YANG DIINDUKSI KARAGENAN -...
Transcript of YANG DIINDUKSI KARAGENAN -...
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI AKTIVITAS ANTIINFLAMASI SENYAWA
N,N-BIS-(HIDROKSIETIL)-P-METOKSI
SINAMAMIDA SECARA IN-VIVO
YANG DIINDUKSI KARAGENAN
SKRIPSI
CITRA LILIS ANJARWATI
NIM. 1113102000048
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
AGUSTUS 2017
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI AKTIVITAS ANTIINFLAMASI SENYAWA N,N-
BIS-(HIDROKSIETIL)-P-METOKSI SINAMAMIDA
SECARA IN-VIVO
YANG DIINDUKSI KARAGENAN
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi
CITRA LILIS ANJARWATI
NIM. 1113102000048
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
AGUSTUS 2017
ABSTRAK
Nama : Citra Lilis Anjarwati
Program Studi : Farmasi
Judul :
N,N-bis-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida (N,N-HPMS) merupakan derivat senyawa
etil-p-metoksi sinamat (EPMS) yang diperoleh melalui reaksi amidasi dan memiliki
aktivitas antiinflamasi secara in-vitro. Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas
antiinflamasi senyawa N,N-HPMS secara in-vivo. Pengujian aktivitas antiinflamasi
dilakukan pada tikus putih jantan galur sprague dawley dengan metode induksi udema
telapak kaki tikus menggunakan karagenan 1% sebanyak 0,2 ml. Pada penelitian ini
hewan uji dibagi menjadi lima kelompok. Kelompok kontrol negatif diberi suspensi Na-
CMC 0,5 %, kelompok kontrol positif diberi suspensi natrium diklofenak 5,14 mg/kgBB
dan kelompok uji diberikan suspensi senyawa N,N-HPMS dosis 50 mg/kgBB, 100
mg/kgBB, dan 200 mg/kgBB. Hasil penelitian menunjukkan aktivitas antiinflamasi
senyawa N,N-HPMS bergantung pada dosis. Persentase udema senyawa N,N-HPMS
dosis 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, dan 200 mg/kgBB berbeda signifikan dengan kontrol
negatif (p ≤ 0.05) dan mampu menghambat udema berturut-turut sebesar 52,74%, 83,30
% dan 70%. Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa senyawa N,N-HPMS
aktif sebagai agen antiiinflamasi.
Kata Kunci: Senyawa N,N-HPMS, antiinflamasi, karagenan, natrium diklofenak
Uji Aktivitas Antiinflamasi Senyawa N,N-bis-(hidroksietil)-p
metoksi sinamamida secara In-vivo yang diinduksi Karagenan
v
ABSTRACT
Name : Citra Lilis Anjarwati
Major : Pharmacy
Title :
N,N-bis-(Hydroxyethyl)-p-methoxy cinnamamide (N,N-HPMC) is a compound that is
derived from Ethyl-p-methoxy cinnamate (EPMC) through amidation reaction. This
compound has been reported to have in-vitro anti-inflammatory activity. This study
aimed to test the in-vivo anti-inflammatory activity of N,N-HPMC. The anti-
inflammatory activity test was performed in Sprague-Dawley rat using 1% carrageenan
induced paw edema method. This study divides the animal test into five groups.
Negative-control groups are given Na-CMC 0.5% suspension, positive-control groups are
given diclofenac sodium 5,14 mg/kg bodyweight suspension, and the test groups are
given N,N-HPMC compound with doses of 50 mg/kg bodyweight, 100 mg/kg
bodyweight, and 200 mg/kg bodyweight. The results showed that the anti-inflammatory
activity of N,N-HPMC compound is dose-dependent. Percent edema of N,N-HPMC
compound with doses of 50 mg/kgBW, 100 mg/kgBW, and 200 mg/kgBW were
significantly different with the negative control groups (p ≤ 0.05) and could inhibit edema
as much as 52,74 %, 81,81 % and 70 % respectively. It can be concluded from this study
that N,N-HPMC compound is an active anti-inflammatory agent .
Keyword: N,N- HPMC compound, anti-inflammatory, carrageenan, diclofenac sodium
In-Vivo Screening of Carrageenan Induced Anti-Inflammatory
Activity of N,N-bis-(Hydroxyethyl)-p-methoxy cinnamamide
Compound.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur selalu penulis haturkan kepada Allah SWT yang selalu memberikan
nikmat dan karunia yang tidak terhingga. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada
Rasullah SAW, yang membawa umat manusia menuju zaman yang penuh dengan ilmu
pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji
Aktivitas Antiinflamasi senyawa N,N-HPMS secara in-vivo yang Diinduksi Karagenan”
sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan strata-1 di Program Studi Farmasi,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak dibantu oleh banyak pihak dan
menyelesaikannya. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. dan ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt.
selaku pembimbing skirpsi penulis yang telah memberikan waktu, tenaga, saran,
dan pikiran kepada penulis mulai dari awal penelitian hingga penyusunan skripsi.
2. Prof. Dr. H Arif Sumantri, SKM, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt., selaku Kepala Program Studi Farmasi dan ibu Nelly
Suryani, Ph.D., Apt., selaku Sekretaris Program Studi Farmasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
4. Bapak/ibu dosen serta segenap staf dan karyawan yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dan bimbingan selama penulis menempuh pendidikan farmasi.
5. Kedua orang tua, mama Defri Waryati dan papa (alm) Candra Jusmanto yang
telah mendidik dan membesarkan penulis dengan penuh rasa kasih, senantiasa
memberikan dukungan lahir batin, dan selalu ada untuk penulis.
6. Keluarga besar Anwar Wardoyo yang menajdi pemicu penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.;
7. Masyarakat dan Pemerintah Provinsi Sumsel yang telah memberikan kesempatan
penulis untuk mengemban ilmu di FKIK UIN Jakarta.
8. Kakak-kakak laboran (Kak Walid, Kak Eris, Kak Yaenab, Kak Tiwi, dan Mbak
Rani dan Kak Rahmadi) yang telah membantu dalam melakukan penelitian
9. Teman –teman Farmasi UIN 2013 yang telah memberikan warna warni dibangku
perkuliahan penulis..
vii
10. Animal House Squad (vivi, dara, cici, silvi, fitrah, mba bed, mba iyun, faris dan
lisa) Ajeung, Upi dan Lulu yang telah membantu penulis dalam melakukan
penelitian, tempat bertukar pikiran, dan saling menasihati dalam kebaikan.
11. Keluarga Kacungers dan Bolangers (Muzi, Tika, Hanum, Nurul, Dian, ukhti
Vita, Mba, bed, Azah dan Haka) yang menjadi tempat berkeluh kesah penulis,
menyayangi dan mensupport penulis, dan membuat penulis lupa akan sedih dan
duka
12. Keluarga Besar HMI KOMFAKDIK dan LKMI HMI Cab. Ciputat yang
memebrikan banyak pengalaman dan pembelajaran.
13. Teman-teman demisioner DEMA FKIK 2015 (Satrio, Almira, Kak Tyo, Kak Widy,
Kak, Nunu, Kak Isti, dan Kak Ulfah ) yang selalu memberi motivasi dan support
kepada penulis.
14. Geng Lima Dara (Dewi, Suci, Adit, dan Ryan) yang selalu menemani dan
menghibur penulis dalam penyusunan skripsi.
15. Keluarga Besar SJD-SS yang selalu menjadi tempat peraduan penulis.
16. Dan pihak-pihak lain yang banyak membantu yang penulis tidak dapat sebutkan
namanya satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini banyak memiliki kekuranan dan kelemahan.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun,agar
skripsi ini menjadi jauh lebih baik.
Akhir kata, penulis berdoa semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis,
masyarakat dan ilmu pengetahuan.
Ciputat, Agustus 2017
Penulis
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
saya yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Citra Lilis Anjarwati
NIM : 1113102000048
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilm Kesehatan
Jenis Karya : Skripsi
demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya,
dengan judul
UJI AKTIVITAS ANTIINFLAMASI SENYAWA N,N-BIS-(HIDROKSIETIL)-P-METOKSI SINAMAMIDA SECARA IN-VIVO YANG DIINDUKSI KARAGENAN
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di : Ciputat
Pada tanggal : 15 Agustus 2017
Yang menyatakan
(Citra Lilis Anjarwati)
ix
1
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inflamasi merupakan respon terhadap cedera jaringan yang ditandai
dengan elaborasi mediator inflamasi, serta gerakan cairan dan leukosit dari
darah ke jaringan ekstravaskuler. Inflamasi melokalisasi dan menghilangkan
mikroorganisme, sel yang rusak, partikel asing, dan mengembalikan struktur
dan fungsi normal jaringan (S.Murphy, 2007).
Obat antiinflamasi non steroid (OAINS) merupakan golongan obat-obatan
yang sering digunakan dalam mengobati peradangan atau inflamasi. Aktivitas
antiinflamasi OAINS dimediasi melalui penghambatan biosintesis
prostaglandin (G.Katzung, 2012). Dalam menghambat biosintesa prostaglandin,
OAINS bekerja dengan menghambat enzim pengkatalisis sintesa prostaglandin,
yakni enzim sikloooksigenase (COX) baik COX-1 maupun COX-2 (Brunton,
2011). Beberapa OAINS seperti diklofenak, ibuprofen, piroksikam merupakan
inhibitor non-selektif COX sedangkan OAINS lain seperti celecoxib,
valdecoxib, dan rofecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 (G.Katzung,
2012).
Efek samping mayor yang ditimbulkan akibat penggunaan OAINS adalah
iritasi dan ulserasi pada gastrointestinal (Brunton, 2011). Oleh karena itu perlu
dilakukan pencarian dan pengembangan obat antiinflamasi baru yang lebih
poten dengan efek samping yang minimum.
Dalam pencarian dan pengembangan obat antiinflamasi baru, para
ilmuwan telah banyak menggunakan tumbuhan dari bahan alam, salah satunya
adalah tanaman kencur (Kaempferia galanga L) yang memiliki aktivitas
antiinflamasi (Umar et al., 2012).
1
2
2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Senyawa utama yang terkandung dalam tanaman kencur adalah etil para
metoksi sinamat (EPMS), yakni sebesar 31,77% (Tewtrakul et al., 2005).
EPMS merupakan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas anti
inflamasi yang dihasilkan oleh tanaman kencur (Umar et al., 2012).
Aktivitas antiinflamasi senyawa EPMS telah dilaporkan baik secara in-
vitro dan in-vivo. Dalam studi in-vitro diketahui mekanisme kerja antiinflamasi
dari senyawa EPMS adalah dengan menghambat enzim COX-1 dan COX-2
(non selektif). Akan tetapi nilai penghambatan EPMS terhadap COX-2 lebih
besar (57,82%) dibandingkan dengan penghambatan pada COX-1 (42,9%).
Selanjutnya, hasil uji aktivitas antiinflamasi senyawa EPMS secara in-vivo pada
dosis 100 mg, 200 mg, 400 mg, dan 800 mg menunjukkan hasil yang
signifikan. Senyawa EPMS mampu menghambat udema telapak kaki tikus
dengan persen inhibisi tertinggi sebesar 53,7% pada dosis 800 mg (Umar et al.,
2012). Hal ini membuktikan bahwa EPMS merupakan kandidat obat anti
inflamasi yang poten dengan efek samping mayor yang diharapkan lebih
minimum.
Besarnya penghambatan enzim COX-2 dibandingkan dengan COX-1 oleh
EPMS membuka peluang bagi para ilmuan untuk menggali dan
mengembangkan potensi EPMS secara lebih dalam. Salah satu pengembangan
yang telah dilakukan adalah dengan membuat senyawa turunan (derivatisasi)
dari EPMS dan menguji aktivitas antiinflamasinya secara in-vitro. Proses
derivatisasi dilakukan dengan memodifikasi struktur EPMS melalui proses
amidasi yang diiradiasi dengan microwave, sehingga menghasilkan senyawa
N,N-bis-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida (N,N-HPMS). Hasil pengujian
aktivitas antiinflamasi secara in- vitro pada penelitian ini melaporkan, senyawa
ini memiliki aktivitas antiinflamasi dengan persen inhibisi tertinggi sebesar
74,15% pada konsentrasi 100 ppm (Reza, 2015).
3
3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh karena itu, untuk menguatkan hasil penelitian di atas, sekaligus menggali
potensi anti inflamasi dari senyawa ini secara lebih dalam, penelitian tersebut
perlu dilanjutkan secara in-vivo.
Berdasarkan uraian diatas, peneltitian ini dilakukan sebagai lanjutan dari
penelitian sebelumnya yang ditujukan untuk mengukur kemampuan senyawa
N,N-bis-(hidroksietil)-p-metoksisinamamida dalam menghambat kenaikan
volume udema pada telapak kaki tikus putih jantan secara in-vivo.
1.2 Perumusan Masalah
Apakah senyawa N,N-HPMS memiliki aktivitas antiinflamasi dalam
menghambat kenaikan volume udema pada telapak kaki tikus yang diinduksi
karagenan secara in vivo.
1.3 Hipotesis Penelitian
Senyawa N,N-HPMS memiliki aktivitas antiinflamasi dalam
menghambat kenaikan volume udema pada telapak kaki tikus yang diinduksi
karagenan secara in-vivo.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk menguji aktivitas antiinflamasi N,N-
HPMS dalam menghambat kenaikan volume udema telapak kaki tikus yang
diinduksi karagenan.
