WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... ·...

33

Transcript of WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... ·...

Page 1: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih
Page 2: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

WORKING PAPER SERIES No. 04

PROSES-PROSES KEBIJAKAN DAN PENGUATAN

KELEMBAGAAN HUTAN KAYU RAKYAT PADA ERA

DESENTRALISASI DI JAWA

Oleh:

Lala M. Kolopaking

Turasih

Page 3: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

1. PENDAHULUAN

Perhatian terhadap pengembangan kebijakan untuk menguatkan peranan hutan kayu rakyat

dalam pembangunan di Jawa bukan hal baru. Sejarah pengembangan hutan kayu rakyat di

Jawa sebenarnya tidak lepas dari kerangka kolonialisme kapital oleh penguasa yang

memerintah dalam melakukan pemanfaatan dan penyediaan sumberdaya kayu. Litbang

Kehutanan (2006) memberikan catatan bahwa perkembangan hutan kayu rakyat merupakan

sebuah aktifitas yang mampu mendukung pengurangan tekanan terhadap hutan alam

(eksploitasi) sekaligus memberikan peran yang signifikan kepada masyarakat untuk turut

serta memberikan jaminan terhadap kelangsungan industri kehutanan nasional.

Perkembangan hutan kayu rakyat semakin dilirik oleh berbagai pihak karena ternyata selain

mempunyai nilai manfaat ekonomi-sosial, juga mempunyai pengaruh terhadap perbaikan

ekosistem. Arupa (2005) dalam kajiannya menyebutkan bahwa keberadaan hutan kayu

rakyat sangat penting sebagai pendukung pertanian desa, penyangga ekosistem, penjaga

stabilitas ekologi dan pengatur tata air wilayah. Penelitian Jariyah dan Wahyuningrum (2008)

juga memberikan gambaran bahwa hutan kayu rakyat memiliki prinsip kelestarian dimana

variasi jenis tanaman pada hutan rakyat berkaitan erat dengan penyikapan tidak stabilnya

harga produk-produk pertanian. Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu

menutupi kebutuhan ketika produk-produk lain memiliki nilai jual yang rendah. Cara pikir

utama yang mewarnai hasil dari rekomendasi penelitian hutan rakyat yag pernah dilakukan

adalah semangat menatausahakan hutan kayu rakyat agar lebih berkembang dan

berkelanjutan. Kondisi penatausahaan hutan kayu rakyat yang masih berkembang, seperti

disebutkan oleh Syahadat1 adalah belum ada perincian tentang penatausahaan hutan kayu

rakyat dalam undan-undang, prosedur pemanfaatan hutan kayu rakyat belum jelas, fungsi

hutan rakyat mendukung industri nasional tetapi belum ditata dengan baik. Sehingga

penatausahaan hasil hutan di hutan kayu rakyat penting untuk disempurnakan dalam rangka

perbaikan pelayanan publik terhadap pengelolaan hutan kayu rakyat.

Pertanyaan terhadap semangat penatausahaan tersebut kemudian adalah apakah

kebijakan seperti itu akan menguatkan kelembagaan hutan kayu rakyat? Oleh karena

berbagai pengalaman cenderung menunjukkan bahwa intervensi “orang luar” terhadap

kelembagaan ekonomi masyarakat tida meningktakan mutu kegiatan, tetapi justru merusak

1 Diakses dari www.forda-mof.org dengan judul Kajian Pedoman Penatausahaan Hasil Hutan di Hutan Rakyat

Sebagai Dasar Acuan Pemanfaatan Hutan Rakyat (diakses tanggal 13 Agustus 2012)

Page 4: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

tatanan yang telah melembaga dan tidak berhasil membawa tatanan baru yang bermanfaat

kepada kepentingan masyarakat banyak. Tidak jarang, dalam proses intervensi gagasan

“orang luar” tersebut masyarakat melakukan tindakan kreatif untuk menelusuri sendiri

alternatif-alternatif gagasan untuk memenuhi kepentingan mereka. Pendekatan “Orang Luar”

di sektor pengelolaan sumberdaya sebenarnya telah banyak mengalami kemajuan dengan

memasukkan pendekatan partisipatif sebagai metodologi dan perbaikan gaya komunikasi.

Namun yang dirasakan belum optimal adalah pengelolaan pengetahuan di tingkat petani

belumlah maksimal. Seringkali, petani masih dianggap sebagai objek yang harus mengikuti

pola pengelolaan sumberdaya secara modern. Akibatnya pengetahuan dan kearifan lokal

petani dalam mengelola sumberdaya hutan misalnya mengalami degradasi.

Berdasarkan uraian di atas, menjadi menarik untuk melakukan studi kebijakan yang

memfokuskan perhatian pada proses-proses pengembangan kebijakan dan penguatan

kelembagaan hutan kayu rakyat. Langkah studi yang dipilih dalam hal ini lebih ditekankan

untuk melakukan sintesis bukan analisis dengan maksud menemukan sasaran untuk

merumuskan materi/substansi kebijakan dengan menambah sesuatu usulan terhadap

subyek atau proses kebijakan yang sedang atau sudah dikembangkan. Uraian selanjutnya

berisikan hasil dari studi yang digagas melalui langkah sintesis tersebut. Kajian sintesis ini

berfokus pada goal setting yang menjadi landasan menyusun rumusan usulan dalam studi

ini.

Terdapat dua pertanyaan utama yang akan dijawab dalam tulisan ini. Pertama, bagaimana

proses-proses pengembangan kebijakan hutan kayu rakyat terbangun di tiga lokasi yaitu

Kabupaten Blora, Wonogiri, dan Wonosobo dalam era desentralisasi pembangunan.

Identifikasi proses kebijakan dan pengembangan kelembagaan mengikuti kronologi

pengelolaan hutan kayu rakyat dalam konteks pembangunan daerah pada era

desentralisasi pembangunan. Penelusuran proses-proses pengembangan kebijakan hutan

kayu rakyat tersebut difokuskan pada era desentralisasi pembangunan sebagai bahan untuk

memberikan masukan terhadap kebijakan pengelolaan hutan kayu rakyat di masa kini.

Identifikasi ini lalu dihubungkan dengan sosial di tiga lokasi penelitian untuk mengetahui

peranan hutan rakyat itu sendiri. Kedua, bagaimana kebijakan dan bentuk kelembagaan

yang telah dikembangkan mampu menguatkan peranan sosial ekonomi dan perbaikan

ekosistem dari hutan kayu rakyat di aras lokal mulai dari kabupaten hingga desa. Penjelasan

mengenai pertanyaan kedua ini dalam kerangka melacak faktor, aktor, tujuan, dan strategi

pengelolaan hutan rakyat menuju arah pencapaian tujuan atau fokus pembangunan dengan

menempatkan peran pengelola hutan kayu rakyat pada era desentralisasi. Untuk

menunjukkan bagaimana pengembangan proses kebijakan terbangun serta bagaimana

Page 5: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

mampu menguatkan peranan hutan kayu rakyat maka analisis diarahkan untuk mengetahui

faktor dan aktor. Kemudian hasil analisis tersebut digunakan untuk mendukung penetapan

tujuan dan strategi (arah proses-proses penguatan kelembagaan). Penjelasan ini akan

disampaikan pada sub bab 3 yaitu teladan dari tiga lokasi penelitian.

2. PENDEKATAN STUDI

Selain melakukan pendekatan analisis penyelesaian masalah, pendekatan yang utama

diterapkan dalam studi kebijakan (policy study) adalah menerapkan pendekatan pencapaian

tujuan melalui berpikir sintesis dalam kerangka sistem (Aelen, 1978; Ho and Sculli, 1995).

Studi ini mengikuti prinsip-prinsip studi kebijakan tersebut dengan memuat dua hal

langkahnya. Pertama, perumusan tentang penetapan tujuan (goal setting) dari sebuah

kebijakan, dan kedua adalah mengenai menemukan arah proses-proses penguatan

kelembagaan (Eriyatno, 2010).

Dalam era desentralisasi pembangunan, penguatan kelembagaan sektor kehutanan tidak

dapat lepas dari penguatan pemerintahan di daerah. Dengan demikian, studi kebijakan

tentang penguatan kelembagaan pengelolaan hutan tidak lepas dari kebijakan

pembangunan daerah yang berimplikasi juga bagi penguatan kelembagaan pengelolaan

hutan kayu rakyat. Adanya perubahan iklim kebijakan dari masa sentralistik ke

desentralisasi artinya memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam

proses pengembangan kebijakan hutan kayu rakyat yang tentunya berhubungan dengan

tata ruang. Berdasarkan Permendagri No. 51 Tahun 2007 disebutkan bahwa pembangunan

kawasan perdesaan dilakukan atas prakarsa masyarakat meliputi penataan ruang secara

partisipatif, pengembangan pusat pertumbuhan terpadu (titik tumbuh) antar desa,

penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat, dan kemitraan. Oleh karenanya,

pengembangan kelembagaan kebijakan hutan kayu rakyat tidak bisa melepaskan konteks

prakarsa masyarakat dalam prosesnya.

Pengelolaan hutan kayu rakyat diuraikan dengan mengedepankan prinsip keseimbangan

antara penggunaan dan menjaga keberlanjutan. Bahkan, keseimbangan itu diikuti oleh

pandangan yang menempatkan kesetaraan diantara stakeholders pengelola hutan rakyat,

baik yang berasal dari lembaga pemerintah, lembaga swasta, lembaga non-pemerintah, dan

kelompok-kelompok masyarakat. Informasi tentang pengelolaan hutan juga ditelusuri secara

berimbang melalui wawancara mendalam dengan tokoh maupun pelaku pengelola hutan

rakyat di tiga lokasi penelitian serta melalui forum diskusi terbatas dari tingkat kabupaten

Page 6: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

hingga desa. Selain itu, penelusuran mengenai kebijakan juga dilakukan dengan

mengumpulkan dokumen kebijakan terkait pengelolaan hutan rakyat di lokasi penelitian

dengan maksud untuk menyeimbangkan temuan kebijakan dengan informasi kualitatif yang

diperoleh melalui wawancara dan diskusi.

2.1. Dari Ekologi Sumberdaya Alam ke Politik Ekologi Kawasan

Isyu tutupan lahan di Pulau Jawa tidak lagi hanya fokus pada persoalan ekologi sumberdaya

alam. Sebagai misal, isyu tentang pembalakan liar atau kerusakan hutan, erosi, krisis air,

pengelolaan sumberdaya alam yang membuat pemiskinan dan kemiskinan. Akan tetapi,

juga memikirkan proses pengembangan tutupan lahan yang sebaiknya terjadi atau

dirancang terjadi di Jawa. Perkembangan yang ada saat ini menunjukkan bahwa telah

terjadi perbaikan peningkatan tutupan lahan di Jawa (Gambar 1).

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Kepadatan Penduduk (Jiwa/km2)

Fra

ksi H

utan

(%) .

