analisis debit banjir sungai padolo kota bima menggunakan ...

26
Artikel Ilmiah ANALISIS DEBIT BANJIR SUNGAI PADOLO KOTA BIMA MENGGUNAKAN METODE HSS GAMA 1, HSS LIMANTARA, HSS ITB 1, DAN HSS ITB 2 Flood Discharge Analysis Of Padolo River in Bima City By Using HSS Gama 1,HSS Limantara, HSS ITB 1, And HSS ITB 2 Method Tugas Akhir Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-1 Jurusan Teknik Sipil Oleh: BAIQ RISA VIDYANINGSIH F1A 016 027 JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAR TEKNIK UNIVERSITAS MATARAM 2020

Transcript of analisis debit banjir sungai padolo kota bima menggunakan ...

Artikel Ilmiah

ANALISIS DEBIT BANJIR SUNGAI PADOLO

KOTA BIMA MENGGUNAKAN METODE HSS GAMA 1,

HSS LIMANTARA, HSS ITB 1, DAN HSS ITB 2

Flood Discharge Analysis Of Padolo River in Bima City By Using

HSS Gama 1,HSS Limantara, HSS ITB 1, And HSS ITB 2 Method

Tugas Akhir

Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Mencapai derajat Sarjana S-1 Jurusan Teknik Sipil

Oleh:

BAIQ RISA VIDYANINGSIH

F1A 016 027

JURUSAN TEKNIK SIPIL

FAKULTAR TEKNIK

UNIVERSITAS MATARAM

2020

1

Artikel Ilmiah

ANALISIS DEBIT BANJIR SUNGAI PADOLO

KOTA BIMA MENGGUNAKAN METODE HSS GAMA 1,

HSS LIMANTARA, HSS ITB 1, DAN HSS ITB 2

Flood Discharge Analysis Of Padolo River in Bima City By Using

HSS Gama 1,HSS Limantara, HSS ITB 1, And HSS ITB 2 Method

Oleh :

BAIQ RISA VIDYANINGSIH

F1A 016 027

Telah diperiksa dan disetujui oleh :

1. Pembimbing Utama

Humairo Saidah, ST., MT.

NIP. 19720609 199703 2 001

Tanggal: Juli 2020

2. Pembimbing Pendamping

Agustono Setiawan, ST., M.Sc.

NIP 19700113 199702 1 001

Tanggal: Juli 2020

Mengetahui,

Ketua Jurusan Teknik Sipil

Fakultas Teknik

Universitas Mataram

Jauhar Fajrin, ST.,M.Sc(Eng).,Ph.D.

NIP : 19740607 199802 1001

Artikel Ilmiah

2

Artikel Ilmiah

ANALISIS DEBIT BANJIR SUNGAI PADOLO

KOTA BIMA MENGGUNAKAN METODE HSS GAMA 1,

HSS LIMANTARA, HSS ITB 1, DAN HSS ITB 2

Flood Discharge Analysis Of Padolo River in Bima City By Using HSS Gama 1,HSS Limantara, HSS ITB 1, And HSS ITB 2 Method

Oleh : BAIQ RISA VIDYANINGSIH

F1A 016 027

Telah disetujui dan dipertahankan di depan Dewan Penguji

Susunan Tim Penguji :

1. Penguji I

M. Bagus Budianto, ST., MT. Tanggal : Juli 2020

NIP : 19701206 199803 1 006

2. Penguji II

Dr. Ery Setiawan, ST.,MT. Tanggal : Juli 2020

NIP : 19711227 199903 1 003

3. Penguji III

Atas Pracoyo, ST.,MT.,Ph.D. Tanggal : Juli 2020

NIP : 195710717 199803 1 005

Mengetahui,

Dekan Fakultas Teknik

Universitas Mataram

Akmaluddin, ST., M.Sc(Eng)., Ph.D.

NIP : 19681231 199412 1 001

Artikel Ilmiah

3

ANALISIS DEBIT BANJIR SUNGAI PADOLO

KOTA BIMA MENGGUNAKAN METODE HSS GAMA 1,

HSS LIMANTARA, HSS ITB 1, DAN HSS ITB 2

Baiq Risa Vidyaningsih

1, Humairo Saidah

2, Agustono Setiawan

2

1Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Universitas Mataram

2Dosen Jurusan Teknik Sipil Universitas Mataram

Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Mataram

INTISARI

Sungai Padolo adalah salah satu sungai di Kota Bima yang rawan terhadap banjir

sehingga membutuhkan metode yang tepat untuk mengetahui besaran banjir rancangannya.

Banyaknya metode hidrograf satuan sangat memudahkan pencarian bentuk hidrograf

satuan, suatu sungai sekaligus dapat digunakan untuk mendapatkan besaran rancangannya.

Besaran rancangan yang baik akan menghasilkan desain bangunan air yang lebih baik dan

efisien, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode hidrograf satuan

sintetik yang sesuai untuk diterapkan disungai Padolo.

Penelitian ini ingin menguji tiga HSS yaitu HSS Gama I, Limantara, ITB-1, dan

ITB-2 dibandingkan terhadap nilai yang didapatkan dari analisa HSO dibuktikan dengan

nilai Volume Error, Koefisien Korelasi, dan NSE.

Dari hasil analisis, , debit banjir rancangan dengan berbagai kala ulang di setiap

metode, memberikan hasil yang beragam. Hasil terbesar adalah HSS Gama 1, selanjutnya

HSS ITB 2, HSS ITB 1, dan yang terkecil HSS Limantara. Dalam perbandingan debit

banjir rancangan antara HSS dan HSO maka HSS Gama 1 paling mendekati nilai debit

banjir HSO.

Kata Kunci : Hidrograf, Hidrograf Satuan Sintetis, Hidrograf Satuan Observasi

4

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sungai Padolo adalah salah satu

sungai yang ada di DAS Padolo Kota

Bima, Nusa Tenggara Barat. Bencana

banjir yang terjadi di DAS Padolo Kota

Bima pada tahun 2016 merupakan banjir

bandang yang melanda Kota Bima.

Banjir tersebut disebabkan oleh

berkurangnya hutan di wilayah hulu dan

terjadinya penyempitan serta sedimentasi

di hilir sungai akibat semakin banyaknya

warga yang tinggal di bantaran sungai.

Selain itu sampah juga menjadi salah

satu penyebab air sungai meluap ke kota

tersebut. Bencana banjir tersebut

menimbulkan kerugian infrastruktur,

persawahan dan perumahan warga.

Untuk mengurangi resiko terjadinya

kerusakan akibat banjir dibutuhkan

upaya pengendalian banjir melalui

beberapa tahapan, diantaranya tahapan

perencanaan. Pada tahap perencanaan ini

sering kali memerlukan data debit banjir

rencana yang realistis. Banjir rencana

dengan periode ulang tertentu dapat

dihitung dari data debit banjir atau data

hujan. Apabila data debit banjir tersedia

cukup panjang (>20 tahun), debit banjir

dapat langsung dihitung dengan metode

analisis probabilitas. Sedang apabila data

yang tersedia hanya berupa data hujan

dan karakteristik Daerah aliran sungai

(DAS), salah satu metode yang

disarankan adalah menghitung debit

banjir dari data hujan maksimum harian

rencana dengan superposisi hidrograf

satuan (Natakusumah, et. al, 2011).

Konsep hidrograf satuan banyak

digunakan untuk melakukan tranformasi

dari hujan menjadi debit aliran. Data

yang diperlukan untuk menurunkan

hidrograf satuan terukur di DAS yang

ditinjau adalah pencatatan debit di titik

pengamatan tertentu. Namun jika data

yang diperlukan untuk menyusun

hidrograf satuan terukur tidak tersedia,

maka digunakan analisis hidrograf

satuan sintetik (HSS).

Metode Hidrograf Satuan Sintetik

(HSS) telah banyak digunakan untuk

memperkirakan debit banjir. Metode

analisis hidrograf satuan sintetik yang

umum digunakan di Indonesia antara

lain metode Synder-Alexeyev, Synder-

SCS, Nakayasu, Gama 1 dan program

HEC-HMS. Pada tahun 2008, Lily

Montarcih Limantara mengembangkan

hidrograf satuan sintetik (HSS)

Limantara dan pada tahun 2010,

Natakusumah, et.al, mengembangkan

hidrograf satuan sintetik (HSS) ITB-1

dan ITB-2 yang dikembangkan dengan

konsep pendekatan sederhana untuk

menentukan hidrograf satuan tak

berdimensi yang konsisten berdasarkan

prinsip konservasi massa.

