VII LUPUS

52
BAB I PENDAHULUAN Lupus eritematosus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan. Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya. Manifestasi dapat berbeda dari satu pasien dengan pasien lainnya tergantung dari target organ yang terkena.

description

jjssfjsn

Transcript of VII LUPUS

Page 1: VII LUPUS

BAB I

PENDAHULUAN

Lupus eritematosus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat

kelainan sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem

tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan

tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi

(antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah

besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di

dalam jaringan.

Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala

(remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya

menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.

Manifestasi dapat berbeda dari satu pasien dengan pasien lainnya tergantung dari

target organ yang terkena. Gejala yang timbul dapat menyerupai penyakit lain seperti

multiple sclerosis, arthritis reumathoid, atau bahkan demam berdarah, sehingga sering

menyulitkan dalam penegakkan diagnosa.

Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di

kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita

mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus

Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian.

Penatalaksanaan lupus tidak mudah. Penyakit ini memiliki banyak manifestasi

dan setiap orang memiliki pola tersendiri yang berubah dari waktu ke waktu, yang

Page 2: VII LUPUS

terkadang berlangsung cepat. Secara umum, pasien dengan lupus berat, misalnya

lupus ginjal atau sistem saraf pusat (SSP), dan mereka yang menderita lebih dari satu

jenis penyakit autoantibodi cenderung memiliki gejala yang serius dan menetap.

Pasien yang memiliki gejala ringan dapat terus mengalami gejala ringan atau

berkembangmenjadi lebih serius. Sehingga penting untuk memperhatikan semua

gejala baru yang timbul sebagai manifestasi dari penyakit tersebut karena

penatalaksanaan lupus sangat berkaitan dengan gejala klinis dan organ tubuh yang

terkena.

Page 3: VII LUPUS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai

adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau system

dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibody dan

kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Isbagio H.

2009:2565).

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang

kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari

penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara, dan sulit untuk

didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang

oleh penyakit ini sulit diperoleh. SLA menyeranga wanita kira-kira delapan kali

lebih sering dari pada pria. Penyakit ini sering kali berawal pada akhir masa

remaja atau awal masa dewasa. Di Amerika Serikat penyakit ini menyerang

wanita berkulit hitam tiga kali lebih sering dar pada wanita berkulit putih jika

penyakit ini bermuncul pada uia diatas 60 tahun, biasanya akan lebih mudh untuk

diatasi.

B. ETIOLOGI

Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa factor

predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara

beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang

Page 4: VII LUPUS

paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa

factor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:

1. Faktor Genetik

Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga

timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk

menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak

kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara

pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya

SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali

lebih tinggi dibandingkan pada populas umum. Studi mengenai genome telah

mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE.

MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2

(Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE.

Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah

satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE.

2. Faktor Imunologi

Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :

a. Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting

Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,

beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada

struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat

Page 5: VII LUPUS

dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel

T akan salah mengenali perintah dari sel T.

b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan

teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk

autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit

mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan

autoantibodi menjadi tidak normal.

c. Kelainan antibody

Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat

antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu

limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya

peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah

mengendap di jaringan.

3. Faktor Hormonal

Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa

studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat

estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme

estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko

terjadinya SLE. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa

penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar

Page 6: VII LUPUS

hormonestrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal

sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES.

4. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang

bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan

tersebut terdiri dari:

a. Infeksi virus dan bakteri

Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya

SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri

Streptococcus dan Clebsiella.

b. Paparan sinar ultra violet

Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi

menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat.

Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin

sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran

pembuluh darah.

c. Stres

Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki

kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan

terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan

mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada

gangguan sejak awal.

Page 7: VII LUPUS

d. Obat-obatan

Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat

menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang

dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,

prokainamid, dan isoniazid.

C. PATOFISIOLOGI

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang

menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi

ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal

(sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia

reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat

tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa

preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut

terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE,

peningkatan produksi autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor

yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan

jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang

antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

D. MANIFESTASI KLINIK

Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada

penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak

diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala

Page 8: VII LUPUS

dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini

bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat.

 Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala

(remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya

menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.

Tanda-tanda spesifik dan gejala seperti kelelahan, demam, anoreksia, dan

penurunan berat badan terlihat sering pada pasien dengan penyakit aktif.

Keterlibatan muskuloskeletal (misalnya, arthralgia, mialgia, dan arthritis) sangat

umum pada SLE, dengan arthritis dan arthralgia sering kepala keluhan pada

presentasi awal penyakit. Semua sendi utama dan kecil sendi mungkin akan

terpengaruh, dan pola arthritis sering berulang dan berlangsung singkat,

menyajikan terutama sebagai kekakuan sendi, nyeri, dan kadang-kadang

inflamasi (Dipiro.2008).

Manifestasi Konstitusional

Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan

biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.. Kelelahan ini agak

sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan

seperti anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian

obat seperti prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit

LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah.

Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid

atau latihan.

Page 9: VII LUPUS

Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam

beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat

disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala

gastrointestinal.

Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab

lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40oC tanpa adanya bukti infeksi

lain seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.

Manifestasi Muskuloskeletal

Pada penderita LES, manifestasi pada muskuloskeletal ditemukan poliartritis,

biasanya simetris dengan episode artralgia pada 90% kasus. Pada 50% kasus

dapat ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering terjadi dengan akibat

subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa

osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan

dengan terapi steroid.

Selain itu, ditemukan juga mialgia yang terjadi pada 60% kasus, tetapi miositis

timbul pada penderita LES< 5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya

berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering

didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid

Manifestasi Kulit

Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas, butterfly

rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi psoriaform dan

lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tanda-tanda

Page 10: VII LUPUS

vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari,

gangren.

Manifestasi Kardiovaskular

Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat berupa

perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis

dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR

yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.

Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data

autopsi mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Li

bman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai

kemungkinan endokarditis bakterialis. Wanita dengan LES memiliki risiko

penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada

wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.

Manifestasi Paru-paru

Kelainan paru-paru pada LES seringkali bersifat subklinik sehingga foto toraks

dan spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak nafas atau

kelainan respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat ditemukan pada

60% kasus. Efusi pleura dapat ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya ringan

dan secara klinik tidak bermakna. Fibrosis interstitial, vaskulitis paru dan

pneumonitis dapat ditemukan pada 20% kasus, tetapi secara klinis seringkali sulit

dibedakan dengan pneumonia dan gagal jantung kongestif. Hipertensi pulmonal

sering didapatkan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid. Pasien dengan

Page 11: VII LUPUS

nyeri pleuritik dan hipertensi pulmonal harus dievaluasi terhadap kemungkinan

sindrom antifosfolipid dan emboli paru.

Manifestasi Ginjal.

Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan menilai

ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria,

ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara

histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan

hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus

dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.

Manifestasi Hemopoetik

Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan

anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit

kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia

hemolitik autoimun.

Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus. Adanya

leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada LES

ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan gambaran

trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi LES

setelah ditemukan gambaran LES yang lain.

Manifestasi Susunan Saraf

Page 12: VII LUPUS

Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,

neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan

antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan

serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan

pada 10% kasus.

Ketelibatan saraf otak, jarang ditemukan.Kelainan psikiatrik sering ditemukan,

mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat

dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak

memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan

infeksi.

Manifestasi Gastrointestinal

Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali,

peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis. Selain itu, ditemukan juga

peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis

autoimun.

E. DIAGNOSIS

Diagnosis LES, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium.

kriteria untuk klasifikasi LES, dimana apabila didapatkan 4 kriteria, diagnosis

LES dapat ditegakkan. Kriteria tersebut adalah :

1. Ruam malar: Terdapat eritema, datar, atau meninggi yang cenderung

tidak mengenai lipatan nasolabial.