Irian Jaya

Kalimantan

Sulawesi

Maluku

Sumatera

Jawa

Sumber: Boer, 2008

Gambar 1. Perkembangan arah tutupan lahan antar pulau di Indonesia

Sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2007 dan UU No.41 Tahun 1999 disebutkan bahwa

minimum tutupan hutan adalah 30%. Berdasarkan gambar tersebut, kondisi tutupan lahan di

Jawa membentuk kurva U yang menunjukkan bahwa luas tutupan lahan terus meningkat

meskipun jumlah kepadatan penduduk semakin banyak (mencapai 45% luas tutupan).

Kecenderungan tersebut mengarahkan pada gejala peningkatan tutupan lahan yang berkait

juga dengan pengelolaan hutan oleh rakyat (penghutanan di luar kawasan hutan). Gejala

perkembangan penutupan lahan seperti itu diperkuat dengan bukti gejala yang sama yang

diperlihatkan oleh kecenderungan perkembangan luasan hutan rakyat di Provinsi Jawa

Aturan Nasional:

-UU No 26/2007 & UU

No. 41/99 (minimum

30% tutupan hutan):

Page 7: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

Tengah dari tahun 2005-2008 (Gambar 2). Peningkatan luasan hutan rakyat selama lima

tahun ini mengisyaratkan prosesnya memerlukan perhatian dari segi politik ekologi kawasan

agar perkembangannya terarah dan terstruktur.

.

Sumber: Statistik Kehutanan Jawa Tengah, 2009 Keterangan: Luas dalam Hektar

Gambar 2. Perkembangan luas hutan rakyat di Provinsi Jawa Tengah 2005-2009

Isyu politik ekologi kawasan dalam konteks perkembangan penutupan lahan dalam kaitan

dengan perkembangan hutan kayu rakyat yang mendesak adalah keperluan dukungan

kebijakan tata-kelola hutan dalam konteks pengembangan masyarakat dan desa atau

dengan kawasan perdesaan (wilayah dalam satuan antar desa). Berbeda dengan isyu

tentang ekologi sumberdaya alam, isyu politik ekologi memandang bahwa sumberdaya alam

dipahami dari perspektif budaya lokal maupun aspek politik yang saling berhubungan

(Greenberg and Park, 1994). Isyu politik ekologi kawasan yang mengikuti perkembangan

hutan kayu rakyat antara lain termasuk pengembangan hutan dalam konteks

pengembangan perkotaan, hingga sistem pemerintahan yang bersih dalam melaksanakan

pembangunan daerah rendah emisi.

Dalam era desentralisasi pembangunan, dinamika posisi tawar aktor yang bergiat dalam

pengembangan hutan kayu rakyat perlu dilihat dalam konteks kebijakan pembangunan

daerah. Meskipun, di Indonesia peranan hutan kayu rakyat telah mendapat perhatian

cukup karena potensi kayu dan jumlah rumah tangga yang mengusahakannya cukup besar.

Selain itu, disebut oleh berbagai pihak di lokasi studi seperti Klaten (Prakosa, 2002),

Wonosobo (Prakosa,2002), Ponorogo, Wonogiri, dan Boyolali (Donie, 1996), Bangkalan

(Indrawati, et al, 1997), kemajuannya juga telah mampu menyediakan bahan baku untuk

Page 8: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

industri kehutanan. Bahkan, juga diakui, bahwa hutan kayu rakyat memberi dampak positif

terhadap kondisi ekonomi sosial dan perbaikan ekologi. Oleh karenanya di tingkat nasional

tidak keliru beberapa kebijakan untuk mengatur hutan kayu rakyat telah diputuskan, seperti:

(1) Permenhut P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul

(SKAU) untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak, (2)

Permenhut P.62/Menhut-II/2006 tentang Perubahan Permenhut P.51/Menhut-II/2006, (3)

Permenhut P.33/Menhut-II/2007 tentang Perubahan Kedua atas Permenhut P.51/Menhut-

II/2006, hingga (4) Surat Edaran Dirjen BUK No. S.1047/VI-BIKPHH/2006, dan (5)

Permenhut 30/Menhut-II/2012).

Identifikasi proses-proses kebijakan pengaturan hutan rakyat sangat dipengaruhi oleh

kebijakan di tingkat nasional. Asumsi pengaturannya cenderung dalam kerangka

pandangan bahwa hutan kayu rakyat akan semakin maju dan berkelanjutan apabila diatur

mengikuti teknik budidaya dan panatausahaan hutan yang diorganisasikan. Dari segi

pengelolaan hutan, hutan kayu rakyat disebut masih berbasis tradisi. Ciri utamanya, seperti:

(1) dikembangkan di lahan milik yang dijadikan hutan dengan alasan tertentu, seperti lahan

yang kurang subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga kerja yang terbatas, kemudahan

pemeliharaan, faktor resiko kegagalan yang kecil, (2) ciri pertama mengakibatkan lokasi

hutan kayu rakyat tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak dan luas

kepemilikan lahan serta keragaman pola wanatani, (3) pengelolaannya (praktek silvikultur

dan pengusahaannya) pun berbasis keluarga dengan pengaturan sendiri-sendiri, (4)

pemanenan kayu pun dilakukan dengan sistem tebang butuh. Akibatnya, pengelolaan

hutan kayu rakyat tidak didukung oleh organisasi usaha profesional, sehingga secara

rasional petani tidak mempunyai perencanaan pasti dalam pengelolaan kayu rakyat dan hal

ini berpengaruh terhadap kontinuitas pasokan kayu untuk industri kayu. Keunikan ini

menjadikan perdagangan kayu dari hutan rakyat berkembang di luar kendali petani

produsen dengan menempatkan mereka pada posisi tawar yang lemah.

Kedudukan produsen hutan rakyat yang lemah ini membuat pengaturan cenderung tidak

memberi tempat pada “jasa” produsen hutan rakyat menyediakan kayu. Misal saja, dalam

UU No.41 tahun 1999, hutan rakyat disebutkan sebagai jenis hutan yang dikelompokkan ke

dalam hutan hak. Artinya, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang telah

dibebani hak milik, yang konsekuensi logisnya adalah bahwa hutan rakyat diusahakan tidak

pada tanah negara. Sepandangan dengan Darusman dan Hardjanto (2006), sebenarnya

pengertian tersebut mengandung pengabaian atas kemampuan produsen hutan kayu rakyat

sebagai pelaku pengusahaan hutan rakyat karena hutan rakyat lebih diartikan dengan

Page 9: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

menekankan pada kepemilikan lahan bukan pada kapasitas pelakunya dalam mengelola

hutan.

Melalui asumsi kebijakan seperti itu, maka arus utama berbagai materi tentang hal yang

diatur, siapa yang mengatur dan siapa yang diatur cenderung memuat arahan peningkatan

kapasitas manajerial,dengan maksud agar pelaku atau produsen hutan kayu rakyat menjadi

kelompok pelaku usaha hutan. Pelaksanaan kebijakan tersebut diharapkan menjadi sarana

peningkatan kapasitas produsen kayu hutan rakyat dalam mengembangkan usaha,

sehingga mampu meningkatkan posisi tawar mereka dalam pengembangan hutan kayu

rakyat sebagai sistem. Namun, dari hasil kajian di tiga lokasi studi ditemukan produsen

hutan kayu rakyat sudah pada taraf mampu mengembangkan kapasitas dirinya dalam

mengelola hutan kayu rakyat. Produsen telah mengembangkan cara-cara pengusahaan

kayu rakyat yang prosesnya pun dilalui tidak hanya melalui jalur penguatan kapasitas diri

dalam pengelolaan hutan, tetapi juga ikut dalam kerangka dinamika politik pembangunan

daerah. Hal ini dapat menunjukkan, bahwa produsen hutan kayu rakyat sebenarnya telah

melacak jalan sendiri menguatkan kemampuan diri dan komunitas untuk melakukan

pengelolaan hutan yang sinergi dengan penguatan kebijakan pembangunan. Dengan

demikian, pada masa mendatang promosi politik hutan kayu rakyat akan lebih memasuki

arena politik ekologi untuk mendapatkan pengakuan atas pengelolaan lahan serta

pengaturan mekanisme pengelolaan hutan rakyat untuk dikembangkan sebagai sebuah

kawasan produktif yang berkelanjutan dan memberdayakan petani.

2.2. Pengembangan Kelembagaan Kawasan Hutan Rakyat: Dari Desa ke Kabupaten

Tujuan yang ditetapkan dan tersirat untuk dicapai dari hasil identifikasi proses-proses

pengembangan hutan kayu rakyat adalah mewujudkan kawasan hutan kayu rakyat yang

produktif dan berkelanjutan. Mengikuti hasil diskusi di tingkat kabupaten dengan pimpinan

dinas/badan dan anggota legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) di tiga lokasi

penelitian (Blora, Wonogiri, dan Wonosobo) dicatat, bahwa proses penguatan hutan kayu

rakyat selain memerlukan penguatan teknis di aras keluarga dan kelompok/komunitas

diperlukan mekanisme pemberdayaan masyarakat dalam mengelola hutan kayu rakyat.

Merujuk Kolopaking (2008), kerangka pengembangan kelembagaan kawasan berkaitan

dengan pengaturan dan tata hubungan antar pihak, yang umumnya hal ini dikenal sebagai

upaya pengembangan kelembagaan kawasan. Proses ini berbeda dengan penguatan

kapasitas sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan penguatan

sumberdaya manusia yang sering dikenal sebagai upaya-upaya melakukan capacity

building.

Page 10: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

Berkenaan dengan pengelolaan kawasan hutan kayu rakyat dalam membentuk kawasan,

yang diperlukan adalah mengatasi hambatan-hambatan kelembagaan yang ada. Hal yang

paling penting dalam mengatasi hambatan kelembagaan adalah penguatan kapasitas

masyarakat (komunitas) dan desa (dalam arti pemerintahan) untuk bekerjasama dengan

”orang luar”. Berbagai pihak di tiga lokasi penelitian menyebutkan bahwa proses penguatan

keluarga atau institusi desa di satuan kelompok atau komunitas desa dalam mengelola

hutan sebagai kawasan perlu berlanjut dengan proses pengembangan kelembagaan

kerjasama antar desa. Oleh karena itu, pengetahuan sejarah lokal masyarakat dan desa

serta potensinya menjadi himpunan satuan desa (kerjasama antar desa dalam kerjasama

membangun kawasan hutan) menjadi strategis untuk diidentifikasi. Artinya, pengembangan

kelembagaan pada aras komunitas dalam satuan desa (community based development)

perlu diupayakan bersambungan dengan pengembangan kelembagaan usaha-usaha

produktif yang memanfaatkan kawasan hutan. Sumbernya berasal dari sinergi beragam

kelembagaan di komunitas desa yang secara konsepsi disebut sebagai bonding strategy.

