Branding Strategy Berbasis Ekonomi Kreatif, Triple Helix vs. Quadruple Helix

34
1 Branding Strategy Berbasis Ekonomi Kreatif: Triple Helix vs. Quadruple Helix Oleh: Popy Rufaidah, SE., MBA., Ph.D Penulis adalah Ketua Program Studi Magister Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran, Anggota Komite Pengembangan Ekonomi Kreatif Pemerintah Provinsi Jawa Barat 2012-2014, Tulisan ini ditujukan sebagai bahan tulisan untuk Buku Kumpulan Tulisan Nara Sumber, dengan judul buku “Branding Strategy Berbasis Industri Kreatif Fashion”. Publikasi buku adalah bagian penelitian “Branding Strategy Jawa Barat Berbasis Ekonomi Kreatif Potensi Pusat Pariwisata”, Penelitian Prioritas Nasional MP3EI (Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 – 2025, (PENPRINAS MP3EI 2011-2025). Dibiayai oleh Direktorat Penelitiandan Pengabdian Kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian dan Kebudayaan Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian MP3EI Nomor : 290/SP2H /PL/DIT.LITABMAS/VII/2013, TANGGAL : 15 JULI 2013.

Transcript of Branding Strategy Berbasis Ekonomi Kreatif, Triple Helix vs. Quadruple Helix

1

Branding StrategyBerbasis EkonomiKreatif: Triple Helix vs.Quadruple HelixOleh: Popy Rufaidah, SE., MBA., Ph.D

Penulis adalah Ketua Program Studi Magister Manajemen,Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran, AnggotaKomite Pengembangan Ekonomi Kreatif Pemerintah ProvinsiJawa Barat 2012-2014,

Tulisan ini ditujukan sebagai bahan tulisan untuk BukuKumpulan Tulisan Nara Sumber, dengan judul buku “BrandingStrategy Berbasis Industri Kreatif Fashion”.Publikasi buku adalah bagian penelitian “Branding StrategyJawa Barat Berbasis Ekonomi Kreatif Potensi Pusat Pariwisata”,Penelitian Prioritas Nasional MP3EI (Masterplan PercepatanDan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 –2025, (PENPRINAS MP3EI 2011-2025).Dibiayai oleh Direktorat Penelitiandan Pengabdian Kepada MasyarakatDirektorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian dan KebudayaanSesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan PenelitianMP3EI Nomor : 290/SP2H /PL/DIT.LITABMAS/VII/2013, TANGGAL : 15JULI 2013.

1

Branding strategy

Berbasis Ekonomi Kreatif :

Triple Helix vs. Quadruple Helix

Popy Rufaidah

Pengantar

Membangun citra wilayah tidaklah mudah bila tidak dimilikiidentitas dan penciri wilayah yang dikenal oleh masyarakat. Contohcitra wilayah yang dikenal saat ini baru Bali. Ingat Bali ingatsebagai pulau Dewata. Namun, ingat Jawa Barat, ingat sebagaiapa? Itulah tantangan bagi setiap wilayah untuk membangun citrawilayahnya perlu memiliki sejumlah identitas khas yang dikenangpubliknya. Salah satu keunggulan Jawa Barat adalah dari aktivitasekonomi kreatif berbasis produk fashion. Beberapa kota di JawaBarat seperti Bandung dikenal sebagai salah satu pusat penghasilproduk fashion yang menjadi rujukan masyarakat nasional bahkaninternasional. Tulisan ini menyajikan pembahasan konseptualmengenai pendekatan merek, pemerekan (branding), brandingstrategy jawa barat berbasis ekonomi kreatif, membangun merekyang kuat (building strong brands), pengukuran branding strategyberbasis ekonomi kreatif, triple helix vs. quadruple helix, penerapantriple helix vs. quadruple helix berbasis ekonomi kreatif. Semogatulisan awal ini menjadi inspirasi dalam pengembangan strategipemerekan berbasis ekonomi kreatif dengan menggunakanpendekan triple helix vs. quadruple helix.

2

Pendekatan Merek

Merek atau brand telah didefinisikan oleh banyak ahlimelalui tiga pendekatan, yaitu secara visual, secara verbal

dan secara perilaku. Ahli yang masuk pada kategori pertama yangmengartikan merek secara visual adalah dari Kotler & Amstrong(2013:255) dan Fantanariu (2012:1); secara verbal adalah dariClow and Baack (2007:55); dan secara perilaku adalah dari Afzal,Khan, Rehman, Ali, dan Wajahat (2010:44); dan Wheeler (2009:2);Kotler dan Armstrong (2012:267)

Pandangan visual mengatakan bahwa merek merupakan sebuahnama, istilah, tanda, simbol, atau desain, ataupun sebuah kombinasielemen tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikanbarang atau jasa seorang atau beberapa penjual dan untukmembedakannya dari barang atau jasa yang dimiliki pesaing (Kotler& Amstrong 2013:255) dan merek adalah nama, simbol, logo, katakunci, atau tanda apapun yang mengidentifikasikan sebuah tempat(Fantanariu 2012:1).

Sedangkan pandangan verbal mengatakan bahwa merekmerupakan sebuah nama yang umumnya diberikan kepada sebuahbarang atau jasa atau sebuah kumpulan barang pelengkap Clowand Baack (2007:55). Terakhir, pandangan berbasis perilakumengatakan bahwa merek dianggap sebagai refleksi dari semangatdan jiwa sebuah organisasi (Afzal et all 2010:44); merek merupakansebuah perasaan mendalam yang dimiliki seseorang terhadapsebuah produk, jasa, atau perusahaan (Wheeler 2009:2); merekdikatakan lebih dari sekedar nama dan simbol, sebagai elemenkunci dalam hubungan perusahaan dengan pelanggan, merekmewakili persepsi dan perasaan konsumen tentang produk dansegala kinerjanya yaitu produk atau layanan yang berarti untukkonsumen, dan merek ada di dalam benak konsumen (Kotler dan

3

Pemerekan (branding)

Armstrong 2012:267).

Merujuk pada ketiga pandangan tersebut, Undang-UndangNo. 15, Tahun 2001, pasal 1 ayat 1, menyebutkan bahwa merekmerupakan sebuah “tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,angka-angka, susunan warna, ataupun kombinasi dari unsur-unsurtersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatanbarang dan jasa.” Berdasarkan dimensi merek yang disebutkan padaUU 15/2001 terlihat konsep merek lebih mengarah pada aspekvisual saja.

Pemerekan (branding) dapat dikatakan sebagai satu ataukombinasi dari nama, terminologi, simbol, desain atau tampilanyang berasosiasi dengan produk atau jasa. Pemerekan modernmelibatkan campuran dari suatu nilai baik elemen tangible maupunintangible yang relevan terhadap konsumen dan yang mampumembedakan antara produk perusahaan yang satu dengan yangperusahaan yang lainnya (Murphy 1987 dikutip Lincoln & Willilams1995:6). Proses pemerekan suatu objek secara umum terlihatmenawarkan sejumlah keunggulan yang dirasakan dan manfaatbaik untuk pembeli dan penjual termasuk menyediakan sejumlahcitra dan informasi atas kualitas; menawarkan suatu pengenalan(rekognisi), penyakinan (reassurance), keamanan dan eklusivitas;berkontribusi pada citra merek dan identitas; segmentasi pasar;pengembangan mutualisme dan penguatan hubungan perdagangandan perlindungan hukum (Jones, Shears, Hillier, Clarke-Hill2002).

Proses pemerekan memberikan manfaat yang sangat nyatadalam membentuk pembeda produk atau jasa. Manfaat tersebutantara lain adalah membantu pembeli mengidentifikasi produk

4

yang disukai dan tidak disukai pasar; membantu proses keputusanmembeli atau tidak membeli suatu produk atau jasa; membantupembeli mengevaluasi kualitas produk; mengurangi resikopembelian, mendorong pembelian berulang; memfasilitasi usahapromosi, dan membantu mencipkatan loyalitas pelanggan (Joneset. al 2002).

