Béwara - Berita Paroki

32

Transcript of Béwara - Berita Paroki

Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019 1

DAFTAR ISI Béwara

Wartawan Béwara pada penugasan selalu dibekali tanda pengenal dan tidak diperkenankan menerima/meminta apapun dari narasumber.

Komunikasi Berbagi Menguatkan Iman Kristiani

Berita Warga Gereja Santa Odilia

E D I S I N O . 3 7NOVEMBER 2019

Potographer: Y. Suharsono Grafis: Sandra S.Hariadi. Model: Arvin

Sapaan Gembala

Psikologi22 Melepas yang Pergi

Keluarga12 Menjadi Lebih Baik

3 Aku Mati Supaya Aku Tidak Mati

Warta Utama4 Diselamatkan dalam Persekutuan Para Kudus

Katekese10 Kebangkitan Badan

9 Bersyukur ada EkaristiReligiusitas

Kategorial11 Ultah Yayasan Camillus ke 90 "Menjadi Ibu bagi Setiap Orang"

Biografi28 Santo Andreas

"Menjadi Penjala Manusia"

Bina Iman Anak

24 Lingkungan St. Michael, Cikutra Selatan, "Melayani dengan Istimewa"

Berita Paroki

7 Kearifan Lokal Roh

17 Dibaptis dan Diutus Mewartakan Sukacita Injil

14 Berhidroponik di Tanah Karang

18 Semua Dibaptis dan Diutus19 Berkatekese dengan Film

26 Bersahabat dengan Lingkungan

13 HPS 2019: Berani Berbagi Berkat

Profil Kita

25 Pasutri Iyus dan Neneng"Rahasia Keberhasilan"

21 Media Paroki, Cetak vs Daring

Seputar Keuskupan20 Wartakan Injil dan Keselamatan

Email, telepon, dan nomor rekening yang berhubungan dengan Sie Komunikasi Sosial Paroki Santa Odilia dan Majalah Béwara dan liputannya:

1. Email: [email protected] cc [email protected]. Telepon dan WA: 0895 2644 35483. Nomor rekening: BCA cab. A. Yani no. 437 1800 144 a/n. Andreas RM/Sandra SH.

IKLAN / UCAPANMajalah Béwara edisi online/daring Paroki Santa Odilia menyediakan ruang yang dapat digunakan sebagai sarana promosi Perusahaan, Produk, Jasa yang Anda miliki atau untuk memberi Ucapan Khusus/Syukur kepada pihak lain. Informasi selanjutnya hubungi nomor 0895 2644 3548.

Tidak menerima iklan bernuansa politik dan unsur SARA. Isi iklan di luar tanggung jawab Redaksi Béwara

23 Konsultasi Psikologi

2 Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019

EDITORIAL

BéwaraKomunikasi Berbagi Menguatkan Iman Kristiani

Berita Warga Gereja Santa OdiliaTEAM REDAKSI

Sampurasuuuun...

Sebuah lagu yang belakangan sering kita dengar berjudul "Hidup Ini adalah Kesempatan" berbunyi kira-kira sebagai berikut:

Hidup ini adalah kesempatanHidup ini untuk melayani TuhanJangan sia-siakan waktu yang Tuhan b'riHidup ini harus jadi berkat

Oh Tuhan pakailah hidupkuSelagi aku masih kuatBila saatnya nantiKu tak berdaya lagiHidup ini sudah jadi berkat

Lagu ini adalah sebuah permenungan luar biasa tentang betapa terbatasnya waktu yang dimiliki manusia. Namun apabila diisi dan menjadi penuh makna maka tidak akan ada penyesalan bagi kita di akhir hayat nanti.

Menurut cerita permenungan yang menghasilkan lagu ini adalah seorang Pendeta GBI yang kehilangan anaknya, yang penuh talenta dan penuh semangat dalam pelayanan, dalam sebuah kecelakaan maut.

Kebanyakan kita yang larut dalam kesibukan keseharian kita lupa bahwa hidup ini hanya akan berarti jika menjadi berkat bagi sesama. Dalam keseharian kita cenderung mencari kecukupan dan kesenangan untuk diri sendiri. Mudah jatuh dalam drama bahwa hidup saya menderita dan penuh cobaan, tapi gagal melihat berkali-kali kesempatan yang diberikan Tuhan bagi kita untuk melayani sesama.

Kadang kita perlu sesekali diingatkan agar jangan sampai di saat-saat terakhir menjelang kematian ada kekecewaan dan sesal yang sudah terlambat. Hal ini yang akan menjadi pembeda antara yang sudah siap menghadap Allah dengan yang masih ribet sama dunia.

Redaksi

Béwara diterbitkan olehSeksi Komunikasi Sosial

Paroki Santa Odilia

Pelindung & PenanggungjawabPst. E. Bambang Adhi P., OSC

Pemimpin RedaksiRaymon Mudrig

Wakil Pemimpin RedaksiYulianus Suhartono

BendaharaPatricia Astrid

Staf RedaksiAgustina Utami, Aninditya Regina,

Anthonius Iwan Adhipraja, Antonia Karina, B. Ario Tejo S.,

Daniel Setiawan, Evan Adrianto, Firta Yolin, Ignatius Eka Bhakti, Laurensia Bertha, Maria Dona,

Oetomo, Patricia Astrid,Sandra S. Hariadi, Sisvo Bernardus

FotograferHarsono, Yoseph Kebe,

Aninditya Regina, Benedictus

EditorB. Ario Tejo S., Firta Yolin,

Rendra Dwi Jadmaka

Desain/Tata LetakYoseph Kebe

IklanAnastasia K.Y.

KarikaturRoni Y. Nurak

Web. AdminKrisogonus Ferdie R.

Tata UsahaSandra - 0895 2644 3548

Alamat RedaksiJl. Cikutra 7, Bandung 40124

Telp: 022-7271501 WA: 0895 2644 3548

Website - Email - Medsoswww.odilia.online

[email protected]@gmail.com

instagram: @komsosodiliacicadas

Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019 3

Sapaan Gembala

Iman Kristen akan kebangkitan sejak awal bertemu dengan berbagai perlawanan. Dan St. Agustinus mengatakan bahwa, “Tidak ada satu

topik pun dalam iman Kristen yang mengalami lebih banyak perlawanan daripada yang berhubungan dengan kebangkitan badan.” Pada umumnya orang berpendapat bahwa kehidupan pribadi manusia sesudah kematian bersifat rohani. Tetapi bagaimana orang dapat percaya bahwa tubuh ini yang nyata-nyata mati, akan bangkit lagi untuk kehidupan kekal?

Apa artinya bangkit? Pada saat kematian jiwa berpisah dari badan. Tubuh manusia mengalami kehancuran, sedangkan jiwanya melangkah menuju Allah dan menunggu saat di mana ia sekali kelak akan disatukan dengan tubuhnya. Dalam kemahakuasaan-Nya Allah menganugerahkan kepada tubuh kita secara definitif kehidupan abadi dan Ia menyatukannya lagi dengan jiwa kita berkat kebangkitan Kristus. Kebangkitan badan merupakan rahmat atau hadiah Allah. Lalu siapa yang akan dibangkitkan? Semua manusia yang telah meninggal (bdk. Yoh. 5:29).

Bagaimana orang mati itu akan bangkit? Kristus telah bangkit dengan tubuh-Nya sendiri tetapi Ia tidak kembali lagi kepada kehidupan di dunia ini. Dia bangkit dengan tubuh-Nya yang mulia dan rohani, oleh karena itu, Ia tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Kodrat manusiawi-Nya tidak dapat ditahan lagi di dunia ini dan sudah termasuk dunia ilahi Bapa-Nya. Atas dasar ini Yesus yang bangkit juga bebas untuk menampakkan diri sesuai dengan kehendak-Nya, misalnya dalam sosok seorang tukang kebun (Yoh. 20:14-15), atau dalam satu bentuk lain dari bentuk yang sudah terbiasa untuk para murid (Mrk. 16:12).

Atas cara demikian “Semua orang akan bangkit… dengan tubuhnya sendiri yang sekarang mereka miliki” (Konsili Lateran IV; DS801). Tetapi tubuh mereka akan diubah ke dalam rupa tubuh yang mulia (Flp. 3:21), ke dalam tubuh rohani (1 Kor. 15:44).

Mereka tidak lagi hidup seperti tubuh mereka saat ini tetapi tubuh mereka memiliki sifat-sifat tubuh baru yang dimuliakan. Kalau misalnya sekarang dia hitam mungkin pada saat kebangkitan dia bisa putih. Mereka hidup seperti malaikat, kehidupan mereka tidak lagi seperti di dunia ini (Mrk. 12:25).

Cara ini melampaui gambaran dan pengertian kita. Kita hanya dapat menerimanya dalam iman. Namun penerimaan ekaristi sudah memberi kepada kita satu gambaran terlebih dahulu mengenai perubahan rupa badan kita oleh Kristus, yaitu seperti yang dikatakan oleh St. Ireneus bahwa kalau kita menerima Ekaristi, tubuh kita tidak takluk kepada kehancuran tetapi memiliki harapan akan kebangkitan.

Kristus akan membangkitkan kita pada hari kiamat, tetapi di pihak lain kita telah bangkit bersama Kristus dalam arti tertentu. Oleh Roh Kudus kehidupan Kristen di dunia ini merupakan keikutsertaan pada kematian dan kebangkitan Kristus. Umat beriman telah disatukan dengan Kristus melalui pembaptisan dan karena itu sekarang juga telah mengambil bagian dalam kehidupan surgawi Kristus yang telah dibangkitkan. Di dalam Kristus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga (Ef. 2:6).

Setelah kehidupan kita di dunia ini pasti ada kehidupan baru yang berbeda dengan hidup saat ini. Kebangkitan badan bukanlah keyakinan dan harapan yang kosong tetapi merupakan harapan setiap orang Kristen yang pasti. (*)

AKU MATISUPAYAAKU TIDAK MATI

Pastor Emanuel Bambang Adhi Prakosa, OSC

4 Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019

WARTA UTAMA

Ilustrasi kelahiran dan kematian sebagai saudara kembar yang menyertai manusia. (Foto: internet).

Kelahiran dan kematian merupakan suatu realitas yang tidak dapat ditolak oleh manusia. Dalam kelahiran dan kematian yang dialami

oleh manusia, tidak ada pilihan bagi manusia. Dalam kelahiran, manusia tidak dapat memilih apakah ia mau dilahirkan atau tidak, siapakah ibu yang akan melahirkannya, bagaimanakah kondisi ekonomi keluarga yang akan melahirkan, apakah ia kaya atau miskin, dari suku manakah kedua orangtuanya, kondisi tubuh yang bagaimanakah yang akan dibawanya, apakah cacat atau normal, apakah kulit berwarna kuning atau berwarna gelap, apakah rambut kepalanya lurus atau keriting, dan lain-lain. Demikian juga dengan kematian, banyak hal yang tidak dapat dipilih oleh manusia (kecuali bunuh diri yang secara moral tidak dapat dibenarkan).

Manusia tidak dapat memilih kapan ia akan mati dan bagaimana ia akan mati. Apalagi di zaman sekarang, kematian mendadak sering terjadi, entah karena penyakit, kecelakaan, pembunuhan atau perang. Jadi, setuju atau tidak setuju, kelahiran dan kematian akan datang kepada manusia. Ketika kelahiran dan kematian belum datang manusia tidak bisa mengharapkannya. Tetapi ketika kelahiran dan kematian itu datang, manusia tidak bisa menolaknya. Manusia hanya bisa menerima dan menyambut kelahiran dan kematiannya.

Dengan kelahiran, secara kasat mata, manusia yang dulunya tidak ada di dunia menjadi ada di dunia. Dengan kematian, secara kasat mata pula, manusia yang dulunya ada di dunia menjadi tidak ada lagi di dunia. Setiap manusia mempunyai masa

DISELAMATKAN DALAM PERSEKUTUAN PARA KUDUS

Oleh: B. Ario Tejo Sugiarto **

hidupnya masing-masing. Masa kehidupan manusia dari kelahiran sampai kematian biasanya dituliskan di batu nisan yang ada di atas kuburnya. Di batu nisan itu selalu tertulis nama, tanggal kelahiran dan tanggal kematian. Hal ini menunjukkan sebuah kisah bahwa di dunia dari tahun yang tersebut di batu nisan dan sampai tahun yang tersebut di batu nisan pernah hidup seorang manusia yang bernama yang tersebut di batu nisan. Namun, kisah hidup manusia tersebut terlalu panjang untuk dikisahkan di batu nisan. Kelahiran dan kematian adalah suatu kepastian bagi manusia. Setiap manusia memiliki gilirannya masing-masing. Kita dapat membayangkan seandainya di dunia ini hanya ada kelahiran dan tidak ada kematian. Yang terjadi adalah dunia ini akan penuh dengan manusia.

Kenangan akan kelahiran dan kematian itu tidak dapat dipisahkan. Ketika orang mengenang kelahiran seseorang dengan sendirinya ia juga mengenang kematiannya. Demikian juga sebaliknya, ketika orang mengenang kematian seseorang dengan sendirinya ia juga mengenang kelahirannya (kehidupannya).

Dengan demikian, ketika kita merayakan hari ulang tahun seseorang termasuk diri kita sendiri, kita sering menyanyikan lagu “Panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya, serta mulia, serta mulia, serta mulia...” atau lagu “Selamat ulang tahun kami ucapkan, selamat panjang umur kita’kan doakan, selamat sejahtera sehat sentausa... selamat panjang umur dan bahagia.”