Kemudian, proses ini perlu dilanjutkan dengan upaya melakukan sinergi beragam

kelembagaan antar-komunitas desa yang dikonsepsikan sebagai bridging strategy dalam

satuan kelembagaan antardesa. Selanjutnya, proses itu perlu berkait dengan kerjasama

pada aras pengembangan kelembagaan secara vertikal antara kelembagaan komunitas

perdesaan dengan kelembagaan pelayanan dan keuangan publik atau disebut sebagai

creating strategy for local goverment empowerment. Dalam hal ini, kelembagaan semakin

kuat apabila ada bentuk pengaturan yang semakin resmi. Oleh karenanya, pengembangan

berbagai peraturan yang mengikat tata hubungan kerja mulai dari desa (peraturan desa)

hingga peraturan di atas desa (peraturan daerah, surat keputusan atau peraturan

bupati/gubernur) menjadi penting.

Dalam konteks pengembangan kelembagaan desa seperti itu sangat diperlukan “orang

luar”. Proses di dalamnya berkaitan dengan penguatan manajemen untuk masyarakat yang

membuka ruang untuk mengembangkan hubungan kemitraan dengan berbagai pihak.

Pengembangan kemitraan ini diarahkan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin masyarakat

sebagai simpul pengembangan desa. Langkah inilah yang kemudian perlu diselaraskan

sebagai upaya pengembangan masyarakat dan desa yang dikembangkan dari “orang luar”

atau “atas desa”. Hanya saja, penyambungan ini perlu dikemas dalam sebuah dialog dan

upaya penyadaran. Untuk itu, maka prosesnya perlu dikembangkan melalui pendampingan

teknis, pengembangan keuangan mikro melalui perluasan jejaring kerjasama multi-pihak,

dan pengelolaan manajemen kegiatan secara baik. Peran “orang luar” dalam hal ini adalah

Page 11: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

sebagai fasilitator yang membantu petani untuk melacak jalannya sendiri dan bukan

menjadikan petani sebagai objek yang diatur oleh “orang luar” tersebut.

Jejaring kerjasama multi-pihak berbasis masyarakat dan desa hakekatnya adalah

pelembagaan untuk pengembangan modal sosial dalam kerangka mewujudkan desa yang

berkesejahteraan. Proses ini, paling tidak ditentukan oleh empat faktor. Pertama, soal

pengembangan kesiapan keluarga, komunitas di satuan-desa untuk membangun kapasitas

lembaga/kelompok/komunitas secara swadaya dan bekerjasama dengan pihak lain.

Kedua, pemerintahan di aras kabupaten (eksekutif/legislatif) memberi tempat dan

membangun kemampuan bekerja dan komunikasi dengan multi-pihak yang melintas asas

birokrasi. Ketiga, kemauan dan kemampuan kapasitas dari pengusaha atau lembaga bisnis

(swasta) untuk terlibat mendorong pengembangan masyarakat melalui pola kerjasama baru.

Keempat, adanya prakarsa membangun sistem informasi, mekanisme pengawasan sosial

secara demokratis yang berbasis komunitas dan melibatkan kerjasama multi-pihak untuk

membangun potensi kerjasama ekonomi antar desa. Apabila empat faktor ini berjalan dan

saling menguatkan, maka konsep pengembangan hutan yang berkelanjutan akan benar-

benar diwujudkan. Keempat faktor tersebut saling mendukung satu sama lain dan dalam

prosesnya peran „orang luar‟ sebagai fasilitator menjadi penting.

3. PEMBELAJARAN DARI BLORA, WONOGIRI, HINGGA WONOSOBO

Hutan rakyat di tiga lokasi penelitian yaitu Kabupaten Blora, Wonogiri, dan Wonosobo

menunjukkan luasan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan yang terjadi

diharapkan memiliki dampak yang signifikan terhadap manfaat yang diperoleh petani

sebagai produsen hutan rakyat. Dalam perkembangannya, pengelolaan hutan rakyat di tiga

lokasi memiliki dinamika dan kronologi masing-masing. Kondisi tersebut disebabkan oleh

beberapa hal misalnya situasi politik daerah, konflik masyarakat dengan Perhutani,

kelembagaan kayu rakyat yang muncul di tingkat desa/kabupaten, juga persepsi ekonomi

masyarakat terhadap kayu.

Hasil studi menunjukkan bahwa pada dasarnya petani sebagai produsen telah memiliki

inisiatif untuk bersinergi dengan membangun kelompok tani hutan rakyat. Petani kayu telah

mengembangkan kelembagaan sebagai bentuk pengelolaan hutan rakyat secara bersama-

sama dalam satuan desa bahkan antar desa. Pemerintah daerah pun juga sudah

menerbitkan kebijakan terkait pengelolaaan hutan rakyat. Namun, implementasi kebijakan

yang telah ada masih berbenturan dengan kondisi lokal petani dan juga tarik ulur proses

Page 12: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

politik terhadap kebijakan itu sendiri. Kabupaten Blora dan Wonogiri telah memiliki kebijakan

pengelolaan hutan rakyat yang relatif stabil dari sisi pembuat kebijakan (Pemerintah Daerah)

dengan diterbitkannya beberapa peraturan, namun penerapannya di tingkat petani

terkendala dengan sosialisasi peraturan yang masih belum maksimal dan pada akhirnya

tradisi “tebang butuh” masih dijalankan oleh masyarakat. Sedangkan di Kabupaten

Wonosobo terjadi proses politik yang panjang dalam penerbitan kebijakan pengelolaan

hutan rakyat. Hal tersebut mempengaruhi bentuk pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten

Wonosobo hingga saat ini. Untuk menunjukkan proses-proses kebijakan dan kelembagaan

serta peranannya dalam memperkuat hutan kayu rakyat maka diuraikan teladan untuk

masing-masing lokasi penelitian.

3.1. Teladan Blora

Kabupaten Blora merupakan salah satu kabupaten yang memiliki hutan kayu rakyat dengan

pengelolaan yang baik dilihat dari segi dukungan kebijakan yang dikeluarkan oleh

pemerintah daerah. Perhatian pemerintah Kabupaten Blora dalam mendukung hutan kayu

rakyat dituangkan dalam Perda Nomor 18/2011 tentang RTRWK Kabupaten Blora.

Dukungan tersebut memberikan implikasi meningkatnya jumlah luasan hutan rakyat dari

tahun ke tahun (Gambar 3). Peningkatan luas hutan rakyat memberikan kontribusi positif

bagi upaya rehabilitasi lahan khususnya yang dilakukan di Kabupaten Blora. Selain

berkontribusi bagi aspek ekologi, hutan rakyat di Blora juga memberi manfaat ekonomi baik

di level rumahtangga petani hingga level kabupaten. Hutan rakyat di Blora memberikan

kontribusi kepada pemerintah daerah, sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Kontribusi hutan rakyat untuk PAD berasal dari ijin tebang dan ijin angkut. Berdasarkan

data Dinas Kehutanan Kab. Blora pada periode 2006–2010, total PAD dari hutan rakyat

adalah Rp 1.481.239.999,00 Pada tahun 2011, jumlah perhitungan volume kayu hutan

rakyat di Kabupaten Blora, yang dihitung dari jumlah ijin tebang adalah sebanyak 17.172

pohon atau sekitar 3.273.552 meter kubik.

Dipilih dua lokasi penelitian di Kabupaten Blora yaitu Desa Plantungan dan Desa Kutukan.

Keduanya memiliki karakteristik pengelolaan hutan rakyat yang berbeda. Di Desa

Plantungan, pada mulanya Hutan Rakyat dibangun dan dikembangkan atas bantuan Dinas

Kehutanan dalam rangka program penghijauan pekarangan dan lahan–lahan

(ladang/tegalan) milik masyarakat (petani hutan). Pada saat ini (2012) tanaman hutan rakyat

yang utama adalah pohon jati yang ditanam sekitar tahun 1997. Pada saat itu Dinas

Kehutanan memberikan bantuan pembangunan tanaman jati kepada masyarakat berupa

Page 13: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

bibit, upah penanaman, serta bantuan pupuk. Dari hutan rakyat, petani merasa mendapat

keuntungan ekonomi. Oleh karenanya pada saat ini mereka mengembangkan usahatani

kayu sendiri di lahan-lahan pekarangan atau tegalan (ladang).

Sumber: Statistik Kehutanan Jawa Tengah, 2009

Gambar 3. Perkembangan luas hutan rakyat di Kabupaten Blora

Hutan rakyat di Desa Plantungan dilembagakan dalam satu gabungan kelompok tani hutan

(Gapoktanhut) yang terdiri dari 3 kecamatan dan mencakup 8 desa, yakni Kecamatan Blora

terdiri atas 4 desa: Desa Plantungan, Tempuran, Sendangharjo dan Ngampel; Kecamatan

Jepon terdiri atas 3 desa: Desa Jatirejo, Soko, dan Waru; dan Kecamatan Bogorejo terdiri

atas 1 desa, yakni Desa Jurangjero. Proses pendampingan hutan rakyat melewati proses

yang relatif panjang sejak tahun 2008. Pada saat itu Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI)

melakukan pendampingan program Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) untuk proses

sertifikasi hutan rakyat. Tatanan yang telah dibangun oleh LEI dilanjutkan

pengembangannya oleh lembaga ARuPA (sebuah LSM dari Yogyakarta). Secara resmi

Gapoktanhut Jati Mustika didirikan pada tanggal 3 Maret 2011, dan dilembagakan secara

notaris pada tanggal 23 Juni 2011. Proses pendampingan yang dikembangkan ARuPA

adalah untuk proses sertifikasi SVLK2.

Kelembagaan Jati Mustika di Desa Plantungan hingga saat ini masih belum menerapkan

sistem pengaturan hasil atau pengaturan jatah tebang tahunan untuk tiap desa dan petani

2 SVLK atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No: P.68/Menhut – II/2011 adalah surat keterangan yang diberikan kepada pemegang izin, pemegang hak pengelolaan, atau pemiliki hutan hak yang menyatakan bahwa pemegang izin, pemegang hak pengelolaan, atau pemilik hutan hak telah memenuhi standar legalitas kayu.

Page 14: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

anggota. Rencana pemanenan kayu masih menjadi keputusan masing-masing petani

anggota sesuai kebutuhan dan belum diatur dalam satu unit manajemen. Kegiatan

inventarisasi dan pemetaan hutan rakyat (untuk rencana pengelolaan mikro) belum ada

realisasi. Aturan yang telah ditetapkan baru tentang penetapan harga kayu rakyat, dimana

harga ketetapan kelompok adalah Rp 2,7 juta/m3 (harga tebangan) dalam bentuk sortimen

A1 dan A2. Pada prakteknya, ukuran sortimen A1–A2 adalah kayu yang memiliki ukuran

“lilit” atau ukuran keliling batang kurang dari 110 cm.

Berbeda dengan Desa Plantungan, perkembangan hutan rakyat di Desa Kutukan berawal

setelah terjadi penjarahan besar-besaran terhadap hutan-hutan negara oleh masyarakat.

