wacana gadis bukan perawan.doc
-
Upload
para-pencari-jodoh -
Category
Documents
-
view
37 -
download
0
Transcript of wacana gadis bukan perawan.doc
A. PENDAHULUAN
1. Latar belakang masalah
Chaer (2007:62) Banyak pakar sependapat bahwa yang dimaksud dengan
wacana adalah satuan bahasa yang lengkap sehingga dalam hierarki gramatikal
merupakan satuan gramatikal tertinggi di atas satuan kalimat. Sehingga satuan
tertinggi yang lengkap maka di dalam wacana itu terdapat konsep, gagasan,
pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami tanpa keraguan apa pun.
Sebuah wacana dapat dibangun oleh sebuah kalimat, dua buah kalimat,
tiga buah kalimat, atau sekian jumlah kalimat. Sebuah wacana yang besar ata
cukup besar biasanya dibangun oleh paragraf-paragraf. Setiap paragraf dibangun
oleh sejumlah kalimat, yang saling berkaitan, yang membentuk sebuah “pikiran
pokok”, dimana terdapat sebuah kalimat pokok atau kalimat utama, ditambah
oleh sejumlah kalimat penjelas.
Keutuhan wacana dibangun oleh unsur kohesi dan unsur koherensi. Unsur
kohesi berkenaan dengan alat-alat kebahasaan, seperti penggunaan – penggunaan
konjungsi, penggunaan pronomina persona, penggunaan elipsis, dan sebagainya.
Sedangkan unsur koherensi berkenaan dengan aspek semantik, seperti
penggunaan hubungan pertentangan, penggunaan hubungan generik-spesifik,
penggunaan hubungan sebab-akibat, penggunaan hubungan perbandingan dan
sebagainya.
Dalam tulisan ini akan dianalisis aspek penanda kohesi gramatikal
khususnya aspek referensi yang lebih fokus pada pengacuan persona pada sebuah
cerpen karya Jenny Ervina yang berjudul Gadis Bukan Perawan. Cerpen ini
termasuk didalam kumpulan cerpen pertama Jenny, dan dijadikan sebagai judul
bukunya tahun 2010.
Alasan secara umum dipilihnya cerpen sebagai objek kajian adalah bentuk
cerpen yang ringkas namun tetap menuntut tingkat kohesi dan koherensi yang
tinggi agar tetap berupa satu wacana utuh. Sedangkan alasan secara khusus
dipilihnya cerpen berjudul Gadis Bukan Perawan karena Cerpen ini
menceritakan sebagian warna kelabu tenaga kerja Indonesia yang bekerja diluar
Negeri, terutama tenaga kerja wanita. Menurut saya sangat menarik Gadis Bukan
Perawan merupakan jerit tangis perempuan Indonesia, yang bekerja sebagai
buruh migran di Taiwan. Bahkan sudah rahasia umum, terjadi hampir pada setiap
buruh migran perempuan Indonesia di seluruh dunia. Mereka membanting tulang
mancari nafkah untuk mengubah kehidupan keluarga. Namun, nasib getir
menimpa mereka, diperkosa, dihina, disiksa, bahkan dikhianati suami tercinta.
Kenyataan hidup para buruh berusaha diungkap oleh Jenny Ervina, sebagai
penulisnya sekaligus bagian dari tenaga kerja wanita Indonesia di Taiwan yang
mengalami nasib baik, hingga akhirnya dia bisa menulis cerpen-cerpennya.
Selanjutnya, analisis teks dalam penelitian ini akan menggunakan seluruh
kalimat yang ada pada cerpen tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan hasil analisis yang lebih nyata karena masalah kohesi dan konteks
situasi menyangkut masalah ketergantungan unsur-unsur dalam wacana cerpen
tersebut.
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan yang diangkat sebagai berikut:
1) Bagaimanakah bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen
Gadis Bukan Perawan yang bersifat anafora?
