4scholarblogs.emory.edu/aannaim/files/2015/01/Bahasa_Ch4.doc · Web view4. Negosiasi Kontekstual...

63
©Abdullahi Ahmed An-Na`im 4. Negosiasi Kontekstual Sekularisme dalam Perspektif Komparatif Tujuan utama bab ini adalah untuk menunjukkan bahwa sekularisme tidak selalu bermakna menyisihkan agama dari ruang publik masyarakat karena pengertian sekularisme yang seperti inilah yang justru cenderung dimusuhi ummat Islam. Tentu boleh-boleh saja mendefinisikan sekularisme secara hipotetik sebagai pemisahan semua aspek hubungan agama dan negara secara ketat dan sistematis dan kemudian menggunakan definisi yang sempit dan realisitis itu untuk menolak semua regulasi yang berkaitan dengan hubungan tersebut. Namun, definisi yang polemis dan hanya bersifat teoritis tersebut ternyata tidak valid bahkan untuk diterapkan pada negara-negara Barat yang biasa dianggap sekuler. Penelitian Rajeev Bhargava di India membuktikan bahwa penting untuk mulai menepis miskonsepsi mengenai adanya model pemisahan negara dan agama yang unik dan tidak kompleks di seluruh negara-negara Barat. 1 Daripada mencari-cari konsep-konsep yang ilusif seperti itu, nampaknya lebih produktif bila kita mendiskusikan sekularisme sebagaimana difahami dan dipraktikkan oleh berbagai masyarakat dalam konteksnya masing-masing. Ketika kita menguji pengalaman berbagai masyarakat dengan perspektif ini, jelaslah bahwa semua masyarakat sebetulnya selalu berada dalam kondisi menegosiasikan hubungan antara negara dan agama, daripada sedang menerapkan definisi sekularisme yang rigid dan spesifik. Pertanyaan yang saya ajukan dalam bab ini adalah bagaimana memahami proses negosiasi tersebut melalui analisis komparatif sehingga setiap masyarakat bisa mengambil manfaat dari pengalaman masyarakat lain tanpa perlu berusaha menjiplak atau menirunya karena memang hal yang demikian itu tidak perlu dan tidak pula diinginkan. Saya akan mulai dengan review singkat pengalaman sejarah beberapa negara Barat untuk memperlihatkan bahwa teori dan praktik sekularisme itu berubah-ubah, sarat perdebatan dan sangat kontekstual. Review ini akan memperlihatkan bahwa hubungan antara agama dan negara bukan hasil akhir pergumulan sejarah dan budaya sebuah masyarakat, tetapi juga harus terus terbuka terhadap proses reformulasi dan revisi. Pada bagian dua bab ini, saya akan mengutamakan pemahaman terhadap pengalaman negara-negara Barat tersebut dalam kerangka posisi masing- 1 Rajeev Bhargava, “Introduction,” dalam Rajeev Bhargava (ed.), Secularism and Its Critics (New Delhi, Oxford University Press, 1999), hlm. 2-3.

Transcript of 4scholarblogs.emory.edu/aannaim/files/2015/01/Bahasa_Ch4.doc · Web view4. Negosiasi Kontekstual...

4

l

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

4. Negosiasi Kontekstual Sekularisme dalam Perspektif Komparatif

Tujuan utama bab ini adalah untuk menunjukkan bahwa sekularisme tidak selalu bermakna menyisihkan agama dari ruang publik masyarakat karena pengertian sekularisme yang seperti inilah yang justru cenderung dimusuhi ummat Islam. Tentu boleh-boleh saja mendefinisikan sekularisme secara hipotetik sebagai pemisahan semua aspek hubungan agama dan negara secara ketat dan sistematis dan kemudian menggunakan definisi yang sempit dan realisitis itu untuk menolak semua regulasi yang berkaitan dengan hubungan tersebut. Namun, definisi yang polemis dan hanya bersifat teoritis tersebut ternyata tidak valid bahkan untuk diterapkan pada negara-negara Barat yang biasa dianggap sekuler. Penelitian Rajeev Bhargava di India membuktikan bahwa penting untuk mulai menepis miskonsepsi mengenai adanya model pemisahan negara dan agama yang unik dan tidak kompleks di seluruh negara-negara Barat. Daripada mencari-cari konsep-konsep yang ilusif seperti itu, nampaknya lebih produktif bila kita mendiskusikan sekularisme sebagaimana difahami dan dipraktikkan oleh berbagai masyarakat dalam konteksnya masing-masing. Ketika kita menguji pengalaman berbagai masyarakat dengan perspektif ini, jelaslah bahwa semua masyarakat sebetulnya selalu berada dalam kondisi menegosiasikan hubungan antara negara dan agama, daripada sedang menerapkan definisi sekularisme yang rigid dan spesifik.

Pertanyaan yang saya ajukan dalam bab ini adalah bagaimana memahami proses negosiasi tersebut melalui analisis komparatif sehingga setiap masyarakat bisa mengambil manfaat dari pengalaman masyarakat lain tanpa perlu berusaha menjiplak atau menirunya karena memang hal yang demikian itu tidak perlu dan tidak pula diinginkan. Saya akan mulai dengan review singkat pengalaman sejarah beberapa negara Barat untuk memperlihatkan bahwa teori dan praktik sekularisme itu berubah-ubah, sarat perdebatan dan sangat kontekstual. Review ini akan memperlihatkan bahwa hubungan antara agama dan negara bukan hasil akhir pergumulan sejarah dan budaya sebuah masyarakat, tetapi juga harus terus terbuka terhadap proses reformulasi dan revisi.

Pada bagian dua bab ini, saya akan mengutamakan pemahaman terhadap pengalaman negara-negara Barat tersebut dalam kerangka posisi masing-masing negara terhadap berbagai isu, bukan mengklasifikasikan mereka ke dalam kategori-kategori tertentu yang sudah jelas. setiap negara, memang, mengambil sikap yang berbeda dalam merespon aspek-aspek tertentu dalam hubungan agama dan negara dan tidak ada satupun yang mengikuti satu pemahaman sekularisme dalam menyikapi semua isu. Lagipula, selalu ada saja perdebatan mengenai bagaimana aspek tertentu dalam sekularisme harus diperlakukan sehingga kebijakan apapun yang diambil oleh negara akan selalu mendapatkan perlawanan dari pihak yang lain. Misalnya apakah negara boleh membiayai pendidikan agama, atau menyediakan fasilitas keuangan atau lainnya kepada institusi keagamaan, atau bahkan mengatur pilihan moral rakyatnya seperti yang terlihat dalam debat mengenai aborsi, kontrol kelahiran dan perceraian.

Namun demikian, masalah terpenting dalam buku ini sebetulnya adalah bagaimana proses negosiasi itu diorganisasi dan difasilitasi melalui kerangka yang akan saya diskusikan pada bagian tiga bab ini. Pada bagian tersebut, saya menjelaskan bahwa ketegangan permanen dalam hubungan antara agama dan negara harus dimediasi melalui kerangka “public reason’ yang sudah diungkapkan dalam bab 1. Kerangka public reason ini juga harus diamankan dengan prinsip-prinsip dan institusi-institusi konstitusionalisme, HAM, dan kewarganegaraan seperti yang sudah kita diskusikan dalam bab 3. Dengan demikian, pada bagian ini saya akan menggunakan review dan diskusi mengenai pengalaman Barat pada bagian satu guna mengklarifikasi kerangka yang diperlukan untuk melakukan negosiasi makna dan implikasi sekularisme dalam konteks masyarakat Islam. Saya akan melanjutkan perbincangan ini pada 3 bab berikutnya untuk melihat penerapan kerangka tersebut di India, Turki dan Indonesia.

Dengan memahami sekularisme melalui pengalaman negosiasi kontekstual masing-masing masyarakat bukan berarti bahwa tidak ada prinsip-prinsip yang menyatukan pengalaman yang berbeda itu, atau makna dan implikasi konsep itu akan selalu relatif bagi setiap masyarakat. Malah sebaliknya, mengembangkan pemahaman spesifik mengenai makna sekularisme dan implikasinya melalui analisis komparatif merupakan hal yang mungkin dan perlu. Namun, kita tidak boleh memaksakan satu definisi atau meneguhkan satu implikasi hanya melalui perspektif teoritis yang abstrak belaka. Dengan demikian, pertanyaan utama bab ini adalah bagaimana pengalaman Barat bisa berguna untuk menegosiasikan hubungan antara agama dan negara dalam masyarakat Islam?

I. Pengalaman Negeri-Negeri Barat

Saya tidak mungkin menjelaskan pengalaman semua negeri Barat atau menawarkan sebuah diskusi komprehensif mengenai situasi mereka dalam bab ini. Saya memutuskan untuk memilih beberapa di antara mereka untuk mendiskusikan pengalaman sekularisme di beberapa negara yang memiliki kondisi, tradisi keagamaan dan rezim politik atau konstitusi yang berbeda. Meskipun demikian, beberapa negara di Eropa maupun di Amerika Utara bisa juga didiskusikan dengan cara yang sama untuk menunjukkan bahwa posisi Agama dalam konsepsi dan pengalaman Barat tidak identik ataupun ekslusif dari domain kebijakan publik dan undang-undang.

Inggris

Karena Inggris hanya sedikit dari negara yang tetap mempertahankan lembaga Gereja resmi (nasional), penting kiranya untuk membicarakan pengalaman mereka dalam bab ini, meskipun diskusi dalam bagian ini juga tidak berpretensi untuk membahas semua daerah yang ada di Inggris. Istilah gereja resmi (established church), dan sejumlah istilah yang berkaitan dengannya, digunakan dalam bab ini untuk menunjukkan adanya agama atau sekte (denomination) tertentu yang diakui atau diresmikan sebagai agama resmi negara. Meskipun kedekatan hubungan antara Gereja Inggris (The Curch of England) dengan negara semakin berkurang, namun hubungan itu masih tetap kukuh. Dimulainya sistem hubungan gereja-negara yang modern di Inggris bisa ditelusuri dari asal-usul lahirnya Gereja Inggris (The Curch of England) pada abad ke-16 di masa pemerintahan Henry VIII. Henry memutuskan untuk mengambil alih kontrol terhadap gereja-gereja di Inggris dari kekuasaan Paus, karena Paus menolak untuk merestui pernikahannya dengan Catherine dari Aragon. Dengan mengeluarkan “Act of Supremacy” tahun 1534, Gereja Inggris memisahkan diri dari otoritas Paus. Henry VIII juga mengambil alih kontrol Paus terhadap kekayaan, tanah dan kuil milik gereja. Karena keputusan ini, lembaga biara menjadi tidak ada dan para biarawan tidak lagi menjadi anggota lembaga the House of Lord (satu dari 2 lembaga parlemen Inggris). Hanya sebagian kecil uskup dan beberapa pendeta yang menjadi anggota lembaga itu. Setelah Henry meninggal, penduduk Inggris terbagi menjadi simpatisan Katolik dan Protestan, sampai akhirnya Elizabeth I memutuskan untuk menetapkan gereja Protestan sebagai gereja resmi negara pada tahun 1959 dengan mengeluarkan “Act of Supremacy” kedua yang sekaligus mengukuhkan posisi gereja di bawah otoritas kerajaan.

Meskipun gereja resmi memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan politik Inggris, namun keputusan Henry VIII untuk memisahkan gereja Inggris dengan Roma merupakan satu proses sekularisasi kultural. Selama kekuasaan Edward VI dan Elizabeth I, kebiasaan ummat Katolik memproduksi benda-benda dan karya seni suci menurun. Para seniman menemukan tema-tema non religius untuk mereka tampilkan; dan bentuk lukisan barupun berkembang, seperti lukisan benda dan potret. Dan ketika negara mulai mengawasi dan melarang pertunjukan drama religius, termasuk drama-drama misteri abad pertengahan, drama Elizabethan yang sekuler pun berkembang menggantikan posisi tradisi lama.

Selama berabad-abad, gereja resmi di Inggris telah memperkuat sekaligus diperkuat oleh kekuasaan negara. Hubungan gereja Inggris dan negara menguat pada abad ke-17, ketika mazhab Kristen Inggris (Anglican) disponsori dan diperkuat oleh negara sementara Katolik Roma dan mazhab lainnya ditindas. “The Corporation Act” tahun 1661 dan “The Test Act” tahun 1673 melarang orang-orang yang tidak mengikuti Kristen Anglikan untuk berpartisipasi dalam arena politik dan masuk universitas. Baru pada abad ke-18-lah, posisi istimewa gereja resmi ini mulai menurun. Penganut Protestan yang tidak tunduk pada negara diberikan hak untuk melakukan ibadah pada tahun 1689, namun mereka tetap tidak diberikan hak-hak politik kecuali sampai 1824. orang-orang Katolik dan Yahudi mulai diperbolehkan berpartisipasi dalam politik beberapa dekade setelah itu. Tahun 1871, pemerintah Inggris menetapkan tes agama untuk masuk universitas. Namun di akhir abad 19, bibit-bibit toleransi mulai tumbuh.