Pandangan masyarakat yang menganggap bahwa hutan negara telah mampu mensuplai

kebutuhan mereka akan kayu menyebabkan kasus pencurian dan penjarahan di hutan

negara tinggi. Dampak penjarahan yang merugikan masyarakat menjadikan mereka sadar

akan manfaat hutan. Dampak penjarahan yang dimaksud antara lain musibah longsor dan

kekurangan air yang sempat terjadi di Desa Plantungan. Saat ini di tingkat Desa Kutukan,

hutan rakyat dikelola dalam satuan KTHR (Kelompok Tani Hutan Rakyat). Petani kayu di

Desa Kutukan tergabung dalam KTHR Sidodadi yang merupakan gabungan dari dua dukuh

(pedukuhan). Sedangkan organisasi manajemen bisnis kayu di tingkat Desa Kutukan belum

terbentuk.

Sejak 2003 hampir seluruh masyarakat Desa Kutukan menyadari pentingnya menanam dan

memelihara jati di lahannya sendiri. Mereka menanam secara swadaya dengan bibit sendiri

atau mencabut anakan jati dari dalam kawasan hutan, maupun melalui program pemerintah.

Pada saat ini, tahun 2012, jati yang ditanam melalui program Gerakan Nasional Rehabilitasi

Hutan dan Lahan (GERHAN) pada tahun 2003 seluas 55 ha, secara fisik hampir seragam.

Jumlah pohon yang ditanam melalui program GERHAN pada saat itu sebanyak 19.150

batang jati, dan tanaman MPTS (Multi Purpose Tree Species) yakni nangka, sukun, dan

kemiri masing-masing sebanyak 2.750 batang. Selanjutnya, tahun 2011 penanaman jati

melalui proyek GERHAN pada lahan seluas 25 ha sebanyak 9.000 batang jati dan MPTS

sebanyak 1.000 batang. Hutan rakyat di Desa Kutukan dapat memberikan kemakmuran

anggota KTHR jika penanaman dilakukan dengan benar. Dari pohon jati, tiap rumah tangga

tidak lagi membeli kayu bakar, bahkan tidak lagi membeli kayu untuk bahan bangunan

rumahnya sendiri. Kondisi seperti itu mereka anggap sudah cukup memakmurkan anggota

KTHR.

Page 15: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

3.1.1. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) Blora

Kabupaten Blora dengan luas wilayah 1820,59 Km², terbesar penggunaan arealnya adalah

sebagai hutan yang meliputi hutan negara dan hutan rakyat, yakni 49,66 %, tanah sawah

25,38 % dan sisanya digunakan sebagai pekarangan, tegalan, waduk, perkebunan rakyat

dan lain-lain yakni 24,96 % dari seluruh penggunaan lahan. Kewenangan untuk kawasan

hutan negara berada di Tupoksi Perhutani. Sedangkan kewenangan untuk kawasan hutan

rakyat merupakan tupoksi Dinas Kehutanan Blora. Di Kabupetan Blora, secara legal

masyarakat memiliki akses terhadap kawasan hutan negara melalui program PHBM. KPH

(Kesatuan Pengelolaan Hutan) Randublatung menggunakan pendekatan hutan pangkuan di

setiap desa PHBM3.

Desa-desa sekitar hutan memiliki wilayah hutan pangkuan dengan luasan tertentu. Kawasan

hutan KPH Randublatung terdiri atas 34 desa pangkuan dan dibagi menjadi 34 wilayah

pangkuan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Sebanyak 32 desa masuk ke wilayah

Kabupaten Blora dan 2 desa masuk ke wilayah Kabupaten Grobogan. Masing-masing

LMDH memiliki wewenang untuk menjaga keamanan wilayah hutan pangkuannya.

Dikarenakan peran masyarakat menjaga keamanan, mereka mendapat insentif dalam

bentuk bagi hasil maksimal 25% dari keuntungan bersih tahunan dari kayu yang ditebang.

Namun nilai profit sharing produksi tersebut diterima dan masuk ke LMDH, bukan untuk

perorangan. Nilai profit sharing diperoleh jika ada keterlibatan masyarakat dalam PHBM

dengan ketentuan yang diatur pihak Perhutani. Dananya digunakan untuk membangun

infrastruktur desa.

Pada dasarnya di Kabupaten Blora domain hutan rakyat berada di Dinas Kehutanan.

Khususnya di Randublatung, Perhutani melalui KPH Randublatung bekerjasama dengan

Dinas Kehutanan dalam membina petani-petani yang mengelola hutan jati yang berada di

luar kawasan hutan negara, salah satunya adalah membina KTHR di Desa Kutukan. Hutan

rakyat yang dikerjasamakan pembinaannya dengan Perhutani di wilayah Randublatung

adalah seluas 250 ha, termasuk KTHR di Desa Kutukan. Kewenangan Dinas Kehutanan

Kabupaten Blora terbagi dua: (1) kewenangan di luar kawasan hutan (kewenangannya di

hutan rakyat), karena kawasan hutan negara sepenuhnya di bawah manajemen Perhutani;

3 Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 682 tahun 2009 tentang PHBM pasal 1 disebutkan bahwa

“Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah suatu sistem pengelolaan

sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dan atau

Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa

berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya

hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional“.

Page 16: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

dan (2) kewenangan untuk membantu Pemerintah Pusat dalam hal perhitungan provisi

sumberdaya hutan.

Berdasarkan penuturan pesanggem4 di Desa kutukan, program PHBM di Desa Kutukan

sudah berjalan selama 8 periode, setiap periode berlangsung selama 2 tahun, dan setiap 2

tahun para pesanggem berpindah lahan garapan mengikuti kegiatan penanaman di

Perhutani. Sejak tahun 2010 sudah tidak ada lagi kegiatan produksi di hutan negara di

wilayah pangkuan Desa Kutukan, dan menurut mereka tahun 2010 adalah tahun penutupan

untuk pesanggem. Akses mereka untuk menggarap lahan pun bergeser ke blok/petak

produksi lainnya yang menurut mereka sudah sangat jauh jaraknya dari desa. Para

pesanggem (terutama golongan tua) sebagian besar berhenti menjadi pesanggem karena

mereka berpikir sudah tidak menguntungkan lagi. Nilai pengorbanan yang dikeluarkan lebih

besar dibandingkan pendapatannya dari palawija yang mereka garap di lahan Perhutani,

karena lahannya dinilai terlalu kritis, tanahnya tidak gembur, dan tidak mendapat bantuan

bibit. Masyarakat Desa Kutukan seperti merasa kehilangan akses terhadap hutan, karena

tanah garapannya berkurang, tinggal lahan-lahan tegalan dan pekarangan di desa.

Di Desa Kutukan ada lima dukuh, yaitu Dukuh Kutukan, Dukuh Turi, Dukuh Peting, Dukuh

Bladeg, dan Dukuh Gedang Becici. Hanya 1 dukuh yang masuk wilayah KPH Randublatung,

yakni Dukuh Peting, yang lainnya masuk ke KPH Cepu. Namun ada kesepakatan antara

KPH Cepu dengan KPH Randublatung bahwa LMDH Kutukan yang membina adalah KPH

Randublatung. Desa Kutukan masuk dalam pangkuan LMDH Sinar Harapan dengan

implementasi meliputi: pencapaian desa pangkuan; pemanfaatan lahan; tumpangsari

(penanaman padi, jagung, kedelai, kacang tanah dan singkong); dan keamanan hutan.

Hasil penelitian di Kabupaten Blora memberikan kesimpulan beberapa manfaat PHBM

adalah (1) dari aspek ekonomi: dari PHBM mendapat sharing/bagi hasil, hasilnya bisa

dimanfaatkan oleh masyarakat dan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (2) dari

aspek organisasi: PHBM bermanfaat untuk mengelola kelompok tani hutan rakyat, berguna

baik bagi petani dan kelompok; (3) dari aspek pertanian: adanya PHBM mempermudah

memperoleh pupuk/bantuan, dapat mengelola tanaman semusim (komoditas pangan yang

ditanam oleh petani, misalnya palawija atau hortikultura ) di lahan tegakan jati; (4) PHBM

juga dapat dikatakan sebagai pendekatan dalam pelestarian hutan.

4 Petani penggarap lahan

Page 17: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

3.1.2. Kebijakan Terkait Hutan Rakyat Kabupaten Blora

Di Kabupaten Blora terdapat beberapa peraturan terkait dengan hutan kayu rakyat yaitu: 1)

Perda Nomor 18/2011 tentang RTRWK Blora Tahun 2011–2031 dengan target kebijakan

memberlakukan SVLK pada tahun 2012; 2) Perda Nomor 1 Tahun 1997 tentang Rencana

Detail Tata Ruang (RDTR) Ibukota Kecamatan Randublatung; 3) Perda Nomor 4 Tahun

2011 tentang Pengelolaan Hutan Hak dan Penatausahaan Hasil Hutan (5 Januari 2011); 4)

Perda Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (5

Januari 2011); 5) Rancangan Perda pengelolaan kawasan lindung (2012) berdasarkan

keputusan DPRD Kab. Blora Nomor 171.2/132/2012 tentang program legislasi daerah

(Prolegda) Kab. Blora Tahun Anggaran 2012; 6) P.51/Menhut-II/2006 jis P.62/ Menhut-

II/2006 jis P.33/Men-hut-II /2007 tentang Penggunaan Surat K-terangan Asal Usul (SKAU)

untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak.

Perda Nomor 18/2011 tentang RTRWK Blora Tahun 2011–2031 memperlihatkan peran

pemerintah dalam hal pengembangan perkayuan. Secara makro, Pemda Kab. Blora telah

menata pola ruang wilayahnya dengan memberikan ruang untuk kawasan hutan produksi

(yang dikelola Perhutani) dan kawasan hutan rakyat (yang dikelola atas dasar lahan milik).

Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Blora saat ini sedang memprioritaskan

pengembangan kayu rakyat melalui (1) pengaturan ijin tebang, (2) mendorong Pengelolaan

Hutan Bersama Masyarakat Lestari (PHBML), dan (3) mendorong program SVLK Hutan

Rakyat. Khusus di Desa Plantungan dan sekitarnya, Dinas kehutanan Kabupaten Blora

sedang memfasilitasi Gapoktanhut Jati Mustika untuk memiliki kemitraan dengan industri

kayu yang sudah bersertifikasi SVLK.

