analisis diplomasi indonesia terhadap vanuatu terkait isu ...

160
ANALISIS DIPLOMASI INDONESIA TERHADAP VANUATU TERKAIT ISU PAPUA MERDEKA SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Hubungan Internasional Disusun Oleh: KRISTIN NATALIA 051701503125014 PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA JAKARTA 2021

Transcript of analisis diplomasi indonesia terhadap vanuatu terkait isu ...

ANALISIS DIPLOMASI INDONESIA TERHADAP VANUATU

TERKAIT ISU PAPUA MERDEKA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Hubungan

Internasional

Disusun Oleh:

KRISTIN NATALIA

051701503125014

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

JAKARTA

2021

iii

iv

v

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang

telah melimpahkan kasih dan karunianya yang luar biasa kepada saya, serta doa dan

dukungan dari keluarga, para dosen pembimbing, dan juga teman-teman, sehingga

saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Diplomasi Indonesia

Terhadap Vanuatu Terkait Isu Papua Merdeka”. Skripsi ini diajukan sebagai

syarat kelulusan untuk menjadi seorang sarjana di Program Studi Ilmu Hubungan

Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan llmu Politik di Universitas Satya Negara

Indonesia.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini, penulis masih

mempunyai kekurangan dan mendapati banyak rintangan dan hambatan yang

dihadapi. Namun penulis tetap berusaha untuk mempersembahkan skripsi ini

sebaik-baiknya agar sekiranya dapat menjadi manfaat bagi banyak pihak.

Rampungnya skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bimbingan serta bantuan yang

penulis dapatkan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini akhirnya dapat

diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan

terima kasih yang sebanyak banyaknya kepada:

1. Mendiang kedua orangtua tercinta, Noni Periyati Siregar dan Bottor

Simamora. “Terima kasih atas segala doa, didikan, dan kasih sayang

yang telah diberikan. Karya kecil ini untuk mama dan bapak. Bahagia

selalu bersama Allah Bapa di surga”.

2. Kakak-kakak penulis yang terkasih, Mei-mei, Maria, Putri, dan Ricky

dan kemenakan penulis yang senantiasa memberikan doa dan dukungan.

vii

3. Ibu Dra. Merry L. Panjaitan, MM., MBA. Selaku Rektor Universitas

Satya Negara Indonesia yang terhormat.

4. Bapak Dr. Radita Gora Tayibnapis, S.Sos., M.M. selaku Dekan Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Satya Negara Indonesia.

5. Pradono Budi Saputro, S.Hum., M. Si., selaku Kaprodi Ilmu Hubungan

Internasional, Universitas Satya Negara Indonesia dan juga dosen

pembimbing II. Terima kasih banyak atas waktu, ilmu, dan kebaikannya

dalam membimbing saya.

6. Mas Jerry Indrawan, S.IP., M.Si.(Han) Selaku dosen Pembimbing I.

Terima kasih banyak atas waktu, ilmu, dan kebaikannya dalam

membimbing saya.

7. Seluruh dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Satya Negara

Indonesia. Terima kasih atas segala ilmu berharga yang telah diberikan.

8. Seluruh staff dan karyawan Universitas Satya Negara Indonesia yang

telah banyak membantu di bidang akademik dan kemahasiswaan.

9. Narasumber wawancara yang sangat hebat Bapak Dr. Siswo Pramono,

S.H., LL.M., Ibu Dr. Adriana Elisabeth M.Soc.Sc, Bpk. Harditya S.H.,

LL.M., dan Ibu Dr. Rosita Dewi S.IP, M.A..,Terima kasih telah

memberikan waktu dan ilmunya yang sangat berharga dan luar biasa.

10. Peneliti Ahli Muda Puslitbang Strahan Balitbang Kemhan, Gerald

Theodorus L. Toruan, S.H., M.H yang sudah banyak memberikan

arahan kepada saya selama magang. Terima kasih banyak Pak Theo atas

ilmu-ilmunya yang berharga.

viii

11. Seluruh sahabat saya. Thira, Salsa, Madeleine, dan Kanya yang

memaksa untuk dimasukkan namanya dalam skripsi saya. Terima kasih

telah memberikan semangat dan hiburan selama penulisan skripsi ini.

Kalian adalah badut-badut terbaikku!

12. Seluruh teman-teman HI angkatan 2017 terutama Tamara dan Fitria

yang telah menemani saya selama masa perkuliahan, terima kasih atas

semua kenangannya baik suka maupun duka yang kita alami bersama-

sama. Semoga kita semua bisa menjadi orang yang sukses dengan ilmu

yang bermanfaat!

13. Last but not least, I wanna thank me, I wanna thank me for believing in

me, I wanna thank me for doing all this hard work, I wanna thank me

for never quitting.

Jakarta, 30 Juli 2021

Kristin Natalia

ix

ANALISIS DIPLOMASI INDONESIA TERHADAP VANUATU

TERKAIT ISU PAPUA MERDEKA

xvi Halaman + 144 Halaman + 10 Buku + 14 Jurnal + 3 Skripsi + 5 Dokumen

+ 4 Wawancara + 14 Website

ABSTRAK

Tulisan ini menjelaskan mengenai diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu terkait

dengan isu Papua merdeka karena adanya dukungan yang diberikan oleh Vanuatu

untuk kemerdekaan Papua Barat. Selain itu, tudingan juga kerap dinyatakan oleh

Vanuatu bahwa Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM berat kepada

masyarakat Papua. Kedekatan etnis yang dimiliki Vanuatu dengan Papua yaitu ras

melanesian menjadi salah satu sumber penyebab masifnya dukungan Vanuatu

terhadap kemerdekaan Papua Barat. Untuk menjelaskan fenomena ini penulis

menggunakan salah satu teori dalam hubungan internasional yaitu teori diplomasi

dan menggunakan konsep kedaulatan negara serta hubungan bilateral. Dengan

menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif

analitis, disertai dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara sebagai data

primer dan studi pustaka sebagai data sekunder, maka hasil penelitian ini

menemukan bahwa sampai saat ini diplomasi yang dilakukan Indonesia terhadap

Vanuatu masih terdapat kekurangan. Indonesia masih kurang melibatkan non-state

actors dalam pelaksanaan diplomasinya seperti melibatkan NGO, LSM, pihak-

pihak gereja, para akademisi dan tokoh masyarakat di Vanuatu. Mengadakan

pertemuan bilateral dan menjalankan diplomasi dengan merangkul pihak dari

Vanuatu dan pihak dari Papua secara bersamaan dapat menciptakan persepsi yang

positif untuk Indonesia mengingat bahwa hubungan yang dimiliki antara Vanuatu

dengan masyarakat Papua pro merdeka cukup baik. Dengan demikian, diplomasi

yang dilakukan bisa berjalan dengan efektif.

Kata Kunci: Diplomasi, Kedaulatan Negara, Hubungan Bilateral, Indonesia,

Vanuatu.

x

ANALYSIS OF INDONESIA’S DIPLOMACY TOWARDS

VANUATU REGARDING TO THE FREE PAPUA ISSUE

xvi Pages + 144 Pages + 10 Books + 14 Journals + 3 Undergraduated Thesis +

5 Documents + 4 Interviews + 14 Websites

ABSTRACT

This paper describes Indonesia's diplomacy towards Vanuatu related to the issue

of an independent Papua due to the support provided by Vanuatu for the

independence of West Papua. In addition, Vanuatu has also frequently stated

accusations that Indonesia has committed gross human rights violations against

the Papuan people. The ethnic closeness that Vanuatu has with Papua, namely the

Melanesian race, is one of the causes of Vanuatu's massive support for the

independence of West Papua. To explain this phenomenon the author uses one of

the theories in international relations, namely the theory of diplomacy and the use

of the concept of state ownership and bilateral relations. By using a qualitative

research methodology with descriptive analytical research type, accompanied by

data collection techniques through interviews as primary data and literature study

as secondary data, the results of this study found that until now Indonesia's

diplomacy towards Vanuatu still has shortcomings. Indonesia still does not involve

non-state actors in the implementation of its diplomacy, such as involving NGOs,

NGOs, church parties, academics and community leaders in Vanuatu. Holding

bilateral meetings and carrying out diplomacy by embracing parties from Vanuatu

and parties from Papua can simultaneously create a positive perception for

Indonesia given that the relationship that Vanuatu has with the pro-independence

Papuan people are quite tight. Thus, the diplomacy that is carried out can run

effectively.

Keywords: Diplomacy, State Sovereignty, Bilateral Relations, Indonesia, Vanuatu.

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... 1

LEMBAR ORISINALITAS ................................ Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.

LEMBAR PERSETUJUAN ................................ Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.

LEMBAR PENGESAHAN ................................. Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vi

ABSTRAK ........................................................................................................................ ix

ABSTRACT ....................................................................................................................... x

DAFTAR ISI..................................................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL .......................................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. xiv

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1

1.2 Pertanyaan Penelitian ................................................................................................ 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 11

2.1 Penelitian Terdahulu ............................................................................................... 11

2.2 Landasan Teori ........................................................................................................ 20

2.2.1 Diplomasi ......................................................................................................... 20

2.3 Landasan Konseptual .............................................................................................. 23

2.3.1 Kedaulatan Negara ........................................................................................... 23

2.3.2 Hubungan Bilateral .......................................................................................... 25

2.4 Alur Pemikiran ........................................................................................................ 28

2.5 Argumen Utama ..................................................................................................... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................... 31

3.1 Paradigma Penelitian .............................................................................................. 31

3.2 Pendekatan Penelitian ............................................................................................. 33

3.3 Jenis Penelitian ........................................................................................................ 34

xii

3.4 Unit Analisis ........................................................................................................... 35

3.5 Teknik Pengumpulan Data ...................................................................................... 36

3.5.1 Data Primer ...................................................................................................... 36

3.5.2 Data Sekunder .................................................................................................. 37

3.6 Instrumen Penelitian ............................................................................................... 37

3.7 Teknik Analisis Data ............................................................................................... 39

1. Mengolah dan Mempersiapkan Data ................................................................ 39

2. Membaca Keseluruhan Data ............................................................................. 39

3. Penyajian Data .................................................................................................. 40

4. Verifikasi Data .................................................................................................. 40

3.8 Teknik Keabsahan Data .......................................................................................... 41

3.8.1 Validitas Data ................................................................................................... 41

3.8.2 Reliabilitas Data ............................................................................................... 42

BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................................... 43

4.1 Isu Papua Merdeka .................................................................................................. 43

4.2 Hubungan Bilateral Indonesia dan Vanuatu ........................................................... 46

4.2.1 Tudingan Vanuatu kepada Indonesia terkait Pelanggaran HAM di Papua ...... 48

4.2.2 Bantahan Indonesia terhadap tudingan Vanuatu .............................................. 50

4.3 Dukungan Vanuatu Terhadap Isu Papua Merdeka.................................................. 52

4.3.1 Dukungan Vanuatu di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ............................ 58

4.3.2 Dukungan Vanuatu di Melanesian Spearhead Group (MSG) ........................ 62

4.3.3 Dukungan Vanuatu terhadap United Liberalization Movement for West Papua

(ULMWP) ................................................................................................................. 65

4.4 Diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu terkait Isu Papua Merdeka ....................... 67

BAB V .............................................................................................................................. 83

5.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 83

5.2 Saran ....................................................................................................................... 84

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 85

LAMPIRAN..................................................................................................................... 92

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Peta Vanuatu .......................................................................................... 2

Gambar 2 Bagan Alur Pemikiran .......................................................................... 28

Gambar 3 Logo MSG ............................................................................................ 63

Gambar 4 Logo ULMWP ..................................................................................... 66

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Keanggotaan Melanesian Spearhead Group .............................................. 3

Tabel 2 Tabel Tinjauan Pustaka ............................................................................ 18

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Naskah Wawancara Kristin Natalia dengan Dr. Siswo Pramono,

S.H., LL.M., Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK),

Kementerian Luar Negeri Indonesia ..................................................................... 93

Lampiran 2 Naskah Wawancara Kristin Natalia dengan Harditya Suryawanto,

Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata, Kementerian Luar

Negeri Indonesia. .................................................................................................. 95

Lampiran 3 Naskah Wawancara Kristin Natalia dengan Rosita Dewi, Pusat

Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ....................... 113

Lampiran 4 Naskah Wawancara Kristin Natalia dengan Adriana Elisabeth,

Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) .......................................................... 129

xv

DAFTAR SINGKATAN

OPM Organisasi Papua Merdeka

ULMWP United Liberation Movement for West Papua

MSG Melanesian Spearhead Group

HAM Hak Asasi Manusia

PBB Perserikatan Bangsa-bangsa

UNGA United Nations General Assembly

PIF Pasific Island Forum

JVP Journalist Visit Program

NGO Non-Governmental Organization

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

POLRI Kepolisian Negara Republik Indonesia

DCA Development Cooperation Agreement

KIPS Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata

NTT Nusa Tenggara Timur

RUU Rancangan Undang-Undang

PM Perdana Menteri

xvi

RMC Reunification Movement for Change

UPR Universal Periodic Review

FLNKS Front de Liberational Nationale Kanak et Solcialiste

PNG Papua Nugini

BDF Bali Democracy Forum

JDP Jaringan Damai Papua

VBTC Vanuatu Broadcasting and Television Corporation

BPPK Badan Penelitian dan Pengembangan Kebijakan

ACP Africa-Caribbean-and the Pacific

RRT Republik Rakyat Tiongkok

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keanekaragaman suku dan budaya Indonesia tidak hanya dianggap sebagai

sumber kekayaan nasional, tetapi juga merupakan sebuah tantangan dan ancaman

bagi Indonesia. Dilatarbelakangi banyaknya perbedaan di tanah air, setidaknya ada

beberapa konflik yang muncul dari diskriminasi, kemudian pada akhirnya

mengarah pada jalan pintas menuju penentuan nasib sendiri, atau yang sering

disebut sebagai gerakan separatis. Gerakan Papua Merdeka adalah contoh perilaku

separatis di Indonesia (Putra, Legionosuko, & Madjid, 2019: 2).

Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah muncul dan menjadi gerakan

separatis yang mempunyai tujuan agar masyarakat Papua hidup dengan aman dan

sejahtera, tanpa rasa takut dan bayang-bayang kekerasan yang dilakukan oleh

anggota militer terhadap masyarakat Papua, dan agar Papua bisa terpisah dari

Indonesia seperti yang terjadi pada Timor Timur. Sebagai hasil dari kampanye ini,

pemerintah Indonesia telah memperkuat keamanan Papua dan mengirimkan

anggota militer untuk meminimalkan pergerakan sehingga wilayah Papua sendiri

lebih aman dari pengaruh kampanye provokatif tersebut. (Muhammad, 2017).

Permasalahan yang dialami Papua lantas tidak lagi terbatas pada urusan

domestik saja, tetapi saat ini telah berkembang menjadi isu yang lebih besar lagi

yang mana sudah sampai ke kancah internasional. Hal ini tidak terlepas dari adanya

peran dari negara-negara kawasan pasifik selatan yang secara terang-terangan

2

sangat mendukung adanya gerakan separatisme papua. Salah satu negara yang

paling vokal dalam menyuarakan dukungannya kepada Papua Barat yaitu Vanuatu.

Vanuatu merupakan salah satu negara di kawasan Pasifik Selatan yang

cukup berpengaruh dan lebih berkembang diantara negara-negara lain di kawasan

tersebut. Vanuatu mendukung kemerdekaan Papua Barat dengan alasan persamaan

ras (Melanesian Brotherhood), Vanuatu memanfaatkan organisasi sub-regional di

kawasan Pasifik dan memfasilitasi terbentuknya ULMWP serta menggalang

dukungan dari negara-negara Pasifik lainnya untuk kampanye politik Papua

Merdeka seperti organisasi Melanesian Spearhead Group (MSG). Vanuatu sendiri

merupakan salah satu penggagas berdirinya MSG (Sabir, 2018: 95).

Sumber : www.mapsofworld.com

Gambar SEQ Gambar \* ARABIC 1 Peta Vanuatu

Gambar 1 Peta Vanuatu

3

Melanesian Spearhead Group merupakan sebuah forum regional yang

terletak di kawasan Pasifik Selatan dan beranggotakan negara-negara dengan etnis

Melanesia yaitu Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu serta

Indonesia yang menjabat sebagai anggota asosiasi dan United Liberation Movement

for West Papua (ULMWP). Didasari oleh persamaan identitas yaitu etnis

Melanesia, terbentuklah organisasi internasional ini dan melalui persamaan tersebut

kemudian menjadi alasan yang menyatukan negara-negara Pasifik Selatan untuk

membangun kerjasama regional yang bertujuan untuk menguatkan solidaritas,

membangun persamaan sosial, budaya, ekonomi dan politik negara-negara

Melanesia (Daffa, 2020).

Tabel 1 Keanggotaan Melanesian Spearhead Group

Anggota Resmi Associate Member Observer

Fiji Indonesia Timor Leste

Front de Liberation

Nationale Kanak et

Socialiste (FLNKS)

United Liberation

Movement for West

Papua (ULMWP)

Vanuatu

Papua Nugini

Kepulauan Solomon

4

Seiringan dengan waktu dan peristiwa mengenai gerakan separatisme

Papua, negara-negara anggota Melanesia Spearhead Group mulai memperhatikan

mengenai kondisi dan situasi seperti apa yang terjadi dalam konflik Papua tersebut.

Dengan dasar solidaritas rumpun Melanesia, negara-negara anggota Melanesian

Spearhead Group mendukung self-determination rakyat Papua untuk menentukan

nasib sendiri dan melihat Indonesia sebagai penjajah. Hal tersebut berimbas

terhadap kebijakan luar negeri dari negara-negara anggota Melanesian Spearhead

Group untuk menyuarakan dan menginternasionalisasi isu Papua Merdeka (Daffa,

2020).

Secara antropologis, kepentingan Vanuatu di Papua yaitu didasari oleh

hubungan etnis yang cukup erat, yaitu Melanesian Connection. Kedekatan etnis

inilah yang menjadi salah satu faktor pemicu masifnya dukungan Vanuatu terhadap

upaya kemerdekaan Papua. Politik domestik dan orientasi kekuasaan merupakan

dua hal yang mendasari kepentingan Vanuatu dalam mendukung kemerdekaan

Papua. Hal tersebut juga diperkuat oleh fakta bahwa kebijakan-kebijakan luar

negeri dari Vanuatu dipengaruhi oleh kelompok-kelompok kepentingan yang

memihak kepada gerakan kemerdekaan Papua (Sabir, 2018).

Hubungan antara Papua Barat dan Vanuatu serta anggota-anggota dari MSG

lainnya terjalin sangat erat, hal tersebut terlihat dari adanya perjuangan yang

dilakukan secara konsisten oleh Vanuatu dalam memperjuangkan hak-hak rakyat

Papua Barat, dan juga perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang

melakukan hubungan kerja sama ke dalam maupun ke luar negeri untuk

mendapatkan simpatis agar Papua Barat bisa terbebas dari Indonesia. Selain itu,

5

OPM sendiri juga melakukan hubungan dengan negara-negara Eropa seperti

Belanda dan Swiss (Muhammad, 2017).

Dukungan Vanuatu kepada kemerdekaan Papua dapat dikatakan telah

menjadi suatu kampanye yang dilakukan secara konsisten oleh Vanuatu sejak

beberapa tahun terakhir diantaranya yaitu pada tahun 2003 ketika masa

pemerintahan Perdana Menteri Barak Sope, Vanuatu menjadi tuan rumah acara

gerakan kemerdekaan Papua di Port Villa. Kemudian pada tahun 2014 di masa

Perdana Menteri Moana Carcasses Katokai Kalosil, Vanuatu secara resmi

mengkritik tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh

Pemerintah Indonesia di Papua pada sidang tinggi HAM Perserikatan Bangsa-

bangsa (PBB) yang ke-25 (Zahidi, 2020: 66).

Pada tahun 2016 dan 2017, Vanuatu kembali mengemukakan masalah

Papua di Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa walaupun pada akhirnya upaya

Vanuatu tersebut mendapatkan tentangan dari para diplomat Indonesia di masing-

masing tahun tersebut. Pada United Nations General Assembly (UNGA) ke-71 yang

dilaksanakan pada tahun 2016, Vanuatu kerap menyatakan secara resmi bahwa ia

mengecam tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh

Pemerintah Indonesia di Papua yang pada akhirnya dibantah dengan tegas oleh

diplomat perwakilan dari Indonesia. Namun, dari tahun ke tahun tudingan-tudingan

tersebut terus dikemukakan oleh Vanuatu di UNGA (Mardiyah, 2020).

Dukungan terkini Vanuatu terhadap kemerdekaan Papua terlihat pada

UNGA ke-75 yang diselenggarakan pada tanggal 26 September 2020. Perdana

Menteri Republik Vanuatu, Bob Loughman menyatakan bahwa sampai sekarang

6

masih banyak pelanggaran HAM dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada

masyarakat Papua. Tudingan ini pun langsung dibantah oleh Diplomat muda

Indonesia yaitu Silvya Austin Pasaribu. Beliau mengatakan bahwa tudingan yang

diberikan kepada Indonesia oleh Vanuatu merupakan pernyataan yang tak berdasar

dan terlalu mencampuri urusan domestik suatu negara. Dalam pernyataannya,

Silvya juga mengatakan bahwa Vanuatu sudah melanggar salah satu piagam PBB

yang mana mengusung prinsip Non-Interference (Mardiyah, 2020).

Sebelumnya, Indonesia telah cukup lama menjalani beberapa hubungan

kerja sama dengan beberapa negara di wilayah Pasifik Selatan baik dalam sektor

ekonomi dan juga politik, tidak terkecuali juga dengan Vanuatu. Indonesia telah

melakukan beberapa diplomasi publik dan juga kerjasama berupa kerja sama

ekonomi, teknologi, pelatihan, beasiswa, pembangunan, pertanian, peternakan dan

lain-lain. Indonesia juga memberikan bantuan luar negeri senilai USD 2 juta ketika

Vanuatu terkena dampak yang cukup parah dari Badai Pam Pam (Cylone Pam)

yang menerpa negara-negara di kawasan Pasifik (Sabir, 2018).

Semua upaya tersebut dilakukan oleh Indonesia dengan tujuan untuk

membendung dukungan Vanuatu terhadap Organisasi Papua Merdeka. Namun

sayangnya semua usaha tersebut tidak membuahkan hasil yang diinginkan oleh

Indonesia. Dukungan Vanuatu terhadap kemerdekaan Papua ini pun tetap

dikemukakan baik melalui organisasi internasional seperti MSG dan sidang umum

PBB

Penulis berpendapat bahwa permasalahan ini merupakan suatu fenomena

yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Apabila permasalahan ini tidak

7

disikapi dan ditangani dengan serius oleh Indonesia maka besar kemungkinan

bahwa Republik Vanuatu mampu mempengaruhi semua negara yang berada di

kawasan Pasifik Selatan untuk mendukung kemerdekaan Papua Barat. Hal tersebut

tentu akan mempersulit Indonesia dan berpotensi menjadi sebuah ancaman bagi

kedaulatan negara.

Diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia akan sangat berpengaruh terhadap

permasalahan yang tengah dihadapi saat ini. Sudah sewajarnya bahwa setiap negara

yang berdaulat memiliki yurisdiksi (kewenangan) atas wilayah dan juga warga

negara yang mendiaminya. Dengan demikian, hal tersebut menjadi peringatan bagi

negara-negara lain untuk tidak campur tangan atas semua persoalan domestik yang

terjadi di negara lain.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

secara spesifik penulis akan mengangkat satu pertanyaan penelitian, yaitu:

“Bagaimanakah diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu terkait isu Papua

Merdeka?”

1.1 Tujuan Penelitian

Secara spesifik studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai diplomasi

Indonesia terhadap Vanuatu yang mendukung isu Papua merdeka. Diplomasi ini

dilakukan untuk meredam dukungan Vanuatu terhadap Papua yang mana hal

tersebut sudah termasuk ke dalam intervensi urusan domestik negara dan diplomasi

8

harus dilakukan agar isu tersebut tidak mengancam kedaulatan negara republik

Indonesia.

1.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diberikan oleh penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu

manfaat teoritis serta manfaat praktis yang diuraikan sebagai berikut:

1.2.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk memberikan partisipasi keilmuan dalam bidang ilmu hubungan

internasional untuk memahami bagaimana dan seperti apakah diplomasi

yang dilakukan Indonesia terhadap Vanuatu dan menganalisis apakah

implementasi tersebut dapat dikatakan berhasil atau tidak.

2. Penulis dapat mengetahui bahwa persoalan yang terjadi di Papua

merupakan persoalan yang kompleks, dan hal tersebut juga dapat menjadi

sumber informasi serta pengetahuan kepada mahasiswa, akademisi maupun

peneliti lainnya terkait diplomasi Indonesia kepada Vanuatu maupun isu

Papua merdeka.

1.2.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk dijadikan sebagai rekomendasi dan pertimbangan pembuatan

kebijakan yang bersumber dari penelitian yang berkaitan langsung dengan

kajian ilmu hubungan internasional maupun ilmu-ilmu lainnya.

9

2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat luas

mengenai diplomasi, khususnya diplomasi Indonesia.

1.5 Sistematika Penelitian

Skripsi ini dirancang untuk menjelaskan kerangka dan metodologi yang

digunakan dalam penelitian. Hal tersebut terdiri dari beberapa alasan penulis

mengambil permasalahan dan dinilai signifikan untuk diangkat sebagai masalah

yang perlu diteliti dan digali lebih dalam sebagai bahan kajian ilmiah.

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,

manfaat penelitian baik secara praktis maupun secara teoritis, dan yang terakhir

yaitu sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi beberapa penelitian terdahulu dan kerangka pemikiran yang penulis

gunakan untuk membedah masalah sebagai (pisau analisis) sehingga mampu

menghasilkan sebuah jawaban dan membantu dalam bab pembahasan berikutnya.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori diplomasi serta konsep kedaulatan

negara. Selain itu, terdapat operasionalisasi konsep, alur pemikiran, dan argumen

utama sebagai jawaban dari penelitian.

10

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini penulis menguraikan metodologi penelitian yang ditempuh oleh

penulis. Metodologi dalam penelitian ini meliputi paradigma penelitian yang

penulis gunakan sebagai sudut pandang dalam melihat masalah, pendekatan

penelitian, jenis penelitian, unit analisis, teknik pengumpulan data, teknik analisis

data, dan teknik keabsahan data. Semuasub-metodologi di atas saling terhubung

untuk mencapai suatu metodologi besar dalam menjawab permasalahan dalam

suatu penelitian.

BAB IV PEMBAHASAN

Pada bab pembahasan ini, penulis menjabarkan seluruh permasalahan terkait topik

yang dibahas dalam penelitian ini. Selain itu, terdapat hasil analisa penulis dari

data-data yang telah ditemukan oleh penulis. Data tersebut berupa hasil

wawancara, study literature dan sumber lainnya, yang kemudian dihubungkan

dengan teori dan konsep yang digunakan untuk menjelaskan diplomasi Indonesia

terhadap Vanuatu terkait isu Papua merdeka. Bab ini menjelaskan banyak hal yang

dapat menjawab pertanyaan penelitian pada Bab I, yaitu bagaimana diplomasi

Indonesia terhadap Vanuatu terkait isu Papua Merdeka.

BAB V KESIMPULAN

Pada bab ini berisi kesimpulan dan uraian secara singkat mengenai jawaban dari

rumusan masalah yang dibantu oleh pembahasan yang sudah dibahas pada bab-bab

sebelumnya. Selain itu, terdapat juga saran atau rekomendasi pada bab ini.

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian penulis yang berjudul “Analisis Diplomasi Indonesia

Terhadap Vanuatu Terkait Isu Papua Merdeka”, maka penulis menemukan

beberapa bahan-bahan bacaan pustaka serta karya ilmiah baik jurnal maupun media

massa yang memiliki keterkaitan dengan tema yang penulis coba jelasan yaitu

seputar dukungan Vanuatu untuk kemerdekaan Papua Barat. Hal tersebut bertujuan

untuk memperkaya materi juga membuat penelitian ini bisa dipertanggung

jawabkan oleh penulis.

Dari penelusuran yang telah penulis lakukan, terdapat beberapa penelitian

serta karangan ilmiah yang membahas mengenai dukungan Vanuatu terkait isu

Papua merdeka, namun secara spesifik yang mengangkat isu mengenai “Analisis

Implementasi Diplomasi Indonesia Terhadap Vanuatu Dalam Isu Papua Merdeka”

penulis belum menemukan judul dan fokus penelitian yang sama. Dalam beberapa

jurnal dan juga penelitian yang penulis temukan memang terdapat kata-kata yang

menyinggung mengenai diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu, namun substansi

pembahasan tidak berfokus kepada implementasi dari diplomasi tersebut.

Sampai saat ini penulis belum menemukan penelitian dan karya ilmiah yang

membahas mengenai implementasi diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu dalam

isu Papua merdeka, namun skripsi maupun jurnal yang memiliki subtansi

12

pembahasan yang sama terkait dengan diplomasi Indonesia, kepentingan vanuatu

mendukung isu Papua merdeka, dan isu dari Papua merdeka itu sendiri dapat

dijadikan rujukan oleh penulis. Dengan melihat penelitian terdahulu, penulis dapat

melihat perbedaan serta keunikan dalam penelitian ini. Beberapa penelitian tersebut

diantaranya:

Penelitian pertama berjudul “Strategi Pemerintah Indonesia Terhadap

Negara-negara Anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) dalam

Menghadapi Propaganda Organisasi Papua Merdeka (OPM): Studi Kasus

Negara Republik Vanuatu”, dari Jurnal Peperangan Asimetris Vol.5 No.2 tahun

2019 yang ditulis oleh Gia Noor Syah Putra, Tri Legionosuko, dan Adnan Madjid.

Penelitian ini membahas mengenai strategi yang dilakukan oleh Pemerintah

Indonesia yang bertujuan untuk mengkaji permasalahan dalam strategi kontra

propaganda serta bagaimana pemerintah Indonesia mempertahankan hubungan

diplomatiknya dengan negara-negara anggota Melanesian Spearhead Group

(MSG), dengan menggunakan studi kasus negara republik Vanuatu. Metode yang

digunakan ialah metodologi kualitatif deskriptif analitik, kemudian teori yang

digunakan ialah teori strategi dan teori diplomasi publik.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi yang dilakukan

pemerintah Indonesia masih belum berhasil, hal tersebut disebabkan oleh minimnya

penggunaan aktor non-negara (non state actor) yang dilakukan Indonesia sebagai

garda terdepan dari kontra-propaganda. Selain itu, implementasi tiga dimensi

diplomasi publik, yaitu pengelolaan berita, sosialisasi strategis, dan pembentukan

hubungan dengan lembaga independen yang tidak mendukung. Yang mana

13

seharusnya lembaga independen tersebut berdedikasi untuk penanganan konflik

dalam kasus pemberontakan Papua. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian

penulis terletak pada teori yang digunakan yaitu teori strategis dan teori diplomasi

publik.

Penelitian kedua berjudul “Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap

Dukungan Republik Vanuatu Atas Kemerdekaan Papua Barat Tahun 2015-

2016” dari Jurnal Dinamika Global Vol.2 No. 1 tahun 2017 yang ditulis oleh Bimbi

Rianda, Yuswari O Djemat, dan Angga Nurdin Rahmat. Penelitian ini membahas

mengenai sikap yang diambil oleh Indonesia dalam merespon sikap dukungan

Republik Vanuatu atas kemerdekaan Papua Barat yang merupakan kedaulatan

Indonesia, dengan bentuk kebijakan luar negeri yang bebas aktif yang lebih

mengutamakan persuasi dibanding kekerasan. Penelitian ini menggunakan

pendekatan realisme, konsep politik internasional, konsep politik luar negeri,

konsep kekuasaan, konsep kepentingan nasional, dan konsep kedaulatan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia merumuskan politik luar

negeri berdasarkan komitmen dan rencana yang bersifat persuasif dalam bentuk

kesepakatan antara kedua negara, seperti MoU (Memorandum of Understanding)

antara parlemen Indonesia dan parlemen Vanuatu mengenai rencana kemitraan

antara parlemen dan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 31 Tahun 2016

tentang Pembinaan Koperasi, dimana kebijakan tersebut diwujudkan dalam empat

bentuk. Pertama, memandang negera Vanuatu sebagai negara sahabat. Kedua,

memberikan bantuan kemanusiaan bagi korban Topan Pam di Vanuatu. Ketiga,

14

memberikan bantuan kerjasama kepolisian, dan keempat yaitu menggunakan

strategi People to People Contact.

Berdasarkan kebijakan luar negeri Indonesia tersebut, para peneliti

berpendapat bahwa kebijakan ini sangat efektif karena Indonesia masih bersikeras

pada kebijakan luar negerinya yang bebas aktif dengan mengutamakan persuasi

daripada kekerasan. Dapat dilihat bahwa sikap rendah hati yang diberikan Indonesia

dapat dengan cepat mengubah pandangan masyarakat Vanuatu tentang Indonesia,

Indonesia telah menjadi negara sahabat dalam waktu singkat dari tahun 2015 hingga

2016.

Dalam penelitian ini penulis melihat adanya sedikit persamaan yaitu

pembahasan mengenai kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Vanuatu serta

kesamaan konsep yang digunakan yaitu Kepentingan Nasional dan Kedaulatan,

namun terdapat perbedaan yang mana penelitian ini hanya membahas kebijakan

luar negeri Indonesia pada tahun 2015-2016.

