Al-Qur'an dan Tafsir
Transcript of Al-Qur'an dan Tafsir
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an, dalam tradisi pemikiran Islam, telah
melahirkan sederetan teks turunan yang sedemikian luas
dan mengagumkan. Teks-teks turunan itu merupakan teks
kedua – bila Al-Qur’an dipandang sebagai teks pertama –
yang menjadi pengungkap dan penjelas maka-makna yang
terkandung di dalamnya. Teks kedua ini lalu dikenal
sebagai literatur tafsir Al-Qur’an ; ditulis oleh para
ulama dengan kecenderungan dan karakteristik masing-
masing, dalam berjilid-jilid kitab tafsir.1
Usaha-usaha pemahaman atas teks Al-Qur’an yang
melahirkan beragam karya tafsir tersebut telah menjadi
fenomena umum di kalangan umat Islam. Prinsip dasar yang
digunakan adalah : Al-Qur’an sebagai Kitab petunjuk yang
di dalamnya termuat manhaj-manhaj rabbany yang maha
paripurna. Keragaman literatur tafsir yang terus
berkembang dan beragam terjadi karena teks Al-Qur’an
1 Prof. Dr. H Amin Abdullah, Arah Baru Metode Penelitian Tafsir di Indonesia, dalam pengantar Khazanah Tafsir Indonesia, hlm.17
1
merupakan sistem tanda (a system of signs).2 Ia memiliki
makna yang beragam dikarenakan adanya proses pemaknaan
seperti tafsir (exegesis) dan takwil (interpretation, ).
Dari proses pemaknaan ini, terlahirlah sebuah peradaban
yang paling revolusioner.
Nasr Hamid Abu Zaid dalam bukunya Mafhum al-Nash:
Dirasah fi Ulumil Qur’an, menyebutkan bahwa peradaban Islam
adalah peradaban teks. Artinya, fundamen intelektual dan
kultural umat Islam tidak mungkin mengabaikan
sentralitas posisi teks Al-Qur’an dalam dialektikanya
dengan realitas. Hal ini memang diperintahkan Al-Qur’an
yang berkali-kali menyuruh kita untuk mendalami
kandungan ayat-ayat Al-Qur’an, seperti dalam firman
Allah yang artinya : “Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka
terkunci.” ( QS. Muhammad : 24 )
Sampai di sini, setidaknya ada satu tanda tanya
besar yang menggelitik kita. Bagaimana cara kita
mengungkap kandungan Al-Qur’an dengan baik dan benar ?
untuk menanggulanginya, dibuatlah suatu rambu-rambu dan
2 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, (Jakarta, Teraju, 2002), hlm.28
2
prosedur dalam memaknai Al-Qur’an, yaitu Ulumul Qur’an
yang dipandang para Ulama sebagai ilmu bantu bagi para
mufassir Al-Qur’an. Wawasan sekitar Al-Qur’an di berikan
oleh Ulumul Qur’an yang membahas tentang seluk beluk Al-
Qur’an. Ulumul Qur’an memadukan seluruh pembahasan
sistematis yang berhubungan dengan Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah sumber ilmu yang cahayanya
memancar ke segala penjuru. Dalam kerangka pluralitas
makna Al-Qur’an, Abdullah Ad-Darraz dalam bukunya al-Naba’
al-‘Azhim ( Kabar Besar ) membuat suatu pernyataan yang
menarik, ” ( Al-Quran ) itu intan, setiap sudutnya
memancarkan cahaya yang berbeda dengan yang terpancar
dari sudutnya yang lain. Tidak mustahil bila anda
mempersiakan orang lain untuk memandangnya, ia akan
melihat lebih banyak dari yang anda lihat. “
3
BAB IIDeskripsi
A.Al-Qur’an dan TafsirAl-Qur’an dan Tafsir laksana dua sejoli yang takkan
pernah terpisahkan, dikarenakan korelasi yang amat kuat
diantara keduanya. Jika salah satunya dipisahkan dari
yang lainnya, maka akan terjadi kepincangan. Keduanya
bersifat komplementer, jika Al-Qur’an adalah buku maka
Tafsir adalah pensilnya.
Secara definitif, banyak sekali Ulama yang
merumuskan ta’rif Al-Qur’an, diantaranya, menurut Dr.