1.5 Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
informasi aktivitas antiinflamasi senyawa N,N-HPMS untuk dapat
dikembangkan lebih lanjut dan dapat dijadikan sebagai obat antiinflamasi baru
yang lebih poten.
4
4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tumbuhan Kencur (Kaempferia galanga L.)
2.1.1. Klasifikasi
Sistematika dan klasifikasi tanaman kencur (Rukmana, 1994)
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Class : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Kaempferia
Spesies : Kaempferia galanga L.
2.1.2. Kandungan Kimia
Komponen kimia yang terdapat dalam minyak kencur (Kaempferia
galanga) antara lain pinene (1,28%), camphene (2,47%), carvone (11,13%),
benzene (1,33%), eucalyptol (9,59%), borneol (2,87%), methyl cinnamate
(23,23%), pentadecane (6,41%) dan ethyl-p-methoxycinnamate (31,77%).
Ethyl-p-methoxycinnamate merupakan komponen kimia paling tinggi dalam
minyak (Tewtrakul et al., 2005). Pada publikasi ilmiah lainnya komonen
utama dari minyak kencur adalah phyllandrene, terpineol, ethylcinnamate
dan dihydro-sesquiphyllandrene (Sudibyo, 2000).
2.1.3. Khasiat
Ekstrak rimpang kencur dilaporkan memiliki banyak aktivitas
biologis, seperti analgesik dan antiinflamasi, vasorelaksan, aktivitas sedatif,
antimikroba, larvasidal, dan antinociceptive (Umar, Asmawi, Sadikun, Altaf,
& Iqbal, 2011)
4
5
5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2. Senyawa N,N-bis-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida (N,N-HPMS)
Senyawa N,N-bis-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida merupakan
senyawa hasil modifikasi EPMS melalui reaksi amidasi dengan dietanolamin.
senyawa ini memiliki karakteristik sebagai berikut (Reza, 2015) :
Warna : krem
Bau : tidak berbau
Bentuk : serbuk
Titik leleh : 92°C - 95°C
Berat Molekul : 265,1 gram/mol
Gambar 2.1 Senyawa N,N – bis-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida
2.3. Inflamasi
2.3.1. Definisi
Peradangan merupakan reaksi tubuh terhadap homeostasis jaringan
yang terganggu (Medzhitov, 2008). Pada tingkat dasar, inflamasi merupakan
proses penghancuran jaringan yang melibatkan proses perpindahan produk
turunan darah, seperti protein plasma, serum, dan leukosit, ke dalam jaringan
yang terganggu. Migrasi ini difasilitasi oleh perubahan dalam pembuluh darah
lokal yang mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler,
dan meningkatkan aliran darah (Ashley, Weil, & Nelson, 2012)
Infeksi oleh mikroba merupakan penyebab utama yang paling sering
pada respon inflamasi. Akan tetapi cedera atau trauma (tanpa adanya infeksi
parasit) dan paparan partikel asing, iritan, dan polutan juga merupakan
aktivator ampuh peradangan (Medzhitov, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa
respon ini berkembang sebagai adaptasi umum dalam mengatasi jaringan yang
6
6 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
rusak (Matzinger, 2002). Tanda-tanda klinis inflamasi berupa: rubor
(kemerahan), kalor (panas), dolor (nyeri), tumor (pembengkakan) dan functio
laesa (hilangnya) (Freire & Van Dyke, 2013).
2.3.2. Mekanisme Inflamasi
Proses inflamasi dimulai dari suatu stimulus yang akan mengakibatkan
kerusakan sel, sebagai reaksi terhadap kerusakan sel maka sel tersebut akan
melepaskan beberapa fosfolipid yang diantaranya adalah asam arakidonat.
Setelah asam arakidonat tersebut bebas akan diaktifkan oleh beberapa enzim,
diantaranya siklooksigenase dan lipooksigenase. Enzim tersebut merubah
asam arakidonat ke dalam bentuk yang tidak stabil (hidroperoksid dan
endoperoksid) yang selanjutnya dimetabolisis menjadi leukotrien,
prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan. Bagian prostaglandin dan
leukotrien bertanggung jawab terhadap gejala-gejala peradangan (G.Katzung,
2012).
2.3.3. Jenis-jenis Inflamasi
Ada dua jenis inflamasi atau perdangan (Gurenlian, 2009):
a. Inflamasi akut :
inflamasi atau peradangan akut ditandai dengan onset cepat dan durasi
singkat. Inflamasi jenis ini dimanifestasikan dengan adanya eksudasi
protein cairan dan plasma, dan emigrasi leukosit, terutama neutrofil.
b. Inflamasi kronis:
inflamasi dengan durasi lama yang ditandai dengan manifestasi histologis
berupa kehadiran limfosit dan makrofag pada fibrosis dan jaringan
nekrosis.
2.3.4. Mediator Inflamasi
Mediator inflamasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu mediator turunan
plasma dan mediator turunan sel. Mediator turunan plasma terbagi dua, antara
lain Hageman factor activation (fibrin dan kinin) dan Complement system
activation (c3a dan c5a). Sedangkan mediator turunan sel antara lain, sel mast
7
7 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(histamin), platelet (serotonin), sel inflamasi (prostaglandin, leukotrin) dan
endotelium (nitrit oksida, prostaglandin) yang meningkatkan permeabilitas
vaskular dan menyebabkan edema. Selain itu faktor kemotaktik juga dapat
berperan dalam menstimulasi respon inflamasi, seperti kemokin, makrofag
dan limfosit (S.Murphy, 2007)
2.4. Obat Anti Inflamasi
2.4.4. Obat Anti Inflamasi Steroid
Obat-obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim fosfolipase
A2 yang mengkatalis pembentukan asam arakidonat (Katzung, 2002).
Penghambatan asam arakidonat dapat mencegah terbentuknya mediator
inflamasi baik yang melalui jalur siklooksigenase maupun lipooksigenase.
Oleh karena itu kortikosteroid memiliki aksi yang lebih luas dan lebih poten
dibandingkan obat antiinflamasi non steroid (OAINS) yang hanya
menghambat jalur siklooksigenase (Ikawati, 2008). Contoh obat golongan ini
yaitu, betametason, deksametason, dan triamnisolon.
2.4.5. Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS)
OAINS memblokir suatu kelompok protein yang disebut
siklooksigenase (COX) yang terlibat dalam produksi prostaglandin dan
tromboksan, yang terlibat dalam proses terjadiya peradangan. Ada berbagai
jenis protein COX termasuk COX-1 dan COX-2. Beberapa OAINS bekerja
dengan memblok COX-1 dan COX-2, golongan ini disebut juga OAINS
nonselektif contohnya aspirin, ibuprofen, dan naproksen. OAINS selektif,
seperti celecoxib, bekerja hanya dengan memblokir COX-2 (Brunton, 2011)
2.4.6. Natrium Diklofenak
Natrium diklofenak merupkan golongan OAINS denga ciri berupa
serbuk kristal, berwarna putih atau sedikit kekuningan, dan sedikit
higroskopis. Natrium diklofenak sangat larut dalam air, mudah larut dalam
8
8 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
metanol, larut dalam etanol 96%, sedikit larut dalam aseton (British
Pharmacopeia, 2009).
Diklofenak dikenal sebagai golongan obat antiinflamasi non steroid
(OAINS) dengan berbagai aktivivitas biologis yakni sebagai agen
antiinflamasi, analgesik dan antipiretik, yang efek kerjanya sebanding atau
lebih unggul dibandingkan dengan OAINS lainnya (Riess et al., 1978).
Diklofenak menunjukkan penghambatan yang lebih baik terhadap
enzim siklooksigenase-2 (Hinz et al., 2005). Natrium diklofenak cepat
beresorpsi dari usus, namun akibat dari metabolisme lintas pertama
ketersediaan obat ini dalam tubuh hanya 55 %. Waktu paruh obat ini adalah 1
jam. Dosis natrium diklofenak oral, yaitu 75-150 mg/hari dalam 2-3 dosis
(Brunton, 2006)
2.5 Mekanisme Kerja OAINS
Mekanisme kerja obat golongan OAINS yang dapat menimbulkan
efek terapi (antipiretik, analgesik dan antiinflamasi) adalah dengan
penghambatan sintesa prostaglandin. OAINS secara spesifik kompetitif
menghambat siklooksigenase (COX), suatu enzim yang mengkatalisis sintesis
endoperoksida siklik dari asam arakidonat untuk membentuk prostaglandin.
Dua isoenzim COX telah diidentifikasi, yakni COX-1 dan COX-2. COX-1
yang secara konstitutif, disintesis terus menerus dan terdapat di semua
jaringan dan jenis sel, terutama dalam trombosit, sel endotel, saluran
pencernaan, microvasculature ginjal, dan glomerulus. Dengan demikian
COX-1 merupakan suatu enzim penting dalam produksi prostaglandin,
pemeliharaan homeostasis, seperti agregasi platelet, regulasi aliran darah di
ginjal dan lambung, dan regulasi sekresi asam lambung.
Penghambatan aktivitas dianggap COX-1 sebagai kontributor utama
terhadap toksisitas gastrointestinal yang diinduksi oleh penggunaan obat
golongan OAINS. Sedangkan COX-2 dianggap sebagai isoenzim yang
memainkan peran penting dalam nyeri dan proses inflamasi (DeRuiter, 2002)
9
9 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.3 Mekanisme kerja OAINS/NSAID
(American Association for Cancer Research, 2014)
Secara umum, OAINS menghambat COX-1 dan COX-2. Kebanyakan
obat golongan OAINS merupakan penghambat COX-1 selektif (misalnya,
aspirin, ketoprofen, indometasin, piroksikam, sulindak). OAINS dianggap
sedikit selektif untuk COX-1 (misalnya, ibuprofen, naproksen, diklofenak)
dan OAINS lainnya dapat dianggap sedikit selektif untuk COX-2 (misalnya,
etodolak, nabumeton, dan meloksikam). Mekanisme kerja dari celecoxib dan
rofecoxib utamamya adalah dengan selektif menghambat isoenzim COX-2;
pada konsentrasi terapeutik, COX-1 isoenzim tidak dihambat sehingga
toksisitas gastrointestinal mungkin akan menurun (DeRuiter, 2002).
10
10 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.6 Metode Uji Antiinflamasi
Terdapat beberapa optimasi metode dalam pengujian efek
antiinflamasi secara in-vivo antara lain (Hariram Nile & Won Park, 2013):
a. Metode induksi udema telapak kaki tikus menggunakan Karagenan
Model ini pada dasarnya berprinsip pada pelepasan berbagai mediator
inflamasi oleh karagenan dan kemampuan senyawa uji dalam menghambat
udema yang terbentuk. Fase awal metode ini akan menyebabkan pelepasan
histamin dan serotonin. Tahap kedua adalah terbentuknya udema akibat
pelepasan prostaglandin, protease dan lisosom. Injeksi subkutan karagenan
ke telapak kaki tikus menghasilkan peradangan akibat ekstravasasi plasma
peningkatan cairan jaringan dan eksudasi protein plasma bersamaan dengan
ekstravasasi neutrofil, hal ini merupakan akibat dari metabolisme asam
arakidonat. Dalam metode ini volume kaki basal diukur menggunakan
pletismometer dengan merendam kaki tikus. Hewan uji diberikan senyawa
uji secara oral. Satu jam setelah pemberian perlakuan oral, tikus diberikan
injeksi subkutan 0,1 ml larutan 1% dari karagenan ke sisi sub-plantar dari
belakang kaki kiri. Volume kaki diukur lagi pada jam 1, 2, 3, 4 dan 5 setelah
perlakuan uji. Peningkatan volume kaki dihitung sebagai persentase
dibandingkan dengan volume basal. Perbedaan nilai rata-rata antara hewan
uji dan kelompok kontrol dihitung untuk setiap interval waktu dan
dievaluasi secara statistik.
b. Metode induksi udema telapak kaki tikus menggunakan Formalin
Model ini didasarkan pada kemampuan senyawa atau obat uji dalam
menghambat udema yang diproduksi pada kaki belakang tikus setelah
injeksi formalin. Tikus-tikus dibagi menjadi tiga kelompok (n = 6). Pada
tikus uji kaki kanan belakang tikus diinduksi dengan formalin 2 %.
Ketebalan kaki diukur dengan pletismometer 1 jam sebelum dan sesudah
injeksi formalin. Pemberian senyawa atau obat uji dilanjutkan selama 6 hari
11
11 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berturut-turut. Peningkatan ketebalan kaki dan persentase inhibisi dihitung
dan dibandingkan dengan kelompok kontrol.
c. Metode induksi udema telapak kaki tikus menggunakan Histamin
Umumnya histamin dilepaskan setelah degranulasi sel mast oleh
mediator inflamasi termasuk zat interleukin-1 (IL-1). Hal menstimulasi
pelepasan neuropeptida serta pelepasan prostaglandin dari sel endotel yang
dapat menyebabkan hiperalgesia dan efek pro-inflamasi lainnya. Pengujian
ini mirip dengan induksi udema kaki menggunakan karagenan. Tikus diberi
injeksi subkutan larutan 0,1 ml 1% histamin pada sisi sub-plantar kaki kiri
bagian belakang. Persen penghambatan peradangan dihitung menggunakan
rumus dan dibandingkan dengan kelompok kontrol.
