BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Inflasi merupakan ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Inflasi merupakan ...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Inflasi merupakan dilema yang menghantui perekonomian setiap negara.
Perkembangannya yang terus meningkat memberikan hambatan pada
pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih baik. Banyak kajian membahas inflasi,
tidak hanya cakupan regional, nasional, namun juga internasional. Inflasi
cenderung terjadi pada negara-negara berkembang seperti halnya di nergara
Indonesia dengan struktur perekonomian yang bercorak agraris. Kegagalan atau
guncangan dalam negeri akan menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik dan
berakhir dengan inflasi pada perekonomian (Baasir, 2003:265).
Krisis ekonomi yang dipicu oleh gejolak nilai tukar rupiah telah
berdampak sangat luas pada seluruh sendi perekonomian dan tatanan kehidupan
(Anwar Nasution, 2001). Krisis ekonomi yang telah terjadi, paling tidak dalam
konteks ini, memberikan pelajaran yang berharga akan pentingnya penciptaan
kestabilan moneter (kestabilan nilai rupiah) sebagai prasyarat bagi kelangsungan
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (Achyar Ilyas, 1999).
Kesadaran untuk memetik hikmah dari pengalaman itu pula yang
kemudian melahirkan persetujuan DPR atas UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia yang mengamanatkan suatu perubahan yang sangat mendasar dalam hal
pengelolaan moneter (Anwar Nasution, 2001). Undang-Undang Bank Sentral
Indonesia yang baru ini, memiliki muatan substansi yang berbeda dalam hal
penanganan kebijakan moneter di Indonesia dibandingkan dengan undang-undang
sebelumnya. Perbedaan tersebut salah satunya adalah pada sasaran akhir
kebijakan moneter yang lebih diarahkan untuk menjaga inflasi (Achyar Ilyas
dalam Didik J Rachbini dkk, 2000). Pemilihan inflasi sebagai sasaran akhir ini
sejalan pula dengan kecenderungan perkembangan terakhir bank-bank sentral di
dunia, di mana banyak bank sentral yang telah beralih lebih memfokuskan diri
pada upaya pengendalian inflasi.
2
Pada grafik 1.1 dapat dilihat bahwa sejak tahun 1990-an, laju inflasi di
Indonesia memang cukup tinggi, terlebih-lebih selama krisis moneter. Pada tahun
1997, tingginya tingkat inflasi Indonesia disebabkan karena terjadinya krisis
moneter yang melanda beberapa negara Asia. Soedrajat Djiwandono dalam
Agustinus Suryantoro (2000) menyatakan bahwa krisis nilai tukar di Thailand
menyebar cepat ke negara-negara Asia lain termasuk Indonesia. Hal ini terjadi
karena adanya contangion effect atau efek berantai sebagai akibat terintegrasinya
pasar domestik ke dalam pasar keuangan global Inflasi. Kondisi lebih buruk
terjadi dalam perekonomian Indonesia, dimana krisis tersebut berdampak pada
perekonomian Indonesia, yakni penurunan pertumbuhan ekonomi.