Saat menyanyikan lagu ini, sebenarnya ada dua hal yang kita kenang, yaitu kelahiran dan kematian. Dengan merayakan ulang tahun, kita mengenang hari kelahiran kita.

Dengan merayakan ulang tahun, kita merayakan bahwa usia kita bertambah satu tahun. Namun, dengan mengenang bertambahnya usia kita satu tahun, sebenarnya kita juga merayakan berkurangnya satu tahun masa hidup yang telah ditentukan untuk kita. Sebagai contoh: pada saat kita merayakan ulang tahun yang ke-20, usia kita bertambah satu tahun dari usia 19 tahun ke usia 20 tahun. Namun, sekaligus

Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019 5WARTA UTAMA

juga kita merayakan berkurangnya masa hidup kita. Yang sebelumnya kita telah menjalani hidup ini selama 19 tahun, berikutnya kita telah menjalani hidup kita selama 20 tahun. Hanya saja, kita tidak pernah tahu kapan hidup kita akan berakhir. Jadi, sesungguhnya kelahiran dan kematian bagaikan saudara kembar yang selalu berjalan beriringan. Kelahiran dan kematian bagaikan saudara kembar yang tak terpisahkan. Di mana ada kelahiran, di sana pula ada saudara kembarnya yaitu kematian. Kita boleh bahagia dan berbangga dengan pencapaian umur kita dan pencapaian semua prestasi pada saat kita merayakan ulang tahun kita, tetapi kita harus juga bersikap bijaksana dan rendah hati karena pada saatnya kita akan meninggalkan semuanya. Dengan merayakan ulang tahun kita juga mengenangkan hari kematian kita.

Kelahiran dan kematian adalah sebuah misteri. Banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam benak manusia seputar kelahiran dan kematian. Sebelum dikandung dan dilahirkan, manusia ada di mana? Sejak kapan manusia itu ada? Setelah manusia meninggal, apakah kehidupan manusia berakhir? Apakah ada kehidupan setelah kematian? Bagaimanakah dan seperti apakah kehidupan setelah kematian itu? Bagaimanakah hubungan orang-orang yang sudah meninggal dengan orang-orang yang masih hidup?

Hampir setiap tradisi filsafat, tradisi agama dan teologi, tradisi budaya mencoba memahami dan menjawabi makna kelahiran, kehidupan, dan kematian manusia. Misteri ini tidak pernah selesai untuk dikupas. Bahkan banyak aneka pemikiran yang muncul hasil refleksi manusia tentang kehidupan dan kematian. • Ada pemikiran yang mengatakan bahwa

kehidupan manusia itu bersifat biologis saja. Dengan kelahiran, manusia menjadi ada. Dengan kematian, manusia menjadi tidak ada lagi. Sebelum kelahiran, manusia tidak ada. Setelah kematian, manusia menjadi tidak ada lagi. Karena itu, kematian tidak perlu ditakutkan karena ketika manusia hidup kematian itu tidak ada dan ketika manusia mati kehidupan itu tidak ada lagi. Hidup manusia selesai.

• Ada pemikiran yang mengatakan bahwa kehidupan manusia itu bersifat siklis, berputar terus-menerus. Manusia memiliki roh yang bersifat kekal. Roh manusia yang kekal ini kemudian menyatu dengan badan di dunia. Ketika manusia mati, roh manusia ini lepas dari badannya dan menunggu untuk dilahirkan kembali. Pada saat yang sudah ditentukan roh manusia ini akan kembali lagi ke dunia untuk dilahirkan kembali (reinkarnasi). Hal ini terjadi terus-menerus tiada berhenti sampai manusia mencapai bentuk yang paling sempurna dari

Kematian manusia yang penuh dengan Ilustrasi misteri. (Foto: Internet.)

dirinya sendiri. Ketika manusia telah mencapai kesempurnaannya maka siklus kehidupannya berakhir. Manusia akan hidup bahagia dalam kesempurnannya.

• Ada pemikiran yang mengatakan bahwa hidup manusia itu hanya terjadi satu kali. Namun, setelah kematiannya, manusia masih memiliki kehidupan lain yang bersifat kekal di akhirat. Kehidupan setelah kematian ini tidak berbeda dengan kehidupan di dunia yang bersifat kedagingan. Jadi, manusia masih membutuhkan makanan, pakaian, perumahan, mobil dan bahkan masih ada juga proses kawin dan dikawinkan. Kematian sesungguhnya hanya memindahkan kehidupan yang ada di dunia. Apabila manusia hidup di dunia kaya-raya dan bergelimang harta maka manusia akan hidup di akhirat dengan kondisi yang sama kaya-raya dan bergelimang harta. Kondisi di dunia merupakan gambaran kondisi di akhirat. Bahkan berkaitan dengan usia, usia manusia di akhirat itu sama dengan usia manusia ketika ia meninggal. Apabila manusia meninggal di usia muda, maka di akhirat manusia akan hidup sebagai manusia yang berusia muda sampai selama-lamanya. Apabila manusia meninggal di usia tua, maka di akhirat manusia itu akan hidup sebagai manusia yang berusia tua sampai selama-lamanya.

Bagaimanakah pemikiran dari Gereja Katolik tentang kehidupan dan kematian manusia? Sejak awal, Gereja Katolik memiliki tradisi doa, ibadat atau misa untuk mengenang kepergian orang-orang yang sudah meninggal. Tradisi ini kemudian bertemu dan menyatu dengan tradisi-tradisi budaya lokal di berbagai tempat di Indonesia yang memiliki tradisi untuk mengenang orang-orang yang sudah meninggal dengan berbagai tata cara dan upacara pada hari yang pertama, hari yang ketiga, hari yang ketujuh, hari yang ketigapuluh, hari yang keseratus, sampai dengan hari yang keseribu.

Gereja Katolik sendiri secara resmi telah menetapkan dalam kalender liturginya ada dua perayaan khusus untuk mengenang orang-orang yang telah meninggal setiap tahunnya, yaitu: 1 November untuk merayakan pesta seluruh orang kudus (mereka yang sudah meninggal dan sudah bersatu dengan Allah di Surga) dan 2 November

6 Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019 WARTA UTAMA

Ilustrasi berdoa bagi mereka yang sudah meninggal.. (Foto: Internet).

Ilustrasi: Gambaran Jiwa-jiwa manusia di Api Penyucian .(Foto: internet).

untuk mengenang dan mendoakan mereka yang sudah meninggal dan masih berada di Api Penyucian. Hal ini sebenarnya didasari oleh teologi Gereja Katolik tentang “Persekutuan Para Kudus”.

“Persekutuan Para Kudus” merupakan salah satu yang diimani oleh Gereja Katolik sebagaimana tertuang dalam Syahadat Para Rasul “Aku percaya akan Roh Kudus, Gereja Katolik yang Kudus, Persekutuan Para Kudus, Pengampunan Dosa, Kebangkitan Badan, Kehidupan Kekal, Amin”. Dalam teologi “Persekutuan para Kudus”, ada beberapa hal yang sangat penting yang diimani oleh Gereja Katolik.

Setiap manusia diberi kesempatan hidup hanya sekali dan manusia tidak akan pernah dapat mengulang kembali kehidupannya. Selanjutnya, dalam konteks “Persekutuan Para Kudus”, orang-orang beriman dikelompokkan menjadi tiga bagian besar.

Pertama, orang-orang beriman yang sudah menyelesaikan tugasnya di dunia dengan sempurna dan mereka sudah berbahagia bersama Allah di Kerajaan Surga. Orang-orang beriman ini disebut sebagai Gereja yang mulia atau Gereja yang jaya.

Kedua, orang-orang beriman yang sudah meninggal dunia dan mereka masih belum bersatu dengan Allah dalam Kerajaan Surga karena proses pemurnian diri yang harus mereka jalani. Orang-orang beriman ini berada di suatu tempat yang disebut dengan Api Penyucian. Ketika proses pemurnian jiwa mereka sudah selesai, mereka diperkenankan bersatu dengan Allah dalam Kerajaan Surga. Orang-orang beriman ini disebut sebagai Gereja yang menderita.

Ketiga, orang-orang beriman yang masih hidup dan masih berjuang di dunia yang penuh dengan ketidakpastian. Di dunia ini, orang-orang beriman harus memperjuangkan dan mempertahankan

kemurniannya dan imannya di tengah badai penderitaan, di tengah tawaran kesenangan-kesenangan dunia, di tengah kenikmatan-kenikmatan dan godaan-godaan badaniah. Orang-orang beriman ini

disebut sebagai Gereja yang berjuang. Bagaimanakah hubungan antara ketiga Gereja ini (Gereja yang mulia, Gereja yang menderita, dan Gereja yang berjuang)?

Secara singkat sebenarnya hubungan antara ketiga Gereja ini ada di dalam doa. Gereja yang mulia, yaitu orang-orang beriman yang sudah bersatu dengan Allah di Surga, mempersembahkan doa-doa pujian di hadapan Allah demi keteguhan iman Gereja yang berjuang, yaitu orang-orang beriman yang masih berjuang di dunia.

Berikutnya, Gereja yang berjuang, yaitu orang-orang beriman yang masih berjuang di dunia, mempersembahkan doa-doa, ibadat, puasa, pantang, dan seluruh penderitaan yang dilakukan dan dialaminya di dunia sebagai silih atas dosa-dosa Gereja yang menderita, yaitu orang-orang beriman yang masih menderita di Api Penyucian. Gereja yang menderita adalah Gereja yang tidak berdaya. Orang-orang beriman di sini tidak dapat menolong dirinya sendiri. Yang mereka lakukan hanyalah menerima proses pemurnian jiwa yang harus mereka jalani. Yang dapat menolong mereka untuk mempercepat proses pemurnian jiwa mereka hanyalah Gereja yang masih berjuang di dunia. Gereja yang berjuang mengambil bagian dalam penebusan yang dilakukan oleh Yesus Kristus untuk mempersembahkan seluruh penderitaannya di dunia demi pengampunan dosa orang-orang beriman yang masih berada di Api Penyucian.

Dengan demikian, orang-orang beriman yang masih berada di Api Penyucian dapat mempercepat proses pemurnian jiwanya dan dapat segera bersatu dengan Allah dalam Kerajaan Surga. Ketika orang-orang beriman dibebaskan dari Api Penyucian dan diperkenankan untuk bergabung dengan para kudus di Surga, mereka akan menjadi pendoa-pendoa bagi Gereja yang berjuang. Dalam doa, terjalinlah “Persekutuan Para Kudus”. Dalam persekutuan ini, seluruh umat beriman saling bergandengan tangan untuk bersama-sama saling membantu dan saling menuntun untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga. Hidup memang kita jalani secara pribadi, tetapi kita semua diselamatkan sebagai suatu persekutuan umat beriman. (*)

* B. Ario Tejo Sugiarto adalah Pengajar di LPH-Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019 7

Semua agama mempercayai bahwa agamanya berasal dari Allah yang Esa. Tetapi mengapa selalu ada kecenderungan bahwa agamanya

yang benar-benar berasal dari Allah, yang lain diragukannya. Itulah sebabnya Raja Asoka di India, yang beragama Budha, mengatakan bahwa orang yang menghina agama lain sama saja dengan menghina agamanya sendiri. “Semua agama tidak sama, tetapi semua agama sama di hadapan Allah.” Mengapa terjadi demikian? Kita dapat menyimak dari catatan Suria Saputra tentang masyarakat Baduy pada sekitar tahun 1950. Intinya: pada mulanya hanya ada Awang-Awang-Uwung-Uwungan alias kosong atau suwung. Suwung tidak berarti tidak ada apapun. Suwung adalah istilah untuk suatu keabadian atau infinitas atau tak terbatas. Berbeda artinya dengan arti “suwung” di dunia manusia yang terbatas. Suwung atau kosong dalam arti ketidakterbatasan yang abadi sama saja artinya dengan kepenuhan yang sepenuh-penuhnya. Sesuatu yang abadi tak terbatas tak memiliki sifat-sifat karena terdiri dari semua sifat yang dikenal manusia, sifat yang akan dikenal manusia, sifat yang tak mungkin dikenal manusia, begitulah komentar ahli ilmu jiwa Carl Gustav Jung. Sebelum semua yang kita kenal sebagai “ada” itu ada, yang ada ialah “ketidakadaan” dalam arti keberadaan yang tak mungkin dikenal manusia yang terbatas. Nenek moyang masyarakat Sunda dahulu menyebutnya sebagai: ayana aya, ayana teu aya (adanya ada, adanya tidak ada). Bagaimana yang tidak ada menimbulkan yang ada? Ternyata masyarakat kesepuhan Banten Kidul memiliki ungkapan terkenal berbunyi: tilu sapamulu, dua sakarupa, hiji eta keneh (tiga yang setara, dua yang sama rupanya, satu yang itu juga).

Meskipun pemilik ungkapan itu tak pernah menjelaskannya sebagai prinsip metafisika secara keilmuan, tetapi semata-mata wujud praktik

kehidupan sehari-hari, kita dapat memaknainya secara filosofis (yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya). Dari kekosongan itu muncul keluar tiga hal yang setara, yaitu Batara Kersa, Batara Kawasa, Batara Bima Mahakarana, artinya kehendak, tenaga, pikiran. Ketiganya yang muncul keluar dari ketiadaan itu, dalam kitab Sewaka Darma (Budha), disebut sebagai Sang Hyang Hurip. Sesuatu yang “hidup” harus memiliki tiga syarat potensi, yaitu punya kehendak, pikiran, dan tenaga. “Manusia melakukan sesuatu berdasarkan pemikirannya, dan pemikiran itu muncul dari keinginannya,” begitu kata Upanisad yang mungkin sekali amat dikenal kaum pendeta kerajaan Sunda tempo dulu. Kalau kita hubungkan dengan buku Perempuan dan Naga di atas, bahwa “semua agama tidak sama, ”maka dapat diartikan bahwa hakekat Tuhan yang Tak Terbatas yang tak mungkin dikenal manusia yang serba terbatas dalam ruang, waktu, dan pengetahuan ini, setiap kali mengenalkan Diri-Nya kepada umat manusia di berbagai tempat dan berbagai waktu, sesuai dengan permasalahan dasar masyarakat sesamanya, dengan sabda-sabda-Nya yang suci.

