eghaulimaz.files.wordpress.com€¦  · Web viewpengantar transportasi. potensi dan permasalahan ....

72
PENGANTAR TRANSPORTASI POTENSI DAN PERMASALAHAN PEDESTRIAN WAY SEBAGAI PENGGERAK TERWUJUDNYA SUSTAINABLE PUBLIC TRANSPORTATION DI INDONESIA Disusun Oleh: MEGA ULIMAZ 0910660011 KELAS A Website: http://www.eghaulimaz.wordpress.com JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Transcript of eghaulimaz.files.wordpress.com€¦  · Web viewpengantar transportasi. potensi dan permasalahan ....

PENGANTAR TRANSPORTASI

POTENSI DAN PERMASALAHAN PEDESTRIAN WAY SEBAGAI PENGGERAK TERWUJUDNYA SUSTAINABLE PUBLIC TRANSPORTATION

DI INDONESIA

Disusun Oleh:

MEGA ULIMAZ

0910660011

KELAS A

Website: http://www.eghaulimaz.wordpress.com

JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2010

POTENSI DAN PERMASALAHAN PEDESTRIAN WAY SEBAGAI PENGGERAK TERWUJUDNYA SUSTAINABLE PUBLIC TRANSPORTATION DI INDONESIA

Oleh:

Mega Ulimaz-0910660011

Website: www.eghaulimaz.wordpress.com

1. PENDAHULUAN

Pemanasan global merupakan isu utama bagi seluruh negara-negara di dunia baik negara maju maupun negara berkembang. Dalam beberapa tahun belakangan ini, Indonesia mulai merasakan dampak pemanasan global yang merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim dan efek rumah kaca akan tetap mengancam kehidupan manusia. Suhu udara semakin panas dan terjadi peningkatan permukaan air laut. Ancaman dari pemanasan global tersebut tidak dapat diremehkan. Pemanasan global disebabkan oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berasal dari kendaraan bermotor, industri, rumah tangga, kebakaran hutan, dan lain-lain.

Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang pemanasan global telah menandatangani Protocol Kyoto untuk mengurangi jumlah emisi yang dihasilkan. Faktanya, penyumbang emisi terbesar di perkotaan adalah emisi dari kendaraan bermotor. Oleh karena itu, sistem transportasi menghadapi tantangan dalam mengurangi jumlah emisi tersebut, menggunakan energi alternatif, penataan guna lahan dalam menghemat perjalanan, dan mewujudkan sistem transportasi yang berkelanjutan.

Sektor transportasi merupakan penyumbang terbesar bagi konsumsi energi di perkotaan. Hal tersebut berkaitan dengan dinamika pergerakan penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain. Penyebab utama tingginya konsumsi energi dari sektor transportasi adalah banyaknya kendaraan pribadi yang memenuhi jalan-jalan di perkotaan. Oleh karena itu, faktor penting bagi penghematan energi di suatu kota adalah pengelolaan sistem dan manajemen transportasi. Transportasi mempunyai fungsi yang sangat penting dan strategis dalam mendukung, mendorong, dan menunjang segala aspek kehidupan dan penghidupan. Perencanaan transportasi harus dilaksanakan secara komprehensif karena transportasi merupakan sarana yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan terutama dalam mendukung kegiatan perekonomian masyarakat dan perkembangan wilayah baik itu daerah pedesaan maupun daerah yang lainnya. Kemajuan teknologi ditambah dengan sistem pemasaran telah meningkatkan keinginan masyarakat di perkotaan dan pedesaan untuk memiliki kendaraan pribadi, baik sepeda motor, mobil, maupun kendaraan lainnya. Dahulunya, kepemilikan kendaraan pribadi masih sangat terbatas diakibatkan harga yang tinggi, tetapi saat ini produksi kendaraan bermotor berkembang pesat sehingga masyarakat berlomba-lomba dalam memiliki kendaraan bermotor.

Negara-negara maju telah banyak mengembangkan konsep penghematan energi karena potensi negara maju dalam mengkonsumsi energi lebih tinggi dibanding negara berkembang. Dalam mengembangkan konsep tersebut, negara-negara maju di dunia mewujudkannya melalui sistem perencanaan transportasi dan manajemen lalu lintas. Negara-negara yang sedang berkembang juga menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan penghematan energi. Dibanding dengan negara maju yang mudah mempraktekkan perencanaan transportasinya, negara berkembang jauh mengalami kesulitan menemukan cara yang tepat untuk mewujudkan lingkungan perkotaan yang sehat dan hemat energi dalam bagian perencanaan trasnportasi. Hal tersebut disebabkan oleh program kerja pemerintah yang belum menyentuh bagian tersebut ditambah dengan kesadaran masyarakat di negara berkembang yang masih rendah terhadap kepedulian lingkungan.

Saat ini, Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki permasalahan serius dari sisi transportasi mulai menginginkan transportasi yang berkelanjutan. Seperti diketahui bersama, kota-kota besar di Indonesia mengalami permasalahan transportasi yang berkaitan dengan kemacetan, kesemrawutan, polusi udara, dan kebisingan yang menjadikan kota-kota besar tersebut tidak nyaman lagi untuk dihuni. Padahal transportasi seharusnya dapat berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena membantu proses perpindahan. Namun pada kenyataannya, transportasi seperti menjadi akar masalah yang tidak kunjung ditemukan titik penyelesaiannya. Transportasi di perkotaan yang didominasi oleh kepemilikan kendaraan pribadi telah menggeser peranan transportasi publik. Dengan kondisi permasalahan yang pelik seperti itu, hal yang justru selalu diprioritaskan adalah berkaitan dengan prasarana dan infrastruktur jalan yang tidak memadai. Selalu terdapat keluhan bahwa jalan di kota-kota besar di Indonesia kurang lebar sehingga terjadi kemacatan dan kesemrawutan. Pada akhirnya, kebijakan yang biasa dilakukan pemerintah hanyalah pelebaran jalan, penambahan ruas jalan, dan penambahan jalan-jalan alternatif. Tidak disadari justru kebijakan yang lebih mengutamakan kendaraan tersebut justru semakin meningkatkan jumlah kendaraan bermotor.

Isu transportasi yang sedang berkembang adalah upaya mewujudkan transportasi publik yang berkelanjutan. Banyak pemahaman yang beredar mengenai maksud dari keberlanjutan tersebut. Salah satunya adalah penggunaan transportasi publik. Jenis moda transportasi yang berkelanjutan dapat berbentuk Mass Rapid Transit (MRT) dalam bentuk busway, monorail, dan lain-lain. Pembangunan sarana dan prasarana transportasi publik dengan sistem Mass Rapid Transit (MRT) dapat menelan biaya yang tinggi, waktu yang lama, dan biaya perawatan yang tinggi pula. Tidak sedikit kasus pembangunan besar-besaran sistem transportasi publik tersebut yang tidak menghasilkan hasil optimal, bahkan gagal di tengah jalan karena keterbatasan biaya. Padahal, kota-kota di negara maju di Eropa telah banyak berhasil mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan pribadi terutama mobil dan menggantikannya dengan transportasi publik yang berkelanjutan. Tidak hanya negara maju yang berhasil menerapkan sistem transportasi publik yang berkelanjutan, beberapa kota di negara berkembang seperti Curitiba di Brazilia, Bogota di Kolombia, dan Singapura juga telah berhasil menerapkannya.

Keberhasilan penerapan transportasi publik juga berkaitan dengan prasarana di sekitarnya, yakni jalur pedestrian. Jalur pedestrian dianggap penting karena berkaitan dengan manusia sebagai unsur utama dalam transportasi. Sedangkan faktanya, kondisi jalur pedestrian atau trotoar yang terdapat di kota-kota di Indonesia menjadi kendala dalam memaksimalkan kinerja transportasi publik di Indonesia. Jalur pedestrian atau yang biasa dikenal sebagai trotoar di Indonesia tidak mampu mengakomodasi kebutuhan pejalan kaki akibat digunakan sebagai lahan parkir maupun tempat berdagang bagi para pedagang kaki lima. Jalur pedestrian di Indonesia tidak memenuhi syarat keamanan ditandai dengan jalurnya yang terputus dan berlubang. Selain itu, jalur pedestrian d Indonesia tidak tergolong nyaman akibat lebih banyak dipenuhi iklan, spanduk, atau reklame ketimbang pepohonan. Jalur pedestrian justru jarang terdapat di sepanjang halte pemberhentian sehingga masyarakat enggan berjalan kaki.

Selain faktor eksternal tersebut, faktor internal yang menyebabkan rendahnya minat masyarakat menggunakan transportasi publik adalah kondisi transportasi publik yang buruk seperti usia moda, kebersihan, jadwal yang tidak tetap, dan tingginya kasus kriminalitas. Pelayanan transportasi publik dapat dinilai buruk dilihat dari tingkat pelayanan yang rendah, misalnya waktu tunggu yang tinggi, lamanya waktu perjalanan, ketidaknyamanan dan keamanan di dalam angkutan umum, tingkat aksesibilitas rendah karena masih banyak bagian dari kawasan perkotaan yang belum dilayanani oleh transportasi umum, dan biaya tinggi. Biaya yang tinggi diakibatkan rendahnya aksesibilitas dan kurang baiknya jaringan pelayanan angkutan umum yang mengakibatkan masyarakat harus melakukan beberapa kali pindah angkutan dari titik asal sampai tujuan, belum adanya keterpaduan sistem tiket, dan kurangnya keterpautan moda. Kondisi ini mengakibatkan biaya yang harus dikeluarkan untuk menggunakan angkutan umum jumlahnya jauh lebih besar dibanding biaya yang harus dikeluarkan jika menggunakan angkutan pribadi, seperti sepeda motor atau mobil.

Makalah ini akan membahas teori-teori berkaitan dengan jalur pedestrian, transportasi publik, dan keberlanjutan sistem transportasi. Ditambah dengan telaah mengenai permasalahan transportasi di Indonesia dilihat dari kondisi jalur pedestrian dan transportasi publik yang ada serta potensi dalam mewujudkan transportasi yang berkelanjutan seperti yang diterapkan di Curitiba, Bogota, dan Singapura.

2. TINJAUAN TEORI

A. Transportasi

Transportasi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang memungkinkan orang atau barang berpindah dari satu tempat ke tempat lain (Warpani, 1990). Proses perpindahan tersebut terjadi melalui jalur perpindahan yaitu prasarana baik alami (udara, sungai, laut) maupun man made (jalan raya, jalan rel, pipa) dengan objek yang diangkut dapat berupa orang maupun barang dengan sistem pengaturan dan kendali tertentu (manajemen lalu lintas, sistem operasi, maupun prosedur transportasi).

Menurut Warpani (1990), transportasi merupakan salah satu kunci perkembangan. Peranan transportasi sangat penting untuk saling menghubungkan daerah sumber bahan baku, daerah produksi, daerah pemasaran, dan daerah permukiman sebagai tempat tinggal konsumen. Di daerah perkotaan, transportasi berperan menghubungkan kegiatan antar lahan sesuai dengan yang ditetapkan dalam rencana.

Transportasi merupakan sistem yang memiliki sifat, antara lain:

a. Kompleks, yaitu transportasi melibatkan bnayak komponen, perilaku, penentu kebijakan, dan terjadi interaksi anatara pembangunan fisik dengan keputusan politik;

b. Skala besar, yaitu transportasi membutuhkan wilayah geografis yang luas dan penggunaan bahan bakar fosil dapat memberikan dampak yang besar pula;

c. Interconected, yaitu transportasi memiliki keterkaitan dengan pemanfaatan energy dan perubahan iklim secara global;

d. Terbuka, yaitu transportasi dipengaruhi oleh perubahan sosial masyarakat, politik, dan pelaksanaan pembangunan; dan

e. Sosial keteknikan, yaitu trasnportasi menggunakan teknologi yang kompleks dan berdampak pasa sosial kemasyarakatan;

Isu-isu yang berkaitan dengan transportasi, antara lain:

a. Kemacetan.