Pemberian hak politik kepada penduduk yang tidak menganut kristen Anglikan merupakan sebuah pengakuan bahwa negara tidak bisa memaksakan keseragaman agama pada warga negaranya. Selama abad 19, beberapa kelompok diorganisasi untuk memisahkan gereja dari negara, namun mereka tidak mendapatkan dukungan politik yang memadai. Pada awal abad ke-20, pengaruh kelompok-kelompok separatis itu mulai menurun, mungkin karena secara politis, kekuasaan gereja juga tidak lagi penting. Gereja Inggris tetap menjadi Gereja resmi negara, namun ikatan formalnya kepada negara berangsur-angsur mengendur dan lebih bersifar seremonial. Di akhir abad ke-20 atau permulaan abad ke-21, gereja Inggris mulai berusaha mempromosikan sikap yang lebih toleran dan mempertahankan fungsi ekumenisnya dengan mendukung pengakuan pemerintah terhadap sekte lain. Pada saat ini, negara juga tidak lagi mempromosikan gereja Anglikan secara agresif dan membatasi kegiatan kelompok-kelompok agama lain. Kebijakan negara semakin mengarah pada pemberian dukungan kepada semua agama, daripada hanya kepada satu kelompok.

Meskipun sikap negara terhadap agama semakin plural, beberapa implikasi legal dan kultural model negara tradisional masih terlihat. Sebagai contoh, kerajaan, dengan saran dari Perdana Menteri, menunjuk para uskup dari calon yang dinominasikan oleh gereja. Sementara itu, Uskup Agung serta anggota senior lembaga keuskupan tetap menjadi anggota The House of Lords. Hukum negara yang mengatur penghinaan agama (blasphemy) merupakan upaya untuk melindungi doktrin-doktrin gereja Anglikan, tapi tidak untuk doktrin agama lain. Hukum Gereja Anglikan (eclesiastical law atau canon law) masih menjadi bagian Hukum Inggris dan memiliki kekuatan yang sama dengan common law di pengadilan. Parlemen mempunyai kekuasaan untuk membuat hukum yang berkaitan dengan gereja, meskipun akhirnya kekuasaan ini diberikan kepada Majelis Umum Gereja-Gereja (the General Synod of the Church) pada abad ke-20. Gereja Inggris masih mempunyai hak istimewa untuk mengeluarkan aturan-aturan yang berkaitan dengan gereja-gereja lain, aturan ini kemudian diajukan ke parlemen untuk mendapatkan persetujuan sehingga memiliki kekuatan hukum seperti ketetapan parlemen lainnya. Namun dalam praktiknya, parlemen jarang menolak aturan-aturan itu dan bahkan mungkin tidak mengamandemen teksnya. Posisi Gereja Inggris saat ini merefleksikan apa yang disebut partial establishment sebagai bentuk kerjasama antara negara dan gereja untuk melindungi peran publik agama. Adanya otoritas keagamaan ini merupakan pengakuan negara terhadap peran publik sebuah kepercayaan agama”.

Meskipun mendapatkan dukungan yang luas, sistem “partial establishment” ini menghadapi beberapa tantangan dalam masyarakat kontemporer, seperti dalam kasus pendidikan agama. Negara mempertahankan sikap setengah netral dalam persoalan agama dengan, misalnya, dengan memasukkan pendidikan agama sekte lain dalam kurikulum nasional. Namun, Gereja Inggris tetap memiliki hak veto untuk merubah silabus pelajaran yang penyusunannya melibatkan komite lokal meskipun Education Reform Act (Undang-Undang Reformasi Pendidikan) tahun 1988 melarang komite tersebut untuk membuat kurikulum yang memperlihatkan kecenderungan pada salah satu sekte keagamaan. Selain itu, dana fasilitas pendidikan juga lebih diutamakan untuk diberikan kepada sekolah-sekolah Anglikan atau Katolik, meskipun sekolah-sekolah Protestan dan Yahudi juga mendapatkan sejumlah dana. Pihak yang tidak setuju terhadap kebijakan pemberian dana untuk sekolah-sekolah agama mengklaim bahwa lembaga-lembaga seperti itu memecah belah kohesi sosial, karena memisahkan anak-anak berdasarkan agama.

Kesulitan yang muncul dalam kebijakan pendidikan agama di atas memperlihatkan keterbatasan sistem “partial establishment” yang berlaku Inggris. Karena Inggris tidak mempunyai bill of rights tertulis, maka tidak ada jaminan formal untuk kebebasan beragama atau harapan bagi terciptanya kesetaraan beragama. Negara, dengan demikian, hanya mengakomodasi kepentingan minoritas jika kepentingan itu masih dalam batasan yang bisa diterima. Meskipun kombinasi kebijakan “partial establishment” dan toleransi terhadap minoritas secara umum bisa diterima oleh rakyat Inggris, namun nampaknya kebijakan ini mulai mendapatkan tekanan dari kalangan minoritas yang menuntut adanya pernyataan yang lebih jelas tentang kesamaan status mereka. Sementara di pihak lain, kalangan tradisionalis Inggris masih ingin mempertahankan hak sosial dan politik istimewa yang dimiliki oleh Gereja Anglikan.

Swedia

Sejarah pemberlakuan agama resmi di Swedia dimulai sejak abad ke-16 ketika desakan untuk menyatukan negara di bawah kepercayaan Lutheran semakin menguat dan bisa dicapai melalui kepemimpinan para pendeta dan dukungan massa terhadap adanya gereja Protestan. Tahun 1953, untuk mengantisipasi gerakan kontra reformasi, yang juga berkompetisi untuk mendapatkan tahta kerajaan, Majelis Gereja Lutheran pun dilantik di Uppsala. Lebih dari 300 lembaga kependataan Lutheran hadir dan Gereja Evangelis Lutheran ditetapkan menjadi Gereja Nasional Swedia dengan deklarasi bahwa Swedia telah disatukan dengan Satu Raja dan Satu Tuhan.

Abad-abad berikutnya, kebijakan penyeragaman identitas keagamaan ini juga diberlakukan untuk menyatukan perbedaan etnik dan bahasa di Swedia yang muncul kemudian. Tahun 1634 “the Instrument of Government” (peraturan pemerintah) menyatakan dengan jelas bahwa Kristen Lutheran adalah agama resmi negara sekaligus mengungkapkan prinsip kesatuan dalam beragama bagi rakyat Swedia. Pada tahun 1686, ketetapan gereja menyebutkan bahwa Swedia adalah negara Evangelis dan dengan demikian rakyat Swedia harus menganut Agama Evangelis”, sehingga jika ada orang Swedia meninggalkan Gereja resminya, ia kehilangan status warga negaranya. Sekitar tahun 1800, sejumlah provinsi di Swedia mulai hilang dan Swedia menjadi negara yang lebih homogen secara etnik dan budaya. Namun, toleransi terhadap praktik agama lain tidak pernah muncul sampai akhir abad 18. itupun hanya berlaku bagi para imigran, tidak bagi orang Swedia asli. Perubahan mulai terjadi selama abad 19 bersamaan dengan meningkatnya industrialisasi, urbanisasi dan tumbuhnya pengaruh gerakan kaum sosialis dan liberal. Peraturan pemerintah tahun 1809 akhirnya mengakui hak rakyat Swedia untuk meninggalkan gereja dan membentuk jemaah ibadah sendiri, namun kebijakan ini baru berlaku setelah the Dissenter Act (undang-undang tentang sekte gereja) dikeluarkan tahun 1860. Selain itu, jemaah ibadah yang didirikan pun harus tetap berdasarkan agama Kristen dan mendapatkan persetujuan kerajaan.

Langkah lebih maju menuju pluralisme (untuk tidak menyebut semakin goyahnya kekuatan Gereja Nasional) muncul pada abad 20. Religious Liberty Act (undang-undang tentang kemerdekaan beragama) tahun 1951 yang mengatur kebebasan praktik beragama melarang seseorang untuk menganggu kedamaian atau menganggu ketentraman publik. Peraturan Pemerintah tahun 1974 memasukkan kebebasan beragama dalam Undang-Undang Dasar Swedia sedangkan Amandemen Konstitusi tahun 1974 menegaskan bahwa tidak boleh ada perbuatan yang dilarang atau dibatasi oleh hukum hanya karena alasan-alasan keagamaan. Tahun 1996, keanggotaan gereja didefinisikan ulang sehingga setiap bayi yang baru harus dibaptis meskipun orangtuanya anggota Gereja Nasional Swedia, karena mereka tidak bisa serta merta menjadi anggota hanya karena orangtuanya.

Sampai akhir abad 20, sebagai gereja resmi negara, Gereja Swedia berhubungan sangat erat dengan negara. Raja menjadi kepala Gereja Swedia yang menunjuk Uskup Agung dan para uskup. Pajak yang dikumpulkan negara juga digunakan untuk membayar gaji para pendeta, hingga kontribusi rakyat secara langsung kepada gereja hampir tidak ada. Sebagai pegawai negara, pendeta menempati statistik yang cukup vital dalam negara dan berfungsi seperti pegawai pemerintahan yang lain. Parlemen Swedia yang mempunyai otoritas membuat hukum, juga merumuskan dan menetapkan hukum yang berlaku bagi Gereja Swedia. Hubungan ini memang membuat Gereja Lutheran mempunyai pengaruh besar di Swedia, tetapi juga membuat otonominya terbatas. tidak seperti di Itali atau Spanyol dimana negara tunduk pada Gereja, di Swedia, gereja nampaknya lebih tunduk pada negara.

Berbagai usulan perubahan hubungan agama dan negara diajukan pada tahun 1970-an, tapi tak satupun yang diadopsi. Baru pada tahun 1990-an, perubahan besar dimulai. Pada tahun 1991, sistem registrasi nasional dialihkan dari gereja ke otoritas pajak. Komisi yang dibentuk tahun 1994 untuk mengevaluasi hubungan gereja dan negara menyimpulkan bahwa meskipun agama mempunyai fungsi sosial yang amat berguna, namun negara harus tetap bersikap netral terhadap seluruh sekte dengan tidak memperlihatkan kecondongan pada salah satu diantaranya. Rekomendasi yang dibuat oleh komisi menghasilkan perubahan besar dalam tata hubungan gereja dan negara di Swedia, yang puncaknya terjadi pada tanggal 1 Januari 2000. Secara umum rekomendasi yang diajukan oleh komite adalah Gereja Nasional Swedia harus diberikan status independen dari pemerintah lokal maupun nasional, dan seluruh sekte harus diperlakukan sama. Komisi ini juga merekomendasikan agar setiap sekte mendapatkan hak yang sama untuk mempunyai status hukum, sedangkan pajak yang diberikan kepada keuskupan diganti dengan biaya pelayanan yang harus dibayarkan oleh anggota sekte kepada sektenya.

Rencana yang dirancang oleh komisi tetap mempertahankan perlakuan khusus bagi gereja nasional Swedia, tetapi perlakukan khusus ini diberikan dalam posisinya sebagai salah satu institusi keagamaan dalam masyarakat yang plural. Salah satu perlakuan istimewa yang dinikmati oleh gereja nasional Swedia adalah pemberian dana pemerintah untuk pemeliharaan bangunan gereja yang dianggap sebagai salah satu khazanah budaya penting di Swedia. Selain itu, Gereja Swedia masih diberikan tanggung jawab untuk mengurus layanan pengebumian dan pemakaman umum. Meskipun ada beberapa keberatan mengenai hal ini, namun baik Gereja maupun negara dapat menerimanya.

Pemisahan Gereja Swedia dari Negara secara hukum dilaksanakan melalui dihilangkannya Hukum gereja dari Hukum Negara Swedia dan dihapuskannya Church of Sweden Act (ketetapan Gereja Swedia) yang menetapkan struktur gereja dan Majelis Umum Lutheran sebagai otoritas hukum utama. Ketetapan inilah yang memberikan Gereja Swedia status hukum istimewa yang diperkuat dengan aturan undang-undang khusus. Setelah proses ini, Gereja membuat Ordinansi Gereja sendiri sebagai kerangka hukum yang terpisah dari hukum nasional. Ordinansi ini memuat Hukum Gereja yang dulu. Karena perubahan ini, Uskup tidak lagi dipilih dari 3 orang kandidat yang diajukan gereja kepada pemerintah melainkan melalui pemilihan langsung dalam Gereja.

Penting untuk dicatat, meskipun dilakukan dengan cara dan perangkat yang berbeda, Inggris dan Swedia telah menempuh pola yang sama untuk meningkatkan pengakuan mereka atas pluralisme agama. Inggris masih mempertahankan status Gerejanya sebagai gereja resmi, namun hanya memberikan peran moderat bagi mereka. Sedangkan Swedia telah melangkah lebih jauh dengan pemisahan legal antara negara dan agama. Meskipun demikian, kedua negara ini dianggap negara sekuler yang secara subtstansial menjaga netralitas agama sebagaimana yang saya ajukan dalam proposal saya untuk masyarakat Islam.