Subhi as-Shalih dalam bukunya Mabahits fi Ulumil Qur’an,
secara leksikal, Al-Qur’an merupakan bentuk mashdar dari
fi’il madli qa-ra-a yang bermakna tala (membaca) diambil
orang-orang Arab dari bahasa Aramia dan digunakannya
dalam percakapan sehari-hari. Kata Qur’an bersinonim
dengan kata qira’ah yang berarti al-maqru’ ( bacaan ).3
Secara terminologis, dengan mengutip pendapat Imam Ali
3 Dr. Subhi ash-Shalih, membahas ilmu-ilmu al-Qur’an, terjemah NurRakhim, dkk. (Jakarta, Pustaka Firdaus,1993), hlm.6
4
As-Shabuni, Al-Qur’an adalah kalam Allah yang mengandung
mukjizat, yang diturunkan kepada penutup para nabi dan
rasul, dengan perantara malaikat Jibril a.s. yang
tertulis pada mashaaif.4 Diriwayatkan kepada kita secara
mutawatir, bernilai ibadah jika dibaca. Diawali dengan
surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas.5
Dalam tradisi studi teks Al-Qur’an, Tafsir
merupakan salah satu kontributor yang paling besar
peranannya. Dalam Lisanul ‘Arab, disebutkan bahwa kata
Tafsir berasal dari kata al-fusru yang berarti al-bayan
(menjelaskan) atau kasyful mughaththa (menyingkap sesuatu
yang tersembunyi).6 Sedangkan menurut terminologis
mufassirun, kata tafsir selalu dibandingkan dengan
takwil, di kalangan mereka telah terjadi perbedaan
pengertian antara terma tafsir dan takwil, yang pertama
biasanya diterjemahkan menjadi penjelasan (exegesis)
atau komentar (commentary), dan yang kedua diterjemahkan
4 Mashaaif artinya buku atau lembaran-lembaran, dalam pengertian Al-Qur’an yang telah dikodifikasikan.5 Ali As-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, (Jakarta, Dar IhyaKutub al-Arabiyyah, 1985), hlm.86 Muhammad Husain ad-Dzahby, at-Tafsir wal Mufassirun, (Kairo, Dar el-Hadits, 2005), hlm.17
5
menjadi interpretasi. Sebagian ada yang memandang bahwa
tidak ada perbedaan antara keduanya.
Sederhananya, tafsir menjelaskan “yang luar” dari
Al-Qur’an, sedangkan takwil menjelaskan hal-hal yang
tersembunyi dari Al-Qur’an. Artinya peran penafsir dalam
penafsiran Al-Qur’an hanya dalam kerangka menangkap
signal-signal. Sedangkan dalam takwil, interpreter lebih
dari sekedar menerapkan dua bidang ilmu yang
dipergunakan dalam tafsir di atas. Takwil dalam
pengertiannya yang lebih baru takwil menggunakan
perangkat keimuan lain dalam ilmu-ilmu sosial dan
kemanusiaan untuk menguak makna teks yang lebih dalam.
Hanya saja dalam tradisi khazanah literatur Islam,
istilah takwil dalam disiplin keilmuan Al-Qur’an ini
jarang dipakai dan terlanjur cenderung dibebani makna-
makna yang negatif. Itulah sebabnya masyarakat muslim
lebih akrab menyebutnya “ kitab tafsir Al-Qur’an “
daripada “ kitab Takwil Al-Qur’an ”7.
Tidak diragukan lagi bahwa sejarah tafsir Al-Qur’an
berlangsung melalui berbagai tahap dan kurun waktu yang
7 Khazanah Tafsir Indonesia, hlm.186
panjang sehingga mencapai bentuknya seperti sekarang
ini. Pertumbuhan tafsir Al-Qur’an dimulai sejak dini
yaitu sejak zaman Nabi Muhammad SAW sebagai figur
sentral dalam menafsirkan Al-Qur’an. Jika para sahabat
mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat,
mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Seperti
hadits riwayat Bukhari-Muslim dari Ibnu Mas’ud, yang
menyatakan : “ketika turunnya surat al-an’am ayat 82,
yang menyatakan, “Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukan iman mereka dengan kezaliman”, banyak orang
yang merasa resah. Lalu mereka bertanya kepada
Rasulullah SAW : “Ya Rasulullah, siapakah diantara kita
yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya ? “ Nabi
menjawab : “Kezaliman di sini bukan seperti yang kamu
pahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang
dikatakan oleh seorang hamba Allah yang saleh sesungguhnya
kemusyrikan adalah kezaliman yang besar (Luqman : 13), jadi
maksud kezaliman di sini ialah kemusyrikan.