Perhitungan banjir dengan

menggunakan HSS Limantara, ITB-1,

dan ITB-2 memerlukan data

karakteristik DAS yang sederhana.

Selain itu, ketiga metode tersebut

memberikan hasil perkiraan yang cukup

akurat sehingga sangat efektif dan

efisien dalam penggunaannya. HSS yang

telah dikenal sebelumnya memiliki

bentuk dasar yang rumit dan

memerlukan data karakteristik DAS

yang banyak sehingga sulit untuk

diterapkan pada daerah dengan data yang

terbatas. Beberapa kelebihan tersebut

membuat ketiga metode HSS ini sangat

menarik untuk diterapkan

penggunaannya secara luas pada DAS

yang terdapat di Pulau Sumbawa.

Penerapan metode HSS Gama 1,

Limantara, ITB-1 dan ITB-2 untuk

memperkirakan debit banjir belum

pernah diterapkan penggunaannya di

DAS Pedolo. Perkiraan besaran debit

banjir yang terjadi di DAS Padolo

menjadi refrensi bagi instansi terkait

mengenai arah kebijakan pembangunan

yang semakin pesat dari DAS Padolo.

Penelitian ini juga dapat sebagai refrensi

apabila akan digunakan pada DAS lain

yang memiliki karakteristik yang

menyerupai DAS Padolo. Berdasarkan

5

permasalahan di atas, maka diperlukan

“Analisis Debit Banjir Sungai Padolo

Kota Bima Menggunakan Metode HSS

Gama 1, HSS Limantara, HSS ITB 1,

dan HSS ITB 2”.

1.2 Rumusan Masalah

1. Berapa nilai debit puncak banjir yang

terjadi di DAS Padolo dengan

menggunakan metode HSS Gama 1,

Limantara, ITB 1, dan ITB 2 pada

berbagai kala ulang?

2. Berapa nilai debit puncak banjir

dengan metode HSO pada DAS

Padolo pada berbagai kala ulang?

3. Metode HSS apakah yang

menghasilkan nilai debit puncak

banjir yang paling mendekati debit

banjir puncak yang didapat dari

perhitungan HSO ?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan dalam penelitian ini

sebagai berikut:

1. Untuk mendapatkan debit puncak

banjir dengan keempat metode

hidrograf satuan sintetik (HSS)

yang direncanakan di DAS Padolo.

2. Untuk mendapatkan debit puncak

banjir dengan HSO.

3. Untuk mendapatkan metode HSS

yang tepat untuk DAS Padolo

dengan membandingkannya

terhadap HSO.

1.4 Manfaat Penelitian

Mendapatkan informasi metode

perhitungan debit banjir rancangan yang

sesuai untuk sungai Padolo sehingga

dapat dimanfaatkan untuk keperluan

perencanaan bangunan air yang lebih

baik di sungai Padolo.

1.5 Batasan Masalah

Adapun batasan masalah dari

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Penelitian hanya dilakukan pada

DAS Padolo.

2. Data hujan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data hujan

harian dengan Panjang data selama

15 tahun yaitu dari tahun 2002-

2016.

3. Stasiun hujan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Stasiun

Godo, Stasiun Sumi, dan Stasiun

Paradowane.

4. Kala ulang yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kala ulang 2

tahun, 5 tahun, 10 tahun, 25 tahun,

50 tahun, 100 tahun, dan 1000

tahun.

5. Data AWLR yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data debit dari

AWLR Padolo.

6. Metode yang di gunakan adalah

metode HSS Gama I, HSS

Limantara, HSS ITB 1 dan HSS

ITB 2.

II DASAR TEORI

2.1 TinjauanPustaka

Rapar (2014), melakukan penelitian

dengan judul Analisis Debit Banjir

Sungai Tondano Menggunakan Metode

HSS Gama 1 dan HSS Limantara, dari

penelitian tersebut diperoleh besaran

debit banjir rencana metode HSS

Limantara lebih mendekati perolehan

debit banjir rencana dari analisis

frekuensi.

Safrida (2014), melakukan penelitian

dengan judul Analisis Hidrograf Aliran

Daerah Aliran Sungai Tirtomoyo

Dengan Beberapa Metode Hidrograf

Satuan Sintetis, diperoleh dari hasil

perhitungan bahwa debit puncak dari

hidrograf terukur pada tanggal 19

Desember 2012, 19 Februari 2013, 29

Maret 2013, 4 April 2013 dan 20 Mei

2013 berturut-turut yaitu 630.26 m3/dt,

827.32 m3/dt, 726.23 m

3/dt, 1140.78

m3/dt,1806.33 m

3/dt. Dari hasil kalibrasi

beberapa metoda HSS dengan debit

terukur dilakukan metoda kalibrasi debit

puncak, waktu puncak dan jumlah

volume banjir pada beberapa kejadian

banjir. Hasil kalibrasi menunjukkan

bahwa metoda HSS ITB 1 dan ITB-2

paling sesuai dalam hal peramalan debit

puncak banjir pada tanggal 19-20

Februari 2013 dan 29-30 Maret. Pada

kejadian tanggal 19-20 Desember 2012

6

dan 29-30 Maret 2013 hasil kalibrasi

waktu puncak menunjukkan metoda

HSS Gama 1, HSS ITB 1 dan ITB-2

paling sesuai.

Purnomo (2017), melakukan

penelitian dengan judul Pengaruh

Metode Pemilihan Data Hujan Pada

Perancangan Debit Banjir Di DAS

Serayu. Hasil analisis hidrologi di DAS

Serayu menunjukkan bahwa metode

pemilihan data AMS yang dipadukan

dengan HSS Nakayasu dan HSS ITB-1

memberikan debit puncak banjir di DAS

Serayu. Pemilihan data menggunakan

metode PDS selalu memberikan data

hujan dan debit rancangan yang lebih

besar dari pada metode AMS. Sehingga,

untuk rekaman data hujan yang Panjang,

seorang analis data debit sebaiknya

menggunakan metode AMS, analisis

hidrologinya menjadi kurang

memuaskan. Untuk itu jika rekaman data

hujan yang tersedia ternyata tidak terlalu

Panjang, maka disarankan menggunakan

metode PDS.

2.2 Landasan Teori

2.2.1. Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi merupakan salah satu

aspek penting yang diperlukan pada

proses analisis hidrologi. Siklus

hidrologi adalah proses kontinyu dimana

air bergerak dari bumi ke atmosfer dan

kemudian kembali lagi ke bumi

(Triatmodjo, 2008). Secara sederhana

siklus hidrologi dapat dilihat pada

Gambar 2.1

Gambar 2.1 Siklus hidrologi

(Wikipedia, 2015)

2.2.2 Daerah Aliran Sungai

Harto (1993) mendefinisikan

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah

daerah di mana semua airnya mengalir

ke dalam suatu sungai yang di

maksudkan. Daerah ini umumnya

dibatasi oleh batas topografi, yang

berarti ditetapkan berdasarkan pada

aliran permukaan, dan bukan ditetapkan

berdasarkan pada air bawah tanah karena

permukaan air tanah selalu berubah

sesuai dengan musim dan tingkat

pemakaian.

Gambar 2.2 Daerah Aliran Sungai

2.2.3 Hujan Rata-rata Daerah Ada beberapa cara yang digunakan

dalam perhitungan hujan rerata Kawasan

atau daerah (Triatmodjo, 2006) :

1. Rata-rata aljabar

Metode rata-rata aljabar digunakan

jika titik pengamatannya banyak dan

tersebar merata diseluruh daerah,

curah hujan dihitung dengan

persamaan :

R = (R1 + R2 + …. Rn) (2.1)

Dimana :

R = curah hujan rerata daerah (mm)

n = jumlah titik pos pengamatan

Rn = tinggi curah hujan di tiap titik

pengamatan (mm)

2. Poligon Thiessen

Umumnya untuk menghitung

curah hujan daerah dengan

menggunakan luas daerah aliran

sungai adalah sebagai berikut

(Sosrodarsono, S dan Takaeda K,

2006) :

a. Daerah dengan luas 250 ha yang

mempunyai variasi topografi

7

yang kecil, dapat diwakili oleh

sebuah alat pengukur hujan.

b. Untuk daerah antara 250-50.000

ha dengan dua alat atau tiga titik

pengamatan, dapat digunakan

dengan rata-rata aljabar.

c. Untuk daerah rata-rata antara

120.000-500.000 ha dengan dua

atau tiga titik pengamatan yang

tersebar cukup merata dan curah

hujannya tidak terlalu

dipengaruhi oleh faktor

topografi, dapat digunakan cara

rata-rata aljabar. Jika titik

pengamatan itu tidak tersebar

merata, maka akan digunakan

cara polygon thiessen.

d. Untuk daerah lebih besar dari

500.000 ha, maka akan

digunakan cara isohyet atau cara

potongan antara (inter section

method).