Implikasi kebijakan tersebut terhadap peran Pemerintah Daerah Kabupaten Blora adalah

(1) memfasilitasi ditanda tanganinya MoU antara Gapoktanhut Jati Mustika dan PT. Java

Furni Lestari di Yogyakarta untuk skema supply–demand kayu rakyat. Untuk saat ini di

dalam kesepakatannya, Blora masih memasok ke PT. Java Furni Lestari Yogyakarta dalam

bentuk kayu bulat jati rakyat. Untuk masa mendatang jika Blora sudah siap dengan

infrastruktur, Blora akan memasok PT. Java Furni Lestari Yogyakarta dalam bentuk bahan

setengah jadi; (2) memfasilitasi kegiatan inventarisasi Hutan Rakyat di setiap kecamatan

termasuk dalam hal penataan areal hutannya. Kegiatan inventarisasi ini ditargetkan selesai

pada akhir Juni 2012; (3) memfasilitasi pembentukan Pokja untuk persiapan pelaksanaan

PHBML, dikoordinir oleh Dishut Blora dengan anggota lintas sektor (SKPD terkait); dan (4)

Dishut dan Sekda Kab. Blora telah menyepakati pembentukan lembaga ekonomi untuk

pengembangan hutan rakyat. Bentuk lembaga ekonomi yang dimaksud adalah koperasi

Page 18: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

yang saat ini sudah memiliki AD/ART serta tinggal menunggu pengesahan dari Dinas

Perindustrian dan Perdagangan.

Berbagai pengembangan kebijakan pengelolaan hutan kayu rakyat tersebut masih

bersandar pada pendanaan di tingkat daerah dan masih terkendala dengan fenomena

tebang butuh di kalangan petani kayu. Banyak petani hutan rakyat yang menjual sebelum

masak. Jika tebang butuh masih menjadi budaya masyarakat tani hutan maka konsep

supply–demand yang telah dirancang tidak bisa lestari. Persoalan tebang butuh belum ada

solusinya. Menurut Dinas Kehutanan Kabupaten Blora solusi yang bisa dilaksanakan adalah

Kementerian Kehutanan sebaiknya membuat skema pinjaman lunak untuk petani hutan

rakyat untuk pengelolaan hutan rakyat.

3.1.3. Penguatan Pengelolaan Hutan Rakyat Kabupaten Blora

Perkembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Blora berdasarkan pengalaman di

Desa Plantungan dan Desa Kutukan menunjukkan bahwa hutan rakyat telah memberikan

kontribusi baik bagi perbaikan ekologi maupun ekonomi. Dari sisi politik ekologi, arah

perbaikan ekologi dan ekonomi tersebut diikuti dengan proses sosial antar-aktor yang saling

terkait satu sama lain. Aktor yang dimaksud terdiri dari pesanggem (petani kayu), Dinas

kehutanan, Pemerintah Kabupaten Blora, Perhutani, LSM pembina, dan sektor swasta (PT

Java Furni Lestari). Pesanggem mengorganisir dirinya di KTHR dan Gapoktanhut dibina

oleh LSM. Pada tahap awal pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Blora tujuannya adalah

untuk mensukseskan berbagai gerakan penghijauan yang diinisiasi pemerintah melalui

Dinas Kehutanan.

Adanya hutan rakyat menjadi titik balik kesadaran masyarakat akan arti penting hutan bagi

masyarakat. Kasus penjarahan kayu besar-besaran pada periode 1997-2001 di Desa

Kutukan menjadi pelajaran besar bagi masyarakat dan Perhutani di Kabupaten Blora.

Pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Blora memperlihatkan bahwa masing-masing aktor

yang terkait saling mendukung untuk meningkatkan peranan hutan rakyat. Dukungan terlihat

dari upaya pembinaan baik dari Dinas Kehutanan, Perhutani, dan LSM terhadap petani

kayu, serta rencana pemerintah Kabupaten Blora untuk membuat peraturan daerah terkait

hutan rakyat. Hal ini menunjukkan semangat pemerintah Kabupaten Blora memasukkan

pengelolaan hutan secara lestari yang menjadi pendorong pembangunan daerah yang

ramah lingkungan.

Page 19: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

Dalam memasukkan pengelolaan hutan rakyat, pemerintah juga telah merancang agar

prosesnya melibatkan pihak swasta. Rantai pemasaran kayu dikerjasamakan dengan

swasta (PT Furni Java Lestari) diharapkan akan mendukung eksistensi penjualan kayu dari

petani ke industri. Kondisi pengelolaan hutan, kerjasama aktor, serta penerbitan kebijakan

pengelolaan hutan menjadi faktor keberlanjutan hutan rakyat. Imbasnya adalah peningkatan

luasan hutan serta peningkatan sumber pendapatan petani. Pada akhirnya hal ini

menguatkan perkembangan pemerintah di daerah. Meskipun demikian, ada hal yang perlu

diperhatikan dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Blora, yaitu aktifitas tebang

butuh yang dilakukan oleh petani. Tebang butuh ini yang perlu diperhatikan dan menjadi

dasar pengembangan peraturan dan kelembagaan pengelolaan hutan yang menguatkan

masyarakat dan pemerintah Kabupaten Blora.

3.2. Teladan Wonogiri

Kabupaten Wonogiri merupakan salah satu penghasil kayu rakyat dengan produksi kayu

tiap tahunnya kurang lebih 150.000 m3. Hutan rakyat yang ada di Kabupaten Wonogiri

sampai sekarang menunjukkan perkembangan yang cukup bagus dari hasil kayu dan

kondisi lingkungan. Hal tersebut disebabkan angka luasan hutan rakyat yang terus

meningkat dari tahun ke tahun di Kabupetan Wonogiri (Gambar 4).

Sumber: Statistik Kehutanan Jawa Tengah, 2009

Gambar 4. Perkembangan luas hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri

Page 20: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

Dampak yang dirasakan oleh masyarakat akibat peningkatan luasan hutan rakyat di

Kabupetan Wonogiri bermacam-macam. Misalnya di Kecamatan Giriwoyo, sebelum ada

hutan rakyat petani mengalami kesusahan air baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun air

untuk kebutuhan irigasi sawah. Saat ini petani sudah memperoleh air dengan lebih mudah

dan mampu mendukung aktifitas pertanian yang menjadi mata pencaharian utama mereka.

Kondisi lingkungan di Kecamatan Giriwoyo juga menjadi lebih asri dan sejuk. Dampak lain

yang ditimbulkan dengan keberadaan hutan rakyat ini adalah banyaknya hewan yang

dulunya jarang ditemui sekarang telah banyak seperti; babi hutan, kijang, landak, dan

berbagai macam jenis burung. Hewan-hewan tersebut menemukan habitatnya kembali,

akan tetapi hewan-hewan ini dianggap sebagai hama oleh petani karena seringkali

menyerang tanaman dan merusaknya.

Di Kecamatan Giriwoyo terdapat 2 kelurahan dan 14 desa yang sebagian besar

masyarakatnya mengelola hutan rakyat. Terdapat satu kelurahan (Kelurahan Tirtosworo)

dengan tiga desanya (Desa Sajati, Desa Girikikis, Desa Guotirto) yang telah memperoleh

sertifikasi dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) mulai tahun 2004. Dengan adanya

sertifikasi ini diharapkan dapat mengatur pola tebang yang dilakukan oleh petani, supaya

hutan rakyat yang ada di Kecamatan Giriwoyo mampu lestari, baik lestari pengelolaan

maupun hasilnya.

Pada dasarnya masyarakat di Kabupaten Wonogiri memiliki kesadaran yang tinggi dalam

melakukan penanaman tanaman dari kehutanan, lahan-lahan masyarakat baik yang berada

di tegalan ataupun di wono5 banyak ditumbuhi pohon-pohon seperti Jati, Mahoni dan

Akasia. Keberhasilan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri juga didukung oleh

adanya kegiatan-kegiatan dari Dinas kehutanan, yaitu pembuatan terasering, penghijauan,

GERHAN, dan Kebun Bibit Rakyat (KBR). Masyarakat sudah merasakan manfaat yang

dihasilkan dari kayu rakyat, walaupun yang mendapatkan bagian yang lebih banyak adalah

para pedagangnya. Pohon yang ditanam oleh masyarakat dijadikan sebagai investasi

jangka panjang, seperti untuk membiayai anak ketika masuk sekolah, membiayai anak untuk

pernikahan dan hajatan-hajatan lainnya yang membutuhkan biaya cukup besar.

Kelembagaan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri terbentuk dengan adanya

kegiatan penyuluhan pertanian dari pemerintah dan adanya kelompok tani. Dengan adanya

perkembangan hutan rakyat kelompok tani tersebut sekaligus sebagai kelompok tani hutan

rakyat (KTHR). Pada saat proses persiapan sertifikasi hutan rakyat kelompok petani

menjadi Komunitas Petani Sertifikasi (KPS) berkedudukan di masing-masing dusun

5 Penyebutan hutan di Wonogori

Page 21: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

kemudian tergabung dalam Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FPKS) yang terdapat di

tingkat desa atau kelurahan. KPS sebagai sarana yang digunakan oleh masyarakat untuk

saling bertukar informasi dan pengalaman berkaitan dengan hutan rakyat. Tugas FPKS

dalam melakukan pengawasan dan mengkoordinasikan KPS-KPS serta menyelesaikan

persoalan yang timbul antar KPS. Sedangkan KPS bertugas membuat peta lahan/hutan,

membuat dokumen aturan kelola hutan, dan menghitung potensi kayu. Unit usaha dari

FPKS disebut TPKS (Tempat Pengelolaan Kayu Sertifikasi) yang bertugas dan

bertanggungjawab mengelola tata niaga kayu sertifikasi. Namun kenyataannya, TPKS di

Kabupaten Wonogiri tidak berjalan.

3.2.1. Kebijakan Terkait Hutan Rakyat Kabupaten Wonogiri

Peraturan yang berkaitan dengan peredaran kayu rakyat di Kabupaten Wonogiri antara lain:

1) P.51/Menhut-II/2006 jis P.62/ Menhut-II/2006 jis P.33/Men-hut-II /2007 tentang

Penggunaan Surat K-terangan Asal Usul (SKAU) untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang

berasal dari hutan hak; 2) Surat keputusan Bupati Wonogiri Nomor 161 Tahun 2006 tanggal

29 Maret 2006 tentang Tata Cara pemberian Ijin Menebang Pohon Milik Rakyat; 3)

Peraturan Bupati Wonogiri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Keputusan Bupati

Wonogiri Nomor 425 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah

Kabupaten Wonogiri Nomor 13 Tahun 2002 tentang Retribusi Ijin pengangkutan Kayu

Rakyat di kabupaten Wonogiri; 4) Surat Bupati Wonogiri Nomor 522.4/1891 tanggal 16 April

2007 perihal Pengendalian Penebangan dan Peredaran Kayu; 5) Surat Bupati Wonogiri

Nomor 522.4/3825 tanggal 29 Mei 2009 perihal Pembentukan Tim Pelayanan Izin

Menebang Pohon Milik Rakyat Tingkat Kecamatan.

Kebijakan pengelolaan hutan kayu rakyat di Kabupaten Wonogiri sudah relatif baik dengan

bersandar pada pendanaan daerah. Meskipun demikian masih ada persoalan yang dihadapi

terutama terkait dengan sertifikasi. Masyarakat belum begitu merasakan dampak dari

penerapan sertifikasi dan cenderung kecewa karena harga yang dijanjikan dengan label

sertifikasi tidak terealisasi. Sosialisasi tentang sertifikasi dilakukan dengan memberikan

gambaran harga kayu setelah disertifikasi, tentunya dengan kategorisasi mutu kayu, namun

harga yang diperoleh petani belum sesuai karena kayu yang diharapkan belum semuanya

memenuhi standar sertifikasi. Selain itu, proses pemanenan yang sifatnya tebang butuh oleh

petani juga menyebabkan tersendatnya proses penerapan sertifikasi ini.

