Analisis Pengaruh Inflasi dan BI Rate terhadap Kinerja Reksadana Saham di Indonesia Tahun 2011 -...
Transcript of Analisis Pengaruh Inflasi dan BI Rate terhadap Kinerja Reksadana Saham di Indonesia Tahun 2011 -...
ANALISIS PENGARUH INFLASI DAN TINGKAT SUKU BUNGA ACUAN (BI RATE)
TERHADAP KINERJA REKSADANA SAHAM DI INDONESIA TAHUN 2011-2013
Ayu Athifah Naufalianty
(Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
E-mail : [email protected]
Pembimbing
Tony S. Chendrawan, ST., SE., M.Si
Abstract
Share mutual funds is one of the economic potential aspect that could increase the investment. Investment was very
influenced by the interest rate. It shows the investors decision to invest or not. Interest rate fluctuate following the
inflation rate at that moment. When the inflation wasn’t in high condition, the interest rate would decreased, then
investors would attracted to invest in various type of investment, included stock mutual funds. At last, this situation
would make the investment increased.
Keyword :Investment, Share Mutual Funds, Interest Rate, Inflation.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tahun 1997 menjadi tahun yang
mengkhawatirkan bagi perekonomian setiap
negara Asia. Kekhawatiran ini disebabkan oleh
krisis finansial yang berawal dari Thailand pada
Juli 1997. Krisis finansial ini dapat
mempengaruhi kurs mata uang suatu negara,
bursa saham, dan harga aset lain. Akibat yang
ditimbulkan krisis finansial ini pun dapat
menurunkan tingkat investasi berbagai negara
yang terkena imbas krisis ini, termasuk di
Indonesia. Investasi sendiri diartikan sebagai
perencanaan yang berperan untuk memenuhi
kebutuhan dengan konteks jaga-jaga dan tak
terduga. Instrumen yang mendukung investasi
itu sendiri adalah deposito, obligasi, dan saham.
Para investor dapat memilih untuk berinvestasi
secara langsung maupun secara Ask The Experts
dengan bentuk reksadana. Investasi secara
langsung mencakup SBI dan obligasi, sedangkan
Ask The Experts mencakup obligasi dan saham.
Di antara berbagai cara investasi tersebut, saham
dipahami sebagai instrumen yang beresiko tinggi
juga memiliki potensi hasil yang tinggi.
Ketika tingkat investasi menurun akibat
krisis finansial ini, porsi berbagai macam bentuk
investasi termasuk reksadana menurun drastis
karena para investor enggan menginvestasikan
dananya di negara yang sedang krisis. Para
investor berpikir bahwa berinvestasi di negara
yang sedang krisis justru akan menimbulkan
kerugian bagi mereka. Segala macam bentuk
investasi termasuk reksadana tidak menarik lagi
bagi investor. Reksadana yang berperan pada
sektor ini sendiri diartikan sebagai sarana
investasi bagi investor untuk dapat berinvestasi
ke berbagai instrumen investasi yang tersedia di
pasar. Melalui reksadana, investor tidak perlu
repot mengelola lembaran investasinya.
Reksadana saham dipahami sebagai reksadana
yang melakukan investasi kurang lebih 80% dari
portofolio yang dikelolanya dalam efek yang
bersifat ekuitas (saham).
Reksadana saham di Indonesia memiliki
porsi Nilai Aktiva Bersih (NAB) terbesar dan
nilainya selalu berfluktuasi setiap bulan.
Meskipun nilainya fluktuatif, reksadana saham
menjadi penopang tumbuh investasi di negara
kepulauan terbesar ini. Nilai reksadana saham
yang fluktuatif ini erat kaitannya dengan nilai
inflasi yang selalu berubah di Indonesia. Karena
inflasi inilah, para investor cenderung tidak
memilih langkah berinvestasi melalui reksadana
saham yang memang memiliki resiko tinggi.
1.2 Identifikasi Masalah
Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat pengaruh secara simultan
antara Inflasi dan BI Rate terhadap kinerja
Reksadana Saham?