Penelitian ketiga ditulis oleh Ahmad Sabir dengan judul “Diplomasi Publik

Indonesia terhadap Vanuatu dalam Upaya Membendung Gerakan

Separatisme Papua”, pada Jurnal Hubungan Internasional Volume XI, No.1 tahun

2018. Dalam tulisan ini penulis lebih mendalami tentang implementasi diplomasi

publik Indonesia guna mempengaruhi perilaku politik Vanuatu atas isu separatisme

Papua. Penelitian ini memakai metode penelitian kualitatif, deskriptif analitis, dan

mengaplikasikan studi pustaka sebagai teknik pengumpulan data. Dengan

menggunakan teori diplomasi publik dari Leonard, Stead, dan Smewing. Hasil

penelitian ini menunjukkan belum berhasilnya diplomasi publik yang dilakukan

15

oleh Indonesia, hal ini diakibatkan karena belum optimalnya implementasi

diplomasi publik Indonesia.

Kegagalan ini ditunjukkan melalui sikap politik Vanuatu yang tetap

mendukung gerakan separatis Papua dan tidak optimalnya pelaksanaan diplomasi

publik Indonesia yang dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama, variabel aktor pelaksana

diplomasi publik Indonesia terhadap Vanuatu, baik dari sisi pengelolaan berita,

komunikasi strategis, maupun pembangunan relasi, masih didominasi oleh aktor

negara, sedangkan aktor non-negara belum memiliki peran yang besar. Kedua,

mengenai implementasi tiga dimensi diplomasi publik, tidak ada lembaga khusus

yang mengkoordinasikan dan melaksanakan tiga dimensi tersebut dengan

dukungan berdasarkan indikator yang ada. Ketiga, pelaksanaan diplomasi publik

Vanuatu Indonesia juga terkendala dengan adanya doktrin Melanesian Renaissance

yang erat kaitannya dengan masyarakat Vanuatu.

Meski demikian, Sabir mengatakan jika Indonesia dapat mengoptimalkan

tiga dimensi diplomasi publik, mengelola dan mengkoordinasikan pelaksanaan

diplomasi publik secara profesional, serta lebih banyak aktor non-negara yang turut

berpartisipasi, Indonesia masih memiliki peluang.

Penelitian keempat ditulis oleh M. Syaprin Zahidi dengan judul “Analisis

Kebijakan Luar Negeri Vanuatu dalam Mendukung ULMWP untuk

Memisahkan Diri dari Indonesia” pada Mandala : Jurnal Ilmu Hubungan

Internasional Vol. 3 No. 1 tahun 2020. Dalam penelitian ini, Zahidi menganalisis

politik luar negeri dan dukungan aktif Vanuatu terhadap ULMWP dalam

memisahkan diri dari Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan

16

Vanuatu tidak dapat dipisahkan dari politik dalam negerinya. Selain itu, keadaan

sistem pemerintahan Vanuatu juga sangat dipengaruhi oleh Melanesian

Brotherhood dan dorongan dari ULMWP.

Penelitian ini menggunakan pendekatan proses organisasi dari Graham T

Allison dan adaptive model of foreign policy dari Rosenau. Hasil dari penelitian ini

menyatakan bahwa kondisi politik di Vanuatu pada kenyataannya tidak dapat

dilepaskan dari dominasi satu partai besar yaitu partai Vanua’aku PatiVP. Partai

Vanua'aku PatiVP ini memang menempati posisi yang cukup penting dalam politik

Vanuatu, hal ini terlihat dari visi partai tersebut yang mendukung Gerakan

Melanesian Way. Implementasi gerakan tersebut ditujukan untuk mendukung

ULMWP yang ternyata menjadi politik penting bagi Vanuatu. Hal-hal tersebut

diperkuat dengan keadaan sistem pemerintahan Vanuatu yang dipengaruhi oleh

Melanesian Brotherhood dan desakan ULMWP yang ingin terus membantu

Vanuatu dalam kegiatannya semakin memperkuat poin ini. Oleh karena itu, isu

kemerdekaan Papua tentu akan mendapat respon yang positif di Vanuatu.

Penelitian ini hanya berfokus menganalisis kebijakan luar negeri Vanuatu

serta alasan dibalik dukungannya terhadap isu Papua Merdeka, berbeda dengan

penelitian penulis yang fokus membahas mengenai diplomasi yang dilakukan

Indonesia terhadap Vanuatu terkait dengan isu Papua merdeka.

Penelitian kelima yaitu sebuah artikel ilmiah yang ditulis oleh Berlian

Helmy dengan judul “Mematahkan Dukungan Vanuatu Terhadap Gerakan

ULMWP (United Liberalization Movement For West Papua) Guna

Menegakkan Kedaulatan NKRI” pada Jurnal Kajian Lemhannas RI Edisi 38

17

tahun 2019. Dalam penelitian ini, penulis menjelaskan mengenai adanya potensi

ancaman terhadap kedaulatan Indonesia terkait isu Papua, dan opsi kebijakan yang

dapat diambil pemerintah Indonesia untuk mengatasi ancaman tersebut. Opsi yang

diberikan dalam penelitian ini yaitu beberapa kebijakan yang unfavorable untuk

membentuk apriori terhadap Vanuatu, diantaranya adalah Normalisasi Hubungan,

Status Quo, Pemutusan Hubungan Diplomatik, dan Checkbook Diplomacy.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diperlukannya respons yang tegas

melalui pembalasan diplomatik, dan pro dan kontra Indonesia diperhitungkan

melalui sejumlah opsi kebijakan yang bertujuan untuk membentuk sikap apriori

internasional terhadap dukungan nyata Vanuatu terhadap gerakan kemerdekaan

Papua. Beberapa pilihan kebijakan tersebut seperti, Normalisasi Hubungan, Status

Quo, Pemutusan Hubungan Diplomatik, dan Checkbook Diplomacy yang nyatanya

selama ini sudah pernah ada dalam benak wacana Pemerintah Indonesia, akan tetapi

tetap terbentur dengan segala kelebihan dan kekurangan dari masing-masing

kebijakan tersebut.

Penelitian ini tidak secara spesifik membahas mengenai diplomasi yang

dilakukan Indonesia terhadap Vanuatu terkait dengan isu Papua merdeka,

melainkan membahas beberapa opsi kebijakan yang dapat dilakukan Indonesia

untuk mematahkan dukungan Vanuatu terhadap isu Papua merdeka sehingga hal

tersebut menjadi indikator perbedaan dari penelitian penulis. Berikut tinjauan

pustaka yang sudah penulis dapatkan dalam bentuk tabel di bawah ini.

18

Tabel 2 Tabel Tinjauan Pustaka

No Penulis Judul Teori dan

Konsep

Isi Korelasi

1 Gia Noor Syah

Putra, Tri

Legionosuko,Adn

an Madjid.

Strategi Pemerintah

Indonesia Terhadap

Negara-Negara

Anggota

Melanesian

Spearhead Group

(MSG) Dalam

Menghadapi

Propaganda

Organisasi Papua

Merdeka (OPM):

Studi Kasus

Negara Republik

Vanuatu

- Upaya pemerintah

Indonesia,

melakukan kontra

propaganda atas

propaganda yang

dilakukan oleh

OPM dan

berdiplomasi

dengan negara-

negara MSG,

terutama

Republik

Vanuatu.

Studi

kasus

mengenai

Vanuatu

2 Bimbi Rianda,

Yuswari O

Djemat, Angga

Nurdin Rahmat.

Kebijakan Luar

Negeri Indonesia

Terhadap

Dukungan Republik

Vanuatu

Konsep Politik

Internasional,

Kebijakan Luar

Negeri,

Kepentingan

Nasional,

Kedaulatan,

Power.

Mencatat

beberapa

Kebijakan Luar

Negeri Indonesia

terhadap

dukungan

Republik Vanuatu

untuk

Kemerdekaan

Papua Barat

berdasarkan

seperangkat

orientasi,

seperangkat

komitmen dan

sekelompok

tindakan tingkah

laku.

Studi

kasus

mengenai

Vanuatu

19

3 Ahmad Sabir Diplomasi Publik

Indonesia Terhadap

Vanuatu dalam

Upaya

Membendung

Gerakan

Separatisme Papua

Teori Diplomasi

Publik Implementasi

Diplomasi Publik

Indonesia

terhadap Vanuatu.

Studi

kasus

mengenai

Vanuatu

4 M. Syaprin

Zahidi

Analisis Kebijakan

Luar Negeri

Vanuatu Dalam

Mendukung

ULMWP Untuk

Memisahkan Diri

Dari Indonesia

Proses

Organisasi,

Foreign Policy,

Preservative

Adaptation.

Menganalisis

Kebijakan Luar

Negeri Vanuatu

yang mendukung

ULMWP tidak

terlepas dari

aspek politik

domestik

Studi

kasus

mengenai

Vanuatu

5 Berlian Helmy Mematahkan

Dukungan Vanuatu

Terhadap Gerakan

ULMWP (United

Liberalization

Movement For West

Papua) Guna

Menegakkan

Kedaulatan NKRI

- Potensi Ancaman

terhadap

kedaulatan

Indonesia terkait

isu Papua dan

membahas opsi-

opsi kebijakan

yang dapat

diambil

pemerintah

Indonesia untuk

menangkal

ancaman ini.

Studi

kasus

mengenai

Vanuatu

20

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Diplomasi

Istilah diplomasi mencakup wilayah yang cukup luas, tetapi elemen

kuncinya adalah diplomasi berhubungan dengan hubungan internasional, yang

dipahami secara luas. Dalam Encyclopédie Larousse, misalnya, setidaknya ada tiga

arti yang melekat pada kata “diplomasi”. Pertama, diplomasi mengacu pada

"tindakan dan cara mewakili negara seseorang ke negara asing dalam negosiasi

internasional." Kedua, diplomasi berkaitan dengan “kebijakan eksternal suatu

negara, pemerintah.” Terakhir, diplomasi adalah “cabang ilmu politik yang

menyangkut hubungan internasional.” (Balzacq, Charillon, & Ramel, 2020: 1).

Definisi lainnya menurut Berridge yaitu, diplomasi pada dasarnya adalah

sebuah aktivitas politik, dengan sumber daya yang baik dan terampil diplomasi

menjadi unsur utama dari suatu kekuasaan. Selain itu, diplomasi juga merupakan

sarana penting yang digunakan suatu negara untuk menjalankan kebijakan luar

negeri mereka. Di banyak negara, kebijakan luar negeri tersebut diatur dan dibentuk

secara signifikan dalam Kementerian luar negeri (Berridge, 2015: 1-3).

Negara-negara berkomitmen pada diplomasi sesuai dengan sifat dunia

tempat mereka tinggal. Di era dan tempat di mana banyak negara merdeka dan

perilakunya saling mempengaruhi, mereka tidak dapat berperan dalam ruang hampa

yang terisolasi dan hanya mempertimbangkan bagaimana mengelola urusan dalam

negeri. Karena ingin mengendalikan nasibnya sendiri semaksimal mungkin, setiap

negara memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan kepentingan negara lain dan

21

warganya yang melanggar kepentingannya, tidak peduli apa yang dianggap sejalan

dengan kepentingan tersebut (Watson, 2005: 1).

Jean Jacques Rousseau menjelaskan secara singkat mengenai sistem negara

pada akhir abad ke-18. Seperti yang dikatakan, “the body politics” yaitu dipaksa

untuk melampaui diri sendiri untuk memahami diri sendiri. Yang mana berarti

bahwa suatu negara bergantung pada seluruh lingkungan dan harus memperhatikan

semua yang terjadi. Oleh karena itu, saat ini, setiap negara dalam sistem global kita

tidak hanya bergantung pada dirinya sendiri, tetapi juga pada seluruh lingkungan

dunia. Negara-negara yang menyadari bahwa kebijakan dalam negerinya

dipengaruhi oleh “semua perubahan” dari luar tidak puas melihat dari kejauhan.

Mereka merasa perlu untuk berbicara satu sama lain. Dialog antar negara merdeka.

Metode yang digunakan oleh pemerintah dan jaringan yang dihasilkan dari

komitmen, kontrak, institusi, dan kode etik adalah inti dari sebuah diplomasi

(Watson, 2005: 1).

Thierry Balzacq, Frédéric Charillon, dan Frédéric Ramel menyatakan

bahwa diplomasi dibagi menjadi tiga bagian yaitu (1) Tempat dan Vektor

Diplomasi, (2) Para aktor, dan (3) Sektor Diplomasi. Bagian pertama menjelaskan

dan mengeksplorasi lingkungan dimana diplomasi dipahami dan dikembangkan

serta berbagai kemungkinan konfigurasinya, dari bilateralisme hingga

multilateralisme, dan lainya. Selain itu juga mengkaji berbagai metode pendukung

diplomasi, dari yang paling klasik (negosiasi, ritual, dan protokol) hingga teknologi

informasi dan komunikasi terkini. Pada bagian tempat dan vektor penelitian ini

22

mengambil tempat dalam lingkup Diplomasi Bilateral yang mana terjadi antara

Indonesia dan Vanuatu (Balzacq, Charillon, & Ramel, 2020: 14).

Bagian kedua lebih berfokus pada aktor yang terlibat dalam diplomasi. Para

aktor yang dijelaskan pada bagian ini tidak hanya mencakup aktor negara, tetapi

juga sub-aktor dan supra-nasional. Hal ini menegaskan bahwa tekanan ganda dari

entitas lokal dan lembaga internasional dan non pemerintah telah mengubah tugas

diplomat nasional secara mendasar. Namun hal tersebut memperkuat analisis ini

dengan beberapa data asli. Di sini, misalnya, peran badan legislatif adalah kunci

sejauh hal itu menimbulkan pertanyaan tentang keseimbangan yang adil antara, di

satu sisi, kebijaksanaan (atau kerahasiaan) salah satu atribut tradisional diplomasi

dan, di sisi lain, transparansi, sebuah persyaratan untuk aktor baru tertentu di kancah

internasional. Pada bagian kedua yaitu aktor, pada penelitian ini aktor yang

berperan adalah aktor negara dan layanan luar negerinya yang menjalankan tugas

dari diplomasi yang akan dilakukan. (Balzacq, Charillon, & Ramel, 2020: 14).

Terakhir, bagian ketiga membahas berbagai sektor diplomatik. Pada bagian

ini, Thierry Balzacq, Frédéric Charillon, dan Frédéric Ramel membahas beberapa

kesulitan yang dihadapi oleh beberapa sektor diplomasi di era ini. Tujuannya untuk

menguji hipotesis bahwa diplomasi berubah sifat di berbagai sektor. Pada penelitian

ini, diplomasi yang dilakukan mencakup ke dalam beberapa sektor (Balzacq,

Charillon, & Ramel, 2020: 14).

23

2.3 Landasan Konseptual

2.3.1 Kedaulatan Negara

Kedaulatan adalah gagasan otoritas yang diwujudkan dalam organisasi

teritorial yang berbatasan yang kita sebut sebagai “negara” atau “bangsa” dan

diekspresikan dalam berbagai hubungan dan aktivitas mereka, baik dalam maupun

luar negeri. Kedaulatan berada di pusat pengaturan politik dan praktik hukum dunia

modern. Pada era kontemporer, kedaulatan adalah sistem otoritas global yang

meluas di dalam aspek agama, peradaban, bahasa, budaya, kelompok etnis dan ras,

dan komunitas dan kolektivitas lain di mana umat manusia terbagi (Jackson, 2007:

10).

Kedaulatan merupakan gagasan dasar politik dan hukum yang hanya dapat

dipahami dengan baik sebagai, pada saat yang sama, sebagai gagasan tentang

otoritas tertinggi di negara bagian, dan gagasan tentang kemerdekaan politik dan

hukum dari negara-negara yang terpisah secara geografis. kedua aspek kedaulatan

negara ini bukanlah gagasan yang terpisah. mereka adalah aspek yang berbeda dari

satu gagasan keseluruhan. kedaulatan adalah gagasan konstitusional tentang hak

dan kewajiban pemerintah dan warga negara atau subjek negara tertentu (Jackson,

2007: 10).

Konsep kedaulatan, melibatkan harapan bersama mengenai aturan main

dalam hubungan antar negara. Harapan bersama ini adalah hasil dari interaksi,

sosialisasi dan internalisasi norma atau aturan yang disepakati yang mengurangi

bahaya dalam hubungan internasional. Oleh karena itu, negara-negara dapat

mencapai kesepakatan satu sama lain untuk memelihara perdamaian, apakah

24

mereka tetap berada dalam keadaan alami dunia tidak selalu berperang seperti

pandangan Lockean atau meninggalkannya dengan membentuk komunitas

internasional yang lebih damai seperti yang dibayangkan oleh Immanuel Kant atau

mereka yang mengikuti jejaknya (Viotti & Kauppi, 2012: 280).

Konsep kedaulatan, terdiri dari seperangkat aturan atau standar perilaku

yang memberikan panduan bagi negara-negara untuk berinteraksi satu sama lain.

Secara khusus, negara berdaulat datang untuk mengklaim hak di bawah hukum

internasional untuk menyelesaikan yurisdiksi atas wilayah mereka sendiri (dimensi

internal atau domestik) karenanya, berkembanglah sebuah norma internasional

yang menetapkan non-intervensi dalam urusan internal negara lain. Kedua, negara

mengklaim hak untuk mandiri atau otonom dalam melakukan hubungan luar negeri

mereka (dimensi eksternal atau internasional). Oleh karena itu, bagi kaum

konstruktivis, kedaulatan bukan hanya milik masing-masing negara, tetapi lebih

merupakan milik bersama dan secara intersubjektif (Viotti & Kauppi, 2012: 281).

Lembaga yang dibangun secara sosial atau struktur normatif antar negara.

Perdamaian Augsburg (1555) dan Perdamaian Westphalia (1648) menandai

munculnya kedaulatan di antara Jerman dan negara-negara lain sebagai norma yang

nyaman yang secara efektif menempatkan otoritas pada pangeran, adipati, dan raja

yang berkuasa saat itu. Bahkan meskipun praktik di antara mereka mendahului

formalisasi kedaulatan—menghormati hak prerogatif negara berdaulat lainnya—

norma baru pada waktunya menjadi mengglobal baik dalam dimensi domestik

maupun eksternalnya. Kedaulatan diekspresikan melalui aturan perilaku yang

dicontohkan oleh praktik diplomatik (Viotti & Kauppi, 2012: 282).

25

Praktik-praktik ini mencerminkan saling pengertian tentang memberikan

ketertiban di arena internasional, menstabilkan harapan para aktor, dan mengelola

hubungan kekuasaan. Demikian pula, pengembangan norma integritas teritorial

membantu memperkuat norma kedaulatan dengan mengakui kesucian batas-batas

negara yang dibangun secara sosial. Tentu saja, dimensi internal kedaulatan—tidak

mencampuri urusan dalam negeri suatu negara—telah dilanggar berkali-kali selama

berabad-abad, seperti ketika satu negara menginvasi negara lain atau

mengintervensi politik domestiknya atau masalah lainnya. Tetapi klaim untuk

berdaulat baik dalam dimensi internal maupun eksternalnya tetap ada (Viotti &

Kauppi, 2012: 283).

2.3.2 Hubungan Bilateral

Hubungan bilateral adalah elemen pendiri hubungan internasional, atau,

seperti yang dikemukakan Thomas Gomart, yaitu “bentuk dasar dari permainan

diplomatik”. Sentralitas hubungan bilateral dapat dilihat pada tingkat historis,

strategis, dan numerik. Pertama, pada tingkat historis, penggunaan hubungan

diplomatik antar negara melalui misi resmi dimulai pada abad ketujuh belas di

antara monarki Eropa, setara dengan apa yang disebut “diplomasi tradisional” atau

“diplomasi lama” (Balzacq, Charillon, & Ramel, 2020: 19).

Diplomasi bilateral adalah fondasi dasar hubungan antar negara. Kerajinan

kuno ini termasuk bidang pengetahuan empiris. Itu ditularkan melalui seorang

mentor dan seperangkat aturan, banyak di antaranya tidak tertulis. Karena

kerapuhan negara-negara yang berusaha mendominasi orang lain, kepentingan

26

bersama yang masih ada, dan kekuatan pendorong perdagangan internasional yang

kuat saling mempengaruhi. Diplomasi bertujuan untuk membangun hubungan yang

meningkatkan kelangsungan hidup dan keamanan negara. Ini mendorong

pembentukan aliansi dan membela kepentingannya sendiri. Hal tersebut pada

akhirnya menjadikan hubungan bilateral tersebut menjadi hubungan yang strategis

dan menjadikan politik sebagai landasan hubungan antar bangsa (Cooper, Heine, &

Thakur, 2013: 204).

Peran sentral hubungan bilateral dalam diplomasi kemudian dapat

dieksplorasi melalui peran strategisnya dalam mempromosikan kepentingan

nasional dan penataan negosiasi internasional. Melalui kementerian luar negeri,

kedutaan besar, dan konsulat, diplomasi bilateral memang tetap menjadi alat terbaik

untuk mengejar kepentingan negara, baik melalui perdagangan dan investasi,

dengan mempromosikan citra dan budaya suatu negara, atau dalam berkomunikasi

dengan diaspora. Lebih lanjut, hubungan bilateral merupakan fase penting untuk

terlibat dalam negosiasi internasional, karena kepentingan bersama pertama kali

dikembangkan pada tingkat bilateral untuk membangun koalisi dan secara lebih

efektif menyoroti kepentingan tersebut dalam negosiasi multilateral (Balzacq,

Charillon, & Ramel, 2020: 20).

Diplomasi bilateral dapat menentukan kapan, di mana, dan bagaimana

hubungan dari suatu negara-ke-negara tertentu akan menjadi lebih relevan.

Mempromosikan negara seseorang di setiap bidang sekarang menjadi tugas utama

dalam diplomasi bilateral. Ini mencakup berbagai bidang seperti perdagangan,

investasi, dan pariwisata, serta urusan budaya. Tugas lainnya termasuk “layanan

27

pelanggan”, yaitu layanan yang diberikan kepada publik. Ini mengarah pada cara

baru dalam mengelola sumber daya diplomatik, lebih sesuai dengan standar bisnis.

Didorong untuk memberikan hasil, banyak kementerian luar negeri telah

menyempurnakan perekrutan, sistem evaluasi personel, dan pendekatan mereka

untuk mendorong dan memberi penghargaan kepada staf mereka (Cooper, Heine,

& Thakur, 2013: 205).

Hubungan bilateral cenderung disukai ketika para aktor menganggapnya

sebagai keuntungan taktis. Dengan demikian, hubungan bilateral seringkali

dilakukan sebagai interaksi strategis, perebutan kekuasaan di mana para aktornya

didorong oleh kepentingannya sendiri daripada keinginan untuk menjadi inklusif.

Tantangan dalam hubungan bilateral kemudian adalah berhasil mengejar

kepentingan tersebut melalui kerja sama, tanpa merusak kedaulatan dan kebebasan

bertindak (Balzacq, Charillon, & Ramel, 2020: 20).

28

2.4 Alur Pemikiran

Isu Papua Merdeka

Indonesia Vanuatu

Membantah tudingan dan dukungan

Vanuatu terhadap Papua merdeka Mendukung

kemerdekaan masyarakat

Papua

Menuding Indonesia

melakukan pelanggaran

HAM terhadap masyarakat

Papua

Ketegangan antara Indonesia dan Vanuatu

Diplomasi Indonesia terhadap

Vanuatu

Gambar SEQ Gambar \* ARABIC 2.1

Bagan Alur Pemikiran

Gambar 2 Bagan Alur Pemikiran

Diplomasi Ekonomi

Diplomasi Budaya

Diplomasi Publik

29

Pertama, isu Papua merdeka tidak lagi terbatas pada urusan domestik saja,

namun kini telah berkembang menjadi isu yang lebih besar lagi yang mana sudah

sampai ke kancah internasional. Vanuatu merupakan salah satu negara di kawasan

Pasifik Selatan yang sangat vokal mendukung kemerdekaan Papua Barat dengan

alasan persamaan ras yang dimiliki oleh Vanuatu dan Papua yaitu ras melanesia.

(Melanesian Brotherhood).

Kedua, Vanuatu kerap menyatakan secara resmi bahwa ia mengecam

tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Pemerintah

Indonesia di Papua. Tudingan tersebut secara konsisten digaungkan di forum-forum

internasional seperti sidang tinggi HAM PBB dan sidang umum PBB yang pada

akhirnya dibantah dengan tegas oleh diplomat perwakilan dari Indonesia. Namun,

dari tahun ke tahun tudingan-tudingan tersebut terus dikemukakan oleh Vanuatu

sejak tahun 2014 hingga saat ini. Dengan demikian, ketegangan pun terjadi antara

Indonesia dan Vanuatu.

Ketiga, untuk menangani masalah tersebut, Indonesia melakukan diplomasi

dengan Vanuatu dengan melakukan beberapa diplomasi seperti diplomasi ekonomi,

diplomasi budaya dan diplomasi publik. Semua upaya tersebut dilakukan oleh

Indonesia dengan tujuan untuk membendung dukungan Vanuatu terhadap isu Papua

merdeka.

2.5 Argumen Utama

Penelitian ini menemukan bahwa Indonesia melakukan diplomasi terhadap

Vanuatu terkait dengan isu Papua merdeka karena adanya dukungan yang

30

diberikan oleh Vanuatu untuk kemerdekaan Papua Barat. Selain itu, tudingan juga

kerap dinyatakan oleh Vanuatu bahwa Indonesia telah melakukan pelanggaran

HAM berat kepada masyarakat asli Papua. Vanuatu melakukan agenda politiknya

untuk mendukung Papua dengan tiga media. Pertama, melalui forum Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB), kedua, melalui Melanesian Spearhead Group (MSG), dan

ketiga melalui United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Kedekatan

etnis yang dimiliki Vanuatu dengan Papua yaitu ras melanesian menjadi salah satu

sumber penyebab masifnya dukungan Vanuatu terhadap upaya kemerdekaan

Papua.

Pada penelitian ini, penulis membahas cakupan diplomasi yang dilakukan

Indonesia terbagi menjadi beberapa sektor, yaitu diplomasi ekonomi, budaya, dan

diplomasi publik. Menurut pandangan penulis, tudingan serta dukungan yang

dilakukan oleh Vanuatu berpotensi menjadi suatu ancaman bagi kedaulatan

Indonesia. Vanuatu merupakan salah satu negara yang cukup berpengaruh di

kawasan Pasifik Selatan, dan negara ini juga merupakan salah satu penggagas

berdirinya organisasi Melanesian Spearhead Group (MSG). Apabila tudingan dan

dukungan tersebut terus dilakukan oleh Vanuatu, besar kemungkinan bahwa negara

tersebut dapat mempengaruhi negara-negara lain terutama di kawasan Pasifik

Selatan untuk turut serta mendukung kemerdekaan Papua.

31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian yang penulis pakai dalam penelitian ini yaitu

paradigma konstruktivis atau konstruktivisme sosial (yang sering kali

dikombinasikan dengan interpretivisme), yang mana biasanya paradigma ini

dipandang sebagai suatu pendekatan dalam penelitian kualitatif. Gagasan

konstruktivisme sosial berasal dari Manheim dan buku-buku seperti The Social

Construction Of Reality-nya Berger dan Luekmann (1967) dan Naturalistic

Inquiry-nya Lincoln dan Guba (1985) (Creswell, 2017: 9).

Kaum konstruktivisme mempercayai bahwa individu-individu senantiasa

berupaya memahami dunia di mana mereka hidup dan bekerja. Mereka

mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalaman-pengalaman yang

mereka alami. Makna makna yang dimaksud yaitu mengarah pada objek-objek atau

benda-benda tertentu. Makna-makna ini pun cukup beragam sehingga peneliti

dituntut untuk lebih menggali kompleksitas pandangan-pandangan daripada

mempersempit makna-makna tersebut menjadi sebuah kategori dan gagasan

(Creswell, 2017: 10).

Peneliti berupaya mengandalkan sebanyak mungkin pandangan dari

partisipan mengenai situasi yang tengah diteliti dengan mengajukan pertanyaan-

pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi sangat jelas dan umum sehingga

32

partisipan dapat mengkonstruksi makna atas situasi tersebut, yang biasanya tidak

asli atau tidak dipakai dalam interaksi dengan orang lain. Semakin terbuka

pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu akan semakin baik dan juga dapat

memberikan manfaat lebih untuk peneliti, selain itu peneliti dapat mendengarkan

dengan cermat apa yang dibicarakan dan dilakukan partisipan dalam kehidupan

mereka (Creswell, 2017: 10).

Makna-makna subjektif ini kerap kali dinegoisasi secara historis dan sosial.

Makna-makna ini tidak semata-mata dicetak untuk kemudian diberikan kepada

individu-individu, namun harus dilakukan melalui interaksi dengan mereka (karena

itulah dinamakan konstruktivisme sosial) serta melalui norma-norma historis dan

sosial yang berlaku dalam kehidupan mereka sehari-hari. Para peneliti juga perlu

mengetahui bahwa latar belakang mereka tentunya dapat mempengaruhi penafsiran

mereka terhadap hasil dari penelitian (Creswell, 2017: 11).

Ketika melakukan penelitian, sudah selayaknya para peneliti dapat

memposisikan diri mereka sedemikian rupa seraya menerima dengan rendah hati

bahwa interpretasi mereka tidak pernah lepas dari pengalaman pribadi, kultural, dan

historis mereka sendiri. Dalam konteks konstruktivisme, peneliti mempunyai tujuan

utama, yakni berusaha memaknai (atau menafsirkan) makna-makna yang dimiliki

oleh orang lain mengenai dunia ini. Peneliti sebaiknya membuat atau

mengembangkan suatu teori atau pola makna tertentu secara induktif daripada

mengawali penelitiannya dengan suatu teori (Creswell, 2017: 11).

33

3.2 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian (research approach) merupakan suatu rencana dan

prosedur penelitian yang meliputi langkah-langkah dari asumsi-asumsi luas hingga

metode-metode terperinci dalam pengumpulan, analisis, dan interpretasi data.

Pendekatan ini mengimplikasikan rancangan seperti apa yang seharusnya

digunakan untuk meneliti sebuah topik tertentu dan menunjukkan suatu perspektif

mengenai penelitian yang menampilkan informasi berurutan dari konstruksi

penelitian secara luas ke prosedur metode yang sempit (Creswell, 2017: 3).

Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis yaitu penelitian

kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan metode-metode untuk memahami dan

mengeksplorasi makna-makna yang dianggap oleh sejumlah individu atau

sekelompok orang berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian

kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, yakni mengajukan pertanyaan-

pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para

partisipan, menganalisis data secara induktif, dan menafsirkan makna data

(Creswell, 2017: 5).

Laporan akhir dari penelitian ini mempunyai struktur atau kerangka yang

fleksibel. Peneliti yang menggunakan pendekatan kualitatif harus menggunakan

cara pandang penelitian yang bergaya induktif yaitu dapat menganalisis data dari

tema khusus ke umum, serta berfokus pada makna individual, dan menerjemahkan

kompleksitas suatu persoalan (Creswell, 2017: 5).

Metode ini menekankan pada pentingnya penelitian melalui sumber tertulis

untuk memperoleh data secara keseluruhan tentang situasi yang diteliti oleh

34

peneliti. Oleh karena itu, melalui metode kualitatif akan lebih mudah untuk

menggali informasi mengenai diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu dalam isu

Papua merdeka melalui artikel, jurnal, berita, maupun melalui teknik wawancara.

3.3 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah jenis penelitian deskriptif

analitis dengan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian deskriptif analisis adalah cara

merangkai data dengan uraian yang sedalam-dalamnya dan sejelas-jelasnya. Jenis

penelitian deskriptif analisis adalah suatu metode penelitian yang menguraikan

keadaan suatu subjek atau objek penelitian.

Data yang telah didapat kemudian dianalisis dan dibandingkan

berdasarkan dari kenyataan yang tengah berlangsung pada saat ini dan selanjutnya

berusaha untuk memberikan suatu solusi atau memecahkan masalah dan dapat

memberikan informasi yang mutakhir sehingga bermanfaat bagi perkembangan

ilmu pengetahuan serta dapat lebih banyak diterapkan pada berbagai masalah

(Creswell, 2017).

Penelitian deskriptif secara garis besar merupakan kegiatan

penelitian yang dilakukan untuk membuat gambaran atau mencoba

mendeskripsikan suatu peristiwa atau gejala secara sistematis, faktual dan akurat.

Penelitian deskriptif sendiri merupakan suatu penelitian yang paling mendasar,

yang mana mempunyai tujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan

fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat ilmiah maupun rekayasa manusia.

35

Penelitian ini mengkaji bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan,

hubungan, kesamaan, dan perbedaannya dengan fenomena lain. Jenis penelitian

secara deskriptif kualitatif yang digunakan penulis dalam penelitian ini digunakan

untuk mengembangkan teori yang dibangun melalui data yang diperoleh di

lapangan dan dikonfirmasi ke dalam analisis. Dalam hal ini penulis menggunakan

deskriptif analisis untuk menganalisis (menggambarkan) bagaimana implementasi

dari diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu untuk meredam isu Papua merdeka

dengan menggunakan teori diplomasi.

3.4 Unit Analisis

Unit analisis dalam suatu penelitian dapat berupa suatu benda, individu,

kelompok, wilayah dan waktu-waktu tertentu sesuai dengan fokus penelitian yang

ditentukan oleh penulis. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah

negara dengan negara yaitu Indonesia dan Vanuatu. Penelitian ini melihat

bagaimana interaksi dan diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia terhadap

Vanuatu terkait isu Papua merdeka. Dengan adanya kemampuan berdiplomasi yang

baik oleh Indonesia, hal tersebut diharapkan akan membendung dukungan-

dukungan yang diberikan Vanuatu terhadap isu Papua merdeka selain itu dapat

memberikan suatu peringatan baik kepada Vanuatu maupun negara-negara lainnya

bahwa sudah seharusnya urusan domestik suatu negara tidak dicampur tangani oleh

negara lain.

36

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau langkah-langkah yang

dilakukan guna mendapatkan data-data yang diperlukan dalam suatu penelitian.