Untuk melakukan pemerekan pada suatu objek seperti produkdan perusahaan merupakan suatu hal yang sangat umum dantelah banyak dilakukan hampir empat dekade lamanya. Literaturmengenai product brand dan corporate brand merupakan salahsatu bidang ilmu yang sangat berkembang. Namun, melakukanpemerekan pada suatu lokasi atau wilayah atau yang dikenaldengan istilah city branding atau regional branding merupakansuatu hal baru berkembang beberapa dekade ini. Bidang ilmu inibanyak ditemukan pada literature pemasaran pariwisata, karenaberhubungan dengan memasarkan suatu lokasi atau tempat atausuatu destinasi.

Pemerekan pada suatu wilayah seperti Branding Jawa Baratmerupakan suatu hal yang menantang. Perlu diketahui apa yangdiketahui dan dikenal masyarakat atas Jawa Barat. Bila suatu objek(misal merek, produk atau perusahaan) memiliki identitas atassejumlah elemen visual atau verbal atau perilaku maka diasumsikanmerek, produk atau perusahaan tersebut memiliki suatu nilai atauyang dikenail dengan istilah brand equity.

Ekuitas merek dapat diciptakan dan dikelola denganmemahami tujuh pendekatan pemerekan (Heding et al 2009dikutip Grundey 2009). Pertama, melalui pendekatan ekonomi(merek sebagai bagian dari bauran pemasaran tradisional yangterdiri dari komponen produk, harga, tempat dan promosi; danbagaimana keempat unsur bauran pemasaran tersebut digunakan

5

Branding Strategy Jawa Barat BerbasisEkonomi Kreatif

untuk mempengaruhi konsumen. Kedua, pendekatan identitas,dimana merek dikaitkan dengan identitas perusahaan. Pemasar(sebagai perusahaan) berperan dalam pengkreasian nilai merek.Proses budaya organisasi dan konstruksi perusahaan atas identityadalah kunci utamanya. Ketiga, pendekatan berbasis konsumendimana merek dikaitkan pada asosiasi konsumen. Merek dirasakansebagai suatu versi kognitif (cognitive construal) di benak konsumen.Diasumsikan bahwa merek kuat menancap di benak konsumen, unikdan berasosiasi menyenangkan. Keempat, pendekatan kepribadiandimana merek dianggap sebagai suatu karakter manusia (the brandas a human-like character). Pendekatan kepribadiaan adalah suatuprasarat untuk dan diasosiasikan dengan pendekatan hubungan(relational approach). Kelima, pendekatan hubungan (relationalapproach) dimana merek sebagai suatu mitra nyata yang salingberhubungan (the brand as a viable relationship partner). Keenam,pendekatan komunitas dimana merek sebagai poin utama interaksisosial (the brand as the pivotal point of social interaction). Pendekatankomunitas berdasarkan penelitian antropologi yang disebut merekkomunitas (brand communities). Nilai merek diciptakan melaluikomunitas dimana merek berperan sebagai pusat interaksi sosialantar konsumen. Ketujuh, pendekatan budaya dimana merek sebagaipabrik budaya yang lebih luas (the brand as part of the broader culturalfabric). Pendekatan ini menjelasan pemerekan melalui budaya danbagaimana mengintegrasikan merek dalam kekuatan budaya untukmenciptakan ikon merek.

Jawa Barat adalah suatu nama wilayah, suatu nama provisi,suatu simbol dan memiliki asosiasi atas sejumlah hal. Sehingga,bila Jawa Barat dianggap sebagai suatu merek, maka menarik

6

untuk dikaji bagaimana persepsi masyarakat atas nama JawaBarat. Selain itu, perlu diketahui bagaimana nama Jawa Baratsebagai suatu merek berkembang memiliki suatu citra tersendiriberdasarkan elemen identitas yang dibentuknya. Berdasarkanskenario pembangunan 10 (sepuluh) Common Goals berbasistematik sektoral Jawa Barat (sumber: RPJMD Pemerintah ProvinsiJawa Barat 2013-2018), salah satu program dalam meningkatkanekonomi non-pertanian Jawa Barat adalah mengembanganindustri kreatif dan wirausahawan muda kreatif. Untuk itu, perludikembangkan suatu strategi pemerekan untuk Jawa Barat. Brandingstrategy Jawa Barat berbasis Ekonomi Kreatif dapat dimulai dariproduk yang diproduksi dan diperdagangkan di wilayah tersebutdan yang dirasakan oleh konsumennya. Produk yang paling banyakdirasakan dan dikonsumsi masyarakat Jawa Barat salah satunyaadalah produk fashion. Sehingga, pendekatan branding strategyyang sesuai untuk melakukan branding strategy Jawa Barat berbasisEkonomi Kreatif produk fashion. Menurut Heding et al (2009),dari sekitar tujuh pendekatan untuk membangun ekuitas merek,maka pendekatan ekonomi lebih sesuai diterapkan untuk menelitibranding strategy Jawa Barat berbasis Ekonomi Kreatif.

Strategi pemerekan adalah sejumlah cara yang dilakukansuatu organisasi atau perusahaan atau instansi untuk membentukpembeda antara yang satu dengan yang lainnya melalui elemenvisual (desain), verbal (alat komunikasi) dan perilaku (aktivitas).Sehubungan dengan penelitian Branding strategy Jawa Barat berbasisEkonomi Kreatif dikhususkan pada produk fashion berbahan tekstil,maka strategi pemerekan Jawa Barat yang diteliti adalah melaluisejumlah elemen visual dan verbal yang digunakan para pelakuusaha industri kreatif produk fashion di wilayah Jawa Barat sebagaipembeda dengan wilayah lainnya.

7

Dimensi untuk membangun merek suatu wilayah atauregional branding, dilakukan melalui dua elemen, yaitu: Pertama,elemen visual. Visual diasosiasikan sebagai simbol dari sebuahperusahaan (Melewar 2002:8) dan direfleksikan melalui elemendesain perusahaan (yaitu sejumlah isyarat visual yang terkaitdengan sebuah organisasi tertentu; Melewar & Karaosmanoglu2006:7). Elemen visual tersebut terdiri dari nama organisasi ataunama usaha, slogan, logo/simbol, warna dan tipografi. Elemenvisual dapat diterapkan melalui produk perusahaan, lokasi,arsitektur bangunan, kendaraan, dan desain interior kantor. Kedua,Elemen verbal. Verbal direfleksikan melalui aktivitas komunikasiperusahaan yang mencakup semua cara di mana organisasiberkomunikasi dengan para pemangku kepentingan (Melawar, etal. 2006:7). Elemen verbal adalah semua pesan yang berasal dariorganisasi untuk membentuk persepsi pemangku kepentingandengan menggunakan sejumlah media komunikasi (seperti mediaelektronik dan non-elektronik). Sehubungan, elemen visual tidakhanya terdiri dari element nama organisasi, tipe logo, tata huruf,warna, dan unsur visual lainnya; namun mencakup tampilansuasana dan kondisi lingkungan fisik (seperti rancangan lingkungantempat melakukan usaha) dan harga produk/jasa yang ditawarkan.Maka konsep strategi pemerekan untuk suatu wilayah lebih sesuaimenggunakan elemen visual, verbal dan suasana dan kondisilingkungan fisik.