Page 22: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

3.2.2 Penguatan Pengelolaan Hutan Rakyat Kabupaten Wonogiri

Sertifikasi kayu yang diperoleh sejak tahun 2004 serta adanya peraturan peredaran kayu

merupakan faktor penting bagi penguatan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri.

Namun kekecewaan akan manfaat sertifikasi yang dirasakan tidak maksimal oleh petani

menyebabkan petani mencari solusi sendiri untuk memasarkan kayu. Aktifitas tebang butuh

juga menjadi permasalahan yang mengganggu stabilitas pemasaran kayu yang sudah

ditentukan oleh Pemerintah Kabupaten Wonogiri6. Indikasi tidak berjalannya kelembagaan

TPKS juga menunjukkan bahwa pengelolaan hutan rakyat masih belum maksimal.

Mengingat aktor yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat bukan hanya pemerintah dan

lembaga sertifikasi, maka masalah sertifikasi kayu ini menuntuk banyak pihak untuk saling

menyadari peranannya. Aktor yang berperan dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten

Wonogiri adalah petani kayu, Pemerintah Kabupaten Wonogiri (Dinas Kehutanan),

Perhutani, dan pedagang pengumpul kayu. Menghadapi permasalahan dalam pengelolaan

hutan rakyat, maka perlu dinumbuhkan kesadaran akan perlunya antar aktor saling

bersinergi. Prosesnya pun perlu dilandasi oleh pemahaman tentang tujuan pengelolaan

hutan rakyat tidak hanya untuk memperluas tutupan hutan saja, tetapi juga untuk

kesejahteraan masyarakat dan penguatan pemerintah daerah.

Studi ini menemukan bahwa pengelolaan hutan rakyat yang dapat menguatkan masyarakat

dan pemerintah di daerah perlu dikembangkan dengan dasar sudut pandang pemahaman

dari petani kayu tentang hutan di aras desa. Dengan sudut pandang seperti itu, maka “orang

luar” perlu memahami pengelolaan hutan rakyat dari sisi petani dan bukan sebaliknya. Oleh

karena itu, pengaturan mengenai peredaran kayu hasil hutan rakyat perlu didasarkan pada

manfaat ekonomi dan sosial petani yang berimplikasi pada kegiatan kelestarian ekosistem.

3.3. Teladan Wonosobo

Wonosobo adalah salah satu dari 38 kabupaten yang ada di Propinsi Jawa Tengah dengan

luas lahan 98.500 hektar (3% luas Jawa Tengah). Hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo

merupakan salah satu sentra hutan sengon di Indonesia. Perkembangan hutan rakyat di

Kabupaten Wonosobo muncul karena kesadaran masyarakat akan arti penting hutan bagi

kehidupan baik dari sisi lingkungan maupun ekonomi. Dalam perkembangannya, hutan

6 Penerapan sertifikasi kayu di Kabupaten Wonogori diharapkan menjadi titik tolak dihasilkannya kayu-kayu

yang berkualitas dan mampu menembus pasar ekspor furniture. Setelah mendapatkan sertifikasi ekolabel, kayu

dari hutan rakyat bisa mendapatkan nilai jual yang lebih tinggi serta bisa dipasarkan di Eropa dan Amerika

Serikat dalam bentuk perabot-perabot rumahtangga.

Page 23: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

rakyat di Wonosobo melalui pasang surut pengelolaan maupun jumlah luasannya.

Berdasarkan data statistik kehutanan Jawa Tengah (2009), jumlah luasan hutan rakyat

bersifat fluktuatif. Namun demikian, kondisi kekinian telah kembali menunjukkan

peningkatan luas (Gambar 5).

Sumber: Statistik Kehutanan Jawa Tengah, 2009

Gambar 5. Perkembangan luas hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo

Dua desa yang menjadi lokasi penelitian di Kabupaten adalah Desa Besani (non sertifikasi)

dan Desa Jonggolsari (sertifikasi). Masyarakat Desa Besani dan Jonggolsari mayoritas

menanam pohon jenis sengon (Albizia sp). Jenis pohon lain yang ditanam diantaranya

adalah suren, mahoni, dan jemitri. Jenis sengon menjadi andalan masyarakat untuk ditanam

karena sengon merupakan jenis pohon yang cepat tumbuh (fast growing species) dan

sesuai dengan kondisi tanah di desa tersebut sehingga dapat tumbuh dengan baik.

Desa Jonggolsari merupakan desa yang hutan rakyatnya sudah tersertifikasi pada bulan

November 2011. Petani hutan di desa tersebut tergabung dalam Asosiasi Pemilik Hutan

Rakyat (APHR) JOKOMADU (Jonggol Sari, Kali Mendong, Manggisan, dan Duren Sawit).

Jonggolsari juga merupakan salah satu sentra hutan rakyat terbaik di Wonosobo. Namun

efektifitas sertifikasi SVLK di tingkat petani masih belum dirasakan manfaatnya. Petani

hutan rakyat belum semuanya paham dengan SVLK dan belum merasakan manfaatnya,

terutama manfaat perolehan harga kayu premium yang diharapkan oleh petani. Sedangkan

pengelolaan hutan rakyat di Desa Besani masih dilakukan secara individu oleh masyarakat,

karena sampai saat ini di Desa Besani belum terbentuk koperasi atau kelompok tani yang

menaungi petani hutan rakyat.

Page 24: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

Praktek pengelolaan hutan di Desa Besani dan Desa Jonggolsari sudah terjadi bertahun-

tahun lamanya dan turun-temurun dari nenek moyang mereka. Pohon ditanam dengan

kesadaran sendiri karena mereka tahu bahwa pohon sangat penting bagi kehidupan baik

dari aspek ekonomi, budaya maupun lingkungan. Apabila mereka menebang pohon maka

secara otomatis mereka akan menanamnya kembali tanpa dihimbau sekalipun. Penanaman

pohon dilakukan dengan teknik-teknik sejauh yang mereka ketahui berdasarkan

pengalaman orang tua mereka, ditambah dengan pengetahuan yang diperoleh dari

penyuluhan-penyuluhan pada pertemuan kelompok tani. Bagi petani, meskipun kayu adalah

tanaman yang bernilai tinggi, namun penanamannya masih dalam skala substitensi. Artinya,

mereka menjadikan kayu sebagai komoditas yang bernilai tinggi dan hanya akan ditebang

jika ada kepentingan yang sangat mendesak (tebang butuh). Hanya sebagian kecil saja

yang melakukan pemanenan karena pohon sudah masuk masa tebang. Ada petani yang

menjual kayunya dengan tebang pilih dan ada juga yang dengan tebang habis. Rantai tata

niaga kayu di wilayah Desa Besani dan Desa Jonggolsari masih dipandang efisien dengan

banyaknya industri kayu, karena faktor saling ketergantungan satu sama lain akan

kebutuhan bahan baku kayu. Industri di Kabupaten Wonosobo sangat banyak sehingga

pasarnya merupakan pasar persaingan sempurna.

Lahan yang ditanami oleh pohon sengon adalah tanah milik sehingga sifatnya otonomi.

Beberapa lahan bersinggungan dengan hutan negara yang dikelola oleh Perhutani.

Berdasarkan Data Statistik Kehutanan Tahun 2009, luas hutan negara di Kabupaten

Wonosobo seluas 20.317,49 ha dan hutan rakyat seluas 19.646 ha. Di Kabupaten

Wonosobo belum ada peratuan daerah yang mengatur tentang masalah kayu, masalah tata

usaha kayu langsung diatur dari pusat.

3.3.1. Kebijakan Terkait Hutan Rakyat Kabupaten Wonosobo

Pada tahun 2001 pernah muncul Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo tentang

Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat (Perda Kabupaten Wonosobo Nomor

22 Tahun 2001). Namun pada Bulan Oktober 2002, Depdagri meminta Pemda Wonosobo

untuk menghentikan pelaksanaan Perda tersebut dengan alasan bertentangan dengan

peraturan di atasnya. Kemunculan permintaan dari Mendagri ini didahului akibat dari surat

Menteri Kehutanan yang menghendaki Depdagri mencabut perda Wonosobo tersebut.

Perum Perhutani juga merasa keberatan terhadap Perda No. 22 Tahun 2001 tentang

PSDHBM maka mekanisme yang ditempuh Perhutani adalah mengajukan Judicial Review

ke Mahkamah Agung. Pasalnya Perum Perhutani sudah memiliki kebijakan sendiri yang

Page 25: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

mengatur akses masyarakat terhadap hutan negara melalui Pengelolaan Hutan Bersama

Masyarakat atau PHBM (SK Direksi Perum Perhutani No 136/KPTS/DIR/2001). Pemerinta

Propinsi Jawa Tengah juga mengeluarkan kebijakan yang sama tentang PHBM melalui SK

Gubernur No 24 Tahun 2001.

Proses dicabutnya Perda PSDHBM Wonosobo melalui proses yang cukup panjang.

Kebijakan PSDHBM dianggap berporos pada rakyat namun membingungkan banyak pihak

karena aplikasi PHBM versi Perhutani dan PSDHBM versi Pemkab Wonosobo berada di

areal hutan yang sama. Akhirnya Perda PSDHBM resmi dibatalkan dengan terbitnya

Keputusan Mendagri No 9 tahun 2005 pada tanggal 3 Maret 2005. Menurut keputusan

Mendagri tersebut alasan pembatalan Perda PSDHBM adalah bertentangan dengan

Undang-Undang Kehutanan No 41/1999 Pasal 2 Ayat (3) angka 4 huruf a dan Peraturan

Pemerintah tahun 2000, karena yang berwenang menetapkan kawasan hutan negara

termasuk hak hutan dan hutan adat berikut perubahan status dan fungsinya adalah

Pemerintah.

Setelah Perda PSDHBM tersebut dibatalkan, hingga saat ini belum ada lagi peraturan

daerah di Kabupaten Wonosobo yang mengatur tentang pengelolaan hutan. Kebiijakan

yang ada terbatas pada masalah sertifikasi terhadap kayu rakyat melalui Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja

Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau

pada Hutan Hak, dan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.6/VI-

Set/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu. Indikator legalitas kayu adalah ketika tanah yang

dimiliki oleh masyarakat memiliki sertifikat maka kayu yang dijual dianggap legal, karena

petani tidak mungkin dibebani biaya sertifikasi. Meski demikian, masih banyak pihak seperti

Lembaga Swadaya Masyarakat maupun aktor yang peduli terhadap pengelolaan hutan

Wonosobo yang memperjuangkan implementasi PSDHBM yang dianggap lebih berpihak

pada rakyat.