2.7 Tikus Putih (Rattus novergicus L) galur Sprague dawley
Pengujian dengan menggunakan hewan uji merupakan model
pengujian yang sangat diperlukan dalam penelitian biomedis. Model ini telah
digunakan pada awal penemuan ilmiah dan masih tetap berkontribusi besar
hingga sekarang dalam membantu pegembangan ilmu pengetahuan mengenau
fungsi gen individual, mekanisme penyakit yang berbeda, dan efektivitas dan
toksisitas dari berbagai obat-obatan dan bahan kimia (Johnson, 2012).
Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah
adalah tikus. Tikus telah diketahui sifat-sifatnya secara sempurna, mudah
dipelihara, dan merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai
penelitian. Lama hidup tikus berkisar antara 4-5 tahun dengan berat badan
tikus jantan berkisar antara 267-500 gram dan betina 225-325 gram (Sirois,
2015)
Klasifikasi tikus putih (R. norvegicus) menurut Depkes, 2008:
Dunia : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
12
12 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sub ordo : Myomorpha
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus novergicus
Tikus putih galur Sprague dawley merupakan tikus hibrid albino
putih dengan kepala yang kecil dan ekor lebih panjang dari tubuhnya. Hewan
uji galur ini bersifat tenang dan mudah ditangani (Johnson, 2012). Tikus putih
galur Sprague dawley dipilih karena relatif resisten terhadap infeksi dan
cerdas, dan juga jarang berkelahi dengan sesamanya (Marsalina, 2010). Tikus
Sprague dawley dengan jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi
hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa sehingga
dikhawatirkan akan memberikan respon yang berbeda dan dapat
mempengaruhi hasil penelitian (Kesenja, 2005).
2.8 Karagenan
Menurut USP 32 karagenan merupakan hidrokoloid yang diperoleh dari
ekstraksi dari beberapa spesies dari kelas Rhodophyceae (rumput laut merah)
dengan air atau larutan alkali. Kandungan utama karagenan terdiri dari
kalium, natrium, kalsium, magnesium, ammonium ester sulfat galaktosa dan
kopolimer 3,6-anhidrogalaktosa. Karagenan terbagi menjadi tiga jenis,yaitu
karagenan kappa, iota dan lambda. Bentuk fisik karagenan berupa serbuk
kasar berwarna kuning-coklat hingga tidak berbau dan berasa hambar (
Rowe et al., 2009)
Karagenan merupakan agen penginduksi udema yang paling sering
digunakan (Necas & Bartosikova, 2013). Karagenan sebagai penginduksi
udem merupakan turunan polisakarida yang akan dikenali tubuh sebagai
substansi asing sehingga mampu menginduksi terjadinya udem. Karagenan
akan merangsang fosfolipid membran sel mast yang terdapat pada jaringan
ikat disekitar telapak kaki tikus untuk mengeluarkan asam arakidonat dengan
13
13 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bantuan enzim fosfolipase A2 sehingga menghasilkan berbagai macam
mediator inflamasi (Joyce L et al., 1994)
Pada proses pembentukan edema, karagenan akan menginduksi cedera sel
dengan dilepaskannya mediator yang mengawali proses inflamasi. Edema
yang disebabkan induksi karagenan dapat bertahan selama 6 jam dan
berangsur–angsur berkurang dalam waktu 24 jam (Corsini et al., 2005).
Penggunaan karagenan sebagai penginduksi memiliki beberapa keuntungan,
antara lain: tidak meninggalkan bekas, tidak menimbulkan kerusakan
jaringan dan memberikan respon yng lebih peka terhadap obat antiinflamasi
dibanding senyawa iritan lainnya (Siswanto & Nurulita, 2005).
14
14 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental yang dilakukan dengan
Rancangan Acak Lengkap (RAL).
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1. Tempat
Penelitian dilakukan di Laboraturium Penelitian 1, Laboraturium
Analisa Obat dan Pangan Halal (PHA), dan Animal House Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta.
3.2.2. Waktu
Penelitian berlangsung dari bulan Februari hingga Juli 2017.
3.3. Alat dan Bahan
3.3.1. Alat
Neraca analitik, alat-alat gelas (erlenmeyer, gelas ukur, dsb),
microwave, labu partisi, spatula, rotary evaporator, vial, plat TLC silika gel
60 F254 kandang hewan, timbangan hewan, spuit, pipet tetes, sonde,
pletismometer, hot plate, termometer.
3.3.2. Bahan
Etil-parametoksi-sinamat (EPMS) hasil isolasi dari rimpang kencur,
dietanolamin (Merck), pelarut (etil asetat, n-heksan, metanol), aquades,
natrium sulfat anhidrat, natrium dikofenak (Sigma Aldrich), Na-CMC 0,5%,
karagenan kappa, senyawa N,N-HPMS, air raksa, NaCl fisiologis 0,9% dan
alkohol 70%.
15
15 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4. Hewan Uji
Hewan yang digunakan dalam penelitian adalah tikus putih jantan galur
Sprague dawley dengan berat 200-280 gram yang diperoleh dari Institut
Pertanian Bogor, disimpan dalam kandang tikus pada suhu ruang (Umar et al.,
2012).
3.5. Prosedur Penelitian
3.5.1. Isolasi EPMS
3.5.1.1. Pengambilan Sampel
Rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) diperoleh dari Balitro
(Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat) Bogor, Jawa Barat pada bulan
Desember 2016, dan selanjutnya dideterminasi di Pusat Konservasi
Tumbuhan Kebun Raya-LIPI, Bogor.
3.5.1.2. Penyiapan Simplisia
Jumlah rimpang kencur yang digunakan pada penelitian ini adalah
sebanyak 4 kg. Rimpang kencur dibersihkan, kemudian dilakukan sortasi
basah dengan dicuci menggunakan air mengalir. Setelah bersih, rimpang
kencur dirajang dengan ukuran rajangan sekitar 3-5 mm, lalu dijemur agar
kering dengan cara diangin-anginkan selama 5 hari. Rajangan rimpang kencur
yang telah kering kemudian dihaluskan menggunakan blender, sehingga
didapatkan simplisia dalam bentuk serbuk halus. Serbuk simplisa yang
diperoleh ditimbang kemudian di simpan dalam wadah yang tertutup rapat.
3.5.1.3 Pembuatan Ekstrak
Pada penelitian ini metode ekstraksi yang digunakan adalah metode
ekstraksi dingin, yaitu maserasi. Serbuk simplisia rimpang kencur dimaserasi
dalam wadah gelap menggunakan pelarut n-heksan hingga simplisa terendam
± 3 cm diatas permukaan simplisia. Maserasi dilakukan selama 5 hari dengan
16
16 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sesekali dikocok agar semua serbuk dapat menyentuh pelarut dengan
sempurna.
Hasil maserasi disaring dengan kapas untuk memisahkan filtrat. Ampas
yang tersisa kemudian diremaserasi kembali sekitar 3-4 kali hingga
didapatkan filtrat yang jernih (warna kuning bening). Kemudian filtrat yang
diperoleh disaring kembali dengan kertas saring untuk memisahkan ampas
halus yang belum tersaring saat penyaringan menggunakan kapas. Hasil
maserasi dan remaserasi dipekatkan menggunakan rotary evaporator,
sehingga diperoleh ekstrak kental n-heksan. Ekstrak yang didapatkan
ditimbang, dan didapatkan ekstrak kental n-heksan sebanyak 115,5675 gram
3.5.1.4. Isolasi EPMS dari Rimpang Kencur
Hasil ekstrak rimpang kencur yang telah dipekatkan dengan rotary
evaporator disimpan dalam wadah yang ditutup menggunakan alumunium
foil. Penutup yang terbuat dari alumunium foil diberi lubang diatasnya agar n-
heksan cepat menguap dan EPMS cepat terbentuk. EPMS yang telah
terbentuk kemudian di rekristalisasi dengan cara melarutkan EPMS dalam n–
heksan dan sedikit metanol, kemudian disaring Selanjutnya filtrat hasil
penyaringan disimpan di dalam lemari pendingin sehingga terbentuk EPMS
kembali. EPMS yang terbentuk direkristalisasi kembali sesuai dengan
prosedur yang telah dilakukan sebelumnya.
3.5.2 Penyiapan Senyawa Uji
3.5.2.1. Pembuatan senyawa N,N-HPMS
Sebanyak 1,030 gram EPMS dilarutkan ke dalam 10 ml dietanolamin
kemudian diiradiasi dalam microwave dengan kekuatan 300 watt selama 3
menit dalam erlenmeyer tertutup. Kemudian hasil reaksi dipartisi dengan
aquades dan etil asetat. Lapisan etil asetat dikeringkan dengan natrium sulfat
anhidrat lalu diuapkan dan dimurnikan dengan pelarut n-heksan. Hasil reaksi
17
17 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah dimurnikan kemudian didentifikasi menggunakan gas
chromatography-mass spectrophotometry (GC-MS) dan kromatografi lapis
tipis (KLT) dengan eluen etil asetat dan metanol perbandingan 9:1 kemudian
dicek spotnya dengan menggunakan sinar UV dengan panjang gelombang
254 (Reza, 2015).
3.5.2.2. Pembuatan Na-CMC 0,5 % (b/v)
0,1 gram Na-CMC dikembangkan dengan aquades hangat (60°C)
sebanyak 2 ml. Setelah mengembang Na-CMC digerus secara konstan sambil
di-add dengan aquades hingga 20 ml.
3.5.2.3. Pembuatan suspensi senyawa uji N,N- HPMS
a. Dosis 50 mg/kgBB
Suspensi dibuat dengan menimbang senyawa uji N,N-HPMS sebanyak
100 mg dan disuspensikan kedalam 20 ml Na-CMC 0,5 %.
b. Dosis 100 mg/kgBB
Suspensi dibuat dengan menimbang senyawa uji N,N-HPMS sebanyak
200 mg dan disuspensikan kedalam 20 ml Na-CMC 0,5 %.
c. Dosis 200 mg/kgBB
Suspensi dibuat dengan menimbang senyawa uji N,N-HPMS sebanyak
400 mg dan disuspensikan kedalam 20 ml Na-CMC 0,5 %.
3.5.2.4. Pembuatan Suspensi Natrium Diklofenak
Dibuat sediaan suspensi natrium diklofenak dengan dosis yang telah
dikonversi dari dosis manusia, yaitu 5,14 mg/kgBB :
Suspensi dibuat dengan cara menimbang serbuk natrium diklofenak
sebanyak 10,28 mg lalu disuspensikan kedalam Na-CMC 0,5 %. Sediaan ini
dibuat sebanyak 20 ml.
18
18 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.5.2.5. Pembuatan Suspensi Karagenan 1% (b/v)
Sebanyak 100 mg karagenan di larutkan kedalam larutan salin (NaCl
fisiologis 0,9%) sebanyak 10 ml yang dipanaskan diatas hotplate sambil
diaduk hingga homogen menggunakan magnetic stirrer (Bharat Kumar et
al., 2014)
3.6. Penyiapan Hewan Uji
3.6.1. Aklimatisasi
Sebelum digunakan tikus diaklimatisasi selama ± 3 minggu, semua
tikus dipelihara dalam kondisi yang sama, diberikan makanan berupa pakan
standar 512 dan air minum. Sebelum percobaan tikus dipuasakan selama ±
18 jam dengan tetap diberi minum ad libitum (Sukaina, 2015).
3.6.2. Pengelompokan Hewan Uji
Hewan uji dibagi menjadi lima kelompok.masing-masing kelompok terdiri
dari enam ekor tikus (WHO, 2000).
Tabel 3.1 Pengelompokan hewan uji
No. Kelompok Jumlah
(Ekor)
Perlakuan Oral
Diinduksi
karagenan
1%
sebanyak
0,2 ml
setelah 1
jam
perlakuan
oral
1. Kontrol
Negatif
6 Diberikan suspensi Na-CMC
0,5 %
2. Kontrol
Positif
6 Diberikan suspensi Natrium
diklofenak 5,14 mg/kgBB
3. Dosis 50
mg/kgBB
6 Diberikan suspensi senyawa
N,N-HPMS dosis 50 mg/kgBB
4. Dosis 100
mg/kgBB
6 Diberikan suspensi senyawa
N,N-HPMS dosis 100 mg/kgBB
5. Dosis 200
mg/kgBB
6 Diberikan suspensi senyawa
N,N-HPMS dosis 200 mg/kgBB
19
19 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.7. Uji aktivitas Antiinflamasi secara in-vivo dengan metode induksi udema
pada telapak kati tikus menggunakan karagenan (Winter et al.,1962;
Kandati et al., 2012; Paulpriya et al., 2016)
Langkah kerja:
1. Hewan uji yang telah ditimbang bobotnya, dikelompokkan secara acak (n=6),
dan diaklimatisasi selama 3 minggu agar dapat beradaptasi dengan kondisi
lingkungan laboratorium penelitian.
2. Semua hewan uji diberi tanda dengan spidol pada batas mata kaki untuk
memudahkan pengukuran volume telapak kaki dan agar setiap kali pemasukan
kaki ke dalam air raksa selalu sama.