Gambar 2.3 Metode Poligon Theissen

R = (2.2)

Dimana :

Rn = Curah hujan yang tercatat

di pos penakar hujan (mm)

An = luas areal polygon (km2)

1,2,...,n = banyaknya pos penakar hujan

Adapun cara perhitungan yang

digunakan untuk mencari curah hujan

rata-rata daerah aliran adalah Metode

Thiessen. Cara ini digunakan dengan

mempertimbangkan luas daerah yang diwakili oleh stasiun yang bersangkutan

(luas daerah pengaruh) untuk digunakan

sebagai factor dalam menghitung hujan

rata-rata.

3. Isohyet

Metode ini merupakan metode yang

paling akurat untuk menentukan hujan

rata-rata, namun diperlukan keahlian dan

pengalaman. Cara ini memperhitungkan

secara aktual pengaruh tiap-tiap pos

penakar hujan.

R = (2.3)

Dimana :

Rn = Tinggi curah hujan pada isohyet

ke-n (mm)

An = luas bagian antara garis isohyet

(Km2)

Gambar 2.4 Metode Poligon Isohyet

2.2.4 Uji Konsistensi Data Curah

Hujan

Data yang didapat dari alat

pencatat, bisa saja tidak akurat karena

alat pernah rusak, alat pernah pindah

tempat, lokasi alat terganggu atau

terdapat data yang tidak sah. Jika ini

semua terjadi maka akan sangat

merugikan. Oleh karena itu perlu

dilakukan uji kualitas data hujan. Dalam

penelitian ini saya menggunakan metode

RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums)

untuk menguji kebenaran data

lapangan.uji konsistensi dapat dilakukan

dengan lengkung massa ganda untuk

stasiun hujan ≥ 3, dan untuk individual

stasiun dengan cara RAPS (Rescaled

Adjusted Partial Sums). Bila Q/n yang

didapat lebih kecil dari nilai kritik untuk

tahun dan confidence level yang sesuai,

maka data dinyatakan panggah. Uji

kepanggahan dapat dilakukan dengan

menggunakan persamaan-persamaan

berikut (Harto, 2000).

Sk* = (2.4)

k = 1,2,3,…n (2.5)

Sk**

= (2.6)

8

90% 95% 99% 90% 95% 99%

10 1.05 1.14 1.29 1.21 1.28 1.38

20 1.10 1.22 1.42 1.34 1.43 1.60

30 1.12 1.24 1.46 1.40 1.50 1.70

40 1.13 1.26 1.50 1.42 1.53 1.74

50 1.14 1.27 1.52 1.44 1.55 1.78

100 1.17 1.29 1.55 1.50 1.62 1.86

>100 1.22 1.36 1.62 1.62 1.72 2.00

R/√nQ/√nN

No Agihan Syarat

1 Agihan NormalCs ≈ 0

Ck = 3

2 Agihan Log NormalCs ≈ 3Cv

Cs > 0

3 Agihan GumbelCs ≈ 1.14

Ck ≈ 5.4

4 Agihan Log Pearson Type III

Tidak ada syarat

( Seluruh nilai diluar

agihan 1, 2, dan 3)

Dy2 = (2.7)

Dimana :

n = banyak tahun

Yi = data curah hujan ke- i

Yr = rata – rata curah hujan

Sk* = nilai statistik

Sk** = nilai statistik

Dy = Standar Deviasi

Nilai Statistik (Q)

Q = maks | Sk** | (2.8)

Nilai Statistik Range (R)

R = maks Sk** - min Sk** (2.9)

Dimana :

Q = nilai statistik

n = jumlah data hujan

Dengan melihat nilai statistik di atas

maka dapat dicari nilai Q/ dan R .

Hasil yang didapat dibandingkan dengan

nilai Q/ syarat dan R/ syarat.

Tabel 2.1 Nilai kritis yang diizinkan

untuk metode RAPS Q/ dan R

(Sumber: Harto, 1993)

2.2.5 Analisis Frekuensi

Analisis frekuensi bukan untuk

menentukan besarnya debit aliran sungai

pada suatu saat, tetapi lebih tepat untuk

memperkirakan apakah debit aliran

sungai tersebut akan melampaui atau

menyamai suatu nilai tertentu misalnya

untuk 10 tahun, 20 tahun, dst yang akan

datang. Dalam hidrologi, analisis

tersebut dipakai untuk menentukan

besarnya hujan dan debit banjir

rancangan (design flood) dengan kala

ulang tertentu. (Limantara, 2010).

2.2.6 Distribusi Harga Ekstrim

2.2.6.1 Pemilihan Agihan

Ada beberapa jenis distribusi

probabilitas yang dapat digunakan untuk

menghitung hujan rencana atau debit

rencana, seperti Gumbel, Normal, Log

Normal, Log Pearson Tipe III. Dalam

penentuan jenis distribusi yang sesuai

dengan data, maka harus dilakukan

pengujian dengan parameter statistik.

Sebelum dilakukan perhitungan data

harus diurutkan dari yang terkecil ke

terbesar. Pemilihan agihan berdasarkan

jenis sebaran yang didapatkan sesuai

dengan tabel 2.2.

Tabel 2.2 Jenis Sebaran

Sumber : (Harto, 1993)

Dalam statistik dikenal beberapa

jenis distribusi frekuensi. Yang banyak

dikenal dalam hidrologi antara lain :

1. Distribusi Gumbel

Distribusi Gumbel biasanya

digunakan untuk data-data nilai ekstrim,

misalnya nilai ekstrim gempa, curah

hujan, banjir atau suhu ekstrim. Adapun

rumus-rumus yang digunakan dalam

perhitungan curah hujan rencana dengan

metode gumbel adalah sebagai berikut :

A. Hitung standar deviasi

S = (2.10)

Dimana :

S = standar deviasi

Xi= Curah hujan rata-rata

Xr= Harga rata-rata

n = jumlah data

B. Hitung nilai faktor frekuensi (K)

K = {0.5572 + ln(ln ) } (2.11)

Dimana :

K = faktor frekuensi

T = waktu periode ulang

C. Hitung hujan dalam periode ulang T

tahun

XT = Xr + (K . S) (2.12)

9

Dimana :

XT = hujan dalam periode ulang tahun

(mm)

Xr = harga rata-rata

K = faktor frekuensi

S = standar deviasi

2. Distribusi Normal

Distribusi normal atau kurva normal

disebut juga distribusi Gauss.

Perhitungan dengan distribusi normal

secara praktis dapat didekati dengan

persamaan sebagai berikut (Soemarto,

1999)

XT = + z × s (2.13)

Dimana :

XT = perkiraan nilai yang diharapkan

terjadi dengan periode ulang T-tahunan

= nilai rata-rata hitung variat

= deviasi standar nilai variat

= faktor frekuensi dan distribusi

normal

3. Distribusi Log Normal

Jika Y = log X, maka perhitungan

dengan distribusi log normal secara

praktis dapat didekati dengan persamaan

sebagai berikut (Soemarto, 1999)

YT = + z × s (2.14)

Dimana :

YT = perkiraan nilai yang diharapkan

terjadi dengan periode ulang T-tahunan

= deviasi standar nilai variat

= nilai rata-rata hitung variat

z = faktor frekuensi

4. Distribusi Log Person III

Bentuk distribusi log-person III

merupakan hasil transformasi dari

distribusi pearson tipe III dengan

menggantikan variat menjadi nilai

logaritmik (Soemarto, 1999).

