Vol. 1, No. 2 September 2014

88
69 PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN MELALUI METODE GLENN DOMAN BAGI ANAK TUNARUNGU KELAS II DI SEKOLAH KEBUTUHAN KHUSUS Eko Julianto Wibowo E-mail: [email protected] Abstrak Anak tunarungu mengalami hambatan dalam berbahasa oleh karena itu perlu dikembangkan kemampuan reseptifnya, yang antara lain kemampuan membaca. Peneliti ingin meningkatkan kemampuan membaca permulaan anak tunarungu dengan metode Gleen Doman, yang dilakukan dengan menggunakan alat media berupa kartu kata dengan mengenalkan satu kata yang bermakna. Hasil penelitian diolah dengan menggunakan rancangan pre-eksperiment dengan model one group pre tes post tes desain. Data yang berhasil dihimpun di analisa dengan teknik analisis statistik parametrik dengan rumus uji tes “t”. Hasil penelitian menunjukkan Dengan df sebesar 5 dilihat dari taraf signifikansi 5% maka diperoleh harga t tabel signifikansi 5 % sebesar 2,57. Dengan membandingkan besarnya t yang kita peroleh dalam perhitungan (to=6.72) dan besarnya t tabel maka dapat diketahui bahwa: 2,57<6.72. Kesimpulannya adalah ada peningkatan yang signifikan terhadap kemampuan membaca permulaan anak tunarungu di kelas II di sekolah kebutuhan khusus (SSK) Bangun Bangsa Surabaya. Kata kunci: membaca permulaan, metode Glenn Doman, anak tunarungu

description

Redaksi mengundang para akademisi, dosen, maupun peneliti untuk berkontribusi memasukkan artikel ilmiahnya yang belum pernah diterbitkan oleh jurnal lain. Naskah diketik dengan spasi 1,5 cm pada kertas ukuran A4 dengan panjang tulisan antara 15-20 halaman, 4000-6000 kata. Naskah yang masuk dievaluasi oleh dewan redaksi dan mitra bestari. Redaktur dapat melakukan perubahan pada tulisan yang dimuat untuk keseragaman format, tanpa mengubah substansinya. Alamat Redaksi: Jl. Hayam Wuruk 31 Wates Umpak Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Telp./Faks. (0321) 391424, Email: [email protected].

Transcript of Vol. 1, No. 2 September 2014

Page 1: Vol. 1, No. 2 September 2014

69

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACAPERMULAAN MELALUI METODE GLENN DOMAN BAGI

ANAK TUNARUNGU KELAS IIDI SEKOLAH KEBUTUHAN KHUSUS

Eko Julianto WibowoE-mail: [email protected]

AbstrakAnak tunarungu mengalami hambatan dalam berbahasa oleh karena itu perludikembangkan kemampuan reseptifnya, yang antara lain kemampuan membaca.Peneliti ingin meningkatkan kemampuan membaca permulaan anak tunarungudengan metode Gleen Doman, yang dilakukan dengan menggunakan alat mediaberupa kartu kata dengan mengenalkan satu kata yang bermakna. Hasilpenelitian diolah dengan menggunakan rancangan pre-eksperiment denganmodel one group pre tes post tes desain. Data yang berhasil dihimpun di analisadengan teknik analisis statistik parametrik dengan rumus uji tes “t”. Hasilpenelitian menunjukkan Dengan df sebesar 5 dilihat dari taraf signifikansi 5%maka diperoleh harga t tabel signifikansi 5 % sebesar 2,57. Denganmembandingkan besarnya t yang kita peroleh dalam perhitungan (to=6.72) danbesarnya t tabel maka dapat diketahui bahwa: 2,57<6.72. Kesimpulannya adalahada peningkatan yang signifikan terhadap kemampuan membaca permulaananak tunarungu di kelas II di sekolah kebutuhan khusus (SSK) Bangun BangsaSurabaya.Kata kunci: membaca permulaan, metode Glenn Doman, anak tunarungu

Page 2: Vol. 1, No. 2 September 2014

70 | Peningkatan Kemampuan Membaca PermulaanPendahuluanUndang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 5 ayat 1 tentang SistemPendidikan Nasional menyebutkan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yangsama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Hal ini mengamanatkan bahwaAnak Berkebutuhan Khusus berhak mendapatkan pendidikan. Anak berkebutuhankhusus adalah anak yang secara khusus menyandang kelainan fisik dan atau mentaldan atau kelainan prilaku yang membutuhkan kebutuhan khusus dalampenyelenggaraan pendidikannya.Salah satu peserta didik yang membutuhkan kebutuhan khusus adalah Anaktunarungu, Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan ataukehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang berakibatkarena tidak berfungsinya sebagian atau seluruhnya alat pendengaran sehinggamenghambat perkembangan intelegensi, bahasa, emosi dan sosialnya.(Abdurrahman, 2003).Dalam mendapatkan informasi dan wawasan, anak tunarungu dapatmenggantikan pendengarannya dengan indera visual, untuk mengoptimalkan inderavisual anak tunarungu salah satunya dapat dilakukan dengan cara mengembangkankemampuan membacanya agar membacanya lancar dan anak percaya diri.Kemampuan membaca dan minat membaca yang tinggi adalah modal dasaruntuk keberhasilan anak dalam berbagai mata pelajaran. Banyak penelitian yangdilakukan selama 30 tahun terakhir ini menunjukkan bahwa tingkat kemampuanmembaca anak tunarungu berada beberapa tahun di bawah anak sebaya/sekelasnyaanak-anak yang dapat mendengar, kosa kata anak tunarungu juga kurang (Ashman &Elkins, 1994).Terdapat bukti yang jelas bahwa berdasarkan tes prestasi membaca yang baku,skor anak-anak tunarungu secara kelompok berada di bawah norma anak-anak yangdapat mendengar. Data dari Australia juga serupa. Ditemukan bahwa 66% darisampel siswa tunarungu usia 11 tahun di negara-negara bagian Australia sebelahtimur menunjukkan usia baca lebih dari 4 tahun di bawah usia kalendernya (Ashman& Elkins, 1994)VandenBerg (1971) di Selandia Baru menemukan bahwa dari semua siswa SLBbagi tunarungu yang berusia hingga 14 tahun, tidak ada yang mencapai usia baca diatas 11 tahun. Data di atas tampak menunjukkan bahwa anak tunarungu mengalamikesulitan dalam membaca dan bahwa mereka semakin tertinggal oleh sebayanyayang dapat mendengar di kelas-kelas yang lebih tinggi di mana materi bacaan yangharus dibacanya semakin kompleks.Meskipun demikian, Moores (1987) mengemukakan penjelasan lain untuk hasilpenelitian tersebut. Sebagian besar penelitian itu tidak mengikuti kemajuan siswayang sama dan mengetesnya setiap tahun. Hasil penelitian oleh Allen (1986)mengatasi persoalan ini dengan melihat data dari hasil Stanford Achievement Testterhadap populasi tunarungu (kategori Hearing-Impaired) pada tahun 1974 dan

Page 3: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 711983. Skor tersedia dari usia 8 hingga 18 tahun, dan dia menemukan bahwa daritahun 1974 hingga 1983 skor membaca sampel tunarungu itu meningkat setiaptahun.Walker dan Rickards (1993) di Victoria, Australia, juga telah memperoleh datayang menunjukkan bahwa anak tunarungu tertentu lebih baik hasilnya pada tes bakuprestasi membaca daripada yang dilaporkan sebelumnya. Terus meningkatnya skortes membaca anak tunarungu ini mungkin disebabkan oleh metode pengajaranmembaca yang lebih baik, dari pendapat tersebut menunjukkan bahwa membacasangat besar manfaatnya bagi semua orang, begitu juga bagi anak tunarungu.Di samping itu, suasana belajar kondusif dan menyenangkan serta metode yangsesuai akan lebih memotivasi siswa agar lebih intensif dalam belajar dalammeningkatkan kemampuan membaca permulaan anak tunarungu. Salah satu metodeyang sesuai untuk digunakan kepada siswa tunarungu antara lain metode GlennDoman.Glenn Doman merupakan metode yang dilakukan dengan menggunakan alatmedia berupa kartu kata dengan mengenalkan satu kata yang bermakna. Kata itusudah akrab pada pikiran anak atau sudah sering didengar dalam keseharian mereka.Dalam penelitian ini, diterapkan langkah-langkah pembelajaran Glenn Domandan bagaimana teknik-teknik belajar membaca menurut Glenn Doman untukmeningkatkan kemampuan membaca permulaan anak tunarungu kelas II di SekolahKebutuhan Khusus (SKK) Bangun Bangsa Surabaya, diharapkan dengan metode inikemampuan membaca permulaan pada anak tunarungu dapat meningkat.Metode Glenn DomanMetode ini ditemukan pertama kali oleh Glenn Doman, seorang pendiri TheInstitute for the Achievement of Human Potensial di Philadelphia dan penulis bukuHow to Teach Your Baby to Read. Metode Glenn Doman merupakan salah satu metodeyang efektif untuk meningkatkan kemampuan belajar membaca seseorang melaluiteknik-teknik yang menyenangkan.Menurut Glenn Doman anak tak perlu lagi menghafal huruf atau suku kata,tetapi anak langsung diajarkan membaca kata pada kartu yang sudah disiapkan.Untuk mengajar anak membaca, diperlukan kartu kata bermakna yang tercetak cukupbesar dan ditunjukkan secara cepat kepada anak, anak akan menangkap apa yangdikatakan guru/orang tuanya dan menghubungkannya dengan tulisan yangditunjukkan kepadanya (Doman & Doman, 1998).Demikian juga kata yang lain, kata-kata yang sudah akrab dengan si anakbeserta benda yang diacu, semuanya dibuatkan kartu-kartunya. Yang pertama kitatunjukkan ke anak itu yang kata tunggal, terus lanjut ke 2 kata, 3 kata dan seterusnyasampai terakhir yang kita tunjukin itu berupa kalimat. Metode Glenn Domandilaksanakan dalam suasana yang menyenangkan, tidak ada unsur tekanan, paksaanatau emosi negatif lainnya.

Page 4: Vol. 1, No. 2 September 2014

72 | Peningkatan Kemampuan Membaca PermulaanMetode PenelitianSubjek, Dalam penelitian ini yang menjadi populasi & sample adalah siswatunarungu kelas II Sekolahan Kebutuhan Khusus Bangun Bangsa Surabaya yangberjumlah 6 anak.Desain, Didalam penelitian ini peneliti menggunakan rancangan pre-eksperimen dengan model one group pre test post test design. Perlakuan mencakuppengajaran tujuh aspek, yakni: (1) menyebutkan gambar, (2) membaca kata, (3)membedakan kata dengan melihat gambar, (4) menjodohkan gambar I, (5)menjodohkan gambar II, (6) menjodohkan kata, dan (7) membaca kalimat sederhana.Penggalian dan analisis dataPengumpulan data dilakukan dengan beberapametode, yakni: (1) Tes, dalam bentuk tertulis yang bertujuan untuk mengukur tingkatkemampuan membaca permulaan siswa tunarungu sebelum dan setelah perlakuan,(2) Observasi, yang dilakukan secara tidak terstruktur untuk mendukung hasil darites yang sudah dilakukan dan untuk mengetahui secara rinci tentang kejadian-kejadian yang sedang berlangsung sebelum sesudah perlakuan, (3) Wawancara,dilakukan terhadap guru sekolah subjek untuk memantau perkembangan subjek.Analisis data dilakukan dengan teknik statistik t test untuk dua sampel kecil yangsaling berhubungan.Hasil Penelitian, Berdasarkan hasil penilaian, tes, observasi, dan wawancaramengenai perkembangan kemampuan siswa pada ketujuh aspek, diketahui adanyapeningkatan rata-rata kemampuan membaca permulaan, dengan rincian sebagaiberikut: Tabel 1.Hasil Pre Test

No SubyekPenelitian Aspek yang Dinilai Total Rata-rataAspekI AspekII AspekIII AspekIV AspekV AspekVI AspekVII1. PT 10 8 0 2 2 4 0 26 3.72. IV 6 5 2 4 2 5 0 24 3.43. TT 10 5 0 4 1 4 0 24 3.44. RH 8 3 2 4 0 5 0 22 3.15. SH 7 3 2 3 1 1 0 17 2.46. IN 10 9 3 6 1 6 1 36 5.1Jumlah 21.1

Tabel 2.Hasil Post TestNo. SubyekPenelitian Aspek yang Dinilai Total Rata-rataAspekI AspekII AspekIII AspekIV AspekV AspekVI AspekVII1. PT 10 10 1 5 3 5 1 35 5

Page 5: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 732. IV 10 9 3 5 3 9 1 40 5.73. TT 10 10 3 5 2 6 1 37 5.24. RH 9 7 2 4 3 7 0 32 4.55. SH 7 8 1 4 3 7 0 30 4.26. IN 10 10 4 6 3 10 1 44 6.2Jumlah 30.8Dengan df sebesar 5 dilihat dari taraf signifikansi 5%, diperoleh harga t tabelsignifikansi 5 % sebesar 2,57. Dengan membandingkan besarnya t yang diperolehsebesar 6.72 dan besarnya t tabel maka dapat diketahui bahwa : 2,57<6.72.Karena t0 lebih besar dari tt, maka dapat disimpulkan bahwa maka HipotisisNihil (H0) yang menyatakan tidak ada perbedaan kemampuan membaca permulaanyang signifikan pada anak tunarungu kelas II SKK Bangun Bangsa Surabaya, antarasebelum dan sesudah diterapkan metode glenn doman ditolak. Ini berarti bahwa adaperbedaan nilai antara kemampuan membaca permulaan pada subjek antara sebelumdan sesudah perlakuan, dimana kemampuan para subjek meningkat setelahperlakuan.

PembahasanAnak tunarungu merupakan anak yang mengalami gangguan dalampendegarannya, sehingga sulit menerima informasi. Seperti yang diungkapkan olehAndres Dwidjosumarno (1998) dalam Somad dan Hernawati (1996) bahwatunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yangmengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai perangsang terutamamelalui indera pendengaran.Oleh karena itu agar anak tunarungu tetap bisa menerima informasi sepertianak normal lainnya maka jalan yang terbaik yaitu dengan mengoptimalkan inderayang masih berfungsi dan salah satunya adalah indera visual. Dengan indera visualitulah anak tunarungu dapat memperoleh informasi yang mereka butuhkan untukmenambah wawasan dengan cara membaca. Membaca merupakan aktivitaskompleks yang mencakup fisik dan mental. Aktivitas fisik yang berkaitan denganmembaca adalah gerak mata dan ketajaman penglihatan. Oleh karena itu anaktunarungu sangat membutuhkan keterampilan membaca hal itu karena indera yangmasih bisa dioptimalkan adalah indera visualnya atau matanya.Dari hasil observasi yang telah dilakukan, peneliti memperoleh suatu databahwa rata-rata anak tunarungu kelas II di SKK Bangun Bangsa Surabaya ini yangberjumlah 6 anak mengalami kesulitan dalam memahami suatu materi yangdiberikan oleh guru terutama bila materi itu mengenai bacaan. Dalam kegiatanmembaca suara mereka datar atau tidak ada intonasi yang benar, gerakan matamereka pun sangat lambat dalam menelusuri setiap kata dalam bacaan sehinggamengakibatkan kelancaran membacanya kurang atau lambat, ada juga dari mereka

Page 6: Vol. 1, No. 2 September 2014

74 | Peningkatan Kemampuan Membaca Permulaanyang masih meraba-raba dan mengulang-ulang kata dalam bacaan, hal itu disebabkankarena anak tunarungu mengalami kesulitan dalam pengucapannya.Selain itu proses pembelajaran juga dapat mempengaruhi kemampuan siswadalam memahami suatu materi, dari hasil observasi di lapangan didapat bahwa gurudalam memberikan materi kepada siswa terlalu monoton membuat anak kurangtertarik dan kurang bersemangant dalam belajar serta kondisi kelas yang kurangkondusif membuat siswa sulit berkonsentrasi.Hal itu juga didukung dengan hasil wawancara yang telah dilakukan penelitidengan guru kelas II di SKK Bangun Bangsa Surabaya menyebutkan bahwakemampuan membaca khususnya membaca permulaan pada anak tunarungusangatlah sulit dan perlu untuk dituntun secara pelan-pelan, dan kendala yangdihadapi anak saat membaca adalah kurangnya konsonan vokal yang dikuasai siswasehingga sulit memahami suatu kata secara abstrak. Karena kesulitan dalammembaca biasanya menunjukkan sikap yang malas dan kurang semangat dalambelajar yang berhubungan dengan membaca.Hasil penelitian tentang kemampuan membaca permulaan anak tunarungumelalui metode gleen doman yang meliputi aspek-aspek membaca kata dalam kartu,menuliskan nama gambar, menjawab pertanyaan dari bacaan sederhana, penelitianini berhasil dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah lingkungan yangnyaman dan tenang serta penggunaan bantuan telunjuk jari atau alat lain yangmembantu mata untuk membaca dalam memahami setiap materi yang dibaca.Sehingga melalui metode glenn doman kemampuan membaca permulaan anaktunarungu dapat ditingkatkan.Untuk meningkatkan kemampuan membaca permulaan anak tunarungu melaluimetode glenn doman, dilakukan beberapa treatment secara bertahap: teknik-teknikuntuk membaca yang pertama adalah dengan mempersiapkan diri, meminimalkangangguan, duduk dengan sikap tegak, meluangkan waktu beberapa saat untukmenenangkan pikiran, melihat sekilas bacaan dan menggunakan jari atau benda lainsebagai petunjuk.Setiap kali treatment peneliti mengajak siswa untuk menyiapkan diri denganduduk rapi pada bangku masing-masing, menyuruh siswa membayangkan suatutempat yang indah dan tenang dengan memberikan suatu gambar pemandanganpegunungan yang hijau dan pemandangan pantai dengan matahari terbit yang pernahmereka kunjungi dan dengan memejamkan mata beberapa menit serta dengantangan dilipat diatas bangku dan kaki rata diatas lantai.Kemudian peneliti menyuruh siswa membuka mata dan mengajak siswabersama-sama menarik napas panjang untuk merileksasikan detang jantung, barusetelah itu penulis memberikan soal, sebelum membaca siswa disuruh melihat-lihatdulu soal yang akan mereka kerjakan.Setelah itu siswa boleh membacanya dengan bantuan telunjuk jari yangmembantu mata mereka menelusuri setiap bacaan yang dibaca serta untuk

Page 7: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 75memahaminya, kemudian siswa boleh menjawab pertanyaan yang diberikan.Sehingga dapat diketahui seberapa besar peningkatan pemahaman yang dimiliki olehanak dalam mengalami bacaan dari soal yang diberikan.SimpulanSebelum anak mendapatkan intervensi dalam membaca anak merasa kesulitandalam menjawab setiap pertanyaan yang diberikan dan rata-rata mereka kurangmemahami maksud dari pertanyaan yang diajukan. Hal itu telah terbukti melalui pretes siswa masih kurang bisa memahami pertanyaan dan bacaan yang diberikansehingga jawaban mereka banyak yang salah dan hasil pre tes menunjukkan nilaiyang didapat antara 17-35.Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa kemampuan membacaanak tunarungu mengalami suatu peningkatan dari sebelum dilaksanakan intervensidengan setelah mendapatkan intervensi, hal itu terbukti dari hasil tes yang diberikanmenunjukkan bahwa anak mampu membaca dengan lancar dan mampu memahamiisi dari pertanyaan yang diberikan.Daftar PustakaAbdurrahman, M. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta : RinekaCiptaAshman, J. & Elkins, J. 1994. Educating children with special needs. New Jersey:Prentice Hall.VandenBerg, D. M. 1971. The written language of deaf children : a comparative study.Wellington, [N.Z.] : New Zealand Council for Educational ResearchMoores,D.F. 1987. Educating The Deaf (Psychology, Principles, and Practices). ThirdEdition. Boston: Houghton Mifflin CompanyAllen, T. E. 1986. Patterns of academic achievement among hearing impairedstudents: 1974 and 1983. In A. N. Schildroth & M. A. Karchmer (Eds.), Deaf

children in America (pp. 161–206). San Diego, CA: College Hill Press.Walker, L. M., & Rickards, F. W. 1993. Reading comprehension levels of profoundly,prelingually deaf students in Victoria. The Australian Teacher of the Deaf, 32, 32-47.Doman, G. & Doman, J. 1998, How to Teach Your Baby to Read. Glenside, PA: Gentle

Page 8: Vol. 1, No. 2 September 2014

76

HUBUNGAN KEHARMONISAN KELUARGA DENGANPERKEMBANGAN MORAL SISWA KELAS IV DAN V

DI MI DARUL FALAH NGRANGKOK KLAMPISANKANDANGAN KEDIRI

Rif’an Fauzi1E-mail: [email protected]

AbstrackCommunities in Ngrangkok Klampisan Kandangan Kediri, low education, noawareness of education, being married young, there is no maturity in thehousehold, the child eventually become victims. Question of how the familyharmony, moral development of students and whether there are relationshipswith family harmony moral development of students grade IV and V MI DarulFalah Ngrangkok Klampisan Kandangan Kediri? The purpose knows the familyharmony, moral development of students and there is relationship familyharmony with moral development of students grade IV and V MI Darul FalahNgrangkok Klampisan Kandangan Kediri. This research, field research to see therelationship of family harmony with moral development of students, samplestudent grade IV and V is 47 MI students of Darul Falah Ngrangkok KlampisanKandangan Kediri, the analytical techniques coefficient product momentcorrelation of Karl Pearson. Conclusion there is relationship to the familyharmony with moral development of students, because the harmony of the familysupport factor determining the moral development of students even though thereare other factors influencing it. Results in MI Darul Falah Ngrangkok KlampisanKandangan Kediri, the value of 0.99 r count> r table 0.334 (5%) and 0.99 count r>0.430 (1%), very significant meaning accepted working hypothesis, "there is arelationship of family harmony with moral development of students MI DarulFalah Ngrangkok Klampisan Kandangan Kediri.Keywords: Family Harmony and Moral Development of Students

1 Dosen Tetap STITNU Al Hikmah Mojokerto

Page 9: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 77

PendahuluanDalam kehidupan rumah tangga antara suami dan istri dituntut adanyahubungan yang baik dalam arti diperlukan suasana yang harmonis, yaitu denganmenciptakan saling pengertian, saling menjaga, saling menghargai dan salingmemenuhi kebutuhan masing-masing, selain itu juga dalam keluarga yang harmonisadanya keseimbangan antara suami dan istri untuk menjaga keharmonisan tersebuttidak hanya mengandalkan salah satu, sehingga suami dan istri memiliki kewajibanyang sama dalam keluarga yang harmonis.Apabila suami dan istri melupakan tugas sebagaimana tersebut di atas makaakan menjadi kesenjangan hubungan suami dan istri yang akan dapat mengakibatkantimbulnya berbagai masalah yang dapat mengakibatkan kesalahpahaman,perselisihan dan ketegangan hidup berumah tangga, untuk itu saling pengertian danmempercayai pasangan hidup merupakan hal yang utama harus diterapkan dalamkeluarga.Menurut Maimunah Hasan (2000: 16) mengemukakan bahwa sebagai berikut :“Antara suami istri harus selalu menjaga keselarasan, keserasian sertakeseimbangan hubungan baik lahir maupun batin. Meskipun secara lahir bukanmerupakan faktor yang utama menentukan kebahagiaan keluarga. Namunhubungan suami istri yang secara lahir kurang harmonis akan mampumenggagalkan upaya dan cita-cita mewujudkan keluarga bahagia sejahtera”.Dalam kehidupan keluarga didalamnya ada suami istri yang merupakanpelaksana dari sebuah keluarga dimana suami dan istri harus dapat menjagakeselarasan, keserasian dan keseimbangan hubungan lahir dan batin, dimanahubungan suami istri merupakan titik awal untuk menciptakan komunikasi antarasuami dan istri, mengkomunikasikan berbagai persoalan baik yang bersifatmenguntungkan maupun merugikan merupakan cermin untuk mewujudkankeseimbangan dan keselarasan dalam menjalankan roda-roda keluarga, walaupundalam berjalannya sebuah keluarga akan banyak menemui persoalan yang selalutimbul baik dari lingkungan tinggal, lingkungan kerja, dan lingkungan keluarga besarsuami dan istri.Berdasarkan uraian pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anak yangdibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis dan utuh. Mereka dapatmengalami pertumbuhan dan perkembangan moral yang lebih terarah dari keduaorangnya. Jadi unsur utama mendidik anak dalam sebuah keluarga adalah dengankasih sayang dari kedua orang tuanya agar anak tumbuh dengan semestinya,perkembangan moral anak didik sangat dipengaruhi oleh faktor keharmonisankeluarga baik orang tua maupun keluarga lainnya, faktor keharmonisan akanmendorong keinginan anak didik untuk lebih membenahi diri mereka untuk lebihbaik secara kualitas internal maupun eksternal siswa, yang dibutuhkan untukmencapai cita-cita yang telah menjadi impian setiap anak didik terhadap keluargamereka, keharmonisan dalam sebuah keluarga dapat memberikan rasa aman dan

Page 10: Vol. 1, No. 2 September 2014

78 | Hubungan Keharmonisan Keluarganyaman bagi setiap siswa sehingga berkurangnya beban siswa dalam menerimapendidikan di kelas untuk mencapai cita-cita nantinya.Segala hal yang berhubungan dengan etika baik dan buruk merupakan moralbaik yang diatur oleh agama maupun norma-norma budaya, sehingga manusia harusmemiliki moral semenjak dia kecil sampai dia dewasa, bila manusia tidak memilikimoral, maka pengembangan dan peningkatan kehidupan yang beradab akan musnahdari muka bumi ini karena tidak adanya pembatasan terhadap tingkah lakumanusianya yang hidup dipermukaan bumi, bila manusia tidak bermoral, makamereka akan saling membunuh seperti sifat hewan, dan tidak akan memiliki rasahormat terhadap orang lain.Jika saja semua orang tua punya perhatian penuh dalam nilai-nilai moral dansemua ajaran agama pada anak-anak mereka,maka kita yakin dan percaya bahwakita bersama-sama akan mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yangberkepribdian mulia dan tidak mudah terkontaminasi budaya-budaya asing, untuk ituperlu adanya tingkat kesadaran dari semua pihak untuk dapat menjaga pendidikanmoral dan agama yang selama ini dapat memberikan batasan yang tegas terhadapsegala bentuk penyimpangan, maka dari pada itu pengembangan sumber dayamanusia yang berakal dan berbudi mulia harus digalakkan untuk dapat menjagakebudayaan bangsa yang ketimuran, sehingga cerminan bangsa Indonesia yang cintaperdamaian dan akan membantu menjaga perdamaian dunia dapat terwujudkan.Dengan demikian keharmonisan keluarga sangat dipengaruhi oleh banyakfaktor salah satunya adalah keterbukaan antara anggota keluarga, pengertian antaraanggota keluarga, saling memberikan motivasi antara anggota keluarga, dan salingtolong menolong antara keluarga, sehingga peranan keluarga untuk menujukeharmonisan dapat di pertanggung jawabkan oleh keluarga karena keluargamerupakan satu bagian yang tidak dapat dipisahkan antara ayah, ibu dan anak-anakyang merupakan bagian penerus keluarga.Dengan demikian, keluarga yang harmonis membentuk sakinah, mawaddah danrahmah merupakan suatu kondisi yang hendaknya diciptakan oleh pasangan suamiistri di dalam rumah tangganya. Dan ini memerlukan suatu upaya sistematis dankonstruktif dari kedua belah pihak.Selanjutnya anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonisdan utuh, maka mengalami pertumbuhan dan perkembangan moral yang lebihterarah dari kedua orang tuanya. Demikian juga dengan masyarakat yang ada diDusun Ngrangkok Desa Klampisan Kecamatan Kandangan Kabupaten Kediri,sebagian besar masyarakatnya berpendidikan rendah, tidak ada kesadaranpendidikan, karena kebanyakan masyarakatnya yang kawin muda atau pernikahandini, sehingga tidak ada kedewasaan atau kematangan dalam rumah tangga, dan padaakhirnya anak yang menjadi korbannya