Dalam kaitannya dengan Perhutani, hubungan antara petani dengan Perhutani cenderung

kurang baik. Hal tersebut didasari dengan kondisi yang pernah terjadi pada masa awal

reformasi hingga tahun 2000-an yang menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap

Perhutani berkurang. Berdasarkan keterangan masyarakat, mereka pernah

mengembangkan sistem zebra di perbatasan desa dengan hutan (tanah rakyat dengan

hutan). Tujuan petani membuat sistem zebra tersebut adalah untuk menciptakan wilayah

buffer (peyangga) di Kabupaten Wonosobo. Masyarakat mengusulkan kepada Perhutani

Page 26: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

untuk membuat jalur hijau dengan tanaman yang sudah mereka rinci namun begitu

dilaksanakan oleh Perhutani tidak dirasakan hasilnya. Usulan masyarakat adalah pada area

perbatasan hutan dengan desa sepanjang 3.500 meter bagian selebar 20 meter tidak boleh

digunakan sebagai hutan produksi. Area 20 meter tersebut ditanami dengan pohon

semacam jemitri, durian, atau lainnya yang buahnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat

tanpa harus menebang pohonnya. Model tersebut sudah pernah disampaikan ke Perhutani

Unit I Jawa Tengah sebagai bentuk penyelamatan lahan kritis.

Pada tahun 2002, masyarakat berdebat panjang dengan Perhutani Unit I Jawa Tengah

terkait dengan sistem zebra yang mereka tawarkan. Perhutani berpatokan pada jarak tanam

9 x 4 meter dengan tanaman kelas kayu seperti Mahoni dan Pinus. Menurut masyarakat,

jika rakyat tidak diberikan akses kemakmuran terhadap hutan maka rakyat akan menjadi

benalu bagi hutan dan cenderung merusak hutan. Oleh karenanya, supaya muncul fair play

antara masyarakat dan perhutani, disepakati sistem penanaman 9 meter tanaman Perhutani

dan 6 meter tanaman rakyat apapun jenisnya misalnya kopi atau jahe. Konsekuensi dari

kesepakatan tersebut adalah Perhutani melindungi hak rakyat dan rakyat tidak merusak

tanaman Perhutani. Hal tersebut telah disepakati namun hingga saat ini tidak jelas nasibnya.

Harapan akan pengelolaan hutan lestari di Kabupaten Wonosobo menjadi perhatian banyak

pihak mulai dari pemerintah, LSM, maupun masyarakat. Kerancuan akan alasan

dibatalkannya Perda No 22 Tahun 2001 menyebabkan berbagai pihak terutama dari

sebagian masyarakat di desa-desa sekitar hutan, LSM, dan DPRD Kabupaten Wonosobo

memperjuangkan pengelolaan hutan Wonosobo menuju cita-cita hutan lestari. Beberapa

desa yang telah direncanakan sebagai pilot kegiatan tetap mempertahankan PSDHBM.

Kemudian iklim politik dan pemerintahan di Kabupaten Wonosobo mengalami perubahan.

Suksesi kepemimpinan mengantarkan H. Kholik Arif menjadi Bupati Wonosobo yang

menawarkan babak baru untk memperbaiki kondisi hutan. Berbagai dialog pun digelar lagi

oleh para pihak dan Perhutani. Puncak dari berbagai dialog baru tersebut adalah

penandatanganan Keputusan Bersama antara Kepala Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah

dan Bupati Wonosobo tentang Pengelolaan Sumbedaya Hutan Lestari (PSDHL) di

Kabupaten Wonosobo. Penandatanganan Keputusan Bersama Nomor

2871/0433/Hukamas/I dan Nomor 661/13/2006 itu dilakukan pada tanggal 13 Oktober 2006.

Berdasarkan Suwito7 (2007), ada beberapa kalangan yang meragukan kepastian hukum

PSDHL yang terbangun dari proses kompromi politik tersebut. Dikhawatirkan nasibnya juga

7 Koordinator Eksekutif Working Group on Land and Tenure, tulisannya dipublikasikan di www.wg-tenure.org

Warta Tenure Nomor 4 tahun 2007 yang berjudul PSDHL Kabupaten Wonosobo “Konsensus” antara PSDHBM

dengan PHBM?

Page 27: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

akan rentan seperti Perda PSDHBM yang dibatalkan Mendagri. Bisa saja sewaktu-waktu

Direksi Perum Perhutani memutuskan secara sepihak karena Unit I Perum Perhutani harus

tunduk pada keputusan Direksi. Namun menurut KPH Kedu Selatan Perum Perhutani,

PSDHL tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip PHBM sehingga tidak ada lasan untuk

membatalkan PSDHL. Tantangan selanjutnya adalah praktek PSDHBL oleh kelembagaan

FHW (Forum Hutan Wonosobo) sebagai unsur kelembagaan multipihak PSDHL. Keputusan

bersama memberikan peran terhadap FHW untuk mengimplementasikan PSDHL dengan

mengedepankan semangat berbagi peran, fungsi dan tanggungjawab Para Pihak.

3.3.2. Arah Penguatan Pengelolaah Hutan Rakyat Kabupaten Wonosobo

Studi mengidentifikasi, bahwa banyak pihak di Kabupaten Wonosobo mengharapkan

pengelolaan hutan rakyat yang lestari. Sampai saat ini dinyatakan tokoh-tokoh masyarakat

belum ada pengaturan pengelolaan hutan rakyat oleh pemerintah daerah. Hal ini bersamaan

dengan perkembangan berbagai kebijakan tentang PHBM menyebabkan petani berada

dalam posisi tawar yang rendah. Kondisi ini menyebabkan pengelolaan hutan rakyat belum

menjadi pendukung pembangunan daerah. Apabila hal ini terus terjadi, maka akan

berdampak buruk baik terhadap keberlanjutan pengelolaan hutan maupun terhadap

pembangunan daerah yang ramah lingkungan di Kabupaten Wonosobo.

Aktor yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo hakekatnya

telah melibatkan multi pihak mulai dari petani, pemerintah (Dinas Kehutanan), LSM,

pedagang pengumpul, Perhutani, hingga pelaku industri perkayuan. Dari sudut pandang

petani sebagaimana di dua lokasi studi lain bahwa pengelolaan hutan rakyat adalah bagian

dari tradisi menanam kayu di lahan kering/pekarangan yang sudah turun-temurun. Kegiatan

ini berkembang selanjutnya karena berkaitan dengan program penghijauan dari pemerintah.

Melihat kondisi luasan hutan rakyat di Wonosobo yang saat ini sudah menunjukkan

peningkatan. Namun, petani masih merasa belum mendapat perhatian yang cukup dari

pemerintah. Bahkan, ada potensi konflik akibat perbedaan pemahaman pengelolaan hutan

di Kabupaten Wonosobo. Oleh karenanya, kebijakan dan pengembangan kelembagaan

pengelolaan hutan rakyat agar menjadi pendukung penguatan pembangunan daerah sering

diwarnai oleh tarik-menarik kepentingan antar aktor. Sampai saat ini belum ada

kelembagaan yang dapat menjembatani dan mendukung kebijakan pengelolaan hutan

rakyat yang mengakomodir kepentingan berbagai pihak.

Page 28: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

4. PENUTUP DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di atas, dihasilkan beberapa kesimpulan yang

menjadi muara dari kajian ini. Perkembangan hutan kayu rakyat telah berdampak tidak saja

pada kondisi ekonomi sosial masyarakat dan ekosistem daerah tetapi juga berdampak pada

tata-kelola pembangunan daerah. Teladan di tiga kabupaten (Blora, Wonogiri, dan

Wonosobo), memperlihatkan bahwa pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya telah

memperkuat pembangunan kehutanan di aras desa yang sinergi dengan pembangunan

sektoral yang memperhatikan dimensi pengembangan kawasan. Meskipun demikian,

berbagai kebijakan di tingkat daerah yang telah dikeluarkan untuk mendukung pengelolaan

hutan rakyat belum menunjukkan kondisi ideal yang menjadikan pengelolaan hutan rakyat

sebagai pendukung penguatan pembangunan daerah ramah lingkungan.

Penguatan pengelolaan hutan rakyat dalam konteks pembangunan daerah masih

memerlukan proses perumusan kebijakan formal. Proses perumusan kebijakan formal ini

tidak hanya bersandar pada kacamata kepentingan orang luar terhadap hutan kayu rakyat,

tetapi perlu mensinergikan berbagai kepentingan yang mampu terangkum dalam satu

kebijakan dan diformalkan di tingkat daerah. Upaya formalisasi kebijakan yang saat ini

terjadi masih bersandar pada pengelolaan kebijakan yang bersandar pada pendanaan

pembangunan dari pemerintah. Sampai saat ini pemikiran pengelolaan hutan rakyat belum

bersambungan antara pemikiran “orang luar” dengan petani. Akibatnya petani tetap

mengembangkan hutan di tanahnya sendiri dengan jalannya sendiri. Perumusan kebijakan

formal dengan menjembatani kepentingan petani dan orang luar dalam kerangka

pengelolaan hutan kayu rakyat sifatnya saling melengkapi dari hulu hingga hilir. Kebijakan-

kebijakan yang telah diterbitkan di tingkat daerah belum berhasil seluruhnya dalam

mengakomodasikan kepentingan produsen hutan kayu rakyat yang masih mengembangkan

sistem tebang butuh dalam pengelolaan hutan. Kondisi ini mensyaratkan kebijakan

teknologis sepatutnya dikembangkan dengan mempertimbangkan sistem yang hidup di

masyarakat seperti sistem tebang butuh yang dijadikan dasar pengelolaan hutan rakyat.

Penguatan pengelolaan hutan rakyat di Jawa perlu dilaksanakan dengan menggunakan

pendekatan budaya yang mengutamakan tindakan kolektif bukan persaingan. Artinya,

berbagai pihak yang memiliki kepentingan dan kepedulian untuk mengembangkan

pengelolaan hutan rakyat menghindari aksi sektoral, tetapi mendorong inisiatif tindakan

tindakan bersama yang saling bersinergi untuk menguatkan pembangunan daerah.

Tindakan sinergi yang dimaksud paling tidak memadukan bidang dan aktor kunci pelaksana

Page 29: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

pembangunan daerah yaitu, pembangunan sektoral dan pengembangan wilayah oleh

pemerintah daerah/kabupaten, pelibatan kelompok-kelompok strategis di masyarakat

termasuk LSM, penggerak bisnis khususnya bisnis hijau, dan penguatan inisiasi komunitas.

Sinergi tersebut diharapkan dilaksanakan oleh dinas yang menggerakkan pengelolaan

hutan yang tidak terpisahkan dengan kerjasama antar sektor di tingkat pemerintahan

daerah.