A. Perkiraan nilai yang diharapkan

terjadi dengan periode ulang T-

tahunan

YT = + KT × s (2.15)

Dimana :

YT = perkiraan nilai yang diharapkan

terjadi dengan periode ulang T-tahunan

= deviasi standar nilai variat

= nilai rata-rata hitung variat

KT = adalah faktor frekuensi (tergantung

dari koefisien kemencengan (skewness)

dan probabilitasnya).

B. Nilai curah hujan rerata

= (2.16)

Dimana :

= Nilai curah hujan rerata

Xi = Nilai varian ke i

= Jumlah data

C. Standar deviasi

Sd = (2.17)

Dimana :

Sd = Standar deviasi

= Nilai curah hujan rerata

Xi = Nilai varian ke i

= Jumlah data

D. Koefisien variasi

Cv = (2.18)

Dimana :

Cv = koefisien variasi

Sd = Standar deviasi

X = Curah hujan

E. Koefisien Kemencengan

Cs = (2.19)

Dimana :

Cs = koefisien kemencengan

X = Curah hujan

Sd = Standar deviasi

Xi = Nilai varian ke i

= Jumlah data

F. Koefisien Kurtosis

Ck = (2.20)

Ck = koefisien kurtosis

X = Curah hujan

Sd = Standar deviasi

Xi = Nilai varian ke i

= Jumlah data

2.2.7 Pengujian Kecocokan Fungsi

Distribusi

Uji Chi-Square

Metode ini menganggap pengamatan

membentuk variable acak dan dilakukan

10

secara statistic dengan mengikuti kurva

distribusi chi square dengan derajat

kebebasan k-p-1, dengan p merupakan

jumlah parameter yang diestimasi dari

data. Uji statistik ini berdasarkan pada

bobot jumlah kuadrat perbedaan antara

pengamatan dan teoritisnya yang dibagi

dalam kelompok kelas.

(2.16)

Dimana :

h = parameter chi-square terhitung

= jumlah sub kelompok

= jumlah nilai pengamatan pada sub

kelompok ke i

= jumlah nilai teoritis pada sub

kelompok ke i

Jika hasilnya besar menunjukkan

bahwa distribusi yang dipilih tidak

cocok, tetapi uji ini dapat memberikan

hasil yang baik jika mempunyai data

yang Panjang.

Urutan pemeriksaan kesesuaian

distribusi adalah sebagai berikut :

1. Urutkan data pengamatan dari data

kecil ke besar atau sebaliknya;

2. Kelompokkan data pengamatan

menjadi beberapa “k” kelas interval

(k diambil = 5);

3. Catat frekuensi data pengamatan

pada setiap kelas interval;

4. Hitung frekuensi kejadian yang

diharapkan “F”;

5. Hitung nilai X2;

6. Tetapkan nilai derajat kebebasan Dk ;

7. Tetapkan besar tingkat kepercayaan

(confidence level, misal 95%);

8. Cari X2 kritis dari tabel harga kritis

Chi-Square.

Bandingkan X2 hitungan dengan X

2

kritis, Bila X2 hitungan < X

2 kritis,

berarti metode distribusi yang diperiksa

dapat diterima.

2.3 Hidrograf Satuan

Sebuah pendapat lain dikemukakan

oleh Harto (1993) berpendapat, bahwa

Hidrograf satuan merupakan hidrograf

limpasan langsung yang dihasilkan oleh

hujan yang terjadi merata di seluruh

DAS dan dengan intensitas tetap dan

dalam satuan waktu yang ditetapkan

hidrograf satuan ini sangat dipengaruhi

oleh dua hal yaitu karakteristik DAS dan

iklim. Karakteristik hujan ini dapat

berupa curah hujan total, intensitas

hujan, lama waktu hujan, penyebaran

hujan dan suhu (Asdak, 2007).

Semua DAS memiliki data-data

tersebut secara lengkap, sehingga

analisis banjir akan sangat mudah

dilakukan. Keterbatasan data-data inilah

yang mendorong pakar-pakar hidrologi

membuat suatu pemodelan yang dapat

digunakan untuk memprediksi banjir

secara akurat dengan penyimpangan

yang tidak terlalu jauh dari kenyataan.

Pemodelan tersebut dikenal sebagai

hidrograf satuan sintetik.

Gambar 2.5 Hidrograf Satuan Sintetik

(Sumber : Harto, 1993)

2.3.1 Hidrograf Satuan Observasi

Collins

Metode Collins digunakan dalam

perhitungan penurunan hidrograf satuan

untuk pasangan hidrograf banjir dan

hujan durasi pendek penyebab banjir.

Dalam analisis perlu dipilih hidrograf

dari pengamatan AWLR yang terpisah

dan mempunyai satu puncak, serta hujan

yang cukup dan pencatatan distribusi

hujan jam-jaman (Limantara, 2010).

2.3.2 Hidrograf Satuan Sintetis

Hidrograf Satuan Sintetis merupakan

suatu cara untuk memperkirakan

penggunaan konsep hidrograf satuan

dalam suatu perencanaan yang tidak

tersedia pengukuran-pengukuran

11

langsung mengenai hidrograf banjir.

(Limantara, 2010).

2.3.2.1 Hidrograf Satuan Sintetis

Gama I

Hidrograf Satuan Sintetis (HSS)

Gama 1 berasal dari Indonesia dan

ditemukan oleh Sri Harto. Pengamatan

dilakukan pada sekitar 300 banjir sungai-

sungai di Pulau Jawa (Limantara, 2018).

Gambar 2.6 Model HSS Gama I

(Sumber : Triadmodjo, 2008)

Parameter yang diperlukan dalam

analisis menggunakan HSS Gama I

antara lain (Limantara, 2018) :

1. Luas DAS (A)

2. Panjang alur sungai utama (L)

3. Panjang alur sungai ke titik berat

DAS (Lc)

4. Kelandaian / slope sungai (s)

5. Kerapatan jaringan kuras / Drainage

Density (D)

Perbandingan antara Panjang total aliran

sungai ( jumlah Panjang sungai semua

tingkat ) dengan luas DAS. (Harto,

1993)

D = (2.20)

Dimana :

D = Kerapatan jaringan kuras /

Drainage Density

LN = Jumlah Panjang-panjang sungai

semua tingkat

A = Luas DAS Selain parameter diatas, antara lain :

SF = (2.21)

Dimana :

SF = Faktor sumber

L1 = Perbandingan antara jumlah

Panjang sungai-sungai tingkat satu

LN = jumlah Panjang-panjang sungai

semua tingkat

1. Frekuensi sumber (SN)

Perbandingan jumlah pangsa sungai

tingkat satu dengan jumlah pangsa

sungai semua tingkat

SN = (2.22)

Dimana :

SN = Frekuensi sumber

P1 = Perbandingan jumlah pangsa

sungai tingkat satu

PN = jumlah pangsa sungai semua

tingkat

2. Faktor Lebar (WF)

Perbandingan antara lebar DAS yang

diukur dititik sungai yang berjarak 0.75

L dan lebar DAS yang diukur di titik

sungai berjarak 0.25 L dari titik kontrol

(outlet). Garis Wu dan Wl Ʇ (tegak

lurus) dengan garis yang ditarik dari

outlet ke titik 0.25 L dan 0.75 L.

Gambar 2.7 Sketsa Penetapan WF

(Sumber : Triadmodjo, 2008)

WF = (2.23)

Dimana :

WF = Faktor Lebar

Wu = lebar DAS yang diukur dititik

sungai yang berjarak 0.75 L dari titik

control (outlet)

Wl = lebar DAS yang diukur di titik

sungai berjarak 0.25 L dari titik

kontrol (outlet)

3. Luas DAS sebelah hulu (RUA)

Perbandingan antara luas DAS disebelah

hulu garis yang ditarik Ʇ garis hubung

antara titik kontrol (outlet) dengan titik

di sungai yang terdekat dengan pusat

berat (titik berat) DAS.