Page 11: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 79Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis menilai pentingnyameneliti hubungan keharmonisan keluarga dalam rumah tangga denganperkembangan moral siswa.Keluarga HarmonisRumah tangga yang terdiri dari suami, istri dan anak haruslah sejalan dengansaling menghargai dalam anggota yang namanya keluarga, bila ada salingmenghormati terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban, maka keluarga tersebutakan dapat harmonis dan seimbang, dalam menjalankan keluarga yang harmonis initidak lepas dari pengaruh lingkungan orang tua dan masyarakat serta tokoh agamayang memiliki peran sebagai pengarah dan penasihat nilai-nilai masyarakat.Keluarga merupakan etimologi berarti baju besi yang kuat yang melindungimanusia dan menguatkannya saat dibutuhkannya.Sedangkan fungsi keluarga menurut Abdurrahim Al-Basyir, M.Pd adalah :a. Menjaga fitrah anak yang lurus dan suci di atas akidah yang shohih, mengajarkanIslam yang berdasarkan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah di atas pemahaman as-Salafush Shohihb. Menciptakan lingkunganyang penuh dengan kasih sayang, lemah lembut, dansaling mencintai agar anak itu memiliki kepribadian normal yang mampumelaksanakan kewajiban dan memberikan sumbangsihnya.c. Fungsi lainnya adalah memberikan informasi tentang pendidikan dan kebudayaanmasyarakat, bahasa, adat istiadat dan norma-normasosial yang tidak bertentangandengan syariat.d. Memupuk bakat dan kemampuan anak untuk mencapai perkembangan yang baik.e. Keluarga ibarat sekolah pertama yang dimasuki anak sebagai pusat untukmenumbuh kembangkan kebiasaan (tabiat).Ada beberapa faktor keluarga yang harmonis sebagaimana diungkapkan olehDrs. Hj. Mufidah Ch,M.Ag.(2008) berpendapat :a. Proses Keterbukaan antara pasangan dalam keluarga yaitu ayah ibu dan anak.b. Adanya kesepakatan antara Ayah, Ibu dan anak, tentang segala hal yang harusdijalankan untuk meningkatkan kedisiplinan dalam keluarga.c. Cara mendidik anak yang penuh kasih sayang bukan kekerasan.d. Meningkatkan volume interaksi dengan keluarga (sering kumpul, memberiinformasi, rekreasi dll).Sedangkan faktor-faktor keharmonisan keluarga menurut Hurlock (dalam LilikFauziah, 2009) yang menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhikeharmonisan keluarga sebagai berikut :

Page 12: Vol. 1, No. 2 September 2014

80 | Hubungan Keharmonisan Keluargaa. Komunikasi InterpersonalKomunikasi interpersonal merupakan faktor yang sangat mempengaruhikeharmonisan keluarga karena komunikasi akan menjadikan seseorang mampumengemukakan pendapat dan pandangannya, sehingga mudah untuk memahamiorang lain dan sebaliknya tanpa adanya komunikasi kemungkinan besar dapatmenyebabkan kesalahpahaman yang memicu terjadinya konflik.b. Tingkat ekonomi keluargaMenurut beberapa penelitian, tingkat ekonomi keluarga juga merupakan salahsatu faktor yang menentukan keharmonisan keluarga. Jorgensen (dalam LilikFauziah, 2009) menemukan dalam penelitiannya bahwa semakin tinggi sumberekonomi keluarga akan mendukung tingginya stabilitas dan kebahagian keluarga,tetapi tidak berarti rendahnya tingkat ekonomi keluarga merupakan indikasi tidakbahagianya keluarga. Tingkat ekonomi hanya berpengaruh terhadap kebahagiankeluarga, apabila berada pada taraf yang sangat rendah sehingga kebutuhan dasarsaja tidak terpenuhi dan inilah nantinya akan menimbulkan konflik dalamkeluarga.c. Sikap orang tuaSikap orang tua juga berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga terutamahubungan orangtua dan anak-anaknya. Orang tua dengan sikap yang otoriter akanmembuat suasana keluarga menjadi tegang dan anak menjadi tertekan, anak tidakdiberi kebebasan untuk mengeluarkan pendapatnya, semua keputusan di tanganorangtuanya sehingga membuat remaja itu merasa tidak mempunyai peran danmerasa kurang dihargai dan kurang kasih sayang serta memandang orangtuanyatidak bijaksana. Orangtua yang permisif cenderung mendidik anak terlalu bebasdan tidak terkontrol karena apa yang dilakukan anak tidak pernah mendapatbimbingan dari orangtua. Ke dua sikap tersebut cenderung memberikan peluangyang besar untuk menjadikan anak berperilaku menyimpang, sedangkan orangtuayang bersikap demokratis dapat menjadi pendorong perkembangan anak ke arahyang lebih positif.d. Ukuran keluargaMenurut Kidwel (dalam Lilik Fauziah, 2009) dengan jumlah anak dalam satukeluarga cara orangtua mengontrol perilaku anak, menetapkan aturan, mengasuhdan perlakuan efektif orangtua terhadap anak. Keluarga yang lebih kecilmempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk memperlakukan anaknya secarademokratis dan lebih baik untuk kelekatan anak dengan orangtua.Keluarga yang harmonis merupakan keluarga yang mampu mengembangkanpotensi dan kepribadian dari masing-masing anggota keluarga secara optimal.Keluarga yang memiliki latar belakang pendidikan orang tua yang cukup baik, akanmendorong putra dan putri mereka untuk mengikuti langkah yang sama terhadaptingkah laku orang tua, pengaruh yang diterima oleh siswa baik positif dan negatif

Page 13: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 81orang tua harus memiliki sikap terhadap pengaruh dari budaya global maupunpengaruh dari lingkungan sekitar sehingga keluarga tersebut dapat saling menjagaantara orang tua dan anak mereka.“Menurut Hawari (2007: 3) berpendapat bahwa, Kehamonisan keluarga itu akanterwujud apabila masing-masing unsur dalam keluarga itu dapat berfungsi danberperan sebagaimana mestinya tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agamakita, maka interaksi sosial yang harmonis antara unsur dalam keluarga akandapat diciptakan”.Sedangkan menurut Gunarsa (2005:127) berpendapat bahwa:, Keharmonisankeluarga merupakan keadaan keluarga yang utuh dan memberikan rasa amantentram, bagi setiap anggotanya.Dari pendapat kedua tokoh tersebut sudah sangat jelas bahwa untukmewujudkan keluarga yang harmonis semua unsur dalam keluarga harus berperandengan aktif dengan memberikan norma-norma agama dan norma-norma budayayang dimiliki oleh bangsanya, untuk itulah keseimbangan dalam keluarga sangatmenentukan keharmonisan keluarga tidak hanya mengandalkan salah satu darikeluarga tetapi dilakukan dan dihadapkan secara bersama, keutuhan keluarga akanterwujud dengan baik dalam lingkungannya.Sedangkan pendapat senada pula dari Basri (2006:13) berpendapat bahwa:“Setiap orang tua bertanggung jawab juga memikirkan dan berusaha agarsenantiasa terciptakan terpelihara suatu hubungan orang tua dengan anak yangbaik, efektif dan menambah kebaikan dan keharmonisan hidup dalam keluarga,sebab telah menjadi bahan kesadaran orang tua bahwa hanya dengan hubunganyang baik kegiatan dadpat dilaksanakan dengan efektif dan dapat menunjangterciptanya kehidupan keluarga yang harmonis”.Selanjutnya Hurlock (2004;182) mengemukakan bahwa :“Anak yang hubungan perkawinan orang tuanya bahagia akan mempersepsikanrumah sebagai tempat yang membahagiakan untuk hidup karena makin sedikitmasalah yang dihadapi anak, dan sebaiknya hubungan keluarga yang buruk akanberpengaruh kepada seluruh anggota keluarga, suasana keluarga yang terciptaadalah tidak menyenangkan, sehingga anak ingin keluar dari rumah seseringmungkin karena secara emosional suasana tersebut akan mempengaruhi masing-masing anggota keluarga untuk bertengkar dengan yang lainnya”.Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa keharmonisankeluarga adalah situasi dan kondisi dalam keluarga dimana didalamnya terciptakehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling menghargai dalamanggota keluarga, saling pengertian terhadap kepentingan dan keinginan darianggota keluarga yang lain, saling terbuka terhadap semua permasalahan, salingmenjaga dan diwarnai kasih sayang dan rasa saling percaya sehingga memungkinkananak untuk tumbuh dan berkembang secara seimbang, sehingga bila nilai-nilaitersebut telah dipahami dan memahami di setiap hati anggota keluarga, maka akansemakin kuat keharmonisan keluarga.

Page 14: Vol. 1, No. 2 September 2014

82 | Hubungan Keharmonisan KeluargaKeluarga yang harmonis akan memberikan dampak yang positif terhadapperkembangan mental dan psikis siswa dalam berinovasi dan berkreasi, dimanasebuah keluarga yang harmonis menjadi dorongan yang lebih kuat dari sistemapapun yang ada di belahan dunia, karena keutuhan keluarga selalu menjadi prinsipkeberhasilan seseorang untuk mencapai cita-citanya kelak.Aspek-aspek keluarga harmonis menurut Hawari (dalam Lilik Fauziah, 2009)mengemukakan enam aspek sebagai suatu pegangan hubungan perkawinan bahagiaadalah:a. Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga.Sebuah keluarga yang harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan beragamadalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama terdapat nilai-nilaimoral dan etika kehidupan. Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwakeluarga yang tidak religius, yang penanaman komitmennya rendah atau tanpanilai agama sama sekali cenderung terjadi pertentangan konflik dan percekcokandalam keluarga, dengan suasana seperti ini maka anak akan merasa tidak betah dirumah dan kemungkinan besar, anak akan mencari lingkungan lain yang dapatmenerimanya.b. Mempunyai waktu bersama keluarga.Keluarga yang harmonis, selalu menyediakan waktu bersama keluarganya, baik ituhanya sekedar berkumpul, makan bersama, menemani anak bermain danmendengarkan masalah dan keluhan-keluhan anak, dalam kebersamaan ini anakmerasa dirinya dibutuhkan dan diperhatikan oleh orang tuanya, sehingga anakbetah tinggal di rumah.c. Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga.Komunikasi merupakan dasar bagi terciptanya keharmonisan keluarga (Mechati,dalam Lilik Fauzia, 2009) mengatakan bahwa remaja akan merasa aman apabilaorangtuanya tampak rukun, karena kerukunan tersebut akan memberikan rasaaman dan ketenangan bagi anak, komunikasi yang baik dalam keluarga juga akandapat membantu remaja untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya diluar rumah, dalam hal ini selain berperan sebagai orang tua, ibu dan ayah harusberperan sebagai teman, agar anak lebih leluasa dan terbuka dalammenyampaikan permasalahannya.d. Saling menghargai antar sesama anggota keluarga.Furhman (dalam Lilik Fauziah, 2009) mengatakan bahwa keluarga yang harmonisaalah keluarga yang memberikan tempat bagi setiap keluarga menghargaiperubahan yang terjadi dan mengajarkan keterampilan berinteraksi sedinimungkin pada anak dengan lingkungan yang lebih luas.e. Kualitas dan kuantitas konflik yang minim.Faktor lain yang tidak kalah pentingnyadalam menciptakan keharmonisan keluarga adalah kualitas dan kuantitas konflik

Page 15: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 83yang minim, jika dalam keluarga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran,maka suasana dalam keluarga tidak lagi menyenangkan. Dalam keluarga harmonis,setiap anggota keluarga berusaha menyelesaikan masalah dengan kepala dingindan mencari penyelesaian terbaik dari setiap permasalahan.f. Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga. Hubungan yangerat antar anggota keluarga juga menentukan harmonisnya sebuah keluarga,apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai hubungan yang erat, maka antaranggota keluarga tidak ada lagi rasa saling memiliki dan rasa kebersamaan akankurang. Hubungan yang erat antar anggota keluarga ini dapat diwujudkan denganadanya kebersamaan, komunikasi yang baik antar anggota keluarga dan salingmenghargai.Keenam aspek tersebut mempunyai hubungan yang erat satu dengan yanglainnya. Proses tumbuh kembang anak sangat ditentukan dari berfungsi tidaknya keenam aspek di atas, untuk menciptakan keluarga harmonis peran dan fungsi orangtuasangat menentukan, keluarga yang tidak bahagia atau tidak harmonis akanmengakibatkan presentasi anak menjadi nakal semakin tinggi (Hawari, 1997).Perkembangan Moral SiswaMenurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem PendidikanNasional dalam Pasal 3, bahwa. "Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkankemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalamrangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensipeserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang MahaEsa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab".Dari segi estimologi menurut Darmadi Hamid (2004) berpendapat: ”Perkataanmoral berasal dari bahasa latin yaitu “mores” yang berasal dari kata “mos” moresberarti adat istiadat, kelakuan tabiat, watak, akhlak, yang kemudian artinyaberkembang menjadi sebagai kebiasaan bertingkah laku yang baik, susila”.Segala hal yang berhubungan dengan etika baik dan buruk merupakan moralbaik yang diatur oleh agama maupun norma-norma budaya, sehingga manusia harusmemiliki moral semenjak dia kecil sampai dia dewasa, bila manusia tidak memilikimoral, maka pengembangan dan peningkatan kehidupan yang beradab akan musnahdari muka bumi ini karena tidak adanya pembatasan terhadap tingkah lakumanusianya yang hidup dipermukaan bumi, bila manusia tidak bermoral, makamereka akan saling membunuh seperti sifat hewan, dan tidak akan memiliki rasahormat terhadap orang lain. Sedangkan menurut W.j.s. Poerdarminto (2004:59)mengemukakan bahwa :“Moral merupakan ajaran tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan,sedang etika merupakan ilmu pengetahuan mengenai asas-asas akhlak. Dalammasyarakat Indonesia moral yang dimaksud ialah moral Pancasila”.

Page 16: Vol. 1, No. 2 September 2014

84 | Hubungan Keharmonisan KeluargaSedangkan Baron dkk (2003:72) mengatakan bahwa: Moral adalah hal-hal yangberhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.Selanjutnya oleh Magnis Suseno (1987) dalam Asri Budiningsih (2004:24) dikatakanbahwa: “Kata moral selalu mengacu pada baik buruk manusia dilihat dari segikebaikan sebagai manusia“.Moral adalah penetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Istilahmoral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan,kelakuan, sifat, dan perangai dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak, atau tidaklayak, patut atau tidak patur. Moral dalam istilah dipahami juga sebagai:a. Prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah.b. Ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik.Dari paparan di atas, cukup jelas bahwa moral harus dimiliki oleh setiapmanusia karena bila mereka tidak memiliki moral, maka manusia tersebut tidakpantas disebut sebagai manusia, maka dari pada itulah anak didik harus dibekalidengan ajaran-ajaran yang baik dari sumbernya yaitu syariat agama dan hukumnegara, agar anak kita nantinya memiliki akhlak yang mulia dan bermanfaat bagi nusadan bangsa serta agamanya, ini merupakan keinginan dari semua orang tua yangmemiliki anak.Menurut Emile Duekeim dan Bergoson (2005:126) keduanya berpendapatbahwa :“Dalam filsafat Durkeim, hubungan “yang sosial” dengan yang moral”merupakan benang merah yang selalu tampak jelas. Moralitas merupakanfakta sosial yang khas dan dalam semua bentuknya tidak hidup kecuali dalammasyarakat. Moral memiliki tiga unsur yaitu : disiplin, keterkaitan padakelompok dan otonomi kehendak manusia. Masyarakat merupakan badanyang memiliki wewenang mutlak untuk memberi arti kepada sesuatu yangpatut, yang harusnya diperbuat manusia, karena masyarakat memiliki wibawamoral, yaitu kenyataan kejiwaan, sesuatu kesadaran yang lebih luar dan lebihunggul dari pada wibawa seorang individu”.“Disiplin membuat manusia lengkap dalam kesusilaannya, di samping rasaketerkaitan pada kelompok dan kedamaian kehidupan bersama.Penilaiankejahatan didasarkan pada tidak terkacaunya suatu masyarakat dan tidakterhukumnya suatu tindakan. Mahluk moral adalah mahluk yang memiliki“kesadaran kolektif”, hal ini tidak memiliki kemampuan sebagai pribadi. Unsurketiga yaitu Otonomi kehendak manusia, mencakup pengertian moral, sangatpenting artinya sebagai proses sekularisasi dan kemajuan rasionalisme.Kecerdasan harus dipupuk: kesadaran tentang dasar-dasar dan sebab-sebabtingkah laku manusia”.Dari paparan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan masyarakat memilikiwibawa ini karena ia merupakan penyimpanan segala hal ihwal intelektual yaitubahan-bahan pembentuk peradaban bahwa dalam kehidupan haruslah disiplin agar

Page 17: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 85dapat melakukan penataan terhadap kehidupan karena dengan disiplin semua jadwalkehidupan dapat dikerjakan dan sesegera mungkin membuat kembali perencanaan,dalam kehidupan manusia harus memiliki rencana kehidupan dan pelaksanaannyaharus dilakukan dengan pertimbangan matang dan kedisiplinan dari sistem yangdibuat dengan sesuatu perencanaan awal, bilapun ada ketidakberhasilan kita harusmelakukan intropeksi diri karena kesalahan itu tidak murni dari orang lain tidakjarang kita yang melakukan kesalahan itu.Setiap manusia memiliki keterhubungan dengan manusia lain karena manusiamerupakan mahluk sosial yang masih membutuhkan bantuan orang lain untukmemenuhi kepentingan maupun kebutuhkannya, seorang petani tidak bisa menanambibit bila mereka tidak dibantu oleh alat-alat pertanian, sebuah keluargamembutuhkan beras untuk mereka makan, mereka membutuhkan petani yangmenyediakan beras tersebut begitu pula sebaliknya, pemenuhan kebutuhan imbalbalik inilah yang menetapkan bahwa manusia tidak akan terlepas dari kemampuanorang lain untuk memenuhi kebutuhannya dan kepentingannya, untuk itu, manusiadisebut sebagai mahluk sosial.Namun dari proses yang ada tersebut manusia merupakan mahluk yang otonomterhadap kehendak mereka, tidak jarang harga yang merupakan salah satu bentukperwujudan ke-otonoman dari pada rasa kehendak manusia tersebut akan berusahamemilikinya tinggal proses pemilikan barang dan jasa tersebut dengan cara-cara yangbermoral atau tidak bermoral ini yang perlu diperhatikan dalam proses interaksimasyarakat, karena bila manusia tidak dapat membendung otonomi kehendakmereka itu sangat membahayakan, seperti para raja yang berkeinginan untukmemperlebar kekuasaannya dengan mengorbankan orang lain dalam proses perangatau menjastifikasi tentang keberadaannya dalam status sosial, ini harus dihindarikarena setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama.Tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohiburg dalam (1987)mengutamakan sebagai berikut ini : Tingkat Pra-Konvensional. Dimana seseorangsangat tanggap terhadap aturan-aturan kebudayaan dan penilaian baik atau buruk,tetapi ia menafsirkan baik atau buruk ini dalam rangka masimalisasi kenikmatan atauakibat-akibat fisik dari tindakannya (hukuman fisik, penghargaan, tukar menukarkebaikan). Tingkat Pra-Konvensional terdiri dari: (i) Orientasi hukuman dankepatuhan.Pada tahap ini, baik atau buruknya suatu tindakan ditentukan oleh akibat-akibat fisik yang akan dialami, sedangkan arti atau nilai manusia tidak diperhatikan,menghindari hukuman dan kepatuhan buta terhadap penguasa dinilai baik padadirinya. (ii) Orientasi Instrumentalis, Pada tahap ini tindakan seseorang selaludiarahkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan memperalat orang lain.Hubungan antara manusia dipandang seperti hubungan dagang.Tingkat Konvensional dimana seseorang menyadari dirinya sebagai seorangindividu di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarganya,masyarakat, bangsa dinilai kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang darikelompok ini akan terisolasi, maka itu kecenderungan orang pada tahap ini adalah

Page 18: Vol. 1, No. 2 September 2014

86 | Hubungan Keharmonisan Keluargamenyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasi dirinyaterhadap kelompok sosialnya. Tingkat Konvensional terdiri dari: (i) OrientasiKerukunan atau orientasi good boy – nice girl Pada tahap ini orang berpendapatbahwa tingkah laku yang baik adalah yang menyenangkan atau menolong orang-orang lain serta diakui oleh orang-orang lain. (ii) Orientasi Ketertiban Masyarakat.Tindakan seseorang didorong oleh keinginannya untuk menjaga tertib legal. Orientasiseseorang adalah otoritas, peraturan-peraturan yang ketat dan ketertiban sosial.Tingkat paska konvesional atau tingkat otonomi. Orang bertindak sebagaisubyek hukum dengan mengatasi hukum yang ada. Orang pada tahap ini sadar bahwahukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum, makajika hukum tidak sesuai dengan martabat manusia, hukum dapat dirumuskankembali.Tingkat paska Konvensional atau tingkat otonomi terdiri dari : (i) OrientasiKontrak sosial. Tindakan yang benar pada tahap ini cenderung ditafsikan sebagaitindakan yang sesuai dengan kesepakatan umum. Dengan demikian orang inimenyadari relativitas nilai-nilai pribadi dan pendapat pribadi. (ii) Orientasi prinsipetis universalPada tahap ini orang tidak hanya memandang dirinya sebagai subyek hukum,tetapi juga sebagai pribadi yang harus dihormati.Dalam kehidupan rumah tangga antara suami dan istri dituntut adanyahubungan yang baik dalam arti diperlukan suatu harmonis yaitu dengan menciptakansaling pengertian, saling menjaga, saling menghargai, dan saling memenuhikebutuhan masing-masing.Apabila suami istri melupakan tugas sebagaimana disebut di atas, maka akanterjadi kesenjangan hubungan. Kesenjangan hubungan dapat mengakibatkan“timbulnya” berbagai masalah yang dapat mengakibatkan kesalahpahaman,perselisihan dan ketegangan hidup berumah tangga.Oleh karena itu antara suami istri harus selalu menjaga keserasian, keselarasan,serta keseimbangan hubungan baik secara lahir maupun batin. Meskipun secara lahirbukan merupakan faktor utama yang menentukan kebahagiaan keluarga, namunhubungan suami istri yang secara lahir kurang harmonis akan mampu menggagalkanupaya dan cita-cita mewujudkan keluarga bahagia sejahtera akan mempengaruhisifat atau moral anak, anak akan merasa minder dan maju dikarenakan merasakehilangan kasih sayang yang didambakan dari orang tuanya. Keluarga yangmengalami apa yang dinamakan disfungsi keluarga yaitu keluarga yang mengalamigangguan dalam keutuhannya seperti perceraian, dan hubungan orang tua yang tidakbaik sering bertengkar dll.Demikian jika rumah tangga dibangun atas dasar kasih sayang penuh denganketenangan dan ketenteraman lahir dan batin, maka anak-anak akan tumbuh dalamsuasana yang bahagia, penuh kepercayaan, ketenteraman, kasih sayang jauh dari“perang panas” dan “perang dingin”. Hal ini akan membina pribadinya yang kuat yang

Page 19: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 87percaya pada dirinya sendiri, jauh dari penyakit kejiwaan. Dengan demikian orangtua harus pandai dan bisa memberi arahan yang baik untuk anak agar bisa bergauldan tidak terjerumus pada perbuatannya yang nista.Hipotesis PenelitianMenurut Sugiono, Hipotesis “adalah jawaban sementara terhadap rumusanmasalah penelitian”. Dari paparan Sugino tersebut menerangkan bahwa hipotesismerupakan jawaban dan dugaan sementara terhadap tema atau permasalahan yangtimbul sehingga jawaban dan dugaan sementara tersebut masih bisa bersifat salahatau benar.Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap pertanyaan penelitian. Olehkarena itu perumusan hipotesis sangat berbeda dari perumusan pertanyaanpenelitian. Azwar, (2007:45).Adapun hipotesis yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah :

“Adakah hubungan keharmonisan keluarga dengan perkembangan moralsiswa kelas IV dan V MI Darul Falah Ngrangkok Klampisan KandanganKediri”.

Page 20: Vol. 1, No. 2 September 2014

88 | Hubungan Keharmonisan KeluargaMetode PenelitianSubjek Subjek penelitian ini adalah seluruh populasi siswa kelas IV dan V MIDarul Falah Ngrangkok Klampisan Kandangan Kediri. Desain Penelitian inimenggunakan metode studi populasi, dimana menurut S. Margono (2003:118)populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian kita dalam suatu ruang lingkupdan waktu yang kita tentukan.Populasi adalah Keseluruhan Subyek penelitian (Suharsini Arikunto, 1998; 99)Apabila subyek atau populasinya kurang dari 100 lebih baik diambil semua, sehinggapenelitiannya merupakan penelitian populasi, sedangkan apabila subyeknya lebihdari 100 diambil antara 10-15 % atau 20-25% atau lebih.Dari pendapat para ahli di atas bahwa penelitian ini merupakan penelitianpopulasi karena responden yang sedikit dan mengambil seluruh populasi siswa kelasIV dan V MI Darul Falah Ngrangkok Klampisan Kandangan Kediri. yang berjumlah 47siswa semuanya dijadikan subyek penelitian.Variabel dan IndikatorVariabel dan indikator merupakan bagian daei penelitian yang berbasiskuantitatif. Adapun variabel dalam penelitian ini menggunakan indikator-indikatorsebagai berikut:a. Variabel independent (keharmonisan keluarga) yaitu : saling rukun, salingperhatian, saling membantu, berkomunikasi antara anggota keluarga danterciptanya suasana yang agamis. (Drs. Hj. Mufidah Ch, M.Ag, 2008),b. Variabel dependent (perkembangan moral siswa) yaitu : benar dan salah; baik danburuk; sikap patut & tidak patut; perasaan dan kemauan; emosi (PMP, 1994).Penggalian dan Analisis DataData diukumpulkan dengan metode angket dan dokumentasi. Terdapat duajenis angket, yakni skala keharmonisan keluarga dan perkembangan moral siswamenggunakan skala Likert. Pengujian hipotesis dilakukan dengan teknik analisisdengan menggunakan koefisien korelasi product moment dari Karl Pearson.Hasil PenelitianHasil perhitungan analisis korelasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Hasil Perhitungan r hitung dan r tabelN r hitung r tabel 5% r tabel 1%47 0,99 0,396 0,505

Page 21: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 89Hasil analisis di atas didapatkan bahwa r hitung = 0,99 > r tabel 5% = 0,396 danr hitung = 0,99 > r tabel 1% = 0,505. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis diterimaartinya ada korelasi yang sangat signifikan antara keharmonisan keluarga denganperkembangan moral siswa.PembahasanPada penelitian ini diperoleh hasil bahwa antara keharmonisan keluargadengan perkembangan moral siswa dengan hasil sangat signifikan yaitu nilai r hitungsebesar 0,99, sehingga dapat disimpulkan ada hubungan sangat signifikan antarakeharmonisan keluarga dengan perkembangan moral siswa, maka dengan demikianhipotesis kerja diterima, yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antarakeharmonisan keluarga dengan perkembangan moral siswa diterima.Hasil penelitian ini memperkuat pendapat Abu Ahmadi Uhbiyat (2003: 176-178) keduanya berpendapat bahwa :“Keluarga adalah bentuk masyarakat kecil yang terdiri dari beberapaindividu yang terkait dalam suatu keturunan yakni kesatuan antara ayah,ibu dan anak yang kesatuan kecil dari bentuk-bentuk kesatuanmasyarakat. Dan keluarga adalah merupakan lembaga pendidikanpertama dan utama dalam masyarakat karena dalam keluargalah manusiadilahirkan dan berkembang menjadi dewasa, kebiasaan orang tua berbuatsusila akan membentuk kepribadian yang susila pula pada anak.Pembentukan kebiasaan yang demikian ini menunjukkan bahwa keluargaberperan penting, karena kebiasaan dari kecil itu akan diperbuatnyadimana dewasa tanpa rasa berat. Peniruan kebiasaan dalam keluarga akanterjadi setiap saat, karena keluarga adalah merupakan ajang dimana sifat-sifat kepribadian anak terbentuk mulai pertama, maka dapatlah dengantegas dikatkan bahwa keluarga sebagai alam pendidikan pertama”.Lembaga pendidikan dalam pengertian masyarakat adalah sekolah, pondokpesantren, lembaga kursus dan lain-lain, namun pengertian tersebut adalah kurangtepat karena keluargalah yang merupakan lembaga pendidikan pertama bagi setiapanak, dimana pengarahan terhadap norma-norma masyarakat dan nilai-nilaikeagamaan pertama kali dikenalkan oleh kedua orang tua dan disempurnakan olehlembaga pendidikan dengan mensistematisasikan sistem pendidikan denganmengacu pada standarisasi pendidikan nasional.Peranan kedua orang tua dalam pendidikan anak asuh diawali semenjak anaktersebut lahir dengan adanya batasan-batasan terhadap tingkah laku anak bilamereka melakukan kesalahan dan memberikan sanksi, namun tidak jarang orang tuamelakukan pendiskriminasian, dan intimidasi serta kekerasan terhadap anak, bilakeharmonisan dalam keluarga terganggu, maka yang akan lahir tindakan yang tidakmendidik anak, sehingga anak mengalami trauma terhadap perlakuan orang tuamereka yang akan berdampak pada penurunan daya tangkap terhadap lingkungan

Page 22: Vol. 1, No. 2 September 2014

90 | Hubungan Keharmonisan Keluargasosial dan budaya, untuk antisipasinya adalah perlu adanya mekanisme penyuluhandan penegasan hukum bagi orang tua lebih memperhatikan dan menghargai anakmereka, dengan demikian tindak kekerasan dan penyimpangan dalam keluarga dapatditekan.Dengan demikian jika keharmonisan keluarga semakin harmonis, maka akansemakin baik pula perkembangan moral siswa, demikian sebaliknya.Keharharmonisan keluarga menurut Ali Qaimimi (2000:14-15) mengemukakantentang hal tersebut yaitu sebagai berikut:“Dalam setiap masyarakat berdasarkan standard dan paradigma rumahtangga terbagi menjadi dua bagian : pertama rumah tangga yang harmonisdan seimbang dan, rumah tangga yang tidak harmonis atau rumah tanggayang mengalami guncangan. Rumah tangga harmonis adalah rumahtangga yang senantiasa memelihara janji suci kedua pasangan yangberlandaskan tuntutan agama. Dalam melaksanakan kehidupannya.Sepasang suami istri berdiri pada batasan mereka masing-masing danberdasarkan hak-hak yang telah ditentukan.Sebaliknya rumah tangga yang tidak harmonis adalah rumah tangga yangtak menghargai dan tidak menghormati peraturan dan ketentuan yangdatang dari agamanya. Dengan demikian, rumah tangga ini takkanmemperoleh dan merasakan ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan,baik dari sisi jasmani maupun rohani ”.Ada beberapa faktor keluarga yang harmonis sebagaimana diungkapkan olehDrs. Hj. Mufidah Ch, M. Ag. (2008) berpendapat :a. Proses Keterbukaan antara pasangan dalam keluarga yaitu ayah ibu dan anak.b. Adanya kesepakatan antara Ayah, Ibu dan anak, tentang segala hal yang harusdijalankan untuk meningkatkan kedisiplinan dalam keluarga.c. Cara mendidik anak yang penuh kasih sayang bukan kekerasan.d. Meningkatkan volume interaksi dengan keluarga (sering kumpul, memberiinformasi, rekreasi dll).Sedangkan faktor-faktor keharmonisan keluarga menurut Hurlock (dalam LilikFauziah, 2009) yang menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhikeharmonisan keluarga sebagai berikut:a. Komunikasi InterpersonalKomunikasi interpersonal merupakan faktor yang sangat mempengaruhikeharmonisan keluarga karena komunikasi akan menjadikan seseorang mampumengemukakan pendapat dan pandangannya, sehingga mudah untuk memahamiorang lain dan sebaliknya tanpa adanya komunikasi kemungkinan besar dapatmenyebabkan kesalahpahaman yang memicu terjadinya konflik.