Dari hadits tersebut, nampaklah betapa urgennya
tafsir Al-Qur’an. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat
terus berusaha seoptimal mungkin menjelaskan makna-makna
7
Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan masing-masing,
diantara mufassir yang terkenal dari kalangan sahabat
adalah empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Zaid bin
Tsabit, dll. Kemudian tradisi ini terus dilanjutkan oleh
murid-murid mereka yakni para tabi’in. Setelah mereka
menyadari urgensi tafsir Al-Qur’an, maka berkembanglah
sebuah disiplin ilmu baru yang secara spesifik membahas
prosedur-prosedur dalam menafsirkan Al-Qur’an yaitu
Ulumul Qur’an.
Definisi Ulumul Qur’an ialah: “ Pembahasan yang
berhubungan dengan Al-Qur’an al-Majid yang abadi dari
segi nuzulnya, pengumpulannya, urutannya, dan
pembukuannya. Mengetahui asbabun nuzul, klasifikasi
makiyyah dan madaniyyah, nasikh-mansukh, muhkam
mutasyatabih, dan pembahasan lainnya yang berhubungan
dengan Al-Qur’an8. Faidah kita mempelajari Ulumul Qur’an
ialah supaya kita mempunyai senjata yang ampuh yang
dapat kita pergunakan untuk membela kesucian Al-Qur’an
dan supaya kita mudah mendalami tafsir Al-Qur’an.
8 At-Tibyan hlm.88
B. Ruang Lingkup Ulumul Qur’an dan Relevansinya
Dengan Tafsir
Pembicaraan tentang ruang lingkup Ulumul Qur’an
setidaknya dapat ditinjau dari segi idhafy dan
istilahiynya. Dari segi idhafy, ruang lingkup Ulumul Qur’an
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Al-Qur’an,
apapun itu. Maka segala sesuatu yang ada hubungannya
dengan Al-Qur’an termasuk ke dalam wilayah operasi
Ulumul Qur’an. Sebagian ahli bahasa mengatakan bahwa
istilah Ulumul Qur’an dengan arti lengkap baru lahir
setelah disusun kitab setebal 30 jilid yang bernama Al-
Burhan fi Ulumil Qur’an, oleh Al-Hufiy. Di dalamnya
diterangkan tentang lafadz-lafadz yang gharib, i’rab, dan
tafsir. Ditinjau dari segi Isthilahy, yang kita
golongkan ke dalam ruang lingkup Ulumul Qur’an adalah
ilmu-ilmu Arabiyah yang terkait dengan keperluan untuk
membahas Al-Qur’an9.
Pada dasarnya maudlu’ Ulumul Qur’an ialah Al-Qur’an
sendiri dari segi penjelasan dan maknanya, hanya saja
9 TM Hasbi as-Shiddieqy. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2010 ) hlm.1
9
Ulumul Qur’an jika ditinjau dengan bi’tibaril ‘Ilmi
( Perspektif Ilmu ) dan bi’tibaaril ‘Amali ( Perspektif
Aplikasi ) jelas akan terjadi perbedaan wilayah operasi.
Ulumul Qur’an dengan perspektif yang kedua mempunyai
ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan yang
pertama. Proses dialektika Ulumul Qur’an bi’tibaaril ‘Amali
lebih luas dan mendalam. Jika Ulumul Qur’an perspektif
pertama lebih terfokus pada teks (dalam pengertiannya
yang tradisional ), maka yang kedua lebih jauh dan
mendalam dengan mencoba masuk ke wilayah
kontekstualisasi, yang tentunya dengan proses interaksi
teks dan dialektika relitas yang lebih mendalam.
Ulumul Qur’an adalah prosedur-prosedur dan aturan
main dalam meramu Al-Qur’an. Dalam hal ini Ulumul Qur’an
merupakan sesuatu yang wajib dimiliki setiap mufassir
Qur’an agar tidak sembarangan dalam menfsirkan Al-
Qur’an. Karena kitab-kitab tasir yang ada sekarang ialah
suatu produksi yang dihasilkan dari interaksi pengarang
(author) dengan teks Al-qur’an dengan berpedoman pada
aturan main tafsir Qur’an yaitu Ulumul Qur’an sendiri.
10
Maka Ulumul Qur’an merupakan hal yang paling urgen dalam
tradisi tafsir Qur’an.
Ulumul Qur’an sendiri dirancang para Ulama untuk
mencegah penafsiran ilegal yang ngawur dan tidak sesuai
ajaran Rasulullah. Sebagaimana dipaparkan oleh Dr.