Grafik 1.1 Perbandingan Laju Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di
Indonesia Tahun 1997 – 2011 (persen)
Sumber : Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 1997-2011
11,05
77,63
2,01
9,35 12,55 10,03 5,06 6,4
17,11
6,6 6,59 11,06
2,78 6,96 3,79 4,65
-13,1
0,79 4,92 3,45 3,69 4,1 5,1 5,6 6,1 5,8 5,3 5,4 6,9 6,5
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Pe
rsen
%
Perbandingan Laju Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di
Indonesia Tahun 1997 - 2011
Inflasi Pertumbuhan Ekonomi
3
Krisis ekonomi juga menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi
negara disertai dengan peningkatan inflasi. Munculnya inflasi tahun 1997 di
Indonesia menyebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi dan peningkatan inflasi
secara signifikan. Imbas dari pada krisis ekonomi 1997 paling dirasakan
dampaknya pada tahun 1998, dimana pertumbuhan ekonomi mencapai kontraksi
dengan pertumbuhan minus 13,3%, hiperinflasi juga terjadi di Indonesia dengan
tingkat inflasi 77,63%. Selanjutnya pada tahun 1999, laju inflasi sudah dapat
dikendalikan seiring dengan membaiknya kondisi moneter di Indonesia menjadi
sebesar 2,01%. Memasuki tahun 2000 stabilitas moneter cukup terkendali dengan
tingkat inflasi sebesar 9,35% dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,8%. Dalam
perkembangannya setiap tahun inflasi terus berfluktuasi hingga mencapai angka
tertinggi sebesar 17,11% pada tahun 2005 dan tingkat pertumbuhan ekonomi
5,1%. Inflasi dalam perkembanganya menunjukkan angka yang meningkat
mencapai di atas 11% pada akhir 2008 dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil
di angka sekitar 5,3%. Inflasi sempat menurun hingga kisaran 2-3% pada 2009,
tetapi kemudian meningkat lagi pada level 6,96% di akhir tahun 2010.
Melanjutkan perkembangan di akhir tahun 2010, selama triwulan I 2011 inflasi
masih berada di level yang tinggi, mendekati 7%, yang antara lain dipicu oleh
tingginya inflasi volatile food dan inflasi inti. Laju inflasi Indonesia sepanjang
tahun 2011 tercatat sebesar 3,79 persen dimana perekonomian tumbuh sebesar
6,5%.
Inflasi sering diartikan sebagai kecenderungan naiknya harga secara umum
dan terus menerus, dalam waktu dan tempat tertentu (Korteweg, 1973; Ackley,
1978; Nopirin, 1997; serta Boediono, 2001). Keberadaannya sering diartikan
sebagai salah satu masalah utama dalam perekonomian negara, selain
pengangguran dan ketidakseimbangan neraca pembayaran. Inflasi akan
menyebabkan turunnya pendapatan riil masyarakat yang memiliki pendapatan
tetap. Karena dengan penghasilan yang relatif tetap, mereka tidak dapat
menyesuaikan pendapatannya dengan kenaikan harga yang disebabkan karena
inflasi. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki penghasilan yang dinamis
(pedagang dan pengusaha misalnya), seringkali mendapat manfaat dari adanya
4
kenaikan harga tersebut, dengan cara menyesuaikan harga jual produknya.
Dengan demikian pendapatan yang mereka peroleh secara otomatis akan
tersesuaikan, dan tidak jarang dengan persentase yang lebih besar. Didalam6
penjelasannya, Nopirin (2000: 32), menyebut dampak pertama ini dengan sebutan
efek terhadap pendapatan (equity effect).
Inflasi dapat menurunkan nilai tabungan masyarakat, sehingga masyarakat
akan cenderung memilih menginvestasikan dananya dalam aktiva yang lebih baik.
Dengan kecenderungan ini, dunia perbankan akan mengalami kesulitan likuiditas,
dan sebagai salah satu sumber perolehan dana bagi sektor riil, hal ini tentu tidak
menguntungkan. Inflasi akan menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia
menjadi terhambat. Misalnya, di sektor pedagangan luar negeri, komoditi ekspor
Indonesia menjadi kurang dapat bersaing dengan komoditi sejenis di pasar dunia.
Dengan kata lain, kemerosotan produksi akan terjadi, baik untuk produk yang
berorientasi ekspor maupun produk untuk pasar domestik. Hal ini sangat
berbahaya karena dapat memicu meningkatnya pengangguran di suatu Negara
(Khalwaty, 2000: 33), dan juga (Korteweg, 1973).
Di sisi kurs valuta asing, Rupiah akan semakin terdepresiasi terhadap mata
uang asing, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah lain yang tidak
kalah seriusnya, seperti membengkaknya kewajiban pemerintah terhadap kreditur
luar negeri. Menurut Harvey (1988: 354) inflasi akan mempengaruhi kinerja
perdagangan suatu negara yang tercermin dalam neraca perdagangannya.