Page 23: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 91b. Tingkat ekonomi keluargaMenurut beberapa penelitian, tingkat ekonomi keluarga juga merupakan salahsatu faktor yang menentukan keharmonisan keluarga. Jorgensen (dalam LilikFauziah, 2009) menemukan dalam penelitiannya bahwa semakin tinggi sumberekonomi keluarga akan mendukung tingginya stabilitas dan kebahagian keluarga,tetapi tidak berarti rendahnya tingkat ekonomi keluarga merupakan indikasitidak bahagianya keluarga. Tingkat ekonomi hanya berpengaruh terhadapkebahagian keluarga, apabila berada pada taraf yang sangat rendah sehinggakebutuhan dasar saja tidak terpenuhi dan inilah nantinya akan menimbulkankonflik dalam keluarga.c. Sikap orang tuaSikap orang tua juga berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga terutamahubungan orangtua dan anak-anaknya. Orang tua dengan sikap yang otoriter akanmembuat suasana keluarga menjadi tegang dan anak menjadi tertekan, anak tidakdiberi kebebasan untuk mengeluarkan pendapatnya, semua keputusan di tanganorangtuanya sehingga membuat remaja itu merasa tidak mempunyai peran danmerasa kurang dihargai dan kurang kasih sayang serta memandang orangtuanyatidak bijaksana. Orangtua yang permisif cenderung mendidik anak terlalu bebasdan tidak terkontrol karena apa yang dilakukan anak tidak pernah mendapatbimbingan dari orangtua. Ke dua sikap tersebut cenderung memberikan peluangyang besar untuk menjadikan anak berperilaku menyimpang, sedangkan orangtuayang bersikap demokratis dapat menjadi pendorong perkembangan anak ke arahyang lebih positif.d. Ukuran keluargaMenurut Kidwel (dalam Lilik Fauziah, 2009) dengan jumlah anak dalam satukeluarga cara orangtua mengontrol perilaku anak, menetapkan aturan, mengasuhdan perlakuan efektif orangtua terhadap anak. Keluarga yang lebih kecilmempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk memperlakukan anaknyasecara demokratis dan lebih baik untuk kelekatan anak dengan orangtua.Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keharmonisan keluargasemakin harmonis, maka akan semakin baik pula perkembangan moral siswa,demikian sebaliknya.SimpulanSesuai dengan tujuan penelitian ini dan berdasarkan analisis dan pembahasanmaka dapat disimpulkan:1. Ada hubungan sangat signifikan antara keharmonisan keluarga denganperkembangan moral siswa di MI Darul Falah Ngrangkok Klampisan KandanganKediri. Hal ini ditunjukkan berdasarkan hasil r hitung=0,99>r tabel 5%=0,396 dan

r hitung=0,99>r tabel 1%=0,505.

Page 24: Vol. 1, No. 2 September 2014

92 | Hubungan Keharmonisan KeluargaDaftar Pustaka

Ahmadi, Abu. 2003, Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta, JakartaAl-Basyir, Abddurrahim. 2010. Peran Keluarga Bagi Pertumbuhan Anak, Almawaddah,Gresik, Jawa Timur.Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, RinekaCipta, Jakarta.Azwar, Saifuddin, 2007, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.Budiningsih. 2004. Pembelajaran Moral, Rineka Cipta, JakartaCh, Mufidah. 2008. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, UIN Malang, JawaTimur.Drajat, Zakiah. 2006. Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Putera, Jakarta.Durkheim, Emile, dan Bergson Henri. 2002. Moral dan Religi, Kanisius, BandungFarid, Muhammad. 2009. Psikologi Perkembangan, Mata Kuliah Semester II, Jombang.Fauziah, Lilik. 2009. Peran Keharmonisan Keluarga dan Pendidikan Agama TerhadapPencegahan Kenakalan Remaja, Tesis (tidak diterbitkan), Jombang : ProgramPasca Sarjana, Magister Studi Islam UNDAR.Hadi, Sutrisno. 2005. Metode Research, Andi Offset, Yogyakarta.Hamid, Darmadi. 2004. Dasar Konsep Pendidikan Moral, Beta Bandung, BandungHasan, Maimunah. 2000. Rumah Tangga Muslim, Bintang Cemerlang, Yogyakarta.Hawari, Dadang. 1997. Al Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Mental, DanaBakti Yasa, Jakarta.Pamungkas, Anang. 2006. Ummi Ciumlah Surgamu, Cara Berkah Mendidik Anak, Arina.Ridjal, Tadjoel. 2010. Psikologi Agama, Materi Kuliah Semester IV, Jombang.Romly, Arif. 2004. Kuliah Akhlaq Tasawuf I, Jombang, BMT. Muamalah Tebuireng.Singarimbun, Masri, dan Effendi, Sofian. 2005. Metode Penelitian Survei, LP3S, Jakarta.Sugiono. 2001. Metode Penelitian, Alfabeta, BandungSuharnan. 2009. Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Mata Kuliah Semester II,Jombang.

www,harianhaluan.com

www.dakwatuna.com

www.jendelaanakku.net

www.kurniawan.staff.uii.ac.id /

Page 25: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 93

www.mamahebat.wordpress.com/2011/01/05/membentuk-kemandirian-anak/

www.masalahkeluarga.wordpress.com/

www.wanitaimpian.com/tag/perkembangan-moral-anak/

Page 26: Vol. 1, No. 2 September 2014

94

ANALISIS IMPLEMENTASI KURIKULUM TINGKATSATUAN PENDIDIKAN (KTSP) DI SEKOLAH DASAR

NEGERI PISANG CANDI 1 MALANG

YULI ANI SETYO DEWI1E-mail: [email protected]

AbstractThis study uses a qualitative descriptive method. Data collection used in theresearch is observation, interviewing, and documentation. The focus of theresearch in collecting and analysing the data about the implementation of KTSPin The State Elementary School Pisang Candi 1 Malang .The data analysis statesthat the implementation of the curriculum is divided to two stages which are theimplementation of school and class levels. Some supporting factors in theimplementation of KTSP in The State Elementary School Pisang Candi 1 are theinfrastructure of permanent buildings and good condition of the classrooms, theteachers who teach professionally with alot of teaching experiences and also theprincipal always gives moral support to the teachers which is motivation toincrease the human resource. The preventing factors in the implementation inKTSP in The State Elementary School Pisang Candi 1 Malang are that the teachersare still lacking of understanding about KTSP and the minimum facility of theteaching media. And also the school committee which is lack of understanding inthe development of KTSP.Key Words: Implementation, KTSP.

1 Dosen Tetap STITNU Al Hikmah Mojokerto

Page 27: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 95

PendahuluanMembicarakan kurikulum dalam tataran teoritis dan praktis adalah sebuahdiscourse yang sangat panjang dan akan menemui banyak persoalan karena sifat darikurikulum itu sendiri yang sangat fleksibel dan dinamis sehingga sangat terbukakemungkinan untuk mendiskusikannya dalam berbagai aspek dan perspektif baikditinjau dari filosofis, sosial budaya, ilmu pengetahuan teknologi, ideologis politis,organisatoris.Dalam perkembangannya sebagai sebuah displin ilmu para ahli pendidikantidak pernah henti-hentinya menghasilkan berbagai rumusan, konsep tentangkurikulum dan dari waktu ke waktu defenisi, tujuan, landasan, rumusan kurikulumselalu mengalami perkembangan yang tujuannya adalah untuk peningkatan kualitaspeserta didik yang disesuaikan dengan berbagai tuntutan dan kebutuhan denganmenjadikan kurikulum sebagai alat/sarana untuk mencapainya.Secara umum kajian-kajian tentang kurikulum terdiri dari tiga hal pokok yaituperencanaan kurikulum, pelaksanaan/implementasi kurikulum dan evaluasikurikulum, tiga aspek utama ini selalu menjadi topik-topik menarik menarik yangdibahas baik dalam kesempatan diskusi, seminar, penelitian yang menghasilkantemuan-temuan baru untuk memperkaya konsep kurikulum. implementasikurikulum juga sejalan dengan perencanaan kurikulum mengalami perubahansebanyak tujuh kali karena kurikulum yang diimplementasikan adalah kurikulumyang telah direncanakan, implementasi kurikulum intinya adalah pelaksanaan prosesbelajar mengajar itu sendiri yang didalamnya terdapat rencana pembelajaran, silabus,materi, media dan sumber belajar, strategi pembelajaran dan evaluasi, akselerasiyang cukup tinggi pada wilayah implementasi terjadi padastrategi/metode/pendekatan/model pembelajaran baik yang ditinjau dari sisi gurumaupun ditinjau dari sisi siswanya. Arends (2008; 261-321) mengidentifikasisetidaknya terdapat tiga model pengajaran interaktif yang berpusat pada guru yaitu(1) presentasi atau penjelasan (2) pengajaran langsung (3) pengajaran konsep,sedangkan model pengejaran interaktif yang berpusat pada siswa terdiri atas (1)cooperatif learning (2) problem based learning (3) diskusi kelas, Print (1988;164)mencatat setidaknya tujuh strategi belajar yang dapat dipergunakan dalam aktifitasbelajar yaitu: (1) strategi ekspositori yaitu sebuah strategi yang memperlihatkanarus informasi berlangsung dari sumber belajar kepada siswa, (2) strategi interaktifyaitu strategi yang menghendaki adanya pertukaran antara sumber belajar dengansiswa, (3) strategi small group teaching yaitu strategi yang menitikberatkan padapartisipasi kelompok, (4) strategi inquiry teaching yaitu strategi yang melibatkansiswa dalam pemecahan masalah, (5) strategi individualisation yaitu strategi denganmelihat kemampuan siswa dalam menyelesaikan tugas yang disesuaikan dengantingkat kemampuannya, (6) strategi models of reality yaitu strategi yangmenyertakan siswa dalam replikasi pada dunia nyata, (7) Strategi model Reality yaitustrategi yang menyertakan siswa, institusi di luar pendidikan dan sejumlahpengalaman belajar.

Page 28: Vol. 1, No. 2 September 2014

96 | Analisis Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)Cham Sam (2005: 99) menegaskan bahwa “Mutu pendidikan merupakankonsekwensi langsung dari perubahan dan perkembangan berbagai aspek kehidupanmanusia serta untuk mewujudkan manusia yang cerdas dan berkehidupan damai,terbuka di era globalisasi. Oleh sebab itu pembenahan dan penyempurnaan kinerjapendidikan menjadi hal pokok terutama terhadap aspek substansi yangmendukungnya yaitu Kurikulum.”Dalam pendidikan, berbagai analisis menunjukan bahwa pendidikan nasionaldewasa ini sedang dihadapkan pada berbagai krisis yang perlu mendapatpenanganan secepatnya, diantaranya berkaitan dengan masalah relevansi, ataukesesuaian antara pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan.Dalam kerangka inilah pemerintah menggagas KTSP, sebagai tindak lanjut kebijakanpendidikan dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi. KTSP merupakankurikulum operasional yang pengembangannya diserahkan kepada daerah dansatuan pendidikan. Dengan demikian, melalui KTSP ini pemerintah berharap jurangpemisah yang semakin menganga antara pendidikan dan pembangunan, sertakebutuhan dunia kerja dapat segera teratasi (Mulyasa, 2006:16).KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dikembangkan oleh setiapkelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinaspendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasardan provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada S1dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun olehBSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah atau madrasah. Beberapahal yang perlu dipahami dalam kaitannya dengan Kurikulum Tingkat SatuanPendidikan (KTSP) adalah sebagai berikut:1. KTSP dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi dankarakteristik daerah, serta sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik.2. Sekolah dan komite sekolah mengembangkan kurikilum tingkat satuanpendidikan dan sibusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standarkompetensi lulusan, di bawah supervise dinas pendidikan kabupaten/kota, dandepartemen agama yang bertanggung jawab di bidang pendidikan.Desentralisasi pendidikan menempatkan sekolah sebagai garis depan dalamberperilaku untuk mengelola pendidikan. Desentralisasi juga memberikan apresiasiterhadap perbedaan kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah danrakyatnya. Perubahan paradigma sistem pendidikan membutuhkan masa transisi.Reformasi pendidikan merupakan realitas yang harus dilaksanakan, sehinggadiharapkan para pelaku maupun penyelenggara pendidikan harus proaktif, kritis, danmau berubah.Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang dirancang oleh masing-masingsatuan pendidikan ditujukan untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdasdalam rangka bertahan hidup menghadapi perubahan tantangan dan ketidakpastiandengan harapan agar dapat memberikan dasar-dasar hidup pengetahuan,

Page 29: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 97keterampilan, pengalaman belajar yang dapat membangun integritas social sertamewujudkan karakter nasional.Selanjutnya Mulyasa (2007: 8-9) mengemukakan bahwa “Guru memilikiperanan yang sangat strategis dalam menentukan keberhasilan pendidikan danmeningkatkan kualitas pembelajaran, serta membentuk peserta didik”. KehadiranKTSP diharapkan dapat memberikan angin segar bagi perkembangan sekolah danperkembangan iklim akademis. Semangat KTSP sejalan dengan kebutuhan dantantangan perkembangan di era reformasi. Namun, tidak sedikit pula kendala yangdapat menghadang terlaksananya KTSP.Asumsinya, KTSP akan berkembang ditangan satuan pendidikan yang memilikisumberdaya manusia yang memadai. Pengembangan silabus bukanlah hal yangmudah, jika tidak boleh dikatakan amat sulit bagi guru. Untuk sekedar dapatmengembangkan silabus bermutu dibutuhkan penguasaan materi dan kemampuanpedagogi yang tinggi dan juga waktu. Selain pengembangan KTSP merupakan halbaru bagi guru, kesulitan lain pengembangan KTSP adalah karena rendahnya kualitasguru. Guru selama ini berperan sebagai pelaksana kurikulum sehingga tak mudahmengubah paradigma berpikir guru sebagai pelaksana kurikulum menjadipengembang sekaligus pelaksana kurikulum.Berdasarkan hasil penelitian Khusniatul laely tentang implementasi KTSP diSMP Negeri 3 Bantur, ditemukan bahwa partisipasi guru masih kurang maksimal.Guru tidak mengembangkan sendiri Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi daripusat, tetapi guru merevisi sebagian saja kurikulum contoh dari Dinas Pendidikan.Ridwan (2009) dalam penelitiannya berjudul “Kesiapan Sekolah Dasar DalamMelaksanakan KTSP di Kecamatan Kadur Kabupaten Madura” menyimpulkan bahwapemahaman konsep KTSP guru dan kepala sekolah sangat beragam. Hanya satuseorang kepala sekolah yang paham tentang konsep KTSP. Hal itu disebabkan adanyapemahaman yang berbeda ketika mengikuti proses sosialisasi serta kurangnyareferensi yang memadai untuk dipelajari olen guru dan kepala sekolah. Selanjutnyadalam penelitian tersebut disebutkan juga bahwa kelengkapan sarana dan prasaranayang kurang memadai dan juga masyarakat yang diwakili oleh komite sekolah kurangaktif dalam proses penyusunan KTSP, karena masyarakat lebih memasrahkan padasekolah karena kurang mengertinya terhadap seluk beluk pengembangan kurikulum.Untuk itu, diperlukan kepala sekolah maupun guru untuk bisa memahami dalampelaksanaan KTSP sehingga berdampak terhadap proses belajar mengajar yang baikdan bisa menghasilkan output yang baik pula.Hasil observasi awal yang telah penulis lakukan di Sekolah Dasar Negeri PisangCandi 1 Malang menunjukkan bahwa setiap tahunnya ada siswa yang tidak naik disetiap kelas yang ada, dan ada beberapa kelas yang lebih dari lima siswa tidak naik.Bahkan di sekolah ini juga rendah dalam bidang prestasi.Untuk mengetahui kesiapan dalam melaksanakan KTSP khususnya yangmenyangkut pemahaman konsep, sarana dan prasarana, dan bagaimana proses

Page 30: Vol. 1, No. 2 September 2014

98 | Analisis Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)penyusunan proses KTSP pada Sekolah Dasar Negeri Pisang Candi 1 Malang, makadiperlukan data dan fakta yang konkrit dan valid. Untuk itu perlu diadakan penelitianyang menyeluruh dan komprehensip tentang pelaksanaan KTSP.Dalam sistem pendidikan nasional, dinyatakan bahwa kurikulum adalahseperangkat rencana dan pengaturan isi dan lahan pelajaran serta cara yangdigunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. MenurutHamalik (2006:13) rumusan ini lebih spesifik yang mengandung pokok-pokokpikiran, sebagai berikut:1. Kurikulum merupakan suatu rencana atau perencanaan.2. Kurikulum merupakan pengaturan, berarti mempunyai sistematika dan strukturtertentu.3. Kurikulum memuat/berisikan isi dan bahan pelajaran, menunjuk kepadaperangkat mata ajaran atau bidang pengajaran tertentu.4. Kurikulum mengandung cara, atau metode atau strategi penyampaianpengajaran.5. Kurikulum merupakan pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.6. Kendatipun tidak tertulis, namun telah tersirat di dalam kurikulum, yaknikurikulum dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan.7. Berdasarkan butir 6, maka kurikulum sebenarnya adalah suatu alat pendidikan.Perekayasaan kurikulum yang dilaksanakan dalam situasi nyata di sekolahberlangsung melalui tiga proses, yakni: konstruksi kurikulum, pengembangankurikulum, dan implementasi kurikulum. Kostruksi kurikulum adalah prosespembuatan keputusan keputusan yang menentukan hakikat dan rancangankurikulum. Pengembangan kurikulum adalah prosedur pelaksanaan pembuatankonstruksi kurikulum, dan implementasi kurikulum adalah proses pelaksanaankurikulum yang dihasilkan oleh konstruksi dan pengembangan kurikulum.Berbagai dimensi implementasi kurikulum yang penting untuk dicermati adalahmateri kurikulum, struktur organisasi kurikulum, peranan atau perilaku,pengetahuan, dan internalisasi nilai. Keberhasilan implementasi terutama ditentukanoleh aspek perencanaan dan strategi implementasinya. Pada prinsipnya,implementasi ini mengintegrasikan aspek-aspek filosofis, tujuan, subject matter,strategi mengajar dan kegiatan belajar, serta evaluasi dan flashback.Sebuah kurikulum yang telah dikembangkan tidak akan berarti (menjadikenyataan) jika tidak diimplementasikan, dalam artian digunakan secara actual disekolah dan di kelas. Dalam implementasi ini, tentu saja harus diupayakanpenanganan terhadap pengaruh factor-faktor tertentu, misalnya kesiapan sumberdaya, factor budaya masyarakat dan lain-lain.Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanSaat ini sejumlah pembaruan sedang digulirkan dalam rangka peningkatanmutu pendidikan. Fokus pembaruan pendidikan nasional diletakkan pada tingkatsekolah karena disadari bahwa sekolah merupakan garden terdepan dalam

Page 31: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 99peningkatan mutu pendidikan adalah sekolah yang paling tahu permasalahanpendidikan yang dihadapi, yang paling tahu kebutuhannya, dan yang paling tahukemampuan yang diperlukan untuk menjalankan proses pendidikan.Pendidikan merupakan bagian penting dari proses pembangunan nasional yangikut menentukan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pendidikan juga merupakaninvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia, dimana peningkatankecakapan dan kemampuan diyakini sebagai factor pendukung upaya manusia dalammengarungi kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian. Dalam kerangka inilahpendidikan diperlukan dan dipandang sebagai kebutuhan dasar bagi masyarakatyang ingin maju, demikian halnya bagi masyarakat Indonesia yang memiliki wilayahyang sangat luas (Mulyasa,2002:5).Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan prasarat mutlak untukmencapai tujuan pembangunan. Salah satu wahana untuk meningkatkan kualitasSDM tersebut adalah pendidikan sehingga kualitas pendidikan hrus senantiasaditingkatkan. Sebagai faktor penentu keberhasilan pembangunan, pada tempatnyalahkualitas SDM ditingkatkan melalui berbagai program pendidikan yang dilaksanakansecara sistematis dan terarah berdasarkan kepentingan yang mengacu pada kemajunilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan dilandasi oleh keimanan dan ketakwaan(Imtak).Pengertian Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanSebelum lebih jauh membicarakan kurikulum, telebih dahulu kita perlumemahami apa yang dimaksud dengan kurikulum. Setiap orang, kelompokmasyarakat, atau bahkan ahli pendidikan dapat mempunyai penafsiran yang berbedatentang pengertian kurikulum. Berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh banyakahli, dapat disimpulkan bahwa pengertian kurikulum dapat ditinjau dari dua sisi yangberbeda, yakni menurut pandangan lama dan pandangan baru. Pandangan lama, atausering juga disebut pandangan tradisional, merumuskan bahwa kurikulum adalahsejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh murid untuk memperoleh ijazah(Hamalik : 2007:3).Sebagai perbandingan, ada baiknya kita kutip pula pendapat lain, seperti yangdikemukakan oleh Romine (1954). Pandangan ini dapat digolongkan sebagaipendapat yang baru (modern), yang dirumuskan sebagai berikut:“Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, andexperiences which pupils have under direction of the school, wheter in the classroom ornot”. Kurikulum adalah komponen yang penting dan merupakan alat pendidikanyang sangat vital dalam kerangka system pendidikan nasional. Itu sebabnya, setiapinstitusi pendidikan, baik formal maupun nonformal, harus memiliki kurikulum yangsesuai dan serasi, tepat guna dengan kedudukan, fungsi dan peranan serta tujuanlembaga tersebut (Hamalik: 2006:1).

Page 32: Vol. 1, No. 2 September 2014

100 | Analisis Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)Dari beberapa pengertian kurikulum di atas dapat dilihat betapa pentingnya artikurikulum dalam pendidikan. Kurikulum merupakan suatu acuan dalam perencanaandan pelaksanaan pendidikan disemua tingkatan, baik pendidikan formal maupun nonformal. Ibarat manusia kurikulum adalah otaknya, yang menggerakkan semuaanggota badan untuk mewujudkan keingankan.Sejalan dengan berjalannya waktu maka kurikulum terus menerus mengalamibeberapa pembaruan agar dapat mengikuti perkembangan jaman, apalagi dalamrangka menyongsong era global. Pada era global diharpkan siswa mampu bersaingdengan Negara lain. Pada saat mereka lulus sekolah ilmu yang didapatnya benar-benar langsung dapat digunakan dan tidak ketinggalan jaman. Hal inilah yangmenjadi sebab munculnya kurikulum baru yang disebut KTSP.Pendidikan harus terus menerus melakukan adaptasi dan penyesuaian dengangerak perkembangan ilmu pengetahuan modern dan inovasi teknologi maju, sehinggatetap relevan dan konstektual dengan perubahan jaman, Pendidikan bertugas untukmenyiapkan peserta didik agar dapat mencapai peradapan yang maju melaluiperwujudan suasana belajar yang kondusif, aktivitas pembelajaran yantg menarikdan mencerahkan, serta proses pendidikan yang kreatif. Dengan demikian, pesertadidik dapat belajar secara terus menerus agar beriman dan bertakwa serta berakhlakmulia, mampu menggali ilmu pengetahuan dan menguasai teknologi, memiliki etikadan kepribadian tangguh, dan kaya ekspresi estetika dalam merespon perubahan danperkembangan masyarakat dalam perspektif persaingan global, tanpa kehilangan jatidiri sebagai bangsa yang berdaulat (Renstra Depdiknas;11).Percepatan arus informasi dalam era globalisasi dewasa ini menuntut semuabidang kehidupan untuk menyesuaikan visi, misi, tujuan, dan strateginya agar sesuaidengan kebutuhan, dan tidak ketinggalan jaman. Penyesuaian tersebut secaralangsung mengubah tatanan dalam system makro, meso, maupun mikro, demikinhlnya dalam system pendidikan. Sistem pendidikan nasional senantiasa harusdikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi baikditingkat local, nasional, maupun global.Salah satu komponen penting dari system pendidikan tersebut adalahkurikulum, karena kurikulum merupakan komponen pendidikan yang dijadikanacuan oleh setiap satuan pendidikan, baik oleh pengelola maupun penyelenggara,khususnya oleh guru dan kepala sekolah. Dalam era otonomi dan desentralisasi,system pendidikan nasional dituntut untuk melakukan berbagai perubahan,penyesuaian, dan pembaharuan dalam rangka mewujudkan pendidikan yang otonomdan demokratis, yang member perhatian pada keberagaman dan mendorongpartisipasi masyarakat, tanpa kehilangan wawasan nasional.Dalam konteks ini, pemerintah bersama dengan DPR-RI telah menyusun UU No.20/2003 tentang system Pendidikan Nasional sebagai perwujudan tekad dalammelakukan reformasi pendidikan untuk menjawab berbagai tantangan dalamkehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara di era persaingan global (RenstraDepdiknas;18).