Rusia

Sejarah hubungan gereja dan negara di Rusia telah berubah sejak abad lalu. Selagi masih dalam kekuasaan monarki, Gereja Kristen Ortodoks Rusia adalah agama resmi negara yang diberikan hak untuk menyelenggarakan pendidikan, pencatatan nikah dan kematian. Sedangkan agama-agama Rusia lain dibatasi hak-hak dan fasilitas istimewanya. Namun sejak revolusi 1917, Dewan Rakyat (the Council of People’s Commisars) mengambil alih semua hak milik gereja dan tempat ibadah agama lain serta mencabut status hukum seluruh organisasi keagamaan. Pada beberapa saat di masa Perang Dunia II, Gereja Ortodoks Rusia pernah muncul kembali dan gereja-gereja kembali dibuka untuk menumbuhkan semangat patriotisme. Namun, satu dekade setelah perang pecah, gereja-geraja yang pernah dibuka lagi itu ditutup kembali dan praktik-praktik keagamaan mulai menurun.

Ketika federasi Rusia terbentuk setelah jatuhnya Uni Soviet, hubungan antara negara dan agama ditata ulang baik melalui undang-undang dasar maupun undang-undang. Pasal 14 Undang-Undang Dasar Federasi menyatakan Rusia sebagai negara sekuler sehingga tidak akan ada negara yang dibangun berdasarkan satu agama tertentu. Undang-Undang dasar juga menyebutkan bahwa semua asosiasi keagamaan memiliki posisi setara di depan hukum. Sementara itu, bebas dari diskriminasi atas nama agama dijamin oleh Pasal 19 dan hak untuk bebas dari wajib militer karena alasan moral atau keagamaan untuk kemudian melakukan pelayanan publik lain sebagai alternatif dijamin oleh pasal 59. Bahkan, pasal 28 undang-undang dasar juga dengan jelas melindungi hak untuk tidak menganut satu agama pun.

Perubahan-perubahan undang-undang dasar ini sudah dielaborasi, diklarifikasi bahkan mungkin dibatasi oleh undang-undang yang mengatur hubungan antara gereja dan negara. Setelah kebijakan “Perestroika” Gorbachev, hubungan antara negara dan sekte-sekte keagamaan dinormalisasikan kembali oleh Undang-Undang (law) tahun 1990 tentang “kebebasan beragama”. Pada dekade inilah, jumlah organisasi agama yang terdaftar naik sampai 20.000. Hanya setengah diantara organisasi-organisasi tersebut yang merupakan organisasi Kristen Ortodoks Rusia, yang berarti bahwa jumlah agama minoritas telah berkembang selama masa itu. Organisasi-organisasi tersebut kini diperbolehkan untuk mengorganisasi massa, dan boleh terlibat dalam kegiatan missi keagamaan dan sosial. Kepercayaan terhadap agama naik, dari kira-kira 20% pada tahun 1980 menjadi 48% pada akhir tahun 90-an.

Pada tahun 1997, negara membatasi kebijakan liberal ini dengan menetapkan Undang-Undang tentang “Kebebasan memeluk kepercayaan dan mendirikan asosiasi keagamaan” untuk mengatur hubungan gereja dan negara. Di bawah ketentuan UU ini, organisasi keagamaan harus mendaftarkan diri mereka kembali sebelum tahun 2000, namun hanya mereka yang sudah berdiri di Rusia selama 13 tahun yang berhak menyandang status sebagai organisasi keagamaan. Ketentuan ini dengan demikian hanya memberikan hak-hak yang tersebut diatas kepada organisasi keagamaan yang terdaftar dan tidak pada mereka yang tidak terdaftar. Artikel 11, 18, dan 23 UU ini menyatakan bahwa “hanya organisasi keagamaanlah yang bisa “mendirikan dan memelihara bangunan-bangunan keagamaan, memiliki akses terhadap rumah sakit dan penjara, menyelenggarakan pelajaran tambahan di sekolah-sekolah negeri, mendirikan struktur organisasi sosial, dan terlibat dalam kegiatan bisnis”. Organisasi keagamaan juga dibebaskan dari kewajiban membayar pajak penghasilan yang didapatnya dari aktivitas keagamaan atau penjualan barang-barang keagamaan. Jika bangunan ibadah yang mereka miliki dilindungi sebagai monumen budaya dan sejarah, maka mereka betul-betul dibebaskan dari kewajiban membayar pajak tanah.

Pembukaan Undang-Undang tahun 1997 mengakui pentingnya peran sejarah Gereja Ortodoks di Rusia, namun ia tidak memberikan gereja ini status hukum khusus. Namun demikian, motif utama pembuatan UU ini sebetulnya adalah untuk melindungi Gereja Ortodoks. Beberapa pembuat UU memperlihatkan keinginan mereka untuk melindungi Gereja ini dari invasi sekte-sekte keagamaan lain. Salah satu efek penting disahkannya UU 1997 ini adalah pengalihan kepemilikan properti dan bangunan yang digunakan untuk tujuan-tujuan keagamaan dari negara ke gereja. Pengalihan ini merupakan usaha untuk menebus pengambilalihan yang pernah dilakukan oleh negara pada permulaan era komunis terhadap properti milik gereja.

Meskipun UU 1997 dan perundang-undangan yang lain mengenai pendidikan, militer dan pajak jelas-jelas melindungi status Gereja Ortodoks Rusia, namun UU itu juga berisi mengindikasikan karakter negara sekuler. Secara keseluruhan, UU ini meminta negara untuk tidak mempercayakan fungsinya pada asosiasi keagamaan, begitupun negara dan otoritas lokal tidak boleh memasukkan perayaan keagamaan apapun dalam aktivitasnya. Negara tidak boleh mencampuri urusan agama dalam mengasuh anak dan tetap harus menjamin bahwa pendidikan negeri tetap bersifat sekuler. Hanya sertifikat pernikahan yang disahkan oleh catatan sipil yang dianggap sah, sedangkan perayaan pernikahan yang dilaksanakan di gereja tidak memiliki efek hukum apapun. Asosiasi keagamaan diperbolehkan untuk menjalankan urusannya sesuai dengan aturannya sendiri, tetapi mereka tidak bisa berpartisipasi dalam pemilihan, gerakan dan aktivitas partai politik, atau memberikan bantuan material kepada mereka.

Bertingkatnya UU yang dikeluarkan oleh pemerintah Rusia mengenai hubungan antara agama dan negara berakhir pada banyaknya kontradiksi. Misalnya UU 1996 tentang pendidikan melarang aktivitas lembaga keagamaan di sekolah, tetapi UU 1997 mengizinkan pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri. Kontradiksi ini kemudian diselesaikan dengan cara-cara berikut ini: administrasi sekolah memang tidak diperbolehkan untuk memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum standar, tetapi mereka dapat menyetujui permintaan orang tua atau keinginan anak untuk mengizinkan organisasi keagamaan mengajarkan agama kepada mereka diluar kurikulum. Setelah umur 14, anak-anak boleh memilih sendiri apakah mereka ingin menerima pendidikan agama atau tidak, namun izin orangtua tetap disyaratkan sampai anak mencapai umur ini.

Kontradiksi ini menunjukkan adanya ketidasepakatan di Rusia mengenai karakter dan tingkat hubungan antara gereja dan negara yang tepat. Misalnya, pemisahan antara agama dan negara dibatasi dengan perundang-undangan yang memperbolehkan negara untuk membatasi kebebasan beragama jika dibutuhkan untuk melindungi struktur konstitusi, moralitas, kesehatan, hak asasi manusia, dan kepentingan hukum seseorang dan untuk menjamin pertahanan dan kemanan negara”. Perundang-undangan lain yang dianggap memihak Gereja Ortodoks Rusia adalah UU yang memperbolehkan hak kepada otoritas lokal untuk mengeluarkan organisasi keagamaan yang tidak diterima dari daerahnya.

Kebangkitan kesadaran keagamaan di Rusia sejak jatuhya Uni Soviet berakhir pada lahirnya sejumlah pendapat berbeda mengenai hubungan agama dan negara. Meskipun sulit untuk mengidentifikasi model spesifik yang bisa langsung diterapkan dalam konteks Rusia sekarang, pandangan tradisional Eropa yang lebih memberikan ruang bagi terjadinya kerjasama yang lebih dekat antara agama dan negara nampaknya lebih mungkin diterima disana daripada model Amerika atau Perancis yang cenderung mendukung pemisahan yang lebih besar dan menuntut adanya “buffer zone” antara keduanya. Namun, pengalaman masyarakat Rusia juga berbeda dengan masyarakat Eropa seperti Inggris dan Swedia yang sudah berusaha untuk mengendurkan ikatan mereka dengan Gereja resmi. Rusia, yang secara hukum dan sosial sudah lama menjadi negara sekuler, belakangan ini malah mengizinkan, bahkan mendorong, pengakuan Gereja Ortodoks Rusia sebagai geraja negara, meskipun tidak melalui instrumen hukum.

Perancis

Tidak seperti negara-negara Eropa lain yang mengalami dominasi Gereja Katolik, Perancis memiliki tradisi pemisahan antara negara dan gereja yang cukup tua yaitu sejak masa Revolusi Perancis. Pendekatan perancis terhadap sekulerarisme ditandai dengan adanya istilah laicite. Sebuah kata yang tidak hanya bermakna netralitas negara terhadap agama, tetapi juga menandakan adanya komitmen yang kuat untuk menyebarluaskan seperangkat nilai-nilai sipil dan nasional. Pasal 10 Declaration of the Rights of Man and Citizen (Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga Negara) tahun 1789 memproklamirkan kebebasan untuk menganut kepercayaan, dan Bab I Undang-Undang Dasar 1791 menjamin kebebasan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama. Meskipun para pembuat dokumen itu pada awalnya hanya bermaksud mensubordinasikan posisi gereja dari kekuasaan sipil, kebijakan ini, terutama pada masa teror, kemudian beralih menjadi kebijakan yang secara sistematis berusaha untuk memerangi agama Kristen. Keputusan pemerintah tahun 1795 menjadi landasan bagi pemisahan ketat antara gereja dan agama dan melarang negara membiayai agama ataupun mengakui keberadaan kementrian agama.

Concordat( tahun 1801, keputusan unilateral yang dibuat oleh Perancis namun tidak diterima oleh Vatican, dibuat untuk meredakan ketegangan dan mengklarifikasi hubungan antara negara dan agama di Perancis. Dokumen ini memungkinkan otoritas sipil untuk mengontrol kementrian agama dan kehidupan keagamaan di sana. Beberapa waktu kemudian, instrumen hukum yang sama diberlakukan untuk memberikan kekuasaan kepada negara untuk mengontrol Gereja Protestan Lutheran, Gereja Reformasi dan Agama Yahudi. Namun demikian, empat lembaga keagamaan yang diakui ini bisa mempertahankan status istimewa seperti jaminan hukum atas posisi menteri agama, gaji dan status hukum properti, selama abad 19. Tetapi, selama abad ini pula, banyak perdebatan mengenai hubungan antara agama dan negara yang muncul. Ada pihak yang berusaha menghidupkan kembali “rezim lama” dan mendukung kekuasaan pemuka agama, tetapi ada pula pihak yang mendukung perubahan yang telah dibuat sejak tahun 1789 dan menentang gereja Katolik. Dalam konteks antagonisme politik seperti itulah, dua pandangan mengenai laicite lazim berlaku, yang satu anti pemuka agama sementara yang lain mendukung adanya pemisahan antara agama dan negara yang menguntungkan kedua belah pihak dan menghormati semua kepercayaan agama. pada akhir abad 19, pemahaman yang pertama dan radikal memenangkan perdebatan.

Pada tahun 1905, setelah partai politik mendukung gerakan anti-pemuka agama berkuasa selama dua dekade dan setelah timbulnya perdebatan hangat tentang hubungan agama dan negara di Perancis, pemerintah memutuskan hubungan dengan Paus dan mengeluarkan Undang-Undang yang menegaskan pemisahan antara gereja dan negara, yang ternyata masih berlaku sampai sekarang. Di bawah aturan baru ini, negara menjamin kebebasan publik untuk beribadah namun mengakhiri keberadaan “Agama yang Diakui”. Gereja bukan lagi institusi publik dan menjadi bagian dari sektor privat. Sesuai dengan pasal 4 UU tahun 1905, kelompok keagamaan (religious assocaition) lama bisa membentuk “asosiasi kultural” (cultural association) yang menerima pengalihan kepemilikan tanah gereja. Meskipun sektor privat bisa mendapatkan dana dari negara, tetapi gereja tidak bisa mendapatkan dana tersebut kecuali untuk membiayai bangunan-bangunan keagamaan yang dianggap monumen. Paus mengutuk Undang-Undang tahun 1905 itu dan Gereja Katolik Perancis menolak untuk menerima perubahan statusnya karena takut kehilangan otoritas kepausan yang dimilikinya atas gereja-gereja katolik lain di Perancis. Gereja-gereja Katolik menolak untuk mendaftarkan diri sebagai “asosiasi kultural” dan lebih suka mengorganisasi diri dengan aturan mengenai kebebasan untuk membuat majelis publik atau kebebasan untuk membuat asosiasi.