Page 13: VII LUPUS

2. Ruam discoid: Bercak eritema menonjol dengan skuama keratosis dan

sumbatan folikel, parut atrofi dapat muncul pada lesi yang sudah lama timbul

3. Fotosensitivitas: Ruam yang timbul setelah terpapar sinar ultraviolet A dan B

4. Ulkus di mulut.

5. Arthritis non erosif.

6. Pleuritis atau perikarditis.

7. Gangguan renal, yaitu proteinuria persisten > 0,5gr/ hari, atau silinder sel dapat berupa eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan.

8. Gangguan neurologi, yaitu kejang-kejang atau psikosis.

9. Gangguan hematologik, yaitu anemia hemolitik dengan retikulosis, atau leukopenia atau limfopenia atau trombositopenia.

10. Gangguan imunologik, yaitu anti DNA posistif, atau anti Sm positif atau tes serologik untuk sifilis yang positif palsu.

11. Antibodi antinuklear (Antinuclear antibody, ANA) positif.

Kelainan laboratorium semua digunakan dalam diagnosis SLE. Setelah penyakit

ini dicurigai, tes serologi mungkin dapat membantu dalam membuat diagnosis.

Tes serologis digunakan secara ekstensif untuk membantu dalam diagnosis SLE

adalah antibodi antinuclear (ANA) uji. Hampir semua SLE pasien ANA positif,

tetapi penyakit lain juga dapat dikaitkan dengan tes positif. Antinuklear antibodi

(ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang spesifik terhadap asam

Page 14: VII LUPUS

nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective tissue disease seperti

SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective Tissue Disease (MCTD) dan sindrom

sjogren’s primer. ANA pertama kali ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948

pada sumsum tulang penderita LES. Dengan perkembangan pemeriksaan

imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas ANA yang baru seperti Sm, nuclear

ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan La/SS-B. ANA dapat diperiksa dengan

menggunakan metode imunofluoresensi. ANA digunakan sebagai pemeriksaan

penyaring pada connective tissue disease. Dengan pemeriksaan yang baik, 99%

penderita LES menunjukkan pemeriksaan yang positif, 68% pada penderita

sindrom Sjogrens dan 40% pada penderita skleroderma. ANA juga pada 10%

populasi normal yang berusia > 70 tahun.

F. TERAPI

1. NON FARMAKOLOGI

Beberapa langkah nonfarmakologis dapat digunakan untuk mengelola gejala dan membantu mempertahankan remisi.

- Kelelahan adalah gejala yang umum pada pasien dengan lupus. Rutinitas seimbang, istirahat dan olahraga, sambil menghindari kelelahan, sangat penting.

- Menghindari merokok mungkin sangat penting karena hydrazine dalam asap tembakau dapat menjadi pemicu lingkungan lupus dan kemungkinan berkontribusi terhadap percepatan CAD. Merokok juga dikaitkan dengan peningkatan aktivitas penyakit pada SLE patients.

- Tidak ada langkah-langkah khusus diet diketahui secara jelas mempengaruhi klinis

Page 15: VII LUPUS

- turunan minyak ikan dapat mencegah keguguran pada wanita hamil dengan antibodi antifosfolipid, tetapi kecambah alfalfa harus dihindari karena mengandung asam amino

- L-canavanine, yang telah dikaitkan dengan perkembangan lupuslike Gejala dalam berbagai kasus reports.

- Banyak pasien dengan SLE perlu membatasi paparan sinar matahari dan menggunakan tabir surya untuk memblokir efek memperburuk kemungkinan ultraviolet .Jumlah pembatasan paparan sinar matahari harus individual.

2. FARMAKOLOGI

Terapi obat untuk SLE sering dirancang untuk menekan kekebalan tubuh respon dan peradangan. Kecuali untuk lupus nephritis, besar uji klinis terkontrol yang membandingkan pilihan pengobatan untuk SLE adalah diperlukan. Tabel 85-3 berisi agen umum dan dosis yang digunakan untuk mengontrol SLE. Secara umum, pilihan terapi obat tergantung pada sejauh dan keparahan penyakit. Tabel 85-4 menjelaskan pemantauan yang dipilih parameter dan efek samping bagi banyak obat yang digunakan untuk mengobati penyakit kolagen-vaskular.

Page 16: VII LUPUS

1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)

NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan jaringan lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare dan perdarahan lambung.

