1.1. Latar Belakang

18
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan dibentuknya negara Republik Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum, sebagaimana dicantumkan dalam alinea ke- 4 dalam pembukaan UUD RI 1945, serta, secara fakta, Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia Tenggara yang memiliki penduduk padat, dimana perekonomian merupakan salah satu hal yang esensial dalam pembangunan Negara dan penyejahteraan masyarakat. Dalam pengadaan praktek ekonomi di Indonesia, terdapat faktor penting yang mengambil andil, yaitu mengenai sarana yang akan digunakan oleh para pelaku perekonomian. Menurut World Economic Forum (WEF), peringkat daya saing Indonesia secara umum meningkat cukup signifikan. Namun dalam pembangunan infrastruktur, negara ini masih tertinggal dibandingkan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. 1 Memajukan kesejahteraan umum masyarakat, membutuhkan suatu upaya yang dimana pelaksanakan pembangunan nasional yang menekankan pada keseimbangan pembangunan secara fisik dan kepuasan secara mental, sehingga merupakan pembangunan masyarakat Indonesia secara utuh. Salah satu cara memajukan kesejahteraan umum adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat adalah dengan cara memberikan kesempatan kerja agar masyarakat Indonesia dapat memperoleh kebutuhan hidup pokok untuk melangsungkan kehidupannya, yang meliputi kebutuhan pangan, sandang dan 1 Sudjarwo Marsoem, Wahyono Adi dan Pieter G. Manopo, Ganti Untung Pengadan Tanah (Jakarta: Renebook, 2015), hlm. 27

Transcript of 1.1. Latar Belakang

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu tujuan dibentuknya negara Republik Indonesia adalah

memajukan kesejahteraan umum, sebagaimana dicantumkan dalam alinea ke-

4 dalam pembukaan UUD RI 1945, serta, secara fakta, Indonesia merupakan

salah satu Negara di Asia Tenggara yang memiliki penduduk padat, dimana

perekonomian merupakan salah satu hal yang esensial dalam pembangunan

Negara dan penyejahteraan masyarakat.

Dalam pengadaan praktek ekonomi di Indonesia, terdapat faktor penting yang mengambil andil, yaitu mengenai sarana yang akan digunakan oleh para pelaku perekonomian. Menurut World Economic Forum (WEF), peringkat daya saing Indonesia secara umum meningkat cukup signifikan. Namun dalam pembangunan infrastruktur, negara ini masih tertinggal dibandingkan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.1

Memajukan kesejahteraan umum masyarakat, membutuhkan suatu upaya

yang dimana pelaksanakan pembangunan nasional yang menekankan pada

keseimbangan pembangunan secara fisik dan kepuasan secara mental,

sehingga merupakan pembangunan masyarakat Indonesia secara utuh. Salah

satu cara memajukan kesejahteraan umum adalah meningkatkan taraf hidup

masyarakat adalah dengan cara memberikan kesempatan kerja agar

masyarakat Indonesia dapat memperoleh kebutuhan hidup pokok untuk

melangsungkan kehidupannya, yang meliputi kebutuhan pangan, sandang dan

                                                                                                               1 Sudjarwo Marsoem, Wahyono Adi dan Pieter G. Manopo, Ganti Untung Pengadan Tanah (Jakarta: Renebook, 2015), hlm. 27

2

papan. Pemukiman dan perumahan adalah kebutuhan utama/primer yang

harus dipenuhi oleh manusia.

Perumahan dan pemukiman tidak hanya dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan hidup, tetapi lebih jauh adalah proses bermukim manusia dalam rangka menciptakan suatu tatanan hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri.2

Hal tersebut dihubungkan dengan kegunaan rumah itu sendiri dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2011, ditetapkan bahwa rumah dapat berfungsi sebagai: a. Pemenuhan kebutuhan dasar; b. Tempat tinggal atau hunian; c. Aset (kekayaan) bagi pemiliknya; d. Status sosial dan ekonomi bagi pemiliknya; e. Tempat untuk mendapatkan penghasilan atau keuntungan; f. Sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat bagi

pemiliknya; g. Penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.3

Selain hal tersebut di atas, rumah dibedakan menurut jenis dan bentuknya.