Untuk itu, konsep definisi yang sesuai digunakan untukbranding strategy suatu wilayah (misal seperti Branding strategy JawaBarat, Branding strategy Jakarta, Branding strategy Menado, dll) adalah“sejumlah cara yang dilakukan untuk membentuk kekhasan merekmelalui rancangan produk/jasa (seperti element nama organisasi,tipe logo, tata huruf, warna, dan unsur visual lainnya), sejumlah

8

alat-alat komunikasi (seperti media cetak, media elektronik,dan media sosial), suasana dan kondisi lingkungan fisik (sepertirancangan lingkungan tempat melakukan usaha)”.

Gambar 2. Peta Industri Unggulan Kabupaten / Kota di Jawa Barat

Sumber: RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2013-2018; Hal II-5.

Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesiayang terdiri atas 17 kabupaten dan 9 kota, sehingga memilikitotal sekitar 27 kabupaten dan kota. Setiap kabupaten dan kotadi masing-masing wilayah pengembangan (WP) memiliki industriunggulan spesifik sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.

Namun, bila dilihat berdasarkan peta sentra komoditi eksporpotensial Jawa Barat, ternyata beberapa kabupaten dan yang adadi Jawa Barat tersebut menghasilkan tekstil dan produk tekstil,yaitu berada di Wilayah Purwakarta, Bogor, Priangan dan Cirebon.

9

Membangun merek yang kuat (building strongbrand)

Sehingga, sangat memungkinkan meneliti persepsi masyarakat atasbrand Jawa Barat Berbasis Ekonomi Kreatif Produk Fashion. Adapun,produk yang dihasilkan setiap wilayah tersebut ditampilkan padaTabel 2.

Tabel 2.

Peta sentra komoditi ekspor potensial Jawa Barat

BKPP WIL.PURWAKARTA-Tekstil & Produk

Tekstil-Elektronik-Alas Kaki

-Kertas & ProdukKertas

-Otomotif &Komponennya

-KerajinanPulp & Kertas

BKPP WIL.

BOGOR-Tekstil & Produk

Tekstil

-Alas Kaki

-Furniture

-Karet & ProdukKaret

-Makanan OlahanKerajinan

-Alat Kesehatan

BKPP WILL.

PRIANGAN-Tekstil & Produk

Tekstil-Teh & Kopi

Furniture

-Karet & ProdukKaret

-Produk Coklat-Makanan Olahan

Kerajinan-Komponen

Obat - obatan

BKPP

WIL.

CIREBON-Furniture Rotan

-Batik-Gentteng-Makanan

Olahan

-Kerajinan

Kota (Bekasi) danKabupaten (Bekasi,

Karawang,Purwakarta, Subang)

Kota (Depok,Bogor) dan

Kabupaten (Bogor,Sukabumi, Cianjur)

Kota (Bandung,Cimahi,

Tasikmalaya,Banjar) danKabupaten

(Bandung, BandungBarat, Sumedang,

Garut, Tasikmalaya,Pangandaran)

Kota (Cirebon)dan Kabupaten

(Indramayu,Majalengka dan

Kuningan)

Sumber: File Presentasi Kepala Bappeda Jawa Barat, Rancangan RPJMD PemerintahProvinsi Jawa Barat 2013-2018 (dimodifikasi)

Untuk membangun suatu merek yang kuat dilakukan melaluiempat keputusan (Kotler & Amstrong 2012:268-274) yaitu brandpositioning (pemosisian merek), brand name selection (seleksi nama

10

merek), brand sponsorship (dukungan merek) dan brand development(pengembangan merek). Pertama, brand positioning adalah suatucara terstruktur untuk memosisikan suatu merek pada benakkonsumennya. Usaha untuk melakukan pemosisian merek di benakpikiran konsumen dilakukan pada tiga tingkat, yaitu melalui atributproduk, manfaat produk dan keyakinan serta nilai-nilai (values).Misalnya, Jawa Barat dikenal karena variasi produk fashion yangditawarkan di pasar (atribut produk); Jawa Barat dikenal karenaharga produk fashion yang ditawarkannya sesuai dengan nilai uangyang dibelanjakan (manfaat produk); Jawa Barat dikenal karenapelayanan ramah yang dilakukan wiraniaga produk fashion.

Kedua, seleksi nama merek merupakan salah satu keputusanpenting untuk membangun merek yang kuat. Memilih nama yangterbaik untuk suatu produk, suatu nama usaha, adalah suatuhal yang sangat penting dan sulit dilakukan. Kegiatan tersebutdilakukan dengan melakukan penilaian atas produk dan manfaatyang ditawarkan produk, pasar sasaran, dan strategi pemasaranyang akan digunakan.

Hasil penelitian Branding strategy Jawa Barat BerbasisEkonomi Kreatif Potensi Pusat Pariwisata (2013), menunjukkanada lima kluster pelaku usaha industri kreatif berbasis produktekstil berdasarkan strategi pemerekan (branding strategy) yangditerapkannya. Kelima kluster tersebut adalah kluster kategorifashion, sablon, sulaman, batik dan jasa boutique. Hasil analisisnama-nama merek yang digunakan mereka (para pelaku industrikreatif dari lima kluster tersebut) adalah: Nama merek usahamenggunakan nama orang, Nama merek usaha menggunakan namabenda, Nama merek usaha menggunakan nama tempat, Namamerek usaha menggunakan nama kata kerja, Nama merek usahamenggunakan nama-nama dari kota kasa bahasa asing, nama-namadari kata sifat baik bahasa asing maupun bahasa indonesia, dan

11

Nama merek usaha menggunakan nama-nama dari bahasa lokal/bahasa sunda.

Hasil analisis atas nama merek usaha yang digunakan parapelaku usaha kluster industri kreatif produk fashion berbahantekstil di Jawa Barat, khususnya di Kota Bandung, ditampilkanpada Tabel 1.

Tabel 1.

Peta profil nama merek yang digunakan pelaku usaha

Kluster industri kreatif produk fashion berbahan tekstil

Kluster

Usaha

Nama

Orang

Nama

Benda

Nama

Tempat

Nama

Kata

Kerja

Nama

Asing

Nama

Sifat

Nama

LokalTotal

Sablon 21 21 7 1 21 18 5 94

Sulaman 6 16 3 5 18 10 9 67

Batik 7 12 6 0 2 4 1 32

Boutique 116 23 18 6 111 6 18 298

Fashion 158 62 33 19 144 24 38 478

Total 421 167 81 34 379 67 101 1250Sumber: diolah dari Buku Directory Industri Kreatif Jawa Barat, 2012

Ketiga, pendukungan merek (brand sponsorship) adalahkeputusan ketiga membangun merek yang kuat. Sebuah merekyang akan diluncurkan ke pasar dapat diluncurkan sebagaimanufacturer’s brand (national brand), private brand (store brand),licensing, atau co-branding. Keempat keputusan tersebut tergantungatas keputusan perusahaan dalam pilihan strategi pemposisian yangdilakukan. Penerapan merek produsen atau manufaktur (mereknasional) misalnya di industri tekstil Jawa Barat (yang terdiri dari352 pabrik tekstil) beberapa perusahaan menamakan produknyasama dengan nama perusahaannya seperti Adetex, Kahatex, AlenaTextile, dan Chandratex.

12

Penerapan merek toko atau merek pribadi (private brand)dilakukan oleh operator departemen store terbesar Indonesia(dalam hal nilai penjualan ritelnya) yaitu Matahari DepartmentStore. Produk fashion berbahan tekstil yang ditawarkan di gerainyamenggunakan nama privat tersebut, seperti Nevada, Cole,Connexion, Stanley Adam, dll. Merek-merek tesebut adalah merekyang diciptakan dan diproduksi oleh perusahaan tersebut. Bahkan28% merek produk Nevada berkontribusi terhadap 28% dari totalkotor Direct Purchase dan 8% total penjualan kotor perusahaanpada tahun 2012 (Laporan Matahari Departement Store 2013:3).

Gambar 1.