Di bawah aturan UU tahun 1905, negara tetap memiliki kewajiban untuk melindungi kebebasan menganut kepercayaan dan melakukan ibadah serta tetap berkomitmen untuk menyediakan kemungkinan bagi para penganut agama untuk menghadiri perayaan keagamaan dan menerima instruksi keagamaan. Ini berarti bahwa negara tetap membolehkan adanya asistensi spiritual di tempat-tempat yang dibutuhkan orang seperti rumah sakit, penjara, militer, dan bahkan sekolah, dalam tahap tertentu. Meskipun pada prinsipnya undang-undang tidak memberikan status istimewa pada agama apapun, namun negara bisa mengeluarkan peraturan-peraturan lain yang memberikan keuntungan pada salah satu agama.

Setelah Perang Dunia I, hubungan diplomatik antara Perancis dan Paus dibangun kembali. Pada tahun 1924 disepakati bahwa Gereja Katolik bisa mendirikan asosiasi keagamaan mereka menurut aturan khusus. Asosiasi-asosiasi itu akan bekerja di bawah otoritas uskup yang berada dalam komuni Paus dan harus sesuai dengan Undang-Undang Gereja Katolik. Kelompok keagamaan lain memiliki hak implisit yang tertera dalam “kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan”, namun hak-hak tersebut tidak diberikan kepada kelompok-kelompok yang memiliki tujuan terlarang yang bertentangan dengan hukum dan moral”. Kelompok-kelompok yang termasuk dalam kategori terakhir ini tidak bisa menerima dana dari pemerintah kecuali dari donasi individu.

Kebijakan laicite pemerintah Perancis telah menimbulkan persoalan yang berkaitan dengan pendidikan, pekerjaan dan hukum keluarga. Contohnya, kebebasan untuk mendapatkan pendidikan di Perancis adalah prinsip konstitusi yang telah dibentuk dan diterapkan melalui berbagai hukum pada abad 19. padahal, mayoritas siswa yang belajar di sekolah swasta masuk di sekolah Katolik. Sekolah Negeri menerima siswa tanpa mementingkan persoalan agama dan tidak menjadikan instruksi keagamaan sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh siswa. Pada pendidikan tingkat dasar, orang tua boleh mengatur pendidikan agama di luar sekolah semingu sekali untuk anak-anaknya. Sekolah tingkat menengah, dulu boleh menunjuk seorang guru dari gereja untuk mengajar para siswa, namun penunjukkan ini harus berdasarkan permintaan orang tua dan harus dibiayai sepenuhnya oleh mereka, meskipun bisa jadi sebagian biayanya juga ditanggung oleh pihak gereja. Kelompok keagamaan yang diminta oleh sekolah bisa menominasikan kandidatnya yang kemudian akan ditunjuk oleh kepala sekolah.

Dalam bidang pekerjaan, Undang-Undang Dasar Perancis melarang diskriminasi dalam pekerjaan karena alasan latar belakang suku, pendapat, atau kepercayaan. Klausul ini memiliki efek berbeda dalam konteks keagamaan tergantung bagaimana seseorang diperlakukan di tempat pekerjaannya; sebagai pemuka agama atau orang biasa. Mempekerjakan seorang menteri untuk memegang jabatan pastoral, dan ia digaji untuk pekerjaannya itu, tidak bisa mempergunakan undang-undang sekuler karena tidak ada kontrak kerja resmi. Pengadilan negeri tidak akan mereview keputusan uskup untuk mengangkat atau memecat seorang pastur. Menteri-menteri yang bekerja di penjara, rumah sakit, atau sekolah swasta yang memiliki hubungan kontrak dengan negara seperti yang diatur oleh UU tahun 1959 digaji oleh negara. Uang diberikan oleh negara untuk pembangunan tempat peribadatan baru, dan orang yang memberikan sumbangan untuk organisasi keagamaan mendapatkan keringanan untuk membayar pajak sampai jumlah tertentu. Pendeta protestan dan Rabi Yahudi memperoleh asuransi sosial dari negara sejak 1945. Pastor-Pastor Katolik berada di bawah sistem yang lebih kecil selama beberapa dekade, tetapi sejak tahun 1978, mereka telah berada di bawah otoritas asuransi sosial meskipun masih berada dalam rezim yang terbatas. Aturan bagi orang biasa (bukan pemuka agama) yang bekerja di gereja lebih kompleks lagi, apalagi karena gereja lokal memang tidak mendapatkan tempat dalam aturan hukum Perancis, sehingga hanya mereka yang bekerja pada organisasi-organisasi keagamaan besar yang dianggap valid. Pengecualian menarik lain yang dikeluarkan oleh pengadilan-pengadilan Perancis sebagai bentuk ketundukkan pada aturan gereja adalah memberikan keputusan sah pada pemecatan guru-guru Katolik yang bercerai dan menikah lagi.

Tantangan yang dihadapi konsep laicite di Perancis adalah desakan pluralisme keagamaan di negera itu. Ada sejumlah 750.000 orang penganut Protestan di Perancis dan mereka mengorganisasi diri di bawah Federation Protestante de France sejak tahun 1901. Penganut Yahudi juga memiliki pemikiran yang sama. Mereka memiliki majelis Sinagog pusat yang menghimpun semua badan keagamaan Yahudi di Perancis dan memilih Pimpinan Rabi sebagai wakil mereka untuk negara. Jumlah orang Islam di Perancis juga terus bertambah (diperkirakan ada sekitar 4 juta muslim saat ini) dan saat ini mereka adalah kelompok agama terbesar kedua di Perancis setelah Katolik. Namun demikian, sampai saat ini umat Islam di Perancis tidak memiliki organisasi yang terpusat di Perancis dan kegiatan ibadah lebih banyak dilakukan di masjid-masjid sementara.

Tidak seperti negara-negara Eropa lain yang berusaha memberlakukan kebijakan ekumenikalisme dan pluralisme, negara Perancis merespon ketegangan hubungan agama dan negara dengan memberlakukan sekularisme yang sungguh-sungguh memisahkan agama dan negara secara ketat. Namun penting untuk dicatat, sepanjang sejarah Perancis, pemahaman mengenai konsep sekularisme selalu berbeda-beda sehingga memberikan kemungkinan bagi terjadinya perubahan di masa yang akan datang. Bahkan, perbedaan pemahaman terhadap konsep sekularisme ini terus berperan dalam pembuatan keputusan politik di Perancis hingga saat ini. Untuk tujuan pembicaraan kita dalam buku ini, saya menyimpulkan bahwa pandangan Perancis tentang sekularisme bukanlah satu-satunya pandangan yang muncul di Eropa Barat, namun ide ini pun tetap diperdebatkan dan berkembang dalam konteks Perancis sendiri.

Italia

Model hubungan gereja dan negara di Italia yang berlaku saat ini bisa dirunut permulaannya pada proses unifikasi negara pada tahun 1870 yang ditandai dengan aneksasi Gereja Romawi dan penyerahan tanah kepausan kepada negara Italia baru. Akibat dari kejadian itu dan hilangnya kekuasaan sekuler Paus, proses unifikasi Itali menimbulkan krisis dalam hubungan antara negara dan gereja Katolik di sana. Kovenan Lateran tahun 1929 berusaha untuk membangun rekonsiliasi antara keduanya dengan menjawab persoalan-pesoalan seputar kepemilikan teritori Gereja Katolik Roma di Itali, posisi Vatican City di kota Roma dan peran Gereja Katolik di Italia secara umum. UU No. 1159 juga dikeluarkan pada saat yang sama untuk memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok keagamaan untuk mendapatkan kapasitas hukum. Di bawah aturan UU tersebut, kelompok-kelompok tersebut memperoleh pembebasan pajak dan hak-hak lain yang berkaitan dengan lembaga-lembaga pendidikan dan kesejahteraan sosial yang dimilikinya. Namun, UU ini juga memberikan batasan tertentu pada mereka.

Kesepakatan tahun 1929 menegaskan Kristen Katolik Roma sebagai satu-satunya agama yang diakui di Italia, sebuah posisi yang secara prinsipil bertentangan dengan, namun tak pernah dihapus oleh, Undang-Undang Dasar tahun 1948 yang berisi prinsip-prinsip negara sekuler, kesetaraan warga negara di hadapan hukum, dan kebebasan memeluk agama dan kepercayaan. Beberapa aturan hukum gereja yang, ternyata, ditemukan dalam Undang-Undang Dasar dimaksudkan sebaga upaya untuk menyeimbangkan perlindungan kebebasan dan persamaan hak individu dan jaminan sistem kerjasama negara dan sekte-sekte keagamaan. Undang-Undang Dasar juga menjamin kesamaan status sekte-sekte tersebut di hadapan hukum. Tapi, Pasal 7 Undang-Undang Dasar tahun 1948 memberikan ketentuan khusus pada Gereja Katolik Roma dengan menegaskan “Negara dan Gereja Katolik Roma adalah dua institusi yang independen dan berdaulat. Hubungan mereka diatur oleh Perjanjian Lateran. Amandemen apapun yang dilakukan atas perjanjian itu harus disepakati oleh kedua belah pihak dan tidak harus mengikuti prosedur yang harus dilalui oleh lazimnya amendemen konstitusi yang lain”.

Pada tahun 1984, pemerintah Itali dan Vatikan menandatangani revisi kesepakatan tahun 1929 yang kemudian menjadi undang-undang Itali setelah diratifikasi oleh parlemen Itali pada Maret 1985. Amandemen undang-undang tahun 1985 meneguhkan prinsip pemisahan negara dan agama (gereja yang bebas di negara yang bebas pula) dan memberikan preseden akan kemungkinan penandatanganan kesepakatan istimewa antara negara dengan, tidak hanya dengan Gereja Katolik Roma, tetapi juga dengan komunitas keagamaan apapun di Itali. Sejak saat itu, negara telah menandatangani sejumlah kesepakatan dengan berbagai komunitas agama untuk mengatur status hukum mereka, sekaligus mengakui pernikahan agama dan aktivitas sosial yang dilakukannya.

Sistem kesepakatan negara Itali dengan sejumlah sekte keagamaan membentuk tiga level sistem. Posisi hukum paling tinggi dinikmati oleh Gereja Katolik Roma yang diperlakukan seperti negara berdaulat di bawah aturan hukum Itali. Komunitas agama lain yang memiliki kesepakatan dengan negara seperti beberapa sekte Kristen Protestan dan Yahudi menempati posisi kedua. Karena kelompok-kelompok ini telah menandatangani kesepakatan dengan negara Itali, keberadaan mereka tidak lagi diatur oleh UU tahun 1929. Kesepakatan yang mereka tandatangani memberikan mereka fasilitas-fasilitas istimewa berkaitan dengan keuangan, pendidikan agama dan pelayanan lembaga pastoral yang tidak dimiliki oleh komunitas agama level ketiga. Komunitas keagamaan ketiga ini adalah komunitas agama yang relatif baru berdiri di Perancis seperti umat Islam dan saksi Yehovah. Mereka diatur oleh UU No. 1159 tahun 1929 dan undang-undang umum tentang asosiasi yang berarti mereka tidak mendapatkan hak-hak istimewa seperti yang diperoleh dua level komunitas lainnya.

Karena keberadaan sistem tiga level inilah, tidak ada ketentuan dalam hukum Itali yang berlaku bagi semua komunitas keagamaan untuk hal-hal seperti posisi lembaga pastoral, pembiayaan lembaga keagamaan, pelayanan pastoral, pendidikan agama dan hukum perkawinan. Selain itu, hukum gereja Itali memberikan wewenang besar kepada otoritas publik untuk menerima atau menolak permohonan negosiasi sekte agama apapun untuk menghentikan kesepakatan dengan negara; dan tidak ada kriteria objektif yang mengatur keputusan itu. Situasi hukum yang ad hoc ini telah melahirkan perdebatan mengenai hubungan agama dan negara. Status istimewa pastur di Itali menyebabkan lahirnya perlakuan khusus pada mereka, misalnya tindak kejahatan yang menimpa mereka diperlakukan lebih serius. Sementara itu, undang-undang menganggap pastor tidak memiliki kapasitas hukum sehingga mereka dilarang untuk memegang jabatan publik seperti walikota, hakim, notaris, pengacara atau petugas pajak.

