunjukan ketika memperbaiki mesjid Haji Bakir dan

sumur mesjid Haji Bakir. Selain itu, ditunjukkan pula pada saat

musim panen, seluruh warga Pegaten yang tidak memiliki sawah

bersama-sama menuai padi di sawah tetangga mereka.

d. Tolong-Menolong

Sikap tolong-menolong ini sangat penting bagi siapa pun,

karena pada dasarnya manusia terkadang butuh pertolongan terhadap

orang disekitarnya. Sebagai manusia yang beriman maka wajib

menolong antar sesama. Jiwa penolong yang ditanamkan dalam

kehidupan sehari-hari sangat membantu kebahagiaan orang lain.

Inilah pentingnya hidup bermasyarakat, karena saling melengkapi di

saat saling membutuhkan satu sama lainnya. Di dalam novel Kubah

sikap saling menolong terlihat ketika si tokoh utama menolong anak

tetangganya yang sedang digerumuti semut merah pada saat orang-

orang sibuk menuai padi di sawah.

Ketika sampai tujuan, hal pertama yang dilakukannya

adalah menyapu tubuh bayi kinah dengan kain. Karman tahu

bayi itu masih kelenger. Kulitnya yang sudah membiru

tampak bentol-bentol. Karman panik. Tetapi Karman inget di

sekolah ia pernah lihat gurunya melakukan gerakan membuat

napas buatan. Karman mencoba menirukan gurunya dan

berhasil. Bayi Kinah bisa mengembalikan napas lalu kembali

menjerit.80

80

Ibid., h.71

83

Kutipan di atas menjukkan rasa iba Karman terhadap bayi

Kinah yang sedang dipenuhi semut pada tubuhnya. Karman cepat-

cepat menolong bayi Kinah dan menghentikan kegiatan tuaiannya

tersebut. Ketika dalam keadaan panik Karman teringat ilmu yang di

ajarkan gurunya bagaimana cara membuat napas buatan, dan hal itu

pun dilakukan Karman demi menolong bayi Kinah. Kemudian

Karman pun berhasil mengembalikan napas bayi Kinah yang

sebelumnya tidak mengeluarkan suara. Nilai sosial dari kisah ini

yaitu, jiwa penolong Karman yang membantu bayi kinah dari

serangan semut merah.

Pada novel ini, menjelaskan pula sikap penolong Bu Haji

Bakir sebelum memberikan pekerjaan kepada Karman, terlebih

dahulu ia di bawa ke rumah Haji Bakir oleh putrinya, yaitu, Rifah.

Ibu Haji Bakir merasa iba melihat keadaan Karman dan adiknya

yang sudah lama tidak menemukan nasi untuk di makan. Kemudian,

melihat keadaan seperti itu Bu Haji Bakir memberinya dua piring

nasi untuk Karman dan adiknya.

Diam-diam Bu Haji Bakir memperhatikan Karman dan

adiknya. Kedua anak yatim itu makan dengan sangat lahap.

Mungkin mereka sudah beberapa bulan hanya bertemu

singkong dan kini mereka menghadapi sepiring nasi.81

Kutipan di atas, menggambarkan betapa pedulinya Bu Haji

Bakir terhadap Karman dan adiknya. Karman sangat menikmati

sepiring nasi yang telah disediakan oleh Bu Haji Bakir untuk dirinya,

karena sejak di tinggal oleh ayahnya ia hanya bertemu dengan

singkong. Berkat keluarga Haji Bakir lah ia menemukan kembali

sepiring nasi yang selama beberapa bulan ini tidak pernah ia makan

selain singkong.

Selain memberikan makan, sikap tolong-menolong ini terlihat

pula pada tokoh Haji Bakir yang merupakan warga Pegaten. Ketika

81

Ibid., h. 59

84

Karman masih kecil dan belum memiliki pekerjaan, kehidupannya

dibantu oleh Haji Bakir. Haji Bakir memberikan pekerjaan kecil-

kecilan kepada Karman sesuai dengan usianya pada saat itu.

Selalu ada pekerjaan kecil-kecilan yang bisa dikerjakan

Karman sementara anak itu momong adiknya. Dengan

memberi pekerjaan kecil, Bu Haji bermaksud mendidik

Karman bekerja sehingga ia tidak terbiasa bergantung kepada

pemberian orang.82

Kutipan di atas, selain menggambarkan rasa sayang keluarga

Haji Bakir terhadap Karman, kutipan tersebut menggambarkan jiwa

penolong keluarga Haji Bakir terhadap Karman yang pada saat itu

menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Karman diberi

pekerjaan kecil-kecilan oleh Bu Haji Bakir. Pekerjaan tersebut tidak

terlalu berat untuknya, jadi ia bisa sambil mengasuh adiknya yang

masih kecil. Bu Haji Bakir membantunya agar menjadi anak yang

tidak selalu bergantung terhadap bantuan dari orang lain.

Pada novel Kubah ini, menonjolkan jiwa penolong Karman

terhadap Rifah yang merupakan anak Haji Bakir. Hubungan

keduanya sebagai pengasuh dan anak asuh. Karman sebagai

pengasuh mengorbankan dirinya untuk keselamatan Rifah yang

merupakan anak asuhnya. Sifat tersebut juga bertujuan untuk

membangun sikap saling peduli dan saling peka antar sesama. Hal

ini terbukti pada kutipan ketika Karman masih kecil ia pernah

mengorbankan nyawanya demi menolong Rifah yang hampir

diterjang Kambing milik Haji Bakir.

Karman maju melindungi Rifah yang menjerit dengan

muka biru. Kedua tanduk binatang itu ditangkapnya. Karena

tenaganya kalah kuat Karman terayun-ayun oleh empasan

binatang yang marah itu.83

Kutipan di atas menggambarkan pengorbanan Karman

terhadap anak asuhnya itu, ia tidak memikirkan keselamatan untuk

82

Ibid., h. 59 83

Ibid., h. 62

85

dirinya sendiri. Tenaga Karman kalah kuat oleh binatang yang

sedang mengamuk itu sehingga tubuhnya terpontang panting. Hal ini

membuktikan nilai sosial yang terkandung yaitu berkorban untuk

orang lain tanpa memikirkan diri sendiri.

Selain itu, dapat dilihat pada tahap akhir cerita novel ini

terdapat bukti bahwa Karman menolong masyarakat dalam

pembuatan kubah masjid Haji Bakir. Pembuatan kubah ini

kesempatan yang istimewa baginya, karena ini menyangkut untuk

mendapatkan kepercayaan warga terhadap dirinya bersungguh-

sungguh ingin bertaubat. Selain itu, pembuatan kubah ini merupakan

kepentingan bersama dalam kekhusyu‘an beribadah.