3. Volume awal kaki tikus diukur sebelum diberi perlakuan dinyatakan sebagai
volume kaki awal (V0)
4. Kelompok kontrol negatif diberikan suspensi Na-CMC 0,5%, Kelompok
kontrol positif diberikan suspensi natrium diklofenak dosis 5,14 mg/kgBB
dan ketiga kelompok lainnya diberikan suspensi senyawa uji sesuai dosis yang
direncanakan secara oral
5. Satu jam setelah pemberian senyawa uji secara oral, tikus diinjeksikan 0,2 ml
larutan karagenan 1% secara subplantar pada telapak kaki kiri tikus. Sebelum
diinjeksikan karagenan, terlebih dahulu area telapak kaki tikus diusap dengan
alkohol 70%.
7. Kemudian volume udema diukur pada jam ke-1, 2, 3, 4 dan ke-5 setelah
penginduksian dan dinyatakan sebagai volume akhir (Vt). Pengukuran volume
dilakukan dengan alat pletismometer.
20
20 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8. Dihitung persen udema (radang) dan persen inhibisi udem dengan rumus
sebagai berikut (Swathy et al., 2010) :
Dimana:
Vt : volume telapak kaki pada waktu t (setelah diinduksi karagenan).
V0 : volume telapak kaki pada waktu 0 (sebelum diinduksi karagenan).
Dan rumus persen inhibisi radang (Kalabharathi et al., 2011)
Dimana, A: % radang rata-rata kelompok kontrol.
B : % radang rata-rata kelompok zat uji.
3.8 Analisis Data
Data persentase (%) inhibisi udema yang diperoleh kemudian dianalisis
dengan kolmogorov-smirnov untuk melihat normalitas data dan dianalisis
dengan uji levene untuk melihat homogenitas data. Jika data tidak terdistribusi
normal dan homogen, dilanjutkan dengan uji kruskal-wallis dan uji mann-
whitney untuk melihat perbedaan antar kelompok (Calzado et al., 2013).
Pengujian statistik dilakukan menggunakan aplikasi SPSS versi 22.
21
21 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Isolasi EPMS dari Rimpang Kencur
Pada penelitian ini didapatkan EPMS yang berbentuk serbuk putih
dengan persentase rendemen sebesar 61,42%. Perhitungan rendemen EPMS
adalah sebagai berikut:
% 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 =𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐸𝑃𝑀𝑆 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑛 − ℎ𝑒𝑘𝑠𝑎𝑛𝑥100%
% 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 =70,9931 𝑔𝑟𝑎𝑚
115,5675 𝑔𝑟𝑎𝑚𝑥100% = 61,42%
EPMS yang telah didapatkan diidentifikasi menggunakan
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan GC-MS.Hasil identifikasi EPMS dapat
dilihat pada gambar 4.1 dan gambar 4.2.
Dari hasil KLT diatas dapat dilihat bahwa spot EPMS memiliki spot yang
sama dengan spot senyawa standar dengan nilai rf 0,73.
Gambar 4.1 Spot senyawa A, dan B dengan eluen n-heksan-etil asetat 4:1
(visualisasi UV λ 245 nm)
A B
B
Keterangan:
A: senyawa standar (EPMS)
B: senyawa produk (EPMS)
22
22 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Menurut literatur, EPMS muncul pada waktu retensi 9,90 dengan pola
fragmentasi massa 161; 134; 118; 89; 63; dan 39 dengan berat molekul 206,4
gram/mol (Umar et al., 2012) (Lampiran 8). Dari hasil GC-MS pada gambar
4.2, EPMS muncul pada waktu retensi 9,848 dan memiliki pola fragmentasi
massa 161; 134; 89; 63; dan 40 dengan berat molekul 206 gram/mol
(Lampiran 7). Dari hasil identifikasi KLT dan GC-MS dapat disimpulkan
bahwa senyawa EPMS telah berhasil diisolasi dan dapat digunakan dalam
proses pembuatan senyawa N,N-HPMS melalui reaksi amidasi yang diiridiasi
dengan microwave.
Gambar 4.2 Hasil GC-MS EPMS
23
23 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2 Hasil Amidasi EPMS dengan Metode Iridiasi Microwave
Sebelum dilakukan uji aktivitas antiinflamasi, terlebih dahulu dilakukan
pembuatan senyawa N,N–HPMS melalui reaksi amidasi dengan iridiasi
microwave. Amidasi dengan metode microwave dipilih karena waktu reaksi
yang dibutuhkan lebih cepat, produk yang dihasilkan memliki selektivitas
yang lebih tinggi dan lebih bersih (Bhuiyan, 2011). Reaksi amidasi dilakukan
dengan mereaksikan 1,030 gram (5 mmol) EPMS dengan 10 ml ( 10 mmol)
dietanolamin yang diiridiasi menggunakan microwave selama tiga menit
dengan daya 300 watt (Reza, 2015 dan Ferroud, 2008).
Gambar 4.3 Reaksi amidasi EPMS dengan etanolamin dan dietanolamin.
(Reza, 2015)
Reaksi amidasi didasari pada prinsip HSAB (hard soft acid base).
Dietanolamin memiliki gugus NH⁺ dimana H⁺ pada gugus ini bersifat asam
kuat yang mudah bereaksi dengan –OC2H5 pada EPMS yang merupakan basa
kuat. Sedangkan NH־ pada dietanolamin merupakan basa lemah yang akan
bereaksi mebentuk ikatan dengan p-metoksinamat (R-CO) yang merupakan
asam lemah (Pearson, 1968).
24
24 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hasil reaksi amidasi kemudian dipartisi mengunakan aquades dan etil
asetat perbandingan 1:1. lapisan etil asetat diambil lalu dikeringkan
menggunakan natrium sulfat anhidrat, kemudian diuapkan menggunakan
rotary evaporator dan dimurnikan dengan N-heksan (Reza, 2015). Hasil yang
didapatkan yaitu senyawa turunan N,N-HPMS berbentuk serbuk putih
kekuningan, dengan persentase rendemen produk sebesar 45,53 %.
Perhitungan rendemen produk :
% 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 =1.407 𝑔𝑟𝑎𝑚
3.090𝑔𝑟𝑎𝑚𝑥100% = 45,53 %
Selanjutnya, senyawa produk (N,N-HPMS) diidentifikasi menggunakan
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan GC-MS. Hasil KLT dan GC-MS dari
senyawa ini pada gambar 4.4 dan 4.5.
Gambar 4.4 Spot senyawa A, dan B dengan eluen etil asetat-metanol 9:1
(visualisasi UV λ 245 nm)
Keterangan:
A: senyawa standar (N.N -
HPMS) ;
B: senyawa produk (N,N-
HPMS) ;
A B
25
25 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.5 Hasil identifikasi GC-MS
Dari data hasil KLT dan GC-MS yang didapatkan, Senyawa produk
juga memiliki spot yang sama dengan senyawa standar, dengan nilai Rf = 0,55
senyawa produk muncul pada waktu retensi 14.28 dan memiliki berat molekul
265,1 g/mol dengan fragmentasi massa pada 220; 162; 133; 103; dan 77
(Lampiran 9). Pada penelitian yang dilakukan oleh Reza (2015), data GC_MS
menunjukkan senyawa N,N-HPMS memiliki berat 265,1 gram/mol dan
muncul pada waktu retensi 14,33 dengan pola fragmentasi 220; 162; 133; 103;
dan 77 (Lampiran 10). Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan senyawa N,N-
HPMS melalui reaksi amidasi yang diiridiasi dengan microwave berhasil
dilakukan, dan senyawa produk (N,N-HPMS) dapat dilanjutkan dalam
pengujian aktivitas antiinflamasi.
26
26 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2 Uji aktivitas antiinflamasi senyawa N,N-HPMS secara in-vivo
Pada penelitian ini dilakukan uji aktivitas antiinflamasi senyawa N,N-
HPMS secara in vivo. Pengujian aktivitas antiinflamasi dilakukan dengan
menggunakan metode induksi karagenan (Winter et al., 1962).
Keunggulan penggunaan karagenan dalam uji aktivitas antiinflamasi secara
in-vivo yaitu mampu menstimulasi peradangan (udema) tanpa menyebabkan
cedera atau kerusakan jaringan pada telapak kaki tikus yang diuji, sehingga
metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam
pengujian antiinflamasi secara in-vivo (Sugishita et al., 1981; Petersson et al.,
2001; Ismail et al., 2017).
Dalam pengujian aktivitas antiinflamasi karagenan memiliki
kelemahan. Dalam bentuk cair karagenan tidak dapat digunakan jika lebih
dari 24 jam sedangkan dalam bentuk padat karagenan sangat mudah
membentuk gumpalan yang sukar larut (Morris, 2003). Beberapa karagenan
memiliki sifat termoreversibel, dimana pada kondisi pendinginan, karagenan
akan membentuk masa gel, dan kembali mencair saat dipanaskan (Glicksman,
1982). Hal ini akan menyebabkan tersumbatnya jarum suntik yang digunakan
sebagai media induksi sehingga proses penginduksian akan terhambat
(Morris, 2003). Oleh karena itu pembuatan suspensi karagenan harus
dilakukan dengan cermat dan memperhatikan sifat karagenan yang digunakan,
sehingga menghasilkan suspensi karagenan yang baik dan tidak menghambat
pengujian aktivitas antiinflamasi secara prosedural.
Karagenan yang digunakan dalam penelitian ini adalah karagenan
jenis kappa konsentrasi 1%. dengan volume penyuntikan 0,2 ml. Pemilihan
konsentrasi dan volume penyuntikan didasarkan pada uji pendahuluan yang
telah dilakukan pada penelitian sebelumnya (Oktiwilianti et al., 2015). Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa udema yang terbentuk akibat induksi
27
27 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
karagenan 1% sebanyak 0,2 ml signifikan (p ≤ 0.05) dibandingkan dengan
udema pada penyuntikan karagenan 1% sebanyak 0,1 ml (p ≥ 0.05).
Pada pengujian aktivitas antiinflamasi data pertama yang didapatkan dari
pengujian ini adalah data volume udema telapak kaki tikus baik sebelum
diinduksi dan setelah dinduksi dengan karagenan. Pengukuran volume udema
dilakukan selama lima jam (jam ke-1, jam ke- 2 dan seterusnya) untuk melihat
kenaikan volume telapak kaki hewan uji setelah diinduksi karagenan. Adapun
data hasil rerata volume udema telapak kaki tikus telah dirangkum pada tabel
4.1.
Pada tabel 4.1 dapat dilihat adanya peningkatan volume udema yang
berbeda-beda pada masing-masing kelompok. Peningkatan volume udema
pada kontrol negatif berbeda dengan kelompok uji lainnya. Kelompok kontrol
negatif merupakan kelompok yang hanya diberikan Na-CMC 0,5% secara
Kelompok Rerata volume udema (ml) dan SD jam ke-
0 1 2 3 4 5
Kontrol negatif
(Na-CMC 0.5%)
0.026
±
0.005
0.046
±
0.005
0.058
±
0.008
0.064
±
0.005
0.076
±
0.011
0.072±
0.008
Kontrol positif
(Na-diklofenak
5,14 mg/kgBB)
0.03 ±
0
0.04±
0.007
0.04±
0
0.04±
0
0.04±
0
0.038±
0.004
Dosis uji 1
(50 mg/kgBB)
0.03±
0
0.04±
0.007
0.05±
0.007
0.068
±
0.004
0.066
±
0.005
0.056±
0.011
Dosis uji 2
(100 mg/kgBB)
0.03±
0
0.04±
0
0.04±
0
0.04±
0
0.04±
0
0.04±
0.007
Dosis uji 3
(200 mg/kgBB)
0.04±
0
0.054±
0.005
0.06±
0.01
0.07±
0.01
0.07±
0.01
0.062±
0.008
Tabel 4.1 Rerata volume udema telapak kaki tikus
28
28 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
oral, dan diinduksi dengan karagenan, Volume udema kelompok kontrol
negatif mengalami peningkatan dari jam ke-1 hingga jam ke-4, dan
mengalami penurunan pada jam ke-5. Hal ini dapat disebabkan tidak
adanyanya aktivitas penghambatan udema (radang) yang dihasilkan oleh Na-
CMC 0,5% Pada grafik rerata volume udema (gambar 4.6). terlihat jelas
bahwa kontrol negatif mengalami kenaikan volume udema tertinggi pada
setiap jam dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Sementara pada kelompok kontrol positif dan dosis uji 100 mg/kgBB
peningkatan volume udema hanya terjadi pada jam ke-1, dan pada kontrol
positif mengalami penurunan pada jam ke-5, sementara volume udema
kelompok dosis uji 100 mg/kgBB tidak mengalami penurunan pada jam ke-5.
Sedangkan dua kelompok uji lainnya, yakni dosis uji 50 mg/kgBB dan 200
mg/kgBB) mengalami peningkatan volume udema hingga jam ke-3 dan
menurun pada jam ke-4.
Dari data volume udema dapat dihitung nilai persentase udema. Nilai
persentase menggambarkan besarnya udema yang terbentuk pada telapak kaki
tikus,setelah diinduksi karagenan. Nilai persentase udema diatas dihitung
Gambar 4.6 Grafik hubungan rerata volume udema terhadap waktu.
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
0 1 2 3 4 5
volu
me (
ml)
Waktu (jam)
Rerata volume udema telapak kaki tikus
Kontrolnegatif
Kontrolpositif
Dosis uji 50mg/kgBB
Dosis uji 100mg/kgBB
Dosis uji 200mg/kgBB
29
29 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menggunakan rumus : (Vt-V0)/V0 ×100, dimana Vt adalah volume udem
yang diukur selama lima jam (setiap jam) setelah diinduksi karagenan,
sedangkan V0 adalah volume awal kaki tikus sebelum diinduksi karagenan
(Swathy et al., 2010).