Menurut Sumadi (2006), kemacetan terjadi pada kondisi lalulintas yang tidak stabil, kecepatan operasi menurun relatif cepat akibat hambatan yang timbul dan kebebasan bergerak relatif kecil.

b. Kecelakaan

Menurut Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No 14 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, kecelakaan adalah suatu peristiwa di jalan raya yang tidak disangka-ssangka dan tidak disengaja, melibatkan kendaraaan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya, yang dapat mengakibatkan korban jiwa dan harta benda.

Kajian-kajian yang berkaitan dengan transportasi, antara lain (Sumadi, 2006):

a. Bangkitan perjalanan, yaitu banyaknya jumlah perjalanan atau pergerakan atau lalu lintas yang dibangkitkan oleh suatu kawasan per satuan waktu.

b. Sebaran perjalanan, yaitu banyaknya perjalanan yang bermula dari suatu zona asal yang menyebar ke bayak zona tujuan ataupun sebaliknya yaitu jumlah perjalanan yang dating mengumpul ke suatu zona (Miro dalam Sumadi, 2006).

B. Jalur Pedestrian

Pedestrian berasal dari bahasa Yunani yaitu Pedos yang berarti kaki. Pedestrian dapat diartikan sebagai pejalan kaki atau orang yang berjalan kaki (Iswanto, 2006). Selanjutnya, Erwin (2008) mendefinisikan pedestrian way sebagai jalur bagi pedestrian (pejalan kaki) yang digunakan sebagai media transportasi. Sedangkan menurut Iswanto (2006), jalur pedestrian merupakan wadah atau ruang untuk kegiatan pejalan kaki melakukan aktivitas dan untuk memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan, dan kenyamanan bagi pejalan kaki. Jalur pedestrian juga dapat memicu interaksi sosial antar masyarakat apabila berfungsi sebagai suatu ruang publik. Jalur pedestrian tidak bisa lepas dari karakteristik aktivitas atau fungsi guna lahan dan bangunan yang ada di sekitarnya serta faktor kelengkapan dan kondisi elemen-elemen pendukung.

Faktor-faktor pembentuk jalur pedestrian, antara lain (Iswanto, 2006):

a. Faktor fisik, meliputi panjang, lebar, dan ketinggian dari jalur pedestrian tersebut;

b. Aksesibilitas pedestrian;

c. Pelaku atau pengguna;

d. Frekuensi aktivitas yang terjadi;

e. Hubungan dengan lingkungan sekitarnya, seperti kawasan permukiman, perkantoran, perdagangan, dan lainnya;

f. Faktor psikis, meliputi keamanan dan kenyamanan.

Dalam dimensi perkotaan, jalur pedestrian merupakan ruang khusus bagi pejalan kaki yang berfungsi sebagai sarana pencapaian yang dapat melindungi dari bahaya. Jalur pedestrian di Indonesia dikenal sebagai trotoar. Namun jalur pedestrian memiliki kelemahan dalam melakukan perjalan jarak jauh dan terpengaruh oleh kondisi alam (Iswanto, 2006).

Berdasarkan karakteristik dan fungsinya, jalur pedestrian dapat dibagi dalam pengelompokkan sebagai berikut (Iswanto, 2006):

a. Jalur pedestrian, yaitu jalur pejalan kaki yang dibuat terpisah dari jalur kendaraan umum, terletak berdekatan, lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan, dan sejajar dengan lalu lintas kendaraan. Jalur ini berfungsi untuk memberikan pelayanan kepada pejalan kaki dalam meningkatkan keamanan, kenyamanan, dan kelancaran.

b. Jalur penyebrangan, yaitu jalur pejalan kaki yang digunakan sebagai jalur menyebrang untuk mengatasi dan menghindari terjadinya tabrakan dengan pengguna jalan lain.

c. Plazza, yaitu jalur pejalan kaki yang bersifat rekreasi sehingga pejalan kaki dapat berhenti dan beristirahat pada kursi-kursi yang disediakan.

d. Pedestrian mall, yaitu jalur pejalan kaki yang digunakan untuk berbagai aktivitas, misalnya berjualan maupun berjalan-jalan melihat pertokoan.

Sedangkan menurut Priyanto (2004), fungsi jalur pedestrian dapat dikelompokkan menjadi 3 macam, antara lain:

a. Full-Pedestrian Way, yaitu diciptakan dengan cara menutup ruas jalan yang semula digunakan oleh lalu lintas kendaraan bermotor. Kualitas ruas jalan ditingkatkan dengan pemasangan pelapis jalan, lampu, lanskap, dan street furniture. Pejalan kaki amat dprioritaskan dibanding kendaraan bermotor karena area ini merupakan area bebas kendaran bermotor.

b. Transit-Pedestrian Way, yaitu dilakukan dengan cara membebaskan area tersebut dai semua kendaraan kecuali trasnportasi publik dan kepentingan darurat. Ruang untuk pejalan kaki disediakan melalui pelebaran jalur yang juga dilengkapi prasarana yang menunjang kenyamanan.

c. Semi-Pedestrian Way, yaitu diupayakan dengan mengurangi volume lalu lintas kendaraan. Selain itu, permukaan jalur kendaraan disamakan dengan jalur pejalan kaki. Perencanaan ini berorientasi kepada kepentingan pejalan kaki dengan aturan pengurangan kecepatan bagi kendaraan bermotor yang melintas.

Menurut Iswanto (2006), elemen-elemen pendukung yang harus terdapat pada jalur pedestrian, antara lain:

a. Lampu pejalan kaki

1) Tinggi 4-6 meter;

2) Jarak penempatan 10-15 meter;

3) Mengakomodasi tempat menggantung;

b. Lampu penerangan jalan

1) Penerangan yang merata;

2) Pemilihan jenis lampu berdasarkan efektifitas.

c. Halte bus

1) Terlindung dari perubahan cuaca, misalnya panas dan hujan;

2) Ditempatkan pada tepi jalan utama yang padat lalu lintas;

3) Panjang halte minimum sama dengan panjang bus kota sehingga memungkinkan penumpang dapat naik dari pintu depan maupun belakang;

d. Tanda petunjuk

1) Untuk mengefisiensikan dan memudahkan membaca, maka tanda petunjuk disatukan dengan lampu penerangan;

2) Terletak di tempat terbuka;

3) Memuat informasi tentang lokasi dan fasilitas;

4) Tidak tertutupi oleh pepohonan.

e. Telepon Umum

1) Memberikan ciri sebagai fasilitas komunikasi;

2) Memberikan kenyamanan bagi pengguna;

3) Mudah terlihat dan terlindung dari cuaca;

4) Ditempatkan pada tepi atau tengah jalur pedestrian;

5) Tiap telepon umum memiliki lebar kurang lebih 1 meter.

f. Tempat sampah

1) Tempat sampah diletakkan dalam jarak tertentu misalnya tiap 15 -20 meter;

2) Mudah dalam sistem pengangkutan;

3) Jenis tempat sampah dibedakan untuk sampah kering dan basah.

g. Vegetasi

1) Berfungsi sebagai peneduh;

2) Ditempatkan pada jalur tanaman (minimal 1.5 meter), percabangan 2 meter di atas tanah, bentuk percabangan tidak merunduk;

3) Ditanam secara berbaris;

4) Tidak hanya mengandung nilai estetika, tetapi juga pengendali iklim.

Lang dalam Tisnaningtyas (2002) mengungkapkan bahwa jalur pejalan kaki atau jalur pedestrian mempunyai kaitan antara asal dan tujuan pergerakan orang. Jalur pedestrian merupakan jalur pejalan kaki di luar bangunan dan merupakan bagian dari jalan berupa jalur terpisah yang khusus untuk pejalan kaki dan biasanya terletak di tepi jalan. Hal utama yang perlu dipertimbangkan dalam mengkaji jalur pedestrian adalah sirkulasi pedestrian tersebut. Sirkulasi pedestrian berkaitan dengan beberapa hal berikut (Tisnaningtyas, 2002):

a. Tempat asal dan tujuan.

Lokasi parkir dapat menjadi tempat asal pedestrianmenuju tempat tujuan, sehingga peletakkan lokasi parker akan memperngeruhi aktivitas pedestrian tersebut.

b. Karakteristik perjalanan.

Sebagian besar pedestrian melakukan perjalanan dari lokasi parker atau pemberhentian umum yang tidak jauh sehingga perjalanan relative dekat

Kriterian yang harus dimiliki oleh suatu jalur pedestrian adalah (Tisnaningtyas, 2002):

a. Kenyamanan

Uterman dalam Tisnaningtyas (2002) menjelaskan bahwa kenyamanan dipengaruhi oleh jarak tempuh. Weisman dalam Tisnaningtyas (2002) mendefinisikan kenyamanan sebagai suatu keadaan lingkungan yang memberi rasa yang sesuai kepada panca indera disertai dengan fasilitas yang sesuai dengan kegiatan. Tingkayt kenyamanan pedestrian dipengaruhi oleh kapasitas jalur pedestrian yang meliputi jumlah pedestrian per satuan waktu, penghentian, lebar jalur, ruang pejalan kaki, volume, tingkat pelayanan, harapan pemakai, dan jarak berjalan. Menurut Utermann dalam Indraswara (2007), kenyamanan seseorang untuk berjalan kaki dipengaruhi oleh factor cuaca dan jenis aktivitas. Jarak tempuh perjalanan kaki di Indonesia hanya berkisar kurang lebih 400 meter dan kenyamanan bias diperoleh apabila jarak tempuh kurang dari 300 meter.

b. Visibilitas

Wiesman dalam Tisnaningtyas (2002) mendefinisikan visibilitas sebagai jarak penglihatan dimana objek yang diamati dapat terlihat jelas. Jarak penglihatan tersebut tidak hanya berkaitan dengan jarak yang dirasakan secara dimensional atau geometris saja, tetapi juga menyangkut persepsi visual dimana seseorang merasa tidak adnya halangan untuk mencapai objek yang dituju.

c. Waktu

Menurut Utermann dalam Indraswara (2007), berjalan kaki pada waktu-waktu tertentu akan mempengaruhi jarak berjalan yang mempu ditempuh.

d. Ketersediaan transportasi publik

Tranportasi publik sebagai moda oenghantar sebelum dan sesudah berjalan kaki sangat mempengaruhi jarak tempu berjalan kaki (Indraswara, 2007). Ketersediaan transportasi publik yang memadai akan mendorong orang berjalan kaki lebih jauh.

e. Pola tata guna lahan

Indraswara (2007) mengungkapkan bahwa perjalanan di daerah dengan penggunaan lahan mixed use seperti di pusat kota akan lebih cepat dilakukan dengan berjalan kaki dibandingkan dengan kendaraan bermotor.

Menurut Uniaty (1992), jalur pedestrian sebagai bagian ruang arsitektur kota merupakan prasarana penting dalam sistem transportasi kota dan menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan dari transportasi kota. Penanganan jalur pedestrian tidak sekedar menekankan pada penanganan secara kualitas dan kuantitas fisik saja, melainkan pula penenganan non fisik yang berkaitan dengan manusia sebagai pemakai jalur tersebut.

C. Transportasi Publik

Warpani (2003) dalam bukunya yang berjudul Merencanakan Sistem Transportasi menjelaskan bahwa transportasi publik adalah angkutan penumpang yang dilakukan dengan sistem sewa atau bayar. Termasuk dalam pengertian transportasi publik adalah angkutan kota, kereta api, angkutan air, dan angkutan udara. Tujuan dari keberadaan transportasi publik adalah untuk menyelenggarakan pelayanan angkutan yang baik dan layak bagi masyarakat. Ukuran pelayanan yang baik adalah pelayanan yang aman, cepat, murah, dan nyaman. Selain itu, keberadaan transportasi publik juga membuka lapangan pekerjaan. Ditinjau dari segi lalu lintas, keberadaan transportasi publik dapat mengurangi volume kendaraan pribadi. Hal ini dimungkinkan karena transportasi publik bersifat massal sehingga biaya angkut dapat dibebankan kepada lebih banyak orang atau penumpang. Semakin banyak penumpang menyebabkan biaya tiap penumpang dapat ditekan serendah mungkin.

