5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Fisiologi Pankreas

34
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Fisiologi Pankreas Pankreas memiliki struktur seperti kelejar ludah. Pada manusia dewasa yang normal dan sehat, pankreas memiliki berat sekitar 100 g, dengan panjang 14 sampai 25 cm, volume sekitar 72,4 ± 25,8 cm 3 dan berbentuk lobular dan bentuknya memanjang (Longnecker, dkk, 2018). Pankreas terdiri dari tiga bagian yaitu, kepala, badan, dan ekor pankreas. Kepala pankreas terletak di sebelah kanan rongga abdomen, di dalam lekukan duodenum yang melingkarinya. Badan pankreas terletak di belakang lambung dan di depan vertebra lumbalis. Ekor pankreas berbentuk runcing disebelah kiri menyentuh limpa. Pada pankreas juga terdapat kepulauan langerhans yang membentuk organ endokrin untuk mengekresikan insulin, yaitu sebuah hormon antidiabetik yang diberikan dalam pengobatan diabetes. Pankreas endokrin terdiri dari gugus sel kecil yang disebut pulau Langerhans, mengandung beberapa sel endokrin, yaitu sel α penghasil glukagon, sel β penghasil insulin, sel δ penghasil somatostatin, dan sel PP penghasil polipeptida pankreas (Pearce, 2019). Gambar 2. 1 Anatomi Fisiologi Pankreas (Atkinson, 2020)

Transcript of 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Fisiologi Pankreas

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Pankreas

Pankreas memiliki struktur seperti kelejar ludah. Pada manusia dewasa yang

normal dan sehat, pankreas memiliki berat sekitar 100 g, dengan panjang 14 sampai

25 cm, volume sekitar 72,4 ± 25,8 cm3 dan berbentuk lobular dan bentuknya

memanjang (Longnecker, dkk, 2018). Pankreas terdiri dari tiga bagian yaitu,

kepala, badan, dan ekor pankreas. Kepala pankreas terletak di sebelah kanan rongga

abdomen, di dalam lekukan duodenum yang melingkarinya. Badan pankreas

terletak di belakang lambung dan di depan vertebra lumbalis. Ekor pankreas

berbentuk runcing disebelah kiri menyentuh limpa. Pada pankreas juga terdapat

kepulauan langerhans yang membentuk organ endokrin untuk mengekresikan

insulin, yaitu sebuah hormon antidiabetik yang diberikan dalam pengobatan

diabetes. Pankreas endokrin terdiri dari gugus sel kecil yang disebut pulau

Langerhans, mengandung beberapa sel endokrin, yaitu sel α penghasil glukagon,

sel β penghasil insulin, sel δ penghasil somatostatin, dan sel PP penghasil

polipeptida pankreas (Pearce, 2019).

Gambar 2. 1 Anatomi Fisiologi Pankreas (Atkinson, 2020)

6

Sel β terletak di pulau kecil langerhans, yang tersebar di dalam eksokrin

pankreas. Setiap pulau mengandung 1000 sel β bersama dengan sel endokrin lain

seperti sel alfa, sel delta, sel polipeptida pankreas (PP) dan sel epsilon, dan total 1

juta pulau ada di pankreas. Massa sel β mengacu pada massa total sel β sekitar 1 g

pada manusia. Sel β pankreas berperan memproduksi hormon insulin (70% dari

pulau Pankreas). Apabila sel β rusak maka sel β tidak dapat memproduksi insulin.

Akibatnya, sel tubuh tidak dapat mengambil glukosa, dan kadar glukosa darah naik

terlalu tinggi. DM tipe 2 disebabkan oleh disfungsi sel β semakin memburuk dengan

durasi penyakit. Disfungsi sel β dikaitkan dengan memburuknya glikemik

kegagalan kontrol dan pengobatan, sehingga penting untuk mempertahankan atau

memulihkan massa fungsional sel β di pengelolaan DM tipe 2 (Saisho, 2015).

Insulin adalah sebuah protein yang dapat dicernakan oleh enzim pencerna

protein, maka tidak diberikan melalui mulut tetapi dengan suntikan subkutan.

Insulin dapat mengendalikan kadar glukosa didalam tubuh seperti pada diabetes

melitus akan memperbaiki kemampuan sel tubuh mengabsorpsi dan menggunakan

glukosa dan lemak (Pearce, 2019). Gula dalam darah atau glukosa merupakan

energi utama bagi sel tubuh bagian otot dan jaringan. Glukosa berasal dari makanan

dan diproduksi oleh hati. Gula dari makanan yang masuk dari mulut akan dicerna

dilambung dan diserap oleh usus, kemudian masuk ke dalam aliran darah. Gula

membutuhkan insulin dalam menjalankan fungsinya. Hormon insulin diproduksi

oleh sel β di pulau langerhans dalam pankreas. Setiap makanan yang masuk ke

dalam tubuh kita, pankreas memberi respon dengan mengeluarkan insulin ke dalam

aliran darah. Insulin bekerja membuka jalan agar gula dapat masuk ke dalam sel,

sehingga kadar glukosa menjadi turun (Tandra, 2017).

Selain tempat pusat memproduksi gula, hati merupakan tempat

penyimpanan gula. Ketika kadar insulin meningkat, maka hati akan menimbun

glukosa dari makanan yang masuk kedalam tubuh, dan akan dialirkan ke sel-sel

tubuh jika telah dibutuhkan. Timbunan gula di dalam hati atau disebut glikogen

akan diubah kembali menjadi glukosa dan dikeluarkan ke aliran darah menuju sel-

sel tubuh, jika insulin dalam darah rendah karena tidak makan atau kondisi lapar.

Sel alfa yang berada di dalam pankreas, berfungsi memproduksi hormon glukagon.

Apabila kadar gula darah rendah, maka glukagon akan merangsang hati untuk

7

memecah glikogen menjadi glukosa. Tubuh kita juga mempunyai hormon yang

fungsinya berlawanan dengan insulin, seperti glukagon, epinefrin atau adrenalin,

dan kortisol atau hormon steroid. Hormon tersebut berkerja memacu hati agar

mengeluarkan glukosa, sehingga gula darah naik (Tandra, 2017).

Pasien diabetes mengalami gangguan keseimbangan gula yang disimpan di

hati dan transportasi gula. Oleh karena itu, kadar gula darah meningkat kemudian

diekskresikan melalui urine, sehingga urine lebih banyak dan mengandung gula.

Hal ini terjadi, karena pankreas tidak mampu memproduksi insulin dan sel tidak

memeri respon pada kerja insulin sebagai pembuka jalan agar gula dapat masuk ke

dalam sel, sehingga kadar gula dalam darah menjadi turun (Tandra, 2017).

2.2 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus menjadi salah satu ancaman kesehatan global. Jumlah

kasus dan prevalensi diabetes melitus terus meningkat beberapa waktu terakhir.

Diabetes merupakan salah satu penyakit kronis serius karena pankreas tidak dapat

menghasilkan insulin yang mengatur gula darah atau glukosa, sehingga terjadi

peningkatan glukosa dalam darah. Semua jenis diabetes dapat menyebabkan

komplikasi di bagian tubuh manapun dan dapat meningkatkan risiko kematian dini

(WHO, 2016). Satu diantara 2 orang terkena diabetes belum terdiagnosis, hal ini

membuat mereka rentan mengalami komplikasi akibat diabetes, menyebabkan

kecacatan substansial, kematian dini atau premature (Kemenkes RI, 2016).

Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit gangguan metabolik dalam

tubuh dengan gejala hiperglikemia akut maupun kronik yang ditandai dengan tidak

normalnya metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Diabetes melitus

disebabkan adanya kelainan sekresi insulin, kelainan kerja insulin ataupun

keduanya, dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular dan

neuropati (Dipiro et al, 2016). Terdapat beberapa faktor lainnya seperti faktor

genetik, faktor usia, faktor gaya hidup dan pola makan (Perkeni, 2015).

2.3 Epidemiologi Diabetes Melitus

Word Health Organitation menyebutkan, bahwa pada tahun 2016 sebanyak

1,6 juta kematian disebabkan oleh diabetes. Diabetes merupakan penyebab 70%

8

dari total kematian didunia (WHO, 2016). Menurut International Diabetes

Federation (IDF) sekitar 463 juta orang dewasa berumur 20-79 tahun menderita

diabetes, jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 700 juta pada tahun

2045. Pada tahun 2015 di tingkat global diperkirakan setengah dari pasien diabetes

dewasa sekitar 193 juta orang tidak mengetahui bahwa mereka pasien diabetes,

dimana hampir seluruhnya merupakan kasus diabetes tipe 2. Jumlah kematian

penyebab diabetes mencapai 4,2 juta. Tiogkok, India, Amerika Serikat, Pakistan,

Brazil, Meksiko, Indonesia, Jerman, Mesir, dan Bangladesh merupakan 10 negara

dengan jumlah pasien diabetes orang dewasa berumur 20-79 tahun tertinggi di

dunia. Prevalensi diabetes di Indonesia cenderung meningkat. Indonesia berada di

peringkat ketujuh dengan jumlah 10,7 juta orang (IDF, 2019).

Jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 di Indonesia diperkirakan mengalami

kenaikan pada tahun 2000 berjumlah 8,4 juta menjadi 21,3 juta pada tahun 2030.