2) Bagaimanakah bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen
Gadis Bukan Perawan yang bersifat katafora?
3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1) Mendeskripsikan kepaduan wacana yang didukung oleh aspek kohesi
gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan yang
bersifat anafora.
2) Mendeskripsikan kepaduan wacana yang didukung oleh aspek kohesi
gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan yang
bersifat katafora.
4. Manfaat Penelitian
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1) Menambah wawasan dalam mengkaji kepaduan suatu wacana dari aspek
gramatikal yang mendukungnya.
2) Memberikan masukan bagi mereka yang tertarik dengan masalah analisis
wacana dan Sebagai bahan referensi dan sumber informasi untuk
penelitian sejenis.
B. ANALISIS WACANA
Sesuai rumusan permasalahan yang dijabarkan dimuka, pada pengacuan
endofora (pengacuan persona) dalam cerpen Gadis Bukan Perawan direalisasikan
melalui pronomina persona disebut juga kata ganti, sebenarnya tidak mengganti,
tetapi mengacu ke maujud tertentu yang terdapat dalm peristiwa pertuturan.
Pengacuan itu dapat bersifat di luar bahasa ataupun di dala bahasa. Pronomina
dapat dibagi atas pronomina persona (antara lain, saya, kamu, dan mereka).
Pronomina penunjuk (antara lain: ini, itu, sana, sini), dan pronomina penanya
(antara lain: apa, siapa, dan mengapa). Yang dibicarakan berikut ini hanyalah
pronomina persona.
Pronomina aku, - ku, ku-, dan saya mengacu ke persona pertama yang
tunggal. Bentuk aku, -ku, dan ku- digunakan jika pembicara akrab dengan kawan
bicaranya. Pronomina kami mengacu ke persona pertama yang jamak. Pronomina
kita mengacu ke persona pertama dan kedua sekaligus, karena itu, acuannya
jamak. Pronomina kamu, -mu, engkau, kau- mengacu ke persona kedua. Bentuk
itu dipakai jika tidak hambatan psikologis pada pembicara. Pronomina (d)ia , -
nya, beliau, dan mereka mengacu ke persona ketiga. Kata (d)ia digunakan jika
acuannya tunggal. Bentuk –nya dapat mengacu ke persona ketiga tunggal jamak.
Pusat bahasa (2008:104-106)
Pada cerpen Gadis Bukan Perawan, pengacuan persona endofora
didominasi oleh pengacuan endofora yang bersifat anafora, dengan jumlah 27
pronomina persona baik berupa kalimat dan paragraf. Dan pengacuan endofora
yang bersifat katafora sejumlah 14 pronomina baik kalimat dan paragraf.
a. Bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora yang bersifat anafora.
Pengacuan endofora yang sifatnya anafora yaitu apabila satuan lingual
mengacu kepada satuan lingual lain yang mendahuluinya. Berikut ini contoh
hasil analisis pengacuan persona berupa endofora yang bersifat anafora dalam
cerpen Gadis Bukan Perawan :
1) “Gadis cantik pakai gaun itu, Kak Bayu suka ngeliatnya”. (hal.18)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada
(Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual
yang mendahuluinya)
2) “Tuhan… inikah wujud kasih sayang-Mu padaku?”. Gadis terkulai
dibangku halte. (hal. 21)
Bentuk (-Mu) termasuk persona II. Pemakaian (–Mu) mengacu pada
(Tuhan), karena (Tuhan) adalah orang yang diajak bicara. Memiliki
persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang mendahuluinya)
3) “Kak Bayu bantu lepaskan mahkotanya, ya?” tanya sang lelaki seraya
mengeserkan tempat duduknya lebih dekat dengan Gadis. (hal. 18-19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada
(kak bayu), karena (kak bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki
persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang mendahuluinya)
4) Detak jantung keduanya semakin bertambah kencang. (hal. 19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada
(detak jantung), karena (detak jantung) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada
satuan lingual yang mendahuluinya)
5) “Ini… karena Kak Bayu sayang sama Gadis.” Bisiknya menggoda.