Simpson (1994) dalam bukunya Urban Publik Transport Today menjelaskan mengenai macam-macam transportasi publik di perkotaan, yaitu antara lain:

a. Bus

Bus terdiri dari berbagai ukuran dan tercatat bahwa dapat memuat mulai dari 9 penumpang hingga lebih dari 200 penumpang untuk kasusu bus ganda. Perbedaan antara bus dan kereta api sangat jelas, tetapi hampir semua karakteristik bus dapat ditemukan di beberapa jenis kereta api. Perbedaan mendasar dari bus dan kereta api ialah bus tidak terbatas pada trayek tetap, meskipun dalam beberapa kasus tidak demikian.

Dalam waktu yang lama, bus tunggal dapat menampung 45 kursi penumpang bahkan lebih. Bus bertingkat lebih efisien dibandingkan bus tunggal dalam hal penggunaan ruang jalan dan upah supir.

b. Bus Troli

Bus troli umum ditemukan di Ingris selama periode perang. Ketika perang dunia, masih terdapat 330 jaringan bus troli. Selama tahun 1980, terdapat inisiatif untuk memperkenalkan kembali bus troli di sebagian wilayah Eropa Barat, namun sangat terbatas. Alasan utama diperkenalkannya kembali bus troli adalah karena alat transportasi punlik tidak bnayak merusak jalan. Bus trail juga dapat melalui lereng curam daripada bus diesel.

c. Mini Bus

Sebutan mini bus sering digunakan untuk menggambarkan semua bus yang secara signifikan berukuran lebih kecil daripada bus konvensional. Mini bus banya memberikan pelayanan di daerah pedesaan dan pelayanan khusus di perkotaan untuk beberapa dekade tetapi jumlahnya meningkat secara tajam di wilayah perkotaan

d. Kereta Api

Kereta api sesungguhnya merupakan salah satu variasi dari bus. Secara tradisional, kereta api memiliki roda baja pada rel baja. Namun sekarang lebih umum menggunakan karet pada rel baja atau beton.

D. Sistem Transportasi Bekelanjutan

Hairulsyah (2009) mendefinisikan sistem transportasi berkelanjutan sebagai sistem yang dapat memenuhi rasa keadilan, yaitu dengan aman dan nyaman memenuhi tingkat efisiensi sumber daya alam, baik dalam hal pemanfaatan sumber daya energy maupun pemanfaatan ruang. Sistem transportasi berkelanjutan dapat dikelola secara transparan dan partisipatif serta berkesinambungan bagi kebutuhan generasi mendatang.

Lebih lanjut Hairulsyah (2009) menjelaskan tentang prinsip pembangunan sistem transportasi berkelanjutan, antara lain:

a. Kesetaraan sosial, yaitu pelayanan transportasi yang dapat menjangkau masyarakat menengah ke bawah;

b. Keberlanjutan ekologi, yaitu berkontribusi kecil dalam kerusakan lingkungan seperti kebisingan dan polusi udara;

c. Kesehatan dan keselamatan, yaitu transportasi memilki dampak yang besar terhadap kesehatan dan keselamatan karena selama ini kendaraan bermotor memberikan sumbangsih 70% terhadap polusi udara dan 65% pejalan kaki menjadi korban kecelakaan.

d. Biaya rendah, yaitu penggunaan angkutan umum yang relative lebih rendah dalam biaya dibanding penggunaan kendaraan pribadi;

e. Partisipasi dan transparansi, yaitu mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan transportasi.

Aminah (2007) mengemukakan bahwa sistem transportasi yang berkelanjutan adalah suatu sistem transportasi yang dapat mengakomodasikan aksesibilitas semaksimal mungkin dengan dampak negatif yang seminimal mungkin. Sistem transportasi yang berkelanjutan menyangkut tiga komponen penting, yaitu aksesibilitas, kesetaraan, dan dampak lingkungan. Aksesibilitas diupayakan dengan perencanaaan jaringan transportasi dan keragaman alat angkutan dengan tingkat integrasi yang tinggi antara satu dengan yang lain. Kesetaraan diupayakan melalui penyelenggaraan transportasi yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat, menjunjung tinggi persaingan bisnis yang sehat, dan pembagian penggunaan ruang dan pemanfaatan infrastruktur secara adil serta transparansi dalam setiap pengambilan kebijakan. Pengurangan dampak negatif diupayakan melalui penggunaan energi ramah lingkungan, alat angkut yang paling sedikit menimbulkan polusi, dan perencanaan yang memprioritaskan keselamatan. Memperhatikan kondisi makro yang ada terutama pengaruh iklim, globalisasi menempatkan persoalan transportasi menjadi layanan kebutuhan atau aksesibilitas yang harus disediakan oleh negara. Aksesibilitas transportasi menjadi penting seiring dengan meningkatnya peradaban umat manusia

3. TELAAH

A. Isu Transportasi Perkotaan di Indonesia

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang memiliki tingkat urbanisasi yang tinggi. Hal tersebut dipengaruhi oleh laju pertumbuhan ekonomi yang pesat sehingga berakibat pada meningkatnya kebutuhan penduduk untuk melakukan pergerakan. Dalam hal ini, kendaraan pribadi merupakan moda trasnportasi yang menguntungkan dalam mobilitas pergerakannya. Fakta tersebut ternyata tidak didukung oleh perencanaan transportasi perkotaan yang baik sehingga berdampak langsung pada kemacetan dan buruknya pelayanan transportasi publik.

Permasalahan transportasi juga berkaitan dengan status sosial karena setiap orang memiliki perbedaan dalam kemampuan kepemilikan lahan. Kelompok masyarakat yang mampu membeli lahan di di dalam kota dan bekerja di dalam kota tidak akan menimbulkan permasalahan berkaitan dengan mobilitas dan aksesibilitas dikarenakan jarak yang dekat antara tempat tinggal dan tempat bekerja. Sedangkan kelompok masyarakat yang bekerja di dalam kota namun tinggal di pinggiran kota akan berpotensi menimbulkan permasalahan terutama pada pick time di pagi hari dan sore hari. Pada waktu tersebut akan terjadi proses pergerakan yang cukup tinggi.

Masalah-masalah umum lain yang berkaitan dengan transportasi (Marbun, 1979):

a. Panjang jalan yang tidak memadai;

b. Jumlah transportasi publik yang kutang memadai dan belum merata sesuai dengan kepentingan;

c. Masalah penyediaan lahan untuk parker;

d. Pertambahan penduduk yang relatif cepat dibanding dengan pertambahan penyedia transportasi;

e. Pola kepemilikan kendaraan pribadi yang tinggi padahal tidak sesuai dengan kebutuhan;

f. Disiplin pengguna jalan yang masih rendah;

g. Tata guna lahan seperti permukiman, perkantoran, dan perekonomian yang tidak teratur.

Akar masalah transportasi di kota-kota besar antara lain (Marbun, 1979):

1. Kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung mengalami masalah serius dalam sistem transportasi diakibatkan sarana transportasi publik yang belum memadai, panjang jalan yang juga tidak memadai, kondisi jalan tidak memenuhi standar, dan tingginya tingkat kepemilikan kendaraan pribadi;

2. Kota-kota lainnya memiliki masalah transportasi dikarenakan belum tersedianya transportasi publik yang memadai tetapi mulai terjadi peningkatan kepemilikan kendaraan pribadi.

B. Peningkatan Kepemilikan Kendaraan Pribadi

Tersedianya sarana trasnportasi yang memadai merupakan ciri kota modern. Peranan dan masalah yang ditimbulkan saran transportasi akan semakin pelik karena dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan pertambahan penduduk. Transportasi menjadi ciri kemajuan kebudayaan dan sekaligus menjadi kebebasan. Dahulu, kota-kota masih belum berkembang sehingga sarana transportasi belum menjadi kebutuhan umum (Marbun, 1979). Jalanan dan gang serta jalur-jalur jalan kecil di kota pada umumnya berfungsi sebagai tempat jalan kaki, memperlancar patroli kemanan dan pengumpul pajak, serta sekedar sebagai tempat lalu lalang kuda, kereta kuda, atau gerobak lainnya dalam jumlah yang terbatas. Selanjutnya, revolusi industri dengan segala manifestasinya telah mampu mengubah wajah kota terutama berkaitan dengan sistem transportasi. Diawali oleh penemuan kereta api, auto mobil, kapal terbang, dan alat-alat transportasi lainnya telah mendorong laju revolusi industri dan revolusi transportasi (Marbun, 1979). Sebelumnya, tidak ada yang pernah menduga bahwa penemuan alat transportasi tidak sekedar mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menimbulkan permasalahan seperti kemacetan lalu lintas dan polusi terutama di kota-kota besar.

Hanya beberapa kota besar di Indonesia yang mengalami masalah lalu lintas, sepeeti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung. Hal tersebut disebabkan jumlah kepemilikan kendaraan pribadi dan kendaraan umum yang banyak sehingga prasarana kota tidak mampu melayaninya. Permasalahan transportasi di kota besar pada dasarnya berkaitan dengan beberapa faktor (Marbun, 1979), antara lain:

1. Manusia, yaitu berkaitan dengan disiplin dan kebijakan lalu lintas;

2. Prasarana transportasi, seperti jalan;

3. Alat transportasi, dalam hal ini adalah kendaraan pribadi dan kendaraan umum; dan

4. Rencana pembangunan kota serta konsep penataan guna lahan.

Kemajuan teknologi di bidang automobile ditambah dengan sistem pemasaran telah meningkatkan keinginan masyarakat di perkotaan dan pedesaan untuk memiliki kendaraan pribadi, baik sepeda motor, mobil, maupun kendaraan lainnya (Marbun, 1979). Dahulunya, kepemilikan kendaraan pribadi masih sangat terbatas diakibatkan harga yang tinggi, tetapi saat ini produksi kendaraan bermotor berkembang pesat sehingga masyarakat berlomba-lomba dalam memiliki kendaraan bermotor.

Faktor-faktor yang mendorong masyarakat berkeinginan memeilki kendaraan bermotor antara lain (Marbun, 1979):

1. Peningkatan pendapatan rata-rata tiap tahun;

2. Produksi sepeda motor dan mobil secara missal sehingga harga kendaraan bermotor tersebut menjadi lebih muarah;

3. Sistem pemasaran sepeda motor dan mobil yang agresif dengan penawaran kemudahan mencicil;

4. Harga bahan bakar bersubsidi (lebih murah).

Faktor-faktor di atas menyebabkan terjadinya peningkatan dan perluasan kepemilikan kendaraan bermotor. Kepemilikan kendaraan ermotor terutama mobil menjadi ciri prestise, namun sekarang telah bergeser menjadi kebutuhan pokok untuk menjangkau lokasi bekerja, tempat wisata, dan lainnya. Secara perlahan tetapi pasti, kepemilikan kendaraan bermotor yang semakin meningkat telah menggeser peranan transportasi publik.

Pola kepemilikan kendaraan pribadi semakin berkembang dan berjalan cepat di luar kendali pemerintah dan pengemban kebijakan lainnya sehingga timbul permasalahan transportasi yang semakin kompleks. Pada kenyataannya, kebanyakan perencanaan transportasi perkotaan seperti program tambal sulam dengan alasan kekurangan dana, kekurangan partisispasi masyarakat, sampai alas an bahwa tidak ada dukungan dari pemerintah.

Pendapatan per kapita dan pertimbangan lingkungan seharusnya menjadi titik sentral dari pola kebijakan penerapan transportasi publik. Pembuatan jalan dan prasarana penunjang lainnya harus memprioritaskan transportasi publik tersebut, baru kemudian ditujukan untuk kendaraan pribadi. Kebijakan seperti ini harus dilaksanankan secara ketat serta pertimbangan biaya yang matang.

Penggunaan kendaraan pribadi dapat meningkatkan kesempatan untuk bekerja, rekreasi, pendidikan, belanja, dan melakukan aktivitas sosial lain. Kepemilikan kendaraan pribadi adalah cerminan dari peningkatan taraf hidup dan kebutuhan mobilitas penduduk di daerah perkotaan. Namun, kepemilikan kendaraan prbadi dapat meningkatkan permasalahn transportasi seperti kemacetan, kebisingan, serta polusi udara. Menurut sebuah studi (Tamin, 2000), 84 % kendaraan di Kota Jakarta merupakan kendaraan pribadi, dan 45 % di antaranya hanya dikendarai oleh satu orang saja sehingga sangat tidak efisien. Penggunaan kendaraan pribadi akan semakin menurunka efektivitas penggunaan ruang yang memang terbatas.