Matahari Departemen Store Private Label Brands

Sumber: Laporan Matahari Department Store, 15 May 2013, halaman 4; Maybank Kim EngResearch Pte. LTd

Penerapan licensing brand adalah pemberian ijin penggunaannama merek produk yang sudah terkenal kepada suatu produsenatas seijin pemilik merek. Praktek tersebut dilakukan oleh namamerek yang sudah mendunia, seperti merek Stella McCartneydiproduksi dan didistribusikan oleh Luxottica. Luxottica Groupadalah perusahaan yang memproduksi , mendistribusikan framekacamata dengan resep doktor (prescription frames) dan kacamatapelindung matahari berkualitas tinggi dan bergaya. Luxocittamemperoleh ijin dari Brook Brothers, Bvlgari, Burberry, Chanel,

13

Pengukuran branding strategy berbasisekonomi kreatif

Chaps, Coach, Dolce & Gabbana, DKNY, Donna Karan, EmporioArmani, Giorgio Armani, Miu Miu, Polo Ralph Lauren, Paul SmithSpectacles, Prada, Ralph Lauren, Reed Krakoff, Stella McCartney,Tiffany & Co, Tony Burch, Versace. Sejak Januari 2013, Luxotticamemperoleh hak eksklusif dengan Armani Group selama sepuluhtahun untuk merancang, memproduksi dan mendistribusikan keseluruh dunia produk kacamata merek Giorgio Armani, EmporioArmani and A/x Armani Exchange. (http://www.luxottica.com/en/brands/license-brands).

Penerapan co-branding atau pengunaan dua nama merek ternamadari dua perusahaan berbeda digunakan pada suatu produk.Misalnya, suatu hotel menyediakan air minum dalam kemasanbotol yang diberi label nama hotel tersebut, tetapi diproduksi olehsuatu produsen air minum.

Keempat, penerapan brand development (pengembangan merek)adalah keputusan untuk mengembangkan merek melalui lineextension, brand extension, multibrands, atau new brands. Bila namasuatu produk, perusahaan atau wilayah sudah begitu terkenal, makamerek utamanya dapat diperkuat dengan meluncurkan sejumlahlini produk baru dengan menggunakan nama tambahan pada namamerek utama. Misalnya, Shafira, perusahaan yang memproduksibusana muslim, menamba lini produk baru dengan meluncurkankelengkapan untuk beribadah.

Berdasarkan konsep membangun merek yang kuat (buildingstrong brands), para pelaku industri kreatif yang meliputi : (1) Jasaperiklanan; (2) Arsitektur; (3) Seni Rupa; (4) Kerajinan; (5) Desain;(6) Mode (fashion); (7) Film; (8) Musik; (9) Seni pertunjukan;(10) Penerbitan; (11) Riset dan Pengembangan; (12) Piranti lunak;

13

Pengukuran branding strategy berbasisekonomi kreatif

Chaps, Coach, Dolce & Gabbana, DKNY, Donna Karan, EmporioArmani, Giorgio Armani, Miu Miu, Polo Ralph Lauren, Paul SmithSpectacles, Prada, Ralph Lauren, Reed Krakoff, Stella McCartney,Tiffany & Co, Tony Burch, Versace. Sejak Januari 2013, Luxotticamemperoleh hak eksklusif dengan Armani Group selama sepuluhtahun untuk merancang, memproduksi dan mendistribusikan keseluruh dunia produk kacamata merek Giorgio Armani, EmporioArmani and A/x Armani Exchange. (http://www.luxottica.com/en/brands/license-brands).

Penerapan co-branding atau pengunaan dua nama merek ternamadari dua perusahaan berbeda digunakan pada suatu produk.Misalnya, suatu hotel menyediakan air minum dalam kemasanbotol yang diberi label nama hotel tersebut, tetapi diproduksi olehsuatu produsen air minum.

Keempat, penerapan brand development (pengembangan merek)adalah keputusan untuk mengembangkan merek melalui lineextension, brand extension, multibrands, atau new brands. Bila namasuatu produk, perusahaan atau wilayah sudah begitu terkenal, makamerek utamanya dapat diperkuat dengan meluncurkan sejumlahlini produk baru dengan menggunakan nama tambahan pada namamerek utama. Misalnya, Shafira, perusahaan yang memproduksibusana muslim, menamba lini produk baru dengan meluncurkankelengkapan untuk beribadah.

Berdasarkan konsep membangun merek yang kuat (buildingstrong brands), para pelaku industri kreatif yang meliputi : (1) Jasaperiklanan; (2) Arsitektur; (3) Seni Rupa; (4) Kerajinan; (5) Desain;(6) Mode (fashion); (7) Film; (8) Musik; (9) Seni pertunjukan;(10) Penerbitan; (11) Riset dan Pengembangan; (12) Piranti lunak;

14

(13) Televisi-radio; (14) Mainan; dan (15) Video game; selayaknyamengoptimalkan penggunaan brand strategy dalam meningkatkannilai dari produknya. Dalam rangka meningkatkan nilai dariproduk tersebut, melalui branding strategy, perlu dilakukan denganmembangun diferensiasi atau pembeda antara produk yang satudengan produk lainnya.

Untuk mengukur Branding strategy Berbasis Ekonomi KreatifProduk Fashion Jawa Barat, maka diterapkan konsep strategipemerekan yang memiliki arti sebagai :

“sejumlah cara yang dilakukan untuk membentuk kekhasan merekmelalui rancangan produk/jasa (seperti element nama organisasi, tipelogo, tata huruf, warna, dan unsur visual lainnya), sejumlah alat-alatkomunikasi (seperti media cetak, media elektronik, dan media sosial),suasana dan kondisi lingkungan fisik (seperti rancangan lingkungantempat melakukan usaha)”. Berdasarkan konsep tersebut, maka dimensistrategi pemerekan pertama diukur dengan menggunakan rancanganproduk/jasa, alat-alat komunikasi pemasaran yang digunakan dansuasana dan lingkungan fisik tempat berjualan produk.

Konsep rancangan produk/jasa (product/service design) diadopsidari Rufaidah., Razzaque & Walpole (2003:2423) yaitu sejumlahelemen rancangan produk yang membuat khas/unik/berbeda dengan produkpesaing lainnya seperti elemen nama merek, logo, tata huruf, warna, style,dan unsur lainnya. Berdasarkan konsep tersebut diidentifikasi sekitar20 item yang merefleksikan pemerekan Jawa Barat dari dimensitersebut. Dimensi tersebut merefleksikan kinerja visual brandingJawa Barat Berbasis Ekonomi Kreatif Produk Fashion, yaitu dariKekhasan brand produk ciri khas produk, Kekhasan produk yangunik, Kualitas disain produk, Kekhasan produk fashion, Namamerek refleksi kekhasan produk, Keunikan nama merek, Kualitasnama merek produk, Kemenarikan disain grafis iklan, Kemenarikan

15

disain grafis brosur, Ke-up-to-date-an produk, Tempat mudahdijangkau, Kemenarikan logo, Kemudahan dikenali logo, Kekhasanlogo refleksi kualitas produk, Keunikan tata huruf label, Kekhasarantata huruf, Keunikan tata huruf berbeda, Variasi warna, Kekhasankeragaman warna, Keragaman warna sebagai nilai tambah.

Sedangkan, konsep alat-alat komunikasi pemasaran didefinisikansebagai sarana yang digunakan perusahan dalam upaya untukmenginformasikan, membujuk, dan mengingatkan konsumen – langsungatau tidak langsung – tentang produk dan merek yang mereka tawarkanmelalui sejumlah media (seperti media cetak, elektronik, dan mediasosial). Berdasarkan konsep tersebut diidentifikasi sekitar 8 itemyang merefleksikan pemerekan Jawa Barat dari dimensi tersebut.Dimensi tersebut merefleksikan kinerja komunikasi pemasaranatau verbal branding Jawa Barat Berbasis Ekonomi Kreatif ProdukFashion, yaitu dari Media koran sebagai media promosi, Mediamajalah dan tabloid sebagai media promosi, Media internet sepertiblogs dan website sebagai media promosi telah diketahui, Mediainternet sebagai media promosi telah dikenal, Sosial media sepertifacebook sebagai media promosi, Sosial media seperti twittersebagai media promosi, Media radio sebagai media promosi, MediaTV sebagai media promosi.