......Bahkan dengan menyanggupi pekerjaan itu ia hanya

ingin memberi jasa. Bagaimana juga sepulang dari

pengasingan ia merasa ada yang hilang pada dirinya. Ia ingin

memperoleh kembali bagian yang hilang itu. Bila ia

mendapat memberi sebuah kubah yang bagus kepada orang-

orang Pegaten, ia berharap akan memperoleh apa yang hilang

itu.84

Kutipan di atas menggambarkan keinginan Karman yang

sungguh-sungguh ingin menolong memperbaiki kubah masjid Haji

Bakir. Selain itu, ia ingin mendapatkan kembali kepercayaan

masyarakat Pegaten. Karman ingin membuktikan bahwa seorang

bekas tahanan masih bisa melakukan sesuatu yang berharga bagi

orang-orang disekitarnya.

Dari kutipan-kutipan di atas nilai sosial yang terkandung

dalam novel Kubah yaitu, saling tolong menolong terhadap sesama.

Hal ini membuktikan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri,

melainkan suatu saat nanti mereka akan membutuhkan pertolongan

dari masyarakat di sekitarnya.

Kesimpulan dari analisis ini, sikap tolong menolong

ditunjukkan pada tokoh Karman ketika menolong anak Kinah yang

84

Ibid., h. 188

86

sedang dikerubungi semut merah. Selain itu, sikap tong menolong ini

ditunjukkan pada keluarga Haji Bakir yang merasa kasihan terhadap

Karman, sehingga ia memberikan Karman pekerjaan kecil-kecilan.

Sikap tolong menolong terdapat pada tokoh Bu Haji Bakir yang

memberikan makanan kepada Karman dan adiknya.

e. Saling Memaafkan

Memaafkan kesalahan orang lain sangat penting, selain

menambah pahala dapat pula menjalin silaturahmi yang baik. Sikap

saling memaafkan ini akan membuat hidup terasa tenang dan

tentram. Di dalam novel Kubah menceritakan tokoh Karman yang

menjadi sasaran sebagai pembuat kesalahan terhadap masyarakat

Pegaten. Kesalahan Karman yang sulit dimaafkan itu dengan

mudahnya dan ramahnya masyarakat Pegaten menerima maaf dari

Karman. Masyarakat Pegaten yang cinta perdamaian telah ikhlas

memaafkan kesalahan Karman.

Selain Gono yang sudah memaafkan kesalahan Karman

selama ini, ternyata masyarakat serta para tetangga-tetangga Karman

telah memaafkannya juga. Hal ini terlihat ketika Karman kembali

tinggal di Pegaten, ia diajak bermusyawarah untuk perbaikan

bangunan mesjid milik Haji Bakir dan dipercaya untuk membuat

kubah.

Bila dikaitkan dengan alur yang sudah dipaparkan

sebelumnya, akan terlihat awal mula Karman diterima kembali ke

lingkungan Pegaten, berawal dari keluarga yang dengan ramahnya

mengajak Karman tinggal bersama dengan sanak keluarga. Cerita

seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat Pegaten memiliki rasa

saling memaafkan, walaupun pada kenyataan zaman sekarang sangat

sulit memaafkan kesalahan orang lain yang sebelumnya dapat

merugikan masyarakat sekitar.

87

Penerimaan kembalinya Karman dari Pulau B, pada mulanya

terlihat ketika Karman menghadapi gejolak perasaan takut tidak

diterima kembali oleh lingkungannya, dan pada saat itu ia

memutuskan untuk pulang terlebih dahulu ke rumah saudara

sepupunya yaitu Gono. Hal seperti ini menandakan bahwa kesalahan

Karman telah dimaafkan oleh keluarganya sendiri.

Mas Karman, saudaraku, tinggallah bersama kami di sini.

Kau takkan menemukan apa-apa lagi di Pegaten. Rumahmu

habis dimusnahkan, tanahmu habis terjual. Dan, oalah Gusti,

Marni istrimu telah kawin lagi dan beranak pinak. Anakmu

yang terkecil meninggal. Mas Karman kau tak punya apa-apa

lagi di Pegaten. Kau tak punya apa-apa lagi.85

Kutipan di atas menggambarkan kepedulian Gono terhadap

Karman yang merupakan seorang bekas tahanan politik. Gono

merasa kasihan terhadap diri Karman yang sekarang sudah tidak

memiliki apa-apa lagi di Pegaten. Hal ini menunjukkan sikap Gono

sebagai masyarakat Pegaten yang memiliki rasa pemaaf serta peduli

terhadap seorang bekas tahanan.

Selain itu, Karman pun telah menyadari kesalahanya, hal ini

terdapat pula nilai sosial pada diri Karman ketika ia mengakui

kesalahannya terhadap orang lain yang dulu pernah menganggap

dirinya sebagai keluarga sendiri. Karman menyadari kesalahannya di

masa lalu, setelah ia kembali ke Pegaten ia meminta maaf kepada

masyarakat terutama terhadap Haji Bakir.

―Begitu Haji Bakir masuk ke rumah Bu Mantri itu,

Karman berlari menjemputnya, lalu menjatuhkan diri.

Dengan bertumpu kepada kedua lututnya, Karman memeluk

orang tua itu pada pinggangnya. Ia menangis seperti anak

kecil. Haji Bakir yang merasa tidak bisa berbuat apa-apa

membiarkan Karman memuaskan tangisnya.‖86

Kutipan di atas menggambarkan penyesalan Karman akan

kesalahannya terhadap Haji Bakir di masa lalu. Karman meminta

85

Ibid., h. 34 86

Ibid., h. 174

88

maaf terhadap Haji Bakir serta istrinya. Betapa menyesalnya Karman

sewaktu di masa lalu telah memusuhi orang yang selama ini telah

membantu kehidupan keluarganya. Ia memeluk kedua orang tua

tersebut sambil menangis seperti anak kecil.

Selain keluarga, terdapat pula bukti bahwa masyarakat

Pegaten telah memaafkan kesalahan Karman. Hal ini dapat

dibuktikan ketika Karman pulang ke rumah ibunya, banyak para

tetangga yang datang menjenguk Karman.

Di rumah orangtuanya, Karman sedang dirubung oleh para

tamu, tetangga-tetangga yang sudah amat lama ditinggalkan.

Ia merasa heran dan terharu, ternyata orang-orang Pegaten

tetap pada watak mereka yang asli. Ramah, bersudara, dan

yang penting gampang melupakan kesalahan orang lain.87

Kutipan di atas menunjukkan watak yang dimiliki oleh

masyarakat Pegaten. Ramah, bersaudara, dan gampang melupakan

kesalahan orang lain merupakan ciri-ciri sifat masyarakat Pegaten.

Watak inilah yang membuat Karman terharu setelah sekian lamanya

ia meninggalkan Pegaten, namun tidak ada perubahan pada diri

masyarakat Pegaten.