Isu kontoversi lain berkaitan dengan pengajaran agama Katolik di sekolah-sekolah Negeri Itali. Pasal 9 kesepakatan tahun 1985 mengharuskan pemerintah untuk menjamin adanya pengajaran agama Katolik dalam sistem pendidikan sekolah-sekolah negeri selain universitas. Komunitas keagamaan lain yang memiliki kesepakatan dengan pemerintah bisa mengirim guru mereka ke sekolah, bila murid atau orang tuanya telah mendaftarkan diri untuk mendapatkan pengajaran agama. Tapi pembiayaannya dibebankan kepada institusi agama bersangkutan dan bukan menjadi tanggung jawab negara. Masalahnya kemudian, apakah kelas pendidikan agama diselenggarakan pada jam-jam sekolah atau diluarnya. Pengadilan konstitusi berkeyakinan bahwa kelas tidak bisa diselenggarakan bila jadwalnya bertabrakan dengan mata pelajaran wajib dan siswa yang tidak mengikuti kelas pelajaran agama bisa datang ke sekolah lebih awal atau lebih akhir. Tapi peraturan ini tidak berlaku bagi kelompok-kelompok agama yang tidak memiliki kesepakatan dengan pemerintah seperti umat Islam. Mereka tidak mempunyai hak untuk mengirimkan guru agama mereka ke sekolah.

Setelah kesepakatan tahun 1985, sistem pembiayaan dan perpajakan untuk gereja dan lembaga keagamaan lain juga berubah. Masalah perpajakan muncul karena pemerintah mengakui kerja-kerja sosial yang dilakukan oleh pihak gereja. Keinginan pemerintah Itali untuk mendukung kontribusi sosial gereja Katolik ini harus diharmonisasikan dengan aturan undang-undang dasar yang mengakui kesetaraan posisi semua agama dan individu, tak peduli apapun agamanya. Keinginan ini kemudian mewujud dalam dua sistem pembiayaan bagi organisasi keagamaan. Pertama, berasal dari kuota pajak penghasilan. Di Itali, orang bisa memberikan sebagian penghasilannya kepada salah satu dari 3 lembaga ini: kegiatan sosial yang difungsikan oleh negara, Gereja Katolik Roma, atau sekte-sekte keagamaan yang menjalin kesepakatan dengan negara. Kedua berasal dari potongan langsung penghasilan para anggota Gereja Katolik atau sekte yang mempunyai kesepakatan dengan negara. Kebijakan ini merupakan salah satu cara untuk mempertahankan tradisi hukum dan sejarah negara Italia yang memang harus memenuhi kebutuhan gereja. Kebijakan kompromistis ini juga bisa dilihat sebagai bentuk pengembalian aset gereja yang pernah diambil negara pada abad ke-18 dan 19.

Selain sistem pajak, hubungan keuangan negara dan gereja juga berlaku untuk masalah pelayanan pastoral. Kesepakatan tahun 1985 menyatakan bahwa pelayanan pastoral untuk para tentara, tahanan dan pasien rumah sakit dan klinik merupakan tanggung jawab pemuka agama Katolik yang ditunjuk oleh otoritas negara yang kompeten namun berdasarkan ajuan dari otoritas gereja. Pastor-pastor katolik yang memberikan pelayanan pastoral di institusi-institusi negara mendapatkan gaji dari negara. Sekte-sekte keagamaan yang menjalin kesepakatan dengan negara telah menegosiasikan hak mereka untuk memberikan pelayanan keagamaan yang sama di penjara, lembaga militer dan rumah sakit, namun gaji pemuka agama yang mereka utus menjadi tanggung jawab komunitas agamanya. Sekte-sekte agama yang tidak memiliki kesepakatan dengan negara tetapi diikat oleh UU No. 1159 juga bisa mendapatkan akses yang sama ke penjara, lembaga militer dan rumah sakit.

Spanyol

Seperti Itali, hubungan negara Spanyol dengan Gereja Katolik diatur oleh berbagai perjanjian atau kesepakatan. Pasca terjadinya gerakan reformasi dan kontra reformasi, banyak terjadi fusi antara kekuasaan politik dan agama di negara ini. Namun tak seperti di negara-negara Eropa yang Protestan, Kerajaan Spanyol tidak mengklaim kekuasaan keagamaan untuk dirinya sendiri, karena otoritas itu terletak pada kekuasaan Paus. Sebagai gantinya, Kerajaan mengembangkan dan menggunakan teknik-teknik intervensi untuk memperlihatkan pengaruhnya pada urusan-urusan Gereja Katolik di sana. Hubungan intim antara negara dan kerajaan serta meluasnya asumsi bahwa Spanyol adalah negara Katolik akhirnya berakhir pada masa dikeluarkannya Undang-Undang Dasar Republik Kedua tahun 1931 yang menyatakan bahwa Spanyol tidak memiliki agama resmi. Namun setelah Perang Sipil (1936-1939), fusi gereja dan negara ini dipulihkan kembali oleh Franco dan berpuncak pada kesepakatan tahun 1953.

Di tahun meningalnya Franco (1975), Gereja Katolik mendapatkan fasilitas hukum dan keuangan yang luar biasa. Gereja mendapatkan dana dari negara untuk menggaji pastor, memberikan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri dan menerima dana dari sekolah yang dikelolanya. Selain itu, perundang-undangan yang berkaitan dengan moralitas publik merefleksikan pengaruh gereja. Namun, pandangan ini semakin sulit untuk dipertahankan karena dukungan massa terhadapnya semakin menurun ketika pesatnya perkembangan ekonomi di tahun 60-an mempromosikan masyarakat sekuler yang tidak lagi rela untuk menerima ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam kesepakatan tahun 1953 antara negara dan Gereja Katolik. Kebutuhan akan reformasi ini juga disadari oleh para petinggi gereja Katolik Spanyol. Kardinal Tarancon, Uskup Agung Madrid dan Ketua Konferensi Keuskupan Spanyol, dalam pentahbisan Raja Juan Carlos I pada November 1975, misalnya menyatakan bahwa Gereja Katolik mendukung perubahan politik yang akan memberikan kesempatan kepada warga negara untuk berpartisipasi secara bebas dan aktif dalam kehidupan negara. Ia juga mengatakan bahwa Gereja hanya ingin mempertahankan haknya untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Sikap kompromis gereja ini bukan merupakan persetujuan atas pemisahan ketat antara negara dan gereja, tetapi merupakan sebuah usaha untuk menghindari penyelesaian unilateral yang dipaksakan negara kepada gereja.

Periode transisi antara kematian Franco pada tahun 1975 dan terbentuknya demokrasi sekuler pada tahun 1978 mendorong pemilihan umum dan pembuatan undang-undang dasar oleh konsensus partai politik saat itu. Perubahan yang terjadi, termasuk menghentikan fasilitas-fasilitas yang dinikmati oleh gereja sebagai cara untuk memperjelas hak-haknya. Sampai saat itu, sejumlah perjanjian dilakukan pemerintah Spanyol dengan Vatikan untuk mengganti kesepakatan tahun 1953. Negara mengakhiri “hak patronase tradisionalnya terhadap keputusan sidang para uskup dan mengakui hak Gereja Katolik untuk menyelenggarakan urusan-urusan keagamaan dan administratifnya, bebas dari intervensi negara. Sebaliknya, gereja juga mengakui pluralitas masyarakat Spanyol termasuk hak warga negara untuk mendapat kebebasan agama penuh”. Undang-undang dasar ini diperkuat oleh sejumlah undang-undang yang dibuat secara unilateral oleh negara termasuk undang-undang tahun 1980 tentang kebebasan beragama dan UU tahun 1981 tentang kebolehan perceraian.

Kesuksesan partai sosialis (PSOE) pada pemilihan tahun 1982 menghasilkan pemerintahan mayoritas dan perdana menteri yang sosialis. Kepemimpinan PSOE yang sebelumnya dikenal sangat anti-pemuka agama, berusaha untuk tapi memberikan rasa aman kepada Gereja Katolik ketika mereka menjalankan pemerintahan pada pemilihan 1982. Pemerintahan saat itu menerima sejumlah perjanjian yang dibuat dengan Vatikan dan statusnya sebagai perjanjian internasional termasuk kesepakatan mengenai kewajiban negara untuk tetap membiayai sekolah-sekolah gereja.

Namun, pemerintahan sosialis ini juga berbeda pendapat dalam beberapa hal dengan pihak Gereja, seperti dalam masalah moralitas publik. Meskipun para pemuka gereja mendukung perubahan konstitusi yang mempromosikan demokrasi dan pluralisme, mereka masih mengungkapkan pandangan tentang harusnya konstitusi memasukkan beberapa nilai kepercayaan Katolik dalam hal-hal semisal pernikahan, pendidikan, dan penghormatan kepada sesama manusia.

Masalah yang nampaknya paling sering diperdebatkan dalam konteks hubungan agama dan negara adalah masalah pendidikan. Undang-Undang Dasar dan undang-undang lainnya mengungkapkan bahwa negara menghormati hak orang tua untuk menentukan pendidikan moral dan agama anak-anaknya, dan menjamin tetapnya penghormatan terhadap nilai-nilai Kristen dalam proses pengajaran di sekolah-sekolah negeri. Negara juga sepakat bahwa pendidikan agama harus tetap dilanjutkan di sekolah-sekolah negeri meskipun menghadirinya bukan lagi merupakan satu kewajiban. Hak untuk mendirikan lembaga pendidikan swasta dan hak orang tua untuk memilih sekolah swasta diberlakukan. Negara juga setuju untuk tetap membiayai sekolah-sekolah gereja sampai gereja itu dapat mengembangkan sistem pendanaan sendiri. Pada Februari tahun 1983, pemerintah mengumumkan rencana reformasi organisasi pendidikan dan keuangannya. Kontroversi yang muncul seputar rencana tersebut adalah seberapa banyak dan besar kontrol pemerintah pada sekolah-sekolah gereja. Pemerintah ingin memaksakan suatu kondisi agar ia dapat terus membiayai sekolah-sekolah gereja seperti dengan mengharuskan sekolah untuk menerima kesepakatan kontrak dengan pemerintah, dan menyerahkan seluruh aspek administrasi pada majelis yang sudah dipilih. Selain itu, sekolah juga diharuskan untuk mengakui kebebasan akademik guru dan kebebasan staf dan siswa untuk mengikuti keyakinan yang dipercayainya dan untuk tidak mengharuskan orang untuk menghadiri pelayanan-pelayanan keagamaan.

Pemerintah juga mengusulkan agar karakter institusi-institusi keagamaan harus disetujui oleh otoritas publik, namun usulan ini dianggap inkonstitusional oleh Pengadilan Konstitusi berdasarkan kesepakatan antara gereja dan negara yang sudah dibuat lebih dulu. Usulan ini menimbulkan ketakutan akan terancamnya identitas sekolah-sekolah Katolik yang akhirnya memicu protes sekitar 250.000 orang pada saat pemutusan suara terakhir. Perundang-undangan lain mengenai pendidikan yang memicu ketegangan adalah Rancangan Undang-Undang mengenai kurikulum yang menganggap kurang pentingnya pelajaran agama dan menghapusnya dari daftar bidang studi yang menentukan penerimaan seseorang di universitas. Selain itu, pada tahun 1988 pemerintah juga memutuskan untuk mulai menerapkan skema aturan swa-pembiayaan gereja yang sudah dirancang dalam kesepakatan tahun 1979. Meskipun ketegangan mengenai masalah pendidikan ini terus muncul, namun pemerintah tetap menjalankan kewajibannya kepada gereja dan menggaji para pemuka agama.

Selama dekade 80-an, sayap konservatif Gereja Katolik memperparah pemisahan moral antara negara dan gereja. Dalam Surat Pastor tahun 1990 tentang “kondisi moral bangsa”, para uskup berpendapat bahwa mental moral masyarakat Spanyol lemah dan mereka menyalahkan negara atas hal ini. Surat tersebut menyatakan keberatan atas bebasnya propaganda ideologi yang kerap bertentangan dengan agama dan banyak digunakan untuk meniadakan atau mengolok-olok “apa yang dimaksud dengan Katolik”. Partai Sosialis menganggap surat tersebut bertentangan dengan demokrasi, sedangkan pemerintah menolaknya karena menganggap surat itu keliru sekaligus menolak pernyataan dalam surat itu tentang keinginan negara untuk mengeliminasi agama Kristen dari Spanyol.