Dengan demikian dapat disimpulkan dari mitos lokal ini, bahwa Tuhan Tak Mungkin Dikenal ini selalu mengenalkan Diri-Nya kepada bangsa-bangsa tertentu dan masa sejarah tertentu, yang kemudian kita kenal sebagai ajaran agama yang berbeda-beda karena masyarakatnya berbeda, masalahnya berbeda, waktunya berbeda, budayanya berbeda, bahasanya berbeda. Namun mitos lokal ini menyatakan: dua sakarupa, hiji eta keneh. Meskipun berbeda-beda pada hakekatnya berasal dari sumber yang sama itu. Semua agama yang berbeda-beda itu pada hakekatnya berasal dari Allah (yang tak mungkin kita kenal) agar Allah hadir atau “ada” sesuai dengan sabda atau pemikiran-Nya, agar

KEARIFAN LOKAL ROHOleh: Prof. Yakob Sumardjo

“Dalam Allah perpecahan itu tidak ada.. dan tidak ada banyak agama. Kamulah dalam dunia ini yang membuat perpecahan.. Para anggota dari semua agama sama di hadapan Allah. Allah menguasai setiap agama seperti raja berkuasa atas kerajaannya. Di dunia semua agama tidak sama sebab semua orang tidak mematuhi perintah-perintah Allah.. Mereka menolak dan meremehkan perintah-perintah Allah”, begitulah tertulis dalam buku Perempuan dan Naga, tentang sejarah penampakan Bunda Maria di semua tempat di semua bangsa, yang disusun oleh David Michael Lindsay, Kanisius, 2007.

WARTA UTAMA

8 Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019 WARTA UTAMA

dilakukan umat-Nya. Dengan demikian semua agama merupakan manifestasi, aktualisasi, dan eksistensi dari Tuhan sendiri. Karena manusia tidak taat pada Allah saja, maka manusia saling terpecah belah, akibat masing-masing menuntut agamanya yang paling benar. Tetapi kalau kita mau membuka diri memahami agama-agama lain, maka akan ditemukan banyak hakekat kebenaran dalam agama-agama yang berbeda-beda itu. Itulah sebabnya di sini dicoba menguak kebenaran sebuah mitos lokal yang mudah-mudahan dapat melengkapi apa yang kurang terurai dalam agama kita sendiri. Orang tetap berpegang pada agamanya masing-masing, tetapi kebenaran mutlak itu tak mungkin, kita hanya dapat saling melengkapi dengan saling belajar. Tentang roh orang mati, ada kesamaan antara Alkitab dengan mitos Baduy, yaitu bahwa sebelum kita dilahirkan di dunia ini, sebenarnya kita sudah ada di alam keabadian itu. Kisahnya begini: pada suatu kali Aku (Si Aing) diminta oleh Sang Ayah untuk turun ke dunia. Si Aku menolak diturunkan ke dunia dengan alasan, di dunia besinya tajam-tajam, di dunia apinya panas, di dunia bergerak saja dibatasi. Oleh Sang Ibu (Sunan Ambu) diberi penjelasan, bahwa di dunia besi yang tajam dapat ditumpulkan, api yang panas dapat dipadamkan, sedang bergerak saja dibatasi sama nilainya dengan kebebasan begerak. Mendapat penjelasan Sunan Ambu ini, Si Aku bersedia turun ke bumi dilahirkan sebagai manusia. Tugas manusia di dunia mudah saja, yakni menjadi manusia sederhana, jangan kelebihan dan jangan kekurangan. Kelebihan dapat membuat orang lain tak senang, kekurangan akan membuat orang lain lain disusahkan. Makanlah dengan usahamu sendiri. Makan dan minumlah kalau lapar dan haus. Jangan pernah meminta, tetapi memberi diperbolehkan. Pemberian dari orang lain kalau tak dibutuhkan jangan diterima. Turun ke dunia agar manusia mengenal tata nilai atau sifat-sifat. Inilah inti ajaran hampir semua agama, yakni lakukanlah apa yang ingin orang lain perlakukan padamu. Saya tahu arti tajam kalau mengenal apa yang tumpul. Kita tahu arti kebebasan ketika kita sudah mengalami adanya keterikatan. Kejahatan tetap perlu agar kebaikan tetap ada, agar norma dan etika tetap ada. Itulah sebabnya di alam sana, setan hanya mengenal nilai jahat, dan malaikat hanya mengenal nilai baik. Di dunia manusia baru dikenal adanya hubungan dan sekaligus perbedaan antara yang jahat dan yang baik, sehingga manusia mengenal arti kebaikan dan kejahatan. Dengan demikian juga mengenal arti kesucian dan ketidakterbatasan Tuhan, mengenal arti keesaan dan keberagaman. Dalam sistem kepercayaan suku-suku Indonesia tak dikenal surga dan neraka. Menurut mitos Baduy

di atas, kalau manusia tak hidup sederhana dan secukupnya, kalau dia mati, maka Si Aku harus mengulangi hidup di dunia lagi. Itulah sebabnya kuburan tak dikenal. Jasad yang sudah mati ditanam dan ditanam pohon hanjuang di atasnya serta dilupakan. Sebab yang penting adalah rohnya itu agar mengenal nilai atau sifat segala sesuatu. Keberadaan yang sejati itu hanya “roh”, yang tak pernah tidak ada. Sebelum kamu ada di dunia ini, rohmu sudah ada. Hanya masih buta nilai seperti dituturkan mitos di atas. Setelah pengalamanmu di dunia ini, maka kelak kamu akan mengenal “surga” dan “neraka” karena kamu sudah belajar nilai-nilai dan hidup dalam nilai-nilai. Rohmu yang abadi itu mengalami transformasi selama hidup di dunia ini. Bahwa nilai atau sifat itu muncul dari perbedaan sifat yang saling berlawanan. Perbedaan itulah yang menuntun kita pada persamaan, kebhinekaan menuntun kita memahami keesaan. Bahwa “roh” itu segalanya dibanding dengan “tubuh”, karena tubuh hidup dari roh, sebaliknya tubuh melindungi roh tetap ada dalam tubuh. Inilah yang dirumuskan Kitab Upanisad dari India yang kemungkinan sekali dahulu juga dibaca kaum cendekiawan istana Hindu-Budha.

Dia yang bermukim pada matatetapi yang ada di dalam matayang mata tidak mengetahuinyayang tubuhnya adalah mata yang mengendalikan mata dari dalamitulah rohmu yang abadipengendali dari dalam.

Menurut Gary Zukav dalam bukunya The Seat of the Soul, Pustaka Alvabet 2017, roh itu adalah “diri” (yang berkehendak, bernalar, dan berbuat) yang punya “prinsip murni, tak aktif, menerangi diri sendiri, tak berasal dari dunia ini.” Tetapi setelah manifestasi, mengaktualisasi, dan mengeksistensi di dunia ini, maka ada semacam “pembelajaran” bagaimana roh membedakan sifat-sifat antara esa dan banyak, suci dan kotor, mulia dan hina, derita dan sukacita, Pencipta dan ciptaan, infinitas, dan lain-lain. Perbuatan-perbuatan jahat yang kita lakukan di dunia ini, setelah mati akan “diterangi diri sendiri” betapa kotornya perbuatan-perbuatan kita. Sebaliknya akan dibukakan kenyataan betapa mulianya perbuatan-perbuatan baik kita selama di dunia, yang selama itu kita nilai biasa-biasa saja. Hidup yang amat singkat di dunai ini, ternyata mempunyai makna tak ternilai bagi keberadaan roh kita. Jangan buang percuma waktu selama hidup di dunia ini untuk berbuat, berpikran, dan berkehendak yang memuliakan manusia. (*)

Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019 9

“Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak

bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita,” demikian harapan Santo Paulus dalam

surat pertamanya kepada jemaat Tesalonika 5:23

Waduuh, dengan tidak bercacat. Bisakah?” Mungkinkah manusia rapuh ini mampu memelihara tubuh, jiwa dan roh secara

sempurna hingga pada kedatangan Tuhan Yesus untuk mengadili orang hidup dan mati?

Sementara tubuh lewat panca indra mudah tergiur dengan aneka kenikmatan, dan gemerlapnya dunia. Sedangkan jiwa yang memampukan manusia hidup, berpikir, merasa, dan berkehendak pun sering mudah diperdaya. Kemudian banyak orang memperjuangankan hidup hanya sebatas memenuhi hasrat tubuh belaka. Sandang, pangan, papan, kendaraan, dan aneka pernak-pernik lain diburu sepanjang waktu.

Kebutuhan roh dinomorduakan, bahkan dilupakan. Roh tidak terpelihara sebagaimana harapan Rasul Paulus. Akibatnya, perbuatan daging (Gal. 5:19-21) semakin nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati dan sebagainya.

Bersyukur, Tuhan Yesus menganugerahkan tujuh sakramen. Lewat anugerah ini, roh manusia disentuh. Relasi dengan Allah menjadi terbuka, akrab. Keakraban ini terbukti, salah satunya, kita dapat menyebut Allah: “Bapa Kami yang ada di Surga!”

Jika relasi ini disadari dan dipelihara, maka lewat pertolongan-Nya kedamaian akan memancar dari buah-buah roh: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri.

"Daging-KU adalah benar-benar makanan dan darah-KU adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-KU dan minum darah-

KU, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman," itulah ajaibnya Ekaristi. Makanan yang menghidupkan tubuh, jiwa dan roh. Pantaslah kita bersyukur karena ada Ekaristi.

Bersyukur juga sebab demi kesatuan tubuh, jiwa, dan roh tetap terpelihara, kita terhitung dalam persekutuan Gereja Kudus yang didirikan oleh Tuhan Yesus Sendiri (Mat. 16:18), “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini akan Kudirikan Gereja-Ku dan alam maut takkan menguasainya.”

Berbekal cinta masing-masing pribadi dalam persekutuan itu sepakat saling bantu dan mendoakan, bukan hanya sebatas hidup di dunia ini saja, melainkan terus berlanjut hingga setelah meninggal dunia nanti.

Bersyukur, Gereja Berjuang (kita yang masih di dunia ini), Gereja Menderita (orang-orang beriman yang meninggal dalam rahmat sehingga masih dianugerahi kesempatan memurnikan diri di Api Penyucian/Purgatorium), dan Gereja Mulia (para Santo/Santa yang sudah mengalami hidup mulia di Surga) saling mendoakan tidak henti sampai nanti kedatangan Tuhan Yesus yang kedua.

“Hidup rapuh ini Kau kehendaki. Kautinggikan daku atas tiada,” senandung Romo Yan Suyata, OSC., ini bagus sebagai jawaban. Mengakui diri rapuh, senantiasa memperbaharui diri dan selalu bersyukur.

Selamat menjalin persatuan kasih dengan sesama di dunia, dan mereka yang sudah meninggal dunia dalam doa. (*)

RELIGIUSITAS

BERSYUKUR ADA EKARISTI

Oleh: Y. Suhartono

10 Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019

Oleh: Antonius Maman Sutarman

KEBANGKITAN BADAN

KATE KESE

Dalam Syahadat, kita menyatakan “Aku percaya akan kebangkitan badan”. Pernyataan iman tersebut merupakan ajakan bagi kita

agar selalu mengingat dan mengarahkan hidup pada tujuan akhir hidup manusia yang sejati, yaitu kehidupan kekal di Surga.

Bagi kita, iman akan kebangkitan badan tidak bisa dilepaskan dari ajaran Yesus Kristus sendiri serta misteri wafat dan kebangkitan-Nya. Dalam pewartaan-Nya, Yesus mengajarkan bahwa kebangkitan badan tidak hanya akan dialami oleh orang-orang benar (Luk. 14:14), tetapi juga orang- orang jahat (Mat. 5:29; 10:28; 18:8). Tetapi “…mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.” (Yoh. 5:29). Kepada mereka yang percaya kepada-Nya, dan yang makan daging-Nya dan minum darah-Nya, Yesus menjanjikan kebangkitan badan pada akhir zaman (Yoh. 6:39-44, 55). Sebab Kristus sendiri adalah “kebangkitan dan hidup” (Yoh. 11:25), maka Ia berjanji bahwa orang-orang yang percaya kepada-Nya akan hidup walaupun mereka sudah mati (lih. Yoh. 11:26). Itulah sebabnya, kepada jemaat di Korintus Rasul Paulus menuliskan, “Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan.” (1 Kor 15:13).

Iman akan kebangkitan badan juga tidak bisa dilepaskan dari pemahaman Gereja tentang kesatuan badan dan jiwa. St. Thomas Aquinas menyatakan: “anima forma corporis, yang berarti bahwa jiwa dan badan bukan merupakan dua unsur yang bisa berada sendiri-sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Jiwa dan badan bukan dua unsur yang ditempelkan ke dalam manusia, melainkan bahwa manusia baru disebut manusia secara utuh bila di dalamnya bersatu secara utuh jiwa dan badan. Maka kematian, walaupun sering dimengerti sebagai pemisahan jiwa dan badan, pada dasarnya merupakan kematian manusia seutuhnya.

