Exploding lakes in Vanuatu-" Surtseyan-style" eruptions witnessed on Ambae Island
analisis diplomasi indonesia terhadap vanuatu terkait isu ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of analisis diplomasi indonesia terhadap vanuatu terkait isu ...
ANALISIS DIPLOMASI INDONESIA TERHADAP VANUATU
TERKAIT ISU PAPUA MERDEKA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Hubungan
Internasional
Disusun Oleh:
KRISTIN NATALIA
051701503125014
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA
JAKARTA
2021
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan kasih dan karunianya yang luar biasa kepada saya, serta doa dan
dukungan dari keluarga, para dosen pembimbing, dan juga teman-teman, sehingga
saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Diplomasi Indonesia
Terhadap Vanuatu Terkait Isu Papua Merdeka”. Skripsi ini diajukan sebagai
syarat kelulusan untuk menjadi seorang sarjana di Program Studi Ilmu Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan llmu Politik di Universitas Satya Negara
Indonesia.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini, penulis masih
mempunyai kekurangan dan mendapati banyak rintangan dan hambatan yang
dihadapi. Namun penulis tetap berusaha untuk mempersembahkan skripsi ini
sebaik-baiknya agar sekiranya dapat menjadi manfaat bagi banyak pihak.
Rampungnya skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bimbingan serta bantuan yang
penulis dapatkan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini akhirnya dapat
diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebanyak banyaknya kepada:
1. Mendiang kedua orangtua tercinta, Noni Periyati Siregar dan Bottor
Simamora. “Terima kasih atas segala doa, didikan, dan kasih sayang
yang telah diberikan. Karya kecil ini untuk mama dan bapak. Bahagia
selalu bersama Allah Bapa di surga”.
2. Kakak-kakak penulis yang terkasih, Mei-mei, Maria, Putri, dan Ricky
dan kemenakan penulis yang senantiasa memberikan doa dan dukungan.
vii
3. Ibu Dra. Merry L. Panjaitan, MM., MBA. Selaku Rektor Universitas
Satya Negara Indonesia yang terhormat.
4. Bapak Dr. Radita Gora Tayibnapis, S.Sos., M.M. selaku Dekan Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Satya Negara Indonesia.
5. Pradono Budi Saputro, S.Hum., M. Si., selaku Kaprodi Ilmu Hubungan
Internasional, Universitas Satya Negara Indonesia dan juga dosen
pembimbing II. Terima kasih banyak atas waktu, ilmu, dan kebaikannya
dalam membimbing saya.
6. Mas Jerry Indrawan, S.IP., M.Si.(Han) Selaku dosen Pembimbing I.
Terima kasih banyak atas waktu, ilmu, dan kebaikannya dalam
membimbing saya.
7. Seluruh dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Satya Negara
Indonesia. Terima kasih atas segala ilmu berharga yang telah diberikan.
8. Seluruh staff dan karyawan Universitas Satya Negara Indonesia yang
telah banyak membantu di bidang akademik dan kemahasiswaan.
9. Narasumber wawancara yang sangat hebat Bapak Dr. Siswo Pramono,
S.H., LL.M., Ibu Dr. Adriana Elisabeth M.Soc.Sc, Bpk. Harditya S.H.,
LL.M., dan Ibu Dr. Rosita Dewi S.IP, M.A..,Terima kasih telah
memberikan waktu dan ilmunya yang sangat berharga dan luar biasa.
10. Peneliti Ahli Muda Puslitbang Strahan Balitbang Kemhan, Gerald
Theodorus L. Toruan, S.H., M.H yang sudah banyak memberikan
arahan kepada saya selama magang. Terima kasih banyak Pak Theo atas
ilmu-ilmunya yang berharga.
viii
11. Seluruh sahabat saya. Thira, Salsa, Madeleine, dan Kanya yang
memaksa untuk dimasukkan namanya dalam skripsi saya. Terima kasih
telah memberikan semangat dan hiburan selama penulisan skripsi ini.
Kalian adalah badut-badut terbaikku!
12. Seluruh teman-teman HI angkatan 2017 terutama Tamara dan Fitria
yang telah menemani saya selama masa perkuliahan, terima kasih atas
semua kenangannya baik suka maupun duka yang kita alami bersama-
sama. Semoga kita semua bisa menjadi orang yang sukses dengan ilmu
yang bermanfaat!
13. Last but not least, I wanna thank me, I wanna thank me for believing in
me, I wanna thank me for doing all this hard work, I wanna thank me
for never quitting.
Jakarta, 30 Juli 2021
Kristin Natalia
ix
ANALISIS DIPLOMASI INDONESIA TERHADAP VANUATU
TERKAIT ISU PAPUA MERDEKA
xvi Halaman + 144 Halaman + 10 Buku + 14 Jurnal + 3 Skripsi + 5 Dokumen
+ 4 Wawancara + 14 Website
ABSTRAK
Tulisan ini menjelaskan mengenai diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu terkait
dengan isu Papua merdeka karena adanya dukungan yang diberikan oleh Vanuatu
untuk kemerdekaan Papua Barat. Selain itu, tudingan juga kerap dinyatakan oleh
Vanuatu bahwa Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM berat kepada
masyarakat Papua. Kedekatan etnis yang dimiliki Vanuatu dengan Papua yaitu ras
melanesian menjadi salah satu sumber penyebab masifnya dukungan Vanuatu
terhadap kemerdekaan Papua Barat. Untuk menjelaskan fenomena ini penulis
menggunakan salah satu teori dalam hubungan internasional yaitu teori diplomasi
dan menggunakan konsep kedaulatan negara serta hubungan bilateral. Dengan
menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif
analitis, disertai dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara sebagai data
primer dan studi pustaka sebagai data sekunder, maka hasil penelitian ini
menemukan bahwa sampai saat ini diplomasi yang dilakukan Indonesia terhadap
Vanuatu masih terdapat kekurangan. Indonesia masih kurang melibatkan non-state
actors dalam pelaksanaan diplomasinya seperti melibatkan NGO, LSM, pihak-
pihak gereja, para akademisi dan tokoh masyarakat di Vanuatu. Mengadakan
pertemuan bilateral dan menjalankan diplomasi dengan merangkul pihak dari
Vanuatu dan pihak dari Papua secara bersamaan dapat menciptakan persepsi yang
positif untuk Indonesia mengingat bahwa hubungan yang dimiliki antara Vanuatu
dengan masyarakat Papua pro merdeka cukup baik. Dengan demikian, diplomasi
yang dilakukan bisa berjalan dengan efektif.
Kata Kunci: Diplomasi, Kedaulatan Negara, Hubungan Bilateral, Indonesia,
Vanuatu.
x
ANALYSIS OF INDONESIA’S DIPLOMACY TOWARDS
VANUATU REGARDING TO THE FREE PAPUA ISSUE
xvi Pages + 144 Pages + 10 Books + 14 Journals + 3 Undergraduated Thesis +
5 Documents + 4 Interviews + 14 Websites
ABSTRACT
This paper describes Indonesia's diplomacy towards Vanuatu related to the issue
of an independent Papua due to the support provided by Vanuatu for the
independence of West Papua. In addition, Vanuatu has also frequently stated
accusations that Indonesia has committed gross human rights violations against
the Papuan people. The ethnic closeness that Vanuatu has with Papua, namely the
Melanesian race, is one of the causes of Vanuatu's massive support for the
independence of West Papua. To explain this phenomenon the author uses one of
the theories in international relations, namely the theory of diplomacy and the use
of the concept of state ownership and bilateral relations. By using a qualitative
research methodology with descriptive analytical research type, accompanied by
data collection techniques through interviews as primary data and literature study
as secondary data, the results of this study found that until now Indonesia's
diplomacy towards Vanuatu still has shortcomings. Indonesia still does not involve
non-state actors in the implementation of its diplomacy, such as involving NGOs,
NGOs, church parties, academics and community leaders in Vanuatu. Holding
bilateral meetings and carrying out diplomacy by embracing parties from Vanuatu
and parties from Papua can simultaneously create a positive perception for
Indonesia given that the relationship that Vanuatu has with the pro-independence
Papuan people are quite tight. Thus, the diplomacy that is carried out can run
effectively.
Keywords: Diplomacy, State Sovereignty, Bilateral Relations, Indonesia, Vanuatu.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... 1
LEMBAR ORISINALITAS ................................ Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.
LEMBAR PERSETUJUAN ................................ Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.
LEMBAR PENGESAHAN ................................. Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vi
ABSTRAK ........................................................................................................................ ix
ABSTRACT ....................................................................................................................... x
DAFTAR ISI..................................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. xiv
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Pertanyaan Penelitian ................................................................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 11
2.1 Penelitian Terdahulu ............................................................................................... 11
2.2 Landasan Teori ........................................................................................................ 20
2.2.1 Diplomasi ......................................................................................................... 20
2.3 Landasan Konseptual .............................................................................................. 23
2.3.1 Kedaulatan Negara ........................................................................................... 23
2.3.2 Hubungan Bilateral .......................................................................................... 25
2.4 Alur Pemikiran ........................................................................................................ 28
2.5 Argumen Utama ..................................................................................................... 29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................... 31
3.1 Paradigma Penelitian .............................................................................................. 31
3.2 Pendekatan Penelitian ............................................................................................. 33
3.3 Jenis Penelitian ........................................................................................................ 34
xii
3.4 Unit Analisis ........................................................................................................... 35
3.5 Teknik Pengumpulan Data ...................................................................................... 36
3.5.1 Data Primer ...................................................................................................... 36
3.5.2 Data Sekunder .................................................................................................. 37
3.6 Instrumen Penelitian ............................................................................................... 37
3.7 Teknik Analisis Data ............................................................................................... 39
1. Mengolah dan Mempersiapkan Data ................................................................ 39
2. Membaca Keseluruhan Data ............................................................................. 39
3. Penyajian Data .................................................................................................. 40
4. Verifikasi Data .................................................................................................. 40
3.8 Teknik Keabsahan Data .......................................................................................... 41
3.8.1 Validitas Data ................................................................................................... 41
3.8.2 Reliabilitas Data ............................................................................................... 42
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................................... 43
4.1 Isu Papua Merdeka .................................................................................................. 43
4.2 Hubungan Bilateral Indonesia dan Vanuatu ........................................................... 46
4.2.1 Tudingan Vanuatu kepada Indonesia terkait Pelanggaran HAM di Papua ...... 48
4.2.2 Bantahan Indonesia terhadap tudingan Vanuatu .............................................. 50
4.3 Dukungan Vanuatu Terhadap Isu Papua Merdeka.................................................. 52
4.3.1 Dukungan Vanuatu di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ............................ 58
4.3.2 Dukungan Vanuatu di Melanesian Spearhead Group (MSG) ........................ 62
4.3.3 Dukungan Vanuatu terhadap United Liberalization Movement for West Papua
(ULMWP) ................................................................................................................. 65
4.4 Diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu terkait Isu Papua Merdeka ....................... 67
BAB V .............................................................................................................................. 83
5.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 83
5.2 Saran ....................................................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 85
LAMPIRAN..................................................................................................................... 92
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Peta Vanuatu .......................................................................................... 2
Gambar 2 Bagan Alur Pemikiran .......................................................................... 28
Gambar 3 Logo MSG ............................................................................................ 63
Gambar 4 Logo ULMWP ..................................................................................... 66
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Keanggotaan Melanesian Spearhead Group .............................................. 3
Tabel 2 Tabel Tinjauan Pustaka ............................................................................ 18
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Naskah Wawancara Kristin Natalia dengan Dr. Siswo Pramono,
S.H., LL.M., Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK),
Kementerian Luar Negeri Indonesia ..................................................................... 93
Lampiran 2 Naskah Wawancara Kristin Natalia dengan Harditya Suryawanto,
Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata, Kementerian Luar
Negeri Indonesia. .................................................................................................. 95
Lampiran 3 Naskah Wawancara Kristin Natalia dengan Rosita Dewi, Pusat
Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ....................... 113
Lampiran 4 Naskah Wawancara Kristin Natalia dengan Adriana Elisabeth,
Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) .......................................................... 129
xv
DAFTAR SINGKATAN
OPM Organisasi Papua Merdeka
ULMWP United Liberation Movement for West Papua
MSG Melanesian Spearhead Group
HAM Hak Asasi Manusia
PBB Perserikatan Bangsa-bangsa
UNGA United Nations General Assembly
PIF Pasific Island Forum
JVP Journalist Visit Program
NGO Non-Governmental Organization
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
POLRI Kepolisian Negara Republik Indonesia
DCA Development Cooperation Agreement
KIPS Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata
NTT Nusa Tenggara Timur
RUU Rancangan Undang-Undang
PM Perdana Menteri
xvi
RMC Reunification Movement for Change
UPR Universal Periodic Review
FLNKS Front de Liberational Nationale Kanak et Solcialiste
PNG Papua Nugini
BDF Bali Democracy Forum
JDP Jaringan Damai Papua
VBTC Vanuatu Broadcasting and Television Corporation
BPPK Badan Penelitian dan Pengembangan Kebijakan
ACP Africa-Caribbean-and the Pacific
RRT Republik Rakyat Tiongkok
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keanekaragaman suku dan budaya Indonesia tidak hanya dianggap sebagai
sumber kekayaan nasional, tetapi juga merupakan sebuah tantangan dan ancaman
bagi Indonesia. Dilatarbelakangi banyaknya perbedaan di tanah air, setidaknya ada
beberapa konflik yang muncul dari diskriminasi, kemudian pada akhirnya
mengarah pada jalan pintas menuju penentuan nasib sendiri, atau yang sering
disebut sebagai gerakan separatis. Gerakan Papua Merdeka adalah contoh perilaku
separatis di Indonesia (Putra, Legionosuko, & Madjid, 2019: 2).
Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah muncul dan menjadi gerakan
separatis yang mempunyai tujuan agar masyarakat Papua hidup dengan aman dan
sejahtera, tanpa rasa takut dan bayang-bayang kekerasan yang dilakukan oleh
anggota militer terhadap masyarakat Papua, dan agar Papua bisa terpisah dari
Indonesia seperti yang terjadi pada Timor Timur. Sebagai hasil dari kampanye ini,
pemerintah Indonesia telah memperkuat keamanan Papua dan mengirimkan
anggota militer untuk meminimalkan pergerakan sehingga wilayah Papua sendiri
lebih aman dari pengaruh kampanye provokatif tersebut. (Muhammad, 2017).
Permasalahan yang dialami Papua lantas tidak lagi terbatas pada urusan
domestik saja, tetapi saat ini telah berkembang menjadi isu yang lebih besar lagi
yang mana sudah sampai ke kancah internasional. Hal ini tidak terlepas dari adanya
peran dari negara-negara kawasan pasifik selatan yang secara terang-terangan
2
sangat mendukung adanya gerakan separatisme papua. Salah satu negara yang
paling vokal dalam menyuarakan dukungannya kepada Papua Barat yaitu Vanuatu.
Vanuatu merupakan salah satu negara di kawasan Pasifik Selatan yang
cukup berpengaruh dan lebih berkembang diantara negara-negara lain di kawasan
tersebut. Vanuatu mendukung kemerdekaan Papua Barat dengan alasan persamaan
ras (Melanesian Brotherhood), Vanuatu memanfaatkan organisasi sub-regional di
kawasan Pasifik dan memfasilitasi terbentuknya ULMWP serta menggalang
dukungan dari negara-negara Pasifik lainnya untuk kampanye politik Papua
Merdeka seperti organisasi Melanesian Spearhead Group (MSG). Vanuatu sendiri
merupakan salah satu penggagas berdirinya MSG (Sabir, 2018: 95).
Sumber : www.mapsofworld.com
Gambar SEQ Gambar \* ARABIC 1 Peta Vanuatu
Gambar 1 Peta Vanuatu
3
Melanesian Spearhead Group merupakan sebuah forum regional yang
terletak di kawasan Pasifik Selatan dan beranggotakan negara-negara dengan etnis
Melanesia yaitu Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu serta
Indonesia yang menjabat sebagai anggota asosiasi dan United Liberation Movement
for West Papua (ULMWP). Didasari oleh persamaan identitas yaitu etnis
Melanesia, terbentuklah organisasi internasional ini dan melalui persamaan tersebut
kemudian menjadi alasan yang menyatukan negara-negara Pasifik Selatan untuk
membangun kerjasama regional yang bertujuan untuk menguatkan solidaritas,
membangun persamaan sosial, budaya, ekonomi dan politik negara-negara
Melanesia (Daffa, 2020).
Tabel 1 Keanggotaan Melanesian Spearhead Group
Anggota Resmi Associate Member Observer
Fiji Indonesia Timor Leste
Front de Liberation
Nationale Kanak et
Socialiste (FLNKS)
United Liberation
Movement for West
Papua (ULMWP)
Vanuatu
Papua Nugini
Kepulauan Solomon
4
Seiringan dengan waktu dan peristiwa mengenai gerakan separatisme
Papua, negara-negara anggota Melanesia Spearhead Group mulai memperhatikan
mengenai kondisi dan situasi seperti apa yang terjadi dalam konflik Papua tersebut.
Dengan dasar solidaritas rumpun Melanesia, negara-negara anggota Melanesian
Spearhead Group mendukung self-determination rakyat Papua untuk menentukan
nasib sendiri dan melihat Indonesia sebagai penjajah. Hal tersebut berimbas
terhadap kebijakan luar negeri dari negara-negara anggota Melanesian Spearhead
Group untuk menyuarakan dan menginternasionalisasi isu Papua Merdeka (Daffa,
2020).
Secara antropologis, kepentingan Vanuatu di Papua yaitu didasari oleh
hubungan etnis yang cukup erat, yaitu Melanesian Connection. Kedekatan etnis
inilah yang menjadi salah satu faktor pemicu masifnya dukungan Vanuatu terhadap
upaya kemerdekaan Papua. Politik domestik dan orientasi kekuasaan merupakan
dua hal yang mendasari kepentingan Vanuatu dalam mendukung kemerdekaan
Papua. Hal tersebut juga diperkuat oleh fakta bahwa kebijakan-kebijakan luar
negeri dari Vanuatu dipengaruhi oleh kelompok-kelompok kepentingan yang
memihak kepada gerakan kemerdekaan Papua (Sabir, 2018).
Hubungan antara Papua Barat dan Vanuatu serta anggota-anggota dari MSG
lainnya terjalin sangat erat, hal tersebut terlihat dari adanya perjuangan yang
dilakukan secara konsisten oleh Vanuatu dalam memperjuangkan hak-hak rakyat
Papua Barat, dan juga perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang
melakukan hubungan kerja sama ke dalam maupun ke luar negeri untuk
mendapatkan simpatis agar Papua Barat bisa terbebas dari Indonesia. Selain itu,
5
OPM sendiri juga melakukan hubungan dengan negara-negara Eropa seperti
Belanda dan Swiss (Muhammad, 2017).
Dukungan Vanuatu kepada kemerdekaan Papua dapat dikatakan telah
menjadi suatu kampanye yang dilakukan secara konsisten oleh Vanuatu sejak
beberapa tahun terakhir diantaranya yaitu pada tahun 2003 ketika masa
pemerintahan Perdana Menteri Barak Sope, Vanuatu menjadi tuan rumah acara
gerakan kemerdekaan Papua di Port Villa. Kemudian pada tahun 2014 di masa
Perdana Menteri Moana Carcasses Katokai Kalosil, Vanuatu secara resmi
mengkritik tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia di Papua pada sidang tinggi HAM Perserikatan Bangsa-
bangsa (PBB) yang ke-25 (Zahidi, 2020: 66).
Pada tahun 2016 dan 2017, Vanuatu kembali mengemukakan masalah
Papua di Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa walaupun pada akhirnya upaya
Vanuatu tersebut mendapatkan tentangan dari para diplomat Indonesia di masing-
masing tahun tersebut. Pada United Nations General Assembly (UNGA) ke-71 yang
dilaksanakan pada tahun 2016, Vanuatu kerap menyatakan secara resmi bahwa ia
mengecam tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia di Papua yang pada akhirnya dibantah dengan tegas oleh
diplomat perwakilan dari Indonesia. Namun, dari tahun ke tahun tudingan-tudingan
tersebut terus dikemukakan oleh Vanuatu di UNGA (Mardiyah, 2020).
Dukungan terkini Vanuatu terhadap kemerdekaan Papua terlihat pada
UNGA ke-75 yang diselenggarakan pada tanggal 26 September 2020. Perdana
Menteri Republik Vanuatu, Bob Loughman menyatakan bahwa sampai sekarang
6
masih banyak pelanggaran HAM dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada
masyarakat Papua. Tudingan ini pun langsung dibantah oleh Diplomat muda
Indonesia yaitu Silvya Austin Pasaribu. Beliau mengatakan bahwa tudingan yang
diberikan kepada Indonesia oleh Vanuatu merupakan pernyataan yang tak berdasar
dan terlalu mencampuri urusan domestik suatu negara. Dalam pernyataannya,
Silvya juga mengatakan bahwa Vanuatu sudah melanggar salah satu piagam PBB
yang mana mengusung prinsip Non-Interference (Mardiyah, 2020).
Sebelumnya, Indonesia telah cukup lama menjalani beberapa hubungan
kerja sama dengan beberapa negara di wilayah Pasifik Selatan baik dalam sektor
ekonomi dan juga politik, tidak terkecuali juga dengan Vanuatu. Indonesia telah
melakukan beberapa diplomasi publik dan juga kerjasama berupa kerja sama
ekonomi, teknologi, pelatihan, beasiswa, pembangunan, pertanian, peternakan dan
lain-lain. Indonesia juga memberikan bantuan luar negeri senilai USD 2 juta ketika
Vanuatu terkena dampak yang cukup parah dari Badai Pam Pam (Cylone Pam)
yang menerpa negara-negara di kawasan Pasifik (Sabir, 2018).
Semua upaya tersebut dilakukan oleh Indonesia dengan tujuan untuk
membendung dukungan Vanuatu terhadap Organisasi Papua Merdeka. Namun
sayangnya semua usaha tersebut tidak membuahkan hasil yang diinginkan oleh
Indonesia. Dukungan Vanuatu terhadap kemerdekaan Papua ini pun tetap
dikemukakan baik melalui organisasi internasional seperti MSG dan sidang umum
PBB
Penulis berpendapat bahwa permasalahan ini merupakan suatu fenomena
yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Apabila permasalahan ini tidak
7
disikapi dan ditangani dengan serius oleh Indonesia maka besar kemungkinan
bahwa Republik Vanuatu mampu mempengaruhi semua negara yang berada di
kawasan Pasifik Selatan untuk mendukung kemerdekaan Papua Barat. Hal tersebut
tentu akan mempersulit Indonesia dan berpotensi menjadi sebuah ancaman bagi
kedaulatan negara.
Diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia akan sangat berpengaruh terhadap
permasalahan yang tengah dihadapi saat ini. Sudah sewajarnya bahwa setiap negara
yang berdaulat memiliki yurisdiksi (kewenangan) atas wilayah dan juga warga
negara yang mendiaminya. Dengan demikian, hal tersebut menjadi peringatan bagi
negara-negara lain untuk tidak campur tangan atas semua persoalan domestik yang
terjadi di negara lain.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
secara spesifik penulis akan mengangkat satu pertanyaan penelitian, yaitu:
“Bagaimanakah diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu terkait isu Papua
Merdeka?”
1.1 Tujuan Penelitian
Secara spesifik studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai diplomasi
Indonesia terhadap Vanuatu yang mendukung isu Papua merdeka. Diplomasi ini
dilakukan untuk meredam dukungan Vanuatu terhadap Papua yang mana hal
tersebut sudah termasuk ke dalam intervensi urusan domestik negara dan diplomasi
8
harus dilakukan agar isu tersebut tidak mengancam kedaulatan negara republik
Indonesia.
1.2 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diberikan oleh penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu
manfaat teoritis serta manfaat praktis yang diuraikan sebagai berikut:
1.2.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk memberikan partisipasi keilmuan dalam bidang ilmu hubungan
internasional untuk memahami bagaimana dan seperti apakah diplomasi
yang dilakukan Indonesia terhadap Vanuatu dan menganalisis apakah
implementasi tersebut dapat dikatakan berhasil atau tidak.
2. Penulis dapat mengetahui bahwa persoalan yang terjadi di Papua
merupakan persoalan yang kompleks, dan hal tersebut juga dapat menjadi
sumber informasi serta pengetahuan kepada mahasiswa, akademisi maupun
peneliti lainnya terkait diplomasi Indonesia kepada Vanuatu maupun isu
Papua merdeka.
1.2.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk dijadikan sebagai rekomendasi dan pertimbangan pembuatan
kebijakan yang bersumber dari penelitian yang berkaitan langsung dengan
kajian ilmu hubungan internasional maupun ilmu-ilmu lainnya.
9
2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat luas
mengenai diplomasi, khususnya diplomasi Indonesia.
1.5 Sistematika Penelitian
Skripsi ini dirancang untuk menjelaskan kerangka dan metodologi yang
digunakan dalam penelitian. Hal tersebut terdiri dari beberapa alasan penulis
mengambil permasalahan dan dinilai signifikan untuk diangkat sebagai masalah
yang perlu diteliti dan digali lebih dalam sebagai bahan kajian ilmiah.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian baik secara praktis maupun secara teoritis, dan yang terakhir
yaitu sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi beberapa penelitian terdahulu dan kerangka pemikiran yang penulis
gunakan untuk membedah masalah sebagai (pisau analisis) sehingga mampu
menghasilkan sebuah jawaban dan membantu dalam bab pembahasan berikutnya.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori diplomasi serta konsep kedaulatan
negara. Selain itu, terdapat operasionalisasi konsep, alur pemikiran, dan argumen
utama sebagai jawaban dari penelitian.
10
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini penulis menguraikan metodologi penelitian yang ditempuh oleh
penulis. Metodologi dalam penelitian ini meliputi paradigma penelitian yang
penulis gunakan sebagai sudut pandang dalam melihat masalah, pendekatan
penelitian, jenis penelitian, unit analisis, teknik pengumpulan data, teknik analisis
data, dan teknik keabsahan data. Semuasub-metodologi di atas saling terhubung
untuk mencapai suatu metodologi besar dalam menjawab permasalahan dalam
suatu penelitian.
BAB IV PEMBAHASAN
Pada bab pembahasan ini, penulis menjabarkan seluruh permasalahan terkait topik
yang dibahas dalam penelitian ini. Selain itu, terdapat hasil analisa penulis dari
data-data yang telah ditemukan oleh penulis. Data tersebut berupa hasil
wawancara, study literature dan sumber lainnya, yang kemudian dihubungkan
dengan teori dan konsep yang digunakan untuk menjelaskan diplomasi Indonesia
terhadap Vanuatu terkait isu Papua merdeka. Bab ini menjelaskan banyak hal yang
dapat menjawab pertanyaan penelitian pada Bab I, yaitu bagaimana diplomasi
Indonesia terhadap Vanuatu terkait isu Papua Merdeka.
BAB V KESIMPULAN
Pada bab ini berisi kesimpulan dan uraian secara singkat mengenai jawaban dari
rumusan masalah yang dibantu oleh pembahasan yang sudah dibahas pada bab-bab
sebelumnya. Selain itu, terdapat juga saran atau rekomendasi pada bab ini.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian penulis yang berjudul “Analisis Diplomasi Indonesia
Terhadap Vanuatu Terkait Isu Papua Merdeka”, maka penulis menemukan
beberapa bahan-bahan bacaan pustaka serta karya ilmiah baik jurnal maupun media
massa yang memiliki keterkaitan dengan tema yang penulis coba jelasan yaitu
seputar dukungan Vanuatu untuk kemerdekaan Papua Barat. Hal tersebut bertujuan
untuk memperkaya materi juga membuat penelitian ini bisa dipertanggung
jawabkan oleh penulis.
Dari penelusuran yang telah penulis lakukan, terdapat beberapa penelitian
serta karangan ilmiah yang membahas mengenai dukungan Vanuatu terkait isu
Papua merdeka, namun secara spesifik yang mengangkat isu mengenai “Analisis
Implementasi Diplomasi Indonesia Terhadap Vanuatu Dalam Isu Papua Merdeka”
penulis belum menemukan judul dan fokus penelitian yang sama. Dalam beberapa
jurnal dan juga penelitian yang penulis temukan memang terdapat kata-kata yang
menyinggung mengenai diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu, namun substansi
pembahasan tidak berfokus kepada implementasi dari diplomasi tersebut.
Sampai saat ini penulis belum menemukan penelitian dan karya ilmiah yang
membahas mengenai implementasi diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu dalam
isu Papua merdeka, namun skripsi maupun jurnal yang memiliki subtansi
12
pembahasan yang sama terkait dengan diplomasi Indonesia, kepentingan vanuatu
mendukung isu Papua merdeka, dan isu dari Papua merdeka itu sendiri dapat
dijadikan rujukan oleh penulis. Dengan melihat penelitian terdahulu, penulis dapat
melihat perbedaan serta keunikan dalam penelitian ini. Beberapa penelitian tersebut
diantaranya:
Penelitian pertama berjudul “Strategi Pemerintah Indonesia Terhadap
Negara-negara Anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) dalam
Menghadapi Propaganda Organisasi Papua Merdeka (OPM): Studi Kasus
Negara Republik Vanuatu”, dari Jurnal Peperangan Asimetris Vol.5 No.2 tahun
2019 yang ditulis oleh Gia Noor Syah Putra, Tri Legionosuko, dan Adnan Madjid.
Penelitian ini membahas mengenai strategi yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia yang bertujuan untuk mengkaji permasalahan dalam strategi kontra
propaganda serta bagaimana pemerintah Indonesia mempertahankan hubungan
diplomatiknya dengan negara-negara anggota Melanesian Spearhead Group
(MSG), dengan menggunakan studi kasus negara republik Vanuatu. Metode yang
digunakan ialah metodologi kualitatif deskriptif analitik, kemudian teori yang
digunakan ialah teori strategi dan teori diplomasi publik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi yang dilakukan
pemerintah Indonesia masih belum berhasil, hal tersebut disebabkan oleh minimnya
penggunaan aktor non-negara (non state actor) yang dilakukan Indonesia sebagai
garda terdepan dari kontra-propaganda. Selain itu, implementasi tiga dimensi
diplomasi publik, yaitu pengelolaan berita, sosialisasi strategis, dan pembentukan
hubungan dengan lembaga independen yang tidak mendukung. Yang mana
13
seharusnya lembaga independen tersebut berdedikasi untuk penanganan konflik
dalam kasus pemberontakan Papua. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
penulis terletak pada teori yang digunakan yaitu teori strategis dan teori diplomasi
publik.
Penelitian kedua berjudul “Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap
Dukungan Republik Vanuatu Atas Kemerdekaan Papua Barat Tahun 2015-
2016” dari Jurnal Dinamika Global Vol.2 No. 1 tahun 2017 yang ditulis oleh Bimbi
Rianda, Yuswari O Djemat, dan Angga Nurdin Rahmat. Penelitian ini membahas
mengenai sikap yang diambil oleh Indonesia dalam merespon sikap dukungan
Republik Vanuatu atas kemerdekaan Papua Barat yang merupakan kedaulatan
Indonesia, dengan bentuk kebijakan luar negeri yang bebas aktif yang lebih
mengutamakan persuasi dibanding kekerasan. Penelitian ini menggunakan
pendekatan realisme, konsep politik internasional, konsep politik luar negeri,
konsep kekuasaan, konsep kepentingan nasional, dan konsep kedaulatan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia merumuskan politik luar
negeri berdasarkan komitmen dan rencana yang bersifat persuasif dalam bentuk
kesepakatan antara kedua negara, seperti MoU (Memorandum of Understanding)
antara parlemen Indonesia dan parlemen Vanuatu mengenai rencana kemitraan
antara parlemen dan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 31 Tahun 2016
tentang Pembinaan Koperasi, dimana kebijakan tersebut diwujudkan dalam empat
bentuk. Pertama, memandang negera Vanuatu sebagai negara sahabat. Kedua,
memberikan bantuan kemanusiaan bagi korban Topan Pam di Vanuatu. Ketiga,
14
memberikan bantuan kerjasama kepolisian, dan keempat yaitu menggunakan
strategi People to People Contact.
Berdasarkan kebijakan luar negeri Indonesia tersebut, para peneliti
berpendapat bahwa kebijakan ini sangat efektif karena Indonesia masih bersikeras
pada kebijakan luar negerinya yang bebas aktif dengan mengutamakan persuasi
daripada kekerasan. Dapat dilihat bahwa sikap rendah hati yang diberikan Indonesia
dapat dengan cepat mengubah pandangan masyarakat Vanuatu tentang Indonesia,
Indonesia telah menjadi negara sahabat dalam waktu singkat dari tahun 2015 hingga
2016.
Dalam penelitian ini penulis melihat adanya sedikit persamaan yaitu
pembahasan mengenai kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Vanuatu serta
kesamaan konsep yang digunakan yaitu Kepentingan Nasional dan Kedaulatan,
namun terdapat perbedaan yang mana penelitian ini hanya membahas kebijakan
luar negeri Indonesia pada tahun 2015-2016.
Penelitian ketiga ditulis oleh Ahmad Sabir dengan judul “Diplomasi Publik
Indonesia terhadap Vanuatu dalam Upaya Membendung Gerakan
Separatisme Papua”, pada Jurnal Hubungan Internasional Volume XI, No.1 tahun
2018. Dalam tulisan ini penulis lebih mendalami tentang implementasi diplomasi
publik Indonesia guna mempengaruhi perilaku politik Vanuatu atas isu separatisme
Papua. Penelitian ini memakai metode penelitian kualitatif, deskriptif analitis, dan
mengaplikasikan studi pustaka sebagai teknik pengumpulan data. Dengan
menggunakan teori diplomasi publik dari Leonard, Stead, dan Smewing. Hasil
penelitian ini menunjukkan belum berhasilnya diplomasi publik yang dilakukan
15
oleh Indonesia, hal ini diakibatkan karena belum optimalnya implementasi
diplomasi publik Indonesia.