Terakhir, inflasi yang tidak terkendali dapat mendorong terjadinya capital outflow
ke luar negeri. Pemilik modal akan lebih memilih menginvestasikan dananya di
negara yang lebih menguntungkan. Begitu pula akan terjadi relokasi sector
manufaktur / riil ke negara yang memiliki cost production yang lebih rendah.
Bank Indonesia, sebagai pemegang otoritas moneter tertinggi di Indonesia
mempunyai tugas yang tidak mudah, yaitu menjaga stabilitas ekonomi. Suatu
perekonomian dapat dikatakan stabil salah satunya indikatornya adalah apabila
inflasi ini dapat dikendalikan dalam range yang moderat. Dan bila hal itu tercapai
maka hal itu merupakan kesuksesan dari sebuah lembaga pemegang otoritas
moneter tertinggi. Kestabilan ini sangat penting artinya bagi pembangunan
5
ekonomi di Indonesia. Perekonomian tidak dapat bertumbuh dan mencapai
kemapanan apabila kestabilan ekonomi tidak bisa diraih. Kita memang tidak bisa
melimpahkan semua masalah stabilisasi ekonomi ini kepada bank sentral, namun
setidaknya dengan berbagai power dan kewenangan yang dimilikinya, Bank
Indonesia seharusnya mampu berbuat banyak untuk menjalankan fungsi
stabilisasi yang amat krusial bagi pembangunan perekonomian ini.
Penempatan inflasi sebagai sasaran akhir tidak berarti Bank Indonesia
mengabaikan sasaran makro ekonomi lainnya, seperti pertumbuhan ekonomi dan
penyediaan lapangan kerja. Justru pengendalian inflasi tersebut dimaksudkan
untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja pada
tingkat kapasitas penuh. Disamping itu, mengingat adanya trade-off jangka
pendek antara inflasi dan pertumbuhan, mentargetkan inflasi secara otomatis
identik dengan mentargetkan pertumbuhan, dengan kata lain, dalam menetapkan
target inflasi, Bank Indonesia sudah mempertimbangkan seberapa tinggi tingkat
pertumbuhan ekonomi yang akan dicapai dengan tingkat inflasi tersebut.
Pada grafik 1.2 dapat dilihat jumlah uang beredar M2 terus
mengalami peningkatan jumlah dari 1997 hingga 2006. Sedangkan pada grafik 1.3
menunjukan adanya indikasi bahwa perubahan jumlah uang beredar di Indonesia
menyebabkan perubahan yang proporsional terhadap inflasi. Dapat diartikan
bahwa perubahan tingkat inflasi di Indonesia sebagai akibat perubahan harga
dalam periode tersebut cukup banyak dipengaruhi oleh jumlah uang beredar.
Grafik 1.2 Laju Jumlah Uang Beredar (M2) Tahun 1997 - 2006
Sumber : Key Indicators 2006 dan 2007, ADB
355,64 577,38 646,21
747,03 844,05 883,91 955,69 1033 1203,22
1382,07
0
500
1000
1500
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Trili
yun
Ru
pia
h
Tahun
Laju Jumlah Uang Beredar (M2) Tahun 1997 - 2006
6
Grafik 1.3 Perbandingan Laju Inflasi dan Pertumbuhan JUB Tahun 1997 -
2006
Sumber : Key Indicators 2006 dan 2007, ADB
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dan
dipicu oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika telah
mengarahkan pada diadopsinya sistem nilai tukar mengambang atau free floating
exchange rate (Suryanto, 2003). Indonesia telah beberapa kali menerapkan
kebijakan tentang nilai tukar rupiah dan terakhir pada 14 Agustus 1997, Indonesia
menerapkan nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate) yang
artinya nilai tukar rupiah sepenuhnya ditentukan oleh interaksi permintaan dan
penawaran valas di pasar valas.