Dari tabel 4.2 terlihat bahwa kelompok kontrol negatif memiliki
persentase udema terbesar dibandingkan dengan kelompok uji lainnya.
Peningkatan rerata persentase udema seluruh kelompok uji dari jam ke-1
hingga jam ke-5 berbeda secara bermakna (p ≤ 0.05). Pada kontrol negatif
udema terbentuk maksimal pada jam ke-3 dan ke-4 dan menurun pada jam
ke-5. Hal ini menunjukkan bahwa karagenan konsentrasi 1% dengan volume
penyuntikan 0,2 ml merupakan agen penginduksi udema yang baik dan dapat
menimbulkan peradangan yang signifikan.
Kelompok Rerata persen udema (%) dan SD jam ke-
1 2 3 4 5
Kontrol negatif
(Na-CMC 0,5 %)
80 ±
18.255
127±
25.276
159.99±
36.516
196.66±
34.155
183.33±
44.096
Kontrol positif
(Na-diklofenak
5,14 mg/kgBB )
33.33±
21.217
33.3 ±
0
33.3 ±
0
33.33±
0
26.66±
14.095
Dosis uji 1
( 50 mg/kgBB)
33.33±
23.571
66.67±
23.571
126.66±
14.095
119.99±
18.225
86.67 ±
38.005
Dosis uji 2
(100 mg/kgBB)
33.33±0
33.33± 0
33.33±
0
33.33± 0
33.33±
23.571
Dosis uji 3
(200mg/kgBB)
35 ±
13.693
50 ±25
75 ± 25
75 ± 25
55 ±
20.916
Tabel 4.2 Persentase udema telapak kaki tikus selama lima jam
30
30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Peran karagenan dalam menginduksi terjadinya udema adalah dengan
menstimulasi mediator-mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin,
dan mediator inflamasi lainnya. Pelepasan mediator inflamasi oleh karagenan
terbagi kedalam tiga fase. Fase pertama, karagenan akan menstimulasi
pelepasan serotonin dan histamin selama 1 jam pertama. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas vaskular. Mediator
inflamasi lain, yakni kinin dilepaskan pada jam ke-2 setelah induksi. Fase
pelepasan kinin disebut dengan fase kedua. Selanjutnya, di fase terakhir pada
jam 2,5-3 setelah induksi terjadi pelepasan prostaglandin yang berkaitan erat
dengan migrasi leukosit pada situs radang sehingga menimbulkan terjadinya
udema. Udema atau radang yang terbentuk akan bertahan selama 5-6 jam (Di
Rosa et al., 1971; Morris, 2003 ; V.Suba, 2005).
Volume udema yang tinggi dan besarnya nilai persentase udema yang
terbentuk, sebanding dengan kemampuan senyawa uji dalam menghambat
pembentukan udema. Dalam pengujian aktivitas antiinflamasi besarnya nilai
penghambatan udema yang dihasilkan oleh senyawa uji disebut dengan
persen inhibisi udema (radang).
Gambar 4.7 Grafik hubungan antara persentase udema terhadap waktu.
0
50
100
150
200
250
1 2 3 4 5
Per
sen
tase
(%
)
Waktu (Jam)
Rerata persentase udema telapak kaki tikus
Kontrol Negatif
Kontrol Positif
Dosis uji 50 mg/KgBB
Dosis uji 100 mg/KgBB
Dosis uji 200 mg/KgBB
31
31 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Persentase inhibisi radang dihitung menggunakan rumus: (a-b)/a ×100,
dimana a: rerata persentase udema (radang) kelompok kontrol negatif dan b:
rerata persentase udema (radang) kelompok zat uji (Kalabharathi et al., 2011)
Berdasarkan hasil perhitungan persentase inhibisi radang, kelompok uji
yang memiliki persen inhibisi terbesar adalah dosis uji 100 mg/kgBB yakni
sebesar 83,3% pada jam ke-4 dan 81,81% pada jam ke-5. Penghambatan
udema dosis 100 mg/kgBB dimulai pada jam ke-2. Daya hambat udema dosis
100 mg/kgBB ini hampir sama dengan kontrol positif (natrium diklofenak
5,14 mg/kgBB) dari jam ke-2 hingga jam ke-4. Sedangkan pada jam ke-5
persentase inhibisi radang kontrol positif lebih besar dari dosis 100 mg/kgBB,
yakni 85,45%. Dibandingkan dosis 100 mg/kgBB dosis uji 50 mg/kgBB
memiliki persen inhibisi radang paling kecil yakni sebesar 38,39% pada di
jam ke -4 dan 52,74% pada jam ke-5. Selanjutnya dosis uji 200 mg/kgBB
mampu menghambat udema sebesar 61,86% di jam ke-4 dan 70% pada jam
ke-5.
Kelompok
Rerata persentase inhibisi udema (%) jam
ke-
1 2 3 4 5
Kontrol positif
(Na-diklofenak
5,14 mg/kgBB)
58.33
73.75
79.16
83.30
85.45
Dosis uji 50 mg/kgBB 58.33 47.50 20.83 38.39 52.74
Dosis uji 100 mg/kgBB
58.33
73.75 79.16 83.30 81.81
Dosis uji 200 mg/kgBB
56.25
60.63
53.12
61.86
70
Tabel 4.3 Rerata persentase inhibisi radang setiap jam.
32
32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.8 Grafik hubungan persentase inhibisi udema terhadap waktu.
Dari gambar 4.8 dapat dilihat penghambatan udema dosis 50 mg/kgBB
dan 200 mg/kgBB mulai mengalami peningkatan pada jam ke-4. Hal ini
menunjukkan bahwa senyawa N,N-HPMS dosis 50 mg/kgBB dan 200
mg/kgBB mulai memberikan efek antiinflamasi pada jam ke 4 dan terus
meningkat hingga jam ke-5. Peningkatan persen inhibisi radang pada jam ke-5
dapat dipengaruhi oleh terjadinya penurunan udema di jam tersebut. Pada
tabel 4.2 dapat dilihat bahwa pada jam ke-5 persentase udema telapak kaki
tikus mulai mengalami penurunan. Penurunan udema yang terjadi pada jam
ke-5 ini berhubungan dengan durasi kerja karagenan dalam menginduksi
udema. Menurut Morris (2003) udema yang disebabkan oleh karagenan
mampu bertahan selama 5-6 jam, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
penurunan udema yang terjadi pada jam ke-5 disebabkan telah berkurangnya
efek karagenan dalam menginduksi udema dan mempengaruhi besarnya
persentase inhibisi udema yang dihasilkan.
Berdasarkan data persen inhibisi radang, besarnya kemampuan senyawa
N,N-HPMS dalam menghambat udema bergantung pada dosis. Artinya, dosis
yang berbeda akan menghasilkan aktivitas antiinflamasi yang berbeda. Pada
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1 2 3 4 5
Per
sen
tase
(%
)
Waktu (jam)
Rerata persen inhibisi udema (radang)
Kontrol negatif
kontrol positif
Dosis uji 50mg/kgBB
Dosis uji 100mg/kgBB
Dosis uji 200mg/kgBB
33
33 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dosis yang paling tinggi, yakni 200 mg/kgBB besarnya nilai penghambatan
udema lebih kecil jika dibandingkan dengan dosis 100 mg/kgBB, yakni
sebesar 68,61% pada jam ke-4 dan 70% pada jam ke-5. Dari data persen
inhibisi udema, dapat ditarik kesimpulan bahwa dosis 100 mg/kgBB
merupakan dosis uji yang memiliki kemampuan menghambat udema yang
paling tinggi dibandingkan dengan dua dosis uji lainnya.
Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan pengujian aktivitas
antiinflamasi senyawa turunan EPMS lainnya, yakni N-(hidroksietil)-p-
metoksi sinamamida( N-HPMS) (Mughniyah, 2016). Sama seperti senyawa
N,N-HPMS, senyawa ini merupakan produk hasil modifikasi EPMS melalui
reaksi amidasi. Variasi dosis uji yang digunakan pada penelitian tersebut
adalah dosis 100, 200, dan 400 mg (kg/BB). Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa persen inhibisi udema tertinggi dihasilkan pada dosis
100 mg/kgBB sebesar 88,88% (Mughniyah, 2016). Jika dibandingkan dengan
senyawa induknya (EPMS), derivat EPMS yang dihasilkan dari reaksi amidasi
(N-HPMS dan N.N-HPMS) memiliki aktivitas antiinflamasi yang lebih baik.
Salah satu publikasi ilmiah telah melaporkan aktivitas antiinflamasi EPMS
yang diuji secara in-vivo pada dosis 100, 200, 400, dan 800 mg. Hasil
penelitian menyimpulkan kemampuan tertinggi EPMS dalam menghambat
udema adalah pada dosis 800 mg sebesar 53,7% (Umar et al., 2012).
Perbedaan aktivitas antiinflamasi yang dihasilkan oleh senyawa N,N-HPMS
dan EPMS dapat disebabkan oleh adanya gugus amida pada senyawa N,N-
HPMS. Beberapa penelitian melaporkan, modifikasi ibuprofen, asam
meklofenamat dan indometasin menjadi turunan amida terbukti
meningkatkan aktivitas antiinflamasi dan efek gastroprotektif dari ketiga obat
ini (S.kalgutkar et al., 2000 dan Kumar et al., 2010). Berdasarkan hasil
penelitian tersebut terbukti bahwa adanya gugus amida dapat meningkatkan
aktivitas antiinflamasi..
34
34 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.3 Hasil analisa data statistik
Tahap akhir dari penelitian ini adalah analisa data secara statistik. Adapun
data yang dianalisa secara statistik adalah data persentase udema (Umar et al.
2012). Langkah pertama dilakukan pengujian kolmogorov –smirnorv untuk
melihat normalitas data, dan uji levene untuk melihat homogenitas data. Dari
dua pengujian tersebut disimpulkan bahwa data persentase udema tidak
terdistribusi normal dan tidak terdistribusi secara homogen. Langkah
selanjutnya adalah pengujian data menggunakan metode ANOVA. Syarat uji
ANOVA adalah data harus terdistribusi secara normal dan homogen. Karena
data pada penelitian ini tidak memenuhi persyaratan tersebut maka pengujian
dilanjutkan dengan metode kruskal-wallis.
Hasill uji kruskal-wallis menunjukan persentase udema seluruh kelompok
dari jam ke-1 hingga jam ke-5 berbeda secara signifikan (ρ ≤ 0.05). Oleh
karena itu dilanjutkan uji mann-whitney untuk melihat perbedaan antar
kelompok hewan uji (Calzado et al., 2013). Dari hasil uji mann- whitney
persentase udema kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan
kontrol positif dan kelompok uji dosis 50, 100 dan 200 mg/kgBB (p ≤ 0.05).
Berdasarkan data tersebut diambil kesimpulan bahwa senyawa N,N-HPMS
dosis 50 mg/kgBB, dosis 100 mg/kgBB dan dosis 200 mg/kgBB memiliki
aktivitas antiinflamasi sehingga mampu menghambat peningkatan volume
udema pada telapak kaki hewan uji.
Jika dibandingkan dengan kontrol positif persentase udema dosis 50
mg/kgBB berbeda bermakna dari jam ke-2 hingga jam ke-5 (p ≤ 0.05).
Sedangkan dosis 200 mg/kgBB berbeda bermakna dengan kontrol positif
pada jam ke-3 dan jam ke-4. Berbeda dengan kedua dosis uji diatas persentase
udema dosis 100 mg/kgBB tidak berbeda bermakna (p > 0.05) dengan
kontrol positif dari jam 1 hingga jam ke-5. Dari hasil uji data statistik ini
dapat disimpulkan bahwa kemampuan penghambatan udema yang dimiliki
35
35 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
senyawa N,N-HPMS dosis 100 mg/kgBB sama dengan kontrol positif (Na-
diklofenak 5,14 mg/kgBB). Selain itu persentase udema dosis 100 mg/kgBB
berbeda secara signifikan dengan dosis 50 mg/kgBB dari jam ke-2 hingga jam
ke-5. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan penghambatan dosis 50
mg/kgBB lebih kecil dibandingkan dengan dosis 100 mg/kgBB. Selanjutnya
dosis 100 mg memiliki persentase udema yang berbeda dengan dosis 200
mg/kgBB pada jam ke-3 dan jam ke-4. Perbedaan penghambatan udema
senyawa N,N-HPMS dosis 200 mg/kgBB diasumsikan berhubungan dengan
kemampuannya dalam menghambat pelepasan prostaglandin. Secara teoritis,
induksi telapak kaki tikus menggunakan karagenan dapat bertahan 5-6 jam,
dimana pada jam ke 2,5 hingga jam ke-3 terjadi pelepasan salah satu mediator
inflamasi, yakni prostaglandin. Pelepasan prostaglandin ini yang
menyebabkan terjadinya migrasi leukosit ke situs radang sehingga
menyebabkan udema. (V.Suba, 2005). Adanya perbedaan yang signifikan
terhadap besarnya udema yang terbentuk antara dosis 200 mg/kgBB dengan
dosis 100 mg/kgBB pada jam ke-3 dan jam ke-4 menunjukkan perbedaan
kemampuan senyawa uji dalam menghambat pelepasan prostaglandin.