Kegagalan ini ditunjukkan melalui sikap politik Vanuatu yang tetap
mendukung gerakan separatis Papua dan tidak optimalnya pelaksanaan diplomasi
publik Indonesia yang dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama, variabel aktor pelaksana
diplomasi publik Indonesia terhadap Vanuatu, baik dari sisi pengelolaan berita,
komunikasi strategis, maupun pembangunan relasi, masih didominasi oleh aktor
negara, sedangkan aktor non-negara belum memiliki peran yang besar. Kedua,
mengenai implementasi tiga dimensi diplomasi publik, tidak ada lembaga khusus
yang mengkoordinasikan dan melaksanakan tiga dimensi tersebut dengan
dukungan berdasarkan indikator yang ada. Ketiga, pelaksanaan diplomasi publik
Vanuatu Indonesia juga terkendala dengan adanya doktrin Melanesian Renaissance
yang erat kaitannya dengan masyarakat Vanuatu.
Meski demikian, Sabir mengatakan jika Indonesia dapat mengoptimalkan
tiga dimensi diplomasi publik, mengelola dan mengkoordinasikan pelaksanaan
diplomasi publik secara profesional, serta lebih banyak aktor non-negara yang turut
berpartisipasi, Indonesia masih memiliki peluang.
Penelitian keempat ditulis oleh M. Syaprin Zahidi dengan judul “Analisis
Kebijakan Luar Negeri Vanuatu dalam Mendukung ULMWP untuk
Memisahkan Diri dari Indonesia” pada Mandala : Jurnal Ilmu Hubungan
Internasional Vol. 3 No. 1 tahun 2020. Dalam penelitian ini, Zahidi menganalisis
politik luar negeri dan dukungan aktif Vanuatu terhadap ULMWP dalam
memisahkan diri dari Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan
16
Vanuatu tidak dapat dipisahkan dari politik dalam negerinya. Selain itu, keadaan
sistem pemerintahan Vanuatu juga sangat dipengaruhi oleh Melanesian
Brotherhood dan dorongan dari ULMWP.
Penelitian ini menggunakan pendekatan proses organisasi dari Graham T
Allison dan adaptive model of foreign policy dari Rosenau. Hasil dari penelitian ini
menyatakan bahwa kondisi politik di Vanuatu pada kenyataannya tidak dapat
dilepaskan dari dominasi satu partai besar yaitu partai Vanua’aku PatiVP. Partai
Vanua'aku PatiVP ini memang menempati posisi yang cukup penting dalam politik
Vanuatu, hal ini terlihat dari visi partai tersebut yang mendukung Gerakan
Melanesian Way. Implementasi gerakan tersebut ditujukan untuk mendukung
ULMWP yang ternyata menjadi politik penting bagi Vanuatu. Hal-hal tersebut
diperkuat dengan keadaan sistem pemerintahan Vanuatu yang dipengaruhi oleh
Melanesian Brotherhood dan desakan ULMWP yang ingin terus membantu
Vanuatu dalam kegiatannya semakin memperkuat poin ini. Oleh karena itu, isu
kemerdekaan Papua tentu akan mendapat respon yang positif di Vanuatu.
Penelitian ini hanya berfokus menganalisis kebijakan luar negeri Vanuatu
serta alasan dibalik dukungannya terhadap isu Papua Merdeka, berbeda dengan
penelitian penulis yang fokus membahas mengenai diplomasi yang dilakukan
Indonesia terhadap Vanuatu terkait dengan isu Papua merdeka.
Penelitian kelima yaitu sebuah artikel ilmiah yang ditulis oleh Berlian
Helmy dengan judul “Mematahkan Dukungan Vanuatu Terhadap Gerakan
ULMWP (United Liberalization Movement For West Papua) Guna
Menegakkan Kedaulatan NKRI” pada Jurnal Kajian Lemhannas RI Edisi 38
17
tahun 2019. Dalam penelitian ini, penulis menjelaskan mengenai adanya potensi
ancaman terhadap kedaulatan Indonesia terkait isu Papua, dan opsi kebijakan yang
dapat diambil pemerintah Indonesia untuk mengatasi ancaman tersebut. Opsi yang
diberikan dalam penelitian ini yaitu beberapa kebijakan yang unfavorable untuk
membentuk apriori terhadap Vanuatu, diantaranya adalah Normalisasi Hubungan,
Status Quo, Pemutusan Hubungan Diplomatik, dan Checkbook Diplomacy.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diperlukannya respons yang tegas
melalui pembalasan diplomatik, dan pro dan kontra Indonesia diperhitungkan
melalui sejumlah opsi kebijakan yang bertujuan untuk membentuk sikap apriori
internasional terhadap dukungan nyata Vanuatu terhadap gerakan kemerdekaan
Papua. Beberapa pilihan kebijakan tersebut seperti, Normalisasi Hubungan, Status
Quo, Pemutusan Hubungan Diplomatik, dan Checkbook Diplomacy yang nyatanya
selama ini sudah pernah ada dalam benak wacana Pemerintah Indonesia, akan tetapi
tetap terbentur dengan segala kelebihan dan kekurangan dari masing-masing
kebijakan tersebut.
Penelitian ini tidak secara spesifik membahas mengenai diplomasi yang
dilakukan Indonesia terhadap Vanuatu terkait dengan isu Papua merdeka,
melainkan membahas beberapa opsi kebijakan yang dapat dilakukan Indonesia
untuk mematahkan dukungan Vanuatu terhadap isu Papua merdeka sehingga hal
tersebut menjadi indikator perbedaan dari penelitian penulis. Berikut tinjauan
pustaka yang sudah penulis dapatkan dalam bentuk tabel di bawah ini.
18
Tabel 2 Tabel Tinjauan Pustaka
No Penulis Judul Teori dan
Konsep
Isi Korelasi
1 Gia Noor Syah
Putra, Tri
Legionosuko,Adn
an Madjid.
Strategi Pemerintah
Indonesia Terhadap
Negara-Negara
Anggota
Melanesian
Spearhead Group
(MSG) Dalam
Menghadapi
Propaganda
Organisasi Papua
Merdeka (OPM):
Studi Kasus
Negara Republik
Vanuatu
- Upaya pemerintah
Indonesia,
melakukan kontra
propaganda atas
propaganda yang
dilakukan oleh
OPM dan
berdiplomasi
dengan negara-
negara MSG,
terutama
Republik
Vanuatu.
Studi
kasus
mengenai
Vanuatu
2 Bimbi Rianda,
Yuswari O
Djemat, Angga
Nurdin Rahmat.
Kebijakan Luar
Negeri Indonesia
Terhadap
Dukungan Republik
Vanuatu
Konsep Politik
Internasional,
Kebijakan Luar
Negeri,
Kepentingan
Nasional,
Kedaulatan,
Power.
Mencatat
beberapa
Kebijakan Luar
Negeri Indonesia
terhadap
dukungan
Republik Vanuatu
untuk
Kemerdekaan
Papua Barat
berdasarkan
seperangkat
orientasi,
seperangkat
komitmen dan
sekelompok
tindakan tingkah
laku.
Studi
kasus
mengenai
Vanuatu
19
3 Ahmad Sabir Diplomasi Publik
Indonesia Terhadap
Vanuatu dalam
Upaya
Membendung
Gerakan
Separatisme Papua
Teori Diplomasi
Publik Implementasi
Diplomasi Publik
Indonesia
terhadap Vanuatu.
Studi
kasus
mengenai
Vanuatu
4 M. Syaprin
Zahidi
Analisis Kebijakan
Luar Negeri
Vanuatu Dalam
Mendukung
ULMWP Untuk
Memisahkan Diri
Dari Indonesia
Proses
Organisasi,
Foreign Policy,
Preservative
Adaptation.
Menganalisis
Kebijakan Luar
Negeri Vanuatu
yang mendukung
ULMWP tidak
terlepas dari
aspek politik
domestik
Studi
kasus
mengenai
Vanuatu
5 Berlian Helmy Mematahkan
Dukungan Vanuatu
Terhadap Gerakan
ULMWP (United
Liberalization
Movement For West
Papua) Guna
Menegakkan
Kedaulatan NKRI
- Potensi Ancaman
terhadap
kedaulatan
Indonesia terkait
isu Papua dan
membahas opsi-
opsi kebijakan
yang dapat
diambil
pemerintah
Indonesia untuk
menangkal
ancaman ini.
Studi
kasus
mengenai
Vanuatu
20
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Diplomasi
Istilah diplomasi mencakup wilayah yang cukup luas, tetapi elemen
kuncinya adalah diplomasi berhubungan dengan hubungan internasional, yang
dipahami secara luas. Dalam Encyclopédie Larousse, misalnya, setidaknya ada tiga
arti yang melekat pada kata “diplomasi”. Pertama, diplomasi mengacu pada
"tindakan dan cara mewakili negara seseorang ke negara asing dalam negosiasi
internasional." Kedua, diplomasi berkaitan dengan “kebijakan eksternal suatu
negara, pemerintah.” Terakhir, diplomasi adalah “cabang ilmu politik yang
menyangkut hubungan internasional.” (Balzacq, Charillon, & Ramel, 2020: 1).
Definisi lainnya menurut Berridge yaitu, diplomasi pada dasarnya adalah
sebuah aktivitas politik, dengan sumber daya yang baik dan terampil diplomasi
menjadi unsur utama dari suatu kekuasaan. Selain itu, diplomasi juga merupakan
sarana penting yang digunakan suatu negara untuk menjalankan kebijakan luar
negeri mereka. Di banyak negara, kebijakan luar negeri tersebut diatur dan dibentuk
secara signifikan dalam Kementerian luar negeri (Berridge, 2015: 1-3).
Negara-negara berkomitmen pada diplomasi sesuai dengan sifat dunia
tempat mereka tinggal. Di era dan tempat di mana banyak negara merdeka dan
perilakunya saling mempengaruhi, mereka tidak dapat berperan dalam ruang hampa
yang terisolasi dan hanya mempertimbangkan bagaimana mengelola urusan dalam
negeri. Karena ingin mengendalikan nasibnya sendiri semaksimal mungkin, setiap
negara memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan kepentingan negara lain dan
21
warganya yang melanggar kepentingannya, tidak peduli apa yang dianggap sejalan
dengan kepentingan tersebut (Watson, 2005: 1).
Jean Jacques Rousseau menjelaskan secara singkat mengenai sistem negara
pada akhir abad ke-18. Seperti yang dikatakan, “the body politics” yaitu dipaksa
untuk melampaui diri sendiri untuk memahami diri sendiri. Yang mana berarti
bahwa suatu negara bergantung pada seluruh lingkungan dan harus memperhatikan
semua yang terjadi. Oleh karena itu, saat ini, setiap negara dalam sistem global kita
tidak hanya bergantung pada dirinya sendiri, tetapi juga pada seluruh lingkungan
dunia. Negara-negara yang menyadari bahwa kebijakan dalam negerinya
dipengaruhi oleh “semua perubahan” dari luar tidak puas melihat dari kejauhan.
Mereka merasa perlu untuk berbicara satu sama lain. Dialog antar negara merdeka.
Metode yang digunakan oleh pemerintah dan jaringan yang dihasilkan dari
komitmen, kontrak, institusi, dan kode etik adalah inti dari sebuah diplomasi
(Watson, 2005: 1).
Thierry Balzacq, Frédéric Charillon, dan Frédéric Ramel menyatakan
bahwa diplomasi dibagi menjadi tiga bagian yaitu (1) Tempat dan Vektor
Diplomasi, (2) Para aktor, dan (3) Sektor Diplomasi. Bagian pertama menjelaskan
dan mengeksplorasi lingkungan dimana diplomasi dipahami dan dikembangkan
serta berbagai kemungkinan konfigurasinya, dari bilateralisme hingga
multilateralisme, dan lainya. Selain itu juga mengkaji berbagai metode pendukung
diplomasi, dari yang paling klasik (negosiasi, ritual, dan protokol) hingga teknologi
informasi dan komunikasi terkini. Pada bagian tempat dan vektor penelitian ini
22
mengambil tempat dalam lingkup Diplomasi Bilateral yang mana terjadi antara
Indonesia dan Vanuatu (Balzacq, Charillon, & Ramel, 2020: 14).
Bagian kedua lebih berfokus pada aktor yang terlibat dalam diplomasi. Para
aktor yang dijelaskan pada bagian ini tidak hanya mencakup aktor negara, tetapi
juga sub-aktor dan supra-nasional. Hal ini menegaskan bahwa tekanan ganda dari
entitas lokal dan lembaga internasional dan non pemerintah telah mengubah tugas
diplomat nasional secara mendasar. Namun hal tersebut memperkuat analisis ini
dengan beberapa data asli. Di sini, misalnya, peran badan legislatif adalah kunci
sejauh hal itu menimbulkan pertanyaan tentang keseimbangan yang adil antara, di
satu sisi, kebijaksanaan (atau kerahasiaan) salah satu atribut tradisional diplomasi
dan, di sisi lain, transparansi, sebuah persyaratan untuk aktor baru tertentu di kancah
internasional. Pada bagian kedua yaitu aktor, pada penelitian ini aktor yang
berperan adalah aktor negara dan layanan luar negerinya yang menjalankan tugas
dari diplomasi yang akan dilakukan. (Balzacq, Charillon, & Ramel, 2020: 14).
Terakhir, bagian ketiga membahas berbagai sektor diplomatik. Pada bagian
ini, Thierry Balzacq, Frédéric Charillon, dan Frédéric Ramel membahas beberapa
kesulitan yang dihadapi oleh beberapa sektor diplomasi di era ini. Tujuannya untuk
menguji hipotesis bahwa diplomasi berubah sifat di berbagai sektor. Pada penelitian
ini, diplomasi yang dilakukan mencakup ke dalam beberapa sektor (Balzacq,
Charillon, & Ramel, 2020: 14).
23
2.3 Landasan Konseptual
2.3.1 Kedaulatan Negara
Kedaulatan adalah gagasan otoritas yang diwujudkan dalam organisasi
teritorial yang berbatasan yang kita sebut sebagai “negara” atau “bangsa” dan
diekspresikan dalam berbagai hubungan dan aktivitas mereka, baik dalam maupun
luar negeri. Kedaulatan berada di pusat pengaturan politik dan praktik hukum dunia
modern. Pada era kontemporer, kedaulatan adalah sistem otoritas global yang
meluas di dalam aspek agama, peradaban, bahasa, budaya, kelompok etnis dan ras,
dan komunitas dan kolektivitas lain di mana umat manusia terbagi (Jackson, 2007:
10).
Kedaulatan merupakan gagasan dasar politik dan hukum yang hanya dapat
dipahami dengan baik sebagai, pada saat yang sama, sebagai gagasan tentang
otoritas tertinggi di negara bagian, dan gagasan tentang kemerdekaan politik dan
hukum dari negara-negara yang terpisah secara geografis. kedua aspek kedaulatan
negara ini bukanlah gagasan yang terpisah. mereka adalah aspek yang berbeda dari
satu gagasan keseluruhan. kedaulatan adalah gagasan konstitusional tentang hak
dan kewajiban pemerintah dan warga negara atau subjek negara tertentu (Jackson,
2007: 10).
Konsep kedaulatan, melibatkan harapan bersama mengenai aturan main
dalam hubungan antar negara. Harapan bersama ini adalah hasil dari interaksi,
sosialisasi dan internalisasi norma atau aturan yang disepakati yang mengurangi
bahaya dalam hubungan internasional. Oleh karena itu, negara-negara dapat
mencapai kesepakatan satu sama lain untuk memelihara perdamaian, apakah
24
mereka tetap berada dalam keadaan alami dunia tidak selalu berperang seperti
pandangan Lockean atau meninggalkannya dengan membentuk komunitas
internasional yang lebih damai seperti yang dibayangkan oleh Immanuel Kant atau
mereka yang mengikuti jejaknya (Viotti & Kauppi, 2012: 280).
Konsep kedaulatan, terdiri dari seperangkat aturan atau standar perilaku
yang memberikan panduan bagi negara-negara untuk berinteraksi satu sama lain.
Secara khusus, negara berdaulat datang untuk mengklaim hak di bawah hukum
internasional untuk menyelesaikan yurisdiksi atas wilayah mereka sendiri (dimensi
internal atau domestik) karenanya, berkembanglah sebuah norma internasional
yang menetapkan non-intervensi dalam urusan internal negara lain. Kedua, negara
mengklaim hak untuk mandiri atau otonom dalam melakukan hubungan luar negeri
mereka (dimensi eksternal atau internasional). Oleh karena itu, bagi kaum
konstruktivis, kedaulatan bukan hanya milik masing-masing negara, tetapi lebih
merupakan milik bersama dan secara intersubjektif (Viotti & Kauppi, 2012: 281).
Lembaga yang dibangun secara sosial atau struktur normatif antar negara.
Perdamaian Augsburg (1555) dan Perdamaian Westphalia (1648) menandai
munculnya kedaulatan di antara Jerman dan negara-negara lain sebagai norma yang
nyaman yang secara efektif menempatkan otoritas pada pangeran, adipati, dan raja
yang berkuasa saat itu. Bahkan meskipun praktik di antara mereka mendahului
formalisasi kedaulatan—menghormati hak prerogatif negara berdaulat lainnya—
norma baru pada waktunya menjadi mengglobal baik dalam dimensi domestik
maupun eksternalnya. Kedaulatan diekspresikan melalui aturan perilaku yang
dicontohkan oleh praktik diplomatik (Viotti & Kauppi, 2012: 282).
25
Praktik-praktik ini mencerminkan saling pengertian tentang memberikan
ketertiban di arena internasional, menstabilkan harapan para aktor, dan mengelola
hubungan kekuasaan. Demikian pula, pengembangan norma integritas teritorial
membantu memperkuat norma kedaulatan dengan mengakui kesucian batas-batas
negara yang dibangun secara sosial. Tentu saja, dimensi internal kedaulatan—tidak
mencampuri urusan dalam negeri suatu negara—telah dilanggar berkali-kali selama
berabad-abad, seperti ketika satu negara menginvasi negara lain atau
mengintervensi politik domestiknya atau masalah lainnya. Tetapi klaim untuk
berdaulat baik dalam dimensi internal maupun eksternalnya tetap ada (Viotti &
Kauppi, 2012: 283).
2.3.2 Hubungan Bilateral
Hubungan bilateral adalah elemen pendiri hubungan internasional, atau,
seperti yang dikemukakan Thomas Gomart, yaitu “bentuk dasar dari permainan
diplomatik”. Sentralitas hubungan bilateral dapat dilihat pada tingkat historis,
strategis, dan numerik. Pertama, pada tingkat historis, penggunaan hubungan
diplomatik antar negara melalui misi resmi dimulai pada abad ketujuh belas di
antara monarki Eropa, setara dengan apa yang disebut “diplomasi tradisional” atau
“diplomasi lama” (Balzacq, Charillon, & Ramel, 2020: 19).
Diplomasi bilateral adalah fondasi dasar hubungan antar negara. Kerajinan
kuno ini termasuk bidang pengetahuan empiris. Itu ditularkan melalui seorang
mentor dan seperangkat aturan, banyak di antaranya tidak tertulis. Karena
kerapuhan negara-negara yang berusaha mendominasi orang lain, kepentingan
26
bersama yang masih ada, dan kekuatan pendorong perdagangan internasional yang
kuat saling mempengaruhi. Diplomasi bertujuan untuk membangun hubungan yang
meningkatkan kelangsungan hidup dan keamanan negara. Ini mendorong
pembentukan aliansi dan membela kepentingannya sendiri. Hal tersebut pada
akhirnya menjadikan hubungan bilateral tersebut menjadi hubungan yang strategis
dan menjadikan politik sebagai landasan hubungan antar bangsa (Cooper, Heine, &
Thakur, 2013: 204).
Peran sentral hubungan bilateral dalam diplomasi kemudian dapat
dieksplorasi melalui peran strategisnya dalam mempromosikan kepentingan
nasional dan penataan negosiasi internasional. Melalui kementerian luar negeri,
kedutaan besar, dan konsulat, diplomasi bilateral memang tetap menjadi alat terbaik
untuk mengejar kepentingan negara, baik melalui perdagangan dan investasi,
dengan mempromosikan citra dan budaya suatu negara, atau dalam berkomunikasi
dengan diaspora. Lebih lanjut, hubungan bilateral merupakan fase penting untuk
terlibat dalam negosiasi internasional, karena kepentingan bersama pertama kali
dikembangkan pada tingkat bilateral untuk membangun koalisi dan secara lebih
efektif menyoroti kepentingan tersebut dalam negosiasi multilateral (Balzacq,
Charillon, & Ramel, 2020: 20).
Diplomasi bilateral dapat menentukan kapan, di mana, dan bagaimana
hubungan dari suatu negara-ke-negara tertentu akan menjadi lebih relevan.
Mempromosikan negara seseorang di setiap bidang sekarang menjadi tugas utama
dalam diplomasi bilateral. Ini mencakup berbagai bidang seperti perdagangan,
investasi, dan pariwisata, serta urusan budaya. Tugas lainnya termasuk “layanan
27
pelanggan”, yaitu layanan yang diberikan kepada publik. Ini mengarah pada cara
baru dalam mengelola sumber daya diplomatik, lebih sesuai dengan standar bisnis.
Didorong untuk memberikan hasil, banyak kementerian luar negeri telah
menyempurnakan perekrutan, sistem evaluasi personel, dan pendekatan mereka
untuk mendorong dan memberi penghargaan kepada staf mereka (Cooper, Heine,
& Thakur, 2013: 205).
Hubungan bilateral cenderung disukai ketika para aktor menganggapnya
sebagai keuntungan taktis. Dengan demikian, hubungan bilateral seringkali
dilakukan sebagai interaksi strategis, perebutan kekuasaan di mana para aktornya
didorong oleh kepentingannya sendiri daripada keinginan untuk menjadi inklusif.
Tantangan dalam hubungan bilateral kemudian adalah berhasil mengejar
kepentingan tersebut melalui kerja sama, tanpa merusak kedaulatan dan kebebasan
bertindak (Balzacq, Charillon, & Ramel, 2020: 20).
28
2.4 Alur Pemikiran
Isu Papua Merdeka
Indonesia Vanuatu
Membantah tudingan dan dukungan
Vanuatu terhadap Papua merdeka Mendukung
kemerdekaan masyarakat
Papua
Menuding Indonesia
melakukan pelanggaran
HAM terhadap masyarakat
Papua
Ketegangan antara Indonesia dan Vanuatu
Diplomasi Indonesia terhadap
Vanuatu
Gambar SEQ Gambar \* ARABIC 2.1
Bagan Alur Pemikiran
Gambar 2 Bagan Alur Pemikiran
Diplomasi Ekonomi
Diplomasi Budaya
Diplomasi Publik
29
Pertama, isu Papua merdeka tidak lagi terbatas pada urusan domestik saja,
namun kini telah berkembang menjadi isu yang lebih besar lagi yang mana sudah
sampai ke kancah internasional. Vanuatu merupakan salah satu negara di kawasan
Pasifik Selatan yang sangat vokal mendukung kemerdekaan Papua Barat dengan
alasan persamaan ras yang dimiliki oleh Vanuatu dan Papua yaitu ras melanesia.
(Melanesian Brotherhood).
Kedua, Vanuatu kerap menyatakan secara resmi bahwa ia mengecam
tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia di Papua. Tudingan tersebut secara konsisten digaungkan di forum-forum
internasional seperti sidang tinggi HAM PBB dan sidang umum PBB yang pada
akhirnya dibantah dengan tegas oleh diplomat perwakilan dari Indonesia. Namun,
dari tahun ke tahun tudingan-tudingan tersebut terus dikemukakan oleh Vanuatu
sejak tahun 2014 hingga saat ini. Dengan demikian, ketegangan pun terjadi antara
Indonesia dan Vanuatu.
Ketiga, untuk menangani masalah tersebut, Indonesia melakukan diplomasi
dengan Vanuatu dengan melakukan beberapa diplomasi seperti diplomasi ekonomi,
diplomasi budaya dan diplomasi publik. Semua upaya tersebut dilakukan oleh
Indonesia dengan tujuan untuk membendung dukungan Vanuatu terhadap isu Papua
merdeka.
2.5 Argumen Utama
Penelitian ini menemukan bahwa Indonesia melakukan diplomasi terhadap
Vanuatu terkait dengan isu Papua merdeka karena adanya dukungan yang
30
diberikan oleh Vanuatu untuk kemerdekaan Papua Barat. Selain itu, tudingan juga
kerap dinyatakan oleh Vanuatu bahwa Indonesia telah melakukan pelanggaran
HAM berat kepada masyarakat asli Papua. Vanuatu melakukan agenda politiknya
untuk mendukung Papua dengan tiga media. Pertama, melalui forum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), kedua, melalui Melanesian Spearhead Group (MSG), dan
ketiga melalui United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Kedekatan
etnis yang dimiliki Vanuatu dengan Papua yaitu ras melanesian menjadi salah satu
sumber penyebab masifnya dukungan Vanuatu terhadap upaya kemerdekaan
Papua.
Pada penelitian ini, penulis membahas cakupan diplomasi yang dilakukan
Indonesia terbagi menjadi beberapa sektor, yaitu diplomasi ekonomi, budaya, dan
diplomasi publik. Menurut pandangan penulis, tudingan serta dukungan yang
dilakukan oleh Vanuatu berpotensi menjadi suatu ancaman bagi kedaulatan
Indonesia. Vanuatu merupakan salah satu negara yang cukup berpengaruh di
kawasan Pasifik Selatan, dan negara ini juga merupakan salah satu penggagas
berdirinya organisasi Melanesian Spearhead Group (MSG). Apabila tudingan dan
dukungan tersebut terus dilakukan oleh Vanuatu, besar kemungkinan bahwa negara
tersebut dapat mempengaruhi negara-negara lain terutama di kawasan Pasifik
Selatan untuk turut serta mendukung kemerdekaan Papua.
31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian yang penulis pakai dalam penelitian ini yaitu
paradigma konstruktivis atau konstruktivisme sosial (yang sering kali
dikombinasikan dengan interpretivisme), yang mana biasanya paradigma ini
dipandang sebagai suatu pendekatan dalam penelitian kualitatif. Gagasan
konstruktivisme sosial berasal dari Manheim dan buku-buku seperti The Social
Construction Of Reality-nya Berger dan Luekmann (1967) dan Naturalistic
Inquiry-nya Lincoln dan Guba (1985) (Creswell, 2017: 9).
Kaum konstruktivisme mempercayai bahwa individu-individu senantiasa
berupaya memahami dunia di mana mereka hidup dan bekerja. Mereka
mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalaman-pengalaman yang
mereka alami. Makna makna yang dimaksud yaitu mengarah pada objek-objek atau
benda-benda tertentu. Makna-makna ini pun cukup beragam sehingga peneliti
dituntut untuk lebih menggali kompleksitas pandangan-pandangan daripada
mempersempit makna-makna tersebut menjadi sebuah kategori dan gagasan
(Creswell, 2017: 10).
Peneliti berupaya mengandalkan sebanyak mungkin pandangan dari
partisipan mengenai situasi yang tengah diteliti dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi sangat jelas dan umum sehingga
32
partisipan dapat mengkonstruksi makna atas situasi tersebut, yang biasanya tidak
asli atau tidak dipakai dalam interaksi dengan orang lain. Semakin terbuka
pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu akan semakin baik dan juga dapat
memberikan manfaat lebih untuk peneliti, selain itu peneliti dapat mendengarkan
dengan cermat apa yang dibicarakan dan dilakukan partisipan dalam kehidupan
mereka (Creswell, 2017: 10).
Makna-makna subjektif ini kerap kali dinegoisasi secara historis dan sosial.
Makna-makna ini tidak semata-mata dicetak untuk kemudian diberikan kepada
individu-individu, namun harus dilakukan melalui interaksi dengan mereka (karena
itulah dinamakan konstruktivisme sosial) serta melalui norma-norma historis dan
sosial yang berlaku dalam kehidupan mereka sehari-hari. Para peneliti juga perlu
mengetahui bahwa latar belakang mereka tentunya dapat mempengaruhi penafsiran
mereka terhadap hasil dari penelitian (Creswell, 2017: 11).
Ketika melakukan penelitian, sudah selayaknya para peneliti dapat
memposisikan diri mereka sedemikian rupa seraya menerima dengan rendah hati
bahwa interpretasi mereka tidak pernah lepas dari pengalaman pribadi, kultural, dan
historis mereka sendiri. Dalam konteks konstruktivisme, peneliti mempunyai tujuan
utama, yakni berusaha memaknai (atau menafsirkan) makna-makna yang dimiliki
oleh orang lain mengenai dunia ini. Peneliti sebaiknya membuat atau
mengembangkan suatu teori atau pola makna tertentu secara induktif daripada
mengawali penelitiannya dengan suatu teori (Creswell, 2017: 11).
33
3.2 Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian (research approach) merupakan suatu rencana dan
prosedur penelitian yang meliputi langkah-langkah dari asumsi-asumsi luas hingga
metode-metode terperinci dalam pengumpulan, analisis, dan interpretasi data.
Pendekatan ini mengimplikasikan rancangan seperti apa yang seharusnya
digunakan untuk meneliti sebuah topik tertentu dan menunjukkan suatu perspektif
mengenai penelitian yang menampilkan informasi berurutan dari konstruksi
penelitian secara luas ke prosedur metode yang sempit (Creswell, 2017: 3).
Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis yaitu penelitian
kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan metode-metode untuk memahami dan
mengeksplorasi makna-makna yang dianggap oleh sejumlah individu atau
sekelompok orang berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian
kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, yakni mengajukan pertanyaan-
pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para
partisipan, menganalisis data secara induktif, dan menafsirkan makna data
(Creswell, 2017: 5).
Laporan akhir dari penelitian ini mempunyai struktur atau kerangka yang
fleksibel. Peneliti yang menggunakan pendekatan kualitatif harus menggunakan
cara pandang penelitian yang bergaya induktif yaitu dapat menganalisis data dari
tema khusus ke umum, serta berfokus pada makna individual, dan menerjemahkan
kompleksitas suatu persoalan (Creswell, 2017: 5).
Metode ini menekankan pada pentingnya penelitian melalui sumber tertulis
untuk memperoleh data secara keseluruhan tentang situasi yang diteliti oleh
34
peneliti. Oleh karena itu, melalui metode kualitatif akan lebih mudah untuk
menggali informasi mengenai diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu dalam isu
Papua merdeka melalui artikel, jurnal, berita, maupun melalui teknik wawancara.
3.3 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah jenis penelitian deskriptif
analitis dengan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian deskriptif analisis adalah cara
merangkai data dengan uraian yang sedalam-dalamnya dan sejelas-jelasnya. Jenis
penelitian deskriptif analisis adalah suatu metode penelitian yang menguraikan
keadaan suatu subjek atau objek penelitian.
Data yang telah didapat kemudian dianalisis dan dibandingkan
berdasarkan dari kenyataan yang tengah berlangsung pada saat ini dan selanjutnya
berusaha untuk memberikan suatu solusi atau memecahkan masalah dan dapat
memberikan informasi yang mutakhir sehingga bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan serta dapat lebih banyak diterapkan pada berbagai masalah
(Creswell, 2017).
Penelitian deskriptif secara garis besar merupakan kegiatan
penelitian yang dilakukan untuk membuat gambaran atau mencoba
mendeskripsikan suatu peristiwa atau gejala secara sistematis, faktual dan akurat.
Penelitian deskriptif sendiri merupakan suatu penelitian yang paling mendasar,
yang mana mempunyai tujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan
fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat ilmiah maupun rekayasa manusia.
35
Penelitian ini mengkaji bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan,
hubungan, kesamaan, dan perbedaannya dengan fenomena lain. Jenis penelitian
secara deskriptif kualitatif yang digunakan penulis dalam penelitian ini digunakan
untuk mengembangkan teori yang dibangun melalui data yang diperoleh di
lapangan dan dikonfirmasi ke dalam analisis. Dalam hal ini penulis menggunakan
deskriptif analisis untuk menganalisis (menggambarkan) bagaimana implementasi
dari diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu untuk meredam isu Papua merdeka
dengan menggunakan teori diplomasi.
3.4 Unit Analisis
Unit analisis dalam suatu penelitian dapat berupa suatu benda, individu,
kelompok, wilayah dan waktu-waktu tertentu sesuai dengan fokus penelitian yang
ditentukan oleh penulis. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
negara dengan negara yaitu Indonesia dan Vanuatu. Penelitian ini melihat
bagaimana interaksi dan diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia terhadap
Vanuatu terkait isu Papua merdeka. Dengan adanya kemampuan berdiplomasi yang
baik oleh Indonesia, hal tersebut diharapkan akan membendung dukungan-
dukungan yang diberikan Vanuatu terhadap isu Papua merdeka selain itu dapat
memberikan suatu peringatan baik kepada Vanuatu maupun negara-negara lainnya
bahwa sudah seharusnya urusan domestik suatu negara tidak dicampur tangani oleh
negara lain.
36
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau langkah-langkah yang
dilakukan guna mendapatkan data-data yang diperlukan dalam suatu penelitian.
Menurut Sugiyono (2013: 224), teknik pengumpulan data merupakan metode yang
paling strategis untuk dilakukan dalam melakukan suatu penelitian, karena tujuan
utama dari penelitian ialah memperoleh suatu data. Teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yang mana terdapat data primer
yang akan diperoleh dari hasil wawancara dan data sekunder yang akan didapat dari
hasil studi pustaka yang dilakukan oleh penulis.