Dalam kematian, memang jiwa dan badan terpisah. Tetapi jiwa selalu mempunyai “appetitus naturalis” yaitu kerinduan untuk bersatu kembali dengan badan. Tubuh manusia mengalami kehancuran, sedangkan jiwanya melangkah

menuju Allah dan menunggu saat di mana ia sekali kelak akan disatukan dengan tubuhnya. Dalam kemahakuasaan-Nya Allah menganugerahkan kepada tubuh kita secara definitif kehidupan abadi dan Ia menyatukannya lagi dengan jiwa kita berkat kebangkitan Kristus. Kebangkitan badan merupakan rahmat atau hadiah Allah.

Kebangkitan berarti sesudah kematian tidak hanya jiwa kita yang hidup terus tetapi bahwa “tubuh kita yang fana dan yang kemudian mengalami kehancuran”, ini juga akan hidup kembali. “Jika Roh Dia yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu maka Ia yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya yang diam di dalam kamu.” (Rm. 8:11) Kebangkitan badan akan dialami semua orang.

Konsili Lateran IV menegaskan bahwa “semua orang akan bangkit, dengan tubuhnya sendiri yang sekarang mereka miliki”. Tetapi tubuh mereka yang sudah mati itu akan diubah ke dalam rupa tubuh yang mulia (Flp. 3:21), ke dalam tubuh rohani (1 Kor. 15:44). Mereka tidak lagi hidup seperti tubuh mereka saat mereka hidup di dunia ini tetapi akan memiliki sifat-sifat tubuh baru yang dimuliakan. “Demikianlah pula halnya dengan kebangkitan orang mati. Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan. Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan. Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan. Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah.” (1 Kor. 15:42-44, lih. 1 Kor. 15:53). Mereka hidup seperti malaikat, kehidupan mereka tidak lagi seperti di dunia ini (Mrk. 12:25).

Perubahan seperti digambarkan di atas, sungguh tidak bisa dengan mudah dipahami dengan keterbatasan akal budi kita, kita hanya dapat menerimanya dalam iman. Untuk itu, St. Ireneus memberi perbandingan dengan pengalaman kita merayakan Ekaristi. Menurutnya, berkat Ekaristi, tubuh kita tidak lagi takluk kepada kehancuran tetapi memiliki harapan akan kebangkitan.

Semoga melalui penghayatan iman kita akan

Bersambung ke halaman 27

Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019 11

Ulang Tahun Yayasan Camillus ke 90

MENJADI IBU BAGI SETIAP ORANG

Yayasan Camillus yang didirikan oleh pastor-pastor Ordo Salib Suci (OSC) pada 9 September 1929 semula didirikan untuk mengurusi anak

terlantar dan korban perang supaya mendapat pendidikan yang layak. Ketua pertamanya adalah Pastor JH. Goumans, OSC. Dalam berkarya, Yayasan Camillus dibantu oleh Konggregasi Suster Carolus

Borromeus (CB), Suster Ordo Santa Ursula (OSU), dan bruder Santo Aloysius (CSA).

Dalam perjalanannya, Yayasan ini menutup panti asuhan dan mendirikan panti jompo/panti wreda. Pada 20 September 1988, gedung baru Panti Wredha Nazareth diresmikan oleh Mgr. A. Djojosiswojo, Pr. Panti yang berlokasi di Jalan Cikutra 7, Bandung, masih terus melayani para lansia, khususnya oma-oma. Hingga saat ini, ada 22 oma penghuni (resident) dan 14 karyawan. Sr. Cahyari, CB. dipercaya sebagai Kepala Panti Wredha Nazareth.

Di ulang tahunnya yang ke 90, Yayasan Camillus merayakannya dengan Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Bapa Uskup Bandung Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC., didampingi konselebran Pst. Eduard Daeli, OSC. (Sabtu, 12/10/2019). Misa dihadiri oleh Pengurus Yayasan (lama dan baru), donatur, para oma penghuni Panti dan keluarganya, Kepala Panti dan karyawan (lama dan baru), panti-panti di Bandung, PPSB (Perhimpunan Perkumpulan Santo Borromeus), Biara CB St. Yusuf dan Borromeus, RS. St. Yusuf, Seminari Tinggi Fermentum dan Seminari Menengah Cadas Hikmat, DPP Dekanat Bandung Timur dan Buah Batu, dan para voluntir.

Dalam homilinya, Mgr. Antonius, OSC. berharap, “Hari ini kita diingatkan, baik sebagai oma, baik sebagai pelayan di Panti Wredha, mudah-mudahan kita menjadi ‘Ibu’ bagi siapapun, yaitu yang mendengarkan sabda Tuhan dan tekun melaksanakannya, sehingga kita mengalami sukacita.”

Setelah homili, Mgr. Antonius, OSC. melantik Pengurus Yayasan Camillus periode 2018-2023 yaitu: Pengawas: Drs. Antonius Saidi Mega Sutrisna dan Ir. Gunanta Hadipraja; Pengurus: Ketua: Johanes Said, SE., MA., Wakil: Indriati Kusmali, Sekretaris 1: drh. Veronica Sumaryati, Sekretaris 2: Yohanes Argo Sudarga, SH., Bendahara 1: Endang Christiani, Bendahara 2: Caecilia Wahyu Christiani; Anggota: Ir. Cecilia Gunanta, IE. Chandra Setyawan, dan T. Rachmat Saleh. Adapun sebagai pembina yaitu: R. P. Emanuel Bambang Adhi Prakoso, OSC. dan R. P. Setevanus Budi Saptono, OSC.

Setelah misa, para undangan disuguhi acara ramah tamah. Sambutan dari Ketua baru yaitu Johanes Said, persembahan dari oma dan karyawan panti yaitu drama “Ande-ande Lumut”, koor, senam Tobelo, pemberian penghargaan kepada Oma Tuti (89) sebagai oma yang paling sehat, dan penghargaan kepada 14 karyawan Panti, foto bersama Bapa Uskup, serta makan siang. (*)

“Berbahagialah mereka yang mendengarkan sabda Allah dan memeliharanya” (Lukas 28:11).

“Yayasan ini bertahan hingga 90 tahun karena adanya kepedulian dari Keuskupan Bandung,

di antaranya akan memberi tempat baru yang lebih luas untuk Panti Wredha ini. Pengurus

akan terus meningkatkan pelayanan bagi oma dan karyawan. Mudah-mudahan saya

dapat melaksanakan tugas ini dengan baik.” (J. Said, Ketua Yayasan Camillus.)

“Suka duka ada ya, tetapi kita musti bisa menghadapi dengan keyakinan bahwa panggilan Tuhan untuk tinggal di sini. Tujuan masuk di sini awalnya pelayanan.”

(Oma Christina Wijaya, 80tahun).

“Saya senang dan bersyukur dapat bekerja dan melayani oma di sini. Sebagai tulang punggung utama, saya bisa menghidupi

keluarga. Saya akan bekerja sebaik mungkin.” (Fransiska - staf dapur).

“Keuskupan Bandung berterimakasih atas kehadiran dan pelayanan Yayasan Camillus yang telah berusaha menjadi wajah sosial dan spiritual Keuskupan Bandung. Semoga Yayasan ini berkembang baik sesuai dengan tuntutan zaman pelayanan terhadap lansia,

semakin menjadi wajah Gereja yang berbelas kasih!" (Mgr. Antonius, OSC., Uskup Bandung.)

Oleh: Sandra S. Hariadi

KATEGORIAL

12 Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019

MENJADI LEBIH BAIKOleh: Yoseph Kebe

K E L U A R G A

Jumat sore itu, Jumat (09/11/2019) tiga pasangan suami istri dari Paroki St. Odilia, Cicadas, bertemu dengan banyak pasutri dari paroki lain

di Wisma Retret Pratista - Cimahi. Berkumpul untuk mengikuti Week End Marriage Encounter (WEME) yang diadakan oleh ME Distrik VI - Bandung, (09-11/11/2019) dengan Pastor Dedi Riberu, SSCC., sebagai pendamping acara.

Kegiatan ini diikuti tidak hanya para pasutri yang usia pernikahannya baru lima tahun, namun banyak yang telah menginjak usia perkawinan di atas 25 tahun pun mengikuti.

"Siapa bilang ikut ME itu kalau sudah ada masalah dalam keluarga? Semua yang ikut WEME atau aktif di ME bukan pasutri bermasalah, tapi para pasutri yang sadar bahwa pernikahan perlu disegarkan kembali, komunikasinya perlu dibuat lebih moncer, yang sadar relasi berdua tetap dijaga kemesraannya," demikian tegas Pasutri Anton - Kris, Kordinator ME Paroki St. Odilia, Bandung, saat ditanya anggapan sebagian

pihak tentang ME. Demikian pula terkonfirmasi pada pendapat

pasutri yang baru saja mengkuti WEME di Pratista. Mereka merasakan perubahan yang sangat baik dalam relasi suami istri mereka. Terutama bagaimana berkomunikasi dan lebih memahami pendapat pasangannya. WEME kali ini telah mencapai angkatan ke 149. (*)

Pasutri Bambang - Wanti:

"Saya meyesal, kenapa dari dulu tidak ikut Week End ME. Materinya sangat mengena, membuat saya semakin cinta pada istri saya." (Bambang)

"Sebelum menikah, kami pacaran selama 6 tahun. Menikah sudah 20 tahun. Kami merasa kami sudah sangat mengenal pasangan luar dalam dan tidak ada masalah. Selama berproses di Week End ME ternyata terungkap banyak hal yang belum dikenal dari pasangan kami.

Setelah Week End, saya merasa mendapatkan "suami yg baru." (Wanti)

Pasutri Endro - Hertin:

Secara rohani dan psikis kami merasakan dilepaskan dari beban yang selama ini menggelayuti hidup. Seperti mendapat pemulihan, segar kembali, merasa lebih ringan melangkah menyongsong kehidupan relasi kami berikutnya.

Relasi kami sebagai pasutri benar-benar diperbaharui. Kami merasakan dampak positifnya, menjadi lebih semangat dan lebih mesra menjalani rutinitas sehari hari.

Terasa sekali kami benar-benar diproses selama Week End ME di Pratista.

Pasutri Indra - Ririn:

Dari Week End ini kami makin diyakinkan bahwa sungguh kami merupakan sakaramen bagi satu dengan yang lain dan juga buat anak-anak kami, bahkan juga bagi keluarga-keluarga lain. Juga, kami makin merasakan bahwa kami sangat dicintai oleh pasangan kami.

Kami sangat menganjurkan agar para pasutri yang belum mengikuti Week End ME ini agar ikut.

Kami yakin keluarga Anda akan mendapat kegembiraan dan suka cita seperti kami rasakan.

Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019 13

BERITA PAROKI

BERANI BERBAGI BERKATOleh: Yoseph Kebe

Ada yang berbeda pada rangkaian hiasan altar pada Minggu, 13/10/2019. Biasanya terdiri dari rangkaian bunga, kali ini dari rangkaian

sayur-mayur. Rupanya sesuai dengan tema hari itu, perayaan Hari Pangan Sedunia 2019 dan rangkaian sayuran hiasan panti imam itu dipersiapkan oleh Panita HPS Paroki Santa Odilia.

Pada homilinya, Romo Eduard Daeli, OSC., mengatakan Perayaan HPS merupakan cara Gereja Katolik untuk peduli kepada mereka yang membutuhkan bantuan pangan. “Hidup kita sudah diberkati, maka kita hendaknya berani membagi berkat kepada sesama kita yang berkekurangan,” tambahnya. Selain itu, Romo Edu mengajak untuk merubah kebiasaan makan kita, yang sering membuang makanan. “Ingat, banyak orang masih kelaparan. Berbagilah, jangan sampai kita berkelebihan sementara yang lain kekurangan. Ingatlah, saat kita membuang makanan, kita menyiksa orang lain yang berkekurangan.”

Setelah misa, dalam rangkaian kegiatan HPS, bertempat di Aula Paroki diselenggarakan sarasehan bertema Mencintai Pangan Lokal yang dibawakan oleh Romo S. Ferry Sutrisna Widjaja Pr., dari Eco Camp. Sarasehan diikuti sekitar 100 orang peserta dari lingkungan-lingkungan di Paroki St. Odilia, Ada yang menarik, sebagai pembuka sarasehan, setelah pengantar singkatnya, Romo Domi mempersembahkan lagu Batak.

Pada paparan sarasehan, Romo Ferry mengingatkan kembali untuk mengurangi, bahkan menghindari penggunaan plastik. “Saya masih lihat ada sendok plastik di suguhan, dan saya memilih tidak memakai sendok tersebut, karena akan menyumbangkan sampah plastik," demkian

sentil Romo Ferry. Karena serbuan plastik sangat memprihatinkan, bahkan satwa liar pun terdampak. “Kurangi pemakaian plastik!” tegasnya.

Selain plastik, di mana secara perkapita Indonesia mengalahkan negara Republik Rakyat Tiongkok dalam memproduksi sampah plastik, ada hal lain membahayakan lingkungan dan kehidupan, yaitu rokok (perokok aktif dan pasif), limbah makanan (Indonesia termasuk pembuang makanan terbesar di dunia) dan penggunaan pestisida di tanaman. Dari semua faktor itu, manusia adalah pelaku utama kerusakan lingkungan. “Oleh karena itu harus tumbuh kesadaran untuk menjaga lingkungan, yang bisa dimulai dengan menanam sendiri pangan yang akan dikonsumsi. Jangan memakai buah-buah impor. Konsumsi makanan lokal dan menanam sendiri lebih sehat!” tegas Romo Ferry.

