Warta KKIH filePuisi We Need a Saint mengingatkan diri pada pang-gilan kita untuk hidup dalam...

12
Warta Edisi: November 2013 Warta Keluarga Katolik Indonesia Houston KKIH Imanmu Telah Menyelamatkan Engkau Penulis Romo John Taosan (Pembimbing KKIH) Keluarga Katolik Indonesia Houston www.kkih.org Email: [email protected] Misa KKIH St. Catherine of Siena 10688 Shadow Wood Houston, TX 77043 Setiap Minggu kedua dan keempat 3:00pm Rosario dan Pendalaman Iman Setiap Senin kedua atau keempat Di rumah umat Ketua: Wakil Ketua: Sekretaris: Bendahara: Treasury: Liturgi: Rosario: Bina Anak-anak: Bina Remaja: Bina Dewasa: Koor: Konsumsi: Perlengkapan: Inventori: Teknologi: Hubungan Luar: Hubungan Gerejani: Olah Raga: Publikasi: Pembimbing: Komisi Masa Depan: Irwan Hidajat Frankie Sugiaman Sigit Pratopo Kathleen Sendjaja Riana Jo Hans Sutanto, Yulia Gunawan, Yanti Inarsoyo Patricia Henry Windra Sugiaman, Caroline Silka Salim Paul Wahyudin, Gaby Wahyudin Teddy Oetama, Djoni Sidarta Yovita Iskandar, Kevin Kang Lisa Siboro, Honny Sinartio, Lanny Efendy, E. Yuyu Atmadja Betty Oetama Sri Dilla Tanu Ewa Efendy Harry Kumala, Andrew Huang Christian Tan Husin Karim Fadjar Budhijanto Romo John Taosan Djoni Sidarta Fadjar Budhijanto Pengurus 2012-2014 www.facebook.com/KKIndonesiaHouston Baru-baru ini seorang ibu datang kepada saya untuk meminta doa bagi anaknya agar mendapatkan pekerjaan. Saya mengajak ibu itu untuk berdoa bersama. Dua hari berse- lang ibu ini menelepon untuk beritahu saya bahwa anaknya sudah mendapat pekerjaan. Dia berterima kasih kepada saya atas terka- bulnya doa buat anaknya. Secara spontan saya bereaksi: “Loh kenapa terima kasihnya kepa- da saya? Bukankah Tuhan yang telah berbaik hati kepada anak ibu?” Sebagai pastor, saya sering diberi kredit yang seharusnya dikemba- likan kepada Tuhan sebagai sumber segala sesuatu yang kita butuh- kan dalam hidup ini. Kisah ini juga mengingatkan saya ketika Yesus bersabda: “Berdirilah, dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.” (Luk 17:19). Sabda ini ditujukan kepada salah satu dari 10 penderita kusta, seorang Samaria, yang kembali kepada Yesus untuk berterimakasih karena telah disembuhkan. Dalam kisah ini orang Samaria itu diberi kredit oleh Yesus karena iman dan kepercayaannya. Kembali kepada cerita ibu tadi, apa yang membuat dia datang kepada seorang pastor untuk meminta doa bagi anaknya adalah iman. Maka iman ini pula yang menggerakkan Tuhan untuk menunjukkan belas kasih-Nya kepada sang anak. Tentu Tuhan menginginkan agar kita (anak-anak-Nya) menjadi orang yang beriman. Dalam konteks inilah KKIH lahir dan terus berkembang hingga kini. Kiranya sulit bagi kita membayangkan keadaan KKIH kini, ketika didirikan 14 tahun lalu. Dengan iman inilah, kita merelakan diri dituntun Tuhan melewati segala rintangan dan tantangan. Beriman berarti memiliki hati yang tetap percaya dan yakin sekalipun pada awalnya masih tampak samar dalam pandangan mata kita. Kita mudah ragu ketika menghadapi realita yang bertolak belakang dengan harapan kita. Namun dengan iman, kita percaya dan berpengharapan kepada Dia yang mencintai dan memilihkan yang terbaik bagi kita. Semoga Roh Tuhan aktif menggerakkan hati kita umat-Nya agar iman kita semakin bertumbuh dan menghasilkan buah. Dan semoga kita terus beriman teguh kepadaNya di tahun-tahun mendatang. Romo John Taosan

Transcript of Warta KKIH filePuisi We Need a Saint mengingatkan diri pada pang-gilan kita untuk hidup dalam...

WartaEdisi: November 2013

WartaKeluarga Katolik Indonesia Houston

KKIHImanmu Telah Menyelamatkan EngkauPenulis Romo John Taosan (Pembimbing KKIH)

Keluarga Katolik Indonesia Houstonwww.kkih.orgEmail: [email protected]

Misa KKIH

St. Catherine of Siena10688 Shadow WoodHouston, TX 77043Setiap Minggu kedua dan keempat3:00pm

Rosario dan Pendalaman Iman

Setiap Senin kedua atau keempatDi rumah umat

Ketua:Wakil Ketua:Sekretaris:Bendahara:Treasury:Liturgi:Rosario:

Bina Anak-anak:

Bina Remaja:

Bina Dewasa:

Koor:

Konsumsi:

Perlengkapan:Inventori:Teknologi:Hubungan Luar:

Hubungan Gerejani: Olah Raga:Publikasi:

Pembimbing:Komisi Masa Depan:

Irwan HidajatFrankie SugiamanSigit PratopoKathleen SendjajaRiana JoHans Sutanto,Yulia Gunawan,Yanti InarsoyoPatricia HenryWindra Sugiaman,Caroline Silka SalimPaul Wahyudin,Gaby WahyudinTeddy Oetama,Djoni SidartaYovita Iskandar,Kevin KangLisa Siboro,Honny Sinartio,Lanny Efendy,E. Yuyu AtmadjaBetty OetamaSri Dilla TanuEwa EfendyHarry Kumala,Andrew HuangChristian TanHusin KarimFadjar Budhijanto

Romo John TaosanDjoni SidartaFadjar Budhijanto

Pengurus 2012-2014

www.facebook.com/KKIndonesiaHouston

Baru-baru ini seorang ibu datang kepada saya untuk meminta doa bagi anaknya agar mendapatkan pekerjaan. Saya mengajak ibu itu untuk berdoa bersama. Dua hari berse-lang ibu ini menelepon untuk beritahu saya bahwa anaknya sudah mendapat pekerjaan. Dia berterima kasih kepada saya atas terka-bulnya doa buat anaknya. Secara spontan saya bereaksi: “Loh kenapa terima kasihnya kepa-da saya? Bukankah Tuhan yang telah berbaik

hati kepada anak ibu?”

Sebagai pastor, saya sering diberi kredit yang seharusnya dikemba-likan kepada Tuhan sebagai sumber segala sesuatu yang kita butuh-kan dalam hidup ini. Kisah ini juga mengingatkan saya ketika Yesus bersabda: “Berdirilah, dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.” (Luk 17:19). Sabda ini ditujukan kepada salah satu dari 10 penderita kusta, seorang Samaria, yang kembali kepada Yesus untuk berterimakasih karena telah disembuhkan. Dalam kisah ini orang Samaria itu diberi kredit oleh Yesus karena iman dan kepercayaannya.