2. Antimalaria

Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih rendah. Obat antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif, sehingga selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien

Page 17: VII LUPUS

dianjurkan untuk memeriksakan ketajaman visual setiap enam bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.

3. Kortikosteroid

Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi sesuai tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena. Contoh : Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu yang lama.14,24 Beberapa efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid terdiri dari meningkatkan berat badan, penipisan kulit, osteoporosis, meningkatnya resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face. Tujuan pengobatan bila menggunakan kortikosteroid pada SLE adalah untuk menekan dan mempertahankan penekanan penyakit aktif dengan terendah dosis mungkin. Pada pasien dengan penyakit ringan, terapi dosis rendah (prednisone 10-20 mg / hari) cukup, 41,45 tetapi pada pasien dengan lebih parah. Penyakit (anemia hemolitik berat atau keterlibatan jantung), dosis lebih tinggi, seperti prednison 1-2 mg / kg setiap hari, mungkin diperlukan.

4. Imunosupresan

Sejumlah besar literatur yang ada menggambarkan penggunaan sitotoksik dan obat imunosupresif pada SLE, meskipun beberapa di antaranya adalah laporan uji klinis terkontrol. Termasuk dalam kategori ini adalah alkylating agent siklofosfamid dan azathioprine antimetabolit. Agen ini, biasanya digunakan dalam kombinasi dengan kortikosteroid, telah menjadi andalan terapi imunosupresif. Meskipun keduanya dikenal untuk menekan dan menstabilkan aktivitas penyakit extrarenal, banyak evaluasi agen ini telah difokuskan pada lupus nephritis, faktor utama yang terkait dengan morbiditas dan mortalitas pada SLE. Bukti yang mendukung penggunaan siklofosfamid pada lupus nefritis telah dikumpulkan selama beberapa dekade terakhir. Terkendali uji klinis telah menunjukkan bahwa siklofosfamid meningkatkan jangka panjang yang hasil pada lupus nephritis.41,61,62 Berdasarkan percobaan terkontrol, Kombinasi prednison dan siklofosfamid

Page 18: VII LUPUS

telah menjadi standar pengobatan untuk fokus dan menyebar proliferatif lupus nephritis (WHO kelas III / IV)

Page 19: VII LUPUS

BAB III

STUDI KASUS

GAMBARAN PASIEN

Keluhan utama

“Saya merasakan lelah setiap saat dan rasa sakit pada perut”

HPI

Caroline Pentz umur 34 tahun didiagnosis menderita SLE dua tahun yang lalu. Dia

mengalami ruam (Malar rash), letih, arthralgias. Pengujian lab menunjukkan

proteinuria, hematuria dan peningkatan serum kreatinin. Biaopsi ginjalnya

menunjukkan perubahan focal proliferative, menunjukkan indikasi lupus nephritis.

Dia mengeluhkan peningkatan kelelahan yang menggangu pekerjaan dan aktifitas

sehari-harinya. Saat ini dia mengkonsumsi ibuprofen untuk mengobati arthralgias.

Pasien juga menyadari bahwa terjadi penghitaman pada tinjanya beberapa bulan

belakangan.

PMH

SLE x 2 tahun

Asma x15 tahun

Rinitis alergi x 20 tahun

Depresix 2 tahun

FH

Ayahnya berumur 60 tahunan dengan penyakit hipertensi dan celiac desease, ibu

berumur 60 tahunan dengan penyakit fibromyalgia.

Page 20: VII LUPUS

SH

Eksekutif bank, telah menikah selama 10 tahun, Sering kali menggunakan ETOH

(Ethanol) , saat ini tidak merokok, Pernah merokok, 1 ppd x 12 tahun (berhenti 5

tahun yang lalu)

Meds

Advair 100/50 1inhalasi 2x sehari

Albuteron 1-2 puffs Q 4-6 h PRN (When necessary; as needed (pro re nata)

Fluticasone 2 sprays dalam sehari

Paroxetine 20 mg po sehari sekali

Ibuprofen 800 mg po QID (Four times daily (quater in die)