2. Apakah terdapat pengaruh secara parsial
antara Inflasi terhadap kinerja Reksadana Saham?
3. Apakah terdapat pengaruh secara parsial
antara BI Rate terhadap kinerja Reksadana
Saham?
4. Apakah terdapat pengaruh atau korelasi antara
Inflasi dengan BI Rate?
II. KERANGKA TEORITIS &
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori tentang Inflasi
Teori Inflasi
Secara garis besar teori yang membahas
tentang inflasi dapat dibagi dalam tiga kelompok
dengan masing-masing menyoroti aspek-aspek
tertentu dari proses terjadinya inflasi. Namun
demikian, ketiga teori tersebut bukanlah teori
inflasi lengkap yang membahas semua aspek
penting dari proses terjadinya kenaikan harga
barang. Ketiga teori tersebut adalah Teori
Kuantitas, Teori Keynes dan Teori Strukturalis.
a. Teori Kuantitas
Teori Kuantitas memaparkan bahwa
terjadinya inflasi hanya disebabkan oleh satu
faktor, yaitu akibat adanya kenaikan jumlah
uang yang beredar (JUB). Inti dari teori ini
adalah sebagai berikut:
1) Inflasi akan terjadi jika ada penambahan
jumlah uang yang beredar, baik penambahan
uang kartal atau penambahan uang giral. Sesuai
dengan teori kuantitas yang diajukan oleh
ekonom bernama Irfing Fisher, yang dijabarkan
dalam persamaan berikut
MV = PT.
Faktor yang dianggap konstan adalah V dan T,
sehingga jika M (money in circulation)
bertambah, maka akan terjadi inflasi (kenaikan
harga).
2) Laju inflasi ditentukan oleh laju
pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh
psikologi atau harapan atau ekspektasi dari
masyarakat tentang kenaikan harga di masa yang
akan datang. Jadi, apabila masyarakat sudah
beranggapan bahwa akan terjadi kenaikan harga
barang, maka tidak ada kecenderungan atau
keinginan untuk menyimpan uang tunai lagi dan
mereka lebih suka menyimpan harta
kekayaannya dalam bentuk barang.
Teori kuantitas memiliki beberapa Kelemahan
yang di antaranya adalah sebagai berikut.
1) Pada kenyataannya perubahan jumlah
uang yang beredar (M) tidak secara otomatis
dapat menaikkan “money spending” atau
penggunaan uangnya.
2) Dalam masyarakat modern, Laju peredaran
uang (V) tidak bersifat stabil. Mengingat dalam
masyarakat modern uang merupakan alat
pembayaran dan alat untuk menimbun kekayaan.
Dengan demikian, jika ada kelebihan uang akan
digunakan untuk menambah kas, menambah
tabungan bank, menambah pembelian surat
berharga, dan menambah pembelian barang/jasa.
b. Teori Keynes
Pembahasan tentang inflasi dalam Teori
Keynes didasarkan pada teori makronya. Teori
Keynes menjelaskan bahwa inflasi terjadi karena
suatu masyarakat cenderung ingin hidup di luar
batas kemampuan ekonominya. Keadaan seperti
ini ditunjukkan oleh permintaan masyarakat
akan barang-barang yang melebihi jumlah
barang- barang yang tersedia. Hal ini
menimbulkan inflationary gap. Ketika
inflationary gap tetap ada, maka selama itu pula
proses inflasi terjadi dan berkelanjutan.
Keynes tidak sependapat dengan
pandangan yang diajukan dalam teori kuantitas.
Teori kuantitas tersebut menyatakan bahwa
kenaikan jumlah uang yang beredar akan
menimbulkan kenaikan tingkat harga, namun
tidak akan menimbulkan peningkatan
pendapatan nasional.