Berdasarkan jenis rumah, dibedakan berdasarkan pelaku pembangunan dan

penghunian yang meliputi:

a. Rumah komersial

Rumah komersial adalah rumah yang diselenggarakan dengan tujuan

mendapatkan keuntungan (Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2011).

b. Rumah swadaya

Rumah swadaya adalah rumah yang dibangun atas prakarsa dan upaya

masyarakat (Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011)

                                                                                                               2 Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun & Apartemen, (Jakarta: Sinar Grafika), hlm. 162. 3 Urip Santoso, Hukum Perumahan, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 5.

3

c. Rumah umum

Rumah umum adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi

kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (Pasal 1

Angka 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011).

d. Rumah khusus

Rumah khusus adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi

kebutuhan khusus (Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2011).

e. Rumah Negara

Rumah Negara adalah rumah yang dimiliki negara dan berfungsi

sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga

serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri

(Pasal 1 Angka 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011).

Sedangkan berdasarkan bentuk rumah, dibedakan berdasarkan hubungan

atau keterikatan dari satu bangunan terhadap bangunan yang lain, yang

meliputi

a. Rumah tunggal

Yang dimaksud dengan rumah tunggal adalah rumah yang

mempunyai kaveling sendiri dan salah satu dinding bangunan tiak

dibangun tepat pada batas kaveling (Penjelasan Pasal 2 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011).

4

b. Rumah deret

Yang dimaksud dengan rumah deret adalah beberapa rumah yang satu

atau lebih dari sisi bangunan menyatu dengan sisi satu atau lebih

bangunan lain atau rumah lain, tetapi masing-masing mempunyai

kaveling sendiri (Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2011).

c. Rumah susun

Yang dimaksud dengan rumah susun adalah bangunan gedung

bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam

bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah

horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang

masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama

untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda

bersama, dan tanah bersama (Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2011 jo Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun).

Dalam perkembangannya, kebutuhan akan rumah sebagai tempat tinggal

atau hunian sangat besar terutama di perkotaan, hal ini dipengaruhi oleh seiring

dengan besarnya jumlah penduduk, baik yang berasal dari pertumbuhan

melalui kelahiran di tempat tersebut maupun secara urbanisasi, dan sebagainya.

Pemenuhan atas kebutuhan akan rumah sebagai tempat tinggal maupun dalam

tujuan komersial tersebut dilakukan dengan perumahan secara horisontal, akan

5

tetapi dengan keterbatasan akan tanah hal ini tidak dapat dilakukan terus

menerus terutama di daerah perkotaan.

Pada daerah perkotaan dimana tingkat kebutuhan akan rumah sangat

tinggi, sehingga konsep ruang baik untuk hunian maupun komersial secara

horisontal kurang efisien. Kota dengan luas tanah yang terbatas tidak dapat

menjawab kebutuhan hal tersebut.

Keterbatasan lahan secara horizontal, dan tetap berusaha memaksimalkan

usaha perekonomian, maka sangat diperlukan penatagunaan tanah, sehingga

pemanfaatan tanah tersebut dapat berdampak secara positif baik untuk para

pihak dan juga bagi kepentingan masyarakat luas, mulai terpikirkan untuk

melakukan pembangunan suatu bangunan yang digunakan untuk hunian untuk

kemudian atas bangunan dimaksud dapat digunakan secara bersama-sama

dengan masyarakat lainnya, sehingga terbentuklah adanya rumah susun.

Pembangunan rumah susun adalah suatu cara yang jitu untuk memecahkan masalah kebutuhan dari pemukiman dan perumahan pada lokasi yang padat, terutama pada daerah perkotaan yang jumlah penduduknya selalu meningkat, sedangkan tanah kian lama kian terbatas.4

Membangun rumah susun di kota besar adalah kecenderungan masa depan

yang tidak dapat dihindari dan perlu ada penyesuaian pada budaya yang ada

pada masyarakat Indonesia.5

Pada tahun 1985, Indonesia diperkenalkan dengan konsep hunian vertikal

yang kemudian dikemas dalam sebuah Undang-Undang, yakni dalam Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Undang-Undang

tersebut kemudian seiring perubahan waktu dan dengan berbagai perbaikan                                                                                                                4 Adrian Sutedi., loc.cit. 5 Urip Santoso, op.cit., hlm.401

6

yang diperlukan, diperbaharui dengan terciptanya Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2011.

