WACANA
-
Upload
kewin-harahap -
Category
Documents
-
view
78 -
download
0
Transcript of WACANA
WACANA
A. Pendahuluan
Dalam praktek berbahasa ternyata kalimat bukanlah satuan sintaksis
terbesar seperti banyak diduga atau diperhitungkan orang selama ini. Kalimat atau
kalimat-kalimat ternyata hanyalah unsur pembentuk satuan bahasa yang lebih
besar yang disebut wacana( inggris:discourse) bukti bahwa kalimat bukan satuan
terbesar dalam sintaksis, banyak kita jumpai kalimat yang jika kita pisahkan dari
kalimat-kalimat yang ada di sekitarnya, maka kalimat itu menjadi satuan yang
tidak mandiri. Kalimat-kalimat itu tidak mempunyai makna dalam
kesendiriannya. Mereka baru mempunyai makna bila berada dalam konteks
dengan kalimat-kalimat yang berada disekitarnya.
Kalau kalimat itu adalah unsur pembentuk wacana, maka persoalan kita
sekarang apakah wacana itu, apakah cirri-cirinya, bagaimana wujudnya, atau
bagaimana pembentukannya. Berbagai macam definisi tentang wacana telah
dibuat orang. Namun, dari sekian banyak definisi yang berbeda-beda itu, pada
dasarnya menekankan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap.
Sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau
terbesar.
Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti
terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh
pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan), tanpa
keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, berarti
wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi
persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya.
Persyaratan gramatikal dalam wacana dapat dipenuhi kalau dalam wacana
itu sudah terbina yang disebut kekohesian, yaitu adanya keserasian hubungan
antara unsur-unsur yang ada dalam wacana tersebut. Bila wacana itu kohesi, akan
terciptalah kekoherensian, yaitu isi wacana yang apik dan benar.
1
B. Pengertian Wacana
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki
gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Sebagai satuan
bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan,
pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana
tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun. Sebagai
satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat
yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya.
Persyaratan gramatikal dapat dipenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina
kekohesifan, yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada
dalam wacana sehingga isi wacana apik dan benar.1
Pendapat lain dari Chaer mengatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa
yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal
tertinggi atau terbesar.2 Menurut Edmonson dalam Juita, wacana adalah satu
peristiwa yang terstruktur diwujudkan di dalam perilaku linguistic yang lainnya.3
Istilah wacana mempunyai acuan yang lebih luas dari sekedar bacaan.
Wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar di gunakan dalam
komunikasi. Satuan bahasa di bawahnya secara berturut-turut adalah kalimat,
frase, kata dan bunyi. Secara berurutan, rangkaian bunyi merupakan bentuk kata.
Rangkaian kata membentuk frase dan rangkaian frase membentuk kalimat.
Akhirnya, rangkaian kalimat membentuk wacana.
1Gillian Brown dan George Yule, Analisis Wacana, diterjemahkan oleh I. Soetiko, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983), hlm. 1.
2Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 267. 3Novia Juita, Wacana Bahasa Indonesia. (Padang: DIP Universitas Negeri Padang, 1999),
hlm. 3
2
C. Ciri-ciri wacana
Adapun ciri-ciri wacana meliputi;
1. Dalam wacana perlu ada unsur-unsur susun atur menurut sabab,
akibat, tempat, waktu, keutaamaan dan sebagainya.
2. Wacana harus mempunyai andaian dan inferensi. Maklumat
pertama dalam wacana di gelar andaian manakala maklumat berikutnya
disebut inferensi.
3. Setiap kata dalam wacana harus ada maklumat baru yang ada
dalam kata sebelumnya.
D. Klasifikasi Wacana
Wacana yang merupakan suatu disiplin ilmu yang luas dan kompleks
memiliki bagian-bagian yang kecil atau klasifikasinya, berikut akan diuraikan
klasifikasi menurut para ahli.
Chaer mengatakan bahwa pelbagai jenis wacana sesuai dengan sudut
pandang dari mana wacana itu dilihat, di antara lain:
1. Wacana lisan dan tulisan, hal ini berkenaan dengan sarananya, yaitu bahasa
lisan atau bahasa tulis.
2. Wacana prosa dan wacana puisi, dilihat dari penggunaan bahasa apakah dalam
bentuk uraian ataukah dalam bentuk puitik. Selanjutnya, wacana prosa ini
dilihat dari penyampaian isinya dan dibedakan lagi menjadi wacana narasi,
wacana eksposisi, wacana persuasi, dan wacana argumentasi.4
Pendapat lain dari Juita menggolongkan wacana lebih terperinci dan
berkelompok-kelompok, yaitu:5
1. Klasifikasi Wacana Berdasarkan tujuan
Maksudnya adalah si pembuat wacana membuat waca untuk tujuan-
tujuan tertentu, mungkin untuk pemuasan atau pengekspresian dirinya, untuk
4Abdul Chaer, Op.cit., hlm. 272 5Novia Juita, Op.cit., hlm. 50-55.