Kemudian Keynes berpendapat bahwa
kenaikan harga tidak hanya ditentukan oleh
kenaikan jumlah uang yang beredar saja, namun
juga ditentukan oleh kenaikan biaya produksi.
c. Teori Strukturalis
Teori Strukturalis merupakan teori yang
menjelaskan fenomena inflasi dalam jangka
panjang. Hal ini didasarkan pada penjelasannya
yang menyoroti sebab-sebab inflasi yang berasal
dari kekakuan atau infleksibilitas struktur
ekonomi suatu negara.
Menurut teori ini, ada dua ketegaran
atau kekakuan utama dalam perekonomian
negara sedang berkembang yang dapat
menimbulkan inflasi, yaitu ketegaran persediaan
bahan makanan dan barang-barang ekspor.
2.2 Teori tentang Tingkat Suku Bunga (BI
Rate)
Pengertian Suku Bunga
Pada prinsipnya, tingkat suku bunga
adalah harga atas penggunaan uang yang
biasanya dinyatakan dalam persen (%) untuk
jangka waktu tertentu. Terdapat banyak teori
tentang suku bunga, akan tetapi pada tulisan ini
oleh penulis hanya akan dikemukakan teori-teori
yang dianggap penting untuk diketahui, yaitu :
Teori Suku Bunga
A. Teori Klasik
Menurut Teori Klasik, teori tingkat suku
bunga merupakan teori permintaan penawaran
terhadap tabungan. Teori ini membahas tingkat
suku bunga sebagai suatu faktor pengimbang
antara permintaan dan penawaran daripada
investable fund yang bersumber dari tabungan.
Fungsinya yang menonjol dari uang
dalam teori ekonomi klasik, adalah sebagai alat
pengukur nilai dalam melakukan transaksi,
sebagai alat pertukaran untuk memperlancar
transaksi barang dan jasa, maupun sebagai alat
penyelesaian hubungan hutang-piutang yang
menyangkut masa depan.
Teori ekonomi klasik mengasumsikan,
bahwa perekonomian senantiasa berada dalam
keadaan full employment. Dalam keadaan full
employment itu seluruh kapasitas produksi sudah
dipergunakan penuh dalam proses
produksi. Oleh karena itu, kecuali
meningkatkan efisiensi dan mendorong
terjadinya spesialisasi pekerjaan, uang tidak
dapat mempengaruhi sektor
produksi. Dengan perkataan lain sektor
moneter, dalam teori ekonomi klasik terpisah
sama sekali dari sektor riil dan tidak ada
pengaruh timbal balik antara kedua sektor
tersebut.
Hubungan antara sektor moneter dan riil,
dalam teori ekonomi klasik hanya
dijembatani oleh tingkat harga.
Jika jumlah uang beredar lebih besar daripad
a nilai barang-barang yang tersedia, maka
tingkat harga meningkat, jika sebaliknya
menurun.
Konsep tabungan menurut klasik
dikatakan, bahwa seorang dapat melakukan tiga
hal terhadap selisih antara pendapatan dan
pengeluaran komsumsinya yaitu: pertama,
ditambahkan pada saldo tunai yang ditahannya.
Kedua, dibelikan obligasi baru dan ketiga,
sebagai pengusaha, dibelikan langsung kepada
barang-barang modal. Asumsi yang digunakan
disini adalah bahwa penabung yang rasional
tidak akan menempuh jalan yang
pertama. Berdasarkan pada pertimbangan
bahwa akumulasi kekayaan dalam bentuk uang
tunai adalah tidak menghasilkan.
Menurut teori klasik, bahwa tabungan
masyarakat adalah fungsi dari tingkat suku
bunga. Makin tinggi tingkat suku bunga makin
tinggi pula keinginan masyarakat untuk
menabung. Artinya pada tingkat suku bunga
yang lebih tinggi masyarakat akan terdorong
untuk mengorbankan atau mengurangi
pengeluaran untuk konsumsi guna menambah
tabungannya. Investasi juga merupakan fungsi
dari tingkat suku bunga. Makin tinggi tingkat
suku bunga, maka keinginan masyarakat untuk
melakukan investasi menjadi semakin kecil. Hal
ini karena biaya penggunaan dana (cost of
capital) menjadi semakin mahal, dan sebaliknya
makin rendah tingkat suku bunga, maka
keinginan untuk melakukan investasi akan
semakin meningkat.