Pada rumah susun terdapat bagian yang dapat dimiliki dan digunakan

secara terpisah, yang disebut sarusun, yang sebagaimana dalam Pasal 1 Angka

2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011, yaitu rumah susun yang tujuan

utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat

hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.

Pada rumah susun juga terdapat hak bersama, yang meliputi :

a. Bagian bersama

Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak

terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan

sarusun (Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011).

b. Benda bersama

Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah

susun, melainkan bagian yang dimiliki bersama secara tidak terpisah

untuk pemakaian bersama (Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2011).

c. Tanah bersama

Tanah bersama adalah sebidang tanah atau tanah sewa untuk bangunan

yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di

atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan

izin mendirikan bangunan (Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2011).

7

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 menetapkan empat jenis rumah

susun yaitu:

a. Rumah susun umum

Rumah susun umum adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk

memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah

(Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011).

b. Rumah susun khusus

Rumah susun khusus adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk

memenuhi kebutuhan khusus (Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2011).

c. Rumah susun Negara

Rumah susun Negara adalah rumah susun yang dimiliki oleh negara

dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, sarana pembinaan

keluarga, serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai

negeri (Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011).

d. Rumah susun komersial

Rumah susun komersial adalah rumah susun yang diselenggarakan

untuk mendapatkan keuntungan (Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2011).

Dalam rangka mewadahi sarana dalam mencari keuntungan dengan

memperhitungkan keterbatasan lahan secara horisontal, rumah susun komersial

merupakan suatu cara tersendiri agar masyarakat tetap dapat melangsungkan

8

kehidupannya dari keuntungan yang didapatnya dari pekerjaan yang

dilaksanakannya dalam rumah susun komersial.

Konsep pemilikan hak atas tanah pada sarusun tidaklah sepenuhnya menganut asas pemisahan horisontal karena kepemilikan atas tanah pada sarusun merupakan kepemilikan bersama dari seluruh pemegang Hak Milik atas satuan bangunan rumah susun, bukan merupakan kepemilikan perorangan sebagaimana yang dianut dalam asas pemisahan horisontal dalam UUPA. 6

Jangka waktu eksistensi daripada rumah susun tersebut terdampak

daripada hal itu, yang dimana sarusun dapat berdiri di atas hak-hak atas tanah

yang diatur pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011, sebagai

berikut:

a. Hak Milik

Apabila rumah susun berdiri di atas tanah Hak Milik, maka kepemilikan

tersebut mengikuti jangka waktu Hak Milik, berlaku selamanya.

b. Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah Negara

Apabila rumah susun didirikan di atas Hak Guna Bangunan atau Hak

Pakai atas negara yang dimana hak atas tanah tersebut memiliki jangka

waktu berlaku sesuai dengan UUPA, maka sarusun itu pula memiliki

jangka waktu tertentu sesuai dengan jangka waktu Hak Guna Bangunan

atau Hak Pakai atas tanah Negara sesuai dengan yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan.

c. Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan.

Apabila rumah susun didirikan di atas Hak Guna Bangunan, Hak Pakai

atas tanah Negara maupun Hak Guna Bangunan, Hak Pakai di atas Hak

                                                                                                               6 Eman Ramelan, dkk., Problematika Hukum Hak Milik Atas Sarusun: dalam Pembebanan dan Peralihan Hak Atas Tanah. (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), hlm. 5.

9

Pengelolaan yang dimana hak atas tanah tersebut memiliki jangka

waktu berlaku sesuai dengan UUPA maka rumah susun memiliki

jangka waktu tertentu sesuai dengan jangka waktu Hak Guna Bangunan

atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan tersebut.

Kepemilikan hak atas tanah dibuktikan dengan adanya Sertifikat atas tanah

tersebut. Sertifikat tersebut bergantung pada macam status hak atas tanahnya,

misalnya Sertifikat Hak Milik, Sertifikat Hak Guna Bangunan, atau Sertifikat

Hak Pakai. Namun untuk rumah susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik,

Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah Negara, Hak Pakai di atas Hak

Pengelolaan, nama Sertifikat tetap Sertifikat Hak Milik Sarusun / SHM

Sarusun. Jadi, nama Sertifikat untuk rumah susun tidak tergantung pada status

hak atas tanah yang diatasnya berdiri sarusun.