ALL

NKDA (No known drug allergies)

ROS (Review of systems)

Tidak demam, dingin, peripheral edema, alopecia atau ruam

Pemeriksaan Fisik

o Gen

Terlihat lelah NAD (No acute (or apparent) distress)

o VS

BP132/80, P74, RR 18, T 380C, Berat 55 Kg, Tinggi 5’33’’

o Kulit

Page 21: VII LUPUS

Hangat, lembab, tidak ada ruam

o HEENT (Head, eyes, ears, nose, and throat)

PERRLA (Pupils equal, round, and reactive to light and accommodation);

EOMI (Extraocular movements (or muscles) intact)

o Leher/ limpa Nodes

Luwes/lemah tanpa adenopati

o Paru-paru/thorax

CTA; no rales/rhonchi

o CV (Cardiovascular)

RRR (Regular rate and rhythm); S1 dan S2 terdengar

o Abd

Lembek, non-distended, (+) bunyi perut, (+) stool guaiac

o Ext

Perpheral pulse intact, tidak ada edema

o Neuro

A & O x 3 (Awake and oriented to person, place, and time); CNs II-XII intact;

Babiski negative

Lab

Page 22: VII LUPUS

Na 142 mEq/L

K 5,0 mEq/L

Cl105 mEq/L

CO2 25 mEq/L

BUN 30 mg/dL

SCr 1,5 mg/dL

Asam urat 9,0 mg/dL

Glukosa 88mg/dL

Hgb 10 g/dL

Hct 30 %

WBC 7,2x 103/mm3

Plt 250 x 103/mm3

Fe 35 mcg/dL

TIBC 450 mcg/dL

Ferritin 8 mg/mL

C4 10 mg/dL

C3 45 mg/dL

Anti-ds DNA antibody 550 mg/dL

ESR 66 mm/h

UA

Many RBCs; no RBC casts; 2+ proteinuria

Kidney Biopsy

Perubahan Focal proliferative

Assessment

Mild focal proliferative lupus nephritis (class III); Terjadi anemia kekurangan zat

besi kedua karena penggunaan NSAID

Identifikasi masalah

1.a. Daftar dari masalah-masalah terapi obat pasien

Page 23: VII LUPUS

Penyelesaian :

No. Terapi obat yang diberikan

Golongan obat indikasi masalah

1. Advair Bronkodilator Asma menyebabkan hitam pada kotoran

2. Albuterol Beta-adrenergik Asma Mual, sakit kepala, palpitasi, tremor, vasodilatasi peripheral

3. Fluticasone Simpatomometik bronkodilator

Asma Terdapat obat yang sama pada isi advair yaitu fluticason dan salmaterol

4. Paroxetine Anti depresan Depresi Ruam pada kulit sebaiknya penghentian penggunaan dan atralgia

5. Ibuprofen AINS Atralgia eritema kulit, sakit kepala trombosipenia

1.b. Informasi (tanda-tanda, gejala, nilai laboratorium) yang mengindikasikan

pengembangan dari anemia kekurangan besi?

Penyelesaian :

Pasien merasakan lelah setiap saat

Hematuria juga merupakan salah satu tanda-tanda anemia defisiensi besi

Adanya pemakaian NSAID

Nilai Fe dalam serum darah hanya 35 mcg/dL, sangat rendah dibandingkan nilai

normalnya yaitu 65-175 mcg/dL.

Nilai hemoglobinnya hanya 10 g/dL, lebih rendah dibandingkan nilai normalnya

yaitu 12-16 g/dL (untuk wanita)

Page 24: VII LUPUS

1.c.Informasi apa (tanda-tanda, gejala, nilai laboratorium) yang mengindikasikan

pengembangan dari lupus nefritis

Penyelesaian :

Biopsi ginjal yang menunjukkan perubahan focal proliferative merupakan salah

satu tanda yang menunjukkan indikasi lupus nefritis.