IDF memprediksikan terjadi kenaikan jumlah pasien diabetes melitus pada tahun

2013-2017 sebanyak 10,3 juta menjadi 16,7 juta pada tahun 2045 (IDF, 2019).

Kasus diabetes yang terkonfirmasi di Indonesia pada tahun 2019 mencapai

3.941.698 pasien. Provinsi Jawa Timur berada peringkat pertama sebanyak 844.018

pasien, diikuti dengan Provinsi Jawa Barat sebanyak 552.151 pasien, dan Provinsi

Riau sebanyak 501.921 pasien (Kemenkes RI, 2019).

Hasil riset kesehatan dasar menunjukkan peningkatan prevalensi dari 6,9%

pada tahun 2013 menjadi 8,5% pada tahun 2018. Prevalensi diabetes paling tinggi

berada di Kota Madiun dengan 4,22%, sedangkan Kota Malang dengan 2,4%

berada di urutan ke 13 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur (Riskesdas, 2018).

Dilihat dari data dinas kesehatan Malang tahun 2015 tercatat pasien diabetes

melitus sebanyak 27.930 pasien di wilayah Malang, pasien baru sebanyak 5.905

pasien dan pasien lama sebanyak 22.025 pasien (Dinkes Malang, 2015).

2.4 Klasifikasi Diabetes Melitus

Penyakit diabetes melitus diklasifikasikan menjadi 4 yaitu diabetes tipe 1,

diabetes tipe 2, diabetes gestasional, dan diabetes tipe lainnya. Diabetes melitus

merupakan penyakit yang tidak ada tanda-tanda atau gejala yang terlihat, hal ini

9

mengakibatkan banyak pasien masuk RS dengan diagnosa penyakit kronis disertai

komplikasi (ADA, 2018).

2.4.1 Diabetes Melitus tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 terjadi akibat tidak terkontrolnya gula darah di dalam

tubuh karena adanya kerusakan sel beta pankreas sehingga berkurangnya produksi

insulin. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin,

sehingga gula menjadi menumpuk dalam peredaran darah karena tidak dapat

diangkut ke dalam sel. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah

ketoasidosis (ADA, 2018). DM tipe 1 ini banyak terjadi pada pasien anak dengan

rentang usia 5-6 tahun dan sampai 12 tahun. Perlu diketahui lebih dari setengah

persen penderita baru tipe 1 berusia >19 tahun (World Diabetes Foundation, 2015)

Diabetes melitus tipe 1 biasanya merupakan penyakit autoimun, dimana

terdapat gangguan sistem imun yang mengakibatkan kerusakan sel β pankreas.

Rusaknya sel pankreas ini juga terjadi karena adanya pengaruh genetik atau

keturunan, infeksi virus, dan malnutrisi. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia

muda seperti anak-anak atau remaja baik pria maupun wanita, namun saat ini juga

ditemukan pada usia tua. Diabetes melitus tipe 1 disebut juga insulin-dependent

diabetes. Diabetes melitus tipe ini sangat bergantung dengan insulin, dimana pasien

memerlukan suntikan insulin setiap hari untuk memenuhi kebutuhan insulin di

dalam tubuhnya (Tandra, 2017).

2.4.2 Diabetes Melitus tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan sekresi hormon insulin dan produksi

glukosa darah secara berlebihan. Hal ini disebabkan ketidakmampuan sel target

insulin dalam merespon hormon insulin secara normal sehingga gula darah tidak

dapat masuk ke dalam sel. Gejala DM tipe ini secara perlahan-lahan bahkan tidak

terlihat. Dengan pola hidup sehat, yaitu mengonsumsi makanan bergizi seimbang

dan olah raga secara teratur biasanya pasien brangsur pulih. Pasien juga harus

mampu mepertahannkan berat badan yang normal. Namun pada penerita stadium

akhir kemungkinan akan diberikan suntik insulin (ADA, 2018).

Pada diabetes melitus tipe 2, pankreas masih bisa membuat insulin, namun

insulinnya tidak dapat berfungsi dengan baik. Pasien tidak perlu tambahan suntikan

insulin dalam pengobatannya, tetapi memerlukan obat yang dapat memperbaiki

10

fungsi kerja insulin dalam menurunkan gula dan memperbaiki pengolahan gula di

dalam hati. Pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang obesitas, terjadi ketidakpekaan

atau resisten terhadap insulin pada sel-sel jaringan tubuh dan otot, sehingga gula

tidak dapat masuk ke dalam sel dan tertimbun di peredaran darah (Tandra, 2017).

Diabetes melitus tipe 2 sering terjadi pada usia 40 tahun, namun prevalensinya tiap

tahun mengalami peningkatan. Saat ini ditemukan pasien diabetes melitus berusia

remaja dan dewasa yang dipicu oleh gaya hidup tidak sehat, kurang olahraga atau

aktivitas fisik, sering makan yang manis-manis, dan meningkatnya jumlah obesitas

(Nair & Peate, 2015).

2.4.3 Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes melitus gestasional terjadi selama masa kehamilan, seorang ibu

hamil memutuhkan insulin lebih banyak untuk mempertahankan metabolisme

karohidrat secara normal. Hal ini terjadi, karena adanya pembentukan hormon pada

ibu hamil yang menyebabkan resistensi insulin. Diabetes melitus tipe ini ditandai

dengan intoleransi glukosa, pertama kali pada masa kehamilan yang terjadi

trimester kedua atau ketiga kehamilan, hal ini disebabkan ketidakmampuan tubuh

dalam memproduksi insulin lebih banyak. Diabetes melitus gestasional

berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal. Pasien diabetes melitus

gestasional memiliki risiko lebih besar menderita diabetes melitus tipe 2 setelah

melahirkan. Wanita yang didiagnosis diabetes melitus gestational harus menerima

skrining seumur hidup untuk pradiabetes dan diabetes tipe 2 (ADA, 2018).

2.4.4 Diabetes Melitus Tipe Lain

Diabetes melitus tipe lain terjadi akibat penyakit lain yang dapat

mengganggu produksi insuin atau mempengaruhi kerja insulin yaitu berupa

munculnya gangguan genetik fungsi sel beta, kerja insulin yang terganggu,

gangguan eksokrin pankreas, infeksi, endokrinopati, sebab imunologi yang jarang

dan sindroma genetik lainnya yang kadang dihubungkan dengan diabetes melitus.

Diabetes tipe ini dapat dipicu oleh obat atau bahan kimia seperti dalam pengobatan

HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ (ADA, 2018). Penyebab diabetes ini

yaitu, radang pankreas, gangguan kelenjar adrenal atau hipofisis, penggunaan

hormon kortikosteroid, pemakaian beberapa obat antihipertensi atau antikolesterol,

malnutrisi, dan infeksi (Tandra, 2017).

11

2.5 Etiologi dan Faktor Risiko Diabetes Melitus

Diabetes melitus ditandai hiperglikemia kronis yang mempengaruhi

metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Hiperglikemia pada diabetes melitus

dapat tidak terdeteksi karena bersifat asimptomatik atau tidak ada gejala yang pasti

dan menyebabkan kerusakan vaskular sebelum penyakit terdeteksi (Gabriellyn,

2016). Naiknya kadar gula darah pada diabetes melitus karena pankreas tidak

berfungsi dengan baik menyebabkan kurangnya sekresi insulin. Kurangnya hormon

insulin menyebabkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.

Diabetes melitus berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi

beberapa organ tubuh, seperti mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah

(ADA, 2018). Beberapa hormon yang bekerja sebagai antagonis insulin dapat

menyebabkan terkena diabetes (Putra & Berawi, 2015).

Diabetes melitus tipe 1 biasanya terjadi pada masa anak-anak sebagai

bentuk hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh kerusakan imunologis atau

autoimun sel beta pankreas karena faktor genetik. Sedangkan diabetes melitus tipe

2 merupakan bentuk hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh meningkatnya

resistensi insulin dan berkurangnya kapasitas sekresi insulin. Diabetes melitus tipe

2 biasanya muncul pada usia dewasa, namun saat ini sering dikaitkan dengan

obesitas, gaya hidup, dan pola makan sehingga juga dapat terjadi pada anak-anak

dan remaja dan kejadian meningkat secara drastis (Katzung, 2018).

Diabetes melitus gestasional ini terjadi ketika nilai glukosa darah di atas

normal pada masa kehamilan. Wanita dengan diabetes melitus gestasional berisiko

terkena diabetes tipe 2 dan beberapa mengalami komplikasi selama kehamilan dan

persalinan (WHO, 2016). Diabetes tipe lain disebabkan karena penyebab dari

penyakit lain, misalnya cacat genetik pada fungsi sel β, cacat genetik pada kerja

insulin, penyakit eksokrin pankreas seperti fibrosis kistik serta dampak penyakit

dan obat-obatan kimia (ADA, 2018). Menurut Tandra 2017 terdapat faktor risiko

diabetes melitus yaitu:

2.5.1 Genetik

Pada faktor genetik / keturunan dapat dilihat bahwa pasien diabetes tipe 2

lebih banyak dibandingkan diabetes tipe 1. Sekitar 50% pasien diabetes tipe 2

merupakan turunan dari orang tuanya, dan lebih dari sepertiga dari saudaranya,

12

namun jika mempunyai saudara kembar maka kemungkinan terkena diabetes

sebesar 90%. Pada diabetes tipe 1 kemungkinan terkena diabetes sebesar 3-5%

apabila orang tua dan saudaranya terkena diabetes, namun jika mempunyai saudara

kembar kemungkinan terkena diabetes sebesar 35-40%. Menurut para ahli riabetes

merupakan penyakit yang berhubungan dengan kromosom seks, kemungkinan

besar penderitanya laki-laki. Sedangkan perempuan sebagai pembawa gen yang

dapat diturunkan kepada anaknya

2.5.2 Ras atau Etnis

Suku Indian di Amerika, Hispanik, dan orang Amerika di Afrika,

merupakan beberapa ras yang mempunyai resiko lebih besar terkena diabetes tipe

2. Orang-orang yang berkulit hitam terutama wanita lebih mudah terkena diabetes

daripada yang berkulit putih.