Meski terjadi ketegangan antara negara dan gereja mengenai masalah pendidikan dan moral, ide hubungan antara keduanya di Spanyol masih bisa dideskripsikan sebagai ide yang melindungi kebebasan beragama dan mendukung praktik-praktik agama yang sudah terlembagakan dan tetap melindungi mereka yang tidak beragama atau mereka yang cenderung mengikuti pandangan keagamaan yang tidak konvensional, termasuk mereka yang meremehkan agama. Fasilitas istimewa yang diberikan pemerintah kepada Gereja Katolik sangat jelas dalam masalah pemberian dana dan pajak. Gereja Katoliklah satu-satunya kelompok agama yang mendapatkan dana dari pemerintah. Seperti di Itali, meskipun sistem ini mengatur agar Gereja Katolik mendapatkan uang seperti dalam sistem pajak gereja, sebenarnya sistem ini merupakan bagian dari sistem perpajakan negara secara keseluruhan. Pembayar pajak bisa mengalihkan prosentase pajak penghasilan mereka kepada Gereja Katolik atau untuk tujuan-tujuan sosial lain. Jumlah ini mengurangi atau menambah beban pajak yang harus dibayar, tapi merupakan pengurangan dari pajak yang seharusnya dibayar. Pengurangan pajak seperti ini hanya berlaku bagi donasi kepada Gereja Katolik atau kepada sekte keagamaan yang memiliki perjanjian dengan negara. Selain pemasukan dari pajak, negara masih membayar gaji untuk guru-guru agama, pastur yang bekerja di militer dan penjara, bantuan keuangan untuk institusi sosial dan kesehatan milik Katolik. Sayangnya, semua fasilitas ini tidak berlaku bagi komunitas agama lain.

Amerika Serikat

Usaha untuk memperjelas hubungan antara gereja dan negara di Amerika Serikat terjadi dalam kerangka konsensus yang dicapai pada masa Revolusi Amerika. Walaupun para pemimpin revolusi memiliki beragam kepercayaan, mereka hampir sepenuhnya sepakat pada sejumlah prinsip termasuk hak individu untuk memeluk suatu agama dan melaksanakan kewajibannya tanpa paksaan dari negara. Mereka percaya bahwa tidak boleh ada gereja resmi, tidak ada test keagamaan untuk pegawai negeri, dan pentingnya kebebasan untuk mempraktikkan agama. Ide-ide ini diungkapkan melalui Konstitusi dan Bill of Rights Amerika terutama dalam Amandemen Pertama (First Amandemen) yang menjamin dua elemen penting dalam apa yang disebut “Model Amerika” (The American Model) yaitu pemisahan gereja dan negara, di satu pihak, dan kebebasan untuk beragama, di pihak lain. Dokumen-dokumen dasar itu berusaha untuk melindungi pemerintah dari agama dan melindungi agama dari pemerintah secara simultan.

Keputusan untuk memisahkan agama dari negara, dengan demikian, disertai dengan penghargaan yang sama kepada agama sebagai sumber yang penting bagi kehidupan etis yang mendukung bentuk pemerintahan republik. Agama jelas berperan besar dalam Revolusi Amerika, karena bahasa dan simbol keagamaan digunakan oleh para patriot revolusi untuk memperoleh dukungan dari masyarakat dalam meraih kemerdekaan. Selain Puritanisme yang lazim dianut oleh koloni Amerika awal, kebangkitan kesadaran keagamaan yang dikenal sebagai “Great Awakening” dan doktrin agama rasional ikut berperan besar dalam membangun alasan keagamaan Revolusi dan kemudian mempengaruhi perkembangan politik pada masa berikutnya. De Tocqueville, pengamat masa pembentukan Amerika Serikat dari Perancis, mengatakan bahwa “Kristen di Amerika adalah sebuah institusi politik yang benar-benar berperan besar dalam mempertahankan bentuk pemerintahan republik di Amerika” dengan menyediakan konsensus moral yang kuat di tengah perubahan politik yang terus menerus terjadi.

Tidak adanya gereja resmi dan kesamaan status semua agama melahirkan konsekuensi penting bagi kehidupan politik dan keagamaan di negara ini. Karena tidak ada dukungan resmi dari negara, gereja-gereja harus tergantung pada keanggotaan dan dukungan keuangan yang bersifat sukarela. Namun kondisi seperti ini membuat gereja-gereja di Amerika tidak terlalu formal dalam menjalankan peribadatan, lebih demokratis, bersifat lokal dan lebih praktis dalam menetapkan tujuan-tujuan organisasinya. Para komentator masalah Agama Amerika selalu menggarisbawahi tendensi pragmatisme politik dan ekonomi yang cenderung bersifat duniawi sejak awal abad 19, “…lebih aktif, moralis, dan sosial daripada kontemplatif, teologis dan spiritual”.

Beragamnya sekte keagamaan di Amerika dan adanya prinsip konstitusional tentang pemisahan agama dan negara menjadikan pluralisme agama sebagai nilai politik dan budaya yang dianut luas disana dan membuka kemungkinan bagi berkembangnya gereja-gereja yang independen. Pandangan terhadap agama Kristen yang inklusif seperti ini dan patriotisme yang menyertai perkembangan gereja-gereja independen pasca periode Revolusi telah membukakan jalan bagi lahirnya apa yang disebut sebagai “Agama Sipil Amerika” (American Civil Religion). Tidak seperti Revolusi Perancis yang berusaha membangun agama sipil untuk menggantikan posisi gereja, agama sipil Amerika tidak pernah bersikap keras kepada pemuka agama atau pada pendukung sekularisme. Malah, agama sipil Amerika meminjam berbagai tradisi agama dengan cara tertentu hingga rata-rata orang Amerika tidak melihat adanya konflik antara agama dan negara. Bentuk agama sipil Amerika “mampu membangun solidaritas nasional, tanpa perlu bersaing keras dengan simbol gereja, dan memobilisasi motivasi personal yang kuat untuk meraih tujuan-tujuan nasional”. Bentuk ini direfleksikan dengan memasukkan referensi keagaman dalam dokumen-dokumen negara, lagu kebangsaan, deklarasi dan proses pelantikan presiden serta pengakuan negara terhadap hari libur keagamaan.

Kesatuan agama dan nasionalisme, yang tetap menjadi kekuatan potensial dalam kehidupan politik dan sipil Amerika hingga hari ini, menyebabkan terbangunnya hegemoni agama Kristen Protestan di negara itu. Kemampuan pengadilan-pengadilan untuk menentang pembentukan agama resmi di Amerika, sebagiannya, karena kehadiran hegemoni informal satu agama. Gereja-gereja besar hanya membutuhkan sedikit dukungan karena mereka memiliki telah kekuasaan dan pengaruh informal. Selain terbentuknya agama sipil Amerika, Protestan Evangelis tetap menjadi kekuatan inspiratif dalam kehidupan politik Amerika. Ia telah menjadi faktor yang signifikan untuk menumbuhkan semangat anti perbudakan di bagian utara Amerika menjelang pecahnya perang Sipil, namun ironisnya juga memperkuat komitmen penduduk di bagian selatan untuk mempertahankan ekonomi perbudakan. Para periode antara Perang Sipil dan Perang Dunia I, Protestan Evangelis memberikan dukungan yang berarti kepada sejumlah gerakan yang menginginkan adanya purifikasi moral dan budaya dalam kehidupan sipil dan politik di Amerika, termasuk larangan mengkonsumsi alkohol dan memberikan hak politik pada perempuan. Gereja-gereja juga telah menjadi partisipan aktif dalam pembuatan kebijakan publik mengenai isu-isu yang lebih luas seperti reformasi mata uang, kompensasi dari pelanggaran perusahaan, arbitrasi konflik internasional, dan berpartisipasi dalam proses demokrasi langsung melalui proses pemilihan inisiatif, referendum dan pemilihan ulang.

Kekuasaan informal agama resmi ini mulai terancam setelah Perang Dunia I ketika materialisme, ilmu pengetahuan dan sejumlah doktrin sekuler lain mulai melemahkan peran agama Kristen, khususnya protestan Evangelis, sebagai “prinsip nasional de facto”. Dalam debat-debat yang muncul seperti dalam pengajaran teori evolusi di sekolah, tradisi berfikir bebas yang sudah ada pada mayoritas penganut Protestan menemukan kembali kebaruannya. Meskipun terdapat sejumlah pandangan politik yang berbeda, “ada satu pandangan politik yang menyatukan semua pemikir bebas itu yaitu dukungan mereka pada pemisahan absolut negara dan agama yang diterjemahkan ke dalam tindakan menentang pemberian dukungan keuangan untuk lembaga-lembaga keagamaan khususnya sekolah-sekolah paroki”.

Sejak Perang Dunia II, hubungan agama dan negara terus diwarnai ketidaksepakatan mengenai peran dan wilayah agama dalam kehidupan publik dan politik. Dalam banyak hal, keputusan Mahkamah Agung selama paruh kedua abad 20 telah memperdalam pemisahan antara agama dan gereja dengan tidak memasukkan aktivitas agama dalam ruang, waktu dan anggaran publik terutama dalam masalah pendidikan dan sekolah negeri, seperti yang tercermin dalam keputusan mengenai misa sekolah. Kalangan Kristen konservatif merespon kecendrungan ini dengan melakukan banding di pengadilan dan kampanye untuk mempengaruhi politik. Kampanye banyak dilakukan untuk mendukung adanya misa di sekolah, program voucher yang memberikan kebebasan pada orang tua untuk memilih sekolah untuk anak-anaknya dan kebebasan sekolah Kristen untuk beroperasi dengan intervensi yang kecil dari pemerintah. Kristen konservatif juga berusaha untuk mempertahankan ikatan keluarga tradisional, agama ortodoks, dan pendekatan puritan terhadap moral yang menekankan kelurusan moral individu.

Seperti yang sudah diperkirakan, trend tersebut juga tercermin dalam sejumlah pandangan partai politik dan kampanye mereka tentang beberapa isu. Kampanye untuk menentang buku-buku sekolah yang “cabul”, hak-hak kaum gay, dan kesetaraan hak perempuan, mampu menarik banyak pendukung terutama dari kalangan penganut Protestan Evangelis yang memahami keterlibatan mereka dalam isu-isu tersebut sebagai jihad untuk membela nilai-nilai dan lembaga Kristen tradisional. Namun, aktivisme politik yang terorganisir semacam itu tidak hanya terjadi kalangan Protestan. Gereja-gereja yang berasal dari politik sayap kiri juga memiliki sejarah lobi politik yang sama baik mengatasnamakan isu hubungan etnis, perang terhadap kemiskinan, atau mengakhiri perang Vietnam. Mereka juga berusaha untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika sesuai dengan pandangan mereka. Aktivisme sosial dari sayap kiri biasanya muncul dari sekte-sekte utama Kristen Protestan, gereja Afrika Amerika, dan Yahudi. Gereja Katolik juga ikut terlibat dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri, masalah-masalah ekonomi dan mempertanyakan kebijakan seperti aborsi dan homoseks.

Komitmen negara Amerika untuk tidak cenderung pada salah satu sekte keagamaan telah teruji dalam beberapa dekade ini dalam kasus-kasus yang melibatkan kelompok-kelompok seperti Gereja Scientology, International Society untuk Krishna, dan Gereja Unifikasi yang menuntut kesamaan status di hadapan hukum. Larangan konstitusi untuk memihak pada salah satu komunitas agama diperkuat lagi oleh Mahkamah Agung sebagai prinsip yang penting untuk menjaga vitalitas konsep kebebasan beragama. Namun isu-isu tertentu masih terus berdatangan ke pengadilan seperti isu yang berkaitan dengan bahasa agama yang digunakan dalam sumpah kesetiaan, dan keberadaan monumen-monumen keagamaan di ruang-ruang publik. Bagaimana lembaga ini menyelesaikan isu-isu tersebut secara legal maupun politik, akan kita lihat nanti. Dengan demikian, jelas bahwa pemisahan hukum antara agama dan negara tidak bisa menyelesaikan masalah status agama dalam kehidupan politik dan publik negara ini secara permanen melalui formula yang sederhana dan ketat.

Sebagai kesimpulan atas review ini, jelaslah bahwa konsepsi dan pengalaman sekularisme Barat itu tidak mengidentikkan ataupun menarik agama dari ruang kebijakan publik dan undang-undang. Perkembangan kontekstual sejarah sekularisme dan kontroversi mengenai makna dan implikasinya dalam praktik terus bergulir sampai hari ini di semua negara Barat. Kesimpulan ini juga muncul ketika kita mereview pengalaman negara lain yang relevan seperti Jerman dan Belanda. Namun yang terpenting bagi bagi saya adalah bagaimana review pengalaman ini relevan untuk kondisi masyarakat Islam saat ini. Selain itu, pengalaman sekularisme masyarakat Barat dan implikasinya juga sangat berguna untuk memahami proses-proses yang terjadi berikutnya di tengah-tengah masyarakat mereka.