Dalam pemilikan atas sarusun tetap mengacu pada aturan hukum UUPA, sekalipun status pemilikan tidak dipengaruhi oleh status pemilikan hak atas tanahnya, namun hanya yang memenuhi ketentuan sebagaimana yang terdapat pada UUPA yang berhak untuk memiliki sarusun.7

Sertifikat tanah bersama memiliki jangka waktu berlaku sesuai dengan

status daripada tanah tersebut, dimana berdasarkan Pasal 35 UUPA untuk tanah

dengan status Hak Guna Bangunan atas tanah Negara memiliki jangka waktu

berlaku 30 (tiga puluh) tahun dan untuk jangka waktu perpanjangan diatur

dalam Pasal 25 PP Nomor 40 Tahun 1996, yang dimana dapat diperpanjang 20

(dua puluh) tahun dan selanjutnya dalam prakteknya diperbaharui dengan

jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun kemudian diperpanjang kembali 20 (dua

puluh) tahun.

                                                                                                               7 Ibid., hlm. 95.

10

Sedangkan untuk tanah dengan status Hak Pakai atas tanah Negara,

berdasarkan Pasal 45 PP Nomor 40 Tahun 1996, memiliki jangka waktu paling

lama 25 (dua puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu

paling lama 20 (dua puluh) tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak

ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu, dan

kemudian dalam prakteknya diperbaharui dengan jangka waktu 25 (dua puluh

lima) tahun.

Selain itu, Hak Guna Bangunan dapat diterbitkan atas tanah Hak Milik

dengan jangka waktu paling lama 30 tahun yang terjadi dengan pemberian oleh

pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh yang wilayah kerjanya

meliputi letak lokasi tanah Hak Milik tersebut. Pemberian Hak Guna Bangunan

atas tanah Hak Milik tersebut wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

Ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Guna Bangunan

atas tanah Hak Milik akan diatur lebih lanjut oleh Keputusan Presiden. Sampai

sekarang Keputusan Presiden yang mengaturnya belum diterbitkan oleh

Pemerintah dan dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Guna Bangunan

baru menggunakan akta yang dibuat oleh PPAT yang wilayah kerjanya

meliputi letak lokasi tanah Hak Milik tersebut dan wajib didaftarkan di Kantor

Pertanahan. Hal tersebut diatur oleh Pasal 24 dan Pasal 29 PP Nomor 40 Tahun

1996.

Hak Pakai dapat pula diterbitkan atas tanah Hak Milik dengan jangka

waktu paling lama 25 tahun yang terjadi dengan pemberian oleh pemegang

Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang wilayah kerjanya meliputi

11

letak lokasi tanah Hak Milik tersebut. Pemberian Hak Pakai atas tanah Hak

Milik tersebut wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Ketentuan mengenai

tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Pakai atas tanah Hak Milik akan

diatur lebih lanjut oleh Keputusan Presiden. Sampai sekarang Keputusan

Presiden yang mengaturnya belum diterbitkan oleh Pemerintah dapat

diperbaharui dengan pemberian Hak Pakai baru dengan akta yang dibuat oleh

PPAT yang wilayah kerjanya meliputi letak lokasi tanah Hak Milik tersebut

dan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan. Hal tersebut diatur oleh Pasal 44

dan Pasal 49 PP Nomor 40 Tahun 1996.

Apabila Sertifikat tanah bersama berstatus Hak Guna Bangunan di atas

Hak Pengelolaan memiliki jangka waktu berlaku, yaitu 30 tahun atau kurang

dari 30 tahun sesuai dengan klausula-klausula dalam Perjanjian Penyerahan

Penggunaan Tanah Dari Pemegang Hak Pengelolaan Kepada Developer,

sebagaimana diatur oleh Pasal 25 PP Nomor 40 Tahun 1996 dan PMNA/KBPN

Nomor 9 Tahun 1999.