Rangkaian kegiatan Hari Pangan Sedunia ini tidak berhenti pada sarasehan, namun dilakukan pelatihan bertanam hidroponik secara berkelanjutan. Pelatihan akan dilakukan oleh Tim Hidroponik dari Wilayah Ujungberung. (*)

Kiri: Rangkaian sayur dan buah-buahan penghias Panti Imam.Atas: Romo Ferry membawaka materi sarasehan.Bawah: Ketua Panita HPS, Maria Endang, S. memberikan cinderamata kepada Romo Ferry. (Béwara/@yos_kebe)

Hari Pangan Sedunia 2019

14 Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019

BERHIDROPONIK DI TANAH KARANG

Bagaimana cara mengembangkan pertanian di lahan kering dan

tandus?’, tanya Pastor Januario, Pr., dan Yanto dalam sebuah diskusi informal antara kami (tim hidroponik Paroki St. Odilia, Cicadas) dengan beberapa kawan yang berkarya di wilayah Indonesia bagian Timur. Mereka merupakan salah satu peserta Second NSD Summer School yang diadakan oleh Nusantara (School of Difference)-IRGSC dan CEDAR (27/7-10/8). Rupanya, diskusi tersebut berujung pada rencana pelatihan hidroponik di Kupang dan Maumere (10-16/10).

Pelatihan hidroponik yang merupakan kerjasama antara Paroki St. Odilia - Bandung dengan Keuskupan Kupang dan Keuskupan Maumere. Adapun tim hidroponik Paroki St. Odilia terdiri dari lima orang, yaitu: Pst. Emanuel Bambang Adhi Prakosa, OSC, Ardath Kristi (Ardath), Norberta Yuni Rusmintia (Tia), Dedi Kusmayadi (Dedi), Andreas Raymon (Raymon) dan Maria Dona (Dona). Inilah sekelumit catatan perjalanan kami dari kegiatan pelatihan hidroponik selama sembilan hari di Kupang dan Maumere.

Senin, 7 Oktober 2019

Keberangkatan kami terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama - pasutri Ardath dan Tia - berangkat terlebih dahulu dengan membawa sejumlah kecil perangkat dan peralatan hidroponik untuk keperluan pelatihan. Setelah menempuh perjalanan udara Jakarta-Kupang selama 6 jam (transit Surabaya), mereka berhasil menginjakkan

kaki di Kupang pk.21.30 wib. Selanjutnya langsung menuju penginapan dan beristirahat.

Selasa, 8 Oktober 2019

Pasutri Ardath dan Tia menuju Seminari Tinggi St. Mikhael - Penfui untuk menemui Pastor Theo, Pr. Beliau selaku perwakilan Rektorat Seminari Tinggi mengajak Ardath - Tia mengitari kawasan pertanian dan perkebunan seminari. Ardath - Tia mendapat gambaran singkat mengenai kondisi alam Kupang, peluang dan tantangannya. Di sela-sela pengamatan singkat tersebut, beliau mempersilahkan untuk mengukur PH air dan kelembaban udara. Setelahnya, menghabiskan sisa hari bersama Pastor Theo, Pr. menuju sei babi Om Bai di Baun dan menyusuri pantai Tablolong.

Rabu, 9 Oktober 2019

Pagi hingga siang, Ardath - Tia bertemu panitia lokal (tim dari seminari dan IRGSC-Institute of Resources Governance and Social Change) untuk briefing singkat sekaligus mempersiapkan aula seminari yang akan digunakan sebagai tempat pelatihan esok hari.

Sedangkan malamnya (pk. 20.50 wib), kelompok keberangkatan kedua, yaitu: Pastor Adhi, OSC., Dedi dan Dona (beserta Cello - 5 th. - sebagai

penggembira), berangkat menggunakan kereta api Argo Parahyangan (Bandung) menuju stasiun Gambir (Jakarta).

Kamis, 10 Oktober 2019

Setiba di stasiun Gambir (pk. 00.21 wib), Raymon, yang telah berada di Jakarta, menjemput kami untuk bersama-sama melanjutkan perjalanan menuju bandara Soekarno Hatta (Cengkareng). Tak lupa mampir sarapan dini hari di warung bubur ayam di kawasan Pecenongan.

Waktu kurang lebih 1,5 jam cukup longgar untuk

persiapan fisik ‘anti lapar’ menjelang perjalanan udara Jakarta-Kupang.

Setelah 4 jam penerbangan (pk. 10.00 wib), kami mendarat di

Bandara El Tari-Kupang. Tia bersama panitia lokal

menjemput dan membawa kami menuju penginapan untuk menyimpan barang. Selanjutnya, kami langsung menuju Seminari Tinggi St. Mikhael, Penfui. Sejak pk. 08.00 WIB, pasutri Ardath dan Tia secara bergantian memberikan materi berupa teori sekaligus melakukan praktek bertani hidroponik sistem wijk selama tiga jam.

Untung saja, jadwal penerbangan tepat waktu. Pada pk. 11.00 wib, Pastor Adhi OSC., dapat langsung memberi materi berupa presentasi ragam program kegiatan Paroki

Catatan Perjalanan Kupang - Maumere

"Oleh: Maria Dona

St. Odilia dalam dua tahun terakhir yang berkaitan dengan budaya dan gerakan go-green dalam tema ‘Odilia Keren’. Budaya cinta lingkungan semakin berkembang di lingkungan melalui pengajaran PIA/PIR (Pendampingan Iman Anak/Remaja).

Pada kesempatan ini, Dedi mempresentasikan berbagai kegiatan bertanam hidroponik oleh PIA/PIR Lingkungan St.

Bonaventura (Bukit Arcamanik). Secara khusus, Dona

memberikan kerangka pengembangan ‘komunitas’ melalui program ‘Rumah Hijau’. Sebuah kegiatan bertanam dengan sistem hidroponik yang dilakukan oleh tujuh lingkungan di Wilayah Ujungberung Barat dan sekitarnya.

Pada sesi terakhir, Raymon menyajikan materi kewirausahaan yang berkaitan erat dengan karya awam bagi Gereja (lihat artikel ‘BERHIDROPONIK DI TANAH KARANG: Catatan Pelatihan’-Bewara edisi mendatang).

Satu jam terakhir berisi diskusi interaktif di mana pemateri dan peserta dapat saling belajar mengenai berbagai macam teknik bertanam terutama teknik hidroponik.

Pelatihan hidroponik yang diikuti oleh 25 orang peserta ini berakhir pk. 15.00 wib. Panitia lokal mengantar kami menuju penginapan untuk beristirahat.

Tak ayal, perjalanan Bandung-Jakarta-Kupang dan kegiatan pelatihan selama 18 jam non stop cukup menguras tenaga. Namun kami segera bersiap lagi untuk memenuhi undangan makan malam sekaligus perayaan ulang tahun imamat seorang imam paroki setempat. Makan malam menutup kegiatan hari itu.

Jumat, 11 Oktober 2019

Pelatihan hidroponik berlangsung selama 5 jam (pk.09.00-15.00 wib) di IRGSC (Institute of Resources Governance and Social Change). IRGSC merupakan sebuah lembaga swasta yang bergerak di bidang penelitian sosial dan jejaring dalam isu kemasyarakatan. Ada 15 peserta yang mewakili lembaga sosial maupun kelompok petani.

Dalam pelatihan ini, diskusi lebih fokus pada pengembangan isu dan bentuk-bentuk pengorganisasian komunitas berbasis pertanian dan hasil-hasilnya daripada mendalami teknik hidroponik itu sendiri.

Setelah pelatihan berakhir, kami menuju Taman Ziarah Yesus - Maria di Oebelo dan kawasan perkebunan jagung pulut di Kecamatan Oesao. Jagung pulut merupakan varietas jagung andalan khas NTT dengan rasa yang manis dan tekstur yang kenyal.

Malam hari, kami menikmati masakan hasil laut di tepi pantai Kelapa Lima.

Sabtu, 12 Oktober 2019

Pagi hari, kami mendapat kejutan dengan liputan pelatihan hidroponik Paroki St. Odilia-

Bandung di Koran Metro Kupang. Tepat tengah hari, kami meninggalkan penginapan menuju Bandara El Tari.

Dalam perjalanan menuju Bandara, kami melewati Tarus, sebuah kawasan pertanian yang subur di kota Kupang. Sekilas kami mendapatkan gambaran lokasi pertanian yang selama ini menjadi penyedia utama sayur-sayuran di Kupang. Hal ini memperkaya diskusi kami tentang arus permintaan dan ketersediaan sayur di pasar Kupang.

Meski berat, kami

harus mengakhiri

perjumpaan dan perjalanan singkat dengan

kawan-kawan di Kupang. Setelah menempuh

penerbangan Kupang-Maumere selama 30 menit, kami dapat ‘menghirup udara’ Maumere. Panitia lokal sudah menunggu untuk mengantar kami ke penginapan. Setelah menyimpan barang, kami berdiskusi singkat dengan panitia lokal sebagai persiapan pelatihan keesokan hari dan rencana pertemuan dengan Uskup Maumere, Mgr. Ewaldus Martinus Sede, Pr.

Malam hari, kami mendapat jamuan makan malam dari keluarga Lasar Mula Yoseph. Beliau merupakan sesepuh masyarakat yang berkarya baik bagi umat basis

di Gereja maupun Desa Napun Langir. Makan malam yang diselingi dengan diskusi informal dengan orang-orang terdekat beliau berlangsung akrab di kebun hidroponik dengan berbagai tanaman sayur dan buah rambat.

Minggu, 13 Oktober 2019

Pagi hari (pk. 06.00-07.00 wib), kami mengawali aktivitas dengan mengikuti ekaristi. Umat basis setempat meminta Pastor E.B. Adhi P., OSC untuk mempersembahkan ekaristi di Gereja St. Antonius Padua, Alok.

Setelah misa, kami beramah-tamah dengan umat Katolik setempat. Kami juga sempat berkeliling dan menikmati suasana kota Maumere di hari Minggu.

Suasana sepi sepanjang jalan

di mana umat Katolik,

biarawati, novis atau

klerus lainnya berjalan kaki dan

bergegas menuju

gereja terdekat

untuk merayakan

misa. Tepat

pk.09.00 wib, peserta

pelatihan yang

berjumlah 15 orang

telah siap mengikuti

pelatihan hidroponik. Para peserta berasal dari beragam latar belakang profesi dan agama, yaitu: guru, pemimpin umat basis, pengusaha, dosen, PNS, dokter, pegawai swasta, pegiat NGO, pensiunan TNI dan umat yang tinggal di sekitar kota Maumere.

Pelatihan dan diskusi selama 6 jam, yang mencakup pengalaman

tentang pengembangan hidroponik dan pemasarannya, berlangsung cukup dinamis. Secara bergantian, para peserta berbagi pengalaman berproses di komunitas masing-masing.

Sore hingga malam, kami berziarah ke Patung Maria Bunda Segala Bangsa- Bukit Nilo. Dalam perjalanan pulang, kami singgah sebentar di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero dan Seminari tinggi St. Petrus, Ritapiret. Beruntung, kami diizinkan masuk ke dalam ruangan kamar tidur yang pernah digunakan oleh Santo Yohanes Paulus II saat berkunjung ke Indonesia (11-12/10/1989).

Senin, 14 Oktober 2019

Pelatihan hidroponik berlangsung di Kampus Christo Re. Kampus Christo Re memiliki green house hidroponik seluas 400 meter persegi yang dapat menjadi contoh langsung bagi 25 orang peserta pelatihan.

Peserta pelatihan berasal dari berbagai kalangan, yaitu: klerus, tenaga pengajar, mahasiswa, wartawan, anggota DPRD, pegiat umat basis, wartawan, Maumere TV dan umat yang tinggal di sekitar Kampus Christo Re. Beberapa peserta pun menyempatkan diri membeli sayuran yang dijual dari green house hidroponik tersebut.

Setelah pelatihan, kami menuju kediaman Uskup Maumere di kota Uneng, Alok-Sikka. Dalam pertemuan singkat dengan Mgr. Ewaldus Martinus Sedu, Pr., kami memaparkan kegiatan pelatihan hidroponik di Kupang dan Maumere serta keberlanjutan kerjasama di masa mendatang (lihat artikel ‘BERHIDROPONIK DI TANAH KARANG: Catatan Pelatihan’-Bewara edisi mendatang).

Di akhir pertemuan, Pastor

Adhi, OSC., secara singkat menceritakan Pekan Misi Nasional 2019 yang sedang berlangsung di Keuskupan Bandung (khususnya di Paroki St. Odilia) serta menyerahkan replika Salib Misi kepada Mgr. Ewaldus Martinus Sedu, Pr.

Selasa, 15 Oktober 2019

Pagi hingga siang kami menggunakan waktu untuk persiapan kembali ke Bandung. Setelah

meninggalkan penginapan, kami menuju Lepo Lorun, Sikka untuk mengadakan pelatihan hidroponik terakhir.

Komunitas tenun ikat Flores pimpinan Ibu Alfonsa Horeng ini merupakan sebuah desa pariwisata yang menyajikan berbagai budaya Maumere dalam berbagai bentuk (tempat tinggal, kain, musik, tarian dan makanan).

Pelatihan hanya berlangsung selama 3 jam yang ditutup dengan jamuan makan siang bersama komunitas. Lalu kami menuju Bandara Frans Seda - Maumere untuk kembali ke Bandung.

Rabu, 16/10/2019Dini hari pk.03.30 wib kami tiba

kembali di Bandung.

Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019 17

DIBAPTIS DAN DIUTUS MEWARTAKAN SUKACITA INJIL

Bandung Go Mission

Bulan Oktober adalah bulan Rosario. Setiap orang Katolik di seluruh penjuru dunia meluangkan waktu untuk berdoa Rosario.