Page 33: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 101KTSP merupakan upaya untuk menyempurnakan kurikulum agar lebih familierdengan guru, karena mereka banyak dilibatkan diharapkan memiliki tanggungjawabyang lebih memadai. Penyempurnaan kurikulum yang berkelanjutan merupakankeharusan agar system pendidikan nasional selalu relevan dan kompetitif. Haltersebut juga sejalan dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sikdinaspasal 35 dan 36 yang menekankan perlunya peningkatan standar nasionalpendidikan sebagai acuan kurikulum secara berencana dan berkala dalam rangkamewujudkan tujuan pendidikan nasional.KTSP merupakan singkatan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yangdikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah,karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristikpeserta didik. Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah,mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus berdasarkankerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi kelulusan, dibawah supervisedinas kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang pendidikan SD, SMP, SMAdan SMK, serta departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agamauntuk MI, MTs, MA, dan MAK (Mulyasa,E: 2006;8).Pengertian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tersebut mengisyaratkanbahwa dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan, satuan pendidikanmempunyai hak untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kondisi sekolah.Kelemahan dan kekuatan masing-masing sekolah hendaknya dapat menjadi sebuahpeluang dalam pengembangan pendidikan sesuai potensi daerah.Tujuan Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanSebagai program pendidikan yang telah direncanakanis sifat dari masyarakatdan kebudayaan, dengan sekolah sebagai institusi social dalam melaksanakanoperasinya, maka dapat ditentukan paling tidak tiga peranan kurikulum yang sangatpenting, yakni peranan konservatif, peranan kritis atau evaluatif dan peranan kreatif.Ketiga peranan ini sama penting dan perlu dilaksanakan secara seimbang.Ketiga peran kurikulum tersebut harus berjalan secara seimbang, atau dengankata lain terdapat keharmonisan diantara ketiganya. Dengan demikian, kurikulumdapat memenuhi tuntutan waktu dan keadaan dalam membawa siswa menujukebudayaan masa depan (Hamalik, 2007: 12).Pengembangan kurikulum yang mendukung efisiensi penyelenggaraanpendidikan ditandai dengan fleksibilitas kurikulum yang dapat diakses oleh pesertadidik dan oleh karenanya dikembangkan kurikulum berdevirsivikasi, baik padatingkat satuan pendidikan secara terbuka dan polivalen, selain bertujuan untukmeningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan pendidikan (Hamalik, 2007:4)KTSP dapat dipandang sebagai suatu pola pendekatan baru dalampengembangan kurikulum dalam koteks etonomi daerah yang sedang digulirkandewasa ini. Oleh karena itu menurut E. Mulyasa (2006) KTSP perlu diterapkan olehsetiap satuan pendidikan, terutama berkaitan dengan tujuh hal sebagai berikut:

Page 34: Vol. 1, No. 2 September 2014

102 | Analisis Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)a. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagidirinya sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yangtersedia untuk memajukan lembaganya.b. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikanyang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuaidengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.c. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untukmemenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yangterbaik bagi sekolahnya.d. Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangankurikulum menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat, serta lebihefektif dan efisien bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat.e. Sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu pendidikan masing-masing.f. Pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehinggadia akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapaisasaran KTSP.g. Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lainuntuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengandukungan orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.h. Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yangberubah dengan cepat, serta mengakomodasikan dalam KTSP.Pendidikan harus terus menerus melakukan adaptasi dan penyesuaian dengangerak perkembangan ilmu pengetahuan modern dan inovasi teknologi maju, sehinggatetap relevan dan kontekstual dengan perubahan zaman. Pendidikan bertugas untukmenyiapkan peserta didik agar dapat mencapai peradaban yang maju melaluiperwujudan suasana belajar yang kondusif, aktivitas pembelajaran yang menarik danmencerahkan, serta proses pendidikan yang kreatif. Dengan demikian, peserta didikdapat belajar secara terus menerus agar beriman dan bertakwa serta berakhlakmulia, mampu menggali ilmu pengetahuan dan menguasai teknologi, memiliki etikadan kepribadian tangguh, dan kaya ekspresi estetika dalam merespons perubahandan perkembangan masyarakat dalam perspektif persaingan global, tanpa kehilanganjati diri sebagai bangsa yang berdaulat (Renstra Depdiknas:11).Kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan angka partisipasi pendidikanmenuntut pengembangan kurikulum yang dapat meminimalkan angka putus sekolahdan mengulang kelas, penyelenggaraan pendidikan secara terbuka dan polivalenlintas jenis, jenjang dan jalur pendidikan dengan system belajar jarak jauh.Pengembangan kurikulum yang berorientasi pada mutu pendidikan ditandai denganpelaksanaan proses pembelajaran efektif, penilaian hasil belajar yang berkelanjutadan pemberdayaan peserta didik, dan penyelenggaraan pendidikan yang didukungoleh ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai serta sesuaidengan tingkat perkembangan dan pertumbuhan.

Page 35: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 103

Karakteristik KTSPKTSP merupakan bentuk operasional pengembangan kurikulum dalam konteksdesentralisasi pendidikan dan otonomi daerah yang dimuat dalam UU no.32/2004tentang otonomi daerah. Undang-undang tersebut akan memberikan wawasan baruterhadap system yang sedang berjalan selama ini. Hal ini diharapkan dapat membawadampak terhadap peningkatan efisiensi dan efektivitas kinerja sekolah, khususnyadalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Karakteristik KTSP bisa diketahui antaralain:a. Pemberian otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan.KTSP memberikan otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan, disertaiseperangkat tanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengankondisi setempat.b. Partisipasi masyarakat dan orang tua yang tinggi.Dalam KTSP, pelaksanaan kurikulum didukung oleh partisipasi masyarakat danorang tua peserta didik yang tinggi. Orang tua peserta didik dan masyarakat tidakhanya mendukung sekolah melalui bantuan keuangan tetapi melalui komitesekolah dan dewan pendidikan merumuskan sert mengembangkan program-program yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.c. Kepemimpinan yang demokratis dan professional.Dalam KTSP, pengembangan dan pelaksanaan kurikulum didukung oleh adanyakepemimpinan sekolah yng demokratis dan profesioanal. Kepala sekolah dan guru-guru sebagai tenaga pelaksana kurikulum merupakan orang-orang yang memilikikemampuan dan integritas profesioanal. Dlm proses pengambilan keputusan,kepala sekolah mengimplementasikan proses “bottom-up” secara demokratis,sehingga semua pihk memiliki tanggung jawb terhadap keputusan yang diambilbeserta pelaksanaannya.d. Tim kerja yang kompak dan transparan.Dalam KTSP, keberhasilan pengembangan kurikulum dan pembelajaran didukungoleh kinerja tem yang kompak dan transparan dari berbagai pihak yang terlibatdalam pendidikan. (Mulyas,2006;hal.29).Metode PenelitianPendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatifdengan menggunakan desain penelitian studi kasus dalam arti penelitian difokuskanpada satu fenomena saja yang dipilih dan ingin dipahami secara mendalam, denganmengabaikan fenomena-fenomena lainnya (Syaodih, 2006:99).Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Sekolah Dasar Negeri PisangCandi 1 malang. Sekolah ini merupakan sekolah yang terletak dekat dengan kota.Sarana dan prasarana di sekolah ini sudah cukup memadai baik fisik maupun nonfisik. Gedung yang dimikinya cukup representative dan jumlah kelasnya cukup besar.

Page 36: Vol. 1, No. 2 September 2014

104 | Analisis Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lainpengamatan, wawancara, dan dokumentasi. Langkah yang dilakukan pada analisis isidalam penelitian ini menggunakan interactive model dari Miles dan Huberman (Miles& Huberman dalam Dr.H.M.Agus Krisno B, M.Kes). Model ini mengandung 4komponen yang saling berkaitan, yaitu (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3)penyajian data, (4) penarikan dan pengujian atau verifikasi simpulan.Hasil PenelitianPerencanaan KTSP yang berlaku di SD Negeri Pisang Candi 1 Malang samadengan kurikulum-kurikulum sebelumnya, yaitu dengan mengikut sertakan semuastake holder sekolah, serta komite sekolah. Perencanaan KTSP di SD Negeri PisangCandi 1 Malang melalui workshop atau pelatihan sebelum tahun ajaran baru dimulaidan setiap tahunnya selalu diadakan revisi dari perencanaan tahun lalu. Dalamperencanaan KTSP di SD Negeri Pisang Candi 1 Malang mengikut sertakan stakeholder dan komite sekolah.Proses perencanaan KTSP yang di SD Negeri Pisang Candi 1 Malang melaluiprogram sosialisasi melalui workshop, yang awalnya diikuti oleh Kepala Sekolah,Waka sekolah yang selanjutnya diberikan kepada para guru. Guru memiliki perananyang sangat penting dalam pelaksanaan KTSP dengan tidak mengesampingkanperanan komite sekolah, dan peran masyarakat. Guru sebagai penggerak yangberhubungan langsung dengan siswa. Guru yang mengetahui kemampuan sekolahdan kemampuan peserta didiknya sehingga dalam merencanakan KTSP tentunya haltersebut tetap menjadi perhatian.Dukungan Kepala Sekolah dan Guru SD Negeri Pisang Candi 1 Malang dalamImplementasi KTSPKepala Sekolah dalam memberikan dukungan pelaksanaan KTSP memberikankesempatan kepada guru untuk mengikuti diklat KTSP atau dengan kewenangannyamenambah sarana prasarana sekolah. Dukungan kepala sekolah pada pelaksanaanKTSP di SD Negeri Pisang Candi 1 Malang dengan cara memberi keleluasaan padasemua guru untuk mengikuti perkembangan pendidikan dengan mengikutiwaorkshop tentang KTSP, setiap tahun ajaran mulai kepala sekolah meminta kepadasemua guru untuk mengumpulkan perangkat pembelajaran.Dukungan bapak/ibu guru SD Negeri Pisang Candi 1 Malang dalam pelaksanaanKTSP sangat baik meskipun melaksanakannya belum 100% murni KTSP sesuaidengan pengetahuan masing- masing guru mengenai yang semuanya terkendaladengan waktu dan semua guru semangat untuk mengadakan perbaikan demikemajuan dirinya maupun sekolah pada umumnya.Memang pelaksanaan KTSP merupakan program pemerintah yang harusmendapat dukungan dari pihak-pihak terkait dari tingkat pusat sampai tingkat satuan

Page 37: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 105pendidikan. Ditingkat satuan pendidikan pelaksanaan KTSP perlu mendapatdukungan dari seluruh elemen yang ada di sekolah mulai kepala sekolah, guru,komite sekolah, dan masyarakat.Implementasi KTSP di SD Negeri Pisang Candi 1 MalangPemahaman Guru pada KTSPKTSP di SD Negeri Pisang Candi 1 Malang disusun dengan tujuan sebagaipedoman penyelenggaraan untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan visimisi SD Negeri Pisang Candi 1 Malang dengan tidak lepas dari aturan perundanganyang berlaku. Idealnya KTSP sekolah yang satu dengan lainnya itu tidak sama karenakarakteristik dan kondisi riil dari masing-masing sekolah itu berbeda. KTSP ituadalah suatu program kurikulum yang dimana sekolah memungkinkan untukmembuat aturan sendiri namun tidak lepas dari peraturan perundangan yangberlaku. KTSP memberikan otonomi kepada sekolah untuk melaksanakanpembelajaran yang disesuaiakan dengan kondisi riil sekolah.KTSP memberikan kewenangan kepada madrasah seluas-luasnya untukmerencanakan, membuat, melaksanakan dan mengevaluasi proses pembelajaransiswa sehingga hal ini merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum.Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan memiliki keleluasaan dalammengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar, dan mengalokasikan semuaprioritas kebutuhan setempat.Sikap dan Komitmen Guru SD Negeri Pisang Candi 1 Malang pada Pelaksanaan KTSPSikap dan komitmen para guru adalah setuju dan mengikuti dengan segalaketetapan dan juga ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dan sebagaiguru hanya bisa menjalankan tugasnya sebagaimana semestinya dengan aturanaturan yang sudah ditetapkan dengan sebaik-baiknya. Dan mereka melaksanakankurikulum tersebut sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman mereka, meskipundalam pelaksanaannya semua belum betul-betul 100% KTSP.Ini juga dilihat dari semua guru mengetahui akan komponen-komponen dalamKTSP. Dari hasil observasi kelas, guru membuat dan melaksanakan aturan-aturanyang ada dalam KTSP seperti membuat RPP, silabus, penilaian dan evaluasi meskipunbelum 100% merespon guru baik mengenai sikap dan komitmennya. Berarti hal inimembuktikan bahwa sikap dan komitmen guru terhadap pelaksanaan KTSP sungguh-sungguh dalam melaksanakannya sesuai dengan pengetahuan dan pemahamannya.Guru juga menyetujui dan mengikuti kurikulum tersebut dengan aturan-aturan yangsudah ditetapkan.

Page 38: Vol. 1, No. 2 September 2014

106 | Analisis Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)Hasil Implementasi KTSP di SD Negeri Pisang Candi 1 MalangPelaksanaan kurikulum pada tingkat sekolahKepala sekolah bertanggung jawab untuk melaksanakan kurikulum dilingkungan sekolah yang dipimpinnya. Dia berkewajiban melakukan kegiatan-kegiatan yakni menyusun rencana tahunan, menyusun jadwal pelaksanaan kegiatan,memimpin rapat dan membuat notula rapat, membuat statistic dan menyusunlaporan.Pembuatan rencana kerja seperti: rencana tahunan, menyusun jadwalpelaksanaan kegiatan, membuat statistic dan membuat berbagai laporan di SD NegeriPisang Candi 1 Malang tidak dikerjakan sendiri oleh kepala sekolah melainkan hasilpemikiran dari beberapa pihak.Pelaksanaan kurikulum pada tingkat kelasPelaksanaan kurikulum pada tingkat kelas berkaitan dengan pembagian tugasguru. Pembagian tugas guru harus diatur secara administrasi untuk menjaminkelancaran pelaksanaan kurikulum lingkungan kelas. Pembagian tugas-tugas tersebutmeliputi tiga jenis kegiatan administrasi yaitu:a. Pembagian tugas mengajarKegiatan ini erat sekali kaitannya dengan tugas-tugas seorang guru sebagaimanayang telah diuraikan. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain:1) Menyusun rencana pelaksanaan program2) Menyusun jadwal pelaksanaan kegiatan dan jadwal pelajaran3) Pengisian daftar penilaian kemajuan belajar dan perkembangan siswa4) Pengisian buku laporan pribadi siswab. Pembagian tugas pembinaan ekstra kurikulerc. Pembagian tugas bimbingan belajarPembagian tugas mengajar di setiap sekolah secara garis besar mengacu padaaturan yang diinstruksikan oleh Dinas Pendidikan. Perbedaannya dapat dilihat padamasalah teknis dan pelaksanaannya.Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Implementasi KTSP di SD NegeriPisang Candi 1 Malang

Faktor pendukung dalam implementasi KTSP di SD Negeri Pisang Candi 1 MalangDari hasil temuan faktor pendukung dalam pelaksanaan KTSP di SD NegeriPisang Candi 1 Malang salah satunya tersediaan sarana dan prasarana berupa gedungyang permanen dan ruangan yang baik. Keadaan ini membuat para siswa bisa belajardengan nyaman dan tenang.

Page 39: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 107Di dukung dengan para pengajar yang sudah cukup professional denganpengalaman mengajar yang sudah lama akan memberikan kemudahan dalam prosesbelajar mengajar di SD Negeri Pisang Candi 1 Malang. Para siswa akan lebih mudahmenerima materi yang disampaikan oleh guru apabila dalam proses kegiatan belajarguru bisa menyampaikan materi kepada siswa dengan baik dan benar.Faktor pendukung implementasi KTSP di SD Negeri Pisang Candi 1 Malangselanjutnya yaitu kepala sekolah selalu memberikan dukungan moril kepada paraguru berupa motivasi untuk meningkatkan SDM para guru. Di samping itumanajemen kepala sekolah yang demokratis dan profesional, memberi kesempatanseluas-luasnya kepada guru SD Negeri Pisang Candi 1 Malang untuk meningkatkankompetensi, kesiapan guru untuk mengembangkan KTSP.Faktor penghambat dalam implementasi KTSP di SD Negeri Pisang Candi 1 MalangFaktor penghambat dalam implementasi KTSP di SD Negeri Pisang Candi 1Malang para guru masih ada yang kurang memahami tentang KTSP itu sendiri.Tingkat pemahaman tentang KTSP yang dimiliki oleh guru SD Negeri Pisang Candi 1Malang belum menyeluruh dimiliki semua guru. Sehingga ini menjadi kendala dalamimplementasi KTSP.Kurangnya media pembelajaran yang dimiliki SD Negeri Pisang Candi 1 Malangjuga menjadi salah satu kendala dalam implementasi KTSP. Sehingga dengankurangnya media pembelajaran para guru dituntut keras untuk memberikanpemahaman tentang materi yang disampaikan kepada para siswa. Para siswa jugaakan merasa sulit dalam belajar ketika dalam penyampaian materi kurang didukungdengan adanya media pembelajaran.Faktor penghambat selanjutnya dalam implementsi KTSP di SD Negeri PisangCandi 1 Malang para komite sekolah dalam tingkat pemahaman tentangpengembangan KTSP masih kurang, karena komite sekolah hanya sebagai partisipansaja. Seharusnya komite sekolah yang merupakan perwakilan dari masyarakat sekitarjuga harus memahami tentang KTSP, tidak hanya sebatas selaku partisipan .SimpulanBerdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana telah diuraikan diBab IV, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:1. KTSP di SD Negeri Pisang Candi 1 Malang, dalam pelaksanaan melalui beberaparangkaian yaitu perencanaan KTSP yang dilakukan pada awal tahun pelajaran.a. Dampak positip kebijakan KTSP dalam perencanaan di SD Negeri Pisang Candi1 Malang sudah sangat baik karena semuanya selalu menyertakan stakeholder sekolah.b. Dampak negatipnya dalam melaksanakan atau mengimplementasikan KTSPguru melaksanakan masih sebatas pengetahuan mereka dalam KTSP.

Page 40: Vol. 1, No. 2 September 2014

108 | Analisis Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)2. Pelaksanaan kurikulum dibagi menjadi dua tingkatan yaitu pelaksanaan kurikulumtingkat sekolah dan tingkat kelas. Dalam tingkat sekolah yang berperan adalahkepala sekolah dan pada tingkatan kelas yang berperan adalah guru.3. Pelaksanaan kurikulum pada tingkat sekolah merupakan cerminan dari kebijakankepala sekolah dalam menyikapi peraturan-peraturan yang dikeluarkan DinasPendidikan mengenai pelaksanaan pendidikan di sekolah yang dipimpinnya.Kebijakan kepala sekolah SD Negeri Pisang Candi 1 Malang dalammengembangkan dan melaksanakan KTSP disesuaikan dengan hal-hal yangtertulis dalam BSNP. Kepala sekolah mengajak berbagai pihak dalampengembangan kurikulum.Pelaksanaan kurikulum pada tingkat kelas berkaitan dengan pembagian tugasguru. Pembagian tugas guru harus diatur secara administrasi untuk menjaminkelancaran pelaksanaan kurikulum lingkungan kelas.4. Faktor pendukung dalam implementasi KTSP di SD Negeri Pisang Candi 1 Malangdiantaranya sarana dan prasarana berupa gedung yang permanen dan ruanganyang baik, para pengajar yang sudah cukup professional dengan pengalamanmengajar yang sudah lama dan kepala sekolah selalu memberikan dukungan morilkepada para guru berupa motivasi untuk meningkatkan SDM para guru.5. Faktor penghambat dalam implementasi KTSP di SD Negeri Pisang Candi 1 Malangyaitu para guru masih ada yang kurang memahami tentang KTSP,kurangnya mediapembelajaran dan para komite sekolah dalam tingkat pemahaman tentangpengembangan KTSP masih minim.Saran-SaranSetelah mengetahui hasil penelitian Implementasi Kurikulum Tingkat SatuanPendidikan (KTSP) di SD Negeri Pisang Candi 1 Malang, peneliti menyarankansebagai berikut:1. Dinas Pendidikan perlu lebih mengintensifkan pembinaan tentang ketercapaianpelaksanaan KTSP disetiap Satuan Pendidikan.2. Kepala Sekolah hendaknya lebih sering mengadakan pembinaan tentang KTSPsehingga memahami kesulitan dan kebutuhan guru.3. Guru mengembangkan dan meningkatkan kemampuannya dalam menjalankanprofesinya, demi mencapai kinerja yang semaksimal mungkin.Daftar PustakaArends, Richard. 2007. “Learning to Teach”, Avenue of the Americas New York, NY10020: McGraw-Hill Companies, Inc 1221.Atkinson, et al . (1995). Management Accounting. Second Edition. Prentice Hill.Richard D Irwin, Inc. Pillipines

Page 41: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 109Brady, Laurie. (1992). Curriculum Development (Thirfd Edition). Australia. PrenticeHallFullan, M.G. (1991). The New Meaning of Education Change. New York: TeacherCollege Press Published.Hamalik, Oemar. (2004). Implementasi Kirikulum (Hand out) PPS UniversitasPendidikan IndonesiaMiller, J.P & Siller, W. (1985). Curriculum:Perspectives And Practices.NewYork:American Book CoMulyasa, Enco. (2007). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sebuah PanduanPraktis. Bandung. Remaja RosdakaryaPrint, Murray. (1993). Curriculum Development and Design. Australia. Allen & UnwinSanjaya,Wina. (2009). “Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran”, Jakarta.Kencana Prenada Media GrupSukmadinata, Nana Syaodih. (2004). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek.Bandung. Remaja Rosdakarya.Zais, Robert S. (1976). Curriculum Principles and Foundation. London. Harper andRow

Page 42: Vol. 1, No. 2 September 2014

110

STUDI KOMPARASI PENERAPAN MEDIA ABACUSDAN MEDIA BLOKJES TERHADAP PRESTASI BELAJAR

MATEMTIKA ANAK TUNANETRA KELAS V SLB-A

Nita Aprilia SariE-mail: [email protected]

AbstrakMatematika sangat penting baik bagi kehidupan praktis sehari-hari maupununtuk kepentingan melanjutkan studi. Meskipun demikian, metode pembelajaranmatematika seringkali dirasa kurang efektif, khususnya untuk siswa tunanetra.Penelitian ini adalah penelitian kausal komparatif, dengan desain penelitian“Purposive Control Group Only Design”. Tujuan penelitian ini adalah untukmenemukan perbandingan prestasi belajar matematika dengan media Abacusdan media Blokjes pada anak tunanetra kelas V di SLB-A YPAB Surabaya. Datadikumpulkan dengan metode tes dan dokumentasi. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa nilai post tes soal matematika dengan menggunakan blokjesmenunjukkan rata-rata paling rendah yaitu 40 dan rata-rata paling tinggi 60. Haltersebut dikarenakan anak masih menggunakan cara penjumlahan susun kebawah, cara ini kurang praktis dan membuat anak ceroboh dalam melakukanperhitungan, sedangkan nilai post tes soal matematika dengan menggunakanabacus menunjukkan rata-rata paling rendah yaitu 66,7 dan rata-rata palingtinggi 86,7. Berdasarkan hasil analisis menggunakan “U Test” (Man WithneyTest), diperoleh hasil ZH adalah,-1,97 dengan nilai kritis α 5% (pengujiandilakukan 2 sisi). Artinya Ho ditolak dan Ha diterima karena ZH < -1,96, sehinggadapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan terhadap prestasibelajar matematika anak tunanetra kelas V di SLB-A YPAB Surabaya antaramenggunakan media abacus dan media blokjes.Kata kunci: Media Abacus dan Media Blokjes, Matematika, Anak Tunanetra

Page 43: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 111

PendahuluanMatematika sangat penting baik bagi kehidupan praktis sehari-hari maupununtuk kepentingan melanjutkan studi. Meskipun demikian, proses pembelajaranmatematika seringkali dirasa kurang efektif, khususnya untuk siswa tunanetra.Menghadapi tunanetra berbeda dengan anak awas. Perbedaan ini terjadi karenatunanetra kehilangan penglihatannya, maka dalam memberikan konsep pengertianyang abstrak haruslah sangat diperhitungkan.Widdjajantin (1996) menyatakan bahwa: ”untuk mempelajari sesuatu sehinggadimengerti selain menggunakan intelegensi juga meggunakan penglihatan, tanpakeduanya dalam kondisi baik, maka seseorang akan mengalami kesukaran dalammempelajari metematika”.Gagne dan Briggs (dalam Azwandi, 2007) menjelaskan bahwa mediapembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isimateri pembelajaran. Bagi tunanetra tersedia beberapa alat bantu berhitung sepertiAbacus dan Blokjes.Menurut Herman (2002), hasil berhitung menggunakan Abacus selanjutnyadapat dipindahkan dalam bayangan otak manusia, sehingga dapat berhitung lebihcepat dan membantu mengoptimalkan secara sinergis perkembangan otak kiri danfungsi otak kanan manusia”.Nafir (2000) menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadapprestasi belajar matematika anak tunanetra di Bojonegoro setelah menggunakanmedia berhitung Blokjes. Media Blokjes dipergunakan untuk mengerjakan hitungan-hitungan yang sederhana yang belum terlalu kompleks. Metode ini tidak mempunyaiaturan pemakaian secara khusus dan rumit. Oleh karena itu blokjes dipakai oleh anakkelas 1-4.Media blokjes digunakan di SLB-A YPAB Surabaya untuk pembelajaranmatematika kelas I sampai dengan kelas VI, sedangkan media Abacus tidakdipergunakan untuk proses pembelajaran matematika di SLB-A YPAB Surabaya,padahal media abacus memiliki potensi yang sama baiknya dengan media Blokjesuntuk meningkatkan prestasi belajar matematika anak tunanetra. Pada studi awalyang dilakukan peneliti di lapangan menunjukkan respon anak terhadap mediaAbacus sangat baik hanya dengan 2 kali intruksi cara pengoperasian abacus dalampengerjaan penjumlahan sampai 2 angka anak sudah bisa mempraktekannya denganbaik. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu tentang kelebihan dan kekuranganmedia abacus dan media blokjes, maka peneliti bermaksud mengkaji lebih mendalamtentang perbandingan penerapan media abacus dan media Blokjes terhadap prestasibelajar matematika anak tunanetra kelas V di SLB-A YPAB Surabaya.

Page 44: Vol. 1, No. 2 September 2014

112 | Studi Komparasi Penerapan Media ABACUS dan Media BLOKJESMedia AbacusMedia Abacus adalah alat bantu khusus matematika yang memiliki bagian-bagian sebagai berikut: bingkai, sekat, lajur yang berjumlah 13 lajur dan manik-manikdimana tiap lajur berisikan 5 manik-manik, 4 manik-manik untuk bagian bawah dan 1manik-manik untuk bagian atas, di bawah lajur dipasang alas yang terbuat dari kainkarpet atau kain sejenisnya yang bertujuan agar manik-manik tidak mudah bergeserapabila dipakai mengerjakan hitungan. Panjang media abacus ±20 cm dan lebar ±10cm.

Gambar 1.Media AbacusMenurut Supriono dan Suprianto (dalam Kalis, 2001) Abacus berfungsi untuk:1). mengenal nilai tempat, 2). mengerjakan operasi penjumlahan, pengurangan,perkalian, dan pembagian bilangan cacah dan bilangan desimal, 3). konversi ukuranpanjang pada sistem metris, 4). Penerangan dalam jual beli dan secara tepatmenentukan uang kembali. Pengguna media abacus yang telah terbiasa dapatmenerapkan metode hitung Abacus tanpa media secara fisik, namun cukup denganmembayangkan.

Media BlokjesMedia Blokjes adalah alat bantu khusus matematika untuk anak tunanetraberupa papan hitung yang terbuat dari kayu atau ebonit, yang terbagi atas petak-petak berbentuk bujur sangkar, ke dalam petak dapat dimasukkan kubus yang miripdadu, angka atau tanda hitungan dinyatakan oleh bidang atas kubus yang diletakkandalam petak. Panjang media Blokjes ± 30 cm dan lebarnya ± 20 cm.

Page 45: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 113Gambar 2. BlokjesGambar 3.Kubus dan tanda-tanda hitungan

Gambar 4.Tanda operasi hitungMetode PenelitianSubjek Subyek penelitian yang akan diteliti adalah anak tunanetra kelas V di SLB-AYPAB SURABAYA yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) intelegensi normal,(2) memiliki prestasi belajar matematika yang relatif sama (dilihat dari nilai rapotsemester I tahun ajaran 2008), (3) tingkat ketajaman penglihatan 6/20 m-6/60 m(low vision), (4) saat ini duduk di kelas V SLB-A YPAB Surabaya.