Selain itu, terdapat pula keyakinan masyarakat Pegaten yang

menilai Karman bertobat dengan sungguh-sungguh. Hal ini dapat

dilihat kembali pada bagian ketika ia di ajak bermusyawarah dan

dipercaya dalam pembuatan kubah serta mendapat pujian dari

masyarakat ketika melihat hasil kubah yang sudah terpampang di

atap mesjid Haji Bakir.

―Luar biasa bagusnya,‖ kata seseorang ketika kubah

mesjid hasil kerja Karman selesai dipasang menjadi puncak

bangunan mesjid.

―Beruntung,‖ sambung yang lain, ―kita mendapatkan

Karman kembali. Kalau tidak, niscaya kita tidak bisa

bersembahyang di dalam mesjid sebagus ini.‖88

87

Ibid., h. 173 88

Ibid., h. 189

89

Nilai sosial yang terkandung di dalamnya yaitu, rasa pemaaf

masyarakat Pegaten terhadap kesalahan Karman di masa lalu,

mereka tidak menaruh dendam kepada Karman.

Kesimpulan dari analisis ini menunjukkan jiwa pemaaf

masyarakat Pegaten sangat berarti bagi diri Karman. Masyarakat

Pegaten memaafkan kesalahan Karman ditunjukkan dengan cara ia

diterima kembali tinggal di Pegaten. Selain itu, Karman dipercaya

untuk membuat kubah mesjid Haji Bakir.

f. Kasih Sayang

Kasih sayang pada novel ini dilihat dari tokoh Haji Bakir

yang sangat menyayangi anak yatim, salah satunya yaitu Karman.

Karman yang telah ditinggal oleh ayahnya sejak kecil, tetapi ia

mendapatkan kasih sayang oleh keluarga Haji Bakir. Haji Bakir telah

menganggap Karman sebagai keluarga sendiri bukan sebagai

pembantu rumah tangga di rumahnya.

Ternyata keluarga Haji Bakir tidak pernah memperlakukan

Karman sebagai pembantu rumah tangga yang sebenarnya.

Anak itu diberi kesempatan menamatkan pendidikannya di

sekolah rakyat yang sudah dua tahun ditinggalkannya.

Pekerjaan yang diberikan kepada Karman adalah pekerjaan

sederhana yang bisa diselesaikan oleh anak seusianya.89

Kutipan di atas menggambarkan sosok Haji Bakir yang

memberikan kasih sayangnya terhadap Karman dengan cara

menganggap Karman sebagi keluarganya. Selain itu, Haji Bakir

memberikan pekerjaan yang dapat diselesaikan oleh anak seusia

Karman, ia tidak memberatkan Karman dalam masalah pekerjaan.

Haji Bakir membiarkan Karman melanjutkan sekolahnya yang sudah

dua tahun terputus.

Sikap Haji Bakir inilah menunjukkan nilai sosial yang

terdapat dalam novel Kubah, yaitu menyayangi anak yatim. Haji

89

Ibid., h. 60

90

Bakir merupakan warga dari desa Pegaten. Kembali ke latarbelakang

Ahmad Tohari yang bernafaskan islami. Tokoh Haji Bakir

digambarkan sebagai sosok manusia yang berlatarkan Islam sebagai

pedoman hidupnya. Islam mengajarkan umatnya agar tidak

menghardik anak yatim.

Rasa kasih sayang dalam novel ini, di tunjukkan pula pada

tokoh Hasyim, yaitu paman Karman yang merupakan adik dari

ibunya. Hasyim sangat kasihan melihat penderitaan hidup kakaknya

itu. Pada akhirnya hasyim membantu kakaknya, yaitu Bu Mantri

memberikan modal untuk berdagang nasi rames. Selain memberikan

modal, Hasyim berniat untuk menyekolahkan keponakannya itu.

Dan karena kasihan melihat kehidupan Bu Mantri, Hasyim

memberi kakaknya itu modal buat berdagang nasi rames.

Hasyim juga pergi menemui Haji Bakir untuk berbicara

tentang Karman. kemenakannya ini diminta kembali ke

rumah orang tuanya karena akan di sekolahkan ke tingkat

lanjutan.90

Kutipan di atas menunjukkan kasih sayang yang dimiliki

Hasyim terhadap keluarganya. Hasyim tidak hanya sekedar

menganggap Karman sebagai keponakan, melainkan menganggap

Karman sebagai anaknya sendiri. Rasa kasih sayang yang diberikan

terhadap Bu Mantri, yakni kakaknya sendiri di tunjukkan dengan

memberinya modal untuk berdagang nasi rames. Selain itu, kasih

sayang terhadap Karman di gambarkan dengan menyekolahkannya

ke tingkat yang lebih tinggi.

Kasih sayang yang Karman terima tidak hanya dari orang-

orang terdekat saja, melainkan dari masyarakat pun ia mendapatkan

kasih sayang. Hal ini terbukti ketika ia pulang dari pengasingan,

masyarakat Pegaten tidak menaruh dendam sedikitpun terhadap

dirinya. Walaupun secara logika kesalahan tersebut sangat sulit

untuk dimaafkan dalam kehidupan zaman sekarang ini.

90

Ibid., h. 74

91

Ia merasa heran dan terharu, ternyata orang-orang

Pegaten tetap pada watak mereka yang asli. Ramah,

bersaudara, dan yang penting; gampang melupakan kesalahan

kesalahan orang lain. Padahal yang sangat dikhawatirkan

oleh Karman adalah sikap membenci dan dendam yang

mungkin diterimanya begitu ia muncul kembali di Pegaten.91

Kutipan di atas menggambarkan betapa beruntung menjadi

diri Karman yang merupakan bagian dari masyarakat Pegaten. Ia

tinggal di lingkungan yang sangat menyayangi dirinya walaupun

dirinya pernah melakukan kesalahan di masa lalu. Setelah

kepulangannya dari pengasingan, banyak warga yang menengok

Karman ke rumah Bu Mantri. Hal ini menunjukkan bahwa sikap

masyarakat Pegaten selain pemaaf, tetapi memiliki sikap kasih

sayang dan peduli antar sesama tanpa memikirkan dendam di masa

lalu.

Berdasarkan analisis nilai sosial bagian kasih sayang, dapat

disimpulkan bahwa rasa kasih sayang dalam novel ini ditunjukkan

pada keluarga Haji Bakir yang tidak pernah menganggap Karman

sebagai pembantu rumah tangga, melainkan menganggapnya sebagai

keluarga sendiri. Selain Haji Bakir, rasa kasih sayang ini ditunjukkan

pada tokoh pamannya Karman, yaitu Hasyim, yang ingin

menyekolahkan Karman ke tingkat lanjutan. Paman Hasyim

menganggap Karman sebagai anaknya sendiri.

g. Tanggung Jawab

Pada novel Kubah terdapat sosok manusia yang bertanggung

jawab untuk dirinya sendiri sebagai suami, anak, maupun seorang

pekerja. Berikut kutipan manusia yang bertanggung jawab sebagai

seorang suami.