(hal.19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada
(Gadis). Karena (Gadis) adalah orang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual
yang mendahuluinya)
6) Untuk kemudian mencoba memberanikan diri menatap lekat pujaan
hatinya. (hal. 19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada
(pujaan hati), karena (pujaan hati) adalah yang dibicarakan. Memiliki
persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang mendahuluinya)
7) Untuk kesekian kalinya Gadis menunduk. Ia seperti ragu melanjutkan
ibadah maha sempurna itu. Air mukanya tiba-tiba berubah. Ada sedikit
duka menghiasi sudut matanya. (hal.19).
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia)
mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada
satuan lingual yang mendahuluinya)
8) Bahkan sempat menggenang dikelopak mata Gadis sebelum Bayu
akhirnya membantu menyeka airmatanya. (hal.19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada
(Gadis) , karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual
yang mendahuluinya)
9) “Gadis lelah. Besok aja ya, Kak…”, katanya terbata-bata. Takut mengecewakan
orang yang sedang menantinya. (hal.19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis),
karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang
bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
10) Bayu tersenyum. Lega. Meski sebenarnya Ia ingin melangkah lebih jauh lagi
melangkah. (hal.19)
Bentuk (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (-ia) mengacu pada (Bayu), karena
(Bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat
anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
11) Dengan sangat hati-hati Gadis melangkahkan kakinya di rerumputan yang baru
dipangkasnya pagi tadi. (hal. 20)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis),
karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang
bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
12) Gadis yang bekerja menjaga seorang Ama setahun yang lalu disebuah keluarga,
tak henti-hentinya merasakan penderitaan yang datang silih berganti. Perlakuan kasar
yang didapatnya dari kedua majikan (hal. 20)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis),
karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang
bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
13) Air mata Gadis tak henti mengalir disepanjang jalanan lembab yang Ia lalui. …
Ia rindu pulang. Ia rindu keluarga. Tapi, Ia juga ingat janji yang Ia ucapkan sebelum
Ia pergi kepada emaknya. (hal. 20)
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu
pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
14) Gadis berjalan lunglai menyusuri gigir trotoar. Tas lusuh berisi dua helai baju, Ia
dekap erat-erat. Decak-decak ketakutan jelas membekas disetiap langkahnya. (hal.
20)
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu
pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
15) Gadis tergugu disebuah halte. Menunggu sesuatu yang tidak Ia ketahui. Lapar
yang menyeranya sejak siang tadi sudah tidak ia hiraukan. Ia sudah terlalu lelah,
sehingga membuatnya lupa. (hal. 20-21)
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu
pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
16) Seketika Gadis tergugu, menangisi nasib yang sedang mempermainkan
kepolosannya. Berkali-kali Ia panggil nama Emaknya. Berkali-kali Ia menyebut
Tuhan disela isak tangisnya. Tapi nyatanya saat ini Ia sendiri. (hal. 21)
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu
pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
17) Menampakkan sesosok lelaki penuh wibawa dengan mata sipit yang tersembunyi
dibalik kaca mata tebalnya. Perutnya sedikit tambun. Rambutnya klimis tersisir rapi
ala tahun 80-an. (hal. 21)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Lelaki),
karena (lelaki) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang
bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
18) Sementara Gadis masih terdiam. Hanya sisa-sisa tangis yang menandakan Ia
masih berada dalam batas alam kesadaran. (hal. 22)
Bentuk (-Ia) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Gadis), karena
(Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat
anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
19) Bayu muncul dari baliknya. Seketika Ia terpana melihat pemandangan yang
sedang Ia saksikan. (hal. 23)
Bentuk (-Ia) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Bayu), karena
(Bayu) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang mendahuluinya)
20) “Ah, andai waktu itu Kakak yang menolong Gadis …”, Ia pun lalu mendesah.