Page 46: Vol. 1, No. 2 September 2014

114 | Studi Komparasi Penerapan Media ABACUS dan Media BLOKJESDesain Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah PurposiveControl Group Only Design, dengan skema kerja sebagai berikut:

Treatment Post test

Gambar 5.Bagan Desain Penelitian Purposive Control Group Only DesignPerlakuan diberikan dalam enam kali pertemuan, dengan rincian sebagaiberikut:Tabel I.Rincian Tahap Perlakuan

Tahap AktivitasI Pemberian soal matematika dengan kriteria (mudah) pada siswa yangdikerjakan dengan media blokjesII Pemberian soal matematika dengan kriteria (sedang) pada siswa .yangdikerjakan dengan media blokjesIII Pemberian soal matematika dengan kriteria (sukar) pada siswa .yangdikerjakan dengan media blokjesIV Pemberian materi I dan soal matematika dengan kriteria (mudah) padasiswa .yang dikerjakan dengan media abacusV Pemberian materi II dan soal matematika dengan kriteria (sedang) padasiswa .yang dikerjakan dengan media abacusVI Pemberian materi III dan soal matematika dengan kriteria (sukar) padasiswa .yang dikerjakan dengan media abacusPenggalian dan analisis dataPenggalian data dilakukan dengan metode tes verbal yang berbentuk essay(terlampir) yang terdiri 3 macam model evaluasi (item) yaitu soal mudah, sedang dansukar. Kategorisasi tingkat kesukaran soal disusun sebagai berikut:1. Item soal mudah (N1) sebanyak 5 soal, masing-masing soal jika benar mendapatnilai 20 dan jika salah mendapat nilai 0, maka benar semua mendapat nilai 100.2. Item soal sedang (N2) sebanyak 5 soal, masing-masing soal jika benar mendapatnilai 20 dan jika salah mendapat nilai 0, maka benar semua mendapat nilai 100.

X (Media Eksperimen/Abacus) T2Y (Media Kontrol/Blokjes) T2

Page 47: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 1153. Item soal sukar (N3) sebanyak 5 soal, masing-masing soal jika benar mendapatnilai 20 dan jika salah mendapat nilai 0, maka benar semua mendapat nilai 100.Analisis data dilakukan dengan teknik statistik non parametik denganmenggunakan analisis ”U”-test (Man-Withney Test). Peneliti menggunakan “U”-testkarena di sini terdapat sampel yang berbeda, menggunakan sampel kecil danmembandingkan dua media yang independen.Hasil PenelitianBerdasarkan hasil penilaian kemampuan matematika para subjek dengan mediaBlokjes dan Abacus dirangkum sebagai berikut:

Tabel 2.Hasil Post Tes Soal Matematika denganMenggunakan Media Blokjes/Media KontrolNo. Nama Siswa

Nilai Post TesJumlah Nilai Akhir

NAN1 N2 N31. NN 80 40 0 120 402. SI 40 60 60 140 53,33. VN 40 80 60 180 60Jumlah 153,3

Tabel 3.Hasil Post Tes Soal Matematika denganMenggunakan Media Abacus/Media EksperimenNo. Nama Siswa

Nilai Post TesJumlah Nilai Akhir

NAN1 N2 N31. NN 80 60 60 200 66,72. SI 100 80 60 240 803. VN 100 80 80 260 86,7Jumlah 233,4

Tabel 4.Rekapitulasi Post Tes Matematika denganMenggunakan Media Abacus/Media Eksperimen dan Media Blokjes/Media KontrolNo. Nama siswa

Nilai post tesMedia

Eksperimen Media Kontrol1. NN 66,7 402. SI 80 53,33. VN 86,7 60Jumlah 233,4 153,3

Page 48: Vol. 1, No. 2 September 2014

116 | Studi Komparasi Penerapan Media ABACUS dan Media BLOKJESHasil penghitungan dengan uji jenjang Mann-Withney Test menghasilkan nilai Z= -1.9. Dengan nilai kritis untuk α = 5% dan kriteria pengambilan keputusannya:Ho ditolak apabila Z > + 1,96 atau Z < -1,96Ho diterima apabila -1,96 ≤ Z ≤ +1,96dapat dinyatakan bahwa Ho yang berbunyi ”tidak ada perbedaan prestasi belajarmatematika pada siswa tunanetra kelas V yang menggunakan media Abacus denganmedia Blokjes di SLB-A YPAB SURABAYA” ditolak dan Ha diterima.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikanterhadap prestasi belajar matematika anak tunanetra kelas V di SLB-A YPABSURABAYA antara menggunakan media Abacus dan media Blokjes. Berdasarkan ujicoba dalam penelitian dapat dikatakan bahwa media abacus lebih efektif dari padamedia Blokjes untuk pembelajaran matematika anak tunanetra kelas V SD.

PembahasanSetelah dilakukan pembelajaran matematika dengan menggunkan media Abacustampak ada perubahan yang lebih baik dari pada dengan menggunakan media Blokjespada hasil post tes. Hasil post tes soal matematika dengan menggunakan Blokjesmenunjukkan rata-rata paling rendah yaitu 40 dan rata-rata paling tinggi 60. Haltersebut dikarenakan anak masih menggunakan cara penjumlahan susun ke bawah,cara ini kurang praktis dan membuat anak ceroboh dalam melakukan perhitungan.Hasil post tes soal matematika dengan menggunakan abacus menunjukkan rata-ratapaling rendah yaitu 66,7 dan rata-rata paling tinggi 86,7.Selain itu pada saat mengerjakan soal dengan Blokjes banyak anak yang masihbingung dengan cara pengoperasiannya khususnya pada soal dengan kriteria sedang(penjumlahan sampai 6 angka dengan 1,2,3 kali teknik menyimpan) dan soal kriteriasukar (penjumlahan sampai 6 nagka dengan 4 kali teknik menyimpan) hal iniditandai dengan salah meletakkan bilangan penjumlah dan anak masih memerlukanbantuan dari guru dalam pengoperasiannya. Sedangkan pada saat mengerjakan soaldengan menggunakan media Abacus yaitu pada penjumlahan tanpa menyimpan tidakada kesulitan bagi anak dalam melakukan penjumlahan, posisi tangan dan nilaitempat dilakukan dengan baik dan sangat mudah bagi anak. Kendala baru dijumpaiketika melakukan penjumlahan dengan teknik menyimpan 1,2,3 kali dan 4 kaliteknik menyimpan, anak sering salah dalam perpindahan manik-manik ketikamenggeser ke kanan beberapa manic-manik ikut tergeser dikarenakan anak kuranghati-hati, di samping itu berhitung dengan menggunakan Abacus akan membentukmental aritmatika anak.Sejalan dengan pendapat Hadi (2005) menyatakan bahwa anak tunanetramengalami kesulitan dalam pengerjaan soal aritmatika yang kompleks dikarenakantunanetra kesulitan mengintegrasikan semua jenis fakta yang sudah dipelajari,namun kemampuan aritmatika anak tunanetra dapat menyamai anak normal apabila

Page 49: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 117pembelajarannya menggunakan pendekatan-pendekatan khusus sepertimenggunakan media yang tepat.Davidson (dalam Tarsidi,2007) menyatakan bahwa fakta di lapangan sebagiananak tunanetra di kelas awal (1-3) yang mengalami kesulitan dalam belajarmatematika banyak disebabkan karena guru menggunakan alat bantu hitung sepertiblokjes. Ternyata penggunaan blokjes tidak efektif sebab menyebabkan pemborosanwaktu dan tenaga karena anak harus meraba dan meletakkan tanda operasi hitungdan angka satu per satu. Selain itu anak sering mengalami kesalahan dalammemahami nilai tempat jika perhitungan sudah mencapai 4 digit (ratusan danribuan).Menurut Darling (dalam Agustyawati,2007) aktivitas belajar bagi anaktunanetra dapat diciptakan sama dengan anak normal yang tidak mengalamihambatan penglihatan. Ia mengatakan bahwa alat bantu matematika sangat pentingdigunakan dalam mengembangkan konsep-konsep yang benar bagi tunanetra. Selainitu penggunaan alat bantu seperti abacus bagi anak tunanetra diperlukan untukefektifitas melakukan perhitungan karena mengurangi pemborosan waktu dantenaga, dan pada akhirnya akan membentuk mental aritmatika anak tunanetra.Dengan kemampuan mental aritmatika yang baik akan mempermudah anaktunanetra menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan kalkulasi.Menurut Azwandi (2007) “menyatakan bahwa ada interaksi antara penggunaanmedia pembelajaran dan karakteristik belajar anak dalam menentukan hasil belajaranak. Artinya, bahwa anak akan mendapat keuntungan yang signifikan apabila belajardengan menggunakan media yang sesuai dengan karakteristiknya”.Lebih lanjut dikatakan Maolani (2009) mengemukakan bahwa mediapendidikan memiliki beberapa manfaat sebagai berikut: 1. Proses pembelajaran lebihmenarik, 2. Proses pembelajaran lebih efektif, 3. Efisiensi dalam waktu dan tenaga, 3.Meningkatkan kualitas hasil belajar siswa, 4. Merubah peran guru ke arah yang lebihpositif dan produktif, 5. Informasi pelajaran yang disajikan dengan media yang tepatakan memberikan kesan yang mendalam dan lebih lama tersimpan pada diri anak.SimpulanBerdasarkan hasil perhitungan “U test” (Man Whitney test) diperoleh hasil ZHadalah,-1,97, dan nilai kritis α 5% (pengujian dilakukan 2 sisi) dengan nilai kritis ±1,96, maka ZH < -1,96. Sehingga hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan tidak adaperbedaan prestasi belajar matematika pada siswa tunanetra kelas V antara yangmenggunakan media abacus dengan media blokjes ditolak dan Ha diterima. Dengandemikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan yang signifikan terhadapprestasi belajar matematika anak tunanetra kelas V di SLB-A YPAB Surabaya yangmenggunakan media Abacus dan media Blokjes. Penggunaan media abacus terbuktilebih efektif dalam meningkatkan kemampuan matematika pada para subyekdibandingkan penggunaan media Blokjes.

Page 50: Vol. 1, No. 2 September 2014

118 | Studi Komparasi Penerapan Media ABACUS dan Media BLOKJESDaftar PustakaAgustiyawati. 2007. Penerapan konsep Abacus Pada Alat Hitung Kecekan. Jurnal

Pendidikan,(Online), Vol. 2 No.3, (http://agustiyawati.blogspot.com, diakses 27Desember 2007).Azwandi, Y. 2007. Media Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Tinggi DirektoratKetenagaan.Hadi, P. 2005. Kemandirian Tunanetra. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.Herman, M. 2002. Berhitung Menggunakan Abacus. Jurnal Pendidikan, (Online), Vol. 1,No. 2, (http//www.ah gemas.com /2006/02/berhitung-cepat, diakses 24Oktober 2008)Kalis, T. 2001. Pengaruh Penggunan Media Abacus terhadap perstasi BelajarMatematika Anak TunaRungu di SLB Bojonegoro. Skripsi tidak di terbitkan : PLBFIP Unesa.Maolani, I. 2009. Media Pembelajaran ICT (Ikhlas, Cerdas, Tangkas. Jurnal Pendidikan,(Online),Vol 2 No. 3, (http://I-Maolani.blogspot.com, diakses 4 maret 2009)Nafir. 2000. Pengaruh Penggunaan Blokjes terhadap Prestasi Belajar MatematikaAnak Tunanetra Kelas D6 di SDLB Negeri Juwet Kenongo Porong Sidoarjo. Skripsitidak di terbitkan : PLB FIP Unesa.Tarsidi, D. 2007. Dampak Ketunanetraan terhadap Pembelajaran Matematika. JurnalPendidikan,(Online), Vol. 3 No.2, (http://d-tarsidi.blogspot.com, diakses 17Maret 2009)Widdjajantin, A. 1996. Ortopedagogik Tunanetra I. Jakarta: Departemen PendidikanNasional Direktorat Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Guru.

Page 51: Vol. 1, No. 2 September 2014

119

PENGARUH PHONOLOGICAL AWARENESS DANKEMAMPUAN PEMROSESAN ORTOGRAFI

TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA AWALSISWA SEKOLAH DASAR

Mirna Wahyu AgustinaE-mail: [email protected]

AbstrakBerdasarkan pendekatan dual-route models terdapat rute leksikal dan nonleksikal dalam membaca tulisan, baik rute leksikal maupun non-leksikalmembutuhkan pengetahuan tentang fonologi dan ortografi. Kemampuanphonological awareness adalah kemampuan bahasa lisan dalam hal yangberhubungan dengan aspek suara, meliputi aktivitas yang berfokus pada fonem,suku kata, dan kata. kemampuan pemrosesan ortografi adalah kemampuan untukmemahami bentuk ortografis dalam suatu sistem bahasa. Bahasa Indonesiamemiliki kajian bahasa dengan konsistensi antara huruf dan bunyi hurufnyamasih tinggi. Penekanan pembelajaran membaca awal di Indonesia berfokuspada suku kata. Tujuan penelitian yang ini adalah mengetahui bagaimanapengaruh phonological awareness dan kemampuan pemrosesan ortografisterhadap kemampuan membaca awal. Tipe penelitian yang digunakan dalampenelitian ini adalah kuantitatif eksplanatori. Subyek penelitian ini adalah muridkelas pra-klasikal 1 dan 2 SD Negeri Klampis Ngasem I. Alat pengumpulan databerupa alat tes phonological awareness, alat tes kemampuan pemrosesanortografis, alat tes membaca awal. Uji validitas alat tes dilakukan denganmeminta saran rater. Uji reliabilitas alat tes menggunakan Alpha Cronbach. Alattes phonological awareness memiliki reliabilitas 0,928, alat tes kemampuanpemrosesan ortografis memiliki reliabilitas 0,823, dan alat tes membaca awalmemiliki reliabilitas 0,933. Analisa data dilakukan dengan teknik statistik analisisregresi berganda. Hasil analisis data penelitian diperoleh kesimpulan bahwaphonological awareness dan kemampuan pemrosesan ortografi secara bersama-sama berpengaruh terhadap kemampuan membaca awal dengan prosentasepengaruh sebesar 43,5%. Namun secara lebih spesifik, kemampuan pemrosesanortografi memiliki peranan lebih besar dan signifikan dalam kemampuanmembaca awal tersebut dibandingkan phonological awareness.Kata kunci: Phonological Awareness, Kemampuan Pemrosesan Ortografi, Kemampuan

Membaca Awal

Page 52: Vol. 1, No. 2 September 2014

120 | Pengaruh Phonological Awareness dan Kemampuan Pemrosesan OrtografiPendahuluanKemampuan membaca merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagisetiap individu dalam aktivitas kehidupannya termasuk sekolah, bekerja, danbersosialisasi. Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2010 juga telahmenargetkan angka buta huruf bisa ditekan menjadi 1,6% yang semula 3,62% padatahun 2003 (Warta Warga, 2007).Kegiatan membaca pada dasarnya merupakan proses menggali makna darikata yang tertulis. Proses tersebut diawali dengan mengenal atau menamai kataterlebih dahulu sehingga akhirnya dapat memahami makna yang berusahadisampaikan kata-kata tersebut ketika dipasangkan menjadi sebuah kalimat atauparagraf (Yusuf dan Legowo, 2007).Tahapan membaca diawali dengan tahapan initial reading atau membaca awal.Proses membaca awal ini diawali dengan pengenalan fonem kemudianmenggabungkannya kedalam suatu suku kata atau kata (Mar’at, 2009). Ehri (dalamAbbeduto, 2003) mengungkapkan terdapat dua fase awal dalam belajar membacaawal. Fase paling awal adalah fase alfabetik parsial (usia 4-6 tahun). Saat itu anakmulai menggunakan pengetahuan huruf dan bunyinya (biasanya huruf depan dan /atau huruf belakang) untuk menebak bunyi sebuah kata. Selanjutnya adalah fasealfabetik lengkap (usia 5-7 tahun). Pada fase ini anak membaca kata denganmeyuarakan huruf-per huruf dan mengingatnya dalam memori serta melibatkanphonological awareness, working memory, dan akses kode suara dari memori jangkapanjang. Pengetahuan mengenai huruf dan bunyi pada fase ini juga telah cukupbanyak berkembang.Pengajaran membaca pada beberapa sekolah di Indonesia umumnya lebihditekankan pada pengenalan nama huruf dan melatih siswa untuk merangkaikanhuruf-huruf tersebut dalam suku kata, kata, hingga kalimat. Meskipun demikian, adajuga metode lain yang juga digunakan pada beberapa sekolah di Indonesia, yaitumetode yang menggunakan teknik membaca kata secara langsung tanpa mengeja per-huruf maupun suku kata (metode whole word) (Mar’at, 2009).Salah satu hipotesis yang dikembangkan untuk menjelaskan bagaimanapembaca merekognisi kata tertulis ketika mereka membaca, adalalah dual routehypothesis (matlin, 2005). Memori semantik bisa dicapai baik secara visual (langsung)maupun bunyi (tidak langsung). Ingatan semantik dapat dicapai baik secara visualmaupun auditori untuk mendukung pemahaman terhadap bacaan.Apabila ditelaah berdasarkan pendekatan dual-route models, proses membacapada dasarnya terbagi kedalam dua prosedur dalam memproses stimulus yangtertulis. Kedua prosedur tersebut adalah prosedur leksikal dan non leksikal. Proseduratau rute leksikal melibatkan pemrosesan kata ke dalam kamus mental ortografi danfonologi termasuk pengetahuan mengenai ejaan dan pelafalan urutan huruf yangterdapat dalam kata. Sedangkan rute non-leksikal melibatkan proses yangberhubungan dengan penerapan aturan perubahan ortografi ke dalam fonologi. Rute

Page 53: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 121non-leksikal biasanya digunakan untuk mengakses kata yang bukan kata atau katayang baru dikenal. Stimulus berupa tulisan atau deretan huruf yang diakses dalamdual-route models akan melewati baik rute leksikal maupun non-leksikal (Coltheartdkk., dalam Snowling dan Hulme, 2005). Berdasarkan penjelasan di atas, baik ruteleksikal maupun non-leksikal sama-sama membutuhkan kemampuan pemrosesanortografi dan fonologi.Kemampuan pemrosesan fonologi merupakan kemampuan memproseshubungan bunyi huruf (fonem) dan bentuk huruf (grafem). Kemampuan pemrosesanfonologi terdiri dari phonological awareness, phonological memory, dan phonologicalnaming. Berdasarkan beberapa penelitian dengan beberapa variasi subyek, mulaianak normal hingga anak yang memiliki kesulitan membaca, kesulitan memusatkanperhatian, keterlambatan bicara, serta beberapa kesulitan belajar yang lain,disebutkan bahwa diantara aspek dalam kemampuan pemrosesan fonologi tersebut,phonological awareness merupakan faktor paling berpengaruh dalam decoding danspelling (Skibbe dkk., 2004; Stratman dan Hudson, 2005; Vloedgraven, 2008).Kemampuan phonological awareness adalah kesadaran bahwa bahasa yangdiucapkan dapat dipilah menjadi kata-kata tunggal dan kata-kata tunggal dapatdipilah pula menjadi fonem/ bunyi huruf (Wagner, dalam Verhoeven dkk., 2010).Aspek phonological awareness ini terutama penting dalam proses decoding bahasadengan sistem ejaan yang rumit seperti bahasa Inggris. Hal ini dikarenakan bahasaInggris memiliki sistem ejaan yang sangat tidak konsisten, misalnya bunyi huruf <u>pada kata hurt dan but akan memiliki bunyi yang berbeda. Sebaliknya, dalam kajianbahasa Indonesia diketahui bahwa bunyi bahasa yang dimiliki tidak terlalu rumitdibandingkan dengan bahasa Inggris dan biasa disebut dengan sistem bahasa yangmenganut shallow orthography (Chaer, 2009). Konsistensi antara huruf dan bunyihurufnya masih lebih tinggi daripada bahasa Inggris Oleh karena itu, penekananpembelajaran membaca awal di Indonesia, biasanya langsung berfokus kepada sukukata serta penambahan awalan, tengah, dan akhiran, bukan pada bunyi huruf(fonem). Anak menjadi kurang menyadari tentang fonem dibandingkan bunyi sukukata atau kata. Padahal kesadaran akan bunyi huruf ini juga penting dalam belajarmembaca.Sementara itu, kemampuan pemrosesan ortografi adalah kemampuan untukmemahami bentuk ortografis dalam suatu sistem bahasa. Ortografis adalah hubunganantara tulisan (sekelompok simbol) dengan struktur bahasa (Katz dan Frost, 1992)atau suatu sistem ejaan dalam sebuah bahasa (Chaer, 2009). Penelitian terhadap anaknormal, disleksia, keterlambatan bicara, serta ADD (attention deficit disorder) yangdilakukan McCallum dkk. (2006) menunjukkan bahwa ortografi merupakan prosesyang ikut berpengaruh terhadap proses membaca. Demikian halnya pada penelitianoleh Stahl dkk. (1999) terhadap siswa pada program perbaikan membaca (readingrecovery). Penelitian-penelitian tersebut umumnya dilakukan menggunakan kajiankosakata Bahasa Inggris. Sementara itu di Indonesia sendiri belum banyak penelitianserupa. Padahal perbedaan sistem bahasa (antara shallow orthography dan deeporthography) dapat mempengaruhi kemampuan pemrosesan ortografi sekaligus

Page 54: Vol. 1, No. 2 September 2014

122 | Pengaruh Phonological Awareness dan Kemampuan Pemrosesan Ortografiphonological awareness individu yang menggunakan sistem bahasa tersebut (Frostdalam Snowling dan Hulme, 2005)Berdasarkan penjelasan di atas maka phonological awareness dankemampuan pemrosesan ortografi menjadi penting untuk diteliti terutama dikaitkandengan pengaruhnya terhadap kemampuan membaca awal dalam kajian BahasaIndonesia yang merupakan suatu sistem bahasa yang menganut shallow orthography.Ada tidaknya pengaruh phonological awareness dan kemampuan pemrosesanortografis terhadap kemampuan membaca awal dalam hasil penelitian ini nantinyaakan dapat digunakan sebagai dasar untuk melihat kemampuan siswa ketika belajarmembaca.Metode PenelitianSubjek Subyek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SD Negeri Klampis Ngasem Ikelas pra-klasikal 1 dan 2 Tahun Ajaran 2011-2012. Sekolah ini dipilih oleh penuliskarena merupakan salah satu sekolah inklusi terbaik di Surabaya. Penulis memilihsekolah inklusi sebagai tempat penelitian karena sekolah inklusi juga menerimamurid berkebutuhan khusus dimana untuk kelas pra-klasikal pada sekolah ini adalahdiperuntukkan bagi siswa dengan kemampuan akademis (membaca, menulis, danberhitung) yang kurang baik dibandingkan siswa regular namun masih memilikikemampuan sosial dan perilaku yang cukup baik (masih bisa bersosialisasi dengankelompok kecil) sehingga akan lebih bermanfaat jika penelitian ini dilakukan dalamkarakter subyek seperti kelas pra-klasikal ini. Tingkatan kelas pra-klasikal 1 dan 2dipilih karena pada tingkat tersebut pada umumnya kemampuan membaca siswaberkisar antara belajar membaca suku kata dan kata.Subyek penelitian dalam penelitian ini berjumlah 15 siswa (8 siswa kelas pra-klasikal 1 dan 7 siswa kelas pra-klasikal 2) meskipun jumlah total siswa kelas pra-klasikal 1 dan 2 adalah 21 siswa (10 siswa pra-klasikal 1 dan 11 siswa pra-klasikal 2).6 siswa tidak diikutsertakan dalam penelitian ini dikarenakan beberapa alasan 4diantaranya karena kurang memenuhi kriteria subyek penelitian ini dan 2 lainnyadikarenakan tidak masuk selama pengambilan data berlangsung. 6 siswa tersebutterdiri dari 2 siswa dari kelas pra-klasikal 1 dan 4 siswa dari kelas pra-klasikal 2.Adapun kriteria subyek penelitian ini adalah sebagai berikut:1. mampu membaca huruf A sampai Z secara urut2. minimal cukup mampu membaca suku kata3. secara fisik mampu melihat dan mendengar dengan baikDesain Berdasarkan metode yang digunakan, penelitian ini menggunakan tekniksurvey, dengan tujuan yang bersifat eksplanatoris untuk menjelaskan pengaruh

Page 55: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 123variabel phonological awareness (X1) dan kemampuan pemrosesan ortografi (X2)terhadap variabel kemampuan membaca awal (Y). Pengujian hipotesis dilakukandengan teknik statistik regresi berganda.Penggalian dataAlat yang digunakan dalam pengumpulan data, yakni:

Tes phonological awareness. Alat tes ini akan terdiri dari 5 jenis tes aspekdalam phonological awareness yang didasarkan pada kompleksitas linguistik sertaproses kognitif yang menyertai jenis tes tersebut, yaitu: phonological awareness sukukata (terdiri dari menghitung jumlah suku kata, segmentation suku kata, blendingsuku kata, deletion suku kata); phonological awareness rima (terdiri dari analisabunyi awal, analisa bunyi akhir, analisa bunyi tengah); blending bunyi huruf,segmentation bunyi huruf, dan deletion bunyi huruf. Tes ini diberikan secara lisankepada subyek menggunakan alat pendukung berupa kartu gambar dan boneka.Untuk mengukur phonological awareness (suku kata; analisa bunyi; serta blending,segmentation, dan deletion bunyi huruf) digunakan alat ukur dengan total 50pertanyaan yang terdiri dari 20 phonological awareness suku kata, 15 phonologicalawareness analisa bunyi, 5 blending bunyi huruf, 5 segmentation bunyi huruf, dan 5deletion bunyi huruf. Setelah dilakukan uji coba terpakai oleh peneliti makadidapatkan bahwa koefisien Cronbach’s Alpha alat ukur phonological awareness inisebesar 0,928.

Tes kemampuan pemrosesan ortografis. Pada tes ini, subyek akan dimintauntuk memilih kata yang memiliki ejaan yang sama persis (dari tiga pilihan kata padakartu kedua) dengan kata yang ditunjukan oleh peneliti dalam kartu pertama.Pertimbangan penyajian tes ini dikarenakan tidak kesemua subyek bisa membacadengan lancar sehingga yang diharapkan adalah subyek cukup mengingat ejaan darimasing-masing kata. Disamping itu ada penelitian lain yakni oleh McCallum dkk.(2006) yang juga menggunakan model alat tes yang sama dengan penulis yaitudengan meminta subyek untuk memilih ejaan kata yang paling tepat dari 4 pilihanejaan kata yang disajikan. Pilihan kata pada alat tes telah disesuaikan dengankosakata anak usia 4 hingga 7 tahun yang diambil dari buku karangan Kulsum (2003)edisi 1A hingga 3B dan buku karangan Jaruki (2008). Alat ukur kemampuanpemrosesan ortografi berisi 15 pertanyaan. Setelah dilakukan uji reliabilitas denganuji coba terpakai didapatkan koefisien Cronbach’s Alpha sebesar 0,823. Sementara itujika dilihat dari hasil uji korelasi antara skor aitem dengan skor skalanya, makaaitem-aitem dalam alat ukur ini memiliki aitem dengan kisaran nilai diatas 0,25(kriteria koefesien r yang telah ditetapkan) sebanyak 12 aitem, sedangkan aitemdengan kisaran nilai di bawah 0,25 sebanyak 3 aitem. Kedua macam aitem tersebuttersebar pada beberapa indikator. Serupa dengan alat tes phonological awarenessdikarenakan jumlah pertanyaan yang terbatas untuk masing-masing indikator makapenulis tidak melakukan perubahan pada jumlah pertanyaan atau aitem agar alat testetap dapat mewakili keseluruhan indikator yang ingin diukur.

Page 56: Vol. 1, No. 2 September 2014

124 | Pengaruh Phonological Awareness dan Kemampuan Pemrosesan OrtografiTes kemampuan membaca awal. Alat tes membaca ini akan berisi kata-katayang umum digunakan sehari-hari, serta kata-kata yang bukan kata (nonwords).Penyajiaan alat tes ini dipertimbangkan bisa sesuai dengan kemampuan subyekkarena tidak semua subyek mampu membaca lancar sehingga kata yang disajikantidak terlalu rumit. Disamping itu pertimbangan pemberian soal sekaligus kata umumdan non-word adalah dikarenakan untuk melihat proses subyek dalam membacaterkait rute leksikal dan non-leksikal. Disamping itu menurut Strattman dan Hodson(2005) disebutkan bahwa soal tes nonword akan mengurangi efek ingatan terhadapejaan kata dan subyek akan lebih menggunakan aturan fonologi huruf dan bunyihuruf (grafem - fonem). Pilihan kata pada alat tes telah disesuaikan dengan kosakataanak usia 4 hingga 7 tahun yang diambil dari buku karangan Kulsum (2003) edisi 1Ahingga 3B dan buku karangan Jaruki (2008). Baik alat ukur kemampuan membacaawal kata dan nonword ini terdiri dari 10 pertanyaan. Koefisien Cronbach’s Alphauntuk alat ukur ini setelah dilakukan uji coba terpakai adalah sebesar 0,933.Sementara itu jika dilihat dari hasil uji korelasi antara skor aitem dengan skorskalanya, maka 10 aitem dalam alat ukur ini memiliki aitem dengan kisaran nilaidiatas 0,25 (kriteria koefesien r yang telah ditetapkan).