3.5.1 Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber utama baik
individu maupun kelompok. Penelitian ini dilakukan dengan teknik pengumpulan
data secara wawancara mendalam (in-depth interview). Dalam wawancara penulis
dapat melakukan face-to-face interview (wawancara berhadap-hadapan) dengan
narasumber, mewawancarai mereka dengan telepon, atau terlibat dalam focus group
interview (wawancara dalam kelompok tertentu) (Creswell, 2017: 254) Dalam
wawancara penulis akan mendapatkan sumber data yang utama dalam penelitian
karena terdapat kata-kata dan juga tindakan, selebihnya adalah data tambahan
seperti dokumen utama (Moleong, 2007: 112). Terdapat empat instansi yang telah
dilakukan oleh penulis sebagai acuan data primer yang mana hasil dari wawancara
ini diperoleh dari empat instansi baik instansi pemerintah maupun non pemerintah
yang sangat fokus dengan kajian dalam penelitian ini. Berikut adalah instansinya
masing-masing :
37
1. Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kementerian
Luar Negeri Indonesia.
2. Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, Direktorat Asia Timur
dan Pasifik. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
3. Peneliti P2P, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI.
4. Jaringan Damai Papua (JDP).
3.5.2 Data Sekunder
Penulis juga melakukan studi pustaka (library research) dengan
mengumpulkan berbagai macam data kepustakaan seperti buku, jurnal, artikel yang
berkaitan dengan penelitian penulis untuk mengumpulkan beragam jenis data serta
mendukung pengamatan dari penelitian yang akan ditulis oleh penulis.
3.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang diperlukan dan digunakan oleh
peneliti untuk mengumpulkan data. Dengan kata lain, dalam suatu penelitian,
penggunaan instrumen atau alat-alat sangat penting untuk mengumpulkan data-data
yang telah diperoleh. Dalam penelitian kualitatif, instrumen utama dalam
pengumpulan data adalah manusia yaitu peneliti itu sendiri atau orang lain yang
membantu peneliti. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri yang
mengumpulkan data menggunakan beberapa cara seperti bertanya, meminta, dan
mendengar. Instrumen yang digunakan selain manusia (pedoman wawancara,
pedoman observasi, angket dan lain sebagainya) dapat pula digunakan, namun
38
fungsinya terbatas sebagai pendukung tugas peneliti sebagai instrumen kunci
(Afrizal, 2014).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan berbagai instrumen pendukung
yang dibutuhkan selama penelitian berlangsung yang dapat membantu penulis
mempermudah dan memastikan data yang didapatkan valid dan sesuai dengan
fokus dan tema dari penelitian, antara lain ialah :
a. Penggunaan teknologi dalam penelitian adalah sebagai alat bantu
berbasis media elektronik yang dapat digunakan oleh peneliti dalam
proses pengumpulan data dan dibutuhkan baik sebagai perekam
pada saat akan dilakukannya wawancara maupun saat dilakukannya
pengumpulan data melalui internet. Sehingga teknologi yang
dimaksud oleh penulis adalah (Laptop, Voice recorder, dan
Smartphone).
b. Alat yang dibutuhkan oleh penulis berikutnya yaitu berupa
seperangkat alat bantu tulis yang terdiri dari buku catatan khusus
untuk penelitian, post it notes, dan pulpen serta stabilo. Penggunaan
alat bantu tulis ini adalah untuk mencatat hal-hal penting yang
mungkin akan terlewatkan oleh penulis.
c. Buku panduan penelitian yang digunakan oleh penulis untuk
membantu memberikan panduan penulisan karangan ilmiah yang
baik dan benar sesuai dengan standar penulisan yang dibutuhkan.
39
3.7 Teknik Analisis Data
Dalam suatu penelitian yang menggunakan metode kualitatif, analisis data
dilakukan sebelum peneliti terjun ke lapangan, selama peneliti mengadakan
penelitian di lapangan, sampai dengan laporan hasil penelitian. Proses analisis data
dalam penelitian kualitatif akan berjalan bersamaan dengan bagian-bagian lain dari
pengembangan penelitian kualitatif, yaitu penulisan temuan dan pengumpulan data
(Creswell, 2017).
Ketika wawancara sedang berlangsung, misalnya, peneliti dapat
menganalisis wawancara yang telah dikumpulkan sebelumnya, kemudian
menuliskan suatu memo yang pada akhirnya dimasukkan sebagai narasi dalam
laporan akhir, dan menyusun struktur laporan akhir. Dengan demikian, dalam
analisis data peneliti perlu “memisahkan” data yang hanya berfokus pada sebagian
data saja dan mengabaikan bagian-bagian lainnya (Creswell, 2017: 261). Teknik
analisis data pada penelitian ini menggunakan empat prosedur, yaitu (Creswell,
2017: 264):
1. Mengolah dan Mempersiapkan Data
Dalam pelaksanaanya, langkah ini melibatkan transkripsi wawancara, men-
scanning materi, mengetik data lapangan, atau memilah-milah data yang telah
didapatkan dan kemudian menyusunnya ke dalam jenis-jenis yang berbeda
tergantung pada sumber informasi.
2. Membaca Keseluruhan Data
Langkah pertama yang dilakukan yaitu membangun general sense atas
informasi yang diperoleh dan merefleksikan maknanya secara keseluruhan. Pada
40
langkah ini peneliti menulis catatan-catatan khusus atau gagasan-gagasan umum
tentang data yang telah diperoleh.
3. Penyajian Data
Penyajian data adalah kegiatan mengelompokan data yang telah di reduksi.
Menyajikan data akan mempermudah peneliti untuk memahami apa yang terjadi
selama penelitian berlangsung. Setelah itu perlu adanya perencanaan kerja
berdasarkan apa yang telah dipahami. Dalam penyajian data, menggunakan teks
secara naratif bukan satu-satunya cara yang dapat digunakan. Peneliti juga dapat
menggunakan bahasa non-verbal seperti bagan, grafik, denah, matriks, dan tabel.
Penyajian data merupakan proses pengumpulan informasi yang disusun
berdasarkan kategori atau pengelompokan yang diperlukan.
4. Verifikasi Data
Langkah terakhir yang dilakukan dalam teknik analisis data yaitu verifikasi
data. Dalam penelitian kualitatif, menarik kesimpulan dilakukan untuk menjawab
rumusan masalah sementara, jika kemudian ditemukan data-data lain yang
mendukung maka kesimpulan tersebut dapat berubah. Verifikasi data dilakukan
apabila kesimpulan awal yang ditemukan masih bersifat sementara, dan akan ada
perubahan-perubahan jika tidak disandingi dengan bukti-bukti pendukung yang
kuat untuk mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Apabila
kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal telah didukung dengan bukti-bukti
yang valid dan konsisten saat penelitian kembali ke lapangan mengumpulkan data,
maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel atau
dapat dipercaya.
41
3.8 Teknik Keabsahan Data
Penelitian ini membutuhkan beberapa cara untuk meningkatkan keabsahan
data penelitian kualitatif agar dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan
kredibilitas hasil penelitiannya. Penelitian ini menggunakan teknik keabsahan data
yang di dalamnya terdapat validitas dan juga reliabilitas data.
3.8.1 Validitas Data
Dalam penelitian kualitatif, validitas tidak mempunyai konotasi yang serupa
dengan validitas dalam penelitian kuantitatif. Validitas kualitatif (qualitative
validity) merupakan upaya pemeriksaan terhadap akurasi hasil penelitian dengan
menerapkan prosedur-prosedur tertentu. Validitas merupakan salah satu kekuatan
penelitian kualitatif dan didasarkan pada penentuan apakah temuan yang didapat
telah akurat dari sudut pandang peneliti, partisipan, atau pembaca. Istilah-istilah
yang banyak ditemukan dalam literatur kualitatif yang membahas validitas yaitu
kepercayaan (trustworthiness), otentisitas (authenticity), dan kredibilitas
(credibility) (Creswell, 2017: 271).
Adapun strategi validitas atau uji kredibilitas data yang dilakukan oleh
penulis adalah triangulasi (triangulate). Triangulasi dilakukan ketika sumber data
atau informasi yang telah didapat oleh penulis kemudian diperiksa bukti-bukti yang
berasal dari sumber tersebut dan menggunakannya untuk membangun justifikasi
dan tema-tema yang dibangun berdasarkan sejumlah sumber data atau perspektif
dari partisipan, maka proses ini dapat menambah validitas dari suatu penelitian
(Creswell, 2017: 271).
42
3.8.2 Reliabilitas Data
Reliabilitas data penelitian kualitatif (qualitative reliability) menandakan
bahwa pendekatan yang digunakan oleh peneliti dapat dikatakan konsisten jika
diterapkan oleh peneliti lain (dan) untuk proyek yang berbeda. Reliabilitas
digunakan untuk menentukan apakah pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh
para peneliti kualitatif dapat diandalkan (yaitu, konsisten dan stabil) (Creswell,
2017: 269).
43
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Isu Papua Merdeka
Papua merupakan wilayah Indonesia yang berada di bagian timur yang
bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI melalui perjanjian
internasional yaitu Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 (Bhakti & Pigay,
2012: 1). Munculnya konflik yang terjadi di tanah Papua telah berlangsung sejak
lama, bermula ketika tanah Papua resmi menjadi wilayah jajahan Hindia Belanda
hingga zaman proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang berujung pada
konflik antara Belanda dan Indonesia atas Papua. Papua kembali menghadirkan
sengketa atas pengintegrasian tanah wilayah bekas jajahan Belanda dalam
kedaulatan Indonesia pada tahun 1963. Atas dasar pengintegrasian wilayah inilah
yang menjadi akar permasalahan konflik yang terus berkecamuk hingga saat ini
(Marit & Warami, 2018: 44).
Pada tanggal 1 Mei tahun 1963, Indonesia menjadi kekuatan kolonial yang
baru di Papua dan kekuasaan tersebut menghadirkan berbagai perubahan. Pertama,
dewan yang telah dibentuk oleh Papua dibubarkan. Kemudian, bendera nasional
Papua yang direncanakan akan digunakan sebagai bendera resmi nasional dilarang
berkibar serta dibakar. Ketiga, lagu yang disiapkan sebagai lagu kebangsaan Papua
juga dilarang oleh pemerintah Indonesia. Hal-hal apapun yang berkaitan dengan
perencanaan kemerdekaan Papua sangat dilarang oleh Indonesia maka dari itu
44
peristiwa ini merupakan latar belakang sejarah yang sangat melekat kuat di pikiran
masyarakat Papua sebagai kenangan yang pedih yang tidak mudah untuk dilupakan
begitu saja (Djafar, 2012: 103).
Kebijakan Indonesia adalah untuk mengintegrasikan Papua Barat secara
militer, politik, budaya dan sosial ke dalam bangsa Indonesia. Awalnya
berkonsentrasi pada perubahan dan konsolidasi struktur pemerintahan dan
pembentukan otoritasnya di provinsi baru. Tindakan pertama adalah
menghilangkan institusi demokrasi, yang dianggap sebagai institusi “kolonial”.
Untuk melegitimasi tindakan tersebut, Keputusan Presiden No. 8 dan No. 11 tahun
1963 diumumkan untuk menempatkan Papua Barat di bawah kendali politik,
melarang semua kegiatan politik, dan menyangkal hak serta kebebasan
(Muhammad, Mutiarin, & Tebay, 2013: 14).
Keputusan tersebut juga memberikan kekuatan tak terbatas kepada pasukan
keamanan untuk menghilangkan oposisi di masyarakat. Semua partai politik yang
terbentuk selama pemerintahan Belanda dihapuskan. Dalam konteks restrukturisasi
politik dan kontrol politik dan militer yang semakin ketat, perlawanan bersenjata
terhadap otoritas “asing” Indonesia pecah di Manokwari dan kota-kota lain di Papua
Barat, di bawah apa yang kemudian disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Munculnya dan masih adanya perlawanan militer terhadap Indonesia pasca
“reintegrasi” merupakan wujud dari nasionalisme Papua Barat, yang menimbulkan
masalah keamanan bagi otoritas Indonesia selama lima dekade (Muhammad,
Mutiarin, & Tebay, 2013: 14).
45
Berdasarkan wawancara yang telah penulis lakukan dengan Rosita Dewi
selaku peneliti bidang perkembangan politik internasional dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), beliau menyatakan bahwa:
“Isu Papua merdeka ini merupakan isu yang terus bergulir ya, dengan
adanya permintaan merdeka dari beberapa kelompok yang pro merdeka lalu
kemudian kan ada transformasi gerakan pro Papua merdeka dari masa
integrasi sampai sekarang. Jadi, ketika dulu gerakannya itu masih terbatas
dengan gerakan bersenjata lewat OPM, TPNPB. Nah kalo sekarang setelah
reformasi, perjuangannya bertambah ada perjuangan damai. Perjuangan
yang mengambil jalur damai melalui Presidium Dewan Papua (PDP),
Kemudian ini mulai beralih lagi ketika banyak diaspora di luar negeri,
ketika itu perjuangannya menjadi perjuangan damai sampai ke diplomasi
luar negeri. Jadi prosesnya transform lagi ya, jadi tidak hanya terbatas di
dalam Papua dengan gerakan bersenjata dan perjuangan damai tapi juga
mulai di luar gitu gerakan-gerakannya, jadi dinamikanya itu yang kemudian
orang sering menyebutnya menginternasionalisasi isu papua” (Dewi, 2020).
Dalam pernyataannya beliau menyatakan bahwa isu Papua merdeka
merupakan isu yang masih terus berkembang bahkan sampai saat ini, proses
transformasi bentuk perjuangan Papua yang terjadi sejak masa integrasi hingga saat
ini kemudian disebut sebagai “internasionalisasi” isu Papua merdeka.
Internasionalisasi yang dimaksud memiliki arti yaitu, ketika gerakan perjuangan
yang dilakukan oleh masyarakat pro Papua merdeka telah sampai ke luar negeri.
Bentuk dari internasionalisasi isu Papua merdeka terlihat saat adanya
dukungan dari beberapa negara berdaulat khususnya di kawasan Pasifik Selatan,
salah satunya yaitu Vanuatu. Dalam beberapa kesempatan, Vanuatu secara terbuka
mendukung kemerdekaan Papua, dan dukungan tersebut terbilang aktif dan cukup
46
konsisten yang mana pada akhirnya hal tersebut mempengaruhi hubungan bilateral
antara Indonesia dan Vanuatu.
4.2 Hubungan Bilateral Indonesia dan Vanuatu
Perjalanan hubungan bilateral Indonesia dan Vanuatu mengarungi masa-
masa naik dan turun seiring dengan terjadinya beberapa pergantian pemerintahan
Vanuatu dan kebijakannya terhadap isu Papua. Terlepas dari perkembangan politik
dalam negeri Vanuatu yang sangat dinamis, Indonesia senantiasa berkomitmen
untuk meningkatkan hubungan dan kerja sama yang saling menguntungkan antara
kedua negara (Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra, 2015).
Komitmen kerja sama yang dilakukan Indonesia sesuai dengan landasan
konseptual yang digunakan oleh penulis berdasarkan pernyataan dari Cooper,
Heine, & Thakur hubungan bilateral didefinisikan sebagai fondasi dasar darri suatu
hubungan antar negara. Hal tersebut memiliki arti bahwa komitmen hubungan kerja
sama atau hubungan bilateral yang dilakukan Indonesia kepada Vanuatu bertujuan
untuk membangun hubungan kedua negara serta meningkatkan kelangsungan hidup
dan juga keamanan Indonesia. Hubungan ini juga mendorong pembentukan aliansi
demi membela kepentingannya nasional sendiri. Hal tersebut pada akhirnya
menjadikan hubungan bilateral tersebut menjadi hubungan yang strategis dan
menjadikan politik sebagai landasan hubungan antar bangsa (Cooper, Heine, &
Thakur, 2013: 204).
Indonesia dan Vanuatu menandatangani Development Cooperation
Agreement (DCA) yang ditandatangani oleh kedua menteri luar negeri negara
47
tersebut di Jakarta pada 20 Desember 2011. Perjanjian tersebut meliputi
perdagangan dan investasi, pertanian, keamanan, pendidikan, pariwisata,
transportasi dan kerjasama teknis. Perjanjian tersebut juga memuat prinsip
kesetaraan dan saling menghormati kedaulatan semua pihak. Selain itu, DPR RI
dan Vanuatu menandatangani nota kesepahaman penguatan kerja sama
antarparlemen di Jakarta pada 23 April 2015 (Kedutaan Besar Republik Indonesia
di Canberra, 2015).
Salah satu negara yang pertama kali mengakui dan mendukung
kemerdekaan Vanuatu ialah Indonesia. Pengakuan tersebut dinyatakan Indonesia
pada tahun 1980. Hubungan diplomatik resmi dibuka tahun 1995 dan perwakilan
diplomatik kemudian resmi dibuka pada tahun 1996 (perangkapan oleh KBRI
Canberra dan Watap Vanuatu di New York). Kedua belah pihak telah membuat
kemajuan yang baik dalam upaya meningkatkan hubungan bilateral di berbagai
bidang, terutama memanfaatkan momentum POLRI dengan Vanuatu Police Force
yang ditandatangani pada 24 April 2009 dan payung hukum kerjasama kedua
negara melalui Development Cooperation Agreement (DCA) pada tanggal 20
Desember 2011, yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Indonesia dan
Menteri Luar Negeri Vanuatu Alfred Carlot (Kedutaan Besar Republik Indonesia
di Canberra, 2021).
Hubungan antara Indonesia dan Vanuatu kerap mengalami pasang surut
dikarenakan sikap beberapa pihak elit Vanuatu yang mengedepankan pemihakan
terhadap gerakan separatisme di Indonesia, yang mana hal tersebut berdampak
kontraproduktif terhadap hubungan kedua negara tersebut. Gejolak politik dalam
48
negeri dan pergantian kepemimpinan pemerintahan Vanuatu juga seringkali
berdampak pada hubungan bilateral Indonesia-Vanuatu (Kedutaan Besar Republik
Indonesia di Canberra, 2021).
Dalam lima tahun terakhir hubungan bilateral kedua negara kerap kali
berjalan dengan buruk, Charlot Salwai diangkat menjadi perdana menteri pada
pemilihan umum Vanuatu tahun 2016. Salwai dengan terus terang menunjukkan
sikap tidak bersahabat kepada Indonesia dan ikut mencampuri urusan dalam negeri
Indonesia, kemudian secara aktif mengungkapkan tuntutan secara terbuka,
mendukung organisasi separatis Papua, memperjuangkan kemerdekaan Papua
dalam berbagai kesempatan, hingga menuduh Indonesia melanggar hak asasi
manusia orang Papua (Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra, 2021).
4.2.1 Tudingan Vanuatu kepada Indonesia terkait Pelanggaran HAM
di Papua
Dukungan yang diberikan Vanuatu kepada Papua telah terjadi cukup lama,
terhitung sejak tahun 2003 ketika masa pemerintahan Perdana Menteri Barak Sope
hingga saat ini. Vanuatu menggunakan forum internasional sebagai media untuk
menyampaikan keresahannya dan juga menuding Indonesia mengenai tindakan
pelanggaran HAM yang dilakukan kepada masyarakat Papua dan isu tersebut kerap
diangkat di forum internasional terutama MSG dan PBB (Zahidi, 2020: 66).
Vanuatu merupakan salah satu penggagas berdirinya MSG dan mempunyai
peranan yang cukup besar di dalam organisasi tersebut, mengingat bahwa isu
dekolonisasi adalah tujuan pendirian MSG, dan hasil referendum Bougainville
49
2019 dikombinasikan dengan hasil dalam referendum Kaledonia Baru 2018,
memastikan bahwa masalah penentuan nasib sendiri akan terus menjadi perhatian
organisasi tersebut, maka Vanuatu dapat dengan leluasa mengangkat isu
pelanggaran HAM di Papua (Blades, 2020: 24).
Selain MSG, Vanuatu beberapa kali membawa isu Papua di Sidang Umum
PBB dan secara terbuka menuding Indonesia terkait pelanggaran HAM di Papua
dan menyerukan tindakan internasional dihadapan para pemimpin negara-negara
anggota PBB. Dalam forum tersebut, Vanuatu mengeluarkan pernyataan untuk
menunjuk perwakilan khusus untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi
manusia di Papua Barat dan status politiknya sehubungan dengan kontroversi
seputar pemerintahan yang didirikan pada 1960-an (United Nations, 2013).
Sebagai negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi, pemerintahan
yang baik, hak asasi manusia, akuntabilitas dan supremasi hukum yang diabadikan
dalam Piagam PBB. Di era teknologi yang canggih seperti ini, sebuah kejadian
tidak ada yang bisa lepas dari perhatian masyarakat sipil dan pemerintah, Vanuatu
menghimbau setiap anggota PBB untuk berhenti bersikap tidak acuh terhadap apa
yang terjadi kepada masyarakat Papua. Berikut adalah statement yang diberikan
oleh Perdana Menteri Vanuatu, Moana Jacques Kalosil Carcasses di Sidang Umum
PBB ke-68 (United Nations, 2013).
“I ask how then can we ignore the hundreds of thousands of West Papuans
who have been brutally beaten and murdered? The people of West Papua
are looking to the United Nations as a beacon of hope.”
50
4.2.2 Bantahan Indonesia terhadap tudingan Vanuatu
Selama bertahun-tahun, Vanuatu telah mencoba “menjual” gagasan bahwa
ada pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Tuduhan Vanuatu bahwa Indonesia
melakukan pelanggaran hak asasi manusia nampaknya membuat Indonesia geram,
menanggapi tuduhan dari Vanuatu, perwakilan dari Indonesia menyatakan bahwa
deklarasi yang dilontarkan oleh Vanuatu tersebut melanggar prinsip-prinsip piagam
PBB. Fakta bahwa status Papua sebagai bagian dari Indonesia telah disahkan oleh
PBB 50 tahun yang lalu, komentar Vanuatu mengenai Papua dianggap tidak
menghormati keputusan PBB (United Nations, 2018).
Berdasarkan wawancara yang telah penulis lakukan dengan Harditya
Suryawanto, selaku Fungsional Diplomat Muda Direktorat Keamanan Internasional
dan Perlucutan Senjata (KIPS), Kementerian Luar Negeri Indonesia. Beliau
menyatakan bahwa:
“...tapi seperti yang saya bilang bahwa setiap negara di sidang umum kan
mempunyai hak berbicara ya jadi kita juga tidak bisa mengontrol negara apa
mau ngomong apa. Tapi di sidang umum PBB tuh kita punya hak untuk
menjawab dan itu selalu kita lakukan, selalu kita gunakan untuk menjawab
tudingan-tudingan di PBB.” (Suryawanto, 2020).
Mengacu pada informasi yang penulis dapatkan dari wawancara dengan
Harditya diatas, Right of reply atau hak untuk menjawab merupakan sebuah aturan
prosedur pada sidang umum persatuan bangsa-bangsa. Hak ini umumnya
digunakan untuk menjawab pertanyaan atau kritik yang dilontarkan oleh suatu
negara, hak ini dimiliki oleh setiap negara di sidang umum tersebut tanpa
memandang negara tersebut termasuk ke dalam kategori negara besar ataupun
51
negara kecil. Right of reply inilah yang selalu dipakai oleh Indonesia untuk
menjawab setiap tudingan yang dilontarkan oleh Vanuatu.
Menanggapi tudingan yang dilontarkan oleh Vanuatu, Indonesia
mengirimkan diplomat sebagai perwakilan negara pada forum sidang umum PBB.
Pada sidang umm PBB tahun 2020, diplomat Silvany Austin Pasaribu menyanggah
tudingan Vanuatu dengan menyatakan bahwa Indonesia akan membela diri dari
segala advokasi separatisme yang disampaikan dengan kedok kepedulian terhadap
hak asasi manusia yang artifisial (CNN, 2020).
Selain itu, Indonesia juga berusaha membenarkan informasi dan opini yang
telah dibentuk Vanuatu di beberapa forum internasional, yaitu melalui berbagai
publikasi media milik negara dan swasta, termasuk publikasi laporan tentang situasi
sebenarnya di Papua yang berjudul “No Genocide in West Papua” Pada tahun
2016. Indonesia juga mengembangkan narasi melalui Festival Budaya Melanesia
dan pembentukan Melanesian Brotherhood, bahwa ras Melanesia di Indonesia
bukan hanya terdiri dari orang Papua saja, melainkan juga orang-orang dari Maluku
dan Nusa Tenggara Timur (NTT) (Sabir, 2018: 102).
Pernyataan lainnya juga dinyatakan oleh Harditya sebagai berikut:
“...karena kita sudah terbiasa ya menanganinya satu sudah tau isunya, sudah
tau eee...kira-kira narasi apa yang akan disampaikan oleh Vanuatu jadi
sebenarnya eee.. kita sudah bisa menjawabnya dengan mudah. narasi yang
sudah kita sampaikan yaa akan sama gitu, jadi sudah sering kita jawab,
artinya tetap ditangani tapi narasinya juga tidak berbeda jauh karena
jawabannya akan tetap sama” (Suryawanto, 2020).
52
Pada setiap sidang umum yang Vanuatu hadiri, isu yang diangkat selalu
sama yaitu persoalan Papua, hal tersebut membuat perwakilan dari Indonesia sudah
terbiasa dalam menyampaikan respons yang akan diberikan kepada Vanuatu.
Narasi yang disampaikan oleh perwakilan Indonesia selalu sama karena
permasalahan yang diangkat Vanuatu juga cenderung sama setiap tahunnya.
Delegasi Indonesia juga menekankan bahwa Indonesia sebagai negara yang
berdaulat telah berkomitmen mempromosikan dan melindungi hak seluruh rakyat
Indonesia, termasuk masyarakat Papua dan meminta agar semua negara untuk
menghormati “kedaulatan dan integritas teritorial” serta mendesak untuk tidak
mencampuri persoalan domestik negara lain dengan mendukung kemerdekaan
Papua (Hasan, 2019).
4.3 Dukungan Vanuatu Terhadap Isu Papua Merdeka
Vanuatu adalah sebuah negara di sub-region Melanesia di Pasifik Selatan.
Awalnya, kepulauan itu bernama New Hebryden dan berubah nama menjadi
Vanuatu setelah memperoleh kemerdekaan pada 30 Juli 1980. Secara geografis,
Vanuatu merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah yang jauh lebih kecil
dari pulau Ambon. Sejak Vanuatu merdeka dari hibrida kolonial Inggris dan
Prancis, sikap Vanuatu selalu responsif dan radikal dalam mendukung wilayah
Melanesia yang belum merdeka, salah satunya ialah Papua (Temaluru, 2016: 573).
Terdapat beberapa faktor yang mendorong terbentuknya kebijakan luar
negeri Vanuatu yang secara agresif mendukung kemerdekaan “West Papua”,
yakni:
53
1. Politik Domestik
a. Isu politik identitas, yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas etnis
Melanesia, adalah komoditi politik domestik Vanuatu yang sering
digunakan untuk memperoleh dukungan publik, baik dari khalayak luas,
Gereja dan LSM.
b. Tuduhan beberapa elit politik di Vanuatu, tentang pelanggaran HAM dan
genosida oleh aparat RI di “West Papua”, digulirkan untuk menyulut
sentimen sesama etnis Melanesia, ditambah eksploitasi kesamaan agama.
c. Bapak Bangsa Vanuatu, Walter Lini, menyatakan saat proklamasi
kemerdekaan Vanuatu tahun 1980 bahwa “Vanuatu will not be fully free
until all Melanesians are free.”
d. Dengan demikian, elit politik Vanuatu “berlomba-lomba” meraih suara
melalui politik identias ini, termasuk etno-religius tersebut. Begitu
populis-nya isu politik identitas ini, sehingga bisa mengesampingkan isu-
isu domestik yang lebih penting, seperti pendidikan, kesehatan, HAM,
ketahanan pangan, penanganan dampak perubahan iklim dll.
2. Dinamika Regional
a. Diantara negara-negara Pasifik, terdapat beberapa negara kunci yang
seringkali memainkan pengaruhnya untuk mendorong agenda regional &
global antara lain Fiji (agenda perubahan iklim/UNFCCC-COP), Papua
Nugini (agenda integrasi ekonomi/APEC, PACER Plus) dan secara
tradisional Australia dan Selandia Baru selaku kekuatan utama kawasan.
54
b. Sejalan dengan dinamika politik dalam negerinya, Vanuatu melirik ceruk
isu Dekolonisasi. Dalam upaya meng-internasionalisasi isu “West Papua”
di Indonesia, dan “Kanaky” di Kaledonia Baru, Vanuatu berupaya
mengkapitalisasi- nya melalui forum C4 PBB serta ACP (Africa-
Caribbean-and the Pacific).
3. Geostrategis
a. Kawasan Indo-Pasifik saat ini merupakan area perebutan pengaruh antara
Barat (Australia, Selandia Baru, AS, Perancis & Taiwan) dan RRT. Kedua
kubu memainkan strategi politik dan ekonomi dengan merangkul negara-
negara Pasifik melalui berbagai bantuan dana, kerja sama pembangunan
dan berbagai insentif/fasilitasi.
b. Vanuatu tidak lepas dari tarik menarik kepentingan kekuatan global,
dimana RRT tengah membangun pelabuhan laut dalam di Luganville
senilai US$ 114 juta (sedalam 20 meter lebih, dan mampu untuk sandar
kapal-kapal besar). Proyek ini dicurigai oleh Australia dan AS sebagai
awal kehadiran militer RRT di Pasifik (Pramono, 2021).
Berdasarkan kebijakan luar negeri yang dimiliki oleh Vanuatu, kantor
perwakilan rakyat Papua Barat terdapat di Vanuatu dan dijalankan oleh Dr. John
Andovam, kemudian pemerintah Vanuatu berjanji untuk mempromosikan identitas
etnis Melanesia dan hak-hak dasarnya di kawasan Asia-Pasifik, khususnya untuk
Papua Barat. pemerintah Vanuatu juga mendorong dibukanya kasus-kasus
55
ketidakadilan yang selama ini terjadi di Papua, serta memperjuangkan
kesejahteraan sosial bagi masyarakat Papua (Elisabeth, 2006).
Kebijakan luar negeri tersebut dikenal dengan sebutan “Wantok Bilong
Yumi Bill”. Pada Juni 2010 dengan suara bulat, parlemen nasional Vanuatu
mengesahkan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk mendukung
kemerdekaan Papua Barat. RUU ini digagas oleh pendiri Vanuatu dan partai
Vanua’aku Pati serta Perdana Menteri pertama Vanuatu yaitu Walter Lini yang
pernah menyampaikan pernyataan bahwa “Vanuatu is not totally free until other
colonized people in the region are politically freed” PM Lini menganggap rakyat
Papua sebagai salah satu “other colonized people”.
Undang-undang tersebut merupakan salah satu wujud resmi dukungan
Vanuatu terhadap kelompok separatis Papua yang kemudian dijadikan sebagai
acuan politik oleh berbagai partai, termasuk VP dan partainya PM Salwai yakni
Reunification Movement for Change (RMC) (Kedutaan Besar Republik Indonesia
di Canberra, 2021). Berikut adalah isi dari undang-undang tersebut:
1. Sponsor and pass a motion in national Parliament officially
declaring that Vanuatu’s foreign policy is to support the
achievement of the independence of West Papua;
2. Sponsor a resolution at the 2010 Melanesian Spearhead Group’s
Leaders Summit that the independence movement in West Papua be
given Observer Status at the MSG;
3. Sponsor a resolution at the 2010 Pacific Island Forum Leader
Summit that the independence movement in West Papua be given
Observer Status at the Forum;
4. Sponsor resolutions to the Melanesian Spearhead Group’s
Leaders Summit, the Pacific Islands Forum Leader Summit and the
United Nations calling for fact-finding missions be sent by each of
56
these bodies to West Papua to investigate alleged violations of the
human rights of it’s Melanesian populations;
5. Become the official state sponsor of the case of West Papua in the
International Court of Justice seeking a judgment on the legality of
the 1969 “Act of Free Choice”;
6. Sponsor a resolution in the United Nations to put West Papua
back on the United Nations’ list of Non-Self-Governing Territories;
7. Create a West Papua Desk in the Department of Foreign Affairs
with a budget sufficient to facilitate the Government’s international
advocacy efforts in support of West Papua’s independence;
8. Ratify the United Nations Convention Relating to the Status of
Refugees, to provide Vanuatu with an avenue for additional support
to the people of West Papua (West Papua National Coalition for
Liberation, 2010).
Dalam sambutannya menanggapi dukungan bipartisan untuk mosi tersebut,
Perdana Menteri Hon Edward Natape MP berjanji akan mensponsori isu Papua
Barat untuk pertemuan di MSG (Melanesian Spearhead Group) dan PIF (Pasific
Island Forum). Beliau akan mengusulkan agar gerakan kemerdekaan Papua Barat
diberikan status observer di dalam dua organisasi regional ini. Perdana Menteri
Vanuatu juga menyatakan bahwa pemerintahannya akan melanjutkan untuk
mengajukan Papua Barat untuk didaftarkan kembali ke Komite Dekolonisasi PBB
agar wilayah tersebut diberikan proses dekolonisasi yang semestinya (West Papua
National Coalition for Liberation, 2010).
Perwakilan dari West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL)
yang sekarang telah berganti nama menjadi United Liberation Movement for West
Papua (ULMWP), John Otto Ondawame dan Andy Ayamiseba menyatakan rasa
terima kasihnya kepada pemerintah, partai oposisi, dan rakyat Vanuatu atas upaya
57
yang sangat bersejarah dalam masalah ini yaitu menyuarakan kebijakan luar negeri
yang jelas dari pemerintah Vanuatu dalam mendukung kemerdekaan Papua Barat.