C. Kondisi Jalur Pedestrian di Indonesia

Jalur pedestrian di Indonesia masih belum nyaman bagi para pedestrian atau pejalan kaki. Di Indonesia, jalur pedestrian berbentuk trotoar yang justru dimanfaatkan sebagai tempat berjualan para pedagang kaki lima. Selain itu, trotoar juga digunakan sebagai tempat parkir kendaraan bermotor. Hal tersebut menyebebakkan makin berkurangnya ruang untuk pejalan kaki.

Seharusnya kota-kota besar di Indonesia tidak hanya melakukan program penambahan jalan, tetapi melakukan program yang diutamakan untuk manusia (masyarakat), yaitu penyediaan jalur pedestrian dan meningkatkan kinerja pelayanan transportasi publik. Penambahan ruas jalan dan memperlebar jalan justru akan semakin menambah kemacetan dan meningkatkan keinginan masyarakat untuk membeli kendaraan bermotor.

Oleh karena itu perencanaan transportasi publik harus berjalan seimbang dengan penyediaan jalur pedestrian. Sebagai contoh, sarana transportasi publik di Jakarta berupa Trans Jakarta merupakan moda transportasi publik yang tepat, namun tidak didukung oleh jalur pedestrian yang dapat menarik jumlah pengguna Trans Jakarta. Jalur pedestrian di Jakarta tidak memberikan kenyamanan bagi para pedestrian karena kondisi yang rusak, terputus, dilewati kendaraan bermotor, dijadikan tempat berjualan oleh pedagang kaki lima, dan juga dijadikan lahan parkir.

Kondisi jalur pedestrian di Indonesia dapat dilihat pada beberapa gambar di bawah ini:

Gambar 1 Kondisi jalur pedestrian yang beralih fungsi menjadi lahan parkir

Sumber: bachnas.staff.uii.ac.id

Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa jalur pejalan kaki atau jalur pedestrian yang umumnya dikenal sebagai trotoar justru dijadikan lahan parkir. Keterbatasan lahan untuk parkir seharusnya tidak menjadikan para pemilik kendaraan bermotor mangabaikan kepentingan para pejalan kaki. Akibat dari digunakannya trotoar sebagai lahan parkir, maka para pejalan kaki terpaksa melewati badan jalan. Hal ini akan beresiko dalam terjadinya kecelakaan. Dampak lainnya adalah justru masyarakat makin enggan melakukan kegiatan berjalan kaki.

Gambar 2 Kondisi jalur pedestrian yang rusak

Sumber: bulletinmetropolis.com

Kondisi lain yang tidak kalah mengkhawatirkan dari jalur pedestrian di Indonesia adalah kondisi jalur yang rusak. Seringkali terdapat perbaikan jalan maupun saluran drainase yang memangkas jalur pedestrian atau trotoar. Kondisi ini tidak aman bagi para pejalan kaki, terutama anak-anak dan orang tua (usia lanjut).

Gambar 3 Kondisi jalur pedestrian digunakan oleh pedagang

Sumber : archive.kaskus.us

Permasalahan seperti yang terlihat pada gambar di atas paling sering ditemui di kota-kota di Indonesia. Jalur pedestrian atau trotoar digunakan sebagai area berjualan bagi para pedagang kaki lima (PKL), bahkan ada yang sifatnya permanen. Telah banyak kebijakan dan aturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Kota dalam mengatasi permasalahan PKL yang berjualan di jalur-jalur pejalan kaki. Kebijakan dapat berupa relokasi maupun pengaturan jam berjualan. Pada kenyataannya, hampir seluruh jalur pedestrian di kota-kota di Indonesia tetap digunakan untuk berjualan. Hal ini disebabkan masih tingginya jumlah pelanggan yang salah satunya adalah pejalan kaki tersebut.

D. Pelayanan Tranportasi Publik di Indonesia

Peranan transportasi publik di Indonesia semakin menurun bukan hanya diakibatkan peningkatan kepemilikan kendaraan pribadi, tetapi juga diakibatkan oleh rendahnya ringkat pelayanan transportasi publik di Indonesia.Tingkat pelayanan berkaitan dengan sarana dan prasarana, waktu tempuh, kapasitas penumpang, tingkat kenyamanan, sistem jaringan, dan aksesibilitas.

Kristanti (2009) melaporkan sejumlah transportasi publik di dunia dalam klasifikasi terbaik dan terburuk. Transportasi terbaik di dunia antara lain:

a. Bus  B.A.R.T. (Bay Area Rapid Transit) California - San Francisco memiliki armada bus yang baik. Tak hanya mudah didapatkan, transportasi publik ini juga sangat nyaman;

b. Kereta S.M.R.T. Singapura menggabungkan antara ketepatan waktu dan kebersihan maksimal. Tak ada satupun grafiti atau coretan baik di atas maupun di terowongan bawah tanah. Stasiun di Singapura menyediakan gerbang pengaman yang hanya terbuka jika kereta api berada di peron, untuk mencegah orang jatuh ke rel;

c. Kereta basah tanah Tokyo atau kereta di seluruh Jepang. Tidak akan ditemukan kereta yang lebih bersih dan lebih nyaman dari kereta tersebut. Selain bersih dan nyaman, juga disediakan gerbong khusus perempuan sehingga di jam-jam sibuk, wanita dan anak-anak bisa naik kereta dengan perasaan  aman. Tak ditemukan orang bertelepon ria di atas kereta karena ada aturan yang harus dipatuhi, yakni dering telepon harus dimatikan selama di dalam kereta;

d. Kereta bawah tanah Paris. Stasiun dihiasi instalasi seni dan dilengkapi petunjuk arah yang lengkap dan mudah dimengerti;

e. Kapal Ferry Seatle. Penumpang dapat menikmati hangatnya matahari di musim panas selama menuju ke tempat kerja. Dengan latar belakang Semenanjung Olympic, penumpang bisa berjumpa dengan paus pembunuh.

Transportasi publik yang dikategorikan terburuk di dunia antara lain:

a. Kereta bawah tanah Roma yang tampak menakutkan. Setiap inci permukaan dipenuhi coretan;

b. Kereta api di Jakarta. Orang-orang naik di atas kereta dan beberapa mengalami kematian akibat terjatuh dari atas kereta atau tersetrum. Tak mudah mendapatkan tiket resmi dan kadang terpaksa harus membeli dari calo. Apalagi kereta ekonomi dengan suasana tak nyaman karena gerbong kotor, penuh sesak, dan juga penuh asap;

c. Kereta bawah tanah London yang panas, sesak, dan asap dimana-mana.

Dari penggolongan tersebut, Kota Jakarta termasuk ke dalam kota dengan transportasi publik terburuk di dunia. Oleh karena itu tulisan ini mengangkat masalah kinerja pelayanan tranportasi publik di Indonesia secara umum serta menjelaskan konsep transportasi publik yang berkelanjutan untuk menunjang aktivitas di perkotaan.

Menurut Tamin (2000), pengguna transportasi publik di Indonesia masih kurang mengandalkan transportasi publik akibat banyaknya kelemahan yang ditemui, antara lain:

a. Tidak ada jadwal yang tetap;

b. Pola rute yang memaksa terjadinya transfer;

c. Pada jam sibuk, terjadi kelebihan penumpang yang telah melebihi kapasitas angkut;

d. Frekuensi terjadinya kecelakaan yang diakibatkan keteledoran pengemudi;

e. Memburuknya kondisi internal dan eksternal;

f. Prasarana jalur pedestrian yang belum memadai.

Sistem transportasi berkelanjutan lebih mudah terwujud pada sistem transportasi yang berbasis pada penggunaan transportasi publik dibandingkan dengan sistem yang berbasis pada penggunaan kendaraan pribadi. Sistem transportasi berkelanjutan merupakan tatanan baru sistem transportasi di era globalisasi saat ini.

Pergeseran pola perilaku masyarakat dengan adanya transportasi publik dapat dimaknai sebagai suatu perubahan yang cukup berarti dalam pemilihan moda transportasi oleh masyarakat. Bagi pengguna jasa transportasi, dengan adanya transportasi publik berarti ada perubahan menyangkut pola mobilitas penduduk dan pola perilaku bertransportasi. Bagi pemerintah, penyelenggaraan transportasi publik berarti pemerintah membuat kebijakan untuk pengadaan transportasi itu mulai dari bersifat teknis, sosiologis, hingga politis, seperti pengadaan lahan dan penataan ruang. Untuk membangun sistem transportasi publik yang berkelanjutan perlu adanya revitalisasi dalam semua aspek yang berkaitan dengan transportasi publik (Putri, 2008).

Tidak hanya pemerintah yang menghadapi masalah dalam mengelola transportasi publik, tetapi juga operator dan pengusaha. Mereka menghadapi masalah yang mencakup keuntungan yang rendah karena pembatasan tarif dan biaya-biaya yang meningkat, tidak ada kepastian kenaikan usaha, efisiensi yang rendah disebabkan penundaan di terminal, operasi dibatasi oleh sistem perizinan, keuntungan yang menurun karena peningkatan kemacetan, serta hampir tidak ada ruang untuk trayek -trayek baru atau jenis-jenis pelayanan.

Pelayanan transportasi publik dapat dinilai buruk dilihat dari tingkat pelayanan yang rendah (waktu tunggu tinggi, lamanya waktu perjalanan, ketidaknyamanan dan keamanan di dalam angkutan umum), tingkat aksesibilitas rendah (bisa dilihat dari masih banyaknya bagian dari kawasan perkotaan yang belum dilayanani oleh angkutan umum, dan biaya tinggi. Biaya tinggi ini diakibatkan rendahnya aksesibilitas dan kurang baiknya jaringan pelayanan angkutan umum yang mengakibatkan masyarakat harus melakukan beberapa kali pindah angkutan dari titik asal sampai tujuan, belum adanya keterpaduan sistem tiket, dan kurangnya keterpautan moda. Kondisi ini mengakibatkan biaya yang harus dikeluarkan untuk menggunakan angkutan umum jumlahnya jauh lebih besar dibanding biaya yang harus dikeluarkan jika menggunakan angkutan pribadi, seperti sepeda motor atau mobil.

Sadih (2009) mengungkapkan bahwa pada umumnya perkembangan sarana transportasi publik di Indonesia berjalan sedikit lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini disebabkan oleh perbedaan regulasi pemerintah masing-masing negara dalam menangani kinerja sistem transportasi yang ada. Kebanyakan dari negara maju menganggap pembangunan transportasi merupakan bagian yang integral dari perencanaan. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana transportasi seperti halnya dermaga, pelabuhan, bandara, dan jalan rel dapat menimbulkan efek ekonomi berganda yang cukup besar, baik dalam hal penyediaan lapangan kerja, maupun dalam memutar konsumsi dan investasi dalam perekonomian lokal dan regional.

Kurang tanggapnya pemerintah dalam menanggapi prospek perkembangan ekonomi yang dapat diraih dari transportasi merupakan hal yang seharusnya dihindari. Jaringan urat nadi perekonomian akan sangat tergantung pada sistem transportasi yang andal dan efisien, yang dapat memfasilitasi pergerakan barang dan penumpang di berbagai wilayah di perkotaan. Sistem transportasi yang dapat diandalkan adalah transportasi publik.

Transportasi publik dapat diartikan sebagai angkutan umum, baik orang maupun barang, dan pergerakan dilakukan dengan moda tertentu dengan cara membayar (Aminah, 2007). Sistem transportasi publik diharapkan dapat menjadi sistem transportasi yang berkelanjutan. Sistem transportasi yang berkelanjutan menyangkut tiga komponen penting, yaitu aksesibilitas, kesetaraan dan dampak lingkungan.

Secara garis besar kondisi sarana dan prasarana transportasi publik di Indonesia masih belum dioptimalkan. Dalam bahasa keseharian, terdapat empat hal yang dapat dijadikan tolak ukur dalam melakukan evaluasi sederhana kondisi transportasi di Indonesia, yaitu keselamatan, keamanan, keterjangkauan, dan kenyamanan (Sadih, 2009).