Sehingga dapat disimpulkan dosis 200 mg/kgBB memiliki kemampuan yang
berbeda dengan dosis 100 mg/kgBB dalam menghambat pelepasan
prostaglandin.
36
36 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Senyawa N,N-HPMS dosis 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB dan dosis 200
mg/kgBB memiliki persentase udema yang berbeda bermakna dengan
kontrol negatif ( p ≤ 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa senyawa N,N-
HPMS mampu menghambat udema pada telapak kaki tikus, dan aktif
sebagai agen antiinflamasi secara in-vivo.
2. Senyawa N,N-HPMS dosis 100 mg/kgBB dan kontrol positif (Na-
diklofenak 50 mg) memiliki kemampuan inhibisi udema yang sama (p ≥
0.05). Sedangkan kontrol positif memiliki kemampuan inhibisi yang
berbeda bermakna dengan dosis 50 mg/kgBB dan dosi 200 mg/kgBB pada
jam ( p ≤ 0.05).
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian uji toksisitas akut dan sub akut dari senyawa
ini, dan perlu dilakukan pengujian secara in- vitro terkait pengaruh senyawa
N,N-HPMS terhadap enzim COX-1 maupun COX-2 yang terlibat dalam
proses terjadinya inflamasi.
37
37 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Ashley, N. T., Weil, Z. M., & Nelson, R. J. (2012). Inflammation: mechanisms, costs,
and natural variation. Annual Review of Ecology, Evolution, and Systematics.
Bharat Kumar, B. (2014). SVGK Kaladhar D, Vasudeva Rao A, Divakar NLS,
Subhash Y, Amita CMP: Evaluation Of Anti-inflammatory Activity Of Some
Novel Diarylsulfonylurea-Chalcone Hybrids In Carrageenan–induced Paw
Oedema In Rats. International Journal of Pharmacy, 4, 1
Bhuiyan, M. M. H., Hossain, M. I., Mahmud, M. M., & Al-Amin, M. (2011).
Microwave-assisted efficient synthesis of chalcones as probes for
antimicrobial activities. Chemistry journal, 1(1), 21-28.
British Pharmacopeia. 2009. London: Council of Europes.
Brunton, L. L., Lazo, J. S., & Parker, K. L. (2006). Goodman & Gilman's the
Pharmacological Basis of Therapeutics. McGraw-Hill Companies. New York,
NY.
Brunton, L. (2011). Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of
Theraupetics. New York: McGraw Hill
Calzado, Y. R., Cuevas, V. M., Guerra, Y. P., Yera, A. O., Despaine, S. J., &
Ferreiro, R. M. (2013). Anti-Oedema Effects of D-002 and Lyprinol on the
Carrageenan-Induced Pleurisy in Rats. practice, 11, 14.
Chatter, R., Othman, R. B., Rabhi, S., Kladi, M., Tarhouni, S., Vagias, C., & Kharrat,
R. (2011). In vivo and in vitro anti-inflammatory activity of neorogioltriol, a
new diterpene.
Chuasuwan, B., Binjesoh, V., Polli, J. E., Zhang, H., Amidon, G. L., Junginger, H. E.,
Shah, K. K. V. P., Stavchansky, S., Dressman, J. B., Barends, D. M., 2009,
Biowaver Monographs for Immediate Release Solid Oral Dosage Forms:
Diclofenac Kalium and Diclofenac Potassium, J Pharm Sci, 98(4): 1206-19
Corsini, E., Di Paola, R., Viviani, B., Genovese, T., Mazzon, E., Lucchi,
L.,Cuzzocrea, S. (2005). Increased carrageenan‐induced acute lung
inflammation in old rats. Immunology, 115(2), 253-261
Depkes. 2008. Pedoman Pengendalian Tikus. Direktorat jenderal pengendalian
penyakit dan penyehatan lingkungan: Jakarta.
DeRuiter, J. (2002). Non-steroidal antiinflammatory drugs (NSAIDS). Principles of
drug action, 2, 1-25.
Fayazuddin, M. O. H. D., Ahmad, F. A. R. I. D. A., Kumar, A. N. I. L., & Yunus, S.
M. (2013). An Experimental Evaluation of Anti-Inflammatory Activity of
Moringa Oleifera Seeds. Int J Pharm Pharm Sci, 5(3), 1-5.
Ferroud, C., Godart, M., Ung, S., Borderies, H., & Guy, A. (2008). Microwaves-
assisted solvent-free synthesis of N-acetamides by amidation or
aminolysis. Tetrahedron Letters, 49(18), 3004-3008.
Freire, M. O., & Van Dyke, T. E. (2013). Natural resolution of inflammation.
Periodontology 2000, 63(1), 149-164.
G.Katzung, B. (2012). Basic and Clinical Pharmacology New York: McGraw Hill.
Glicksman, M., 1982. Origins and classification of hydrocolloids. In M. Glicksman
(ed.), Food Hydrocolloids, CRC Press, Boca Raton, FL 1: 3-18
38
38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Glicksman, M. (1987). Utilization of seaweed hydrocolloids in the food
industry. Hydrobiologia, 151(1), 31-47
Goodman, JamesR., and Douglas Grossman.2014.”Aspirin and other NSAIDS as
chemoprevention agents in melanoma”. Cancer Perevention Research 7.6: 557-
564
Gurenlian, J. (2009). Inflammation: the relationship between oral health and systemic
disease. Dental assistant (Chicago, Ill.: 1994), 78(2), 8.
Hariram Nile, S., & Won Park, S. (2013). Optimized methods for in vitro and in vivo
anti-inflammatory assays and its applications in herbal and synthetic drug
analysis. Mini reviews in medicinal chemistry, 13(1), 95-100.
Hinz, B., Chevts, J., Renner, B., Wuttke, H., Rau, T., Schmidt, A., Werner, U. (2005).
Bioavailability of diclofenac potassium at low doses. British journal of
clinical pharmacology, 59(1), 80-84.
Ikawati, Z. (2008). Pengantar Farmakologi Molekuler. Gadjah Mada University
press, Yogyakarta.
Ismail, S. M., Rao, K. S., & Bhaskar, M. (2017). Evaluation of anti-inflammatory
activity of Boswellia serrata on carrageenan induced paw edema in albino
Wistar rats. International Journal of Research in Medical Sciences, 4(7),
2980-2986.
Johnson, M. (2012). Laboratory mice and rats. Mater Methods, 2, 113.
Joyce LK, and Evelyn R.H., 1994, Farmakologi Pendekatan Proses Keperawaan
(terj), EGC., Jakarta,
Kalabharathi, H. L., Suresha, R. N., Pragathi, B., Pushpa, V. H., & Satish, A. M.
(2011). Anti inflammatory activity of fresh tulsi leaves (Ocimum Sanctum) in
albino rats. International Journal of Pharma and Bio Sciences, 2(4), 45-50.
Kalgutkar, A. S., Crews, B. C., Rowlinson, S. W., Marnett, A. B., Kozak, K. R.,
Remmel, R. P., & Marnett, L. J. (2000). Biochemically based design of
cyclooxygenase-2 (COX-2) inhibitors: facile conversion of nonsteroidal
antiinflammatory drugs to potent and highly selective COX-2
inhibitors. Proceedings of the National Academy of Sciences, 97(2), 925-930
Kandati, V., Govardhan, P., Reddy, C. S., & Reddy, R. R. (2012). In-vitro and in-vivo
anti-inflammatory activity of Andrographis serpyllifolia (Rottl. Ex Vahl.) Wt.
Katzung, B. G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik, terjemahan Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Salemba Medika,
Jakarta, 487-493.
Kesenja, R. (2005). Pemanfaatan Tepung Buah Pare (Momordica charantia L.) Untuk
Penurunan Kadar Glukosa Darah Pada Tikus Diabetes Mellitus.[Skripsi].
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
Marsalina, M. (2010). Pengaruh Pemberian Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosela
(Hibiscus sabdariffa L.) terhadap Kadar Kolesterol Total Darah dan Berat
Badan Tikus Putih (Rattus norvegicus). Universitas Sebelas Maret.
Matzinger, P. (2002). The danger model: a renewed sense of self. Science, 296(5566),
301-305.
Medzhitov, R. (2008). Origin and physiological roles of inflammation. Nature,
454(7203), 428-435.
39
39 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Mehta, N., Aggarwal, S., Thareja, S., Malla, P., Misra, M., Bhardwaj, T. R., &
Kumar, M. (2010). Synthesis, pharmacological and toxicological evaluation
of amide derivatives of ibuprofen. International Journal of Chem Tech
Research, 2(1), 233-238.
Morris, C. J. (2003). Carrageenan-induced paw edema in the rat and
mouse. Inflammation protocols, 115-121.
Mughiyah, R. (2016). Uji Aktivitas Antiinflamasi Senyawa pada Tikus Putih Jantan
Galur Sprague Dawley yang Diinduksi Karagenan. Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta.
Necas, J., & Bartosikova, L. (2013). Carrageenan: a review. Vet Med, 58(4), 187-205.
Paulpriya, K., Tresina, P. S., & Mohan, V. R. (2016). Investigation of anti-
inflammatory activity of Aristolochia krisagathra Sivarajan and
Pradeep. International Journal of Pharmaceutical Research and Applied
Sciences.
Oktiwilianti winda., Umi Yurniarni., Ratu Choerisna. 2015 .Uji Aktivitas
Antiinflamasi dari Ekstrak Etanol Daun Asam Jawa (Tamarindus Indica L)
terhadap Tikus Wistar Jantan. UNISBA. P2U-LPPM).
Pearson, R. G. (1968). Hard and soft acids and bases, HSAB, part 1: Fundamental
principles. J. chem. Educ, 45(9), 581.
Petersson, M., Wiberg, U., Lundeberg, T., & Uvnäs-Moberg, K. (2001). Oxytocin
decreases carrageenan induced inflammation in rats. Peptides, 22(9), 1479-
1484
Posadas, I., Bucci, M., Roviezzo, F., Rossi, A., Parente, L., Sautebin, L., & Cirino, G.
(2004). Carrageenan‐induced mouse paw oedema is biphasic, age‐weight
dependent and displays differential nitric oxide cyclooxygenase‐2 expression.
British journal of pharmacology, 142(2), 331-338.
Riess, W., Stierlin, H., Degen, P., Faigle, J., Gerardin, A., Moppert, J.Sulc, M.
(1978). Pharmacokinetics and metabolism of the anti-inflammatory agent
Voltaren. Scandinavian Journal of Rheumatology, 7(sup22), 17-29.
Reza, M. (2015). Amidasi senyawa etil p-metoksisinamat melalui reaksi langsung
dengan iradiasi microwave serta uji aktivitas sebagai antiinflamasi.
Rosa, M. D., & Willoughby, D. A. (1971). Screens for anti‐inflammatory
drugs. Journal of Pharmacy and Pharmacology, 23(4), 297-298. Rowe, R. C., Sheskey, P. J., & Quinn, M. E.(2009). Handbook of Pharmaceutical Excipients.
Lexi-Comp: American Pharmaceutical Association. Rubin, Emanuel and Howard M. Neisler. 2011. Essentials of Robin’s Pathology
Sixth edition. Lippincott Williams & Wilkins: Printed in China. (Page: 28-29)
Rukmana, I. H. R. (1994). Kencur: Kanisius.
Rustam, Erlina., Indah Atmasari dan Yanwirasti. 2007. Efek Antiinflamasi Ekstrak
Etanol Kunyit (Curcuma domestica Val.) pada Tikus Putih JantanGalur
Wistar.J.Sains dan Teknologi Farmasi, 12:2, (hlm112-115)
S.Murphy, H. (2007). Inflammation. Philadelphia: Saunders Elsevie.
Santoso, Singgih. 2007. Statistik Deskriptif: Konsep dan Aplikasi dengan Microsoft
Exel dan SPSS. Yogyakarta: ANDI.
40
40 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sirois, M. (2015). Laboratory Animal and Exotic Pet Medicine: Principles and
Procedures: Elsevier Health Sciences.
Siswanto, A., & Nurulita, N. A. (2005). Daya antiinflamasi infus daun mahkota dewa
(Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl) pada tikus putih (Rattus norvegicus)
jantan. PHARMACY, 3(1).
Suba, V., Murugesan, T., Kumaravelrajan, R., Mandal, S. C., & Saha, B. P. (2005).
Antiinflammatory, analgesic and antiperoxidative efficacy of Barleria lupulina
Lindl. extract. Phytotherapy Research, 19(8), 695-699.
Sudibyo, R. S. (2000). The Contents Of Volatile Oil Isolated Fromkaempferia
Galanga Rhizomes. Mass Spectroscopic Approach = Kandungan Minyak
Atsiri Yang Diisolasi Dari Umbi Kaempferia galanga Pendekatan Secara
Spektrometrik Massa. Majalah Farmasi Indonesia, 11(2000)
Sugishita, Etsuko, Sakae Amagaya, and Yukio Ogihara. "Anti-inflammatory testing
methods: comparative evaluation of mice and rats." Journal of Pharmacobio-
dynamics 4, no. 8 (1981): 565-575.
Sukaina, I. (2015). Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Herba Kemangi (Ocimum
americanum Linn.) Terhadap Udem Pada Telapak Kaki Tikus Putih Jantan
yang Diinduksi Karagenan.
