wacana gadis bukan perawan.doc

23
A. PENDAHULUAN 1. Latar belakang masalah Chaer (2007:62) Banyak pakar sependapat bahwa yang dimaksud dengan wacana adalah satuan bahasa yang lengkap sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi di atas satuan kalimat. Sehingga satuan tertinggi yang lengkap maka di dalam wacana itu terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami tanpa keraguan apa pun. Sebuah wacana dapat dibangun oleh sebuah kalimat, dua buah kalimat, tiga buah kalimat, atau sekian jumlah kalimat. Sebuah wacana yang besar ata cukup besar biasanya dibangun oleh paragraf-paragraf. Setiap paragraf dibangun oleh sejumlah kalimat, yang saling berkaitan, yang membentuk sebuah “pikiran pokok”, dimana terdapat sebuah kalimat pokok atau kalimat utama, ditambah oleh sejumlah kalimat penjelas. Keutuhan wacana dibangun oleh unsur kohesi dan unsur koherensi. Unsur kohesi berkenaan dengan alat- alat kebahasaan, seperti penggunaan – penggunaan konjungsi, penggunaan pronomina persona, penggunaan elipsis, dan sebagainya. Sedangkan unsur koherensi berkenaan dengan aspek semantik, seperti penggunaan hubungan pertentangan, penggunaan hubungan generik- spesifik, penggunaan hubungan sebab-akibat, penggunaan hubungan perbandingan dan sebagainya.

Transcript of wacana gadis bukan perawan.doc

Page 1: wacana gadis bukan perawan.doc

A. PENDAHULUAN

1. Latar belakang masalah

Chaer (2007:62) Banyak pakar sependapat bahwa yang dimaksud dengan

wacana adalah satuan bahasa yang lengkap sehingga dalam hierarki gramatikal

merupakan satuan gramatikal tertinggi di atas satuan kalimat. Sehingga satuan

tertinggi yang lengkap maka di dalam wacana itu terdapat konsep, gagasan,

pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami tanpa keraguan apa pun.

Sebuah wacana dapat dibangun oleh sebuah kalimat, dua buah kalimat,

tiga buah kalimat, atau sekian jumlah kalimat. Sebuah wacana yang besar ata

cukup besar biasanya dibangun oleh paragraf-paragraf. Setiap paragraf dibangun

oleh sejumlah kalimat, yang saling berkaitan, yang membentuk sebuah “pikiran

pokok”, dimana terdapat sebuah kalimat pokok atau kalimat utama, ditambah

oleh sejumlah kalimat penjelas.

Keutuhan wacana dibangun oleh unsur kohesi dan unsur koherensi. Unsur

kohesi berkenaan dengan alat-alat kebahasaan, seperti penggunaan – penggunaan

konjungsi, penggunaan pronomina persona, penggunaan elipsis, dan sebagainya.

Sedangkan unsur koherensi berkenaan dengan aspek semantik, seperti

penggunaan hubungan pertentangan, penggunaan hubungan generik-spesifik,

penggunaan hubungan sebab-akibat, penggunaan hubungan perbandingan dan

sebagainya.

Dalam tulisan ini akan dianalisis aspek penanda kohesi gramatikal

khususnya aspek referensi yang lebih fokus pada pengacuan persona pada sebuah

cerpen karya Jenny Ervina yang berjudul Gadis Bukan Perawan. Cerpen ini

termasuk didalam kumpulan cerpen pertama Jenny, dan dijadikan sebagai judul

bukunya tahun 2010.

Alasan secara umum dipilihnya cerpen sebagai objek kajian adalah bentuk

cerpen yang ringkas namun tetap menuntut tingkat kohesi dan koherensi yang

tinggi agar tetap berupa satu wacana utuh. Sedangkan alasan secara khusus

dipilihnya cerpen berjudul Gadis Bukan Perawan karena Cerpen ini

menceritakan sebagian warna kelabu tenaga kerja Indonesia yang bekerja diluar

Negeri, terutama tenaga kerja wanita. Menurut saya sangat menarik Gadis Bukan

Page 2: wacana gadis bukan perawan.doc

Perawan merupakan jerit tangis perempuan Indonesia, yang bekerja sebagai

buruh migran di Taiwan. Bahkan sudah rahasia umum, terjadi hampir pada setiap

buruh migran perempuan Indonesia di seluruh dunia. Mereka membanting tulang

mancari nafkah untuk mengubah kehidupan keluarga. Namun, nasib getir

menimpa mereka, diperkosa, dihina, disiksa, bahkan dikhianati suami tercinta.