Menurut Sugiyono (2013: 224), teknik pengumpulan data merupakan metode yang

paling strategis untuk dilakukan dalam melakukan suatu penelitian, karena tujuan

utama dari penelitian ialah memperoleh suatu data. Teknik pengumpulan data

dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yang mana terdapat data primer

yang akan diperoleh dari hasil wawancara dan data sekunder yang akan didapat dari

hasil studi pustaka yang dilakukan oleh penulis.

3.5.1 Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber utama baik

individu maupun kelompok. Penelitian ini dilakukan dengan teknik pengumpulan

data secara wawancara mendalam (in-depth interview). Dalam wawancara penulis

dapat melakukan face-to-face interview (wawancara berhadap-hadapan) dengan

narasumber, mewawancarai mereka dengan telepon, atau terlibat dalam focus group

interview (wawancara dalam kelompok tertentu) (Creswell, 2017: 254) Dalam

wawancara penulis akan mendapatkan sumber data yang utama dalam penelitian

karena terdapat kata-kata dan juga tindakan, selebihnya adalah data tambahan

seperti dokumen utama (Moleong, 2007: 112). Terdapat empat instansi yang telah

dilakukan oleh penulis sebagai acuan data primer yang mana hasil dari wawancara

ini diperoleh dari empat instansi baik instansi pemerintah maupun non pemerintah

yang sangat fokus dengan kajian dalam penelitian ini. Berikut adalah instansinya

masing-masing :

37

1. Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kementerian

Luar Negeri Indonesia.

2. Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, Direktorat Asia Timur

dan Pasifik. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

3. Peneliti P2P, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI.

4. Jaringan Damai Papua (JDP).

3.5.2 Data Sekunder

Penulis juga melakukan studi pustaka (library research) dengan

mengumpulkan berbagai macam data kepustakaan seperti buku, jurnal, artikel yang

berkaitan dengan penelitian penulis untuk mengumpulkan beragam jenis data serta

mendukung pengamatan dari penelitian yang akan ditulis oleh penulis.

3.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang diperlukan dan digunakan oleh

peneliti untuk mengumpulkan data. Dengan kata lain, dalam suatu penelitian,

penggunaan instrumen atau alat-alat sangat penting untuk mengumpulkan data-data

yang telah diperoleh. Dalam penelitian kualitatif, instrumen utama dalam

pengumpulan data adalah manusia yaitu peneliti itu sendiri atau orang lain yang

membantu peneliti. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri yang

mengumpulkan data menggunakan beberapa cara seperti bertanya, meminta, dan

mendengar. Instrumen yang digunakan selain manusia (pedoman wawancara,

pedoman observasi, angket dan lain sebagainya) dapat pula digunakan, namun

38

fungsinya terbatas sebagai pendukung tugas peneliti sebagai instrumen kunci

(Afrizal, 2014).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan berbagai instrumen pendukung

yang dibutuhkan selama penelitian berlangsung yang dapat membantu penulis

mempermudah dan memastikan data yang didapatkan valid dan sesuai dengan

fokus dan tema dari penelitian, antara lain ialah :

a. Penggunaan teknologi dalam penelitian adalah sebagai alat bantu

berbasis media elektronik yang dapat digunakan oleh peneliti dalam

proses pengumpulan data dan dibutuhkan baik sebagai perekam

pada saat akan dilakukannya wawancara maupun saat dilakukannya

pengumpulan data melalui internet. Sehingga teknologi yang

dimaksud oleh penulis adalah (Laptop, Voice recorder, dan

Smartphone).

b. Alat yang dibutuhkan oleh penulis berikutnya yaitu berupa

seperangkat alat bantu tulis yang terdiri dari buku catatan khusus

untuk penelitian, post it notes, dan pulpen serta stabilo. Penggunaan

alat bantu tulis ini adalah untuk mencatat hal-hal penting yang

mungkin akan terlewatkan oleh penulis.

c. Buku panduan penelitian yang digunakan oleh penulis untuk

membantu memberikan panduan penulisan karangan ilmiah yang

baik dan benar sesuai dengan standar penulisan yang dibutuhkan.

39

3.7 Teknik Analisis Data

Dalam suatu penelitian yang menggunakan metode kualitatif, analisis data

dilakukan sebelum peneliti terjun ke lapangan, selama peneliti mengadakan

penelitian di lapangan, sampai dengan laporan hasil penelitian. Proses analisis data

dalam penelitian kualitatif akan berjalan bersamaan dengan bagian-bagian lain dari

pengembangan penelitian kualitatif, yaitu penulisan temuan dan pengumpulan data

(Creswell, 2017).

Ketika wawancara sedang berlangsung, misalnya, peneliti dapat

menganalisis wawancara yang telah dikumpulkan sebelumnya, kemudian

menuliskan suatu memo yang pada akhirnya dimasukkan sebagai narasi dalam

laporan akhir, dan menyusun struktur laporan akhir. Dengan demikian, dalam

analisis data peneliti perlu “memisahkan” data yang hanya berfokus pada sebagian

data saja dan mengabaikan bagian-bagian lainnya (Creswell, 2017: 261). Teknik

analisis data pada penelitian ini menggunakan empat prosedur, yaitu (Creswell,

2017: 264):

1. Mengolah dan Mempersiapkan Data

Dalam pelaksanaanya, langkah ini melibatkan transkripsi wawancara, men-

scanning materi, mengetik data lapangan, atau memilah-milah data yang telah

didapatkan dan kemudian menyusunnya ke dalam jenis-jenis yang berbeda

tergantung pada sumber informasi.

2. Membaca Keseluruhan Data

Langkah pertama yang dilakukan yaitu membangun general sense atas

informasi yang diperoleh dan merefleksikan maknanya secara keseluruhan. Pada

40

langkah ini peneliti menulis catatan-catatan khusus atau gagasan-gagasan umum

tentang data yang telah diperoleh.

3. Penyajian Data

Penyajian data adalah kegiatan mengelompokan data yang telah di reduksi.

Menyajikan data akan mempermudah peneliti untuk memahami apa yang terjadi

selama penelitian berlangsung. Setelah itu perlu adanya perencanaan kerja

berdasarkan apa yang telah dipahami. Dalam penyajian data, menggunakan teks

secara naratif bukan satu-satunya cara yang dapat digunakan. Peneliti juga dapat

menggunakan bahasa non-verbal seperti bagan, grafik, denah, matriks, dan tabel.

Penyajian data merupakan proses pengumpulan informasi yang disusun

berdasarkan kategori atau pengelompokan yang diperlukan.

4. Verifikasi Data

Langkah terakhir yang dilakukan dalam teknik analisis data yaitu verifikasi

data. Dalam penelitian kualitatif, menarik kesimpulan dilakukan untuk menjawab

rumusan masalah sementara, jika kemudian ditemukan data-data lain yang

mendukung maka kesimpulan tersebut dapat berubah. Verifikasi data dilakukan

apabila kesimpulan awal yang ditemukan masih bersifat sementara, dan akan ada

perubahan-perubahan jika tidak disandingi dengan bukti-bukti pendukung yang

kuat untuk mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Apabila

kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal telah didukung dengan bukti-bukti

yang valid dan konsisten saat penelitian kembali ke lapangan mengumpulkan data,

maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel atau

dapat dipercaya.

41

3.8 Teknik Keabsahan Data

Penelitian ini membutuhkan beberapa cara untuk meningkatkan keabsahan

data penelitian kualitatif agar dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan

kredibilitas hasil penelitiannya. Penelitian ini menggunakan teknik keabsahan data

yang di dalamnya terdapat validitas dan juga reliabilitas data.

3.8.1 Validitas Data

Dalam penelitian kualitatif, validitas tidak mempunyai konotasi yang serupa

dengan validitas dalam penelitian kuantitatif. Validitas kualitatif (qualitative

validity) merupakan upaya pemeriksaan terhadap akurasi hasil penelitian dengan

menerapkan prosedur-prosedur tertentu. Validitas merupakan salah satu kekuatan

penelitian kualitatif dan didasarkan pada penentuan apakah temuan yang didapat

telah akurat dari sudut pandang peneliti, partisipan, atau pembaca. Istilah-istilah

yang banyak ditemukan dalam literatur kualitatif yang membahas validitas yaitu

kepercayaan (trustworthiness), otentisitas (authenticity), dan kredibilitas

(credibility) (Creswell, 2017: 271).

Adapun strategi validitas atau uji kredibilitas data yang dilakukan oleh

penulis adalah triangulasi (triangulate). Triangulasi dilakukan ketika sumber data

atau informasi yang telah didapat oleh penulis kemudian diperiksa bukti-bukti yang

berasal dari sumber tersebut dan menggunakannya untuk membangun justifikasi

dan tema-tema yang dibangun berdasarkan sejumlah sumber data atau perspektif

dari partisipan, maka proses ini dapat menambah validitas dari suatu penelitian

(Creswell, 2017: 271).

42

3.8.2 Reliabilitas Data

Reliabilitas data penelitian kualitatif (qualitative reliability) menandakan

bahwa pendekatan yang digunakan oleh peneliti dapat dikatakan konsisten jika

diterapkan oleh peneliti lain (dan) untuk proyek yang berbeda. Reliabilitas

digunakan untuk menentukan apakah pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh

para peneliti kualitatif dapat diandalkan (yaitu, konsisten dan stabil) (Creswell,

2017: 269).

43

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Isu Papua Merdeka

Papua merupakan wilayah Indonesia yang berada di bagian timur yang

bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI melalui perjanjian

internasional yaitu Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 (Bhakti & Pigay,

2012: 1). Munculnya konflik yang terjadi di tanah Papua telah berlangsung sejak

lama, bermula ketika tanah Papua resmi menjadi wilayah jajahan Hindia Belanda

hingga zaman proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang berujung pada

konflik antara Belanda dan Indonesia atas Papua. Papua kembali menghadirkan

sengketa atas pengintegrasian tanah wilayah bekas jajahan Belanda dalam

kedaulatan Indonesia pada tahun 1963. Atas dasar pengintegrasian wilayah inilah

yang menjadi akar permasalahan konflik yang terus berkecamuk hingga saat ini

(Marit & Warami, 2018: 44).

Pada tanggal 1 Mei tahun 1963, Indonesia menjadi kekuatan kolonial yang

baru di Papua dan kekuasaan tersebut menghadirkan berbagai perubahan. Pertama,

dewan yang telah dibentuk oleh Papua dibubarkan. Kemudian, bendera nasional

Papua yang direncanakan akan digunakan sebagai bendera resmi nasional dilarang

berkibar serta dibakar. Ketiga, lagu yang disiapkan sebagai lagu kebangsaan Papua

juga dilarang oleh pemerintah Indonesia. Hal-hal apapun yang berkaitan dengan

perencanaan kemerdekaan Papua sangat dilarang oleh Indonesia maka dari itu

44

peristiwa ini merupakan latar belakang sejarah yang sangat melekat kuat di pikiran

masyarakat Papua sebagai kenangan yang pedih yang tidak mudah untuk dilupakan

begitu saja (Djafar, 2012: 103).

Kebijakan Indonesia adalah untuk mengintegrasikan Papua Barat secara

militer, politik, budaya dan sosial ke dalam bangsa Indonesia. Awalnya

berkonsentrasi pada perubahan dan konsolidasi struktur pemerintahan dan

pembentukan otoritasnya di provinsi baru. Tindakan pertama adalah

menghilangkan institusi demokrasi, yang dianggap sebagai institusi “kolonial”.

Untuk melegitimasi tindakan tersebut, Keputusan Presiden No. 8 dan No. 11 tahun

1963 diumumkan untuk menempatkan Papua Barat di bawah kendali politik,

melarang semua kegiatan politik, dan menyangkal hak serta kebebasan

(Muhammad, Mutiarin, & Tebay, 2013: 14).

Keputusan tersebut juga memberikan kekuatan tak terbatas kepada pasukan

keamanan untuk menghilangkan oposisi di masyarakat. Semua partai politik yang

terbentuk selama pemerintahan Belanda dihapuskan. Dalam konteks restrukturisasi

politik dan kontrol politik dan militer yang semakin ketat, perlawanan bersenjata

terhadap otoritas “asing” Indonesia pecah di Manokwari dan kota-kota lain di Papua

Barat, di bawah apa yang kemudian disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Munculnya dan masih adanya perlawanan militer terhadap Indonesia pasca

“reintegrasi” merupakan wujud dari nasionalisme Papua Barat, yang menimbulkan

masalah keamanan bagi otoritas Indonesia selama lima dekade (Muhammad,

Mutiarin, & Tebay, 2013: 14).

45

Berdasarkan wawancara yang telah penulis lakukan dengan Rosita Dewi

selaku peneliti bidang perkembangan politik internasional dari Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI), beliau menyatakan bahwa:

“Isu Papua merdeka ini merupakan isu yang terus bergulir ya, dengan

adanya permintaan merdeka dari beberapa kelompok yang pro merdeka lalu

kemudian kan ada transformasi gerakan pro Papua merdeka dari masa

integrasi sampai sekarang. Jadi, ketika dulu gerakannya itu masih terbatas

dengan gerakan bersenjata lewat OPM, TPNPB. Nah kalo sekarang setelah

reformasi, perjuangannya bertambah ada perjuangan damai. Perjuangan

yang mengambil jalur damai melalui Presidium Dewan Papua (PDP),

Kemudian ini mulai beralih lagi ketika banyak diaspora di luar negeri,

ketika itu perjuangannya menjadi perjuangan damai sampai ke diplomasi

luar negeri. Jadi prosesnya transform lagi ya, jadi tidak hanya terbatas di

dalam Papua dengan gerakan bersenjata dan perjuangan damai tapi juga

mulai di luar gitu gerakan-gerakannya, jadi dinamikanya itu yang kemudian

orang sering menyebutnya menginternasionalisasi isu papua” (Dewi, 2020).

Dalam pernyataannya beliau menyatakan bahwa isu Papua merdeka

merupakan isu yang masih terus berkembang bahkan sampai saat ini, proses

transformasi bentuk perjuangan Papua yang terjadi sejak masa integrasi hingga saat

ini kemudian disebut sebagai “internasionalisasi” isu Papua merdeka.

Internasionalisasi yang dimaksud memiliki arti yaitu, ketika gerakan perjuangan

yang dilakukan oleh masyarakat pro Papua merdeka telah sampai ke luar negeri.

Bentuk dari internasionalisasi isu Papua merdeka terlihat saat adanya

dukungan dari beberapa negara berdaulat khususnya di kawasan Pasifik Selatan,

salah satunya yaitu Vanuatu. Dalam beberapa kesempatan, Vanuatu secara terbuka

mendukung kemerdekaan Papua, dan dukungan tersebut terbilang aktif dan cukup

46

konsisten yang mana pada akhirnya hal tersebut mempengaruhi hubungan bilateral

antara Indonesia dan Vanuatu.

4.2 Hubungan Bilateral Indonesia dan Vanuatu

Perjalanan hubungan bilateral Indonesia dan Vanuatu mengarungi masa-

masa naik dan turun seiring dengan terjadinya beberapa pergantian pemerintahan

Vanuatu dan kebijakannya terhadap isu Papua. Terlepas dari perkembangan politik

dalam negeri Vanuatu yang sangat dinamis, Indonesia senantiasa berkomitmen

untuk meningkatkan hubungan dan kerja sama yang saling menguntungkan antara

kedua negara (Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra, 2015).

Komitmen kerja sama yang dilakukan Indonesia sesuai dengan landasan

konseptual yang digunakan oleh penulis berdasarkan pernyataan dari Cooper,

Heine, & Thakur hubungan bilateral didefinisikan sebagai fondasi dasar darri suatu

hubungan antar negara. Hal tersebut memiliki arti bahwa komitmen hubungan kerja

sama atau hubungan bilateral yang dilakukan Indonesia kepada Vanuatu bertujuan

untuk membangun hubungan kedua negara serta meningkatkan kelangsungan hidup

dan juga keamanan Indonesia. Hubungan ini juga mendorong pembentukan aliansi

demi membela kepentingannya nasional sendiri. Hal tersebut pada akhirnya

menjadikan hubungan bilateral tersebut menjadi hubungan yang strategis dan

menjadikan politik sebagai landasan hubungan antar bangsa (Cooper, Heine, &

Thakur, 2013: 204).

Indonesia dan Vanuatu menandatangani Development Cooperation

Agreement (DCA) yang ditandatangani oleh kedua menteri luar negeri negara

47

tersebut di Jakarta pada 20 Desember 2011. Perjanjian tersebut meliputi

perdagangan dan investasi, pertanian, keamanan, pendidikan, pariwisata,

transportasi dan kerjasama teknis. Perjanjian tersebut juga memuat prinsip

kesetaraan dan saling menghormati kedaulatan semua pihak. Selain itu, DPR RI

dan Vanuatu menandatangani nota kesepahaman penguatan kerja sama

antarparlemen di Jakarta pada 23 April 2015 (Kedutaan Besar Republik Indonesia

di Canberra, 2015).

Salah satu negara yang pertama kali mengakui dan mendukung

kemerdekaan Vanuatu ialah Indonesia. Pengakuan tersebut dinyatakan Indonesia

pada tahun 1980. Hubungan diplomatik resmi dibuka tahun 1995 dan perwakilan

diplomatik kemudian resmi dibuka pada tahun 1996 (perangkapan oleh KBRI

Canberra dan Watap Vanuatu di New York). Kedua belah pihak telah membuat

kemajuan yang baik dalam upaya meningkatkan hubungan bilateral di berbagai

bidang, terutama memanfaatkan momentum POLRI dengan Vanuatu Police Force

yang ditandatangani pada 24 April 2009 dan payung hukum kerjasama kedua

negara melalui Development Cooperation Agreement (DCA) pada tanggal 20

Desember 2011, yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Indonesia dan

Menteri Luar Negeri Vanuatu Alfred Carlot (Kedutaan Besar Republik Indonesia

di Canberra, 2021).

Hubungan antara Indonesia dan Vanuatu kerap mengalami pasang surut

dikarenakan sikap beberapa pihak elit Vanuatu yang mengedepankan pemihakan

terhadap gerakan separatisme di Indonesia, yang mana hal tersebut berdampak

kontraproduktif terhadap hubungan kedua negara tersebut. Gejolak politik dalam

48

negeri dan pergantian kepemimpinan pemerintahan Vanuatu juga seringkali

berdampak pada hubungan bilateral Indonesia-Vanuatu (Kedutaan Besar Republik

Indonesia di Canberra, 2021).

Dalam lima tahun terakhir hubungan bilateral kedua negara kerap kali

berjalan dengan buruk, Charlot Salwai diangkat menjadi perdana menteri pada

pemilihan umum Vanuatu tahun 2016. Salwai dengan terus terang menunjukkan

sikap tidak bersahabat kepada Indonesia dan ikut mencampuri urusan dalam negeri

Indonesia, kemudian secara aktif mengungkapkan tuntutan secara terbuka,

mendukung organisasi separatis Papua, memperjuangkan kemerdekaan Papua

dalam berbagai kesempatan, hingga menuduh Indonesia melanggar hak asasi

manusia orang Papua (Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra, 2021).

4.2.1 Tudingan Vanuatu kepada Indonesia terkait Pelanggaran HAM

di Papua

Dukungan yang diberikan Vanuatu kepada Papua telah terjadi cukup lama,

terhitung sejak tahun 2003 ketika masa pemerintahan Perdana Menteri Barak Sope

hingga saat ini. Vanuatu menggunakan forum internasional sebagai media untuk

menyampaikan keresahannya dan juga menuding Indonesia mengenai tindakan

pelanggaran HAM yang dilakukan kepada masyarakat Papua dan isu tersebut kerap

diangkat di forum internasional terutama MSG dan PBB (Zahidi, 2020: 66).

Vanuatu merupakan salah satu penggagas berdirinya MSG dan mempunyai

peranan yang cukup besar di dalam organisasi tersebut, mengingat bahwa isu

dekolonisasi adalah tujuan pendirian MSG, dan hasil referendum Bougainville

49

2019 dikombinasikan dengan hasil dalam referendum Kaledonia Baru 2018,

memastikan bahwa masalah penentuan nasib sendiri akan terus menjadi perhatian

organisasi tersebut, maka Vanuatu dapat dengan leluasa mengangkat isu

pelanggaran HAM di Papua (Blades, 2020: 24).

Selain MSG, Vanuatu beberapa kali membawa isu Papua di Sidang Umum

PBB dan secara terbuka menuding Indonesia terkait pelanggaran HAM di Papua

dan menyerukan tindakan internasional dihadapan para pemimpin negara-negara

anggota PBB. Dalam forum tersebut, Vanuatu mengeluarkan pernyataan untuk

menunjuk perwakilan khusus untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi

manusia di Papua Barat dan status politiknya sehubungan dengan kontroversi

seputar pemerintahan yang didirikan pada 1960-an (United Nations, 2013).

Sebagai negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi, pemerintahan

yang baik, hak asasi manusia, akuntabilitas dan supremasi hukum yang diabadikan

dalam Piagam PBB. Di era teknologi yang canggih seperti ini, sebuah kejadian

tidak ada yang bisa lepas dari perhatian masyarakat sipil dan pemerintah, Vanuatu

menghimbau setiap anggota PBB untuk berhenti bersikap tidak acuh terhadap apa

yang terjadi kepada masyarakat Papua. Berikut adalah statement yang diberikan

oleh Perdana Menteri Vanuatu, Moana Jacques Kalosil Carcasses di Sidang Umum

PBB ke-68 (United Nations, 2013).

“I ask how then can we ignore the hundreds of thousands of West Papuans

who have been brutally beaten and murdered? The people of West Papua

are looking to the United Nations as a beacon of hope.”

50

4.2.2 Bantahan Indonesia terhadap tudingan Vanuatu

Selama bertahun-tahun, Vanuatu telah mencoba “menjual” gagasan bahwa

ada pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Tuduhan Vanuatu bahwa Indonesia

melakukan pelanggaran hak asasi manusia nampaknya membuat Indonesia geram,

menanggapi tuduhan dari Vanuatu, perwakilan dari Indonesia menyatakan bahwa

deklarasi yang dilontarkan oleh Vanuatu tersebut melanggar prinsip-prinsip piagam

PBB. Fakta bahwa status Papua sebagai bagian dari Indonesia telah disahkan oleh

PBB 50 tahun yang lalu, komentar Vanuatu mengenai Papua dianggap tidak

menghormati keputusan PBB (United Nations, 2018).

Berdasarkan wawancara yang telah penulis lakukan dengan Harditya

Suryawanto, selaku Fungsional Diplomat Muda Direktorat Keamanan Internasional

dan Perlucutan Senjata (KIPS), Kementerian Luar Negeri Indonesia. Beliau

menyatakan bahwa:

“...tapi seperti yang saya bilang bahwa setiap negara di sidang umum kan

mempunyai hak berbicara ya jadi kita juga tidak bisa mengontrol negara apa

mau ngomong apa. Tapi di sidang umum PBB tuh kita punya hak untuk

menjawab dan itu selalu kita lakukan, selalu kita gunakan untuk menjawab

tudingan-tudingan di PBB.” (Suryawanto, 2020).

Mengacu pada informasi yang penulis dapatkan dari wawancara dengan

Harditya diatas, Right of reply atau hak untuk menjawab merupakan sebuah aturan

prosedur pada sidang umum persatuan bangsa-bangsa. Hak ini umumnya

digunakan untuk menjawab pertanyaan atau kritik yang dilontarkan oleh suatu

negara, hak ini dimiliki oleh setiap negara di sidang umum tersebut tanpa

memandang negara tersebut termasuk ke dalam kategori negara besar ataupun

51

negara kecil. Right of reply inilah yang selalu dipakai oleh Indonesia untuk

menjawab setiap tudingan yang dilontarkan oleh Vanuatu.

Menanggapi tudingan yang dilontarkan oleh Vanuatu, Indonesia

mengirimkan diplomat sebagai perwakilan negara pada forum sidang umum PBB.

Pada sidang umm PBB tahun 2020, diplomat Silvany Austin Pasaribu menyanggah

tudingan Vanuatu dengan menyatakan bahwa Indonesia akan membela diri dari

segala advokasi separatisme yang disampaikan dengan kedok kepedulian terhadap

hak asasi manusia yang artifisial (CNN, 2020).

Selain itu, Indonesia juga berusaha membenarkan informasi dan opini yang

telah dibentuk Vanuatu di beberapa forum internasional, yaitu melalui berbagai

publikasi media milik negara dan swasta, termasuk publikasi laporan tentang situasi

sebenarnya di Papua yang berjudul “No Genocide in West Papua” Pada tahun

2016. Indonesia juga mengembangkan narasi melalui Festival Budaya Melanesia

dan pembentukan Melanesian Brotherhood, bahwa ras Melanesia di Indonesia

bukan hanya terdiri dari orang Papua saja, melainkan juga orang-orang dari Maluku

dan Nusa Tenggara Timur (NTT) (Sabir, 2018: 102).

Pernyataan lainnya juga dinyatakan oleh Harditya sebagai berikut:

“...karena kita sudah terbiasa ya menanganinya satu sudah tau isunya, sudah

tau eee...kira-kira narasi apa yang akan disampaikan oleh Vanuatu jadi

sebenarnya eee.. kita sudah bisa menjawabnya dengan mudah. narasi yang

sudah kita sampaikan yaa akan sama gitu, jadi sudah sering kita jawab,

artinya tetap ditangani tapi narasinya juga tidak berbeda jauh karena

jawabannya akan tetap sama” (Suryawanto, 2020).

52

Pada setiap sidang umum yang Vanuatu hadiri, isu yang diangkat selalu

sama yaitu persoalan Papua, hal tersebut membuat perwakilan dari Indonesia sudah

terbiasa dalam menyampaikan respons yang akan diberikan kepada Vanuatu.

Narasi yang disampaikan oleh perwakilan Indonesia selalu sama karena

permasalahan yang diangkat Vanuatu juga cenderung sama setiap tahunnya.

Delegasi Indonesia juga menekankan bahwa Indonesia sebagai negara yang

berdaulat telah berkomitmen mempromosikan dan melindungi hak seluruh rakyat

Indonesia, termasuk masyarakat Papua dan meminta agar semua negara untuk

menghormati “kedaulatan dan integritas teritorial” serta mendesak untuk tidak

mencampuri persoalan domestik negara lain dengan mendukung kemerdekaan

Papua (Hasan, 2019).

4.3 Dukungan Vanuatu Terhadap Isu Papua Merdeka

Vanuatu adalah sebuah negara di sub-region Melanesia di Pasifik Selatan.

Awalnya, kepulauan itu bernama New Hebryden dan berubah nama menjadi

Vanuatu setelah memperoleh kemerdekaan pada 30 Juli 1980. Secara geografis,

Vanuatu merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah yang jauh lebih kecil

dari pulau Ambon. Sejak Vanuatu merdeka dari hibrida kolonial Inggris dan

Prancis, sikap Vanuatu selalu responsif dan radikal dalam mendukung wilayah

Melanesia yang belum merdeka, salah satunya ialah Papua (Temaluru, 2016: 573).

Terdapat beberapa faktor yang mendorong terbentuknya kebijakan luar

negeri Vanuatu yang secara agresif mendukung kemerdekaan “West Papua”,

yakni:

53

1. Politik Domestik

a. Isu politik identitas, yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas etnis

Melanesia, adalah komoditi politik domestik Vanuatu yang sering

digunakan untuk memperoleh dukungan publik, baik dari khalayak luas,

Gereja dan LSM.

b. Tuduhan beberapa elit politik di Vanuatu, tentang pelanggaran HAM dan

genosida oleh aparat RI di “West Papua”, digulirkan untuk menyulut

sentimen sesama etnis Melanesia, ditambah eksploitasi kesamaan agama.

c. Bapak Bangsa Vanuatu, Walter Lini, menyatakan saat proklamasi

kemerdekaan Vanuatu tahun 1980 bahwa “Vanuatu will not be fully free

until all Melanesians are free.”

d. Dengan demikian, elit politik Vanuatu “berlomba-lomba” meraih suara

melalui politik identias ini, termasuk etno-religius tersebut. Begitu

populis-nya isu politik identitas ini, sehingga bisa mengesampingkan isu-

isu domestik yang lebih penting, seperti pendidikan, kesehatan, HAM,

ketahanan pangan, penanganan dampak perubahan iklim dll.

2. Dinamika Regional

a. Diantara negara-negara Pasifik, terdapat beberapa negara kunci yang

seringkali memainkan pengaruhnya untuk mendorong agenda regional &

global antara lain Fiji (agenda perubahan iklim/UNFCCC-COP), Papua

Nugini (agenda integrasi ekonomi/APEC, PACER Plus) dan secara

tradisional Australia dan Selandia Baru selaku kekuatan utama kawasan.

54

b. Sejalan dengan dinamika politik dalam negerinya, Vanuatu melirik ceruk

isu Dekolonisasi. Dalam upaya meng-internasionalisasi isu “West Papua”

di Indonesia, dan “Kanaky” di Kaledonia Baru, Vanuatu berupaya

mengkapitalisasi- nya melalui forum C4 PBB serta ACP (Africa-

Caribbean-and the Pacific).

3. Geostrategis

a. Kawasan Indo-Pasifik saat ini merupakan area perebutan pengaruh antara

Barat (Australia, Selandia Baru, AS, Perancis & Taiwan) dan RRT. Kedua

kubu memainkan strategi politik dan ekonomi dengan merangkul negara-

negara Pasifik melalui berbagai bantuan dana, kerja sama pembangunan

dan berbagai insentif/fasilitasi.

b. Vanuatu tidak lepas dari tarik menarik kepentingan kekuatan global,

dimana RRT tengah membangun pelabuhan laut dalam di Luganville

senilai US$ 114 juta (sedalam 20 meter lebih, dan mampu untuk sandar

kapal-kapal besar). Proyek ini dicurigai oleh Australia dan AS sebagai

awal kehadiran militer RRT di Pasifik (Pramono, 2021).

Berdasarkan kebijakan luar negeri yang dimiliki oleh Vanuatu, kantor

perwakilan rakyat Papua Barat terdapat di Vanuatu dan dijalankan oleh Dr. John

Andovam, kemudian pemerintah Vanuatu berjanji untuk mempromosikan identitas

etnis Melanesia dan hak-hak dasarnya di kawasan Asia-Pasifik, khususnya untuk

Papua Barat. pemerintah Vanuatu juga mendorong dibukanya kasus-kasus

55

ketidakadilan yang selama ini terjadi di Papua, serta memperjuangkan

kesejahteraan sosial bagi masyarakat Papua (Elisabeth, 2006).

Kebijakan luar negeri tersebut dikenal dengan sebutan “Wantok Bilong

Yumi Bill”. Pada Juni 2010 dengan suara bulat, parlemen nasional Vanuatu

mengesahkan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk mendukung

kemerdekaan Papua Barat. RUU ini digagas oleh pendiri Vanuatu dan partai

Vanua’aku Pati serta Perdana Menteri pertama Vanuatu yaitu Walter Lini yang

pernah menyampaikan pernyataan bahwa “Vanuatu is not totally free until other

colonized people in the region are politically freed” PM Lini menganggap rakyat

Papua sebagai salah satu “other colonized people”.

Undang-undang tersebut merupakan salah satu wujud resmi dukungan

Vanuatu terhadap kelompok separatis Papua yang kemudian dijadikan sebagai

acuan politik oleh berbagai partai, termasuk VP dan partainya PM Salwai yakni

Reunification Movement for Change (RMC) (Kedutaan Besar Republik Indonesia

di Canberra, 2021). Berikut adalah isi dari undang-undang tersebut:

1. Sponsor and pass a motion in national Parliament officially

declaring that Vanuatu’s foreign policy is to support the

achievement of the independence of West Papua;

2. Sponsor a resolution at the 2010 Melanesian Spearhead Group’s

Leaders Summit that the independence movement in West Papua be

given Observer Status at the MSG;

3. Sponsor a resolution at the 2010 Pacific Island Forum Leader

Summit that the independence movement in West Papua be given

Observer Status at the Forum;

4. Sponsor resolutions to the Melanesian Spearhead Group’s

Leaders Summit, the Pacific Islands Forum Leader Summit and the

United Nations calling for fact-finding missions be sent by each of

56

these bodies to West Papua to investigate alleged violations of the

human rights of it’s Melanesian populations;

5. Become the official state sponsor of the case of West Papua in the

International Court of Justice seeking a judgment on the legality of

the 1969 “Act of Free Choice”;

6. Sponsor a resolution in the United Nations to put West Papua

back on the United Nations’ list of Non-Self-Governing Territories;

7. Create a West Papua Desk in the Department of Foreign Affairs

with a budget sufficient to facilitate the Government’s international

advocacy efforts in support of West Papua’s independence;

8. Ratify the United Nations Convention Relating to the Status of

Refugees, to provide Vanuatu with an avenue for additional support

to the people of West Papua (West Papua National Coalition for

Liberation, 2010).

Dalam sambutannya menanggapi dukungan bipartisan untuk mosi tersebut,

Perdana Menteri Hon Edward Natape MP berjanji akan mensponsori isu Papua

Barat untuk pertemuan di MSG (Melanesian Spearhead Group) dan PIF (Pasific

Island Forum). Beliau akan mengusulkan agar gerakan kemerdekaan Papua Barat

diberikan status observer di dalam dua organisasi regional ini. Perdana Menteri

Vanuatu juga menyatakan bahwa pemerintahannya akan melanjutkan untuk

mengajukan Papua Barat untuk didaftarkan kembali ke Komite Dekolonisasi PBB

agar wilayah tersebut diberikan proses dekolonisasi yang semestinya (West Papua

National Coalition for Liberation, 2010).