(hal. 24)
Bentuk (-Ia) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Gadis), karena
(Gadia) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang mendahuluinya)
21) “Semoga Allah melindungi Kakak dari apa yang sudah Kakak ucapkan. Kakak
terima Gadis apa adanya”. Lembut Ia satukan jemari Gadis diantara jemarinya. (hal.
24)
Bentuk (-Ia) dan (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia)dan (-nya) mengacu
pada (Kakak), karena (Kakak) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
22) Bayu seketika terpaku. Jemarinya perlahan terlepas dari genggaman Gadis. Ia
seperti mendapat mimpi buruk ditengah keterjagaannya. … (hal. 25)
Bentuk (-Ia) dan (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) dan (-nya) mengacu
pada (Bayu), karena (Bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
23) “Gadis sudah siap”, katanya lirih. (hal. 25)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis),
karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang
bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
24) “Maaf Gadis. Kakak lelah…”, datar sekali bicaranya. (hal. 25)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis),
karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang
bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
25) Mulut Bayu seolah kaku. Sehingga untuk mengucapkan satu patah katapun
rasanya sulit. Apa yang barusan didengarnya dari mulu Gadis telah membawa Ia ke
dalam batas ketaksadaran. … (hal. 25)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Bayu), karena
(Bayu) adalah orang yang dibicarakan.
Bentuk (-Ia) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Bayu), karena
(Bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat
anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
26) “Mmm...., Nona sudah bangun rupanya?” dengan santai lelaki itu duduk di
samping Gadis. Lalu memberikan beberapa bungkusan berisi makanan. Saya
dimana?” tanya Gadis ketakutan. “Kamu dirumah Saya. Tadi malam Saya
menemukan Kamu pingsan dibangku halte.” Jelasnya seraya membenarkan posisi
kacamata. (hal. 21 - 22)
Bentuk (Kamu) termasuk persona II. Pemakaian (Kamu) mengacu pada (Gadis),
karena (Gadis) adalah orang yang diajak bicara.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (-nya) mengacu pada (Lelaki),
karena (Lelaki) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang mendahuluinya)
27) “Tuhan… inikah yang Engkau rencanakan untukku?” batin Gadis. (hal. 22)
Bentuk (Engkau) termasuk persona II. Pemakaian (Engkau) mengacu pada (Tuhan),
karena (Tuhan) adalah orang yang diajak bicara. Memiliki persona endofora yang
bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
28) “Seandainya suatu malam Kakak bertemu dengan sesorang wanita yang sedang
membutuhkan pertolongan. Sendiri terlunta-lunta kelaparan,. Apa yang Kakak
lakukan?”seruis sekali nada Gadis. “Ya… Kakak kasih dia makan lalu antarkan dia
pulang.” Jawab Bayu sembarangan. (hal. 24)
Bentuk (Dia) termasuk persona III. Pemakaian (Dia) mengacu pada (seorang
wanita), karena (seorang wanita) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
a. Bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora yang bersifat katafora.
Pengacuan berikutnya adalah pengacuan endofora yang bersifat katafora. Endofora
yang bersifat katafora mayoritas unsur acuannya berada pada satu kalimat yang sama
dengan unsur kohesinya. Berdasarkan analisis pada data diatas, yakni contoh
pengacuan endofora yang bersifat anafora, dapat disimpulkan bahwa pengacuan
persona endofora yang bersifat katafora pun didominasi oleh bentuk pronominal
persona bentuk kata ganti orang pertama. Berikut ini contoh pengacuan persona
berupa endofora yang bersifat katafora pada cerpen Gadis Bukan Perawan.