91

Ibid., h. 173

92

―Ah suami muda itu masuk kembali ke rumah dan keluar lagi

dengan sebuah golok di tangan. Tanpa pikir macam-macam,

pohon yang tak seberapa besar itu ditebangnya. Tumbang.‖92

Kutipan di atas menceritakan Karman sebagai seorang suami

bertanggung jawab kepada istrinya yang sedang ngidam. Ketika istrinya

mengidam ingin makan buah kedondong, maka Karman mencari akal

bagaimana ia harus mendapatkan kedndong dari pohonnya, pada

akhirnya Karman pun mengambil cara untuk menebang pohon tersebut,

karena ia tidak bisa memanjat pohon. Hal ini membuktikan rasa

tanggung jawab yang tinggi terhadap dirinya sendiri sebagai suami.

Masih menceritakan tokoh utama yang bertanggung jawab

terhadap dirinya sendiri sebagai seorang anak. Hal ini dapat dilihat

kembali pada analisis penokohan yang telah dipaparkan sebelumnya.

Terbukti bahwa Karman merupakan anak yang memiliki rasa tanggung

jawab terhadap ibu serta adiknya, sewaktu kecil ia hidup menderita

setelah sepeninggalan ayahnya pada zaman Jepang. Hanya Karmanlah

yang bisa diandalkan oleh keluarganya, karena kakaknya pun sudah

meninggal.

―Maka Karman yang masih bocah biasa mengumpulkan

singkong dari ladang orang dan dibawa pulang sebagai bahan

makanan. Singkong direbus, ditanak, atau malah singkong

cukup dibenam dalam api sampai empuk. Semuanya cukup buat

mengganjal perut Karman bersama ibu dan adiknya.‖93

Kutipan di atas menggambarkan betapa pahitnya kehidupan

Karman sewaktu kecil. Usia masih kecil harus memikirkan makan

sehari-hari untuk ibu dan adiknya. Hal ini membuktikan bahwa nilai

yang terkandung di dalamnya yaitu, walaupun usia masih dini tidak

harus bergantung kepada orang tua, tetapi berusaha belajar mandiri dan

bisa bertanggung jawab kepada diri sendiri sebagai anak.

92

Ibiid., h. 52 93

Ibid., h. 57

93

Selain itu, dalam novel Kubah menggambarkan sosok Karman

yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri dengan melanjutkan

sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Hidup di tengah-tengah

masyarakat yang tertinggal jauh dalam hal pendidikan, namun itu

semua tidak menjadi halangan Karman dalam semangatnya untuk

melanjutkan sekolah.

―Karman merasa menjadi anak yang paling berbahagia di

dunia. Pada permulaan tahun ajaran baaru tahun 1950, Karman

sudah menjadi seorang murid SMP di sebuah kota kabupaten

yang terdekat. Karman menjadi anak Pegaten pertama yang

menempuh pendidikan sampai ke tingkat menengah.‖94

Kutipan di atas menggambarkan kegembiraan Karman, karena

bisa melanjutkan sekolah SMP. Karman merupakan seorang anak dari

desa Pegaten yang bisa melanjutkan sekolah ketimbang teman-teman di

sekitarnya. Nilai sosial yang terkandung yaitu, kesadaran Karman

sebagai anak berkewajiban untuk melanjutkan sekolah. Selain itu, jiwa

Karman dalam semangatnya untuk sekolah dan menghargai pamannya

yang telah membiayainya sekolah. Karman menyadari bahwa sekolah

akan membantunya menjadi lebih baik lagi untuk masa depannya.

2. Hasil Penemuan Nilai Sosial dalam Novel Kubah

Setelah melakukan analisis isi yang berkaitan dengan nilai sosial

dalam novel Kubah, dapat dibuat tabel untuk mempermudah

memperoleh hasil penghitungan nilai sosial yang paling dominan

dicantumkan oleh pengarang dalam karyanya:

No. Kategori Teks Novel Jumlah

1. Agama 1. ―Leher kubah dihiasi kaligrafi dengan

teralis. Empat ayat terakhir dari surat

Al-Fajr terbaca di sana: Hai jiwa yang

teduh dan tentram, kembalikan engkau

4

94

Ibid., h. 74

94

kepada-Ku. Maka masuklah barisan

hamba-hamba-Ku dan temuilah

kedamaian abadi Surga-Ku.” (Toh,

1995: 189)

2. “Yah dengarlah apa yang kumaksud

dengan syarat itu. Untuk mendasari

upaya penyembuhan jiwamu kau harus

memulai dari kepercayaan. Ya

kepercayaan.‖ (Toh, 1995: 25)

3. ―Demikianlah sumur mesjid itu selalu

ramai oleh gurau anak-anak selagi fajar

merekah di timur. Hiruk-pikuk baru

berakhir apabila sembahyang subuh

sudah dimulai. Dan ketika jamaah yang

tua-tua masih berzikir sehabis

sembahyang, anak-anak sudah bubar

berhambura. Mereka kembali ke rumah

masing-masing dengan gurauan yang

gembira.‖ (Toh, 1995: 64)

4. ―Dalam kesadaran ketika bayangan

regu tembak sudah muncul di depan

mata, Karman merasa sangat iri

terhadap Kastagethek dengan segala

perilakunya yang amat tenang,

mengalir, dan pasrah. Karman dapat

memastikan bahwa ketenangan hidup

Kastagethek berkaitan dengan

shalatnya, dengan zikirnya, dengan

tasbihnya. ―Ah, ketiga ritus itu telah

lama kuingkari dan kucampakkan.‖

(Toh, 1995: 152)

95

2. Musyawarah 1. ―Para jamaah sepakat hendak memugar

mesjid itu. Pikiran demikian makin

mendesak karena jumlah jamaah terus

bertambah banyak.

Tanpa membentuk sebuah panitia,

pekerjaan itu dimulai. Semua orang

mendapat bagian menurut kecakapan

masing-masing.‖ (Toh, 1995: 187)

2. ―Karman memberanikan diri meminta

bagiaannya. Ia menyanggupi membuat

kubah yang baru bila tersedia bahan

dan perkakasnya. Ketika tinggal dalam

pengasingan Karman pernah belajar

mematri dan mengelas. Keinginan

Karman mendapat sambutan.‖ (Toh,

1995: 187)

3. ―Tengah malam perundingan itu

berakhir. Semua pihak bangkit dari

tempat duduk dengan rasa lega dan

puas. Sebelum meninggalkan rumah Bu

Mantri, Ibu Haji Bakir menyerahkan

kain kebaya untuk diberikan kepada

Tini sebagai tanda pengikat. Telah

disepakati pula hari dan bulan untuk

melaksanakan perkawinan antara Tini

dan Jabir.‖ (Toh, 1995: 185)

3

3. Gotong Royong 1. ―Hampir musim panen. Anak-anak di

Pegaten mulai meniup-niup puput. Di

pagi hari burung-burung gelatik dan

murai terbang berkelompok-kelompok

menuju sawah. Musim panen baik.