Perwakilan dari West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL)

yang sekarang telah berganti nama menjadi United Liberation Movement for West

Papua (ULMWP), John Otto Ondawame dan Andy Ayamiseba menyatakan rasa

terima kasihnya kepada pemerintah, partai oposisi, dan rakyat Vanuatu atas upaya

57

yang sangat bersejarah dalam masalah ini yaitu menyuarakan kebijakan luar negeri

yang jelas dari pemerintah Vanuatu dalam mendukung kemerdekaan Papua Barat.

Ondawame dan Ayamiseba juga mengucapkan rasa terima kasih khusus kepada

semua anggota Vanuatu Free West Papua Association atas dukungan tanpa henti

mereka dalam tujuh tahun terakhir untuk mendesak Pemerintah Vanuatu

menyatakan kebijakan luar negerinya yang jelas tentang kemerdekaan Papua Barat,

yang diakhiri dengan sukses dalam sidang Extra Ordinary Parliamentary pada 19

Juni 2010 di Port Vila (West Papua National Coalition for Liberation, 2010).

Kedekatan letak geografis dan persamaan etnis yang dimiliki masyarakat

Papua dan Vanuatu yaitu ras melanesia menjadi alasan dari keberanian Vanuatu

memberikan dukungan nyata terhadap Papua. Usaha Vanuatu memberikan

dukungan penuh kepada Papua untuk merdeka dari Indonesia didasari oleh dua

kepentingan. Pertama, dukungan Vanuatu terhadap kemerdekaan Papua merupakan

bentuk aliansi etnis antar etnis Melanesia. Persamaan etnis pada Vanuatu dan orang

Papua menimbulkan keterikatan emosi di antara keduanya, terutama ketika

Vanuatu mengetahui terjadinya kekerasan HAM yang dialami oleh masyarakat di

Papua (Putra, Legionosuko, & Madjid, 2019: 38).

Kemudian poin kedua yaitu, terkait dengan ambisi Vanuatu untuk menjadi

pemimpin di regional negara-negara melanesia dengan upaya mendukung

kemerdekaan Papua. Keinginan menjadi pemimpin regional merupakan eksistensi

domestik politik Vanuatu. Kelanjutan dari domensi politik Vanuatu merupakan

usaha untuk menegakkan Melanesia Renaissance (Putra, Legionosuko, & Madjid,

2019: 38).

58

Dukungan Vanuatu terhadap kemerdekaan Papua terlihat sejak tahun 2003

ketika masa pemerintahan Perdana Menteri Barak Sope. Yang mana pada saat itu

Vanuatu menjadi penyelenggara dari acara gerakan kemerdekaan Papua di Port

Vila. Agenda politik yang dilaksanakan Vanuatu untuk mendukung kemerdekaan

Papua terjadi dalam beberapa cakupan, mulai dari kelompok seperti United

Liberalization Movement for West Papua (ULMWP) dan organisasi regional seperti

Melanesian Spearhead Group (MSG) hingga forum internasional seperti

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (Zahidi, 2020: 66).

4.3.1 Dukungan Vanuatu di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Republik Vanuatu bergabung dengan PBB pada tahun 1981. Negara

kepulauan dengan populasi penduduk sebesar 270 ribu jiwa itu nyatanya tidak

hanya sekali membawa isu dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah

Indonesia di Papua dalam forum internasional seperti PBB. Vanuatu mulai

membawa isu Papua merdeka pada sidang tinggi HAM PBB pertama kali pada

tahun 2014, dan kemudian berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Dukungan terkini

mengenai isu Papua merdeka kembali diangkat oleh Vanuatu pada United Nations

General Assembly (UNGA) ke-75 pada tahun 2020 (Mardiyah, 2020).

Pada tanggal 4 Maret 2014, Perdana Menteri Vanuatu Moana Carcasses

Katokai Kalosil menyerukan suaranya kepada publik internasional di hadapan

Sidang Tingkat Tinggi HAM PBB ke-25 untuk mendukung kemerdekaan rakyat

Papua. Masyarakat negara- negara di Pasifik yang mempunyai etnis serupa dengan

Papua yaitu ras Melanesia, meyakini bahwa rakyat Papua selama hampir 50 tahun

59

telah ditindas oleh Indonesia, adanya ketimpangan di mana wilayah barat lebih

sejahtera dibandingkan wilayah timur, serta wacana kemerdekaan Papua yang

selalu dianggap makar oleh Indonesia (Hanggoro & Mohamad, 2015).

Moana Carcasses menyatakan bahwa ia sebagai Perdana Menteri dari

Vanuatu merasa sangat prihatin dengan sikap masyarakat internasional yang

mengabaikan suara rakyat Papua. Yang hak asasi manusianya telah diinjak-injak

dan ditindas dengan parah oleh Indonesia sejak tahun 1969 (Gunadha & Firdaus,

2020).

Pada pertemuan Sidang Dewan HAM ke-32 yang diselenggarakan di

Janewa pada Juni tahun 2016, Vanuatu bersama lima negara Pasifik lainnya juga

mengangkat persoalan yang serupa. Mereka menggunakan kesempatan berpidato

di Majelis PBB untuk mendesak RI memberikan Papua untuk menentukan nasib

mereka, bahkan mendesak PBB untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di

Papua (CNN, 2019).

Kemudian pada tahun berikutnya, Vanuatu tetap menyinggung isu yang

serupa pada acara Sidang Umum PBB ke-72 yang diadakan pada tahun 2017.

Menteri Kehakiman dan Pembangunan Masyarakat Vanuatu menyatakan

tuduhannya terhadap Indonesia mengenai pelanggaran HAM di Papua Barat dan

tujuh negara pulau di Pasifik menyerukan penyelidikan Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) atas dugaan-dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Provinsi

Papua dan Papua Barat, di mana gerakan separatis telah berlangsung selama

puluhan tahun di daerah tersebut. Desakan disampaikan lewat pernyataan dalam

60

sidang Dewan HAM PBB di Geneva, Swiss, yang dibacakan atas nama tujuh negara

oleh Menteri Kehakiman Vanuatu, Ronald Warsal (Kompas, 2017).

Pada Sidang ke-74 Majelis Umum PBB tahun 2019, Perdana Menteri

Vanuatu Charlot Salwai Tabimasmas dalam pidatonya di hadapan 193 negara

anggota PBB menyampaikan pelanggaran HAM terjadi di Papua. Charlot juga

mendesak pemerintah Indonesia untuk merespons dan tidak menghiraukan

permintaan dari masyarakat Papua, termasuk keinginan mereka untuk menentukan

nasib sendiri. Dalam pidatonya, Vanuatu tidak hanya menuntut pemerintah

Indonesia, tetapi juga meminta PBB dan Komisi HAM Tinggi PBB (OHCHR)

untuk segera bertindak mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua

(Syafirdi, 2019).

Pada tahun yang sama, Vanuatu meminta bertemu dengan Komisioner

Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet untuk sesi Universal Periodic

Review (UPR) di markas PBB di Jenewa, Swiss. Namun, diketahui bahwa Vanuatu

membawa Benny Wenda secara diam-diam untuk masuk ke dalam kelompok

delegasi Vanuatu. Saat Vanuatu mendapat giliran untuk memaparkan

penyelenggaraan HAM di negaranya, terselip Benny Wenda yang muncul

memaparkan visi kemerdekaan Papua Barat dan mengklaim telah mengantungi 1,8

juta petisi yang mendorong PBB referendum Papua Barat (CNN, 2019).

Dalam Sidang Umum Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-75

tahun 2020, Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman kembali menuduh Indonesia

melakukan pelanggaran HAM di Papua. Beliau menyatakan bahwa dugaan

pelanggaran HAM di Papua menjadi perhatian khusus negara-negara Pasifik yang

61

menyeru agar Indonesia mengizinkan Dewan HAM PBB mengunjungi Papua.

Namun, Loughman menyatakan bahwa seruan tersebut tidak mendapatkan respon

dari pemerintah Indonesia (CNN, 2020).

Hampir setiap tahun dalam Sidang Umum PBB, Vanuatu kerap kali

menyinggung dan menuding Indonesia terkait isu dugaan pelanggaran HAM Papua,

hal tersebut tentunya membuat Indonesia geram dan menganggap Vanuatu sebagai

negara pendukung gerakan separatisme. Hal ini disampaikan pula oleh Harditya,

selaku Fungsional Diplomat Muda Direktorat Keamanan Internasional dan

Perlucutan Senjata (KIPS), Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam sebuah

pernyataan hasil wawancara:

“Sebenernya diangkatnyaa isu Papua oleh Vanuatu ini sudah terjadi

beberapa tahun terakhir yaa, mungkin sekitar lima tahun atau enam tahun

terakhir. Tudingannya kan nomor satu itu pasti pelanggaran HAM, yang

kedua masyarakat Papua itu miskin, atau tidak berkembang, terjadi

ketidakadilan. Narasi yang disampaikan Vanuatu juga sering kali

mengangkat mengenai masalah ketidaksahan Papua bergabung dengan

Indonesia.” (Suryawanto, 2020).

Selain Vanuatu, terdapat beberapa negara lain di kawasan Pasifik Selatan

yang mulai turut serta mengangkat isu yang sama dan hal tersebut menjadi sebuah

situasi yang tidak bisa dihindari oleh Indonesia, bahwasanya setiap negara yang

berada di sidang umum PBB mempunyai hak untuk berbicara dan juga menjawab

dan hak tersebut berlaku untuk negara kecil maupun negara besar. Oleh karena itu,

hak tersebut selalu digunakan Indonesia untuk membela diri dengan menangkis

semua tudingan-tudingan yang dilayangkan oleh Vanuatu di setiap sidang umum

PBB.

62

Lebih lanjut, Harditya juga menjelaskan bahwa isu Papua merdeka yang

selalu diangkat oleh Vanuatu pada forum PBB merupakan cara negara tersebut

untuk menarik perhatian dari masyarakat internasional guna mencapai tujuannya.

“Mereka mencoba menarik perhatian masyarakat internasional dan mereka

berharap dengan membawa isu ini ke forum PBB, maka isu ini akan

mendapatkan perhatian disana. Mendapatkan perhatian gimana caranya?

Caranya ya masuk list issues lah, jadi list issues dan dibahas, dibikin komite,

dibikin prosedural, jadi masalah ini akan dibahas. Tapi yang diinginkan

Vanuatu sebenernya tidak tercapai, jadi setiap dia ngomongin Papua kita

bantah lalu selesai, jadi cuma debat kusir aja karena di PBB akhirnya tidak

ada proses, tidak di follow up isunya. Pertama, karena satu memang Papua

sudah menjadi bagian dari Indonesia dan yang kedua masalah Papua itu

masalah internal di Indonesia. Jadi di forum PBB itu kan prinsipnya

menghormati kedaulatan ya jadi saya yakin bahwa tujuan Vanuatu adalah

ingin menginternasionalisasi masalah Papua yang agak susah sebenarnya ya

dan sulit di PBB, karena ya itu tadi penghormatan kedaulatan, lalu yang

kedua kita sudah jelaskan bahwa masalah Papua adalah masalah internal

dalam negeri Indonesia dan Indonesia sudah melakukan banyak hal

mengenai Papua.” (Suryawanto, 2020).

Menurut Harditya, adanya prinsip PBB yang menghormati kedaulatan

setiap negara membuat Vanuatu tidak mendapatkan apa yang diinginkan karena

setiap isu yang diangkat oleh Vanuatu pada akhirnya dijawab oleh Indonesia

dengan bantahan dan berakhir menjadi debat kusir saja sehingga isu yang diangkat

oleh Vanuatu tidak diproses dan difollow-up lebih lanjut oleh PBB karena adanya

prinsip tersebut.

4.3.2 Dukungan Vanuatu di Melanesian Spearhead Group (MSG)

Melanesian Spearhead Group (MSG) merupakan sebuah organisasi

regional yang dibentuk pada pertemuan informal yang diadakan di Goroka, Papua

63

Nugini pada tanggal 17 Juli 1986 yang dihadiri oleh Perdana Menteri Papua Nugini,

Kepulauan Solomon dan Vanuatu serta perwakilan dari Front de Liberational

Nationale Kanak et Solcialiste (FLNKS) Kaledonia Baru. Pertemuan tersebut

mengikuti visi para pemimpin dan didukung oleh kemauan politik bersama yang

kuat untuk mendekolonisasi dan meliberalisasi negara-negara Melanesia dan

wilayah yang masih berada di bawah kekuasaan kolonial di Pasifik Selatan (MSG,

n.d.).

Vanuatu yang baru merdeka pada 30 Juli 1980 termasuk salah satu negara

yang mendorong solidaritas sesama Ujung Tombak Melanesia (Melanesian

Spearhead Group) dimotori oleh mantan Perdana Menteri Vanuatu Walter Lini.

Mantan Perdana Menteri Vanuatu inilah yang mensponsori berdirinya Ujung

Tombak Melanesia (Melanesia Spearhead Group) pada Maret 1988 di Port Villa.

Hal ini menunjukkan bahwa Vanuatu yang menjadi ujung tombak dari Melanesian

Spearhead Group, yang mana mempunyai peran yang besar dalam menegakkan

Melanesian Way di kawasan Melanesia (Temaluru, 2016: 581).

Gambar 3 Logo MSG

64

Di dalam wilayah Kepulauan Pasifik, dan di dalam MSG itu sendiri,

perjuangan West Papua sebelumnya mendapatkan dukungan terkuatnya di

Vanuatu. Di sinilah pemimpin kemerdekaan dan perdana menteri pertama, Walter

Lini, mengucapkan frasa yang sering dikutip: “Vanuatu tidak akan sepenuhnya

bebas sampai semua orang Melanesia bebas” frasa ini telah diulang dalam wacana

yang berkaitan dengan penyebab Kanak dan Papua Barat sejak saat itu. Pada

kenyataannya, Vanuatu menjadi satu-satunya negara Melanesia yang menunjukkan

simpati terhadap perjuangan Papua Barat hingga saat itu. Dia mencatat bahwa, pada

tahun 2005, juru bicara West Papua (dan penduduk Vanuatu) John Otto Ondawame

telah dimasukkan sebagai anggota delegasi Vanuatu ke pertemuan MSG di Papua

Nugini (PNG), meskipun dia diminta oleh perdana menteri PNG, Michael Somare,

untuk pergi (Lawson, 2016: 516).

Aktivis Papua Barat juga ditolak izin untuk mengajukan petisi pada

pertemuan itu. Pada waktu yang hampir bersamaan, duta besar Indonesia untuk

Vanuatu dilaporkan menyarankan agar Indonesia, karena memiliki populasi

Melanesia yang lebih besar daripada gabungan semua negara MSG, harus menjadi

anggota MSG. Pada bulan Juni 2010, dengan suara bulat, parlemen nasional

Vanuatu mengesahkan RUU Wantok Bilong Yumi untuk mendukung kemerdekaan

Papua Barat dan terus berkomitmen Vanuatu untuk mendorong status pengamat

untuk Papua Barat di MSG (Lawson, 2016: 517).

Vanuatu kembali memberikan dukungan nyata terhadap Papua dan

memboikot misi Melanesian Spearhead Group (MSG) ke Indonesia pada tanggal

16 Januari 2014. Republik Vanuatu melalui utusan khususnya dan selaku Menteri

65

Luar Negeri, Edward Natapé, menyatakan bahwa jika ia memiliki kesempatan

untuk bertemu dengan kelompok-kelompok lokal, kelompok pro-kemerdekaan,

pemimpin gereja dan kelompok lainnya, ia bersedia menjadi utusan khusus untuk

MSG. Natape menyatakan bahwa Vanuatu memiliki kepedulian yang sama

mengenai hak asasi manusia dan kekerasan yang terjadi di Papua (Putra,

Legionosuko, & Madjid, 2019: 38).

MSG juga telah memperkenalkan berbagai metode untuk membebaskan

Papua Barat, mulai dari menawarkan posisi di MSG untuk ULMWP (United

Liberation Movement for West Papua) hingga tuduhan pelanggaran hak asasi

manusia di Papua yang dinyatakan oleh negara-negara anggota MSG (Fadhilah,

2019: 60).

4.3.3 Dukungan Vanuatu terhadap United Liberalization Movement for

West Papua (ULMWP)

Pada tanggal 7 Desember 2014, pertemuan bersejarah para pemimpin Papua

Barat di Vanuatu menghasilkan keputusan untuk membentuk suatu badan baru

yaitu kelompok gerakan kemerdekaan Papua Barat yang mana akan bersatu di

bawah satu organisasi payung yang disebut United Liberalization Movement for

West Papua (ULMWP), dan memilih Benny Wenda sebagai Ketua dan Jacob

Rumbiak sebagai Juru Bicara (ULMWP, n.d.).

66

Gambar 4 Logo ULMWP

Berdirinya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)

menunjukkan semakin terkonsolidasinya perlawanan kelompok separatis Papua

dan kelompok ini yang berperan dalam menyatukan faksi-faksi perjuangan OPM

antara kelompok bersenjata dan faksi politik. Keberadaan ULMWP bertujuan untuk

lebih mengkoordinasikan upaya pembebasan Papua untuk mendapatkan dukungan

politik dari dunia internasional. ULMWP dideklarasikan di Port Vila, Republik

Vanuatu pada 7 Desember 2014, yang mempunyai tugas utama yaitu

memperjuangkan kemerdekaan Papua (Free West Papua Movement) dan

melakukan lobi politik guna mendapatkan dukungan dari berbagai negara, terutama

di kawasan Pasifik Selatan (Sabir, 2018: 94).

Hubungan antara Vanuatu dan ULMWP merupakan apa yang disebut

sebagai simbiosis mutualisme. Keduanya sama-sama diuntungkan dengan adanya

kerja sama yang dituangkan dalam konspirasi antara pemerintah, politisi parpol,

dan parlemen Vanuatu dengan para aktivis ULMWP yang mengatur kemenangan

politik dalam meraup dana. Artinya, shared profits diterima oleh kedua pihak yang

mana keuntungan dana tersebut tidak hanya dinikmati oleh pihak dari Vanuatu saja,

akan tetapi juga oleh pihak ULMWP. Apabila perjuangan yang diserukan untuk

67

Papua merdeka terus dilakukan secara besar-besaran, maka Vanuatu semakin

diuntungkan dan keuntungan tersebut digunakan untuk kepentingan kekuasaan

negaranya (Helmy, 2019: 25).

Keuntungan “uang” (pitfall) yang didapat ULMWP dimanfaatkan untuk

mendanai pergerakannya dengan terus menggaungkan isu Papua. Sejumlah dana

hasil “jualan” isu Papua ini di-“parkir” dalam bentuk portofolio di luar negeri

dengan kepemilikan pihak ketiga atas nama ULMWP sementara sisanya berbentuk

kepemilikan aset negara oleh pemerintah Vanuatu. Kelompok ini membentuk

multi-level propaganda melalui pembentukan dan perluasan wadah perjuangan

ULMWP di berbagai negara untuk mendapatkan dukungan dan pengakuan dari

pemerintah maupun politisi setempat. Hal ini membuat jargon “Papua Merdeka

Harga Mati” tidak akan pernah mati atau berhenti diperjuangkan oleh ULMWP

karena disokong (backed-up) dengan kepentingan Vanuatu yang giat

memperjuangkan kemerdekaan Papua demi mewujudkan ideologinya (Helmy,

2019: 25).

4.4 Diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu terkait Isu Papua

Merdeka

Setelah penulis menjelaskan sedikit mengenai isu Papua merdeka serta

hubungan bilateral dan bentuk dukungan Vanuatu dalam mendukung kemerdekaan

Papua pada sub-sub bab sebelumnya, selanjutnya penulis akan menjelaskan inti dari

bab ini yaitu penulis akan menjabarkan serta menganalisis apa saja bentuk-bentuk

68

diplomasi yang dilakukan Indonesia terhadap Vanuatu yang bertujuan untuk

meredam dukungan Vanuatu terhadap kemerdekaan Papua.

Dikarenakan semakin aktifnya Vanuatu dalam berbagai forum-forum

internasional dan semakin terinternasionalisasinya isu separatisme, Indonesia

kemudian mulai mengambil langkah dengan melakukan pendekatan terhadap

Vanuatu, dan cara yang ditempuh oleh Indonesia salah satunya yaitu melalui

diplomasi. Mengingat bahwa semakin renggangnya hubungan kedua negara ini,

maka memperbaiki ikatan bilateral melalui beberapa pendekatan diplomasi

merupakan cara yang tepat untuk dilakukan dengan memanfaatkan beberapa

instrumen kerja sama (Sabir, 2018: 97).

Namun pendekatan Indonesia kepada Vanuatu tidak pernah dilakukan

secara khusus seperti berdialog langsung dengan Vanuatu dan membahas mengenai

isu Papua. Hal tersebut dinyatakan oleh Dr. Siswo Pramono selaku Kepala Badan

Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri

Indonesia, dalam sebuah wawancara tidak langsung yang dilakukan penulis. Beliau

menyatakan:

“Indonesia tidak pernah secara khusus melakukan pendekatan dengan

Vanuatu untuk berdialog mengenai isu Papua. Isu Papua adalah masalah

dalam negeri Indonesia, jadi tidak perlu dibicarakan dengan Vanuatu, atau

negara manapun. Indonesia tidak menghendaki adanya “internasionalisasi”

masalah Papua.” (Pramono, 2021).

Indonesia dan Vanuatu belum bertemu secara khusus dan melakukan dialog

mengenai permasalahan isu Papua karena bagi Indonesia permasalahan Papua

merupakan urusan domestik yang tidak perlu didiskusikan dengan negara manapun,

69

termasuk Vanuatu. Namun, Indonesia tetap memilih untuk melakukan diplomasi

kepada Vanuatu guna meredam dukungan negara tersebut kepada Papua dan juga

diplomasi dilakukan sebagai bentuk penyampaian informasi mengenai posisi

Indonesia.

Langkah Indonesia menempuh diplomasi sebagai solusi dari permasalahan

ini sejalan dengan teori diplomasi yang dinyatakan oleh Adam Watson, beliau

menyatakan bahwa negara tidak dapat hanya berperan dalam ruang hampa yang

terisolasi dan hanya mempertimbangkan bagaimana mengelola urusan dalam

negeri. Untuk mengendalikan nasibnya sendiri semaksimal mungkin, setiap negara

memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan kepentingan negara lain dan

warganya yang melanggar kepentingannya, tidak peduli apa yang dianggap sejalan

dengan kepentingan tersebut (Watson, 2005: 1).

Hal tersebut memiliki arti bahwa Indonesia melakukan diplomasi terhadap

Vanuatu karena Vanuatu dianggap telah mengusik kepentingan dan kedaulatan

Indonesia dengan tindakannya yang secara konsisten mendukung kemerdekaan

Papua dan mengangkat isu tersebut hingga ke forum internasional serta menuding

Inodnesia melakukan pelanggaran HAM berat kepada masyarakat Papua. Oleh

karena itu, untuk mengendalikan nasibnya semaksimal mungkin, Indonesia

melakukan beberapa upaya diplomasi dan pendekatan bilateral terhadap Vanuatu.

Hubungan bilateral dimiliki antara Indonesia dan Vanuatu rupanya berjalan

kurang baik, hal tersebut secara tidak langsung juga berdampak pada kerja sama

antar kedua negara terutama kerja sama dalam sektor ekonomi. Volume

perdagangan Indonesia dan Vanuatu relatif kecil berkisar di angka 5 juta USD.

70

Namun demikian, terdapat tren peningkatan sebesar 4,32% pada periode

perdagangan 2015-2019. Perdagangan bilateral menunjukkan tren positif dengan

surplus bagi Indonesia untuk ekspor di sektor non-migas. Letak geografis Vanuatu

yang relatif jauh dari Indonesia, serta konektivitas yang masih kurang memadai

menjadi salah satu tantangan dalam upaya penetrasi produk-produk dalam negeri

Indonesia ke pasar Vanuatu (Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra,

2021).

Tantangan lainnya juga dialami oleh Indonesia pada sektor diplomasi

ekonomi. Dalam pelaksanaannya, tantangan yang dihadapi yaitu permasalahan

kebijakan politik dari Vanuatu yaitu adanya Undang-Undang Wantok Bilong Yumi

yang mana isi dari kebijakan tersebut menyatakan bahwa Vanuatu akan senantiasa

mendukung kelompok separatis Papua dan hal tersebut menjadi tantangan utama

bagi Indonesia dan sampai saat ini masih mempengaruhi hubungan kerja antar

kedua negara khususnya dalam bidang ekonomi kedua negara (Kedutaan Besar

Republik Indonesia di Canberra, 2021).

Walaupun hubungan Indonesia dan Vanuatu seringkali tidak begitu

harmonis, namun Indonesia tetap menghidupkan pemberian bantuan kepada

Vanuatu secara low-key, hal tersebut dilakukan demi mempertahankan citra yang

positif dalam rangka meningkatkan dimensi kerja sama dengan negara-negara

kepulauan di kawasan Pasifik Selatan. Pada bulan April 2015, Indonesia

mengirimkan sekitar 40,5 ton barang bantuan kemanusiaan ke Vanuatu yang

tertimpa bencana topan PAM antara lain berupa bahan makanan, paket untuk ibu

dan anak, obat-obatan, tenda dan tempat tidur lipat, selimut, genset listrik,

71

perangkat kebersihan diri senilai USD 2 juta, serta bantuan dana tunai sebesar USD

450.000 dan penugasan tim terpadu lintas K/L sebanyak 19 orang.

Pada sektor diplomasi budaya, Indonesia mengembangkan budaya

Melanesia dengan mengadakan Festival Budaya Melanesia pada 27-29 Oktober

2015, Pemerintah Indonesia melalui Kemdikbud menyelenggarakan Festival

Budaya Melanesia pertama di Kupang, NTT. Vanuatu, Timor Leste, Kaledonia

Baru, Kepulauan Solomon, Fiji dan Papua Nugini ikut menghadiri festival ini.

Kegiatan dalam festival ini diisi dengan peluncuran dan bedah buku yang berjudul

“Diaspora Melanesia di Nusantara”, selain itu dilakukan juga temu budaya,

pameran budaya dari masing-masing negara serta seminar yang dihadiri oleh

pemateri yang sudah berpengalaman dan sangat menguasai hal-hal yang terkait

dengan Melanesia (Roziqi, 2020: 191).

Kemudian Indonesia kembali meningkatkan kerja samanya dengan Vanuatu

dengan melakukan beberapa upaya. Diantaranya yaitu menggalang hubungan

dengan para pemangku kepentingan sekunder dan perantara di Vanuatu, antara lain

wartawan dan media Vanuatu yang prominen, tokoh masyarakat, dan pemuka

agama. Pendekatan lainnya telah dilakukan oleh Indonesia dengan mengadakan

media outreach melalui program Journalist Visit Program (JVP) dari Kementerian

Luar Negeri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang diikuti oleh

peserta dari media Vanuatu pada tahun 2018 dan 2019 (Kedutaan Besar Republik

Indonesia di Canberra, 2021).

Upaya tersebut dapat terus dilanjutkan mengingat pentingnya Vanuatu dan

negara-negara Pasifik Selatan dalam strategi media outreach Indonesia terkait isu

72

Papua, strategi media outreach kepada Vanuatu untuk meningkatkan exposure

positif mengenai Indonesia di Vanuatu serta memperkecil potensi dukungan

separatis Papua dan simpatisan di Vanuatu melalui narasi yang subjektif dan tidak

faktual.

Upaya lainnya yang dilakukan Indonesia yaitu mengadakan Bali

Democracy Forum (BDF) sebagai wadah bertukar pengalaman negara anggota

yang sedang melakukan demokratisasi. BDF adalah forum internasional pertama di

kawasan Asia-Pasifik yang berfokus pada kerja sama regional dalam bidang

demokrasi dan pembangunan politik. Pada penerapannya, BDF merupakan wadah

untuk saling bertukar pengalaman dan memperkuat proses demokratisasi di masing-

masing negara anggota. BDF menekankan pentingnya kesetaraan, dialog yang

bersifat membangun, saling menghargai dan memahami untuk mencapai kerjasama

demokrasi.

Walaupun forum ini merupakan forum antar negara di Asia Pasifik, penulis

berpendapat bahwa ini tetap merupakan pendekatan yang dilakukan Indonesia

terhadap Vanuatu meskipun tidak secara langsung melakukan dialog antar kedua

negara. Vanuatu tercatat hanya sekali terlibat BDF pada tahun 2014. Hal ini

disebabkan oleh kondisi politik dalam negerinya. Tetapi walaupun hanya sekali,

menteri luar negeri Vanuatu Meltek Sato Kilman Livtuvanu sangat mengapresiasi

BDF karena menurutnya forum ini adalah wadah yang tepat untuk negara kecil dan

besar untuk berkumpul, berbagi, dan berdiskusi mengenai prinsip demokrasi di

negaranya. Lewat forum ini, Vanuatu diharapkan dapat mengetahui lebih baik

seperti apa Indonesia (Roziqi, 2020: 195).

73

Selain itu, adanya diplomasi publik yang dilakukan Indonesia terlihat

melalui program pemerintah yaitu Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia (BSBI)

yang betujuan untuk membangun citra baik kepada para warga asing yang ingin

mempelajari kebudayaan Indonesia, Vanuatu ikut serta berpartisipasi dalam

mengikuti program tersebut. Vanuatu juga mengikuti berbagai program pelatihan

dalam kerangka kerja sama teknis, antara lain di bidang energi mikrohidro,

perikanan, dan pengelolaan maritime protected areas (Kementerian Luar Negeri

Indonesia, 2015).

Data-data yang penulis temui juga diperkuat dengan hasil wawancara yang

peneliti dapatkan dari Harditya yang menyatakan bahwa:

“sebenarnya kita mempunyai hubungan diplomatik dengan Vanuatu ya, kita

punya namun memang kita tidak mempunyai kedutaan disana. Sebenarnya

kita juga sudah melakukan diplomasi bilateral dengan Vanuatu kita

melakukan kerja sama ekonomi, kerja sama pembangunan kapasitas, dalam

beberapa pelatihan kita sudah mengundang masyarakat, mahasiswa,

pemuda Vanuatu untuk belajar ke Indonesia nah sebenarnya kita sudah

melakukan pendekatan, sudah melakukan kontak dengan pemerintahnya,

parlemennya untuk menyampaikan posisi Indonesia tapi memang mereka

masih belum berubah ya artinya ya mungkin mereka masih ingin terus

memperjuangkan Papua di PBB” (Suryawanto, 2020).

Dalam pandangannya, beliau menyatakan bahwa hubungan diplomatik

yang dilakukan Indonesia terhadap Vanuatu seperti kerja sama ekonomi, kerja sama

pembangunan kapasitas, kemudian Indonesia juga turut mengundang masyarakat,

mahasiswa, dan pemuda Vanuatu untuk belajar di Indonesia. Pendekatan-

pendekatan yang telah dilakukan termasuk melakukan kontak dengan pemerintah

serta parlemen dari Vanuatu dilakukan untuk menyampaikan posisi Indonesia

74

namun hal tersebut belum membuat Vanuatu merubah sikapnya dan masih ingin

mendukung separatisme Papua.

Sikap baru Vanuatu kepada Indonesia terlihat pada bulan Desember 2020,

Pemerintah Vanuatu telah memberikan dukungan terhadap pencalonan Menlu RI

sebagai co-chair COVAX AMC Engagement Group. Dukungan tersebut

merupakan suatu hal yang baru, karena dalam beberapa tahun terakhir Vanuatu

tidak pernah mendukung inisiatif Pemri. Diperkirakan, Vanuatu mendukung

Indonesia hanya karena Vanuatu berkepentingan untuk memperoleh fasilitas

COVAX, berupa akses ke vaksin COVID-19 (Pramono, 2021).

Kemudian Indonesia meluncurkan kebijakan baru yang dinamakan “Pacific

Elevation”. Salah satu bentuk kongkritnya adalah kegiatan Pacific Exposition di

Wellington, Selandia Baru yang diorganisir oleh KBRI Wellington. Upaya soft

diplomacy tersebut juga semakin diperkuat dengan agenda pemberian bantuan

pembangunan internasional oleh Pemerintah Indonesia kepada negara-negara di

kawasan Pasifik dan Oseania. Upaya Indonesia mendekati negara-negara besar di

kawasan Pasifik tidak terlepas dari niat untuk memudahkan Indonesia melakukan

pendekatan dengan Vanuatu (Pramono, 2021).

Berbagai diplomasi yang telah dilakukan Indonesia dilandasi oleh

pernyataan Vanuatu yang menyatakan bahwa mendukung Papua untuk merdeka

merupakan bagian dari konstitusi negaranya. Hal tersebut juga disampaikan oleh

Adriana Elisabeth selaku Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) dalam

wawancara yang penulis lakukan, beliau menyatakan bahwa:

75

“...Walter Lini itu menyatakan bahwa Vanuatu itu belum betul betul

merdeka kalau masih ada orang-orang yang ber-ras Melanesia itu masih

hidup dalam penjajahan, kemudian keinginan itu dimasukkan lah ke dalam

konstitusi negara Vanuatu kan...bahwa itu ditetapkan sebagai state

constitution. But again, if we..apa..lihat kepada konstitusi negaranya

memang stance-nya atau sikapnya memang seperti itu. Selama mereka

mendengar masih ada kejadian-kejadian yang menimpa orang-orang Papua

yang diasumsikan adalah ras Melanesia ya mereka pasti akan bersuara

seperti apa yang tertulis di konstitusi mereka. Seperti kita juga kan,

Indonesia ikut berperan dalam perdamaian dunia kan itu selalu suara kita.”

(Elisabeth, 2021).

Berdasarkan pernyataan dari beliau, faktor penting dari alasan Vanuatu

mendukung kemerdekaan Papua yaitu karena perdana menteri Vanuatu, Walter

Lini menyatakan bahwa Vanuatu belum benar-benar merdeka jika masih ada

masyarakat yang mempunyai ras yang sama dengan Vanuatu yaitu ras Melanesia,

masih hidup dalam kesengsaraan, penjajahan, dan jauh dari kata merdeka.