Aspek pertama dan utama adalah masalah keselamatan. Hal ini tidak bisa ditawar karena semua orang tidak menginginkan datangnya musibah. Berbagai data kecelakaan baik dari Jasa Raharja, Kepolisian, maupun Departemen Perhubungan yang selalu berbeda menunjukkan bahwa angka korban kecelakaan meninggal dunia dan luka cukup mencengangkan, yaitu mencapai sekitar 80 orang per hari. Transportasi publik tidak pernah lepas dari berita mengenai transportasi darat yang mengalami kecelakaan pada angkutan kereta api. Kecelakaan transportasi udara dan laut juga menambah catatan sejarah ambruknya transportasi di Indonesia. Kecelakaan yang selama ini terjadi dipersepsikan sebagai takdir. Jika semua orang berfikir seperti itu, maka tidak akan pernah menghasilkan manajemen transportasi yang mengedepankan keselamatan manusia. Sesungguhnya, keselamatan transportasi perlu diperhatikan karena merupakan dasar kegiatan transportasi.

Aspek kedua adalah keamanan. Berbagai survei transportasi, baik di perkotaan maupun antar kota memperlihatkan bahwa para penumpang umumnya masih menempatkan aspek ini ke dalam dua hal utama dalam melakukan perjalanan. Keamanan merupakan salah satu faktor yang sangat dipertimbangkan oleh para penumpang. Kenyataan ini konsisten dengan berbagai kajian bahwa faktor keamanan sangat mempengaruhi keputusan seseorang dalam menentukan jenis kendaraan yang dipilih.

Ketiga adalah masalah keterjangkauan. Seseorang memilih alat angkut didasarkan atas anggaran masing-masing. Ada yang mampu naik kapal terbang atau naik kapal laut, selebihnya hanya mampu dengan bis, kereta api, kendaraan pribadi, sepeda motor, atau yang lainnya. Pemerintah terlihat telah berupaya maksimal untuk mengatur tarif sehingga aspek keterjangkauan ini tidak menyusahkan rakyat banyak. Pelayanan angkutan kelas ekonomi yang sering kali dianggap sebagai kewajiban pelayanan umum telah dicoba untuk diatur sehingga masyarakat berpenghasilan rendah dapat memiliki berbagai aksesibilitas dalam aktivitas kesehariannya.

Aspek terakhir adalah kenyamanan. Dalam suasana di mana pasokan jauh lebih kecil daripada permintaan, maka aspek ini tampaknya harus agak ditoleransi oleh para penumpang angkutan umum, terutama yang berkantong pas-pasan. Kenyamanan tampaknya menjadi aspek luxury bagi sebagian besar pengguna transportasi di Indonesia. Dari mulai mereka yang berjalan kaki, naik kendaraan tidak bermotor, sepeda motor, hingga kendaraan mewah, tidak akan terlepas dari aspek ketidaknyamanan, tentunya dengan derajat yang berbeda-beda. Kesadaran masyarakat merupakan hal yang utama. Sebagian masyarakat terkadang lebih egois karena selalu saja mencari jalan untuk memperoleh kemudahan. Tidak jarang mereka memaksakan diri untuk berdesak-desakan meskipun telah melewati kapasitas angkutan yang ditargetkan. Masyarakat perlu diberikan kesadaran untuk tetap mengikuti prosedur yang berlaku. Semua pihak harus tetap kritis dalam memperbaiki sistem pelayanan tranportasi publik yang lebih nyaman di masa depan.

Beberapa tahun belakangan ini pemerintah berencana mengajak masyarakat agar mengurangi frekuensi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi publik. Yang menjadi masalah adalah pelayanan publik terutama bidang transportasi belum cukup siap dan layak untuk mengantisipasi peralihan penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi publik. Sepertinya pemerintah belum menyiapkan program dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana transportasi publik (Leonardo, 2008).

Seperti pada pembahasan sebelumnya, Kristanti (2009) mengkategorikan Jakarta sebagai salah satu dalam jajaran kota dengan transportasi terburuk di dunia karena sarana transportasi publik yang ada jauh dari yang diharapkan. Hal tersebut terlihat dari belum sebandingnya antara pengguna jasa dengan armada yang ada. Bukan hal baru apabila terlihat kesesakan penumpang di bis kota, kereta api, dan transportasi publik lainnya.

Kemacetan merupakan persoalan yang besar bagi kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Hal tersebut disebabkan luas jalan yang terbatas dengan pertumbuhan kendaraan terutama sepeda motor yang semakin meningkat dari hari ke hari. Sebenarnya, masyarakat menggunakan sepeda motor karena tidak ada aternatif lain. Transportasi publik seperi bis kota dirasa lebih mahal dua kali lipat dibandingkan sepeda motor. Soehodho (2008) memperkirakan apabila pemerintah membatasi jumlah sepeda motor, maka akan menjadi masalah baru bagi kalangan menengah yang ingin menghemat biaya transportasi. Apabila pemerintah tidak segera melakukan pembaharuan terhadap sarana transportasi publik, maka rencana pemerintah yang tadinya ingin mengurangi angka kemacetan tidak akan terwujud. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah menjadikan transportasi publik yang tidak memberatkan, murah, dan terjangkau sehingga orang tidak akan berfikir dua kali untuk menggunakan transportasi publik.

Sebagai contoh adalah transportasi publik di Kota Bandung. Kota Bandung memiliki area seluas 167 km2 dengan jumlah penduduk 2,5 juta jiwa. Bandung telah mengoperasikan angkutan kota yang berdaya angkut 10-15 orang sebagai transportasi publik utama. Saat ini jumlah angkot telah mencapai lebih dari 5.500 unit dengan panjang trayek total 437km. Dengan kapasitas tiap unitnya yang kecil, maka efisiensi energinya jauh dari optimal karena memerlukan jumlah unit yang banyak sehingga juga menambah volume polusi udara, diperparah pula dengan kondisi yang sangat tidak nyaman. Angkutan kota dengan jumlah yang banyak tersebut berebut jalan dengan kendaraan pribadi, ditambah dengan tidak adanya kejelasan di mana angkutan berhenti dan menaikkan penumpang sehingga menimbulkan kemacetan.

Pada umumnya, kota yang pesat perkembangannya adalah yang berada pada jalur sistem transportasi. Perubahan gaya hidup, pola perkembangan kota, dan pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi memang mengurangi sumbangan transportasi publik bagi mobilitas suatu kota, namun bis, kereta api, pesawat, dan kapal laut masih memainkan peran yang amat penting dalam hubungan antar kota.

Warpani (2003) menambahkan bahwa perkembangan kepemilikan kendaraan pribadi yang pesat akibat meningkatnya kesejahteraan masyarakat tidak mungkin terus menerus diikuti dengan pembangunan jaringan jalan sehingga mendorong kota untuk menggalakkan transportasi publik. Sejumlah kota di negara maju sangat merasakan manfaatnya. Transportasi publik berfungsi melayani pergerakan orang dan barang sehingga kebijaksanaan yang menyangkut sistem transportasi tidak dapat mengabaikan peran penting ini.

Untuk meningkatkan mutu pelayanan transportasi publik dapat dilakukan dengan berbagai cara termasuk kebijakan yang lebih mengistimewakan transportasi publik seperti penerapan lajur khusus bus, lajur bus arus balik, dan pembatasan atau larangan kendaraan pribadi dalam kawasan tertentu selama waktu tertentu. Semua cara tersebut dimaksudkan untuk mendorong orang lebih mengutamakan menggunakan transportasi publik dengan tujuan membantu meningkatkan kelancaran lalu lintas.

E. Pendekatan Perencanaan Transportasi di Indonesia

Transportasi yang lancar dan dapat memenuhi kebutuhan minimal di perkotaan merupakan impian bagi para perencana dan masyarakat kota. Beberapa pendekatan mengenai persoalan transportasi (Marbun, 1979), antara lain:

1. Perencanaan dan pembuatan prasarana jalan yang memadai untuk mendukung keperluan transportasi. Usaha tersebut dapat berupa pembuatan jalan, jalur kereta api, jembatan, perluasan jalan, penyediaan tempat parker, dan terminal;

2. Perencanaan lokasi permukiman, tempat kerja, dan tempat rekreasi secara terintegrasi sehingga dapat dicapai oleh masyarakat secara cepat dan lebih ekonomis;

3. Perencanaan dan penyediaan sarana transportasi publik yang memadai dalam mendukung gerak arus ekonomi kota yaitu arus transportasi manusia dan barang. Usaha tersebut berkaitan dengan penyediaan bus dan transportasi publik lainnnya seperti kereta api, trem, kereta api baeah tanah, truk, taksi, dan angkutan lainnya seperti becak, oplet, bemo, dan lain-lain. Penyediaan sarana transportasi publik ini juga harus didikung dengan penyediaan stasiun, terminal, parker, dan tempat pemberhentian yang memadai;

4. Pengaturan pola lalu lintas yang terencana dengan baik; dan

5. Pengaturan pola kepemilikan kendaraan pribadi.

F. Hubungan Pelayanan Jalur Pedestrian dengan Prioritas Penggunaan Moda Transportasi Publik

Kegiatan berjalan kaki dilakukan untuk melakukan perpindahan tempat berdasarkan kebutuhan dan menjadi aktivitas yang sering dilakukan. Kemampuan manusia dalam berjalan memiliki keterbatasan, oleh karena itu jalur pedestrian harus dirancang agar dapat menciptakan perjalanan yang efisien.

Berkaitan dengan sistem transportasi publik, keterbatasan kemampuan manusia dalam berjalan kaki menjadi pertimbangan dalam peletakkan jalur pemberhentian bagi transportasi publik tersebut, misalnya halte bus, stasiun, pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Di Indonesia, peletakkan halte bus memiliki jarak yang jauh sehingga para pejalan kaki enggan menggunakan bus dengan alasan kelelahan berjalan. Faktor lainnya adalah karena memang kondisi jalur pedestrian yang tersedia tidak mampu meningkatkan minat masyarakat untuk berjalan kaki. Padahal, jalur pedestrian yang mampu menarik jumlah pejalan kaki juga akan meningkatkan jumlah pengguna transportasi publik seperti bus kota.

Transportasi publik dapat dijadikan prioritas dalam transportasi di perkotaan karena transportasi publik menggunakan prasarana yang lebih efisien dibandingkan dengan kendaraan pribadi.

Pelayanan transportasi publik dapat menjadi lebih baik apabila dapat dipenuhi ukuran pelayanan (Hadi, 1997), antara lain:

a. Perbaikan operasi pelayanan, frekuensi, kecepatan dan kenyamanan;

b. Perbaikan sarana penunjang jalan, yaitu:

1) Penentuan lokasi dan desain tempat pemberhentian dan terminal yang baik, terutama dengan adanya moda transportasi yang berbeda-beda;

2) Pemberian prioritas yang lebih tinggi bagi transportasi publik, misalnya pembuatan jalur khusus bus.