Hasil PenelitianSetelah uji asumsi (normalitas, heteroskedastisitas, dan multikolinieritas)terpenuhi, dilakukan uji hipotesis. Berdasarkan uji ANOVA diperoleh F sebesar 4,620dengan tingkat signifikansi 0,033, yang berarti model regresi yang dihasilkan layakdigunakan untuk digunakan memprediksi kemampuan membaca awal. Atau dengankata lain, variabel phonological awareness dan kemampuan pemrosesan ortografisecara bersama-sama mempengaruhi kemampuan membaca awal.Tabel 1.Dasar Penyusunan Persamaan RegresiModel

UnstandardizedCoefficients

StandardizedCoefficients t Sig.

CollinearityStatistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 4.959E-8 .210 .000 1.000TotZ_PA .074 .067 .283 1.118 .285 .734 1.362Zscore(ORTO) .467 .253 .467 1.845 .090 .734 1.362a. Dependent Variable: Zscore(BACAkatanonword)Berdasarkan tabel persamaan regresi di atas, maka dapat disusun persamaanregresi untuk variabel phonological dan kemampuan pemrosesan ortografi terhadapkemampuan membaca awal:Y = 4,959 + 0,074X1 + 0,467X2

Page 57: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 125Berdasarkan data tersebut konstanta sebesar 4,959 mempunyai arti bahwajika tidak ada peningkatan pada phonological awareness dan kemampuan pemrosesanorotografi, maka kemampuan membaca awal akan sebesar 4,959. Koefisien regresi X1sebesar 0,74 tersebut memiliki arti bahwa setiap peningkatan phonologicalawareness sebesar 1, maka kemampuan membaca awal juga akan naik sebesar 0,74.Sementara koefisien regresi X2 sebesar 0,47 mempunyai arti bahwa setiappenambahan 1 kali kemampuan pemrosesan ortografi maka kemampuan membacaawal akan meningkat sebesar 2,086. Tabel 2.Hasil uji regresi bergandaModel R R Square Adjusted R

SquareStd. Error ofthe Estimate

Durbin-Watson1 .660a .435 .341 .81188458 1.471a. Predictors: (Constant), Zscore(ORTO), TotZ_PAb. Dependent Variable: Zscore(BACAkatanonword)

Berdasarkan tabel di atas, angka Standar Error of the Estimate sebesar0,81188458 untuk variabel kemampuan membaca awal. Jika dibandingkan denganangka Standar Deviasi (STD) yaitu sebesar 12.362 maka angka SEE lebih kecil. Iniberarti kedua prediktor memang baik untuk dijadikan prediktor dalam menentukankemampuan membaca awal.Sementara itu, tampak bahwa nilai R square sebesar 0,435. Hal ini berarti43,5% dari kemampuan membaca awal dapat dijelaskan oleh variabel phonologicalawareness dan kemampuan pemrosesan ortografi. Sedangkan sisanya (56,5%)dijelaskan oleh sebab lain. Nilai 43,5% ini masih lebih kecil dibandingkan prosentasepenyebab lainnya dalam mempengaruhi kemampuan membaca awal. Ini berartihubungan kedua variabel tidak terlalu kuat. Berdasarkan nilai prosentase tersebutmaka sumbangan efektif (SE) dari tiap prediktor dari keseluruhan prediksi adalah:prediktor X1: SE = 15,22%prediktor X2: SE = 28,28%Jadi kesimpulannya bahwa 43,5% variasi kemampuan membaca awal subyekdapat diprediksi oleh phonological awareness dengan sumbangan sebesar 15,22%,dan kemampuan pemrosesan ortografi subyek dengan sumbangan sebesar 28,22%.Selain itu yang perlu digarisbawahi berdasarkan penelitian ini adalah dikarenakan ujit masing-masing variabel tidak signifikan dan uji F-nya signifikan maka bisadikatakan phonological awareness dan kemampuan pemrosesan ortografi secarabersama-sama dapat memprediksi kemampuan membaca awal. Namun baikphonological awareness maupuan kemampuan pemrosesan ortografi tidakberpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan membaca awal jika diuji secaraterpisah atau tidak bersamaan.

Page 58: Vol. 1, No. 2 September 2014

126 | Pengaruh Phonological Awareness dan Kemampuan Pemrosesan OrtografiPembahasanHasil uji hipotesis yang dilakukan memberikan kesimpulan bahwakemampuan membaca awal dapat dijelaskan oleh faktor phonological awareness dankemampuan pemrosesan ortografi secara bersama-sama. Namun kemampuanpemrosesan ortografi ternyata merupakan prediktor yang lebih kuat dalammenjelaskan kemampuan membaca awal. Prosentase sumbangan efektif phonologicalawareness sebesar 15,22% dari 43,5% sumbangan total phonological awareness dankemampuan pemrosesan ortografis secara bersama-sama dalam memprediksikemampuan membaca awal, sedangkan prosentase kemampuan pemrosesanortografi lebih besar yaitu 28,28% dari 43,5% tersebut. Disamping itu, ketikadilakukan analisis regresi dengan menggunakan pemilihan model regresi terbaikdengan variabel bebas yang paling berpengaruh terhadap variabel terikat, maka hasilyang muncul juga menunjukkan kemampuan pemrosesan ortografi merupakanprediktor yang berpengaruh dan signifikan dengan prosentase 37,6% terhadapkemampuan membaca awal. Hal ini semakin memperkuat temuan bahwakemampuan pemrosesan ortografi dalam penelitian yang dilakukan penulismerupakan faktor yang lebih berperan dalam menjelaskan kemampuan membacaawal dibandingkan phonological awareness.Simpulan di atas sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sparks (2004)yang menghasilkan kesimpulan bahwa kemampuan pemrosesan ortografi merupakanprediktor yang kuat dalam mempengaruhi kemampuan membaca baik word maupunpseudoword (kata yang homofon dengan word, bisa berupa nonword ataupun wordlainnya) pada anak hiperleksia ketika dibandingkan dengan anak normal. Individuhiperleksia adalah individu yang memiliki kemampuan membaca kata melebihikemampuan lingustik dan intelegensi yang dimilikinya, namun memiliki kesulitandalam memahami bacaan secara lisan maupun tulisan.Meskipun subyek dalam penelitian penulis bukan anak hiperleksia, namunkemampuan pemrosesan ortografi juga berpengaruh terhdap kemampuan membacaawal yang dicapai oleh mereka. Penelitian lain yang hampir serupa juga ditunjukkandalam penelitian oleh Gabig (2010). Dalam penelitian terhadap beberapa anak autistersebut dihasilkan bahwa kemampuan membaca kata dan nonword mereka ternyatatidak dipengaruhi oleh phonological awareness melainkan lebih dipengaruhi olehkemampuan visual memori tentang bentuk kata. Hal ini diperkuat pula denganpenelitian oleh Zourou dkk. (2010) terhadap anak-anak dengan hambatan berbahasayang menghasilkan kesimpulan bahwa phonological awareness bukan faktor utamayang menyebabkan kesulitan dalam membaca.Tractenberg (2002) juga menyebutkan bahwa pada individu yang memilikikesulitan membaca, faktor memori juga sangat penting disamping phonologicalawareness. Disamping itu Blackman dan Burger (1972) juga menunjukkan bahwadalam penelitiaanya terhadap anak retardasi mental serta anak normal dihasilkanbahwa anak yang memiliki kemampuan diskriminasi visual ortografi yang lebih bagusakan lebih baik dalam kemampuan membaca. Ini menunjukkan bahwa kemampuan

Page 59: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 127pemrosesan ortografi memang memiliki pengaruh yang kuat dalam kemampuanmembaca awal pada anak-anak.Hasil penelitian-penelitian di atas sedikit berbeda dengan penelitian mengenaihal serupa namun mengikutsertakan subyek anak-anak normal dengan kemampuanmembaca normal. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh McCallum dkk.(2006); Stattman dan Hodson (2005); Hester dan Hodson (2004); serta Stahl dkk.(1999). Pada penelitian-penelitian tersebut dihasilkan bahwa phonological awarenessdan kemampuan pemrosesan ortografi sama-sama memiliki pengaruh yang signifikanterhadap kemampuan membaca.Kemungkinan terbesar penyebab perbedaan kedua kelompok penelitian diatas adalah dikarenakan adanya kemampuan kognitif yang berbeda pada beberapasubyek pada paragraf di atas dibandingkan dengan anak-anak normal. Perbedaan inimenyebabkan perbedaan dalam memahami struktur kata, suku kata, bunyi hurufwalaupun mereka sudah mampu membaca kata sekalipun. Kemungkinan lainnya bisajuga disebabkan karena keterbatasan kognitif mereka dalam memahami instruksidalam subtes phonological awareness itu sendiri. Dua kemungkinan penyebab ini jugamuncul dalam penelitian-penelitian dengan subyek bukan anak normal pada paragrafkedua. Tambahan kemungkinan penyebab lainnya adalah dikarenakan berdasarkandeskripsi penelitian, subyek dalam penelitian penulis lebih memiliki kesadaranterhadap suku kata daripada bunyi huruf sehingga ini mempengaruhi perolehankeseluruhan hasil tes phonological awareness yang lebih didominasi oleh satuanbunyi huruf daripada suku kata. Kenyataan tersebut sejalan dengan pernyataanAnthony dan Francis (2005) yang mengatakan bahwa anak-anak yang berada padanegara dengan sistem bahasa dimana bunyi suku katanya lebih jelas dan konsisten,seperti Itali, Yunani, dan Turki (shallow orthography) akan memiliki kepekaanterhadap bunyi suku kata lebih cepat daripada anak-anak yang berada pada negaradengan sistem bahasa dengan konsistensi bunyi suku kata yang rendah sepertiInggris dan Prancis.Liow dan Lee (2004) yang mengukur tentang kesadaran metalinguistikterhadap kosakata Rumi Malaysia pada anak normal usia 6-8 tahun yang sedangbelajar membaca awal juga mengatakan bahwa anak-anak lebih mudahmengidentifikasi suku kata dan morfem dibandingkan dengan bunyi huruf. KosakataRumi Malaysia merupakan kosakata yang lebih konsisten daripada kosakata BahasaInggris. Sebagaimana Bahasa Indonesia, kosakata ini biasa disebut dengan shallowalphabetic-script atau shallow orthography atau transparent orthography. Tulisandengan jenis seperti ini cenderung lebih memudahkan bagi yang sedang belajarmembaca untuk memilah kata menjadi suku kata karena sudah tampak jelas padapengucapannya. Pengajaran membaca di Indonesia sendiri umumnya juga langsungmenekankan pada membaca suku kata setelah mengenal nama huruf daripadamengenalkan pada berbagai bunyi huruf. Anthony dan Francis (2005) pun jugamenyimpulkan bahwa pada umumnya anak-anak memang akan lebih peka terlebih

Page 60: Vol. 1, No. 2 September 2014

128 | Pengaruh Phonological Awareness dan Kemampuan Pemrosesan Ortografidahulu terhadap suku kata daripada bunyi huruf. Itu berarti phonological awarenesssubyek dalam penelitian memang berada pada tahap kepekaan terhadap suku katadan ditambah pula dengan sistem ejaan di Indonesia yang merupakan shalloworthography.Ehri (dalam Abbeduto, 2003) mengatakan bahwa pada usia antara 5-7 tahun,anak akan membaca kata dengan melibatkan phonological awareness dan memorimereka mengenai huruf, kelompok bentuk huruf disertai bunyinya. Sementara padausia antara 6-8 tahun anak telah lebih mahir dalam mengidentifikasi kata dan lebihmenekankan memori dalam proses tersebut, sehingga proses penekanan membacakata lebih kepada proses memahami bacaan. Subyek dalam penelitian penulismemiliki rentang usia yang berada diantara kedua fase membaca tersebut. Namundikarenakan phonological awareness mereka masih lebih kurang dibandingkankemampuan pemrosesan ortografi maka kemampuan memori dalam mengenalibunyi kata berdasarkan visualisasi bentuk kata sebagaimana yang terjadi padapemrosesan ortografi masih lebih dilibatkan dalam proses membaca kata. Olehkarena itu pula phonological awareness mereka kurang sejalan dengan kemampuanmembaca mereka.Namun dalam penelitian penulis juga ditemukan bahwa ketika phonologicalawareness bekerjasama dengan kemampuan pemrosesan ortografi, keduanyamemiliki pengaruh terhadap kemampuan membaca awal meskipun prosentasepengaruhnya tidak terlalu besar. Selain sejalan dengan beberapa penelitian yangtelah disebutkan di atas pada beberapa kasus anak normal, fakta ini juga sejalandengan penjelasan Coltheart dkk. (2001 dalam Snowling dan Hulme, 2005) bahwadalam proses membaca tulisan kemampuan untuk mengakses sebuah representasimodel ortografis leksikal kata maupun represesentasi fonologis (aturan huruf danbunyi huruf) sama-sama dibutuhkan baik dalam membaca kata maupun nonword,atau baik mengunakan rute leksikal maupun non-leksikal.Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pemrosesan ortografi danphonological awareness akan selalu bersama-sama dibutuhkan dalam kemampuanmembaca kata. Hanya saja karena kecenderungan akses rute leksikal maupun rutenon-leksikal antar individu berbeda-beda maka proses membaca tulisan antara orangyang satu dengan yang lain juga berbeda-beda. Demikian halnya kemampuanpemrosesan ortografi dan phonological awareness mereka.Temuan lainnya dalam penelitian penulis juga menunjukkan bahwa nilai yangdihasilkan siswa lebih tinggi dalam tes phonological awareness analisa bunyi awal danbunyi akhir daripada bunyi tengah. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan olehAnthony dan Francis (2005) yang mengatakan bahwa anak akan lebih dulu mampumengidentifikasi bunyi awal dan akhir dibandingkan bunyi tengah.Prosentase keterlibatan baik kemampuan pemrosesan ortografi maupunphonological awareness dalam kemampuan membaca awal pada penelitian sama-sama kecil. Itu berarti masih ada faktor lain yang ikut mempengaruhi kemampuanmembaca awal pada subyek penelitian ini. Kemungkinan faktor lain yang

Page 61: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 129mempengaruhi kemampuan membaca awal mereka adalah metode pengajaran.Subyek dalam penelitian ini terdiri dari kelas 1 dan 2 pra-klasikal. Kedua kelas pra-klasikal ini dibimbing oleh dua guru yang berbeda dengan pola pengajaran sertamateri yang agak berbeda. Menurut pengamatan peneliti guru kelas dua lebihmenekankan pengulangan identifikasi huruf vokal dahulu setiap mulai melatihmenggabungkannya dengan huruf konsonan dalam sebuah kata. Ia juga sangatmenekankan kegiatan akademis membaca ini dibandingkan materi lainnya.Sedangkan guru kelas 1 lebih menekankan membaca suku kata secara langsung tanpapengulangalan penekanan huruf vokal terlebih dahulu dan disamping itu gurutersebut juga tidak terlalu menekankan agar anak bisa membaca melainkan lebihdisesuaikan dengan kesanggupan anak dalam mengikuti proses belajar itu sendiri.Metode pengajaran sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kemampuanmembaca anak tersebut juga dikemukakan dalam Liow dan Lee (2004). Hasilpenelitian tersebut menunjukkan bahwa metode pengajaran yang berbeda dapatmenyebabkan karakter kemampuan membaca yang akhirnya juga berbeda.Kemungkinan faktor lainnya adalah kemampuan intelegensi terutama memoridan pemahaman pada masing-masing anak. Data mengenai kemampuan intelegensianak tidak lengkap sehingga penulis tidak dapat melihat aspek kemampuanpemahaman dan memori dengan kemampuan membaca mereka. Namun Rubin(dalam Rahim, 2006) mengatkan bahwa secara umum ada hubungan positifmeskipun tidak terlalu tinggi antara kecerdasan dengan kemampuan membacawalaupun tidak semua anak yang berintelegensi tinggi merupakan pembaca yangbaik. Dahlin (2010) juga menyebutkan bahwa memori terutama working memoryjuga berperan dalam proses membaca. Faktor lainnya yang juga dijelaskan dalamRahim (2006) dan mungkin juga berpengaruh pada hasil penelitian penulis ini adalahfaktor lingkungan seperti latar belakang anak, sosial ekonomi siswa, sertapembelajaran orang tua di rumah, dan juga faktor psikologis anak seperti motivasi,minat, kematangan emosi dan sosial, serta penyesuaian diri yang tidak tersebutdalam penelitian ini. Sattler (2002) juga mengemukakan bahwa perhatian dankonsentrasi juga berpengaruh pada proses membaca.Temuan lainnya terkait penelitian penulis, tampak bahwa perbedaan reratanilai antara siswa kelas 1 dengan kelas 2 memang agak besar terutama pada teskemampuan membaca awal baik kata maupun nonword, segmentation bunyi huruf,dan kemampuan pemrosesan ortografi. Ini menunjukkan bahwa seiring denganperiode pengajaran membaca yang lebih lama dan kata yang dikenalkan juga lebihbanyak, kemampuan dalam aspek kesadaran bunyi huruf dalam sebuah kata akanikut meningkat meskipun tidak signifikan. Hal ini juga disebutkan Serrano dan Defior(2008) yang mengatakan bahwa seiring dengan berkembangnya kemampuanmembaca dan mengeja, phonological awareness anak berkembang denganmemanfaatkan informasi ortografis yang diajarkan padanya. Dalam konteks subyekpenelitian ini, informasi ortografis yang didapatkan anak berasal dari pelajaran

Page 62: Vol. 1, No. 2 September 2014

130 | Pengaruh Phonological Awareness dan Kemampuan Pemrosesan Ortografimembaca kata yang diberikan oleh guru. Anak menjawab soal tentang phonologicalawareness dengan membayangkan bagaimana bentuk ortografi tulisan dari sebuahkata. Di luar dari semua hasil telaah teoritis terhadap penelitian penulis di atas,penulis menyadari terdapat banyak keterbatasan yang terjadi dalam penelitian ini.Kelemahan yang paling tampak adalah faktor jumlah subyek yang terbatas.Kekurangan lainnya adalah faktor tempat tes yang kurang kondusif karena harusdilakukan di kelas dan masing-masing tester serta testee hanya disekat oleh kayuyang tidak terlalu tinggi. Ketiga adalah faktor waktu yang nampaknya kurang panjangdalam melakukan pengukuran sehingga bagi para subyek yang memang memilikihambatan dalam bidang akademis tersebut akan terasa berat sehingga bisa sajakemampuan mereka kurang maksimal karena adanya faktor kelelahan. Faktorlainnya adalah metode penyampaian alat tes yang mungkin dirasa subyek kurangbervariasi sehingga ada beberapa subyek yang mulai bosan ketika diberi pertanyaandengan model penyampaian yang hampir sama dari awal hingga akhir.SimpulanBerdasarkan hasil analisa data subyek penelitian ini terdapat kesimpulanbahwa phonological awareness dan kemampuan pemrosesan ortografi secarabersama-sama berpengaruh terhadap kemampuan membaca awal dengan prosentasepengaruh sebesar 43,5%. Namun secara lebih spesifik, kemampuan pemrosesanortografi memiliki peranan lebih besar dan signifikan dalam kemampuan membacaawal tersebut dibandingkan phonological awareness.Daftar PustakaAnthony, J.L., & Francis, D.J. 2005. Development of Phonological Awareness. Current

Directions in Psychological Science, 14, 255Blackman, L.S.,& Burger, A.L. 1972. Psychological Factors Related to Early ReadingBehavior of EMR and Non-retarded Children. American Journal of MentalDeficiency, 77, 212-219Chaer, A. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka CiptaDahlin, K. I.E. 2010. Effects of Working Memory Training on Reading in Children withSpecial Needs. Journal of Learning Disabilities, 24, 479Hester, E., & Hodson, B. W. 2004. The Role of Phonological Representation inDecoding Skills on Young Readers. Child Language Teaching and Therapy, 20,2Gabig, C.S. 2010. Phonological Awareness and Word Recognition in Reading byChildren with Autism. Communication Disorders Quarterly, 31,67

Page 63: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 131Jaruki, M. 2008. Bahasa Kita Bahasa Indonesia 1: SD dan MI kelas 1. Surabaya: JePePress Media UtamaKulsum, U. 2003. Pintar Membaca edisi 1A - 3B. Surabaya: ArkolaMatlin, M.W. 2005. Cognition 6th . USA: John Wiley & Sons, Inc.McCallum, R. S., Bell, S. M., Wood, M. S., Belom, J. L., dan Choate, S. M. 2006. What isThe Role of Working Memory in Reading Relative to The Big Three ProcessingVariables (Ortografi, Phonologyy, and Rapid Naming)?. Journal ofPsychoeducational Assesment, 24, 243Rahim, Farida. 2006. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi AksaraSattler, J.M. 2002. Assessment of Children. La Mesa, CA: Jerome M. Sattler Publisher2002Serrano, F. & Defior, S. 2008. Dyslexia Speed Problems in a Transparent Orthography.Annual of Dyslexi , 58, 91-95Skibbe, L., Behnke, M., dan Justice, L. M. 2004. Parental Scaffolding of Children’sPhonological Awareness Skill. Communication Disorder Quarterly, 25, 189Snowling, M.J., dan Hulme, C. 2005. The Science of Reading: A Handbook. USA:Blackwell PublishingSparks, R.L. 2004. Orthographic Awareness, Phonemic Awareness, SyntacticProcessing, and Working Memory Skill in Hyperlexic Children. Reading andWriting: an Interdisciplinary Journal, 17, 359-386Stahl, K.A.D., Sthal, S.A., & McKenna, M.C. 1999. The Development of PhonologicalAwareness and Orthographic Processing in Reading Recovery. InternationalJournal of Early Reading and Writing, 4,1,7Strattman, K., dan Hodson, B. W. 2005. Variables that Influence Decoding and Spellingin Beginning Readers. Journal Child Language Teaching and Therapy, 21, 165Tractenberg, R.E. 2002. Exploring Hypotheses About Phonological Awareness,Memory, and Reading Achievement. Journal of Learning Dissabilities. 35,5,407-424Vloedgraven, J. 2008. Developmental of Phonological Awareness in Relation to Literacy:an item response theory perspective. Nederland: Radboud Universiteit NijmegenVerhoeven, L., Reitsma, P., dan Siegel, L.S. 2010. Cognitive And Linguistic factor inReading Acquisition. Springerlink DOI 10.1007/s11145-010-9232-4Zourou, F., Ecalle, J., Magnan, A., & Sanchez, M. 2010. The fragile nature ofphonological awareness in children with specific language impairment:Evidence from literacy development. Child Language Teaching and Therapy, 26,3, 347-358.

Page 64: Vol. 1, No. 2 September 2014

132

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INKUIRITERHADAP KEMAMPUAN MENGENAL KONSEP GAYA

PADA ANAK TUNARUNGU KELAS IV DI SEKOLAHBERKEBUTUHAN KHUSUS TUNAS KASIH SURABAYA

Nurina RahmaE-mail: [email protected]

AbstrakKonsep gaya adalah salah satu pokok materi dalam pelajaran IPA Sekolah Dasar.Berdasarkan hasil observasi, siswa tunarungu kelas IV di Sekolah BerkebutuhanKhusus Tunas Kasih Surabaya, peneliti menjumpai permasalahan bahwakurangnya penguasaan pembelajaran IPA materi konsep gaya saat di kelasdengan nilai prosentase 40%. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan adatidaknya pengaruh model pembelajaran inkuiri terhadap kemampuan mengenalkonsep gaya pada anak tunarungu kelas IV di Sekolah Berkebutuhan KhususTunas Kasih Surabaya. Penelitian ini merupakan desain “the one group pre–testand post–test design”. Subyek dalam penelitian ini adalah anak tunarungu kelas IVSekolah Berkebutuhan Khusus Surabaya. Metode pengumpulan data yangdigunakan adalah metode tes dan metode observasi. Analisis data dilakukandengan teknik statistik non parametrik Sign Test (Zʜ). Berdasarkan analisis datadalam penelitian ini pada nilai Ho ditolak Zʜ > +1,96 atau Zʜ < -1,96 = 2,04 > 1,96yang berarti hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikanterhadap kemampuan mengenal konsep gaya pada anak tunarungu kelas IV diSekolah Berkebutuhan Khusus Tunas Kasih Surabaya setelah diberikanintervensi dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri yaitu melaluikegiatan eksperimen gaya dapat mengubah bentuk benda, tampak adaperubahan yang lebih baik dari hasil pre test dan post test. Maka dapatdisimpulkan bahwa Penggunaan model pembelajaran inkuiri berpengaruhsignifikan terhadap kemampuan mengenal konsep gaya pada anak tunarungukelas IV di Sekolah Berkebutuhan Khusus Tunas Kasih Surabaya dengan tarafpresentase 5% yaitu nilai Zʜ = 2,04 > Z½ α = 1,96.Kata kunci: Model Pembelajaran Inkuiri, Konsep Gaya, Anak Tunarungu

Page 65: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 133

PendahuluanKonsep gaya adalah salah satu pokok materi dalam pelajaran IPA Sekolah Dasar.Materi gaya adalah salah satu materi yang sulit sekali dipahami oleh anak tunarungukarena anak tunarungu mengalami kesulitan dalam mendengar. Oleh karena itumenyebabkan anak tunarungu tidak optimal menerima pembelajarannya.Berdasarkan hasil observasi di berbagai SLB di Surabaya, peneliti menemukanbahwa penguasaan pembelajaran IPA khususnya pada materi konsep gaya di kelas IVSekolah Berkebutuhan Khusus Tunas Kasih Surabaya memiliki nilai rata-rata rendah.Proses pembelajaran IPA masih menerapkan pembelajaran yang bersifatkonvensional yang pada tahap pelaksanaan pembelajarannya dimulai darimenjelaskan materi, memberi contoh dan dilanjutkan dengan latihan soal, sehinggapembelajaran cenderung didominasi oleh guru. Strategi pembelajaran expotitionlebih banyak digunakan, dimana bahan pelajaran disajikan kepada anak dalambentuk jadi dan anak dituntut untuk menguasai bahan tersebut (Sanjaya, 2007).Siswa kurang diberikan kesempatan untuk memikirkan dan menemukan konsepsendiri.Dominasi guru menyebabkan anak menjadi pasif, karena siswa kurang dapatmengemukakan ide–ide dan pendapat yang dimilikinya. Hal ini mengakibatkankonsep yang dipelajari anak cenderung tidak bertahan lama atau mudah hilangbahkan kadang–kadang anak tidak mengerti atau tidak memahami konsep yangsedang dipelajari, karena anak dituntut untuk menghafal bukan memahami materiyang diajarkan.Selain itu, siswa juga masih enggan untuk bertanya kepada guru atau bertanyakepada temannya walaupun tidak bisa memecahkan masalah yang diberikan,sehingga kurang terjadi komunikasi antara anak dengan guru. Dalam menyelesaikansoal-soal atau masalah IPA, anak jarang diminta untuk mengungkapkan alasannyadan menjelaskan secara lisan atau tertulis mengapa mereka memperoleh jawabantersebut sehingga terjadi kesalahan konsep pada anak itu sendiri serta anak kurangterbiasa menyimpulkan materi yang telah dipelajari secara sistematis.Penguasaan materi IPA bagi anak tunarungu memerlukan pengamatan visualsesuai dengan karakteristik anak tunarungu yang terbiasa belajar secara visual.Penggunaan media pada proses pembelajaran IPA dapat meningkatkan kemampuanmengenal konsep gaya dan untuk memahami benda atau proses tentang hal-hal yangkonkrit menuju ke hal yang sifatnya abstrak (Pratiwi, 2001). Dalam hal ini, perludirancang suatu proses pembelajaran menekankan kemampuan siswa untuk mencari,menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapatmerumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.Model pembelajaran inkuiri adalah model pembelajaran yang banyakdipengaruhi oleh aliran belajar kognitif. Dalam aliran ini belajar pada hakikatnyaadalah proses mental dan berfikir dengan memanfaatkan segala potensi yang dimilikioleh individu secara optimal. Maksud yang terkandung dalam aliran ini adalah

Page 66: Vol. 1, No. 2 September 2014

134 | Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiribagaimana pengetahuan yang diperoleh siswa bisa bermakna melalui ketrampilanberpikir (Trianto, 2007).Pembelajaran dalam model pembelajaran inkuiri dirancang untuk mengajaksiswa secara langsung ke dalam proses ilmiah ke dalam waktu yang relatif singkat.Dengan pembelajaran inkuiri pada materi IPA anak akan lebih memahami apa yangdiajarkan karena dalam pembelajaran inkuiri anak dapat melihat bagaimana IPA itudipelajari secara menarik. Oleh karena itu penulis menggunakan model pembelajaraninkuiri untuk meningkatkan kemampuan anak tunarungu dalam mengenal konsepgaya. Sehingga dapat menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja sama danmengkomunikasikannya.Model Pembelajaran InkuiriGulo (2002) menjelaskan strategi inkuiri sebagai suatu rangkaian kegiatanbelajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencaridan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapatmerumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.Inkuiri adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan, yaitu pertanyaan yangdapat dijawab dan mengantarkan pada pengujian dan eksplorasi bermakna (Suryanti,2008). Dengan pengajaran ini guru menyajikan kepada siswa suatu teka-teki ataukejadian-kejadian yang menimbulkan konflik kognitif dan rasa ingin tahu siswasehingga merangsang mereka melakukan penyelidikan.Tabel 1.Langkah-langkah dan Tingkah Laku Guru dalam Pembelajaran Inkuiri

Tahap Perilaku Guru1. Observasi untukmenemukan masalah Guru menyajikan kejadian-kejadian atau fenomena yangmemungkinkan siswa menemukan masalah.2. Merumuskan masalah Guru membimbing siswa merumuskan masalahpenelitian berdasarkan kejadian dan fenomena yangdisajikannya.3. Mengajukan hipotesis Guru membimbing siswa untuk mengajukan hipotesisterhadap masalah yang telah dirumuskannya.4. Merencanakan pemecahanmasalah (melaluieksperimen atau cara lain) Guru membimbing siswa untuk merencanakanpemecahan masalah, membantu menyiapkan alat danbahan yang diperlukan dan menyusun prosedur kerjayang tepat.5. Melaksanakan eksperimen(atau cara pemecahanmasalah yang lain) Selama siswa bekerja guru membimbing danmemfasilitasi.