Kenyataan hidup para buruh berusaha diungkap oleh Jenny Ervina, sebagai

penulisnya sekaligus bagian dari tenaga kerja wanita Indonesia di Taiwan yang

mengalami nasib baik, hingga akhirnya dia bisa menulis cerpen-cerpennya.

Selanjutnya, analisis teks dalam penelitian ini akan menggunakan seluruh

kalimat yang ada pada cerpen tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan hasil analisis yang lebih nyata karena masalah kohesi dan konteks

situasi menyangkut masalah ketergantungan unsur-unsur dalam wacana cerpen

tersebut.

2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan permasalahan yang diangkat sebagai berikut:

1) Bagaimanakah bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen

Gadis Bukan Perawan yang bersifat anafora?

2) Bagaimanakah bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen

Gadis Bukan Perawan yang bersifat katafora?

3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Mendeskripsikan kepaduan wacana yang didukung oleh aspek kohesi

gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan yang

bersifat anafora.

2) Mendeskripsikan kepaduan wacana yang didukung oleh aspek kohesi

gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan yang

bersifat katafora.

Page 3: wacana gadis bukan perawan.doc

4. Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1) Menambah wawasan dalam mengkaji kepaduan suatu wacana dari aspek

gramatikal yang mendukungnya.

2) Memberikan masukan bagi mereka yang tertarik dengan masalah analisis

wacana dan Sebagai bahan referensi dan sumber informasi untuk

penelitian sejenis.

B. ANALISIS WACANA

Sesuai rumusan permasalahan yang dijabarkan dimuka, pada pengacuan

endofora (pengacuan persona) dalam cerpen Gadis Bukan Perawan direalisasikan

melalui pronomina persona disebut juga kata ganti, sebenarnya tidak mengganti,

tetapi mengacu ke maujud tertentu yang terdapat dalm peristiwa pertuturan.

Pengacuan itu dapat bersifat di luar bahasa ataupun di dala bahasa. Pronomina

dapat dibagi atas pronomina persona (antara lain, saya, kamu, dan mereka).

Pronomina penunjuk (antara lain: ini, itu, sana, sini), dan pronomina penanya

(antara lain: apa, siapa, dan mengapa). Yang dibicarakan berikut ini hanyalah

pronomina persona.

Pronomina aku, - ku, ku-, dan saya mengacu ke persona pertama yang

tunggal. Bentuk aku, -ku, dan ku- digunakan jika pembicara akrab dengan kawan

bicaranya. Pronomina kami mengacu ke persona pertama yang jamak. Pronomina

kita mengacu ke persona pertama dan kedua sekaligus, karena itu, acuannya

jamak. Pronomina kamu, -mu, engkau, kau- mengacu ke persona kedua. Bentuk

itu dipakai jika tidak hambatan psikologis pada pembicara. Pronomina (d)ia , -

nya, beliau, dan mereka mengacu ke persona ketiga. Kata (d)ia digunakan jika

acuannya tunggal. Bentuk –nya dapat mengacu ke persona ketiga tunggal jamak.

Pusat bahasa (2008:104-106)

Pada cerpen Gadis Bukan Perawan, pengacuan persona endofora

didominasi oleh pengacuan endofora yang bersifat anafora, dengan jumlah 27

pronomina persona baik berupa kalimat dan paragraf. Dan pengacuan endofora

yang bersifat katafora sejumlah 14 pronomina baik kalimat dan paragraf.

Page 4: wacana gadis bukan perawan.doc

a. Bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora yang bersifat anafora.

Pengacuan endofora yang sifatnya anafora yaitu apabila satuan lingual

mengacu kepada satuan lingual lain yang mendahuluinya. Berikut ini contoh

hasil analisis pengacuan persona berupa endofora yang bersifat anafora dalam

cerpen Gadis Bukan Perawan :

1) “Gadis cantik pakai gaun itu, Kak Bayu suka ngeliatnya”. (hal.18)

Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada

(Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona

endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual

yang mendahuluinya)

2) “Tuhan… inikah wujud kasih sayang-Mu padaku?”. Gadis terkulai

dibangku halte. (hal. 21)

Bentuk (-Mu) termasuk persona II. Pemakaian (–Mu) mengacu pada

(Tuhan), karena (Tuhan) adalah orang yang diajak bicara. Memiliki

persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan

lingual yang mendahuluinya)

3) “Kak Bayu bantu lepaskan mahkotanya, ya?” tanya sang lelaki seraya

mengeserkan tempat duduknya lebih dekat dengan Gadis. (hal. 18-19)

Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada

(kak bayu), karena (kak bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki

persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan

lingual yang mendahuluinya)

4) Detak jantung keduanya semakin bertambah kencang. (hal. 19)

Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada

(detak jantung), karena (detak jantung) adalah orang yang dibicarakan.

Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada

satuan lingual yang mendahuluinya)

Page 5: wacana gadis bukan perawan.doc

5) “Ini… karena Kak Bayu sayang sama Gadis.” Bisiknya menggoda.

(hal.19)

Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada

(Gadis). Karena (Gadis) adalah orang dibicarakan. Memiliki persona

endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual

yang mendahuluinya)

6) Untuk kemudian mencoba memberanikan diri menatap lekat pujaan

hatinya. (hal. 19)

Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada

(pujaan hati), karena (pujaan hati) adalah yang dibicarakan. Memiliki

persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan

lingual yang mendahuluinya)

7) Untuk kesekian kalinya Gadis menunduk. Ia seperti ragu melanjutkan

ibadah maha sempurna itu. Air mukanya tiba-tiba berubah. Ada sedikit

duka menghiasi sudut matanya. (hal.19).

Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia)

mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan.

Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada

satuan lingual yang mendahuluinya)

8) Bahkan sempat menggenang dikelopak mata Gadis sebelum Bayu

akhirnya membantu menyeka airmatanya. (hal.19)

Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada

(Gadis) , karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona

endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual

yang mendahuluinya)

9) “Gadis lelah. Besok aja ya, Kak…”, katanya terbata-bata. Takut mengecewakan

orang yang sedang menantinya. (hal.19)

Page 6: wacana gadis bukan perawan.doc

Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis),

karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang

bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

10) Bayu tersenyum. Lega. Meski sebenarnya Ia ingin melangkah lebih jauh lagi

melangkah. (hal.19)

Bentuk (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (-ia) mengacu pada (Bayu), karena

(Bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat

anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

11) Dengan sangat hati-hati Gadis melangkahkan kakinya di rerumputan yang baru

dipangkasnya pagi tadi. (hal. 20)

Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis),

karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang

bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

12) Gadis yang bekerja menjaga seorang Ama setahun yang lalu disebuah keluarga,

tak henti-hentinya merasakan penderitaan yang datang silih berganti. Perlakuan kasar

yang didapatnya dari kedua majikan (hal. 20)

Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis),

karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang

bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

13) Air mata Gadis tak henti mengalir disepanjang jalanan lembab yang Ia lalui. …

Ia rindu pulang. Ia rindu keluarga. Tapi, Ia juga ingat janji yang Ia ucapkan sebelum

Ia pergi kepada emaknya. (hal. 20)

Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu

pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona

endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang

mendahuluinya)

Page 7: wacana gadis bukan perawan.doc

14) Gadis berjalan lunglai menyusuri gigir trotoar. Tas lusuh berisi dua helai baju, Ia

dekap erat-erat. Decak-decak ketakutan jelas membekas disetiap langkahnya. (hal.

20)

Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu

pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona

endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang

mendahuluinya)

15) Gadis tergugu disebuah halte. Menunggu sesuatu yang tidak Ia ketahui. Lapar

yang menyeranya sejak siang tadi sudah tidak ia hiraukan. Ia sudah terlalu lelah,

sehingga membuatnya lupa. (hal. 20-21)

Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu

pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona

endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang

mendahuluinya)

16) Seketika Gadis tergugu, menangisi nasib yang sedang mempermainkan

kepolosannya. Berkali-kali Ia panggil nama Emaknya. Berkali-kali Ia menyebut

Tuhan disela isak tangisnya. Tapi nyatanya saat ini Ia sendiri. (hal. 21)

Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu

pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona

endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang

mendahuluinya)

17) Menampakkan sesosok lelaki penuh wibawa dengan mata sipit yang tersembunyi

dibalik kaca mata tebalnya. Perutnya sedikit tambun. Rambutnya klimis tersisir rapi

ala tahun 80-an. (hal. 21)

Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Lelaki),

karena (lelaki) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang

bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

Page 8: wacana gadis bukan perawan.doc

18) Sementara Gadis masih terdiam. Hanya sisa-sisa tangis yang menandakan Ia

masih berada dalam batas alam kesadaran. (hal. 22)

Bentuk (-Ia) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Gadis), karena

(Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat

anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

19) Bayu muncul dari baliknya. Seketika Ia terpana melihat pemandangan yang

sedang Ia saksikan. (hal. 23)

Bentuk (-Ia) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Bayu), karena

(Bayu) adalah orang yang dibicarakan.

Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan

lingual yang mendahuluinya)

20) “Ah, andai waktu itu Kakak yang menolong Gadis …”, Ia pun lalu mendesah.

(hal. 24)

Bentuk (-Ia) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Gadis), karena

(Gadia) adalah orang yang dibicarakan.

Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan

lingual yang mendahuluinya)

21) “Semoga Allah melindungi Kakak dari apa yang sudah Kakak ucapkan. Kakak

terima Gadis apa adanya”. Lembut Ia satukan jemari Gadis diantara jemarinya. (hal.

24)

Bentuk (-Ia) dan (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia)dan (-nya) mengacu

pada (Kakak), karena (Kakak) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona

endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang

mendahuluinya)

22) Bayu seketika terpaku. Jemarinya perlahan terlepas dari genggaman Gadis. Ia

seperti mendapat mimpi buruk ditengah keterjagaannya. … (hal. 25)

Page 9: wacana gadis bukan perawan.doc

Bentuk (-Ia) dan (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) dan (-nya) mengacu

pada (Bayu), karena (Bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona

endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang

mendahuluinya)

23) “Gadis sudah siap”, katanya lirih. (hal. 25)

Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis),

karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang

bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

24) “Maaf Gadis. Kakak lelah…”, datar sekali bicaranya. (hal. 25)

Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis),

karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang

bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

25) Mulut Bayu seolah kaku. Sehingga untuk mengucapkan satu patah katapun

rasanya sulit. Apa yang barusan didengarnya dari mulu Gadis telah membawa Ia ke

dalam batas ketaksadaran. … (hal. 25)

Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Bayu), karena

(Bayu) adalah orang yang dibicarakan.

Bentuk (-Ia) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Bayu), karena

(Bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat

anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

26) “Mmm...., Nona sudah bangun rupanya?” dengan santai lelaki itu duduk di

samping Gadis. Lalu memberikan beberapa bungkusan berisi makanan. Saya

dimana?” tanya Gadis ketakutan. “Kamu dirumah Saya. Tadi malam Saya

menemukan Kamu pingsan dibangku halte.” Jelasnya seraya membenarkan posisi

kacamata. (hal. 21 - 22)

Page 10: wacana gadis bukan perawan.doc

Bentuk (Kamu) termasuk persona II. Pemakaian (Kamu) mengacu pada (Gadis),

karena (Gadis) adalah orang yang diajak bicara.

Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (-nya) mengacu pada (Lelaki),

karena (Lelaki) adalah orang yang dibicarakan.

Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan

lingual yang mendahuluinya)

27) “Tuhan… inikah yang Engkau rencanakan untukku?” batin Gadis. (hal. 22)

Bentuk (Engkau) termasuk persona II. Pemakaian (Engkau) mengacu pada (Tuhan),

karena (Tuhan) adalah orang yang diajak bicara. Memiliki persona endofora yang

bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

28) “Seandainya suatu malam Kakak bertemu dengan sesorang wanita yang sedang

membutuhkan pertolongan. Sendiri terlunta-lunta kelaparan,. Apa yang Kakak

lakukan?”seruis sekali nada Gadis. “Ya… Kakak kasih dia makan lalu antarkan dia

pulang.” Jawab Bayu sembarangan. (hal. 24)

Bentuk (Dia) termasuk persona III. Pemakaian (Dia) mengacu pada (seorang

wanita), karena (seorang wanita) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona

endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang

mendahuluinya)

a. Bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora yang bersifat katafora.

Pengacuan berikutnya adalah pengacuan endofora yang bersifat katafora. Endofora

yang bersifat katafora mayoritas unsur acuannya berada pada satu kalimat yang sama

dengan unsur kohesinya. Berdasarkan analisis pada data diatas, yakni contoh

pengacuan endofora yang bersifat anafora, dapat disimpulkan bahwa pengacuan

persona endofora yang bersifat katafora pun didominasi oleh bentuk pronominal

persona bentuk kata ganti orang pertama. Berikut ini contoh pengacuan persona

berupa endofora yang bersifat katafora pada cerpen Gadis Bukan Perawan.