Muhammad Husain Ad-Dzahbi, bahwa Sepeninggal Rasulullah
s.a.w, munculah segolongan orang yang mencoba
menceraiberaikan umat Islam, membuat bid’ah-bid’ah dalam
agama, yang hanya bisa diatasi dengan “ar-ruju’ ila kitabillah
wa as-sunnati rasulihi ” . Mereka mengabaikan Hidayah Al-Qur’an
dan menafsirkan Al-Qur’an sembarangan tidak sesuai
dengan ajaran Rasulullah. Di samping itu muncul pula
golongan lain yang di lisan mereka mengaku orang islam
tetapi dengan hati yang memuja kekufuran, yakni para
zanadiq. Kemudian mereka menyebarkan tafsir-tafsir palsu
yang di dalamnya terdapat doktrin-doktrin kekufuran yang
dengan mudah dapat mendoktrin orang-orang awam yang
dangkal pemahamannya. Melihat fenomena ini, para Ulama
mulai menyusun langkah kongkrit untuk melenyapkan
syubhat-syubhat ini. Mereka berjuang seoptimal mungkin
dengan mengerahkan seluruh kemampuannya demi menjaga
11
kemurnian kitab suci.Akhirnya, melalui para ulama, Allah
menyelamatkan kaum musimin dari malapetaka itu. Allah
menjaga kaum muslimin melalui para ulama dari
kemudaratan.10 Hal inilah kiranya yang melatarbelakangi
penyusunan Ulumul Qur’an. Maka jelaslah bahwa relevansi
Keduanya sangatlah erat.
C. Pertumbuhan Dan Perkembangan Ulmul Qur’an
1. Masa Sebelum Kodifikasi
Pertumbuhan Ulumul Qur’an sendiri dimulai sejak
masa Rasulullah. Ketika itu Rasulullah berperan sebagai
figur sentral dalam rujukan setiap permasalahan. Hanya
saja Ulumul Qur’an pada saat itu belum ditampilkan
secara definitif. Para sahabat Nabi adalah orang orang
arab murni yang mampu memahami kesusastraan bermutu
tinggi. Mereka mampu memahami ayat-ayat Qur’an yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad. Al-Qur’an adalah kitab
yang mengandung mukjizat dari berbagai aspek termasuk
aspek sastranya. Hal ini dibuktikan oleh orang-orang10 Muhammad Husain ad-Dzahby, at-Tafsir wal Mufassirun, (Kairo, Dar el-Hadits, 2005), hlm 11-12.
12
arab yang ditantang untuk menandingi Al-Qur’an, dimulai
dari tantangan untuk membuat serupa Al-Qur’an, kemudian
sepuluh surat seperti surat Al-Qur’an, dan yang terakhir
untuk membuat satu surat seperti A-Qur’an, dan tak ada
satu pun dari mereka yang mampu melakukannya, mereka
semua menyerah kalah.
Jika para sahabat menemukan kesukaran dalam
memahami Al-Qur’an, mereka langsung bertanya kepada
Rasulullah. Maka pada zaman Rasulullah dan Sahabat,
tidak ada kebutuhan sama sekali untuk menulis buku
tentang ilmu Al-Qur’an. Terlebih mayoritas sahabat Nabi
terdiri dari orang-orang yang buta huruf, alat-alat
tulis pun tak mereka peroleh dengan mudah. Selain itu
Rasulullah sendiri melarang para sahabat menulis sesuatu
yang bukan Al-Qur’an. Pada masa Rasulullah sampai kepada
masa kekhalifahan Abu Bakar ra dan ‘Umar ra, ilmu Al-
Qur’an masih diriwayatkan melalui penuturan secara lisan
dari mulut ke mulut (talqin dan musyafahah). 11
2. Masa Persiapan Kodifikasi
11 TM Hasbi as-Shiddieqy. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, hlm 4.13
Pada masa Utsman ra di mana orang Arab khususnya
orang yang turut serta dalam ekspansi wilayah, mereka
mulai berasimilasi dengan orang non-Arab, beliau
memerintahkan supaya kaum muslimin berpegang pada mushaf
Al-Imam dan membuat reproduksi mushaf untuk dikirim ke
beberapa provinsi, inilah yang akan menjadi cikal bakal
Ilmu Rasmil Qur’an.12 Selain itu Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib
kw. juga terkenal dengan perintahnya kepada Abu Aswad
Ad-Dualy untuk meletakan kaidah pramasastra arab guna
menjaga corak keasliannya. Dengan perintahnya itu,
berarti pula Ali bin Abi Thalib ra adalah orang yang
meletakkan dasar ilmu I’rabul Quran. Dapatlah dikatakan, para
perintis ilmu tersebut ialah :
1. Empat orang khalifah Rasyidin, Ibnu Abbas, Ibnu
Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Abu Musa
al-Asy-ari dan Abdullah bin Zubair. Mereka dari
kalangan sahabat nabi.