Page 67: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 1356. Melaksanakan pengamatandan pengumpulan data Guru membantu siswa melakukan pengamatan tentanghal-hal yang penting dan membantu mengumpulkan danmengorganisasi data.7. Analisis data Guru membantu siswa menganalisis data supayamenemukan sesuatu, mengumpulkan dan mengorganisasidata.Guru membantu siswa menganalisis data supayamenemukan suatu konsep.8. Penarikan kesimpulan ataupenemuan Guru membimbing siswa mengambil kesimpulanberdasarkan data dan menemukan sendiri konsep yangingin ditanamkan.Metode PenelitianSubjekSampel dalam penelitian ini adalah siswa tunarungu kelas IV SekolahanBerkebutuhan Khusus Tunas Kasih Surabaya yang berjumlah enam anak (dua laki-laki dan empat perempuan).Desain Penulis menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan jenis penelitianpre-experimental designs (non designs), dengan menggunakan desain penelitian “theone group pre–test and post–test design”. Hasil eksperimen sebagai variabel dependenitu tidak semata–mata dipengaruhi oleh variabel independen. Hal ini dapat terjadikarena tidak adanya variabel kontrol dan sampel tidak dipilih secara random.Instrument penelitian yang dikembangkan di Sekolah Berkebutuhan KhususTunas Kasih Surabaya berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yangmemuat pre test dan post test. Materi yang diberikan yaitu pengertian gaya (tarikandan dorongan), macam-macam gaya, gaya dapat mengubah bentuk suatu benda.Kisi-kisi instrument penelitian meliputi beberapa aspek yang dinilai dapatdilihat pada tabel berikut :

Page 68: Vol. 1, No. 2 September 2014

136 | Pengaruh Model Pembelajaran InkuiriTabel 2.Aspek Kisi-Kisi Instrument PenelitianIndikator Sub Indikator Kisi-Kisi Soal1. Kognitif - Menemukan gaya berupa tarikandan dorongan

- Mendeskripsikan pengertian gaya- Menyebutkan macam-macam dansifat-sifat gaya- Menyimpulkan bahwa bentuk bendadipengaruhi oleh gaya.

- Pengertian gaya- Macam-macam dan sifat-sifatgaya- Pengaruh gaya terhadapperubahan bentuk suatubenda.

2. Afektif - Respon terhadap pertanyaan- Keseriusan dalam proses belajar- Minat belajar. - Gaya, macam-macam gayadan gaya dapat mengubahbentuk suatu benda.

- Lembar Kerja Siswamengamati gaya dapatmengubah bentuk suatubenda.3. Psikomotor - Kemampuan memanfaatkan mediapembelajaran dalam melakukaneksperiment/pengamatan- Menemukan konsep gaya dapatmengubah bentuk suatu benda melaluipengamatan- Mampu mempresentasikan hasilpengamatan.

- Memanfaatkan mediapembelajaran yang ada- Menunjukkan teori gaya dapatmengubah bentuk suatu benda- Mempresentasikan denganurut, jelas dan benar

Kegiatan pembelajaran dilakukan melalui pengamatan untuk mencari danmenyelidiki secara sistematis, kritis, logis dan analisis, sehingga siswa dapatmerumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Instrument iniberpedoman pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2006) denganStandar Kompetensi pada nomor 7. memahami gaya dapat mengubah gerak dan/ataubentuk suatu benda sedangkan Kompetensi Dasar pada nomor 7.2 menyimpulkanhasil percobaan bahwa gaya (dorongan dan tarikan) dapat mengubah bentuk suatubenda dan sesuai dengan kemampuan siswa.Penggalian dan analisis dataPengumpulan data dilakukan dengan metode tes dan observasi. Analisis datadilakukan dengan teknik statistik non parametrik Sign Test (Zʜ) denganmempertimbangkan subyek atau sampel yang digunakan dalam penelitian ini sedikit.

Page 69: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 137

Hasil PenelitianBerdasarkan penilaian kemampuan subjek sebelum dan sesudah perlakuan,didapat data skor subjek sebagai berikut:Tabel 3.Hasil Rekapitulasi Nilai Pre Test (O1) dan Post Test (O2) Kemampuan MengenalKonsep Gaya Anak Tunarungu Kelas IV Sekolah Berkebutuhan Khusus Tunas KasihSurabayaNo. Nama Pre Test

(O1)Post Test

(O2)Perubahan

O1-O21. AR 20 50 +2. DA 80 90 +3. YI 40 70 +4. KL 60 80 +5. RI 40 60 +6. WT 60 70 +Σ = 50 Σ = 70 X = 6Dari hasil perhitungan pre test dan post test tentang pengaruh modelpembelajaran inkuiri terhadap kemampuan mengenal konsep gaya pada anaktunarungu kelas IV sebelum dan sesudah intervensi dapat diketahui bahwa jumlahtanda plus (X) = 6, µ = 3,0 dan Standart deviasi (σ) = 1,22. Karena nilai X lebih besardari mean maka nilai X terletak sebelah kanan kurva normal yaitu = 5,5.Pada α = 5 % (pengujian dilakukan dengan dua sisi) didapat nilai kritis = ± Z½ α= ± 1,96. Nilai Zʜ yang diperoleh dalam hitungan adalah 2,04 lebih besar daripadanilai krisis α = 5 % yaitu 1,96 sehingga hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesiskerja(Ha) diterima. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh yang signifikan antarapenggunaan model pembelajaran inkuiri terhadap kemampuan mengenal konsepgaya pada anak tunarungu kelas IV di Sekolah Berkebutuhan Khusus Tunas KasihSurabaya.

PembahasanBerdasarkan analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan rumus ujitanda (Sign Test) diperoleh nilai Zʜ = 2,04 yang berarti hasil penelitian menunjukkanbahwa ada pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan mengenal konsep gayaanak tunarungu kelas IV di Sekolah Berkebutuhan Khusus Tunas Kasih Surabayasetelah diberikan intervensi dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri,dimana terdapat perubahan yang lebih baik dari hasil pre test dan post test.Anak tunarungu membutuhkan metode yang sesuai dalam memahami konsepgaya. Hal ini dikarenakan gaya tidak dapat dilihat tetapi gaya dapat diketahui

Page 70: Vol. 1, No. 2 September 2014

138 | Pengaruh Model Pembelajaran Inkuirisumbernya, pengaruhnya dan besarnya. Gulo (2002) menyatakan strategi inkuiriberarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruhkemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, dananalitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuhpercaya diri (Trianto, 2007). Dan, Dalam buku Jelajah IPA bentuk suatu benda dapatberubah jika dikenai gaya. perubahan bentuk suatu benda tersebut tergantung padabesar kecilnya gaya (Yudhistira, Rosa Kemala : 2006).Anak tunarungu mengalami kesulitan dalam kegiatan berkomunikasi danmemahami konsep suatu benda. Dampak ketunarunguan mengakibatkan kemiskinandalam berbahasa, sehingga dapat mempengaruhi kemampuannya dalamberkomunikasi dan memahami konsep suatu benda. Oleh karena itu, denganditerapkannya model pembelajaran inkuiri dapat melatih dan membiasakan anaktunarungu untuk terampil berpikir dan terampil secara fisik dengan mengamatiperubahan bentuk suatu benda menggunakan gaya terbentuklah proses ilmiah dansikap ilmiah disamping penguasaan konsep, prinsip, hukum dan teori.Melalui model pembelajaran inkuiri anak tunarungu dapat menemukankonsep gaya memiliki bentuk tarikan dan dorongan (Rositawaty dan Muharram,2008). Sesuai dengan pendapat Piaget (1950), bahwa anak tunarungu tergantungpada simbol non verbal (benda, gambar) dalam berpikir dan memecahkan persoalan(Winner,1991). Semua penemuan konsep gaya dapat mengubah bentuk benda yangditemukan oleh anak tunarungu dengan melihat perubahan bentuk benda ataufenomena yang disajikan guru.SimpulanBerdasarkan penelitian dan analisis data yang dilakukan di SekolahBerkebutuhan Khusus Tunas Kasih Surabaya, maka dapat disimpulkan bahwapenggunaan model pembelajaran inkuiri berpengaruh signifikan terhadapkemampuan mengenal konsep gaya pada anak tunarungu kelas IV di SekolahBerkebutuhan Khusus Tunas Kasih Surabaya dengan taraf presentase 5% yaitu nilaiZʜ = 2,04 > Z½ α = 1,96.Daftar PustakaSuryanti. Isnawati. Sukartiningsih, Wahyu. Yulianto, Bambang. 2008. Model-model

Pembelajaran Inovatif. Surabaya : UNESA Press.Trianto, S. Pd, M. Pd. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif BerorientasiKonstruktivistik. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher.

Page 71: Vol. 1, No. 2 September 2014

139

HUBUNGAN ANTARA BIMBINGAN BELAJAR DANMOTIVASI BELAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR

SISWA DI MI NIDHOMIYAH JOMBANG

Miftahillah1e-mail: [email protected]

AbstractWith many appearing tutoring then expected to increase learning achievementstudent. Achievement of learning achieved by student is influenced by severalfactors, among them tutoring and motivation learning. The problem in thisresearch is the relationship between tutoring and motivation learning tolearning achievement student MI Nidhomiyah Jombang. The purpose of thisstudy was to determine the relationship between tutoring and motivationlearning to learning achievement student MI Nidhomiyah Jombang. Thisresearch is taking the entire population of the sixth grade students at MINidhomiyah Jombang academic years 2011/2012, amounting to 30 students,the data sampling technique used in this study is a questionnaire technique anddocumentation, with using SPS Sutrisno Hadi and Yuni Pamardiningsih,Psychology UGM Yogyakarta. Conclusion simultaneously with R2 = 0.312 F =6.131 with p=0.007 (p<0.01). It’s means that there is correlation very significantwith together relationship between tutoring and motivation learning to learningachievement student, while partially between X1Y no correlation with r = 0.328and p = 0,074 where p > 0.05, and X2Y there is correlation very significant r =0.556 with p = 0,002 where p<0.01.Keyword: tutoring learning, motivation learning and learning achievement.

1 Dosen Tetap STITNU Al Hikmah Mojokerto

Page 72: Vol. 1, No. 2 September 2014

140 | Hubungan antara Bimbingan Belajar dan Motivasi BelajarPendahuluanPendidikan merupakan sarana mutlak yang dipergunakan untuk mewujudkanmasyarakat madani yang mampu menguasai, mengembangkan, mengendalikan danmemanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Output pendidikan belum mampuberjalan seimbang dengan tuntutan zaman, hal ini disebabkan minimnya penguasaanterhadap disiplin ilmu yang diperoleh melalui proses pendidikan. Keadaan inimenjadi tantangan bagi para pendidik untuk meningkatkan kompetensi pesertadidiknya di berbagai bidang (Djumhur & Surya, 1975). Salah satu kebijakanpemerintah mendorong peningkatkan kompetensi tersebut adalah penetapanstandard kelulusan berdasarkan nilai Ujian Akhir Nasional (UAN).UAN di Indonesia semacam upacara ritual tahunan yang sebenarnya bertujuanmemotivasi semangat belajar siswa dan kreativitas para guru dalam mengajar.Meskipun demikian, banyak kalangan menilai bahwa pelaksanaan UAN kurangmemberikan pengaruh yang benar-benar berarti terhadap upaya dan pengelola sertapelaksanaan pendidikan pada tingkat sekolah untuk memperbaiki dan meningkatkankualitas pendidikan. Meskipun praktik ujian akhir dapat digunakan untuk memenuhikualitas pendidikan namun terkadang tidak sesuai dengan kenyataan. Tingginyaminat siswa-siswi sekolah formal mengikuti bimbingan belajar merupakan simbolketidakpercayaan siswa dan orangtua siswa terhadap proses pembelajaran di sekolahformal.Hal itu jelas sangat disayangkan karena beban biaya pendidikan antara lainmelalui biaya sumbangan pendidikan yang ditanggung orangtua siswa semakintinggi, sementara peningkatan mutu yang didengung-dengungkan pihak sekolah tidakdapat dibuktikan hasilnya. Siswa yang ikut bimbingan belajar kebanyakan justru darisekolah-sekolah yang favorit yang kemampuan akademiknya justru relatif baik.Siswa maupun orangtua siswa yang mengirimkan anak mereka untuk mengikutibimbingan belajar cenderung merasa bahwa pembelajaran di sekolah kurang mampumembawa anak mereka bisa lebih berprestasi (Prayetno, 1997). Hal itu jelas sangatdisayangkan karena beban biaya pendidikan antara lain melalui biaya sumbanganpendidikan yang ditanggung orangtua siswa semakin tinggi, sementara peningkatanmutu yang didengung-dengungkan pihak sekolah tidak dapat dibuktikan hasilnya.Siswa yang ikut bimbingan belajar kebanyakan justru dari sekolah-sekolah yangfavorit yang kemampuan akademiknya justru relatif baik. Sebagian siswa merasakurang percaya diri jika tidak mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah.Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis menilai pentingnya menelitihubungan antara keikutsertaan siswa dalam lembaga bimbingan belajar dan motivasibelajar, dengan prestasi belajar siswa.Bimbingan belajarBimbingan belajar dalam penelitian ini diartikan sebagai suatu programpendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga swasta dengan orientasi profit yangbertujuan membantu murid-murid agar dapat mendapat penyesuaian yang baik di

Page 73: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 141dalam situasi belajar, sehingga setiap murid dapat belajar secara efisien sesuaidengan kemampuan yang dimilikinya dan mencapai perkembangan yang optimal.Dengan rincian sebagai berikut:Hampir semua bentuk teknik bimbingan yang bersifat informatif dan adjustifdapat digunakan dalam bimbingan belajar, dan isinya biasa difokuskan kepadakesulitan pelajaran. Keseluruhan teknik bimbingan belajar dibedakan antara teknikbimbingan kelompok dan bimbingan individual (Abda, 2010).Menurut Undang-undang sistem pendidikan Nasional tahun 2003, pendidikandilaksanakan dalam bentuk bimbingan, pengajaran, dan latihan. Bimbingan ataumembimbing memiliki dua makna yaitu bimbingan secara umum yang mempunyaiarti sama dengan mendidik atau menanamkan nilai-nilai, membina moral,mengarahkan siswa supaya menjadi orang baik. Sedangkan makna bimbingan yangsecara khusus yaitu sebagai suatu upaya atau program membantu mengoptimalkanperkembangan siswa. Bimbingan ini diberikan melalui bantuan pemecahan masalahyang dihadapi, serta dorongan bagi pengembangan potensi-potensi yang dimilikisiswa. (Nana Syaodih Sukmadinata, 2005: 233)Menurut Rochman Natawidjaja dalam bukunya Syamsu Yusuf (2005: 6)Bimbingan dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individuyang dilakukan secara berkesinambungan supaya individu tersebut dapat memahamidirinya sendiri, sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindaksecara wajar sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga,masyarakat dan kehidupan pada umumnya. Dengan demikian, dia akan dapatmenikmati kebahagiaan hidupnya dan dapat memberikan sumbangan yang berartikepada kehidupan masyarakat pada umumnya. Bimbingan dapat membantu individumencapai perkembangan diri secara optimal sebagai makhluk sosial.Maka dapat diambil kesimpulan dari beberapa definisi bimbingan sebagai berikut:1) Bimbingan merupakan suatu proses yang berkesinambungan sehingga bantuan itudiberikan secara sistematis, berencana, terus-menerus dan terarah kepada tujuantertentu. Dengan demikian kegiatan bimbingan bukanlah kegiatan yang dilakukansecara kebetulan, insidental, sewaktu-waktu tidak sengaja atau kegiatan yang asal-asalan.2) Bimbingan merupakan suatu proses membantu individu. Dengan menggunakankata membantu berarti dalam kegiatan bimbingan tidak adanya unsur paksaan.Dalam kegiatan bimbingan, pembimbing tidak memaksa individu untuk menujukesuatu tujuan yang ditetapkan oleh pembimbing, melainkan pembimbingmembantu mengarahkan klien kearah suatu tujuan yang telah ditetapkanbersama-sama, sehingga klien dapat mengembangkan potensi yang dimilikinyasecara optimal. Dengan demikian dalam kegiatan bimbingan dibutuhkankerjasama yang demokratis antara pembimbing dengan kliennya.3) Bahwa bantuan diberikan kepada setiap individu yang memerlukannya didalamproses perkembanganya. Hal ini mengandung arti bahwa bimbingan memberikan

Page 74: Vol. 1, No. 2 September 2014

142 | Hubungan antara Bimbingan Belajar dan Motivasi Belajarbantuannya kepada setiap individu, baik anak-anak, remaja, dewasa, maupunorang tua4) Bahwa bantuan yang diberikan melalui pelayanan bimbingan bertujuan agarindividu dapat mengembangkan dirinya secara optimal sesuai dengan potensiyang dimilikinya.Fungsi utama dari bimbingan adalah membantu murid dalam masalah-masalahpribadi dan sosial yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran ataupenempatan dan juga menjadi perantara dari siswa dalam hubungannya dengan gurumaupun tenaga administrasi. Adapun fungsi bimbingan ada 4 macam:1) Preservatif: Memelihara dan membina suasana dan situasi yang baik dan tetapdiusahakan terus bagi lancarnya belajar mengajar.2) Preventif: Mencegah sebelum terjadi masalah.3) Kuratif: Mengusahakan pembentukan dalam mengatasi masalah.4) Rehabilitasi: Mengadakan tindak lanjut secara penempatan sesudah diadakantreatmen yang memadai. (Abu Ahmadi dan Widodo Supriono, 2004: 117).Menurut Abin Syamsuddin Mahmu, (2002: 157). Belajar adalah konsep belajaryang menunjukkan kepada suatu proses perubahan perilaku yang menunjukkankepada suatu proses perubahan perilaku pribadi seseorang berdasarkan praktik ataupengalaman tertentu.Masalah belajar merupakan inti dari masalah pendidikan dan pengajaran,karena belajar merupakan kegiatan utama dalam pendidikan dan pengajaran. Semuaupaya guru dalam pendidikan dan pengajaran diarahkan agar siswa belajar, sebabmelalui kegiatan belajar ini siswa dapat berkembang lebih optimal.Perkembangan belajar siswa tidak selalu berjalan lancar dan memberikan hasilyang diharapkan. Adakalanya mereka menghadapi berbagai kesulitan atau hambatan.Kesulitan atau hambatan dalam belajar ini dimanifestasikan dalam beberapa gejalamasalah, seperti prestasi belajar rendah, kurang atau tidak ada motivasi belajar,belajar lambat, berkebiasaan kurang baik dalam belajar, sikap yang kurang baikterhadap pelajaran, guru ataupun sekolah.Setiap gejala masalah ada sesuatu yang melatarbelakanginya, demikian jugadengan masalah belajar. Misalnya prestasi belajar rendah dapat melatarbelakangioleh kecerdasan rendah, kekurangan motivasi belajar, kebiasaan belajar yang kurangbaik, gangguan kesehatan, kekusutan psikis, kekurangan sarana belajar, kondisikeluarga yang kurang mendukung, cara guru mengajar yang kurang sesuai, materipelajaran yang terlalu sulit, kondisi sekolah yang kurang baik dsb. Untuk setiap jenismasalah banyak sekali faktor yang melatarbelakanginya. Gejala masalah yang samadapat dilatarbelakangi oleh faktor yang sama tetapi juga dapat dilatarbelakangi olehfaktor yang berbeda.Keseluruhan faktor yang melatarbelakangi masalah belajar ini, dapatdikembalikan kepada faktor internal yang ada dalam diri siswa dan faktor eksternalyang berasal dari luar siswa. Faktor internal dapat mencakup segi intelektual seperti

Page 75: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 143kecerdasan, bakat dan hasil belajar. Segi emosional seperti motif, sikap, perasaan,keinginan, kemauan. Kondisi dan kesehatan fisik dan mental. Faktor eksternalmeliputi kondisi fisik, sosial-psikologis keluarga, sekolah serta masyarakat sekitar.Pada dasarnya semua faktor dapat berpengaruh terhadap perkembangan belajarsiswa, apakah pengaruhnya positif ataupun negatif. Kekuatan pengaruh setiap faktorbagi setiap individu tidak selalu sama. (Nana Syaodih Sukmadinata: 2005: 240)Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas darimenurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya. Namun, kesulitan belajarjuga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku siswa seperti kesukaanberteriak-teriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuksekolah, dan sering minggat dari sekolah.Secara garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiriatas dua macam, yakni:1) Faktor intern siswa, yaitu hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalamdiri siswa sendiri, yang meliputi gangguan atau kekurang mampuan psiko-fisiksiswa, yakni:a. Yang bersifat kognitif (ranah cipta) antara lain seperti rendahnya kapasitasintelektual/intelegensi siswa.b. Yang bersifat afektif (ranah rasa) antara lain seperti labilnya emosi dan sikap.c. Yang bersifat psikomotor (ranah karsa) antara lain seperti terganggunya alat-alat indera penglihat dan pendengar (mata dan telingga).2) Faktor ekstern siswa, yaitu hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luardiri siswa, yang meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidakmendukung aktivitas belajar siswa. Faktor lingkungan ini meliputi:a. Lingkungan keluarga, contohnya: ketidakharmonisan hubungan antara ayahdengan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluargab. Lingkungan perkampungan/masyarakat, contohnya: wilayah perkampungankumuh, dan teman sepermainan yang nakal.c. Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang burukseperti dekat pasar, kondisi guru dan alat-alat belajar yang berkualitas rendah.Selain faktor-faktor yang bersifat umum di atas, ada pula faktor-faktor lain yangjuga menimbulkan kesulitan belajar siswa. Diantara faktor-faktor yang dapatdipandang sebagai faktor khusus ini ialah sindrom psikologis berupa learningdisability (ketidakmampuan belajar). Sindrom yang berarti satuan gejala yang munculsebagai indikator adanya keabnormalan psikis yang menimbulkan kesulitan belajaryang terdiri atas:1) Disleksia yakni ketidakmampuan belajar membaca2) Disgrafia yakni ketidakmampuan belajar menulis3) Diskalkulia yakni ketidakmampuan belajar matematika.

Page 76: Vol. 1, No. 2 September 2014

144 | Hubungan antara Bimbingan Belajar dan Motivasi BelajarNamun demikian, siswa yang mengalami sindrom-sindrom di atas secara umumsebenarnya memiliki potensi IQ yang normal bahkan di antaranya ada yang memilikikecerdasan di atas rata-rata. Oleh karenanya, kesulitan belajar siswa yang menderitasindrom-sindrom tadi mungkin hanya disebabkan oleh adanya gangguan ringan padaotak (Muhibbin Syah, 2003: 183).Supaya belajar bisa berjalan secara lebih optimal maka harus memahami danmenerapkan prinsip-prinsip belajar. Adapun prinsip-prinsip belajar tersebut sebagaiberikut:1) Belajar harus berorientasi pada tujuan yang jelas.2) Proses belajar akan terjadi bila seseorang dihadapkan pada situasi problematik.3) Belajar dengan pengertian akan lebih bermakna daripada belajar dengan hafalan.4) Belajar merupakan proses yang kontinu5) Belajar memerlukan kemampuan yang kuat.6) Keberhasilan belajar ditentukan oleh banyak faktor7) Belajar secara keseluruhan akan lebih berhasil daripada belajar secara terbagi-bagi.8) Proses belajar memerlukan metode yang tepat.9) Belajar memerlukan adanya kesesuaian antara guru dengan murid.10) Belajar memerlukan kemampuan dalam menangkap intisari pelajaran itu sendiri.(Trursan Hakim, 2000: 2-10).Para guru mengetahui bahwa diperlukannya suatu periode waktu tertentu bagianak untuk secara penuh memahami suatu konsep yang telah diajarkan. Biasanyaanak tidak secara penuh memahami suatu konsep pada saat pertama kali diajarkan.Fenomena ini lebih banyak terjadi pada anak berkesulitan belajar daripada anak yangtidak berkesulitan belajar. Oleh kerena itu, dalam merancang kegiatan pembelajaran,guru perlu menyadari keberadaan anak dalam tahapan belajar. Ada empat tahapanbelajar yang perlu diperhatikan, yaitu:1) Perolehan: pada tahapan ini anak telah terbuka terhadap pengetahuan barutetapi belum secara penuh memahaminya. Anak masih memerlukan banyakdorongan dan pengaruh dari guru untuk menggunakan pengetahuan tersebut.Contoh; kepada anak diperlihatkan tabel perkalian lima dan konsepnyadijelaskan sehingga ia mulai memahaminya.2) Kecakapan: pada tahap ini anak mulai memahami pengetahuan atauketerampilan tetapi masih memerlukan banyak latihannya. Contoh; setelah anakmemahami tabel dan konsep perkalian lima, ia diberi banyak latihan dalambentuk menghafal atau menulis, dan diberi macam-macam ulangan penguatan.3) Pemeliharaan: anak dapat memelihara atau mempertahankan suatu kinerja taraftinggi setelah pembelajaran langsung dan ulangan penguatan dihilangkan.Contoh; anak dapat menggunakan perkalian lima secara cepat tanpa memerlukanpengarahan dan ulangan penguatan dari guru.