Setelah melepaskan BI band intervensi pada Agustus 1997, kurs rupiah
terus terkoreksi dengan terdepresiasinya kurs rupiah hampir 100 persen terhadap
Dollar Amerika. Dalam rentang waktu satu decade semenjak diberlakukanya free
floating exchange rate posisi terendah (depresiasi rupiah) kurs rata-rata tahunan
adalah pada tahun 2001, dengan rata-rata Rp.10.400,00/USD, seperti terlihat
dalam grafik 1.4 berikut:
11,5
77,63
2,01 9,35 12,55 10,03 5,06 6,4
17,11 6,6
23,2
62,4
11,9 15,6 13 4,7 8,1 8,1 16,4 14,9
0
50
100
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Pe
rsen
Perbandingan Laju Inflasi dan Pertumbuhan JUB
Tahun 1997 - 2011
Inflasi Pertumbuhan JUB
7
Grafik 1.4 Laju Nilai Tukar Tahun 1997-2011
Sumber : Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia,
1997-2011
Berfluktuasinya tingkat inflasi di Indonesia dengan beragam faktor yang
mempengaruhi mengakibatkan semakin sulitnya pengendalian inflasi, sehingga
dalam pengendaliannya pemerintah harus mengetahui faktor-faktor pembentuk
inflasi. Inflasi di Indonesia bukan saja merupakan fenomena jangka pendek,
seperti dalam teori kuantitas dan teori inflasi Keynes, tetapi juga merupakan
fenomena jangka panjang (Baasir, 2003:267).
Penempatan inflasi sebagai sasaran akhir, tidak berarti Bank Indonesia
mengabaikan sasaran makro ekonomi lainnya, seperti pertumbuhan ekonomi dan
penyediaan lapangan kerja. Justru pengendalian inflasi tersebut dimaksudkan
untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja pada
tingkat kapasitas penuh. Disamping itu, mengingat adanya trade-off jangka
pendek antara inflasi dan pertumbuhan, mentargetkan inflasi secara otomatis
identik dengan mentargetkan pertumbuhan, dengan kata lain, dalam menetapkan
target inflasi, Bank Indonesia sudah mempertimbangkan seberapa tinggi tingkat
pertumbuhan ekonomi yang akan dicapai dengan tingkat inflasi tersebut.
Dalam perjalanannya, apabila tingkat inflasi berhasil dikendalikan sesuai
dengan target yang telah ditetapkan, maka kredibilitas bank sentral akan terbentuk
4650
8025 7085
9595 10400
8940 8465 9290
9830 9020 9416
10950
9400 8991 9068
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Ru
pia
h/U
S D
olla
r
Tahun
Laju Nilai Tukar Tahun 1997 - 2011
8
di masyarakat. Dengan kredibilitas tersebut, ekspektasi inflasi masyarakat dengan
mudah akan terbentuk sesuai dengan target inflasi yang ditetapkan Bank
Indonesia, dan sekaligus target tersebut akan menjadi nominal anchor bagi para
pelaku ekonomi. Dalam kondisi ekpektasi inflasi sama dengan aktual inflasi,
setiap pelaku ekonomi dapat merencanakan kegiatannya dengan baik sehingga
tidak perlu terjadi kelebihan produksi ataupun kekurangan persediaan (unintended
inventory), yang berarti ekonomi dan lapangan kerja tumbuh pada tingkat
kapasitas penuh (Achjar Ilyas dalam Didik J Rachbini dkk, 2000).
Mishkin (2001) menyatakan bahwa bank sentral dalam melakukan
implementasi kebijakan moneter untuk mencapai tujuan akhir kebijakan moneter
yang diharapkan, tidak bisa secara langsung. Hal ini tentu sejalan dengan sifat
kebijakan moneter di mana membutuhkan time-lag antara aksi dari penetapan
kebijakan hingga mencapai hasil dari penetapan kebijakan tersebut. Kebanyakan
ekonom berpendapat bahwa jarak waktu (lag) antara tindakan kebijakan moneter
dengan pengaruhnya pada inflasi adalah panjang, sehingga akan sangat terlambat
seandainya terjadi kesalahan kebijakan, dan kebijakan hanya bisa diubah setelah
hasil akhir tersebut telah terjadi atau telah bisa diamati (Boediono, 2001).