Sesungguhnya, permasalahan utama selain dilihat dari kondisi jalur pedestrian adalah masyarakat Indonesia yang tidak terbiasa untuk berjalan kaki. Padahal, dari harian Kompas (2009) menunjukkan bahwa tiap 1 meter perjalanan dengan mobil memberikan sumbangan 0,3 gram CO2. Artinya, apabila jarak 1-3 km dapat ditempuh masyarakat dengan berjalan kaki, maka 300-900 gram emisi CO2 dapat dikurangi. Selain ekologi, berjalan kaki berpengaruh pula pada ekonomi. Dengan berjalan kaki, orang akan memilih untuk tidak menggunakan kendaraan dalam jarak yang dekat dan memanfaatkan transportasi publik untuk jarak jauh. Dengan demikian, biaya untuk membeli bahan bakar minyak dan biaya perawatan kendaraan juga akan berkurang. Berjalan kaki juga banyak memberikan manfaat bagi kesehatan sehingga akan mengurangi pengeluaran untuk biaya berobat. Bahkan, tanpa disadari berjalan kaki berdampak juga pada perkembangan perekonomian bagi pertokoan di pingir jalan. Menurut penelitian yang dilakukan Priyanto (2004), kemampuan mata manusia untuk menangkap informasi adalah 3 macam obyek per detik. Seorang pejalan kaki kira-kira butuh waktu selama 10 detik, sedangkan pengendara mobil mungkin hanya 1 detik untuk melewati jarak sepanjang 15 meter. Dengan demikian, pengendara mobil hanya memperoleh 3 macam informasi dibandingkan 30 macam informasi yang didapat oleh pejalan kaki. Selanjutnya, tidak hanya pejalan kaki dan pengusaha pertokoan yang akan memperoleh keuntungan ekonomi, tetapi juga anggaran pengeluaran pemerintah dapat ditekan karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pembangunan dan pelebaran jalan sehingga dana yang tidak terpakai dapat digunakan untuk perbaikan pelayanan umum. Hal lain yang ikut berpengaruh adalah ekuitas atau kesetaraan. Berjalan kaki tidak memberikan batasan status, gender, usia, dan kepentingan. Semua yang melakukannya akan memperoleh kedudukan yang sama, yakni pejalan kaki atau pedestrian. Farn dalam bukunya Sustainable, Urban Design with Nature (2007) mengemukakan bahwa sustainable city dapat diwujudkan dengan terciptanya hubungan yang dekat akibat berjalan kaki bersama. Jika gaya hidup berjalan kaki dapat diterapkan, maka orang kaya dan orang miskin akan berjalan kaki bersama sehingga kesetaraan akan terwujud. Fakta di Indonesia menunjukkan bahwa masalah kesenjangan sosial sangat sulit untuk dicari jalan keluarnya. Orang kaya dan miskin tidak mudah untuk disetarakan. Meskipun berjalan kaki bersama namun pembawaan status sosial sangat terlihat sehingga pengaruh untuk ekuitas dianalisis menempati posisi terkecil.

G. Keberhasilan Penerapan Public transportation dengan Dukungan Prasarana Pedestrian Way di Curitiba, Brazil

Curitiba merupakan kota dengan perencanaan dan investasi transportasi publik yang bisa diakses dan terjangkau. Transportasi publik yang digunakan di Curitiba adalah Bus Rapid Transit (BRT). Penggunaan BRT didasarkan atas biaya standar antara tiga mode utama transportasi umum yaitu Kereta Api Bawah Tanah, Kereta Api Sistem Cahaya, dan BRT. Biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan jalur Kereta Api Bawah Tanah adalah $ 100 juta per kilometer dan Kereta Api Sistem Cahaya adalah $ 20 juta per kilometer, sedangkan BRT adalah $ 1 sampai 2 juta per kilometer. Waktu yang dibutuhkan untuk membangun sistem BRT adalah dua sampai tiga tahun, sedangkan Kereta Api Bawah Sistem Cahaya selama 10 tahun dan Kereta Api Bawah Tanah selama 30 tahun (Laube & Schwenk, 2007). BRT menjadi solusi dalam mengurangi dana penyediaan transportasi publik dengan tetap meningkatkan fungsinya.

Eryudhawan (2009) mengungkapkan bahwa sistem transportasi Curitiba diciptakan dengan pendekatan Transit Oriented Development (TOD). Pembangunan dengan kepadatan tinggi dikonsentrasikan di sepanjang lima koridor linear yang menyebar ke arah luar pusat kota lama. Fungsi perumahan, perkantoran, pendidikan, dan kegiatan komersial dipusatkan pada koridor yang dilalui oleh arus pergerakan penumpang yang mencapai 2 juta penumpang setiap harinya. Koridor tersebut menjadi pusat kota yang linear dengan pusat kota lama yang diubah menjadi kawasan pejalan kaki.

BRT adalah alat transportasi utama yang menyenangkan dan menjadi keunggulan. Sistem busway itu direncanakan berdasarkan rencana induk kota yang bertujuan untuk menahan laju urban sprawl, menekan volume lalu lintas kendaraan bermotor yang masuk ke pusat kota, melestarikan bagian kota yang bersejarah, dan membangun sistem transportasi umum yang nyaman dan terjangkau. Prinsip utama yang dipergunakan adalah pembangunan kota yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia, bukan mobil.

Sepuluh perusahaan bus swasta dibayar berdasarkan jarak tempuh bukan volume penumpang. Hal ini dilakukan untuk memungkinkan distribusi rute bus yang seimbang. Total Bus yang beroperasi adalah 1902 bus dapat mengangkut 2 juta penumpang dengan 12.500 total perjalanan setiap harinya. BRT Curitiba menggunakan tiga jenis bus untuk mengakomodasi volume penumpang yang sangat tinggi, antara lain bus berkapasitas penumpang 110 orang, kapasitas 160 orang, dan yang berkapasitas 270 orang. Salah satu keunikan bus-bus tersebut adalah ketika berhenti dan pintu terbuka, papan pijakan dari bus ikut terbuka dan menutup celah antara lantai bus dan lantai halte (Eryudhawan, 2009). Desain seperti ini sangat aman untuk pergerakan keluar masuk penumpang sehingga sangat aman digunakan bagi bagi penyandang cacat, orang tua, dan anak-anak. Setelah sepuluh tahun, kota mengambil kontrol bus dan menggunakannya untuk transportasi ke taman-taman, atau sebagai sekolah berjalan.

Navastara (2007) menjelaskan bahwa terdapat 12 terminal penumpang di Curitiba, yang tersebar di seluruh penjuru. Terminal-terminal tersebut memberi kemudahan karena memungkinkan penumpang dapat meninggalkan dan berganti bus tanpa harus membeli tiket baru. BRT dirancang seperti sistem kereta api bawah tanah yang melaju di jalur eksklusif tanpa hambatan. Jalur eksklusif tersebut steril dari kendaraan lain dan digunakan oleh busway dua arah. Jalur itu diapit oleh jalan kendaraan pribadi di kedua sisinya. Dalam keadaan darurat, koridor busway dapat digunakan untuk ambulans dan kendaraan polisi namun tidak menimbulkan masalah karena koridor BRT merupakan jalur dua arah yang memungkinkan kendaraan menyalip.

Jalur pemberhentian berbentuk silinder/tabung. Tabung tersebut memberikan perlindungan dari unsur-unsur luar dan memfasilitasi beban simultan dan bongkar muat penumpang, termasuk kursi roda. Penumpang membayar ongkos sekitar 40 sen untuk perjalanan seluruh sistem dengan transfer tanpa batas antara bus di terminal. Transfer terjadi dalam bagian prabayar dari terminal, sehingga transfer tiket tidak diperlukan. Kemudahan yang diberikan terminal ini adalah ketersediaan layanan telepon umum, kantor pos, koran dinding, dan toilet kecil.

Keberhasilan Curitiba dalam menerapkan BRT sebagai transportasi idaman dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:

1. Mengurangi fasilitas parkir kendaraan bermotor;

2. Menempatkan 200 radar lalu lintas berbasis sensor di seluruh penjuru jalanan utama. Teknologi ini dipasang di trotoar yang dilengkapi kamera digital. Radar ini berfungsi untuk mendeteksi setiap mobil yang melaju di atas speed limit. Instrumen akan merekam nomor mobil, waktu, dan tempat kejadian yang selanjtnya dikirim ke tempat tinggal sang pengemudi dan diharuskan membayar denda (Navastara, 2007);

3. Tingkat pelayanan bus tersebut yang lebih tinggi dari pelayanan kendaraan pribadi telah mampu mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan kendaraan pribadi.

Dharma (2005) menerangkan bahwa selain pembangunan jalur BRT, Curitiba juga membangun jalur khusus pedestrian dan untuk sepeda sepanjang 150 kilometer. Sistem BRT sepanjang 72 kilometer sangat ditunjang oleh keberpihakan kota pada kepentingan pejalan kaki. Beberapa ruas jalan yang padat dengan pertokoan ditutup bagi kendaraan bermotor dan diubah menjadi daerah khusus untuk sirkulasi pejalan kaki saja. Dapat dipastikan bahwa calon penumpang dapat mencapai halte dalam jarak tidak lebih dari 400 meter. Proses pencapaian ke halte juga dibuat senyaman mungkin lewat zebra cross karena pembuatan jembatan penyeberangan dianggap tidak akrab bagi penyandang cacat dan orang tua Seiring dengan itu, dibangun pula jalur sepeda (bikeways) di sepanjang koridor busway yang mencapai 130 kilometer.

H. Keberhasilan Penerapan Public transportation dengan Dukungan Prasarana Pedestrian Way di Bogota, Kolombia

Bogota merupakan ibukota Kolombia, yang berada di wilayah Amerika Selatan dengan jumlah penduduk lebih dari tujuh juta jiwa. Dahulu, Bogota memiliki tingkat pengangguran 20%, dan 55% tingkat perekonomian masyarakatnya berada di bawah garis kemiskinan dengan penurunan nilai eksport dan politik yang tidak stabil. Dalam kondisi demikian, Indonesia masih lebih baik dari Bogota jika dilihat dari tingkat polusi dan kerusakannya. Namun akhirnya terjadi perubahan. Walikota Bogota merencanakan pembangunan kota dan transportasi yang tidak berorientasi pada kendaraan dan bisnis, tetapi lebih ditekankan pada aspek manusia yaitu anak-anak, remaja, dan orang tua. Pada intinya, perencanaan kota dan transportasi ditekankan pada pembangunan jalur pedestrian dan pedestrian yang memadai, peningkatan kualitas transportasi publik, dan mengganti papan reklame di sepanjang jalan dengan pepohonan. Bogota ingin mewujudkan kota yang baik, yaitu menyediakan tempat bagi pedestrian (Ariani, 2008).

Jalur pedestrian di Bogota telah menjadi bagian penting dari akses lalu lintas karena telah melewati berbagai kawasan dan permukiman di Bogota. Jalur pedestrian tertutup untuk kendaraan bermotor . Bogota telah membangun jalur pedestrian sepanjang 374 km, dengan demikian Bogota telah mempunyai prasarana pedestrian yang luas dengan sarana transportasi publik yang handal. Penilaian bahwa masyarakat yang berjalan kaki adalah golongan menengah ke bawah tidak berlaku di kota ini. Masyarakat Bogota mulai merasakan dampak buruk kendaraan bermotoryang dapat menimbulkan polusi udara, kebisingan, kemacetan, kecelakaan, dan pemborosan energi. Berjalan kaki merupakan salah satu alternatif yang paling mungkin dan efisien untuk menghemat energy (Ariani, 2008). Untuk memaksimalkan jumlah pedestrian , maka seharusnya diutamakan pembangunan jalur khusus pedestrian, bukan jalan tol, jalan layang, maupun terowongan.

Apabila tersedia transportasi publik yang aman, nyaman, dan tepat waktu serta tersedia jalur khusus pedestrian yang aman dan nyaman, maka dengan sendirinya orang akan memilih fasilitas tersebut sebagai moda transportasi daripada naik kendaraan pribadi dan mengalami stress karena kemacetan. Transportasi publik yang diterapkan adalah Transmilenio. Transportasi ini tidak menjadikan transportasi publik konvensional menjadi rugi, karena semua tetap beroperasi. Transmilenio telah mengurangi 1 sampai 2 jam waktu tempuh pada koridor yang sama dengan tarif 900 peso atau sekitar Rp3000,00 dan dapat digunakan untuk berkeliling Kota Bogota (Ariani, 2008).