Selain itu, ada dua peristiwa besar di bulan ini. Pertama adalah Bulan Misi Luar Biasa, karena bertepatan dengan peringatan 100 tahun Surat Apostolik Ensiklik Maximum Illud, yang diterbitkan oleh Paus Benediktus XV tahun 1919.

Peristiwa kedua yaitu penutupan kegiatan T-SOM (Teens-School of Mission) yang dilaksanakan oleh Keuskupan Bandung selama kurang lebih satu tahun ini. Kegiatan T-SOM kali ini bertema “Bandung Go Mission: Dibaptis dan Diutus Mewartakan Sukacita Injil”. Kita akan bermisi, berbagi sukacita Injil melalui kegiatan T-SOM agar semakin banyak remaja tergerak hatinya untuk bergabung dalam kumpulan para Rasul Kristus yang siap diutus mewartakan karya belas kasih Allah.

Keuskupan Bandung mendapatkan kunjungan dari T-SOM yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara yaitu Sintang, Makassar, Surabaya, Palembang dan Semarang. Salah satu Paroki yang mendapatkan kesempatan untuk dikunjungi oleh tim dari T-SOM adalah Paroki Santa Odilia. Tim T-SOM yang berkunjung ke Paroki Santa Odilia yaitu dari BIR (Bina Iman Remaja) Keuskupan Sintang (Kalimantan Barat), terdiri dari seorang pastor, seorang pendamping dan tiga remaja yang enerjik. Durasi waktu kunjungan sekitar 1,5 jam (20/10/2019).

BIR lingkungan maupun wilayah di Paroki Santa Odilia berkumpul di Aula Gereja, yaitu dari Wilayah Kebon Kangkung, Wilayah Cinunuk, Wilayah Rancaekek, Lingkungan GMP, Lingkungan St. Bonaventura, Lingkungan St. Theresia Lisieux, Lingkungan Pasir Impun dan Lingkungan Merpati Duta Barat untuk menyambut sahabat-sahabat dari Keuskupan Sintang tersebut.

BIR Keuskupan Sintang berbagi pengalaman

Sekolah Misi selama satu tahun, yaitu pengalaman bermisi mulai dari materi dan praktik langsung. Ketiga remaja Sintang tersebut menceritakan pengalamannya saat mengikuti kegiatan Bersekolah Misi di sebuah tempat terpencil terpisah dari orangtua dalam

beberapa kurun waktu. Selain bercerita, mereka mengajak remaja-remaja dari lingkungan dan wilayah Paroki Santa Odilia untuk ikut gerak lagu dan berbagai macam tepukan penyemangat.

Bermisi itu bukan AKU, bukan KAMU! Tetapi bermisi itu tentang KITA.

Terima kasih untuk kehadiran dan keikutsertaan dari bapak, ibu, kakak-kakak pendamping dan remaja-remaja di lingkungan dan wilayah yang sudah hadir menyambut kunjungan dari Tim T-SOM Keuskupan Sintang.

Salam misioner! (*)

Oleh: Fransiska Pradnya Paramita

(Béw

ara/

@yo

s_ke

be)

18 Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019

SEMUA DIBAPTIS DAN DIUTUSMISA PENUTUPAN ROSARIO MISI WILAYAH ARCAMANIK

Oleh: Yoseph Kebe

Bulan Rosario pada Oktober tahun ini dirasakan sangat berbeda. Umat Katolik di

Wilayah Arcamanik hampir tiada hari dilewatkan tanpa melakukan doa Rosario yang dirangkaikan dengan perpindahan Replika Salib Misi dari rumah ke rumah, sejalan dengan pelaksanaan Pekan Misa Nasional yang dipusatkan di Keuskupan Bandung sehingga sering disebut sebagai Doa Rosario Salib Misi.

Kekhususan itu pulalah yang membuat umat di Wilayah Arcamanik melakukan penutupan Doa Rosario Misi secara bersama di GSG Arcamanik pada Kamis, 31/10/2019.

Rencana tersebut disambut dengan antusias, sehingga pada hari pelaksanaan nyaris tiada kursi yang kosong saat doa Rosario mulai didaraskan. Sekitar 200 orang umat hadir dengan rangkaian Rosario di tangan, jumlah yang cukup banyak mengingat dilaksanakan sore hari pada hari kerja dan banyak yang terjebak hujan dalam perjalanan pulang kantor. Suasana semakin khyusuk karena hujan yang turun di luar mampu menyejukkan suasana dalam GSG Arcamanik. Hadir pula Romo Warhadi, OSC., yang akan memimpin misa penutupan.

Pada misa penutupan Bulan Rosario Misi, Romo Warhadi menyatakan kekagumannya, bahwa umat di Wilayah Arcamanik masih sempat memikirkan untuk melaksanakan penutupan Bulan Rosario Misi secara bersama-sama. Karena tidak ada berita di wilayah lain melakukan hal yang sama. “Sebuah ide dan kegiatan yang patut diapresiasi,” katanya. Di akhir homili, Romo Warhadi berharap, berakhirnya bulan Rosario ini bukan pula berakhirnya doa rosario

namun menjadi tonggak baru untuk merawat dan menjaga kehidupan rohani kita. "Tetaplah melaksanakan doa rosario secara harian," pintanya.

Pada penutup misa, Haryanto, Kordinator Wilayah Arcamanik, mengucapkan terima kasih atas perkenan Romo Warhadi untuk memimpin misa, juga berharap semangat misi tetap terjaga di umat Katolik, khususnya di Wilayah Arcamanik, "Karena kita semua dibaptis dan diutus untuk mewartakan Injil!” pungkasnya. Acara kemudian ditutup dengan ramah-tamah sembari menunggu hujan reda. (*)

(Béw

ara/

@yo

s_ke

be)

Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019 19

Katekese adalah proses pembinaan iman melalui penyampaian ajaran Kristiani. Tujuan katekese adalah membantu umat supaya semakin

dewasa dalam iman. Katekese menjadi latar belakang diadakannya

acara bedah film “Sokola Rimba” oleh Seksi Kepemudaan Paroki Santa Odilia. Acara ini memiliki tujuan supaya peserta semakin mengenal dan mencintai Kristus sehingga terdorong melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Acara ini digagas oleh OMK Keuskupan Bandung dalam rangka Bulan Misi Luar Biasa dan serentak dilakukan di sejumlah Paroki Keuskupan Bandung.

Bedah film di Paroki Santa Odilia dilaksanakan Minggu (20/10) dan dihadiri oleh 37 OMK dari seluruh wilayah Paroki Santa Odilia. Seluruh peserta diberikan pemahaman tentang katekese dengan harapan dapat menyebarkan misi pembaharuan sikap ke seluruh OMK di wilayah masing-masing.

Katekese dengan film dipilih karena film merupakan media komunikasi yang mampu mempengaruhi pola pikir, kebiasaan, dan tingkah laku penontonnya dalam kehidupan sehari-hari. Film mewakili realitas atau pengalaman hidup sehari-hari. Bedah film dalam konteks katekese bukan menganalisis film dari sudut pandang ilmu perfilman, tetapi untuk merefleksikan panggilan bermisi melalui film yang ditonton. Film digunakan untuk merangsang imajinasi dan perasaan peserta agar dapat menemukan nilai dari pengalaman hidup, setelah itu peserta diajak untuk merefleksikan film sesuai dengan nilai iman dalam Kitab Suci atau Ajaran Gereja. Terakhir, peserta diajak untuk membuat niat-niat baru, menyusun aksi nyata yang berguna bagi diri sendiri dan orang banyak.

Film “Sokola Rimba” menceritakan kisah tokoh Butet Manurung yang memberikan diri untuk mengajar di belantara hutan Jambi khususnya di Taman Nasional Bukit Dua Belas dan Bukit Tiga Puluh, Jambi. Butet mengajar anak-anak membaca dan berhitung. Bungo, salah satu murid kesayangannya akhirnya dapat membaca. Walaupun ditentang

Berkatekese dengan Film

oleh keluarganya untuk belajar karena takut Bungo meninggalkan adat istiadat, namun Bungo tidak menyerah, ia sadar bahwa melalui pendidikan, ia mampu membawa keluarga dan warganya memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Akhir filmnya sangat menarik, Bungo akhirnya dapat membaca surat perjanjian yang selama ini tidak pernah dimengerti oleh warga kampungnya dan menolak perjanjian tersebut. Surat perjanjian itu berisi pengambilan lahan milik warga kampungnya untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Warga kampung yang tidak dapat membaca selalu memberikan cap jempol yang berarti setuju dengan perjanjian tersebut.

Perjanjian itulah yang selama ini membuat dia dan warga kampungnya terpaksa hidup berpindah-pindah karena lahannya selalu diambil alih. Bungo tetap memegang adat istiadatnya dan dengan kemampuannya membaca, lahan warga kampungnya tidak diambil alih lagi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Film ini sangat mengharukan dan seluruh peserta tampak antusias menonton sampai film selesai.

Selesai menonton film, peserta diajak untuk berefleksi. “Film ini mengajarkan kita yang telah dibaptis supaya siap diutus ke manapun mewartakan belas kasih Allah,” jawab Agnes - OMK Cicaheum. Mewartakan belas kasih Allah berarti menampilkan wajah Allah yang penuh kasih, membuat orang di sekitar kita mengalami sukacita, keadilan, dan damai.

Bedah film ditutup dengan menyampaikan rencana aksi yang akan dilakukan ke depannya seperti membantu orang-orang yang berkekurangan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengikuti pelayanan Komunitas San’t Egidio salah satunya. Jika OMK ingin bergabung dengan komunitas ini, dapat menghubungi Theresa, Seksi Kepemudaan Paroki Santa Odilia. (*)

Oleh: Laurensia Bertha

20 Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019

SEPUTAR KEUSKUPAN

WARTAKAN INJIL DAN KESELAMATANOleh: Anastasia K.Y dan Yos Kebe

etelah hampir sebulan penuh, rangkaian kegiatan Pekan Misi Nasional ke IV Tahun 2019 dilaksanakan di Keuskupan Bandung akhirnya

ditutup dalam sebuah misa yang diselenggarakan di Gereja Paroki Bunda Tujuh Kedukaan - Pandu, Minggu, 20/10/2019 pkl. 17.00 WIB. Misa dipimpin oleh Mgr. Antonius Bunjamin Subianto, OSC., dengan konselebran Uskup Weetebulla Mgr. Edmundus Wora, CSsR dan RD. Markus Nur Widipranoto (Sekjen KKI-KWI), RP. Yoyo Yohakim, OSC, (Pastor Paroki Bunda Tujuh Kedukaan), dan para pastor paroki dari paroki di Keuskupan Bandung yang sempat hadir.

Dalam homilinya, Mr. Edmund, CSsR, selaku wakil dari KWI, mengatakan bahwa Selama Pekan Misi ini, kita dilatih dan disadarkan sebagai anggota Gereja Katolik bahwa kita adalah pewarta Kerajaan Allah, pewarta keselamatan dan pewarta Injil. "Pekan Misi diadakan supaya ada hari-hari di mana kita merenungkan bahwa sebagai misionaris tugas kita adalah mewartakan keselamatan yang telah kita terima," tegasnya kembali.

Pada akhir misa, dilakukan penyerahan Salib Misi kepada perwakilan Keuskupan Sintang, RD. Pratisius Piki, Pr., yang akan menjadi tuan rumah Pekan Misi tahun 2020. Dan sebagai tanda resmi berakhirnya Pekan Misi IV 2019 di Keuskupan Bandung, Mgr. Anton, OSC., dan Mgr. Edmund, CSsR., bersama-sama meniup lilin Pekan Misi IV 2019.

Setelah misa, acara kemudian dilanjutkan dengan ramah-tamah dengan para pelaksana Pekan Misi 2019, sekaligus pemberian penghargaan kepada setiap paroki yang telah menyelesaikan pembuatan sejarah parokinya.

Sebelumnya misa penutupan tersebut, Paroki Pandu, demikian dikenalnya, menjadi paroki terakhir yang menerima perutusan Salib Misi,

setelah sebelumnya singgah di setiap paroki yang ada di Keuskupan Bandung. Kedatangan Salib Misi dimeriahkan dengan kegiatan bakti sosial berupa pengobatan masal. Sekitar 1700 pasien yang dilayani dari pagi hingga sore hari, dari penyakit ringan hingga berat. Selain itu dilaksanakan pula sunatan masal.

"Sungguh melelahkan tapi menyenangkan bisa melayani umat dan masyarakat yang datang. Walau pun dari subuh mempersiapkan konsumsi, semua lelah terbayar," demikian kata Sri Wahyuni, salah satu panitia dari Bagian Konsumsi yang Béwara temui di halaman Geraja Pandu setelah misa. (*)

Atas: Mgr. Anton, OSC dan Mgr. Edmud, CSsR, di sisi kanan Panti Imam bersama para imam konselebran lainnya. Kiri: Mgr. Edmund, CSsR dan Mr. Anton, OSC., meniup lilin tanda ditutupnya Pekan Misi IV-2019. Bawah: Romo Adhi, OSC dan Yohanes Sumar bersama memegang plakat penghargaan pembuatan video sejarah paroki.(Béwara/@yos_kebe)

SEPUTAR KEUSKUPAN

Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019 21

MEDIA PAROKI, CETAK VS DARING

Oleh: Yoseph Kebe

Ini adalah pelatihan jurnalistik ke empat yang diselenggarakan oleh Komsos Keuskupan Bandung. Pelatihan diselenggarakan di tiap

dekanat dengan tujuan agar para pegiat media paroki dalam tiap dekanat dapat mengembangkan teknis penulisan dan mendapat hal-hal baru dari setiap media paroki lainnya di Dekanat Bandung Timur.