2.5.3 Obesitas

Obesitas sangat berkaitan dengan diabetes tipe 2, hal ini disebabkan karena

semakin banyak jaringan lemak, jaringan tubuh, dan otot yang resisten terhadap

insulin. Apabila kelebihan berat badan terkumpul di daerah perut, maka lemak akan

menutup kerja insulin agar gula tida dapat masuk ke dalam sel dan menumpuk di

peredaran darah. Menurunkan berat badan dengan merubah gaya hidup dan

berolahraga rutin akan membuat kadar gula darah kembali seimbang.

2.5.4 Pola Hidup / Kurangnya Aktivitas Tubuh

Pada kalangan masyarakat dikenal dengan males gerak. Semakin

berkurangnya aktivitas tubuh maka semakin mudah terkena diabetes. Apabila

kurang bergerak, maka masa otot berkurang sehingga gula darah tidak dipakai dan

menumpuk. Olahraga atau melakukan aktivitas fisik sangat diperlukan untuk

mengontrol berat badan, sehingga gula darah dibakar menjadi energi dan sel tubuh

lebih peka terhadap insulin.

2.5.5 Pola Makan

Pola makan yang berlebihan, jumlah kalori yang tidak terkontrol masuk ke

dalam tubuh, komsumsi makanan cepat saji, tinggi lemak, garam, gula dapat

membuat kadar glukosa dalam darah meningkat.

13

2.5.6 Metabolik Sindrom

Metabolik sindrom banyak ditemukan pada masyarakat saat ini. Gaya hidup

yang kurang banyak gerak dan makan yang berlebihan membuat semakin tinggi

risiko terkena diabetes. Hal ini disebabkan karena pada orang gemuk mempunyai

kandungan gula dan lemak yang tinggi di dalam darahnya.

2.5.7 Penyakit Lain dan Infeksi

Penyakit lain mudah terkena diabetes seperti pembuluh darah perifer,

hipertensi, radang sendi akibat asam urat dalam darah, jantung koroner, stroke,

infeksi kulit berulang cenderung diikuti dengan kadar gula yang tinggi. Pada anak-

anak diabetes tipe 1 disebabkan oleh infeksi virus, seperti campak, mumps,

coxsackie yang membuat sel pankreas rusak.

2.5.8 Usia

Seiring bertambahnya usia terutama pada usia 40 tahun keatas lebih berisiko

terkena diabetes melitus. Bertambahnya usia membuat penurunan fungsi kerja

tubuh terutama pada pankreas sebagai penghasil insulin, dan kurangnya

menggerakkan badan sehingga berat badan bertambah. Namun saat ini pada usia

muda seperti anak-anak dan remaja banyak terkena diabetes melitus tipe 2.

2.5.9 Stress

Cedera, infeksi berat, trauma hebat, operasi besar, penyakit berat lainnya,

dan adanya masalah dalam kehidupan dapat memicu terjadinya stress. Tubuh secara

alami akan merespon dengan banyak mengeluarkan hormon stress.

2.5.10 Riwayat Diabetes Pada Kehamilan

Pada ibu hamil harus diperiksa gula darahnya, biasanya diabetes hilang

setelah melahirkan. Namun juga terdapat ibu yang terkena diabetes tipe 2

dikemudian hari. Hal ini terjadi apabila ibu hamil melahirkan bayi berukuran besar

dengan berat badan lebih 4 kg, riwayat lahir mati atau melahirkan bayi dengan

kelainan bawaan, dan kelebihan glukosa dalam urin selama kehamilan.

2.5.11 Pemakaian Obat-obatan

Terdapat beberapa obaat yang dapat menyebabkan diabetes dengan

menaikkan kadar gula darah. Obat-obatan seperti hormon steroid, beberapa obat

antihipertensi, dan oat menurunkan kolesterol. Apabila berisiko terkena diabetes,

berhati-hati dalam menggunakan obat tersebut.

14

2.6 Manifestasi Klinis Diabetes Melitus

Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut

diabetes melitus yaitu : poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum),

poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah

namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), dan

mudah lelah. Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas

atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah

mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,

kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu

hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan

bayi berat lahir lebih dari 4kg (Fatimah, 2015).

Tidak semua orang dapat merasakan adanya perbedaan pada bagian

tubuhnya. Banyak orang merasa cemas saat mengetahui mengidap penyakit

diabetes melitus. Hal ini disebabkan karena gejala yang bervariasi tergantung organ

mana yang terkena dan gejala berjalan secara lambat sampai tidak terasa. Tidak

sedikit orang yang mengetahui dirinya mengidap diabetes melitus, dan saat periksa

ke dokter telah mengalami komplikasi.Terdapat dua gejala utama yang harus

diketahui, yaitu sering kencing dan banyak, juga merasa sangat haus. Menurut

Tandra (2017) gejala diabetes yaitu :

2.6.1 Banyak Mengeluarkan Urin dan Rasa Haus

Banyak mengeluarkan urin dan rasa haus merupakan gejala umum bagi

pasien diabetes melitus. Kadar gula darah yang tinggi akan membuat ginjal tidak

dapat menyerap kembali kelebihan gula di dalam darah. Gula akan menarik air

keluar melalui urin, sehingga ginjal sering kali banyak mengeluarkan urin. Akibat

banyak mengeluarkan urin yang mengandung gula, sehingga terjadi dehidrasi yang

membuat rasa haus berlebihan. Untuk mengatasi dehidirasi tersebut, diharapkan

untuk minum yang banyak tetapi tidak minuman yang manis.

2.6.2 Berat Badan Turun

Penurunan berat badan terjadi karena adanya metabolisme yang terganggu.

Terganggunya metabolisme membuat gagalnya proses pembentukan energi. Otot

tidak mempunyai cukup gula untuk tumbuh dan mendapatkan energi, sehingga

jaringan otot dan lemak harus di pecah untuk memenuhi energi yang dibutuhkan.

15

2.6.3 Timbul Rasa Lapar dan Lemas

Kadar gula yang tinggi membuat penyimpanan gula di dalam tubuh sedikit,

karena pada pasien diabetes melitus gula menumpuk dalam peredaran darah. Hal

ini terjadi karena insulin tidak mampu menyalurkan gula ke dalam sel untuk

menjadi energi, sehingga tubuh menjadi merasa mudah letih, flu, capek, dan lemas.

Akibat gula tidak masuk ke dalam sel, maka akan timbul rasa lapar karena tidak ada

energi.

2.6.4 Mata Kabur

Mata akan mengalami kesulitan untuk fokus, sehingga pandangan kabur.

Hal ini disebabkan gula darah yang tinggi menarik cairan yang berada di dalam

lensa mata sehingga lensa menjadi tipis. Diharapkan pasien diabetes melitus dapat

mengontrol gula darah agar tetap normal, sehingga pengelihatan normal kembali.

2.6.5 Luka Sukar Sembuh

Luka yang sukar sembuh disebabkan oleh infeksi yang hebat akibat kuman,

jamur yang tumbuh saat gula darah tinggi, terjadi kerusakan dinding pada pembuluh

darah sehingga aliran darah tidak lancar, dan adanya kerusakan saraf atau luka yang

tidak terasa hingga membusuk.

2.6.6 Rasa Kesemutan

Kerusakan saraf akibat kadar gula yang tinggi dapat merusak dinding

pembuluh darah yang akan mengganggu nutrisi pada saraf, sehingga membuat rasa

kesemutan, nyeri, rasa terbakar pada anggota tubuh seperti tangan dan kaki.

2.6.7 Mudah Terkena Infeksi

Ketika gula darah tinggi rongga mulut tidak mampu melawan infeksi,

sehingga gusi menjadi bengkak dan merah, gigi terlihat tidak rata dan mudah

goyang. Leukosit tidak berfungsi dengan baik dalam melawan infeksi, sehingga

kulit mudah terkena infeksi terasa kering dan gatal. Infeksi jamur juga menyerang

kemaluan, seperti pada vagina yang mengeluarkan cairan kental putih kekuningan

disertai rasa gatal.

2.7 Patogenesis Diabetes Melitus

Menurut Schwatrz (2016) patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas

hal yaitu :

16

Gambar 2. 2 Patogenesis DM (Schwatrz, 2016)

1. Kegagalan sel beta pankreas

Fungsi sel beta pada DM tipe 2 sangat berkurang. Obat anti diabetik yang diberikan

dan dikonsumsi adalah sulfonilurea, meglitinid, agonis glucagon-like peptide

(GLP-1) dan penghambat dipeptidil peptidase-4 (DPP- 4).