Kembali kepada cerita ibu tadi, apa yang membuat dia datang kepada seorang pastor untuk meminta doa bagi anaknya adalah iman. Maka iman ini pula yang menggerakkan Tuhan untuk menunjukkan belas kasih-Nya kepada sang anak.

Tentu Tuhan menginginkan agar kita (anak-anak-Nya) menjadi orang yang beriman. Dalam konteks inilah KKIH lahir dan terus berkembang hingga kini. Kiranya sulit bagi kita membayangkan keadaan KKIH kini, ketika didirikan 14 tahun lalu. Dengan iman inilah, kita merelakan diri dituntun Tuhan melewati segala rintangan dan tantangan.

Beriman berarti memiliki hati yang tetap percaya dan yakin sekalipun pada awalnya masih tampak samar dalam pandangan mata kita. Kita mudah ragu ketika menghadapi realita yang bertolak belakang dengan harapan kita. Namun dengan iman, kita percaya dan berpengharapan kepada Dia yang mencintai dan memilihkan yang terbaik bagi kita.

Semoga Roh Tuhan aktif menggerakkan hati kita umat-Nya agar iman kita semakin bertumbuh dan menghasilkan buah. Dan semoga kita terus beriman teguh kepadaNya di tahun-tahun mendatang.

Romo John Taosan

2 Warta KKIH November 2013

Berdoa dengan Perantaraan Santo-SantaPenulis: Yulia Gunawan

Surat Redaksi

Dalam edisi ini, Warta mengangkat tema Santo-Santa dalam menyambut Pesta Orang Kudus yang kita rayakan setiap 1 November.

Setiap kali berbicara soal santo-santa, kita cenderung memikirkan hidup para orang kudus yang begitu suci, berkarya sedemikian agung dan berjasa bagi Gereja. Rasanya sesuatu yang tidak mungkin kita laku-kan. Tetapi benarkah demikian?

Ternyata semasa hidupnya para santo-santa juga penuh perjuangan dan tantangan, sebagaimana dituliskan Romo Soeherman. Kekudusan mere-ka terletak pada kesungguhan dalam berkarya dan ketahanan dalam menghadapi rintangan dengan penuh harapan bahwa Allah selalu menyertainya.

Berdoa dengan perantaraan santo-santa adalah biblis, sama halnya meminta dukungan doa dari sesama yang dekat dengan kita (Yulia). Kehidupan para orang kudus masa kini dikisah-kan dalam artikel tentang dua beato, dan the American Pieta (Agus). Puisi We Need a Saint mengingatkan diri pada pang-gilan kita untuk hidup dalam kekudusan karena pembaptisan.

Warta mengangkat tulisan Romo John (pembimbing rohani kita) dalam menyambut ulang-tahun KKIH yang ke 14, laporan perayaan Misa Asia, Tari Saman (Adista, Diva). Juga kisah nyata pak Frans yang menyentuh hati.

Selamat membaca,

Redaktur.

Dalam tradisi gereja Katolik, kita mengenal santo-santa sebagai perantara doa. Sewaktu kuliah, saya belum memahami doa melalui perantara orang kudus. Meskipun saat itu saya sudah menerima Sakra-men Penguatan, dengan nama penguatan - Maria.

Pernah terlontar dalam benakku “mengapa kita tidak berdoa lang-sung ke Yesus?” Kemudian saya menanyakan hal tersebut kepada suster, guru agamaku sewaktu SD dan SMA, yang kebetulan kujumpai kembali di sebuah RS saat saya menemani ayah yang sedang sakit.

Lalu suster menjawab: “Bukankah kita sering menemukan banyak umat yang minta didoakan oleh pastor, pendeta, suster? Bukankah mereka seharusnya bisa langsung berdoa sendiri kepada Tuhan?”

Dalam realita hidup, kita mencantumkan referensi ketika melamar pekerjaaan. Dalam hal berdoapun bila kita banyak referensi (dengan perantaraan santo-santa yang semasa hidupnya dekat dengan Tuhan) maka akan membantu terkabulnya doa-doa kita.

Yakobus 5:16 menuliskan “karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosa dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang benar, bila didoakan dengan yakin, sangat besar kuasanya.”

Tetapi mengapa berdoa melalui santo-santa yang sudah meninggal?

Pada dasarnya berdoa melalui santo-santa ini tidak bertentangan dengan Kitab Wahyu 8:3-4: “ ..... Maka naiklah asap kemenyan bersa-ma-sama dengan doa orang-orang kudus itu dari tangan Malaikat itu ke hadapan Allah.”

Pada saat kita mendaraskan doa Aku Percaya ada kata-kata Perse-kutuan Para Kudus, yang menunjukkan kesatuan antara semua orang yang percaya Yesus, di dunia maupun di surga.

1 Timotius 3:15 menuliskan: “Jadi jika aku terlambat, sudahlah Engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran.”

Orang Katolik berdoa kepada santo-santa karena kita percaya bahwa mereka tidak mati tetapi hidup, dan semasa hidupnya di dunia mereka mengenal, percaya dan dekat dengan Yesus.

Dalam Injil Yohanes 11: 25-26 dituliskan: “Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun sudah mati dan setiap orang hidup yang percaya kepada-Ku tidak akan mati selama-lamanya.”

Satu hal lagi, kisah Yesus ketika dimuliakan di atas gunung (Markus 9:4). Yesus bercakap-cakap dengan Nabi Elia dan Musa. Ini berarti ada kehidupan [kekal] sesudah kehidupan di dunia fana.

Santa Maria adalah santa junjunganku, karena dialah ibunda Yesus yang sangat dekat dan mengenal siapakah Yesus.

3 Warta KKIH November 2013

We Need a Saint

We Need a Saint

“We need saints without cassocks, without veils

– we need saints with jeans and tennis shoes.

We need saints that go to the movies that listen to music, that hang out with their friends.

We need saints that place God in first place ahead of succeeding in any career.

We need saints that look for time to pray every day and who know how to be in love with purity,

chastity and all good things.

We need saints – saints for the 21st century with a spirituality appropriate to our new time.

We need saints that have a commitment to helping the poor and to make the needed social change.

We need saints to live in the world, to sanctify the world and to not be afraid of living in the world by

their presence in it.

We need saints that drink Coke, that eat hot dogs, that surf the internet and that listen to their CD.

We need saints that love the Eucharist, that are not afraid or embarrassed to eat a pizza or drink a

beer with their friends.

We need saints who love the movies, dance, sports, theater.

We need saints that are open sociable normal happy companions.

We need saints who are in this world and who know how to enjoy the best in this world without

being callous or mundane.

We need saints.”

Kita Butuh Santo-Santa

Kita butuh santo-santa tanpa jubah atau kerudung

Kita butuh santo-santa yang bercelana jean dan bersepatu tennis.

Kita butuh santo-santa yang suka menonton film, mendengarkan musik dan main bersama teman-

temannya.

Kita butuh santo-santa yang mengutamakan Allah daripada mengejar karier semata-mata.