Ondawame dan Ayamiseba juga mengucapkan rasa terima kasih khusus kepada
semua anggota Vanuatu Free West Papua Association atas dukungan tanpa henti
mereka dalam tujuh tahun terakhir untuk mendesak Pemerintah Vanuatu
menyatakan kebijakan luar negerinya yang jelas tentang kemerdekaan Papua Barat,
yang diakhiri dengan sukses dalam sidang Extra Ordinary Parliamentary pada 19
Juni 2010 di Port Vila (West Papua National Coalition for Liberation, 2010).
Kedekatan letak geografis dan persamaan etnis yang dimiliki masyarakat
Papua dan Vanuatu yaitu ras melanesia menjadi alasan dari keberanian Vanuatu
memberikan dukungan nyata terhadap Papua. Usaha Vanuatu memberikan
dukungan penuh kepada Papua untuk merdeka dari Indonesia didasari oleh dua
kepentingan. Pertama, dukungan Vanuatu terhadap kemerdekaan Papua merupakan
bentuk aliansi etnis antar etnis Melanesia. Persamaan etnis pada Vanuatu dan orang
Papua menimbulkan keterikatan emosi di antara keduanya, terutama ketika
Vanuatu mengetahui terjadinya kekerasan HAM yang dialami oleh masyarakat di
Papua (Putra, Legionosuko, & Madjid, 2019: 38).
Kemudian poin kedua yaitu, terkait dengan ambisi Vanuatu untuk menjadi
pemimpin di regional negara-negara melanesia dengan upaya mendukung
kemerdekaan Papua. Keinginan menjadi pemimpin regional merupakan eksistensi
domestik politik Vanuatu. Kelanjutan dari domensi politik Vanuatu merupakan
usaha untuk menegakkan Melanesia Renaissance (Putra, Legionosuko, & Madjid,
2019: 38).
58
Dukungan Vanuatu terhadap kemerdekaan Papua terlihat sejak tahun 2003
ketika masa pemerintahan Perdana Menteri Barak Sope. Yang mana pada saat itu
Vanuatu menjadi penyelenggara dari acara gerakan kemerdekaan Papua di Port
Vila. Agenda politik yang dilaksanakan Vanuatu untuk mendukung kemerdekaan
Papua terjadi dalam beberapa cakupan, mulai dari kelompok seperti United
Liberalization Movement for West Papua (ULMWP) dan organisasi regional seperti
Melanesian Spearhead Group (MSG) hingga forum internasional seperti
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (Zahidi, 2020: 66).
4.3.1 Dukungan Vanuatu di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Republik Vanuatu bergabung dengan PBB pada tahun 1981. Negara
kepulauan dengan populasi penduduk sebesar 270 ribu jiwa itu nyatanya tidak
hanya sekali membawa isu dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah
Indonesia di Papua dalam forum internasional seperti PBB. Vanuatu mulai
membawa isu Papua merdeka pada sidang tinggi HAM PBB pertama kali pada
tahun 2014, dan kemudian berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Dukungan terkini
mengenai isu Papua merdeka kembali diangkat oleh Vanuatu pada United Nations
General Assembly (UNGA) ke-75 pada tahun 2020 (Mardiyah, 2020).
Pada tanggal 4 Maret 2014, Perdana Menteri Vanuatu Moana Carcasses
Katokai Kalosil menyerukan suaranya kepada publik internasional di hadapan
Sidang Tingkat Tinggi HAM PBB ke-25 untuk mendukung kemerdekaan rakyat
Papua. Masyarakat negara- negara di Pasifik yang mempunyai etnis serupa dengan
Papua yaitu ras Melanesia, meyakini bahwa rakyat Papua selama hampir 50 tahun
59
telah ditindas oleh Indonesia, adanya ketimpangan di mana wilayah barat lebih
sejahtera dibandingkan wilayah timur, serta wacana kemerdekaan Papua yang
selalu dianggap makar oleh Indonesia (Hanggoro & Mohamad, 2015).
Moana Carcasses menyatakan bahwa ia sebagai Perdana Menteri dari
Vanuatu merasa sangat prihatin dengan sikap masyarakat internasional yang
mengabaikan suara rakyat Papua. Yang hak asasi manusianya telah diinjak-injak
dan ditindas dengan parah oleh Indonesia sejak tahun 1969 (Gunadha & Firdaus,
2020).
Pada pertemuan Sidang Dewan HAM ke-32 yang diselenggarakan di
Janewa pada Juni tahun 2016, Vanuatu bersama lima negara Pasifik lainnya juga
mengangkat persoalan yang serupa. Mereka menggunakan kesempatan berpidato
di Majelis PBB untuk mendesak RI memberikan Papua untuk menentukan nasib
mereka, bahkan mendesak PBB untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di
Papua (CNN, 2019).
Kemudian pada tahun berikutnya, Vanuatu tetap menyinggung isu yang
serupa pada acara Sidang Umum PBB ke-72 yang diadakan pada tahun 2017.
Menteri Kehakiman dan Pembangunan Masyarakat Vanuatu menyatakan
tuduhannya terhadap Indonesia mengenai pelanggaran HAM di Papua Barat dan
tujuh negara pulau di Pasifik menyerukan penyelidikan Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) atas dugaan-dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Provinsi
Papua dan Papua Barat, di mana gerakan separatis telah berlangsung selama
puluhan tahun di daerah tersebut. Desakan disampaikan lewat pernyataan dalam
60
sidang Dewan HAM PBB di Geneva, Swiss, yang dibacakan atas nama tujuh negara
oleh Menteri Kehakiman Vanuatu, Ronald Warsal (Kompas, 2017).
Pada Sidang ke-74 Majelis Umum PBB tahun 2019, Perdana Menteri
Vanuatu Charlot Salwai Tabimasmas dalam pidatonya di hadapan 193 negara
anggota PBB menyampaikan pelanggaran HAM terjadi di Papua. Charlot juga
mendesak pemerintah Indonesia untuk merespons dan tidak menghiraukan
permintaan dari masyarakat Papua, termasuk keinginan mereka untuk menentukan
nasib sendiri. Dalam pidatonya, Vanuatu tidak hanya menuntut pemerintah
Indonesia, tetapi juga meminta PBB dan Komisi HAM Tinggi PBB (OHCHR)
untuk segera bertindak mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua
(Syafirdi, 2019).
Pada tahun yang sama, Vanuatu meminta bertemu dengan Komisioner
Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet untuk sesi Universal Periodic
Review (UPR) di markas PBB di Jenewa, Swiss. Namun, diketahui bahwa Vanuatu
membawa Benny Wenda secara diam-diam untuk masuk ke dalam kelompok
delegasi Vanuatu. Saat Vanuatu mendapat giliran untuk memaparkan
penyelenggaraan HAM di negaranya, terselip Benny Wenda yang muncul
memaparkan visi kemerdekaan Papua Barat dan mengklaim telah mengantungi 1,8
juta petisi yang mendorong PBB referendum Papua Barat (CNN, 2019).
Dalam Sidang Umum Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-75
tahun 2020, Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman kembali menuduh Indonesia
melakukan pelanggaran HAM di Papua. Beliau menyatakan bahwa dugaan
pelanggaran HAM di Papua menjadi perhatian khusus negara-negara Pasifik yang
61
menyeru agar Indonesia mengizinkan Dewan HAM PBB mengunjungi Papua.
Namun, Loughman menyatakan bahwa seruan tersebut tidak mendapatkan respon
dari pemerintah Indonesia (CNN, 2020).
Hampir setiap tahun dalam Sidang Umum PBB, Vanuatu kerap kali
menyinggung dan menuding Indonesia terkait isu dugaan pelanggaran HAM Papua,
hal tersebut tentunya membuat Indonesia geram dan menganggap Vanuatu sebagai
negara pendukung gerakan separatisme. Hal ini disampaikan pula oleh Harditya,
selaku Fungsional Diplomat Muda Direktorat Keamanan Internasional dan
Perlucutan Senjata (KIPS), Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam sebuah
pernyataan hasil wawancara:
“Sebenernya diangkatnyaa isu Papua oleh Vanuatu ini sudah terjadi
beberapa tahun terakhir yaa, mungkin sekitar lima tahun atau enam tahun
terakhir. Tudingannya kan nomor satu itu pasti pelanggaran HAM, yang
kedua masyarakat Papua itu miskin, atau tidak berkembang, terjadi
ketidakadilan. Narasi yang disampaikan Vanuatu juga sering kali
mengangkat mengenai masalah ketidaksahan Papua bergabung dengan
Indonesia.” (Suryawanto, 2020).
Selain Vanuatu, terdapat beberapa negara lain di kawasan Pasifik Selatan
yang mulai turut serta mengangkat isu yang sama dan hal tersebut menjadi sebuah
situasi yang tidak bisa dihindari oleh Indonesia, bahwasanya setiap negara yang
berada di sidang umum PBB mempunyai hak untuk berbicara dan juga menjawab
dan hak tersebut berlaku untuk negara kecil maupun negara besar. Oleh karena itu,
hak tersebut selalu digunakan Indonesia untuk membela diri dengan menangkis
semua tudingan-tudingan yang dilayangkan oleh Vanuatu di setiap sidang umum
PBB.
62
Lebih lanjut, Harditya juga menjelaskan bahwa isu Papua merdeka yang
selalu diangkat oleh Vanuatu pada forum PBB merupakan cara negara tersebut
untuk menarik perhatian dari masyarakat internasional guna mencapai tujuannya.
“Mereka mencoba menarik perhatian masyarakat internasional dan mereka
berharap dengan membawa isu ini ke forum PBB, maka isu ini akan
mendapatkan perhatian disana. Mendapatkan perhatian gimana caranya?
Caranya ya masuk list issues lah, jadi list issues dan dibahas, dibikin komite,
dibikin prosedural, jadi masalah ini akan dibahas. Tapi yang diinginkan
Vanuatu sebenernya tidak tercapai, jadi setiap dia ngomongin Papua kita
bantah lalu selesai, jadi cuma debat kusir aja karena di PBB akhirnya tidak
ada proses, tidak di follow up isunya. Pertama, karena satu memang Papua
sudah menjadi bagian dari Indonesia dan yang kedua masalah Papua itu
masalah internal di Indonesia. Jadi di forum PBB itu kan prinsipnya
menghormati kedaulatan ya jadi saya yakin bahwa tujuan Vanuatu adalah
ingin menginternasionalisasi masalah Papua yang agak susah sebenarnya ya
dan sulit di PBB, karena ya itu tadi penghormatan kedaulatan, lalu yang
kedua kita sudah jelaskan bahwa masalah Papua adalah masalah internal
dalam negeri Indonesia dan Indonesia sudah melakukan banyak hal
mengenai Papua.” (Suryawanto, 2020).
Menurut Harditya, adanya prinsip PBB yang menghormati kedaulatan
setiap negara membuat Vanuatu tidak mendapatkan apa yang diinginkan karena
setiap isu yang diangkat oleh Vanuatu pada akhirnya dijawab oleh Indonesia
dengan bantahan dan berakhir menjadi debat kusir saja sehingga isu yang diangkat
oleh Vanuatu tidak diproses dan difollow-up lebih lanjut oleh PBB karena adanya
prinsip tersebut.
4.3.2 Dukungan Vanuatu di Melanesian Spearhead Group (MSG)
Melanesian Spearhead Group (MSG) merupakan sebuah organisasi
regional yang dibentuk pada pertemuan informal yang diadakan di Goroka, Papua
63
Nugini pada tanggal 17 Juli 1986 yang dihadiri oleh Perdana Menteri Papua Nugini,
Kepulauan Solomon dan Vanuatu serta perwakilan dari Front de Liberational
Nationale Kanak et Solcialiste (FLNKS) Kaledonia Baru. Pertemuan tersebut
mengikuti visi para pemimpin dan didukung oleh kemauan politik bersama yang
kuat untuk mendekolonisasi dan meliberalisasi negara-negara Melanesia dan
wilayah yang masih berada di bawah kekuasaan kolonial di Pasifik Selatan (MSG,
n.d.).
Vanuatu yang baru merdeka pada 30 Juli 1980 termasuk salah satu negara
yang mendorong solidaritas sesama Ujung Tombak Melanesia (Melanesian
Spearhead Group) dimotori oleh mantan Perdana Menteri Vanuatu Walter Lini.
Mantan Perdana Menteri Vanuatu inilah yang mensponsori berdirinya Ujung
Tombak Melanesia (Melanesia Spearhead Group) pada Maret 1988 di Port Villa.
Hal ini menunjukkan bahwa Vanuatu yang menjadi ujung tombak dari Melanesian
Spearhead Group, yang mana mempunyai peran yang besar dalam menegakkan
Melanesian Way di kawasan Melanesia (Temaluru, 2016: 581).
Gambar 3 Logo MSG
64
Di dalam wilayah Kepulauan Pasifik, dan di dalam MSG itu sendiri,
perjuangan West Papua sebelumnya mendapatkan dukungan terkuatnya di
Vanuatu. Di sinilah pemimpin kemerdekaan dan perdana menteri pertama, Walter
Lini, mengucapkan frasa yang sering dikutip: “Vanuatu tidak akan sepenuhnya
bebas sampai semua orang Melanesia bebas” frasa ini telah diulang dalam wacana
yang berkaitan dengan penyebab Kanak dan Papua Barat sejak saat itu. Pada
kenyataannya, Vanuatu menjadi satu-satunya negara Melanesia yang menunjukkan
simpati terhadap perjuangan Papua Barat hingga saat itu. Dia mencatat bahwa, pada
tahun 2005, juru bicara West Papua (dan penduduk Vanuatu) John Otto Ondawame
telah dimasukkan sebagai anggota delegasi Vanuatu ke pertemuan MSG di Papua
Nugini (PNG), meskipun dia diminta oleh perdana menteri PNG, Michael Somare,
untuk pergi (Lawson, 2016: 516).
Aktivis Papua Barat juga ditolak izin untuk mengajukan petisi pada
pertemuan itu. Pada waktu yang hampir bersamaan, duta besar Indonesia untuk
Vanuatu dilaporkan menyarankan agar Indonesia, karena memiliki populasi
Melanesia yang lebih besar daripada gabungan semua negara MSG, harus menjadi
anggota MSG. Pada bulan Juni 2010, dengan suara bulat, parlemen nasional
Vanuatu mengesahkan RUU Wantok Bilong Yumi untuk mendukung kemerdekaan
Papua Barat dan terus berkomitmen Vanuatu untuk mendorong status pengamat
untuk Papua Barat di MSG (Lawson, 2016: 517).
Vanuatu kembali memberikan dukungan nyata terhadap Papua dan
memboikot misi Melanesian Spearhead Group (MSG) ke Indonesia pada tanggal
16 Januari 2014. Republik Vanuatu melalui utusan khususnya dan selaku Menteri
65
Luar Negeri, Edward Natapé, menyatakan bahwa jika ia memiliki kesempatan
untuk bertemu dengan kelompok-kelompok lokal, kelompok pro-kemerdekaan,
pemimpin gereja dan kelompok lainnya, ia bersedia menjadi utusan khusus untuk
MSG. Natape menyatakan bahwa Vanuatu memiliki kepedulian yang sama
mengenai hak asasi manusia dan kekerasan yang terjadi di Papua (Putra,
Legionosuko, & Madjid, 2019: 38).
MSG juga telah memperkenalkan berbagai metode untuk membebaskan
Papua Barat, mulai dari menawarkan posisi di MSG untuk ULMWP (United
Liberation Movement for West Papua) hingga tuduhan pelanggaran hak asasi
manusia di Papua yang dinyatakan oleh negara-negara anggota MSG (Fadhilah,
2019: 60).
4.3.3 Dukungan Vanuatu terhadap United Liberalization Movement for
West Papua (ULMWP)
Pada tanggal 7 Desember 2014, pertemuan bersejarah para pemimpin Papua
Barat di Vanuatu menghasilkan keputusan untuk membentuk suatu badan baru
yaitu kelompok gerakan kemerdekaan Papua Barat yang mana akan bersatu di
bawah satu organisasi payung yang disebut United Liberalization Movement for
West Papua (ULMWP), dan memilih Benny Wenda sebagai Ketua dan Jacob
Rumbiak sebagai Juru Bicara (ULMWP, n.d.).
66
Gambar 4 Logo ULMWP
Berdirinya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)
menunjukkan semakin terkonsolidasinya perlawanan kelompok separatis Papua
dan kelompok ini yang berperan dalam menyatukan faksi-faksi perjuangan OPM
antara kelompok bersenjata dan faksi politik. Keberadaan ULMWP bertujuan untuk
lebih mengkoordinasikan upaya pembebasan Papua untuk mendapatkan dukungan
politik dari dunia internasional. ULMWP dideklarasikan di Port Vila, Republik
Vanuatu pada 7 Desember 2014, yang mempunyai tugas utama yaitu
memperjuangkan kemerdekaan Papua (Free West Papua Movement) dan
melakukan lobi politik guna mendapatkan dukungan dari berbagai negara, terutama
di kawasan Pasifik Selatan (Sabir, 2018: 94).
Hubungan antara Vanuatu dan ULMWP merupakan apa yang disebut
sebagai simbiosis mutualisme. Keduanya sama-sama diuntungkan dengan adanya
kerja sama yang dituangkan dalam konspirasi antara pemerintah, politisi parpol,
dan parlemen Vanuatu dengan para aktivis ULMWP yang mengatur kemenangan
politik dalam meraup dana. Artinya, shared profits diterima oleh kedua pihak yang
mana keuntungan dana tersebut tidak hanya dinikmati oleh pihak dari Vanuatu saja,
akan tetapi juga oleh pihak ULMWP. Apabila perjuangan yang diserukan untuk
67
Papua merdeka terus dilakukan secara besar-besaran, maka Vanuatu semakin
diuntungkan dan keuntungan tersebut digunakan untuk kepentingan kekuasaan
negaranya (Helmy, 2019: 25).
Keuntungan “uang” (pitfall) yang didapat ULMWP dimanfaatkan untuk
mendanai pergerakannya dengan terus menggaungkan isu Papua. Sejumlah dana
hasil “jualan” isu Papua ini di-“parkir” dalam bentuk portofolio di luar negeri
dengan kepemilikan pihak ketiga atas nama ULMWP sementara sisanya berbentuk
kepemilikan aset negara oleh pemerintah Vanuatu. Kelompok ini membentuk
multi-level propaganda melalui pembentukan dan perluasan wadah perjuangan
ULMWP di berbagai negara untuk mendapatkan dukungan dan pengakuan dari
pemerintah maupun politisi setempat. Hal ini membuat jargon “Papua Merdeka
Harga Mati” tidak akan pernah mati atau berhenti diperjuangkan oleh ULMWP
karena disokong (backed-up) dengan kepentingan Vanuatu yang giat
memperjuangkan kemerdekaan Papua demi mewujudkan ideologinya (Helmy,
2019: 25).
4.4 Diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu terkait Isu Papua
Merdeka
Setelah penulis menjelaskan sedikit mengenai isu Papua merdeka serta
hubungan bilateral dan bentuk dukungan Vanuatu dalam mendukung kemerdekaan
Papua pada sub-sub bab sebelumnya, selanjutnya penulis akan menjelaskan inti dari
bab ini yaitu penulis akan menjabarkan serta menganalisis apa saja bentuk-bentuk
68
diplomasi yang dilakukan Indonesia terhadap Vanuatu yang bertujuan untuk
meredam dukungan Vanuatu terhadap kemerdekaan Papua.
Dikarenakan semakin aktifnya Vanuatu dalam berbagai forum-forum
internasional dan semakin terinternasionalisasinya isu separatisme, Indonesia
kemudian mulai mengambil langkah dengan melakukan pendekatan terhadap
Vanuatu, dan cara yang ditempuh oleh Indonesia salah satunya yaitu melalui
diplomasi. Mengingat bahwa semakin renggangnya hubungan kedua negara ini,
maka memperbaiki ikatan bilateral melalui beberapa pendekatan diplomasi
merupakan cara yang tepat untuk dilakukan dengan memanfaatkan beberapa
instrumen kerja sama (Sabir, 2018: 97).
Namun pendekatan Indonesia kepada Vanuatu tidak pernah dilakukan
secara khusus seperti berdialog langsung dengan Vanuatu dan membahas mengenai
isu Papua. Hal tersebut dinyatakan oleh Dr. Siswo Pramono selaku Kepala Badan
Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri
Indonesia, dalam sebuah wawancara tidak langsung yang dilakukan penulis. Beliau
menyatakan:
“Indonesia tidak pernah secara khusus melakukan pendekatan dengan
Vanuatu untuk berdialog mengenai isu Papua. Isu Papua adalah masalah
dalam negeri Indonesia, jadi tidak perlu dibicarakan dengan Vanuatu, atau
negara manapun. Indonesia tidak menghendaki adanya “internasionalisasi”
masalah Papua.” (Pramono, 2021).
Indonesia dan Vanuatu belum bertemu secara khusus dan melakukan dialog
mengenai permasalahan isu Papua karena bagi Indonesia permasalahan Papua
merupakan urusan domestik yang tidak perlu didiskusikan dengan negara manapun,
69
termasuk Vanuatu. Namun, Indonesia tetap memilih untuk melakukan diplomasi
kepada Vanuatu guna meredam dukungan negara tersebut kepada Papua dan juga
diplomasi dilakukan sebagai bentuk penyampaian informasi mengenai posisi
Indonesia.
Langkah Indonesia menempuh diplomasi sebagai solusi dari permasalahan
ini sejalan dengan teori diplomasi yang dinyatakan oleh Adam Watson, beliau
menyatakan bahwa negara tidak dapat hanya berperan dalam ruang hampa yang
terisolasi dan hanya mempertimbangkan bagaimana mengelola urusan dalam
negeri. Untuk mengendalikan nasibnya sendiri semaksimal mungkin, setiap negara
memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan kepentingan negara lain dan
warganya yang melanggar kepentingannya, tidak peduli apa yang dianggap sejalan
dengan kepentingan tersebut (Watson, 2005: 1).
Hal tersebut memiliki arti bahwa Indonesia melakukan diplomasi terhadap
Vanuatu karena Vanuatu dianggap telah mengusik kepentingan dan kedaulatan
Indonesia dengan tindakannya yang secara konsisten mendukung kemerdekaan
Papua dan mengangkat isu tersebut hingga ke forum internasional serta menuding
Inodnesia melakukan pelanggaran HAM berat kepada masyarakat Papua. Oleh
karena itu, untuk mengendalikan nasibnya semaksimal mungkin, Indonesia
melakukan beberapa upaya diplomasi dan pendekatan bilateral terhadap Vanuatu.
Hubungan bilateral dimiliki antara Indonesia dan Vanuatu rupanya berjalan
kurang baik, hal tersebut secara tidak langsung juga berdampak pada kerja sama
antar kedua negara terutama kerja sama dalam sektor ekonomi. Volume
perdagangan Indonesia dan Vanuatu relatif kecil berkisar di angka 5 juta USD.
70
Namun demikian, terdapat tren peningkatan sebesar 4,32% pada periode
perdagangan 2015-2019. Perdagangan bilateral menunjukkan tren positif dengan
surplus bagi Indonesia untuk ekspor di sektor non-migas. Letak geografis Vanuatu
yang relatif jauh dari Indonesia, serta konektivitas yang masih kurang memadai
menjadi salah satu tantangan dalam upaya penetrasi produk-produk dalam negeri
Indonesia ke pasar Vanuatu (Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra,
2021).
Tantangan lainnya juga dialami oleh Indonesia pada sektor diplomasi
ekonomi. Dalam pelaksanaannya, tantangan yang dihadapi yaitu permasalahan
kebijakan politik dari Vanuatu yaitu adanya Undang-Undang Wantok Bilong Yumi
yang mana isi dari kebijakan tersebut menyatakan bahwa Vanuatu akan senantiasa
mendukung kelompok separatis Papua dan hal tersebut menjadi tantangan utama
bagi Indonesia dan sampai saat ini masih mempengaruhi hubungan kerja antar
kedua negara khususnya dalam bidang ekonomi kedua negara (Kedutaan Besar
Republik Indonesia di Canberra, 2021).
Walaupun hubungan Indonesia dan Vanuatu seringkali tidak begitu
harmonis, namun Indonesia tetap menghidupkan pemberian bantuan kepada
Vanuatu secara low-key, hal tersebut dilakukan demi mempertahankan citra yang
positif dalam rangka meningkatkan dimensi kerja sama dengan negara-negara
kepulauan di kawasan Pasifik Selatan. Pada bulan April 2015, Indonesia
mengirimkan sekitar 40,5 ton barang bantuan kemanusiaan ke Vanuatu yang
tertimpa bencana topan PAM antara lain berupa bahan makanan, paket untuk ibu
dan anak, obat-obatan, tenda dan tempat tidur lipat, selimut, genset listrik,
71
perangkat kebersihan diri senilai USD 2 juta, serta bantuan dana tunai sebesar USD
450.000 dan penugasan tim terpadu lintas K/L sebanyak 19 orang.
Pada sektor diplomasi budaya, Indonesia mengembangkan budaya
Melanesia dengan mengadakan Festival Budaya Melanesia pada 27-29 Oktober
2015, Pemerintah Indonesia melalui Kemdikbud menyelenggarakan Festival
Budaya Melanesia pertama di Kupang, NTT. Vanuatu, Timor Leste, Kaledonia
Baru, Kepulauan Solomon, Fiji dan Papua Nugini ikut menghadiri festival ini.
Kegiatan dalam festival ini diisi dengan peluncuran dan bedah buku yang berjudul
“Diaspora Melanesia di Nusantara”, selain itu dilakukan juga temu budaya,
pameran budaya dari masing-masing negara serta seminar yang dihadiri oleh
pemateri yang sudah berpengalaman dan sangat menguasai hal-hal yang terkait
dengan Melanesia (Roziqi, 2020: 191).
Kemudian Indonesia kembali meningkatkan kerja samanya dengan Vanuatu
dengan melakukan beberapa upaya. Diantaranya yaitu menggalang hubungan
dengan para pemangku kepentingan sekunder dan perantara di Vanuatu, antara lain
wartawan dan media Vanuatu yang prominen, tokoh masyarakat, dan pemuka
agama. Pendekatan lainnya telah dilakukan oleh Indonesia dengan mengadakan
media outreach melalui program Journalist Visit Program (JVP) dari Kementerian
Luar Negeri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang diikuti oleh
peserta dari media Vanuatu pada tahun 2018 dan 2019 (Kedutaan Besar Republik
Indonesia di Canberra, 2021).
Upaya tersebut dapat terus dilanjutkan mengingat pentingnya Vanuatu dan
negara-negara Pasifik Selatan dalam strategi media outreach Indonesia terkait isu
72
Papua, strategi media outreach kepada Vanuatu untuk meningkatkan exposure
positif mengenai Indonesia di Vanuatu serta memperkecil potensi dukungan
separatis Papua dan simpatisan di Vanuatu melalui narasi yang subjektif dan tidak
faktual.
Upaya lainnya yang dilakukan Indonesia yaitu mengadakan Bali
Democracy Forum (BDF) sebagai wadah bertukar pengalaman negara anggota
yang sedang melakukan demokratisasi. BDF adalah forum internasional pertama di
kawasan Asia-Pasifik yang berfokus pada kerja sama regional dalam bidang
demokrasi dan pembangunan politik. Pada penerapannya, BDF merupakan wadah
untuk saling bertukar pengalaman dan memperkuat proses demokratisasi di masing-
masing negara anggota. BDF menekankan pentingnya kesetaraan, dialog yang
bersifat membangun, saling menghargai dan memahami untuk mencapai kerjasama
demokrasi.
Walaupun forum ini merupakan forum antar negara di Asia Pasifik, penulis
berpendapat bahwa ini tetap merupakan pendekatan yang dilakukan Indonesia
terhadap Vanuatu meskipun tidak secara langsung melakukan dialog antar kedua
negara. Vanuatu tercatat hanya sekali terlibat BDF pada tahun 2014. Hal ini
disebabkan oleh kondisi politik dalam negerinya. Tetapi walaupun hanya sekali,
menteri luar negeri Vanuatu Meltek Sato Kilman Livtuvanu sangat mengapresiasi
BDF karena menurutnya forum ini adalah wadah yang tepat untuk negara kecil dan
besar untuk berkumpul, berbagi, dan berdiskusi mengenai prinsip demokrasi di
negaranya. Lewat forum ini, Vanuatu diharapkan dapat mengetahui lebih baik
seperti apa Indonesia (Roziqi, 2020: 195).
73
Selain itu, adanya diplomasi publik yang dilakukan Indonesia terlihat
melalui program pemerintah yaitu Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia (BSBI)
yang betujuan untuk membangun citra baik kepada para warga asing yang ingin
mempelajari kebudayaan Indonesia, Vanuatu ikut serta berpartisipasi dalam
mengikuti program tersebut. Vanuatu juga mengikuti berbagai program pelatihan
dalam kerangka kerja sama teknis, antara lain di bidang energi mikrohidro,
perikanan, dan pengelolaan maritime protected areas (Kementerian Luar Negeri
Indonesia, 2015).
Data-data yang penulis temui juga diperkuat dengan hasil wawancara yang
peneliti dapatkan dari Harditya yang menyatakan bahwa:
“sebenarnya kita mempunyai hubungan diplomatik dengan Vanuatu ya, kita
punya namun memang kita tidak mempunyai kedutaan disana. Sebenarnya
kita juga sudah melakukan diplomasi bilateral dengan Vanuatu kita
melakukan kerja sama ekonomi, kerja sama pembangunan kapasitas, dalam
beberapa pelatihan kita sudah mengundang masyarakat, mahasiswa,
pemuda Vanuatu untuk belajar ke Indonesia nah sebenarnya kita sudah
melakukan pendekatan, sudah melakukan kontak dengan pemerintahnya,
parlemennya untuk menyampaikan posisi Indonesia tapi memang mereka
masih belum berubah ya artinya ya mungkin mereka masih ingin terus
memperjuangkan Papua di PBB” (Suryawanto, 2020).
Dalam pandangannya, beliau menyatakan bahwa hubungan diplomatik
yang dilakukan Indonesia terhadap Vanuatu seperti kerja sama ekonomi, kerja sama
pembangunan kapasitas, kemudian Indonesia juga turut mengundang masyarakat,
mahasiswa, dan pemuda Vanuatu untuk belajar di Indonesia. Pendekatan-
pendekatan yang telah dilakukan termasuk melakukan kontak dengan pemerintah
serta parlemen dari Vanuatu dilakukan untuk menyampaikan posisi Indonesia
74
namun hal tersebut belum membuat Vanuatu merubah sikapnya dan masih ingin
mendukung separatisme Papua.
Sikap baru Vanuatu kepada Indonesia terlihat pada bulan Desember 2020,
Pemerintah Vanuatu telah memberikan dukungan terhadap pencalonan Menlu RI
sebagai co-chair COVAX AMC Engagement Group. Dukungan tersebut
merupakan suatu hal yang baru, karena dalam beberapa tahun terakhir Vanuatu
tidak pernah mendukung inisiatif Pemri. Diperkirakan, Vanuatu mendukung
Indonesia hanya karena Vanuatu berkepentingan untuk memperoleh fasilitas
COVAX, berupa akses ke vaksin COVID-19 (Pramono, 2021).
Kemudian Indonesia meluncurkan kebijakan baru yang dinamakan “Pacific
Elevation”. Salah satu bentuk kongkritnya adalah kegiatan Pacific Exposition di
Wellington, Selandia Baru yang diorganisir oleh KBRI Wellington. Upaya soft
diplomacy tersebut juga semakin diperkuat dengan agenda pemberian bantuan
pembangunan internasional oleh Pemerintah Indonesia kepada negara-negara di
kawasan Pasifik dan Oseania. Upaya Indonesia mendekati negara-negara besar di
kawasan Pasifik tidak terlepas dari niat untuk memudahkan Indonesia melakukan
pendekatan dengan Vanuatu (Pramono, 2021).
Berbagai diplomasi yang telah dilakukan Indonesia dilandasi oleh
pernyataan Vanuatu yang menyatakan bahwa mendukung Papua untuk merdeka
merupakan bagian dari konstitusi negaranya. Hal tersebut juga disampaikan oleh
Adriana Elisabeth selaku Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) dalam
wawancara yang penulis lakukan, beliau menyatakan bahwa:
75
“...Walter Lini itu menyatakan bahwa Vanuatu itu belum betul betul
merdeka kalau masih ada orang-orang yang ber-ras Melanesia itu masih
hidup dalam penjajahan, kemudian keinginan itu dimasukkan lah ke dalam
konstitusi negara Vanuatu kan...bahwa itu ditetapkan sebagai state
constitution. But again, if we..apa..lihat kepada konstitusi negaranya
memang stance-nya atau sikapnya memang seperti itu. Selama mereka
mendengar masih ada kejadian-kejadian yang menimpa orang-orang Papua
yang diasumsikan adalah ras Melanesia ya mereka pasti akan bersuara
seperti apa yang tertulis di konstitusi mereka. Seperti kita juga kan,
Indonesia ikut berperan dalam perdamaian dunia kan itu selalu suara kita.”
(Elisabeth, 2021).
Berdasarkan pernyataan dari beliau, faktor penting dari alasan Vanuatu
mendukung kemerdekaan Papua yaitu karena perdana menteri Vanuatu, Walter
Lini menyatakan bahwa Vanuatu belum benar-benar merdeka jika masih ada
masyarakat yang mempunyai ras yang sama dengan Vanuatu yaitu ras Melanesia,
masih hidup dalam kesengsaraan, penjajahan, dan jauh dari kata merdeka.