Demikian dikatakan Romo Nono, OSC., Ketua Komsos Keuskupan Bandung, dalam pembukaan Pelatihan Jurnalistik se Dekanat Bandung Timur di Gedung Aula Paroki Salib Suci, Kamuning – Bandung, Minggu 27-10-2019.

Pelatihan ini diikuti oleh 11 orang peserta dari paroki-paroki di Dekanat Bandung Timur, yaitu Paroki St. Petrus – Katedral, Paroki St. Melania, Paroki Salib Suci – Kamuning, dan Paroki St. Odilia yang menghadirkan dua orang peserta, dari Béwara dan Lingkungan St. Anna – Antapani Timur 2.

Pada pelatihan ini membahas tentang bagaimana Mencari dan Menulis Berita, Pedoman Penulisan Berita dan Etika Jurnalistik. Dari materi tersebut, terselip bahasan bagaimana mengelola media gereja di tengah keterbatasannya dan gempuran media daring. Majalah Béwara mendapat porsi untuk dibedah oleh narasumber, Frans Hasiholan Siagian yang sehari-hari menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Majalah HIDUP.

Frans berbagi pengalaman mengelola Majalah HIDUP, baik cetak juga daring. “Sekali pun ada kecenderungan media bermigrasi ke daring, para pembaca masih mencari edisi cetak. Narasumber pun

kadang meminta tulisan atau liputan mereka ada di media cetak.” Demikian kata Frans. Jadi semua harus dikembalikan kepada siapa pembaca dari media tersebut, tegasnya. (*)

(Foto: Komsos Keuskupan Bandung)

22 Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019

PSIKO LOGI

Oleh: May Yustika Sari, M.Psi.

MELEPAS YANG PERGI

Sebagian besar orang tentu mengamini syair lagu ciptaan Arswendo Atmowiloto bahwa

harta yang paling berharga adalah keluarga. Meski keluarga di dalam lagu ini digambarkan sebagai keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Namun faktor budaya di Indonesia menjadikan makna keluarga bertambah luas. Rekan di tempat kerja, sahabat di sekolah, tetangga dan teman di lingkungan menjadi keluarga. Bahkan bagi beberapa orang, hewan peliharaan pun masuk kategori keluarga karena ikatan emosional yang terbangun.

Kepergian orang yang mempunyai tempat khusus di hati kita pada umumnya akan menimbulkan rasa sedih. Terlebih bila kepergian itu untuk selamanya, yaitu kematian. Rasa duka dan suasana berkabung dapat menjadi candu bagi orang yang kehilangan.

Hal itu terjadi karena keterikatan personal pada seseorang yang tidak mungkin dijumpainya lagi sehingga individu tersebut berusaha menghadirkan sosoknya kembali, misalnya mengingat rutinitas atau kebiasaannya, menyimpan barangnya, mendatangani tempat-tempat yang pernah dikunjungi bersama, dan sebagainya. Berduka atau berkabung adalah kondisi melankolia yang bila tidak ditangani secara benar dapat berkembang menjadi gangguan psikologi.

Tahap-tahap perkabungan, meski tidak selalu berjalan linier, adalah sebagai berikut:1. Penyangkalan dan isolasi, adalah tahap awal di

mana berita kematian tersebut diterima. Individu tersebut dapat menolak kebenaran faktanya. Umumnya yang bersangkutan menarik diri dari aktivitas yang biasanya dilakukan, seperti enggan makan dan minum, hanya terdiam sendiri, dan sedikit berkomunikasi dengan orang lain.

2. Kemarahan, adalah munculnya rasa kecewa dan tidak mau menerima situasi yang dialami. Individu dapat saja menyalahkan diri sendiri atas kematian orang yang dicintainya ataupun menyalahkan orang lain. Kemarahan tersebut dapat diekspresikan pada objek ataupun dipendam di dalam dirinya. Kemarahan pada Tuhan pun tak terelakkan pada beberapa orang.

3. Tawar menawar, adalah kondisi seseorang

berandai-andai apabila dirinya mampu menolong atau berbuat sesuatu saat berada di situasi tersebut maka kematian orang yang dicintai dapat dihindari. 4. Penyesalan, adalah situasi

individu menyesal karena merasa belum mampu membahagiakan atau memenuhi

harapan seseorang yang meninggal. Dapat pula hadir rasa penyesalan karena telah

mengabaikan orang lain di sekitarnya semasa ia berduka.

5. Penerimaan, adalah kondisi individu telah dapat menerima kenyataan kematian orang yang dicintainya. Biasanya ditandai dengan aktivitas dan pola pikir yang sudah move on dari kedukaan.

Seseorang bisa saja mengalami pasang surut dalam tahap ini, pun tak terkecuali yang nampaknya sudah berada di tahap penerimaan dapat saja seakan-akan mengalami kemunduran. Sebuah penelitian menerangkan bahwa seseorang memerlukan waktu kurang lebih delapan tahun untuk benar-benar melewati masa berkabung. Hal tersebut tidak lepas dari keterikatan emosi, ketergantungan.

Mencari dukungan dan memberikan dukungan, baik social support dan emosional adalah sangat penting untuk menghadapi masa duka. Selain itu, ajaran agama dapat memberikan kenyamanan batin saat seseorang memerlukan penghiburan dalam masa duka.

Adalah manusiawi apabila seseorang mengalami perasaan duka yang mendalam sehingga diperlukan sarana untuk mengungkapkannya, mengekspresikannya seperti menangis, menulis memoar, membawanya dalam doa dan lainnya.

Tuhan memberkati. (*)

Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019 23

? Saya seorang ibu yang memiliki anak usia pra sekolah. Saya ingin mengikutkan anak pada lomba namun di sisi lain saya menjadi khawatir

apabila anak saya menjadi trauma karena kalah dalam lomba. Usia berapa yang sesuai untuk mengikuti lomba? Apa yang harus saya lakukan?

!Sebenarnya tidak ada usia yang dapat dikatakan paling tepat untuk mengikuti lomba. Tergantung dari setiap karakter anak. Mengikutkan anak

pada sebuah perlombaan memang memiliki dampak positif namun apabila tidak dihadapi dengan tepat maka dapat menimbulkan dampak negatif. Sebagai orangtua sebaiknya melepaskan ego pribadi terhadap hasil yang akan diperoleh anak nantinya. Agar anak lebih menikmati situasi lomba nantinya maka lomba tersebut sebaiknya yang sesuai dengan minat dan bakatnya.

Kita dapat membantu anak dengan melakukan persiapan lomba seperti menyiapkan alat atau bahan yang diperlukan, datang ke tempat lomba beberapa menit sebelum lomba agar anak dapat melakukan penyesuaian lingkungan, membantu anak untuk mengurangi kecemasan.

Setelah lomba selesai, ajak anak untuk membicarakan pengalaman yang dialaminya saat lomba. Hindari membandingkan hasilnya dengan orang lain. Beri apresiasi yang tepat terhadap hasil yang dicapainya, karena ada pembelajaran yang lebih bernilai selain piala sang juara, yaitu kejujuran, kemandirian, kemampuan memotivasi diri, komitmen untuk menyelesaikan tugas, manajemen waktu.

Mengevaluasi proses lomba memang perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan anak namun sebaiknya tidak dilakukan saat usia anak masih belia. Beri ruang dan waktu untuk ia mempelajarinya pada saatnya. Yang utama adalah anak menikmati lomba sehingga merasa bahagia.

Tuhan memberkati. (*)

? Saya dan pacar saya memiliki komitmen untuk menikah tahun depan. Jujur, saya masih ragu untuk menikah dengannya karena dia pernah

selingkuh sebelumnya meski bukan saat berpacaran dengan saya. Keluarga kami sudah saling mengenal dengan baik. Beberapa waktu yang lalu, saya berkenalan dengan pria lain yang menurut saya lebih tepat untuk menjadi pasangan hidup saya. Dan laki-laki tersebut juga menunjukkan perhatian yang baik kepada saya. Apa yang harus saya lakukan?

! Pasti ada banyak tantangan untuk menguji komitmen seseorang. Main hati sebelum 'janur kuning melengkung' menurut beberapa orang

adalah hal biasa karena mencari yang terbaik. Beberapa orang lainnya tidak setuju dengan pernyataan tersebut.

Pada kelompok mana Saudara berada? Mungkin pada kelompok pertama karena saat ini Saudara pun mulai melihat rumput tetangga. Orang yang baru kita kenal bisa saja nampak baik karena kita belum mengenalnya secara dalam atau bisa jadi ia memang baik adanya.

Kita perlu sadari bahwa setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Pasangan yang baik adalah yang mampu menerima kekurangan kita namun sekaligus mampu menjadikan kita lebih baik lagi. Ia bukan sekedar orang yang memuja kita namun juga mau memberi kritik dan komentar yang kadang menyakitkan namun benar adanya. Selama berelasi, kita nyaman menjadi diri sendiri karena ia menghargai kita dengan segala keunikannya.

Semoga Saudara dapat menemukan pasangan hidup dengan bimbingan Roh Kudus-Nya.

KONSULTASI PSIKOLOGI

Oleh: May Yustika Sari, M.Psi.

24 Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019

PROFIL KITA

Tanggal 15 Juni 2019 adalah hari yang istimewa bagi umat Lingkungan Santo Mikhael, Wilayah Cikutra Selatan. Pada hari itu, umat memilih

ketua lingkungan yang baru dengan prinsip demokrasi, one man one vote. Lebih terasa istimewa karena ini adalah pemilihan ketua lingkungan baru pasca pemekaran Sukamulya menjadi tiga lingkungan, yaitu Lingkungan Santa Philomena, Santo Peregrinus dan Santo Mikhael.

Sebagai ketua lingkungan yang baru adalah Fransiskus Herlambang Fajar. Ditemui di Komplek Apartemen Gateway Cicadas, Fajar dan beberapa pengurus lingkungan terlihat bersemangat bercerita mengenai lingkungan baru mereka. “Pemekaran wilayah ini mendorong umat yang dulu tidak aktif menjadi lebih aktif. Kalau dulu waktu tiga lingkungan masih jadi satu, yang paling aktif misalnya 20-an orang, sekarang dipecah menjadi tiga lingkungan, yang aktif juga sekitar 20-an orang di tiap lingkungan. Jadi ini membantu sekali,” ujarnya.

Pengurus Lingkungan Santo Mikhael di antaranya adalah Fransiskus Herlambang Fajar sebagai Ketua, Hilda Henny Muliadie sebagai Sekretaris dan Kristina Mellie sebagai Bendahara.

Selanjutnya, Lucia Ratna Marthani dan Polsiado Bunga Lein sebagai Koordinator Bidang Pewartaan. Lucia Tumirah dan Yosephine Fientje sebagai Koordinator Bidang Liturgi. Ratna Simatupang sebagai Koordinator Bidang Persaudaraan, dan Bernadette Retno Palupi sebagai Koordiantor Bidang Pelayanan. Para pengurus ini ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan bertanggal 19 Juli 2019.

Lingkungan Santo Mikhael juga terasa istimewa karena areanya meliputi area komplek Paroki Santa Odilia, dan juga Apartemen Gateway Cicadas. Penghuni Apartemen terdaftar ada 12 KK umat Katolik, sementara di luar apartemen 16 KK. Jadi ada total 28 KK.

Kendati baru dibentuk pertengahan tahun lalu, umat Lingkungan Santo Mikhael sudah mengadakan beberapa kali kegiatan bersama, di antaranya Misa Pesta Nama Santo Mikhael di Susteran CB Komplek Paroki Santa Odilia, penutupan Bulan Rosario dengan ziarah bersama dan misa di Gereja Karmel Lembang yang dilanjutkan dengan botram di Lembah

Bougenvile Maribaya.Kegiatan sosial juga sudah lho! Dalam rangka

BKSN dan Pekan Misi Nasional, umat Lingkungan Santo Mikhael mengadakan aksi nyata pembagian nasi kotak kepada tukang becak dan penyapu jalan.

Menarik, pada saat rosario lingkungan lalu, salib misi ditempatkan dalam wadah cantik yang didesain khusus utuk salib misi. Usut punya usut, ternyata ini ulah Ketua Lingkungan yang ternyata adalah pengusaha premium giftbox. Aksi nyata nasi kotak kemarin pun dijamin enak karena dimasak oleh ibu-ibu, yang satu di antaranya punya usaha warung makan di Apartemen Gateway.

Wah, cocok dah. Seru dan rame ya Lingkungan ini! (*)

MELAYANI DENGAN ISTIMEWA

Lingkungan St. Michael Cikutra Selatan

Oleh:Anthonius Iwan Adhipraja

Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019 25

Pasutri Iyus dan Neneng

RAHASIA KEBERHASILANOleh:Sandra S. Hariadi

Demikian yang dikatakan Albertus Iyus Triramana (Iyus), didampingi istrinya, Gabriela Dedeh Farida (Neneng).

Orangtua dari Joseph Kristiandi Raharja (Joseph) dan Tobias Tommy Wijaya (Tobi) ini memulai usaha yang sekarang secara tidak disengaja. Tahun 2006, Neneng membuat kue muffin hanya untuk keluarganya saja. Iyus mencoba menawarkan muffin dan beberapa kue buatan Neneng ke kantornya, dan ternyata laku keras. Muncul ide Iyus untuk menawarkan ke sekolah-sekolah dan kantin rumah sakit sambil mengantar Joseph, sebelum ia pergi ngantor.Masa-masa itu merupakan kerja keras bagi pasutri yang tinggal di Bojongkoneng ini. Iyus tidak merasa harus malu sebagai orang kantoran yang posisinya sudah baik ini berjualan makanan ke sekolah dan kantin-kantin. Setelah muffin diterima sebagai menu pasien di RS. St. Borromeus, maka jenis produk berkembang menjadi lima macam, di antaranya cake pisang dan bolu zebra.