II. Upaya Kontekstual untuk Memediasi Ketegangan

Karena setiap masyarakat perlu menegosiasikan hubungan antara agama dan negara dalam konteksnya sendiri, maka tidaklah mungkin dan tidak pula diperlukan untuk memprediksi hasil kebijakan berdasarkan sebuah pra-konsepsi tentang hubungan ini. Malah, kita harus mencoba untuk mengidentifikasi faktor dan aktor yang relevan dalam proses ini dan mengatur proses interaksi mereka untuk meningkatkan prospek netralitas negara yang genuine dan berkelanjutan. “Netralitas negara tidak boleh dilihat sebagai cara yang abstrak, melainkan sebuah proses dialog yang berkelanjutan dengan identitas dan kebebasan beragama individu”. Di Amerika misalnya debat politik dan tuntutan hukum seputar peran agama dan kebijakan publik terjadi dalam konteks debat politik dan budaya yang lebih luas mengenai masalah-masalah seperti makna nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai keluarga, kebebasan beragama, otonomi personal dan kebebasan untuk memilih. Dengan demikian, dalam kontroversi mengenai aborsi, contohnya, mereka yang setuju bisa mengklaim bahwa aborsi adalah persoalan otonomi perempuan, namun mereka yang tidak setuju juga bisa menyatakan bahwa negara harus melindungi kehidupan sebuah janin. Keduanya bisa menggunakan justifikasi keagamaan untuk memperkuat posisinya, baik argumen itu diungkapkan dengan jelas atau tidak. Negara harus menyelesaikan kontroversi ini dengan mengambil salah satu pendapat sebagai kebijakan atau undang-undang resmi. Tapi, pilihan apapun yang diambil, pilihan tersebut pasti ditentang oleh pilihan lain yang tidak diadopsi oleh negara. Saya akan mendiskusikan proses ini lebih lanjut dalam bagian lain, namun berikut beberapa refleksi mengenai bagaimana memahami sesuatu di balik ketegangan permanen ini.

Ketegangan yang mendasari negosisasi itu adalah mengenai bagaimana dan seberapa besar otonomi otoritas keagamaan dari otoritas hukum dan politik negara. Di satu sisi, negara harus mengontrol institusi kegamaan untuk memenuhi kewajibannya dalam menjaga perdamaian, mempertahankan stabilitas politik, dan mencapai perkembangan ekonomi dan sosial. Seperti yang sudah dicatat tadi, negara harus bisa memiliki kontrol atas teritori dan warga negaranya agar bisa memediasi dan menyelesaikan pilihan-pilihan kebijakan publik yang berlawanan. Paradoksnya, negara tidak bisa mempertahankan netralitasnya terhadap agama tanpa melakukan kontrol terhadap aktivitas keagamaan warga negaranya. Di pihak lain, institusi-institusi keagamaan harus mempertahankan otonomi mereka dari kekuasaan kursif negara guna menjaga legitimasi doktrin dan praktik keagamaan mereka. Hal-hal seperti itu harus diatur sesuai dengan kerangka referensi internal dan otoritas institusi keagamaan yang independen tanpa campur tangan pejabat pemerintah yang akan cenderung memaksakan pandangan mereka. Dengan demikian saya akan memfokuskan diri pada cara untuk memediasi ketegangan hubungan antara negara dan agama yang inheren dan permanen ini.

Breyy Scharffs, misalnya, menyarankan agar hubungan ini difahami dengan istilah independen, interdependen dan inter-independen. Menurutnya, otonomi independen antara negara dan agama berarti menerapkan sistem pemisahan antara keduanya, sedangkan otonomi interdependen bisa menjadi dasar yang digunakan untuk mengatur kerjasama antara keduanya, dan otonomi inter-independen (yang nanti akan saya sebut sebagai “intermediate” untuk memudahkan pengistilahan) menghasilkan sistem yang mengatur akomodasi mereka. Ditinjau dari berbagai hal, pendekatan ini bisa konsisten dengan ide mengenai sekularisme sebagai proses negosisasi yang konstan, karena pendekatan ini bisa memotret sisi yang berbeda dalam satu rangkaian yang sama, bukan menganggapnya sebagai kategori-kategori yang berbeda.

Negara apapun dapat mengadopsi posisi yang berbeda untuk menyelesaikan isu yang berbeda. Dalam beberapa isu, negara bisa mengadopsi posisi yang lebih dekat pada independen, tapi dalam isu yang lain posisinya bisa lebih dekat ke interdependen atau dalam posisi di antara keduanya. Bahkan ketika kita hanya menyebut sebuah posisi lebih dekat pada posisi ini atau itu, kita harus mengakui bahwa ada posisi yang tidak bisa masuk pada deksripsi umum. Dengan demikian, pilihan posisi negara bukan cuma satu, tetapi beragam dan pilihan-pilihan lain masih sangat terbuka dan bisa menjadi pilihan kebijakan pada masa yang akan datang. Inilah yang saya maksud dengan mengatakan bahwa sekulerisme sangat tergantung kondisi dan selalu diperdebatkan dimana pun. Paparan mengenai pilihan kebijakan yang akan dikemukakan berikut ini saya tempatkan dalam konteks 3 rangkaian kemungkinan ini, bukan dalam kerangka klasifikasi yang ketat.

1. Pandangan Independen

Salah satu ujung rangkaian ini adalah ketika negara menerima independensi otoritas dan praktik keagamaan dengan tidak mendukung atau mencampuri urusannya. Dengan demikian, negara tidak akan menyediakan pendanaan langsung atau tidak langsung pada badan-badan keagamaan, dan tidak akan mencampuri urusan pengurus gereja, pendidikan agama, atau hukum dan undang-undang keagamaan. Tidak ada satu negara pun yang bisa dikategorikan memenuhi posisi ini, namun beberapa negara telah mengambil posisi seperti ini pada beberapa waktu untuk menyelesaikan beberapa persoalan. Ini bisa dilihat dari beberapa pengalaman Perancis, Amerika dan Swedia.

Seperti yang sudah dicatat tadi, beberapa pandangan mengenai laicite yang berkaitan dengan interaksi antara negara dan agama, bermunculan di Perancis sejak Revolusi Perancis terjadi. Karena ketegangan antara Gereja Katolik dengan pemerintah dalam beberapa isu seperti pendidikan dan bahasa pengantar pelajaran agama terus memuncak, interpretasi yang ketat terhadap sekularisme pun diadopsi oleh Perancis pada akhir abad ke-19. Kebijakan ini terrefleksikan dalam Undang-Undag 1902 yang secara resmi memisahkan agama dan negara. Undang-undang ini menyatakan ketiadaan hubungan antara negara dan institusi-institusi keagamaan, dan agama dianggap telah kehilangan fungsinya dalam sosialisasi kenegaraan. Undang-undang dan konstitusi setelahnya berusaha untuk membuat agama dan negara semakin independen satu dari yang lain.

Realitas pemisahan agama dan negara di Perancis ternyata tidak seketat dalam teori, karena negara sering memberikan dukungan kepada gereja. Sejak 1959, pemerintah Perancis selalu membayar gaji guru-guru yang mengajar di sekolah swasta, yang kebanyakan adalah sekolah-sekolah agama, dan memberikan ketentuan-ketentuan tertentu kepada mereka. Gereja, kuil dan sinagog yang dibangun di Perancis sebelum 1905 adalah milik negara dan diurus oleh negara, tetapi digunakan gratis oleh para pemuka agama. Kebijakan negara untuk membiayai Masjid Paris nampaknya merefleksikan fleksibilitas pemerintah Perancis dalam menginterpretasikan konsep pemisahan antara agama dan negara. Beberapa peristiwa dalam sejarah Perancis yang memperlihatkan baik penolakan dan kerelaan negara untuk mendukung pendidikan dan institusi agama telah diterima sebagai sebuah penafsiran yang cocok dengan konsep laicite.

Pandangan terhadap sekularisme yang pragmatis itu baru-baru ini telah diuji kelayakannya dalam kasus ‘jilbab”. Pemerintah Perancis melarang siswi muslim menggunakan jilbab di sekolah-sekolah negeri, bahkan sebagian dari mereka dikeluarkan dari sekolah karenanya. Setelah debat publik yang intens terjadi selama berminggu-minggu, parlemen memutuskan untuk melarang penggunaan semua simbol keagamaan yang mudah dikenali di sekolah-sekolah negeri. Aturan ini harus diterapkan pada semua agama, seperti kopiah Yahudi dan turban penganut Sikh, hingga memenuhi aturan kesetaraan formal yang dianut konstitusi Perancis. Tah peduli apapun yang orang fikirkan tentang hal itu. Penentang kebijakan ini berargumen bahwa mentolerir ekspresi keagamaan para siswa tidak bertentangan dengan laicite, malah merupakan satu hal yang harus dipenuhi oleh negara sebagai tanda komitmennya terhadap netralitas dan kebebasan beragama. Tapi sebaliknya, pemerintah menyatakan bahwa tanggung jawabnya untuk menjaga netralitas agama dalam ruang publik harus diperlihatkan dengan menjaga pemisahan yang ketat antara agama dan negara. Namun ada juga pendapat yang menyatakan bahwa kontroversi mengenai jilbab sebetulnya lebih mewakili persoalan integrasi imigran pada budaya dan kewarganegaraan Perancis yang menekankan loyalitas individu terhadap negara daripada persoalan pemisahan antara agama dan negara. Namun, negara Perancis terus mempertahankan dukungan pragmatisnya terhadap agama seperti dalam pendidikan dan masalah keuangan, meskipun tetap mempertahankan pemisahan yang ketat dalam masalah lain.

Pembuatan klausul dalam Amandemen Pertama Konstitusi Amerika bisa dipahami dalam kerangka pemisahan antara negara dan agama yang independen. Namun, meski posisi ini yang diambil, ketegangan antara keduanya masih tetap ada karena pilihan untuk menghapus agama dari pemerintahan dianggap penting “meskipun ada keyakinan yang luas bahwa ajaran dan praktik agama merupakan komponen yang krusial dalam ruang publik”. Ide pemisahan negara dan agama biasanya diekspresikan dalam makna dan implikasi yang disebut oleh Thomas Jefferson sebagai “wall of separation”. Dari pandangan ini, wilayah agama dan negara dipisahkan sehingga masing-masing tidak dapat mencampuri urusan yang lainnya, karena prinsip otonomi negara dan otonomi gereja mengharuskan adanya independensi masing-masing dari yang lain.

Pengaruh dan ketegangan yang muncul dari sikap independen ini bisa dilihat dari sejumlah keputusan pengadilan berkaitan dengan hubungan agama dan negara. Contohnya, perbedaan pendapat mengenai pemasangan monumen keagamaan di ruang publik seperti di ruang pengadilan mencerminkan interpretasi yang berbeda terhadap Amendemen Pertama Konstitusi Amerika. Ketegangan tercermin dari dua kelompok yang memiliki pendapat berbeda mengenai masalah tersebut. Kelompok yang disebut sebagai “kelompok Steven” (Hakim Steven, Souter dan Ginsberg) yang mendukung ide pemisahan menganggap pemasangan itu sebagai inkonstitusional. “Bagi mereka, pemerintah harus tetap jauh dari pesan-pesan apapun yang akan mendorongnya untuk menganut satu agama”. Dari sudut pandang ini, kegagalan untuk melaksanakan pemisahan yang ketat antara negara dan agama merupakan hal berbahaya bagi pemerintah dan agama. Sebaliknya, kelompok Rehnquist (hakim Rehnquist, Kennedy, Scalia, dan Thomas) berpendapat bahwa pengakuan pentingnya agama dalam kehidupan Amerika tetap sah secara konstitusional. Bagi kelompok ini, batas pelanggaran aparatur pemerintah adalah “ketika mereka menekan individu untuk menerima atau menolak satu agama atau memberikan dukungan berlebih pada agama tertentu sehingga pemerintah bisa dituduh mempromosikan kepercayaan agama ini”.

Perbedaan pendapat juga terlihat dalam keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat baru-baru ini mengenai dua kasus yaitu Van Orden v. Perry dan McCreary v. American Civil Liberties Union of Kentucky, yang mempermasalahkan pameran “Ten Commandements” yang disponsori oleh pemerintah. Mereka yang menentang pameran itu berpendapat bahwa pemerintah mengakui pesan-pesan keagamaan Ten Commandement, yang berarti melanggar Klausul Amendemen Pertama. Sebaliknya mereka yang mendukung pameran Ten Commendement berpendapat bahwa penayangan itu merupakan bukti pengakuan resmi pemerintah terhadap signifikannya peran Ten Commandement dalam pengembangan hukum dan pemerintahan di Amerika.

Pada tanggal 27 juni 2005, suara Mahkamah Agung yang terpecah ini akhirnya mengeluarkan dua keputusan mengenai legalitas pameran Ten Commandements di bangunan atau benda-benda publik. Mahkamah Agung menganggap pemasangan monumen Ten Commandements di halaman gedung pemerintah di Texas sebagai konstitusional, tetapi tidak di dua ruang sidang di Kentucky. Dua keputusan itu nampaknya membenarkan strategi Mahkamah Agung untuk membuat keputusan mengenai isu ini berdasarkan kasus per kasus. Yang penting untuk pembicaraan kita saat ini adalah bahwa isu-isu yang berkaitan dengan makna dan implikasi pemisahan gereja dan negara atau netralitas negara terhadap agama ternyata masih menjadi bahan kontroversi dalam negosiasi politik dan hukum di Amerika.