Kemudian keinginan tersebut dituangkan ke dalam bagian dari konstitusi negara

Vanuatu. Oleh karena itu, selama Vanuatu masih mendengar ada ketidakadilan

yang menimpa masyarakat Papua yang diasumsikan sebagai ras melanesia tindakan

Vanuatu akan tetap sama, yaitu memperjuangkan kemerdekaan Papua.

Seperti yang penulis telah jelaskan pada sub-sub bab sebelumnya bahwa

alasan Vanuatu mendukung kemerdekaan Papua yaitu adanya persamaan ras yang

dimiliki yaitu ras melanesia. Selain itu, dukungan Vanuatu terhadap kemerdekaan

Papua juga tertuang dalam konstitusi negara seperti apa yang diinginkan oleh

Perdana Menteri pertama Vanuatu yaitu Walter Lini. Beliau menyatakan bahwa

selama orang-orang Melanesia masih ada yang hidup dalam penjajahan, maka

Vanuatu tidak sepenuhnya merdeka.

76

Dilandasi oleh filosofi tersebut, Vanuatu kemudian secara aktif dan terbuka

menunjukkan dukungannya untuk Papua. Kembali penulis jelaskan secara singkat

berdasarkan apa yang terdapat pada sub bab 4.3, penulis melihat bahwa Vanuatu

menggunakan suaranya untuk kemerdekaan Papua pada forum internasional seperti

PBB. Isu Papua diangkat Vanuatu pada sidang umum PBB terhitung sejak tahun

2013 dan terakhir pada tahun 2020. Tidak hanya PBB, Vanuatu juga menjadi salah

satu penggagas berdirinya organisasi regional MSG yang mempunyai tujuan untuk

mendekolonisasi dan meliberalisasikan negara-negara melanesia yang masih

berada di bawah kuasa kolonial khususnya di kawasan Pasifik Selatan. Kemudian

pada tahun 2014, sebuah kelompok gerakan kemerdekaan Papua Barat yaitu

ULMWP terbentuk melalui dukungan dari Vanuatu.

Melihat bahwa dukungan yang diberikan Vanuatu untuk kemerdekaan

Papua cukup konsisten dan serius, maka Indonesia melakukan beberapa diplomasi

kepada Vanuatu seperti yang telah penulis sebutkan sebelumnya. Oleh karena itu,

pada penelitian ini penulis menggunakan teori diplomasi dari Thierry Balzacq,

Frédéric Charillon, dan Frédéric Ramel sebagai pisau analisis. Untuk definisi lebih

lengkap, penulis telah menjelaskan teori ini sebelumnya pada sub bab 2.2.1.

Balzacq, Charillon, dan Ramel menyatakan bahwa diplomasi dibagi menjadi tiga

bagian yaitu (1) Tempat dan Vektor Diplomasi, (2) Para aktor, dan (3) Sektor

Diplomasi. Berdasarkan diplomasi yang telah dilakukan Indonesia, maka penulis

mencoba menjabarkannya lebih lanjut menggunakan teori tersebut.

Pada sektor pertama yaitu tempat dan vektor diplomasi, jika dikaitkan

dengan penelitian ini maka tempat dan vektor diplomasi Indonesia terhadap

77

Vanuatu mencakup hubungan bilateral. Sektor selanjutnya yaitu para aktor

diplomasi, berdasarkan data-data yang telah penulis dapatkan para aktor yang

bermain dalam pelaksanaan diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu masih

cenderung lebih banyak dilakukan oleh state actor. Kemudian pada sektor terakhir

yaitu sektor diplomasi. Disini penulis melihat bahwa diplomasi budaya yang

dilakukan Indonesia cenderung banyak dilakukan dibandingkan diplomasi ekonomi

dan diplomasi publik.

Hal tersebut terlihat dengan terlaksananya festival budaya yang bertujuan

untuk mengenalkan budaya Melanesia di Indonesia, serta adanya program beasiswa

seni dan budaya. Namun, pada sektor diplomasi ekonomi Indonesia menemukan

tantangan dalam pelaksanaannya. Hal tersebut disebabkan oleh letak geografis

Vanuatu yang termasuk jauh dari Indonesia serta belum memadainya konektivitas

Indonesia dalam upaya penetrasi produk-produk dalam negeri ke Vanuatu.

Tantangan lainnya dialami oleh Indonesia karena permasalahan kebijakan politik

dari Vanuatu yaitu adanya Undang-Undang Wantok Bilong Yumi yang mana isi dari

kebijakan tersebut menyatakan bahwa Vanuatu akan senantiasa mendukung

kelompok separatis Papua. Kedua tantangan tersebut membuat Indonesia kesulitan

untuk melakukan pendekatan secara ekonomi kepada Vanuatu.

Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa pada sektor kedua

dari teori diplomasi Balzacq, Charillon, dan Ramel yaitu para aktor, Indonesia

masih memiliki kekurangan dalam sektor tersebut yang mana aktor yang bermain

dalam diplomasi terhadap Vanuatu masih condong kepada state actor. Hal tersebut

juga sesuai dengan pernyataan dari Rosita Dewi, selaku peneliti di bidang

78

perkembangan politik internasional LIPI, pada wawancara yang penulis lakukan

beliau menyatakan:

"...Jadi approach-nya harus lebih ya, dan juga engagement dengan

non-state actors gitu ya mbak misalnya dengan NGO dan LSM yang

ada di sana, kemudian akademisi-akademisi juga kemudian

bagaimana itu tidak hanya first track diplomacy tidak hanya G to G,

tetapi juga P to P maupun yang lainnya jadi multi layered

diplomacy-nya harus berjalan terutama untuk Vanuatu” (Dewi,

2020).

Beliau berpendapat bahwa pendekatan dan juga komunikasi yang dilakukan

Indonesia terhadap Vanuatu harus lebih digalakkan melalui non-state actors seperti

Non-Governmental Organization (NGO) dan Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM), serta akademisi-akademisi yang ada di Vanuatu guna menjadikan diplomasi

yang dilakukan Indonesia tidak terbatas pada first track diplomacy melalui

Government to Government saja. Melibatkan pendekatan diplomasi melalui Person

to Person juga berperan penting dalam menciptakan multi-layered diplomacy

kepada Vanuatu.

Meskipun Indonesia telah melakukan pendekatan non-state actor dengan

diadakannya media outreach melalui program Journalist Visit Program (JVP) dari

Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika pada

tahun 2018 dan 2019 (Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra, 2015) hal

tersebut nyatanya belum cukup untuk membuat Vanuatu meredam dukungannya

kepada Vanuatu karena pada UNGA ke-75 tahun 2020, perdana menteri Vanuatu

kembali mengangkat isu Papua merdeka. Hal tersebut menunjukkan bahwa

diplomasi yang dilakukan Indonesia belum cukup berhasil.

79

Berdasarkan data-data yang telah penulis dapatkan baik dari narasumber

wawancara dan studi pustaka, penulis menemukan bahwa diplomasi yang

dilakukan Indonesia terbilang tidak cukup aktif dan konsisten, penulis berpendapat

sebaiknya Indonesia melakukan diplomasi kepada Vanuatu setiap tahun. Terlepas

dari apapun bentuk dari diplomasi tersebut, setidaknya ada hal yang dilakukan oleh

Indonesia yang diharapkan akan mengubah persepsi Vanuatu kepada Indonesia

secara perlahan-lahan.

Selain itu, gaya diplomasi yang dilakukan Indonesia masih sangat

konservatif dan masih minim melibatkan non-state actors. Mengingat bahwa peran

non-state actors di era globalisasi seperti saat ini sangatlah besar, sebaiknya

Indonesia lebih merangkul lagi pihak-pihak gereja, tokoh-tokoh masyarakat, dan

media seperti Vanuatu Broadcasting and Television Corporation (VBTC) yang

merupakan perusahaan media nasional ternama di Vanuatu.

Analisis penulis diperkuat dengan opini dari salah satu narasumber yaitu Dr.

Adriana Elisabeth yang menyatakan bahwa Indonesia perlu memperbaiki cara

menjawab Vanuatu di PBB. Cara Indonesia mengirimkan diplomat muda untuk

menjawab seorang Perdana Menteri Vanuatu di PBB merupakan cara yang kurang

elegant dan kurang pantas untuk dilakukan (Elisabeth, 2021) Selain itu, sebaiknya

Indonesia mengurangi menyangkal dan bersikap defensif terhadap statement-

statement yang dikeluarkan oleh Vanuatu karena publik akan sulit untuk langsung

percaya dan meragukan statement yang diberikan, bahkan berpotensi menimbulkan

asumsi-asumsi negatif terhadap Indonesia.

80

Perlu diingat kembali bahwa Vanuatu memiliki kebijakan politik yang

berkomitmen untuk mendukung kemerdekaan Papua, maka dari itu membawa isu

Papua di forum internasional sudah termasuk ke dalam agenda politik Vanuatu.

Sama halnya dengan Indonesia, yang mempunyai state constitution yang

mengedepankan isu HAM dan ikut serta dalam perdamaian dunia. Artinya

Indonesia tidak bisa sepenuhnya melarang Vanuatu untuk melaksanakan agenda

politiknya tersebut.

Indonesia bisa lebih komunikatif lagi dalam menyampaikan narasi di PBB

dengan tidak menyangkal pernyataan yang diberikan oleh Vanuatu dengan catatan

jika hal yang dikatakan tersebut terbukti sebuah fakta. Jika pemerintah memang

memiliki kekurangan dalam memperlakukan masyarakat Papua, instead of

menyangkal sebaiknya Indonesia bisa lebih terbuka terhadap hal tersebut, tetapi

juga tidak lupa untuk menyampaikan progress dan usaha yang tengah dilakukan

pemerintah untuk membuat Papua menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Penulis meyakini bahwa langkah tersebut dapat menghadirkan citra positif

bagi Indonesia dan membuat persepsi publik bahwa Indonesia tidak menyepelekan

statement-statement dari Vanuatu serta Indonesia juga hadir dan serius dalam

menangani masalah yang terjadi di Papua. Oleh karena itu Indonesia perlu lebih

gencar lagi dalam mensejahterakan masyarakat di Papua, karena biar

bagaimanapun persoalan dalam negeri juga tidak kalah pentingnya dengan

persoalan dari luar negeri.

Seperti yang disampaikan oleh Dr. Siswo Pramono, S.H., LL.M. selaku

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian

81

Luar Negeri Indonesia, beliau menyatakan bahwa salah satu faktor yang mendorong

terbentuknya kebijakan luar negeri Vanuatu yang secara agresif mendukung

kemerdekaan Papua yaitu berkaitan dengan faktor geostrategis, yang mempunyai

arti bahwa saat ini kawasan Indo-Pasifik saat ini merupakan area perebutan

pengaruh antara Barat (Australia, Selandia Baru, AS, Perancis & Taiwan) dan

Republik Rakyat Tiongkok (RRT) (Pramono, 2021).

Kedua kubu saling memainkan strategi politik dan ekonomi dengan

merangkul negara-negara Pasifik melalui berbagai bantuan dana, kerja sama

pembangunan dan berbagai insentif/fasilitasi. Vanuatu tidak lepas dari tarik

menarik kepentingan kekuatan global, dimana RRT tengah membangun pelabuhan

laut dalam di Luganville senilai US$ 114 juta (sedalam 20 meter lebih, dan mampu

untuk sandar kapal-kapal besar). Proyek ini dicurigai oleh Australia dan AS sebagai

awal kehadiran militer RRT di Pasifik (Pramono, 2021).

Berdasarkan pernyataan tersebut, penulis beropini bahwa adanya peran

negara-negara besar dalam agenda politik Vanuatu, yaitu mendukung isu Papua

merdeka. Melihat bahwa kawasan Pasifik tengah menjadi perebutan diantara dua

kudu, dan Vanuatu termasuk ke dalam negara yang cukup berpengaruh di kawasan

Pasifik Selatan, penulis mempunyai pandangan bahwa isu Papua merdeka yang

digaungkan secara agresif oleh Vanuatu juga merupakan sebuah “titipan” dari

negara-negara besar seperti Australia, Amerika Serikat, dan RRT yang memang

mempunyai kepentingan tersendiri di kawasan Pasifik dan Indonesia, terutama di

Papua yang terkenal dengan sumber daya alamnya yang melimpah dan merupakan

tempat tambang emas PT. Freeport beroperasi (Pramono, 2021).

82

Untuk melaksanakan kepentingannya, negara-negara besar tersebut

menjadikan Vanuatu sebagai “pion” yang sangat tepat untuk dimainkan, mengingat

bahwa Vanuatu mempunyai kesamaan ras dengan masyarakat Papua dan dengan

motif tersebut, Vanuatu dapat menjalin hubungan yang lebih erat dengan

masyarakat Papua. Karena jika negara-negara tersebut terjun secara langsung untuk

mendukung kemerdekaan Papua, hal tersebut dapat mengganggu hubungan yang

dimiliki dengan Indonesia, terlebih lagi Indonesia merupakan salah satu negara

yang sangat berpengaruh di kawasan Asia Tenggara. Melihat hal tersebut, tentunya

negara-negara tersebut tidak ingin membuat Indonesia menjadi geram dengan

mendukung secara langsung kemerdekaan Papua.

Meskipun Vanuatu dijadikan alat oleh negara-negara tersebut, Indonesia

tidak boleh berdiam diri saja, terus melakukan pendekatan dengan Vanuatu

merupakan cara yang tepat digunakan untuk menyampaikan posisi Indonesia bahwa

Indonesia bersungguh-sungguh dalam menjaga kedaulatan negara. Jika sebelumnya

pelaksanaan diplomasi Indonesia kepada Vanuatu terkait dengan isu Papua

merdeka belum membuahkan hasil yang optimal, penulis berpendapat bahwa

Indonesia dapat merangkul pihak dari Vanuatu dan pihak dari Papua secara

bersamaan sehingga hal tersebut dapat menciptakan persepsi yang positif untuk

Indonesia mengingat bahwa hubungan yang dimiliki antara Vanuatu dengan

masyarakat Papua pro merdeka cukup erat. Dengan demikian, diplomasi yang

dilakukan bisa berjalan dengan efektif.

83

BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa diplomasi yang dilakukan Indonesia

terhadap Vanuatu masih terdapat kekurangan dalam pelaksanaanya. Indonesia

masih kurang menggunakan non-state actors dalam pelaksanaan diplomasinya

seperti melibatkan NGO, LSM, pihak-pihak gereja, para akademisi dan tokoh

masyarakat di Vanuatu. Walaupun sebelumnya Indonesia telah melakukan

pendekatan melalui non-state actors terhadap Vanuatu, nyatanya hal tersebut belum

cukup untuk membuat Vanuatu meredam dukungannya terhadap kemerdekaan

Papua.

Walaupun Indonesia telah melakukan beberapa pendekatan kepada Vanuatu

melalui lembaga-lembaga di bawah naungan pemerintah seperti mengadakan media

outreach, festival budaya, dan beasiswa seni dan budaya, namun sampai saat ini

Indonesia dan Vanuatu belum juga melakukan pertemuan bilateral secara resmi

untuk berdialog mengenai isu Papua merdeka. Penulis berpendapat bahwa hal

tersebut merupakan salah satu kekurangan yang juga harus diperbaiki oleh

Indonesia, jika Indonesia memang serius dalam menangani perselisihan yang

terjadi dengan Vanuatu.

84

5.2 Saran

Pada bagian ini penulis mengajukan dua saran. Saran pertama adalah saran

praktis dan saran kedua adalah saran teoritis. Untuk saran praktis, penulis

mengajukan saran yang diharapkan dapat memberi manfaat bagi pihak-pihak yang

berkepentingan. Penulis menemukan bahwa diplomasi terhadap Vanuatu harus

tetap dilakukan secara aktif dan konsisten, sembari memperbaiki permasalahan

yang ada di Papua. Mengadakan pertemuan resmi dengan Perdana Menteri Vanuatu

dan menjalin komunikasi yang aktif kepada Vanuatu dan publik internasional

terkait keadaan Papua di Indonesia dapat menjadi masukan bagi pemerintah dari

penulis.

Kemudian penulis juga menyarankan Indonesia untuk menjalin hubungan

yang lebih intens dengan negara-negara berpengaruh di kawasan Pasifik yaitu

Australia dan Selandia Baru, serta negara-negara yang mempunyai hubungan baik

dengan Vanuatu yaitu Perancis dan Inggris. Penulis berpendapat bahwa dengan

dijalinnya hubungan yang lebih erat dengan negara-negara tersebut dapat

menjembatani kepentingan Indonesia untuk merangkul Vanuatu.

Untuk saran teoritis, penulis menyarankan kepada peneliti selanjutnya yang

ingin membahas mengenai permasalahan yang sama dengan penulis agar

melakukan wawancara mendalam ke kedutaan besar negara yang bersangkutan dan

mendapatkan data-data yang lebih lengkap mengenai diplomasi-diplomasi yang

telah dilakukan kepada Vanuatu.

85

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Afrizal. (2014). Metode Penelitian Kualitatif : Sebuah Upaya Mendukung

Penggunaan Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu. Depok:

Rajawali Pers.

Balzacq, T., Charillon, F., & Ramel, F. (2020). Global Diplomacy : An Introduction

to Theory and Practice . Paris: Palgrave Macmillan.

Berridge, G. (2015). Diplomacy : Theory and Practice Fifth Edition. United

Kingdom: Palgrave Macmillan.

Cooper, A. F., Heine, J., & Thakur, R. (2013). The Oxford Handbook of Modern

Diplomacy. United Kingdom: Oxford University Press.

Creswell, J. W. (2017). Research Design : Pendekatan Metode Kualitatif,

Kuantitatif,dan Campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Holsti, K. J. (1998). Politik Internasional : Kerangka untuk Analisis. Jakarta:

Erlangga.

Jackson, R. H. (2007). Sovereignty: The Evolution of an idea. Cambridge: Polity.

Muhammad, A., Mutiarin, D., & Tebay, N. (2013). West Papuan Secessionist

Movement: Origins, Government Policy, and Dialogue. Saarbrücken,

Germany: LAP LAMBERT Academic Publishing.

Viotti, P. R., & Kauppi, M. V. (2012). International Relations Theory Fifth Edition.

Glenview, United States: Pearson Education, Inc.

Watson, A. (2005). Diplomacy : The Dialogue Between States. Great Britain: Eyre

Methuen Ltd.

86

Jurnal:

Bhakti, I. N., & Pigay, N. (2012). Menemukan Akar Masalah Dan Solusi Atas

Konflik Papua : Supenkah? Jurnal Penelitian Politik LIPI, IX(1), 11.

Blades, J. (2020, May). West Papua: The Issue That Won't Go Away For Melanesia.

Lowy Institute Analysis, 1-46.

Djafar, Z. (2012). Kemerdekaan Papua dan Relevansi Reaksi Tiga Negara. Jurnal

Penelitian Politik: LIPI, IX(1), 103.

Elisabeth, A. (2006). Dimensi Internasional Kasus Papua. Jurnal Penelitian Politik

LIPI, 3(1), 43-65.

Fadhilah, M. (2019, Januari-Juni). Inkonsistensi Kebijakan Luar Negeri Melanesia

Spearhead Group (MSG) dalam Isu Papua Barat: Studi Kasus Fiji dan Papua

Nugini. Indonesian Perspective, 4(1), 59-81.

Helmy, B. (2019, Juni). Mematahkan Dukungan Vanuatu Terhadap Gerakan

ULMWP (United Liberalization Movement For West Papua) Guna

Menegakkan Kedaulatan NKRI. Jurnal Kajian Lemhannas RI, 38, 21-27.

Lawson, S. (2016, August). West Papua, Indonesia and the Melanesian Spearhead

Group: Competing Logics in Regional and International Politics. Australian

Journal of International Affairs, 70(5), 506-524.

doi:10.1080/10357718.2015.1119231

Marit, E. L., & Warami, H. (2018, April). Wacana “Papua Tanah Damai” dalam

Bingkai Otonomi Khusus Papua. Jurnal Ilmu Sosial, XVI(1), 44.

Putra, G. N., Legionosuko, T., & Madjid, A. (2019, Agustus). Strategi Pemerintah

Indonesia Terhadap Negara-Negara Anggota Melanesian Spearhead Group

(MSG) dalam Menghadapi Propaganda Organisasi Papua Merdeka (OPM):

Studi Kasus Negara Republik Vanuatu. Jurnal Peperangan Asimetris, 5(2),

31-44.

87

Roziqi, M. A. (2020). Diplomasi Soft Power Indonesia dalam Melanesian

Spearhead Group terhadap United Liberation Movement for West Papua.

Journal of International Relations, 6(2), 189-198.

Sabir, A. (2018, Januari-Juni). Diplomasi Publik Indonesia terhadap Vanuatu dalam

Upaya Membendung Gerakan Separatisme Papua. Jurnal Hubungan

Internasional , 11(1), 91-108.

Silalahi, E., Bachtiar, M., & Edorita, W. (2015). Implikasi Hukum Internasional

pada Flight Information Region (FIR) Singapura Atas Wilayah Udara

Indonesia Terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Riau: JOM Fakultas Hukum Vol,2 No.1.

Temaluru, T. B. (2016, Juni). Kepentingan Vanuatu dalam Usaha Pemerdekaan

Papua. Jurnal Analisis Hubungan Internasional, 5(2), 572-583.

Zahidi, M. S. (2020). Analisis Kebijakan Luar Negeri Vanuatu Dalam Mendukung

ULMWP Untuk Memisahkan Diri Dari Indonesia. Jurnal Ilmu Hubungan

Internasional Mandala Vol.3, No.1, 66.

Skripsi:

Daffa, M. K. (2020). Peran Melanesian Spearhead Group Dalam Internasionalisasi

Isu Papua Merdeka. Skripsi, 26. Jakarta: Universitas Pertamina.

Muhammad, H. (2017). Kepentingan Vanuatu Atas Usulan Investigasi Kasus

Pelanggaran HAM Di Indonesia (Studi Kasus: Pelanggaran HAM di Papua

Barat). Skripsi, 65. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Purnama, A. M. (2019). Faktor Pendorong Penarikan Diri Amerika Serikat Dari

Perjanjian Nuklir (Joint Comprehensive Plan Of Action) Dengan Iran Pada

Tahun 2018. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

88

Wawancara:

Dewi, R. (2020, Desember 8). Analisis Diplomasi Indonesia Terhadap Vanuatu

Terkait Isu Papua Merdeka. (K. Natalia, Interviewer)

Elisabeth, A. (2021, Juli 16). Analisis Diplomasi Indonesia Terhadap Vanuatu

Terkait Isu Papua Merdeka. (K. Natalia, Interviewer)

Pramono, S. (2021, Agustus 6). Analisis Diplomasi Indonesia Terhadap Vanuatu

Terkait Isu Papua Merdeka. (K. Natalia, Interviewer)

Suryawanto, H. (2020, Desember 1). Analisis Diplomasi Indonesia Terhadap

Vanuatu Terkait Isu Papua Merdeka. (K. Natalia, Interviewer)

Website:

CNN. (2019, Januari 31). KTHAM PBB Kaget Benny Wenda 'Menyusup' dalam

Delegasi Vanuatu. Retrieved from CNN Indonesia.com:

https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190131084205-106-

CNN. (2019, Oktober 2). Vanuatu, 'Si Kecil' di Pasifik Pendukung Kemerdekaan

Papua. Retrieved from CNN Indonesia:

https://www.cnnindonesia.com/internasional/20191002160752-113-

436136/vanuatu-si-kecil-di-pasifik-pendukung-kemerdekaan-papua

CNN. (2020, September 28). Di Sidang PBB, RI Minta Vanuatu Berhenti Campuri

Urusan Papua. Retrieved from CNN Indonesia:

https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200928063155-106-

551609/di-sidang-pbb-ri-minta-vanuatu-berhenti-campuri-urusan-papua

CNN. (2020, September 28). Vanuatu, Negara Kecil yang Dukung Kemerdekaan

Papua. Retrieved from CNN Indonesia:

https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200928075602-113-

551633/vanuatu-negara-kecil-yang-dukung-kemerdekaan-papua

89

Gunadha, R., & Firdaus, H. M. (2020, September 28). Vanuatu Giat Persoalkan

HAM Papua di PBB, Diplomat RI Cuma Beretorika. Retrieved from

Suara.com: https://www.suara.com/news/2020/09/28/132043/vanuatu-giat-

persoalkan-ham-papua-di-pbb-diplomat-ri-cuma-beretorika?page=1

Hanggoro, M. A., & Mohamad, A. (2015, Juli 4). Strategi RI gabung asosiasi

negara Pasifik demi hambat Papua merdeka. Retrieved from Merdeka.com:

https://www.merdeka.com/dunia/strategi-ri-gabung-asosiasi-negara-

pasifik-demi-hambat-papua-merdeka.html

Hasan, R. A. (2019, September 29). RI Pakai Hak Jawab di Majelis Umum PBB

Usai Vanuatu Angkat Isu Papua. Retrieved from Liputan6:

https://www.liputan6.com/global/read/4074231/ri-pakai-hak-jawab-di-

majelis-umum-pbb-usai-vanuatu-angkat-isu-papua

Kompas. (2017, Maret 2). Politisasi Isu HAM di Papua, Vanuatu Didesak Fokus

Masalah HAM Sendiri. Retrieved from Kompas.com:

https://internasional.kompas.com/read/2017/03/02/21030521/politisasi.isu.

ham.di.papua.vanuatu.didesak.fokus.masalah.ham.sendiri

Mardiyah, F. (2020, Oktober 7). Ada Apa Dengan Vanuatu, Papua Barat, dan

Indonesia? Dipetik November 20, 2020, dari Tirto.id: https://tirto.id/ada-

apa-dengan-vanuatu-papua-barat-dan-indonesia-f5zF

MSG. (n.d.). About MSG . Retrieved from Melanesian Spearhead Group:

https://msgsec.info/about-msg/

Navari, C. (2016, Maret). Hans Morgenthau and the National Interest. Diambil

kembali dari Ethics and International Affairs:

https://www.ethicsandinternationalaffairs.org/2016/hans-

morgenthau%09and-the-national-interest/

Syafirdi, D. (2019, September 29). Vanuatu Angkat Isu Papua di PBB, Indonesia

Sebut "Negara Itu Dukung Separatis". Retrieved from Merdeka.com:

90

https://www.merdeka.com/dunia/vanuatu-angkat-isu-papua-di-pbb-

indonesia-sebut-negara-itu-dukung-separatis.html

ULMWP. (n.d.). United Liberation Movement for West Papua. Retrieved from

ULMWP: https://www.ulmwp.org/ulmwp

United Nations. (2018, September 27). General Assembly of the United Nations.

Retrieved from Gadebate.un.org: https://gadebate.un.org/en/73/indonesia

Dokumen:

Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra. (2015, Mei 18). Kementerian

Luar Negeri Indonesia. Retrieved from Rencana Strategis KBRI Canberra

2015-2019:

https://kemlu.go.id/download/L1NoYXJlZCUyMERvY3VtZW50cy9SZW

5zdHJhJTIwS0JSSSUyMENhbmJlcnJhJTIwMjAxNS0yMDE5LnBkZg==

Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra. (2021, Januari 22). Rencana

Strategis KBRI Canberra 2020-2024. Retrieved from Kementerian Luar

Negeri Indonesia:

https://kemlu.go.id/download/L1NoYXJlZCUyMERvY3VtZW50cy9SZW

5zdHJhJTIwS0JSSSUyMENhbmJlcnJhJTIwMjAyMC0yMDI0LnBkZg==

Kementerian Luar Negeri Indonesia. (2015, September). Buku Diplomasi Indonesia

2014. Retrieved from Kemlu.go.id:

https://kemlu.go.id/download/L3NpdGVzL3B1c2F0L0RvY3VtZW50cy9

CdWt1L0RpcGxvbWFzaSUyMEluZG9uZXNpYS9CdWt1JTIwRGlwbG9

tYXNpJTIwSW5kb25lc2lhJTIwMjAxNC5wZGY=

United Nations. (2013, September 28). United Nations Digital Library. Retrieved

from digitallibrary.un.org:

https://digitallibrary.un.org/search?ln=en&p=vanuatu&f=&action_search=Search

&rm=&ln=en&sf=year&so=d&rg=50&c=United+Nations+Digital+Library+Syste

m&of=hb&fti=0&fct__1=Speeches&fti=0&fct__1=Speeches

91

West Papua National Coalition for Liberation. (2010, June 20). A Motion on

Foreign Policy regarding West Papua had been passed in the Vanuatu

Parliament. Press Release. Port Villa, Vanuatu: West Papua National

Coalition for Liberation.

92

LAMPIRAN

93

Lampiran 1

Narasumber : Dr. Siswo Pramono, S.H., LL.M.

Jabatan : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK),

Kementerian Luar Negeri Indonesia.

Waktu : Jakarta, 6 Agustus 2021

Permohonan wawancara dengan sekretaris Dr. Siswo Pramono, S.H., LL.M.

94

Balasan pertanyaan wawancara dalam bentuk dokumen PDF

95

Lampiran 2

Naskah Wawancara Kristin Natalia dengan Harditya Suryawanto, Direktorat

Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata, Kementerian Luar Negeri

Indonesia.

Narasumber : Harditya Suryawanto

Jabatan : Fungsional Diplomat Muda, Direktorat Keamanan Internasional

dan Perlucutan Senjata (KIPS), Kementerian Luar Negeri

Indonesia

Waktu : 1 Desember 2020

Lokasi : Gedung BP7, Direktorat KIPS, Kementerian Luar Negeri

Indonesia.

Alamat : Jalan Pejambon No. 6 Jakarta Pusat 10110 DKI Jakarta, Indonesia

96

Pertanyaan penelitian untuk data primer penulisan skripsi:

“Analisis Diplomasi Indonesia Terhadap Vanuatu Terkait Isu Papua

Merdeka”

Kristin Natalia : Baik, untuk pertanyaan pertama yang ingin saya

tanyakan yaitu terkait dengan kebijakan luar negeri

Indonesia saat ini mas. Dengan konflik yang saat ini

ada yaitu Vanuatu yang kerap menuding Indonesia

di sidang umum PBB terkait isu Papua merdeka.

Seperti apa sih garis besar kebijakan luar negeri

Indonesia saat ini?

Harditya Suryawanto : Jadi arah kebijakan luar negeri kita ini diarahkan

untuk diplomasi untuk mendukung kepentingan

nasional, salah satu yang paling jelas terkait juga

dengan konteks yang tadi mbak sampaikan adalah

bagaimana memastikan dan menjaga kedaulatan

dan keutuhan wilayah republik Indonesia.

Kristin Natalia : kalau untuk perubahan arah kebijakan luar negeri,

ada perbedaan tidak ya mas dari periode satu

pemerintahan Presiden Jokowi sampai sekarang

ini?

Harditya Suryawanto : mungkin perubahannya lebih ke arah...secara

general tidak berubah tapi caranya aja

Kristin Natalia : Caranya?

Harditya Suryawanto : Iya, mengapa? Karena arah dan kebijakan luar

negeri itu sedikit banyak akan terpengaruh dengan

situasi dan kondisi global saat ini, jadi kita tidak

bisa ignore kita tidak bisa cuek aja gitu apa yang

terjadi di luar tetap melakukan rencana selanjutnya

tetapi kita tetap juga harus beradaptasi dengan

perkembangan di luar. Seperti contoh kaya periode

pertama kan ga ada covid ya, nah sekarang ada

covid artinya bagaimana diplomasi kita harus tetap

kita jalankan. Satu, untuk mencapai tujuan atau

97

strategi kita ditengah covid, yang kedua juga

tentunya diplomasi covid juga harus sudah mulai

dijalankan ya misalkan, mendapatkan akses vaksin

lalu memastikan Indonesia juga bagian dari Travel

Bubble ya supaya memperlancar baik pemerintahan

maupun pebisnis kita. Jadi diplomasinya sebenarnya

arahnya tidak banyak berubah tapi caranya

menyesuaikan dengan kondisi dan situasi saat ini.

Kristin Natalia : Kalau untuk Vanuatu sendiri dia kan berada di

kawasan Pasifik Selatan ya mas, kalau boleh tau

kepentingan Indonesia sebenarnya di kawasan

tersebut itu seperti apa ya mas?

Harditya Suryawanto : Jadi kepentingan kita sebenarnya di Pasifik Selatan,

saya cuma bisa bilang nomor satu, pasifik selatan

ini kan dikenal kalau tadi menyebut Vanuatu ya,

tapi dari sisi etnis dia hampir 90% lebih itu kan etnis

melanesia, nah itu isu yang selalu diangkat Vanuatu

adalah mengenai kesamaan etnis dengan Papua.

Sebenarnya kita juga menjabarkan bahwa etnis

melanesia itu di Indonesia bukan hanya di Papua

tapi ada di Maluku, lalu daerah bagian NTT juga

banyak etnis melanesianya. Jadi, Pasifik Selatan nih

kita lihat sebenarnya bukan hanya masalah etnis

tapi banyak isu yang juga sebenarnya yang bisa kita

garap, kita mainkan misalkan isu perubahan iklim.

Disana kan negara-negaranya itu negara pulau ya,

dan mereka sangat ter-impact oleh perubahan iklim

lalu juga isu pembangunan, demokrasi, banyak

sebenarnya isu yang bisa kita garap disana karna

kawasan Pasifik Selatan juga masih termasuk

golongan negara berkembang ya, negara miskin

yang ke arah negara berkembang yang sebenarnya

kita bisa banyak berperan disana. Nah kemudian,

juga bahwa di kawasan Pasifik Selatan selama ini

kan boleh dibilang negara besarnya hanya Australia

dan Selandia Baru ya nah sebenarnya kita juga bisa

bermain disana karena banyak beberapa negara

besar seperti Amerika, Inggris, dan China juga mulai

98

sejak lama sebenarnya sudah banyak menancapkan

pengaruh disana. Jadi sebenarnya kita juga bisa,

Indonesia dalam hal ini juga sebenarnya penting

karena apa? Karena selain kita negara besar, kita juga

mempunyai banyak expertise yang cocok sebenarnya

kalo bisa diaplikasikan di sana, seperti sektor-sektor

perikanan, pertanian, dan industri dan juga

pariwisata. Jadi banyak hal sebenarnya yang bisa kita

garap disana, di kawasan Pasifik Selatan.

