JURNAL IMTIYAZ Vol 3 No 02 , September 2019
Transcript of JURNAL IMTIYAZ Vol 3 No 02 , September 2019
JURNAL IMTIYAZ Vol 3 No 02 , September 2019
116 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
PESANTREN: ANTARA ORIENTALISME DAN OKSIDENTALISME
Nuril Hidayah
Prodi Ahwal Syakhshiyyah STAI Muhammadiyah Probolinggo
Email: [email protected]
Abstrak
Di mata dunia modern pesantren seringkali dianggap sebagai basis
resistensi terhadap modernisasi yang seringkali diidentikkan dengan Barat.
Resistensi tersebut berasal dari akar yang kuat yang dimiliki oleh pesantren
sebagai sebuah subkultur. Kajian ini berupaya menguraikan bagaimana
pandangan pesantren terhadap Barat adalah bagian dari oksidentalisme.
Dengan menggunakan sumber-sumber kepustakaan dan metode analisis
konten (content analysis), kajian ini menghasilkan beberapa kesimpulan.
Pertama, di masa pra kemerdekaan Barat yang diwakili oleh Belanda memiliki
imej atau citra buruk di kalangan pesantren. Belanda dicitrakan oleh pesantren
sebagai penjajah yang mengeksploitasi rakyat dan menikam dari belakang.
Selain itu, dengan sekolah umum yang dipenuhi oleh kalangan bangsawan,
Belanda menjadi pesaing dunia pendidikan pesantren berbasis rakyat. Di sisi
lain, dari kaca mata agama, mereka mencitrakan Barat sebagai orang kafir.
Kata Kunci: pesantren, orientalisme, oksidentalisme.
Abstract
From modern perspective, pesantren are often regarded as the basis
of resistance to modernization that is often associated with the West. This
resistance comes from the strong roots of the pesantren as a subculture. This
study attempts to elaborate on how the pesantren's view of the West as a part
of occidentalism. Using literary sources and content analysis methods, this
study has resulted several conclusions. First, in the pre-independence era
where the West was represented by the Dutch, The West had a bad image
among the pesantrens. The Dutch was viewed as invaders who exploit people
and stab them from behind. In addition, with public schools filled with
aristocrats, the Netherlands became a competitor to civil education which was
rooted in community based pesantren education. On the other hand, from the
standpoint of religion, pesantren viewed the West as infidels.
Keywords: pesantren, orientalism, occidentalism.
JURNAL IMTIYAZ Vol 3 No 02 , September 2019
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
117
PENDAHULUAN
Dalam panggung dunia modern pesantren seringkali dianggap sebagai
basis resistensi terhadap modernisasi yang seringkali diidentikkan dengan
Barat. Nurkholis Madjid (1997: 88) menyatakan, meskipun anggapan ini tidak
mutlak benar tapi juga tak bisa disalahkan karena pada dasarnya nilai-nilai
yang dianggap modern itu didominasi oleh nilai-nilai Barat.
Banyak studi dilakukan terhadap pesantren sebagai suatu subkultur
masyarakat. Pesantren dapat dikatakan sebagai subkultur jika memenuhi
kriteria minimal; eksistensinya sebagai sebuah pola kehidupan yang
menyimpang dari pola kehidupan umum; adanya penunjang bagi tulang
punggung kehidupan pesantren; berlangsungnya proses pembentukan tata nilai
tersendiri; adanya daya tarik keluar sehingga memungkinkan masyarakat luar
untuk menganggapnya sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup masyarakat;
adanya proses pengaruh mempengaruhi dengan masyarakat di luarnya (Wahid,
2001: 2).
Studi-studi yang dilakukan memperoleh kesimpulan yang beragam.
Nurkholis Madjid (1997: 102) misalnya menganggap ada kesenjangan
mencolok antara pesantren dan dunia luar yang harus segera dibenahi. Lain
halnya Zamakhsyari Dhofier (1985: 2) yang menganggap pesantren memang
punya filter yang ketat dalam menyaring hal-hal yang masuk dari luar, namun
ia juga mengalami perubahan-perubahan, meskipun amat lambat. Yang lebih
ekstrim lagi ada yang berkesimpulan bahwa pesantren merupakan basis
tradisionalisme, kekolotan, bahkan sinkretisme (Geertz dalam Dhofier, 1985:
6). Akan tetapi semua studi itu dilakukan dengan kaca mata modernisasi.
Mereka mempelajari pesantren dari bagaimana dunia modern memandang
pesantren, dan bukan dari bagaimana pesantren melihat modernisasi yang
secara implisit dianggap Barat. Maka dalam kajian ini fokus lebih diarahkan
pada bagaimana Barat dilihat dari sudut pandang pesantren.