Terakhir, konsep suasana dan kondisi lingkungan fisik yangdidefinisikasn sebagai sejumlah elemen rancangan spasial yangberbentukfisik lingkunganperusahaan, tata ruang, keadaan ruangan,keadaan lingkungan sekitarnya dan unsur fisik lainnya. Berdasarkankonsep tersebut diidentifikasi sekitar 8 item yang merefleksikanpemerekan Jawa Barat dari dimensi tersebut. Adapun, dimensitersebut merefleksikan kinerja visual branding Jawa Barat BerbasisEkonomi Kreatif Produk Fashion, dikarenakan elemen pemerekanyang digunakan merefleksikan simbolisasi visual dari pemerekan

16

Triple Helix vs. Quadruple Helix

usaha tersebut yang berada di Jawa Barat. Indikator tersebut yaituKestrategisan lokasi tempat penjualan produk, Kualitas fasilitastempat penjualan produk refleksi pelayanan bermutu, Kemudahanakses angkutan kota ke lokasi tempat penjualan produk, Tataruang tempat penjualan produk memudahkan mendapatpelayanan, Kenyamanan tempat penjualan produk, Kebersihantempat penjualan Produk, Keterjagaan Lingkungan sekitar tempatpenjualan produk, Keterjagaan fasilitas umum terjaga baik.

Pendekatan Triple Helix untuk pengembangan wilayah berawaldi Boston yang mengalami depresi besar pada periode 1930an; dansejak periode tersebut pendekatan ini menyebar luas di AmerikaSerika dan memasuki Eropa, Asia dan Amerika Latin melaluikolaborasi dinamis antar universitas, industri dan pemerintah(Etzkowitz 2002, Rebernik 2009:12, Etzkowitz & Ranga 2010:1).Setelah itu, pendekatan triple helix semakin berkembang melaluipengoptimalan potensi pihak-pihak tersebut. Perkembanganpendekatan triple helix menghasilkan beberapa konfigurasi(Etzkowitz & Ranga 2013:1, Rebernik 2009:13), yaitu pada TahapTriple Helix-1, disebut statist regime, dimana pemerintah memainkanperan sebagai pengarah yang mendorong akademisi dan industri.Tahap Triple Helix-2, disebut laissez-faire regime, dimana industriadalah kekuatan pendorong dengan dua pihak lainnya sebagaistruktur pendukung pelengkap (ancillary support structure). TahapTriple Helix-3, disebut sebagai balance model yaitu melibatkan peranketiga pihak sehingga tercipta masyarakat berbasis pengetahuan;universita dan institusi lainnya memerankan peran aktif dalamkemitraan dengan industri dan pemerintah, bahkan dalampembentukan inisiatif bersama (joint initiatives).

17

Hasil kajian literatur yang dilakukan untuk penulisan buku ini,dilakukan dengan mengidentifikasi peran triple helix dari periodetahun 1990 sampai dengan tahun 2013, dan dapat ditemukanpada publikasi beberapa ahli yang melakukan penelitian di negaraberkembang dan negara maju. Antara lain adalah publikasidari Nedeva, Georghiou, Halfpenny & Peter (1999 di Inggris);Kaukonen & Nieminen (1999 di Finlandia); Bunders, Broerse &Zweekhorst (1999 di Bangladesh); Mets (2006 di Estonia); Wong(2007 di China); Johnson (2007 di Amerika Serikat); Zhou (2008di China); Brundin, Wigren, Isaacs, Friedrich, & Visser (2008 diAfrika Selatan); Pei-Lee & Chen-Chen (2008 di China); Meredith& Burkle (2008 di Mexico); Hu & Mathews (2009 di Taiwan);Bjerregaard (2009 di Denmark); Li (2013 di Jepang); Lind, Styhre& Aaboen (2013 di Swedia); Buerkler (2013 di New Zealand).

Hasil pemikiran para ahli yang dipublikasikan pada konferensiinternasional dengan topik triple helix dapat dipelajar pada situswww.triplehelixconference.org yang telah terselenggara sejaktahun 1996. Situs lainnya, yang dikembangkan seorang Belandabernama Louis André (Loet) Leydesdorff, kelahiran Jakarta tahun1948, dapat diakses pada www.leydesdorff.net berisi beragampublikasi tentang triple helix.

Tabel 3.

Kajian Pustaka Triple Helix Periode 1990 - 2013

Nedeva, Georghiou,Halfpenny & Peter(1999 di Inggris)

Penelitian mengenai peran industri serta pelibatanpersepsi, opini dan posisi universitas, pemerintah danindustri dalam penggunaan infrastruktur akademik,khususnya peralatan penelitian universitas. Posisipemerintah berusahaa menarik perhatian industriuntuk dukungan dalam peralatan penelitian diuniversitas dan pembahasan pandangan industriperihal demarkasi antara tanggung jawab pemerintahdan swasta.

18

Kaukonen &Nieminen (1999 diFinlandia)

Menyarankan penerapan Triple Helix berdasarkanintegrasi institusi perlu mengandalkan aktivitas yangkomplementer antar pihak.

Bunders, Broerse &Zweekhorst (1999 diBangladesh)

Menyimpulkan bahwa pihak terkait tidakmenghasilkan kegiatan yang saling membentukwalaupun ada manfaat yang diperoleh masing-masingpihak.

Mets (2006 diEstonia)

Mengevaluasi keseimbangan pengembangan triple helixmelalui kasus sektor bioteknologi di Estonia; yangmenemukan bahwa pengembangan kemitraan triplehelix adalah suatu proses menyeimbangkan biaya-biayapenelitian dan pengembangan, pendukungan prosesinovasi dan transfer teknologi.

Wong (2007 diSingapura)

Mengkaji perubahan signifikan dalam hubunganuniversitas, pemerintah dan industri pada bidang sains(life science) di Singapura serta dampaknya dalam halkomersialisasi bidang sains (life science).

Johnson (2007 diAmerika Serikat)

Penelitian mengenai proses keterlibatan dalamkolaborasi bagi manajer rekayasa (engineering managers)yang menunjukan kesulitan mencapai efektivitas yangdihadapi antar mitra dalam triple helix dikarenakanperbedaan budaya dan organisasi. Solusinya adalahdengan menerapkan pilar keempat organisasi sebagaisolusi mengelola projek triple helix, yaitu pihak ketigayang dapat memfasilitasi kelancaran integrasi pihak-pihak dalam triple helix.

Zhou (2008 diChina)

Mengusulkan penerapan triple helix melalui linkagekewirausahaan universitas, industri and teknologitinggi melalui pembentukan perusahaan pemula(start up firm). Langkah pertama bagi kewirausahaanuniversitas adalah berkomitmen dari kolaborasiindustri-universitas menuju kolaborasi universitas-industri. Evolusi menjadi kewirausahaan universitydapat difasilitasi melalui kebijakan pemerintah dengandidorong kebutuhan industri dan berkembang bersamadengan perkembangan regional.

19

Brundin, Wigren,Isaacs, Friedrich,& Visser (2008 diAfrika Selatan)

Hasil studinya menyimpulkan ketika kerjasama antartiga pihak disepakati h

anya dua pihak yang terlibat; ditemukan missing linkdalam triple helix model yaitu kefokusanwirausahawan; kerjasama antar tiga pihak terjadisecara insidental dibandingkan terencana dan tidakterdapatnya struktur yang jelas.Pei-Lee & Chen-

Chen (2008 diChina)

Meneliti dan mengembangkan suatu model peran danfungsi yang dilakukan universitas dalam mendukungbisnis ventura dalam pengembangan wirausahaberbasis teknologi (technopreneur).