RUA = (2.24)

Dimana :

RUA = Luas DAS sebelah hulu

12

Au = luas DAS disebelah hulu garis

yang ditarik Ʇ garis hubung antara titik

kontrol (outlet)

A = titik di sungai yang terdekat

dengan pusat berat (titik berat) DAS

Gambar 2.8 Sketsa Penetapan RUA

(Sumber : Triadmodjo, 2008)

4. Faktor simetri (SIM)

Hasil kali antara faktor lebar (WF)

dengan luas DAS sebelah hulu (RUA)

jadi:

SIM = WF x RUA (2.25)

Dimana :

SIM = Faktor simetri

WF = faktor lebar

RUA= luas DAS sebelah hulu

Persamaan untuk menentukan Hidrograf

Satuan Sintetik Gama-1 :

1. Waktu naik (TR) dinyatakan dengan

persamaan :

TR = 0.43 )3 + 1.0665 SIM + 1.2775 (2.26)

Dimana :

TR = waktu naik hidrograf (jam)

L = Panjang Sungai

SF = faktor sumber yaitu perbandingan

antara jumlah Panjang sungai tingkat 1

dengan jumlah panjang sungai semua

tingkat

SIM = faktor simetri ditetapkan sebagai

hasil kali antara faktor lebar (WF)

dengan luas relatif DAS sebelah hulu

(RUA)

WF = faktor lebar yaitu perbandingan

antara lebar DAS yang diukur dari titik

di sungai yang berjarak 3/4 L dan lebar

DAS yang diukur dari titik yang berjarak 1/4 L dari tempat pengukuran.

2. Waktu dasar (TB) dinyatakan dengan

persamaan : TB = 27.4132 TR

0.1457 x S

-0.0986 x SN

0.7344 x

RUA0.2574

(2.27)

Dimana :

TB = waktu dasar hidrograf (jam)

TR = waktu naik ( jam )

S = kemiringan sungai rata-rata

SN=nfrekuensi sumber yaitu

perbandingan antara jumlah segmen

sungai- sungai tingkat 1 dengan jumlah

sungai semua tingkat.

RUA = luas DAS sebelah hulu (km).

3. Debit puncak (Qp) dinyatakan

dengan persamaan :

Qp = 0.1836 A0.5886

x TR-0.4008

x JN0.2381 (2.28)

Dimana :

Qp = debit puncak hidrograf (m3dt)

JN = jumlah pertemuan sungai

TR = waktu naik (jam)

A = Luas DAS.

4. Aliran dasar dapa (QB) dinyatakan

dengan persamaan :

QB = 0.4751 A0.6444

x D0.9430

(2.29)

Dimana :

QB = aliran dasar (m3/s)

A = Luas DAS ( km2)

D = kerapatan jaringan sungai

D = (2.30)

K = 0.5617 A0.1793

x S-0.1446

x SF-1.0897

x

D0.0452

(2.31)

Dimana :

K = tampungan (jam)

A = luas DAS (km2)

S = kemiringan sungai rata-rata

SF = faktor sumber yaitu perbandingan

antara jumlah Panjang sungai tingkat 1

dengan jumlah panjang sungai semua

tingkat

D = kerapatan jaringan sungai

S = (2.32)

5. jumlah pertemuan sungai (JN) adalah

jumlah semua pertemuan sungai di

dalam DAS.

2.3.2.2 Hidrograf Satuan Sintetis

Limantara

Hidrograf Satuan Sintetis (HSS)

Limantara, yang asalnya dari Indonesia,

ditemukan oleh Lily Montarcih

Limantara pada tahun 2006. Lokasi

penelitian di Sebagian Daerah Aliran

Sungai (DAS) Indonesia antara lain di

Jawa (6 DAS, 67 Sub DAS), Bali (2

DAS, 13 Sub DAS), Lombok (1 DAS, 5

13

Uraian Notasi Satuan Kisaran

Luas DAS A Km² 0.325 - 1667.500

Panjang sungai

utamaL Km 1.16 - 62.48

Jarak titik

berat DAS ke

outlet

Lc Km 0.50 - 29.386

Koefisien

kekasaran

DAS

n - 0.035 - 0.070

Kemiringan

sungai utamas - 0.00040 - 0.12700

Bobot luas

hutanAf % 0.00 - 100

Sub DAS) dan Kalimantan Timur (1

DAS, 9 Sub DAS) (Limantara, 2018).

Gambar 2.9 Model HSS Limantara

(Sumber : Limantara, 2010)

Parameter DAS yang di pakai dalam

HSS Limantara ada 5 macam, yaitu :

1. luas DAS (A)

2. Panjang sungai utama (L)

3. Panjang sungai diukur sampai titik

terdekat dengan titik berat DAS (Lc)

4. Kemiringan sungai (s)

5. Koefisien kekasaran (n)

Persamaan HSS Limantara dapat

dinyatakan dengan persamaan sebagai

berikut (Limantara, 2018).

a. Persamaan debit puncak Qp = 0.042 × A

0.451 ×L

0.497 × Lc

0.356 ×S

-0.131×

n0.168

(2.33)

Dengan :

Qp = debit puncak banjir hidrograf

satuan (m3/dt/mm)

A = Luas DAS (km2)

L = Panjang sungai utama (km)

Lc = Panjang sungai dari outlet sampai

titik terdekat dengan titik berat DAS

S = kemiringan sungai utama

n = koefisien kekasaran DAS

0.042 = koefisien untuk konversi satuan

(m0.25

/dt)

b. Persamaan kurva naik Qn = Qp [(t/Tp)]

1.107 (2.34)

Dengan :

Qn = debit pada persamaan kurva naik

(m3/dt/mm)

Qp = debit puncak hidrograf satuan

(m3/dt/mm)

t = waktu hidrograf (jam)

Tp = waktu naik hidrograf atau waktu

mencapai puncak hidrograf (jam)

c. Persamaan kurva turun

Qt = Qp × 100.175(Tp-T)

(2.35)

Dengan :

Qt = debit pada persamaan kurva turun

(m3/dt/mm)

Qp = debit puncak hidrograf satuan

(m3/dt/mm)

Tp = waktu naik hidrograf atau waktu

mencapai puncak hidrograf (jam)

0.175 = koefisien untuk konversi satuan

(dt-1

)

HSS Limantara dapat diterapkan

pada DAS lain yang memiliki kemiripan

karakteristik dengan DAS-DAS di lokasi

penelitian. Spesifikasi Teknik HSS

Limantara disajikan pada tabel 2.4 :

Tabel 2.4 Spesifikasi Teknik HSS

Limantara

(Sumber : Limantara, 2010)

Untuk memperkirakan waktu

puncak banjir (Tp) bisa dipakai rumus

seperti Nakayasu (Limantara, 2018)

Tp = tg + 0.8 tr (2.36)

Dimana :

Tp = tenggang waktu (time lag) dari

permulaan hujan sampai puncak banjir

(jam)

Tg = waktu konsentrasi hujan (jam)

Cara menentukan Tg :

Jika L ≥ 15 km,

maka tg = 0.40 + 0.058 L (2.37)

L < 15 km,

maka tg = 0.21 L0.7

(2.38)

Dimana :

α = parameter hidrograf

tr = 0.5 * tg sampai 1*tg

14

2.3.2.3 Hidrograf Satuan Sintesis ITB-

1 dan ITB-2

Untuk menganalisis hidrograf satuan

sintetis pada suatu DAS dengan cara ITB

perlu diketahui beberapa komponen

penting pembentuk hidrograf satuan

sintetis berikut :

a. Waktu puncak (Tp) dan Time Lag

(TL)

HSS ITB-1 menggunakan rumus

time lag menurut Synder namun dengan

penyederhanaan harga Lc=0.5 L,

sehingga rumus Synder dapat dituliskan

sebagai berikut. (Natakusumah, 2011).

TL = Ct × 0.81225 × L0.6

(2.39)

Dimana :

TL = time lag (jam)

Ct = koefisien waktu untuk proses

kalibrasi

L = panjang sungai (km).

Nilai Ct umumnya adalah 1 jika Tp

hitungan hampir sama dengan Tp

pengamatan. Namun jika nilai Tp

hitungan lebih kecil dari Tp pengamatan,

maka diambil nilai Ct > 0, sedangkan

jika Tp hitungan lebih besar dari pada Tp

pengamatan, maka diambil nilai Ct < 0.

jika rumus time lag menggunakan rumus

Synder dan Jika Tr adalah durasi hujan

satuan maka nilai waktu puncak (Tp)

adalah sebagai berikut. (Natakusumah,

2011).

Tp = TL + 0.50 Tr (2.40)

b. Waktu Dasar (Tb)

Untuk DAS berukuran sedang dan

besar harga Tb secara teoritis berharga

tak berhingga, namun prakteknya harga

Tb yang direkomendasikan untuk

digunakan yaitu. (Natakusumah, 2011).