3

96

Orang-orang yang tidak mempunyai

sawah ikut senang. Mereka ikut

menuai. Dari hasil tuaian itu mereka

berhak atas sepertujuh atau

seperdelapan bagian. Selebihnya

menjadi hak pemilik sawah.‖ (Toh,

1995: 63)

2. ―Tak pantas pada waktu panen seperti

ini ibuku tak punya beras. Sebaiknya

aku ikut menuai padi agar ibuku sempat

merasakan nasi yang empuk.‖ (Toh,

1995: 63)

3. ―Karman sungguh-sungguh telah

berbaur kembali dengan tiap gerak

kehidupan di Pegaten. Ia tampak pada

tiap kenduri yang diadakan orang, ia

ikut kerja bakti membersihkan saluran

irigasi yang sudah dibangun di desa itu.

Dan Karman merasa bangga sekali

ketika ia diberi kesempatan

memperbaiki sumur mesjid Haji Bakir.‖

(Toh, 1995: 179)

4. Tolong Menolong 1. ―Ketika sampai tujuan, hal pertama

yang dilakukannya adalah menyapu

tubuh bayi kinah dengan kain. Karman

tahu bayi itu masih kelenger. Kulitnya

yang sudah membiru tampak bentol-

bentol. Karman panik. Tetapi Karman

inget di sekolah ia pernah lihat gurunya

melakukan gerakan membuat napas

buatan. Karman mencoba menirukan

5

97

gurunya dan berhasil. Bayi Kinah bisa

mengembalikan napas lalu kembali

menjerit.‖ (Toh, 1995: 71)

2. ―Diam-diam Bu Haji Bakir

memperhatikan Karman dan adiknya.

Kedua anak yatim itu makan dengan

sangat lahap. Mungkin mereka sudah

beberapa bulan hanya bertemu

singkong dan kini mereka menghadapi

sepiring nasi.‖ (Toh, 1995: 59)

3. ―Selalu ada pekerjaan kecil-kecilan

yang bisa dikerjakan Karman sementara

anak itu momong adiknya. Dengan

memberi pekerjaan kecil, Bu Haji

bermaksud mendidik Karman bekerja

sehingga ia tidak terbiasa bergantung

kepada pemberian orang.‖ (Toh, 1995:

59)

4. ―Karman maju melindungi Rifah yang

menjerit dengan muka biru. Kedua

tanduk binatang itu ditangkapnya.

Karena tenaganya kalah kuat Karman

terayun-ayun oleh empasan binatang

yang marah itu.‖ (Toh, 1995: 62)

5. ―......Bahkan dengan menyanggupi

pekerjaan itu ia hanya ingin memberi

jasa. Bagaimana juga sepulang dari

pengasingan ia merasa ada yang hilang

pada dirinya. Ia ingin memperoleh

kembali bagian yang hilang itu. Bila ia

mendapat memberi sebuah kubah yang

98

bagus kepada orang-orang Pegaten, ia

berharap akan memperoleh apa yang

hilang itu.‖ (Toh, 1995: 188)

5. Saling Memaafkan 1. ―Mas Karman, saudaraku, tinggallah

bersama kami di sini. Kau takkan

menemukan apa-apa lagi di Pegaten.

Rumahmu habis dimusnahkan, tanahmu

habis terjual. Dan, oalah Gusti, Marni

istrimu telah kawin lagi dan beranak

pinak. Anakmu yang terkecil

meninggal. Mas Karman kau tak punya

apa-apa lagi di Pegaten. Kau tak punya

apa-apa lagi.‖ (Toh, 1995: 34)

2. ―Di rumah orangtuanya, Karman

sedang dirubung oleh para tamu,

tetangga-tetangga yang sudah amat

lama ditinggalkan. Ia merasa heran dan

terharu, ternyata orang-orang Pegaten

tetap pada watak mereka yang asli.

Ramah, bersudara, dan yang penting

gampang melupakan kesalahan orang

lain.― (Toh, 1995: 173)

3. ―Luar biasa bagusnya,‖ kata seseorang

ketika kubah mesjid hasil kerja Karman

selesai dipasang menjadi puncak

bangunan mesjid.

―Beruntung,‖ sambung yang lain, ―kita

mendapatkan Karman kembali. Kalau

tidak, niscaya kita tidak bisa

bersembahyang di dalam mesjid

sebagus ini.‖ (Toh, 1995: 189)

4

99

4. ―Begitu Haji Bakir masuk ke rumah Bu

Mantri itu, Karman berlari

menjemputnya, lalu menjatuhkan diri.

Dengan bertumpu kepada kedua

lututnya, Karman memeluk orang tua

itu pada pinggangnya. Ia menangis

seperti anak kecil. Haji Bakir yang

merasa tidak bisa berbuat apa-apa

membiarkan Karman memuaskan

tangisnya.‖ (Toh, 1995: 174)

6. Kasih Sayang 1. ―Ternyata keluarga Haji Bakir tidak

pernah memperlakukan Karman

sebagai pembantu rumah tangga yang

sebenarnya. Anak itu diberi kesempatan

menamatkan pendidikannya di sekolah

rakyat yang sudah dua tahun

ditinggalkannya. Pekerjaan yang

diberikan kepada Karman adalah

pekerjaan sederhana yang bisa

diselesaikan oleh anak seusianya.‖

(Toh, 1995: 60)

2. ―Dan karena kasihan melihat kehidupan

Bu Mantri, Hasyim memberi kakaknya

itu modal buat berdagang nasi rames.

Hasyim juga pergi menemui Haji Bakir

untuk berbicara tentang Karman.

kemenakannya ini diminta kembali ke

rumah orang tuanya karena akan di

sekolahkan ke tingkat lanjutan.‖ (Toh,

1995: 74)

3. ―Ia merasa heran dan terharu, ternyata

orang-orang Pegaten tetap pada watak

3

100

mereka yang asli. Ramah, bersaudara,

dan yang penting; gampang melupakan

kesalahan kesalahan orang lain. Padahal

yang sangat dikhawatirkan oleh

Karman adalah sikap membenci dan

dendam yang mungkin diterimanya

begitu ia muncul kembali di Pegaten.‖

(Toh, 1995: 173)

7. Tanggung Jawab 1. ―Ah suami muda itu masuk kembali ke

rumah dan keluar lagi dengan sebuah

golok di tangan. Tanpa pikir macam-

macam, pohon yang tak seberapa besar

itu ditebangnya. Tumbang.‖ (Toh,

1995: 52)