Tekanan darahnya di atas tekanan darah normal. Tekanan darah tinggi merupakan

salah satu gejala atau tanda lupus nefritis

2.a.Tujuan utama terapi lupus nefritis adalah untuk menormalkan fungsi ginjal atau,

setidaknya, untuk mencegah hilangnya progresif fungsi ginjal. Hal ini penting

untuk mengobati manifestasi extrarenal dan variabel lain yang dapat

mempengaruhi ginjal. Meskipun tidak ada obat untuk lupus nefritis, tujuan

pengobatan utamanya adalah menghentikan perkembangan penyakit ini,

menyebabkan remisi dan membantu pasien menghindari kebutuhan untuk dialisis

atau transplantasi ginjal. Rencana perawatan membantu orang untukn mengelola

gejala seperti tekanan darah tinggi, protein dalam urin (proteinuria), dan

pembengkakan (edema) di tangan dan kaki.

2.b.Prinsip penatalaksnaan ADB (anemia defisiensi besi) adalah mengetahui faktor

penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat

besi. Sekitar 80-85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat

dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau

parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan samaefektifnya dengan

pemberian secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakukan. Pada penderita

Page 25: VII LUPUS

yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak

dapatterpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan.

3 a. Terapi non farmakologi

1. Istrahat dan olahraga serta hindari kelelahan

2. Menghindari merokok mungkin sangat penting karena hydrazines

dalam asap tembakau dapat menjadi pemicu lingkungan lupus

dan kemungkinan berkontribusi terhadap percepatan CAD

3. Hindari paparan sinar matahari (jam 8.30-1530)

4. Pasien mungkin perlu untuk memantau asupan protein, natrium, dan kalium.

5. Pasien dengan penyakit berat harus membatasi asupan sodium hingga 2 gram

per hari dan membatasi cairan juga. Tergantung pada histologi, fungsi ginjal

dan tingkat proteinuria

3.b. Terapi farmakologi

1. Terapi medis untuk lupus nefritis tergantung pada tingkat keparahan penyakit.

Untuk penyakit ringan, kortikosteroid, secara umum, ditentukan. Penyakit

yang lebih parah membutuhkan pengobatan dengan agen imunosupresan. Dua

agen yang paling sering digunakan adalah mycophenolate mofetil dan

cyclophosphamide intravena

2. Kortikosteroid pada pasien dengan gejala klinis mengarah ke gangguan

ginjal.. obat immnusuppresive teruatam cyclophosphamide, azathioprine, atau

mycophenolate mofetil, pada pasien dengan dengan lesi ginjal aggressive

proliferative, dapat juga dipakai pada pasien yang tidak respon terhadap

Page 26: VII LUPUS

kortikosteroid .Diet rendah garam diberikan bila ditemukan hipertensi, rendah

lemak bila ada hiperlipidemia atau sinrom nefritis, Diuretik dapat diberikan

sesuai dengan kebutuhan.d.Pemeriksaan rutin periodic meliputi: urin

sediment, urin 24 jam (protein), kreatinin dan tes klirens kreatinin, serum

albumin, C3, anti DNAe.Monitor efek samping steroid, komplikasi yang

terjadi selama pengobatan.f. Hindari pemberian salisilat dan obat antiinflamasi

non steroid karena akan memperberat fungsi ginjal.