I. Keberhasilan Penerapan Public transportation dengan Dukungan Prasarana Pedestrian Way di Singapura

Erwin (2008) menjelaskan bahwa moda transportasi publik di Singapura bejenis Mass Rapid Transit (MRT). Mass Rapid Transit (MRT) yang terdapat di Singapura berjenis Kereta listrik dan tidak jauh berbeda dengan kereta api di Indonesia. Hanya saja sumber tenaganya berasal dari listrik. Kondisi kereta listrik di Singapura ini sangat bersih dan memperoleh perawatan yang baik meskipun bukan kereta baru. Moda tersebut mempunyai 2 jenis platform, yaitu platform upperground dan underground. Jalur antara platform upperground dan underground telah saling terkoneksi. Sebagai contoh, pada pusat kota, kereta MRT melewati bawah tanah, lalu perlahan-lahan rel tersebut menanjak naik menuju Upperground. Kota Jakarta sebenarnya sedang merencanakan konsep sepeti ini. Jenis transportasi ini sangat menghargai manusia, dapat dibuktikan dari MRT jalur bawah yang sangat memperhatikan jalur penyandang cacat terutama tunanetra. Strip-strip stainless pada lantai (foto di atas) merupakan jalur khusus untuk orang buta karena yang diutmakan di Singapura memang para pedestrian dibanding pengguna mobil atau kendaraan bermotor. Transportasi publik lain yang terdapat di Singapura adalah bus. Tidak seperti bus di Kota Jakarta yang terkesan kumuh, bus di Singapura sangat bersih, aman, dan tanpa asap rokok.

Berkaitan dengan jalur pedestriannya, masih terdapat jalur pedestrian atau trotoar yang terputus karena berpotongan dengan jalan. Jalur yang berpotongan dengan jalan tersebut memiliki ramp, yaitu melandai turun lalu kemudian naik lagi. Di sepanjang jalur pedestrian tersebut tidak terpasang iklan atau reklame, melainkan tanaman dan pepohonan yang menjadikan masyarakat di sana lebih menikmati perjalanan dengan berjalan kaki menuju halte-halte MRT dan bus (Erwin, 2008). Jalur pedestrian yang nyaman telah maningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan Mass Rapid Transit (MRT) dalam bentuk kereta listrik dan bus, sehingga menekan jumlah kepemilikan kendaraan pribadi.

J. Peluang Penerapan Sustainable Publik Transport dengan fasilitas pedestrian way di Indonesia

Salah satu kota di Indonesia yang merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian yaitu Kota Jakarta telah memperkenalkan moda transportasi publik berjenis busway Trans Jakarta pada tahun 2004. Trans Jakarta memiliki kemiripan dengan Trans Milleno yang terdapat di Bogota, Kolombia yang dapat memperlihatkan ciri Kota Jakarta sebagai kota padat penduduk. Penerapan moda transportasi publik ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang sehat dengan menkan penggunaan kendaraan pribadi untuk beralih menggunakan TransJakarta.

Berdasarkan data dari ITDP Indonesia, kondisi Trans Jakarta hingga tahun 2009 adalah:

Tabel 1 Kondisi Pengoperasian TransJakarta 2009

Rute

Panjang Koridor (km)

Jumlah

Jumlah Halte

Single

Gandeng

Blok M-Kota

12.90

82

-

20

Pulogadung-Harmoni

14.00

48

-

23

Pulogadung-Kalideres

33.00

20

-

39

HaRMONI-kALIDERES

19.00

46

-

14

Pulogadung-Dukuh Atas II

11.85

29

-

17

Kampung Melayu –Ancol

13.50

14

13

17

Ragunan –Dukuh Atas

13.30

31

-

20

Kampung Rambutan – Kampung Melayu

12.80

18

-

14

PGC –Senen

13.30

22

-

17

PGC-Ancol

19.30

12

-

22

Total

322

13

Sumber: ITDP Indonesia (2009)

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebenarnya Kota Jakarta dalam jumlah armada yang beroperasi telah siap menerapkan moda transportasi publik. Armada yang ada telah melewati bagian-bagian di pusat kota yang biasa terkena kemacetan akibat tingginya jumlah kendaraan yang melewatinya, namun daerah-daerah tersebut merupakan titik-titik yang selalu ramai dikunjungi. Berdaarkan data dari ITDP Indonesia (2009), terjadi peningkatatan penumpang TransJakarta sebanyak 9.85 % selama satu tahun. Fakta ini manunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat Kota Jakarta memiliki harapan terhadap moda transportasi ini.

Penggunaan moda transportasi publik berupa busway (Trans Jakarta memberikan dampak positif terhadap lingkungan. Berikut fakta perubahan dampak lingkungan berdasarkan hasil studi dari ITDP Indonesia.

Tabel 2 Dampak Lingkungan Akibat Penggunaan Moda Transportasi Busway (Trans Jakarta)

Emisi (ton/hari)

Konsumsi BBM (liter/hari

NOx

PM

CO

CO2

HC

Tanpa busway

2.58

0.30

19.00

229

4.44

57730

Dengan busway

0.40

0.00

0.04

47

0.37

20292

Pengurangan

2.17

0.30

18.96

182

4.07

37438

Pengurangan (ton/tahun)

792.84

109.81

6922.01

66419

1485.93

13664880

Sumber: ITDP Indonesia (2009)

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa terjadi perubahan besar dari segi kualitas lingkungan dengan penerapan moda transportasi publik Trans Jakarta. Dengan penggunaan busway atau Trans Jakarta, dapat terjadi pengurangan emisi CO2 sebanyak 66419 ton per tahun. Seperti diketahui bersama, CO2 atau karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang menyumbangkan fenomena pemanasan global. Indonesia merupakan salah satu negara yang berkomitmen dan ikut menandatangani Protocol Kyoto dalam mengurangi sumbangan emisi gas rumah kaca. Trans Jakarta yang baru diterapkan di Kota Jakarta saja sudah dapat membantu mengurangi emisi kendaraan bermotor, apalagi bila diterapkan di kota-kota besar lainnya. Selain itu, seperti yang dikataui bersama, isu yang beredar adalah penghematan energy. Jumlah pasokan energy dunia semakin terbatas. Penerapan moda transportasi publim berupa busway atau Trans Jakarta telah membantu mengurangi konsumsi Bahan Bakar Minya (BBM) sebanyak 13664880 liter per tahun.

Apabila dicermati lebih jauh, sesungguhnya penerapan Trans Jakarta tidak hanya berdampak positif terhadap lingkungan, namun juga berdampak positif secara ekonomi. Peningkatan jumlah penumpang Trans Jakarta berdampak pada meningkatnya pendapatan operasaional dan efisiensi biaya perawatan dan berdampak langsung pada penurunan subsidi penumpang.

Kota Jakarta yang dahulunya dikenal dengan kemacetan lalu lintas yang jalan-jalan yang dipenuhi oleh mobil dan sepeda motor serta polusi udara yang dapat tergolong parah dapat mulai bangkit dengan adanya TransJakarta. Moda transportasi publik ini menggunakan sistem rapid trnsit sehingga berpotensi mengurangi kemacetan (Yunita, 2008). Dapat dikatakan demikian karena Trans Jakarta menggunakan sistem Bus Rapid Transit (BRT) tercepat di Asiaseperti layaknya yang terdapat di Curitiba dan Bogota. Trans Jakarta juga menjadi salah satu sistem BRT terpanjang di dunia dengan panjang 97.35 km (Yunita 2008).

Permasalahan yang terjadi berkaitan dengan moda tranportasi ini adalah pelayanan penumpang yang lebih sedikit dari ukurannya. Masyarakat di Jakarta masih sulit mengubah paradigm bahwa memiliki kendaraan pribadi menjadi ciri prestise. Meskipun jumlah penumpang Trans Jakarta meningkat, namun pertumbuhan kendaraan pribadi juga terus meningkat.Berdasarkan sebuah studi (Yunita, 2008), terjadi penambahan labih dari 1500 sepeda motor per hari dan 500 mobil per hari. Hal yang lebih mengkhawatirkan lagi, hampir 70 % kendaraan pribadi di Kota Jakarta adalah mobil. Tingginya jumlah kendaraan pribadi dan kemacetan lalu lintas menyebabkan tidak adanya efisiensi bahan bakar dan pulusai udara berat dari emisi kendaraan bermotor tersebut. Data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan bahwa sektor transportasi kota memberikan kontribusi hingga 90 persen dari dihasilkannya gas Karbon Monoksida dan Hidrokarbon, serta 76 persen Nitrogen Oksida.

Trans Jakarta saat ini mulai mangalami penurunan jumlah penumpang. Hal tersebut diakibatkan banyaknya keluhan dari penumpang yang berkaitan dengan kenyamanan, keamanan dan kecepatan. Hal-hal yang dikeluhakan antara lain antrian yang panjang, kurangnya informasi yang relevan, frekuensi bus tidak mencukupi, dan kondisi dari tiap halte pemberhentian. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Jakrta perlu menyelesaikan permasalahan tersebut dan terus meningkatkan kualitas pelayanan untuk menciptakan Kota Jakrta sebagai kota yang efisien dengan udara bersih dan transportasi publik yang handal dan nyaman.

Moda transportasi publik berupa busway atau Trans Jakarta sesungguhnya memiliki potensi dalam menerapkan transportasi yang berkelanjutan setelah dilihat dari sistemnya tersebut. Trans Jakarta tidak akan dapat dikatakan sebagai transportasi yang berkelanjutan karena tidak didukung oleh tersedianya prasarana pedestrian yang memadai. Padahal, jalur pedestrian memberikan manfaat yang besar. Menurut Lumbantoruan (2008), jalur pedestrian dapat memberikan manfaat antara lain:

a. Sebagai fasilitas pejalan kaki atau pedestrian, yaitu sebagai elemen pelengkap atau trotoar yang diletakkan di kanan atau di kiri jalan yang menghubungkan atara kawasan yang satu dengan kawasan lainnya. Kawasan yang biasanya terhubung oleh jalur pedestrian adalah kawasan perdangangan, pariwisata, dan permukiman. Suatu kota akan terlihat lebih hidup apabila yang diutamakan dalam membangu sistem pergerakan adalah manusia atau pejalan kaki, bukan kendaraan bermotor;

b. Jalur pedestrian juga merupakan salah satu unsure yang menjadi penilaian keindahan suatu kota. Jalur pedestrian dapat memberikan pelayanan tidak hanya kepada pejalan kaki tetapi juga kota tersebut apabila terdapat hubungan antara jalur tersebut dengan kondisi lingkungannya. Hal tersebutb dapat diwujudkan dari pemenuhan elemen-elemen yang harus ada pada jalur pedestrian seperti pepohonan, tempat sampah,, tempat duduk, dan lain-lain;

c. Jalur pedestrian sebagai media untuk melakukan interaksi sosial karena jalur pedestrian memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bertemu dan bercengkrama, tidak seperti halnya apabila mengendarai mobil atau sepeda motor;

d. Jalur pedestrian sebagai usaha konservasi kota karena pembuatan jjalur pedestrian yang sesuai akan member jarak atau garis sempadan muka bangunan, mengurangu jumlah kendaraan yang melewatinya sehingga mengurangi getaran yang ditimbulkan kendaraan bermotor.

Manusia sebagai pengguna jalan atau kaum yang berposisi sebagai pedestrian memiliki keterbatasan dalam melakukan perjalanan disebabkan tenaga yang terbatas, terutama bgi kaum orang tua atau lansia. Oleh karena itu, berkaitan dengan hubungannya dengan transportasi publik, maka jalur pedestrian harus memperhatikan tingkat aksesibilitas. Lumbantoruan (2008) mengungkapkan bahwa jalur pedestrian dapat dikatakan memenuhi aksesibilitas apabila jalur tersebut tidak memiliki hambatan (tidak terputus) dan dapat menghubungkan seluruh elemen ruang jalan. Kondisi jalur pedestrian yang terputus tidak akan berpihak pada penyandang cacat dan pengguna kursi roda. Jalur pedestrian harus memiliki kemudahan akses terhadap tempat transit moda transportasi publik, misalnya halte bus.

K. Pedestrian Way dan Public transportation dalam menciptakan Sustainable Transportation di Indonesia

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai potensi dan permasalahan jalur pedestrian dan transportasi publik di Indonesia. Secara umum, kota-kota besar di Indonesia memiliki masalah yang hampir sama dengan kota-kota di negara berkembang lainnya. Masalah transportasi yang terjadi akibat ledakan jumlah penduduk yang berpengaruh pada kebutuhan akan transportasi. Beberapa waktu belakangan, kota-kota di Indonesia mulai mengalami peningkatan terhadap kesejahteraan. Dengan begitu, terjadi peningkatan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi akibat dari semakin mudahnya penawaran dan kepemilikan kendaraan tersebut. Jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat terutama mobil berdampak pada semrawutnya lalu lintas di kota-kota besar akibat terjadi kemacetan.