Kemudian keinginan tersebut dituangkan ke dalam bagian dari konstitusi negara
Vanuatu. Oleh karena itu, selama Vanuatu masih mendengar ada ketidakadilan
yang menimpa masyarakat Papua yang diasumsikan sebagai ras melanesia tindakan
Vanuatu akan tetap sama, yaitu memperjuangkan kemerdekaan Papua.
Seperti yang penulis telah jelaskan pada sub-sub bab sebelumnya bahwa
alasan Vanuatu mendukung kemerdekaan Papua yaitu adanya persamaan ras yang
dimiliki yaitu ras melanesia. Selain itu, dukungan Vanuatu terhadap kemerdekaan
Papua juga tertuang dalam konstitusi negara seperti apa yang diinginkan oleh
Perdana Menteri pertama Vanuatu yaitu Walter Lini. Beliau menyatakan bahwa
selama orang-orang Melanesia masih ada yang hidup dalam penjajahan, maka
Vanuatu tidak sepenuhnya merdeka.
76
Dilandasi oleh filosofi tersebut, Vanuatu kemudian secara aktif dan terbuka
menunjukkan dukungannya untuk Papua. Kembali penulis jelaskan secara singkat
berdasarkan apa yang terdapat pada sub bab 4.3, penulis melihat bahwa Vanuatu
menggunakan suaranya untuk kemerdekaan Papua pada forum internasional seperti
PBB. Isu Papua diangkat Vanuatu pada sidang umum PBB terhitung sejak tahun
2013 dan terakhir pada tahun 2020. Tidak hanya PBB, Vanuatu juga menjadi salah
satu penggagas berdirinya organisasi regional MSG yang mempunyai tujuan untuk
mendekolonisasi dan meliberalisasikan negara-negara melanesia yang masih
berada di bawah kuasa kolonial khususnya di kawasan Pasifik Selatan. Kemudian
pada tahun 2014, sebuah kelompok gerakan kemerdekaan Papua Barat yaitu
ULMWP terbentuk melalui dukungan dari Vanuatu.
Melihat bahwa dukungan yang diberikan Vanuatu untuk kemerdekaan
Papua cukup konsisten dan serius, maka Indonesia melakukan beberapa diplomasi
kepada Vanuatu seperti yang telah penulis sebutkan sebelumnya. Oleh karena itu,
pada penelitian ini penulis menggunakan teori diplomasi dari Thierry Balzacq,
Frédéric Charillon, dan Frédéric Ramel sebagai pisau analisis. Untuk definisi lebih
lengkap, penulis telah menjelaskan teori ini sebelumnya pada sub bab 2.2.1.
Balzacq, Charillon, dan Ramel menyatakan bahwa diplomasi dibagi menjadi tiga
bagian yaitu (1) Tempat dan Vektor Diplomasi, (2) Para aktor, dan (3) Sektor
Diplomasi. Berdasarkan diplomasi yang telah dilakukan Indonesia, maka penulis
mencoba menjabarkannya lebih lanjut menggunakan teori tersebut.
Pada sektor pertama yaitu tempat dan vektor diplomasi, jika dikaitkan
dengan penelitian ini maka tempat dan vektor diplomasi Indonesia terhadap
77
Vanuatu mencakup hubungan bilateral. Sektor selanjutnya yaitu para aktor
diplomasi, berdasarkan data-data yang telah penulis dapatkan para aktor yang
bermain dalam pelaksanaan diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu masih
cenderung lebih banyak dilakukan oleh state actor. Kemudian pada sektor terakhir
yaitu sektor diplomasi. Disini penulis melihat bahwa diplomasi budaya yang
dilakukan Indonesia cenderung banyak dilakukan dibandingkan diplomasi ekonomi
dan diplomasi publik.
Hal tersebut terlihat dengan terlaksananya festival budaya yang bertujuan
untuk mengenalkan budaya Melanesia di Indonesia, serta adanya program beasiswa
seni dan budaya. Namun, pada sektor diplomasi ekonomi Indonesia menemukan
tantangan dalam pelaksanaannya. Hal tersebut disebabkan oleh letak geografis
Vanuatu yang termasuk jauh dari Indonesia serta belum memadainya konektivitas
Indonesia dalam upaya penetrasi produk-produk dalam negeri ke Vanuatu.
Tantangan lainnya dialami oleh Indonesia karena permasalahan kebijakan politik
dari Vanuatu yaitu adanya Undang-Undang Wantok Bilong Yumi yang mana isi dari
kebijakan tersebut menyatakan bahwa Vanuatu akan senantiasa mendukung
kelompok separatis Papua. Kedua tantangan tersebut membuat Indonesia kesulitan
untuk melakukan pendekatan secara ekonomi kepada Vanuatu.
Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa pada sektor kedua
dari teori diplomasi Balzacq, Charillon, dan Ramel yaitu para aktor, Indonesia
masih memiliki kekurangan dalam sektor tersebut yang mana aktor yang bermain
dalam diplomasi terhadap Vanuatu masih condong kepada state actor. Hal tersebut
juga sesuai dengan pernyataan dari Rosita Dewi, selaku peneliti di bidang
78
perkembangan politik internasional LIPI, pada wawancara yang penulis lakukan
beliau menyatakan:
"...Jadi approach-nya harus lebih ya, dan juga engagement dengan
non-state actors gitu ya mbak misalnya dengan NGO dan LSM yang
ada di sana, kemudian akademisi-akademisi juga kemudian
bagaimana itu tidak hanya first track diplomacy tidak hanya G to G,
tetapi juga P to P maupun yang lainnya jadi multi layered
diplomacy-nya harus berjalan terutama untuk Vanuatu” (Dewi,
2020).
Beliau berpendapat bahwa pendekatan dan juga komunikasi yang dilakukan
Indonesia terhadap Vanuatu harus lebih digalakkan melalui non-state actors seperti
Non-Governmental Organization (NGO) dan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), serta akademisi-akademisi yang ada di Vanuatu guna menjadikan diplomasi
yang dilakukan Indonesia tidak terbatas pada first track diplomacy melalui
Government to Government saja. Melibatkan pendekatan diplomasi melalui Person
to Person juga berperan penting dalam menciptakan multi-layered diplomacy
kepada Vanuatu.
Meskipun Indonesia telah melakukan pendekatan non-state actor dengan
diadakannya media outreach melalui program Journalist Visit Program (JVP) dari
Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika pada
tahun 2018 dan 2019 (Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra, 2015) hal
tersebut nyatanya belum cukup untuk membuat Vanuatu meredam dukungannya
kepada Vanuatu karena pada UNGA ke-75 tahun 2020, perdana menteri Vanuatu
kembali mengangkat isu Papua merdeka. Hal tersebut menunjukkan bahwa
diplomasi yang dilakukan Indonesia belum cukup berhasil.
79
Berdasarkan data-data yang telah penulis dapatkan baik dari narasumber
wawancara dan studi pustaka, penulis menemukan bahwa diplomasi yang
dilakukan Indonesia terbilang tidak cukup aktif dan konsisten, penulis berpendapat
sebaiknya Indonesia melakukan diplomasi kepada Vanuatu setiap tahun. Terlepas
dari apapun bentuk dari diplomasi tersebut, setidaknya ada hal yang dilakukan oleh
Indonesia yang diharapkan akan mengubah persepsi Vanuatu kepada Indonesia
secara perlahan-lahan.
Selain itu, gaya diplomasi yang dilakukan Indonesia masih sangat
konservatif dan masih minim melibatkan non-state actors. Mengingat bahwa peran
non-state actors di era globalisasi seperti saat ini sangatlah besar, sebaiknya
Indonesia lebih merangkul lagi pihak-pihak gereja, tokoh-tokoh masyarakat, dan
media seperti Vanuatu Broadcasting and Television Corporation (VBTC) yang
merupakan perusahaan media nasional ternama di Vanuatu.
Analisis penulis diperkuat dengan opini dari salah satu narasumber yaitu Dr.
Adriana Elisabeth yang menyatakan bahwa Indonesia perlu memperbaiki cara
menjawab Vanuatu di PBB. Cara Indonesia mengirimkan diplomat muda untuk
menjawab seorang Perdana Menteri Vanuatu di PBB merupakan cara yang kurang
elegant dan kurang pantas untuk dilakukan (Elisabeth, 2021) Selain itu, sebaiknya
Indonesia mengurangi menyangkal dan bersikap defensif terhadap statement-
statement yang dikeluarkan oleh Vanuatu karena publik akan sulit untuk langsung
percaya dan meragukan statement yang diberikan, bahkan berpotensi menimbulkan
asumsi-asumsi negatif terhadap Indonesia.
80
Perlu diingat kembali bahwa Vanuatu memiliki kebijakan politik yang
berkomitmen untuk mendukung kemerdekaan Papua, maka dari itu membawa isu
Papua di forum internasional sudah termasuk ke dalam agenda politik Vanuatu.
Sama halnya dengan Indonesia, yang mempunyai state constitution yang
mengedepankan isu HAM dan ikut serta dalam perdamaian dunia. Artinya
Indonesia tidak bisa sepenuhnya melarang Vanuatu untuk melaksanakan agenda
politiknya tersebut.
Indonesia bisa lebih komunikatif lagi dalam menyampaikan narasi di PBB
dengan tidak menyangkal pernyataan yang diberikan oleh Vanuatu dengan catatan
jika hal yang dikatakan tersebut terbukti sebuah fakta. Jika pemerintah memang
memiliki kekurangan dalam memperlakukan masyarakat Papua, instead of
menyangkal sebaiknya Indonesia bisa lebih terbuka terhadap hal tersebut, tetapi
juga tidak lupa untuk menyampaikan progress dan usaha yang tengah dilakukan
pemerintah untuk membuat Papua menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Penulis meyakini bahwa langkah tersebut dapat menghadirkan citra positif
bagi Indonesia dan membuat persepsi publik bahwa Indonesia tidak menyepelekan
statement-statement dari Vanuatu serta Indonesia juga hadir dan serius dalam
menangani masalah yang terjadi di Papua. Oleh karena itu Indonesia perlu lebih
gencar lagi dalam mensejahterakan masyarakat di Papua, karena biar
bagaimanapun persoalan dalam negeri juga tidak kalah pentingnya dengan
persoalan dari luar negeri.
Seperti yang disampaikan oleh Dr. Siswo Pramono, S.H., LL.M. selaku
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian
81
Luar Negeri Indonesia, beliau menyatakan bahwa salah satu faktor yang mendorong
terbentuknya kebijakan luar negeri Vanuatu yang secara agresif mendukung
kemerdekaan Papua yaitu berkaitan dengan faktor geostrategis, yang mempunyai
arti bahwa saat ini kawasan Indo-Pasifik saat ini merupakan area perebutan
pengaruh antara Barat (Australia, Selandia Baru, AS, Perancis & Taiwan) dan
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) (Pramono, 2021).
Kedua kubu saling memainkan strategi politik dan ekonomi dengan
merangkul negara-negara Pasifik melalui berbagai bantuan dana, kerja sama
pembangunan dan berbagai insentif/fasilitasi. Vanuatu tidak lepas dari tarik
menarik kepentingan kekuatan global, dimana RRT tengah membangun pelabuhan
laut dalam di Luganville senilai US$ 114 juta (sedalam 20 meter lebih, dan mampu
untuk sandar kapal-kapal besar). Proyek ini dicurigai oleh Australia dan AS sebagai
awal kehadiran militer RRT di Pasifik (Pramono, 2021).
Berdasarkan pernyataan tersebut, penulis beropini bahwa adanya peran
negara-negara besar dalam agenda politik Vanuatu, yaitu mendukung isu Papua
merdeka. Melihat bahwa kawasan Pasifik tengah menjadi perebutan diantara dua
kudu, dan Vanuatu termasuk ke dalam negara yang cukup berpengaruh di kawasan
Pasifik Selatan, penulis mempunyai pandangan bahwa isu Papua merdeka yang
digaungkan secara agresif oleh Vanuatu juga merupakan sebuah “titipan” dari
negara-negara besar seperti Australia, Amerika Serikat, dan RRT yang memang
mempunyai kepentingan tersendiri di kawasan Pasifik dan Indonesia, terutama di
Papua yang terkenal dengan sumber daya alamnya yang melimpah dan merupakan
tempat tambang emas PT. Freeport beroperasi (Pramono, 2021).
82
Untuk melaksanakan kepentingannya, negara-negara besar tersebut
menjadikan Vanuatu sebagai “pion” yang sangat tepat untuk dimainkan, mengingat
bahwa Vanuatu mempunyai kesamaan ras dengan masyarakat Papua dan dengan
motif tersebut, Vanuatu dapat menjalin hubungan yang lebih erat dengan
masyarakat Papua. Karena jika negara-negara tersebut terjun secara langsung untuk
mendukung kemerdekaan Papua, hal tersebut dapat mengganggu hubungan yang
dimiliki dengan Indonesia, terlebih lagi Indonesia merupakan salah satu negara
yang sangat berpengaruh di kawasan Asia Tenggara. Melihat hal tersebut, tentunya
negara-negara tersebut tidak ingin membuat Indonesia menjadi geram dengan
mendukung secara langsung kemerdekaan Papua.
Meskipun Vanuatu dijadikan alat oleh negara-negara tersebut, Indonesia
tidak boleh berdiam diri saja, terus melakukan pendekatan dengan Vanuatu
merupakan cara yang tepat digunakan untuk menyampaikan posisi Indonesia bahwa
Indonesia bersungguh-sungguh dalam menjaga kedaulatan negara. Jika sebelumnya
pelaksanaan diplomasi Indonesia kepada Vanuatu terkait dengan isu Papua
merdeka belum membuahkan hasil yang optimal, penulis berpendapat bahwa
Indonesia dapat merangkul pihak dari Vanuatu dan pihak dari Papua secara
bersamaan sehingga hal tersebut dapat menciptakan persepsi yang positif untuk
Indonesia mengingat bahwa hubungan yang dimiliki antara Vanuatu dengan
masyarakat Papua pro merdeka cukup erat. Dengan demikian, diplomasi yang
dilakukan bisa berjalan dengan efektif.
83
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa diplomasi yang dilakukan Indonesia
terhadap Vanuatu masih terdapat kekurangan dalam pelaksanaanya. Indonesia
masih kurang menggunakan non-state actors dalam pelaksanaan diplomasinya
seperti melibatkan NGO, LSM, pihak-pihak gereja, para akademisi dan tokoh
masyarakat di Vanuatu. Walaupun sebelumnya Indonesia telah melakukan
pendekatan melalui non-state actors terhadap Vanuatu, nyatanya hal tersebut belum
cukup untuk membuat Vanuatu meredam dukungannya terhadap kemerdekaan
Papua.
Walaupun Indonesia telah melakukan beberapa pendekatan kepada Vanuatu
melalui lembaga-lembaga di bawah naungan pemerintah seperti mengadakan media
outreach, festival budaya, dan beasiswa seni dan budaya, namun sampai saat ini
Indonesia dan Vanuatu belum juga melakukan pertemuan bilateral secara resmi
untuk berdialog mengenai isu Papua merdeka. Penulis berpendapat bahwa hal
tersebut merupakan salah satu kekurangan yang juga harus diperbaiki oleh
Indonesia, jika Indonesia memang serius dalam menangani perselisihan yang
terjadi dengan Vanuatu.
84
5.2 Saran
Pada bagian ini penulis mengajukan dua saran. Saran pertama adalah saran
praktis dan saran kedua adalah saran teoritis. Untuk saran praktis, penulis
mengajukan saran yang diharapkan dapat memberi manfaat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan. Penulis menemukan bahwa diplomasi terhadap Vanuatu harus
tetap dilakukan secara aktif dan konsisten, sembari memperbaiki permasalahan
yang ada di Papua. Mengadakan pertemuan resmi dengan Perdana Menteri Vanuatu
dan menjalin komunikasi yang aktif kepada Vanuatu dan publik internasional
terkait keadaan Papua di Indonesia dapat menjadi masukan bagi pemerintah dari
penulis.
Kemudian penulis juga menyarankan Indonesia untuk menjalin hubungan
yang lebih intens dengan negara-negara berpengaruh di kawasan Pasifik yaitu
Australia dan Selandia Baru, serta negara-negara yang mempunyai hubungan baik
dengan Vanuatu yaitu Perancis dan Inggris. Penulis berpendapat bahwa dengan
dijalinnya hubungan yang lebih erat dengan negara-negara tersebut dapat
menjembatani kepentingan Indonesia untuk merangkul Vanuatu.
Untuk saran teoritis, penulis menyarankan kepada peneliti selanjutnya yang
ingin membahas mengenai permasalahan yang sama dengan penulis agar
melakukan wawancara mendalam ke kedutaan besar negara yang bersangkutan dan
mendapatkan data-data yang lebih lengkap mengenai diplomasi-diplomasi yang
telah dilakukan kepada Vanuatu.
85
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Afrizal. (2014). Metode Penelitian Kualitatif : Sebuah Upaya Mendukung
Penggunaan Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu. Depok:
Rajawali Pers.
Balzacq, T., Charillon, F., & Ramel, F. (2020). Global Diplomacy : An Introduction
to Theory and Practice . Paris: Palgrave Macmillan.
Berridge, G. (2015). Diplomacy : Theory and Practice Fifth Edition. United
Kingdom: Palgrave Macmillan.
Cooper, A. F., Heine, J., & Thakur, R. (2013). The Oxford Handbook of Modern
Diplomacy. United Kingdom: Oxford University Press.
Creswell, J. W. (2017). Research Design : Pendekatan Metode Kualitatif,
Kuantitatif,dan Campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Holsti, K. J. (1998). Politik Internasional : Kerangka untuk Analisis. Jakarta:
Erlangga.
Jackson, R. H. (2007). Sovereignty: The Evolution of an idea. Cambridge: Polity.
Muhammad, A., Mutiarin, D., & Tebay, N. (2013). West Papuan Secessionist
Movement: Origins, Government Policy, and Dialogue. Saarbrücken,
Germany: LAP LAMBERT Academic Publishing.
Viotti, P. R., & Kauppi, M. V. (2012). International Relations Theory Fifth Edition.
Glenview, United States: Pearson Education, Inc.
Watson, A. (2005). Diplomacy : The Dialogue Between States. Great Britain: Eyre
Methuen Ltd.
86
Jurnal:
Bhakti, I. N., & Pigay, N. (2012). Menemukan Akar Masalah Dan Solusi Atas
Konflik Papua : Supenkah? Jurnal Penelitian Politik LIPI, IX(1), 11.
Blades, J. (2020, May). West Papua: The Issue That Won't Go Away For Melanesia.
Lowy Institute Analysis, 1-46.
Djafar, Z. (2012). Kemerdekaan Papua dan Relevansi Reaksi Tiga Negara. Jurnal
Penelitian Politik: LIPI, IX(1), 103.
Elisabeth, A. (2006). Dimensi Internasional Kasus Papua. Jurnal Penelitian Politik
LIPI, 3(1), 43-65.
Fadhilah, M. (2019, Januari-Juni). Inkonsistensi Kebijakan Luar Negeri Melanesia
Spearhead Group (MSG) dalam Isu Papua Barat: Studi Kasus Fiji dan Papua
Nugini. Indonesian Perspective, 4(1), 59-81.
Helmy, B. (2019, Juni). Mematahkan Dukungan Vanuatu Terhadap Gerakan
ULMWP (United Liberalization Movement For West Papua) Guna
Menegakkan Kedaulatan NKRI. Jurnal Kajian Lemhannas RI, 38, 21-27.
Lawson, S. (2016, August). West Papua, Indonesia and the Melanesian Spearhead
Group: Competing Logics in Regional and International Politics. Australian
Journal of International Affairs, 70(5), 506-524.
doi:10.1080/10357718.2015.1119231
Marit, E. L., & Warami, H. (2018, April). Wacana “Papua Tanah Damai” dalam
Bingkai Otonomi Khusus Papua. Jurnal Ilmu Sosial, XVI(1), 44.
Putra, G. N., Legionosuko, T., & Madjid, A. (2019, Agustus). Strategi Pemerintah
Indonesia Terhadap Negara-Negara Anggota Melanesian Spearhead Group
(MSG) dalam Menghadapi Propaganda Organisasi Papua Merdeka (OPM):
Studi Kasus Negara Republik Vanuatu. Jurnal Peperangan Asimetris, 5(2),
31-44.
87
Roziqi, M. A. (2020). Diplomasi Soft Power Indonesia dalam Melanesian
Spearhead Group terhadap United Liberation Movement for West Papua.
Journal of International Relations, 6(2), 189-198.
Sabir, A. (2018, Januari-Juni). Diplomasi Publik Indonesia terhadap Vanuatu dalam
Upaya Membendung Gerakan Separatisme Papua. Jurnal Hubungan
Internasional , 11(1), 91-108.
Silalahi, E., Bachtiar, M., & Edorita, W. (2015). Implikasi Hukum Internasional
pada Flight Information Region (FIR) Singapura Atas Wilayah Udara
Indonesia Terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Riau: JOM Fakultas Hukum Vol,2 No.1.
Temaluru, T. B. (2016, Juni). Kepentingan Vanuatu dalam Usaha Pemerdekaan
Papua. Jurnal Analisis Hubungan Internasional, 5(2), 572-583.
Zahidi, M. S. (2020). Analisis Kebijakan Luar Negeri Vanuatu Dalam Mendukung
ULMWP Untuk Memisahkan Diri Dari Indonesia. Jurnal Ilmu Hubungan
Internasional Mandala Vol.3, No.1, 66.
Skripsi:
Daffa, M. K. (2020). Peran Melanesian Spearhead Group Dalam Internasionalisasi
Isu Papua Merdeka. Skripsi, 26. Jakarta: Universitas Pertamina.
Muhammad, H. (2017). Kepentingan Vanuatu Atas Usulan Investigasi Kasus
Pelanggaran HAM Di Indonesia (Studi Kasus: Pelanggaran HAM di Papua
Barat). Skripsi, 65. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Purnama, A. M. (2019). Faktor Pendorong Penarikan Diri Amerika Serikat Dari
Perjanjian Nuklir (Joint Comprehensive Plan Of Action) Dengan Iran Pada
Tahun 2018. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
88
Wawancara:
Dewi, R. (2020, Desember 8). Analisis Diplomasi Indonesia Terhadap Vanuatu
Terkait Isu Papua Merdeka. (K. Natalia, Interviewer)
Elisabeth, A. (2021, Juli 16). Analisis Diplomasi Indonesia Terhadap Vanuatu
Terkait Isu Papua Merdeka. (K. Natalia, Interviewer)
Pramono, S. (2021, Agustus 6). Analisis Diplomasi Indonesia Terhadap Vanuatu
Terkait Isu Papua Merdeka. (K. Natalia, Interviewer)
Suryawanto, H. (2020, Desember 1). Analisis Diplomasi Indonesia Terhadap
Vanuatu Terkait Isu Papua Merdeka. (K. Natalia, Interviewer)
Website:
CNN. (2019, Januari 31). KTHAM PBB Kaget Benny Wenda 'Menyusup' dalam
Delegasi Vanuatu. Retrieved from CNN Indonesia.com:
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190131084205-106-
CNN. (2019, Oktober 2). Vanuatu, 'Si Kecil' di Pasifik Pendukung Kemerdekaan
Papua. Retrieved from CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20191002160752-113-
436136/vanuatu-si-kecil-di-pasifik-pendukung-kemerdekaan-papua
CNN. (2020, September 28). Di Sidang PBB, RI Minta Vanuatu Berhenti Campuri
Urusan Papua. Retrieved from CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200928063155-106-
551609/di-sidang-pbb-ri-minta-vanuatu-berhenti-campuri-urusan-papua
CNN. (2020, September 28). Vanuatu, Negara Kecil yang Dukung Kemerdekaan
Papua. Retrieved from CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200928075602-113-
551633/vanuatu-negara-kecil-yang-dukung-kemerdekaan-papua
89
Gunadha, R., & Firdaus, H. M. (2020, September 28). Vanuatu Giat Persoalkan
HAM Papua di PBB, Diplomat RI Cuma Beretorika. Retrieved from
Suara.com: https://www.suara.com/news/2020/09/28/132043/vanuatu-giat-
persoalkan-ham-papua-di-pbb-diplomat-ri-cuma-beretorika?page=1
Hanggoro, M. A., & Mohamad, A. (2015, Juli 4). Strategi RI gabung asosiasi
negara Pasifik demi hambat Papua merdeka. Retrieved from Merdeka.com:
https://www.merdeka.com/dunia/strategi-ri-gabung-asosiasi-negara-
pasifik-demi-hambat-papua-merdeka.html
Hasan, R. A. (2019, September 29). RI Pakai Hak Jawab di Majelis Umum PBB
Usai Vanuatu Angkat Isu Papua. Retrieved from Liputan6:
https://www.liputan6.com/global/read/4074231/ri-pakai-hak-jawab-di-
majelis-umum-pbb-usai-vanuatu-angkat-isu-papua
Kompas. (2017, Maret 2). Politisasi Isu HAM di Papua, Vanuatu Didesak Fokus
Masalah HAM Sendiri. Retrieved from Kompas.com:
https://internasional.kompas.com/read/2017/03/02/21030521/politisasi.isu.
ham.di.papua.vanuatu.didesak.fokus.masalah.ham.sendiri
Mardiyah, F. (2020, Oktober 7). Ada Apa Dengan Vanuatu, Papua Barat, dan
Indonesia? Dipetik November 20, 2020, dari Tirto.id: https://tirto.id/ada-
apa-dengan-vanuatu-papua-barat-dan-indonesia-f5zF
MSG. (n.d.). About MSG . Retrieved from Melanesian Spearhead Group:
https://msgsec.info/about-msg/
Navari, C. (2016, Maret). Hans Morgenthau and the National Interest. Diambil
kembali dari Ethics and International Affairs:
https://www.ethicsandinternationalaffairs.org/2016/hans-
morgenthau%09and-the-national-interest/
Syafirdi, D. (2019, September 29). Vanuatu Angkat Isu Papua di PBB, Indonesia
Sebut "Negara Itu Dukung Separatis". Retrieved from Merdeka.com:
90
https://www.merdeka.com/dunia/vanuatu-angkat-isu-papua-di-pbb-
indonesia-sebut-negara-itu-dukung-separatis.html
ULMWP. (n.d.). United Liberation Movement for West Papua. Retrieved from
ULMWP: https://www.ulmwp.org/ulmwp
United Nations. (2018, September 27). General Assembly of the United Nations.
Retrieved from Gadebate.un.org: https://gadebate.un.org/en/73/indonesia
Dokumen:
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra. (2015, Mei 18). Kementerian
Luar Negeri Indonesia. Retrieved from Rencana Strategis KBRI Canberra
2015-2019:
https://kemlu.go.id/download/L1NoYXJlZCUyMERvY3VtZW50cy9SZW
5zdHJhJTIwS0JSSSUyMENhbmJlcnJhJTIwMjAxNS0yMDE5LnBkZg==
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra. (2021, Januari 22). Rencana
Strategis KBRI Canberra 2020-2024. Retrieved from Kementerian Luar
Negeri Indonesia:
https://kemlu.go.id/download/L1NoYXJlZCUyMERvY3VtZW50cy9SZW
5zdHJhJTIwS0JSSSUyMENhbmJlcnJhJTIwMjAyMC0yMDI0LnBkZg==
Kementerian Luar Negeri Indonesia. (2015, September). Buku Diplomasi Indonesia
2014. Retrieved from Kemlu.go.id:
https://kemlu.go.id/download/L3NpdGVzL3B1c2F0L0RvY3VtZW50cy9
CdWt1L0RpcGxvbWFzaSUyMEluZG9uZXNpYS9CdWt1JTIwRGlwbG9
tYXNpJTIwSW5kb25lc2lhJTIwMjAxNC5wZGY=
United Nations. (2013, September 28). United Nations Digital Library. Retrieved
from digitallibrary.un.org:
https://digitallibrary.un.org/search?ln=en&p=vanuatu&f=&action_search=Search
&rm=&ln=en&sf=year&so=d&rg=50&c=United+Nations+Digital+Library+Syste
m&of=hb&fti=0&fct__1=Speeches&fti=0&fct__1=Speeches
91
West Papua National Coalition for Liberation. (2010, June 20). A Motion on
Foreign Policy regarding West Papua had been passed in the Vanuatu
Parliament. Press Release. Port Villa, Vanuatu: West Papua National
Coalition for Liberation.
93
Lampiran 1
Narasumber : Dr. Siswo Pramono, S.H., LL.M.
Jabatan : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK),
Kementerian Luar Negeri Indonesia.
Waktu : Jakarta, 6 Agustus 2021
Permohonan wawancara dengan sekretaris Dr. Siswo Pramono, S.H., LL.M.
95
Lampiran 2
Naskah Wawancara Kristin Natalia dengan Harditya Suryawanto, Direktorat
Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata, Kementerian Luar Negeri
Indonesia.
Narasumber : Harditya Suryawanto
Jabatan : Fungsional Diplomat Muda, Direktorat Keamanan Internasional
dan Perlucutan Senjata (KIPS), Kementerian Luar Negeri
Indonesia
Waktu : 1 Desember 2020
Lokasi : Gedung BP7, Direktorat KIPS, Kementerian Luar Negeri
Indonesia.
Alamat : Jalan Pejambon No. 6 Jakarta Pusat 10110 DKI Jakarta, Indonesia
96
Pertanyaan penelitian untuk data primer penulisan skripsi:
“Analisis Diplomasi Indonesia Terhadap Vanuatu Terkait Isu Papua
Merdeka”
Kristin Natalia : Baik, untuk pertanyaan pertama yang ingin saya
tanyakan yaitu terkait dengan kebijakan luar negeri
Indonesia saat ini mas. Dengan konflik yang saat ini
ada yaitu Vanuatu yang kerap menuding Indonesia
di sidang umum PBB terkait isu Papua merdeka.
Seperti apa sih garis besar kebijakan luar negeri
Indonesia saat ini?
Harditya Suryawanto : Jadi arah kebijakan luar negeri kita ini diarahkan
untuk diplomasi untuk mendukung kepentingan
nasional, salah satu yang paling jelas terkait juga
dengan konteks yang tadi mbak sampaikan adalah
bagaimana memastikan dan menjaga kedaulatan
dan keutuhan wilayah republik Indonesia.
Kristin Natalia : kalau untuk perubahan arah kebijakan luar negeri,
ada perbedaan tidak ya mas dari periode satu
pemerintahan Presiden Jokowi sampai sekarang
ini?
Harditya Suryawanto : mungkin perubahannya lebih ke arah...secara
general tidak berubah tapi caranya aja
Kristin Natalia : Caranya?
Harditya Suryawanto : Iya, mengapa? Karena arah dan kebijakan luar
negeri itu sedikit banyak akan terpengaruh dengan
situasi dan kondisi global saat ini, jadi kita tidak
bisa ignore kita tidak bisa cuek aja gitu apa yang
terjadi di luar tetap melakukan rencana selanjutnya
tetapi kita tetap juga harus beradaptasi dengan
perkembangan di luar. Seperti contoh kaya periode
pertama kan ga ada covid ya, nah sekarang ada
covid artinya bagaimana diplomasi kita harus tetap
kita jalankan. Satu, untuk mencapai tujuan atau
97
strategi kita ditengah covid, yang kedua juga
tentunya diplomasi covid juga harus sudah mulai
dijalankan ya misalkan, mendapatkan akses vaksin
lalu memastikan Indonesia juga bagian dari Travel
Bubble ya supaya memperlancar baik pemerintahan
maupun pebisnis kita. Jadi diplomasinya sebenarnya
arahnya tidak banyak berubah tapi caranya
menyesuaikan dengan kondisi dan situasi saat ini.
Kristin Natalia : Kalau untuk Vanuatu sendiri dia kan berada di
kawasan Pasifik Selatan ya mas, kalau boleh tau
kepentingan Indonesia sebenarnya di kawasan
tersebut itu seperti apa ya mas?
Harditya Suryawanto : Jadi kepentingan kita sebenarnya di Pasifik Selatan,
saya cuma bisa bilang nomor satu, pasifik selatan
ini kan dikenal kalau tadi menyebut Vanuatu ya,
tapi dari sisi etnis dia hampir 90% lebih itu kan etnis
melanesia, nah itu isu yang selalu diangkat Vanuatu
adalah mengenai kesamaan etnis dengan Papua.
Sebenarnya kita juga menjabarkan bahwa etnis
melanesia itu di Indonesia bukan hanya di Papua
tapi ada di Maluku, lalu daerah bagian NTT juga
banyak etnis melanesianya. Jadi, Pasifik Selatan nih
kita lihat sebenarnya bukan hanya masalah etnis
tapi banyak isu yang juga sebenarnya yang bisa kita
garap, kita mainkan misalkan isu perubahan iklim.
Disana kan negara-negaranya itu negara pulau ya,
dan mereka sangat ter-impact oleh perubahan iklim
lalu juga isu pembangunan, demokrasi, banyak
sebenarnya isu yang bisa kita garap disana karna
kawasan Pasifik Selatan juga masih termasuk
golongan negara berkembang ya, negara miskin
yang ke arah negara berkembang yang sebenarnya
kita bisa banyak berperan disana. Nah kemudian,
juga bahwa di kawasan Pasifik Selatan selama ini
kan boleh dibilang negara besarnya hanya Australia
dan Selandia Baru ya nah sebenarnya kita juga bisa
bermain disana karena banyak beberapa negara
besar seperti Amerika, Inggris, dan China juga mulai
98
sejak lama sebenarnya sudah banyak menancapkan
pengaruh disana. Jadi sebenarnya kita juga bisa,
Indonesia dalam hal ini juga sebenarnya penting
karena apa? Karena selain kita negara besar, kita juga
mempunyai banyak expertise yang cocok sebenarnya
kalo bisa diaplikasikan di sana, seperti sektor-sektor
perikanan, pertanian, dan industri dan juga
pariwisata. Jadi banyak hal sebenarnya yang bisa kita
garap disana, di kawasan Pasifik Selatan.