Kristin Natalia : Kalau untuk pengaruh Indonesia di kawasan Pasifik

Selatan itu seperti apa ya mas?

Harditya Suryawanto : Sebenarnya di Pasifik Selatan tuh pengaruh kita

kalau boleh dibilang, kalau saya lihat sih masih

kurang ya itu terlihat dari presence aja. Diluar

Australia dan New Zealand, kita punya perwakilan

tuh hanya di Suva di Papua Nugini. Jadi cuma Suva,

Numea, dan Papua Nugini. Jadi cuma tiga. Di Papua

Nugini itu kita punya KBRI, di Suva KBRI, di

Numea itu konsulat Indonesia jadi cuma tiga

perwakilan disana. Karena memang wilayahnya

sangat besar ya, dan terpisah antar pulau. Jadi kalau

soal presence kami mencoba meningkatkan

kehadiran kita disana melalui berbagai cara yang

tadi saya sudah sebutkan mengenai peningkatan

kapasitas, kita sudah kirim dan seringkali kita

mengadakan program peningkatan kapasitas yang

juga melibatkan negara-negara di Pasifik Selatan

ya, seperti bidang pariwisata, pertanian, perikanan,

climate change, nah itu kita sudah jalankan berbagai

program ya juga berkordinasi dengan kementerian-

kementerian kita terkait.

Lalu untuk juga meningkatkan kehadiran kita

disana, kita juga beberapa kali mempunyai program

budaya. Kita mengundang mahasiswa-mahasiswa

atau anak-anak muda dari kawasan Pasifik Selatan

itu untuk mendapatkan beasiswa seni budaya

Indonesia, itu biasanya mahasiswanya tuh kita

99

undang kesini kita kembangkan baik di Bandung,

Bali, Solo itu untuk belajar budaya Indonesia dan

yang kita harapkan pada saat mereka pulang,

mereka bisa menyebarkan atau memperkenalkan

budaya Indonesia membantu memperkenalkan

budaya Indonesia disana di Kawasan Pasifik

Selatan. Lebih kesitu.

Kristin Natalia : Untuk Konflik nih mas, Indonesia tadi kan

dijelaskan bahwa perannya di Pasifik Selatan itu

masih agak kurang ya, jadi kalau disambungkan nih

dengan konfliknya Indonesia dengan Vanuatu itu

kan masih berada di Pasifik Selatan. Jadi kalau

dikaitkan dengan Papua, sebenarnya yang

melatarbelakangi terbentuknya OPM itu

sebenarnya apa sih mas?

Harditya Suryawanto :Jadi, kalau mbak Kristin lihat dan nanti bisa dicek

ya di faktor sejarahnya kan memang pada saat

kita...mungkin saya tariknya agak mundur jauh

artinya pada saat Belanda tidak mau menyerahkan

kedualatan atas Papua jadi pada saat konferensi meja

bundar itu Belanda setuju untuk mengembalikan

semua wilayah ke Indonesia tapi pending yang

Papua, nah akhirnya waktu itu kita mengirimkan

operasi militer ya, operasi mandala kalau gak salah

itu untuk membebaskan Irian Barat pada jaman pak

Karno waktu itu kan, dan memang faktor itulah yang

akhirnya membuat seakan akan sejarah Papua itu

berbeda dari Indonesia padahal kalau mbak Kristin

ingat ada prinsip hukum dulu namanya Uti

Possidetis Juris artinya wilayah bekas jajahan akan

dikembalikan ke negara yang bertikai artinya dalam

konteks ini Belanda, batas-batas Belanda menjajah

kita dulu harus dikembalikan Belanda ke Indonesia

termasuk Papua, tapi karena Belanda waktu itu

pending menyerahkan Papua ke Indonesia akhirnya

terjadi konflik lah.

100

Nah pada saat kita operasi militer mandala itu lalu

kita berlanjut di perundingan tiga negara itu akhirnya

kan penyerahan kedaulatan lalu juga ada jejak

pendapat penduduk, PEPERA Papua, nah semuanya

itu faktor sejarah tersebut yang membuat ada

sekelompok masyarakat yang tidak puas terhadap

kembalinya Papua ke Indonesia nah inilah yang

akhirnya membentuk kelompok yang kita kenal

sekarang namanya OPM. Jadi sebenarnya OPM ini

sudah ada sejak lama, nah kaitannya juga dengan

Vanuatu ini banyak tokoh-tokoh OPM pada saat

Indonesia masuk kesana... kabur, atau lari ke luar

negeri. Salah satunya banyak yang ke Belanda, ada

yang ke Eropa, ada yang ke Amerika tapi banyak

juga yang pergi ke Pasifik Selatan. Kenapa?

Mungkin karena tadi yang kita sudah sampaikan

yaitu adanya persamaan budaya dan etnis ya jadi

mungkin mereka merasa lebih dekat disana.

Kristin Natalia :Baik, kalau menurut mas sendiri apakah upaya-

upaya atau usaha yang sudah dilakukan Indonesia

untuk meredam OPM itu sendiri menurut mas sudah

lumayan baik atau masih kurang ya mas?

Harditya Suryawanto :Kalau menurut saya sebenarnya pemerintah sudah

melakukan berbagai macam cara ya, menurut saya

sudah banyak hal yang dilakukan. Saya mau

membaginya menjadi dua dulu ya, dari pendekatan

pembangunan, kan mbak Kristin sudah tau bahwa

kita sudah membangun Papua dengan otonomi

daerah dan sebagainya. Jadi dari sisi kesejahteraan,

pengakuan hak-hak orang Papua itu sebenarnya

sudah kita berikan memakai perangkat-perangkat

nasional, bahkan kepala daerahnya juga sudah orang

Papua asli lalu juga mereka mempunyai mekanisme

DPRD nya sendiri, jadi sebenarnya apa yang mereka

minta untuk persamaan hak, pengakuan hak dan juga

memerintah itu sebenarnya sudah ada disana. Dan

ekonomi juga sebenarnya sudah.

101

Nah yang kedua saya melihat dari aspek penanganan

sisi keamanannya, memang kita tidak bisa

memungkiri bahwa masih ada gangguan-gangguan

gejolak keamanan, dan tentunya namanya juga

gangguan keamanan itu juga ada cara yang harus

dilakukan yaitu pendekatannya keamanan juga jadi

langkah pertama kita adalah sudah menunjukkan

polisi ya penjaga ketertiban disana untuk mengatasi

gangguan keamanan yang diakibatkan oleh OPM dan

juga kalaupun polisi perlu dukungan kan ada unsur

TNI juga disana, nah jadi sebenarnya aspek ekonomi,

pemerintahan, militer itu semua sudah kita lakukan,

nah terkait dengan OPM yang ada di luar negeri

sebenarnya dalam beberapa kali kesempatan,

diplomasi kita juga sudah melakukan pendekatan

gitu ya, untuk merangkul mereka kembali ke

Indonesia, mungkin nanti mbak Kristin bisa cek ya di

internet ada beberapa tokoh Papua atau OPM yang

senior yang sudah lama di luar negeri dan akhirnya

kembali ke Indonesia ya. Jadi sebenarnya caranya

soft approaches sudah kita lakukan sedemikian rupa

jadi ya akhirnya willingness mereka aja apakah

mereka mau kembali ke Indonesia atau tidak.

Kristin Natalia : jadi kalau untuk seberapa besar potensi Papua

memisahkan diri dari Indonesia itu sebenarnya ada

gak sih mas? apalagi dengan keadaan seperti

sekarang

Harditya Suryawanto : kalau saya bilang sebenarnya saya gamau munafik

kan bahwa semua potensi pasti ada, tapi pastinya

diplomasi kita sudah kita dorong untuk menjaga

kedaulatan dan keutuhan wilayah dan juga lebih dari

itu pasti masyarakat Indonesia juga akan sekuat

tenaga ya untuk mejaga keutuhan wilayah dan juga

menjaga agar..bukan hanya Papua tapi wilayah lain

juga tetap bersatu di NKRI sih jadi potensinya tetap

akan ada tapi akan tetap berusaha intinya kaya yang

mbak Kristin sering denger ya “NKRI Harga Mati”

lah, tapi kita juga bukan berarti NKRI Harga Mati

102

tapi kita juga melakukan tindakan sewenang-wenang

terhadap masyarakat di sana tapi juga tetap harus

diimbangi bahwa kalau memang ada aparat yang

melakukan kesalahan juga kita harus tindak, jadi

hukum juga harus tetap ditegakkan NKRI Harga

Mati iya, tapi kita juga tidak buta gitu jadi kalau

misalkan ada pelanggaran hukum atau pelanggaran

hak yang dilakukan oleh aparat, kita juga harus tetap

usut ya.

Kristin Natalia : untuk isu OPM sendiri itu kan pernah beberapa kali

dibahas ya mas di sidang umum PBB, jadi

sebenarnya apa sih peran forum internasional ini saat

isu OPM dibawa oleh negara lain selain Indonesia?

Harditya Suryawanto : jadi sebenarnya mereka selama ini kan banyak

melakukan move-nya itu satu, yang pasti mereka

melakukan cara militer ya mengganggu keamanan

disana nah yang kedua, mereka juga melakukan

diplomasi sebenarnya nah ini cara mereka membawa

ke sidang umum PBB sebenarnya bagian dari

diplomasi. Artinya apa? Seperti yang tadi saya sudah

sampaikan pada saat Papua kembali ke Indonesia itu

sudah disahkan oleh PBB ada resolusinya, nah move

mereka untuk membawa isu ini ke sidang PBB untuk

menarik perhatian negara-negara lain bahwa masih

ada pr, Indonesia masih punya masalah mengenai

Papua yang sebenarnya kita sayangkan.

Kristin Natalia : kalau menurut mas sendiri, ada gak sih pihak luar

yang dengan sengaja ingin memecah belah Indonesia

lewat OPM ini?

Harditya Suryawanto : kita gak bisa tutup mata bahwa memang diplomasi

yang dilakukan OPM ini juga mendapatkan simpati,

tapi sebenarnya tidak banyak nah simpati ini

sebenarnya datang dari individu, masyarakat atau

kelompok masyarakat yang sebenarnya hanya

kekurangan informasi. Artinya memang tugas kita,

diplomat kita, perwakilan kita dan juga KEMLU

103

untuk memberikan informasi yang berimbang

terhadap individu, masyarakat dan tokoh-tokoh yang

memang sempat memiliki pandangan mendukung

OPM atau mendukung tujuan OPM. Sebenarnya

lebih ke arah mereka kekurangan informasi saja dan

hanya mendengarkan di satu sisi, nah tugas kita

untuk memberi penjelasan di sisi lainnya jadi

berimbang gitu. Jadi kita tidak dapat menutup mata

bahwa kegiatan yang dilakukan OPM ini

mendapatkan simpati dari luar. Oleh karena itu, tugas

kita itu ingin melakukan kontra narasi, melakukan

pendekatan, memberikan informasi yang berimbang

kepada individu-individu maupun kelompok

masyarakat.

Kristin Natalia : untuk kebijakan, berarti diplomasi sudah hal yang

paling tepat ya mas untuk mengatasi konflik ini?

Harditya Suryawanto : sebenarnya diplomasi itu cuma salah satu cara aja,

tentunya akar permasalahannya kan ada di Papua,

nah akar masalah ini lah yang seharusnya

diselesaikan, dikelola dan itu bukan tugas kita

diplomasi, diplomasi itu kan ke luar nah untuk yang

ke dalam ini sebenarnya sudah ada beberapa instansi

misalkan dari sisi kesejahteraan kan banyak instansi

yang terlibat, nah dari sisi keamanan ada polisi ada

TNI. Jadi sebenarnya semua orang akan melakukan

tugasnya masing-masing, diplomasi itu hanya salah

satu cara untuk menangkal yang di lingkungan luar

gitu. Jadi tugas kita memberikan informasi yang

transparan, melakukan pendekatan, memberikan

informasi yang berimbang ke para simpatisan OPM

di luar negeri.

Kristin Natalia : sedikit yang saya tahu, belakangan ini konflik

Papua itu masih terus dibahas di sidang umum PBB

oleh Vanuatu, jadi sebelumnya apa pernah selain

sidang umum PBB september kemarin isu Papua

pernah diangkat juga?

104

Harditya Suryawanto : sebenarnya diangkatnya isu Papua oleh Vanuatu ini

sudah terjadi beberapa tahun terakhir ya, mungkin

sekitar lima tahun atau enam tahun terakhir lah ya

dan yang kemarin itu bukan yang pertama melainkan

sudah beberapa kali dilakukan, saya lupa tepatnya

tapi ini bukan yang pertama. Dan bukan hanya

Vanuatu saja tapi ada juga beberapa negara di Pasifik

Selatan yang sudah mulai mengangkat ya, tapi seperti

yang saya bilang bahwa setiap negara di sidang

umum kan mempunyai hak berbicara ya jadi kita juga

tidak bisa mengontrol negara apa mau ngomong apa.

Tapi di sidang umum PBB tuh kita punya hak untuk

menjawab dan itu selalu kita lakukan, selalu kita

gunakan untuk menjawab tudingan-tudingan di PBB.

Kristin Natalia : sebenarnya menurut mas sendiri kepentingan

Vanuatu membawa isu ini tuh apa sih mas

sebenarnya?

Harditya Suryawanto : sebenarnya itu tadi yang saya bilang, jadi mereka

mencoba menarik perhatian masyarakat

internasional dan mereka berharap dengan membawa

isu ini ke forum PBB, maka isu ini akan mendapatkan

perhatian disana. Mendapatkan perhatian gimana

caranya? Caranya ya masuk list issues lah, jadi list

issues dan dibahas, dibikin komite, dibikin

prosedural, jadi masalah ini akan dibahas. Tapi yang

diinginkan Vanuatu sebenernya tidak tercapai, jadi

setiap dia ngomongin Papua kita bantah lalu selesai,

jadi cuma debat kusir aja karena di PBB akhirnya

tidak ada proses, tidak di follow up isunya. Pertama,

karena satu memang Papua sudah menjadi bagian

dari Indonesia dan yang kedua masalah Papua itu

masalah internal di Indonesia. Jadi di forum PBB itu

kan prinsipnya menghormati kedaulatan ya jadi saya

yakin bahwa tujuan Vanuatu adalah ingin

menginternasionalisasi masalah Papua yang agak

susah sebenarnya ya dan sulit di PBB, karena ya itu

tadi penghormatan kedaulatan, lalu yang kedua kita

sudah jelaskan bahwa masalah Papua adalah masalah

105

internal dalam negeri Indonesia dan Indonesia sudah

melakukan banyak hal mengenai Papua. Jadi tujuan

mereka ya hanya ingin menarik perhatian aja gitu.

Kristin Natalia : untuk langkah yang dilakukan Indonesia itu sendiri,

Indonesia pernah melakukan diplomasi gak sih mas

dengan Vanuatu untuk meredam dukungannya

terhadap isu Papua merdeka?

Harditya Suryawanto : sebenarnya kita mempunyai hubungan diplomatik

dengan Vanuatu ya, kita punya namun memang kita

tidak mempunyai kedutaan disana. Sebenarnya kita

juga sudah melakukan diplomasi bilateral dengan

Vanuatu kita melakukan kerja sama ekonomi, kerja

sama pembangunan kapasitas, dalam beberapa

pelatihan kita sudah mengundang masyarakat,

mahasiswa, pemuda Vanuatu untuk belajar ke

Indonesia nah sebenarnya kita sudah melakukan

pendekatan, sudah melakukan kontak dengan

pemerintahnya..parlemennya untuk menyampaikan

posisi Indonesia tapi memang mereka masih belum

berubah ya artinya ya mungkin mereka masih ingin

terus memperjuangkan Papua di PBB.

Kristin Natalia : apakah ini artinya Indonesia akan terus

berdiplomasi dengan Vanuatu mas?

Harditya Suryawanto : yaa sebenarnya selama isu ini masih akan diangkat

sebenarnya kita juga gak bisa tutup mata dan kita

juga gak bisa kehilangan kesabaran ya, maksudnya

diplomasi ini kan harus konsisten tapi juga saya

yakin bahwa ada batasannya juga, tapi sepanjang

yang saya lihat memang diplomasi kita kepada

Vanuatu ini memang harus terus dilakukan ya tidak

boleh berhenti,tidak boleh menyerah, tidak boleh

mundur karena memang kita punya tantangan dalam

artian jarak jauh, kita jaraknya jauh dari Vanuatu.

Yang kedua, kita juga tidak punya embassy disana

artinya kehadiran kita kan masih sangat kurang

disana. Yang ketiga, tokoh-tokoh OPM kan banyak

106

yang tinggal disana artinya sudah kehadiran kita

kurang, OPM juga ada disana dan artinya mereka

banyak bergaul dengan pemerintahan disana

sementara kita tidak. Jadi sementara yang saya lihat

bahwa diplomasi kita tetap harus konsisten disana.

Kalimatnya adalah, melakukan diplomasi yang

terukur ya jadi kita harus tahu situasi di lapangan,

harus tahu pemainnya siapa saja dan itu yang kita

lakukan.

Kristin Natalia : di sidang umum PBB itu kan duta-duta Indonesia

yang menangani tudingan Vanuatu tersebut, kalau

disini sendiri mas isu konflik Indonesia dengan

Vanuatu ini termasuk urgent tidak ya mas untuk

ditangani disini?

Harditya Suryawanto : sebenernya iya ya, namun karena kita sudah terbiasa

menanganinya satu sudah tau isunya, sudah tahu

kira-kira narasi apa yang akan disampaikan oleh

Vanuatu jadi sebenarnya kita sudah bisa

menjawabnya dengan mudah. Karena tudingannya

kan nomor satu itu pasti pelanggaran HAM, yang

kedua masyarakat Papua itu miskin, atau tidak

berkembang, terjadi ketidakadilan. Narasi yang

disampaikan Vanuatu juga sering kali mengangkat

mengenai masalah ketidaksahan Papua bergabung

dengan Indonesia dan hal-hal tersebut juga

sebenarnya sudah beberapa kali kita jawab jadi

artinya kalau menjadi perhatian kita ya tetap menjadi

perhatian tapi narasi yang sudah kita sampaikan yaa

akan sama gitu, jadi sudah sering kita jawab, artinya

tetap ditangani tapi narasinya juga tidak berbeda jauh

karena jawabannya akan tetap sama.

Kristin Natalia : untuk keanggotaan Indonesia di dewan keamanan

PBB kalau tidak salah akan berakhir pada bulan

desember akhir ya mas?

Harditya Suryawanto : iya, akhir desember ini

107

Kristin Natalia : nantinya apakah Indonesia akan tetap mencalonkan

diri menjadi anggota tidak tetap dewan keamanan

PBB tidak mas?

Harditya Suryawanto : kayanya engga, setelah tahun ini selesai kita belum

akan mencalonkan lagi ya..

Kristin Natalia : kalau boleh tahu alasannya kenapa ya mas?

Harditya Suryawanto : karena begini ya Indonesia kan terpilih di dewan

keamanan PBB itu karena hasil kontes, lalu juga ada

banyak negara yang ingin menjadi anggota dewan

keamanan. Jadi sebenarnya kita mewakili kawasan

Asia, mbak Kristin kan ingat bahwa negara-negara di

kawasan Asia kan ada ratusan ya, artinya untuk

mendapatkan kursi di dewan keamanan itu harus

bersaing dengan negara-negara lain. Nah saat

Indonesia mencalonkan diri menjadi anggota dewan

keamanan sekitar lima tahun lalu kita mulai

kampanye dan kita sudah melobi dengan banyak

negara untuk memastikan bahwa kita bilang ke orang

bahwa kita mau maju menjadi anggota dewan

keamanan PBB pada tahun ini, tahun ini, tahun ini

untuk memastikan giliran, jadi kita tidak bisa selalu

menjadi anggota.

Bayangin negara-negara di Asia ada seratus dan kursi

Asia di dewan keamanan itu cuma dua, jadi

bayangkan seratus negara ini harus giliran, coba

mbak cek apakah India masuk jadi anggota kan

enggak, apakah Jepang masuk menjadi anggota kan

enggak juga jadi artinya selalu bergiliran. Jadi karena

giliran itu setelah ini mungkin kita belum akan

mencalonkan lagi.

Kristin Natalia : saat menjabat menjadi anggota tidak tetap dewan

keamanan PBB, sebenarnya hal yang ingin diraih

Indonesia itu apa sih mas?

108

Harditya Suryawanto :sebenarnya itu bagian dari cita-cita kita dan amanah

konstitusi ya bahwa kita harus turut serta dalam

perdamaian keamanan dunia, dan kita melihat bahwa

posisi Indonesia sebagai anggota keamanan PBB

akan bisa memberikan kontribusi lebih dengan kita

menjadi anggota tidak tetap. Karena apa, karena

banyak konflik di dunia ini yang sebenarnya

Indonesia bisa menawarkan jalan tengah dalam artian

kita negara muslim, kita negara demokrasi muslim

terbesar, kita anggota GNB, dan juga kita senantiasa

menjembatani kepentingan negara-negara

berkembang dalam forum-forum dalam dewan

keamanan ya karena kita sebagai bridge builder lah

ya, jadi kalau mbak Kristin lihat dinamika di dewan

keamanan ini kan ada Amerika, ada Rusia, ada China

jadi ya perlu ada middle power nah itu kita mencoba

menjadi middle power disana.

Kristin Natalia : oke, kalau untuk pro dan kontranya itu ada gak ya

mas saat Indonesia menjabat menjadi anggota dewan

keamanan?

Harditya Suryawanto : kalau saya lihat sih gak ada ya, karena kita banyak

dapat dukungan dari banyak negara ya untuk pro-nya

banyak ya tapi mungkin kalo kontra sih gaada.

Kristin Natalia : kalau komitmen yang dilakukan oleh Indonesia saat

menjadi anggota dewan keamanan itu seperti apa

mas?

Harditya Suryawanto : komitmen kita lebih ke arah melakukan aksi nyata

ya, misalkan di isu perdamaian kita menyampaikan

pledge atau janji untuk meningkatkan jumlah

peacekeeper kita, pasukan penjaga perdamaian, lalu

kita juga di bidang penanggulangan terorisme kita

juga lumayan aktif kita salah satu negara yang

dipandang penanggulangan terorismenya cukup

berhasil. Bukan hanya karena kita mengedepankan

hard approaches tapi kita juga menebarkan soft

approaches ya karena kita juga mengedepankan

109

pendekatan kepada narapidana terorisme dan juga

pendekatan sosiologis ya, jadi sebenarnya banyak hal

yang kita sudah sampaikan di forum dewan

keamanan PBB, komitmen-komitmen kita dan juga

terus mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh

dewan keamanan di isu-isu perdamaian dan

keamanan internasional ya.

Kristin Natalia : kalau isu prioritas yang dibawa itu apa mas?

Harditya Suryawanto : isu prioritas di dewan keamanan itu sebenarnya

kita..nomor satu terkait dengan konflik ya, kita

memastikan bahwa konflik ini bisa terselesaikan

dengan baik, yang kedua adalah isu prioritas kita

terkait penanggulangan terorisme, yang ketiga adalah

kita memastikan peningkatan peran perempuan

dalam penanganan konflik, yang terakhir juga kita

ingin memastikan bahwa organisasi regional seperti

ASEAN juga turut serta dalam pembahasan

perdamaian dan keamanan internasional di forum

PBB.

Kristin Natalia :kurang lebih pengaruh seperti apa sih mas yang

dimiliki oleh Indonesia di dewan keamanan PBB?

Harditya Suryawanto : saya bisa bilang Indonesia ini pengaruhnya cukup

besar, karena kita sudah diakui bukan hanya sebagai

negara muslim demokrasi terbesar tetapi kita juga

diplomasi kita sudah sangat diakui ya, kita salah satu

pendiri ASEAN, pendiri gerakan non-blok, kita

emerging country yang posisinya sangat strategis,

suara kita juga sering didengar, nah di forum PBB

sendiri kita seringkali menjadi fasilitator di PBB kita

menjadi koordinator ketua GNB. Lalu diplomasi-

diplomasi kita memberikan warna tersendiri di PBB

dalam artian selama ini kita selalu memberikan solusi

lalu kita selalu menjembatani kepentingan negara-

negara berkembang terhadap suatu isu jadi tidak

melulu isunya di dominasi oleh negara-negara maju.

110

Nah itu tugas-tugas dan peran yang selama ini kita

jalani.

Kristin Natalia : baik, disini selanjutnya saya akan membahas

mengenai hubungan Indonesia dengan Melanesian

Spearhead Group yang di dalamnya ada negara-

negara Pasifik Selatan. Sebenarnya Indonesia masuk

ke dalam keanggotaan MSG gak ya mas?

Harditya Suryawanto : kita itu seinget saya masih observer ya, karena kita

mengajukan diri menjadi observer dan waktu itu

disetujui ya.

Kristin Natalia : oke, peran Indonesia saat menjadi observer itu

seperti apa mas?

Harditya Suryawanto : kita mencoba menawarkan banyak bantuan ke

MSG, dalam rangka Pasific Building, pembangunan

ekonomi, pembangunan sosial, jadi kita disana tuh

tidak hanya menjadi observer tapi kita menawarkan

banyak bantuan karena kita melihat banyak

kesamaan tantangan yang kita hadapi dengan negara-

negara di MSG, contohnya adalah seperti tadi yang

saya bilang faktor ekonomi, mereka masih negara

yang membangun mempunyai tantangan di bidang

kemiskinan. Jadi isu-isu tersebut yang kami usung di

MSG.

Kristin Natalia : untuk hubungan diplomatik Indonesia dengan

negara-negara MSG itu seperti apa mas?

Harditya Suryawanto :kita punya hubungan diplomatik dengan hampir

semua negara-negara di MSG ya, cuma memang

seperti tadi yang saya sampaikan bahwa kita cuma

mempunyai tiga perwakilan disana ya itu ada di

Papua Nugini, di Fiji, dan Numea ya jadi kita hanya

punya tiga perwakilan, namun kita punya hubungan

diplomatik dengan negara-negara di Pasifik Selatan

ya

111

Kristin Natalia : Masuknya Indonesia menjadi associate member di

MSG itu merupakan suatu usaha Indonesia untuk

membendung isu Papua merdeka yang kerap dibawa

oleh Vanuatu bukan ya mas?

Harditya Suryawanto : oh iya associate member ya kalo gak salah, saya

sudah tidak update lagi. Nah MSG ini kan selama ini

kita lihat juga sering digunakan oleh OPM ya untuk

memperjuangkan isunya disana, dengan masuknya

kita menjadi associate member disana kita berharap

kita mampu, kita diberikan kesempatan, diberikan

forum untuk menjawab tuduhan-tuduhan yang ada.

Kita gamau MSG yang memang grup negaranya

masih banyak yang mempunyai tantangan di bidang

ekonomi ini dijadikan kendaraan politisir isu yang

sebenarnya sudah bisa kita selesaikan. Jadi

sebenarnya kita memanfaatkan posisi kita di MSG

untuk menjadikan forum ini sebagai kesempatan kita

untuk menjelaskan masalah, memberikan informasi,

dan memberikan update.

Kristin Natalia : berarti kurang lebih kepentingan Indonesia masuk

kedalam MSG itu karena isu tersebut mas?

Harditya Suryawanto : iya, jadi sebenarnya ada dua hal. Dari sisi politisnya

kita mencoba membendung OPM, Yang kedua ke

arah pembangunan ya, pembangunan ekonomi,

peningkatan kapasitas. Jadi arahnya lebih kesana.

Kristin Natalia : kalau keterlibatan Indonesia di MSG sendiri itu

pernah menimbulkan konflik antar organisasinya

itu sendiri?

Harditya Suryawanto : Internalnya gitu ya?

Kristin Natalia : Iya, internalnya.

Harditya Suryawanto : sebenarnya seinget saya waktu itu ada perbedaan

pandangan antar anggota MSG apakah satu harus

menerima Indonesia atau tidak, karena kriteria

112

anggota MSG itu kan harus Melanesia ya,

sebenarnya narasi kita waktu itu adalah Indonesia

punya kok etnis Melanesia di Papua, di NTT, di

Maluku, jadi sebenarnya kita memenuhi kriteria. Jadi

itu ya sempat terpecah pandangannya karena

perdebatan akan menerima Indonesia atau tidak.

Kristin Natalia : menurut mas sendiri, strategi yang dilakukan

Indonesia untuk masuk ke dalam MSG itu sudah

tepat dilakukan tidak ya mas untuk membendung isu

OPM?

Harditya Suryawanto : Menurut saya sudah tepat ya, karena istilahnya kita

melakukan diplomasi total ya dimana isu itu dibahas

kita datang kesana untuk menjelaskan isunya,

memberikan kontra narasi, menjelaskan informasi

yang berimbang, jadi sebenarnya menurut saya

diplomasinya sudah tepat ya, apa yang kita lakukan

di kawasan Pasifik Selatan.

113

Lampiran 3

Naskah Wawancara Kristin Natalia dengan Rosita Dewi, Pusat Penelitian Politik,

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Narasumber : Dr. Rosita Dewi S.IP, M.A..,

Jabatan : Peneliti Bidang Perkembangan Politik Internasional, Pusat

Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Waktu : Jakarta, 8 Desember 2020

Lokasi : Via Zoom Online Meeting

114

Pertanyaan penelitian untuk data primer penulisan skripsi:

“Analisis Diplomasi Indonesia Terhadap Vanuatu Terkait Isu Papua

Merdeka”

Kristin Natalia : Baik bu, pertanyaan pertama yang ingin saya tanyakan

adalah seperti apa dinamika dari isu papua merdeka saat ini?

Rosita Dewi : iya, kalo mbak Kristin juga mengikuti ya, ini kan isu

bergulir terus gitu ya. Permintaan merdeka dari beberapa

kelompok yang pro merdeka gitu ya, harus tau juga

konstelasinya di sana sebenarnya seperti apa dari gerakan-

gerakan itu. Karena kan ada transformasi gerakan pro papua

merdeka dari masa integrasi sampai sekarang. Jadi, ketika

dulu gerakannya itu masih terbatas dengan gerakan

bersenjata lewat OPM, TPNPB. Nah kalo sekarang setelah

reformasi, perjuangannya bertambah ada perjuangan damai.

Perjuangan yang mengambil jalur damai melalui presidium

dewan papua PDP, pada masa itu pak Theys yang menjadi

ketuanya. Kemudian ini mulai beralih lagi ketika banyak

diaspora di luar negeri, ketika itu perjuangannya menjadi

perjuangan damai sampai ke diplomasi luar negeri.

Jadi prosesnya transform lagi gitu ya jadi tidak hanya

terbatas di dalam Papua dengan gerakan bersenjata dan

perjuangan damai tapi juga mulai di luar gitu gerakan-

gerakannya, jadi dinamikanya itu yang kemudian orang

sering menyebutnya menginternasionalisasi isu papua. Dan

terlebih lagi ketika Juni tahun 2015, ULMWP yang dibawah

Benny Wenda itu masuk menjadi observer di Melanesian

Spearhead Group (MSG). Itu bentuk baru dari perjuangan

Papua merdeka, masuk ke dalam bentuk kerja sama sub-

regional, nah ini baru pertama kali dilakukan oleh ULMWP

walaupun sebelumnya WPNCL itu dibawah pak Okto Mote

yang kemudian memang bergabung juga dengan ULMWP

tapi sebelumnya pada tahun 2013 dan 2014 sudah

mengajukan menjadi anggota MSG belum diterima pada saat

itu, kemudian mereka akhirnya WPNCL, NRFPB, itu

bersatu membentuk ULMWP.

115

Kemudian tahun 2015 mendaftarkan diri dan menjadi

observer di MSG. Nah itu sih titik baliknya sebenarnya

bentuk-bentuk transformasi perjuangan yang ada di Papua,

nah dinamika di Papuanya sendiri kalau mbak juga baca

buku kita yang Papua Road Map itu kan ada empat akar

masalah tuh mbak di Papua kalo menurut kita, jadi ada

persoalan HAM, ada persoalan marginalisasi, ada persoalan

kegagalan pembangunan, ada juga persoalan perbedaan

interpretasi sejarah dan juga status politik. Nah itu yang

kemudian menjadi akar konflik di Papua, nah ini kalo saya

melihatnya karena ini belum diselesaikan maka dinamikanya

masih seperti ini, makanya di Papua sendiri, gejolak-gejolak

untuk permintaan papua merdeka juga masih agak kencang

kemudian juga sekarang permasalahan penolakan otsus jilid

2 itu juga semakin menambah dinamika yang ada di Papua,

begitu sih kurang lebih mbak.

Kristin Natalia : baik bu, berarti empat pilar yang ibu sampaikan tadi

termasuk dalam latar belakang mengapa Papua ingin

memisahkan diri dari Indonesia ya bu?

Rosita Dewi : iya itu sebenarnya akar dari adanya konflik tersebut, karena

kan kalo kita melihat empat persoalan itu ada diskriminasi

dan marginalisasi bahwa orang asli Papua merasa

terpinggirkan dengan keberadaan mereka di Papua,

kemudian adanya perasaan berbeda dengan mayoritas

masyarakat di Indonesia, nah hal-hal seperti itu juga menjadi

salah satu penyebabnya. Kemudian yang kedua adanya

kegagalan pembangunan, ketika masa orde baru lebih ke

security approach dibandingkan human security approach

gitu ya walaupun sekarang dijawab dengan otsus ya karena

yang kita tahu bahwa otsus memprioritaskan pada

pembangunan.