2. Disfungsi sel alfa pankreas

Sel alfa berfungsi untuk mempadukan glukagon, dalam kondisi puasa

kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan

pembentukan glukosa hati dalam kondisi basal meningkat secara bermakna

dibandingkan individu yang normal. Obat untuk membantu menghambat sekresi

glukagon atau menghambat reseptor glukagon yaitu agonis GLP-1, penghambat

DPP-4 dan amilin.

3. Sel lemak

Sel lemak yang kebal terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan

terjadinya peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas dalam plasma.

Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan

kekebalan insulin di hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi insulin.

Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut dengan lipotoksisitas. Obat yang

diberikan dan dikonsumsi adalah tiazolidinedion.

17

4. Otot

Pada DM tipe 2 terjadi gangguan kinerja insulin yang multipel di

intramioselular dikarenakan adanya gangguan fosforilasi tirosin, sehingga

terjadilah gangguan transport glukosa pada sel otot, penurunan sintesis glikogen,

dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang diberikan dan dikonsumsi adalah

metformin dan tiazolidinedion.

5. Hepar

Pada DM tipe 2 terjadi kekebalan insulin yang berat dan merangsang

pembentukan proses glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam kondisi

basal oleh hepar mengalami peningkatan. Obat yang menekan proses

glukoneogenesis adalah metformin.

6. Otak

Insulin merupakan pemicu nafsu makan yang kuat. Pada individu yang

obesitas baik yang DM maupun tidak, didapatkan hiperinsulinemia yang

merupakan mekanisme kompensasi dari kekebalan insulin. Pada golongan ini

asupan makanan justru meningkat akibat adanya kekebalan insulin yang juga terjadi

di otak. Obat yang diberikan yaitu agonis GLP-1, amilin dan bromokriptin.

7. Kolon/Mikrobiota

Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan

hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe

2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian dari individu yang

mempunyai berat badan berlebih yang akan berkembang DM. Probiotik dan

prebiotik diperkirakan sebagai mediator untuk menangani keadaan hiperglikemia.

8. Usus halus

Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar dibandingkan

dengan apabila diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek inkretin

ini diperankan oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan

glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory

polypeptide (GIP). Pada penyandang DM tipe 2 didapati bahwa ada defisiensi GLP-

1 dan kebal terhadap hormon GIP. Hormon inkretin juga segera dipecah oleh

keberadaan enzim DPP-4, sehingga otomatis hanya bekerja dalam beberapa menit.

18

Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah DPP-4 inhibitor. Saluran

pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja

enzim alfa glukosidase yang akan memecah polisakarida menjadi monosakarida,

kemudian diserap oleh usus sehingga berakibat pada peningkatkan glukosa darah

setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa

glukosidase adalah acarbosa.

9. Ginjal

Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen

dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran enzim sodium glucose

co-transporter (SGLT-2) pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10%

sisanya akan diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,

sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada kasus DM disini terjadilah

peningkatan ekspresi gen SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi glukosa

di dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah. Obat

yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat reabsorbsi kembali

glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urin. Obat yang

bekerja di kondisi ini adalah penghambat SGLT-2 seperti dapaglifozin,

empaglifozin dan canaglifozin.

10. Lambung

Pada lambung pasien diabetes terjadi penurunan produksi amilin yang

diakibatkan oleh dampak kerusakan sel beta pankreas. Kadar amilin yang menurun

menyebabkan percepatan pengosongan lambung dan peningkatan absorpsi glukosa

di usus halus, yang berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa postprandial.

11. Sistem Imun

Sitokin menginduksi respons fase akut (inflamasi derajat rendah, bagian

dari aktivasi sistem imun bawaan/innate) yang berhubungan kuat dengan

patogenesis DM tipe 2 dan berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan

aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah berperan dalam induksi stres pada

endoplasma akibat peningkatan kebutuhan metabolisme untuk insulin. DM tipe 2

ditandai dengan resistensi insulin perifer dan penurunan produksi insulin, serta

disertai dengan inflamasi kronik derajat rendah pada jaringan perifer seperti

adiposa, hepar dan otot.

19

2.8 Patofisiologi Diabetes Melitus

2.8.1 Diabetes tipe 1

DM Tipe 1 diyakini dimulai dengan paparan pemicu lingkungan secara

genetik individu rentan. Ada hubungan antara genetik yang saat ini diketahui untuk

autoimunitas dan pengembangan DM tipe 1. Faktor risiko genetik dan lingkungan

berdampak pada peradangan, autoimunitas, dan stres metabolik. Keadaan ini

mempengaruhi jumlah dan fungsi sel β sehingga kadar insulin pada akhirnya tidak

dapat merespons secara baik terhadap permintaan insulin. Kerusakan dan disfungsi

sel β yang menyebabkan hiperglikemia dan masuk dalam kategori diabetes. Dalam

beberapa kasus, faktor risiko genetik dan lingkungan serta interaksi gen dan

lingkungan dapat secara langsung memengaruhi massa dan fungsi sel β. Kadar

glukosa darah yang tinggi kronis berhubungan dengan komplikasi mikrovaskuler

dan makrovaskular yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada penderita

diabetes (Skyler, et al, 2017).

Gambar 2. 3 Patofisiologi DM Tipe 1 (Skyler et al, 2017)

Individu yang rentan secara genetik harus terkena pemicu yang memulai

proses autoimun dan penghancuran pankreas sel β. Proses autoimun dimediasi oleh

makrofag dan limfosit T dengan beredarnya autoantibodi ke berbagai antigen sel β

tunggal. Antibodi yang terdeteksi terkait dengan DM tipe 1 adalah autoantibodi sel

islet (ICAs). Antibodi lain dapat dibentuk untuk insulin, asam glutamat

decarboxylase 65 (GAD65), antigen-2 terkait insulinoma (IA-2), dan pengangkut

20

seng 8 (ZnT8). Antibodi ini umumnya dianggap sebagai penanda penyakit mediator

sel β. Penanda ini digunakan untuk mengidentifikasi risiko DM tipe 1 dan

merupakan tes penyaringan untuk memulai strategi pencegahan penyakit.

Gangguan autoimun lainnya seperti hashimoto tiroiditis, penyakit graves, penyakit

addison, vitiligo, dan celiac sprue lebih umum pada pasien dengan tipe 1 DM

(Dipiro et al, 2020).

2.8.2 Diabetes Tipe 2

Gambar 2. 4 Patofisiologi DM tipe 2 (Baynest, 2015)

Pada diabetes tipe 2 terdapat dua penyebab yaitu gangguan sekresi insulin

melalui disfungsi sel β pankreas dan gangguan kerja insulin melalui resistensi

insulin. Resistensi terhadap insulin mendominasi, sehingga massa sel β mengalami

transformasi yang mampu meningkatkan jumlah insulin dan mengkompensasi

permintaan yang berlebihan dan anomali. Secara absolut, konsentrasi insulin

plasma (baik puasa dan stimulasi makan) biasanya meningkat, meskipun “relatif”

terhadap beratnya resistensi insulin, konsentrasi insulin plasma tidak cukup untuk

mempertahankan homeostasis glukosa normal. Resistensi insulin dan

hiperinsulinemia menyebabkan gangguan toleransi glukosa terhadap kerja insulin

akan mengakibatkan gangguan pengambilan glukosa yang dimediasi insulin di

perifer (oleh otot dan lemak), pertahanan yang tidak lengkap dari output glukosa

hati, dan gangguan serapan trigliserida oleh lemak. Untuk mengatasi resistensi

21

insulin, sel pulau kecil akan meningkatkan jumlah insulin yang disekresikan.

Produksi glukosa endogen dipercepat pada pasien diabetes tipe 2 atau glukosa puasa

yang terganggu. Karena peningkatan ini terjadi dengan adanya hiperinsulinemia,

setidaknya pada tahap penyakit awal dan menengah, resistensi insulin hati adalah

pendorong hiperglikemia diabetes tipe 2 (Baynest, 2015).

Diabetes melitus tipe 2 terjadi akibat hasil dari disfungsi sel β ditambah

dengan beberapa tingkat insulin resistensi. Pankreas pada orang dengan fungsi

normal sel β mampu menyesuaikan sekresi insulin untuk mempertahankan kadar

glukosa plasma normal. Innondiabetik, individu obesitas, insulin meningkat secara

proporsional dengan tingkat keparahan resistensi insulin dan glukosa plasma tetap

normal. Sel β tidak dapat mempertahankan cukup sekresi insulin dan secara

paradoks, melepaskan lebih sedikit insulin sebagai kadar glukosa meningkatkan.

Pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penurunan sekresi insulin postprandial

adalah hasil dari kedua gangguan pankreas sel β dan berkurangnya stimulus dari

hormon usus (Dipiro et al, 2020).

2.9 Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis diabetes melitus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar

glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan

glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Hasil pengobatan dapat

dilihat menggunakan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan karena adanya

glukosuria. Kriteria diagnosis gula darah diabetes menurut ADA (2018) :

1. Glukosa darah puasa dengan kadar >126 mg/dl (7,0 mmol/l) puasa didefinisikan

sebagai tidak ada asupan kalori masuk kedalam tubuh dengan maksimal selama

durasi 8 jam.

2. Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia gula darah acak > 200 mg/dl

(11,1 mmol/l).