Swathy, B., Lakshmi, S. M., & Kumar, A. S. (2010). Evaluation of analgesic and
anti-inflammatory properties of Chloris barbata (Sw.). International journal
of phytopharmacology, 1(2), 92-96.
Tewtrakul, S., Yuenyongsawad, S., Kummee, S., & Atsawajaruwan, L. (2005).
Chemical components and biological activities of volatile oil of Kaempferia
galanga Linn. Songklanakarin J. Sci. Technol, 27 (Suppl 2), 503-507.
Umar, M. I., Asmawi, M. Z. B., Sadikun, A., Altaf, R., & Iqbal, M. A. (2011).
Phytochemistry and medicinal properties of Kaempferia galanga
L.(Zingiberaceae) extracts. African Journal of Pharmacy and Pharmacology,
5(14), 1638-1647.
Umar, M. I., Asmawi, M. Z., Sadikun, A., Atangwho, I. J., Yam, M. F., Altaf, R., &
Ahmed, A. (2012). Bioactivity-guided isolation of ethyl-p-methoxycinnamate,
an anti-inflammatory constituent, from Kaempferia galanga L. extracts.
Molecules, 17(7), 8720-8734.
Winter C.A., Risley E.A., dan Nuss G.W., 1962, Carageenanin – induced Edema in
Hind Paw of the Rat as an Assay for Anti-inflammatory Drugs. Proc Soc. Exp.
Biol. Med. 111, 544-7
World Health Organization. (2000). General guidelines for methodologies on
research and evaluation of traditional medicine.
41
41 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Kerangka penelitian
Isolasi EPMS dilanjutkan dengan pembuatan
senyawa N,N-HPMS
Pengujian aktivitas antiinflamasi senyawa N,N-
HPMS dengan metode induksi karagenan secara in-
vivo
Penyiapan perlakukan pengujian aktivitas
antiinflamasi
Kelompok kontrol
positif
(Natrium Dikofenak
5,14 mg/kgBB )
Kelompok kontrol
negatif
(Na-CMC 0,5%)
Kelompok uji
senyawa N,N-HPMS
Variasi Dosis
200 mg/KgBB 100 mg/KgBB 50 mg/KgBB
Dihitung % peradangan dan % inhibisi
peradangan
inhibisi peradangan Data hasil pengujian dianalisis dengan
uji kruskal-wallis dan mann-whitney
inhibisi peradangan
42
42 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Skema kerja pembuatan senyawa N,N-bis-(hidroksietil)-ƿ-metoksi
sinamamida
(Reza, 2015)
Ditimbang serbuk kristal EPMS sebanyak 1,030 gram
Serbuk kristal yang telah ditimbang dilarutkan kedalam
dietanolamin 10 ml.
Larutan diatas diiiridiasi menggunakan microwave selama 3
menit dengan daya 300 watt
Hasil reaksi di partisi menggunakan aquadest dan etil asetat
dengan perbandingan 1:1,kemudian lapisan etil asetat
dikeringkan dengan natrium sulfat anhidrat.
Lapisan etil asetat yang telah dikeringkan di uapkan dan
dimurnikan dengan pelarut n-heksan.
Identifikasi mengunakan GC-MS dan KLT dengan eluen etil
asetat dan methanol perbandingan 9:1, kemudian di cek
spotnya menggunakan sinar UV pada panjang gelombang 254.
43
43 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Skema kerja uji aktivitas antiinflamasi
(Winter et al, 1962)
30 ekor tikus dibagi menjadi 5 kelompok. (Masing-masing
kelompok berisi 6 tikus).
Berat badan tikus ditimbang
Telapak kaki kiri tikus ditandai dengan spidol
Diukur volume awal telapak kaki kiri
Masing-masing disuntikkan suspensi karagenan 1%
Kontrol
positif
(Natrium
diklofenak
5,14
mg/kgBB)
Kontrol
negatif
(Larutan
Na-CMC
0,5%)
Kelompok
uji 1 :
Senyawa
N,N-HPMS
dosis 50
mg/kgBB
dalam Na-
CMC
0,5%
Kelompok
uji 2 :
Senyawa
N,N-HPMS
dosis 100
mg/kgBB
dalam Na-
CMC
Kelompok
uji 3 :
Senyawa
N,N-HPMS
dosis 200
mg/kgBB
dalam Na-
CMC
1 Jam
Perlakuan tiap kelompok
Volume telapak kaki kiri tikus diukur setiap 1 jam selama
5 jam
44
44 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Rumus perhitungan dosis hewan
(Reagan-Shaw, Shannon, Nihal, Minakashi and Ahmad, 2008)
Tabel 1: Conversion of animal doses to HED based on BSA
Spesies Weight (Kg) BSA (m²) Km Factor
Human
Adult 60 1,6 37
Child 20 0,8 25
Baboon 12 0,6 20
Dog 10 0,5 20
Monkey 3 0,24 12
Rabbit 1,8 0,15 12
Guinea pig 0,4 0,05 8
Rat 0,15 0,025 6
Hamster 0,08 0,02 5
Mouse 0,02 0,007 3
45
45 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Perhitungan dosis senyawa uji
A. Dosis pemberian 50 mg/kgBB
Konsentrasi = 0,2 kg x 50 mg/kg / 2 ml
Konsentrasi = 5 mg/ml
Senyawa uji dibuat dalam bentuk sediaan suspensi sebanyak 20 ml,
sehingga senyawa uji yang ditimbang sebanyak 100 mg.
Prosedur: ditimbang senyawa sebanyak 100 mg, kemudian
didispersikan kedalam 20 ml Na-CMC 0,5 %, digerus dalam lumpang
hingga homogen.
B. Dosis pemberian 100 mg/kgBB
Konsentrasi = 0,2 kg x 100 mg/kg / 2 ml
Konsentrasi = 10 mg/ml
Senyawa uji dibuat dalam bentuk sediaan suspensi sebanyak 20 ml,
sehingga senyawa uji yang ditimbang sebanyak 200 mg.
Prosedur: ditimbang senyawa sebanyak 200 mg, kemudian
didispersikan kedalam 20 ml Na-CMC 0,5 %, digerus dalam lumpang
hingga homogen.
46
46 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Lanjutan)
C. Dosis pemberian 200 mg/kgBB
Konsentrasi = 0,2 kg x 200 mg/kg / 2 ml
Konsentrasi = 20 mg/ml
Senyawa uji dibuat dalam bentuk sediaan suspensi sebanyak 20 ml,
sehingga senyawa uji yang ditimbang sebanyak 400 mg.
Prosedur: ditimbang senyawa sebanyak 400 mg, kemudian
didispersikan kedalam 20 ml Na-CMC 0,5 %, digerus dalam lumpang
hingga homogen.
47
47 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6 . Perhitungan dosis natrium diklofenak
Perhitungan Dosis Natrium diklofenak
Dosis Natrium diklofenak yaitu 50 mg (3x sehari) atau 75 mg (2x sehari)
(Brunton et al., 2006 ); dosis oral 75- 150 mg/hari dalam dosis terbagi 2-3x sehari
(BNF 57). Sehingga dosis yang dapat diberikan pada tikus dengan bobot 200 gram
adalah:
HED (mg/kg) = Dosis Hewan (mg/kg) x km Hewan / km Manusia
50 mg/60 Kg = Dosis Hewan (mg/kg) x 6/37
Dosis Hewan = 5,14 mg/KgBB
2 ml = 0,2 x 5,14 mg/kg / konsentrasi mg/ml.
Konsentrasi = 0,514 mg/ml
Senyawa uji dibuat dalam bentuk sediaan suspensi sebanyak 20 ml, sehingga
senyawa uji yang ditimbang sebanyak 10,28 mg.
\
48
48 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Data GC-MS EPMS
49
49 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Data GC-MS EPMS
(Umar et al., 2012)
50
50 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 9. Data GC-MS senyawa N,N-HPMS
51
51 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Data GC-MS senyawa N,N-HPMS standar
(Reza, 2015)
52
52 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Perhitungan reaksi
(Reza, 2015)
Perhitungan untuk reaksi amidasi dengan dietanolamin
Perbandingan reaksi:
Etil p-metoksisinamat (EPMS) : dietanolamin (5 mmol:10 mmol)
a. EPMS (BM. 206 gr/mol)
terpakai: gram mol BM
5mmol 206 mg/mmol
1030 mg 1,03 gram
b. Dietanolamin (BM. 105 gr/mol; ρ = 1,097 kg/L)
terpakai: gram mol BM
10 mmol105 mg/mmol
1050 mg 1,05 gram
𝑀
𝑉
V = 𝑀
𝜌
V 0,00105 kg
1,097 kg/L= 0,000957 L 0,957 mL dilebihkan 10 mL
53
53 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 12. Surat determinasi tanaman kencur
54
54 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 13. Surat lulus kaji etik hewan
55
55 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 14. Dokumentasi
Pemberian senyawa uji secara oral
menggunakan sonde
Induksi karagenan 1 % pada telapak
kaki tikus
Pengukuran volume udema telapak
kaki tikus
A: telapak kaki tikus sebelum diinduksi
karagenan 1 %
B: telapak kaki setelah diinduksi
karagenan 1%
Pengelompokan hewan uji
A B
56
56 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pletismometer
Karagenan kappa dan Na-CMC Na-diklofenak NaCl 0,9 %
Senyawa N,N-HPMS
57
57 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Uji No
.
Vo
(ml)
Volume (ml) udema jam ke-
1 2 3 4 5
Kontrol
negatif
1 0.02 0.04 0.05 0.06 0.06 0.06
2 0.03 0.05 0.07 0.07 0.08 0.08
3 0.03 0.05 0.06 0.06 0.08 0.07
4 0.03 0.05 0.06 0.07 0.09 0.08
5 0.02 0.04 0.05 0.06 0.07 0.07
Rata-rata 0.026 0.046 0.058 0.064 0.076 0.072
SD 0.005 0.005 0.008 0.005 0.011 0.008
Kontrol
Positif 1 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
( Natrium
diklofenak) 2 0.03 0.05 0.04 0.04 0.04 0.04
3 0.03 0.03 0.04 0.04 0.04 0.03
4 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
5 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
Rata-rata 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04 0.038
SD 0 0.007 0 0 0 0.0044
Dosis 50
mg/kgBB 1 0.03 0.04 0.04 0.06 0.06 0.04
2 0.03 0.04 0.05 0.07 0.07 0.05
3 0.03 0.05 0.06 0.07 0.07 0.07
4 0.03 0.04 0.05 0.07 0.06 0.06
5 0.03 0.03 0.05 0.07 0.07 0.06
Rata-rata 0.03 0.04 0.05 0.068 0.066 0.056
SD 0 0.007 0.007 0.004 0.005 0.011
Dosis 100
mg/kgBB 1 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
2 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04 0.03
3 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
4 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
5 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04 0.05
Rata-rata 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
SD 0 0 0 0 0 0.007
Dosis 200
mg/kgBB 1 0.04 0.05 0.05 0.06 0.06 0.05
2 0.04 0.06 0.07 0.08 0.08 0.07
3 0.04 0.05 0.05 0.06 0.06 0.06
4 0.04 0.05 0.07 0.08 0.08 0.07
5 0.04 0.06 0.06 0.07 0.07 0.06
Rata-rata 0.04 0.054 0.06 0.07 0.07 0.062
SD 0 0.0054 0.01 0.01 0.01 0.008
Lampiran 15. Data pengukuran volume udema
58
58 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KELOMPOK
NO
PERSENTASE UDEMA JAM KE-
KONTROL
NEGATIF
Jam 1 Jam 2 Jam 3 Jam 4 Jam 5
1 100 150 200 200 200
2 66.67 133.33 133.33 166.67 166.67
3 66.67 100 133.33 166.67 133.33
4 66.67 100 133.33 200 166.67
5 100 150 200 250 250
Rata-Rata 80 127 159.99 196.66 183.33
SD 18.255 25.276 36.516 34.155 44.096
KONTROL POSiTIF
1 33.33 33.33 33.33 33.33 33.33
2 66.67 33.33 33.33 33.33 33.33
3 0 33.33 33.33 33.33 0
4 33.33 33.33 33.33 33.33 33.33
5 33.33 33.33 33.33 33.33 33.33
Rata-Rata 33.332 33.33 33.33 33.33 26.664
SD 27.21791 0 0 0 14.90563
DOSIS 50 mg/KgBB
1 33.33 33.33 100 100 33.33
2 33.33 66.67 133.33 133.33 66.67
3 66.67 100 133.33 133.33 133.33
4 33.33 66.67 133.33 100 100
5 0 66.67 133.33 133.33 100
Rata-Rata 33.33 66.67 126.66 119.99 86.67
SD 23.5714 23.5714 14.90563 18.25559 38.00556
DOSIS 100 mg/KgBB
1 33.33 33.33 33.33 33.33 33.33
2 33.33 33.33 33.33 33.33 0
3 33.33 33.33 33.33 33.33 33.33
4 33.33 33.33 33.33 33.33 33.33
5 33.33 33.33 33.33 33.33 66.67
Rata-Rata 33.33 33.33 33.33 33.33 33.33
SD 0 0 0 0 23.5714
DOSIS 200 mg/KgBB
1 25 25 50 50 25
2 50 75 100 100 75
3 25 25 50 50 50
4 25 75 100 100 75
5 50 50 75 75 50
Rata-Rata 35 50 75 75 55
SD 13.6931 25 25 25 20.9165
Lampiran 16. Data hasil perhitungan persentase udema
59
59 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 17. Perhitungan persen udem dan persen inhibisi udem telapak
kaki tikus
1. Persen (%) udem senyawa uji N,N-bis-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida
dosis 50 mg/kgBB:
a. Tikus ke-1 jam kedua.