2. Mujahid, ‘Atha’ bin Yasar, Ikrimah, Qatadah, Hasan
Basri, Said bin Jubair, dan Zaid bin Aslam dari
kaum Tabi’in di Madinah
12 Ilmu yang mempelajari tentang penulisan Al-Qur’an14
3. Malik bin Anas dari kaum Tabi’it-tabi’in (generasi
ketiga kaum muslimin). Ia memperoleh ilmunya dari
Zaid bin Aslam.
Mereka itulah orang-orang yang meletakkan apa yang
sekarang kita kenal dengan ilmu tafsir, ilmu asbabun-
nuzul, ilmu tentang ayat-ayat yang turun di Mekkah dan
yang turun di Madinah, ilmu tentang nasikh dan mansukh dan
ilmu gharibul quran. (soal-soal yang memerlukan penta’wilan
dan penggalian maknanya).13
3.Masa Kodifikasi Al-Qur’an
Pada masa kodifikasi al-qur’an, ilmu tafsir berada
di atas segala ilmu yang lain, karena dia dipandang
sebagai induk ilmu al-qur’an. Di antara orang-orang yang
sibuk menekuni dan menulis buku mengenai bidang ilmu
tersebut adalah:
13 Dr. Subhi ash-Shalih, membahas ilmu-ilmu al-Qur’an, hlm. 15715
Dari kalangan ulama abad ke-II H: Syu’bah bin al-
Hajjaj14, Sufyan bin Uyaimah15, dan Waki’ bin Jarrah16.
Kajian mereka memuat pendapat pendapat sahabat dan
tabi’in. Kemudian muncul pada zaman berikutnya Ibnu
Jarir at-Tabary menyusun kitab tafsir at-Thabary
merupakan terbaik dan bermutu karena berisi banyak
riwayat hadis shahih ditulis dengan rumusan yang baik.
Selain itu juga berisi I’rab, pengkajian dan pendapat-
pendapat yang berharga.17
Adapun ilmu-ilmu al-Quran yang lain, maka termasuk
tokoh yang mempeloporinya adalah:
1. Pada abad ke-3 H: Ali bin al-Madaniy18 (wafat 234
H), guru imam Bukhari yang menyusun kitab asbabun-
14 Imam ahli hadis terkemuka di Basrah. Nama lengkapnya: Syu’bah bin Al Hajjaj bin al-Ward al- ‘Atik al- Azzdi Al-Wasiti. Ia mengalami hidupnya Anas bin Malik ra. dan mendengarkan pemikiran 400 orang dari kaum tabi’in. di kalangan imam ilmu Hadis dia dipandang sebagaihujjah. Wafat tahun 160 H.15 Seorang ahli tafsir dan hadis di Hijaz. Nama lengkapnya: Sufyan bin ‘Uyainah al-Hilay al-Kufi. Wafat tahun 198 H.16 Nama panggilannya: Abu Sufyan ar-Ruwasi al-Kufi, dari Qeis ‘Ailan.Dia mendengar pendapat-pendapat Ibn Jarij, al-A’masyi, al-Auza’I, dan Sufyan ats-Tsaury. Lahir 128 H dan wafat tahun 197 H. Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Mu’in mengatakan:”Orang yang terpecaya di Iraq adalah Waki”.17Dr. Subhi ash-Shalih, membahas ilmu-ilmu al-Qur’an, hlm. 157-15818 Ia adalah ‘Ali bin Abdullah bin Ja’far, seorang dari kabilah Sa’adberdasarkan wala (perwalian)
16
nuzul, Abu ‘Ubaid al-Qasim yang menyusun nasikh dan
mansukh.
2. Pada abad ke-4 H: Abu Bakar bin Qasim al-Anbari
(wafat 328 H) menulis buku yang berjudul ‘Ajaibul
‘Ulumul Qur’an. Abu Hasan al-‘Asy’ary menulis kitab
berjudul al-Mukhtazan fi ‘Ulumuil Qur’an. Abu Bakar as-
Sijistani menulis tentang keanehan-keanehan al-
Qur’an19
3. Pada abad ke-5 H: ‘Ali bin Ibrahim bin Sa’id al-
Hufi20 menulis kitab yang berjudul al-Burhan Fi ‘Ulumil
Qur’an dan I’rabul Qur’an. Abu ‘Amr Ad-Dani (wafat 444 H)
menulis kitab berjudul at-Taisir Fi Qira’atis Sab’i Dan Al-
Muhkam Fi Nuqath.
4. Dalam abad ke-6 H: Abu Qasim ‘Abdurrahman yang
lebih dikenal denagan as-Suhaili21 menulis kitab
yang tentang soal yang samar-samar di dalam al-
Qur’an.