Kekerasan negara dan pelanggaran HAM yang sebenarnya

sering menjadi amunisi dari kelompok-kelompok pro

merdeka itu untuk meminta pemisahan diri terkait dengan

pelanggaran HAM karena kita tahu sejak masa integrasi

kemudian masa orde baru, dibawah kepemimpinan presiden

Soeharto itu pendekatannya cukup kental dengan pendekatan

keamanan, bahkan sampai sekarang pun hal-hal itu masih

berlanjut walaupun intensitasnya berbeda dengan yang dulu

116

tapi hal ini belum berhenti. Makanya ini selalu digunakan

oleh kelompok-kelompok pro merdeka terutama yang ada di

luar negeri bahwa pelanggaran HAM di Papua ini yang

kemudian menjadi alasan mereka untuk meminta pemisahan

diri, dan juga interpretasi sejarah dan status politik karena

kelompok pro merdeka beranggapan bahwa ketika 1

Desember 1961 itu mereka sudah mendeklarasikan

kemerdekaannya tapi ini kan debateable gitu ya bahwa

ketika itu memang sempat dibentuk New Guinea Raad,

dewan Papua. Tapi banyak yang menyatakan bahwa saat itu

tidak ada deklarasi dan juga sebenarnya keberadaan Papua

sebagai bagian dari indonesia sudah diakui oleh PBB, tidak

bisa dianulir, tapi perjuangan mereka makanya tidak

menggunakan deklarasi tersebut melainkan pelanggaran-

pelanggaran HAM yang terjadi di Papua yang kemudian

selalu diangkat di internasional forum untuk menggugat

penanganan Indonesia terhadap Papua. Seperti itu sih mbak.

Kristin Natalia : baik, selanjutnya yang saya ingin tanyakan yaitu terkait

dengan pemerintah, sebenarnya upaya dan pendekatan

seperti apa sih bu yang dilakukan pemerintah kita untuk

menangani konflik di Papua?

Rosita Dewi : kalau untuk saat ini ya, terutama setelah reformasi itu kan

kita tahu otsus gitu ya, pemberian otonomi khusus.

Pemberian otsus itu kan sebenarnya upaya untuk resolusi

konflik, kalau saya melihatnya seperti itu sebagai upaya dari

resolusi konflik, dari situ memang kelihatan gitu mbak, jadi

upaya pemerintah itu ingin mengubah pendekatan yang

sebelumnya kental dengan keamanan. Ada empat prioritas

dari otsus, ada pendidikan, kesehatan, kemudian ekonomi

kerakyatan dan infrastruktur. Nah pemerintah memilih

pendekatan itu, pendekatan pembangunan. Walaupun di

dalam otsus sendiri tidak terbatas hanya persoalan

pembangunan, ada berbagai macam elemen yang ada di

otsus karena sebenarnya otsus cukup komprehensif ya untuk

penanganan konflik, jadi kalau saya melihat saat ini

pemerintah memang lebih mengedepankan aspek

pembangunannya. Tapi memang tidak bisa kita hilangkan

bahwa pendekatan keamanan itu masih ada dan saling

berdampingan gitu, tapi kalau dari kebijakan pemerintah

117

sendiri yang tertulis misalnya seperti inpres pak Jokowi,

mulai dari inpres pak SBY dengan percepatan pembangunan,

kemudian dikeluarkan lagi tentang pembentukan UP4B pada

masanya pak SBY, kemudian pada masa pak Jokowi juga

dikeluarkan lagi tentang percepatan pembangunan itu

memang kelihatan bahwa upaya pemerintah itu seperti itu,

karena menurut pemerintah ketika nanti aspek kesejahteraan

itu terpenuhi maka bisa mengurangi keinginan untuk

merdeka.

Kristin Natalia : upaya-upaya tersebut sebenarnya berpengaruh besar tidak

ya bu untuk organisasi OPM atau gerakan separatisme di

Papua untuk setidaknya menjadi redam?

Rosita Dewi : tidak bisa langsung seperti itu sih mbak sebenarnya, karena

kan OPM ini juga ada yang memang ideologis gitu ya, nah

yang ideologis ini yang agak susah mau kondisinya seperti

apapun ketika mereka ideologis ya susah, namun ada juga

yang pragmatis. Nah ini mereka juga shifting gitu ya mbak,

ada yang berubah ada gerakan yang dari pro merdeka

kemudian shifting mendukung NKRI ada juga yang

sebelumnya mendukung Indonesia kemudian berubah

menjadi pro merdeka, dinamikanya seperti itu ada

pergeseran-pergeseran seperti itu.

Jadi tidak bisa dilihat langsung bahwa ini bisa mengurangi

gerakan pro merdeka di sana, tapi arah perbaikan di sana itu

ada walaupun ada juga yang masih stagnan jadi indikator-

indikatornya harus dilihat lebih detail lagi sih mbak.

Misalnya jika kita lihat dari klaimnya Bappenas bahwa

kemiskinan Papua sejak tahun 2001 setelah otsus sampai

sekarang berkurang misalnya dari 50% menjadi 26% tapi

kan kalau menurut orang asli Papua ya itu yang ada di kota,

ketimpangannya masih cukup besar, itu untuk wilayah yang

banyak orang-orang non Papuanya. Ketika kita melihat lebih

detail lagi, ke kabupaten-kabupaten atau wilayah yang

banyak orang asli Papuanya itu kelihatan sekali bahwa angka

kemiskinan kesejahteraan mereka itu tidak berubah

misalnya, atau malah kadang-kadang lebih buruk. Kalau

misalnya bermain data maka harus dilihat lebih detail lagi

gitu.

118

Kristin Natalia : baik bu, yang selanjutnya ingin saya tanyakan ada tidak sih

bu sebuah organisasi atau negara yang secara terang-

terangan mendukung isu Papua merdeka?

Rosita Dewi : kalau negara yang mendukung, setahu saya cuma satu ya

mbak yaitu Vanuatu karena mereka kan memang mau

mengangkat Melanesian Brotherhood gitu ya, pokoknya

maunya semua komintas melanesian mereka itu merdeka.

Kalo negara-negara yang lain, karena mereka juga

menghormati prinsip non-interference dalam negeri negara

lain ya mereka tidak secara eksplisit mengungkapkan bahwa

mereka mendukung Papua merdeka itu tidak, jadi tetap

mendukung Papua sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia,

karena banyak negara-negara lain yang juga menghadapi

situasi yang sama seperti Indonesia, mereka juga tidak akan

suka ketika mereka diintervensi seperti itu, jadi kalau yang

saya tahu itu ya hanya Vanuatu yang mendukung secara

terbuka gerakan Papua merdeka, kalau negara-negara lain

bahkan yang di Inggris ketika mereka banyak bersuara

banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Papua itu bukan

statement negara.

Jadi tidak resmi negara mendukung pemisahan Papua dari

Indonesia, jadi setahu saya tidak ada negara yang

mendukung selain Vanuatu ya. Bahkan negara-negara

Afrika yang dilobi oleh negara-negara pasifik ini juga

mereka merupakan gerakan yang tidak secara terbuka dari

negara, tapi mereka gerakan NGO-nya atau misalnya PNG

atau Solomon itu pun juga ketika mereka misalnya

mendukung keanggotaan ULMWP sebagai observer di MSG

tapi tidak kemudian ber-statement bahwa negaranya

mendukung gerakan Papua merdeka. Itu setahu saya ya

mbak, mungkin nanti bisa di cek lagi yaa.

Kristin Natalia : baik ibu, tadi di awal-awal ibu sempet menyinggung sedikit

nih mengenai ULMWP, yang ingin saya tanyakan yaitu

ULMWP ini merupakan suatu organisasi atau kelompok dan

apa sih sebenarnya kepentingan dari ULMWP itu sendiri bu?

Rosita Dewi : mungkin mbak Kristin bisa baca bukunya ULMWP ya, jadi

disitu ada visi misi dari ULMWP bahwa mereka ingin

memerdekakan orang Papua yang mana mereka melihat

119

bahwa Indonesia sebagai penjajah, ini dalam persepsinya

ULMWP ya mbak, jadi dalam persepsinya mereka Indonesia

itu sebagai bentuk kolonialisme baru untuk Papua jadi

mereka ingin membebaskan Papua dari itu ya penjajah. Nah

hal itu yang kemudian menjadi agenda mereka, jangan

sampai terjadi lagi pelanggaran HAM misalnya yang mereka

dengungkan, jangan lagi terjadi kemiskinan, itulah yang

menjadi motor dari gerakan ini karena kan mereka juga

banyak diaspora ya banyak yang exile, banyak yang lari dari

Papua karena mereka kalo di Papua pasti ditangkap jika

mendukung gerakan itu, makanya mereka berjuang di luar.

Itu lah yang digaungkan oleh ULMWP menjadi tujuan

mereka memerdekakan orang Papua dari penjajah.

Kristin Natalia : ULMWP ini berbeda dengan OPM ya bu?

Rosita Dewi : beda mbak, jadi kalau dari strukturnya itu OPM kan

gerakan bersenjata tapi dia tidak menjadi bagian dari

ULMWP. Jadi mereka sudah ada terlebih dahulu, jadi awal

pergerakan dari pro Papua merdeka dari situ. Awalnya itu

tahun 1962 kalau saya tidak salah OPM terbentuk, kemudian

mereka terpecah-pecah menjadi beberapa faksi, ada yang

OPM, ada yang tentara revolusi, ada yang kemudian menjadi

TPNPB, itu menjadi sayap gerakan bersenjata. Kemudian

kalo ULMWP ini masih baru, pernah sempat pada tanggal 1

Juli 2019, ULMWP ini mengklaim didukung oleh gerakan

bersenjatanya di Papua ya OPM, TPNPB, dan tentara

revolusi dengan membentuk West Papuan Army, diklaim

oleh ULMWP bahwa itu dibawah mereka. Namun kelompok

dari OPM sendiri mereka menyangkal bahwa tidak pernah

bergabung dengan ULMWP jadi sendiri sendiri

perjuangannya mereka mbak.

Karena mereka kan memang memiliki keinginan yang sama

untuk Papua merdeka, namun cara atau idealisme yang

ditempuh itu berbeda jadi tidak bisa mereka kemudian saling

mewakili. Dan juga sekarang banyak muncul gerakan kaum

muda yang ada di Papua juga, misalnya KNPB, kemudian

aliansi mahasiswa Papua, itu memang banyak yang

mendukung ULMWP, nah ini memang konsep mereka sama

sama menggunakan jalur damai ya berbeda dengan OPM.

jadi harus dilihat sendiri-sendiri begitu mbak mereka bukan

120

bagian dari ULMWP misalnya kaya yang kemarin itu

Egianus Kogoya, yang terjadi konflik di Nduga, kemudian

yang kemarin di Sugapa yang sampai terjadi penembakan

pendeta Yeremia, itu juga OPM nya tidak berada di bawah

ULMWP. Jadi mereka berbeda ya mbak.

Kristin Natalia : iya bu, terkait dengan berita baru baru ini bu, yang Benny

Wenda..

Rosita Dewi : Deklarasi?

Kristin Natalia : iyaa, deklarasi itu. Jadi dengan melihat keadaan sekarang

potensi Papua memisahkan diri itu sebenarnya ada tidak ya

bu? Dan apa yang akan terjadi setelahnya jika hal tersebut

benar terjadi?

Rosita Dewi : Deklarasi Benny Wenda kemaren itu menurut saya itu tidak

akan bergaung cukup besar gitu ya, mbak coba cari juga di

youtube kalau saya gak salah, ada juga pernyataan dari Pak

Okta Mote dia juga anggota dari ULMWP yang menyatakan

bahwa sepihak itu yang dilakukan oleh Benny Wenda jadi

agak susah ini dukungannya juga masih debatable apakah

ketika Benny Wenda mendeklarasikan pendirian

pemerintahan darurat Papua, kemudian akan solid. Karena

ternyata di tubuhnya ULMWP aja tidak solid gitu. Memang

diawal pembentukannya, beberapa organisasi setuju untuk

berkumpul ke dalam satu organisasi yaitu ULMWP ya, tapi

dalam dinamikanya ini mulai ada faksi-faksi atau

perpecahan jadi ini sendiri coba mbak cari di youtobe atau

berita tentang pernyataannya pak Oktavianus Mote nah itu

menunjukkan betapa tidak solidnya ULMWP.

Sebenarnya, deklarasi ini juga bukan baru dan pertama sih

mbak, kalo yang pertama deklarasi memang dari ULMWP

tapi sebelumnya di Papua pernah ada yang mendeklarasikan

juga negara federal gitu ya, NFPB yaitu Negara Federal

Papua Barat itu dideklarasikan pada kongres Papua 3 yang

dilakukan oleh dewan adat Papua, tapi itu ternyata bukan

dewan adat Papua secara keseluruhan jadi itu hanya yang

berada dibawah Pak Forkorus Yaboisembut nah ketika itu

Pak Forkorus masih menjabat sebagai ketua dewan adat

Papua, dan dia pada saat itu mengklaim bahwa sudah

mendeklarasikan negara federal Papua Barat jadi pada saat

121

itu sudah pernah ada deklarasi namun kemudian beliau

ditangkap dan sekarang NFPB ini menjadi bagian dari

ULMWP.

Cuma di NFPB sendiri juga tidak solid, bahwa ada yang

memang mendukung ULMWP tapi ada yang tetap maunya

sebagai NFPB. “oh kita sebagai negara federal aja, nanti jadi

bagian dari indonesia” kalo negara federal mereka

menginginkan bentuknya seperti Amerika gitu mbak

bentuknya jadi negara bagian. Perbedaan seperti itu yang

kemudian menimbulkan perpecahan di tubuhnya ULMWP

itu sendiri, nah untuk mendapatkan dukungan yang besar itu

masih agak sulit sih mbak, karena yang kita tahu di

Indonesia, di Papuanya sendiri gerakannya juga tidak satu

lini dengan yang ada di Papua dengan gerakan bersenjata dan

lain sebagainya. Mereka yang tidak satu komando ini yang

kemudian agak sulit untuk bisa bergaung dengan luas.

Kristin Natalia : baik, pertanyaan selanjutnya apakah menurut ibu kebijakan

dan pendekatan yang dilakukan pemerintah terhadap orang-

orang di Papua sudah tepat dilakukan atau tidak ya bu?

Rosita Dewi : kalau dikatakan tepat atau tidak, mungkin belum ya mbak

ya, belum bisa menyentuh hati orang asli Papua. Terkait juga

dengan satu, catatan tentang implementasi otsus itu masih

perlu benar-benar perlu direvisi. Mana yang sudah

dilakukan, mana yang belum. Karena yang ada dalam

otonomi khusus itu tidak hanya persoalan pembangunan

kesejahteraan dan pembangunan. Satu, catatan dari

pembangunan dan kesejahteraan juga masih debatable gitu

ya apakah pembangunannya itu berhasil mensejahterakan

orang Papua atau tidak. Kalau pencapaiannya ke arah yang

lebih baik memang ada, tapi ada juga yang tidak. Jadi ada

upaya kesitu. Kedua, terkait dengan UU Otsus ini juga

mengatur tentang pelanggaran HAM, pelanggaran HAM ini

bagaimana apakah pemerintah sudah menyelesaikan apa

belum. Kemarin, ketika masa awal pak Jokowi itu memang

dibentuk tim khusus untuk investigasi persoalan pelanggaran

HAM ya.

Dan kemudian keinginan orang asli Papua harus bisa

diinterpretasikan pemerintah dan diimplementasikan dalam

122

bentuk kebijakan gitu, jangan kemudian semuanya itu

dengan ukuran Jakarta misalnya apa yang menurut kita baik

belum tentu mereka butuh kurang lebih seperti itu. Jadi hal-

hal seperti ini yang harus dikomunikasikan nah persoalannya

ini yang belum terjadi ya mbak ya apa yang diinginkan oleh

orang Papua secara luas itu bukan hanya keinginan untuk

merdeka, itu kan enggak juga. Misalnya keinginan

pembentukan pembangunan mereka itu seperti apa,

kemudian apakah memang perlu untuk pengiriman pasukan

ketika terjadi konflik di kampung ada gerakan separatis,

dikirim lagi pasukan non organic misalnya, apakah aparat

keamanan yang ada di Papua baik aparat polisi atau TNI

yang memang organic di Papua itu tidak cukup.

Nah hal-hal seperti ini yang tidak dikomunikasikan dengan

baik, akhirnya masih terjadi reproduksi kekerasan, kemudian

pembangunan yang tidak tepat sasaran. Misalnya seperti

pemerintah membangun pasar-pasar yang besar di Papua

namun ternyata mama-mama di Papua tidak mau

menggunakannya, karena tidak mudah memindahkan mama-

mama Papua ini untuk mau berdagang di pasar yang besar.

Secara ekonomi, banyak yang meneliti kalau mahal dan

sebagainya tapi ini juga harus dilihat dari aspek budayanya

gitu bahwa bagaimana sih menurut kultur mereka apa yang

terjadi kalau mama-mama tersebut berjualan di pasar,

apakah ada relasi sosial budaya yang sebenarnya terbentuk

disitu yang serta merta tidak bisa langsung dipindahkan ke

gedung yang megah itu. Pendekatan pembangunan berbasis

budaya memang belum dilaksanakan, walaupun jargon dari

pemerintah yaitu pembangunan berbasis adat, tapi itu belum

terlaksana memang ada yang baik tapi ada juga yang benar-

benar belum menyentuh persoalan tadi ya itu mengapa

persoalan di Papua itu tidak kunjung usai.

Kristin Natalia : baik bu, selanjutnya yang ingin saya tanyakan yaitu yang

saya tahu bahwa Indonesia kan masuk ke dalam MSG. Nah

peran Indonesia di dalam organisasi itu seperti apa ya bu?

Rosita Dewi : jadi kalau melihat dari kronologinya, tahun 2011 Inodnesia

baru menjadi observer di MSG, kemudian tahun 2015

Indonesia baru menjadi Associate Member itu pun

bersamaan dengan ULMWP masuk sebagai observer. Jadi

123

pada saat itu memang ada lobi-lobi politik yang dilakukan

oleh pemerintah Indonesia ketika itu misalnya pada tahun

2015 presiden Jokowi mengunjungi PNG, pak Luhut datang

ke Fiji, kemudian ibu Retno Marsudi itu datang ke PNG, Fiji,

dan Solomon Island kalau saya tidak salah. Jadi itu yang

kemudian dilakukan oleh untuk tetap bisa mendapatkan

posisi yang berbeda dengan ULMWP untuk di MSG.

Memang tidak secara langsung melakukan diplomasi dengan

Vanuatu pada saat itu, tapi bagaimana itu Fiji, PNG itu ikut

mempengaruhi pengambilan keputusan di MSG itu yang

penting. Dan pada tahun 2015 itu terjadi badai di pasifik

mbak, nah itu Indonesia mengirimkan bantuan kemanusiaan

kepada Vanuatu kalau tidak salah sekitar 2 juta dollar

bantuan kemanusiaan ke Vanuatu. Nah itu yang saya pikir

kemudian mempengaruhi kenapa terjadi konsensus

pengambilan keputusan Indonesia kemudian diterima

menjadi associate member tapi Indonesia sampai sekarang

pun belum menjadi full member ya mbak, tapi at least

Indonesia tidak lagi berposisi sebagai observer karena

ULMWP berposisi sebagai observer pada saat itu, jadi ada

posisi yang berbeda disitu levelnya antara observer dan

associate member.

Kalau observer hanya boleh mengamati dia tidak boleh ikut

dalam proses pengambilan keputusan, kalau associate

member boleh mengikuti seluruh bentuk meeting dari MSG

dan juga bisa mengajukan aspirasi di pertemuan-pertemuan

yang dilakukan di MSG. Jadi ini bargainingnya Indonesia di

MSG juga ada, kalau hanya sebagai pengamat kan tidak

banyak yang dilakukan Cuma ya ini ULMWP sampai

sekarang juga masih mengajukan untuk menjadi full member

walaupun pada tahun 2016 ditolak. Hal-hal yang seperti ini

memang dilakukan, tapi yang kontinuitas untuk Indonesia ke

Pasifik masih belum terlihat benar ya mbak, kadang-kadang

malah orang menyebutnya menyuap juga gitu diplomasinya

“bribery” tapi itu kan perspektifnya beda-beda ya tergantung

yang melihat. Soft Diplomacy yang dilakukan Indonesia

dengan Vanuatu bentuknya ya itu dengan bantuan

kemanusiaan, yang memang banyak dilakukan itu ke Fiji dan

124

PNG karena itu cukup signifikan bagaimana mereka

semakin tidak mendukung gerakan pro merdeka di MSG.

Kristin Natalia : menurut ibu, keputusan Indonesia untuk terlibat di MSG

sudah tepat dilakukan tidak ya bu?

Rosita Dewi : kalau menurut saya memang perlu ya mbak, karena kalau

dulu kerja sama Indonesia dengan negara-negara Pasifik

tidak banyak dilakukan karena anggapan bahwa “oh

negaranya kecil kok” bahasa kasarnya ya sampai bilang “itu

juga kena ombak juga ilang pulaunya” hal hal seperti itu

yang tidak bisa lagi dilakukan, minimal kalo mau

menghadapi yang Papua itu ya ini, karena negara-negara di

Pasifik ini mereka melobi yang ada di Karibia, yang ada di

Afrika, untuk perjuangan Papua merdeka, dan juga ke Uni

Eropa.

Dan sebenarnya Indonesia sudah bagus di MSG namun

harus lebih aktif lagi. Kemudian juga di Pasific Island Forum

(PIF) karena di situ ada Australia dan New Zealand, kalo di

MSG kan Australia dan New Zealand kan tidak ada ya mbak

jadi Indonesia bisa berperan lebih di situ. Jadi saya pikir

Indonesia harus lebih aktif lagi baik kerja sama bilateral

maupun juga dengan sub-regional di Pasifik. Dan juga harus

mulai approach dengan Vanuatu, karena kan kemaren saya

dengar sudah ada rencana untuk Vanuatu membuka

perwakilan di Jakarta, namun saya tidak tahu realisasinya

seperti apa. Jadi approach-nya harus lebih ya, dan juga

engagement dengan non-state actors gitu ya mbak misalnya

dengan NGO dan LSM yang ada di sana, kemudian

akademisi-akademisi juga kemudian bagaimana itu tidak

hanya first track diplomacy tidak hanya G to G, tetapi juga P

to P maupun yang lainnya jadi multi layer diplomacy-nya

harus berjalan terutama untuk Vanuatu.

Karena Vanuatu ini agak susah karena dari konstitusinya dia

sendiri kan sejak merdeka dia menginginkan Melanesian

Brotherhood, independence of melanesian bahwa semua

yang melanesia itu merdeka ya menurut mereka, makanya

kan ketika MSG juga kenapa tidak hanya ada keanggotaan

negara kaya FLNKS yang dari New Caledonia itu partai

politik oposisi dan dia menjadi full member dari MSG.

125

makanya ketika ULMWP menjadi anggota itu bukan

menjadi barang aneh untuk MSG karena kan disitu ada juga

keanggotaan non negara jadi ini juga yang kemudian

sebenarnya Vanuatu bergeraknya ke situ jadi ya approach ke

Vanuatunya effortnya harus lebih gitu ya kalau memang mau

isu Papua merdeka ini tidak selalu dibawa Vanuatu ke forum

internasional dari tahun 2016 sampai 2020 ini kan Vanuatu

selalu membawa forum itu ke PBB di setiap sidang umum

PBB di setiap UNHR dia selalu membawa isu pelanggaran

HAM Papua ke forum internasional. Mereka berharap agar

ada special commision atau komisi khusus untuk mengamati

pelanggaran HAM di Papua. Jadi kalau ingin hubungan

dengan Vanuatunya juga membaik ya memang butuh effort

yang itu, jangan hit and run gitu model diplomacynya, harus

aktif, berkelanjutan, tidak sporadiks. Harus seperti itu sih

mbak menurut saya.

Kristin Natalia : mengenai kebijakan luar negeri Indonesia, saat ini arahnya

seperti apa ya bu?

Rosita Dewi : sebenarnya masih sama sih mbak, kita masih memakai

prinsip bebas aktif itu ya, bagaimana kita mau ikut juga di

Indo Pasifik dan saya melihatnya kita masih Upholding

untuk yang bebas aktif itu. Makanya kita membatasi untuk

tidak terlalu intervensi ke domestik negara-negara lain,

misalnya dengan ASEAN karena kan ASEAN paling dekat

nih bagaimana Indonesia berperan di ASEAN. Prinsip non

interference itu untuk negara-negara ASEAN ini kan cukup

dijunjung tinggi gitu ya, makanya walaupun ASEAN

mempromosikan democracy and human rights tapi

bagaimana itu kemudian eee misalnya seperti di Myanmar

itu ada kasus rohingya, kemudian di Filipina ada War on

Drugs, itu juga mengakibatkan apa..questionable yaa

pendekatan human rights-nya.

Jadi masih seperti itu sih mbak saya melihatnya, masih aktif

untuk perdagangan dan sebagainya tapi untuk kebijakan

luar negerinya sendiri masih bebas aktif. Dan sekarang

memang kalau dulu melihatnya hanya ASEAN dan Uni

Eropa gitu ya, sekarang sejak masanya pak Jokowi ini..ya

sebenarnya saat era pak SBY sudah mulai kelihatan bahwa

mereka mulai bergerak ke Pasifik Selatan ini. Ya sekarang

126

sudah semakin terlihat dan lebih aktif untuk politik luar

negeri Indonesia di Pasifik ini. Kalau saya melihatnya seperti

itu sih mbak.

Kristin Natalia : terkait dengan tudingan Vanuatu, sebenarnya Indonesia

pernah menyatakan nota protes atau tidak ya bu?

Rosita Dewi : setahu saya sih enggak ya mbak yaa, karena cuma beberapa

kali di pertemuan PBB aja mereka menggunakan hak

jawabnya gitu tapi kalau untuk nota protes sih sepertinya

tidak pernah dilayangkan secara tertulis gitu dengan

Vanuatu.

Kristin Natalia : baik bu, kalau untuk kawasan Pasifik Selatan itu dinamika

politiknya seperti apa ya bu?

Rosita Dewi : ya itu sih mbak, ketergantungan mereka terhadap Australia

dan New Zealand itu cukup tinggi karena untuk bantuan

sudah mulai ke China dan sebenarnya juga Jepang itu yang

paling tinggi ya ketergantungan mereka, bantuan Jepang

juga cukup tinggi dibandingkan dengan China dan Taiwan,

proyek-proyek Jepang yang ada di negara-negara Pasifik

sekarang mulai banyak. Dan juga ya itu tadi sih mbak,

mereka ketergantungan banyak dan internasional donornya

lumayan besar, jadi itu sih makanya mereka juga upholding

untuk keterbukaan tapi dari dinamika masing-masing di

dalam negerinya sendiri ya itu memang masih fragile ya

mbak untuk mereka misalnya untuk PNG dengan persoalan

Bougenville-nya kemudian New Caledonia dengan FLNKS-

nya, Fiji dari domestiknya.

Karena mereka kan negara-negara baru merdeka ya mbak

ya jadi saya pikir ya dinamikanya seperti itu, bagaimana

mereka ikut di forum PIF, kemudian Fiji mendirikan PIDF,

kemudian juga dengan yang MSG ini, nah mereka

ketergantungannya disitu. Dengan autralia dan New Zealand

ya hubungan mereka memang cukup dekat.

Kristin Natalia : baik bu, untuk pertanyaan yang terakhir jika nantinya

diplomasi dan rangkaian kerja sama yang telah dilakukan

Indonesia ke Vanutau ini sudah dilakukan namun ke

depannya Vanuatu akan tetap menuding kita, apakah

127

diplomasi ini akan tetap dilakukan atau ada cara lain menurut

ibu sendiri?

Rosita Dewi : kalau menurut saya ya ini tetap penting untuk tetap

dilakukan ya walaupun nanti Vanuatu sendiri masih tetap

seperti itu karena memang agak sulit kalau itu sudah menjadi

visi dan misi negaranya juga jadi susah gitu ya, karena ini

juga akan mempengaruhi secara region gitu ya, ketika

Vanuatu relasinya dengan Vanuatu ketika

ketergantungannya mereka misalnya dengan Indonesia juga

semakin besar ya itu juga pasti akan berpengaruh walaupun

apa namanya..pengaruhnya mungkin tidak langsung begitu

ya mbak jadi tidak langsung bisa mempengaruhi bahan

kebijakan Vanuatu terhadap Papua, misalnya begitu.

Tapi bagaimana itu juga bisa membalance informasi yang

ada di Vanuatu sebenarnya kondisi Papua itu seperti apa itu

juga pasti akan berdampak gitu walaupun mungkin tidak

akan berdampak langsung ketika di forum internasional

Vanuatu tidak membawa isu itu, tapi bagaimana kita bisa

meng-approach ketika itu Vanuatu itu juga apa namanyaa

kita masih bisa melokalisir gitu ya, tapi ketika itu

merembetnya ke nagara-negara yang lainnya, ketika

Vanuatu lebih pro aktif lagi itu yang kita bisa semakin

kesulitan disitu karena kan kemarin terbukti juga dengan

bantuan kita, dengan adanya pendekatan kita, ternyata di

MSG Indonesia juga bisa diterima menjadi associate

member jadi hal-hal seperti ini saya pikir harus tetap

dilakukan walaupun tidak bisa dengan cepat mengubah

kebijakan yang ada di Vanuatu.

Karena saya pikir, ketergantungan mereka juga cukup

penting jadi misalnya Indonesia bisa berperan lebih di MSG

terhadap negara Vanuatu, Fiji, PNG, Solomon, itu pasti akan

berdampak pastinya apalagi kalau nanti misalnya Indonesia

sampai bisa menjadi full member karena sampai saat ini kan

Indonesia belum bisa diterima menjadi full member.

At least gerakan mereka dalam mendukung ULMWP juga

akan semakin terkikis misalnya seperti itu, karena kan kalau

kita bisa mendekati tokoh-tokoh gereja, tokoh-tokoh LSM di

sana itu karena gereja itu kan memiliki peranan yang cukup

128

vital di sana gitu mbak, jadi saya pikir dengan seperti itu.

Makanya tadi saya bilang jangan hanya G to G, tapi ini harus

multi layer diplomacy. Jadi multi track diplomacy harus

tetap berjalan jadi saya pikir akan tetap ada pengaruhnya sih

mbak karena sampai saat ini kita belum sampai ke tahap itu

ya, jadi agak sulit juga untuk melihat kedepannya gitu.

129

Lampiran 4

Naskah Wawancara Kristin Natalia dengan Adriana Elisabeth, Koordinator

Jaringan Damai Papua (JDP)

Narasumber : Dr. Adriana Elisabeth M.Soc.Sc

Jabatan : Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP)

Waktu : Jakarta, 16 Juli 2021

Lokasi : Via Zoom Online Meeting

130

Pertanyaan penelitian untuk data primer penulisan skripsi:

“Analisis Diplomasi Indonesia Terhadap Vanuatu Terkait Isu Papua

Merdeka”

Kristin Natalia :baik, jadi pertanyaan pertama yang ingin saya tanyakan

mengenai hubungan antara indonesia dan vanuatu. Sebelum

Vanuatu menyatakan bahwa negara tersebut mendukung

kemerdekaan papua, sebenernya seperti apa hubungan

diplomatik antara Indonesia dengan Vanuatu ini?

Adriana Elisabeth :baik, eee saya mulai dulu dengan ini ya, pernyataan bahwa

Vanuatu mendukung Papua merdeka ya. Karena mesti juga

tau mengapa Vanuatu bersikap seperti ini. Ada sejarah

bahwa Vanuatu itu kan memang kemudian disebut sebagai

bagian dari rumpun Melanesia ya itu disebut oleh penjajah

lah bukan oleh Vanuatu sendiri ya, kan dia pernah dijajah

oleh eee Spanyol kemudian oleh Perancis kemudian oleh

Inggris nah jadi dia dimasukkan..eee sorry..jadi negara itu

dimasukkan sebagai bagian dari rumpun Melanesia.

Nah ketika kemudian Vanuatu merdeka pada tahun 80 itu,

eee...siapa perdana menteri pertamanya itu Walter Lini itu

menyatakan bahwa Vanuatu itu belum betul betul merdeka

kalau masih ada orang-orang yang ber-ras Melanesia itu

masih hidup dalam penjajahan. Gitu ya, itu kan filosofinya

tuh. Artinya, apakah salah dia punya filosofi seperti itu?

Menurut saya kita perlu perhatikan sejarah itu kan memang

bukan sesuatu yang selesai gitu, sejarah itu kan sesuatu yang

bisa diinterpretasi, jadi penggalan-penggalan peristiwa yang

bisa diinterpretasi.

Nah kemudian keinginan itu dimasukkan lah ke dalam

konstitusi negara Vanuatu kan...bahwa itu ditetapkan

sebagai state constitution bahwa Vanuatu itu turut berjuang

untuk membebaskan orang-orang Melanesia yang masih

hidup dalam ketertindasan dan sebagainya. Itu landasannya

mengapa kemudian suara-suaranya itu seringkali

bertentangan dengan eee.. apaa.. sikap pemerintah Indonesia

yang menegaskan Bahwa Papua itu adalah bagian resmi dari

Indonesia yaa..jadi itu. Kalau kemudian ada kesan atau apa

131

namanya statement-statement Vanuatu mendukung gerakan

Papua merdeka kita harus melihat dari sejarahnya itu.