𝑉𝑡−𝑉0
𝑉0 x 100 =
0.04−0.03
0.03 x 100 = 33.33 %
b. Tikus ke-2 jam kedua.
𝑉𝑡−𝑉0
𝑉0 x 100 =
0.045−0.03
0.03 x100 = 66.67 %
c. Tikus ke-3 jam kedua.
𝑉𝑡−𝑉0
𝑉0 x 100 =
0.06−0.03
0.03 x 100 = 100 %
d. Tikus ke-4 jam kedua.
𝑉𝑡−𝑉0
𝑉0 x 100 =
0.05−0.03
0.03 x 100 = 66.67 %
e. Tikus ke-5 jam kedua.
𝑉𝑡−𝑉0
𝑉0 x 100 =
0.05−0.03
0.03 x 100 = 66.67 %
Keterangan :
Vt : Volume telapak kaki tikus pada waktu t (setelah diinduksi karagenan).
V0: Volume telapak kaki tikus pada waktu 0 (sebelum diinduksi karagenan).
60
60 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Lanjutan)
2. Persen (%) inhibisi udem senyawa uji N,N-bis-(hidroksietil)-p-metoksi
sinamamida::
a. Kontrol Positif jam kedua.
𝐴−𝐵
𝐴 x 100 =
127−33.33
127 x 100 = 73.75 %
b. Dosis 50 mg/kgBB jam kedua.
𝐴−𝐵
𝐴 x 100 =
127−66.67
127 x 100 = 47.5 %
c. Dosis 100 mg.kg/kgBB jam kedua.
𝐴−𝐵
𝐴 x 100 =
127−33.33
127 x 100 = 73.75 %
d. Dosis 200 mg/kgBB jam kedua.
𝐴−𝐵
𝐴 x 100 =
127−50
127 x 100 = 60.63 %
Keterangan :
A : Persentase radang (udema) kontrol negatif.
B: Persentase radang (udema ) kelompok uji.
61
61 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 18. Hasil uji statistik data persentase udema
1. Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnorv.
Tujuan : untuk melihat distribusi data persentase udema telapak kaki tikus
normal atau tidak.
Hipotesis :
Ho : data persentase udema telapak kaki tikus terdistribusi normal
Ha : data persentase udema telapak kaki tikus tidak terdistribusi normal
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 , maka Ho diterima
Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 , maka Ho ditolak
K
e
p
u
t
u
s
a
n
Berdasarkan hasil diatas data persentase udema dari jam ke-1 hingga jam ke -
5 tidak terdistribusi secara normal (p≤ 0,05). Dengan demikian ho ditolak.
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
jam1 jam2 jam3 jam4 jam5
N 25 25 25 25 25
Normal Parametersa,b
Mean 42.9992 61.9988 85.6644 91.6652 76.9992
Std.
Deviation 25.07982 39.38858 55.04255 65.52977 64.56312
Most Extreme
Differences
Absolute .290 .287 .229 .218 .192
Positive .290 .287 .229 .218 .192
Negative -.156 -.174 -.171 -.187 -.130
Test Statistic .290 .287 .229 .218 .192
Asymp. Sig. (2-tailed) .000c .000
c .002
c .004
c .018
c
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
62
62 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Lanjutan)
2. Uji homogenitas dengan uji Levene
Tujuan : untuk melihat data persentase udema telapak kaki tikus terdistribusi
homogen atau tidak
Hipotesis :
Ho : data persentase udema telapak kaki tikus terdistribusi homogen
Ha : data persentase udema telapak kaki tikus tidak terdistribusi homogen.
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 , maka Ho diterima
Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 , maka Ho ditolak
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic df1 df2 Sig.
jam1 1.435 4 20 .259
jam2 5.148 4 20 .005
jam3 18.205 4 20 .000
jam4 5.470 4 20 .004
jam5 1.765 4 20 .176
Keputusan :berdasarkan hasil uji homogenitas diatas data persentase udema
pada jam ke-1 dan jam ke-5 terdistribusi homogen (p ≥ 0.05). Pada jam ke-2
hingga jam ke -4 tidak data tidak terdistribusi secara homogen (p≤ 0,05).
3. Uji Kruskal-Wallis
Tujuan : untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data persentase
udema pada telapak kaki tikus
Hipotesis :
Ho : data persentase udema telapak kaki tikus tidak berbeda secara bermakna
Ha : data persentase udema telapak kaki tikus berbeda secara bermakna
63
63 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Lanjutan)
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 , maka Ho diterima
Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 , maka Ho ditolak
Keputusan : data persentase udema telapak kaki tikus seluruh kelompok pada
jam ke-1 hingga ke-5 berbeda secara bermakna (p ≤ 0.05).
4. Uji Mann-Whitney
Tujuan : untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data persentase
udema pada telapak kaki tikus antar kelompok perlakuan.
Hipotesis :
Ho : data persentase udema telapak kaki tikus tidak berbeda secara bermakna
antar kelompok perlakuan.
Ha : data persentase udema telapak kaki tikus berbeda secara bermakna antar
kelompok perlakuan
Pengambilan kesimpulan :
Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 , maka Ho diterima
Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 , maka Ho ditolak
Test Statisticsa,b
jam1 jam2 jam3 jam4 jam5
Chi-Square 11.479 15.869 22.855 23.208 17.222
df 4 4 4 4 4
Asymp. Sig. .022 .003 .000 .000 .002
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: uji
64
64 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Lanjutan)
a. Kontrol negatif dan kontrol positif
b.
c. Kontrol negatif dan dosis uji 100 mg/kgBB
Test Statisticsa
jam_1 jam_2 jam_3 jam_4 jam_5
Mann-Whitney U 1.000 .000 .000 .000 .000
Wilcoxon W 16.000 15.000 15.000 15.000 15.000
Z -2.471 -2.795 -2.805 -2.795 -2.703
Asymp. Sig. (2-tailed) .013 .005 .005 .005 .007
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .016b .008
b .008
b .008
b .008
b
a. Grouping Variable: uji
b. Not corrected for ties.
Test Statisticsa
jam1 jam2 jam3 jam4 jam5
Mann-Whitney U 1.500 1.000 6.000 .000 .500
Wilcoxon W 16.500 16.000 21.000 15.000 15.500
Z -2.410 -2.471 -1.678 -2.668 -2.530
Asymp. Sig. (2-tailed) .016 .013 .009 .008 .011
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .016b .016
b .222
b .008
b .008
b
a. Grouping Variable: uji
b. Not corrected for ties.
Test Statisticsa
jam_1 jam_2 jam_3 jam_4 jam_5
Mann-Whitney U .000 .000 .000 .000 .000
Wilcoxon W 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000
Z -2.805 -2.795 -2.805 -2.795 -2.652
Asymp. Sig. (2-tailed) .005 .005 .005 .005 .008
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] .008
b .008
b .008
b .008
b .008
b
a. Grouping Variable: uji
b. Not corrected for ties.
Kontrol negatif dan dosis uji 50 mg/kgBB
65
65 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Lanjutan)
d. Kontrol negatif dan dosis uji 200 mg/kgBB.
Kesimpulan
1. Data persentase udema kelompok kontrol negatif berbeda bermakna
dengan kontrol positif dari jam ke-1 hingga jam ke-5 (p ≤ 0.05).
2. Data persentase udema kelompok kontrol negatif berbeda bermakna
dengan kelompok uji dosis 50, 100, dan 200 (mg/kgBB), dari jam ke -1
hingga jam ke-5 (p ≤ 0.05).
e. Kontrol positif dan dosis uji 50 mg/kgBB
Test Statisticsa
jam1 jam2 jam3 jam4 jam5
Mann-Whitney U .000 .000 .000 .000 .000
Wilcoxon W 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000
Z -2.694 -2.643 -2.668 -2.643 -2.635
Asymp. Sig. (2-tailed) .007 .008 .008 .008 .008
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] .008
b .008
b .008
b .008
b .008
b
a. Grouping Variable: uji
b. Not corrected for ties.
Test Statisticsa
jam1 jam2 jam3 jam4 jam5
Mann-Whitney U 12.500 2.500 .000 .000 2.000
Wilcoxon W 27.500 17.500 15.000 15.000 17.000
Z .000 -2.390 -2.887 -2.835 -2.348
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000 .017 .004 .005 .019
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] 1.000
b .032
b .008
b .008
b .032
b
a. Grouping Variable: uji
b. Not corrected for ties.
66
66 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Lanjutan)
f. Kontrol positif dan dosis uji 100 mg/kgBB
Kesimpulan :
1. Data persentase kelompok udema kontrol positif tidak berbeda bermakna
dengan data persentase udema dosis uji 50 mg/kgBB pada jam ke-1 (p ≥
0.05), dan berbeda secara bermakna pada jam ke-2 hingga jam ke 5 (p ≤.0.05).
Test Statisticsa
jam_1 jam_2 jam_3 jam_4 jam_5
Mann-Whitney U 12.500 12.500 12.500 12.500 10.500
Wilcoxon W 27.500 27.500 27.500 27.500 25.500
Z .000 .000 .000 .000 -.516
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000 1.000 1.000 1.000 .606
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000b 1.000
b 1.000
b 1.000
b .690
b
a. Grouping Variable: uji
b. Not corrected for ties.
Test Statisticsa
jam_1 jam_2 jam_3 jam_4 jam_5
Mann-Whitney U 11.000 10.000 .000 .000 4.000
Wilcoxon W 26.000 25.000 15.000 15.000 19.000
Z -.322 -.561 -2.805 -2.805 -1.844
Asymp. Sig. (2-tailed) .747 .575 .005 .005 .065
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .841b .690
b .008
b .008
b .095
b
a. Grouping Variable: uji
b. Not corrected for ties.
g. Kontrol positif dan dosis uji 200 mg/kgBB
67
67 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Data persentase udema kontrol positif tidak berbeda bermakna dengan data
persentase udema kelompok dosis uji 100 mg/kgBB, dari jam ke-1 hingga jam
ke-5 (p ≤.0.05).
(Lanjutan)
3. Data persentase udema kontrol positif tidak berbeda bermakna dengan data
persentase udema kelompok dosis uji 200 mg/kgBB pada jam ke-1, jam ke-2
dan jam ke-5 (p ≥ 0.05), berbeda bermakna pada jam ke-3 dan jam ke-4 (p
≤.0.05).
h. Dosis uji 50 mg/kgBB dan dosis uji 100 mg/kgBB
i. Dosis uji 50 mg/kgBB dan dosis uji 200 mg/kgBB
Test Statisticsa
jam_1 jam_2 jam_3 jam_4 jam_5
Mann-Whitney U 12.500 2.500 .000 .000 3.000
Wilcoxon W 27.500 17.500 15.000 15.000 18.000
Z .000 -2.390 -2.887 -2.835 -2.061
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000 .017 .004 .005 .039
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] 1.000
b .032
b .008
b .008
b .056
b
a. Grouping Variable: uji
b. Not corrected for ties.
Test Statisticsa
jam_1 jam_2 jam_3 jam_4 jam_5
Mann-Whitney U 11.000 9.000 1.000 3.000 6.000
Wilcoxon W 26.000 24.000 16.000 18.000 21.000
Z -.322 -.745 -2.520 -2.132 -1.370
Asymp. Sig. (2-tailed) .747 .456 .012 .033 .171
68
68 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Lanjutan)
j. Dosis uji 100 mg/kgBB dan dosis uji 200 mg/kgBB
Kesimpulan :
1. Data persentase udema kelompok dosis uji 50 mg/kgBB dan dosis uji 100
mg/kgBB tidak berbeda bermakna pada jam ke-1 (p ≥ 0.05), dan berbeda
secara bermakna pada jam ke-2 hingga jam ke-5 (p ≤0.05).
2. Data persentase udema kelompok dosis uji 50 mg/kgBB dan dosis uji 200
mg/kgBB tidak berbeda bermakna pada jam ke-1, jam ke 2 dan jam ke-5 (p ≥
0.05), dan berbeda secara bermakna pada jam ke-3 dan jam ke-4 (p ≤0.05).
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] .841
b .548
b .016
b .056
b .222
b
a. Grouping Variable: uji
b. Not corrected for ties.
Test Statisticsa
jam_1 jam_2 jam_3 jam_4 jam_5
Mann-Whitney U 10.000 10.000 .000 .000 6.000
Wilcoxon W 25.000 25.000 15.000 15.000 21.000
Z -.567 -.561 -2.805 -2.805 -1.383
Asymp. Sig. (2-tailed) .571 .575 .005 .005 .167
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] .690
b .690
b .008
b .008
b .222
b
a. Grouping Variable: uji
b. Not corrected for ties.
69
69 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Data persentase udema kelompok dosis uji 100 mg/kgBB dan dosis uji 200
mg/kgBB tidak berbeda bermakna pada jam ke-1, jam ke 2 dan jam ke-5 (p ≥
0.05), dan berbeda secara bermakna pada jam ke-3 dan jam ke-4 (p ≤0.05).