Kemacetan dapat berdampak pada citra transportasi Indonesia yang memburuk, serta terjadinya polusi udara dan kebisingan yang menyebabkan suatu kota menjadi tidak nyaman untuk dihuni. Dalam menghadapi masalah tersebut, seharusnya transportasi publik atau transportasi umum memiliki peranan yang besar. Namun pada kenyataannyta, kondisi angkutan umum di Indonesia tidak lebih baik sehingga masyarakat enggan menggunakannya. Khusus untuk Kota Jakarta yang telah menerapkan moda transportasi publik berbasis Bus Rapid Transit (BRT) sebenarnya memiliki potensi untuk menciptakan tranportasi yang diidamkan oleh masyarakat dan ramah lingkungan. Hingga tahun 2008 dan 2009 peningkatan jumlah penumpang Trans Jakarta telah memberikan dampak bagi lingkungan ditandai dengan penurunan kadar emisi dan juga pengurangan konsumsi Bahan Bakar Minyak. Sayangnya, kini Trans Jakarta menjadi kurang diminati akibat jalur khusus busway tersebut juga digunakan oleh kendaraan bermotor lain, bahkan mobil. Bahkan saat ini, pertumbuhan kendaraan bermotor semakin terus meningkat.

Selain ditinjau dari sisi internal transportasi publik tersebut, hal yang mempengaruhi rendahnya minat masyarakat untuk beralih moda dari kendaraan pribadi ke penggunaan transportasi publik adalah kondisi jalur pedestrian. Jalur pedestrian atau yang biasa dikenal sebagai trotoar di Indonesia tidak mampu mengakomodasi kebutuhan pejalan kaki akibat digunakan sebagai lahan parkir maupun tempat berdagang bagi para pedagang kaki lima. Jalur pedestrian di Indonesia tidak memenuhi syarat keamanan ditandai dengan jalurnya yang terputus dan berlubang. Selain itu, jalur pedestrian d Indonesia tidak tergolong nyaman akibat lebih banyak dipenuhi iklan, spanduk, atau reklame ketimbang pepohonan. Jalur pedestrian justru jarang terdapat di sepanjang halte pemberhentian sehingga masyarakat enggan berjalan kaki. Sesungguhnya dapat dimaklumi bahwa jalur pedestrian dapat ditempatkan di seluruh penjuru jalan di perkotaan. Kota-kota di Indonesia tidak memiliki pola guna lahan seperti kota-kota di negara maju. Tata guna lahan di negara maju yang mulai mengembangkan pola compact city telah mengurangi panjang rute perjalanan dari permukiman ke sarana lainnya sehingga efisien dalam perjalanan dengan berjalan kaki. Sedangkan kota-kota besar di Indonesia masih cenderung memiliki permukiman yang kumuh sehingga akses menjangkau jalur pedestrian dan halte transportasi publik akan sulit dicapai.

Tidak ada hasil yang dapat dicapai tanpa usaha. Begitu pula dengan kota-kota di Indonesia. Apabila Indonesia memang ingin mewujudkan sistem transportasi publik yang berkelanjutan, maka transportasi publiklah pilihannya. Dalam merencanakan transportasi publik yang diinginkan seperti berbasisi Bus Rapid Transit (BRT), maka hal pertama yang harus diperhatikan adalah aspek manusia. Manusia adalah pengguna jalan utama yang harus memperoleh kedudukan lebih tinggi dibandingkan mobil dan kendaraan bermotor lainnya. Mengistimewakan manusia dalam ranah transportasi artinya mengistimewakan pengguna jalan dan prasarana yang digunakan yaitu jalur pedestrian. Jalur pedestrian seharusnya memiliki kriteria-kriteria kemanan, kenyamanan, dan keselamatan dengan disertai elemen-elemen pelengkap. Jalur pedestrian yang nyaman dan aman akan menarik minat masyarakat untuk berjalan kaki dan menggunakan moda transportasi publik.

Peningkatan kualitas jalur pedestrian dapat meningkatkan kinerja transportasi publik dan bertitik tolak pada impian mewujudakan transportasi publik yang berkelanjutan. Transportasi yang berkelanjutan dapat diartikan sebagai transportasi yang dapat mengakomodasi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengabaikan kebutuhan manusia di masa mendatang. Konsep keberlanjutan haru dapat memenuhi 3 aspek penting, yaitu ekologi (lingkungan), ekonomi, dan sosial budaya (dalam hal ini adalah kesetaraan).

a. Aspek Ekologi

Berkaitan dengan aspek ekologi, jalur pedestrian akan menambah keindahan kota apalagi ditambah dengan penambahan elemen pepohonan yang dapat menyerap polusi dan gas emisi. Sedangkan penggunaan transportasi publik dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Transportasi publik dapat menampung penumpang dalam jumlah banyak dan berdampak pada pengurangan konsumsi energy bahan bakar minyak dan pengurangan emisi gas pencemar. Kondisi tersebut dapat meningkatkan kualitas lingkungan.

b. Aspek Ekonomi

Dengan berjalan kaki, masyarakat akan lebih sehat sehingga akan terjadi penghematan dalam biaya kesehatan. Masyarakat yang menggunakan moda transportasi publik akan lebih ekonomis karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli BBM dan perawatan kendaraan bermotor. Dengan adanya pengurangan konsumsi energy, maka pemerintah dapat memanfaatkan dana yang tersisa untuk perbaikan sarana dan prasarana transportasi.

c. Aspek Sosial Budaya dan Kesetaraan

Para pejalan kaki akan lebih sering bertemu dan bersosialisasi dengan pejalan kaki lainnya, begitupun kondisi di dalam moda transportasi publik. Para pejalan kaki dan penumpang tidak lagi harus mementingkan prestise karena semua berstatus sama.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan telaah sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:

a. Indonesia sebagai yang memiliki tingkat urbanisasi tinggi dan laju pertumbuhan ekonomi yang pesat berakibat pada meningkatnya kebutuhan penduduk untuk melakukan pergerakan sehingga berdampak langsung pada kemacetan dan buruknya pelayanan transportasi publik;

b. Pola kepemilikan kendaraan pribadi semakin berkembang dan berjalan cepat di luar kendali pemerintah dan pengemban kebijakan lainnya sehingga timbul permasalahan transportasi yang semakin kompleks;

c. Transportasi yang berkelanjutan dapat diartikan sebagai transportasi yang dapat mengakomodasi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengabaikan kebutuhan manusia di masa mendatang. Konsep keberlanjutan harus dapat memenuhi 3 aspek penting, yaitu ekologi (lingkungan), ekonomi, dan sosial budaya;

d. Dalam menciptakan transportasi publik yang berkelanjutan, moda transportasi publik menjadi pilihan utama. Moda tersebut akan dapat menhasilkan kinerja yang baik denga didukung prasarana jalur pedestrian yang aman, nyaman, dan menjangkau semua kalangan termasuk lansia dan penyandang cacat.

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, I. R. 2008. Bogota, Cerita Lama yang Tak Pernah Usang. http://tulisanperempuan.wordpress.com/2008/12/13/bogota-cerita-lama-yang-tak-usang/ [18 November 2010]

Aminah, S. 2007. Transportasi Publik dan Aksesibilitas Masyarakat Perkotaan. Jurnal Transportasi Publik. XII (2): 56-68.

Dharma, A. 2005. Sustainable Compact City Sebagai Alternatif Kota Hemat Energi. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Arsitektur dan Penghematan Energi Jurusan Arsitektur Universitas Gunadarma, Depok 5 September 2005.

Erwin.2008. Pedestrian-Ways. http://erwin4rch.wordpress.com/2008/10/19/pedestrian-ways-sebuah-opini/. [15 November 2010]

Eryudhawan, Bambang. 2009. Busway di Curitiba. http://tempoonline.com/2009/busway-di-curitiba/[1 Mei 2010]

Farm. Dougless. 2007. Sustainable Urbanism. Urban Design with Nature. New York: Wiley

Hadi, Bambang. 1997. Kinerja Jalur Pedestrian dan Pengaruhnya terhadap Kemampuan Layanan Angkutan Umum Bus Kota. Skripsi. Bandung: ITB

Hairulsyah. 2006. Kajian Tentang Transportasi di Kota Medan dan Permasalahannya. JURNAL PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH. I (III):110-120

Indraswara, Sahid. 2007. Kajian Kenyamanan Jalur Pedestrian pada Jalan Imam Barjo Semarang. JURNAL ILMIAH PERANCANGAN KOTA DAN PERMUKIMAN. VI (II) : 59-69

Iswanto, Danoe. 2006.Pengaruh Elemen-Elemen Pelengkap Jalur Pedestrian Terhadap Kenyamanan Pejalan Kaki. JURNAL ILMIAH PERANCANGAN KOTA DAN PERMUKIMAN. V (I) : 21-29

ITDP Indonesia. 2009. Lembar Fakta 2009. http://www.itdp-indonesia.org/ [15 November 2010]

Kristanti, Y. E. 2009, 22 November. Roma, London, dan Jakarta Terburuk di Dunia. Viva News

Laube, Melissa & Judih Schwenk.2007. Curitiba’s Bus System for Rapid Transit. JOURNAL FOR SOCIAL AND ENVIRONMENTAL JUSTICE. Volume 14.

Leonardo. 2008. BBM Naik, Sarana Transportasi Publik Menjadi Solusi. http://relawanyappika.wordpress.com/2008/05/24/bbm-naik-sarana-transportasi-publik-harus-bisa-jadi-solusi/ [19 Desember 2008]

Lumbantoruan, Frans. 2008. Pedestrianisasi Kawasan Pusat Kota Medan. Tesis. Medan: USU

Marbun, B. N. 1979. Kota Indonesia Masa Depan, Masalah dan Prospek. Jakarta: Erlangga

Navastara, Ardy. 2007. Belajar dari Kota Curitiba: Penerapan Budaya Ekologis. http://jepits.wordpress.com/2007/12/19/belajar-dari-kota-curitiba-penerapan-kota-ekologis/ [1 Mei 2010]

Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan

Putri, M.D. 2008. Representasi Editorial Harian Umum Media Indonesia tentang Kinerja Pemerintah dalam Mengurus Transportasi Publik di Indonesia. Skripsi. Bandung: Universitas Padjajaran.

Priyanto, Totok. 2004. Lingkungan Perkotaan yang Ramah Bagi Pejalan Kaki. MAKALAH PRIBADI. Bandung: IPB

Sadih. 2009. Transportasi Sebagai Aktivitas Sosial Ekonomi. http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-pengangkutan/transportasi-sebagai-aktivitas/ [19 Desember 2009]

Sumadi. 2006. Kemacetan Lalu Lintas Pada Ruas Jalan Veteran Kota Brebes. TESIS. Semarang:Universitas Diponegoro

Simpson, Barry. 1994. Urban Public Transport Today. London: E & FN Spon

Soehodho, S. 2008. Alihkan Subsidi BBM untuk Bangun Transportasi Publik. http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/18/16582114/alihkan.subsidi.bbm.untuk.bangun.transportasi.publik [20 Desember 2009]

Tamin, Ofyar. 2000. Perencanaan dan Permodelan Transportasi. Bandung: ITB

Tisnaningtyas, E.Y. 2002. Fungsi Jalur Pedestrian di Kawasan Simpang Lima Semarang pada Malam Hari Ditinjau dari Aspek Kenyamanan dan Visibilitas Penggunanya. TESIS. Semarang : UNDIP

Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No 14 Tahun 1992

Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No 14 Tahun 1992

Uniaty, Quintarina. 1992. Model Jalur Pedestrian : Kajian Perseptual terhadap Fenomena dan Karakteristik Jalur Pedestrian sebagai Bagian dari Ruang Arsitektur Kota. TESIS. Bandung : ITB

Warpani, S. 2003. Merencanakan Sistem Perangkutan. Bandung: ITB.

Warpani, Suwardjoko. 1990. Merencanakan Sistem Perangkutan. Bandung: ITB

Yunita, Ratna. 2008, Oktober-November. Bussway For Jakarta : A Pressing Need. Asia Views. Halaman 14-15.

Page | 14