B. Teori Keynessian, Preferensi Liquiditas
Teori penentuan tingkat suku bunga
Keynes dikenal dengan teori liquidity prefence.
Keynes mengatakan bahwa tingkat bunga
semata-mata merupakan fenomena moneter
yang mana pembentukannya terjadi di pasar
uang. Artinya tingkat suku bunga ditentukan
oleh penawaran dan permintaan akan uang.
Dalam Konsep Keynes, alternatif
penyimpangan kekayaan terdiri dari surat
berharga (bonds) dan uang tunai. Asumsi Teori
Keynes adalah dasar pemilikan bentuk
penyimpangan kekayaan adalah perilaku
masyarakat yang selalu menghindari resiko dan
ingin memaksimumkan keuntungan.
Keynes tidak sependapat dengan
pandangan ahli-ahli ekonomi klasik yang
mengatakan bahwa tingkat tabungan maupun
tingkat investasi sepenuhnya ditentukan oleh
tingkat bunga, dan perubahan-perubahan dalam
tingkat bunga akan menyebabkan tabungan yang
tercipta pada tingkat penggunaan tenaga kerja
penuh akan selalu sama dengan investasi yang
dilakukan oleh para pengusaha. Menurut Keynes,
besarnya tabungan yang dilakukan oleh rumah
tangga bukan tergantung dari tinggi rendahnya
tingkat bunga. Ia terutama tergantung dari besar
kecilnya tingkat pendapatan rumah tangga
itu. Makin besar jumlah pendapatan yang
diterima oleh suatu rumah tangga, semakin besar
pula jumlah tabungan yang akan diperolehnya.
Apabila jumlah pendapatan rumah tangga itu
tidak mengalami kenaikan atau penurunan,
peubahan yang cukup besar dalam tingkat bunga
tidak akan menimbulkan pengaruh yang berarti
keatas jumlah tabungan yang akan dilakukan
oleh rumah tangga dan bukannya tingkat bunga.
Teori permintaan uang Keynes
menekankan kepada berapa besar proporsi
kekayaan yang dipegang dalam bentuk
uang. Berbeda dengan teori klasik, teori Keynes
mengasumsikan bahwa perekonomian belum
mencapai tingkat full employment. Oleh karena
itu, produksi masih dapat ditingkatkan tanpa
mengubah tingkat upah maupun tingkat harga-
harga. Dengan menurunkan tingkat suku bunga,
investasi dapat dirangsang untuk meningkatkan
produksi nasional. Dengan demikian,
setidaknya untuk jangka pendek, kebijaksanaan
moneter dalam teori Keynes, berperan untuk
meningkatkan produksi nasional. Setelah
perekonomian berada dalam keadaan full
employment, barulah kebijaksanaan moneter
tidak dapat lagi berperan untuk meningkatkan
produksi nasional. Dengan demikian jelaslah
bahwa teori Keynes adalah teori ekonomi jangka
pendek sebelum mencapai full employment.
Dalam teori Keynes dikenal tiga motif yang
mendasari permintaan uang masyarakat, yaitu :
1. Keperluan Transaksi (Transaction
Motive). Yaitu motif memegang uang
untuk keperluan transaksi sehari-
hari. Besarnya uang untuk keperluan ini
tergantung kepada besarnya pendapatan.
2. Keperluan Berjaga-jaga. Yaitu motif
memegang uang karena adanya
ketidakpastian mengenai masa datang.
Motif transaksi dan motif berjaga-jaga
merupakan fungsi positif dari tingkat
pendapatan.
3. Keperluan Spekulasi. Yaitu motif
memegang uang untuk keperluan
spekulasi dan mencari keuntungan
sebagaimana motif berjaga-jaga, motif
permintaan uang untuk spekulasi ini
timbul akibat adanya ketidakpastian di
masa yang akan datang. Keynes
mengatakan bahwa motif ini
berdasarkan kepada keinginan untuk
mendapatkan keuntungan dengan
mengetahui apa yang akan terjadi di
masa yang akan datang.