Kita butuh santo-santa yang meluangkan waktu doa setiap hari, yang tahu bagaimana mencintai

kemurnian, kasih dan segala hal yang baik.

Kita butuh santo-santa abad ke 21 dengan spiritu-alitas yang cocok dengan zaman kita.

Kita butuh santo-santa yang mempunyai komit-men untuk membantu kaum miskin agar mampu melakukan perubahan sosial yang diperlukannya.

Kita butuh santo-santa yang hidup di dunia, menguduskan dunia dan tidak gentar menghadapi

tantangan hidup di dunia.

Kita butuh santo-santa yang suka minum Coke, gemar makan hot dog, menjelajah internet dan

mendengarkan CD.

Kita butuh santo-santa yang mencintai Ekaristi, tidak takut dan malu jajan pizza atau minum bir

bersama teman-temannya.

Kita butuh santo-santa gemar nonton film, dansa, berolah raga dan ke bioskop.

Kita butuh santo-santa yang bisa jadi sahabat yang terbuka, sederhana, riang gembira.

Kita butuh santo-santa yang hidup di dunia ini dan tahu bagaimana menikmati hal terbaik tanpa

menjadikan dirinya tidak punya perasaan dan biasa-biasa saja.

Kita butuh santo-santa.”

Puisi berikut ini konon diilhami oleh seruan mendiang Yohanes Paulus II yang mendorong kaum muda (youth) untuk menjadi santo dan santa bagi lingkungannya. Naskah yang aslinya ditulis dalam bahasa Portugis, tanpa diketahui siapa pengarangnya, kini telah banyak beredar dalam berbagai versi di internet. Semoga pengung-gahan puisi ini mampu menginspirasi kita untuk hidup dalam kekudusan ketika bergumul dalam tugas di tengah tekanan hidup sehari-hari. Menjadi santo-santa adalah panggilan dan sekaligus tantangan bagi kita semua.

4 Warta KKIH November 2013

Dia Menuntunku

Sebetulnya aku agak ragu dan enggan menuliskan kisahku ini karena aku memang tidak bisa memilih

dan menyusun kata-kata dengan baik dan benar. Atas dorongan temanku, Bapak Fadjar maka aku mencoba menu-liskan kisah ini. Semoga shar-ing pengalaman

imanku ini berguna bagi teman-teman yang mem-bacanya. Juga aku ingin membesarkan dan memuliakan nama Tuhan.

Aku tinggal di New York dan bekerja di Rainbow Room, Rockefeller dengan pendapatan cukup luma-yan dan memperoleh benefit asuransi kesehatan yang baik. Di samping itu, aku senang bekerja di situ karena bisa menghadiri Misa setiap pagi di St. Patrick Cathedral yang kebetulan terletak di seberang tempat aku bekerja.

Pada awal tahun 2011 perusahaan tempat aku bekerja ditutup, dan karena itu aku kehilangan pekerjaan dan asuransi kesehatan. Aku mau pensi-un tetapi umur belum memadai, mau melamar Medicaid juga belum memenuhi persyaratan.

Kami selalu berdoa memohon kekuatan dan kese-hatan yang utuh, tetapi apa hendak dikata Tuhan berkehendak lain. Menjelang Natal 2011 di tengah latihan koor aku tidak bisa buang air kecil. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Di tengah jalan terasa sakit sekali padahal kami harus menyetir 1 jam.

Lalu aku minta anakku, Nicholas untuk mengantar-kan aku ke Emergency Community Hospital. Setelah dirawat tiga hari, aku diperbolehkan pulang dengan memakai catheter. Dokter mengatakan bahwa dalam pemeriksaan tidak dijumpai gejala kan-ker prostat tetapi pada ginjal sebelah kiri ditemu-kan sesuatu yang mencurigakan. Untuk itu harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut ke Rumah Sakit lain. Rupanya hal ini dijadikan alasan oleh mereka

karena realitanya aku tidak mempunyai asuransi kesehatan.

Aku bersyukur masih bisa merayakan Natal KKINY biarpun memakai catheter. Di malam Tahun Baru, aku tidak bisa buang air kecil lagi. Lalu aku dilari-kan ke Emergency di Coney Island Hospital. Pada rumah sakit ini aku diperiksa lebih lanjut dengan menggunakan MRI dan C-Scan. Berdasarkan peme-riksaan itu pada ginjal kiri ada suatu gumpalan yang mencurigakan sebesar 1.7 x 1.9 cm. Dokter belum mengetahui apakah gumpalan itu tumor, kanker atau hanya jaringan lemak. Karena hasil PSA (Pros-tate Specific Antigen) tinggi, maka dokter mengan-jurkan agar aku segera dioperasi, sebab dikuatirkan apabila kanker akan menyebar.

Aku tidak mau segera dioperasi dan ingin memperoleh second opinion, sementara menunggu mendapatkan medicare. Di tengah kemelut untuk memutuskan operasi, abangku yang paling tua dipanggil Tuhan karena menderita kanker paru-paru. Belum lagi tagihan besar yang datang dari Community Hospital.

Tersirat dalam pikiranku: mengapa Tuhan memberikan masalah yang beruntun. Tetapi pikiran itu segera kubuang jauh-jauh. Aku tidak mau menya-lahkan Tuhan. Bukankah aku sangat memerlukan pertolongan daripadaNya! Aku jadi ingat kata-kata dalam Injil: “Siapakah di antara kamu yang karena kekawatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya” (Mat 6:27). Semuanya kuserah-kan kepada Tuhan dan aku memohon perpanjangan tangan-tangan-Nya melalui orang-orang di sekitar kami.

Setiap pagi aku tidak pernah melewatkan kesem-patan untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Setiap kali Romo menghunjukkan hosti atau anggur, kupegang ginjalku yang sakit sambil memohom kesembuhan. Setiap pergi ke gereja dengan sengaja tidak mau membawa mobil supaya aku bisa pergi sambil doa rosario karena harus jalan 20 blok.

Tuhan mempertemukan aku dengan Dokter Victor Hartanto dari New Jersey dan Dokter David. Semua hasil pemeriksaan terdahulu aku tunjukkan dan mereka berdiskusi dengan timnya. Tetapi hasilnya tetap sama: tidak jelas dan segera harus operasi.

Kisah Nyata Bapak Frans Samosir (Mantan Ketua KKINY)Dituliskan oleh Ibu Samosir

lanjutan di halaman 7

Bapak/Ibu Frans Samosir

5 Warta KKIH November 2013

Pada hari Minggu 27 Oktober lalu, kita mera-yakan KKIH yang genap berusia 14 tahun. Seder-hana tetapi cukup meriah. Sederhana karena hanya dihadiri oleh umat dan kerabat dekat tanpa tamu undangan. Meriah karena diawali dengan Misa Kudus konsilibrasi oleh Romo John Taosan selaku pembimbing rohani dan Romo Benignus Wego SVD dan Romo Andre SVD dari Lake Charles. Kira-kira 140 umat dewasa dan anak-anak hadir. Homili Romo John menying-gung perlunya kita mengguna-kan bahasa cinta (bahasa Allah) dalam membina persahabatan dengan Tuhan dan sesama. Bahasa ini sarat dengan keren-dahan hati, keterbukaan bagi belas kasih dan cinta Allah.