Meredith & Burkle(2008 di Mexico)

Mengkaji tingkat manfaat pembelajaran sampaipengembangan keterkaitan yang kuat antarauniversitas dan industri; dan menyarankan metodologiuntuk membangun penjembatanan universitas danindustri dalam menyediakan pengalaman pembelajaranpenuh bagi mahasiswa.

Hu & Mathews(2009 di Taiwan)

Mengkaji kapasitas inovasi melalui hubungan triplehelix dan menyimpulkan bawha kapasitas inovasiTaiwan sangat tergantung pada kapabilitas UMKM danberlanjut tergantung pada kepemimpinan pemerintahmelalui kapabilitas teknologi dalam memperkuatinstitusi.

Bjerregaard (2009 diDenmark)

Hasil kajiannya menunjukan bahwa mitra memilihmenerapkan strategi yang berbeda untuk jangkapendek atau jangka panjang dalam mengoptimalkanproses dan hasil kolaborasi universitas dan industri.

Li (2013 di Jepang) Model transfer teknologi organisasi pada universitasdi Jepang dipelajari dari praktek yang telah dilakukandi Amerika Serikat, dan terbukti ada perbedaandan persamaan antara kedua negara tersebut dalampengarahan operasi umum untuk transfer teknologiorganisasi.

20

Lind, Styhre &Aaboen (2013 diSwedia)

Pemikiran peneliti menambah pemahaman yangspesifik atas kontribusi kolaborasi universitas danindustri yang dilaksanakan dalam bentuk pusatriset yang melibatkan tiga pihak seperti universitas,perusahaan-perusahaan dan institusi penyandangdana. Kontribusi utamanya adalah teridentifikasinyaempat bentuk kolaborasi selama kasus dikembangkandalam tahap analisis dan perancangan, yaitu distancedcollaboration, translational collaboration, specifiedcollaboration and developed collaboration

Buerkler (2013 diNew Zealand).

Peneliti beragumentasi bahwa dukungan pemerintahuntuk keterlibatan aktif dalam platform inovasi denganbebera peserta independen dimungkinkan terlaksanabila ada ketertarikan publik, ketertarikan peserta dalaminovasi terencana, ada kepercayaan antar berbagaipihak, dan sumberdaya yang cukup dan komplementer(baik sumber daya manusia maupun keuangan) untukkemitraan pembelajaran dan pengembangan.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Pada penelitian tersebut, tidak satupun meneliti pada industrikreatif. Namun, yang dapat dipelajari dari hasil penelitian merekaadalah adanya komitmen sejak penerapan triple helix dilakukandalam suatu projek sampai dengan terlaksana projek sertaberkesinambungan. Komitmen dari pihak pemerintah adalah dalambentuk dukungan regulasi berbentuk peraturan pemerintah (baikdi tingkat nasional, regional dan lokal; misalnya inpres, kepmen,pergub, perda); dari akademisi adalah fasilitasi penelitian danpengembangan; dan dari industri adalah dalam bentuk fasilitasikomersialisasi.

Konsep Quadruple Helix merupakan suatu konsep yangberkembang. Pelibatan pihak keempat yang disampaikan paraahli yang dikaji, ada beberapa konsep sangat mirip dengan salahsatu pihak dalam triple helix (seperti manajer yang dinyatakanRebernik 2009) dan ada beberapa pihak sangat berbeda (seperti

21

masyarakat, pengguna). Pihak keempat yang terlibat adalah pihakyang menghubungkan antara pihak-pihak dalam triple helix yaituseringkali disebut sebagai “4th pillar of organization” atau “intermediateorganizations as innovation-enable organization” (Liljemark 2004 dalamRebernik 2009:14)

Penerapan triple helix menarik perhatian pemerintah provinsiJawa Barat yang mengembangkannya menjadi Quadruple Helix yaitudengan menambahkan peran komunitas; dan memberi nama modeltesebut dengan sebutan Jabar Masagi (2013). Konsep QuadrupleHelix bukan sesuatu yang baru, Rebernik (2009) menuliskannyadalam suatu tulisan berjudul Quadruple Helix of Entrepreneurshipand Management Education. Namun, pihak keempat yang dilibatkandalam proses tersebut adalah melibatkan manajer untukmengembangkan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan dalammerangsang kreativitas dan inovasi mahasiswa. Model inovasiquadruple helix yang dinyatakannya adalah model kerjasama inovasiatau lingkungan inovasi dimana pengguna, perusahaan, universitadan otoritas publik bekerjasama dalam menghasilkan inovasi(segala sesuatu yang bermanfaat bagi mitra dalam kerjasamainovasi seperti inovasi teknologi, sosial, produk, jasa, komersialdan non-komersial). Carayannis & Campbell (2009) membahaspenekanan quadruple helix dalam kepentingan mengintegrasikanperspektif berbasis media dan publik berbasis budaya; dan hasilnyaadalah berkembangnnya pengetahuan fraktal dan ekosisteminovasi yang terkonfigurasi untuk ekonomi pengetahuan danmasyarakat. Selanjutnya publikasi mereka pada tahun 2012,menyatakan bahwa model quadruple helix, melalui pemerintah,akademisi, industri dan masyarakat sipil dilihat sebagai pelakuyang mempromosikan pendekatan demokratis untuk inovasimelalui pengembangan strategi dan pengambilan keputusan yang

22

terekspos untuk menghasilkan umpan balik dari para pemangkukepentingan kunci yang menghasilkan kebijakan dan praktek yangdapat dipertanggungjawabkan secara kemasyarakatan.

Afonso, Monteiro & Thompson (2010) mempublikasikan hasilpenelitiannya yang berjudul A Growth Model of the Quadruple HelixInnovation Theory; yang menekankan investasi dalam mekanismetransmisi inovasi dalam pertumbuhan ekonomi dan pencapaianproduktivitas, pada sektor one-high-technology, dengan menekankanperan aktif para helix dalam dalam Quadruple Helix Innovation, yaituakademisi dan infrastruktur teknologi, perusahaan dan inovasi,pemerintah dan masyarakat sipil. Mereka menyatakan bahwa dalamliteratur, huhungan antara helix dan dampak terhadap pertumbuhanekonomi tidak terlihat nyata. Namun, dinyatakan bahwa tingkatpertumbuhan ekonomi diperoleh dari hasil peningkatan sinergitasdan kesalingmelengkapi antar unit produktif yang berbeda, ataupeningkatan pengeluaran pemerintah yang produktif.

Füzi (2013) memiliki pendapat yang sama dengan para penulisquadruple helix sebelumnya (rebernik 2009, Carayannis & Campbell2009, Afonso et al 2010) bahwa konsep ini belum terbentukdengan baik dan banyak digunakan dalam penelitian inovasi dankebijakan inovasi; quadruple helix adalah model kerjasama inovasiatau lingkungan inovasi dimana pengguna, perusahaan, universitasdan otoritas publik bekerjasama untuk menghasilkan inovasi.Hasil pemikiran Füzi (2013:22) adalah ada tiga tipe berbeda modelquadruple helix yang dapat digunakan untuk kerjasama inovasi yaituAcademia-driven Living Lab Model (fokus penyediaan fasilitas dankonsultasi untuk peneliti dan perusahaan), the Firm-driven LivingLab model (fokus pengembangan komersialisasi inovasi), dan thePublic Sector-drive Living Lab model (fokus pengembangan organisasipublik dan pelayanan).