Seolah jalan hidup sudah ditentukan oleh Tuhan, pada 2012, Iyus mendengar tentang Pawika (Paguyuban Wirausaha Katolik), sebuah Kategorial di bawah Keuskupan Bandung. Oleh Ardi Ketua Pawika, Iyus dikenalkan dengan si Raja Outlet, Perry Tristianto.

Tidaklah mudah ‘menembus’ kesempatan berbisnis dengan si Raja Outlet ini. Berkali-kali produknya ditolak karena dianggap biasa saja. Namun Iyus tidak menyerah. Banana Cake membuat Perry memberi Iyus satu outlet di Floating Market

“Keberhasilan itu adalah ketika kita dapat berbagi dan menolong orang lain”

dengan sistem bagi hasil. Di sana karyawan harus ‘show’ membuat produk. Bantuan dari keluarga besar merupakan modal awal. Karyawan diambil dari Sekolah Kelas Pembangunan dari Cigugur Kuningan. Hujan deras, jatuh dari motor dan kena lumpur, gangguan dari orang yang iri akan keberhasilannya dan permainan bisnis yang curang tidak membuat Pasutri ini mundur. Tak terelakkan, titik balik kehidupan keluarga ini berawal dari munculnya masalah kantor tempat Iyus bekerja, usaha bisnis yang gagal, dan keadaaan ekonomi keluarga di titik nadir.

Perlahan, dengan banyak berdoa dan tetap rajin berusaha membuat usahanya semakin maju. “Tuhan sungguh baik, semuanya dilancarkan,” kata Iyus dan Neneng. Laris manisnya kue-kue itu menghilangkan rasa lelah dan jatuh bangun usaha pasutri ini.

Pada 2017 setelah stroke yang kedua, Iyus nekad mengambil tawaran pensiun dini dari kantornya. Ia ingin bisa mandiri secara finansial pasca pensiun.Setelah di Floating Market, pada 2015 bertambahlah outlet ‘B&Jo’ di Tahu Susu Lembang. Hingga sekarang, outlet mereka ada lima, yaitu Rumah Sosis, Farm House, dan Floating Market dan De Ranch Cisarua Bogor. Perry sangat berjasa untuk mereka. Kini mereka mempekerjakan 50 karyawan. Namun demikian, Iyus masih bermimpi untuk punya outlet sendiri.

Kini mereka mewujudkan rasa syukur ini dengan membantu orang lain. Saat ini Iyus mengajak adik iparnya bergabung, dan juga sudah berhasil ‘mengantar’ keponakannya untuk sukses berbisnis kue pie susu, serta menyekolahkan keponakan lainnya.

Hingga saat ini Iyus masih aktif di Pawika untuk berbagi dengan pengusaha Katolik lainnya. ”Jika mau jadi pengusaha,

bergabunglah dengan pengusaha.” “Saya selalu

tekankan, saya mau berbagi ilmu berbisnis,

tetapi harus dijalankan dengan semangat juang, disiplin dan kerja keras. Smart business. Jangan lupa berdoa.” pungkasnya. (*)

Ki-ka: Joseph, Tobi, Neneng, Iyus. (Foto: Dok. keluarga)

26 Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019

BINA IMAN ANAK

Sejak usia dini, anak-anak Katolik perlu dikenalkan dengan Sabda Allah yang tertulis pada Kitab Suci. Tetapi tidak semua harus

disampaikan kepada mereka. Perlu dipilih bagian-bagian dalam Kitab Suci yang cocok yaitu yang dapat dipahami dan berguna bagi bekal hidup mereka. Bagian-bagian Kitab Suci yang sesuai dengan anak-anak adalah cerita. Mereka yang penuh imajinasi dapat menggunakan kemampuan ini untuk menikmati cerita-cerita Kitab Suci.

Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) dilakukan setiap bulan September. BKSN tahun 2019 bertema “Mewartakan Kabar Baik di Tengah Krisis Lingkungan Hidup”. Anak-anak Katolik diajak untuk mendengarkan cerita tentang Nabi Nuh yang merupakan cerita yang paling dikenal dalam Kitab Suci. Ketika manusia di bumi sudah melakukan begitu

banyak kejahatan, Allah merasa sedih dan menyesal karena telah menciptakan mereka. Karena itu, Allah akan memusnahkan seluruh ciptaan-Nya dengan mendatangkan air bah yang akan menenggelamkan seluruh bumi. Tetapi, Nuh diminta untuk membuat bahtera, kapal yang besar sekali, untuk menyelamatkan Nuh, keluarganya, dan binatang-binatang yang hidup di bumi. Setelah air bah reda, Allah meminta Nuh dan kesemuanya itu untuk hidup di bumi lagi.

Tema tersebut dilakukan oleh para pengajar Pendidikan Agama Katholik (PAK) dan pembina Sekolah Minggu Wilayah Cinunuk, bekerjasama dengan Lingkungan Santa Brigitta dan Lingkungan Santa Catharina - Wilayah Cinunuk Paroki Santa Odilia Bandung untuk melakukan aksi nyata yaitu penanaman beberapa pohon buah. Penanaman

BERSAHABAT DENGAN LINGKUNGANAksi Peduli Anak-anak PIA/PIRA Cinunuk

Oleh: Deui Wulandari

Bersyukur untuk terkabulnya Doa Novena Tiga Salam Maria

dan doa-doa kami.

Semoga putra-putri kami terus Semoga putra-putri kami terus dapat menjadi pribadi yang

mandiri dalam studi, kehidupan, dan langkah karya ke depan.

Ananda & Sandra

Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019 27

pohon buah itu berasal dari biji sawo, delima, manggis, jambu bol, srikaya, jambu kristal, rambutan, alpukat, mangga, sirsak, dan jeruk bali (Minggu, 06/10/2019). Aksi tersebut dilakukan dimulai dari pk. 08.00 hingga 10.00 WIB di halaman Gedung Serba Guna (GSG) Wilayah Cinunuk.

Melihat situasi ini, anak-anak diajar untuk merawat dan menjaga lingkungan hidup dengan cara membuang sampah pada tempatnya dan tidak membuang-buang makanan. “Bersahabat dengan lingkungan selalu mendatangkan kebahagiaan bagi kita,” ujar salah satu anak yang bernama Junior.

Para pendamping PIA/PIRA pun diajak untuk membantu untuk mendalami Sabda Tuhan. Pendamping diminta untuk membantu anak-anak, pertama-tama supaya mereka dapat memahami cerita dalam Kitab Suci yang menyatakan kehendak Allau itu sendiri. Selanjutnya, para pedamping perlu membimbing anak-anak supaya dapat memahami pesan dari cerita itu dan bagaimana pesannya dapat dilakukan dalam kehidupan mereka yaitu dengan mencintai lingkungan di sekitar kita. (*)

kebangkitan badan:1. Kita tidak terpuruk dalam kesedihan akan

kematian. Orang yang percaya akan kebangkitan badan, tidak akan kehilangan harapan bahwa pada satu saat dia akan dapat berkumpul kembali dengan orang-orang yang dikasihinya, sebagaimana ditegaskan oleh Rasul Paulus: “Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia.” (1 Tes. 4:13-14)

2. Kita dibebaskan dari ketakutan akan maut. Dengan berpegang pada iman akan Kristus yang telah mengalahkan kuasa maut (Ibr. 2:14-15), orang yang percaya akan kehidupan kekal dan kebangkitan badan, tidak akan terlalu takut menghadapi kematian.

KATEKESESambungan Hal. 11

3. Kita dibantu untuk menata hidup lebih baik. Orang yang percaya akan kehidupan kekal di masa mendatang akan termotivasi untuk menata hidup hari demi hari dengan lebih baik. Ia akan berusaha berbuat baik, teguh dalam segala kesulitan, penderitaan dan ketidakadilan di dunia ini.

4. Kita dibantu untuk menghindari kejahatan. Dengan percaya akan kehidupan kekal dan kebangkitan badan, kita terdorong untuk menjauhkan diri dari kejahatan, karena tahu bahwa segala kejahatan dapat berakibat penghukuman di kehidupan mendatang. Rasul Yohanes menuliskan, “dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.” (Yoh. 5:29). (*)

BREAKING NEWS!Pada Minggu, 17 November 2019, telah

terbentuk Paguyuban Adi Yuswa (Paguyuban Lansia) di Paroki Santa Odilia, dengan pengurus sebagai berikut:

Ketua: Florentius Mardianto Sekretaris: Julius Darmono Bendahara: Ktut Sukarno

Paguyuban ini bernaung di bawah Bidang Persaudaraan, cq. Sie Keluarga. Paguyuban beranggotakan para umat Paroki Santa Odilia - Bandung, yang telah berusia di atas 60 tahun.

28 Béwara NO. 37 - NOVEMBER 2019

Menjadi Penjala Manusia

B I O G R A F I

Oleh: Firta Yolin SANTO ANDREAS

“Lihatlah Anak domba Allah!”

Perkataan di atas bukanlah perkataan dari Andreas, namun yang berkata tersebut adalah gurunya yang pertama yaitu Yohanes Pembaptis. Namun, dari perkataan tersebut, Andreas mengikuti Yesus. Dan setelah mengikuti Yesus, Andreas mengetahui bahwa Yesus adalah Mesias.

Dilahirkan pada abad pertama di daerah Betsaida, Galilea, nama Andreas berasal dari bahasa Yunani yang berarti berani, perkasa, kuat. Setelah menjadi murid Yesus, ia dijuluki protocletus kerena merupakan murid pertama yang dipilih dan dipanggil Yesus. Andreas merupakan saudara dari Petrus dan semasa hidupnya ia tinggal bersama dengan Petrus dan ibu mertua Petrus di Kapernaum. Pekerjaan mereka sehari-hari adalah menjala ikan di danau Galilea.

Seperti telah disebutkan pada alinea pertama, awalnya Andreas adalah murid Yohanes Pembaptis. Tugasnya adalah membantu Yohanes Pembaptis dengan mengajak para umat bertobat dan dibaptis di sungai Yordan. Hingga suatu waktu, datanglah Yesus meminta untuk dibaptis.

Ketika Yesus sedang dibaptis, turunlah Roh Kudus berupa cahaya yang terang dan seekor burung merpati tepat di atas kepala Yesus. Seketika itu pula, Yohanes Pembaptis mengetahui bahwa pemuda yang sedang ia baptis adalah Yesus, Anak Domba Allah yang selama ini selalu ia katakan kepada murid-muridnya.

Sesudahnya, Andreas mengikuti Yesus dan ingin tahu di mana Yesus tinggal. Yesus mengajak Andreas tinggal bersamanya dan memberitahukan kabar gemabira tersebut kepada Simon dan membawanya kepada Yesus. Yesus menamakan Simon dengan Petrus. Sejak mereka mengetahui Yesus adalah Mesias, Andreas dan Petrus mengikutinya.

Andreas adalah salah satu rasul Yesus yang paling setia, selalu ada dalam setiap perjalanan-Nya. Pada saat Yesus harus memberi makan 5000 orang, Andreas yang memberitahukan kepada Yesus bahwa ada seorang anak yang membawa lima roti dan dua ekor ikan.

Sesudah Yesus wafat di kayu salib, Andreas tetap setia bersama para rasul lainnya menunggu kenaikan Yesus ke surga di mana selanjutnya Roh Kudus turun atas para rasul. Setelah itu, sesuai dengan pesan Yesus, para rasul-Nya menyebar ke berbagai daerah untuk mewartakan Injil. Misinya adalah melakukan banyak mukjizat dan penyembuhan dalam nama Yesus serta mempertobatkan para penyembah berhala. Dua di antaranya adalah istri Aeges, prokonsul Roma dan saudaranya Aeges, Stratoklis.

Terhadap hal tersebut, Aeges menjadi marah dan atas desakan para penyembah berhala, dia memaksa orang-orang Kristen untuk menyembah berhala. Hingga terjadilah pertentangan antara Aeges dan Andreas. Aeges mengatakan bahwa Yesus menderita sengsara dan disalibkan karena melakukan kesia-siaan dalam pewartaan-Nya. Andreas langsung membantah bahwa Yesus disalib dengan sukarela demi keselamatan umat manusia. Andreas menegaskan pula bahwa dia adalah saksi atas semua perjalanan Yesus.

Puncak dari pertentangan mereka adalah Aeges menyuruh mereka untuk disalibkan. Andreas digantung pada saltire (salib berbentuk X), hanya diikat saja dimaksudkan agar Andreas menderita. Selama dua hari digantung, ia tetap berkhotbah kepada umat yang menyaksikannya hingga ia wafat pada salib tersebut.

Pada 357, relik Santo Andreas dipindahkan dari Patras ke Konstatinopel. Pada abad 13, relikuinya dipindahkan ke Katedral Amafi, Italia oleh Kardinal Peter dari Capua. (*)

LAUNDRYKILOAN/SATUAN

HANDLING:SILKSUEDELEATHERCOTTONBELUDRU

TERCATAT& AMAN

ALAT & AHLI PROFESIONAL

MURAH &

HEMAT

R O Y A LL A U N D R Y

Apartemen Pinewood (Gerai L-16). Jl. Raya Jatinangor no.150 --08977946369-- Royal_Jatinangor

FREE DELIVERY/

PICK-UP