2. ―Maka Karman yang masih bocah biasa

mengumpulkan singkong dari ladang

orang dan dibawa pulang sebagai bahan

makanan. Singkong direbus, ditanak,

atau malah singkong cukup dibenam

dalam api sampai empuk. Semuanya

cukup buat mengganjal perut Karman

bersama ibu dan adiknya.‖ (Toh, 1995:

57)

3. ―Karman merasa menjadi anak yang

paling berbahagia di dunia. Pada

permulaan tahun ajaran baaru tahun

1950, Karman sudah menjadi seorang

murid SMP di sebuah kota kabupaten

yang terdekat. Karman menjadi anak

Pegaten pertama yang menempuh

pendidikan sampai ke tingkat

menengah.‖ (Toh, 1995: 74)

3

101

Bila dilihat dari tabel di atas, terlihat jelas bahwa nilai sosial yang

paling dominan pada penelitian ini yaitu sikap tolong menolong masyarakat

Pegaten. Selain itu, sikap tolong menolong ini merupakan ciri khas yang

biasa dimiliki oleh masyarakat pedesaan apalagi dalam kehidupan

bertetangga. Pada intinya manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan

orang lain di sekitarnya. Dari hasil analisis ini pula terlihat jelas bahwa

Ahmad Tohari sebagai pengarang novel Kubah ini merupakan seorang

sastrawan yang tidak terlepas dari alam pedesaan serta menggambarkan

watak masyarakat pedesaan dalam karyanya.

C. Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Pada umumnya pelajaran bahasa Indonesia di sekolah SMA memiliki

satu materi ajar yang berkaitan dengan apresiasi sastra. Apresiasi sastra di

sekolah berkaitan dengan pengkajian terhadap sastra berupa puisi, prosa, dan

drama. Salah satunya yaitu novel yang merupakan bagian dari prosa. Selama

ini pengkajian terhadap novel yang dilakukan di sekolah hanya membahas

bagian-bagian tertentu saja.

Pada hakikatnya pembelajaran apresiasi sastra ialah memperkenalkan

kepada siswa tentang nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra.

Siswa diajak untuk menghayati pengalaman-pengalaman yang tergambar di

dalam karya sastra. Pembelajaran apresiasi sastra bertujuan mengembangkan

kepekaan siswa terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra. Nilai

tersebut misalnya nilai sosial yang terefleksi dalam sebuah karya sastra.

Pembahasan mengenai novel Kubah ini berkaitan dengan pengajaran

sastra di sekolah SMA, yakni, terdapat di kurikulum 2013 dengan kompetensi

dasar yaitu Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, tanggung jawab dalam

penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan hasil analisis

teks novel serta memahami struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan

maupun tulisan.

Pada analisis terhadap struktur novel dapat dijadikan bahan ajar untuk

kompetensi dasar yang berkaitan dengan pemahaman serta pengetahuan dan

102

penerapannya. Pemahaman tersebut mengenai keterkaitan antarunsur dalam

novel ini dapat memberikan pengetahuan kepada siswa mengenai analisis

struktur novel secara lebih mendalam. Melalui analisis keterkaitan antarunsur

dalam novel, siswa diarahkan untuk membaca lebih teliti agar mempermudah

menemukan bagian unsur intrinsik di dalamnya. Siswa harus berpikir secara

kritis ketika menganalisis makna yang terkandung dalam novel. Proses

mencari keterkaitan antarunsur dalam novel, siswa harus mampu

menghubungkan setiap unsur cerita yang telah dianalisisnya sehingga cerita

dapat diterima secara baik.

Kaitan dengan pengajaran sastra di sekolah guru perlu memahami

bahwa tujuan pengajaran sastra di sekolah di arahkan pada aspek kognitif

(pengetahuan), afektif (sikap), psikomotorik (keterampilan). Ranah kognitif

dalam pembelajaran sastra ini, yaitu, respons yang diberikan peserta didik

dalam bentuk pemahaman setelah membaca sebuah karya sastra. Selanjutnya

guru dapat menilai pemahaman siswa dengan cara mengetahui pengetahuan

yang diperoleh setelah membaca. Ranah afektif dalam pembelajaran sastra

terkait dengan perubahan sikap siswa terhadap karya sastra yang telah

dibacanya. Dalam ranah ini, guru diharuskan memperhatikan peserta didik

setelah membaca karya sastra, apakah peserta didik merasa antusias dalam

karya yang dibacanya atau tidak, apakah peserta didik mengalami perubahan

setelah membaca karya sastra. Selanjutnya, ranah psikomotorik terkait dengan

keterampilan peserta didik setelah diberikan penerapan nilai-nilai yang

terdapat dalam karya sastra pada kehidupan sehari-hari.

Lewat karya sastra seperti novel Kubah ini, diharapkan siswa

mempunyai pengetahuan berkenaan dengan nilai sosial dan menumbuhkan

kreativitas dan minat siswa untuk belajar sastra, serta mampu

mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai sosial. Nilai sosial dalam

novel Kubah ini sangat penting untuk diteladani oleh siswa dikehidupannya

sehari-hari. Nilai sosial tersebut salah satunya yaitu, sifat saling memaafkan

yang dimiliki oleh masyarakat Pegaten. Pada dasarnya, siapapun yang

melakukan kesalahan maka ia wajib untuk meminta maaf, dan sebaliknya

103

sebagai orang yang merasa dirinya menjadi korban, maka ia wajib untuk

memaafkannya. Betapa mulianya hati mereka yang dengan mudahnya

memaafkan seorang bekas tahanan politik. Jiwa solidaritas yang tinggi

membuat mereka datang ke rumah orang tua Karman hanya sekedar ingin

melihat keadaan Karman setelah sekian lama mendekap di tahanan. Sikap

seperti inilah yang mesti ditanamkan untuk semua orang terutama terhadap

pelajar.

104

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap novel Kubah karya

Ahmad Tohari, maka penulis dapat menyimpulkan hal sebagai berikut:

1. Peneliti menganalisis unsur intrinsik yang meliputi:

Tema yang terkandung di dalamnya yaitu insyafnya seorang bekas

tahanan politik. Alur dalam novel Kubah ini merupakan alur campuran.

Tokoh utama dalam novel Kubah ini yaitu, tokoh Karman. Tokoh

tambahan, diantaranya: Haji Bakir, Rif’ah, Marni, Margo, Triman, Parta,

Kastaghetek, Kapten Somad. Latar yang dipakai dalam novel Kubah ini,

diantaranya: latar tempat, latar waktu, latar suasana, dan latar sosial. Sudut

pandang dalam novel Kubah ini menggunakan orang ketiga dia maha tahu.

Gaya bahasa yang digunakan Ahmad Tohari antara lain mengunakan

majas hiperbola, personifikasi, dan klimaks.