1) “Tuhan… inikah wujud kasih sayang-Mu padaku?”. Gadis terkulai dibangku

halte. (hal. 21)

Page 11: wacana gadis bukan perawan.doc

Gadis telah membawa Ia kea lam batas kesadaran. … (hal. 25

Bentuk (Ku) termasuk persona I. Pemakaian (Ku) mengacu pada (Gadis), karena

(Gadia) adalah pembicara / berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona endofora

yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan

sesudahnya)

2) “Saya lapar…”, rintih Gadis ketika perlahan membuka mata. (hal. 21)

Bentuk (Saya) termasuk persona I. Pemakaian (Saya) mengacu pada (Gadis), karena

(Gadis) adalah pembicara/ berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona endofora

yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan

sesudahnya)

3) “Mmm…, Nona sudah bangun rupanya?” dengan santai lelaki itu duduk

disamping Gadis. (hal. 22)

Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis),

karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang

bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan

sesudahnya)

4) “Kamu aman disini.” Lelaki tambun itu benar-benar menangkap apa yang Gadis

khawatirkan. (hal. 22)

Bentuk (Kamu) termasuk persona II. Pemakaian (Kamu) mengacu pada (Gadis),

karena (Gadis) adalah orang yang di ajak bicara. Memiliki persona endofora yang

bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan

sesudahnya)

5) “Tuhan… inikah yang Engkau rencanakan untukku?” batin Gadis. (hal. 22)

Bentuk (-Ku) termasuk persona I. Pemakaian (-Ku) mengacu pada (Gadis), karena

(Gadis) adalah pembicara/ berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona endofora

Page 12: wacana gadis bukan perawan.doc

yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan

sesudahnya)

6) “Sekarang Kamu makan. Lalu bersihkan badan. Saya sudah belikan baju untuk

Kamu pakai.” Sesaat setelah menyelesaikan kalimatnya Ia pun berlalu meninggalkan

Gadis yang masih duduk membisu dibalut kebingungan. (hal. 22)

Bentuk (Kamu) termasuk persona II. Pemakaian (Kamu) mengacu pada (Gadis),

karena (Gadis) adalah orang yang diajak bicara. Memiliki persona endofora yang

bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan

sesudahnya)

7) “Saya dimana?” tanya Gadis ketakutan.

Bentuk (Saya) termasuk persona I. Pemakaian (Saya) mengacu pada (Gadis), karena

(Gadis) adalah pembicara / berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona endofora

yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan

sesudahnya)

Pada pengacuan endofora yang bersifat katafora, jelas terlihat pada contoh diatas,

bahwa pengacuan endofora sifat katafora banyak terselip dalam kalimat dialog.

Penulis menekankan karakter-karakter tokohnya pada penggalan dialog antar tokoh.

Selain itu, pada setiap dialog disebutkan siapa yang menuturkan dialog tersebut,

sehingga aspek pengacuan persona dapat ditemukan hampir seluruh kalimat data

dalam wacana.

2. Pembahasan

Penggunaan aspek gramatikal menjadi dominasi dalam wacana cerpen Gadis Bukan

Perawan, hal ini memiliki beberapa latar belakang yang beralasan. Pertama, cerpen

ini merupakan sebuah wacana naratif yang memiliki ruang lingkup kecil, dengan

pengungkapan alur cerita yang didominasi oleh pengunaan dialog-dialog singkat.

Dan dengan tokoh atau karakter yang sama dari awal hingga akhir cerita. sehingga

Page 13: wacana gadis bukan perawan.doc

untuk menghindari penyebutan kembali nama karakter yang sama secara berulang,

penulis cerpen lebih banyak menggunakan pronominal persona atau panggilan

karakter tokoh secara umum.

Selain itu, dalam setiap dialog disebutkan siapa yang menuturkan dialog tersebut,

sehingga aspek pengacuan persona dapat ditemukan dihampir seluruh kalimat data

dalam wacana. Secara khusus alasan penggunaan aspek pengacuan yang

mendominasi ini adalah sebagai upaya pengarang untuk memperkenalkan karakter

dari tokoh-tokoh ceritanya. Hal ini dilakukan dengan cara menyebutkan nomina atau

frasa nomina tertentu yang merujuk pada karakter cerita secara berulang-ulang.