23

Penerapan Triple Helix vs Quadruple Hel ixberbasis Ekonomi Kreatif

Pada bagian penutup tulisan ini, penerapan konsep triple helixdan atau quadruple helix berbasis ekonomi kreatif perlu melibatkanempat pihak (lihat Gambar 3). Hal yang perlu dicermati, penelitianyang melibatkan peran empat pihak secara simultan dalampengembangan ekonomi kreatif belum pernah ditemukan dalampublikasi ilmiah. Pada tulisan ini dikemukakan pihak-pihak yangdapat dilibatkan dalam penelitian dan atau aktivitas bersama dalamsuatu projek dengan pendekatan triple helix maupun quadruple helixyang berbasis ekonomi kreatif.

Gambar 3

Quadruple Helix: Branding Strategy Berbasis Ekonomi Kreatif

Akademisi-Pendidikan & Pengajaran

-Penelitian-Pengabdian pada masyarakat

Perusahaan-Perusahaan-perusahaan pada

industri genetik, ekstraktif,manufaktur dan jasa

Quadruple Helix:Branding Strategy

Pemerintah-Tingkat kementrian

-Tingkat Provinsi-Tingkat Kota dan Kabupaten

-Tingkat kecamatan dan kelurahan

Asosiasi (Komunitas)-Asosiasi

-Perhimpunan-Ikatan

-Komunitas

Pihak pertama adalah para akademisi yang menerapkantri dharma perguruan tinggi yaitu pengembangan pendidikan,penelitian dan pengabdian masyarakat bidang Ekonomi Kreatif.Pihak kedua adalah perusahaan sebagai pelaku dalam industridi bidang ekonomi kreatif (lihat Tabel 4). Pihak ketiga adalah

24

pemerintah yang berperan sebagai regulator dan fasilitator dalampengembangan ekonomi kreatif, dalam hal ini pemerintahandi tingkat kementrian, provinsi, daerah dan kota, serta tingkatkecamatan dan kelurahan. Pihak keempat adalah masyarakatasosiasi sebagai wadah yang menyatukan kepentingan para pelakuusaha dalam industri untuk memenuhi keinginan para pemangkukepentingan.

Tabel 4.

Daftar Asosiasi sebagai pihak pelaku dalam Ekonomi Kreatif

KLUSTER

INDUSTRI KREATIFASOSIASI

Periklanan (kreasi danproduksi iklan)

Asosiasi Praktisi Periklanan Media (APPM),Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I),Asosiasi Komunitas Periklanan Mahasiswa Indonesia(AKPMI)

Arsitektur (tata kota,pertamanan, dll)

Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)

Pasar Barang Seni Asosiasi Pedagang Seni dan Antik (APSA), AsosiasiMuseum Indonesia (AMI), Asosiasi Galeri SenirupaIndonesia (AGSI)

Kerajinan Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI),Asosiasi Eksportir dan Produsen HandicraftIndonesia (ASEPHI), Asosiasi Permebelan danKerajinan Tangan Indonesia (ASMINDO), AsosiasiKerajinan Kulit Indonesia (AKPI)

Desain (interior,eksterior, grafis)

Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI), AsosiasiDesainer Produk Indonesia, Himpunan DesainerInterior Indonesia

Fashion (tata busana) Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia(APPMI), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API)

Video ASIREVI (Asosiasi Industri Rekaman VideoIndonesia), Asosiasi Industri Rekaman VideoIndonesia, AIVI (Asosiasi Industri Video Indonesia),

25

Film Indonesian Motion Picture Associations (IMPAS;terdiri dari 9 Asosiasi yaitu: Indonesian FilmDirectors Club (IFDC), Rumah Aktor Indonesia(RAI), Indonesia Motion Picture and AudioAssociation (IMPAct), Penulis Indonesia untukLayar Lebar (PILAR), Asosiasi Produser SinemaIndonesia (APSI), Sinematografer Indonesia (SI),Indonesian Film Editors (INAFEd), IndonesianProduction Designer (IPD), dan Asosiasi CastingIndonesia (ACI); Asosiasi Produser Film Indonesia(APROFI); Persatuan Perusahaan Film Indonesia(PPFI); ASIREFI : Asosiasi Rekaman Film Indonesia;Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) PenyalurDaya Kreasi Artis Film Pertunjukan Film Keliling);Asosiasi Importir Film Eropa-Amerika; APFII(Asosiasi Pekerja Film Iklan Indonesia).

Fotografi Asosiasi Fotografer Indonesia, Asosiasi FotograferProfesional, Asosiasi Fotografer Forensik Indonesia

Permainan Interaktif Asosiasi Animasi Indonesia (ANIMA), AsosiasiIndustri Animasi dan Konten Indonesia (AINAKI),Asosiasi Game Indonesia (AGI)

Musik Asosiasi Penerbit Musik Indonesia (APMINDO),Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), AsosiasiPengusaha Musik Indonesia (APMI), Ikatan Pendidikdan Pengelola Pendidikan Musik Indonesia (IPPPMI),Koperasi Seniman Musik Indonesia (KOSMINDO),Asosiasi Music Director Indonesia (AMDI), AsosiasiKomunitas Musisi Indie Indonesia (ASKOMINDO),Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI),

Seni Pertunjukan Asosiasi Seni Pertunjukan Pariwisata Indonesia(ASPPI), Asosiasi Pendidik dan Praktisi SeniPertunjukan Indonesia

Penerbitan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Asosiasi PenerbitanMajalah Print Media Indonesia, Asosiasi PenerbitPerguruan Tinggi Indonesia (APPTI),

Percetakan PPGI, Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia(PPGI), Asosiasi Perusahaan Percetakan Indonesia,Asosiasi Pengusaha Photocopy & Percetakan; AsosiasiPengusaha Mesin Cetak

26

Layanan Komputer Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia(APKOMINDO), Asosiasi Industri TeknologiInformatika Indonesia (AiTI)

Piranti Lunak ASPILUKI, Asosiasi Peranti Lunak TelematikaIndonesia.

Televisi Asosiasi Stasiun Televisi di Indonesia, ATVSI (AsosiasiTelevisi Swasta Indonesia), Asosiasi PengusahaTV Kabel Indonesia (Aptekindo), Asosiasi TelevisiKomunitas Indonesia (ASTVKI), Asosiasi TelevisiJaringan Indonesia (ATVJI), Asosiasi Televisi SiaranIndonesia (ATVISI)

Radio Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia(PRSSNI), Asosiasi Radio Siaran Swasta LokalIndonesia (ARSSLI); Asosiasi Radio Model Indonesia(ARMI), Asosiasi Pengarah Berita Radio-Televisi,AMRI (Asosiasi Marketing Radio Indonesia); PenggiatJaringan Radio Komunitas Indonesia (PJRKI )

Riset & Pengembangan Persatuan Konsultan Indonesia (PERKINDO),Asosiasi Konsultan Nasional Indonesia.

Kuliner Asosiasi Pengusaha Pengadaan Barang & JasaIndonesia (ASPANJI), APJI (Asosiasi PengusahaJasa Boga Indonesia) atau Asosiasi Catering SeluruhIndonesia

Sumber: diolah dari berbagai sumber.