Karena tidak seluruh pemerintahan di Vanuatu juga suaranya

sama, sevokal itu, gitu yaa. Ada kadang-kadang mereka

biasa aja, nah kalau tidak salah Indonesia kan punya

hubungan diplomatik..ehh bukan..sorry.. Hubungan dengan

Vanuatu itu sudah sekitar 25 tahun ya, pada waktu masa

presiden SBY, itu menlu Marty Natalegawa kan pernah

menggagas ide untuk membuat hubungan diplomatik resmi

Indonesia dengan Vanuatu, tapi rupanya tidak berhasil. Gitu

yaa, saya gatau persis kenapa tapi mungkin Kristin perlu

Wawancara dengan pak Marty Natalegawa...dulu di

Indonesia tuh untuk mempunyai hubungan diplomatik..

karena bagaimanapun situasi konflik ini kan harus

diselesaikan ya, nah hubungan diplomatik kita

menjembatani gitu ada hal-hal yang.. apa..kita kurang suka

dengan Vanuatu atau Vanuatu juga merasa kurang enak

dengan Indonesia dan sebagainya gitu.

Nah itu yang perlu kita lihat. Jadi, kalau berbasis kepada

konstitusi negaranya saya sebenernya tidak heran kalau

Vanuatu selalu bersuara seperti itu, kalau kita banding apa

yang terjadi di Papua.. misalnya kita banding gausah terlalu

jauh dengan PNG saja, Papua Indonesia itu jauh lebih maju

ya dari segi Infrastruktur dari segi eee.. modernisasi dan

sebagainya cuman memang kalau bicara soal konflik itu

ceritanya berbeda ya, berbeda karna masih ada isu-isu

sejarah yang belum selesai dalam interpretasi sebagian

masyarakat Papua, kemudian juga ada kasus-kasus

pelanggaran HAM kita tau banyak sekali karna kita harus

belajar juga tentang sejarah kekerasan di Papua, ada operasi

militer dan sebagai-sebagainya.

Tapi overall, kalo orang-orang dari Pasifik atau Pasifik

Selatan hadir saja ke Papua, mereka melihat perbedaannya

dengan PNG saja, Indonesia tuh.. Papua Indonesia tuh lebih

maju. Tapi sekali lagi, visit itu tidak bisa menutupi bahwa

ada sejarah kelam gitu ya di Papua terkait dengan

pelanggaran HAM.

132

Nah inilah isu-isu yang sangat universal yang bisa dibawa

oleh kelompok kelompok pro merdeka di dalam forum-

forum internasional. Nah, ketika..eee..orang-orang

mendengar berita-berita atau laporan-laporan atau pidato-

pidato di dalam forum internasional tentang kondisi di Papua,

walaupun yang menyuarakan itu adalah non state actor nah

vanuatu kemudian..eee.. menangkap pesannya bahwa "ooh

masih ada nih orang Melanesia yang hidupnya tidak

sejahtera, diperlakukan tidak adil, bahkan diperlakukan

diskriminatif" seperti itu ya, jadi membacanya mungkin

harus lebih cool gitu ya karena kalau kita terprovokasi juga

jadi nanti beritanya sama lagi sama lagi gitu kalau menurut

saya. Artinya we have to really know the story itu seperti apa,

historynya bagaimana dan sebagainya gitu. Nah sekali lagi,

menurut saya hubungan Indonesia dengan Vanuatu itu up

and down, tidak selalu juga dingin, kadang-kadang biasa

kadang-kadang juga baik.

Itu kan tergantung siapa yang memimpin pada waktu itu. But

again, if we..apa..lihat kepada konstitusi negaranya memang

stance-nya atau sikapnya memang seperti itu. Selama

mereka mendengar masih ada kejadian-kejadian yang

menimpa orang-orang Papua yang diasumsikan adalah ras

Melanesia ya mereka pasti akan bersuara seperti apa yang

tertulis di konstitusi mereka. Seperti kita juga kan, Indonesia

ikut berperan dalam perdamaian dunia kan itu selalu suara

kita. Kenapa kita membela..bukan membela sih..membantu

isu-isu kemanusiaan yang terkait dengan dunia, kan itu

bagian yang kita bilang bahwa itu adalah komitmen

Indonesia untuk turut mendukung perdamaian dunia, kaya

gitu ya kan ada dalam konstitusi negara kita gitu.

Kristin Natalia :kalau di berita-berita kan bu, selalu headlinenya itu

intervensi negara Vanuatu ke Indonesia, kalau menurut ibu

sendiri, ibu setuju tidak kalau tadi kan sudah dijelaskan

bahwa itu memang bagian dari konstitusi negara

mereka..eee..apakah memang tindakan Vanuatu ini bisa

disebut sebagai intervensi ke negara kita? Kalau menurut ibu

bagaimana?

133

Adriana Elisabeth :ya begini, tergantung siapa yang berbicara ya kalau suara

resmi pemerintah Indonesia bisa mengatakan itu intervensi

ya, karena intervensi itu tidak harus dalam bentuk fisik, tapi

komentar-komentar yang bertentangan dengan kebijakan

pemerintah tentang apa yang sedang coba diperbaiki di

Papua oleh pemerintah itu bisa dianggap intervensi. Tapi

kalau melihat dari perspektif Vanuatu, itu yang mereka harus

suarakan karena itu udah bagian dari sesuatu yang mereka

harus perjuangkan.

Nah memang kita gak tahu sampai kapan nih kasus ini

selesai kalo misalnya one day Papua itu lebih baik tidak ada

lagi soal kekerasan, tidak ada lagi soal ketidakadilan,

masyarakat Papua betul-betul sejahtera we'll see apakah

Vanuatu masih akan bersuara sama karena suaranya itu

berbasis kepada konstitusinya yang dia juga tidak pernah

melakukan intervensi dalam arti fisik kan? Tidak pernah ada

kan kirim pasukan atau kirim siapa nah itu kan gaada, tapi

pemerintah Indonesia membaca intervensi itu dari suara-

suara dan pernyataan-pernyataan yang disampaikan di forum

internasional. Karena itu juga sebagai simbol, bahwa ada

esensi bahwa Vanuatu ingin ikut campur urusan Indonesia.

Tapi bahwa Vanuatu mengatakan realita dari informasi yang

mereka dapat kita gabisa sangkal

Kristin Natalia :hmm..begitu ya bu..

Adriana Elisabeth :Betul, nah pemerintah Indonesia juga ada kelemahan ya

misalnya pada..saya lupa tahun berapa tuh..waktu itu pak

wapres pak Jusuf Kalla kan bicara di forum PBB beliau

menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran HAM di Indonesia,

maksudnya untuk apa ya supaya negara-negara tuh tidak

intervensi tidak campur tangan tapi itu menyangkal realita,

karena ada pelanggaran HAM di Papua. Presiden Jokowi

juga menyampaikan kan diawal periode beliau kan pak

Jokowi menjanjikan bahkan akan menyelesaikan seluruh

persoalan HAM di Indonesia termasuk di Papua nah itu

sudah bertentangan tuh statementnya.

Nah sekali lagi, jama digital seperti ini informasi mudah

didapat, diakses, dan sebagainya setiap peristiwa mudah

sekali..apa namanya.. di-share, di-publish, di-blash gitu kita

134

gabisa menyangkal realita memang yang terjadi seperti

itu..gitu ya..nah, again kalo kita bisa menyelesaikan

persoalan HAM di Papua ya itu cara kita mengatakan kepada

Vanuatu "eh kamu gak bener ngomong begitu, we do

something yang konkrit kok untuk menyelesaikan persoalan"

Nah hal-hal seperti itu yang sering menjadi miss komunikasi

menurut saya, nah terkait ini juga menurut saya ada catatan

ya bahwa mungkin strategi diplomasi Indonesia harus lebih

eksplanatif..lebih menjelaskan bukan menyangkal.

Kalo menyangkal orang ga gampang percaya "ah gak

mungkin gaada pelanggaran HAM" seperti itu ya, karena

yang bermain di para diplomasi ini di masa masa kesini ini

lebih banyak kan non state actors yang juga penting didengar

suaranya, bukan hanya state..gitu ya.. jadi kalau dibilang

tidak ada ya orang gak percaya..kan gitu.. bagaimana itu

dikemas baik misalnya gini, intensionnya kan pemerintah

juga ingin selesaikan persoalan HAM kan? Honestly ingin

melakukan itu, salah satu perwujudannya misalnya dengan

membentuk tim investigasi HAM khusus untuk Papua

diawal ya, di periode pertama pak Jokowi..kemudian waktu

kasus penembakan pendeta Yeremia (zanambani) dibentuk

tim investigasi ya, fact finding waktu itu.

Itu kan juga bentuk-bentuk kepedulian concern dan

sebagainya bahwa itu tidak terselesaikan itu persoalan lain,

itu bisa dibawa sebagai substansi diplomasi bahwa kita gak

main-main nih kalaupun belum selesai ya it's another

matters that mungkin mesti diselesaikan. tapi misalnya

aktivis-aktivis HAM kita itu sering bersuara di Jenewa,

misalnya seperti itu. Nah walaupun Vanuatu tidak ada di

forum internasional yang sama tapi kan mereka mendengar

berita-berita itu kan. Nah ketika dia mendapatkan

kesempatan untuk menyampaikan respons terhadap situasi

yang terjadi di negara-negara Melanesia, atau yang ada

orang-orang Melanesia ya dia tetap akan bersuara sama.

Nah at the same time kita juga responnya sama untuk

mengatakan..eee..gimana yaa..untuk tidak menyangkal

tetapi juga tidak meng-iyakan omongan Vanuatu kemudian

kita mengirim diplomat muda, untuk

135

menjawab..merespon..misalnya eee.. tudingan Vanuatu, itu

juga satu kesan bahwa mereka menyepelekan. Bayangkan,

seorang perdana menteri masa dibales oleh junior diplomat.

Itu kan gak imbang, menurut saya itu salah satu tanda bahwa

Indonesia tidak nganggep gitu gak me-reckon lah gitu..tapi

itu sekali lagi tidak juga menyelesaikan persoalan yang

memang ada pelanggaran HAM walaupun kirim diplomat

muda dan sebagainya the problem is disinii bukan di

Vanuatu menurut saya, problem-nya ada di kita jadi kita

menyangkal dengan cara itu pun gak menyelesaikan

persoalan. Pesan bahwa negara Vanuatu itu direndahkan

karena yang merespon adalah diplomat muda, itu juga

mereka buktinya gak berhenti tuh bersuara terus gitu ya,

artinya the problem remains. Jadi tidak bisa dengan strategi

yang seperti itu lagi, nanti untuk catatan kritiknya mungkin

eee... Kristin bisa tulis seperti itu ya dengan bahasamu lah.

Kristin Natalia :iya, baik bu. Berarti mungkin ada sesuatu yang harus diubah

gitu ya bu.. karena kan setau saya sudah enam tahun terakhir

Vanuatu di PBB sama.. mengangkat isu Papua.. Papua..terus

tapi betul belum ada perubahan. Disitu saya juga eee..pingin

mengulik sedikit kenapa kita tak bisa menyelesaikan hal

seperti ini gitu..jadi untuk langkah Indonesia sebenernya

diplomasi sudah dilakukan atau belum ya bu terhadap

Vanuatu ini?

Adriana Elisabeth :ya begini, pertama ya untuk menyelesaikan atau untuk

memperbaiki strategi diplomasi kita, kita harus selesaikan

persoalan di Papua terutama terkait dengan pelanggaran

HAM ya, ketidakadilan orang Papua, kekerasan terhadap

orang Papua. Walaupun kalau bicara konflik itu tidak di

seluruh Papua yaa kadang-kadang kita juga suka salah

kaprah gitu, konflik bersenjata itu kan terjadi di wilayah-

wilayah tertentu, tapi image bahwa Papua itu daerah konflik,

daerah kekerasan dan sebagainya itulah kemudian menjadi

perhatian dunia termasuk Vanuatu untuk selalu bersuara soal

nasib orang-orang Melanesia di Papua.. kira-kira gitu. Nah

artinya itu diselesaikan, itu diselesaikan seberapa pun

progressnya itu disampaikan kepada publik internasional

bahwa kita gak main-main nih..bahwa masih ada..apa..

kekosongan, atau kesalahan, dan sebagainya ya sudah itu

136

proses gitu. Nah itu menurut saya yang perlu disampaikan

kemudian juga menjawab, menurut saya. Menjawabnya

dengan elegan, bilang bahwa "you punya your own state

constitution, kita juga punya.

Di dalam konstitusi kita bahkan HAM itu nomor satu,

ditaruh hampir di semua pasal" kan bisa di-debate seperti itu,

instead of menyangkal atau mengirim junior diplomat yang

menurut saya gak elegan gitu, jadi kita substansinya kita

perbaiki bahwa kita gak main-main ini soal ini. Bahwa masih

ada kekurangan dan sebagainya, kita cerita kenapa itu

kekurangan dan sebagainya..eee.. misalnya kita..eee..

ini..serius ya yang saya ikuti, memang masih berpikir

tentang "bagaimana ya caranya" nah cara ini kan harus pas,

harus juga bisa diterima oleh korban di Papua, korban

pelanggaran HAM, tapi juga bisa diterima oleh negara..gitu..

negara kan juga gak mau malu.. kira-kira gitu ya.

Nah itu bisa di-package baik untuk disampaikan. Tanpa

harus menyangkal tanpa harus dalam tanpa petik "merasa

kita menang", ini bukan soal menang kalah nih, ini soal

problem yang dihadapi oleh warga negara kita yang

kebetulan orang Papua dengan ras Melanesia gitu..kan itu

persoalan kita. Nah kalau itu sudah diperbaiki, kita bisa

bilang ke forum-forum internasional di mana Vanuatu juga

ada bahwa "we are here, kita gak main-main, kita gak

membeda-bedakan".

Nah, juga menurut saya kalo yang seperti Kristin juga lihat

selama ini selalu menyangkal dan sebagainya itu sudah tidak

efektif, sangat tidak efektif. Menurut saya. Ini selain tadi

memperbaiki substansi diplomasi juga coba seperti yang pak

Marty dulu pernah berinisiatif membuka hubungan

diplomatik, jadi ada jalur yang lebih formal lebih bisa kita

bersuara dan langsung didengar, mereka juga bisa

mendengar kesulitan kita gitu. Lalu di forum internasional

kan waktunya pendek, gak responsif, gak bisa panjang, kalau

kita punya hubungan diplomatik kan itu bisa saling

mendengar, saling tau. Karena begini, di Indonesia ini..saya

gatau mungkin saya terlalu pesimis ya Kristin, tapi siapa sih

ahli tentang budaya Melanesia? Cuma orang-orang Papua.

137

Mungkin cuma orang-orang Papua atau beberapa orang kita,

padahal jangan salah, Melanesia itu juga satu budaya yang

harus kita paham.

Karena mereka punya sistem kekuasaan berbeda, sistem

ekonominya berbeda, sistem sosial budaya berbeda, nah itu

yang saudara-saudara kita di Papua yang..apa.. memiliki itu.

Kalau kita tidak paham, bagaimana kita mau berdiplomasi

dengan negara-negara yang membela mereka? begitu.. Itu

banyak sekali yang menurut saya harus diperbaiki selain tadi,

membuka hubungan formal dengan Vanuatu untuk kita

saling mempelajari, mereka juga harus belajar tentang kita.

Tentang bagaimana kita mengatasi Papua selama ini, ini

bukan persoalan sederhana.. gitu..kenapa Indonesia selalu

mengatakan atau mempunyai narasi bahwa Papua ini adalah

isu domestik? Karena kita sungguh mau menyelesaikan tidak

mau ada negara lain yang ikut campur, karena kalau ikut

campur ini bisa berbagai kepentingan masuk kemudian

persoalan utamanya kita tidak selesai.

Kan banyak sekali yang bisa kita bahas bersama Vanuatu,

orang selalu bilang Vanuatu itu negara kecil karena memang

penduduknya sedikit tapi negara itu luas, negara itu luas dan

sumber daya alamnya banyak. Nah kita kan suka

underestimate ya "ah Vanuatu kecil" memang negara itu

penduduknya tidak banyak, tetapi negara itu punya wilayah

yang luas dan punya sumber daya alam yang besar dan dia

bekas negara jajahan Perancis, yang Perancis pun masih

punya hubungan baik dengan Vanuatu dengan Inggris dan

sebagainya, artinya kita harus berpikir kedepan bagaimana

membuka hubungan diplomatik dengan Vanuatu.

Kristin Natalia :Baik bu, eee.. soalnya saya pernah baca juga bu di berita jadi

waktu sekitar tahun 2015 Vanuatu pernah kena badai, dan

Indonesia mengirim bantuan. Banyak yang bilang kalau itu

diplomasi yang berkedok terkait Papua merdeka tapi

Vanuatu menyangkal hal tersebut. Jadi itu sih bu, saya

penasaran aja sebenarnya Indonesia nih serius gak sih

menangani isu ini. Menangani Vanuatu setelah tadi yang di

PBB, ibu bilang kurang efektif sekarang apakah keadaan di

138

Papua sudah membaik dari sebelumnya? Setelah adanya

tudingan-tudingan dari Vanuatu, begitu bu.

Adriana Elisabeth :Oke, keadaan di Papua belum membaik. Malah begini,

kalau kita mau fair melihat secara objektif ya di Papua itu

paling enggak ada tiga hal yang terkait dengan kondisi hari

ini. Pertama, ada yang baik. Ada yang baik tuh terkait dengan

insfratruktur ya, Infrastruktur semakin baik mobilitas orang

semakin tinggi, termasuk covid juga menyebar sampai ke

Papua ya karena orang mondar-mandir. Jadi artinya ada hal-

hal baik ya terkait dengan pembangunan, tapi ada juga

kemunduran. Kemunduran itu terkait dengan eskalasi

konflik dan kekerasan yang semakin tinggi. Apalagi dengan

ditetapkannya kelompok kriminal bersenjata sebagai teroris.

Itu kekerasan terjadi setiap hari eskalasinya meningkat terus

tapi tidak pernah ada di berita ya..

Kristin Natalia :iya tidak pernah ada ya bu..

Adriana Elisabeth :tidak ada berita, yang stagnan..eee.. kondisi yang stagnan

yang tidak selesai-selesai itu soal HAM. Jadi ada yang baik

ada yang maju tapi ada yang buruk atau mundur..ada

kemunduran..tapi ada juga yang stagnan. Jadi gak kemana-

mana tuh isu HAM-nya gak selesai-selesai gatau kenapa

saya juga bingung. Nah artinya..eee..kalau kita tau kondisi

kita sebenarnya kan kita bisa mulai dengan apa yang mau

kita lakukan dengan keadaan seperti ini. Nah..eee..kita tidak

bisa berharap Vanuatu akan positif ke kita kalau kita sendiri

tidak mencoba menyelesaikan pekerjaan rumah kita yang

kita sudah klaim bahwa Papua adalah isu domestik..gitu.

Kita gak bisa berharap banyak dari Vanuatu karna memang

keadaan di tempat kita masih relatifnya seperti itu.

Walaupun..eee..pemerintah kan serius misalnya ingin

membangun kesejahteraan Papua ya lewat otonomi khusus

dan sebagainya tapi ada realita lain di Papua yang

menunjukkan bahwa memang isu-isu intangible..HAM itu

kan isu intangible, itu memang belum diselesaikan nah

selama itu belum diselesaikan, pasti akan ada suara-suara

yang mendukung..eee..kalo saya bilangnya bukan

kemerdekaan, pembebasan Papua.

139

Pembebasan itu kan bukan kemerdekaan tapi membebaskan

kesengsaraan, penderitaan orang Papua dari apa yang

mereka alami selama ini. Kemerdekaan itu masih jauhh.

Kemerdekaan itu masih jauuhh bangett, jadi harus

diperhatikan antara..apaa..ingin bebas ya, kebebasan..itu kan

freedom ya..termasuk kebebasan berekspresi. Tapi

pembebasan itu adalah gerakan-gerakan untuk

menghilangkan kekerasan, menghilangkan ketidakadilan,

kemerdekaan itu kan nanti masih panjang itu. Kalo Vanuatu

minta kemerdekaan itu mah masih weehhhh...gak tau nanti

seratus tahun lagi kali entah kapan. Jadi kita harus coba juga

memahami terminologi-terminologi itu jangan juga terbawa

dengan statement-statement yang kadang-kadang tidak

berbasis kepada realita ya.

Yang realita menurut saya itu tadi ada persoalan yang Papua

itu harus bener-bener dibebaskan dari persoalan-persoalan

tadi, mereka jangan lagi mengalami kekerasan, ketidakadilan,

jangan didiskriminasi, itu penting. Bahwa mereka diberikan

ruang untuk..apa.. menyampaikan ekspresinya itu penting

untuk disampaikan. Tapi kemerdekaan itu kan gak ada,

kemerdekaan Papua kan gak ada, itu kan mimpi.. kira-kira

begitu. Jangan takut dengan orang bicara tentang

kemerdekaan Papua..wong realitanya masih jauh kok..nah

bagaimana menyampaikan hal itu, nah saya gak tau persis ya

Kristin, karena menurut saya tidak banyak orang yang

paham tentang kondisi di Papua.

Dua dua kondisi ya, maksud saya kondisi yang tangible

yang bisa diliat secara kasat mata tapi juga hal-hal yang

terkait dengan intangible, tentang cara berpikir, perspektif,

perasaan, cara mereka berkomunikasi, itu menurut saya

banyak yang tidak paham..makanya diantara kita sendiri

sering terjadi kecurigaan dan sebagainya. Ini kan juga

berdampak kepada diplomasi kita..eee..jadi menurut saya

kita gak bisa berharap banyak dadi Vanuatu kalo kita sendiri

tidak menyelesaikan PR kita. Nah kemudian, kenapa

Vanuatu mau menerima bantuan kemanusiaan dari Indonesia?

Di hubungan internasional itu kan ada yang namanya

bantuan ya, bantuan luar negeri, bantuan kemanusiaan, ada

bentuk kerja sama dan sebagainya.

140

Dalam situasi critical atau situasi emergency, semua negara

perlu. Indonesia aja nerima vaksin dari mana-mana..gitu

ya..bahwa ada interpretasi atau ada dugaan bahwa Indonesia

itu sebenarnya ingin nyogok.. kira-kira gitu ya..dengan

bantuan kemanusiaan supaya gak mendukung Papua

merdeka, itu sih kalau menurut saya ya sah sah saja..gak ada

masalah..tapi bahwa bantuan itu diperlukan, Vanuatu terima,

iya. Harus karena mereka kan ingin cepat-cepat pulih kan

dari bencana itu. Tapi kalau ada interpretasi itu menurut saya

sangat wajar, nah tapi sekali lagi memberi bantuan itu

memang tidak otomatis membuat orang menjadi diam

tentang menyuarakan hal tentang HAM Karena itu dua hal

yang berbeda. Kalo kita misalnya lagi kesusahan, siapapun

yang cepet deket kita menolong pasti kita terima. Tapi begitu

kita sehat, kita sadar "aduh saya gak mau deh sama dia" itu

kan sangat sangat lumrah terjadi seperti itu, jadi menurut

saya harus dipisahkan antara bantuan kemanusiaan dengan

upaya Indonesia untuk meyakinkan Vanuatu untuk tidak

mendukung gerakan-gerakan politik kemerdekaan di Papua.

Karena memang berbeda, persoalannya sangat berbeda,

substansinya sangat berbeda, itu sangat politis kalo soal yang

kemerdekaan itu.

Kristin Natalia :oke, berarti itu bukan termasuk diplomasi dari Indonesia ya

bu?

Adriana Elisabeth : Itu diplomasi Indonesia tapi itu diplomasi kemanusiaan.

Kristin Natalia :Ohh bukan terkait isu tersebut?

Adriana Elisabeth :ya.. karena kalau begini..kalau menurut saya..nih

seandainya kalkulasinya bahwa Vanuatu dikasih bantuan

harus diam ya menurut saya cemen banget sih, sorry bahasa

anak muda tuh gimana tuh menjelaskannya

hahaha..yaelah..gitu loh..yaelah masa sih bantuan

kemanusiaan. Walaupun, walaupun..sangat mungkin

ada..ada esensi itu..ya ada harapan lah minimal, ada harapan

bahwa Vanuatu bahwa.. "kamu diam, jangan ngomong. Nih

waktu kamu susah saya bantu nih" kira kira gitu. Mungkin

ada harapan seperti itu, tapi menurut saya sangat tidak

compatible gitu..kalau bantuan kemanusiaan ya bantuan

kemanusiaan. sudah. ya, karena bagaimanapun untuk

141

menyakinkan Vanuatu tuh harus banyak cara, selain bantuan

kemanusiaan, tadi PR kita selesaikan, buka hubungan

diplomatik, sering-sering berinteraksi, saling paham,

Vanuatu juga harus paham Indonesia, dan sebagainya. Masih

banyak jalannya. Jadi tidak bisa hanya pada bantuan

kemanusiaan kemudian kita expect too much tuh gak bisa.

Gak bisa menurut saya masih perlu banyak cara untuk

meningkatkan..eee..apa..hubungan kita dengan Vanuatu.

Kristin Natalia : Oke ibu, kalau untuk isu yang dibawa oleh Vanuatu ini

bukannya sudah termasuk isu yang sudah di-

internasionalisasikan ya bu? Jadi bukan lagi isu domestik apa

bagaimana?

Adriana Elisabeth :ohh begini, ya benerr..jadi kita..eee..sorry pemerintah

Indonesia itu sudah menyatakan bahwa Papua itu adalah isu

domestik. Itu sebenarnya upaya untuk menjaga jangan

sampe ada intervensi dari luar dalam penyelesaian isu-isu

Papua ya, tetapi kita tidak bisa mencegah bahwa Papua itu

menjadi isu internasional. Karena dari sejarahnya saja itu

sudah banyak sekali dimensi internasional. Waktu PEPERA

itu siapa yang menyelenggarakan? UNTEA. UNTEA itu

siapa? PBB. PBB itu siapa? Lembaga internasional, lembaga

dunia. Kita mau bilang itu gak bisa, kalo kita mencegah

internasionalisasi itu sulit. Bahwa kita klaim itu isu domestik?

Well, okay.

Tapi mencegah, kita bisa mencegah tapi menurut saya sangat

sulit karena sejak awal sejak sejarahnya itu sejarah integrasi

itu sudah melibatkan UNTEA itu satu. Yang kedua, siapa

yang bermain di Papua? Ada Amerika di sana. Ya..yang

kemudian membangun investasi tambang di Freeport, ada

Belanda yang waktu itu akhirnya baru mau hengkang dari

Papua. Itu pihak siapa? Kan itu pihak-pihak internasional.

Maksudnya negara lain..eee..eee..mereka yang terlibat di

dalam persoalan yang kita hadapi saat ini. Gimana kita mau

bilang tidak perlu di-internasionalisasikan atau jangan di-

internasionalisasi kan gak bisa.

Kemudian berkembang itu menjadi..eee..let's say itu soal

separatism, konflik bersenjata. Ada kekerasan disitu

kemudian sebagian ada pelanggarangan HAM, pelanggaran

142

HAM itu isu universal semua orang boleh comment kita mau

cegah bagaimana? Gak mungkin. Gak mungkin, itu bohong

banget kalo kita bilang jangan sampe...gak bisa. Karena

Indonesia, pemerintah Indonesia memang tidak

menginternasionalisasikan tapi yang terjadi di Papua itu

dimensi internasionalnya tinggi sekali. HAM itu gak bisa

dicegah, semua orang akan bicara "wah Indonesia nih

melanggar HAM" dan sebagainya. Oke, terus ada lagi yang

terbaru..bukan yang terbaru sih sebenarnya ini sudah lama

tapi baru belakangan ini muncul. Investasi, investasi besar di

Papua di sektor sumber daya alam. Itu isu internasional,

investasi kan masuk dari mana-mana..baru kita bilang

"jangan internasionalisasikan Papua" ya gak bisa kalau

sudah ada investasi masuk dari luar negeri.

Pasti ceritanya meluas ke dunia manapun..yaa, jadi bedakan

claim pemerintah bahwa isu ini adalah isu domestik untuk

mencegah intervensi asing atau dunia internasional, tetapi

isu Papua itu sendiri sudah berdimensi internasionalnya

sangat tinggi kita gak bisa cegah bahwa ini menjadi berita

dunia..yaa. Nah, pada waktu 2017 saya sempat membuat

survey bersama satu lembaga swasta ya, di situ di 2017 itu

banyak orang tidak tau tentang isu HAM di Papua, banyak

orang gak tau tentang apa namanya..konflik di Papua.

Hampir semua menjawab "ohh Papua itu alamnya bagus"

"ohh Papua itu bagus untuk pariwisata" "ohh Papua itu

budayanya tinggi" dan sebagainya, Something yang related

kepada isu-isu yang soft. Tapi begitu terjadi kasus 2019,

inget ya? Kerusuhan di Papua yang dimulai dari isu di

Malang dan Surabaya..semua orang bertanya Papua itu

kenapa seperti itu, ada apa di Papua? Langsung suara-suara

internasional muncul bukan cuma internasional, orang-orang

Indonesia yang tadinya tidak mengerti Papua semua tanya

"Ada apa di Papua?" Dengan medsos, dengan teknologi

informasi yang sudah semakin canggih. Nah semua orang

sebarkan di medsos, baru kita mau cegah internasionalisasi

bagaimana?

Kristin Natalia :berarti sudah terjadi internasionalisasinya itu terlebih

dahulu ya bu? Sebelum masuk ke kita?

143

Adriana Elisabeth :sejarah politiknya memang seperti itu, itu tadi..jadi..eee..

pertama pemerintah Indonesia kan mengusir Belanda nah itu

kan sejarah kolonial, isu kolonial itu kan isu internasional

bahwa paling tidak negara-negara yang pernah mengalami

masa penjajahan kolonial ya kemudian Indonesia menerima

investasi Freeport, Amerika itu isu internasional bukan?

Karena kan ada..apa namanya.. perjanjian antara Amerika

dengan Belanda, "Belanda silahkan tinggalkan Papua,

tinggalkan Indonesia, Amerika yang urus Freeport nanti

biaya..eee..apa namanya krisis ekonomi yang dihadapi

Belanda akan ditanggung oleh Amerika" itu aspek apa itu?

Internasional bukan? Kan hubungan antar negara..ya kan?

Artinya, dari awal itu memang isu..sorry..dimensi

internasionalnya memang sudah sangat tinggi. Nah

kemudian terjadi PEPERA, Penentuan Pendapat Rakyat di

bawah UNTEA di bawah PBB. Itu apa lagi? PBB itu

perserikatan bangsa-bangsa, bangsa-bangsa di dunia itu

siapa aja? Ya termasuk kita termasuk semuanya berarti itu

juga internasional.

Itu tadi jadi yang saya bilang, sulit kita menyangkal kejadian

yang ada di Papua tapi juga tidak mudah untuk mencegah

internasionalisasi. Nah terakhir misalnya berapa hari lalu

saya misalnya ada diskusi di UKI ya, waktu itu saya

sampaikan kalo bicara tentang separatisme di Papua itu

hanya salah satu aspek, HAM itu juga salah satu aspek yang

membuat isu internasional Papua itu semakin tinggi selain

soal investasi tadi. Jadi ada isu separatisnya, isu konflik

politiknya, yang sejarahnya itu sudah dari dulu dan

melibatkan internasional. Kemudian soal pelanggaran HAM

yang juga isunya universal, semua orang bisa comment, yang

ketiga soal investasi, mau bagaimana mengatasi itu.. nah

artinya secara diplomasi, Indonesia harus melebarkan

diplomasi dengan semua pihak.

Nah, selain catatan saya yang paling..eee..mungkin perlu

lebih diperhatikan ya atau Kristin harus baca lebih banyak,

kita tidak bisa mengandalkan state to state saja ini yang

namanya para diplomasi non state actors itu perannya besar,

LSM, Gereja, Media, Akademisi, itu harus digalak, kalo mau

bicara penggalangan. Nah kalau hanya state to state terus

144

kasih bantuan gak akan berdampak signifikan, Indonesia

harus gandeng LSM-nya di Vanuatu, gerejanya di sana,

medianya, akademisinya diajak bicara, supaya mereka

mengerti Indonesia dan kita mengerti mereka. Kalau cuma

begini saja sampai thesis mu jadi, sampai kau S3, persoalan

ini sama Kristin..dijamin itu hahaha.

Kristin Natalia :Hahaha, berarti kurang lebih Indonesia ini masih "loyo" ya

bu diplomasinya ke Vanuatu gitu?

Adriana Elisabeth :bukan "loyo", tapi masih konservatif.

Kristin Natalia :Ohh okayy, masih to state aja yaa bu?

Adriana Elisabeth :Iyaa, belom menggalang semua pihak. Makanya saya bilang,

ini non state actors ini pelaku yang penting banget apalagi

dalam situasi konflik. Yang suka bicara aneh-aneh itu kan

biasanya non state actors, ya kan? Akademisinya ngomong,

medianya ngomong, terus apalagi.. aktivis-aktivisnya

ngomong, gerejanya kalau dalam konteks Papua ya, mungkin

kalau di negara-negara yang mayoritas islam ya mungkin

tokoh-tokoh Islamnya yang ngomong, itu bagaimana kita

mau cegah? Negaranya gak sanggup menghadapi itu sendiri,

yakin saya. Nah kalau cuma mengandalkan TNI POLRI,

mengandalkan aparat keamanan gak bisa..hard approach itu

gak cukup untuk Papua, harus soft approach.

Nah soft approach-nya itu tadi aktornya banyak, kalau hard

approach gampang ada tentara, ada anggaran, ada

senjata..berangkat. Orang Papua itu masa dihadapi dengan itu

saja? Gak bisa..harus ada soft approach. Nah pelaku-pelaku

dalam pendekatan soft approach ini kan banyak, Kristin salah

satunya kalau kamu nanti misalnya mau terlibat dalam isu-

isu dan diskusi-diskusi yang lebih panjang mengenai Papua,

kamu bisa menjadi aktor juga di situ. Banyak sekali, jadi gak

bisa kita hanya mengandalkan state to state diplomacy, udah

terlalu ketinggalan jaman. Menurut saya.