Pada umumnya, pihak pelaku pembangunan tidak membangun rumah

susun di atas tanah yang berstatus Hak Pakai di atas tanah Hak Pengelolaan

dan Hak Pakai atas tanah Hak Milik, dikarenakan Hak Pakai di atas tanah Hak

Pengelolaan tidak dapat dijaminkan dengan dibebani Hak Tanggungan dalam

rangka memperoleh kredit investasinya berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1),

ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dan sampai

sekarang Pemerintah Indonesia belum mengundangkan Peraturan Pemerintah

yang mengatur pembebanan Hak Tanggungan di atas tanah Hak Pakai di atas

12

tanah Hak Milik, meskipun Pasal 4 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-

undang Nomor 4 Tahun 1996 telah mengatur bahwa dapat dilakukan

pembebanan Hak Tanggungan terhadap tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik.

Pasal 4 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996 mengatur :

(1) Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah :

a. Hak Milik;

b. Hak Guna Usaha;

c. Hak Guna Bangunan.

(2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak

Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib

didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga

dibebani Hak Tanggungan.

(3) Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas tanah Hak Milik

akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bukti kepemilikan sarusun diterbitkan oleh BPN dalam suatu SHM

Sarusun, yang sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011,

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, di dalamnya menerangkan

tiga hal, yaitu:

a. Salinan buku tanah dan surat ukur atas hak tanah bersama sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (keterangan mengenai

letak, luas dan jenis hak atas tanah bersama);

13

b. Gambar denah yang menunjukkan letak di lantai berapa unit sarusun

yang bersangkutan; dan

c. Pertelaan yang merupakan penjelasan besarnya proporsi atau bagian

hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.

Pada waktu pelaku pembangunan mengalihkan rumah susun tersebut,

maka pelaku pembangunan dan pembeli sarusun menandatangani Akta Jual

Beli di hadapan PPAT yang wilayah kerjanya meliputi letak lokasi sarusun

yang diperjualbelikan, maka telah pula terjadi pengalihan hak atas tanah

bersama dari pelaku pembangunan kepada pembeli sarusun sesuai dengan NPP

pembeli tersebut.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tidak mengatur secara khusus

tentang pengalihan hak atas tanah bersama dari pihak pelaku pembangunan

kepada pemilik sarusun sesuai dengan NPP. Pasal 43 Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2011 hanya mengatur bahwa proses jual beli sarusun sebelum

pembangunan rumah susun selesai dapat dilakukan melalui Perjanjian

Pengikatan Jual Beli yang dibuat di hadapan Notaris setelah memenuhi

persyaratan kepastian atas :

a. Status kepemilikan tanah;

b. Kepemilikan IMB;

c. Ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas umum;

d. Keterbangunan paling sedikit 20 %; dan

e. Hal yang diperjanjikan.

14

Pasal 44 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 hanya mengatur bahwa

proses jual beli yang dilakukan sesudah pembangunan rumah susun selesai,

dilakukan melalui Akta Jual Beli dan pembangunan rumah susun dinyatakan

selesai apabila telah diterbitkan :

a. Sertifikat laik fungsi; dan

b. SHM Sarusun atau SKBG Sarusun.

SKBG Sarusun sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 12 jo Pasal 48

Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011, adalah tanda bukti

kepemilikan atas sarusun di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau

tanah wakaf dengan cara sewa. Penerbitan SKBG Sarusun yang

kewenangannya diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 2011, yaitu

oleh instansi teknis kabupaten/kota yang bertugas dan bertanggung jawab di

bidang bangunan gedung, sesuai dengan Pasal 48 Ayat (2) Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2011, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang

terdiri atas:

a. salinan buku bangunan gedung;

b. salinan surat perjanjian sewa atas tanah;

c. gambar denah lantai pada tingkat rumah susun yang bersangkutan yang

menunjukkan sarusun yang dimiliki; dan

d. pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama dan benda

bersama yang bersangkutan.

SKBG Sarusun juga dapat dibebani fidusia yang apabila memang dijadikan

jaminan utang secara fidusia harus didaftarkan ke kementerian yang

15

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum sesuai dengan Pasal

48 Ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011.

Terdapat perbedaan dalam SKBG Sarusun dan SHM Sarusun, dimana

dalam pertelaan SKBG Sarusun, hanya mengenai besar bagian hak atas bagian

bersama dan benda bersama, dan tidak melibatkan tanah bersama sebagaimana

hal yang tercantum dalam SHM Sarusun yang menerangkan tanah bersama

(letak, luas dan jenis haknya) beserta dengan pertelaan daripada bagian tanah

bersama tersebut.