19 Muhammad bin ‘Aziz bin al-Azizi as-Sijistani. Dalam al-Itqan ,Sayuti mengatakan:” Ia menulis kitabnya selama 15 tahun bersama gurunya, Abu Bakar al-Anbary”.20 Penulis kitab al-Burhan fi ‘Ulumil-Qur’an dan kitab I’rabul Qur’an. Wafat 430 H.21 Ia adalah ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Ahmad as-Suhail, nama panggilannya: Abul Qasim. Wafat di Marakesh pada tahun 581 H. Kitabnya berjudul Mubhamatul-Qur’an.
17
5. Pada abad ke-7 H: Ibnu ‘Abdus Salam22 menulis kitab
tentang majazul qur’an. ‘Ilmuddin as-Sakhawi23 menulis
kitab tentang qira’at.24
Sebahagian penelitian sejarah al-Qur’an, istilah
‘Ulumul Qur’an - dalam arti keseluruhan- baru muncul
sebagian kenyataan yang jelas setelah munculnya
kitab berjudul al-Burhan Fi Ulimil-Qur’an tulisan ‘Ali bin
Ibrahim bin Sa’id yang terkenal dengan al-Hufi
(wafat 430 H), terdiri dari 30 jilid.
Kemudian tibalah abad VI H. Pada masa itu, Ibnul-
Jauzy (wafat 597 H) menyusun dua kitab yang
berjudul Funun Al-Fanan Fi Ulum Al-Qur’an dan Al-Mujtaba Fi
Ulum Tata’allaqu Bi Al-Qur’an. Keduanya masih berbentuk
manuskrip dan terdapat di Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah, Kairo.
Pada abad VII H, ‘Ilmuddin as-Sakhawi (wafat 794 H)
menulis kitab berjudul Jamalul-Qurra Wa Kamalul-
22 Ia adalah Syaikul Islam Imam Abu Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdus Salam. Wafat 660 H.23Ia adalah ‘Ali Muhammad bin ‘Abdus Samad , wafat 643 H. Kitabnya mengenai qira’at teratur baik dan terkenal dengan nama As-Sakhawiyah. Judul yang sebenarnya adalah Hidayatul Murtab Fi Mutasyabih.24 DR. Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, h.158-160
18
Iqra’,25dan Abu Syamah (wafat 665 H) menulis kitsb al-
Mursyidul-Wajizfi Ma Yata’allaqu bil-Qur’anil ‘Aziz.
Pada abad VIII H Badruddin az-Zarkasyi (wafat 794
H) menulis al-Burhan Fi ‘Ulumil Qur’an.
Pada abad IX H lebih banyak lagi yang menulis
buku-buku tentang ulumul qur’an. Jamaluddin al-
Bulqaini26 menulis Mawaqi’ul ‘Ulum Min Mawaaqi’un-Nujum.
Muhammad bin Sulaiman al-Kafiyaji (wafat 879 H),
kemudian as-Suyuti (wafat 911 H) menulis at-Tahbir Fi
‘Ulumit Tafsir dan al-Itqan Fi ‘Ulumil Qur’an.27
4. Ulumul Qur’an pada Abad Kontemporer
Pada abad kontemporer ini banyak ulama-ulama yang terus
melakukan penyusunan kitab-kitab ulumul qur’an
diantaranya:
25 Kitab ini mencakup berbagai bidang ilmu Qira’at, seperti: tajwid,waqaf dan ibtida’ dan nasikh wal mansukh.26 Seorang ulama yang cerdas ahli di bidang ushul fiqh, ushuluddin, bahasa arab, tafsir, ma’ani dan bayan. Ia berkali-kali diangkat sebagai Ketua Mahkamah Islam di Mesir hingga wafatnya pada tahun 824H. (Syadzaratudz-Dzahab,VII) hal. 16627 DR.Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, h. 163
19
a. Al- Marhum Syekh Thahir al-Jazairiy menyusun sebuah
karya At-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an yang terdiri dari kurang
lebih 300 lembar yang disusun pada tahun 1335 H.
b. Al-allamah Al- marhum Syekh Mahmud Abu Daqiqah
menyusun sebuah karya yang berisi peringatan
berharga bagi mahasiswa Jurusan Da’wah Wa Irsyad Fakultas
Ushuluddin.
c. Al-allamah Syekh Muhammad Ali Salamah menyusun
sebuah kitab untuk mahasiswa Jurusan Al-Da’wah Wal Irsyad
Fakultas Ushuluddin dengan judul Manhaj Al-Furqan Fi ‘Ulumil
Qur’an.
d. Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi membuat Mahasinut
Ta’wil.
e. Syekh Muhammad Abdul Qasim az-Zarqani menulis
Manahilul Irfan Fi ‘Ulumil Qur’an.
f. Syekh Thanthawi dengan bukunya yang terkenal al-
Jawahir Fi Tafsiril Qur’anil Karim.
g. Mustafa Shadiq ar-Rafi’ menulis I’jazul Qur’an.
h. Prof. Malik bin Nabi menulis ad-Dahiratul Qur’aniyyah
membahas masalah wahyu.