Page 77: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 1454) Generalisasi: pada tahap ini anak telah memiliki dan menginternalisasikanpengetahuan yang dipelajarinya sehingga ia dapat menerapkannya ide dalamberbagai situasi. Contoh; anak dapat menerapkan tabel perkalian lima dalammemecahkan berbagai soal metematika. (Mulyono Abdurrahman, 2003: 90).Secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat kitabedakan menjadi tiga macam, yakni:1) Faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), yakni keadaan/kondisi jasmani danrohani siswa. Faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri meliputi duaaspek, yakni:a. Aspek Fisiologis yakni kondisi umum jasmani yang menandai tingkatkebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, yang dapat mempengaruhisemangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organtubuh yang lemah, apabila disertai pusing kepala berat misalnya, maka dapatmenurunka kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinyatidak berbekas. Untuk dapat mempertahankan tonus jasmani agar tetap bugar,maka siswa sangat dianjurkan mengkonsumsi makanan dan minuman yangbergizi. Selain itu siswa juga dianjurkan memilih pola istirahat dan olahragaringan yang sedapat mungkin terjadwal secara tetap dan berkesinambungan.Hal ini penting karena kesalahan pola makan-minum dan istirahat akanmenimbulkan reaksi tonus yang negatif dan merugikan semangat mental siswaitu sendiri.b. Aspek Psikologis yang meliputi:a) Inteligensi siswa yang pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuanpsiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau penyesuaian diri denganlingkungan dengan cara yang tepat. Jadi inteligensi sebenarnya bukanpersoalan kualitas otak saja, melainkan juga kualitas organ-organ tubuhlainnya.b) Siswa adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupakecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relatiftetap terhadap obyek orang, barang dan sebagainya, baik secara positifmaupun negatif.c) Bakat siswa secara umum adalah kemampuan potensial yang dimilikiseseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang.Dengan demikian sebetulnya setiap orang pasti memiliki bakat dalam artiberpotensi untuk mencapai prestasi sampai ketingkat tertentu sesuaidengan kapasitas masing-masing. Jadi secara global bakat itu mirip denganinteligensi, karena itu seorang anak yang berinteligensi sangat cerdas(superior) atau cerdas luar biasa (very superior) disebut juga sebagaitalented child, yakni anak berbakat.d) Minat siswa secara sederhana adalah kecenderungan dan kegairahan yangtinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat tidak termasuk

Page 78: Vol. 1, No. 2 September 2014

146 | Hubungan antara Bimbingan Belajar dan Motivasi Belajaristilah populer dalam psikologi karena ketergantungannya yang banyakpada faktor-faktor internal lainnya, seperti pemusatan perhatian,keingintahuan, motivasi dan kebutuhan.e) Motivasi siswa ialah keadaan internal organisme baik manusia ataupunhewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam hal ini motivasiberarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah.2) Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan disekitarsiswa. Ada dua aspek, yaitu:a) Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi, danteman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar siswadisekolah. Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yangsimpatik dan memperlihatkan suri teladan yang baik dan rajin khususnyadalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat menjadidaya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa.Yang termasuk lingkungan sosial siswa adalah masyarakat dantetangga juga teman-teman sepermainan disekitar perkampungan siswatersebut. Kondisi masyarakat dilingkungan kumuh yang serba kekurangandan anak-anak penganggur, akan sangat mempengaruhi aktivitas belajarsiswa, paling tidak siswa tersebut akan menemukan kesulitan ketikamemerlukan teman belajar atau berdiskusi dan meminjam alat-alat belajartertentu yang kebetulan belum dimilikinya.Lingkungan sosial yang paling banyak mempengaruhi kegiatan belajarialah orang tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktikpengelolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan demografi keluarga (letakrumah), semuanya dapat memberi dampak baik ataupun buruk terhadapkegiatan belajar dan hasil yang dicapai oleh siswa.b) Lingkungan non-sosial yang termasuk dalam faktor lingkungan nonsosialialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa danletaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca, dan waktu belajar yang digunakansiswa.c) Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajarsiswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untukmelakukan kegiatan mempelajari materi-materi pelajaran. Dapat dipahamisebagai segala cara atau strategi yang digunakan siswa dalam menunjangkeefektifan dan efisiensi proses mempelajari materi tertentu. Strategi dalamhal ini berarti seperangkat langkah operasional yang direkayasa sedemikianrupa untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu.(Muhibbin Syah, 2003: 144-155).Adapun Fungsi Bimbingan Belajar sebagai berikut :1) Mencegah kemungkinan timbulnya masalah dalam belajar.

Page 79: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 1472) Menyalurkan siswa sesuai dengan bakat dan minatnya sehingga belajar dapatberkembang secara optimal3) Agar siswa dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan belajar.4) Perbaikan terhadap kondisi-kondisi yang mengganggu proses belajar siswa5) Upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan prestasi belajar siswa.(www.sd-binatalenta.com).Adapun Tujuan Bimbingan Belajar sebagai berikut:1) Tujuan bimbingan belajar secara umum adalah membantu murid-murid agardapat mendapat penyesuaian yang baik di dalam situasi belajar, sehingga setiapmurid dapat belajar secara efisien sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya danmencapai perkembangan yang optimal. Dengan rincian sebagai berikut:a. Mencarikan cara-cara belajar yang efisien dan efektif bagi seorang anak ataukelompok anak.b. Menunjukkan cara-cara mempelajari sesuai dan menggunakan buku pelajaran.c. Memberikan informasi (saran dan petunjuk) bagi yang memanfaatkanperpustakaan.d. Membuat tugas sekolah dan mempersiapkan diri dalam ulangan dan ujian.e. Memilih suatu bidang studi sesuai dengan bakat, minat, kecerdasan, cita-citadan kondisi fisik atau kesehatan.f. Menunjukkan cara-cara menghadapi kesulitan dalam bidang studi tertentu.g. Menentukan pembagian waktu dan perencanaan jadwal belajarnya.h. Memilih pelajaran tambahan baik yang berhubungan dengan pelajaran disekolah maupun untuk pengembangan bakat dan karir di masa depan.2) Secara khusus adalah:a. Siswa dapat mengenal, memahami, menerima, mengalahkan danmengaktualisasikan potensi secara optimal.b. Mengembangkan berbagai keterampilan belajar.c. Mengembangkan suasana yang kondusif.d. Memahami lingkungan pendidikan.Bimbingan belajar merupakan bagian terpenting bagi peserta didik, mengingatpada saat ini peserta didik dituntut untuk bisa berkompetensi. Oleh karena itu siswadiharapkan mengikuti bimbingan belajar sebagai alat untuk menghadapi tantangan dimasa depan. Selain itu, manfaat dari bimbingan belajar adalah dapat membuat siswasemakin kreatif pada kegiatan belajar mengajar, dan dapat meningkatkan prestasipada sekolahnya. Maka sangat penting bagi peserta didik untuk mengikuti bimbinganbelajar, agar mereka mampu bersaing dengan tuntutan zaman pada saat ini.

Page 80: Vol. 1, No. 2 September 2014

148 | Hubungan antara Bimbingan Belajar dan Motivasi BelajarManfaat Bimbingan Belajar bagi siswa adalah tersedianya kondisi belajar yangnyaman, terperhatikannya karakteristik pribadi siswa, dan siswa dapat mereduksikemungkinan kesulitan belajar. (www.sd-binatalenta.com).Hampir semua bentuk teknik bimbingan yang bersifat informatif dan adjustifdapat digunakan dalam bimbingan belajar, hanya isinya saja difokuskan kepadakesulitan belajar dan kesulitan pelajaran.Keseluruhan teknik bimbingan belajar dibedakan antara teknik bimbingankelompok dan bimbingan individual. Bimbingan individual adalah suatu bantuanyang diberikan kepada individu (siswa) dalam situasi individual. Teknik bimbinganini ada yang bersifat informatif (memberikan informasi) dan ada juga yang bersifatterapeutik atau penyembuhan. Beberapa teknik bimbingan individual yang bersifatinformatif adalah ceramah/penjelasan, wawancara, nasihat, penyampaian bahan-bahan tertulis, penyampaian informasi melalui media elektronik dan lain-lain yangdiberikan secara individual.Bimbingan kelompok merupakan suatu bantuan yang diberikan kepadaindividu (siswa) yang dilaksanakan dalam situasi kelompok. Bimbingan inipun adayang bersifat informatif dan terapeutik, tetapi ada juga yang bersifat adjustif.Bimbingan kelompok yang bersifat informatif, hampir sama dengan bimbinganindividual tetapi diberikan secara berkelompok, seperti ceramah kelompok, nasihatkelompok, penggunaan media tulis dan media elektronik secara berkelompok.Bimbingan kelompok yang bersifat adjustif adalah bantuan kepada individu dalammembina hubungan dan menyesuaikan diri dengan orang lain, melalui berbagaikegiatan kelompok, seperti diskusi, belajar kelompok, perwalian kelompok, kegiatanklub, organisasi siswa, orientasi, kunjungan kelompok dsb. Bimbingan kelompok yangbersifat terapeutik adalah psikodrama, konseling kelompok dan psikoterapikelompok.Perkembangan ilmu dan teknologi yang disertai dengan perkembangan sosialbudaya yang berlangsung dengan cepat dan dewasa ini, peranan guru telahmeningkat dari sebagai pengajar menjadi pembimbing. Tugas dan tanggung jawabmenjadi lebih meningkat terus, yang ke dalamnya termasuk fungsi-fungsi gurusebagai perancang pengajaran (designer of instruction), pengelola pengajaran(manager of instruction), evaluator of student learning, motivator belajar, dan sebagaipembimbing.Guru sebagai designer of instruction atau perancang pengajaran dituntutmemiliki kemampuan untuk merencanakan (merancang) kegiatan belajar mengajarsecara efektif dan efisien. Untuk itu seorang guru harus memiliki pengetahuan yangcukup memadai tentang prinsip-prinsip belajar sebagai suatu bahan dalammerencanakan kegiatan belajar mengajar.Guru sebagai manajer of instruction (pengelola pengajaran), dituntut untukmemiliki kemampuan mengelola seluruh proses kegiatan belajar mengajar dengan

Page 81: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 149menciptakan kondisi-kondisi belajar sedemikian rupa sehingga setiap murid dapatbelajar dengan efektif dan efisien.Sedangkan guru dengan fungsinya sebagai evaluator of student learning,dituntut untuk secara terus menerus mengikuti hasil-hasil (prestasi) belajar yangtelah dicapai murid-muridnya dari waktu kewaktu.Informasi yang diperoleh melalui cara ini merupakan umpan balik terhadapproses kegiatan belajar mengajar, yang selanjutnya akan dijadikan titik tolak untukmenyempurnakan serta meningkatkan proses belajar mengajar sehinggamemperoleh hasil belajar yang optimal.Guru sebagai pembimbing dituntut untuk mengadakan pendekatan bukan sajamelalui pendekatan instruksional akan tetapi dibarengi dengan pendekatan yangbersifat pribadi dalam setiap proses belajar mengajar berlangsung. Denganpendekatan pribadi semacam ini guru akan secara langsung mengenal danmemahami murid-muridnya secara lebih mendalam sehingga dapat memperolehhasil yang optimal.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa guru sebagai pembimbing sekaligusberperan sebagai pembimbing dalam proses belajar mengajar. Sebagai pembimbingdalam belajar mengajar diharap mampu untuk:1) Memberikan berbagai informasi yang diperlukan dalam proses belajar.2) Membantu setiap siswa dalam mengatasi masalah-masalah pribadi yang dihadapi.3) Mengevaluasi hasil setiap langkah kegiatan yang dilakukannya.4) Memberikan kesempatan yang memadai agar setiap murid dapat belajar sesuaidengan karakteristik pribadi.5) Mengenal dan memahami setiap murid, baik secara individual maupun secarakelompok. (Abu Ahmadi dan Widodo Supriono, 2004: 115-117).Motivasi belajarMenurut Mc. Donald, yang dikutip Oemar Hamalik (2003:158) motivasi adalahperubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaandan reaksi untuk mencapai tujuan. Dengan pengertian ini, dapat dikatakan bahwamotivasi adalah sesuatu yang kompleks.Motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi yang ada padadiri manusia, sehingga akan bergayut dengan persoalan gejala kejiwaan, perasaandan juga emosi, untuk kemudian bertindak atau melakukan sesuatu.Dalam A.M. Sardiman (2005:75) motivasi belajar dapat juga diartikan sebagaiserangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorangmau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untukmeniadakan atau mengelak perasaan tidak suka itu.

Page 82: Vol. 1, No. 2 September 2014

150 | Hubungan antara Bimbingan Belajar dan Motivasi BelajarMenurut Siti Sumarni (2005 :57), Thomas L. Good dan Jere B. Braphy (1986)mendefinisikan motivasi sebagai suatu energi penggerak dan pengarah, yang dapatmemperkuat dan mendorong seseorang untuk bertingkah laku. Ini berarti perbuatanseseorang tergantung motivasi yang mendasarinya.Motivasi adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas. Masihdalam artikel Siti Sumarni (2005:57), motivasi secara harafiah yaitu sebagaidorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar, untukmelakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Sedangkan secara psikologi,berarti usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tergerakmelakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya, ataumendapat kepuasan dengan perbuatannya. (KBBI, 2001:756).Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pengertianmotivasi adalah keseluruhan daya penggerak baik dari dalam diri maupun dari luardengan menciptakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentuyang menjamin kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan sehingga tujuanyang dikehendaki oleh subjek itu dapat tercapai.Pengertian belajar menurut Morgan, mengatakan bahwa belajar adalah setiapperubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasildari latihan atau pengalaman (Wisnubrata, 1983:3). Sedangkan menurut Moh. Surya(1981:32), belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untukmemperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru keseluruhan, sebagai hasilpengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan. Kesimpulanyang bisa diambil dari kedua pengertian di atas, bahwa pada prinsipnya, belajaradalah perubahan dari diri seseorang.Dari uraian yang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian motivasibelajar adalah keseluruhan daya penggerak baik dari dalam diri maupun dari luarsiswa (dengan menciptakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisitertentu) yang menjamin kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan belajar,sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai.Prestasi belajarPengertian prestasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hasil yangtelah dicapai dari apa yang telah dilakukan, dikerjakan, diusahakan dan sebagainya(Badudu dan Zain, 2001: 1088). Hasil ini dapat dinyatakan dengan kuantitatif dankualitatif. Hasil kuantitatif adalah hasil yang dinyatakan dengan angka. Sedangkanhasil kualitatif adalah hasil yang dinyatakan dengan kata, seperti baik, cukup, sedang,kurang, dan lain-lain.Menurut Winkel (1984:21). Prestasi adalah bukti usaha yang dapat dicapai.Sedangkan yang dimaksud dengan berprestasi adalah apabila anak mencapai hasilyang maksimal dari apa yang telah dilakukan sebelumnya. Apabila kita hubungkandengan kegiatan belajar anak dengan pengertian tersebut diatas, maka prestasi

Page 83: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 151merupakan kecakapan khusus dan nyata yang dicapai secara maksimal sebagai hasilyang dicapai dari belajar.Sebagai ukuran untuk mengetahui seberapa jauh siswa telah menguasai bahanmateri yang telah diberikan, adalah salah satunya lewat penilaian hasil belajar yangdiwujudkan dalam bentuk raport, dengan raport tersebut maka akan bisa diketahuitentang prestasi belajar yang diraih oleh siswa.Masalah prestasi belajar merupakan masalah yang komplek, banyak faktor yangmempengaruhi. Faktor-faktor itu dapat berasal dari anak itu sendiri (internal),misalnya bagaimana intelegensinya, minat, bakat dan sebagainya. Maupun yangberasal dari luar diri anak (eksternal) yaitu faktor yang berasal dari keluarga,sekolah, masyarakat, dan waktu. Setiap kegiatan sudah barang tentu ada faktor-faktoryang mempengaruhinya tentunya faktor-faktor tersebut ada yang bersifatmendorong dan menghambat.Berdasarkan pengertian di atas, untuk sementara dapat disimpulkan bahwaprestasi belajar merupakan ukuran keberhasilan peserta didik di dalam melakukankegiatan belajar. Prestasi belajar dapat diperoleh dengan perangkat tes dan hasil tesyang akan memberikan informasi-informasi tentang apa yang dikuasai oleh pesertadidik. Peserta didik dapat dikatakan berhasil dalam belajar apabila prestasi yangdiperoleh menunjukkan nilai yang tinggi atau sesuai dengan target yang dirumuskandalam tujuan pembelajaran. Prestasi belajar dapat dilihat pada hasil evaluasi,sedangkan evaluasi yang dimaksud untuk mengetahui sejauh mana siswa menguasaiberbagai hal yang pernah diajarkan sehingga dapat diperoleh gambaran tentangpencapaian program pendidikan secara menyeluruh.Prestasi belajar yang dicapai seseorang merupakan hasil interaksi berbagaifaktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dariluar diri (faktor eksternal) individu. Pengenalan terhadap faktor-faktor yangmempengaruhi prestasi belajar penting sekali artinya dalam rangka membantu muriddalam mencapai prestasi belajar yang sebaik-baiknya.Metode PenelitianSubjekSubjek penelitian ini adalah seluruh populasi siswa kelas VI MI NidhomyahCandimulyo Jombang yang berjumlah 33. Dikarenakan 3 tidak hadir karena sakit danizin maka jumlahnya berkurang menjadi 30 siswa.DesainPenelitian ini menggunakan metode studi populasi, dimana seluruh subjek yangmenjadi perhatian kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan(Margono, 2003).

Page 84: Vol. 1, No. 2 September 2014

152 | Hubungan antara Bimbingan Belajar dan Motivasi BelajarPenggalian dan analisis dataData diukumpulkan dengan metode angket dan dokumentasi. Terdapat duajenis angket, yakni skala bimbingan belajar dan motivasi belajar. Data tentangprestasi belajar diperoleh dari nilai raport siswa kelas VI semester ganap tahunajaran 2011/2012. Pengujian hipotesis dilakukan dengan teknik statistik analisisregresi dengan menggunakan program SPS (Seri Program Statistik) edisi SutrisnoHadi dan Yuni Pamardiningsih, Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.Hasil PenelitianHasil perhitungan analisis Regresi Umum (2 Prediktor) dapat dilihat pada tabeldi bawah ini. Tabel 1.Hasil Analisis Regresi Umum (2 Prediktor)Sumber R F p Kesimpulan SignifikansiX1 X2 Y 0,559 6,131 0,007 p<0,01 Sangat signifikansi

Keterangan :R = Indeks KorelaiX1 = Bimbingan BelajarX2 = Motivasi BelajarY = Prestasi Belajarp = Peluang RalatHasil analisis didapatkan bahwa F = 6,131 dengan p = 0,007 (p<0,01). Hal inimenunjukkan bahwa hipotesis diterima artinya ada korelasi yang sangat signifikansecara bersama-sama antara Bimbingan Belajar dan Motivasi Belajar dengan PrestasiBelajar.Berikutnya dijelaskan korelasi parsial dengan tiap variabel bebas X1 dan X2dengan variabel tergantung Y, yang dapat dilihat pada tabel berikut:Tabel 2.Hasil Korelasi Tiap Variabel Bebas Dengan Variabel TergantungSumber R p Kesimpulan SignifikansiX1 Y 0,328 0,074 p<0,01 Tidak signifikansiX2 Y 0,556 0,002 p<0,01 Sangat signifikansiHasil uji korelasi antara X1 dengan Y didapatkan r X1Y = 0,328 dengan p = 0.074(p > 0,05), hal ini berarti tidak ada korelasi Bimbingan Belajar dengan PrestasiBelajar.

Page 85: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 153Hasil uji korelasi antara X2 dengan Y didapatkan r X2Y = 0,556 dengan p = 0.002(p < 0,01), hal ini berarti ada korelasi positif yang sangat signifikan antara MotivasiBelajar dengan Prestasi Belajar. Artinya semakin tinggi Motivasi Belajar makasemakin tinggi Prestasi Belajar.Berikut ini akan dijelaskan sumbangan tiap variabel bebas X1 dan X2 denganvariabel tergantung Y dapat dilihat pada tabel berikut ini :Tabel 3. Sumbangan Tetap Variabel X Terhadap Variabel YNo. Variabel Sumbangan Efektif Kesimpulan1 X1 2, 107 Total 31,233 % dari variabel X1 danX2 dan 68,767% oleh variabel lain.2 X2 29, 126Total 31,233 %Hasil analisis didapatkan bahwa total sumbangan efekif = 31,233% ini berartibahwa masih ada 68,767% dari sumbangan yang lain, berupa IQ, sarana danprasarana, peran orang tua, lingkungan dan lain-lain.

PembahasanPada penelitian ini diperoleh hasil bahwa secara simultan atau bersama-samaantara bimbingan belajar dan motivasi belajar dengan hasil sangat signifikanmempredeksi prestasi belajar dengan nilai signifikansi sebesar 0,007, sehingga dapatdisimpulkan ada hubungan sangat signifikan antara bimbingan belajar dan motivasibelajar dengan prestasi belajar, maka dengan demikian hipotesis kerja diterima, yangmenyatakan bahwa ada hubungan positif antara bimbingan belajar dan motivasibelajar dengan prestasi belajar diterima.Hasil penelitian ini memperkuat pendapat Bahri (2002) yang mengemukakanada 2 faktor yang menentukan pencapaian hasil belajar atau prestasi belajar, yaitu:faktor internal dalam hal ini motivasi belajar dan faktor eksternal yakni lembagabimbingan belajar melalui bimbingan belajar di sekolah. Hal senada jugadikemukakan oleh Sardiman (2005). Dengan demikian jika bimbingan belajarsemakin tinggi dan motivasi belajar juga semakin tinggi, maka akan semakin tinggipula prestasi belajar yang dicapai, demikian sebaliknya.Bimbingan Belajar yang yang menjadi obyek dalam melaksanakan bimbingan disekolah menurut Hayinah (1992), yaitu : 1) Perkembangan pribadi dan penyesuaiandiri; 2) Kemajuan dalam bidang pendidikan dan penyesuaiannya; 3) Perkembanganyang berkaitan dengan karir; 4) Follow up setelah meninggalkan sekolah.Selain bimbingan belajar juga dibutuhkan motivasi belajar yang kuat. Motivasiyang kuat akan meningkatkan minat, kemauan dan semangat yang tinggi dalambelajar, karena antara bimbingan belajar dan motivasi belajar mempunyai hubungan

Page 86: Vol. 1, No. 2 September 2014

154 | Hubungan antara Bimbingan Belajar dan Motivasi Belajaryang erat, dengan motivasi inilah siswa yang dalam proses belajar mempunyaimotivasi yang kuat dan jelas akan tekun dan berhasil dalam belajarnya.Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa bimbingan belajar danmotivasi belajar sangat berperan memprediksi prestasi belajar. jika bimbinganbelajar semakin tinggi dan motivasi belajar semakin tinggi, maka akan semakin tinggipula prestasi belajar yang dicapai, demikian sebaliknya.Hasil uji parsial, bimbingan belajar diketahui nilai signifikansinya 0,074, iniartinya secara tersendiri bimbingan belajar tidak berhubungan positif dan tidaksangat signifikan dengan prestasi belajar, hipotesis nihil atau ditolak bahwa tidak adahubungan positif antara bimbingan belajar dan prestasi belajar ditolak. Hal inidikarenakan mungkin responden yang sedikit atau atau teori lain yang mendukungprestasi belajar (Slameto, 2010). Di sini disebutkan bahwa faktor-faktor yang perludiperhatikan: faktor internal, yaitu: 1) kesehatan, jika kesehatan anak terganggudengan sering sakit kepala, pilek, deman dan lain-lain, maka hal ini dapat membuatanak tidak bergairah untuk mau belajar. Secara psikologi, gangguan pikiran danperasaan kecewa karena konflik juga dapat mempengaruhi proses belajar. 2)intelegensi, faktor intelegensi dan bakat besar sekali pengaruhnya terhadapkemampuan belajar anak. Menurut gardner dalam teori multiple intellegence,intelegensi memiliki tujuh dimensi yang semiotonom, yaitu linguistik, musik,matematik logis, visual spasial, kinestetik fisik, sosial interpersonal dan intrapersonal.3) minat dan motivasi, minat yang besar terhadap sesuatu terutama dalam belajarakan mengakibatkan proses belajar lebih mudah dilakukan. Motivasi merupakandorongan agar anak mau melakukan sesuatu. Motivasi bisa berasal dari dalam dirianak ataupun dari luar lingkungan; 4) cara belajar, perlu untuk diperhatikanbagaimana teknik belajar, bagaimana bentuk catatan buku, pengaturan waktu belajar,tempat serta fasilitas belajar. Sedangkan faktor eksternal, yaitu: 1) keluarga, situasikeluarga sangat berpengaruh pada keberhasilan anak. Pendidikan orangtua, statusekonomi, rumah, hubungan dengan orangtua dan saudara, bimbingan orangtua,dukungan orangtua, sangat mempengaruhi prestasi belajar anak; 2) sekolah, tempat,gedung sekolah, kualitas guru, perangkat kelas, relasi teman sekolah, rasio jumlahmurid per kelas, juga mempengaruhi anak dalam proses belajar; 3) masyarakat, jikamasyarakat sekitar adalah masyarakat yang berpendidikan dan moral yang baik,terutama anak-anak mereka. Hal ini dapat sebagai pemicu anak untuk lebih giatbelajar; 4) Lingkungan sekitar, bangunan rumah, suasana sekitar, keadaan lalulintas dan iklim juga dapat mempengaruhi pencapaian tujuan belajar. Dari sekianbanyak faktor yang harus diperhatikan, tentu tidak ada situasi 100% yang dapatdilakukan secara keseluruhan dan sempurna. Tetapi berusaha memenuhinyasesempurna mungkin bukanlah faktor yang mustahil untuk dilakukan.Sedang hasil uji parsial motivasi belajar diketahui nilai signifikansinya 0,002, iniartinya secara tersendiri motivasi belajar berhubungan positif dan sangat signifikandengan prestasi belajar, dengan demikian hipotesis kerja diterima yang menyatakanbahwa ada hubungan positif antara motivasi belajar dan prestasi belajar diterima.

Page 87: Vol. 1, No. 2 September 2014

Vol. II, No. 2, September 2014 | 155

SimpulanSesuai dengan tujuan penelitian ini dan berdasarkan analisis dan pembahasanmaka dapat disimpulkan:1. Ada hubungan sangat signifikan antara bimbingan belajar dan motivasi belajardengan prestasi belajar siswa di MI Nidhomiyah Jombang. Hal ini ditunjukkanberdasarkan hasil uji simultan R2 = 0,312 F = 6,131 dengan signifikansi 0,007.2. Hasil uji parsial mendapatkan hasil bahwa bimbingan belajar secara tersendiritidak ada korelasi dengan prestasi belajar siswa MI Nidhomiyah Jombang. Hal iniberdasarkan hasil uji parsial r = 0,328 dengan p = 0,074 dimana p > 0,05.3. Hasil uji parsial mendapatkan hasil korelasi positif artinya semakin tinggimotivasi belajar maka semakin tinggi prestai belajar secara tersendiriberhubungan sangat signifikan dengan prestasi belajar siswa MI NidhomiyahJombang. Hal ini berdasarkan hasil uji parsial r = 0,556 dengan p = 0,002 dimanap < 0,01.Daftar PustakaAbda, A. (2010). Keefektifan Layanan Bimbingan Kelompok dalam Meningkatkan

Kemandirian Belajar Siswa Kelas VIII B SMP NU Al Ma’ruf Kudus Tahun Pelajaran2009/2010. Skripsi. Tidak diterbikan.Universitas Muria Kudus.Abdurrahman, Mulyono. (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:Rineka Cipta.Ahmadi Abu. (1991). Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta.Ahmadi Abu dan Supriyono Widodo. (2004). Psikologi Belajar (edisi revisi), Jakarta:Rineka Cipta.Alam, Syamsir, (2006). Instrumen Ujian Nasional sebagai Penentu KelulusanBerpotensi Merugikan Siswa, www.kompas.com/kompacetak/0506/27.Arikunto, Suharsimi, (2002). Prosedur Penelitian, Jakarta: RinekaCipta.--------------------------, (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (edisirevisi VI), Jakarta: Rineka Cipta.Bahri, S. (2002). Prestasi dan Kompetensi Guru, Surabaya: Usaha Nasional.Badudu dan Mohammad Zain Sutan. (2001). Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.Bungin Burhan. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: KencanaDjumhur & Surya, M. (1975). Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Bandung: CV.Ilmu.Hadi, Sutrisno, 1994, Analisis Regresi, Yogyakarta: Andi Offset.

Page 88: Vol. 1, No. 2 September 2014

156 | Hubungan antara Bimbingan Belajar dan Motivasi BelajarH., Usman, (2003). Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara.Hayinah. (1992). Masalah Belajar dan Bimbingan, Malang: IKIP MalangSardiman, A.M. (2005). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: RajawaliPress.Setiawan Deni. (2006). Penanganan Belajar Siswa, www.sd-binatalenta.com/images.Soelastri. (2002). Menjelang Ujian Masuk PTN Perlukah Ikut Bimbingan Belajar.www.kompas.com/kompas-cetak/0206/19/dikbud/menj09.htm.Syah, Muhibbin, (2003). Psikologi Belajar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.Sudjana, Nana. (2005). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: RemajaRosdakarya.Sukmadinata, Nana Syaodih. (2005). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung:PT Remaja Rosdakarya.Suryabrata, Sumadi. (1994). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo.Slameto. (2010). Belajar dan Faktor- faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: RinekaCipta.Prayetno. (1997). Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Bandung: CV. Ilmu Bandung.W. Gulo, (2002). Metodologi Penelitian, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.WS, Wingkel (1984), Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar, Jakarta: Gramedia.Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juntika, (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling,Bandung: PT RemajaRosdakarya.