Terlepas dari itu, studi tentang imej Barat di mata pesantren tidak
mudah dilakukan karena pesantren bukan kesatuan tunggal, melainkan sebuah
subkultur dalam masyarakat. Maka untuk lebih mudahnya, pertama penulis
mengambil beberapa indikasi yang ditunjukkan oleh ikon-ikon pesantren atau
tokoh-tokohnya dan kedua mengkhususkan diri pada periode pra
kemerdekaan.
METODE
Kajian ini menggunakan sumber-sumber dan bahan kepustakaan untuk
kemudian dikupulkan sebagai data yang akan dipaparkan secara deskriptif
JURNAL IMTIYAZ Vol 3 No 02 , September 2019
118 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
analitis. Metode analisis yang digunakan adalah content analysis, yaitu teknik
mengumpulkan dan menganalisis isi dari suatu teks. “isi” dalam hal ini dapat
berupa kata, arti (makna), gambar, simbol, ide, tema, atau beberapa pesan yang
dapat dikomunikasikan (Neuman, 1997). Analisis isi kualitatif dapat
mengidentifikasi pesan-pesan yang tampak, sekaligus juga pesan yang
tersembunyi sehingga akan mampu mengungkap konteks pesan, proses
bagaimana ia diproduksi, dan emergence atau bagaimana ia diinterpretasikan
(Bungin, 2003: 144-147).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pikiran kita pada dasarnya bersifat kategoris. Barangkali inilah yang
dipikirkan Aristoteles ketika menyusun pemikiran filsafatnya tentang
kategori.(Suttcliffe, 1993: 424). Seandainya kita membuka pintu kamar dan
mendapati barang-barang berserakan umumnya kita akan segera tergerak
untuk merapikannya; buku-buku ditempatkan menjadi satu dalam rak buku,
pakaian dalam lemari, kemeja dilipat dan diletakkan dalam tumpukan
tersendiri di samping tumpukan celana dan seterusnya. Ini adalah salah satu
contoh bahwa pikiran kita cenderung suka mengklasifikasikan hal-hal yang
kita anggap sama, atau dengan kata lain menggeneralisasi. Ini jugalah yang
dimaksud Levi Strauss dengan kebutuhan pikiran akan tatanan (Kristanto,
2005: 139). Tatanan dapat diciptakan dengan mencatat dan membedakan
segala sesuatu untuk dapat ditemukan kembali sehingga pikiran akan dapat
bekerja secara sistematis.
Sifat dasar pikiran ini tentunya berlaku pula dalam proses identifikasi
diri. Untuk mengatakan bahwa aku adalah “Aku”, aku harus dibedakan dengan
“orang lain”. Dan untuk mengatakan bahwa “aku” ini akrab dan dekat maka
harus ada “orang lain” yang asing dan jauh. Sifat ini juga berlaku secara
komunal. Untuk mendefinisikan kita sebagai “kta” harus ada selain kita yang
bertempat bukan dalam daerah “kita”, dan itu adalah “mereka” yang bertempat
di daerah “mereka”. Inilah yang dimaksud Said dengan geografi imajinatif,
yaitu batasan-batasan geografis—menyertai batasan-batasan sosial, etnis dan
budaya—yang digunakan untuk membedakan antara Timur dan Barat. Disebut
imajinatif karena batas-batas tersebut merupakan obyek yang diciptakan oleh
pikiran yang meskipun nampak seperti bereksistensi secara obyektif hanya
mempunyai realita fiktif. Di samping itu pembedaan ini dapat bersifat arbitrer
(sewenang-wenang). Artinya yang disebut “mereka” tidak harus mengakui
pembedaan tersebut. Jadi dalam hal ini, Timur yang dsebut sebagai “mereka”
sebenarnya diciptakan untuk membantu Barat mengidentifikasikan dirinya.
Untuk membuat Barat tidak asing dengan dirinya Timur harus diadakan
sebagai yang asing. Dan itu tetap terjadi tanpa mensyaratkan Timur mengakui
JURNAL IMTIYAZ Vol 3 No 02 , September 2019
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
119
bahwa mereka adalah “Timur”. Mereka sudah dengan sendirinya menjadi
Timur bagi Barat.
Namun gagasan tentang yang asing ini tidak dapat terhindar dari
prasangka, dugaan dan imajinasi. Orang selalu penasaran dan bertanya-tanya
apa yang terjadi di luar sana, yang tidak di “daerah kita”, yang tidak tercover
dalam kuasa pengetahuan kita. Maka dengan sendirinya “mereka” adalah
ancaman yang menakutkan bagi “kita” sejauh kita tidak mengenalnya. Timur
sebelum dikenal adalah mengancam, menakutkan dan asing bagi Barat,
Karena itulah Timur harus dipelajari untuk dapat dikenal sehingga
tidak lagi terkesan mengancam dan tidak lagi menakutkan bagi Barat. Timur
harus diletakkan dalam ruang tertentu untuk dapat dikoreksi dan diadili. Maka
tidak heran jika Edward Said (2014: 50) mengilustrasikan representasi dari
geografi imajinatif ini dengan sebuah panggung yang memberi batas kepada
seluruh dunia Timur. Jadi Timur bukanlah dunia luas yang tak terbatas di luar
dunia Barat. Orientalisme adalah sebuah panggung di mana kisah-kisah Timur
ditampilkan untuk dinilai, dikoreksi dan diapresiasi oleh sang orientalis.
Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa Timur hanya bisa
berbicara dalam kerangka imajinasi orientalis. Timur tidak dibiarkan berbicara
sendiri karena Timur memang ada untuk dan demi Barat. Di sini akan tampak
sekali usaha-usaha Barat untuk membuat pengalihan-pengalihan dari yang
asing dan merisaukan menjadi yang akrab. Timur yang mulanya asing
kemudian dianggap sebagai aspek dari Barat. Misalnya dalam kasus
Muhammad; ia asing karena ia bagian dari Timur, namun kemudian menjadi
akrab karena menyerupai Yesus, namun ia tetaplah seorang penipu karena ia
menyelewengkan dan meniru-niru Yesus. Atau dalam kasus India misalnya,
India dianggap menganut panteisme Jerman Kristen.
Satu hal lagi yang penting di sini adalah bahwa geografi imajinatif
mengesahkan apa yang diistilahkan Said sebagai semacam perbendaharaan
bahasa (2014: 63). Satu contoh misalnya, bahwa Muhammad adalah seorang
penipu merupakan wacana yang muncul setiapkali nama Muhammad
disebutkan. Orientalisme menciptakan suatu kualitas-kualitas yang dicap
sebagai Timur, yang tampaknya merupakan kesepakatan yang diperoleh dari
kebiasaan. Maka dalam orientalisme, siapapun yang menggunakannya harus
berurusan dengan kualitas-kualitas tersebut.
Dalam kajian-kajian orientalis, yang disebut sebagai Timur selama ini
mengacu pada tiga wilayah besar geografis dan kebudayaan dunia Timur.
Pertama, wilayah geografis dan kebudayaan Asia Timur yang mencakup
China, Jepang, dan Korea. Kedua, wilayah geografis dan kebudayaan India
yang mencakup India, Pakistan, Bangladesh, dan Srilangka. Ketiga, wilayah
geografis dan kebudayaan muslim (Rodinson, 2002: 351).
JURNAL IMTIYAZ Vol 3 No 02 , September 2019
120 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
Sejauh ini kita melihat bahwa dalam mengkaji Timur para orientalis
hanya menggunakan generalisasi-generalisasi yang abstrak. Mereka tidak
membahas individu-individu atau identitas-identitas manusia yang eksistensial
dengan kekhasannya masing-masing, melainkan memandang Timur dengan
batasan-batasan kolektif, karena bagi mereka Timur kolektif lebih mudah
untuk diilustrasikan dalam sebuah teori. Hasilnya, Timur tereduksi menjadi
suatu abstraksi kolektif tanpa penekanan pada variasi kekhasan masing-
masing.
Dengan demikian, wajarlah jika Said menyebut orientalisme secara
psikologis sebagai pengetahuan paranoia (2014: 63). Orientalisme merupakan
lapangan pengetahuan yang diciptakan untuk mengatasi rasa takut. Pada
awalnya Timur memang diciptakan untuk membantu Barat mengidentifikasi
diri, untuk membuat Barat merasa tidak asing dengan dirinya. Namun di sisi
lain, “yang asing” yang diciptakan adalah penuh misteri sehingga dengan
sendirinya ia menjadi ancaman yang menakutkan. Dan untuk mengatasi rasa
takut itu diciptakanlah orientalisme untuk membuat Timur menjadi tidak asing
dan tidak perlu ditakuti.
Namun berkaitan dengan geografi imajinatif ini, Said bukan ingin
mengatakan bahwa orientalisme adalah pengetahuan yang semata-mata
bersifat imajinatif. Ia hanya ingin mengatakan bahwa pengetahuan ini lebih
dari sekedar pengetahuan positif saja. Orientalisme bukan pengetahuan yang
semata-mata subyektif. Said hanya ingin mendekonstruksi orientalisme untuk
menyingkap wacana apa yang menggerakkannya, untuk membuktikan bahwa
apa yang tampaknya obyektif itu tidak lepas dari subyektifitas.
Metode Said ini memang sejalan dengan tujuan penulisan bukunya
yang diungkapkan dalam pendahuluan yakni; pertama, menyuguhkan
genealogi intelektual dengan cara baru; kedua, untuk mengkritik; dan ketiga,
untuk memberikan ilustrasi terhadap struktur besar dominasi kultural—
terutama bagi dunia Ketiga—sebagai peringatan akan bahaya-bahaya
penggunaan struktur ini bagi mereka sendiri atau bangsa-bangsa lain. Di sini
terlihat jelas bahwa Said bukan ingin memberikan solusi. Ia hanya ingin
menunjukkan bagaimana beroperasinya dominasi budaya dan dengan itu ia
berharap akan bisa merangsang timbulnya perlakuan baru terhadap Timur.
Tampaknya kritik Said tersebut membawa pengaruh besar bagi arah
orientalisme baru. Menanggapi kritik Said, mulailah bermunculan tokoh-tokoh
orientalis yang mengkaji Timur dengan cara baru yang lebih obyektif dan
klarifikatif. Kajian-kajian yang lebih obyektif tersebut telah banyak dihasilkan
oleh para generasi “Post Orientalisme” yang sebagiannya terepresentasikan
pada Huston Smith, John L. Esposito dan Karen Armstrong (Syamsi, 2016).
Ketiganya adalah tokoh-tokoh yang bersemangat dalam upaya menjelaskan
JURNAL IMTIYAZ Vol 3 No 02 , September 2019
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
121
Islam secara benar. Huston Smith merupakan ilmuwan Barat yang cukup keras
dalam menentang penggambaran yang salah tentang Islam. Nuansa ini tampak
mewarnai tulisan-tulisannya. Sedangkan John L. Esposito dan Armstrong
merupakan dua penulis masalah keislaman yang amat produktif. Selain adanya
arah baru dalam orientalisme, hal yang patut disyukuri adalah kontribusi
orientalisme terhadap kajian Islam. Orientalisme, terlebih di era klasik,
menampakkan banyak bias dan membawa kepentingan imperialisme (Izza,
2016; Fanani, 2007; Turmudi, 2013). Akan tetapi, Afrizal (2007) memberikan
catatan bahwa sekalipun orintalisme klasik menghasilkan banyak kajian yang
berat sebelah terhadap dunia Timur, orientalisme telah banyak berjasa
membuka ruang-ruang kajian tentang Timur, terutama dalam bentuk
manuskrip.
Selain orientalisme baru, respon terhadap kritik keras Said tersebut
juga datang dari dunia Timur sendiri. Adalah Hassan Hanafi yang berupaya
merespon kritik Said terebut dengan meletakkan dasar-dasar oksidentalisme.
Selain Hassan Hanafi juga ada sosok-sosok lain Naquib al-Attas, al-Faruqi,
Syed Hossen Nasr, Fazlur Rahman, Nurkholis Majid, Amin Abdullah, dan
lain-lain. Akan tetapi memang Hassan Hanafi sangat menonjol sehingga ketika
membincang tentang oksidentalisme namanya tak dapat dilepaskan.
Sebagai sebuah ilmu, sebagaimana diakui oleh Hanafi sendiri,
oksidentalisme beum matang dan masih perlu pengembangan (Hanafi,
2000:19). Namun demikian, kelahirannya disambut hangat karena berupaya
sebagai ilmu yang mendudukkan Barat sebagai objek kajian, dan Timur
sebagai subyek. Sehingga secara sederhana, oksidentalisme merupakan
antitesa dari orientalisme.
Oksidentalisme Hasan Hanafi sebenarnya merupakan bagian dari
proyek besar “membangkitkan” umat Islam yang disebutnya dengan “at-Turast
wa at-Tajdid” (Warisan Peradaban dan Pembaharuan). Hasan Hanafi membagi
proyek ini menjadi tiga agenda. Pertama, sikap kita terhadap warisan
peradaban kuno (at-turast al-qodim). Kedua, sikap kita terhadap warisan
peradaban Barat (at-turast al-gharby). Ketiga, sikap kita terhadap realitas (al-
waqi’). Setiap agenda, tidak berdiri sendiri, melainkan saling berintegrasi.
Tugas yang paling berat dari oksidentalisme adalah mengenai inferioritas
sejarah hubungan the other, dengan menumbangkan superioritas the other
Eropa dan menjadikannya sebagai obyek yang dikaji dan melenyapkan
inferioritas kompleks ego dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji
(Nurhayati, 2016).
Kajian tentang bagaimana Barat dalam pandangan pesantren dalam
konteks ini dapat dikatakan sebagai bagian dari oksidentalisme. Pesantren
yang dimaksud dapat memenuhi unsur-unsur sebagaimana diperinci oleh
JURNAL IMTIYAZ Vol 3 No 02 , September 2019
122 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
Shodiq (2011). Sebuah institusi dapat disebut sebagai Pondok Pesantren
apabila memiliki sekurang-kurangnya tiga unsur pokok, yaitu: (1) adanya kyai
yang memberikan pengajaran, (2) para santri yang belajar dan tinggal di
pondok, dan (3) adanya masjid sebagai tempat ibadah dan tempat mengaji.
Model institusi semacam ini sudah ada di Indonesia sejak lama dan berusia
sangat tua. Bahkan pesantren dapat dikatakan sebagai akar pendidikan Islam
di Indonesia (Haningsih, 2008). Kriteria yang sedikit berbeda dikemukakan
oleh Nasarudin Umar (2014: 7) karena pesantren dilihat sebagai sebuah
subkultur. Pertama, pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri dan
tidak terkooptasi oleh negara. Kedua, adanya penggunaan kitab-kitab rujukan
umum yang selalu digunakan selama berabad-abad. Ketiga, system nilai yang
digunakan adalah bagian dari masyarakat luas. Bertolak dari sini pembahasan
dapat dirunutkan melalui beberapa poin.
Pesantren di masa pra-kemerdekaan
Komunitas pesantren pada masa kolonial dalam proses pergulatannya
berdampingan dan berhadapan dengan budaya rakyat jelata, keraton dan
pemerintah Hindia Belanda. Budaya rakyat merepresentasikan budaya
pinggiran yang terisolasi oleh budaya keraton dan budaya Barat yang
diintrodusir oleh penjajah kolonial Belanda. Maka tidak mengherankan jika
kebanyakan pesantren berdiri di daerah yang sepi, menyatu dengan masyarakat
setempat.
Pada abad 18, bersamaan dengan kebijakan Politik Etis, Belanda
mengeluarkan Undang-undang kependudukan yang membagi warga menjadi
tiga kelas; kelas satu (asing Barat), kelas dua (asing Timur), dan kelas tiga
(warga pribumi). Kelas tiga dibagi menjadi dua sub kelas yakni; warga keraton
yang dekat dengan penguasa, dan rakyat jelata. Kelas satu dan sub kelas
keraton memperoleh kesempatan belajar di sekolah Belanda yang mengajarkan
pelajaran-pelajaran umum. Selain itu kelas pribumi yang dekat dengan
kekuasaan seperti Gubernur, Bupati, juga mendapatkan kesempatan serupa.
Atas saran Snouck Hurgronje, pemerintah Hindia Belanda pada akhir
abad 19 mendirikan sekolah-sekolah tipe Barat untuk penduduk pribumi.
Kebijaksanaan ini dibuat untuk memperluas pengaruh pemerintah kolonial dan
untuk menandingi pengaruh pesantren yang begitu kuat dalam masyarakat.
Menurut Snouck, masa depan jajahan Belanda tergantung pada penyatuan
wilayah tersebut dengan kebudayaan Belanda. Melalui pendidikan diharapkan
akan terjadi westernisasi kaum ningrat dan priyayi Jawa. Ini dimaksudkan
untuk mengurangi bahkan mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia (Dhofier,
1985: 38). Sementara itu pesantren juga menjadi lembaga pendidikan yang
menampung warga pribumi yang tidak bisa belajar di pedepokan keraton dan
JURNAL IMTIYAZ Vol 3 No 02 , September 2019
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
123
sekolah-sekolah milik Belanda. Dengan demikian sekolah umum milik
pemerintah dan pesantren saling bersaing untuk memperluas pengaruh.
Terlepas dari keberadaan pendidikan bertipe Barat sebagai saingan
pesantren, pemerintah Hindia Belanda juga sering mengeluarkan kebijakan-
kebijakan yang bagi pesantren tidak layak bahkan menyulitkan. Misalnya
kebijakan Belanda pada tahun 1825 untuk membatasi jumlah jemaah haji
dengan mewajibkan membeli paspor seharga 110 gulden, jumlah yang amat
mahal pada waktu itu (Dhofier, 1985: 11). Contoh yang lain, kebijakan untuk
menarik biaya pemotongan kurban. Komunitas pesantren menolak
pemungutan biaya itu karena tidak selayaknya untuk urusan ibadah orang
ditarik biaya oleh pemerintah (Zuhri, 2001: 24). Tampaknya mereka konsisten
dengan gagasan itu karena ketika Belanda menawarkan subsidi untuk lembaga
pesantren mereka menolak dengan alasan tidak selayaknya untuk kegiatan
ibadah orang kemudian dibayar. Kedua penolakan ini dianggap sebagai aksi
politik terselubung oleh pemerintah Belanda. Karena itu mereka sering
mengirimkan mata-mata ikut menjadi santri yang mondok di pesantren.
Sekitar tahun 1939-an Hitler mulai menguasai Eropa sehingga Belanda
pindah ke Inggris. Pada saat seperti ini, demi mendapatkan dukungan dari
rakyat Hindia Belanda, pemerintah Belanda mulai mengadvokasi rakyat
mengenai kejahatan fasis-nazi Hitler dan sekutunya. Pesantren menanggapi hal
ini dengan kecurigaan, karena di samping advokasi itu terkesan asing bagi
pesantren, pesantren melihat pemerintah Belanda sendiri yang selama ini
mengaku demokratis, tidak pernah bertindak demokratis dan selalu merugikan
masyarakat. Advokasi ini dinilai sebagai tindakan meminta belas kasihan di
saat membutuhkan tapi menindas di saat berkuasa. (Zuhri, 2001: 104)
Kalangan pesantren mengistilahkan menyebut Belanda sebagai londo (
alon-alon mbondho-menelikung dan mengikat erat-erat dengan pelan-pelan)
yang lebih ekstrim lagi bahkan sampai mengharamkan memakai dasi atau
pantalon. Pengharaman ini bemula dari anggapan bahwa Belanda itu kafir. Dan
sebab pengharaman memakai dasi atau pantalon adalah karena menyerupai
Belanda.
Besar kemungkinan, sikap yang cenderung ekstrim ini juga
dipengaruhi oleh politik kristenisasi Belanda. Menurut Kyai Muhammad
Balya, ekspansi belanda ke Timur selain bermisi westernisasi dan eksploitasi,
juga bermisi kristenisasi. Ini juga didukung oleh pendapat Dhofier bahwa
orang-orang Belanda pada waktu itu adalah calvinis puritan yang sadar,
fanatik, dan menganggap agamanya sendiri yang benar. Sringkali Dewan
Direktur V.O.C melarang diselenggarakannya upacara-upacara keagamaan
lain secara terbuka (Dhofier, 1985: 10). Sikap ini, ditambah lagi dengan
kenyataan bahwa kerajaan dari waktu ke waktu terus dikendalikan penjajah,
JURNAL IMTIYAZ Vol 3 No 02 , September 2019
124 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
mengakibatkan pesantren mengambil misi oposisi terhadap kristenisasi,
eksploitasi dan westernisasi.
Uraian di atas mengindikasikan bahwa Barat yang waktu itu
direpresentasikan oleh Belanda memiliki imej atau citra buruk di kalangan
pesantren. Berdasarkan interaksi yang berlangsung dengan pemerintah
Belanda pada saat itu, paling tidak Belanda dicitrakan sebagai penjajah yang
mengeksploitasi rakyat dan menikam dari belakang. Dan dengan sekolah
umum yang dipenuhi oleh kalangan bangsawan, Belanda menjadi pesaing
dunia pendidikan pesantren berbasis rakyat. Di sisi lain, dari kaca mata agama,
mereka mencitrakan Barat sebagai orang kafir.
Pesantren di masa pasca kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, pada agresi militer Belanda, berkat latihan
kemiliteran pada masa pemerintahan Jepang, dengan pasukan Hizbullah-nya
pesantren menjadi basis perlawanan bersenjata massa melawan pasukan
Belanda.
Melihat interaksi dunia pesantren dangan Belanda dalam rentang
sejarah, tidak mengherankan jika sampai saat ini dunia pesantren masih
cenderung melakukan resistensi terhadap pengaruh Barat. Sedikit banyak, ini
juga dipengaruhi oleh sikap hidup pesantren yang sederhana dan penuh
kebersamaan. Di era globalisasi seperti saat ini, kalangan pesantren menyadari
bahwa interaksi dengan Barat bukan hanya dengan penjajah secara fisik saja,
akan tetapi dengan nilai-nilai budaya Barat. Mereka umumnya menyadari
bahwa Barat mempunyai kelebihan dalam bidang teknologi dan ilmu
pengetahuan, akan tetapi juga membawa nilai-nilai yang negatif seperti
individualisme dan liberalisme yang sangat berbeda dengan semangat
pesantren. Maka dari itu pesantren mulai membuka diri, misalnya dengan
membuka sekolah-sekolah umum akan tetapi berbasis pendidikan pesantren
agar tetap mampu melakukan filter terhadap dampak-dampak negatif yang
ditimbulkan oleh modernisasi.
Di sisi lain, dengan adanya globalisasi pula, tuntutan untuk melakukan
modernisasi pun semakin besar. Tuntutan ini kemudian membawa pada
munculnya ide-ide pembaruan dari pesantren. Pada awalnya, pembaharuan
atau modernisasi sistem pendidikan di Indonesia tidak murni bersumber dari
kalangan kaum Muslim Indonesia sendiri. Karel Steenbrink (1986: 46),
menyebutkan beberapa faktor bagi pembaruan pendidikan Islam di Indonesia
pada awal abad ke-20, yaitu (1) Sejak tahun 1900, telah banyak pemikiran
kembali pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang dijadikan titik tolak untuk menilai
kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada. Pemikiran kembali ke al-Qur’an
dan al-Sunnah telah mengakibatkan perubahan dalam bermacam-macam
kebiasaan agama; (2) Sifat perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial
JURNAL IMTIYAZ Vol 3 No 02 , September 2019
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
125
Belanda; (3) adanya usaha-usaha dari umat Islam untuk memperkuat
organisasinya di bidang sosial ekonomi; (4) ketidakpuasan terhadap hasil
pendidikan tradisional dalam mempelajari al-Qur’an dan ilmua agama Islam,
yang berakumulasi pada pembaharuan sistem pendidikan Islam.
Di tingkat lokal, sistem pendidikan modern, pertama kali,
diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada gilirannya, sistem
pendidikan yang diperkenalkan pemerintah kolonial Belanda ini
mempengaruhi sistem pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini berlangsung
ketika pada paruh pertama abad ke-20, ketika kaum pribumi, termasuk
kalangan pesantren, memperoleh kesempatan yang cukup luas untuk
mendapatkan pendidikan. Beberapa lembaga pendidikan Islam pun, lambat-
laun, mulai mengadaptasi sistem pendidikan Belanda tersebut. Adaptasi ini
dapat dimaknai sebagai bentuk cooperative mimikri, oposisi diam, atau
perlawanan terselubung. Sartono Kartodirjo mengemukakan bahwa sejak
kolonialisme datang ke Indonesia hingga masa imperialism, peran efektif kyai
dalam menanamkan sikap permusuhan dan agresif terhadap orang asing dan
pribumi yang menjadi birokrat kolonial (Bruinessen, 1995: 331).
Produk dari pembaharuan ini adalah pesantren kontemporer. Pesantren
ini merupakan reaksi Noor Hafidhoh, Pendidikan Islam di Pesantren M U A D
D I B Vol.06 No.01 Januari-Juni 2016 ISSN 2088-3390 95 terhadap
menjamurnya sistem pendidikan yang diadopsi dari pemerintah kolonial
Belanda. Gerakan reformis muslim yang menemukan momentum sejak awal
abad ke-20 berpendapat bahwa untuk menjawab tantangan kolonialisme dan
kristenisasi diperlukan reformasi pendidikan Islam. Dalam konteks inilah
dapat disaksikan munculnya dua bentuk lembaga pendidikan modern Islam.
Pertama sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan
pengajaran Islam. Kedua, madrasah-madrasah modern yang secara terbatas
mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda.
Paling tidak ada dua cara tentang bagaimana pesantren merespon
pembaruan. Pertama, merevisi kurikulum dengan memasukkan sebagian mata
pelajaran dan keterampilan umum. Kedua, membuka kelembagaan dan
fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum
(Hafidhoh, 2016). Gagasan-gagasan untuk melakukan pebaruan semacam ini
sebenarnya telah dimulai oleh beberapa ulama muslim, diantaranya adalah
K.H. Imam Zarkasyi, K.H. A. Wahid Hasyim dan K.H. Ahmad Dahlan.
Adapun di masa sekarang ini, harapan masyarakat terhadap pesantren sangat
besar mengingat visinya untuk mencetak insan kamil diDi masa ini,
masyarakat menaruh harapan yang sangat besar terhadap pesantren, seiring
dengan visi dan misi pesantren untuk mendidik dan mengahsilkan insan kamil
JURNAL IMTIYAZ Vol 3 No 02 , September 2019
126 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
di tengah masyarakat modern. Akan tetapi masih banyak hambatan dalam
menjawab tantangan dan tuntutan tersebut.
Ada sejumlah variabel yang dapat dterapkan dalam agenda modernisasi
pesantren, khususnya dan pendidikan Islam umumnya (Hafidhoh, 2016): a)
Modernisasi administratif: Modernisasi menuntut differensiasi sistem
pendidikan untuk mengantisipasi dan mengakomodasi berbagai kepentingan
differensiasi sosial, teknik dan manajerial. Antisipasi dan akomodasi tersebut
harus diwujudkan dalam bentuk formulasi, adopsi dan implementasi
kebijaksanaan pendidikan dalam tingkat nasional, regional dan lokal. Dalam
konteks modernisasi administratif ini, sistem dan lembaga pendidikan Islam,
khususnya pesantren, pada umumnya baru mampu melakukan reformasi dan
modernisasi administratif secara terbatas. Kebanyakan masih berpegang pada
kerangka ”administrasi tradisional”, termasuk dalam aspek kepemimpinan,
sehingga pesantren tidak mampu mengembangkan diri secara baik. b)
Differensiasi struktural: yakni pembagian dan difersifikasi lembaga-lembaga
pendidikan sesuai dengan fungsi-fungsi yang akan dimainkannya. c) Ekspansi
kapasitas, yakni perluasan sistem pendidikan untuk menyediakan pendidikan
bagi sebanyak mungkin peserta didik sesuai kebutuhan yang dikehendaki
berbagai sektor masyarakat.
Sebenarnya, sistem dan kelembagaan pendidikan Islam sudah lama
mulai melakukan ekspansi kapasitas (Azra, 1999: 34), termasuk dengan terus
berdirinya banyak pesantren baru di berbagai tempat, sehingga pesantren dari
sudut ini dapat disebut sebagai ”pendidikan rakyat” yang cukup memassal.
Tetapi di sisi lain, ekspansi kapasitas itu terjadi tanpa memperhitungkan
kebutuhan berbagai sektor masyarakat, khususnya menyangkut lapangan kerja
yang tersedia. Akibatnya, banyak tamatan pesantren yang tidak mampu
menemukan tempatnya yang sesuai dalam masyarakat.
PENUTUP
Menguraikan bagaimana pandangan pesantren terhadap Barat adalah
bagian dari oksidentalisme yang berupaya memposisikan Barat sebagai obyek
kajian dan Timur sebagai subyek atau pengkaji. Pembahasan di atas
menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, di masa pra kemerdekaan
Belanda memiliki imej atau citra buruk di kalangan pesantren. Berdasarkan
interaksi yang berlangsung dengan pemerintah Belanda pada saat itu, Belanda
dicitrakan oleh pesantren sebagai penjajah yang mengeksploitasi rakyat dan
menikam dari belakang. Selain itu, dengan sekolah umum yang dipenuhi oleh
kalangan bangsawan, Belanda menjadi pesaing dunia pendidikan pesantren
berbasis rakyat. Di sisi lain, dari kaca mata agama, mereka mencitrakan Barat
sebagai orang kafir.
JURNAL IMTIYAZ Vol 3 No 02 , September 2019
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
127
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal, A. (2007). Mengarifi Orientalisme: Meretas Jalan Ke Arah Integrasi
Epistemologi Studi Islam. Ulumuna, 11(1), 73-92.
Azra, Azyumardi. (1999). Pendidikan Islam. PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta
Bruinessen, Martin Van. (1995). Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Mizan,
Bandung.
Bungin, B. (2003). Analisis Data Kualitatif. Penerbit PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Dhofier, Zamakhsyari. (1985). Tradisi Pesantren. LP3ES, Jakarta.
Fanani, A. (2007). Orientalisme, Liberalisme Islam, Dan Pengembangan Studi
Islam Di IAIN. Ulumuna, 11(1), 93-120.
Hafidhoh, Noor. (2016). Pendidikan Islam di Pesantren. M U A D D I B Vol.
06 No. 01 Januari-Juni 2016 ISSN 2088-3390
Haningsih, S. (2008). Peran strategis pesantren, madrasah dan sekolah islam
di Indonesia. El-Tarbawi, 1(1).
Hanafi, Hassan. (2000). Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Dunia Tradisi
Barat, terj. M. Najib Bukhari, Paramadina, Jakarta.
Izza, Y. P. (2016). Oksidentalisme; Membuka Kedok Imperalisme Barat.
Kristanto, H. D. (2005). Strukturalisme Levi-Strauss dalam kajian
budaya. Teori-Teori Kebudayaan, 125.
Madjid, Nurkholis, (1997). Bilik-bilik Pesantren. Paramadina, Jakarta.
Maxime Rodinson, Muhammad (New York: Random House Inc., 2002).
Neuman, W. (1997). Social research methods: qualitative and quantitative
approaches. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon
Noorhayati, S. M. (2016). OKSIDENTALISME: KONSEP PERLAWANAN
TERHADAP BARAT. AT-TURAS: Jurnal Studi Keislaman, 3(2).
Said, E. (2014). Orientalism. In Geopolitics (pp. 75-79). Routledge.
Shodiq, M. (2011). Pesantren dan perubahan sosial. Jurnal Sosiologi
Islam, 1(1), 111-122.
Steenbrink, Kareel. (1986). Pesantren, Madrasah, Sekolah. LP3ES, Jakarta.
Syamsi, B. (2016). ISLAM DI MATA ORIENTALISME KLASIK DAN
ORIENTALISME KONTEMPORER. TAJDID: Jurnal Ilmu
Ushuluddin, 15(1), 17-40.
Sutcliffe, J. P. (1993). Concept, class, and category in the tradition of
Aristotle. Realism and Psychology: Collected Essays, 422-460.
Turmudi, I. (2013). PANDANGAN BRYAN S. TURNER TENTANG ISLAM:
KAJIAN TENTANG ORIENTALISME (Doctoral dissertation, UIN
Sunan Ampel Surabaya).
JURNAL IMTIYAZ Vol 3 No 02 , September 2019
128 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
Ulinnuha, R. (2011). Occidentalism in Indonesia: A Study of Intellectual Ideas
of Mukti Ali and Nurcholis Madjid and Contemporary
Legacy. ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 12(1), 79-96.
Umar, H. N. (2014). Rethinking pesantren. Elex Media Komputindo.
Wahid, Abdurrahman. (2001). Menggerakkan Tradisi. LKiS, Yogyakarta.
Zuhri, Saifuddin. (2001). Guruku Orang pesantren. LKiS, Yogyakarta.