Sebagaimana sudah dikemukakan pada
bagian terdahulu, hubungan antara tingkat suku
bunga dan tingkat harga berbanding terbalik.
Jika tingkat suku bunga meningkat, maka surat-
surat berharga akan turun demikian pula
sebaliknya. Karena itu pada tingkat suku bunga
yang sangat rendah, orang akan cenderung
memegang uang kas daripada surat-surat
berharga. Seandainya jumlah uang beredar
bertambah besar, orang akan cenderung tetap
memilih memegang uang kas. Keadaan seperti
ini disebut perangkap liquiditas (liquidity trap)
sebab semua uang kas terperangkap ditangan
untuk menghindari kerugian dan tidak akan
beredar sebagai uang aktif.
2.3 Teori tentang Reksadana Saham
Menurut Manurung (2007), istilah
mutual fund terkandung dalam kata fund itu
sendiri sebagaimana dinyatakan Giles dkk, “fund
is a pool of money contributed by a range of
investor who may be individuals or companies
or other organization, which is managed and
invested as a whole, on behalf of those investors.”
Selain itu, Pozen (1998) mendefinisikan mutual
fund sebagai “an investment company that pools
money from shareholders and invests in a
diversified of securities.” Manurung (2007) juga
mencatat, menurut kamus keuangan, reksadana
didefinisikan sebagai portofolio asset keuangan
yang terdiversifikasi, dicatatkan sebagai
perusahaan investasi terbuka, yang menjual
saham kepada masyarakat dengan harga
penawaran dan penarikannya pada harga nilai
aktiva bersihnya.
Sedangkan pengertian reksadana yang
termaktub dalam UU. No 8 tahun 1995 tentang
pasar modal, reksadana adalah wadah yang
dipergunakan untuk menghimpun dana dari
masyarakat pemodal untuk selanjutnya
diinvestasikan dalam portofolio efek oleh
manajer investasi.”
Saham adalah surat berharga yang
diperdagangkan di pasar modal sering disebut
efek atau sekuritas. Saham dapat didefinisikan
tanda penyertaan atau surat kepemilikan
seseorang atau badan dalam suatu perusahaan
atau perseroan terbatas. Wujud saham adalah
selembar kertas yang menerangkan bahwa
pemilik kertas tersebut adalah pemilik
perusahaan yang menerbitkan surat berharga
tersebut. Porsi kepemilikan ditentukan oleh
seberapa besar penyertaan yang ditanamkan di
perusahaan tersebut (Darmadji dan Fakhruddin,
2001:5)
Reksadana saham sering disebut sebagai
reksadana pertumbuhan karena berusaha untuk
mendapatkan pertumbuhan NAB yang paling
tinggi dengan berinvestasi di saham.
2.4 Kerangka Pemikiran
Kerangka berpikir merupakan alur
pemikiran seseorang dalam memahami
masalah yang sedang dipahami saat ini. Hal
ini dapat dijadikan contoh untuk
memecahkan masalah yang diteliti secara
logis dan matematis.
Teori Inflasi
(Keynes)
Preferensi
Likuiditas
(Keynes)
Teori Reksadana
Saham
(Manurung)
2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori-teori yang telah dibahas pada
awal bab 2, dapat disimpulkan hipotesis:
1. Variabel Inflasi dan BI Rate berpengaruh
negatif terhadap kinerja Reksadana Saham.
2. Variabel Inflasi berpengaruh negatif terhadap
kinerja Reksadana Saham.
3. Variabel BI Rate berpengaruh negatif
terhadapkinerja Reksadana Saham.
4. Variabel Inflasi berkorelasi dan berpengaruh
positif terhadap BI Rate.
III. METODOLOGI PENELITIAN
Data yang diambil peneliti berupa data
sekunder, yaitu data yang telah disediakan oleh
beberapa instansi terkait dan kemudian diolah
kembali oleh peneliti. Penelitian ini
menggunakan data sekunder dan metode
penelitian deskriptif dengan model penelitian
deskriptif analisis.