SHM Sarusun tidak mempunyai jangka waktu berakhir, akan tetapi

tergantung pada Sertifikat hak atas tanah bersama yang menjadi dasar daripada

hak tersebut. Sertifikat hak atas tanah bersama yang diatasnya berdiri rumah

susun ada umumnya dalam praktik berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan yang

berjangka waktu dan pemegang haknya adalah pelaku pembangunan (dalam

praktek disebut dengan istilah Sertifikat Induk). Sertifikat hak atas tanah

bersama inilah yang perlu diperpanjang jika jangka waktu hak atas tanah

bersama tersebut berakhir, dan apabila rumah susun tersebut telah terjual,

seharusnya pihak pelaku pembangunan yang namanya tercantum sebagai

pemegang hak dalam Sertifikat tersebut sudah tidak memiliki kewenangan

untuk memperpanjang. Akan tetapi, tidak ada suatu peraturan yang mengatur

pengalihan nama dalam Sertifikat hak atas tanah bersama tersebut, yang

kemudian akan membawa dampak signifikan daripada eksistensi rumah susun

yang bersangkutan.

16

1.2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana pengaturan pengalihan dan/atau perpanjangan kepemilikan hak

atas tanah bersama rumah susun?

b. Bagaimana kewenangan subyek hukum dalam menerima pengalihan

kepemilikan hak atas tanah bersama dari rumah susun?

c. Bagaimana kewenangan subyek hukum dalam melakukan permohonan

perpanjangan waktu Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah

bersama dari rumah susun dan menerima sertifikat hak atas tanah bersama

yang diperpanjang?

1.3. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui instrumen hukum yang digunakan dalam pengalihan dan/atau

perpanjangan tanah bersama dari rumah susun.

b. Mengetahui subyek hukum yang berwenang menerima pengalihan

kepemilikan hak atas tanah bersama dari rumah susun

c. Mengetahui siapa yang berhak melakukan permohonan dan menerima

perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah

bersama dari rumah susun.

17

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Penulis berharap bahwa dengan hasil penelitian ini, menjadi

sumbangan yang berguna dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya

dalam hukum real estate, secara spesifik dalam cakupan rumah susun

yang dituntut untuk memperhatikan dan berpikir secara kritis sehingga

dapat menunjang perkembangan baik secara teoritis maupun praktis

serta menambah wawasan peneliti.

1.4.2. Manfaat Praktis

Penulis berharap bahwa dengan hasil penelitian ini, dapat menjadi

sumbangan pemikiran yang dapat menjadi sebuah pertimbangan yang

berguna dalam bidang hukum real estate, secara spesifik dalam

cakupan rumah susun bagi para pihak yang berwenang untuk pembuat

peraturan, pihak pengembang dan masyarakat. Terlebih lagi, dapat

menjadi bahan kepustakaan di bidang ilmu hukum, khususnya hukum

yang mengatur mengenai rumah susun.

1.5. Sistematika Penulisan

Bab I : PENDAHULUAN

Bab pertama dalam penelitian ini akan memuat pendahuluan yang

mencakup latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

18

Bab II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab kedua dalam penelitian ini akan memuat mengenai uraian

dalam landasan teoritis dan landasan konseptual yang mendasari

penelitian ini dari segi hukum positif di Indonesia untuk

membantu menjawab permasalahan dalam penelitian.

Bab III : METODE PENELITIAN

Bab ketiga dalam penelitian ini menjelaskan pendekatan

penelitian, jenis penelitian, tipe penelitian, bahan hukum, dan

teknk peneiltian yang digunakan dalam penelitian ini.

Bab IV : ANALISIS

Bab ini memaparkan mengenai permasalahan penelitian beserta

pemecahan permasalahan yang dilandaskan pada landasan teoritis,

prinsip-prinsip / asas-asas hukum dan peraturan perundang-

undangan yang mengatur rumah susun dari hukum Amerika

Serikat, Inggris, India dengan hukum Indonesia.

Bab V : PENUTUP

Bab ini memuat penutup yang mencakup kesimpulan dan saran

pendapat dari penulis atas permasalahan dalam penelitian ini.