Tb = 20*Tp (2.41)

Dimana :

Tb = Waktu dasar

Tp = Waktu puncak

Menurut Natakusumah, (2011)

bentuk HSS dapat dinyatakan dengan

berbagai persamaan-persamaan bentuk

dasar HSS. Dua bentuk dasar HSS yang

digunakan untuk HSS ITB-1 dan HSS

ITB-2 sebagai berikut :

1. HSS ITB-1

HSS ITB-1 memiliki persamaan

lengkung naik dan lengkung turun

seluruhnya yang dinyatakan dengan satu

persamaan yang sama yaitu

q(t) = exp {2-t- αcp

(2.42)

Tabel 2.5 Harga Standar Koefisien α

dan β

(Sumber : Natakusumah, 2011)

Harga standar koefisien Cp adalah

1.0, jika harga debit puncak perhitungan

lebih kecil dari debit puncak

pengamatan, maka harga diambil Cp > 1.

Qp = (2.43)

Dimana :

Qp = debit puncak hidrograf satuan

(m3/s)

R = curah hujan satuan (mm)

Tp = waktu mencapai puncak (jam)

ADAS = Luas DAS (km2)

AHSS = luas kurva hidrograf satuan tak

berdimensi yang dilakukan secara

numerik dengan metodetrapesium.

2. HSS ITB-2

HSS ITB-2 memiliki persamaan

lengkung naik dan lengkung turun yang

berbeda. persamaan lengkung naik ( 0 ≤

t ≤ 1 ) ditunjukkan pada persamaan

(2.45), sedangkan persamaan lengkung

turun ( t > 1 s/d ∞ ) ditunjukan pada

persamaan (2.46) (Natakusumah, 2011).

q(t) = tα

(2.44)

q(t) = exp { 1- tβC

p} (2.45)

Dimana :

t = T/Tp adalah waktu q = Q/Qp debit,

yang masing-masing telah dinormalkan

sehingga t = T/Tp berharga antara 0 dan

1, sedangkan q = Q/Qp berharga antara 0

15

dan ∞ ( atau antara 0 dan 10 jika harga

Tb/Tp = 10 ).

III. METEDOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Lokasi yang dipilih dalam

penelitian ini adalah di Daerah Aliran

Sungai (DAS) Padolo yang terletak di

daerah Kota Bima, Nusa Tenggara Barat,

adapun letak geografis stasiun AWLR

Padolo yang dimaksud berada pada 118o

36’ 19” BT 8o 42’ 50” LS dan elevasi 45 m

dari permukaan laut.

Gambar 3.1 DAS Padolo

(Sumber : Katalog Balai Wilayah Sungai NT1)

Gambar 3.2 DAS Padolo

(Sumber : Katalog Balai Wilayah Sungai NT1)

3.2 Tahap Dan Prosedur Penelitian

3.2.1 Pengumpulan data

Data yang dipakai dalam penelitian

ini adalah data sekuder. Data sekunder

adalah data yang diperoleh dari suatu

lembaga atau instansi terkait. Adapun

data yang dibutuhkan dalam penelitian

ini diantaranya :

a. Peta topografi DAS Padolo

Penetapan daerah tangkapan

(catchment area) dilakukan

berdasarkan peta topografi yang

dikelola oleh Balai Informasi Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan

Umum Provinsi Nusa Tenggara

Barat (NTB).

b. Data debit AWLR

Data debit AWLR yang

digunakan adalah data debit dari

stasiun AWLR Padolo. Data ini

dikelola oleh Balai Informasi

Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan

Umum Provinsi Nusa Tenggara

Barat (NTB).

c. Data curah hujan

Data curah hujan yang

digunakan adalah data curah hujan

selama 15 tahun (2002-2016) yang

diperoleh dari Balai Informasi

Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan

Umum Provinsi Nusa Tenggara

Barat (NTB). Adapun stasiun hujan

terdekat yang berpengaruh pada

DAS Padolo adalah Stasiun Sumi,

Stasiun Godo, dan Stasiun

Paradowane.

3.2.2 Analisis Data

Adapun Langkah-langkah yang

dilakukan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

a. Analisa Data Curah Hujan

1. Uji konsistensi data curah hujan

dengan menggunakan metode RAPS

(Rescaled Adjusted Partial Sums).

2. Analisis curah hujan rerata DAS.

3. Analisis distribusi frekuensi untuk

menentukan jenis agihan/distribusi

yang digunakan.

4. Uji kecocokan distribusi frekuensi

menggunakan metode Chi-Kuadrat.

5. Analisis curah hujan rancangan

menggunakan metode berdasarkan

pada persyaratan jenis distribusinya.

6. Analisis perkiraan debit puncak

banjir dengan menggunakan metode

HSS Gama 1, HSS Limantara, HSS

ITB 1, dan HSS ITB 2.

b. Analisis data debit AWLR

Analisis debit banjir yang telah

terjadi dengan menggunakan metode

HSO.

c. Uji statistik

Untuk mendapatkan metode HSS

yang tepat untuk digunakan pada

DAS Padolo berdasarkan HSO. Uji

16

statistik yang digunakan adalah uji

koefisien korelasi, volume error dan

Nash-Sutchliffe Efficiency (NSE).

3.2.3 Perhitungan Debit Banjir Pada

DAS Padolo

Perhitungan debit banjir dilakukan

dengan Hidrograf Satuan Sintetik (HSS)

Gama 1, Limantara, ITB-1, dan ITB-2.

3.2.4 Hidrograf Satuan Observasi

(HSO)

Adapun prosedur pembuatan hidrograf

satuan (Harto, 1993):

1. Hidrograf tinggi muka air (hasil

rekaman AWLR) diubah menjadi

hidrograf debit dengan liku kalibrasi

(lengkung debit).

2. Aliran dasar dipisahkan dari

hidrografnya, cara yang digunakan

untuk memisahkan hidrograf dari

aliran dasarnya yaitu dengan straight

line method yaitu dengan cara

menarik garis lurus dari titik

terendah sisi resesi hidrograf

sebelumnya, sampai titik di sisi

resesi hidrograf yang ditinjau yang

didapat dari penggambaran sisi resesi

tersebut dalam kertas berskala

semilogaritma.

3. Hujan efektif yang menyebabkan

banjir tersebut ditetapkan misalnya

dengan indeks infiltrasi (Φ indeks).

4. Hidrograf satuan sembarang

ditetapkan, dengan menerapkan

ordinat-ordinatnya dengan besaran

tertentu.

5. Hidrograf satuan pertama ini

dikalikan dengan semua bagian

hujan efektif, kecuali hujan yang

terbesar.

6. Hidrograf limpasan langsung yang

didapat dikurangkan dari hidrograf

limpasan langsung terukur, maka

yang didapat adalah hidrograf

limpasan langsung yang ditimbulkan

oleh hujan maksimum tersebut. Dari

sini maka hidrograf satuan kedua

diperoleh.

7. Hidrograf satuan kedua ini

dibandingkan dengan yang pertama.

Apabila masih terdapat perbedaan

yang besar (sesuai dengan patokan

yang ditetapkan sebelumnya), maka

urutan butir ketiga dan keempat

diulangi dengan menggunakan

hidrograf satuan terakhir.

8. Demikian selanjutnya sampai

diperoleh perbedaan sekecil mungkin

antara hidrograf satuan terakhir

dengan hidrograf.