Metode deskriptif analisis bertujuan
untuk membuat deskripsi, gambaran sistematis,
faktual, akurat mengenai fakta dan hubungan
antara fenomena yang terkait.
3.1 Tabel Operasional Variabel
No. Variabel Konsep/Teori Skala
1. Inflasi Inflasi terjadi karena suatu
masyarakat cenderung
ingin hidup di luar batas
kemampuan ekonominya.
Keadaan seperti ini
ditunjukkan oleh
permintaan masyarakat
akan barang-barang yang
melebihi jumlah barang-
barang yang tersedia. Hal
ini menimbulkan
inflationary gap. Ketika
inflationary gap tetap ada,
Rasio
maka selama itu pula
proses inflasi terjadi dan
berkelanjutan.
2. Tingkat
Suku
Bunga
Jika tingkat suku bunga
meningkat, maka surat-
surat berharga akan turun
demikian pula sebaliknya.
Karena itu pada tingkat
suku bunga yang sangat
rendah, orang akan
cenderung memegang
uang kas daripada surat-
surat berharga. Seandainya
jumlah uang beredar
bertambah besar, orang
akan cenderung tetap
memilih memegang uang
kas. Keadaan seperti ini
disebut perangkap
liquiditas (liquidity trap)
sebab semua uang kas
terperangkap di tangan
untuk menghindari
kerugian dan tidak akan
beredar sebagai uang aktif.
Rasio
3. Reksadana
Saham
reksadana didefinisikan
sebagai portofolio asset
keuangan yang
terdiversifikasi, dicatatkan
sebagai perusahaan
investasi terbuka, yang
menjual saham kepada
masyarakat dengan harga
penawaran dan
penarikannya pada harga
nilai aktiva bersihnya.
Rasio
3.2 Objek Penelitian
Dalam penelitian ini, data yang berupa
variabel independen (bebas) adalah Inflasi dan
Tingkat Suku Bunga (BI Rate) sedangkan yang
berupa variabel dependen (terikat) adalah
Reksadana Saham. Data yang digunakan adalah
data Time Series periode tahun 2011 – 2013 dan
dikorelasikan dengan software E-Views 6.
3.3 Sumber Data
Data variabel-variabel tersebut
bersumber dari situs Bank Indonesia
(www.bi.go.id) untuk memperoleh data Inflasi
dan BI Rate juga situs BAPEPAM
(www.bapepam.go.id) untuk memperoleh data
Reksadana Saham. Data ketiga variabel tersebut
diambil per bulan untuk memenuhi jumlah
minimal observasi.
3.4 Pemilihan Metodologi
Metodologi yang dipakai dalam jurnal
ini adalah metode kuantitatif karena data-data
variabel dinyatakan dalam bentuk angka dan
diperlukan pengolahan data-data tersebut untuk
mengetahui tingkat pengaruh variabel Inflasi dan
BI Rate terhadap Reksadana Saham juga untuk
menguji asumsi klasik yang berupa uji
Normalitas, Autokorelasi, Multikolinieritas, dan
Heteroskedastisitas.
3.5 Model Fungsi
Berdasarkan variabel-variabel terkait
dengan jurnal ini, fungsi yang dapat dirumuskan
adalah sebagai berikut.
Reksadana Saham = f(Inflasi, BI Rate)
Reks = β0 + β1 Inf + β2 Int
3.6 Hipotesis Statistik
Uji F (Simultan)
H0 = variabel Inflasi dan BI Rate tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap
Reksadana Saham.
H1 = variabel Inflasi dan BI Rate
berpengaruh secara signifikan terhadap
Reksadana Saham.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data diolah menggunakan E-Views
UJI F
Asumsi:
H0 ditolak apabila Fhitung > Ftabel
Signifikan apabila Prob(F-stat) < 0.025
Hasil:
Ftabel = 4.1197 (diolah melalui Excel)
23.63649 > 4.1197
Berarti, H0 ditolak atau H1 diterima.