2. Nilai sosial dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari berkaitan dengan

kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat Pegaten. Nilai sosial tersebut,

yaitu, Hubungan manusia dengan masyarakat yang digambarkan ketika

seseorang berguna bagi lingkungannya, nilai sosial ini, diantaranya:

agama, musyawarah, gotong-royong, tolong-menolong, saling memaafkan,

kasih sayang, tanggung jawab.

3. Implikasi

Pembahasan mengenai novel Kubah ini berkaitan dengan

pengajaran sastra di sekolah SMA, yakni, terdapat di kurikulum 2013

dengan kompetensi dasar yaitu Menunjukkan perilaku jujur, peduli,

santun, tanggung jawab dalam penggunaan bahasa Indonesia untuk

memahami dan menyajikan hasil analisis teks novel serta memahami

struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun tulisan.

105

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan perlunya pemahaman terhadap

nilai-nilai sastra yang bermanfaat bagi kehidupan. Agar seni sastra, khususnya

apresiasi novel dapat bermanfaat dan digemari oleh semua pihak, perlu dilakukan

apresiasi karya sastra. Hal itu karena karya sastra banyak mengandung ajaran

moral, kesadaran akan pengalaman hidup. Selain itu, sebagai pendidik sebaiknya

mengajarkan kepada peserta didik agar mengaplikasikan nilai-nilai yang

terkandung di dalam karya sastra. Ketika proses belajar mengajar, hendaknya guru

bidang studi Bahasa Indonesia memilih karya sastra yang tepat. Salah satunya

karya sastra yang baik untuk dikaji yaitu, novel Kubah. Hal ini, dikarenakan

dalam novel Kubah terkandung nilai sosial yang mengajarkan bagaimana manusia

berhubungan dengan Tuhan, manusia berhubungan dengan masyarakat, manusia

berhubungan dengan dirinya sendiri.

106

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. tt.p: Sinar Baru, t.t.

Aziez, Furqonul., and Hasim, Abdul. Menganalisis Fiksi. Bogor: Ghalia

Indonesia, Cet. 1, 2010.

Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:

PPPB Depdikbud, 1978.

Darma, Budi. Pengantar Teori Sastra. jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. 2004.

Fananie, Zainuddin. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press,

Cet. 2, 2001.

Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-

modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Jabrohim. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012.

Junus, Umar. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia, 1985.

K.S., AHMAD TOHARI Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo. 2003.

___________, Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo. 2009.

Likumahua, Nico A. Sastra Suatu Sarana Pendidikan Informal. Salatiga: Widya

Sari Press. 2001.

Mustari, Mohamad. Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter.

Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. 2011.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian fiksi. Yogyakarta:Gajah Mada Press.

2000.

Pradopo, Sri Widati, dkk. Struktur Cerita Rekaan Jawa Modern Berlatar Perang.

Jakarta: Depdikbud, Cet. 1, 1988.

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra (Pegangan Guru Pengajar Sastra).

Yogyakarta: Kanisius. 1989.

107

Santosa, Wijaya Heru., and Wahyuningtyas, Sri. Pengantar Apresiasi Prosa.

Surakarta: Yuma Pressindo, Cet. 1, 2010.

Saputra, Wahyu. “ Nilai-Nilai Sosial Dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya

Pramoedya Ananta Toer”, Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia FBS Universitas Negeri Padang, Padang, 2012, tidak

dipublikasikan.

Sarumpaet, Riris K. Toha. Sastra Masuk Sekolah. Magelang: Indonesia Tera

Anggota IKAPI, 2002.

Semi, M. Attar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008.

Sumaatmadja, Nursid. Manusia Dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan

Hidup. Bandung: CV. Alfabeta, Cet. 1, 1996.

Syahrial, Resensi Potret-Potret Ahmad. Jakarta: PDS H.B. Jassin, 1989.

Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. 2009.

Tohari, Ahmad. Kubah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet. 1, 1995.

Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 1993.

Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung:

UPI PRESS, 2006.

Wijaya dan Sri Wahyuningtyas. Pengantar Apresiasi Prosa. Surakarta: Yuma

Pustaka, 2010.

WS, Hasanuddin. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. 2009.

Wulan, Diah Windu. “Aspek Keberagamaan Dengan Analisis Kata Hati Tokoh

Utama Dalam Novel Atheis Dan Novel Kubah Serta Implikasinya Dalam

Pembelajaran Sastra Di SMA”, skripsi pada Uiversitas Negri Jakarta,

Jakarta, 2004.

Anonim. Achmad Tohari Novelis dari Desa Tinggarjaya. Jakarta: Yudha

Minggu, 1984.

108

_______. Ahmad Tohari. Jakarta: Mutiara, 1985.

_______. Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Eksponen, 1986.

_______. Sang ‘Punokawan’ yang Holistik dari Tinggarjaya. Jakarta: Media

Indonesia, 1994.

_______. Ahmad Tohari Menatap Kota dengan Kacamata Wong Cilik. Jakarta:

Mingguan Koran Tempo, 2002.

_______. Ahmad Tohari: Memangku Ronggeng. Jakarta: Majalah Editor, 1989.

_______. Gugatan Gaya Jawa Lebih Arif untuk Zaman Sekarang. Jakarta: Suara

Pembaruan, 1988.

_______. Aspek Filosofis dalam Novel Kubah Ahmad Tohari. Jakarta: Berita

Buana, 1985.

_______. Sastra Religius Ahmad Tohari dalam Ideologi Islam. Jakarta: Harian

Republika, 2003.

Carapedia, Pengertian dan Definisi Sosial Menurut Para Ahli, 2013,

(http://Pengertian dan Definisi Sosial Menurut Para Ahli - Ilmu

Pengetahuan - CARApedia.htm). diakses pada 19 September 2013.

“Pengertian Sosial”, 2013, (http://SOSIAL pengertian sosial.htm). diakses pada

19 September 2013.

LAMPIRAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

Satuan Pendidikan : SMA

Kelas/Semester : XII/2

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia

Topik : Komunikasi dalam Kehidupan

Alokasi Waktu : 2 jam pelajaran

A. Kompetensi Inti

1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.

2. Menghayati dan mengamalkan perlaku jujur, disiplin, tanggung jawab,

peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan

proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai

permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial

dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam

pergaulan dunia.

3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual,

prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,

teknologi, seni, budaya dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,

kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian,

serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang

spesifik sesuai dengan bakat dan mintanya untuk memecahkan masalah.

4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak

terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara

mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.

B. Kompetensi Dasar

1. Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, tanggung jawab dalam

penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan hasil

analisis teks novel.

2. Memahami struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun

tulisan.

3. Mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra.

C. Indikator

1. Memiliki sikap tanggung jawab peduli, responsif, dan santun dalam

menggunakan bahasa Indonesia untuk menganalisis teks novel baik melalui

lisan maupun tulisan.

2. Menganalisis struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun

tulisan.