3. Glukosa darah 2 jam > 200mg/dl (11.1 mmol/l) selama TTOG (tes toleransi oral

glukosa), asupan glukosa yang direkomendasikan WHO pada tes ini 75 gram

yang dilarutkan di air.

4. Pemeriksaan HbA1c (≥6,5%) dilakukan pada sarana laboratorium yang telah

terstandardisasi (ADA, 2018).

22

Tabel II. 1 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan Pre-

Diabetes (Perkeni, 2019)

HbA1c (%) Glukosa Darah

Puasa (mg/dL)

Glukosa Plasma 2 Jam

Setelah TTGO (mg/dL)

Diabetes ≥6,5 ≥126 ≥200

Pre-diabetes 5,7-6,4 100-125 140-199

Normal <5,7 70-99 70-139

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal diabetes melitus,

maka digolongkan ke dalam pre-diabetes kelompok toleransi glukosa terganggu

(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Diagnosis TGT ditegakkan

bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban

antara 140–199 mg/dL dengan glukosa plasma puasa < 100 mg/dl. Diagnosis GDPT

ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100–

125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL. Diagnosis pre-

diabetes berdasarkan HbA1c 5,7-6,4% (ADA, 2018).

2.10 Komplikasi Diabetes Melitus

Diabetes melitus apabila tidak tertangani secara benar, maka dapat

mengakibatkan berbagai macam komplikasi. Ada dua komplikasi pada DM yaitu

komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi akut terjadi saat kadar glukosa

darah meningkat atau menurun secara tajam dalam waktu yang singkat. Sedangkan

komplikasi kronik ditandai dengan semakin tinggi kadar glukosa darah akan

menyebabkan gangguan organ di kemudian hari, terdiri dari komplikasi

makrovaskuler dan komplikasi mikrovaskuler (Subiyato, 2019).

2.10.1 Komplikasi Akut Diabetes Melitus

1. Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal (<

60 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang

dapat dialami 1-2 kali per minggu, kadar gula darah yang terlalu rendah

menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak

berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan (Fatimah, 2015). Gejala yang

timbul yaitu rasa lapar, gemetar, mengeluarkan keringat, berdebar-debar,

pusing, gelisah, tidak sadar dan disertai kejang (Subiyato, 2019).

23

2. Hiperglikemia, adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba,

menyebabkan keadaan metabolisme yang berbahaya. Gejala yang timbul rasa

sangat haus, pandangan kabur, muntah, berat badan menurun, sakit kepala,

kulit kering dan gatal, kesadaran menurun, rasa mengantuk, kekurangan cairan

akibat sering kencing (Subiyato, 2019).

3. Ketoasidosis diabetik (KAD) atau koma diabetik merupakan keadaan tubuh

yang sangat kekurangan insulin dan bersifat mendadak akibat infeksi, lupa

suntik insulin, pola makan yang terlalu berlebihan atau bebas dan stres.

Penderita dapat mengalami koma (tidak sadar) akibat otak tidak menerima

darah dalam jumlah yang cukup (Subiyato, 2019).

4. Koma hiperosmolar non ketotik (HONK) yang diakibatkan adanya dehidrasi

berat, tekanan darah yang menurun dan syok tanpa adanya badan keton (hasil

pemecahan asam lemak) dalam urin (Subiyato, 2019).

5. Koma lakto asidosis yang diartikan sebagai keadaan tubuh dengan asam laktat

yang tidak dapat diubah menjadi bikarbonat. Akibatnya, kadar asam laktat

dalam darah meningkat dan seseorang bisa mengalami koma (Subiyato, 2019).

2.10.2 Komplikasi Kronis Diabetes Melitus

1. Komplikasi makrovaskuler merupakan kerusakan pembuluh darah yang

mengirimkan darah ke jantung, otak, dan kaki. Pada umumnya yang

berkembang pada penderita diabetes yaitu trombosit otak (pembekuan darah

pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung

kongetif, penurunan aliran darah ke kaki (PAD), dan stroke (Fatimah, 2015).

2. Komplikasi mikrovaskuler, terutama terjadi pada penderita diabetes melitus

tipe 1 seperti nefropati (gangguan pada ginjal), diabetik retinopati

(pengelihatan kabur sampai kebutaan), neuropati (mati rasa) pada kaki, dan

amputasi (Fatimah, 2015).

2.11 Penatalaksanaan Terapi Diabetes Melitus

Penatalaksanaan terapi diabetes melitus bertujuan untuk meningkatkan

kualitas hidup pasien dengan mengatur kadar gula darah tetap stabil, mengurangi

gejala yang timbul, mempertahankan rasa nyaman, dan mencegah munculnya

komplikasi. Tujuan akhir pengelolaan diabetes melitus adalah menurunkan

24

morbiditas dan mortalitas diabetes melitus (Decroli, 2019). Tindakan yang

dilakukan seperti mengajarkan mengenai diet diabetes mellitus yang tepat,

menganjurkan kegiatan fisik harian dan rutin, mengontrol berat badan agar tidak

obesitas, berhenti merokok, menganjurkan pasien dan keluarga untuk memantau

kadar glukosa darah secara rutin (Nair & Peate, 2015).

Disamping terapi farmakologis, perlu pelatihan khusus terkait pengetahuan

pasien dalam pemantauan perawatan mandiri terhadap perubahan pola hidup. Kunci

utama dalam penatalaksanaan terapi diabetes melitus adalah menerapkan hidup

sehat dan bersamaan dengan obat antidiabetes secara oral maupun suntikan. Obat

antidiabetes dapat diberikan tunggal maupun kombinasi (Perkeni, 2019)

2.11.1 Terapi Non Farmakologi Diabetes Melitus

1. Edukasi

Pengetahuan merupakan domain yang penting dalam pembentukan tindakan

seseorang. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra

pendengaran yaitu telinga dan indra penglihatan yaitu mata. Edukasi akan diingat

oleh responden karena melibatkan beberapa panca indera (Lestari, 2015). Edukasi

ini berperan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai diabetes melitus serta

meningkatkan keterampilan individu dan keluarga dalam pengelolaan diabetes

melitus secara mandiri (Nuari, 2017). Edukasi pada pasien diabetes sangat penting

sebagai upaya promosi hidup sehat untuk mencapai keberhasilan perubahan pola

hidup sehat. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah dan tanda gejala

hipoglikemia serta cara mengatasinya penyakit diabetes harus diberikan kepada

pasien. Dalam upaya meningkatkan motivasi pasien diabetes sangat dibutuhkan

peran keluarga dan masyarakat. Materi edukasi terdiri dari dua tingkat, yaitu materi

edukasi tingkat awal diberikan oleh pelayanan kesehatan primer, sedangkan materi

edukasi tingkat lanjutan dierikan oleh pelayanan esehatan sekunder atau tersier

(Perkeni, 2019).

Prinsip proses edukasi yang perlu diperhatikan, yaitu : Memberikan

dukungan dan nasehat yang positif hindari terjadinya kecemasan; Memberikan

informasi secara bertahap dari hal yang sederhana dan dengan cara yang mudah

dimengerti; Melakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan

simulasi; Dalam program pengobatan dan hasil laboratorium lakukan diskusi secara

25

terbuka dengan perhatikan keinginan pasien; Melakukan kompromi dan negosiasi

agar tujuan pengobatan dapat diterima; Memberikan motivasi dengan memberikan

penghargaan; Melibatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi; Perhatikan

kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien dan keluarganya;

Gunakan alat bantu audio visual (Perkeni, 2019).

2. Terapi Nutrisi Medis

Terapi nutrisi medis dilaksanakan dalam beberapa tahap. Pengenalan

sumber dan jenis karbohidrat, pencegahan dan penatalaksanaan hipoglikemia harus

dilakukan terhadap pasien. Secara umum, terapi nutrisi medis meliputi upaya-upaya

untuk mendorong pola hidup sehat, membantu kontrol gula darah, dan membantu

pengaturan berat badan (Decroli, 2019). Pada pasian diabetes mellitus tipe 1, fokus

untuk mengatur pemberian insulin dengan diet seimbang agar dapat mencapai atau

mempertahankan berat badan yang sehat. Sedangkan pada pasien diabetes mellitus

tipe 2 sering membutuhkan keseimbangan kalori untuk meningkatkan berat badan

(Dipiro et al, 2016).

Tidak dapat mengendalikan pola makan merupakan problem pasien

diabetes, bukan sebagai penyebab saja tetapi juga sebagai dampak penyakit diabetes

(Hendro, 2018). Menurut perkeni 2019 komposisi makanan yang dianjurkan untuk

pasien diabetes melitus yaitu : karbohidrat sebesar 45-65% total asupan energi,

lemak sebesar 20-25% kebutuhan kalori tidak boleh melebihi 30% total asupan

energi, protein sebesar 10-20% kebutuhan energi, natrium sebesar < 1500 mg/hari,

serat 14 gram/1000 kalori atau 20-35 gram/hari, dan pemanis alternatif yang tidak

melebihi batas aman (Perkeni, 2019).

3. Latihan Jasmani

Latihan jasmani dapat dilakukan secara teratur 3-4 kali seminggu selama

30-45 menit, pasien sebisa nya dapat mencapai taget latihan dengan prosentase 70%

dari total BMI, namun tidak lupa disesuaikan dengan umur dan kesegaran jasmani

(Yanti, 2016). Selain untuk menjaga kebugaran latihan jasmani juga dapat

menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin sehingga akan

memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani aerobik seperti jalan kaki,

bersepeda santai, joging, dan berenang sangat dianjurkan (Perkeni.2019).