3.2.5 Cara Membandingkan HSS

dan HSO

Membandingkan Hidrograf Satuan

Sintetik (HSS) dengan Hidrograf Satuan

Observasi (HSO) dapat dilakukan

dengan menggunakan uji statistik, uji

statistik yang digunakan adalah uji

koefisien korelasi, volume error, dan

Nash – Sutchliffe Efficiency (NSE).

a. Uji koefisien korelasi

Koefisien korelasi adalah bentuk Analisa

statistik yang menunjukkan kuatnya

hubungan antara dua variabel atau lebih

(Harto, 1993).

dengan :

r = koefisien korelasi,

n = jumlah data,

Qo = debit observasi periode ke-i

(m3/detik),

Qs = debit sintetik periode ke-i

(m3/detik),

Untuk memudahkan melakukan

interpretasi mengenai tingkat korelasi

antara dua variabel, adapun kriteria

sebagai berikut (Sarwono, 2006) :

r = 1 = tidak ada korelasi

0 < r 0,25 = korelasi sangat lemah

0,25 < r 0,50 = korelasi cukup

0,50 < r 0,75 = korelasi kuat

0,75 < r 0,99 = korelasi sangat kuat

r 0,99 = korelasi sempurna

b. Penyimpangan volume error, VE

(3.1) (3.1)

17

Kesalahan volume dikatakan baik

jika dapat menunjukkan angka tidak

lebih dari 5 %. Kesalahan volume

dirumuskan sebagai berikut :

dengan :

Qo = debit observasi periode ke-i

(m3/detik),

Qs = debit sintetik periode ke-i

(m3/detik),

VE = penyimpangan volume error

(%),

n = jumlah.

c. NSE (Nash-Sutchliffe Efficiency)

Persamaan yang digunakan

untuk menghitung nilai NSE adalah

sebagai berikut (Moriasi, et al, 2007) :

dengan :

NSE = Nash-Sutcliffe Efficiency,

Qo = debit observasi periode ke-i

(m3/detik),

Qs = debit sintetik periode ke-i

(m3/detik),

= rata-rata debit observasi

(m3/detik).

Adapun kriteria nilai Nash-Sutchliffe

Efficiency (NSE) adalah sebagai berikut

Tabel 3.1 Kriteria Nash-Sutcliffe

efficiency (NSE)

Nilai Nash-Sutcliffe

Efficiency (NSE)

Interpretasi

0,75 < NSE 1 Baik

0,36 < NSE 0,75 Memuaskan

NSE 0,36 Tidak

Memuaskan

(Sumber : Motovilov, et al, 1999)

3.2 Bagan Alir Penelitian

Gambar 3.2 Bagan Alir Penelitian

IV. Analisa Dan Pembahasan

4.1 Analisis Hidrologi

4.1.1 Data Hujan

Data hujan yang dianalisis pada

kajian ini adalah data curah hujan dari

stasiun hujan yang berpengaruh terhadap

daerah studi. Stasiun pemakar hujan

tersebuut adalah stasiun Godo, stasiun

Sumi, dan stasiun Paradowane. Dalam

analisis ini digunakan data curah hujan

selama 15 tahun yaitu dari tahun 2002-

2016.

Gambar 4.1 Poligon Theiessen

(3.2)

(3.3)

18

Tabel 4.1 Pengaruh Luas DAS Setiap

Stasiun

Godo 62065817.3762 34.63%

Paradowane 103153975.8978 57.55%

Sumi 14013351.0358 7.82%

JUMLAH 179233144.3098 100.00%

StatsiunLuas Daerah

( m2 )

Pengaruh Luas

DAS Setiap

Stasiun (%)

4.1.2 Data Hujan Tiap Stasiun

Data hujan tahunan dari tiga stasiun

penakar hujan yaitu stasiun Godo,

stasiun Paradowane, dan stasiun Sumi

dapat dilihat pada tabel 4.2

Tabel 4.2 Data curah hujan pada tiap

stasiun

4.1.3 Uji Konsistensi Data

Dalam penelitian ini uji

konsistensi data curah hujan dilakukan

dengan menggunakan metode RAPS

(Rescaled Adjusted Partial Sums).

4.2 Analisis Hujan Rancangan

4.2.1 Analisa Pemilihan Agihan

Ada beberapa metode distribusi

probabilitas yang dapat digunakan untuk

menghitung hujan rencana atau debit

rencana, seperti Gumbel, Normal, Log

Normal, Log Pearson Tipe III. Dalam

penentuan jenis distribusi yang sesuai

dengan data, maka harus dilakukan

pengujian dengan parameter statistik.

Sebelum dilakukan perhitungan data

harus diurutkan dari yang terkecil ke

terbesar.

Tabel 4.3 Curah Hujan Rerata

Maksimum

4.2.2 Penentuan Jenis Sebaran

Perhitungan koefisien Cv, Cs, dan Ck

berdasarkan perhitungan agihan :

Tabel 4.4 Jenis Sebaran

Berdasarkan hasil analisa, jenis sebaran

yang didapatkan adalah distribusi

Normal.

Tabel 4.5 Nilai Curah Hujan Rancangan

19

4.2.3 Uji Kecocokan Distribusi

Frekuensi

a. Uji Chi Kuadrat

X2Hitungan < X2Tabel

0.400 < 5.99 Data cocok

Berdasarkan hasil perhitungan, didapat

nilai X2Hitungan lebih kecil di

bandingkan dengan nilai X2Tabel.

Sehingga data cocok dan dapat

digunakan untuk perhitungan

selanjutnya.

b. Uji Smirnov – Kolmogorov

Dmaks< Dkritis

0.134 < 0.340 ok

Berdasarkan hasil perhitungan, didapat

nilai Dmaks lebih kecil di bandingkan

dengan nilai Dkritis. Sehingga data

cocok dan dapat digunakan untuk

perhitungan selanjutnya.

4.2.4 Distribusi Hujan

Perhitungan distribusi hujan jam-

jaman menggunakan rumus Mononobe

dengan durasi hujan diasumsikan

berlangsung selama 3 jam.

Tabel 4.6 Hujan Efektif

4.3 Hidrograf Satuan Sintetik

Pada penelitian ini akan

digunakan dua hidrograf satuan sintetik

yaitu HSS Gama I, HSS Limantara,

HSS ITB-1, dan HSS ITB-2.

a. Hidrograf Satuan Sintetik Gama

1

Tabel 4.7 Hidrograf Satuan Sintetik

Gama 1

Gambar 4.2 Hidrograf banjir rancangan

HSS Gama 1 DAS Padolo

Tabel 4.8 Kala Ulang

1000 TAHUN 1682.584

25 TAHUN 1320.229

50 TAHUN 1409.505

100 TAHUN 1483.026

2 TAHUN 871.224

5 TAHUN 1091.79

10 TAHUN 1207.321

KALA ULANG Q(m3/dt)

20

b. Hidrograf Satuan Sintetik

Limantara

Tabel 4.8 Hidrograf satuan sintetik

Limantara

Gambar 4.3 Hidrograf banjir rancangan

HSS Limantara DAS Padolo

Tabel 4.9 Kala Ulang

c. Hidrograf Satuan Sintetik ITB-1

Tabel 4.9 Hidrograf satuan sintetik ITB-

1

Gambar 4.4 Hidrograf satuan sintetik

ITB-1 berbagai kala ulang DAS Padolo

Tabel 4.10 Kala Ulang

21

d. Hidrograf Satuan Sintetik ITB-2

Tabel 4.10 Hidrograf satuan sintetik

ITB-2

Gambar 4.5 Hidrograf satuan sintetik

ITB-2 berbagai kala ulang DAS Padolo

Tabel 4.11 Kala Ulang

Tabel 4.12 Rekapitulasi debit puncak

HSS DAS Padolo

4.4 Hidrograf Satuan Observasi

Hidrograf satuan observasi

digunakan sebagai pembanding untuk

mendapatkan metode HSS yang tepat

karena HSO merupakan hidrograf yang

datanya dari data aliran pada keadaan

yang sebenarnya.

Data AWLR yang digunakan

adalah debit maksimum pada 4 kejadian

banjir yang terjadi pada tanggal 15

Maret 2015, 7 Februari 2016, 6

Desember 2017, dan 20 Februari 2018.

4.4.2 HSO Rerata

Hidrograf yang didapatkan pada

tanggal-tanggal yang telah disebutkan di

atas belum merupakan hidrograf satuan

yang mewakili DAS yang bersangkutan.

Tabel 4.13 Perhitungan HSO Rerata

Gambar 4.6 HSO masing-masing

kejadian dan HSO rerata.

Dari hasil perhitungan hujan

efektif digunakan pula untuk mencari

debit banjir kala ulang pada hidrograf

satuan observasi.

22

Tabel 4.14 Kala Ulang

Gambar 4.7 Hidrograf satuan observasi

berbagai kala ulang

4.5 Analisis Perbandingan Statistik

metode HSS Gama1, HSS

Limantara, HSS ITB-1, dan HSS

ITB-2 dengan HSO Collins Pada

DAS Padolo

Pada tahap ini dilakukan

perbandingan untuk mengetahui

kecocokan antara hasil hidrograf satuan

sintetik dengan hidrograf satuan terukur.