Kristin Natalia : Kalau untuk pengaruh Indonesia di kawasan Pasifik
Selatan itu seperti apa ya mas?
Harditya Suryawanto : Sebenarnya di Pasifik Selatan tuh pengaruh kita
kalau boleh dibilang, kalau saya lihat sih masih
kurang ya itu terlihat dari presence aja. Diluar
Australia dan New Zealand, kita punya perwakilan
tuh hanya di Suva di Papua Nugini. Jadi cuma Suva,
Numea, dan Papua Nugini. Jadi cuma tiga. Di Papua
Nugini itu kita punya KBRI, di Suva KBRI, di
Numea itu konsulat Indonesia jadi cuma tiga
perwakilan disana. Karena memang wilayahnya
sangat besar ya, dan terpisah antar pulau. Jadi kalau
soal presence kami mencoba meningkatkan
kehadiran kita disana melalui berbagai cara yang
tadi saya sudah sebutkan mengenai peningkatan
kapasitas, kita sudah kirim dan seringkali kita
mengadakan program peningkatan kapasitas yang
juga melibatkan negara-negara di Pasifik Selatan
ya, seperti bidang pariwisata, pertanian, perikanan,
climate change, nah itu kita sudah jalankan berbagai
program ya juga berkordinasi dengan kementerian-
kementerian kita terkait.
Lalu untuk juga meningkatkan kehadiran kita
disana, kita juga beberapa kali mempunyai program
budaya. Kita mengundang mahasiswa-mahasiswa
atau anak-anak muda dari kawasan Pasifik Selatan
itu untuk mendapatkan beasiswa seni budaya
Indonesia, itu biasanya mahasiswanya tuh kita
99
undang kesini kita kembangkan baik di Bandung,
Bali, Solo itu untuk belajar budaya Indonesia dan
yang kita harapkan pada saat mereka pulang,
mereka bisa menyebarkan atau memperkenalkan
budaya Indonesia membantu memperkenalkan
budaya Indonesia disana di Kawasan Pasifik
Selatan. Lebih kesitu.
Kristin Natalia : Untuk Konflik nih mas, Indonesia tadi kan
dijelaskan bahwa perannya di Pasifik Selatan itu
masih agak kurang ya, jadi kalau disambungkan nih
dengan konfliknya Indonesia dengan Vanuatu itu
kan masih berada di Pasifik Selatan. Jadi kalau
dikaitkan dengan Papua, sebenarnya yang
melatarbelakangi terbentuknya OPM itu
sebenarnya apa sih mas?
Harditya Suryawanto :Jadi, kalau mbak Kristin lihat dan nanti bisa dicek
ya di faktor sejarahnya kan memang pada saat
kita...mungkin saya tariknya agak mundur jauh
artinya pada saat Belanda tidak mau menyerahkan
kedualatan atas Papua jadi pada saat konferensi meja
bundar itu Belanda setuju untuk mengembalikan
semua wilayah ke Indonesia tapi pending yang
Papua, nah akhirnya waktu itu kita mengirimkan
operasi militer ya, operasi mandala kalau gak salah
itu untuk membebaskan Irian Barat pada jaman pak
Karno waktu itu kan, dan memang faktor itulah yang
akhirnya membuat seakan akan sejarah Papua itu
berbeda dari Indonesia padahal kalau mbak Kristin
ingat ada prinsip hukum dulu namanya Uti
Possidetis Juris artinya wilayah bekas jajahan akan
dikembalikan ke negara yang bertikai artinya dalam
konteks ini Belanda, batas-batas Belanda menjajah
kita dulu harus dikembalikan Belanda ke Indonesia
termasuk Papua, tapi karena Belanda waktu itu
pending menyerahkan Papua ke Indonesia akhirnya
terjadi konflik lah.
100
Nah pada saat kita operasi militer mandala itu lalu
kita berlanjut di perundingan tiga negara itu akhirnya
kan penyerahan kedaulatan lalu juga ada jejak
pendapat penduduk, PEPERA Papua, nah semuanya
itu faktor sejarah tersebut yang membuat ada
sekelompok masyarakat yang tidak puas terhadap
kembalinya Papua ke Indonesia nah inilah yang
akhirnya membentuk kelompok yang kita kenal
sekarang namanya OPM. Jadi sebenarnya OPM ini
sudah ada sejak lama, nah kaitannya juga dengan
Vanuatu ini banyak tokoh-tokoh OPM pada saat
Indonesia masuk kesana... kabur, atau lari ke luar
negeri. Salah satunya banyak yang ke Belanda, ada
yang ke Eropa, ada yang ke Amerika tapi banyak
juga yang pergi ke Pasifik Selatan. Kenapa?
Mungkin karena tadi yang kita sudah sampaikan
yaitu adanya persamaan budaya dan etnis ya jadi
mungkin mereka merasa lebih dekat disana.
Kristin Natalia :Baik, kalau menurut mas sendiri apakah upaya-
upaya atau usaha yang sudah dilakukan Indonesia
untuk meredam OPM itu sendiri menurut mas sudah
lumayan baik atau masih kurang ya mas?
Harditya Suryawanto :Kalau menurut saya sebenarnya pemerintah sudah
melakukan berbagai macam cara ya, menurut saya
sudah banyak hal yang dilakukan. Saya mau
membaginya menjadi dua dulu ya, dari pendekatan
pembangunan, kan mbak Kristin sudah tau bahwa
kita sudah membangun Papua dengan otonomi
daerah dan sebagainya. Jadi dari sisi kesejahteraan,
pengakuan hak-hak orang Papua itu sebenarnya
sudah kita berikan memakai perangkat-perangkat
nasional, bahkan kepala daerahnya juga sudah orang
Papua asli lalu juga mereka mempunyai mekanisme
DPRD nya sendiri, jadi sebenarnya apa yang mereka
minta untuk persamaan hak, pengakuan hak dan juga
memerintah itu sebenarnya sudah ada disana. Dan
ekonomi juga sebenarnya sudah.
101
Nah yang kedua saya melihat dari aspek penanganan
sisi keamanannya, memang kita tidak bisa
memungkiri bahwa masih ada gangguan-gangguan
gejolak keamanan, dan tentunya namanya juga
gangguan keamanan itu juga ada cara yang harus
dilakukan yaitu pendekatannya keamanan juga jadi
langkah pertama kita adalah sudah menunjukkan
polisi ya penjaga ketertiban disana untuk mengatasi
gangguan keamanan yang diakibatkan oleh OPM dan
juga kalaupun polisi perlu dukungan kan ada unsur
TNI juga disana, nah jadi sebenarnya aspek ekonomi,
pemerintahan, militer itu semua sudah kita lakukan,
nah terkait dengan OPM yang ada di luar negeri
sebenarnya dalam beberapa kali kesempatan,
diplomasi kita juga sudah melakukan pendekatan
gitu ya, untuk merangkul mereka kembali ke
Indonesia, mungkin nanti mbak Kristin bisa cek ya di
internet ada beberapa tokoh Papua atau OPM yang
senior yang sudah lama di luar negeri dan akhirnya
kembali ke Indonesia ya. Jadi sebenarnya caranya
soft approaches sudah kita lakukan sedemikian rupa
jadi ya akhirnya willingness mereka aja apakah
mereka mau kembali ke Indonesia atau tidak.
Kristin Natalia : jadi kalau untuk seberapa besar potensi Papua
memisahkan diri dari Indonesia itu sebenarnya ada
gak sih mas? apalagi dengan keadaan seperti
sekarang
Harditya Suryawanto : kalau saya bilang sebenarnya saya gamau munafik
kan bahwa semua potensi pasti ada, tapi pastinya
diplomasi kita sudah kita dorong untuk menjaga
kedaulatan dan keutuhan wilayah dan juga lebih dari
itu pasti masyarakat Indonesia juga akan sekuat
tenaga ya untuk mejaga keutuhan wilayah dan juga
menjaga agar..bukan hanya Papua tapi wilayah lain
juga tetap bersatu di NKRI sih jadi potensinya tetap
akan ada tapi akan tetap berusaha intinya kaya yang
mbak Kristin sering denger ya “NKRI Harga Mati”
lah, tapi kita juga bukan berarti NKRI Harga Mati
102
tapi kita juga melakukan tindakan sewenang-wenang
terhadap masyarakat di sana tapi juga tetap harus
diimbangi bahwa kalau memang ada aparat yang
melakukan kesalahan juga kita harus tindak, jadi
hukum juga harus tetap ditegakkan NKRI Harga
Mati iya, tapi kita juga tidak buta gitu jadi kalau
misalkan ada pelanggaran hukum atau pelanggaran
hak yang dilakukan oleh aparat, kita juga harus tetap
usut ya.
Kristin Natalia : untuk isu OPM sendiri itu kan pernah beberapa kali
dibahas ya mas di sidang umum PBB, jadi
sebenarnya apa sih peran forum internasional ini saat
isu OPM dibawa oleh negara lain selain Indonesia?
Harditya Suryawanto : jadi sebenarnya mereka selama ini kan banyak
melakukan move-nya itu satu, yang pasti mereka
melakukan cara militer ya mengganggu keamanan
disana nah yang kedua, mereka juga melakukan
diplomasi sebenarnya nah ini cara mereka membawa
ke sidang umum PBB sebenarnya bagian dari
diplomasi. Artinya apa? Seperti yang tadi saya sudah
sampaikan pada saat Papua kembali ke Indonesia itu
sudah disahkan oleh PBB ada resolusinya, nah move
mereka untuk membawa isu ini ke sidang PBB untuk
menarik perhatian negara-negara lain bahwa masih
ada pr, Indonesia masih punya masalah mengenai
Papua yang sebenarnya kita sayangkan.
Kristin Natalia : kalau menurut mas sendiri, ada gak sih pihak luar
yang dengan sengaja ingin memecah belah Indonesia
lewat OPM ini?
Harditya Suryawanto : kita gak bisa tutup mata bahwa memang diplomasi
yang dilakukan OPM ini juga mendapatkan simpati,
tapi sebenarnya tidak banyak nah simpati ini
sebenarnya datang dari individu, masyarakat atau
kelompok masyarakat yang sebenarnya hanya
kekurangan informasi. Artinya memang tugas kita,
diplomat kita, perwakilan kita dan juga KEMLU
103
untuk memberikan informasi yang berimbang
terhadap individu, masyarakat dan tokoh-tokoh yang
memang sempat memiliki pandangan mendukung
OPM atau mendukung tujuan OPM. Sebenarnya
lebih ke arah mereka kekurangan informasi saja dan
hanya mendengarkan di satu sisi, nah tugas kita
untuk memberi penjelasan di sisi lainnya jadi
berimbang gitu. Jadi kita tidak dapat menutup mata
bahwa kegiatan yang dilakukan OPM ini
mendapatkan simpati dari luar. Oleh karena itu, tugas
kita itu ingin melakukan kontra narasi, melakukan
pendekatan, memberikan informasi yang berimbang
kepada individu-individu maupun kelompok
masyarakat.
Kristin Natalia : untuk kebijakan, berarti diplomasi sudah hal yang
paling tepat ya mas untuk mengatasi konflik ini?
Harditya Suryawanto : sebenarnya diplomasi itu cuma salah satu cara aja,
tentunya akar permasalahannya kan ada di Papua,
nah akar masalah ini lah yang seharusnya
diselesaikan, dikelola dan itu bukan tugas kita
diplomasi, diplomasi itu kan ke luar nah untuk yang
ke dalam ini sebenarnya sudah ada beberapa instansi
misalkan dari sisi kesejahteraan kan banyak instansi
yang terlibat, nah dari sisi keamanan ada polisi ada
TNI. Jadi sebenarnya semua orang akan melakukan
tugasnya masing-masing, diplomasi itu hanya salah
satu cara untuk menangkal yang di lingkungan luar
gitu. Jadi tugas kita memberikan informasi yang
transparan, melakukan pendekatan, memberikan
informasi yang berimbang ke para simpatisan OPM
di luar negeri.
Kristin Natalia : sedikit yang saya tahu, belakangan ini konflik
Papua itu masih terus dibahas di sidang umum PBB
oleh Vanuatu, jadi sebelumnya apa pernah selain
sidang umum PBB september kemarin isu Papua
pernah diangkat juga?
104
Harditya Suryawanto : sebenarnya diangkatnya isu Papua oleh Vanuatu ini
sudah terjadi beberapa tahun terakhir ya, mungkin
sekitar lima tahun atau enam tahun terakhir lah ya
dan yang kemarin itu bukan yang pertama melainkan
sudah beberapa kali dilakukan, saya lupa tepatnya
tapi ini bukan yang pertama. Dan bukan hanya
Vanuatu saja tapi ada juga beberapa negara di Pasifik
Selatan yang sudah mulai mengangkat ya, tapi seperti
yang saya bilang bahwa setiap negara di sidang
umum kan mempunyai hak berbicara ya jadi kita juga
tidak bisa mengontrol negara apa mau ngomong apa.
Tapi di sidang umum PBB tuh kita punya hak untuk
menjawab dan itu selalu kita lakukan, selalu kita
gunakan untuk menjawab tudingan-tudingan di PBB.
Kristin Natalia : sebenarnya menurut mas sendiri kepentingan
Vanuatu membawa isu ini tuh apa sih mas
sebenarnya?
Harditya Suryawanto : sebenarnya itu tadi yang saya bilang, jadi mereka
mencoba menarik perhatian masyarakat
internasional dan mereka berharap dengan membawa
isu ini ke forum PBB, maka isu ini akan mendapatkan
perhatian disana. Mendapatkan perhatian gimana
caranya? Caranya ya masuk list issues lah, jadi list
issues dan dibahas, dibikin komite, dibikin
prosedural, jadi masalah ini akan dibahas. Tapi yang
diinginkan Vanuatu sebenernya tidak tercapai, jadi
setiap dia ngomongin Papua kita bantah lalu selesai,
jadi cuma debat kusir aja karena di PBB akhirnya
tidak ada proses, tidak di follow up isunya. Pertama,
karena satu memang Papua sudah menjadi bagian
dari Indonesia dan yang kedua masalah Papua itu
masalah internal di Indonesia. Jadi di forum PBB itu
kan prinsipnya menghormati kedaulatan ya jadi saya
yakin bahwa tujuan Vanuatu adalah ingin
menginternasionalisasi masalah Papua yang agak
susah sebenarnya ya dan sulit di PBB, karena ya itu
tadi penghormatan kedaulatan, lalu yang kedua kita
sudah jelaskan bahwa masalah Papua adalah masalah
105
internal dalam negeri Indonesia dan Indonesia sudah
melakukan banyak hal mengenai Papua. Jadi tujuan
mereka ya hanya ingin menarik perhatian aja gitu.
Kristin Natalia : untuk langkah yang dilakukan Indonesia itu sendiri,
Indonesia pernah melakukan diplomasi gak sih mas
dengan Vanuatu untuk meredam dukungannya
terhadap isu Papua merdeka?
Harditya Suryawanto : sebenarnya kita mempunyai hubungan diplomatik
dengan Vanuatu ya, kita punya namun memang kita
tidak mempunyai kedutaan disana. Sebenarnya kita
juga sudah melakukan diplomasi bilateral dengan
Vanuatu kita melakukan kerja sama ekonomi, kerja
sama pembangunan kapasitas, dalam beberapa
pelatihan kita sudah mengundang masyarakat,
mahasiswa, pemuda Vanuatu untuk belajar ke
Indonesia nah sebenarnya kita sudah melakukan
pendekatan, sudah melakukan kontak dengan
pemerintahnya..parlemennya untuk menyampaikan
posisi Indonesia tapi memang mereka masih belum
berubah ya artinya ya mungkin mereka masih ingin
terus memperjuangkan Papua di PBB.
Kristin Natalia : apakah ini artinya Indonesia akan terus
berdiplomasi dengan Vanuatu mas?
Harditya Suryawanto : yaa sebenarnya selama isu ini masih akan diangkat
sebenarnya kita juga gak bisa tutup mata dan kita
juga gak bisa kehilangan kesabaran ya, maksudnya
diplomasi ini kan harus konsisten tapi juga saya
yakin bahwa ada batasannya juga, tapi sepanjang
yang saya lihat memang diplomasi kita kepada
Vanuatu ini memang harus terus dilakukan ya tidak
boleh berhenti,tidak boleh menyerah, tidak boleh
mundur karena memang kita punya tantangan dalam
artian jarak jauh, kita jaraknya jauh dari Vanuatu.
Yang kedua, kita juga tidak punya embassy disana
artinya kehadiran kita kan masih sangat kurang
disana. Yang ketiga, tokoh-tokoh OPM kan banyak
106
yang tinggal disana artinya sudah kehadiran kita
kurang, OPM juga ada disana dan artinya mereka
banyak bergaul dengan pemerintahan disana
sementara kita tidak. Jadi sementara yang saya lihat
bahwa diplomasi kita tetap harus konsisten disana.
Kalimatnya adalah, melakukan diplomasi yang
terukur ya jadi kita harus tahu situasi di lapangan,
harus tahu pemainnya siapa saja dan itu yang kita
lakukan.
Kristin Natalia : di sidang umum PBB itu kan duta-duta Indonesia
yang menangani tudingan Vanuatu tersebut, kalau
disini sendiri mas isu konflik Indonesia dengan
Vanuatu ini termasuk urgent tidak ya mas untuk
ditangani disini?
Harditya Suryawanto : sebenernya iya ya, namun karena kita sudah terbiasa
menanganinya satu sudah tau isunya, sudah tahu
kira-kira narasi apa yang akan disampaikan oleh
Vanuatu jadi sebenarnya kita sudah bisa
menjawabnya dengan mudah. Karena tudingannya
kan nomor satu itu pasti pelanggaran HAM, yang
kedua masyarakat Papua itu miskin, atau tidak
berkembang, terjadi ketidakadilan. Narasi yang
disampaikan Vanuatu juga sering kali mengangkat
mengenai masalah ketidaksahan Papua bergabung
dengan Indonesia dan hal-hal tersebut juga
sebenarnya sudah beberapa kali kita jawab jadi
artinya kalau menjadi perhatian kita ya tetap menjadi
perhatian tapi narasi yang sudah kita sampaikan yaa
akan sama gitu, jadi sudah sering kita jawab, artinya
tetap ditangani tapi narasinya juga tidak berbeda jauh
karena jawabannya akan tetap sama.
Kristin Natalia : untuk keanggotaan Indonesia di dewan keamanan
PBB kalau tidak salah akan berakhir pada bulan
desember akhir ya mas?
Harditya Suryawanto : iya, akhir desember ini
107
Kristin Natalia : nantinya apakah Indonesia akan tetap mencalonkan
diri menjadi anggota tidak tetap dewan keamanan
PBB tidak mas?
Harditya Suryawanto : kayanya engga, setelah tahun ini selesai kita belum
akan mencalonkan lagi ya..
Kristin Natalia : kalau boleh tahu alasannya kenapa ya mas?
Harditya Suryawanto : karena begini ya Indonesia kan terpilih di dewan
keamanan PBB itu karena hasil kontes, lalu juga ada
banyak negara yang ingin menjadi anggota dewan
keamanan. Jadi sebenarnya kita mewakili kawasan
Asia, mbak Kristin kan ingat bahwa negara-negara di
kawasan Asia kan ada ratusan ya, artinya untuk
mendapatkan kursi di dewan keamanan itu harus
bersaing dengan negara-negara lain. Nah saat
Indonesia mencalonkan diri menjadi anggota dewan
keamanan sekitar lima tahun lalu kita mulai
kampanye dan kita sudah melobi dengan banyak
negara untuk memastikan bahwa kita bilang ke orang
bahwa kita mau maju menjadi anggota dewan
keamanan PBB pada tahun ini, tahun ini, tahun ini
untuk memastikan giliran, jadi kita tidak bisa selalu
menjadi anggota.
Bayangin negara-negara di Asia ada seratus dan kursi
Asia di dewan keamanan itu cuma dua, jadi
bayangkan seratus negara ini harus giliran, coba
mbak cek apakah India masuk jadi anggota kan
enggak, apakah Jepang masuk menjadi anggota kan
enggak juga jadi artinya selalu bergiliran. Jadi karena
giliran itu setelah ini mungkin kita belum akan
mencalonkan lagi.
Kristin Natalia : saat menjabat menjadi anggota tidak tetap dewan
keamanan PBB, sebenarnya hal yang ingin diraih
Indonesia itu apa sih mas?
108
Harditya Suryawanto :sebenarnya itu bagian dari cita-cita kita dan amanah
konstitusi ya bahwa kita harus turut serta dalam
perdamaian keamanan dunia, dan kita melihat bahwa
posisi Indonesia sebagai anggota keamanan PBB
akan bisa memberikan kontribusi lebih dengan kita
menjadi anggota tidak tetap. Karena apa, karena
banyak konflik di dunia ini yang sebenarnya
Indonesia bisa menawarkan jalan tengah dalam artian
kita negara muslim, kita negara demokrasi muslim
terbesar, kita anggota GNB, dan juga kita senantiasa
menjembatani kepentingan negara-negara
berkembang dalam forum-forum dalam dewan
keamanan ya karena kita sebagai bridge builder lah
ya, jadi kalau mbak Kristin lihat dinamika di dewan
keamanan ini kan ada Amerika, ada Rusia, ada China
jadi ya perlu ada middle power nah itu kita mencoba
menjadi middle power disana.
Kristin Natalia : oke, kalau untuk pro dan kontranya itu ada gak ya
mas saat Indonesia menjabat menjadi anggota dewan
keamanan?
Harditya Suryawanto : kalau saya lihat sih gak ada ya, karena kita banyak
dapat dukungan dari banyak negara ya untuk pro-nya
banyak ya tapi mungkin kalo kontra sih gaada.
Kristin Natalia : kalau komitmen yang dilakukan oleh Indonesia saat
menjadi anggota dewan keamanan itu seperti apa
mas?
Harditya Suryawanto : komitmen kita lebih ke arah melakukan aksi nyata
ya, misalkan di isu perdamaian kita menyampaikan
pledge atau janji untuk meningkatkan jumlah
peacekeeper kita, pasukan penjaga perdamaian, lalu
kita juga di bidang penanggulangan terorisme kita
juga lumayan aktif kita salah satu negara yang
dipandang penanggulangan terorismenya cukup
berhasil. Bukan hanya karena kita mengedepankan
hard approaches tapi kita juga menebarkan soft
approaches ya karena kita juga mengedepankan
109
pendekatan kepada narapidana terorisme dan juga
pendekatan sosiologis ya, jadi sebenarnya banyak hal
yang kita sudah sampaikan di forum dewan
keamanan PBB, komitmen-komitmen kita dan juga
terus mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh
dewan keamanan di isu-isu perdamaian dan
keamanan internasional ya.
Kristin Natalia : kalau isu prioritas yang dibawa itu apa mas?
Harditya Suryawanto : isu prioritas di dewan keamanan itu sebenarnya
kita..nomor satu terkait dengan konflik ya, kita
memastikan bahwa konflik ini bisa terselesaikan
dengan baik, yang kedua adalah isu prioritas kita
terkait penanggulangan terorisme, yang ketiga adalah
kita memastikan peningkatan peran perempuan
dalam penanganan konflik, yang terakhir juga kita
ingin memastikan bahwa organisasi regional seperti
ASEAN juga turut serta dalam pembahasan
perdamaian dan keamanan internasional di forum
PBB.
Kristin Natalia :kurang lebih pengaruh seperti apa sih mas yang
dimiliki oleh Indonesia di dewan keamanan PBB?
Harditya Suryawanto : saya bisa bilang Indonesia ini pengaruhnya cukup
besar, karena kita sudah diakui bukan hanya sebagai
negara muslim demokrasi terbesar tetapi kita juga
diplomasi kita sudah sangat diakui ya, kita salah satu
pendiri ASEAN, pendiri gerakan non-blok, kita
emerging country yang posisinya sangat strategis,
suara kita juga sering didengar, nah di forum PBB
sendiri kita seringkali menjadi fasilitator di PBB kita
menjadi koordinator ketua GNB. Lalu diplomasi-
diplomasi kita memberikan warna tersendiri di PBB
dalam artian selama ini kita selalu memberikan solusi
lalu kita selalu menjembatani kepentingan negara-
negara berkembang terhadap suatu isu jadi tidak
melulu isunya di dominasi oleh negara-negara maju.
110
Nah itu tugas-tugas dan peran yang selama ini kita
jalani.
Kristin Natalia : baik, disini selanjutnya saya akan membahas
mengenai hubungan Indonesia dengan Melanesian
Spearhead Group yang di dalamnya ada negara-
negara Pasifik Selatan. Sebenarnya Indonesia masuk
ke dalam keanggotaan MSG gak ya mas?
Harditya Suryawanto : kita itu seinget saya masih observer ya, karena kita
mengajukan diri menjadi observer dan waktu itu
disetujui ya.
Kristin Natalia : oke, peran Indonesia saat menjadi observer itu
seperti apa mas?
Harditya Suryawanto : kita mencoba menawarkan banyak bantuan ke
MSG, dalam rangka Pasific Building, pembangunan
ekonomi, pembangunan sosial, jadi kita disana tuh
tidak hanya menjadi observer tapi kita menawarkan
banyak bantuan karena kita melihat banyak
kesamaan tantangan yang kita hadapi dengan negara-
negara di MSG, contohnya adalah seperti tadi yang
saya bilang faktor ekonomi, mereka masih negara
yang membangun mempunyai tantangan di bidang
kemiskinan. Jadi isu-isu tersebut yang kami usung di
MSG.
Kristin Natalia : untuk hubungan diplomatik Indonesia dengan
negara-negara MSG itu seperti apa mas?
Harditya Suryawanto :kita punya hubungan diplomatik dengan hampir
semua negara-negara di MSG ya, cuma memang
seperti tadi yang saya sampaikan bahwa kita cuma
mempunyai tiga perwakilan disana ya itu ada di
Papua Nugini, di Fiji, dan Numea ya jadi kita hanya
punya tiga perwakilan, namun kita punya hubungan
diplomatik dengan negara-negara di Pasifik Selatan
ya
111
Kristin Natalia : Masuknya Indonesia menjadi associate member di
MSG itu merupakan suatu usaha Indonesia untuk
membendung isu Papua merdeka yang kerap dibawa
oleh Vanuatu bukan ya mas?
Harditya Suryawanto : oh iya associate member ya kalo gak salah, saya
sudah tidak update lagi. Nah MSG ini kan selama ini
kita lihat juga sering digunakan oleh OPM ya untuk
memperjuangkan isunya disana, dengan masuknya
kita menjadi associate member disana kita berharap
kita mampu, kita diberikan kesempatan, diberikan
forum untuk menjawab tuduhan-tuduhan yang ada.
Kita gamau MSG yang memang grup negaranya
masih banyak yang mempunyai tantangan di bidang
ekonomi ini dijadikan kendaraan politisir isu yang
sebenarnya sudah bisa kita selesaikan. Jadi
sebenarnya kita memanfaatkan posisi kita di MSG
untuk menjadikan forum ini sebagai kesempatan kita
untuk menjelaskan masalah, memberikan informasi,
dan memberikan update.
Kristin Natalia : berarti kurang lebih kepentingan Indonesia masuk
kedalam MSG itu karena isu tersebut mas?
Harditya Suryawanto : iya, jadi sebenarnya ada dua hal. Dari sisi politisnya
kita mencoba membendung OPM, Yang kedua ke
arah pembangunan ya, pembangunan ekonomi,
peningkatan kapasitas. Jadi arahnya lebih kesana.
Kristin Natalia : kalau keterlibatan Indonesia di MSG sendiri itu
pernah menimbulkan konflik antar organisasinya
itu sendiri?
Harditya Suryawanto : Internalnya gitu ya?
Kristin Natalia : Iya, internalnya.
Harditya Suryawanto : sebenarnya seinget saya waktu itu ada perbedaan
pandangan antar anggota MSG apakah satu harus
menerima Indonesia atau tidak, karena kriteria
112
anggota MSG itu kan harus Melanesia ya,
sebenarnya narasi kita waktu itu adalah Indonesia
punya kok etnis Melanesia di Papua, di NTT, di
Maluku, jadi sebenarnya kita memenuhi kriteria. Jadi
itu ya sempat terpecah pandangannya karena
perdebatan akan menerima Indonesia atau tidak.
Kristin Natalia : menurut mas sendiri, strategi yang dilakukan
Indonesia untuk masuk ke dalam MSG itu sudah
tepat dilakukan tidak ya mas untuk membendung isu
OPM?
Harditya Suryawanto : Menurut saya sudah tepat ya, karena istilahnya kita
melakukan diplomasi total ya dimana isu itu dibahas
kita datang kesana untuk menjelaskan isunya,
memberikan kontra narasi, menjelaskan informasi
yang berimbang, jadi sebenarnya menurut saya
diplomasinya sudah tepat ya, apa yang kita lakukan
di kawasan Pasifik Selatan.
113
Lampiran 3
Naskah Wawancara Kristin Natalia dengan Rosita Dewi, Pusat Penelitian Politik,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Narasumber : Dr. Rosita Dewi S.IP, M.A..,
Jabatan : Peneliti Bidang Perkembangan Politik Internasional, Pusat
Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Waktu : Jakarta, 8 Desember 2020
Lokasi : Via Zoom Online Meeting
114
Pertanyaan penelitian untuk data primer penulisan skripsi:
“Analisis Diplomasi Indonesia Terhadap Vanuatu Terkait Isu Papua
Merdeka”
Kristin Natalia : Baik bu, pertanyaan pertama yang ingin saya tanyakan
adalah seperti apa dinamika dari isu papua merdeka saat ini?
Rosita Dewi : iya, kalo mbak Kristin juga mengikuti ya, ini kan isu
bergulir terus gitu ya. Permintaan merdeka dari beberapa
kelompok yang pro merdeka gitu ya, harus tau juga
konstelasinya di sana sebenarnya seperti apa dari gerakan-
gerakan itu. Karena kan ada transformasi gerakan pro papua
merdeka dari masa integrasi sampai sekarang. Jadi, ketika
dulu gerakannya itu masih terbatas dengan gerakan
bersenjata lewat OPM, TPNPB. Nah kalo sekarang setelah
reformasi, perjuangannya bertambah ada perjuangan damai.
Perjuangan yang mengambil jalur damai melalui presidium
dewan papua PDP, pada masa itu pak Theys yang menjadi
ketuanya. Kemudian ini mulai beralih lagi ketika banyak
diaspora di luar negeri, ketika itu perjuangannya menjadi
perjuangan damai sampai ke diplomasi luar negeri.
Jadi prosesnya transform lagi gitu ya jadi tidak hanya
terbatas di dalam Papua dengan gerakan bersenjata dan
perjuangan damai tapi juga mulai di luar gitu gerakan-
gerakannya, jadi dinamikanya itu yang kemudian orang
sering menyebutnya menginternasionalisasi isu papua. Dan
terlebih lagi ketika Juni tahun 2015, ULMWP yang dibawah
Benny Wenda itu masuk menjadi observer di Melanesian
Spearhead Group (MSG). Itu bentuk baru dari perjuangan
Papua merdeka, masuk ke dalam bentuk kerja sama sub-
regional, nah ini baru pertama kali dilakukan oleh ULMWP
walaupun sebelumnya WPNCL itu dibawah pak Okto Mote
yang kemudian memang bergabung juga dengan ULMWP
tapi sebelumnya pada tahun 2013 dan 2014 sudah
mengajukan menjadi anggota MSG belum diterima pada saat
itu, kemudian mereka akhirnya WPNCL, NRFPB, itu
bersatu membentuk ULMWP.
115
Kemudian tahun 2015 mendaftarkan diri dan menjadi
observer di MSG. Nah itu sih titik baliknya sebenarnya
bentuk-bentuk transformasi perjuangan yang ada di Papua,
nah dinamika di Papuanya sendiri kalau mbak juga baca
buku kita yang Papua Road Map itu kan ada empat akar
masalah tuh mbak di Papua kalo menurut kita, jadi ada
persoalan HAM, ada persoalan marginalisasi, ada persoalan
kegagalan pembangunan, ada juga persoalan perbedaan
interpretasi sejarah dan juga status politik. Nah itu yang
kemudian menjadi akar konflik di Papua, nah ini kalo saya
melihatnya karena ini belum diselesaikan maka dinamikanya
masih seperti ini, makanya di Papua sendiri, gejolak-gejolak
untuk permintaan papua merdeka juga masih agak kencang
kemudian juga sekarang permasalahan penolakan otsus jilid
2 itu juga semakin menambah dinamika yang ada di Papua,
begitu sih kurang lebih mbak.
Kristin Natalia : baik bu, berarti empat pilar yang ibu sampaikan tadi
termasuk dalam latar belakang mengapa Papua ingin
memisahkan diri dari Indonesia ya bu?
Rosita Dewi : iya itu sebenarnya akar dari adanya konflik tersebut, karena
kan kalo kita melihat empat persoalan itu ada diskriminasi
dan marginalisasi bahwa orang asli Papua merasa
terpinggirkan dengan keberadaan mereka di Papua,
kemudian adanya perasaan berbeda dengan mayoritas
masyarakat di Indonesia, nah hal-hal seperti itu juga menjadi
salah satu penyebabnya. Kemudian yang kedua adanya
kegagalan pembangunan, ketika masa orde baru lebih ke
security approach dibandingkan human security approach
gitu ya walaupun sekarang dijawab dengan otsus ya karena
yang kita tahu bahwa otsus memprioritaskan pada
pembangunan.