1) “Tuhan… inikah wujud kasih sayang-Mu padaku?”. Gadis terkulai dibangku
halte. (hal. 21)
Gadis telah membawa Ia kea lam batas kesadaran. … (hal. 25
Bentuk (Ku) termasuk persona I. Pemakaian (Ku) mengacu pada (Gadis), karena
(Gadia) adalah pembicara / berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona endofora
yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan
sesudahnya)
2) “Saya lapar…”, rintih Gadis ketika perlahan membuka mata. (hal. 21)
Bentuk (Saya) termasuk persona I. Pemakaian (Saya) mengacu pada (Gadis), karena
(Gadis) adalah pembicara/ berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona endofora
yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan
sesudahnya)
3) “Mmm…, Nona sudah bangun rupanya?” dengan santai lelaki itu duduk
disamping Gadis. (hal. 22)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis),
karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang
bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan
sesudahnya)
4) “Kamu aman disini.” Lelaki tambun itu benar-benar menangkap apa yang Gadis
khawatirkan. (hal. 22)
Bentuk (Kamu) termasuk persona II. Pemakaian (Kamu) mengacu pada (Gadis),
karena (Gadis) adalah orang yang di ajak bicara. Memiliki persona endofora yang
bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan
sesudahnya)
5) “Tuhan… inikah yang Engkau rencanakan untukku?” batin Gadis. (hal. 22)
Bentuk (-Ku) termasuk persona I. Pemakaian (-Ku) mengacu pada (Gadis), karena
(Gadis) adalah pembicara/ berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona endofora
yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan
sesudahnya)
6) “Sekarang Kamu makan. Lalu bersihkan badan. Saya sudah belikan baju untuk
Kamu pakai.” Sesaat setelah menyelesaikan kalimatnya Ia pun berlalu meninggalkan
Gadis yang masih duduk membisu dibalut kebingungan. (hal. 22)
Bentuk (Kamu) termasuk persona II. Pemakaian (Kamu) mengacu pada (Gadis),
karena (Gadis) adalah orang yang diajak bicara. Memiliki persona endofora yang
bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan
sesudahnya)
7) “Saya dimana?” tanya Gadis ketakutan.
Bentuk (Saya) termasuk persona I. Pemakaian (Saya) mengacu pada (Gadis), karena
(Gadis) adalah pembicara / berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona endofora
yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan
sesudahnya)
Pada pengacuan endofora yang bersifat katafora, jelas terlihat pada contoh diatas,
bahwa pengacuan endofora sifat katafora banyak terselip dalam kalimat dialog.
Penulis menekankan karakter-karakter tokohnya pada penggalan dialog antar tokoh.
Selain itu, pada setiap dialog disebutkan siapa yang menuturkan dialog tersebut,
sehingga aspek pengacuan persona dapat ditemukan hampir seluruh kalimat data
dalam wacana.
2. Pembahasan
Penggunaan aspek gramatikal menjadi dominasi dalam wacana cerpen Gadis Bukan
Perawan, hal ini memiliki beberapa latar belakang yang beralasan. Pertama, cerpen
ini merupakan sebuah wacana naratif yang memiliki ruang lingkup kecil, dengan
pengungkapan alur cerita yang didominasi oleh pengunaan dialog-dialog singkat.
Dan dengan tokoh atau karakter yang sama dari awal hingga akhir cerita. sehingga
untuk menghindari penyebutan kembali nama karakter yang sama secara berulang,
penulis cerpen lebih banyak menggunakan pronominal persona atau panggilan
karakter tokoh secara umum.
Selain itu, dalam setiap dialog disebutkan siapa yang menuturkan dialog tersebut,
sehingga aspek pengacuan persona dapat ditemukan dihampir seluruh kalimat data
dalam wacana. Secara khusus alasan penggunaan aspek pengacuan yang
mendominasi ini adalah sebagai upaya pengarang untuk memperkenalkan karakter
dari tokoh-tokoh ceritanya. Hal ini dilakukan dengan cara menyebutkan nomina atau
frasa nomina tertentu yang merujuk pada karakter cerita secara berulang-ulang.
Penyebutan nomina dan frasa nomina sebagai unsur acuan ini hampir selalu diikuti
oleh penggunaan pronomina persona yang merupakan unsur kohesinya.