3. Mampu mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra.

E. Tujuan Pembelajaran

1. Setelah proses pembelajaran siswa memiliki sikap tanggung jawab, peduli,

responsif, dan santun dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk

menganalisis novel baik melalui lisan maupun tulisan.

2. Siswa mampu menganalisis struktur teks novel dalam bahasa Indonesia

secara lisan maupun tulisan.

3. Siswa mampu mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya

sastra.

1. Materi Pembelajaran

1. Penjelasan mengenai struktur teks novel

Tema

Tokoh dan Penokohan

Alur

Latar tempat, waktu, suasana, dan sosial.

Sudut pandang dan penyudutpandangan.

Gaya bahasa

2. Interpretasi makna teks novel

Membaca teks novel

Menulis hasil analisis teks novel

Menyampaikan hasil analisis teks novel secara lisan.

2. Alokasi waktu

2 x 45 Menit

3. Strategi/Metode/Pendekatan Pembelajaran

Metode: eksplorasi, elaborasi, konfirmasi.

4. Kegiatan Pembelajaran

KEGIATAN DESKRIPSI KEGIATAN ALOKASI

WAKTU

Pendahuluan 1. Siswa merespon salam dan

pertanyaan dari guru berhubungan

dengan kondisi dan pembelajaran

sebelumnya.

2. Siswa menerima informasi tentang

keterkaitan pembelajaran sebelumnya

dengan pembelajaran yang akan

dilaksanakan.

3. Siswa menerima informasi

kompetensi, materi, tujuan, dan

langkah pembelajaran yang akan

dilaksanakan.

15

Inti

Mengamati:

Membaca teks tentang struktur dan

kaidah teks novel.

Mencermati uraian yang berkaitan

dengan struktur dan kaidah teks

novel.

Mempertanyakan

Tanya jawab tentang hal-hal yang

berhubungan dengan isi bacaan.

Mengeksplorasi:

Mencari dari berbagai sumber

informasi tentang struktur dan

kaidah teks novel.

Mengasosiasikan:

Mendiskusikan tentang struktur dan

kaidah teks novel.

Menyimpulkan hal-hal terpenting

60

dalam struktur dan kaidah teks

novel.

Mengomunikasikan:

Menuliskan laporan kerja kelompok

tentang struktur dan kaidah teks

novel.

Membacakan hasil kerja kelompok

di depan. kelas, dan siswa lain

memberikan tanggapan.

Menginterpretasi makna teks novel

baik secara lisan maupun tulisan.

Kegiatan Penutup Siswa bersama guru menyimpulkan

pembelajaran

Siswa melakukan refleksi terhadap

kegiatan yang sudah dilakukan.

Siswa dan guru merencanakan tindak

lanjut pembelajaran untuk pertemuan

selanjutnya.

15

5. Sumber/Media Pembelajaran

a. Sumber : Buku teks bahasa Indonesia SMA Kelas XII.

Buku referensi lain yang menunjang materi struktur dan

kaidah teks novel.

Novel Kubah karya Ahmad Tohari.

b. Media : Teks novel.

6. Penilaian Proses dan Hasil Belajar

Indikator Pencapaian Kompetensi Teknik Penilaian Bentuk Instrumen

a. Menggunakan bahasa Indonesia

sesuai dengan kaidah dan konteks

untuk mempersatukan bangsa.

Penilaian Observasi Lembar penilaian

sikap

b. Memiliki sikap tanggung jawab

peduli, responsif, dan santun dalam

menggunakan bahasa Indonesia

untuk menganalisis teks novel

melalui lisan maupun tulisan

dengan kreatif.

c. Menganalisis struktur dan kaidah

teks novel dalam bahasa bahasa

1. Penilaian Observasi

kinerja penulisan

laporan.

1. Tes tertulis.

Indonesia baik secara lisan maupun

tulisan.

d. Mengembangkan sikap apresiatif

dalam menghayati karya sastra.

1. Latihan

menginterpretasi

makna teks novel.

1. Lembaran

tugas latihan.

7. Pedoman Penskoran

1. Jelaskan tema dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya!

No Nama Kelompok Aspek Skor

Tepat dan disertai kutipan. 5

Tepat dan tidak disertai kutipan. 4

Kurang tepat dan disertai kutipan. 3

Kurang tepat dan tidak disertai

kutipan.

2

2. Jelaskan tokoh dan penokohan dalam teks novel dengan menyertakan

kutipannya!

No. Nama Kelompok Aspek Skor

Tepat dan disertai kutipan. 5

Tepat dan tidak disertai kutipan. 4

Kurang tepat dan disertai kutipan. 3

Kurang tepat dan tidak disertai

kutipan.

2

3. Jelaskan bagaimana alur dalam teks novel dengan menyertakan

kutipannya!

No. Nama kelompok Aspek Skor

Tepat dan disertai kutipan 5

Tepat dan tidak disertai kutipan 4

Kurang tepat dan disertai kutipan 3

Kurang tepat dan tidak disertai

kutipan

2

4. Jelaskan macam-macam latar dalam teks novel dengan menyertakan

kutipannya!

No. Nama kelompok Aspek Skor

Tepat dan disertai kutipan 5

Tepat dan tidak disertai kutipan. 4

Kurang tepat dan disertai kutipan. 3

Kurang tepat dan tidak disertai

kutipan.

2

5. Jelaskan bagaimana sudut pandang dan penyudutpandangan dalam teks

novel dengan menyertakan kutipannya!.

No. Nama kelompok Aspek Skor

Tepat dan disertai kutipan. 5

Tepat dan tidak disertai kutipan. 4

Kurang tepat dan disertai kutipan. 3

Kurang tepat dan tidak disertai

kutipan.

2

Jakarta, 15 April 2014

Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia

BIOGRAFI PENULIS

Siti Humaeroh Miladiyah, atau biasa

dipanggil Mila. Dia adalah anak pertama dari tiga

bersaudara, lahir di Tangerang, 29 September 1990

dari pasangan Bapak Nasruddin dan Ibu Sopiah. Gadis

berzodiak Libra ini menuntaskan pendidikan dasarnya

di SDN Priyang II Tangerang, lalu melanjutkan

sekolahnya di Mts. Raudlatu Irfan, Tangerang.

Kemudian melanjutkan ke MA Daarut Tafsir, Bogor.

Setelah itu melanjutkan jenjang pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi

ternama di Indonesia yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan

2009. Semasa kuliah, ia bekerja sebagai tenaga pendidik di salah satu tempat

bimble daerah Pondok Betung, Bintaro.

Gadis berdarah sunda ini memiliki hobi membuat kaligrafi. Beberapa

penghargaan telah diraihnya semenjak duduk di kelas VII MTs. Selain itu, ia juga

sebagai pengajar kaligrafi disalah satu TPA daerah Tangerang Selatan. Gadis yang

sangat mencintai keluarga ini memiliki pandangan hidup “Innallaha Ma’ash

Shoobiriin”.