Kekerasan negara dan pelanggaran HAM yang sebenarnya
sering menjadi amunisi dari kelompok-kelompok pro
merdeka itu untuk meminta pemisahan diri terkait dengan
pelanggaran HAM karena kita tahu sejak masa integrasi
kemudian masa orde baru, dibawah kepemimpinan presiden
Soeharto itu pendekatannya cukup kental dengan pendekatan
keamanan, bahkan sampai sekarang pun hal-hal itu masih
berlanjut walaupun intensitasnya berbeda dengan yang dulu
116
tapi hal ini belum berhenti. Makanya ini selalu digunakan
oleh kelompok-kelompok pro merdeka terutama yang ada di
luar negeri bahwa pelanggaran HAM di Papua ini yang
kemudian menjadi alasan mereka untuk meminta pemisahan
diri, dan juga interpretasi sejarah dan status politik karena
kelompok pro merdeka beranggapan bahwa ketika 1
Desember 1961 itu mereka sudah mendeklarasikan
kemerdekaannya tapi ini kan debateable gitu ya bahwa
ketika itu memang sempat dibentuk New Guinea Raad,
dewan Papua. Tapi banyak yang menyatakan bahwa saat itu
tidak ada deklarasi dan juga sebenarnya keberadaan Papua
sebagai bagian dari indonesia sudah diakui oleh PBB, tidak
bisa dianulir, tapi perjuangan mereka makanya tidak
menggunakan deklarasi tersebut melainkan pelanggaran-
pelanggaran HAM yang terjadi di Papua yang kemudian
selalu diangkat di internasional forum untuk menggugat
penanganan Indonesia terhadap Papua. Seperti itu sih mbak.
Kristin Natalia : baik, selanjutnya yang saya ingin tanyakan yaitu terkait
dengan pemerintah, sebenarnya upaya dan pendekatan
seperti apa sih bu yang dilakukan pemerintah kita untuk
menangani konflik di Papua?
Rosita Dewi : kalau untuk saat ini ya, terutama setelah reformasi itu kan
kita tahu otsus gitu ya, pemberian otonomi khusus.
Pemberian otsus itu kan sebenarnya upaya untuk resolusi
konflik, kalau saya melihatnya seperti itu sebagai upaya dari
resolusi konflik, dari situ memang kelihatan gitu mbak, jadi
upaya pemerintah itu ingin mengubah pendekatan yang
sebelumnya kental dengan keamanan. Ada empat prioritas
dari otsus, ada pendidikan, kesehatan, kemudian ekonomi
kerakyatan dan infrastruktur. Nah pemerintah memilih
pendekatan itu, pendekatan pembangunan. Walaupun di
dalam otsus sendiri tidak terbatas hanya persoalan
pembangunan, ada berbagai macam elemen yang ada di
otsus karena sebenarnya otsus cukup komprehensif ya untuk
penanganan konflik, jadi kalau saya melihat saat ini
pemerintah memang lebih mengedepankan aspek
pembangunannya. Tapi memang tidak bisa kita hilangkan
bahwa pendekatan keamanan itu masih ada dan saling
berdampingan gitu, tapi kalau dari kebijakan pemerintah
117
sendiri yang tertulis misalnya seperti inpres pak Jokowi,
mulai dari inpres pak SBY dengan percepatan pembangunan,
kemudian dikeluarkan lagi tentang pembentukan UP4B pada
masanya pak SBY, kemudian pada masa pak Jokowi juga
dikeluarkan lagi tentang percepatan pembangunan itu
memang kelihatan bahwa upaya pemerintah itu seperti itu,
karena menurut pemerintah ketika nanti aspek kesejahteraan
itu terpenuhi maka bisa mengurangi keinginan untuk
merdeka.
Kristin Natalia : upaya-upaya tersebut sebenarnya berpengaruh besar tidak
ya bu untuk organisasi OPM atau gerakan separatisme di
Papua untuk setidaknya menjadi redam?
Rosita Dewi : tidak bisa langsung seperti itu sih mbak sebenarnya, karena
kan OPM ini juga ada yang memang ideologis gitu ya, nah
yang ideologis ini yang agak susah mau kondisinya seperti
apapun ketika mereka ideologis ya susah, namun ada juga
yang pragmatis. Nah ini mereka juga shifting gitu ya mbak,
ada yang berubah ada gerakan yang dari pro merdeka
kemudian shifting mendukung NKRI ada juga yang
sebelumnya mendukung Indonesia kemudian berubah
menjadi pro merdeka, dinamikanya seperti itu ada
pergeseran-pergeseran seperti itu.
Jadi tidak bisa dilihat langsung bahwa ini bisa mengurangi
gerakan pro merdeka di sana, tapi arah perbaikan di sana itu
ada walaupun ada juga yang masih stagnan jadi indikator-
indikatornya harus dilihat lebih detail lagi sih mbak.
Misalnya jika kita lihat dari klaimnya Bappenas bahwa
kemiskinan Papua sejak tahun 2001 setelah otsus sampai
sekarang berkurang misalnya dari 50% menjadi 26% tapi
kan kalau menurut orang asli Papua ya itu yang ada di kota,
ketimpangannya masih cukup besar, itu untuk wilayah yang
banyak orang-orang non Papuanya. Ketika kita melihat lebih
detail lagi, ke kabupaten-kabupaten atau wilayah yang
banyak orang asli Papuanya itu kelihatan sekali bahwa angka
kemiskinan kesejahteraan mereka itu tidak berubah
misalnya, atau malah kadang-kadang lebih buruk. Kalau
misalnya bermain data maka harus dilihat lebih detail lagi
gitu.
118
Kristin Natalia : baik bu, yang selanjutnya ingin saya tanyakan ada tidak sih
bu sebuah organisasi atau negara yang secara terang-
terangan mendukung isu Papua merdeka?
Rosita Dewi : kalau negara yang mendukung, setahu saya cuma satu ya
mbak yaitu Vanuatu karena mereka kan memang mau
mengangkat Melanesian Brotherhood gitu ya, pokoknya
maunya semua komintas melanesian mereka itu merdeka.
Kalo negara-negara yang lain, karena mereka juga
menghormati prinsip non-interference dalam negeri negara
lain ya mereka tidak secara eksplisit mengungkapkan bahwa
mereka mendukung Papua merdeka itu tidak, jadi tetap
mendukung Papua sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia,
karena banyak negara-negara lain yang juga menghadapi
situasi yang sama seperti Indonesia, mereka juga tidak akan
suka ketika mereka diintervensi seperti itu, jadi kalau yang
saya tahu itu ya hanya Vanuatu yang mendukung secara
terbuka gerakan Papua merdeka, kalau negara-negara lain
bahkan yang di Inggris ketika mereka banyak bersuara
banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Papua itu bukan
statement negara.
Jadi tidak resmi negara mendukung pemisahan Papua dari
Indonesia, jadi setahu saya tidak ada negara yang
mendukung selain Vanuatu ya. Bahkan negara-negara
Afrika yang dilobi oleh negara-negara pasifik ini juga
mereka merupakan gerakan yang tidak secara terbuka dari
negara, tapi mereka gerakan NGO-nya atau misalnya PNG
atau Solomon itu pun juga ketika mereka misalnya
mendukung keanggotaan ULMWP sebagai observer di MSG
tapi tidak kemudian ber-statement bahwa negaranya
mendukung gerakan Papua merdeka. Itu setahu saya ya
mbak, mungkin nanti bisa di cek lagi yaa.
Kristin Natalia : baik ibu, tadi di awal-awal ibu sempet menyinggung sedikit
nih mengenai ULMWP, yang ingin saya tanyakan yaitu
ULMWP ini merupakan suatu organisasi atau kelompok dan
apa sih sebenarnya kepentingan dari ULMWP itu sendiri bu?
Rosita Dewi : mungkin mbak Kristin bisa baca bukunya ULMWP ya, jadi
disitu ada visi misi dari ULMWP bahwa mereka ingin
memerdekakan orang Papua yang mana mereka melihat
119
bahwa Indonesia sebagai penjajah, ini dalam persepsinya
ULMWP ya mbak, jadi dalam persepsinya mereka Indonesia
itu sebagai bentuk kolonialisme baru untuk Papua jadi
mereka ingin membebaskan Papua dari itu ya penjajah. Nah
hal itu yang kemudian menjadi agenda mereka, jangan
sampai terjadi lagi pelanggaran HAM misalnya yang mereka
dengungkan, jangan lagi terjadi kemiskinan, itulah yang
menjadi motor dari gerakan ini karena kan mereka juga
banyak diaspora ya banyak yang exile, banyak yang lari dari
Papua karena mereka kalo di Papua pasti ditangkap jika
mendukung gerakan itu, makanya mereka berjuang di luar.
Itu lah yang digaungkan oleh ULMWP menjadi tujuan
mereka memerdekakan orang Papua dari penjajah.
Kristin Natalia : ULMWP ini berbeda dengan OPM ya bu?
Rosita Dewi : beda mbak, jadi kalau dari strukturnya itu OPM kan
gerakan bersenjata tapi dia tidak menjadi bagian dari
ULMWP. Jadi mereka sudah ada terlebih dahulu, jadi awal
pergerakan dari pro Papua merdeka dari situ. Awalnya itu
tahun 1962 kalau saya tidak salah OPM terbentuk, kemudian
mereka terpecah-pecah menjadi beberapa faksi, ada yang
OPM, ada yang tentara revolusi, ada yang kemudian menjadi
TPNPB, itu menjadi sayap gerakan bersenjata. Kemudian
kalo ULMWP ini masih baru, pernah sempat pada tanggal 1
Juli 2019, ULMWP ini mengklaim didukung oleh gerakan
bersenjatanya di Papua ya OPM, TPNPB, dan tentara
revolusi dengan membentuk West Papuan Army, diklaim
oleh ULMWP bahwa itu dibawah mereka. Namun kelompok
dari OPM sendiri mereka menyangkal bahwa tidak pernah
bergabung dengan ULMWP jadi sendiri sendiri
perjuangannya mereka mbak.
Karena mereka kan memang memiliki keinginan yang sama
untuk Papua merdeka, namun cara atau idealisme yang
ditempuh itu berbeda jadi tidak bisa mereka kemudian saling
mewakili. Dan juga sekarang banyak muncul gerakan kaum
muda yang ada di Papua juga, misalnya KNPB, kemudian
aliansi mahasiswa Papua, itu memang banyak yang
mendukung ULMWP, nah ini memang konsep mereka sama
sama menggunakan jalur damai ya berbeda dengan OPM.
jadi harus dilihat sendiri-sendiri begitu mbak mereka bukan
120
bagian dari ULMWP misalnya kaya yang kemarin itu
Egianus Kogoya, yang terjadi konflik di Nduga, kemudian
yang kemarin di Sugapa yang sampai terjadi penembakan
pendeta Yeremia, itu juga OPM nya tidak berada di bawah
ULMWP. Jadi mereka berbeda ya mbak.
Kristin Natalia : iya bu, terkait dengan berita baru baru ini bu, yang Benny
Wenda..
Rosita Dewi : Deklarasi?
Kristin Natalia : iyaa, deklarasi itu. Jadi dengan melihat keadaan sekarang
potensi Papua memisahkan diri itu sebenarnya ada tidak ya
bu? Dan apa yang akan terjadi setelahnya jika hal tersebut
benar terjadi?
Rosita Dewi : Deklarasi Benny Wenda kemaren itu menurut saya itu tidak
akan bergaung cukup besar gitu ya, mbak coba cari juga di
youtube kalau saya gak salah, ada juga pernyataan dari Pak
Okta Mote dia juga anggota dari ULMWP yang menyatakan
bahwa sepihak itu yang dilakukan oleh Benny Wenda jadi
agak susah ini dukungannya juga masih debatable apakah
ketika Benny Wenda mendeklarasikan pendirian
pemerintahan darurat Papua, kemudian akan solid. Karena
ternyata di tubuhnya ULMWP aja tidak solid gitu. Memang
diawal pembentukannya, beberapa organisasi setuju untuk
berkumpul ke dalam satu organisasi yaitu ULMWP ya, tapi
dalam dinamikanya ini mulai ada faksi-faksi atau
perpecahan jadi ini sendiri coba mbak cari di youtobe atau
berita tentang pernyataannya pak Oktavianus Mote nah itu
menunjukkan betapa tidak solidnya ULMWP.
Sebenarnya, deklarasi ini juga bukan baru dan pertama sih
mbak, kalo yang pertama deklarasi memang dari ULMWP
tapi sebelumnya di Papua pernah ada yang mendeklarasikan
juga negara federal gitu ya, NFPB yaitu Negara Federal
Papua Barat itu dideklarasikan pada kongres Papua 3 yang
dilakukan oleh dewan adat Papua, tapi itu ternyata bukan
dewan adat Papua secara keseluruhan jadi itu hanya yang
berada dibawah Pak Forkorus Yaboisembut nah ketika itu
Pak Forkorus masih menjabat sebagai ketua dewan adat
Papua, dan dia pada saat itu mengklaim bahwa sudah
mendeklarasikan negara federal Papua Barat jadi pada saat
121
itu sudah pernah ada deklarasi namun kemudian beliau
ditangkap dan sekarang NFPB ini menjadi bagian dari
ULMWP.
Cuma di NFPB sendiri juga tidak solid, bahwa ada yang
memang mendukung ULMWP tapi ada yang tetap maunya
sebagai NFPB. “oh kita sebagai negara federal aja, nanti jadi
bagian dari indonesia” kalo negara federal mereka
menginginkan bentuknya seperti Amerika gitu mbak
bentuknya jadi negara bagian. Perbedaan seperti itu yang
kemudian menimbulkan perpecahan di tubuhnya ULMWP
itu sendiri, nah untuk mendapatkan dukungan yang besar itu
masih agak sulit sih mbak, karena yang kita tahu di
Indonesia, di Papuanya sendiri gerakannya juga tidak satu
lini dengan yang ada di Papua dengan gerakan bersenjata dan
lain sebagainya. Mereka yang tidak satu komando ini yang
kemudian agak sulit untuk bisa bergaung dengan luas.
Kristin Natalia : baik, pertanyaan selanjutnya apakah menurut ibu kebijakan
dan pendekatan yang dilakukan pemerintah terhadap orang-
orang di Papua sudah tepat dilakukan atau tidak ya bu?
Rosita Dewi : kalau dikatakan tepat atau tidak, mungkin belum ya mbak
ya, belum bisa menyentuh hati orang asli Papua. Terkait juga
dengan satu, catatan tentang implementasi otsus itu masih
perlu benar-benar perlu direvisi. Mana yang sudah
dilakukan, mana yang belum. Karena yang ada dalam
otonomi khusus itu tidak hanya persoalan pembangunan
kesejahteraan dan pembangunan. Satu, catatan dari
pembangunan dan kesejahteraan juga masih debatable gitu
ya apakah pembangunannya itu berhasil mensejahterakan
orang Papua atau tidak. Kalau pencapaiannya ke arah yang
lebih baik memang ada, tapi ada juga yang tidak. Jadi ada
upaya kesitu. Kedua, terkait dengan UU Otsus ini juga
mengatur tentang pelanggaran HAM, pelanggaran HAM ini
bagaimana apakah pemerintah sudah menyelesaikan apa
belum. Kemarin, ketika masa awal pak Jokowi itu memang
dibentuk tim khusus untuk investigasi persoalan pelanggaran
HAM ya.
Dan kemudian keinginan orang asli Papua harus bisa
diinterpretasikan pemerintah dan diimplementasikan dalam
122
bentuk kebijakan gitu, jangan kemudian semuanya itu
dengan ukuran Jakarta misalnya apa yang menurut kita baik
belum tentu mereka butuh kurang lebih seperti itu. Jadi hal-
hal seperti ini yang harus dikomunikasikan nah persoalannya
ini yang belum terjadi ya mbak ya apa yang diinginkan oleh
orang Papua secara luas itu bukan hanya keinginan untuk
merdeka, itu kan enggak juga. Misalnya keinginan
pembentukan pembangunan mereka itu seperti apa,
kemudian apakah memang perlu untuk pengiriman pasukan
ketika terjadi konflik di kampung ada gerakan separatis,
dikirim lagi pasukan non organic misalnya, apakah aparat
keamanan yang ada di Papua baik aparat polisi atau TNI
yang memang organic di Papua itu tidak cukup.
Nah hal-hal seperti ini yang tidak dikomunikasikan dengan
baik, akhirnya masih terjadi reproduksi kekerasan, kemudian
pembangunan yang tidak tepat sasaran. Misalnya seperti
pemerintah membangun pasar-pasar yang besar di Papua
namun ternyata mama-mama di Papua tidak mau
menggunakannya, karena tidak mudah memindahkan mama-
mama Papua ini untuk mau berdagang di pasar yang besar.
Secara ekonomi, banyak yang meneliti kalau mahal dan
sebagainya tapi ini juga harus dilihat dari aspek budayanya
gitu bahwa bagaimana sih menurut kultur mereka apa yang
terjadi kalau mama-mama tersebut berjualan di pasar,
apakah ada relasi sosial budaya yang sebenarnya terbentuk
disitu yang serta merta tidak bisa langsung dipindahkan ke
gedung yang megah itu. Pendekatan pembangunan berbasis
budaya memang belum dilaksanakan, walaupun jargon dari
pemerintah yaitu pembangunan berbasis adat, tapi itu belum
terlaksana memang ada yang baik tapi ada juga yang benar-
benar belum menyentuh persoalan tadi ya itu mengapa
persoalan di Papua itu tidak kunjung usai.
Kristin Natalia : baik bu, selanjutnya yang ingin saya tanyakan yaitu yang
saya tahu bahwa Indonesia kan masuk ke dalam MSG. Nah
peran Indonesia di dalam organisasi itu seperti apa ya bu?
Rosita Dewi : jadi kalau melihat dari kronologinya, tahun 2011 Inodnesia
baru menjadi observer di MSG, kemudian tahun 2015
Indonesia baru menjadi Associate Member itu pun
bersamaan dengan ULMWP masuk sebagai observer. Jadi
123
pada saat itu memang ada lobi-lobi politik yang dilakukan
oleh pemerintah Indonesia ketika itu misalnya pada tahun
2015 presiden Jokowi mengunjungi PNG, pak Luhut datang
ke Fiji, kemudian ibu Retno Marsudi itu datang ke PNG, Fiji,
dan Solomon Island kalau saya tidak salah. Jadi itu yang
kemudian dilakukan oleh untuk tetap bisa mendapatkan
posisi yang berbeda dengan ULMWP untuk di MSG.
Memang tidak secara langsung melakukan diplomasi dengan
Vanuatu pada saat itu, tapi bagaimana itu Fiji, PNG itu ikut
mempengaruhi pengambilan keputusan di MSG itu yang
penting. Dan pada tahun 2015 itu terjadi badai di pasifik
mbak, nah itu Indonesia mengirimkan bantuan kemanusiaan
kepada Vanuatu kalau tidak salah sekitar 2 juta dollar
bantuan kemanusiaan ke Vanuatu. Nah itu yang saya pikir
kemudian mempengaruhi kenapa terjadi konsensus
pengambilan keputusan Indonesia kemudian diterima
menjadi associate member tapi Indonesia sampai sekarang
pun belum menjadi full member ya mbak, tapi at least
Indonesia tidak lagi berposisi sebagai observer karena
ULMWP berposisi sebagai observer pada saat itu, jadi ada
posisi yang berbeda disitu levelnya antara observer dan
associate member.
Kalau observer hanya boleh mengamati dia tidak boleh ikut
dalam proses pengambilan keputusan, kalau associate
member boleh mengikuti seluruh bentuk meeting dari MSG
dan juga bisa mengajukan aspirasi di pertemuan-pertemuan
yang dilakukan di MSG. Jadi ini bargainingnya Indonesia di
MSG juga ada, kalau hanya sebagai pengamat kan tidak
banyak yang dilakukan Cuma ya ini ULMWP sampai
sekarang juga masih mengajukan untuk menjadi full member
walaupun pada tahun 2016 ditolak. Hal-hal yang seperti ini
memang dilakukan, tapi yang kontinuitas untuk Indonesia ke
Pasifik masih belum terlihat benar ya mbak, kadang-kadang
malah orang menyebutnya menyuap juga gitu diplomasinya
“bribery” tapi itu kan perspektifnya beda-beda ya tergantung
yang melihat. Soft Diplomacy yang dilakukan Indonesia
dengan Vanuatu bentuknya ya itu dengan bantuan
kemanusiaan, yang memang banyak dilakukan itu ke Fiji dan
124
PNG karena itu cukup signifikan bagaimana mereka
semakin tidak mendukung gerakan pro merdeka di MSG.
Kristin Natalia : menurut ibu, keputusan Indonesia untuk terlibat di MSG
sudah tepat dilakukan tidak ya bu?
Rosita Dewi : kalau menurut saya memang perlu ya mbak, karena kalau
dulu kerja sama Indonesia dengan negara-negara Pasifik
tidak banyak dilakukan karena anggapan bahwa “oh
negaranya kecil kok” bahasa kasarnya ya sampai bilang “itu
juga kena ombak juga ilang pulaunya” hal hal seperti itu
yang tidak bisa lagi dilakukan, minimal kalo mau
menghadapi yang Papua itu ya ini, karena negara-negara di
Pasifik ini mereka melobi yang ada di Karibia, yang ada di
Afrika, untuk perjuangan Papua merdeka, dan juga ke Uni
Eropa.
Dan sebenarnya Indonesia sudah bagus di MSG namun
harus lebih aktif lagi. Kemudian juga di Pasific Island Forum
(PIF) karena di situ ada Australia dan New Zealand, kalo di
MSG kan Australia dan New Zealand kan tidak ada ya mbak
jadi Indonesia bisa berperan lebih di situ. Jadi saya pikir
Indonesia harus lebih aktif lagi baik kerja sama bilateral
maupun juga dengan sub-regional di Pasifik. Dan juga harus
mulai approach dengan Vanuatu, karena kan kemaren saya
dengar sudah ada rencana untuk Vanuatu membuka
perwakilan di Jakarta, namun saya tidak tahu realisasinya
seperti apa. Jadi approach-nya harus lebih ya, dan juga
engagement dengan non-state actors gitu ya mbak misalnya
dengan NGO dan LSM yang ada di sana, kemudian
akademisi-akademisi juga kemudian bagaimana itu tidak
hanya first track diplomacy tidak hanya G to G, tetapi juga P
to P maupun yang lainnya jadi multi layer diplomacy-nya
harus berjalan terutama untuk Vanuatu.
Karena Vanuatu ini agak susah karena dari konstitusinya dia
sendiri kan sejak merdeka dia menginginkan Melanesian
Brotherhood, independence of melanesian bahwa semua
yang melanesia itu merdeka ya menurut mereka, makanya
kan ketika MSG juga kenapa tidak hanya ada keanggotaan
negara kaya FLNKS yang dari New Caledonia itu partai
politik oposisi dan dia menjadi full member dari MSG.
125
makanya ketika ULMWP menjadi anggota itu bukan
menjadi barang aneh untuk MSG karena kan disitu ada juga
keanggotaan non negara jadi ini juga yang kemudian
sebenarnya Vanuatu bergeraknya ke situ jadi ya approach ke
Vanuatunya effortnya harus lebih gitu ya kalau memang mau
isu Papua merdeka ini tidak selalu dibawa Vanuatu ke forum
internasional dari tahun 2016 sampai 2020 ini kan Vanuatu
selalu membawa forum itu ke PBB di setiap sidang umum
PBB di setiap UNHR dia selalu membawa isu pelanggaran
HAM Papua ke forum internasional. Mereka berharap agar
ada special commision atau komisi khusus untuk mengamati
pelanggaran HAM di Papua. Jadi kalau ingin hubungan
dengan Vanuatunya juga membaik ya memang butuh effort
yang itu, jangan hit and run gitu model diplomacynya, harus
aktif, berkelanjutan, tidak sporadiks. Harus seperti itu sih
mbak menurut saya.
Kristin Natalia : mengenai kebijakan luar negeri Indonesia, saat ini arahnya
seperti apa ya bu?
Rosita Dewi : sebenarnya masih sama sih mbak, kita masih memakai
prinsip bebas aktif itu ya, bagaimana kita mau ikut juga di
Indo Pasifik dan saya melihatnya kita masih Upholding
untuk yang bebas aktif itu. Makanya kita membatasi untuk
tidak terlalu intervensi ke domestik negara-negara lain,
misalnya dengan ASEAN karena kan ASEAN paling dekat
nih bagaimana Indonesia berperan di ASEAN. Prinsip non
interference itu untuk negara-negara ASEAN ini kan cukup
dijunjung tinggi gitu ya, makanya walaupun ASEAN
mempromosikan democracy and human rights tapi
bagaimana itu kemudian eee misalnya seperti di Myanmar
itu ada kasus rohingya, kemudian di Filipina ada War on
Drugs, itu juga mengakibatkan apa..questionable yaa
pendekatan human rights-nya.
Jadi masih seperti itu sih mbak saya melihatnya, masih aktif
untuk perdagangan dan sebagainya tapi untuk kebijakan
luar negerinya sendiri masih bebas aktif. Dan sekarang
memang kalau dulu melihatnya hanya ASEAN dan Uni
Eropa gitu ya, sekarang sejak masanya pak Jokowi ini..ya
sebenarnya saat era pak SBY sudah mulai kelihatan bahwa
mereka mulai bergerak ke Pasifik Selatan ini. Ya sekarang
126
sudah semakin terlihat dan lebih aktif untuk politik luar
negeri Indonesia di Pasifik ini. Kalau saya melihatnya seperti
itu sih mbak.
Kristin Natalia : terkait dengan tudingan Vanuatu, sebenarnya Indonesia
pernah menyatakan nota protes atau tidak ya bu?
Rosita Dewi : setahu saya sih enggak ya mbak yaa, karena cuma beberapa
kali di pertemuan PBB aja mereka menggunakan hak
jawabnya gitu tapi kalau untuk nota protes sih sepertinya
tidak pernah dilayangkan secara tertulis gitu dengan
Vanuatu.
Kristin Natalia : baik bu, kalau untuk kawasan Pasifik Selatan itu dinamika
politiknya seperti apa ya bu?
Rosita Dewi : ya itu sih mbak, ketergantungan mereka terhadap Australia
dan New Zealand itu cukup tinggi karena untuk bantuan
sudah mulai ke China dan sebenarnya juga Jepang itu yang
paling tinggi ya ketergantungan mereka, bantuan Jepang
juga cukup tinggi dibandingkan dengan China dan Taiwan,
proyek-proyek Jepang yang ada di negara-negara Pasifik
sekarang mulai banyak. Dan juga ya itu tadi sih mbak,
mereka ketergantungan banyak dan internasional donornya
lumayan besar, jadi itu sih makanya mereka juga upholding
untuk keterbukaan tapi dari dinamika masing-masing di
dalam negerinya sendiri ya itu memang masih fragile ya
mbak untuk mereka misalnya untuk PNG dengan persoalan
Bougenville-nya kemudian New Caledonia dengan FLNKS-
nya, Fiji dari domestiknya.
Karena mereka kan negara-negara baru merdeka ya mbak
ya jadi saya pikir ya dinamikanya seperti itu, bagaimana
mereka ikut di forum PIF, kemudian Fiji mendirikan PIDF,
kemudian juga dengan yang MSG ini, nah mereka
ketergantungannya disitu. Dengan autralia dan New Zealand
ya hubungan mereka memang cukup dekat.
Kristin Natalia : baik bu, untuk pertanyaan yang terakhir jika nantinya
diplomasi dan rangkaian kerja sama yang telah dilakukan
Indonesia ke Vanutau ini sudah dilakukan namun ke
depannya Vanuatu akan tetap menuding kita, apakah
127
diplomasi ini akan tetap dilakukan atau ada cara lain menurut
ibu sendiri?
Rosita Dewi : kalau menurut saya ya ini tetap penting untuk tetap
dilakukan ya walaupun nanti Vanuatu sendiri masih tetap
seperti itu karena memang agak sulit kalau itu sudah menjadi
visi dan misi negaranya juga jadi susah gitu ya, karena ini
juga akan mempengaruhi secara region gitu ya, ketika
Vanuatu relasinya dengan Vanuatu ketika
ketergantungannya mereka misalnya dengan Indonesia juga
semakin besar ya itu juga pasti akan berpengaruh walaupun
apa namanya..pengaruhnya mungkin tidak langsung begitu
ya mbak jadi tidak langsung bisa mempengaruhi bahan
kebijakan Vanuatu terhadap Papua, misalnya begitu.
Tapi bagaimana itu juga bisa membalance informasi yang
ada di Vanuatu sebenarnya kondisi Papua itu seperti apa itu
juga pasti akan berdampak gitu walaupun mungkin tidak
akan berdampak langsung ketika di forum internasional
Vanuatu tidak membawa isu itu, tapi bagaimana kita bisa
meng-approach ketika itu Vanuatu itu juga apa namanyaa
kita masih bisa melokalisir gitu ya, tapi ketika itu
merembetnya ke nagara-negara yang lainnya, ketika
Vanuatu lebih pro aktif lagi itu yang kita bisa semakin
kesulitan disitu karena kan kemarin terbukti juga dengan
bantuan kita, dengan adanya pendekatan kita, ternyata di
MSG Indonesia juga bisa diterima menjadi associate
member jadi hal-hal seperti ini saya pikir harus tetap
dilakukan walaupun tidak bisa dengan cepat mengubah
kebijakan yang ada di Vanuatu.
Karena saya pikir, ketergantungan mereka juga cukup
penting jadi misalnya Indonesia bisa berperan lebih di MSG
terhadap negara Vanuatu, Fiji, PNG, Solomon, itu pasti akan
berdampak pastinya apalagi kalau nanti misalnya Indonesia
sampai bisa menjadi full member karena sampai saat ini kan
Indonesia belum bisa diterima menjadi full member.
At least gerakan mereka dalam mendukung ULMWP juga
akan semakin terkikis misalnya seperti itu, karena kan kalau
kita bisa mendekati tokoh-tokoh gereja, tokoh-tokoh LSM di
sana itu karena gereja itu kan memiliki peranan yang cukup
128
vital di sana gitu mbak, jadi saya pikir dengan seperti itu.
Makanya tadi saya bilang jangan hanya G to G, tapi ini harus
multi layer diplomacy. Jadi multi track diplomacy harus
tetap berjalan jadi saya pikir akan tetap ada pengaruhnya sih
mbak karena sampai saat ini kita belum sampai ke tahap itu
ya, jadi agak sulit juga untuk melihat kedepannya gitu.
129
Lampiran 4
Naskah Wawancara Kristin Natalia dengan Adriana Elisabeth, Koordinator
Jaringan Damai Papua (JDP)
Narasumber : Dr. Adriana Elisabeth M.Soc.Sc
Jabatan : Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP)
Waktu : Jakarta, 16 Juli 2021
Lokasi : Via Zoom Online Meeting
130
Pertanyaan penelitian untuk data primer penulisan skripsi:
“Analisis Diplomasi Indonesia Terhadap Vanuatu Terkait Isu Papua
Merdeka”
Kristin Natalia :baik, jadi pertanyaan pertama yang ingin saya tanyakan
mengenai hubungan antara indonesia dan vanuatu. Sebelum
Vanuatu menyatakan bahwa negara tersebut mendukung
kemerdekaan papua, sebenernya seperti apa hubungan
diplomatik antara Indonesia dengan Vanuatu ini?
Adriana Elisabeth :baik, eee saya mulai dulu dengan ini ya, pernyataan bahwa
Vanuatu mendukung Papua merdeka ya. Karena mesti juga
tau mengapa Vanuatu bersikap seperti ini. Ada sejarah
bahwa Vanuatu itu kan memang kemudian disebut sebagai
bagian dari rumpun Melanesia ya itu disebut oleh penjajah
lah bukan oleh Vanuatu sendiri ya, kan dia pernah dijajah
oleh eee Spanyol kemudian oleh Perancis kemudian oleh
Inggris nah jadi dia dimasukkan..eee sorry..jadi negara itu
dimasukkan sebagai bagian dari rumpun Melanesia.
Nah ketika kemudian Vanuatu merdeka pada tahun 80 itu,
eee...siapa perdana menteri pertamanya itu Walter Lini itu
menyatakan bahwa Vanuatu itu belum betul betul merdeka
kalau masih ada orang-orang yang ber-ras Melanesia itu
masih hidup dalam penjajahan. Gitu ya, itu kan filosofinya
tuh. Artinya, apakah salah dia punya filosofi seperti itu?
Menurut saya kita perlu perhatikan sejarah itu kan memang
bukan sesuatu yang selesai gitu, sejarah itu kan sesuatu yang
bisa diinterpretasi, jadi penggalan-penggalan peristiwa yang
bisa diinterpretasi.
Nah kemudian keinginan itu dimasukkan lah ke dalam
konstitusi negara Vanuatu kan...bahwa itu ditetapkan
sebagai state constitution bahwa Vanuatu itu turut berjuang
untuk membebaskan orang-orang Melanesia yang masih
hidup dalam ketertindasan dan sebagainya. Itu landasannya
mengapa kemudian suara-suaranya itu seringkali
bertentangan dengan eee.. apaa.. sikap pemerintah Indonesia
yang menegaskan Bahwa Papua itu adalah bagian resmi dari
Indonesia yaa..jadi itu. Kalau kemudian ada kesan atau apa
131
namanya statement-statement Vanuatu mendukung gerakan
Papua merdeka kita harus melihat dari sejarahnya itu.