Perbandingan metode HSS dan metode

HSO Collins menggunakan parameter

koefisien korelasi, volume error dan

NSE (Nash –Sutchliffe efficiency).

4.6 Rekapitulasi Perbandingan HSS

dan HSO Collins

Tabel 4.13 Rekapitulasi perbandingan

debit puncak berbagai metode

Tabel 4.14 Rekapitulasi hasil

perbandingan Volume Error (VE),

Koefisien Korelasi r, dan NSE

Berdasarkan rekapitulasi hasil

perhitungan, Metode HSS Gama I adalah

Metode yang menghasilkan nilai paling

mendekati nilai yang dihasilkan dari

analisa HSO dibuktikan dengan nilai

debit puncak pada DAS Padolo yang

menggunakan metode HSS Gama I

paling mendekati nilai debit puncak

HSO pada berbagai kala ulang. Selain itu

didapatkan nilai Volume Error (VE) =

30.718% yang merupakan nilai

penyimpangan terkecil diantara keempat

metode yang dipakai, Koefisien Korelasi

( r ) = 0.900 (berada diantara 0.75

sampai 0.99) maka dikategorikan

korelasi sangat kuat, NSE = 0.814

(berada diantara 0.75 sampai 1) maka

diinterpretasikan Baik.

V. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil Analisa yang telah

dilakukan pada penelitian ini dapat

diambil kesimpulan bahwa :

1. Nilai debit puncak yang terjadi di

DAS Padolo menggunakan berbagai

metode Hidrograf Satuan Sintetis:

a. HSS Gama I untuk kala ulang 2,

5, 10, 25, 50, 100, dan 1000 tahun

masing-masing didapatkan

sebesar 871.224 m3/dt, 1091.79

m3/dt, 1207.321 m

3/dt, 1320.229

m3/dt, 1409.505 m

3/dt, 1483.026

m3/dt, dan 1682.584 m

3/dt.

b. HSS Limantara untuk kala ulang

2, 5, 10, 25, 50, 100, dan 1000

23

tahun masing-masing didapatkan

sebesar 531.057 m3/dt, 665.41

m3/dt, 735.778 m

3/dt, 804.552

m3/dt, 858.931 m

3/dt, 903.714

m3/dt, dan 1025.267 m

3/dt.

c. HSS ITB 1 untuk kala ulang 2, 5,

10, 25, 50, 100, dan 1000 tahun

masing-masing didapatkan

sebesar 572.968 m3/dt, 717.94

m3/dt, 793.875 m

3/dt, 868.087

m3/dt, 926.765 m

3/dt, 975.089

m3/dt, dan 1106.253 m

3/dt.

d. HSS ITB 2 untuk kala ulang 2, 5,

10, 25, 50, 100, dan 1000 tahun

masing-masing didapatkan

sebesar 792.580 m3/dt, 993.21

m3/dt, 1098.304 m

3/dt, 1201.008

m3/dt, 1282.216 m

3/dt, 1349.093

m3/dt, dan 1530.617 m

3/dt.

2. Nilai debit puncak yang terjadi di

DAS Padolo menggunakan HSO

untuk kala ulang 2, 5, 10, 25, 50,

100, dan 1000 tahun masing-masing

didapatkan sebesar 1021.599 m3/dt,

1280.276 m3/dt, 1415.733 m

3/dt,

1548.191 m3/dt, 1652.894 m

3/dt,

1739.119 m3/dt, dan 1973.160 m

3/dt.

3. Berdasarkan hasil analisa,

didapatkan bahwa HSS Gama 1

adalah metode yang menghasilkan

nilai paling mendekati metode HSO

pada DAS Padolo dibuktikan dengan

nilai Volume Error (VE) = 30.718%

yang merupakan nilai penyimpangan

terkecil diantara keempat metode

yang dipakai, Koefisien Korelasi ( r )

= 0.900 (berada diantara 0.75 sampai

0.99) maka dikategorikan korelasi

sangat kuat, NSE = 0.814 (berada

diantara 0.75 sampai 1) maka

diinterpretasikan Baik.

5.2 Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan ada

beberapa hal yang dapat dijadikan

sebagai masukan atau saran untuk

pengembangan selanjutnya, antara lain :

1. Untuk Studi selanjutnya perlu

menggunakan data hujan dan data

debit terbaru dari stasiun otomatis

dalam pengolahan data hidrologi.

2. Hasil perhitungan beberapa metode

tersebut dapat digunakan sebagai

perbandingan untuk perhitungan

hidrograf banjir.

3. Untuk perencanaan bangunan air

pada DAS Padolo yang tidak bisa

menggunakan data debit observasi

maka disarankan menggunakan

metode HSS Gama 1.

4. Untuk penelitian berikutnya

diharapkan untuk menguji

menggunakan analisis frekuensi dan

perhitungan yang dikeluarkan oleh

balai bendungan serta perlu untuk

divalidasi.

5. Diharapkan untuk penelitian

selanjutnya lebih memperhatikan

nilai hujan efektif yang diperoleh

dari data lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2009, Pedoman Penulisan

Tugas Akhir, Mataram : Jurusan Teknik

Sipil Universitas Mataram.

Anonim, 2016, Tata cara perhitungan

debit banjir rencana SNI 2415, Badan

Standardisasi Nasional.

Anonim, 2016, Katalog sungai Padolo,

Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I.

Asdak C, 2007, Hidrologi dan

pengendalian Daerah Aliran Sungai,

Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Harto, Sri, 1985, Pengkajian sifat dasar

hidrograf satuan sungai-sungai di pulau

Jawa untuk perkiraan banjir, Disertasi,

Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Harto, Sri, 1993, Analisis hidrologi,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

24

Harto, Sri, 2000, Hidrologi teori,

masalah penyelesaian, Nafiri Offset,

Yogyakarta.

Indarto, 2012, Hidrologi- Dasar teori

dan contoh aplikasi model hidrologi,

Bumi Aksara, Jakarta.

Kristianto, Ayub Benny, 2019,

Komparasi Model Hidrograf Satuan

Terukur Dengan Hidrograf Satuan

Sintetis (Studi Kasus Dan Tukad

Pakerisan) : Jurnal Spektran Program

Studi Magister Teknik Sipil Universitas

Udayana.

Limantara,L.M., 2010, Hidrologi

praktis, Lubuk Agung, Bandung.

Limantara,L.M.,2018, Rekayasa

Hidrologi, Andi, Yogyakarta.

Moriasi, 2007. Model evaluation

guidelines for systematic quantification

of accuracy in watershed simulations. J.

American Society of Agricultural and

Biological Engineers, 50: 885−900.

Motovilov, Y.G, Gottschalk, L,

Engeland, K, & Rodhe, A, 1999,

Validation of a Distributed Hydrological

Model Against Spatial Observations.

Elsevier Agricultural and Forest

Meteorology, 98: 257-277.

Natakusumah, 2011, Prosedur umum

perhitungan hidrograf satuan sintesis

dengan cara ITB dan beberapa contoh

penerapannya, Jurnal Teknik Sipil Vol.

18 No. 3 Desember 2011, Bandung.

Purnomo, Sanidhya Nika, 2017,

Pengaruh Metode Pemilihan Data

Hujan Pada Perancangan Debit Banjir

Di DAS Serayu : Jurnal Techo Fakultas

Teknik Universitas Muhammadiyah

Purwokerto.

Rapar, Sharon Marthina Ester, 2014,

Analisis Debit Banjir Sungai Tondano

Menggunakan Metode HSS Gama 1 dan

HSS Limantara : Jurnal Sipil Statik

Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil

Universitas Sam Ratulangi Manado.

Safrida, Muhammad Fajar Angga, 2014,

Analisis Hidrograf Aliran Daerah Aliran

Sungai Tirtomoyo Dengan Beberapa

Metode Hidrograf Satuan Sintetis :

Jurnal Matriks Teknik Sipil Universitas

Sebelas Maret.

Sarwono, Jonathan, 2006, Metode

penelitian kuantitatif dan kualitatif,

Graha Ilmu, Yogyakarta.

Soemarto, C.D, 1999, Hidrologi Teknik,

Erlangga, Jakarta.

Soewarno, 1995, Hidrologi Aplikasi

Metode Statistik Untuk Analisa Data,

Nova, Bandung

Triatmodjo, Bambang, 2008, Hidrologi

Terapan, Betta Offset, Yogyakarta.

25