20
i. Sayyid Imam Muhammad Rasyid Ridha menulis Tafsirul-
Qur’anil-Hakim yang berisi pembahasan mengenai
berbagai ilmu tentang al-qur’an.
j. Doctor Muhammad Abdullah ad-Darraz menulis kitab
berjudul An-Naba’ul ‘Adzim, berisi pandangan baru
mengenai al-Qur’an.28
D. Urgensi Ulumul Qur’an
Ulumul Qur’an berfungsi sebagai kunci pembuka
terhadap penafsiran Al-Qur’an sesuai dengan maksud apa
yang terkandung di dalamnya. Sedangkan kedudukannya
ialah sebagai ilmu pokok yang merupakan alat yang mutlak
28 Dr.subhi as-shalih, membahas ilmu-...., h.16321
diperlukan bagi setiap mufassir untuk menafsirkan Al-
Qur’an. Dengan demikian, Ulumul Qur’an memang sangat
urgen untuk dipelajari, disebabkan keduanya memiliki
relevansi yang sangat erat.
Menafsirkan Al-Qur’an berarti menerangkan ayat-
ayatnya secara komperhensif. Seorang mufassir baru dapat
memberikan uraian dan keterangan sesuai dengan maksud
ayat tersebut secara tepat dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya, apabila ia telah
menguasai Ulumul Qur’an.
Jika dilihat dari segi lain, maka Ulumul Qur’an
juga dapat menjadi measure (tolok ukur) bagi kualitas
tafsir Al-Quran. Artinya, semakin dalam seseorang
menguasai Ulumul Qur’an, maka tafsir yang dihasilkannya
juga akan lebih berkualitas. Jargon “ kembali kepada Al-
Qur’an dan As-Sunnah ” kiranya menyulut perkelahian
pemaknaan. Keduanya memang maksum (infallible), tetapi
penafsiran terhadap keduanya tidaklah maksum. Di sini
hendaknya kita bisa membedakan antara yang absolut dan
yang relatif. Jika pluralitas pandangan adalah niscaya,
maka perbedaan pemahaman bukanlah sesuatu yang harus
22
disesali. Jargon ini dapat menjadi multi tafsir dilihat
dari perspektif yang berbeda. Memaknai jargon ini dengan
perspektif salafi-wahabi (sawah) akan berbeda dengan
perspektif kaum modernis dan liberalis. Untuk mengukur
kredibilitas kedua perspektif ini, Ulumul Qur’an
merupakan salah satu hakim yang akan menentukan
validitas keduanya.
BAB III
ANALISIS
Sebagai teks kedua, dalam pengertian teks yang
dihasilkan dari teks pertama (Al-Qur’an), literatur
tafsir yang menjadi objek kajian ini diposisikan sebagai
produk budaya yang tidak lepas dari proses interaksi dan
dialektika penulisnya dengan dunia sejarah lokalitasnya.
Hal ini merupakan salah satu faktor pendorong akan
pergeseran paradigma tafsir dari masa ke masa. Sosio
kultural umat Islam terus berkembang secara revolusioner
dalam kondisi yang sangat berbeda dengan apa yang
23
terjadi di masa Nabi. Oleh karenanya, kontekstualisasi
Al-Qur’an sangat diperlukan.
Menurut Nur Cholis Madjid, Al-Qur’an menunjukan
bahwa risalah Islam-disebabkan universalitasnya-adalah
selalu sesuai dengan lingkungan kultural apapun
sebagaimana pada saat turunnya, hal itu telah
disesuaikan dengan kepentingan lingkungan semenanjung
Arab. Karena itu Al-Qur’an harus selalu
dikontekstualisasikan dengan lingkungan budaya
penganutnya, kapanpun dan dimanapun.