Di akhir Misa, Romo Benignus sharing tentang KKIH yang dekat di hatinya karena pernah menjadi Romo Pembimbing ketika bertugas di Houston. Beliau terharu dan sekaligus bangga. Sekalipun kita masing-masing punya keterbatasan tapi atas berkat-Nya, kita bertumbuh hingga saat ini. Di samping juga karena kerja keras dari berbagai pihak dan iman bahwa Tuhan menyertai kita. Suara merdu Romo Ben menyanyikan How Great Thou Art, sung-guh menyentuh dan bermakna.

Acara ramah tamah seusai Misa tampak beda. Tidak hanya dari sajian makanan tetapi juga tera-sa suasana perayaan - taplak batik dan vas bunga. Sambil bersantap pot luck, kami nonton slide kilasan balik sejarah KKIH. Kemudian ada sambutan oleh Harry Kumala sebagai pendiri organisasi dan Romo John. Pentas musik youth dibawakan oleh Megan dkk, duet piano-saxofon oleh Yohanes dan Alfin dan piano tunggal oleh Oda ikut memeriahkan acara.Piagam dibagikan kepada anak-anak dan Stannia. Last but not least, paduan suara oleh kelompok ibu-ibu Rosario yang sungguh memukau dan menguak bakat nyanyi Tante Mona dan mbak Patricia Henry.

Ada beberapa acara yang terpaksa dipotong karena kehabisan waktu, termasuk pengenalan situs jeja-ring www.kkih.org yang kini tampil dengan wajah baru. Semuanya ini hasil kerja keras Ewa Efendy selalu koordinator Sie Teknologi, dibantu oleh

Britnny (putrinya) dan disempurnakan atas saran Peter Kurniawan dan Agus Tjeng. Dengan wajah baru yang mempermudah akses updating, diharap-kan media komunikasi ini lebih efektif dan menarik.

Ibarat manusia, maka umur 14 tahun bukanlah anak kemarin sore, tetapi remaja yang penuh vitali-tas dan harapan untuk berkembang di masa depan. KKIH bermula dari 17 umat dewasa dan 4 anak, yang

terdorong oleh kerinduan untuk Misa berbahasa Indonesia. Bayang-kan saat itu Misa masih diselengga-rakan dari rumah ke rumah.

Kita bersyukur karena kini KKIH bisa Misa teratur dua kali sebulan di Saint Catherine sejak tahun 2002. Kita mulai memikirkan masa depan demi mengantisipasi pertumbuhan sebagaimana digagas oleh Komisi

Masa Depan. Atas restu dan dukungan Keuskupan Agung Galveston-Houston, KKIH akan mempersiap-kan diri sebagai organisasi non profit. Untuk itu kita membentuk Dewan Formatur yang bersama Romo Pembimbing memilih keempat Board of Direct-ors. Pemilihan anggota Dewan Formatur sedang berlangsung dan ditutup tanggal 10 November yad. Semoga Tuhan menyertai kita semua.

Dirgahayu KKIH - 14 tahun sudah usiamu

Berita UmatSelamat atas kelahiran:

1. Warren Xaverius, putra pertama dari Xenia dan Yuri Burhan, lahir pada tanggal 20 Juli 2013.

2. Cedric Y. Wijatno, putra kedua dari Chris dan Evi, lahir pada tanggal 4 September 2013.

3. Abigail “Abby”, putri kedua dari Vivi dan Felix Rantow, lahir pada tanggal 9 September 2013.

Selamat datang kepada:

1. Yohan Kusumanegara, Roxana, Raymond dan Carolina yang bulan September lalu pindah dari London. Yohan dipindahtugaskan oleh Hess Corpo-ration ke kantor mereka di Houston.

2. Alfonso Pratama, Febyanti Susanto dan putra mereka Deo Pratama Listyanta yang baru saja pindah dari Jakarta. Alfonso kini bekerja di Petroskills.

Tante Mona dkk menghibur - Que sera sera.

6 Warta KKIH November 2013

Semangat Hidup Santo-SantaPenulis: Romo Miguel Marie Soeherman MFVA

Hari Pesta Orang Kudus [yang biasanya dirayakan setiap tang-gal 1 November] dimak-sudkan untuk merayakan semua orang kudus baik yang sudah dikanonisasi maupun yang belum.

Tentu saja, kita sangat mengenal para santo-santa

yang telah dikanosisasi, khususnya mereka yang kita rayakan di sepanjang tahun. Kita mengenal dengan membaca biografinya, ajarannya, kotbahnya dll. Mereka adalah orang kudus yang oleh Gereja dinyatakan secara eksplisit dan pasti bahwa mere-ka telah menyelesaikan perjuangan hidup, dan kini berada dalam persekutuan orang kudus, bersama Allah Tritunggal Maha Kudus di Surga.

Sekalipun demikian, masih lebih banyak orang kudus di surga daripada apa yang kita temukan dalam penanggalan liturgi. Santo Yohanes menu-liskan bahwa dia melihat “kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya dari segala bangsa, suku, kaum dan bahasa …” [Wahyu 7:9]. Untuk maksud inilah kita memiliki hari raya yang besar yaitu Hari Orang Kudus.

Jumlahnya sangat banyak dan mewakili semua lapisan masyarakat, dengan beragam kepribadian, sifat dan latar belakang. Adakah sifat unik yang selalu menjadi ciri dari setiap santo-santa?

Tentu bukan kepandaian. Kita punya banyak santo-santa yang memiliki kepandaian yang luar biasa, tetapi seseorang tidak perlu menjadi genius untuk menjadi orang kudus. Kita tahu bahwa kepandaian bukan ciri umum setiap orang kudus. Ambil contoh Santo Yosef dari Cupertino yang memerlukan mukjizat supaya bisa lulus ujian teologi agar bisa ditahbiskan sebagai imam.

Bukan pula pada prasyarat wajah yang menawan hati. Santa Rita dari Cascia, seperti yang diketahui banyak orang, memiliki luka mahkota duri Kristus di dahi yang dideritanya selama dekade terakhir hidupnya. Luka itu sungguh menjijikkan dan berbau tidak sedap.

Bagaimana dengan kepribadian yang baik? Ternya-ta pribadi yang baik juga bukan ciri umum yang dimiliki setiap orang kudus. Santo Padre Pio adalah contoh yang tepat. Dia memiliki temperamen orang Itali asli. Sekalipun setiap imam dalam praktikum pengakuan di seminari diajari tiga pedoman utama, yaitu: baik hati, baik hati dan baik hati. Santo Padre Pio tergolong seorang pastur yang bicara kasar dan suka bertanya macam-macam ketika mendengar-kan pengakuan [dosa] seseorang.

Meraih keberhasilan duniawi juga bukan ciri dari setiap orang kudus. Kita tahu bahwa ada santo yang menjadi petapa [hermit] atau pengemis sema-sa hidupnya. Jelaslah kepandaian, wajah yang menawan, kepribadian yang baik hati, kaya atau meraih keberhasilan duniawi bukan cirinya. Lalu ciri umum apakah yang dimiliki santo-santa?