26

Prinsipnya tidak perlu latihan jasmani yang bersifat berat, cukup lakukan yang

ringan saja secara teratur (Dipiro et al, 2016).

2.11.2 Terapi Farmakologi Diabetes Melitus

Terapi farmakologi diberikan bersama dengan pengaturan makan dan

latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral (po)

dan bentuk suntikan (Perkeni, 2019).

Gambar 2. 5 Algoritma Tatalaksana DM (Perkeni, 2015)

A. Terapi OAD

Tabel II. 2 Profil Obat Antidiabetes Oral (Perkeni, 2019)

Golongan Obat Contoh Obat Cara Kerja

Biguanid Metformin Menurunkan produksi

glukosa hati dan

meningkatkan sensitifitas

insulin

Thiazolidinedione Pioglitazone dan

Rosiglitazone

Meningkatkan sensitifitas

insulin

27

Sulfonilurea Generasi pertama :

Klorpropamid, Tolazamid,

dan Tolbutamid

Generasi kedua :

Glibenklamide, Glipizide,

dan Glimepiride

Meningkatkan sekresi insulin

Meglitinide Repaglinid dan Nateglinid

Meningkatkan sekresi insulin

Penghambat Alfa

Glukosidase

Acarbose dan Miglitol Menghambat absorpsi

glukosa

Penghambat

DPP-4

Sitagliptin, Saxagliptin,

Alogliptin, dan Linagliptin

Meningkatkan sekresi insulin

dan menghambat sekresi

glukagon

Penghambat

SGLT-2

Canagliflozin,

Dapagliflozin,

Empagliflozin, dan

Ertugliflozin

Menghambat reabsorpsi

glukosa di tubulus distal

1. Pemacu Sekresi Insulin

a. Golongan Sulfonilurea

Sulfonilurea biasanya diberi dosis sekali atau dua kali sehari. Bekerja

dengan meningkatkan sekresi insulin dengan mengikat reseptor sulfonilurea

spesifik pada sel β pankreas. Sulfonilurea dibagi menjadi dua generasi yaitu

pertama dan kedua. Generasi pertama dengan resiko rendah yaitu klorpropamid,

tolazamid, dan tolbutamid sedangkan generasi kedua dengan resiko tinggi yaitu

glibenklamide, glipizide, dan glimepiride (Dipiro et al, 2020). Efek sampingnya

yang sering tejadi yaitu hipoglikemia serta peningkatan berat badan. Hati-hati

dalam pemakaian sulfonilurea terhadap pasien yang mempunyai risiko tinggi

hipoglikemia seperti orang tua, gangguan fungsi hati dan ginjal (Perkeni, 2019).

b. Golongan Meglitinide

Meglitinides mirip dengan sulfonilurea, kecuali yang memiliki onset lebih

cepat dan durasi tindakan yang lebih singkat. Terdapat dua obat yaitu repaglinid

(derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanil). Dengan mengikat situs

28

yang berdekatan dengan. sulfonilurea reseptor, nateglinide dan repaglinide

merangsang sekresi insulin dari sel β pankreas. Nateglinide atau repaglinide harus

diberikan secara oral dengan makanan, dimulai pada dosis rendah, dan bertahap

dari waktu ke waktu sampai kontrol glikemik tercapai (Dipiro et al, 2020). Obat ini

diserap dengan cepat setelah diberikan dengan cara oral dan diekskresi dengan

cepat melalui hati. Obat ini mampu mengatasi hiperglikemia post prandial (Perkeni,

2019).

2. Peningkatan Sensitivitas terhadap Insulin

a. Golongan Biguanid

Biguanida yang tersedia di Amerika Serikat yaitu Metformin, untuk dosis

formulasi pelepasan segera diberi dosis dua kali sehari atau anformulasi extended-

release (XR) diberi dosis sekali atau dua kali sehari. Metformin telah menurunkan

produksi glukosa hati dan dapat meningkatkan sensitivitas insulin di jaringan

perifer (otot), sehingga meningkatkan pengambilan glukosa ke dalam sel otot.

Metformin tidak memiliki efek langsung pada sel β, tetapi konsentrasi insulin

berkurang karena peningkatan insulin sensitivitas (Dipiro et al, 2020). Efek

samping yang dirasakan yaitu gangguan saluran pencernaan seperti dispepsia, diare,

dan lain-lain (Perkeni, 2019).

b. Golongan Thiazolidinedione

Oral antidiabetes golongan thiazolidinedione (TZD) yang disetujui FDA

untuk pengobatan DM tipe 2 yaitu pioglitazone dan rosiglitazone. Pioglitazone

dapat diberikan, dosis awal yang biasa (1x15–30 mg/d) po dan dosis maksimum

(1x45 mg/d) po. Sedangkan Rosiglitazone cepat diserap dan sangat terikat protein

diberikan dosis sekali atau dua kali sehari sebanyak 2–8 mg (Katzung, 2018).

Tiazolidinedione merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated

Receptor Gamma (PPAR- gamma), suatu reseptor inti beberapa organ diantaranya

sel otot, lemak, dan hati. Aktivasi PPAR-γ mengubah transkripsi beberapa gen yang

terlibat dalam metabolisme glukosa dan lipid dan keseimbangan energi (Dipiro et

al, 2020).

Golongan ini dapat menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan

jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di

jaringan perifer. Tiazolidinedione meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga

29

dikontraindikasikan terhadap pasien dengan gagal jantung (NYHA fungsional class

III-IV) dikarenakan mampu memperberat edema / retensi cairan. Hati-hati terhadap

gangguan faal hati, dan jika diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala.

efek termasuk edema perifer, gagal jantung, hemodilusi hemoglobin dan

hematokrit, dan penambahan berat badan (Perkeni, 2019).

3. Penghambat Alfa Glukosidase

Terdapat dua α-glukosidase yang disetujui oleh FDA yaitu acarbose dan

miglitol, antidiabetes oral ini diberikan sebelum makan. Pengobatan Acarbose

dimulai dengan dosis (2x50 mg) po dengan peningkatan bertahap menjadi (3x100

mg) po. Sedangkan terapi miglitol dimulai dengan dosis (3x25 mg) po.

Pemeliharaan yang biasa dosis adalah (3x50 mg) po, tetapi beberapa pasien perlu

(3x100 mg) po (Katzung, 2018). Obat ini tidak dimetabolisme dan dibersihkan oleh

ginjal. Antidiabetes oral tidak boleh digunakan dalam gagal ginjal. α-inhibitor

glukosidase secara kompetitif menghambat maltase, isomaltase, sucrase, dan

glukosamylase di usus kecil, menunda pemecahan sukrosa dan karbohidrat

kompleks (Dipiro et al, 2020).

Obat ini bekerja dengan menghambat kinerja enzim alfa glukosidase pada

saluran pencernaan sehingga dapat menghambat absorpsi glukosa di dalam usus

halus. Penghambat alfa glukosidase tidak dipakai pada keadaan LFG ≤ 30

ml/min/1,73 m2, kepada penderita gangguan faal hati yang berat, irritable bowel

syndrome. Efek samping yang timbul adalah bloating (penumpukan gas dalam

usus) sehingga sering memunculkan flatus (Perkeni, 2019).

4. Golongan Penghambat Enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4 inhibitor)

Empat inhibitor DPP-4 disetujui oleh FDA yaitu sitagliptin, saxagliptin,

linagliptin, dan alogliptin diberikan dengan dosis satu kali sehari. Antidiabetes oral

ini menghambat enzim DPP-4 yang bertanggung jawab untuk degradasi cepat GLP-

1 dan GIP, dengan demikian memperpanjang waktu paruh GLP-1 yang diproduksi

secara endogen (Dipiro et al, 2020). Enzim DPP-4 terekspresikan di berbagai organ

tubuh, termasuk di usus dan membran brush border ginjal, di hepatosit, endotelium

vaskuler dari kapiler vili, dan dalam bentuk larut dalam plasma. Penghambat DPP-

4 akan menghambat letak pengikatan pada DPP-4 sehingga mencegah inaktivasi

dari glucagon-like peptide (GLP)-1. Proses inhibisi ini akan mempertahankan kadar

30

GLP-1 dan glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP) pada bentuk aktif

di sirkulasi darah, sehingga mampu memperbaiki toleransi glukosa, meningkatkan

respons insulin, dan mereduksi sekresi glukagon (Perkeni, 2019).

5. Golongan Penghambat Enzim Sodium Glucose co-Transporter 2 (SGLT-2

inhibitor)

Empat inhibitor SGLT-2 telah disetujui oleh FDA yaitu canagliflozin,

dapagliflozin, empagliflozin, dan ertugliflozin. Dosis diberikan satu kali sehari.

Inhibitor SGLT-2 mengurangi glukosa plasma dengan mencegah ginjal dari

reabsorbsi glukosa di tubulus proksimal kembali ke aliran darah, yang

menyebabkan peningkatan ekskresi glukosa dalam urin (Dipiro et al, 2020). Obat

golongan ini dapat menurunkan berat badan dan tekanan darah. Efek samping yang

dirasakan yaitu infeksi saluran kencing dan genital. Pada penyandang DM yang

mempunyai gangguan fungsi ginjal perlu dilakukan penyesuaian dosis, dan tidak

diperkenankan bila LFG kurang dari 45 ml/menit. Hati-hati karena dapat

mencetuskan ketoasidosis (Perkeni, 2019).