Penyebutan nomina dan frasa nomina sebagai unsur acuan ini hampir selalu diikuti

oleh penggunaan pronomina persona yang merupakan unsur kohesinya.

Berdasarkan hasil analisis pada wacana cerpen Gadis Bukan Perawan dapat

disimpulkan bahwa pengarang memberikan kemudahan bagi pembaca untuk

menginterpretasikan makna cerita dan karakter tokoh, karena dalam cerpen ini

pengarang sudah banyak berkomentar dan mendeskripsikan dengan jelas situasi

cerita melalui penyebutan beberapa nomina secara berulang-ulang. Selain itu, adanya

beberapa dialog berfungsi untuk memberikan penguatan atau mempertegas karakter

tokoh pada rangkaian paragraf deskripsi.

Banyaknya pengacuan endofora bersifat anafora yang mendominasi aspek pengacuan

dalam wacana cerpen Gadis Bukan Perawan, dapat dipahami karena beberapa

alasan. Pertama wacana ini berupa cerpen yang tersusun atas kalimat-kalimat

deskriptif yang saling berhubungan dan memiliki keterkaitan satu sama lainnya

membentuk paragraf-paragraf. Dengan beberapa tokoh atau karakter yang relatif

sama dari awal hingga akhir cerita, membuat penyebutan para karakter (setelah

penyebutan nama karakter), penulis lebih banyak menggunakan pronomina persona.

Akan tetapi, terkadang penulis juga menggunakan panggilan lain sebagai pronominal

persona seperti, Kakak, Ade, Lelaki dan Perempuan.

Yang kedua, semua pengacuan persona berupa dalam cerpen Gadis Bukan Perawan

merupakan pengacuan yang bersifat endofora anafora, yakni unsusr acuan atau

antesendennya berada disebelah kiri atau telah disebutkan sebelumnya. Kemudian,

untuk dialog-dialog yang mengisi setiap paragraf pada cerpen ini berperan sebagai

Page 14: wacana gadis bukan perawan.doc

penguatan atas karakter tokoh yang dideskripsikan pada paragraf sebelunya. Pada

dialog-dialog ini pengacuan persona endofora yang bersifat katafora lah yang

mendominasi. Maksudnya untuk memperjelas siapa yang berdialog dalam teks

tersebut, sehingga dapat terlihat karakter-karakter tokoh melalui dialog yang

diujarkannya.

E. Penutup

Berdasarkan penjelasan hasil analisis data maka dapat disimpulkan bahwa dalam

wacana cerpen Gadis Bukan Perawan ditemukan dua aspek kohesi gramatikal berupa

pengacuan, yaitu pengacuan persona endofora yang bersifat anafora dan katafora.

Jumlah total pengacuan persona 130, berupa anafora dan katafora. Kemudian

mengenai wacana cerpen, bahwa untuk memahami sebuah wacana tidak terlepas dari

keterkaitan antara teks dan konteks. Analisis wacana ini membuktikan teks dan

konteks adalah dua hal tidak dapat terpisahkan dalam sebuah wacana. Hal ini

membuktikan pendapat dari Halliday dan Hasan (1992: 66) yang menyatakan bahwa

setiap bagian teks sekaligus merupakan teks dan konteks, dalam memusatkan

perhatian pada bahasa kita harus sadar akan adanya kedua fungsi itu.

Page 15: wacana gadis bukan perawan.doc

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa : Sturktur internal, pemaknaan, dan

pemelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Odien R dan Suherlan. 2004. Ikhwal Ilmu Bahasa dan Cakupannya. Serang: Untirta

Press

Moloeng, Lexy J. 2005. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya

Halliday, M.A.K & Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek bahasa

dalam pandangan semiotik sosial. Terjemahan (1992). Yogyakarta: Universitas

Gajah Mada Press.

Halliday, M.A.K & Hasan. 1976. Cohesion in English. London: Longman House.

Pusat Bahasa. 2008. Buku Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen

Pendidikan Nasional

Nurgiantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkaji Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada

Uneversity Pres

Hasan, Alwi. 1998. Tata bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi 3. Jakarta: Balai

Pustaka

Ervina, Jenny. 2010. Gadis Bukan Perawan. Serang: Gong Publishing