Ternyata para orang kudus memiliki kemampuan untuk hidup bersuka cita dan damai di tengah cobaan dan kesulitan yang dijumpai dalam hidup keseharian. Dalam Kitab Wahyu, Santo Yohanes menuliskan bahwa “mereka ini adalah orang-orang yang keluar dari kesusahan besar” [Wahyu 7:14].

Kesusahan besar tidak selalu berarti mati bersim-bah darah karena mempertahankan imannya sebagai seorang martir. Tetapi bisa juga menjadi martir tanpa tetesan darah, atau apa yang dikenal sebagai “white martir” menurut Uskup Sheen.

Ciri hidup inilah yang biasanya dijumpai pada diri setiap orang kudus. Inilah sesungguhnya apa yang dimaksudkan ketika Tuhan Yesus mengatakan: “Berbahagialah mereka yang miskin, menderita dan dianiaya” [Mat 5:3,4,10]. Realitanya, mereka menempuh jalan tiada akhir.

Para santo-santa mengatakan, terlepas dari beta-pa buruknya tragedi yang kita alami, jelaslah tidak ada artinya apa-apa jika dibandingkan dengan [besarnya] kemuliaan Allah yang menyelenggarakan kehidupan bagi kita. Tidak ada artinya. Kekudusan adalah kedewasaan dalam persahabatan dengan Allah, sedemikian mengakar dan kokoh sehingga memampukan kita untuk menikmati sukacita dalam hidup kekal meski realitanya masih hidup di dunia.

Apa yang membuat santo-santa mampu hidup di tengah tragedi? Oleh karena kesetiaan dan persatu-

Romo Miguel Marie

lanjutan di halaman 10

7 Warta KKIH November 2013

Pada bulan Mei 2012, ketika ada retret KTM dari Putri Carmel, khususnya di saat bernubuat, Suster Yashinta mengatakan ada orang yang sakit kanker ginjal telah dijamah Tuhan dan mengalami kesem-buhan.

Karena hasil PSA tetap tinggi, aku dianjurkan untuk melakukan biopsi Prostat. Hasilnya sung-guh mengejutkan aku. Ternyata ada kanker dalam tubuhku. Aku tidak mampu berdoa lagi, hanya kupandangi salib yang tergantung di dinding.

Keponakanku, Suster Agnes Fcj yang sedang bertu-gas di Burma mengatakan bahwa tangan Tuhan juga bisa melalui dokter. Akhirnya pada tanggal 15 Juni 2012, dokter meneleponku dan mengatakan bahwa aku harus segera operasi pada hari Senin berikut-nya, tepatnya tanggal 18 Juni 2012. Operasi berjalan selama 6 jam.

Pada hari ke 2 di rumah sakit, dokter memas-tikan bahwa ternyata memang kanker ada pada ginjalku. Tetapi tidak seluruh ginjalku diangkat, hanya sepertiga saja. Proses penyembuhan tidak berjalan mulus. Hampir selama dua bulan keluar masuk rumah sakit. Pada tanggal 3 Januari 2013, aku menjalani perawatan cryo pada kanker prostat.

Dia Menuntunku .... Jadi tidak harus diradiasi.

Betul-betul aku merasa ditempa Tuhan. Seolah paku dipukul olehNya menembus tanganku lebih dalam dan terasa sangat sakit. Tetapi Dia tidak pernah melepaskan tanganNya daripadaku.

Pada bulan Mei 2013, aku check-up C-scan dan dokter mengatakan bahwa hasilnya bagus dan semua fungsinya kembali menjadi normal.

Pada tanggal 22 September 2013, Romo Oetomo SY dari Ganjuran, Yogyakarta, kebetulan mengun-jungi kami. Beliau mendoakan aku dengan menum-pangkan tangan yang menggenggam relicqui. Beliau mengatakan bahwa aku sudah sembuh dari kanker.

Aku hanya bisa bersyukur dan berterima kasih atas kemurahan Tuhan melalui teman-teman yang selalu mendoakan dan mengujungiku selama sakit.

Kupandangi wajah Yesus, Sahabatku yang tergolek lunglai di kayu salib. Kubayangkan betapa pedih luka dan derita yang ditanggungNya demi cintaNya yang sedemikian besar pada manusia.

Dalam hatiku aku terus berdoa: “Tuhan berilah aku kekuatan untuk terus melayaniMu dan melayani sesama di tengah perjuanganku melawan penyakit yang kuderita.”

Kita dibesarkan dalam masyarakat yang terbia-sa mengukur keberhasilan suatu karya dari apa yang tampak oleh kasat mata. Meskipun demikian, keberhasilan seringkali ditentukan oleh kesung-guhan hati mereka yang melaksanakannya. Persis, faktor ini sulit diketahui dan diukur oleh orang lain karena biasanya pelaku enggan mensharingkannya. Mungkin karena kita mewarisi budaya Indonesia yang cenderung tidak suka menonjolkan diri. Hal ini tampak dari apa yang dialami oleh kelompok Tari Saman KKIH.

Penampilan akhir seusai Misa Asia yang lalu bisa dibilang keren walaupun tidak sekompak ketika latihan akhir. Tarian tampak kurang serempak di beberapa bagian. Pesinden kurang mantap. Teta-pi semangat mereka luar biasa, untuk mengusa-hakan yang terbaik terlepas dari tantangan yang

ada. Meski hanya untuk tampil lima menit saja, penari, pesinden dan pelatih membutuhkan waktu persiapan sejak Juli lalu. Setiap dua minggu seka-li selama beberapa jam per latihan dan bahkan dipersering ketika mendekati waktu pentas. Belum terhitung pengorbanan para orangtua yang dengan setia mengantar dan menunggui anaknya berlatih. Tidak jarang mereka datang membawa makanan ala kadarnya untuk disantap potluck seusai latihan.

Mengapa kami begitu tergerak untuk melakukan-nya dengan kesungguhan hati? Apa yang mendo-rong hingga kami begitu bersemangat?

Bermula dari bapak Uskup George Sheltz yang rupanya begitu terkesan dengan pentas tari Saman pada acara ulang tahun KKIH tahun 2009 yang lalu. Ketika itu 8 penari dewasa (Husin, Harry, Hanafi, Donny, Andy, Hans, Yudo dan penulis) di bawah binaan pelatih kami, Stannia menampilkan tarian asal Aceh, yang mengundang banyak gelak tawa dan decak kagum para penonton. Sejak itu, bapak Uskup tidak pernah padam untuk terus membujuk KKIH

Hanya Untuk Lima MenitPenulis: Fadjar Budhijanto

lanjutan di halaman 11

8 Warta KKIH November 2013

Di antara sekian banyak foto serangan teroris di World Trade Center (WTC), ada sebuah imej yang tidak mudah terlupakan. Di dalam foto yang diambil

oleh Shannon Stapleton, seorang wartawan Reuters terlihat sosok lima petugas kepolisian dan pemadam kebakaran tergopoh menggotong jenazah seorang korban keluar dari reruntuhan WTC. Imej tersebut mencerminkan keputusasaan, penderitaan suatu kota dan negara oleh kehancuran dan kematian.

Imej ini juga mengingatkan kita pada patung ‘La Pieta’ karya Michelangelo, yang mengabadikan kisah kesengsaraan serupa yang terjadi 2000 tahun yang lalu, yaitu ketika Bunda Maria yang berduka, memangku jasad Yesus yang terkulai setelah peny-aliban di Golgota.

Surat kabar Philadelphia Weekly menjuluki foto WTC itu sebagai ‘the Modern-day Pieta’ atau ‘the American Pieta’, yang mengisahkan kesengsaraan Amerika masa kini.

Korban di tengah foto WTC adalah Romo Mychal F. Judge, seorang pastor Katolik dari ordo Fransiskan Minor yang bertugas menjadi chaplain regu pema-dam kebakaran New York (FDNY). Menurut beber-apa sumber, Romo Mike tewas tertimpa bongkahan gedung di kepalanya, ketika sedang mendoakan seorang petugas lainnya yang cidera berat. Pastor itu tercatat sebagai korban pertama (Victim #0001) yang ditemukan setelah runtuhnya menara WTC.

Kematian pastor yang rendah hati ini menjadi

terkenal. Kisah hidup dan pelayanannya yang kadang kontroversial menjadi sumber inspirasi dan harapan kota New York setelah kehancuran.

Romo Mike dilahirkan dengan nama Robert Emmet Judge tanggal 11 Mei 1933 di Brooklyn New York, ketika Amerika mengalami depresi ekonomi. Perha-tiannya terhadap kaum miskin dimulai sejak kecil, ketika ia memberikan semua uang recehan miliknya kepada seorang pengemis. Ketika berusia 6 tahun, ayahnya meninggal. Mike sempat bekerja sebagai bocah penyemir sepatu di stasiun kereta api Penn di New York. Mike kecil sering mengunjungi gereja Santo Fransiskus Assisi dan tertarik dengan cara hidup fransiskan yang bersemangat kemiskinan. Judge masuk seminari pada umur 15 tahun dan ditahbiskan menjadi imam di tahun 1961, dengan nama Mychal Judge. Romo Mychal melayani gereja Santo Fransiskus tempat awal panggilannya (1986) dan menjadi chaplain FDNY (1992).

Romo Mychal mencurahkan hati sepenuhnya untuk melayani para anggota keluarganya FDNY. Pastor ini bekerja tanpa lelah 16 jam sehari melayani FDNY: mempersembahkan misa, membaptis anak, meng-hibur anggota keluarga yang berduka. Ia mengingat semua nama anggota keluarga FDNY. Di samping itu, banyak orang yang ditolongnya, termasuk kaum tunawisma yang kelaparan, penderita alkoholik, penderita AIDS, imigran gelap di New York. Ia tidak segan memberikan satu-satunya mantel musim

dingin yang dike-nakannya kepada seorang penge-mis, karena mera-sa orang itu lebih membutuhkannya. Di antara teman dekatnya adalah Steven McDonald, seorang detektif NYPD yang cacat jasmani dan hidup di kursi roda akibat ditembak penjahat.

Berkat penyadaran oleh Romo Mike, detektif tersebut akhirnya berse-dia mengampuni penembaknya.

Romo Mike adalah seorang Fransiskan sejati yang mementingkan pelayanan di jalanan. Ia memperoleh semangat di tengah hiruk pikuk kota. Teman-

Korban nomor 0001 digotong keluar dari reruntuhan.

The American PietaPenulis: Jennifer SeniorAlih Bahasa: Agus Tjengdrawira

lanjutan di halaman 9

Romo Mychal akrab menyapa sahabat.

9 Warta KKIH November 2013

temannya mengenang pastor itu yang senang berjalan menyeberangi jembatan Brooklyn sambil membawa segepok uang satu dolaran untuk dibagi-bagikan kepada para pengemis.

Romo Mike terbebaskan dari jeratan alkohol-isme pada tahun 1978 setelah bergabung dengan organisasi Alcoholic Anonymous. Sejak itu, ia aktif mensharingkan pengalamannya untuk membantu para penderita melepaskan diri.

Romo Mike memberi perha-tian istimewa kepada kaum gay/lesbian. Ia tetap membuka gere-janya untuk melayani mereka, meski gereja di New York (1986) secara resmi melarang kegiatan kelompok gay/lesbian Katolik yang tergabung dalam organisasi Dignity di gereja.

Pribadi Romo Mike yang terbu-ka, membumi, bersahabat dan menerima orang lain apa adanya, telah mampu mencairkan suasa-na ketika mengunjungi pasien gay atau penderita AIDS yang belum dikenalnya di rumah sakit, sehingga pasien tidak lagi tegang dan mampu membuka hati kepadanya. Ia berpendapat bahwa cinta kasih Tuhan tiada batas, dan karenanya manusia tidak boleh mencintai hanya pada kelom-pok tertentu saja.

Meskipun banyak pihak memperdebatkan jati diri Romo Mike namun ia tidak pernah menyeleweng dari sumpahnya sebagai pastur, mencintai gereja dan setia pada pelayanannya hingga akhir hidupnya.

Pada tanggal 11 September 2001, Romo Mike dan seorang kapten FDNY bersegera meluncur ke kompleks WTC setelah memperoleh berita terjadi-nya bencana. Menurut beberapa saksi mata, Romo Mike terlihat tegang ketika menyadari tingkat kega-watan yang terjadi. Pastor itu menolak ajakan walikota New York Rudy Giuliani untuk menjauhi lokasi kejadian [karena membahayakan]. Ia mera-sa tugasnya adalah mendampingi pasukan FDNY. Reaksi Romo di lobby Menara Utara terekam oleh seorang wartawan, beberapa saat sebelum pastor itu tewas. Di film rekamannya gerak mulut pastor itu jelas terlihat ketika mendaraskan doa.

Hampir 3000 orang menghadiri pemakaman Romo Mike, termasuk mantan Presiden Bill Clinton dan istrinya. Ada sekelompok orang yang tergerak untuk mengusulkan agar gereja Katolik mengevalu-asi hidup kekudusannya sehingga pantas menjadi calon santo. Gereja Katolik Ortodoks Amerika sudah mengangkatnya sebagai Santo Mychal. Sementara itu organisasi Fransiskan sendiri enggan menga-gungkan namanya, karena menurut pendapat mere-ka Romo Mike hanya menjalankan tugasnya sebagai seorang pastor. Pemerintah Perancis telah menga-

nugerahkan penghargaan Legiun kehormatan kepadanya. Topi pemadam kebakarannya sudah dipersembahkan oleh seorang anggota FDNY kepada Paus Yohanes Paulus II.

Kebanyakan wajah dari 2600 korban WTC sudah tidak lagi dikenali karena tubuh mereka hancur tertimbun reruntuhan kedua menara, kecuali jenazah Romo Mychal F. Judge. Foto pastor tua tak bernyawa yang terangkat utuh dari reruntuhan itu menjadi

lambang kematian dan penderitaan suatu kota, sebuah negara, dan juga seorang manusia.

Kisah Romo Mike adalah kisah seorang penggem-bala, yang dengan segala kekurangannya tetap setia menjalankan tugas pelayan kepada masyarakat yang amat dicintainya hingga akhir hidupnya. Kisah manusia ini tidak bisa dilepaskan dari kisah New York dan negara Amerika yang dimulai jauh sebe-lum tanggal 11 September 2001.

The Firemen’s Friar (http://nymag.com/nymetro/news/sept11/features/5372/), dan juga film dokumen 2006 yang berjudul Saint of 9/11.

“La Pieta,” karya Michaelangelo

The American Pieta ....

Baby Abby Rantow (left) and baby Warren Burhan (right)

Selamat Atas Kelahiran:

10 Warta KKIH November 2013

annya dengan Yesus Kristus sebagai Sahabat Sejati, yaitu Dia yang tidak pernah mengkhianati kita. Mereka sungguh menyadari bahwa mereka tidak punya apa-apa di dunia ini. Itulah yang mendo-rong beberapa santo-santa yang berasal dari kelu-arga kaya raya, kemudian mendonasikannya kepada orang miskin yang lebih memerlukan bantuan. Bagi mereka, semua kekayaan itu tiada taranya diban-dingkan dengan memiliki Yesus sebagai Sahabatnya.

Sekali lagi, ciri umum yang dimiliki setiap santo-santa adalah kemampuan mereka dalam meng-hadapi tantangan hidup yang datang silih berganti dengan penuh sukacita dan damai. Hal ini mung-kin terjadi karena Allah menjadi kekayaan sejati dan titik fokus dalam hidupnya. Mereka sungguh menyadari bahwa Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah dan sesamanya terlepas dari apapun yang terjadi.

Inilah yang persis Gereja ajarkan kepada kita: “Seorang santo-santa adalah dia yang mencin-tai Allah lebih dari segala sesuatu dan mencintai sesamanya dengan cinta yang sama, yaitu kudus, mendalam dan tiada lekang.”

Menjadi santo-santa dimaksudkan agar kamupun menjadi: seorang yang menyadari kerapuhan diri tetapi berusaha mematuhi perintah-Nya. Tetap mencintai sekalipun kamu dibenci. Tetap sabar keti-ka rasanya ingin menonjok kepala seseorang. Tetap mencintai keluargamu sebagaimana adanya dan bukan seperti yang kamu inginkan. Tidak membi-arkan dirimu hancur oleh kekecewaan yang kamu alami. Tantangan hidup sebagai orang Kristiani dalam banyak hal adalah tabah dalam penderitaan dan tetap tegak berdiri demi kebenaran sekalipun hanya kamu seorang diri. Tidak berputus asa ketika menghadapi halangan. Hendaknya diketahui bahwa dunia begitu besar dan kamu adalah seorang yang lemah dan kecil. Namun Allah mencari seorang yang lemah agar kekuatan-Nya dapat dinyatakan. Allah membutuhkan kamu dan saya untuk menyatakan kekuatan dan kemuliaan-Nya.

Paus [Benediktus XVI, homili pada Misa Pesta Orang Kudus, 2006] mengatakan bahwa “kekudus-an memerlukan usaha yang terus menerus. Hal ini mungkin bagi setiap orang karena bukan oleh usaha sendiri melainkan karena memperoleh anugerah

Allah.” Kekudusan adalah anugerah, berkat dari Allah. Kemudian beliau bertanya: “Bagaimana kita dapat menjadi kudus sama seperti para santo-santa ketika mereka masih hidup di dunia?”

Selanjutnya beliau mengatakan: “Menjadi santo-santa tidak memerlukan suatu karya yang luar biasa atau memiliki karisma yang istimewa. Semuanya itu tidak diperlukan untuk menjadi kudus. Pertama-tama, kita perlu mendengarkan Yesus dan mengi-kutiNya dengan penuh keyakinan terutama ketika menghadapi kesulitan hidup. Bagai sebutir biji gandum yang jatuh ke tanah – mereka yang sungguh percaya dan mencintaiNya akan menerima dirinya telah mati. Tentu dia tahu bahwa barangsiapa beru-saha mempertahankan hidupnya akan kehilang-an nyawanya. Barangsiapa menyerahkan dirinya akan kehilangan dirinya. Dan melalui cara hidup demiki-an inilah dia justru akan menemukan hidupnya.”

Beliau melanjutkan dengan menjelaskan pengalam-an Gereja di sepanjang sejarah hidupnya. Sejarah telah menunjukkan bahwa semua jenis kekudusan, sekalipun kadang menempuh jalan yang berbeda-beda: baik hidup sebagai imam, hidup dalam biara, hidup berkontemplatif, hidup berkeluarga atau sebagai janda/duda, selalu menempuh jalan Salib. Selalu melewati saat penyangkalan diri. Inilah yang sering mereka alami. Biografi dari para santo-santa menuliskan riwayat hidup orang-orang yang patuh pada Rencana Ilahi sekalipun seringkali mereka menghadapi cobaan, penderitaan, penganiayaan yang tidak terperikan. Mereka tetap setia pada komitmen hidupnya sekalipun menghadapi semua tantangan itu.

Jikalau kita mempersembahkan hidup kita kepada Allah dengan mengikuti ke mana Dia pergi, melaku-kan kehendak-Nya, menerima dan merengkuh apa yang Dia anugerahkan kepada kita dalam hidup betapapun kesulitan yang kita jumpai, Dia akan mengubah kita menjadi santo-santa sebagaimana Dia kehendaki. Allah akan mengajarkan kepada kita pengalaman dan sukacita mereka yang percaya kepadaNya. Karena hanya Allah yang mampu memberikan sukacita sejati yang tidak bisa diberi-kan oleh dunia.

Semoga semua orang kudus menyemangati dan meneguhkan kita semua untuk menjadi santo-santa sebagaimana Allah kehendaki.

Semangat Hidup ....

11 Warta KKIH November 2013

agar bersedia menampilkannya lagi dan harapan-nya baru terealisir 6 Oktober lalu.

Tarian suku Gayo yang tampak sederhana ini sesungguhnya memerlukan harmonisasi ritme dari setiap penari untuk menghasil-kan gerak lengan, kepala dan tubuh, disertai derap suara yang menerus, serempak dan semakin cepat di saat akhir. Menguasai tarian ini merupa-kan tantangan bagi kami.

Pertama, gerak tariannya tergolong cukup sulit awalnya. Mungkin karena realitanya tidak satupun di antara kami yang menjadi penari profe-sional dan banyak yang baru pertama kali pentas. Belum lagi penari dewasa, yang tentu saja memi-liki postur tubuh sudah tidak lagi lentur. Kemajuan tampak lamban di saat-saat awal latihan. Barangka-li karena kami tidak memiliki gambaran yang utuh tentang bentuk akhirnya. Juga karena lutut cepat nyeri karena tidak terbiasa duduk bersimpuh dalam waktu lama sehingga perlu bantal pengalas lutut.

Kedua, komitmen waktu. Para penari (Irwan, Toni, Aditya, Kresentia, Miranti, Gaby, Mustika, Tessa, Brittny, Agnes, Frankie dan Agus) dan pelatih (Stan-nia) memiliki komitmen yang teruji. Mereka tekun berlatih di tengah kesibukan sekolah atau kerja. Semua peserta bertekad untuk memenuhi jadual latihan. Tidak jarang para penari remaja meman-faatkan waktu istirahat di sela-sela latihan untuk mengerjakan homework atau tugas sekolah lainnya.

Ketiga, kesungguhan pelatih kami. Kiranya Nia, demikian nama panggilannya, patut memperoleh pujian atas komitmen, kesungguhan, kesabaran, semangat juang yang sedemikian tinggi. “Dulu, ketika menjadi mahasiswi di UC Riverside pernah beberapa kali ikut pentas tari Saman bersama mudi-ka KKILA,” demikian pengakuan Nia. Di tengah kesi-bukan kerja dan jadual pribadi, Nia tetap bersema-ngat untuk menyanggupi program pelatihan kali ini. Dialah yang mengusulkan latihan dua hari berturut-turut menjelang pentas – untuk memoles bagian yang kurang kompak. Nia tampak nyaman sebagai satu-satunya orang yang berada di tengah simpang dua populasi usia: remaja dan orangtua.

Keempat, lafal dan lirik lagu membuat pesinden bersenam lidah. Maklum lirik lagu terdengar asing di telinga kami. Hanya sepotong-sepotong frasa yang kami kenali berdasarkan kemiripan peris-tilahan bahasa Indonesia. Meski tentu saja tidak sepenuhnya yakin jikalau ada kesamaan makna.

Kami mencoba sebisa mungkin menghafalkan lagu dan liriknya betapapun sulitnya. Sedemiki-an nglotok, hingga sering ter-ngiang, dalam angan, lantunan lagu yang merdu: “Kutiding dengham anneee..”

Kelompok Samaners berse-mangat untuk menyuguhkan tarian yang bermasa pentas terhitung pendek dibanding-kan aslinya. Kami ingin menga-

jak penonton untuk ikut menghargai kekayaan budaya bangsa kita. Sekaligus kami ingin mengung-kapkan rasa syukur atas kesempatan untuk mence-cap keindahan karya penciptaan Allah.

Tanpa disadari, melalui latihan dan pentas tarian ini, kami melakukan apa yang oleh Santo Ignasius sebut sebagai “magis,” yaitu semangat untuk berbuat lebih [lebih baik, lebih indah, lebih bersungguh-sungguh] bahkan untuk hal-hal yang tampak kecil dan sepele. Kesungguhan hati merupakan ungkap-an nyata untuk memuji kemuliaan-Nya. Ad maiorem dei gloriam [demi kemuliaan Allah yang lebih besar], demikian semboyan Santo pendiri Yesuit ini.

The Samaners performed during the 2013 Asian Mass.

Hanya Untuk Lima ....

Umat KKIH dalam Misa Asia pada 6 Oktober 2013.

Perayaan tahunan Misa Asia dipimpin oleh Kardi-nal Daniel DiNardo, didampingi oleh Bishop Sheltz serta para imam, dan dihadiri oleh komunitas Cina, Vietnam, Korea, India, Filipina dan Indonesia dari lingkungan Keuskupan Agung Galveston-Houston.

12 Warta KKIH November 2013

As part of the 2013 Asian Mass celebration, KKIH performed “Tari Saman” during the cultural show following the Mass. Tari Saman is a traditional dance from Aceh, Sumatra, Indonesia. Its uniqueness lies in the remarkable cohesiveness of the movement. This dance was played by the majority of KKIH youth and also with our beloved parents. Moms and dads took part in dancing as well as singing. We as dancers, move in unison along with our parents’ harmoni-ous song. Our trainer, Stannia, patiently taught us movements in an orderly step-by-step process. This dance allows us to move our body to be driven as one that continues to dance with a compact, follow-ing dynamic songs. With its rhythmic flow that goes from a slow to a faster phase, Tari Saman manage to captivate the art of dance to the audience.

The dancers clap their hands, chest, and thigh, bending and swaying their heads to the rhythm. Each of us took part in switching movement from

left to right to the rising beats. With the help of parent’s voice, our dance became truly harmoni-ous. We could never be thankful enough for all the parents and children that took part in this activity. We want to thank all the parents for sacrificing their busy schedule, for driving us to and from the practice places and for providing us luscious foods. Thanks also to the Indonesian Consulate General (KJRI) who kindly allowed us to borrow the festive and color-ful dresses for the dancers. Without all these hard works, we would never have made it to this far.

In my opinion, this activity has brought us together as a family. This event has become something beau-tiful and valuable than any other experience life could offer us; something that make our time here as a KKIH family beyond worthwhile. I find myself completely and implicitly captivated with the KKIH family, from knowing nothing to learning some-thing as interesting as the saman dance. Thanks to everyone for giving their support and time to come up with such a coruscating idea. It’s as beautiful to me as the very symphonies that roll off your radiant mind.

Saman DanceWriter: Adista Wijaya

Keharmonisan Tari Saman di Misa Asia - Oktober 2013

Setiap saat awal musim gugur sekitar bulan Oktober, umat Katolik di kawasan Keuskupan Agung Galveston-Houston mengadakan Misa Asia yang diikuti oleh enam komunitas dari Cina, India, Korea, Vietnam, Filipina dan Indonesia. Dua tahun terakhir Misa Asia, yang saya ikuti diadakan di Gereja Katolik Vietnamese Martyrs Church. Yang menarik adalah setelah Misa selalu diadakan pentas seni budaya dari setiap komunitas sambil menikmati makanan kecil khas kami masing-masing.

Tahun lalu, umat Katolik Indonesia menampilkan musik tradisional angklung yang dimainkan oleh anak anak remaja. Dengan tetap konsisten untuk menampilkan keunikan dan keragaman budaya Indonesia, maka tahun ini dipilih Tari Saman yang melibatkan tidak sedikit orang.

Membayangkan tari Saman yang membutuhkan kerjasama yang baik disertai keserentakan gerak dan apresiasi pada iringan musiknya [vokal] saja, sudah cukup membuat kening berkerut. Apalagi ini ditarikan oleh teman-teman yang benar-benar

bukan penari profesional. Tetapi niat tak terben-dung. Hanya komitmen yang dibutuhkan, dan bukan keahlian menari. Meski setiap individu memiliki ketertarikan di bidangnya masing-masing.

KKIH mendapat giliran pertama, sebagai pembuka acara dan berhasil menarik perhatian umat. Warna kostum yang dikenakan, ketepatan gerak antara satu dengan yang lain berpadu dengan iringan tembang yang dinyanyikan langsung (bukan rekam-an cakram), menghasilkan sebuah penampilan apik. Betapa harmonisnya.

Menilainya bukan dari kesempurnaan gerak, tetapi dari penikmatan suguhan tarian yang mencermin-kan kebanggaan akan tanah air.

Kagum akan komitmen. Kagum akan benang merah yang masih terhubung erat. Saat berada ribuan mil jauhnya dari Indonesia, kesempatan itu selalu ada untuk terus mengingatnya. Mengingatnya, mendo-rong untuk berbuat sesuatu. Biar sekecil apapun, tetap harus memulainya.

Apapun itu, setiap orang selalu punya kesempatan untuk berbuat.

Penulis: Ediva Sismaya