Persoalan sekarang lebih ditekankan bagaimana cara
menyajikan Ulumul Qur’an dengan lebih proporsional dan
kondisional. Dalam tradisi pemikiran Islam, khususnya di
kalangan mufassir klasik telah banyak Ulama yang
melakukan interaksi dengan teks Al-Qur’an secara
komprehensif. Dalam konteks analisis teks persoalannya
sekarang lebih ditekankan kepada dialektika Al-Qur’an
dengan realitas. Maka dalam konteks sekarang, kiranya
Ulumul Qur’an harus ditempatkan dengan perspektif
aplikasi (bi’tibar al ‘amal) dengan ruang lingkup yang lebih
luas dan mendalam daripada Ulumul Qur’an bi’tibaril ‘ilmi.
24
Langkah ini kiranya telah memasuki ranah Hermeneutika
yang keabsahannya masih kontroversial ( mukhtalaf fihi ),
padahal usaha semacam ini telah dipelopori oleh Ulama-
Ulama klasik
Wajah Baru Ulumul Qur’an
Sebuah adagium terkenal di kalangan pesantren
menyatakan “al-muhafadzhatu ‘ala al-qadiim as-shaalih, wal akhdzu bi al-
jadidil al-ashlahi “ menjaga tradisi lama yang baik dan
mengadopsi tradisi baru yang lebih baik. Beranjak dari
pernyataan tersebut, kiranya kita dapat menyajikan
Ulumul Qur’an dengan wajahnya yang baru. Selama 14 abad
ilmu ini tetap eksis di dalam wacana keilmuan Islam,
yang menjadi tugas kita sekarang ialah mempercantik
kembali ilmu ini agar tetap bisa mempertahankan
eksistensinya di zaman modern ini.
Penafsiran klasik bukanlah produk final dan juga
tidak menjadi out of date dikarenakan perubahan zaman yang
revolusioner, kontekstualisasi tafsir telah dilakukan
sebelumnya oleh para mufassir klasik , yang
mengkonstruksi tafsirnya berdasarkan setting waktu dan
25
tempat di mana mereka berada. Maka dalam rangka “ al-
Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlahi “, paradigma Ulumul Qur’an harus
selalu di up date. Persoalan utamanya terletak pada
bangunan metode dan pendekatan dalam menafsirkan teks
Al-Qur’an. Mengingat bahwa tafsir Al-Qur’an bersifat
temporal dan relatif, tidak universal dan absolut.
KESIMPULAN
Khazanah Ulumul Qur’an sebagai bentuk metodologi
untuk menggarap wilayah penafsiran dan pemaknaan Al-
Qur’an harus diakui memiliki tingkat sostifikasi yang
luar biasa.Sifat luar biasa dari khazanah Ulumul Qur’an
ini terbukti dari berlimpahnya karya tafsir dalam
berbagai pola, mulai dari tahlili, sampai maudhu’i dan
mulai dari sekedar menafsirkan dengan mencari sinonim
26
kata dan ayat hingga melakukan takwil secara intuitif
dan penafsiran ilmiah.
Ulumul Qur’an merupakan disiplin ilmu yang paling
mulia karena dalam kajiannya berhadapan langsung dengan
kitab yang mulia yakni Al-Qur’an. Dari sinilah muncul
disiplin ilmu turunan yang lain, dari sinilah lahir
sebuah perdaban yang paling revolusioner sepanjang masa,
yang semuanya bermuara pada satu sumber yakni Al-Qur’an,
dan Ulumul Qur’an bertindak sebagai kunci untuk membuka
keajaiban-keajaibannya.
Kita semua percaya bahwa kitab ini merupaka kitab
yang mengandung mukjizat yang akan senantiasa terjaga
hingga akhir masa. Kemukjizatannya yang tiada batas
menembus ruang dan waktu, telah menjadikan kitab ini
sebagai kitab yang up to date sepanjang masa yang tidak
akan pernah kadaluarsa. Ulumul Qur’an ialah suatu alat
untuk terus menyingkap kemukjizatan dari kitab yang maha
paripurna ini. Oleh karenanya,Ulumul Qur’an sebagai
kunci pembuka harus terus dirancang untuk dapat
menyingkap kemukjizatan kitab ini kapanpun dan di
manapun.
27
DAFTAR PUSTAKA
Ash-shiddieqy, TM Hasbi, Ilmu-ilmu al-Qur’an. Semarang : PT.
Pustaka Rizki Putra. 2010.
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Terj. Nur
Rakhim, dkk . Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993.
Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia, Jakarta : Teraju.
2003.
Adz-Dzahaby, Muhammad Husain. At- Tafsir wal Mufassirun.
Kairo : Dar el Hadits.2005.
Ash-Shobuny, Muhammad Ali. At-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an. Jakarta :
Dar Ihya Kutub al ‘Arabiyyah.1985.
28