Apabila kebijakan moneter dijalankan, ia menimbulkan beberapa
rangkaian perubahan-perubahan dalam perekonomian yang pada akhirnya
menyebabkan perubahan dalam pendapatan nasional dan penggunaan tenaga
kerja. Rangkaian perubahan perubahan yang berlaku itu dinamakan mekanisme
transmisi (Sadono Sukirno, 2000).
Perdebatan mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter sudah
berlangsung sejak lama antara aliran Klasik dan Keynes. Menurut Keynes, proses
bekerjanya pengaruh gejala moneter terhadap perekonomian dapat dibagi dalam
tiga bagian, yaitu: pertama, mekanisme penyesuaian di sektor moneter, kedua,
mekanisme pemindahan gejala ekonomi dari sektor moneter ke sektor riil, dan
ketiga, mekanisme penyesuaian yang terjadi di sektor riil. Sehingga, mekanisme
transmisi yang dipakai teori Keynes adalah mekanisme transmisi tidak langsung
(Soediyono, 2000).
9
Sebaliknya, teori kuantitas uang dari aliran Klasik menganut mekanisme
transmisi yang langsung (direct transmission mechanism). Di dalam menerangkan
mengenai teori kuantitas uang yang dilakukan Irving Fisher, digunakan persamaan
aljabar yangdinamakan persamaan pertukaran (The Equation of Exchange), di
mana MV = PT.
Bagi Indonesia sendiri, pemahaman mengenai mekanisme transmisi
moneter sangat penting untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter dalam
mencapai dan menjaga kestabilan harga dan nilai tukar rupiah yang diperlukan
guna mendukung proses pemulihan ekonomi.
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat
disimpulkan bahwa permasalahan utama adalah adanya laju inflasi yang relatif
tinggi di Indonesia terlebih lagi selama krisis moneter. Pembahasan dalam skripsi
ini lebih difokuskan pada faktor-faktor yang mempengaruhi Inflation Targeting
Framework dengan pendekatan teori Klasikal model di Indonesia tahun 2000-
2019. Adapun pendekatan teori Klasik digunakan karena selama ini transmisi
melalui saluran uang telah sejak lama dijadikan dasar kebijakan moneter di
Indonesia, termasuk selama Indonesia berada dalam program IMF dari tahun 1997
hingga tahun 2003 yang lalu. Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui
saluran uang (money channel) mengacu pada dominasi peranan uang dalam
perekonomian dengan persamaan: MV = PT, yang pertama kali dijelaskan oleh
teori kuantitas uang dari aliran Klasik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berukit :
1. Bagaimana pengaruh jumlah uang beredar, nilai tukar, suku bunga SBI
terhadap Inflation Targeting Framework dengan pendekatan teori klasikal
model di Indonesia tahun 2000-2019?
10
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian mengenai Inflation Targeting Framework di
Indonesia, diantaranya :
1. Untuk menganalisis pengaruh jumlah uang beredar, nilai tukar, suku bunga
SBI terhadap Inflation Targeting Framework dengan pendekatan teori
klasikal model di Indonesia tahun 2000-2019.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, antara lain :
1. Bagi Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
mengidentifikasi pengaruh nilai tukar, jumlah uang beredar dan suku bunga
terhadap penerapan Inflation Targeting Framework di Indonesia.
2. Bagi akademisi khususnya yang tertarik meneliti mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi Inflation Targeting Framework dapat memanfaatkan
hasil analisis ini untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan mengenai
penelitian tersebut.
3. Bagi penulis, diharapkan dapat memahami dan menambah wawasan tentang
Inflation Targeting Framework yang diterapkan di Indonesia.
E. Metode Penelitian
1. Objek Penelitian
Objek penelitian ini menganalisis tentang pengaruh jumlah uang beredar,
nilai tukar, suku bunga SBI terhadap Inflation Targeting Framework dengan
pendekatan teori klasikal model di Indonesia.