Berdasarkan keterlibatan empat pihak untuk menerapkanstrategi pemerekan berbasis ekonomi kreatif, beberapa langkahyang dapat dilakukan bersama secara simultan adalah, pertama,identifikasi sejumlah elemen identitas pembentuk kekhasansuatu objek (produk, perusahaan, wilayah). Strategi pemerekanberbasis ekonomi kreatif bagi suatu wilayah, misalnya ProvinsiJawa Barat, dapat menggunakan kekhasan atas produk fashionyang diproduksi di wilayah Jawa Barat. Identitas pembentukkekhasan suatu wilayah dapat didukung melalui suatu kebijakanyang ditetapkan pemerintah setempat, misalnya melalui peraturandaerah setempat. Kedua, tetapkan positioning wilayah dengan

27

menggunakan sejumlah alat komunikasi pemasaran tradional(iklan, promosi penjualan, hubungan masyarakat, pemasaranlangsung) dan non-tradisional (sosial media seperti facebook,twitter, dll). Pemerintah dan industri dapat bekerja bersamauntuk mengoptimalkan strategi positioning suatu wilayah melaluikomunikasi pemasaran terintegrasi sehingga membentuk citrawilayah berbasis ekonomi kreatif. Ketiga, melakukan pengukuranatas kesan yang dipersepsikan

28

DAFTAR PUSTAKA

., 2012., Buku Directory Industri Kreatif Jawa Barat,Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Pemerintah ProvinsiJawa Barat

., 2013., Laporan Matahari Department Store, 15 May,halaman 4; Maybank Kim Eng Research Pte. LTd

., 2013., RPJMD Pemerintah Provinsi Jawa Barat 2013-2018

Aaker, David, 1991. Managing Brand Equity : capitalizing on the valueof a brand name. New York : The Free Press

Aaker, David, 1997. Manajemen Ekuitas Merek. Cetakan Pertama.Jakarta : Mitra Utama

Aaker, David A. 2004. Leveraging The Corporate Brand. CaliforniaManagement Review. Vol. 46. no. 3. page. 6-18.

Arnkil, Robert; Järvensivu, Anu; Koski, Pasi; & Piirainen, Tatu;2010. Exploring Quaduple Helix: Outlining user-oriented innovationmodel. Working Papers. Työraportteja 85/2010. Final report onquadruple helix research for the CLIQ Project. Co-Finance byEuropean Regional Development Fund.

Bjerregaard, Toke. (2009) Universities-industry collaboration strategies:a micro-level perspective. European Journal of InnovationManagement 12.2 : 161-176.

Brundin, Ethel; Wigren, Caroline; Isaacs, Eslyn; Friedrich, Chris;Visser, Kobus. (2008) Triple Helix Networks In A MulticulturalContext: Triggers And Barriers For Fostering Growth AndSustainability. Journal of Developmental Entrepreneurship 13.1(Mar): 77-98.

Buerkler, Erich. (2013) Critical success factors for joint innovation:Experiences from a New Zealand innovation platform. The Innovation

29

Journal 18.2 : 0_1,1-23.

Carayannis, Elias G & David F.J. Campbell, 2009., ‘Mode 3’and ‘Quadruple Helix’: toward a 21st century fractal innovationecosystem. International Journal Technology Management, Vol.46, No.3/4

Carayannis, Elias G & David F.J. Campbell, 2012. Mode 3 KnowledgeProduction in Quadruple Helix Innovation Systems, Springer Brieftsin Business 7,

Rebernik, Miroslav., 2009., Quadruple Helix of Entrepreneurship andManagement Education. Review of International ComparativeManagement., Vol 10, Issue 5, December.

Etzkowitz, Henry. 2002. MIT and the Rise of Entrepreneurial Science.London: Routledge.

Etzkowitz, Henry & Ranga, Marina. 2010. A Triple Helix System forKnowledge-Based Regional Development: From “Spheres” to “Spaces”.http://www.triplehelixconference.org/th/8/downloads/Theme-Paper.pdf

Fantanariu, Andra Maria. 2012. Greece, The Image Of A SuccessfulBrand?. Alexandru Ioan Cuza University. page 1-8.

Grundey, Dainora. (2009). Branding strategies during economic crisis:avoiding the erosion. Economics & Sociology. Vol 2 Issue 2 :9-22,127.

Heding, T., Knudtzen, C.F., Bjerre, M. (2009). Brand Management:Research, Theory and Practice. - Oxon: Routledge.

Hu, Mei-Chih; Mathews, John A. (2009) Estimating the innovationeffects of university-industry-government linkages: The case of Taiwan.Journal of Management and Organization 15.2 (May): 138-154.

Jones, Peter; Shears, Peter; Hillier, David; Clarke-Hill, Colin.(2002). Customer perceptions of services brands: A case study of J.D.Wetherspoons; British Food Journal 104.10/11 pp: 845-854.

30

Johnson, William H A. (2007). Managing Collaborations of EngineeringManagement With Academia and Government in Triple HelixTechnology Development Projects: A Case Example of Precarn Fromthe Intelligent Systems Sector. Engineering Management Journal19.2 (Jun): 12-22.

Joske F. G. Bunders; Broerse, Jacqueline E W; Zweekhorst, MarjoleinB M. (1999) The Triple Helix Enriched with the User Perspective:A View from Bangladesh. Journal of Technology Transfer 24.2-3(Aug): 235-246.

Kaukonen, Erkki; Nieminen, Mika. (1999) Modeling the Triple Helixfrom a Small Country Perspective: The Case of Finland. Journal ofTechnology Transfer 24.2-3 (Aug): 173-183.

Kotler, Philip, dan Gary Armstrong. 2013. Principles of Marketing.Fourteenth Edition. Pearson Education Limited.

Kotler, Philip, dan Kevin Keller. 2012. Marketing Management,Fourteenth Edition. Pearson Education Limited.

Kotler, Philip & Armstrong, Gary, 2012. Principles of Marketing. 14thedition. Boston : Pearson Education Prentice Hall

Kotler, Philip & Kevin, L. Keller, 2012. Marketing Management. 14thedition. Boston : Pearson Education Prentice Hall

Kotler, Philip & Pfoertsch, Waldemar, 2010. Ingredient Branding :Making The Invisible Visible. Evanston : Springer

Li, Xiaoli. (2013). Enlightenment on the Construction of American andJapanese University Technology Transfer Organizations Based on TripleHelix Model, Journal of Applied Sciences 13.15 : 2909-2913.

Lincoln, Guy; Williams, Clare Elwood. (1995). Branding pubs - can itwork?; International Journal of Wine Marketing. Vol 7, Issue 2 pp:5-20.

Lind, Frida; Styhre, Alexander; Aaboen, Lise. (2013) Exploringuniversity-industry collaboration in research centres. EuropeanJournal of Innovation Management 16.1 : 70-91.

32

Melewar, T.C. and Saunders, J. 1998, “Global corporate visual identitysystems: standardisation, control and benefits”, InternationalMarketing Review, Vol. 15 No. 4, pp. 291-308.

Meredith, Sandra; Burkle, Martha. (2008) Building bridges betweenuniversity and industry: theory and practice. Education & Training50.3 : 199-215.

Mets, Tonis., 2006., Creating a knowledge transfer environment: The caseof Estonian biotechnology., Management Research News., Vol. 29No. 12, pp. 754-768

Nedeva, Maria; Georghiou, Luke; Halfpenny, Peter. (1999)Benefactors or Beneficiary--The Role of Industry in the Support ofUniversity Research Equipment. Journal of Technology Transfer24.2-3 (Aug): 139-147.

Pei-Lee, Teh and Yong Chen-Chen., 2008., Multimedia University’sexperience in fostering and supporting undergraduate studenttechnopreneurship programs in a triple helix model., Journal ofTechnology Management in China., Vol. 3 No. 1, pp. 94-108

Wheeler, Alina. 2009. Designing Brand Identity. Third Edition. WileyPublishing.

Wong, Poh-Kam., 2007., Commercializing biomedical science in a rapidlychanging ‘‘triple-helix’’ nexus: The experienceof the National Universityof Singapore., Journal of Technology Transfer ., 32:367–395

www.triplehelixconference.org/th/8/downloads/Theme-Paper.pdf

www.leydesdorff.net

Zhou, Chunyan., 2008., Emergence of the entrepreneurial university inevolution of the triple helix: The case of Northeastern University inChina, Journal of Technology Management in China, Vol. 3 No.1, pp. 109-126