Kebijakan formal untuk memperkuat kelembagaan hutan kayu rakyat perlu dibangun melalui

proses belajar bersama antar pihak tentang pengelolaan hutan rakyat dalam satuan

kelompok/komunitas desa. Proses ini perlu membawa misi untuk memfasilitasi kepentingan

produsen hutan kayu rakyat bersama “orang luar” untuk melacak bentuk pengelolaan hutan

kayu rakyat mulai dari proses penanaman, perawatan, pemanenan, hingga distribusi dan

pemasaran yang adaptif dengan kondisi masing-masing daerah. Bahkan, proses ini perlu

dikuatkan melalui kerjasama antar desa dengan prinsip pemberdayaan masyarakat.

Penguatan kerjasama antar desa ini pun perlu dikaitkan dengan kerjasama kreatif dengan

beragam pihak (pemerintah, swasta, lembaga non-pemerintah, dan kelompok-kelompok

masyarakat strategis) dari “atas desa”. Keseluruhan proses itu juga perlu ditujukan untuk

mewujudkan kawasan hutan kayu rakyat yang dikelola dengan prinsip adil, partisipatif,

menyeluruh, keseimbangan, keanekaragaman, keterkaitan ekologis, sinergis, dan

keberpihakan. Dengan demikian diharapkan dapat terwujud pengelolaan hutan rakyat yang

lestari dan mendukung pembangunan daerah yang ramah lingkungan.

Terdapat dua titik masuk yang dapat dilakukan untuk mewujudkan kerjasama saling

bersinergi dalam pengelolaan hutan rakyat untuk pembnagunan daerah yang ramah

lingkungan. Pertama, dengan menunjuk dinas yang bergerak dalam pengelolaan hutan

untuk bekerjasama dengan Bappeda dan dinas lainnya. Kedua, dapat juga menjadikan

Bappeda langsung sebagai pintu masuk menguatkan dinas yang bergerak dalam

pengelolaan hutan untuk bekerjasama dengan dinas-dinas lain. Kedua pola tersebut sama-

sama menguatkan kelembagaan dan kebijakan pengelolaan hutan rakyat dalam konteks

mewujudkan pembangunan daerah yang ramah lingkungan.

Dua pendekatan tersebut perlu diarahkan untuk mengembangkan sebuah kelompok kerja

dengan mandat dari Bupati. Kelompok kerja ini terdiri dari: 1) Sebuah komite terdiri dari

OPD kunci termasuk pejabat pimpinannya-ex officio, dan juga akan diperluas ke lembaga-

lembaga lain (Academician, Business, Community /Local NGO---ABC); 2) Tim Teknis

sebagai penggiat kelompok kerja. Tim teknis berisi personal tetap dari lingkungan

Page 30: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

pemerintah daerah, dan juga akan diperluas ke lembaga-lembaga lain (ABC). Tugas dari

kelompok kerja adalah mendesain, melaksanakan, memantau proses pembelajaran sosial

dalam pengelolaan hutan rakyat dan sistem pendanaan yang mensinergikan berbagai

sumber pendanaan baik dari APBN/APBD, dana CSR, maupun dana internasional yang

ditujukan untuk penguatan pengelolaan hutan rakyat. Kelompok kerja ini juga perlu memberi

masukan bentuk pengelolaan hutan rakyat yang memperkaya kebijakan-kebijakan

pembangunan daerah yang telah ada.

Berdasarkan diskusi multistakehoder yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan swasta

di tiga kabupaten (Blora, Wonogiri, dan Wonosobo), pengelolaan hutan kayu rakyat dalam

skala desa perlu dikerjasamakan antar desa dalam satu kawasan. Hal ini dimaksudkan

untuk mengembangkan skala produksi dan distribusi kayu rakyat, dimana antar desa bisa

saling mengisi dan berkontribusi bagi pembangunan daerah yang berkelanjutan. Desa-desa

dalam satu kawasan yang memiliki hutan kayu rakyat dikerjasamakan dalam konteks

kemiripan sumberdaya (kayu) yang berfungsi mensuplai bahan baku bagi kebutuhan

industri. Kerjasama antardesa dalam satu kawasan ini memberikan peluang bagi petani

kayu, pemerintah, dan juga swasta bisa sama-sama terlibat dalam proses pengelolaan

hutan kayu rakyat.

Kerjasama petani kayu dalam satu kawasan bisa dijembatani melalui kelompok/asosiasi

petani hutan kayu rakyat. Kerjasama petani ini memungkinkan ketersediaan kayu dalam

skala yang lebih mencukupi bagi industri dibandingkan apabila petani berjalan sendiri-

sendiri. Adapun dalam segi praktek silvikultur pengelolaan hutan kayu rakyat yang ditanam

di tanah milik petani, Dinas Kehutanan memiliki andil untuk membina petani kayu. Kemudian

proses distribusi dikerjasamakan dengan Perhutani untuk menyalurkan ke industri-industri

kayu di daerah tersebut. Misalnya, selain digunakan untuk memproduksi furniture, produk

hutan kayu rakyat bisa dikembangkan sebagai produk bio energi sehingga memiliki nilai

tambah, misalnya arang kayu yang bisa disalurkan ke perusahaan pembangkit tenaga listrik.

Industri ini bisa berkembang dalam skala kerjasama petani di kawasan atau pun dengan

memanfaatkan industri yang telah ada. Oleh karenanya, dalam konteks pembangunan

daerah yang ramah lingkungan, pemerintah daerah perlu bertindak kreatif untuk

mengembangkan hutan kayu rakyat melalui dukungan kebijakan yang mampu

menjembatani kepentingan petani kayu, pelaku industri kayu, sekaligus daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Page 31: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

ARuPa, 2005, Hutan Wonosobo: Kebijakan yang Tersendat, Jawa Tengah Indonesia, Arah

Kehutanan Masyarakat di Asia Tenggara, BP ARuPa: Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora, 2011, Blora Dalam Angka 2010 (Blora in Figures),

BPS Kabupaten Blora dan Bappeda Kabupaten Blora: Blora.

Boer, R, 2008, Berapa Besar Potensi Perdagangan Karbon Indonesi Lewat REDD?, Pusat

Pengelolaan Resiko dan Peluang Iklim Kawasan Asia Tenggara dan Pasifik:

Bogor.

Darusman, Dudung, dan Hardjanto, 2006, Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat [PROSIDING

Hasil Penelitian Hasil Hutan 2006: 4-13].

Departemen Kehutanan, 2009, Eksekutif Data Strategis Kehutanan 2009, Departemen

Kehutanan: Jakarta.

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, 2007, Statistik Kehutanan 2006 Jawa Tengah,

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah: Semarang.

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, 2008, Statistik Kehutanan 2007 Jawa Tengah

(Forestry Statistic of Jawa Tengah), Dinas Kehutanan Provinsi Jawa

Tengah: Semarang.

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, 2010, Statistik Kehutanan Provinsi Jawa Tengah

(Statistic Forestry of Jawa Tengah) 2009, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa

Tengah:Semarang.

Direktur Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan, 2006, Penatausahaan Hasil

Hutan Rakyat Sebagai Upaya Mendorong Pembangunan Kehutanan Berbasis

Masyarakat [PROSIDING Hasil Penelitian Hasil Hutan 2006: 24-34].

Donie, S, 2000, Kajian Model Pengelolaan Hutan Rakyat, Analisis Ekonomi dan Aspek

Pengembangannya, Kegiatan Pengkajian dan Penerapan Hasil Penelitian

Kehutanan. Balai Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Solo, Surakarta.

Eriyatno, 2007, Riset Kebijakan Metode Penelitian Untuk Pascasarjana, IPB Press: Bogor.

Eriyatno, 2010, Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen, IPB Press:

Bogor.

Page 32: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

Greenberg, B. James and Park, K. Thomas, 1994, Political Ecology, Journal of Political

Ecology Vol. 1 1994.

Indrawati, D.R, Sunaryo, dan Donie, S, 1997, Laporan Kajian Faktor Penentu Keberhasilan

Hutan Rakyat di Kabupaten Bangkalan dan Wonosobo, Balai Teknologi

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Solo, Surakarta.

Jariyah, Ainun N, dan Wahyuningrum, Nining, 2008, Karakteristik Hutan Rakyat di Jawa,

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 5 No.1 Maret 2008, Hal 43-

56.

Kolopaking, Lala, 2008, Pengembangan Kelembagaan Kawasan Perdesaan Berbasis

Komunitas, PSP3-IPB: Bogor.

Prakosa, D dan N.A Jariyah, 2002, Kajian Optimalisasi Tanaman Bawah Tegakan Hutan

Rakyat Sengon di Desa Pacekelan, Makalah Ekspose Hasil Penelitian, Balai

Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Wilayah Indondesia Bagian Barat, Wonosobo, 09 September 2002, Balai

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan.

Setyowati, Erni, et all , Tanpa Tahun, Draft I Konsep Paper Koalisi Masyarakat Sipil Untuk

Kebijakan Partisipatif, PSHK: Jakarta Timur.

Suwito, 2007, PSDHL Kabupaten Wonosobo “Konsensus” antara PSDHBM dan PHBM?,

Warta Tenure Nomor 4 Bulan Februari Tahun 2007 (Hal. 16-17).

Dokumen Peraturan dan Kebijakan:

Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 682 tahun 2009 tentang PHBM.

Perda Nomor 18/2011 tentang RTRWK Blora Tahun 2011–2031.

Perda Nomor 1 Tahun 1997 tentang RURTK Ibukota Kecamatan Randublatung.

Perda No.4 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Hutan Hak dan Penatausahaan Hasil Hutan

Januari 2011).

Perda No 2 Tahun 2011 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (5

Januari 2011).

Page 33: WORKING PAPER SERIES No. 04psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-04-POlicy-Process... · Hasil hutan kayu rakyat berupa diharapkan mampu ... Langkah studi yang dipilih

Rancangan Perda Pengelolaan Kawasan Lindung (2012) Berdasarkan Keputusan DPRD

Kab. Blora Nomor 171.2/132/2012 tentang Program Legislasi Daerah (Prolegda)

Kab. Blora Tahun Anggaran 2012.

P.51/Menhut-II/2006 jis P.62/ Menhut-II/2006 jis P.33/Men-hut-II /2007 tentang Penggunaan

Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu yang

Berasal dari Hutan Hak.

Surat keputusan Bupati Wonogiri Nomor 161 Tahun 2006 tanggal 29 Maret 2006 tentang

Tata Cara pemberian Ijin Menebang Pohon Milik Rakyat.

Peraturan Bupati Wonogiri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Keputusan Bupati

Wonogiri Nomor 425 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan

Daerah. Kabupaten Wonogiri Nomor 13 Tahun 2002 tentang Retribusi Ijin

pengangkutan Kayu Rakyat di kabupaten Wonogiri.

Surat Bupati Wonogiri Nomor 522.4/1891 tanggal 16 April 2007 perihal Pengendalian

Penebangan dan Peredaran Kayu.

Surat Bupati Wonogiri Nomor 522.4/3825 tanggal 29 Mei 2009 perihal Pembentukan Tim

Pelayanan Izin Menebang Pohon Milik Rakyat Tingkat Kecamatan.