Signifikan
0.000000 < 0.025
Berarti, variabel-variabel berpengaruh signifikan.
Dapat disimpulkan bahwa, variabel Inflasi dan
BI Rate berpengaruh secara signifikan terhadap
variabel Reksadana Saham.
UJI ASUMSI KLASIK
Multikolinieritas
Dilihat dari data di atas, nilai R-squared
senilai 0.588903 < 0.8 menunjukkan tidak
adanya multikolinieritas. Berarti tidak terdapat
korelasi antara variable inflasi dengan BI rate.
Autokorelasi
Dilihat dari data di atas, tidak terdapat
autokorelasi di antara variable-variabel tersebut.
Rumus
dl < DW-stat < 4-dl
1.153 < 1.208223 < 2.847
Dari rumus tersebut ditunjukkan tidak adanya
autokorelasi pada data.
Normalitas
Dilihat dengan cara melihat chi-square table
dengan Jaque-Berra pada hasil data di atas.
- Jika hasil dari JB hitung > Chi Square
tabel, maka H0 ditolak
- Jika hasil dari JB hitung < Chi Square
tabel, maka H0 diterima
Ho : data berdistribusi normal
H1 : data tidak berdistribusi normal
Nilai chi-square table dengan dua variabel
independen adalah 5.991
Berarti 3.986591 < 5.991 menunjukkan data
berdistribusi normal.
Heteroskedastisitas
Ho : tidak ada heteroskedastisitas
H1 : ada heteroskedastisitas
Jika prob. chi-square < ɑ, maka Ho ditolak
Dari hasil data di atas, nilai prob.chi-
square variable inflasi maupun BI rate sama
dengan 0.8495 dan 0.7953 > 0.05
Berarti, Ho diterima atau H1 ditolak
Kesimpulannya adalah dengan tingkat
keyakinan 95% dapat dikatakan bahwa tidak
terdapat heteroskedastisitas dalam model regresi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan teori yang telah dipaparkan
pada bab 2 dan hasil statistik pada bab 4, Inflasi
dan BI Rate memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kinerja Reksadana Saham. Dari segi
pemaparan teori dapat disimpulkan bahwa ketika
nilai Inflasi suatu negara naik, maka nilai tingkat
suku bunga akan naik. Ketika tingkat suku
bunga naik, investor akan lebih memilih untuk
tidak berinvestasi di negara tersebut karena
tingkat suku bunga yang tinggi. Berarti, tingkat
investasi yang termasuk reksadana saham akan
menurun. Dampak beruntun ini akan
mengakibatkan pengaruh yang negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Dari hasil statistik, tidak terdapat
kerusakan data ataupun kesalahan penggunaan
variabel pengujian asumsi klasik maupun uji F.
Berarti, kesimpulan hasil statistik sesuai dengan
teori-teori yang telah dipaparkan.
SARAN
Pemerintah sebaiknya mengubah sistem
pemberlakuan kurs di Indonesia yang sampai
detik ini masih menggunakan kurs mengambang
dengan kurs tetap. Karena, nilai inflasi yang
meningkat diperkirakan karena nilai kurs rupiah
yang terus melemah. Karena nilai inflasi rentan
terhadap banyak variabel termasuk tingkat suku
bunga, apabila pemerintah melakukan kebjakan
ini, setidaknya nilai inflasi dapat diatur
pergerakannya sesuai dengan penargetan nilai
inflasi dan rupiah tidak terlalu bergantung lagi
kepada mata uang kuat.
VI. REFERENSI
https://www.scribd.com/doc/149445498/Analisi
s-Pengaruh-Inflasi-Terhadap-Reksadana-Saham-
Di-Indonesia-Periode-Tahun-2002-2012#scribd
http://aria.bapepam.go.id/reksadana/files/edukasi
/BerwisataReksaDana.pdf
http://www.kajianpustaka.com/2012/10/teori-
suku-bunga.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Krisis_finansial_Asi
a_1997