Seperti yang sudah dijelaskan secara singkat tadi, hubungan agama dan negara di Swedia terus berkembang pesat, karena dalam dua dua abad terakhir ini negara tersebut telah mengubah pandangannya yang kuat mengenai pentingnya keberadaan gereja resmi. Trend terbaru seperti imigrasi dan sekularisasi kultural telah menggerakkan pemisahan gereja dan negara selama tahun 90-an, seperti yang terlihat dalam pemindahan registrasi penduduk dari gereja ke otoritas pajak dan reformasi administratif lainnya. Perubahan-perubahan tersebut mencapai puncaknya pada pemisahan resmi negara dan agama pada tahun 2000, yang bisa difahami sebagai model hubungan negara dan agama yang independen. Namun, kenyataan bahwa Swedia tetap memberikan dana kepada organisasi-organisasi keagamaan, baik secara langsung maupun tidak, mengindikasikan bahwa ada usaha yang terus menerus untuk menegosiasikan makna dan istilah pemisahan ini.

Swedia mungkin merupakan contoh peralihan menuju model independen yang paling nyata dan baru, meskipun pendekatan ini juga bisa dilihat dalam debat dan perkembangan negara-negara Eropa lain. Sat ini kampanye untuk menuntut pemisahan yang lebih jelas sedang berlangsung di Inggris, pun kampanye mengenai hubungan agama dan negara di Spanyol selama masa republik kedua, atau hubungan resmi antara agama dan negara di Rusia. Hal yang penting untuk kita catat adalah proses yang terus berlanjut adalah negosiasi sekularisme, bukan penerapan sebuah model yang tetap di sebuah tempat. Berdasarkan perspektif inilah, saya akan melihat kemungkinan hubungan negara dan agama di negara-negara Barat di masa yang akan datang berdasarkan pengalaman mereka saat ini.

2. Pandangan Interdependen

Ujung lain dari rangkaian posisi hubungan negara dan agama yang umum berlaku di negara-negara Eropa adalah otonomi yang berdasarkan interdependensi atau kooperasi. Pada posisi ini, berarti ada kerjasama dan interaksi tertentu antara negara dan agama, walaupun agama tidak menjadi bagian resmi dari negara. Contoh posisi interdependen ini termasuk pembiayaan negara terhadap asosiasi-asosiasi keagamaan baik secara langsung atau tidak langsung, kerjasama dalam pendidikan agama, negara yang bertindak atas nama gereja, atau campur tangan negara terhadap urusan-urusan gereja. Kenyataan bahwa negara menyetujui, mendukung dan memberikan perlakuan khusus kepada gereja tertentu nampaknya tidak konsisten atau mendukung prinsip otonomi negara dan gereja. Karena itulah logika untuk memahaminya adalah kita tidak harus menyetujui atau menolak model seperti itu karena merupakan proses negosiasi yang terjadi terus menerus dalam sebuah masyarakat.

Menjelang revolusi periode modern yang demokratis, hubungan antara gereja dan negara di beberapa negara Eropa merefleksikan adanya hubungan yang intim antara kerajaan dan agama mayoritas. Pada masa pra-Revolusi Perancis dan pasca-Reformasi Spanyol, misalnya, kerajaan dan gereja Katolik bekerja sama untuk melegitimasi kekuasaan negara dan menjaga agama Katolik dari serangan Kristen Protestan. Model kerjasama seperti ini menyebabkan hubungan antara keduanya stabil dan saling menguntungkan dalam konteks historis saat itu, sampai kemudian lambat-laun terus berubah. Hubungan dekat semacam itu juga terjadi di negara-negara Kristen Protestan seperti Inggris dan Swedia, yang pada tingkat tertentu masih berlanjut sampai sekarang.

Contohnya, di bawah Act of Supremacy tahun 1558, yang masih menjadi bagian undang-undang Inggris, penguasa kerajaan adalah “supreme governor” bagi Gereja Anglikan dan mengucapkan janji suci untuk mempertahankannya. Seperti yang dicatat di bagian lalu, kerajaan menunjuk Uskup Agung dan pejabat gereja lain dan memberikan kursi kepada Lords of Spiritual di House of Lords. Selain itu, hukum gereja juga masih menjadi bagian dari Common Law Inggris, dan aturan-aturan yang dibuat gereja harus diproses, disetujui dan diberikan status hukum resmi oleh Parlemen. Kontekstualitas proses ini terlihat dari “tetap dipertahankannya bentuk lahiriah konstitusi Inggris, namun pelaksanaannya terus berkembang sesuai dengan konvensi—dalam kasus ini berarti menuju gereja yang benar-benar lebih independen”. Dengan demikian, pengakuan negara atas Gereja Anglikan sebagai gereja resmi terus berlangsung meskipun keduanya memiliki tingkat independensi tertentu dari yang lain dan masih bekerja sama dan saling mendukung dalam hal-hal yang menguntungkan kedua belah pihak. Fleksibitas seperti ini bertujuan untuk memperkuat penerimaan sosial dan legal terhadap sekularisme dan pluralisme agama dengan tetap mempertahankan peran tradisional Gereja Anglikan sebagai rekan spiritual dan moral pemerintah.

Rancangan interdependen ini juga dapat ditemukan di negara-negara Eropa lain, tapi saya akan mengulang secara singkat pengalaman negara-negara yang sudah saya kemukakan tadi. Model interdependen lebih jelas terlihat dari pengalaman-pengalaman negara yang berbasis Katolik seperti Spanyol dan Itali. Pada beberapa penggal sejarah mereka, hubungan negara dan gereja di kedua negara itu mengalami fluktuasi antara pemisahan yang kuat dan hubungan interdependen antara gereja dan negara. Sistem kesepakatan yang dibuat oleh negara dan gereja mengakui keberadaan keduanya sebagai pihak yang otonom, meskipun kesepakatan itu tetap memberikan kesempatan kepada gereja untuk mencampuri urusan-urusan negara, dan memberikan gereja fasilitas-fasilitas istimewa. Secara umum di Eropa, baik di negara-negara Katolik maupun Protestan, keberadaan gereja resmi telah direkonsiliasikan dengan pengakuan terhadap keragaman agama dan hadir bersamaan dengan sekularisasi kehidupan sosial dan budaya yang sedang meluas.

Model otonomi interdependen seperti ini juga bisa dilihat di Rusia yang secara resmi mengakui pemisahan agama dan negara tetapi masih membangun kooperasi dengan gereja ortodoks. Setelah perubahan drastis yang terjadi pada tahun 90-an dan runtuhnya Uni Soviet, ada interdependensi yang terus tumbuh antara negara dan gereja; dimana kekuasaan simbolis gereja dikendalikan oleh negara sebagai kompensasi atas perlindungan dan keuntungan yang diberikan negara kepadanya. Pengalaman Rusia yang terbaru menunjukkan bagaimana masyarakat yang telah tersekulerkan selama masa berdirinya Uni Soviet, sekarang nampak mulai kembali menganut pandangan Eropa yang tradisional mengenai hubungan agama dan gereja.

Model interdependen ini bisa juga tumbuh di negara yang lebih dekat ke model independen. Contohnya, daerah Alsace Lorraine di Perancis yang digabungkan ke Jerman setelah kekalahan Perancis pada tahun 1871 dan masih berada di bawah kontrol Jerman ketika undang-undang 1905 tentang pemisahan negara dan gereja diberlakukan di Perancis. Setelah PD I, ketika daerah itu dikembalikan ke Perancis, sistem kesepakatan gereja dan negara masih dipertahankan. Di Alsace Lorraine pemuka agama menerima gaji dari negara dan Uskup ditunjuk oleh Presiden, padahal di daerah Perancis lain, hal itu tidak terjadi. Dengan demikian model interdependensi antara gereja dan negara Perancis masih berlanjut di daerah tertentu, meskipun tidak di daerah lain. Begitupun di Jerman, ukuran interdependensi antara negara dan gereja berbeda-beda di beberapa daerah. Di daerah daerah bekas Jerman Timur dan di negara seperti Berlin, pemisahan antara gereja dan negara merupakan hal substansial dalam beberapa hal, seperti dalam masalah pendidikan. Sementara di daerah lain seperti di daerah yang dikuasai oleh Katolik Bavaria, hubungan antara gereja dan negara terlihat lebih kuat.

3. Level Intermediate

Di antara posisi independen dan interdependen, terdapat kemungkinan yang amat luas bagi terjadinya kombinasi antara dua posisi itu, dimana negara dan gereja dapat mempertahankan independensinya masing-masing, namun negara diharapkan untuk membuat aturan-aturan tertentu untuk memberdayakan gereja dan memfasilitasi perannya dalam masyarakat. Berlawanan dengan asumsi yang kaku mengenai independensi dua lembaga ini, posisi intermediate mengakui keberadaan manusia sebagai makhluk yang lahir dan tumbuh dalam konteks sosial tertentu sebagai anggota keluarga dan komunitas. Pada saat yang sama, posisi ini juga mengakui bahwa otonomi merupakan hal yang tidak mungkin, jika negara memberi perlakuan khusus kepada agama tertentu atau berusaha memaksa individu untuk mempraktikkan ajaran agama tertentu. Komitmen untuk menghargai ruang dimana individu memiliki kebebasan untuk mengarahkan kehidupan mereka tanpa paksaan atau manipulasi, mengandaikan adanya pembedaan antara kehidupan publik dan privat, walaupun dengan tetap menyadari kemungkinan akan terjadinya persinggungan dan pengaruh yang saling menguntungkan keduanya”. Mengakomodasi agama untuk memainkan peran aktif dalam kehidupan politik dan sosial sebuah komunitas harus diupayakan menjadi sebuah usaha untuk menyeimbangkan realitas interdependensi dan sikap saling menghormati di kalangan agen otonom.

Posisi Rehnquist, salah seorang hakim Mahkamah Agung AS yang sudah saya sebutkan tadi bisa menjadi contoh pendekatan intermediate. Posisi ini bisa difahami sebagai sebuah interpretasi terhadap prinsip pemisahan antara negara dan agama yang berpijak pada adanya hubungan moral dan sejarah yang mendalam antara keduanya. Untuk mempertahankan netralitas negara terhadap agama, hakim-hakim ini tidak akan mengharuskan proses peminggiran agama dari seluruh aspek kehidupan publik. Melalui perspektif ini, negara masih tetap bisa memberikan bantuan kepada institusi-institusi keagamaan, yang memang sudah dilakukan, tanpa diskriminasi. Belanda bisa menjadi contoh untuk memperlihatkan hubungan agama dan negara model ini, dimana negara tidak memberlakukan pemisahan yang ketat dan memberikan dukungan keuangan dan dukungan lain kepada komunitas-komunitas keagamaan utama tanpa mengistimewakan salah satunya. Pada saat yang sama, nampaknya pemerintah Belanda tidak tergantung pada agama untuk mendapatkan legitimasi bagi pemerintahannya seperti negara-negara yang memiliki gereja resmi. Posisi tengah ini bisa diterapkan saat ini, di negara-negara seperti Itali dan Spanyol yang secara resmi sekuler, tetapi tetap mendukung peran gereja sebagai agen sosial yang penting.

4. Hubungan Faktor Internal dan Eksternal

Di samping peran historis dan kontemporer faktor-faktor internal dan eksternal, negosiasi sekularisme di negara-negara Eropa Barat juga dipengaruhi oleh kerangka pikir Uni-Eropa dan Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa. Semua anggota Uni-Eropa adalah anggota Dewan Eropa, namun beberapa anggota Dewan, seperti Turki, bukanlah anggota Uni Eropa. Tugas utama Dewan Eropa adalah untuk melindungi Hak Asasi Manusia di Eropa sementara Uni Eropa yang awalnya hanya organisasi ekonomi berkembang menjadi organisasi yang juga mengurusi persoalan politik dan sosial. Kedua sistem ini mempengaruhi hubungan negara dan agama di negara-negara anggotanya. Kebijakan dan peraturan regional mengenai agama berusaha untuk menyeimbangkan pluralisme dan kebebasan beragama dengan tetap mengakui keberadaan gereja resmi dan pandangan yang berbeda mengenai hubungan agama dan di kalangan negara-negara anggotanya. Negosiasi mengenai makna dan implikasi netralitas negara terhadap otonomi gereja di dalam negeri kini dipengaruhi oleh perkembangan regional.

Salah satu aspek utama faktor regional ini adalah Keputusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa yang berada di bawah aturan Konvensi HAM Eropa. Keputusan pengadilan itu merefleksikan pener