Berdasarkan hasil analisis pada wacana cerpen Gadis Bukan Perawan dapat
disimpulkan bahwa pengarang memberikan kemudahan bagi pembaca untuk
menginterpretasikan makna cerita dan karakter tokoh, karena dalam cerpen ini
pengarang sudah banyak berkomentar dan mendeskripsikan dengan jelas situasi
cerita melalui penyebutan beberapa nomina secara berulang-ulang. Selain itu, adanya
beberapa dialog berfungsi untuk memberikan penguatan atau mempertegas karakter
tokoh pada rangkaian paragraf deskripsi.
Banyaknya pengacuan endofora bersifat anafora yang mendominasi aspek pengacuan
dalam wacana cerpen Gadis Bukan Perawan, dapat dipahami karena beberapa
alasan. Pertama wacana ini berupa cerpen yang tersusun atas kalimat-kalimat
deskriptif yang saling berhubungan dan memiliki keterkaitan satu sama lainnya
membentuk paragraf-paragraf. Dengan beberapa tokoh atau karakter yang relatif
sama dari awal hingga akhir cerita, membuat penyebutan para karakter (setelah
penyebutan nama karakter), penulis lebih banyak menggunakan pronomina persona.
Akan tetapi, terkadang penulis juga menggunakan panggilan lain sebagai pronominal
persona seperti, Kakak, Ade, Lelaki dan Perempuan.
Yang kedua, semua pengacuan persona berupa dalam cerpen Gadis Bukan Perawan
merupakan pengacuan yang bersifat endofora anafora, yakni unsusr acuan atau
antesendennya berada disebelah kiri atau telah disebutkan sebelumnya. Kemudian,
untuk dialog-dialog yang mengisi setiap paragraf pada cerpen ini berperan sebagai
penguatan atas karakter tokoh yang dideskripsikan pada paragraf sebelunya. Pada
dialog-dialog ini pengacuan persona endofora yang bersifat katafora lah yang
mendominasi. Maksudnya untuk memperjelas siapa yang berdialog dalam teks
tersebut, sehingga dapat terlihat karakter-karakter tokoh melalui dialog yang
diujarkannya.
E. Penutup
Berdasarkan penjelasan hasil analisis data maka dapat disimpulkan bahwa dalam
wacana cerpen Gadis Bukan Perawan ditemukan dua aspek kohesi gramatikal berupa
pengacuan, yaitu pengacuan persona endofora yang bersifat anafora dan katafora.
Jumlah total pengacuan persona 130, berupa anafora dan katafora. Kemudian
mengenai wacana cerpen, bahwa untuk memahami sebuah wacana tidak terlepas dari
keterkaitan antara teks dan konteks. Analisis wacana ini membuktikan teks dan
konteks adalah dua hal tidak dapat terpisahkan dalam sebuah wacana. Hal ini
membuktikan pendapat dari Halliday dan Hasan (1992: 66) yang menyatakan bahwa
setiap bagian teks sekaligus merupakan teks dan konteks, dalam memusatkan
perhatian pada bahasa kita harus sadar akan adanya kedua fungsi itu.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa : Sturktur internal, pemaknaan, dan
pemelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Odien R dan Suherlan. 2004. Ikhwal Ilmu Bahasa dan Cakupannya. Serang: Untirta
Press
Moloeng, Lexy J. 2005. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Halliday, M.A.K & Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek bahasa
dalam pandangan semiotik sosial. Terjemahan (1992). Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada Press.
Halliday, M.A.K & Hasan. 1976. Cohesion in English. London: Longman House.
Pusat Bahasa. 2008. Buku Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional
Nurgiantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkaji Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
Uneversity Pres
Hasan, Alwi. 1998. Tata bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi 3. Jakarta: Balai
Pustaka
Ervina, Jenny. 2010. Gadis Bukan Perawan. Serang: Gong Publishing