3
mempengaruhi orang lain atau untuk menginformasikan sesuatu kepada orang
lain. Berdasarkan pengelompokkan ini Kinneavy dalam Parera dalam Juita
membedakan empat kelompok wacana berdasarkan tujuannya, yaitu:6
a. Wacana Ekspresif
Wacana ekspresif adalah wacana yang lebih ditujukan kepada
pembuat (penulis atau pembicara) itu sendiri. Wacana ini diciptakan oleh
si pembuat untuk kepentingan dirinya sendiri. Tidak terlalu menghiraukan
audiens. Wacana ini bersifat individual dan sosial. Misalnya, catatan
harian, deklarasim dan lain-lain.
b. Wacana Referensial.
Wacana referensial adalah wacana yang lebih tertuju kepada
penggambaran fakta atau realita dan data. Wacana ini tidak semata-mata
ditujukan kepada decoder ataupun encoder, tetapi lebih mengutamakan
kepada penyampaian fakta dan data secara akurat. Wacana ini dapat dibagi
lagi menjadi dua, yaitu wacana referensial ekspositoris dan wacana
referensial ilmiah.
c. Wacana Susastra
Wacana susastra berbicara sesuai dengan realitas untuk realitas itu
sendiri. Dalam wacana ini yang dominan bukanlah realitas itu sendiri,
akan tetapi paduan imajinasi pengarang hingga membentuk suatu
rangkaian yang kompak . jadi, realitas objektif sudah diolah menjadi
realitas imajinatif. Misalnya, novel, cerpen, dan lain-lain.
d. Wacana persuasive
Wacana persuasive adalah wacana yang memang diciptakan untuk
decoder (pembaca atau pendengar). Tujuannya adalah untuk
mempengaruhi. Misalnya iklan, pidato politik, khotbah, dan lain-lain.
6Ibid.,
4
2. Klasifikasi Wacana Berdasarkan Cara Pemaparan
Pengelompok berdasarkan pemaparan sama dengan tinjauan ini, cara
penyususnan dan sifatnya. Wacana ini dapat digelongkan sebagai berikut:
b. Wacana Naratif
Wacana naratif adalah wacana yang lebih menonjolkan peran
tokoh. Kejadian atau peristiwa dirangkai atau dijalin sedemikian rupa
melalui peran-peran yang dimainkan oleh para tokoh. Urutan peristiwa
dirangkai atau dijalin oleh pelaku secara kronologis. Kekuatan wacana ini
terletak pada urutan cerita.
c. Wacana Prosedural
Wacana procedural adalah wacana yang menuturkan sesuatu
secara berurutan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Unsur-
unsur atau elemen-elemen yang ada tidak dapat dikacaukan urutanya, atau
dibolak-balik. Urgensi unsur yang lebih dahulu merupakan landasan untuk
unsur sesudahnya. Wacana ini dibuat untuk menjawab pertanyaan
bagaimana cara sesuatu bekerja, atau bagaimana proses terjadinya, atau
bagaimana proses melakukan sesuatu.
d. Wacana Hortatorik
Wacana ini adalah wacana yang berisi ajakan atau nasehat, dan
kadang-kadang bersifat memperkuat keputusan supaya lebih meyakinkan.
Wacana ini merupakan hasil atau produksi suatu waktu, dan bukan
disusun berdaarkan urutan waktu.
e. Wacana Ekspositoris
Wacana ekspositoris ini merupakan rangkaian tutur yang
mengetengahkan atau memaparkan suatu pokok pikiran atau permasalahan
yang dibahas dengan cara menguraikan bagian-bagian atau unsur-
unsurnya sedetail mungkin. Wacana ini memberikan berbagai informasi
sehigga pembaca atau pendengar paham dengan baik tentang masalah
yang dikemukakan. Wacana ini dilengkapi dengan ilustrasi atau contoh.
5
f. Wacana Deskriptif
Wacana ini merupakan rangkaian tutur yang melukiskan sesuatu,
baik berdasarkan pengalaman ataupun pengetahuan encoder. Wacana ini
meransang seluruh indra decoder sehingga decoder merasa betul-betul
menyaksikan objek, peristiwa, atau kejadian tersebut.