2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung, dalam hal ini adalah
melalui studi kepustakaan. Data tersebut bersumber dari Badan Pusat Statistik
(BPS), Bank Indonesia (BI), dan sumber-sumber lain yang terkait dengan
penelitian ini. Untuk melengkapi hasil olahan data sekunder, informasi-informasi
yang berkaitan juga didapatkan melalui berbagai literatur serta surat kabar dan
artikel yang diunduh melalui media internet. Data sekunder ini berbentuk data
11
runtun waktu (time series). Data time series merupakan data-data yang
dikumpulkan secara periodik berdasarkan urutan waktu, seperti dalam jam, hari,
minggu, bulan, kuartal dan tahun. Data time series diambil dari tahun 2000-2019.
Penelitian ini menggunakan data inflasi, jumlah uang beredar, nilai tukar, suku
bunga, serta inflation targeting framework.
3. Definisi Operasional Variabel
a. Variabel Terikat (Dependen Variabel)
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi
akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2009). Variabel dependen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Inflasi (INF).
1. Inflasi
Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara
umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Deflasi merupakan
kebalikan dari inflasi, yakni penurunan harga barang secara umum dan terus
menerus. Data yang digunakan adalah data laju inflasi dalam periode kuartalan
yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), link ke metadata SEKI-IHK
menggunakan satuan persen (%) dari tahun 2000-2019.
b. Variabel Bebas (Independen Variabel)
Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang
menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2009).
Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1. Jumlah Uang Beredar (JUB)
Data jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) untuk Indonesia. Data
operasional yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari data yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) berdasarkan perhitungan bulanan kemudian
diolah menjadi kuartalan dan dinyatakan dalam bentuk satuan jutaan rupiah dari
tahun 2000-2019.
2. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar (Kurs)
Nilai tukar rupiah terhadap dollar menggunakan kurs tengah yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia. Data yang digunakan diperoleh dari Bank
Indonesia dalam Rupiah/USD dari tahun 2000-2019.
12
3. Tingkat Suku Bunga SBI
Tingkat Suku Bunga SBI adalah tingkat bunga yang diberikan oleh Bank
Sentral kepada Bank Umum yang telah menyimpan dananya di Bank Sentral.
Data yang digunakan adalah tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI),
dari Bank Indonesia menggunakan satuan persen (%) dari tahun 2000-2019.
4. Inflation Targeting Framework (ITF)
Inflation Targeting Framework atau target inflasi adalah tingkat inflasi
yang harus dicapai oleh Bank Indonesia, berkoordinasi dengan Pemerintah.
Penetapan sasaran inflasi berdasarkan Undang-Undang mengenai Bank Indonesia
dilakukan oleh Pemerintah. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan
Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui
Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Data yang digunakan diperoleh dari Bank
Indonesia dalam satuan persen (%) dari tahun 2000-2019.
4. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah analisis regresi linier
berganda dengan metode kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square (OLS),
yang formulasi model estimatornya adalah :
Y = β0 + β1X1 + β2 X2 + β3 X3 + e …………………………………….(1)
Keterangan :
Y : Inflasi (%)
X1 : Jumlah Uang Beredar (Juta Rupiah)
X2 : Tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (%)
X3 : Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar (Dollar)
β0 : Intercep
β1 β2 β3 : Koefisien regresi variable independen
e : Komponen error
13
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini tersusun sitematika penulisan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi pendahuluan yang akan membahas mengenai latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang penjabaran teoritik yang terdapat pada usulan
penelitian serta memuat materi-materi yang disimpulkan dan diperoleh dari
sumber tertulis yang dipakai sebagai bahan acuan dalam pembahasan atas topik
permasalahan yang dimunculkan.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini membahas mengenai alat dan model analisis yang digunakan, data
dan sumber data yang diperoleh, serta definisi operasional variabel dan
pengukurannya.
BAB IV HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi uraian tentang data dan sumber data, metode pengumpulan
data, definisi operasional variabel, serta metode analisis data.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian yang sudah dilakukan dan saran-
saran yang diberikan, sebagai masukan untuk penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN