Visi Muram Tradisi Clouded Vision...

12
1

Transcript of Visi Muram Tradisi Clouded Vision...

Page 1: Visi Muram Tradisi Clouded Vision of25years.cemetiarthouse.com/wp-content/uploads/2012/12/Layout-Restu...melalui batik, video animasi gambar tangan dan komposisi musik. Leilani Hermiasih:

1

Page 2: Visi Muram Tradisi Clouded Vision of25years.cemetiarthouse.com/wp-content/uploads/2012/12/Layout-Restu...melalui batik, video animasi gambar tangan dan komposisi musik. Leilani Hermiasih:

2

Visi Muram Tradisiyang Sekarat

Restu Ratnaningtyas & Leilani Hermiasih

Clouded Vision ofa Dyeing Tradition

Page 3: Visi Muram Tradisi Clouded Vision of25years.cemetiarthouse.com/wp-content/uploads/2012/12/Layout-Restu...melalui batik, video animasi gambar tangan dan komposisi musik. Leilani Hermiasih:

3

Bekerja sama dengan seniman rupa Restu Ratnaningtyas, lulusan antropologi budaya/musisi Leilani Hermiasih memperluas skripsinya mengenai perubahan sosial dan efeknya terhadap tradisi produksi batik di Yogyakarta. Mereka menjalin kemitraan untuk memahami lebih jauh asumsi dan pertanyaan yang melingkupi pemahaman seseorang atas tradisi dan produksi batik tradisional di Yogyakarta, sebuah bentuk seni yang dihormati dan memiliki akar yang sangat kuat dalam kebudayaan Yogyakarta yang kaya.

“Yang mana yang dianggap batik ‘tradisional’?”; “Bagaimana cara menilai ‘tradisional’?”; “Siapa yang memegang hak untuk menilai sesuatu sebagai ‘tradisional’?” dan “Dapatkah yang tradisional dibuat menjadi kontemporer?” adalah satu dari banyak pertanyaan yang senantiasa diangkat sepanjang upaya penyelidikan mereka dari pusat produksi hingga berbagai pasar. Seraya menyingkap pergeseran pemahaman dan definisi ‘tradisi’ atau ‘tradisional’ (dalam konteks produksi batik), yang telah dipengaruhi perubahan sosial dan ekonomi dalam gaya hidup kontemporer begitu pula perkembangan teknologi dan telah menghasilkan motif dan metode produksi baru di Yogyakarta, Restu Ratnaningtyas dan Leilani Hermiasih menerjemahkan hasil penelitian mereka dengan menciptakan bentuk “kontemporer (namun) tradisional” melalui batik, video animasi gambar tangan dan komposisi musik.

Leilani Hermiasih:

Di kawasan pedusunan pembatik Giriloyo, Imogiri, Bantul, DIY, adalah suatu kelompok batik ‘nenek-nenek’ bernama Bima Sakti. Saya sengaja memilih tinggal di rumah ketua kelompok ini, Bu Hartinah, selama

Working together with visual artist Restu Ratnaningtyas, cultural anthroplogy graduate and musician Leilani Hermiasih expands on her Bachelor thesis about the effects of social changes on the tradition of batik-making in Yogyakarta. They embark on a partnership to further understand the assumptions and questions surrounding the notion “tradition” and “traditional” within the context of batik-making in Yogyakarta, a revered art form that is deeply entrenched in Yogyakarta’s rich culture.

“What is ‘traditional’ batik?”; “How is ‘traditional’ valued?”; “Who holds the right to label something ‘traditional’?” and “Can the traditional be made contemporary?” These were among the questions that were consistently raised throughout the course of their fieldwork as they visited the centres of production to the various market places. They uncovered the shifts in perception and acceptance of ‘tradition’ or ‘traditional’ (in batik-making), and learned that social and economic changes as well as technological developments have resulted in new motifs and production methods in Yogyakarta. Restu Ratnaningtyas and Leilani Hermiasih interpret the results of their research by creating “contemporary (yet) traditional” forms of batik, hand-drawn video animation and musical compositions.

Leilani Hermiasih:

In the batik producing district of Giriloyo in Imogiri, Bantul, Yogyakarta, there is a group of elderly batik makers or ‘grandmothers’ called Bima Sakti. During my research in Giriloyo,I purposely chose to stay in the house of Bu Hartinah, the head of this group, as it seems that Bima Sakti is the only group left in the district that still specialises in the production of fine quality,

Page 4: Visi Muram Tradisi Clouded Vision of25years.cemetiarthouse.com/wp-content/uploads/2012/12/Layout-Restu...melalui batik, video animasi gambar tangan dan komposisi musik. Leilani Hermiasih:

4

Restu Ratnaningtyas Merantai #1, Batik and copper Batik stamp

Page 5: Visi Muram Tradisi Clouded Vision of25years.cemetiarthouse.com/wp-content/uploads/2012/12/Layout-Restu...melalui batik, video animasi gambar tangan dan komposisi musik. Leilani Hermiasih:

5

Batik (511 x 300 cm); copper Batik stamp(25 cm x 14 cm x 10 cm), 2013

Page 6: Visi Muram Tradisi Clouded Vision of25years.cemetiarthouse.com/wp-content/uploads/2012/12/Layout-Restu...melalui batik, video animasi gambar tangan dan komposisi musik. Leilani Hermiasih:

6

melakukan penelitian, sebab konon katanya, Bima Sakti merupakan satu-satunya kelompok batik di kawasan ini yang masih secara khusus memproduksi batik tulis halus tradisional Yogyakarta. Benar saja, selama masa penelitian saya di Giriloyo, saya menemukan banyak bukti perubahan dalam sistem sosial serta pelestarian nilai-nilai tradisional batik Yogyakarta. Tak hanya dari perilaku dan keputusan-keputusan pembatik setempat, namun juga pembatik serta juragan di luar Giriloyo yang masih berhubungan dengan mereka.

Batik Yogyakarta tak lagi secara strict berupa kain batik tulis ‘halus’ dengan motif tradisional khas Kraton dan berwarna soga-putih-biru, namun lebih banyak berwujud kain batik tulis ‘kasar’ dengan motif tradisional dan berwarna warni (gradasi hijau, ungu, biru, dsb.). Perubahan

traditional hand drawn Yogyakartanese batik. I found evidence of change in the social system and preservation values of traditional Yogyakartanese batik, not only in the actions and decisions of the local batik makers, but also by other batik makers and batik merchants outside of Giriloyo who are still connected to them.

Yogyakartanese batik is no longer strictly “fine” hand drawn batik depicting traditional motifs of the Kraton (royal palace) in shades of brown, white and indigo. Nowadays, it can be “rough” batik with traditional motifs in a mixture of colours (gradations of green, purple, blue, etc.). This change in style is in part influenced by changes in the batik makers’economic situation as well as due to they way batik is being used. From the perspective of the makers, those who used to consider batik as a secondary source of

Page 7: Visi Muram Tradisi Clouded Vision of25years.cemetiarthouse.com/wp-content/uploads/2012/12/Layout-Restu...melalui batik, video animasi gambar tangan dan komposisi musik. Leilani Hermiasih:

7

wujud batik ini kurang lebih dipengaruhi oleh perubahan pola perekonomian pembatik serta pola pemakaian batik. Dari perspektif perubahan pola perekonomian pembatik, pembatik-pembatik yang dulunya menganggap batik sebagai sumber perekonomian sekunder kini menitikberatkan pendapatan mereka dari batik. Dari situ, mereka menjadi lebih money oriented, tak lagi terlalu memperhatikan kualitas batikan lagi. Sementara itu, pola pemakaian batik yang tak lagi menggunakan jarik/kain panjang melainkan baju jadi, mendorong pembeli merasa ‘sayang’ membelanjakan uangnya untuk kain batik yang mahal, karena nantinya hendak dipotong dan dijahitkan.

Setelah dua bulan tinggal di Giriloyo, pada suatu sore, saya berkunjung ke rumah nenek saya, untuk mengoleh-

income have now made it their primary economic focus. They have become more money oriented and less concerned about the quality of their product. Meanwhile, clothing trend favouring ready-made pieces have led consumers to feel uncomfortable about spending money on an expensive length of batik (kain panjang), which would be cut into smaller pieces and sewn together.

After staying two months in Giriloyo, I visited my grandmother’s house one afternoon to bring her a batik scarf made by Bima Sakti. Ever since I began to take an interest in Bima Sakti’s batik techniques, I have had a strong desired to show-off their work to my grandmother who was a batik merchant in Panembahan during her younger days. I deliberately chose a scarf fringed with the sungging motif in an

Page 8: Visi Muram Tradisi Clouded Vision of25years.cemetiarthouse.com/wp-content/uploads/2012/12/Layout-Restu...melalui batik, video animasi gambar tangan dan komposisi musik. Leilani Hermiasih:

8

olehi beliau selembar selendang batik produksi Bima Sakti. Sejak tertarik dengan kain batik kelompok ini, saya sudah sangat ingin memamerkannya pada nenek saya, yang semasa mudanya merupakan salah satu juragan pemroses kain batik di Panembahan. Saya sengaja memilih selendang dengan motif pinggiran “sungging” dalam upaya saya mencoba membuat beliau terkesan. Dengar-dengar, motif pinggiran ini sudah jarang sekali dibuat tahun-tahun belakangan ini, oleh sebab kerumitannya. Motif bagian dalamnya sendiri berupa Sido Asih, dengan latar blidhak (putih).

Namun, harapan saya akan ketakjuban nenek saya itu tak terwujud. Begitu melihat selendang Sido Asih blidhak itu, beliau menilai batikan pada kain tersebut, “... ya kurang halus.” Perkataan beliau itu langsung dibuktikan dengan menunjukkan koleksi kain batik yang beliau produksi di masa lalu. Saya lihat satu per satu, semua coraknya jauh lebih rapi, rumit, dan guratan-guratannya sangat tipis. Rasa takjub yang lebih-lebih justru saya yang merasakan. Kain batik yang “hari ini” disebut “halus” saja rupanya tidak cukup “halus” menurut pemroses batik terdahulu. Bagaimana dengan kelanjutannya di “esok hari”?

Kebanyakan diskusi kami terjadi dalam layar ponsel kami, dan setelah menentukan hari tertentu untuk berangkat ke lapangan, baru kami mencuri-curi waktu untuk diskusi ‘beneran’.Dalam perjalanan penelitian bersama kami, kami mengunjungi kelompok-kelompok batik di Giriloyo, toko batik di Rotowijayan serta Tirtodipuran, dan juga pasar batik Beringhardjo. Setelah kunjungan-kunjungan ini, kami menyadari kalau kami telah menyelami terlalu banyak topik (perubahan pola perekonomian pembatik,

attempt to impress her, bearing in mind that this motif, with a Sido Asih design on a blidhak (white) background, are rarely made these days due to its complexity.

However, my hope of impressing my grandmother was dashed when she saw the Sido Asih blidhak scarf and declared that the batik pattern was “not fine enough”. To prove her point, she showed me her collection of batik she had produced in the past. I looked at them one by one. The patterns were far tidier and a lot more complex, and the lines were so fine. It turned out I was the one who was astonished. Batik which is considered ‘fine quality’ by today’s standards are not up to scratch according to the batik makers from the past. What will this become in the future?

During our research, we visited batik collectives in Giriloyo, batik shops in Rotowijayan and Tirtodipuran, and the batik market of Beringhardjo. After the visits, we realised that we were trying to cover too many topics (changing economic patterns of batik makers, comparisons between printed batik with hand drawn or stamped batik, the sustainability of fine quality hand drawn batik, the personal lives of batik makers, etc.) and that we should choose a specific subject to explore and expand on.

Page 9: Visi Muram Tradisi Clouded Vision of25years.cemetiarthouse.com/wp-content/uploads/2012/12/Layout-Restu...melalui batik, video animasi gambar tangan dan komposisi musik. Leilani Hermiasih:

9

perbandingan batik printing dengan batik tulis/cap, keberlanjutan batik tulis ‘halus’, kehidupan personal pembatik, dll.) dan harus memilih satu topik khusus untuk kami dalami dan sampaikan nantinya.

Pada titik itu, setelah berdiskusi ke sana kemari, kami putuskan untuk membatasi penelitian kami pada pertanyaan mengenai bagaimanakah ‘tradisi’ itu, sebagaimana posisi batik sebagai warisan budaya di Indonesia kini semakin digembar-gemborkan. Padahal di sisi lain, keberadaan atau wujudnya sendiri sudah berevolusi seturut pengaruh-pengaruh baru yang masuk. Pertanyaan mengenai apakah itu ‘tradisi’ pun dapat dirujukkan pada wujud-wujud hasil kebudayaan yang lain, seperti musik, tarian, makanan, dll; sehingga fokus penelitian kami menjadi lebih luas.

Pada titik itu, saya masih agak bingung, hendak turut melakukan atau membuat apa untuk menyampaikan pesan yang ingin kami sampaikan tersebut. Kesempatan ini merupakan satu dari sedikit kesempatan saya untuk mencoba berkarya dengan berdasar pada penelitian. Setelah

We eventually decided to limit our investigations to questioning the nature of ‘tradition’, as the position of batik as a cultural heritage is being promoted increasingly in present day Indonesia.Yet, on the other hand, its very existence and embodiment has evolved with the influx of new influences. The question of what constitutes ‘tradition’ can also be addressed in other cultural forms, such as music, dance, food, etc., which then widens the focus of our research.

At that point, I was still rather confused about how I would convey this message of ours. This opportunity was one of the few chances I have had to attempt at creating (an artistic) work based on my thesis research. After consultation and discussions with the curators and Restu, I realised that an art form (any art form) does not need to be too rigid in conveying a message. It needs to allow space for the audience to make their own interpretations. From my perspective as a researcher, this certainly does not conform to the norms of investigative procedures. However, as a musician, what I have learned here

Page 10: Visi Muram Tradisi Clouded Vision of25years.cemetiarthouse.com/wp-content/uploads/2012/12/Layout-Restu...melalui batik, video animasi gambar tangan dan komposisi musik. Leilani Hermiasih:

10

konsultasi dan berdiskusi dengan kurator serta mbak Restu, saya menyadari kalau suatu bentuk seni (apapun) tidak perlu terlalu rigid dalam menyampaikan pesan. Bahkan, mungkin memang seharusnya tidak demikian, untuk memberi ruang bagi audiens untuk membuat interpretasi mereka sendiri-sendiri. Dari sudut pandang saya sebagai seorang peneliti, tentunya ini tak sesuai dengan tata cara penelitian. Namun, dari sudut pandang saya yang lain sebagai musisi, pembelajaran ini sangat membantu saya dalam proses kreatif saya selanjutnya.

Restu Ratnaningtyas:

Proyek kolaborasi Dobrak ini lebih telah mengubah perspektif saya terhadap batik, bagaimana kemudian memandang dan memperlakukan batik. Secara kolaborasi sebenarnya ini bukanlah hal yang baru bagi saya, namun tetap metode riset

will be most helpful in my future creative endeavours.

Restu Ratnaningtyas:

“Dobrak!” has greatly changed my perspective of batik. Collaborations aren’t new to me, however the joint research and production method pushed Lani and I to develop a strategy in communicating and conveying our thoughts and ideas, to be mutually conscious if either one of us felt we have strayed beyond our limits. On the whole, this was an enjoyable and stimulating project.

It seems that using research method in artwork production is quite common amongst artists, whether consciously or not, as the process research and making artwork share many similarities. Both processes collect materials, process them and then shape them. The difference is

Restu Ratnaningtyas Merantai #2, Video projection on Batik

Page 11: Visi Muram Tradisi Clouded Vision of25years.cemetiarthouse.com/wp-content/uploads/2012/12/Layout-Restu...melalui batik, video animasi gambar tangan dan komposisi musik. Leilani Hermiasih:

11

dan membuat karya berpasangan ini telah mendorong saya dan Lani untuk membuat strategi dalam berkomunikasi dan menyampaikan ide/pikiran juga saling mengontrol jika terasa sudah keluar batas. Secara keseluruhan ini adalah proyek yang menyenangkan dan memberi banyak stimulan. Metode penelitian dalam membuat karya sepertinya sudah dilakukan oleh banyak seniman baik sadar maupun tidak, karena sepertinya ada kesamaan antara meneliti dan membuat karya seni; yakni sama sama mengumpulkan bahan, memprosesnya dan kemudian membentuknya. Yang berbeda adalah hasil akhirnya. Saya merasa karya dari dobrak ini lebih bisa dipertanggungjawabkan karena bagaimanapun karya tersebut merupakan bentuk endapan dari penelitian kami yang mencakup fakta, interpretasi, perasaan dan harapan.

in the final result. I feel that the works in “Dobrak!”can be better accounted for because they represent the culmination of our research spanning facts, interpretations, feelings and hopes.

77 x 107 cm (Batik), 2013

Page 12: Visi Muram Tradisi Clouded Vision of25years.cemetiarthouse.com/wp-content/uploads/2012/12/Layout-Restu...melalui batik, video animasi gambar tangan dan komposisi musik. Leilani Hermiasih:

12

Leilani Hermiasih Suyenaga

Berpadu dalam MelodiMusic recordings in boxes wrapped with batik and batik-motif-printed cloth, 21 cm x 21 cm (each box), 2013