3. Klasifikasi Wacana Berdasarkan Pelibat
Berdasarkan pelibata atau individu yang ikut serta di dalam wacana
tersebut, maka wacana ini dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Wacana Monolog
Wacana monolog yaitu wacana yang secara langsung tidak
menghendaki interaksi timbale balik antara encoder dan decoder. Wacana
ini lebih didominasi oleh encoder, sedangkan decoder hanya bisa
memberikan tanggapan, saran, ataupun pendapat. Akan tetapi, waktu tetap
saja tersedia untuk decoder.
b. Wacana Dialog
Wacana dialog adalah wacana yang menghendaki terjadinya
interaksi timbal balik antara encoder dan decoder. Pembagian jatah waktu
di antara keduanya sama. Karena itu tidak ada dominasi satu pihak saja.
Wacana dialog ini selanjutnya dapat lagi dibagi menjadi dua bagian, yaitu
wacana dialog sesungguhnya dan wacana dialog teks.
Wacana dialog sesungguhnya ini merupakan wacana dialog yang
spontan dengan segala keadaan, tidak ada rekayasa dalam wacana
tersebut. Wacana ini dapat pula dikatakan wacana alamiah, misalnya
percakapan di warung kopi. Selanjutnya wacana dialog teks, yaitu wacana
dialog yang direkayasa sedemikian rupa. Penutur tinggal menghafal apa
yang tertera dalam teks percakapan. Misalnya teks drama.
4. Wacana Berdasarkan Media
Berdasarkan media yang digunakan, wacana ini dapat dibagi menjadi
dua, yaitu:
6
a. Wacana Lisan
Wacana lisan adalah wacana yang menggunakan bahasa lisan
sebagai penyampaiannya. Wacana ini pada dasarnya diciptakan dalam
waktu dan situasi yang nyata. Oleh karena itu wacana ini dikaitkan
dengan wacana interaktif.
b. Wacana Tulisan
Wacana tulis adalah wacana yang menggunaka bahasa tulis
sebagai media penyampaiannya. Wacana tulis ini dapat pula berwujud
sepenggal ikatan percakapan dalam rangkaian percakapan yang lengkap
yang telah menggambarkan suatu situasi, maksud, dan rangkaian
penggunaan bahasa. Wujud lain dari wacana tulis ini dapat berupa teks
atau bahan tertulis yang bebentuk paragraf.
E. Syarat Terbentuknya Wacana
Adapun persyaratan gramatikal dalam wacana dapat di penuhi atau dalam
wacana itu sudah terbina yang di sebut adanya keserasian hubungan antara unsur-
unsur yang ada dalam wacana tersebut. Bila wacana itu kohesif , akan terciptalah
kekoherensian yaitu isi wacana yang apik dan benar.
Kekohesifan itu dicapai dengan cara pengacuan dengan menggunakan kata
ganti –nya mari kita lihat! Kalimat (1) adalah kalimat bebas, kalimat utama yang
berisi pernyataan, bahwa sekarang di Riau amat sukar mencari terubuk. Kalimat
(2) adalah kalimat 3terikat, yang di kaitkan dengan kalimat (1) dengan
menggunakan kata gantinya-nya pada kata ikannya dan telurnya yang jelas
mencakup pada terubuk pada kalimat (1). Kalimat (3) juga di kaitkan dengan
kalimat (1) dan kalimat (2) dengan menggunakan kata ganti -nya pada kata harga-
nya yang juga jelas mencakup pada kata terbuk pada kalimat (1). Lalu, kalimat (4)
merupakan kesimpulan terhadap pernyataan pada kalimat (1), (2) dan (3), yang di
kaitkan dengan bantuan konjungsi antar kalimat makanya.
7
Kekohesifan wacana itu di lakukan dengan mengulang kata pembaharu
pada kalimat (1) dengan kata pembaharuan pada kalimat (2); serta mengulang
frase perubahan jiwa pada kalimat (2) perubahan pada kalimat (3). Adanya
pengulangan unsure yang sama itu menyebabkan wacana itu menjadi kekoherens
dan apik. Namun, pengulangan-pengulangan seperti di atas yang tampak kohesif,
belum tentu menjamin terciptanya kekoherensian. Jadi syarat terbentuknya
wacana apabila adanya kohesif dan koherensi.
Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana
menjadi kohesif, antara lain adalah;
1. Konjungsi, yakni alat untuk menghubung-hubungkan bagian-
bagian kalimat; atau menghubungkan paragraf dengan paragraph. Dengan
penggunaan konjungsi ini, hubungan itu menjadi lebih eksplisit, dan akan
menjadi lebih jelas bila dibandingkan dengan hubungan yang tanpa konjungsi.