B. Antidiabetes Suntik/Insulin

1. Insulin

Insulin yang diproduksi secara endogen dibelah dari peptida proinsulin yang

lebih besar di sel β ke peptida aktif insulin dan C-peptida yang tidak aktif. Sebagian

besar insulin diberikan secara subkutan untuk pengelolaan diabetes kronis, kecuali

insulin manusia yang terhirup yang merupakan bubuk kering DNA rekombatan

insulin reguler yang terhirup dan diserap melalui jaringan paru-paru. Keuntungan

utama insulin daripada agen antihyperglycemic lainnya adalah dapat mencapai

berbagai target glukosa dan dosisnya dapat individual berdasarkan tingkat glikemik

(Dipiro et al, 2020).

Tujuan pemberian insulin yaitu untuk mengontrol kadar basal dan post

prandial, karena pada pasien DM tipe 2 terjadi gangguan sekresi insulin basal

(puasa) dan prandial (setelah makan). Formulasi insulin dengan tingkat awal kerja

(onset) dan lama kerjanya (duration) yang berbeda sering dikombinasi untuk

tercapainya tujuan ini. Berikut adalah klasifikasi insulin menurut Perkeni 2019 :

1. Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

2. Insulin kerja pendek (short acting insulin)

31

3. Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

4. Insulin kerja panjang (long acting insulin)

5. Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin)

2. Golongan GLP1-RA

Terdapat tujuh golongan GLP1-RA tersedia di Amerika Serikat. Enam di

antaranya adalah diberikan secara subkutan dengan dosis mulai dari dua kali sehari

hingga sekali seminggu dan satu diberikan secara oral sekali sehari. Golongan ini

merangsang sekresi insulin dari sel beta pankreas dengan cara yang bergantung

pada glukosa. Selain itu, selama hiperglikemia, GLP1-RA mengurangi peningkatan

kadar glukagon secara tidak tepat, yang menyebabkan penurunan output glukosa

hati. Tindakan ini menghasilkan penurunan glukosa dan bobot. GLP1-RA juga

berpotensi mempertahankan fungsi sel beta pankreas dan melindungi dari apoptosis

yang diinduksi oleh sitokin. Semua GLP1-RA menghasilkan tingkat farmakologis

aktivitas GLP-1 dan tahan terhadap degradasi yang cepat oleh enzim dipeptidyl

peptidase 4 (DPP-4). GLP1-RAs meningkatkan sekresi insulin dengan cara

bergantung pada glukosa di respon terhadap asupan makanan; dengan demikian,

risiko hipoglikemia rendah bila digabungkan dengan metformin, inhibitor DPP-4,

inhibitor SGLT-2, atau TZD (Dipiro et al, 2020).

2.12 Tinjauan Obat Pioglitazone

2.12.1 Pengertian Pioglitazone

Pioglitazone merupakan antidiabetik golongan thiazolidinedione digunakan

untuk mengobati diabetes mellitus tipe 2. Pioglitazone dapat digunakan sendiri atau

kombinasi dengan obat lain seperti insulin, metformin, atau sulfonilurea.

Penggunaan pioglitazone didampingi dengan diet dan olahraga yang tepat untuk

membantu mengontrol kadar gula darah (Al-Majed, 2016).

Gambar 2. 6 Struktur Kimia Pioglitazone (Al-Majed, 2016)

2.12.2 Farmakologi Pioglitazone

32

Resistensi insulin dapat terjadi pada diabetes melitus tipe II kadar insulin

tidak mengaktifkan sinyal untuk menyerap glukosa. Thiazolidinedione seperti

pioglitazone adalah peroksisom sintetis yang kuat ligan proliferator-activated

receptor (PPARγ) yang telah terbukti efektif dalam pengobatan diabetes. Efek

penurunan glukosanya sedang dilakukan terutama melalui peningkatan sensitivitas

insulin dan oleh karena itu, memfasilitasi pengambilan dan pemanfaatan glukosa.

Thiazolidinedione dapat memasuki nukleus dimana mereka terikat ke PPARγ.

PPARγ diekspresikan paling banyak dalam adiposa jaringan tetapi juga ditemukan

dalam sel β pankreas, endotel vaskular, dan makrofag (Al-Majed, 2016).

Pioglitazone adalah agonis yang kuat dan sangat selektif untuk PPARγ.

Reseptor ini mengatur ekspresi lebih dari 100 gen, yang berkumpul bersama tetapi

tidak identik. Selain itu, respons sekresi insulin telah terjadi dilaporkan meningkat

pada subjek dengan gangguan toleransi dan tipe glukosa II diabetes, bahkan setelah

peningkatan sensitivitas insulin. Kemungkinan lain mekanisme tiazolidinedion

melibatkan penurunan adiposit sitokin dan hormon yang terlibat dalam patogenesis

insulin perlawanan. Pioglitazone bekerja menurunkan resistensi insulin,

mengaktifkan reseptor nukleus spesifik (peroxisome proliferator activated receptor

gamma), yang akan meningkatkan sensitivitas insulin di hati, jaringan lemak dan

sel-sel otot skeletal. Pada kasus resistensi insulin, pioglitazone menurunkan

produksi glukosa hati dan meningkatkan penggunaan glukosa perifer (Al-Majed,

2016).

2.12.3 Dosis dan Cara Penggunaan Pioglitazone

Pioglitazone dapat diminum sekali sehari secara per-oral. Dosis awal yang

biasa adalah (1x15mg/30 mg) po dan maksimum 45 mg/hari (po). Pioglitazone

disetujui sebagai terapi tunggal dan dalam kombinasi dengan metformin,

sulfonylureas, dan insulin untuk pengobatan diabetes tipe 2 (Katzung, 2018). Dosis

awal pioglitazone yang direkomendasikan adalah (1x15 mg) po. Dosis dapat

ditingkatkan setelah 3 sampai 4 bulan berdasarkan respon terhadap pengobatan dan

efek samping. Dosis maksimum dan dosis efektif maksimum dari pioglitazone

adalah (1x45 mg) po. Untuk meminimalkan penambahan berat badan dan edema,

dosis efektif terendah harus digunakan. Jika efek samping terjadi dengan dosis yang

lebih tinggi, dosis harus dikurangi. Dosis yang lebih rendah direkomendasikan bila

33

digunakan dalam kombinasi dengan insulin, dan edema serta penambahan berat

badan harus dipantau dengan hati-hati (Dipiro et al, 2020).

2.12.4 Farmakokinetik Pioglitazone

Pioglitazone diserap baik dengan atau tanpa makanan, dan keduanya diikat

oleh protein plasma sekitar lebih dari 99%. Pioglitazone akan melalui metabolisme

di hati oleh CYP2C8 enzim dan CY3A4 dan tereliminasi bersama dengan keluarnya

feses. Pioglitazone memiliki t ½ yakni 3 sampai 7 jam dengan durasi kerja

antihiperglikemik kurang dari 24 jam (Dipiro et al, 2016).

Proses ADME pada pioglitazone yaitu absorpsi pioglitazone pemberian

secara oral, konsentrasi puncak diperoleh setelah 2 jam pemberian. Jika obat

diberikan bersama makanan, tercapainya konsentrasi puncak lebih lambat, hingga

3-4 jam setelah pemberian, tetapi hal tersebut tidak menimbulkan perubahan

konsentrasi obat. Distribusi pioglitazone, rata–rata volume distribusi pioglitazone

pada pemberian tunggal adalah 0,63 ± 0,41 L/kgBB. Pioglitazone dapat berikatan

pada serum protein manusia terutama pada serum albumin (>99%). Metabolisme

pioglitazone melalui mekanisme hidroksilasi dan oksidasi. Hasil metabolitnya

sebagian diubah menjadi glukuronida atau konjugat sulfat. Metabolisme di hepar

diperantarai enzim sitokrom P45p, termasuk CYP2C8 dan CYP3A4, serta enzim

ekstrahepatik CYP1A1. Eliminasi pioglitazone, hasil metabolit pioglitazone

diekskresikan melalui saluran empedu dan dibuang bersama feses, sekitar 15-30%

hasil metabolit ditemukan pada urine. Obat ini diekskresikan sebagai metabolit dan

konjugasinya. Waktu paruh pioglitazone sekitar 3-7 jam (PUBCEM, 2020).

Konsentrasi serum total pioglitazone (pioglitazone plus aktifnya metabolit)

tetap meningkat 24 jam setelah pemberian dosis sekali sehari. Stabil konsentrasi

serum dari kedua pioglitazone dan total pioglitazone adalah dicapai dalam 7 hari.

Pada kondisi mapan, dua di antaranya aktif secara farmakologis metabolit

pioglitazone, metabolit III (M-III) dan IV (M-IV), mencapai konsentrasi serum

sama dengan atau lebih besar dari pioglitazone. Keduanya sehat relawan dan pasien

dengan diabetes tipe II, terdiri dari pioglitazone sekitar 30-50% dari total

konsentrasi puncak serum pioglitazone dan 20-25% dari total area di bawah kurva

konsentrasi waktu serum (AUC). Konsentrasi serum maksimum (C maks), AUC,

dan palung konsentrasi serum untuk pioglitazone dan total pioglitazone meningkat

34

secara proporsional dengan dosis (1x15 mg dan 30 mg) po. Ada yang sedikit kurang

dari peningkatan proporsional untuk pioglitazone dan total pioglitazone dengan

dosis (1x60 mg) po (Al-Majed, 2016).