Karena tidak seluruh pemerintahan di Vanuatu juga suaranya
sama, sevokal itu, gitu yaa. Ada kadang-kadang mereka
biasa aja, nah kalau tidak salah Indonesia kan punya
hubungan diplomatik..ehh bukan..sorry.. Hubungan dengan
Vanuatu itu sudah sekitar 25 tahun ya, pada waktu masa
presiden SBY, itu menlu Marty Natalegawa kan pernah
menggagas ide untuk membuat hubungan diplomatik resmi
Indonesia dengan Vanuatu, tapi rupanya tidak berhasil. Gitu
yaa, saya gatau persis kenapa tapi mungkin Kristin perlu
Wawancara dengan pak Marty Natalegawa...dulu di
Indonesia tuh untuk mempunyai hubungan diplomatik..
karena bagaimanapun situasi konflik ini kan harus
diselesaikan ya, nah hubungan diplomatik kita
menjembatani gitu ada hal-hal yang.. apa..kita kurang suka
dengan Vanuatu atau Vanuatu juga merasa kurang enak
dengan Indonesia dan sebagainya gitu.
Nah itu yang perlu kita lihat. Jadi, kalau berbasis kepada
konstitusi negaranya saya sebenernya tidak heran kalau
Vanuatu selalu bersuara seperti itu, kalau kita banding apa
yang terjadi di Papua.. misalnya kita banding gausah terlalu
jauh dengan PNG saja, Papua Indonesia itu jauh lebih maju
ya dari segi Infrastruktur dari segi eee.. modernisasi dan
sebagainya cuman memang kalau bicara soal konflik itu
ceritanya berbeda ya, berbeda karna masih ada isu-isu
sejarah yang belum selesai dalam interpretasi sebagian
masyarakat Papua, kemudian juga ada kasus-kasus
pelanggaran HAM kita tau banyak sekali karna kita harus
belajar juga tentang sejarah kekerasan di Papua, ada operasi
militer dan sebagai-sebagainya.
Tapi overall, kalo orang-orang dari Pasifik atau Pasifik
Selatan hadir saja ke Papua, mereka melihat perbedaannya
dengan PNG saja, Indonesia tuh.. Papua Indonesia tuh lebih
maju. Tapi sekali lagi, visit itu tidak bisa menutupi bahwa
ada sejarah kelam gitu ya di Papua terkait dengan
pelanggaran HAM.
132
Nah inilah isu-isu yang sangat universal yang bisa dibawa
oleh kelompok kelompok pro merdeka di dalam forum-
forum internasional. Nah, ketika..eee..orang-orang
mendengar berita-berita atau laporan-laporan atau pidato-
pidato di dalam forum internasional tentang kondisi di Papua,
walaupun yang menyuarakan itu adalah non state actor nah
vanuatu kemudian..eee.. menangkap pesannya bahwa "ooh
masih ada nih orang Melanesia yang hidupnya tidak
sejahtera, diperlakukan tidak adil, bahkan diperlakukan
diskriminatif" seperti itu ya, jadi membacanya mungkin
harus lebih cool gitu ya karena kalau kita terprovokasi juga
jadi nanti beritanya sama lagi sama lagi gitu kalau menurut
saya. Artinya we have to really know the story itu seperti apa,
historynya bagaimana dan sebagainya gitu. Nah sekali lagi,
menurut saya hubungan Indonesia dengan Vanuatu itu up
and down, tidak selalu juga dingin, kadang-kadang biasa
kadang-kadang juga baik.
Itu kan tergantung siapa yang memimpin pada waktu itu. But
again, if we..apa..lihat kepada konstitusi negaranya memang
stance-nya atau sikapnya memang seperti itu. Selama
mereka mendengar masih ada kejadian-kejadian yang
menimpa orang-orang Papua yang diasumsikan adalah ras
Melanesia ya mereka pasti akan bersuara seperti apa yang
tertulis di konstitusi mereka. Seperti kita juga kan, Indonesia
ikut berperan dalam perdamaian dunia kan itu selalu suara
kita. Kenapa kita membela..bukan membela sih..membantu
isu-isu kemanusiaan yang terkait dengan dunia, kan itu
bagian yang kita bilang bahwa itu adalah komitmen
Indonesia untuk turut mendukung perdamaian dunia, kaya
gitu ya kan ada dalam konstitusi negara kita gitu.
Kristin Natalia :kalau di berita-berita kan bu, selalu headlinenya itu
intervensi negara Vanuatu ke Indonesia, kalau menurut ibu
sendiri, ibu setuju tidak kalau tadi kan sudah dijelaskan
bahwa itu memang bagian dari konstitusi negara
mereka..eee..apakah memang tindakan Vanuatu ini bisa
disebut sebagai intervensi ke negara kita? Kalau menurut ibu
bagaimana?
133
Adriana Elisabeth :ya begini, tergantung siapa yang berbicara ya kalau suara
resmi pemerintah Indonesia bisa mengatakan itu intervensi
ya, karena intervensi itu tidak harus dalam bentuk fisik, tapi
komentar-komentar yang bertentangan dengan kebijakan
pemerintah tentang apa yang sedang coba diperbaiki di
Papua oleh pemerintah itu bisa dianggap intervensi. Tapi
kalau melihat dari perspektif Vanuatu, itu yang mereka harus
suarakan karena itu udah bagian dari sesuatu yang mereka
harus perjuangkan.
Nah memang kita gak tahu sampai kapan nih kasus ini
selesai kalo misalnya one day Papua itu lebih baik tidak ada
lagi soal kekerasan, tidak ada lagi soal ketidakadilan,
masyarakat Papua betul-betul sejahtera we'll see apakah
Vanuatu masih akan bersuara sama karena suaranya itu
berbasis kepada konstitusinya yang dia juga tidak pernah
melakukan intervensi dalam arti fisik kan? Tidak pernah ada
kan kirim pasukan atau kirim siapa nah itu kan gaada, tapi
pemerintah Indonesia membaca intervensi itu dari suara-
suara dan pernyataan-pernyataan yang disampaikan di forum
internasional. Karena itu juga sebagai simbol, bahwa ada
esensi bahwa Vanuatu ingin ikut campur urusan Indonesia.
Tapi bahwa Vanuatu mengatakan realita dari informasi yang
mereka dapat kita gabisa sangkal
Kristin Natalia :hmm..begitu ya bu..
Adriana Elisabeth :Betul, nah pemerintah Indonesia juga ada kelemahan ya
misalnya pada..saya lupa tahun berapa tuh..waktu itu pak
wapres pak Jusuf Kalla kan bicara di forum PBB beliau
menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran HAM di Indonesia,
maksudnya untuk apa ya supaya negara-negara tuh tidak
intervensi tidak campur tangan tapi itu menyangkal realita,
karena ada pelanggaran HAM di Papua. Presiden Jokowi
juga menyampaikan kan diawal periode beliau kan pak
Jokowi menjanjikan bahkan akan menyelesaikan seluruh
persoalan HAM di Indonesia termasuk di Papua nah itu
sudah bertentangan tuh statementnya.
Nah sekali lagi, jama digital seperti ini informasi mudah
didapat, diakses, dan sebagainya setiap peristiwa mudah
sekali..apa namanya.. di-share, di-publish, di-blash gitu kita
134
gabisa menyangkal realita memang yang terjadi seperti
itu..gitu ya..nah, again kalo kita bisa menyelesaikan
persoalan HAM di Papua ya itu cara kita mengatakan kepada
Vanuatu "eh kamu gak bener ngomong begitu, we do
something yang konkrit kok untuk menyelesaikan persoalan"
Nah hal-hal seperti itu yang sering menjadi miss komunikasi
menurut saya, nah terkait ini juga menurut saya ada catatan
ya bahwa mungkin strategi diplomasi Indonesia harus lebih
eksplanatif..lebih menjelaskan bukan menyangkal.
Kalo menyangkal orang ga gampang percaya "ah gak
mungkin gaada pelanggaran HAM" seperti itu ya, karena
yang bermain di para diplomasi ini di masa masa kesini ini
lebih banyak kan non state actors yang juga penting didengar
suaranya, bukan hanya state..gitu ya.. jadi kalau dibilang
tidak ada ya orang gak percaya..kan gitu.. bagaimana itu
dikemas baik misalnya gini, intensionnya kan pemerintah
juga ingin selesaikan persoalan HAM kan? Honestly ingin
melakukan itu, salah satu perwujudannya misalnya dengan
membentuk tim investigasi HAM khusus untuk Papua
diawal ya, di periode pertama pak Jokowi..kemudian waktu
kasus penembakan pendeta Yeremia (zanambani) dibentuk
tim investigasi ya, fact finding waktu itu.
Itu kan juga bentuk-bentuk kepedulian concern dan
sebagainya bahwa itu tidak terselesaikan itu persoalan lain,
itu bisa dibawa sebagai substansi diplomasi bahwa kita gak
main-main nih kalaupun belum selesai ya it's another
matters that mungkin mesti diselesaikan. tapi misalnya
aktivis-aktivis HAM kita itu sering bersuara di Jenewa,
misalnya seperti itu. Nah walaupun Vanuatu tidak ada di
forum internasional yang sama tapi kan mereka mendengar
berita-berita itu kan. Nah ketika dia mendapatkan
kesempatan untuk menyampaikan respons terhadap situasi
yang terjadi di negara-negara Melanesia, atau yang ada
orang-orang Melanesia ya dia tetap akan bersuara sama.
Nah at the same time kita juga responnya sama untuk
mengatakan..eee..gimana yaa..untuk tidak menyangkal
tetapi juga tidak meng-iyakan omongan Vanuatu kemudian
kita mengirim diplomat muda, untuk
135
menjawab..merespon..misalnya eee.. tudingan Vanuatu, itu
juga satu kesan bahwa mereka menyepelekan. Bayangkan,
seorang perdana menteri masa dibales oleh junior diplomat.
Itu kan gak imbang, menurut saya itu salah satu tanda bahwa
Indonesia tidak nganggep gitu gak me-reckon lah gitu..tapi
itu sekali lagi tidak juga menyelesaikan persoalan yang
memang ada pelanggaran HAM walaupun kirim diplomat
muda dan sebagainya the problem is disinii bukan di
Vanuatu menurut saya, problem-nya ada di kita jadi kita
menyangkal dengan cara itu pun gak menyelesaikan
persoalan. Pesan bahwa negara Vanuatu itu direndahkan
karena yang merespon adalah diplomat muda, itu juga
mereka buktinya gak berhenti tuh bersuara terus gitu ya,
artinya the problem remains. Jadi tidak bisa dengan strategi
yang seperti itu lagi, nanti untuk catatan kritiknya mungkin
eee... Kristin bisa tulis seperti itu ya dengan bahasamu lah.
Kristin Natalia :iya, baik bu. Berarti mungkin ada sesuatu yang harus diubah
gitu ya bu.. karena kan setau saya sudah enam tahun terakhir
Vanuatu di PBB sama.. mengangkat isu Papua.. Papua..terus
tapi betul belum ada perubahan. Disitu saya juga eee..pingin
mengulik sedikit kenapa kita tak bisa menyelesaikan hal
seperti ini gitu..jadi untuk langkah Indonesia sebenernya
diplomasi sudah dilakukan atau belum ya bu terhadap
Vanuatu ini?
Adriana Elisabeth :ya begini, pertama ya untuk menyelesaikan atau untuk
memperbaiki strategi diplomasi kita, kita harus selesaikan
persoalan di Papua terutama terkait dengan pelanggaran
HAM ya, ketidakadilan orang Papua, kekerasan terhadap
orang Papua. Walaupun kalau bicara konflik itu tidak di
seluruh Papua yaa kadang-kadang kita juga suka salah
kaprah gitu, konflik bersenjata itu kan terjadi di wilayah-
wilayah tertentu, tapi image bahwa Papua itu daerah konflik,
daerah kekerasan dan sebagainya itulah kemudian menjadi
perhatian dunia termasuk Vanuatu untuk selalu bersuara soal
nasib orang-orang Melanesia di Papua.. kira-kira gitu. Nah
artinya itu diselesaikan, itu diselesaikan seberapa pun
progressnya itu disampaikan kepada publik internasional
bahwa kita gak main-main nih..bahwa masih ada..apa..
kekosongan, atau kesalahan, dan sebagainya ya sudah itu
136
proses gitu. Nah itu menurut saya yang perlu disampaikan
kemudian juga menjawab, menurut saya. Menjawabnya
dengan elegan, bilang bahwa "you punya your own state
constitution, kita juga punya.
Di dalam konstitusi kita bahkan HAM itu nomor satu,
ditaruh hampir di semua pasal" kan bisa di-debate seperti itu,
instead of menyangkal atau mengirim junior diplomat yang
menurut saya gak elegan gitu, jadi kita substansinya kita
perbaiki bahwa kita gak main-main ini soal ini. Bahwa masih
ada kekurangan dan sebagainya, kita cerita kenapa itu
kekurangan dan sebagainya..eee.. misalnya kita..eee..
ini..serius ya yang saya ikuti, memang masih berpikir
tentang "bagaimana ya caranya" nah cara ini kan harus pas,
harus juga bisa diterima oleh korban di Papua, korban
pelanggaran HAM, tapi juga bisa diterima oleh negara..gitu..
negara kan juga gak mau malu.. kira-kira gitu ya.
Nah itu bisa di-package baik untuk disampaikan. Tanpa
harus menyangkal tanpa harus dalam tanpa petik "merasa
kita menang", ini bukan soal menang kalah nih, ini soal
problem yang dihadapi oleh warga negara kita yang
kebetulan orang Papua dengan ras Melanesia gitu..kan itu
persoalan kita. Nah kalau itu sudah diperbaiki, kita bisa
bilang ke forum-forum internasional di mana Vanuatu juga
ada bahwa "we are here, kita gak main-main, kita gak
membeda-bedakan".
Nah, juga menurut saya kalo yang seperti Kristin juga lihat
selama ini selalu menyangkal dan sebagainya itu sudah tidak
efektif, sangat tidak efektif. Menurut saya. Ini selain tadi
memperbaiki substansi diplomasi juga coba seperti yang pak
Marty dulu pernah berinisiatif membuka hubungan
diplomatik, jadi ada jalur yang lebih formal lebih bisa kita
bersuara dan langsung didengar, mereka juga bisa
mendengar kesulitan kita gitu. Lalu di forum internasional
kan waktunya pendek, gak responsif, gak bisa panjang, kalau
kita punya hubungan diplomatik kan itu bisa saling
mendengar, saling tau. Karena begini, di Indonesia ini..saya
gatau mungkin saya terlalu pesimis ya Kristin, tapi siapa sih
ahli tentang budaya Melanesia? Cuma orang-orang Papua.
137
Mungkin cuma orang-orang Papua atau beberapa orang kita,
padahal jangan salah, Melanesia itu juga satu budaya yang
harus kita paham.
Karena mereka punya sistem kekuasaan berbeda, sistem
ekonominya berbeda, sistem sosial budaya berbeda, nah itu
yang saudara-saudara kita di Papua yang..apa.. memiliki itu.
Kalau kita tidak paham, bagaimana kita mau berdiplomasi
dengan negara-negara yang membela mereka? begitu.. Itu
banyak sekali yang menurut saya harus diperbaiki selain tadi,
membuka hubungan formal dengan Vanuatu untuk kita
saling mempelajari, mereka juga harus belajar tentang kita.
Tentang bagaimana kita mengatasi Papua selama ini, ini
bukan persoalan sederhana.. gitu..kenapa Indonesia selalu
mengatakan atau mempunyai narasi bahwa Papua ini adalah
isu domestik? Karena kita sungguh mau menyelesaikan tidak
mau ada negara lain yang ikut campur, karena kalau ikut
campur ini bisa berbagai kepentingan masuk kemudian
persoalan utamanya kita tidak selesai.
Kan banyak sekali yang bisa kita bahas bersama Vanuatu,
orang selalu bilang Vanuatu itu negara kecil karena memang
penduduknya sedikit tapi negara itu luas, negara itu luas dan
sumber daya alamnya banyak. Nah kita kan suka
underestimate ya "ah Vanuatu kecil" memang negara itu
penduduknya tidak banyak, tetapi negara itu punya wilayah
yang luas dan punya sumber daya alam yang besar dan dia
bekas negara jajahan Perancis, yang Perancis pun masih
punya hubungan baik dengan Vanuatu dengan Inggris dan
sebagainya, artinya kita harus berpikir kedepan bagaimana
membuka hubungan diplomatik dengan Vanuatu.
Kristin Natalia :Baik bu, eee.. soalnya saya pernah baca juga bu di berita jadi
waktu sekitar tahun 2015 Vanuatu pernah kena badai, dan
Indonesia mengirim bantuan. Banyak yang bilang kalau itu
diplomasi yang berkedok terkait Papua merdeka tapi
Vanuatu menyangkal hal tersebut. Jadi itu sih bu, saya
penasaran aja sebenarnya Indonesia nih serius gak sih
menangani isu ini. Menangani Vanuatu setelah tadi yang di
PBB, ibu bilang kurang efektif sekarang apakah keadaan di
138
Papua sudah membaik dari sebelumnya? Setelah adanya
tudingan-tudingan dari Vanuatu, begitu bu.
Adriana Elisabeth :Oke, keadaan di Papua belum membaik. Malah begini,
kalau kita mau fair melihat secara objektif ya di Papua itu
paling enggak ada tiga hal yang terkait dengan kondisi hari
ini. Pertama, ada yang baik. Ada yang baik tuh terkait dengan
insfratruktur ya, Infrastruktur semakin baik mobilitas orang
semakin tinggi, termasuk covid juga menyebar sampai ke
Papua ya karena orang mondar-mandir. Jadi artinya ada hal-
hal baik ya terkait dengan pembangunan, tapi ada juga
kemunduran. Kemunduran itu terkait dengan eskalasi
konflik dan kekerasan yang semakin tinggi. Apalagi dengan
ditetapkannya kelompok kriminal bersenjata sebagai teroris.
Itu kekerasan terjadi setiap hari eskalasinya meningkat terus
tapi tidak pernah ada di berita ya..
Kristin Natalia :iya tidak pernah ada ya bu..
Adriana Elisabeth :tidak ada berita, yang stagnan..eee.. kondisi yang stagnan
yang tidak selesai-selesai itu soal HAM. Jadi ada yang baik
ada yang maju tapi ada yang buruk atau mundur..ada
kemunduran..tapi ada juga yang stagnan. Jadi gak kemana-
mana tuh isu HAM-nya gak selesai-selesai gatau kenapa
saya juga bingung. Nah artinya..eee..kalau kita tau kondisi
kita sebenarnya kan kita bisa mulai dengan apa yang mau
kita lakukan dengan keadaan seperti ini. Nah..eee..kita tidak
bisa berharap Vanuatu akan positif ke kita kalau kita sendiri
tidak mencoba menyelesaikan pekerjaan rumah kita yang
kita sudah klaim bahwa Papua adalah isu domestik..gitu.
Kita gak bisa berharap banyak dari Vanuatu karna memang
keadaan di tempat kita masih relatifnya seperti itu.
Walaupun..eee..pemerintah kan serius misalnya ingin
membangun kesejahteraan Papua ya lewat otonomi khusus
dan sebagainya tapi ada realita lain di Papua yang
menunjukkan bahwa memang isu-isu intangible..HAM itu
kan isu intangible, itu memang belum diselesaikan nah
selama itu belum diselesaikan, pasti akan ada suara-suara
yang mendukung..eee..kalo saya bilangnya bukan
kemerdekaan, pembebasan Papua.
139
Pembebasan itu kan bukan kemerdekaan tapi membebaskan
kesengsaraan, penderitaan orang Papua dari apa yang
mereka alami selama ini. Kemerdekaan itu masih jauhh.
Kemerdekaan itu masih jauuhh bangett, jadi harus
diperhatikan antara..apaa..ingin bebas ya, kebebasan..itu kan
freedom ya..termasuk kebebasan berekspresi. Tapi
pembebasan itu adalah gerakan-gerakan untuk
menghilangkan kekerasan, menghilangkan ketidakadilan,
kemerdekaan itu kan nanti masih panjang itu. Kalo Vanuatu
minta kemerdekaan itu mah masih weehhhh...gak tau nanti
seratus tahun lagi kali entah kapan. Jadi kita harus coba juga
memahami terminologi-terminologi itu jangan juga terbawa
dengan statement-statement yang kadang-kadang tidak
berbasis kepada realita ya.
Yang realita menurut saya itu tadi ada persoalan yang Papua
itu harus bener-bener dibebaskan dari persoalan-persoalan
tadi, mereka jangan lagi mengalami kekerasan, ketidakadilan,
jangan didiskriminasi, itu penting. Bahwa mereka diberikan
ruang untuk..apa.. menyampaikan ekspresinya itu penting
untuk disampaikan. Tapi kemerdekaan itu kan gak ada,
kemerdekaan Papua kan gak ada, itu kan mimpi.. kira-kira
begitu. Jangan takut dengan orang bicara tentang
kemerdekaan Papua..wong realitanya masih jauh kok..nah
bagaimana menyampaikan hal itu, nah saya gak tau persis ya
Kristin, karena menurut saya tidak banyak orang yang
paham tentang kondisi di Papua.
Dua dua kondisi ya, maksud saya kondisi yang tangible
yang bisa diliat secara kasat mata tapi juga hal-hal yang
terkait dengan intangible, tentang cara berpikir, perspektif,
perasaan, cara mereka berkomunikasi, itu menurut saya
banyak yang tidak paham..makanya diantara kita sendiri
sering terjadi kecurigaan dan sebagainya. Ini kan juga
berdampak kepada diplomasi kita..eee..jadi menurut saya
kita gak bisa berharap banyak dadi Vanuatu kalo kita sendiri
tidak menyelesaikan PR kita. Nah kemudian, kenapa
Vanuatu mau menerima bantuan kemanusiaan dari Indonesia?
Di hubungan internasional itu kan ada yang namanya
bantuan ya, bantuan luar negeri, bantuan kemanusiaan, ada
bentuk kerja sama dan sebagainya.
140
Dalam situasi critical atau situasi emergency, semua negara
perlu. Indonesia aja nerima vaksin dari mana-mana..gitu
ya..bahwa ada interpretasi atau ada dugaan bahwa Indonesia
itu sebenarnya ingin nyogok.. kira-kira gitu ya..dengan
bantuan kemanusiaan supaya gak mendukung Papua
merdeka, itu sih kalau menurut saya ya sah sah saja..gak ada
masalah..tapi bahwa bantuan itu diperlukan, Vanuatu terima,
iya. Harus karena mereka kan ingin cepat-cepat pulih kan
dari bencana itu. Tapi kalau ada interpretasi itu menurut saya
sangat wajar, nah tapi sekali lagi memberi bantuan itu
memang tidak otomatis membuat orang menjadi diam
tentang menyuarakan hal tentang HAM Karena itu dua hal
yang berbeda. Kalo kita misalnya lagi kesusahan, siapapun
yang cepet deket kita menolong pasti kita terima. Tapi begitu
kita sehat, kita sadar "aduh saya gak mau deh sama dia" itu
kan sangat sangat lumrah terjadi seperti itu, jadi menurut
saya harus dipisahkan antara bantuan kemanusiaan dengan
upaya Indonesia untuk meyakinkan Vanuatu untuk tidak
mendukung gerakan-gerakan politik kemerdekaan di Papua.
Karena memang berbeda, persoalannya sangat berbeda,
substansinya sangat berbeda, itu sangat politis kalo soal yang
kemerdekaan itu.
Kristin Natalia :oke, berarti itu bukan termasuk diplomasi dari Indonesia ya
bu?
Adriana Elisabeth : Itu diplomasi Indonesia tapi itu diplomasi kemanusiaan.
Kristin Natalia :Ohh bukan terkait isu tersebut?
Adriana Elisabeth :ya.. karena kalau begini..kalau menurut saya..nih
seandainya kalkulasinya bahwa Vanuatu dikasih bantuan
harus diam ya menurut saya cemen banget sih, sorry bahasa
anak muda tuh gimana tuh menjelaskannya
hahaha..yaelah..gitu loh..yaelah masa sih bantuan
kemanusiaan. Walaupun, walaupun..sangat mungkin
ada..ada esensi itu..ya ada harapan lah minimal, ada harapan
bahwa Vanuatu bahwa.. "kamu diam, jangan ngomong. Nih
waktu kamu susah saya bantu nih" kira kira gitu. Mungkin
ada harapan seperti itu, tapi menurut saya sangat tidak
compatible gitu..kalau bantuan kemanusiaan ya bantuan
kemanusiaan. sudah. ya, karena bagaimanapun untuk
141
menyakinkan Vanuatu tuh harus banyak cara, selain bantuan
kemanusiaan, tadi PR kita selesaikan, buka hubungan
diplomatik, sering-sering berinteraksi, saling paham,
Vanuatu juga harus paham Indonesia, dan sebagainya. Masih
banyak jalannya. Jadi tidak bisa hanya pada bantuan
kemanusiaan kemudian kita expect too much tuh gak bisa.
Gak bisa menurut saya masih perlu banyak cara untuk
meningkatkan..eee..apa..hubungan kita dengan Vanuatu.
Kristin Natalia : Oke ibu, kalau untuk isu yang dibawa oleh Vanuatu ini
bukannya sudah termasuk isu yang sudah di-
internasionalisasikan ya bu? Jadi bukan lagi isu domestik apa
bagaimana?
Adriana Elisabeth :ohh begini, ya benerr..jadi kita..eee..sorry pemerintah
Indonesia itu sudah menyatakan bahwa Papua itu adalah isu
domestik. Itu sebenarnya upaya untuk menjaga jangan
sampe ada intervensi dari luar dalam penyelesaian isu-isu
Papua ya, tetapi kita tidak bisa mencegah bahwa Papua itu
menjadi isu internasional. Karena dari sejarahnya saja itu
sudah banyak sekali dimensi internasional. Waktu PEPERA
itu siapa yang menyelenggarakan? UNTEA. UNTEA itu
siapa? PBB. PBB itu siapa? Lembaga internasional, lembaga
dunia. Kita mau bilang itu gak bisa, kalo kita mencegah
internasionalisasi itu sulit. Bahwa kita klaim itu isu domestik?
Well, okay.
Tapi mencegah, kita bisa mencegah tapi menurut saya sangat
sulit karena sejak awal sejak sejarahnya itu sejarah integrasi
itu sudah melibatkan UNTEA itu satu. Yang kedua, siapa
yang bermain di Papua? Ada Amerika di sana. Ya..yang
kemudian membangun investasi tambang di Freeport, ada
Belanda yang waktu itu akhirnya baru mau hengkang dari
Papua. Itu pihak siapa? Kan itu pihak-pihak internasional.
Maksudnya negara lain..eee..eee..mereka yang terlibat di
dalam persoalan yang kita hadapi saat ini. Gimana kita mau
bilang tidak perlu di-internasionalisasikan atau jangan di-
internasionalisasi kan gak bisa.
Kemudian berkembang itu menjadi..eee..let's say itu soal
separatism, konflik bersenjata. Ada kekerasan disitu
kemudian sebagian ada pelanggarangan HAM, pelanggaran
142
HAM itu isu universal semua orang boleh comment kita mau
cegah bagaimana? Gak mungkin. Gak mungkin, itu bohong
banget kalo kita bilang jangan sampe...gak bisa. Karena
Indonesia, pemerintah Indonesia memang tidak
menginternasionalisasikan tapi yang terjadi di Papua itu
dimensi internasionalnya tinggi sekali. HAM itu gak bisa
dicegah, semua orang akan bicara "wah Indonesia nih
melanggar HAM" dan sebagainya. Oke, terus ada lagi yang
terbaru..bukan yang terbaru sih sebenarnya ini sudah lama
tapi baru belakangan ini muncul. Investasi, investasi besar di
Papua di sektor sumber daya alam. Itu isu internasional,
investasi kan masuk dari mana-mana..baru kita bilang
"jangan internasionalisasikan Papua" ya gak bisa kalau
sudah ada investasi masuk dari luar negeri.
Pasti ceritanya meluas ke dunia manapun..yaa, jadi bedakan
claim pemerintah bahwa isu ini adalah isu domestik untuk
mencegah intervensi asing atau dunia internasional, tetapi
isu Papua itu sendiri sudah berdimensi internasionalnya
sangat tinggi kita gak bisa cegah bahwa ini menjadi berita
dunia..yaa. Nah, pada waktu 2017 saya sempat membuat
survey bersama satu lembaga swasta ya, di situ di 2017 itu
banyak orang tidak tau tentang isu HAM di Papua, banyak
orang gak tau tentang apa namanya..konflik di Papua.
Hampir semua menjawab "ohh Papua itu alamnya bagus"
"ohh Papua itu bagus untuk pariwisata" "ohh Papua itu
budayanya tinggi" dan sebagainya, Something yang related
kepada isu-isu yang soft. Tapi begitu terjadi kasus 2019,
inget ya? Kerusuhan di Papua yang dimulai dari isu di
Malang dan Surabaya..semua orang bertanya Papua itu
kenapa seperti itu, ada apa di Papua? Langsung suara-suara
internasional muncul bukan cuma internasional, orang-orang
Indonesia yang tadinya tidak mengerti Papua semua tanya
"Ada apa di Papua?" Dengan medsos, dengan teknologi
informasi yang sudah semakin canggih. Nah semua orang
sebarkan di medsos, baru kita mau cegah internasionalisasi
bagaimana?
Kristin Natalia :berarti sudah terjadi internasionalisasinya itu terlebih
dahulu ya bu? Sebelum masuk ke kita?
143
Adriana Elisabeth :sejarah politiknya memang seperti itu, itu tadi..jadi..eee..
pertama pemerintah Indonesia kan mengusir Belanda nah itu
kan sejarah kolonial, isu kolonial itu kan isu internasional
bahwa paling tidak negara-negara yang pernah mengalami
masa penjajahan kolonial ya kemudian Indonesia menerima
investasi Freeport, Amerika itu isu internasional bukan?
Karena kan ada..apa namanya.. perjanjian antara Amerika
dengan Belanda, "Belanda silahkan tinggalkan Papua,
tinggalkan Indonesia, Amerika yang urus Freeport nanti
biaya..eee..apa namanya krisis ekonomi yang dihadapi
Belanda akan ditanggung oleh Amerika" itu aspek apa itu?
Internasional bukan? Kan hubungan antar negara..ya kan?
Artinya, dari awal itu memang isu..sorry..dimensi
internasionalnya memang sudah sangat tinggi. Nah
kemudian terjadi PEPERA, Penentuan Pendapat Rakyat di
bawah UNTEA di bawah PBB. Itu apa lagi? PBB itu
perserikatan bangsa-bangsa, bangsa-bangsa di dunia itu
siapa aja? Ya termasuk kita termasuk semuanya berarti itu
juga internasional.
Itu tadi jadi yang saya bilang, sulit kita menyangkal kejadian
yang ada di Papua tapi juga tidak mudah untuk mencegah
internasionalisasi. Nah terakhir misalnya berapa hari lalu
saya misalnya ada diskusi di UKI ya, waktu itu saya
sampaikan kalo bicara tentang separatisme di Papua itu
hanya salah satu aspek, HAM itu juga salah satu aspek yang
membuat isu internasional Papua itu semakin tinggi selain
soal investasi tadi. Jadi ada isu separatisnya, isu konflik
politiknya, yang sejarahnya itu sudah dari dulu dan
melibatkan internasional. Kemudian soal pelanggaran HAM
yang juga isunya universal, semua orang bisa comment, yang
ketiga soal investasi, mau bagaimana mengatasi itu.. nah
artinya secara diplomasi, Indonesia harus melebarkan
diplomasi dengan semua pihak.
Nah, selain catatan saya yang paling..eee..mungkin perlu
lebih diperhatikan ya atau Kristin harus baca lebih banyak,
kita tidak bisa mengandalkan state to state saja ini yang
namanya para diplomasi non state actors itu perannya besar,
LSM, Gereja, Media, Akademisi, itu harus digalak, kalo mau
bicara penggalangan. Nah kalau hanya state to state terus
144
kasih bantuan gak akan berdampak signifikan, Indonesia
harus gandeng LSM-nya di Vanuatu, gerejanya di sana,
medianya, akademisinya diajak bicara, supaya mereka
mengerti Indonesia dan kita mengerti mereka. Kalau cuma
begini saja sampai thesis mu jadi, sampai kau S3, persoalan
ini sama Kristin..dijamin itu hahaha.
Kristin Natalia :Hahaha, berarti kurang lebih Indonesia ini masih "loyo" ya
bu diplomasinya ke Vanuatu gitu?
Adriana Elisabeth :bukan "loyo", tapi masih konservatif.
Kristin Natalia :Ohh okayy, masih to state aja yaa bu?
Adriana Elisabeth :Iyaa, belom menggalang semua pihak. Makanya saya bilang,
ini non state actors ini pelaku yang penting banget apalagi
dalam situasi konflik. Yang suka bicara aneh-aneh itu kan
biasanya non state actors, ya kan? Akademisinya ngomong,
medianya ngomong, terus apalagi.. aktivis-aktivisnya
ngomong, gerejanya kalau dalam konteks Papua ya, mungkin
kalau di negara-negara yang mayoritas islam ya mungkin
tokoh-tokoh Islamnya yang ngomong, itu bagaimana kita
mau cegah? Negaranya gak sanggup menghadapi itu sendiri,
yakin saya. Nah kalau cuma mengandalkan TNI POLRI,
mengandalkan aparat keamanan gak bisa..hard approach itu
gak cukup untuk Papua, harus soft approach.
Nah soft approach-nya itu tadi aktornya banyak, kalau hard
approach gampang ada tentara, ada anggaran, ada
senjata..berangkat. Orang Papua itu masa dihadapi dengan itu
saja? Gak bisa..harus ada soft approach. Nah pelaku-pelaku
dalam pendekatan soft approach ini kan banyak, Kristin salah
satunya kalau kamu nanti misalnya mau terlibat dalam isu-
isu dan diskusi-diskusi yang lebih panjang mengenai Papua,
kamu bisa menjadi aktor juga di situ. Banyak sekali, jadi gak
bisa kita hanya mengandalkan state to state diplomacy, udah
terlalu ketinggalan jaman. Menurut saya.