Contohnya: Raja sakit. Permaisuri meninggal.
Pada contoh diatas, hubunngan antara kalimat pertama dengan kalimat
kedua itu tidak jelas: apakah hubungan penambahan, apakah hubungan sebab
dan akibat, atau hubungan kewaktuan. Hubungan menjadi jelas, misalnya
diberi konjungsi, dan menjadi kalimat sebagai berikut:
a. Raja sakit dan pernaisuri meninggal.
b. Raja sakit karena permaisuri meninggal.
c. Raja sakit ketika permaisuri meninggal.
d. Raja sakit sebelum permaisuri meninggal
e. Raja sakit. Oleh karena itu, permaisuri meninggal.
f. Raja sakit, sedangkan permaisuri meninggal.
2. Menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai
rujukan anaforis. Dengan menggunakan kata ganti sebagai rujukan anaforis,
maka bagian kalimat yang sama tidak perlu di ulang, melainkan dig anti
dengan kata ganti itu. Maka oleh karena itu juga, kalimat-kalimat tersebut
saling berhubungan.
8
3. Menggunakan ellipsis, yaitu penghilangan bagian kalimat yang
sama yang terdapat kalimat yang lain. Dengan ellipsis, karena tidak di
ulangnya bagian yang sama, maka wacana itu tampak menjadi lebih efektif,
dan penghilangan itu sendiri menjadi alat penghubung kalimat di dalam
wacana itu.
Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan
koherens dapat juga di buat dengan bantuan berbagai aspek semantik. Caranya,
antara lain:
1. Menggunakan hubungan pertentangan pada kedua bagian kalimat
yang terdapat dalam wacana. Misalnya:
a. Kemarin hujan turun lebat sekali. Hari ini cerahnya bukan main.
b. Saya datang anda pergi. Saya hadir, anda absen. Maka, mana mungkin kita
bisa bicara.
2. Menggunakan hubungan generik-spesifik; atau sebaliknya
spesifik-generik. Misalnya:
a. Pemerintah berusaha menyediakan kendaraan umum sebanyak-banyaknya
dan akan berupaya mengurangi mobil-mobil pribadi.
b. Kuda itu jangan kau pacu terus. Binatang juga perlu beristirahat.
3. Menggunakan hubungan perbandingan antara isi kedua bagian
kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Misalnya:
a. Dengan cepat di sambarnya tas wanita pejalan kaki itu. Bagai elang
menyambar anak ayam.
b. Lahap benar makanannya. Seperti orang yang sudah satu minggu tidak
ketemu nasi.
4. Menggunakan hubungan sebab-akibat di antara isi kedua bagian
kalimat; atai isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Misalnya:
a. Dia malas, dan sering kali bolos sekolah. Wajarlah kalau tidak naik kelas.
b. Pada pagi hari bus selalu penuh sesak. Bernafas pun susah di dalam bus
itu.
9
5. Menggunakan hubungan tujuan di dalam isi sebuah wacana.
Misalnya:
a. Semua anaknya di sekolahkan. Agar kelak tidak seperti dirinya.
b. Banyak jembatan layang di bangun di Jakarta. Supaya kemacetan lalu
lintas teratasi.
6. Menggunakan hubungan rujukan yang sama pada dua bagian
kalimat atau pada dua kalimat dalam satu wacana. Misalnya:
a. Becak sudah tidak ada lagi di Jakarta. Kendaraan roda tiga itu sering di
tuduh memacetkan lalu lintas.
b. Kebakaran sering melanda Jakarta. Kalau dia datang si jago merah itu
tidak kenal waktu, siang ataupun malam.
F. Konsep Kohesi dalam Wacana
Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Kohesi juga
merupakan organisasi sintaksis dan merupakan wadah bagi kalimat yang disusun
secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan.7
Pengetahuan strata dan penguasaan kohesi yang baik memudahkan
pemahaman tentang wacana. Wacana bernar-benar bersifat kohesif apabila
terdapat kesesuaian secara bentuk bahasa terhadap konteks.8
Konsep kohesi mengacu pada hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur
(kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki
keterkaitan yang padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi adalah aspek internal
dari struktur wacana. Tarigan menambahkan bahwa penelitian terhadap unsur
kohesi adalah bagian dari kajian tentang aspek formal bahasa, dengan organisasi
dan struktur kewacanaanya yang berkonsentrasi pada dan bersifat sintaksis
gramatikal.
7Henry Guntur Tarigan, Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: Logos, 1987), hlm 96. 8Ibid., hlm. 97.