2.12.5 Farmakodinamik Pioglitazone

Pioglitazone merupakan obat oral golongan thiazolinedione penambah

sensitivitas terhadap insulin untuk terapi diabetes melitus tipe 2. Prinsip kerja

pioglitazone yaitu meningkatkan sensitivitas insulin terhadap jaringan target,

seperti menurunkan glukogenesis pada hati. Pioglitazone merupakan suatu agonis

peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR-γ) yang terdapat pada

jaringan penting insulin seperti adiposa, otot skelet, dan hati. Aktivasi reseptor inti

PPAR-γ mengatur transkripsi sejumlah gen responsif insulin yang terlibat dalam

kontrol metabolisme glukosa dan lemak (PUBCEM, 2020).

Gambar 2. 7 Mekanisme Aksi Thiazolidinedione (Singh, 2020)

TZD mengerahkan efek antidiabetesnya meningkatkan sensitivitas insulin.

TZD membantu mengurangi resistensi insulin di otot, hati, dan jaringan adiposa.

Karena PPAR-gamma sangat terkonsentrasi di jaringan adiposa, efek pada otot dan

hati tampaknya melalui pensinyalan endokrin dari adiposit. Agonis selektif reseptor

inti yaitu peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR-γ) yang

banyak diekspresikan di sel adiposa. Obat ini berikatan dengan PPAR-γ kemudian

mengaktivasi gen responsif insulin yang mengatur metabolisme lipid dan

35

karbohidrat. TZD membutuhkan insulin dalam kegiatan mereka, meningkatkan

sensitivitas insulin, terutama di jaringan perifer. Dimediasi melalui efek pada sel

adiposa, karena sedikit reseptor PPAR-γ dalam jaringan otot. Pada adiposit,

diferensiasi ditingkatkan, lipolisis berkurang, dan tingkat sirkulasi adipositokin atau

adipokin yang berubah, yaitu penurunan tumor necrosis factor alpha dan leptin dan

peningkatan adiponektin (Singh, 2020).

2.12.6 Efektivitas Pioglitazone

Obat ini juga memiliki beberapa efek tambahan selain menurunkan glukosa.

Pioglitazone menurunkan trigliserida dan meningkatkan kolesterol high-density

lipoprotein (HDL) tanpa mempengaruhi kolesterol total dan kolesterol low-density

lipoprotein (LDL) (Katzung, 2018). TZD memiliki khasiat penurun glikemik yang

tinggi dan mengurangi nilai HA1C sekitar 1,0% hingga 1,5% (0,010 hingga 0,015;

11 hingga 22 mmol / mol), tingkat FPG hingga 60 hingga 70 mg / dL (3,3 hingga

3,9 mmol / L) secara maksimal dosis, dan mereka memiliki daya tahan tinggi dari

waktu ke waktu. Pioglitazone secara konsisten menurunkan kadar trigliserida

plasma sebesar 10% hingga 20% (Dipiro et al, 2020).

Studi klinis menunjukkan bahwa pioglitazone meningkatkan sensitivitas

insulin dalam resisten insulin. Pioglitazone meningkatkan respon seluler terhadap

insulin, meningkatkan pembuangan glukosa yang bergantung pada insulin, dan

memperbaiki disfungsional homeostasis glukosa. Pada penderita diabetes tipe 2,

insulin mengalami penurunan resistensi yang dihasilkan oleh pioglitazone telah

mengakibatkan penurunan glukosa plasma konsentrasi, kadar insulin plasma, dan

nilai HbA1c. Berdasarkan hasil dari klinis ekstensi label terbuka, efek penurunan

glukosa pioglitazone tampaknya bertahan setidaknya selama 1 tahun. Dalam uji

klinis terkontrol, pioglitazone dalam kombinasi dengan sulfonilurea, metformin,

atau insulin memiliki efek aditif pada kontrol glikemik (Al-Majed, 2016)

2.12.7 Interaksi Pioglitazone

Pioglitazone merupakan penginduksi lemah terhadap sitokrom P450

substrat 3A4 atau disingkat CYP3A4. Penghambat enzim P4502C8 atau disingkat

CYP2C8 (seperti gemfibrozil) dapat secara signifikan meningkatkan AUC

pioglitazone dan enzim penginduksi CYP2C8 (seperti rifampisin) dapat secara

signifikan menurunkan AUC pioglitazone. Oleh karena itu, jika inhibitor atau

36

penginduksi CYP2C8 mulai diberikan atau dihentikan selama pengobatan dengan

pioglitazone, akan terjadi perubahan dalam pengobatan diabetes dan dilihat

berdasarkan respon klinis (Desouza, 2010).

2.12.8 Kontraindikasi Pioglitazone

TZD merupakan kontraindikasi pada pasien dengan penyakit hati dan gagal

jantung kelas III dan IV dan harus sangat hati-hati digunakan pada pasien dengan

gagal jantung kelas I dan II. TZD tidak boleh digunakan pada pasien dengan kanker

kandung kemih aktif, sebelum penggunaan TZD harus benar-benar

dipertimbangkan manfaat dan risikonya (Dipiro et al, 2020). Pasien dengan

hipersensitivitas yang diketahui terhadap pioglitazone atau salah satu

komponennya. Ketoasidosis diabetik atau diabetes tipe 1, karena pioglitazone aktif

hanya dengan adanya insulin. Oleh karena itu hipoglikemia, perlu pemantauan gula

darah secara teratur (Singh, 2020).

2.12.9 Efek Samping Pioglitazone

Retensi cairan, edema, anemia, penambahan berat badan, edema makula,

patah tulang pada wanita (Katzung, 2018). TZD menyebabkan retensi cairan karena

vasodilatasi perifer dan peningkatan sensitisasi insulin di ginjal yang

mengakibatkan peningkatan natrium ginjal dan retensi air. Efek yang dihasilkan

termasuk edema perifer, gagal jantung, hemodilusi hemoglobin dan hematokrit, dan

penambahan berat badan. Penambahan berat badan juga terkait dengan dosis dan

merupakan hasil dari retensi cairan dan penumpukan lemak. TZD juga dikaitkan

dengan peningkatan angka patah tulang pada tungkai atas dan bawah wanita pasca

menopause (Dipiro et al, 2020).

2.12.10 Sediaan Pioglitazone

a. Pioglitazone (ISO, 2017)

Kandungan : Pioglitazone 15 mg, 30 mg.

Indikasi : Monoterapi atau kombinasi DM tipe 2.

Dosis : Dewasa monoterapi dosis tunggal (1x15 mg atau 30 mg) po, dosis

dapat ditingkatkan (1x45 mg) po. Kombinasi dosis awal (1x15-

30mg) po.

b. Pionix/Pionix-M (ISO, 2017)

37

Kandungan : Pioglitazone 15 mg, 30 mg, Pioglitazone 15 mg √ metformin 500

mg atau 850 mg.

Indikasi : Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) Monoterapi

atau kombinasi DM tipe 2.

Kontraindikasi : Riwayat gagal jantung I-IV, gangguan hati ketoasidosis, pasien

terapi insulin.

Perhatian : Retensi cairan dan gagal jantung.

Efek samping : Peningkatan BB, gangguan pengelihatan, anemia, hipoestesia,

hipoglikemia, peningkatan nafsu makan, sakit kepala, flatulence.

Dosis : Monoterapi (1x15 mg atau 30 mg) po, kombinasi dengan

metformin atau sulfonilurea (1x15 mg atau 30 mg) po dan dosis

metformin atau sulfonilurea boleh diteruskan dengan

atau tanpa makanan.

c. Actos (ISO, 2017)

Kandungan : Pioglitazone 15 mg, 30 mg.

Indikasi : DM tipe 2 monoterapi atau kombinasi sulfonilurea atau

metformin saat makan, olahraga.

Kontraindikasi : Kerusakan jantung, kerusakan hati, pasien dialisa, dan kombinasi

terapi dengan insulin.

Efek samping : Edema ringan hingga sedang.

Dosis : Monoterapi (1x15 mg atau 30 mg) po, dapat ditingkatkan hingga

(1x45 mg) po. Kombinasi (1x15 mg atau 30 mg) po, sulfonilurea

atau metformin dilanjutkan hingga terapi inisiasi, sebelum atau

setelah makan.

d. Gliabetes (ISO, 2017)

Kandungan : Pioglitazone 30 mg.

Indikasi : Kombinasi sulfonilurea atau metformin pada DM tipe 2 (Non

Insulin Dependent Diabetes Melitus) ketika terapi tunggal tidak

menunjukkan hasil.

Kontraindikasi : Hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, gagal jantung kelas

III/IV, diabetes melitus tipe 1 dan ketoasidosis, kombinasi dengan

insulin.

38

Efek samping : Anemia, sakit kepala, peningkatan BB, gangguan pengelihatan,

dan impotensi.

Dosis : Monoterapi (1x30 mg) po. Kombinasi dengan metformin.