10
Wacana yang baik dan utuh adalah jika kalimat-kalimatnya bersifat
kohesif. Hanya melalui hubungan yang kohesif, maka ketergantungannya pada
unsur-unsur lainnya. Hubungan kohesif khusus yang bersifat lingual-formal.9
Unsur-unsur kohesi wacana terdiri atas dua jenis, yaitu kohesi gramatikal
dan kohesi leksikal. Unsur-unsur kohesi gramatikal terdiri dari reference
(referensi), substitution (substitusi), ellipsis (elipsis), dan conjunction (konjungsi),
sedangkan unsur-unsur kohesi leksikal terdiri atas reiteration (reiterasi) dan
collocation (kolokasi).
Referensi atau penunjukan merupakan bagian kohesi gramatikal yang
berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata atau
kelompok kata atau satuan gramatikal lainnya . Dalam konteks wacana,
penunjukan terbagi atas dua jenis yaitu penunjukan eksoforik (di luar teks) dan
penunjukan endoforik (di dalam teks). Dalam aspek referensi, terlihat juga adanya
bentuk-bentuk pronomina (kata ganti orang, kata ganti tempat, dan kata ganti
lainnya).10
Substitusi (penggantian) adalah proses dan hasil penggantian unsur bahasa
oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar. Proses substitusi merupakan
hubungan gramatikal dan lebih bersifat hubungan kata dan makna. Elipsis
(penghilangan) adalah proses penghilangan kata atau satuan-satuan kebahasaan
lain. Bentuk atau unsur yang dilesapkan itu dapat diperkirakan ujudnya dari
konteks luar.11
Konjungsi atau kata sambung adalah bentuk atau satuan kebahasaan yang
berfungsi sebagai penyambung, perangkai, atau penghubung antara kata dengan
kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, dan
seterusnya.
Kohesi leksikal adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana
untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Tujuan digunakannya 9Ibid., 10Eva Mulianti, ANALISIS WACANA, (Semarang: Indah Grafika, 1999), hlm. 99. 11Susilo Supardo, Bahasa Indonesia Dalam Konteks. (Jakarta: P2LPTK, 1988), hlm. 54.
11
aspek-aspek leksikal diantaranya adalah untuk mendapatkan efek intensitas
makna bahasa, kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lainnya.
G. Kesimpulan
Wacana banyak sekali ragam atau jenisnya. Pengelompokkannya antara
lain berdasarkan tujuan, berdasarkan cara pemaparan, berdasarkan pelibat dan
beradasarkan media. Berdasarkan tujuan wacana dapat dibai menjadi wacana
ekspresif, wacana referensial, wacana susastra dan wacana persuasive.
Berdasarkan cara pemaparan wacana ini terdiri atas narasi, eksposisi, deskripsi,
hortatory, dan procedural. Berdasarkan pelibat wacana dapat dibgai menjadi
wacana dialog dan monolog, berdasarkan media ada wacana lisan dan tulisan.
Selain itu, wacana merupakan disiplin ilmu yang sudah banyak dibahas
dan sedang berkembang pada masa ini. Wacana juga berkaitan erat dengan
disiplin ilmu lain. Setelah dikaji lebih dalam mengenai jenis-jenis wacana ini
dapat dilihat bahwa ilmu ini tidak hanya sebatas paragraf atau yang lebih besar.
Bahkan wacana ini bisa berbentuk satu ujaran saja, hal ini terjadi karena wacana
adalah satuan bahasa yang terikat konteks.
Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Kohesi juga
merupakan organisasi sintaksis dan merupakan wadah bagi kalimat yang disusun
secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan.
Unsur-unsur kohesi wacana terdiri atas dua jenis, yaitu kohesi gramatikal
dan kohesi leksikal. Unsur-unsur kohesi gramatikal terdiri dari reference
(referensi), substitution (substitusi), ellipsis (elipsis), dan conjunction (konjungsi),
sedangkan unsur-unsur kohesi leksikal terdiri atas reiteration (reiterasi) dan
collocation (kolokasi).
DAFTAR KEPUSTAKAAN
12
Brown, Gillian dan George Yule. Analisis Wacana, diterjemahkan oleh I. Soetiko, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983.
Chaer, Abdul. Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Juita, Novia. Wacana Bahasa Indonesia. Padang: DIP Universitas Negeri Padang, 1999.
Mulianti, Eva. ANALISIS WACANA, Semarang: Indah Grafika, 1999.
Supardo, Susilo. Bahasa Indonesia Dalam Konteks. Jakarta: P2LPTK, 1988.
Tarigan, Henry Guntur. Tata Bahasa Indonesia, Jakarta: Logos, 1987.
13