3. Lupus neprhitis kelas III dan IV, pasien berada dalam resiko tinggi yang

mengarah ke stadium akhir dan memerlukan terapi agresiv 1.Pemberian

prednisone 1 mg/kg/d sekurang-kurangnya 4 minggu tergantung respon

klinis.. Kemudian taper secara bertahap sebagai dosis pemeliharaan sebanyak

5-10 mg/d selama 2 tahun. Pada pasien akut, metal prednisolon intravena

selama 3 hari dipakai sebagai terapi permulaan kortikosteroid. 2.Obat

immunosupresif dipakai pada pasien yang tidak respon terhadap pengobatan

kortikosteroid, tidak dapat menerima toksisitas kortikosteroid, fungsi ginjal

memburuk, lesi proliferative berat, ,sclerosis. Cyclophosphamide dan

azathioprine effectif untuk nephritis lupus proliferative meskipun

cyclophosphamide lebih effektif dalam mencegah ke arah perkembangan

stadium akhir. Mycophenolate mofetil effectif bagi pasien yang telah

menggunanakan cyclophospamid intravena selama 6 bulan. 3.Pemberian

cyclophospamid intravena tiap bulan selama 6 bulan dan 2-3 minggu

setelahnya selama 2 -2,5 tahun tergantung respon klinis. Pengurangan dosis

Page 27: VII LUPUS

dilakukan jika klirens kreatinin kuang dari 30mL/min. Tetapkan dosis

berdasarkan respon hematology. 4.Azathioprine dapat dipakai sebagai obat

garis kedua, dengan penetapan dosis berdasarkan respon

hematology.5.Mycophenolate mofetil dipakai untuk pasien yang tidak respon

atau toleransi terhadap cyclophosphamide dan azathioprine.

4.a.Terapi Pengobatan Lupus Nefritis

Nama obat : Rituximab

Dosis obat : 1 gram

Bentuk sediaan : Injeksi IV

Dosis : 2 kali pemberian dengan jarak 2 minggu

Lama terapi : dapat diulang setiap diulang

Mekanisme kerja : Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi

untuk SLE yang refrakter. Anti CD 20 adalah suatu antibodi

monoklonal yang melawan reseptor CD 20 yang 

dipresentasikan limfosit B.

4.b.Penanganan Anemia defisiensi besi pada pasien ini adalah dengan memberikan

senyawa zat besi yang sederhana dan diberikan peroral adalah ferous glukonat,

fumarat, dan suksinat dengan dosis harian 4-6 mg/kg/hari besi elemental

diberikan dalam 2-3 dosis. Penyerapan akan lebih baik jika lambung kosong,

tetapi ini akan menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Efek samping

yang dapat terjadi adalah iritasi gastrointestinal, yang dapat menyebabkan rasa

terbakar, nausea dan diare. Oleh karena itu pemberian besi bisa saat makan atau

Page 28: VII LUPUS

segera setelah makan, meskipun akan mengurangi absorbsi obat sekitar 40-50%.

Preparat besi harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita

teratasi.

5. Parameter klinik dan data laboratorium yang berguna untuk mengevaluasi terapi

Memantau atau memonitori Hgb,serum ferritin, TIBC. Obat yang tepat akan

menunjukkan peningkatan pada Hb dan serum ferritin sedangkan pada TIBC

megalami penurunan.

Tanda kelelahan yang dikeluhkan pasien juga akan hilang jika pengobatan yang

diberikan tepat.

Pemantauan atau monitoring pada kreatinin serum, BUN, proteinuria juga harus

dilakukan. Peningkatan klinis yang signifikan dapat menghindari cidera pada

ginjal lebih lanjut, terutama temuan protein dalam urin dan sedimen dalam urin.

6. Edukasi Pasien

Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari

sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan

perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan

masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain

melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultraviolet) dengan memakai tabir

surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus

memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan

berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan

pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit

Page 29: VII LUPUS

ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Beberapa bentuk edukasi pada pasien SLE

sebagai berikut :

a. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya

b. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut

c. Masalah yang terkait dengan fisik : kegunaan latihan terutama yang terkait

dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu

maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun kontrasepsi

d. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE,

mengatasi rasa lelah, stres, emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan

keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri

e. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu

tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka

panjang contohnya obat antituberkolosis dan beberapa jenis lainya termasuk

antibiotikum

f. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok

pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan

sebagainya.

Terkait dengan pendekatan biopsikososial dalam penatalaksanaan SLE, maka

setiap pasien SLE perlu dianalisis adanya masalah neuro-psikologik maupun sosial.

Pembuktian dilakukan dengan menggunakan alat pemeriksaan yang lebih teliti seperti

TRAIL A, TRAIL B maupun Pegboard. Adanya gangguan fisik dan kognitif pada

Page 30: VII LUPUS

pasien SLE dapat memberikan dampak buruk bagai pasien di dalam lingkungan

sosialnya baik tempat kerja atau rumah.

Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik

akibat adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan

keluarga yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat

dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan

kesehariannya.

FOLLOW UP QUESTIONS

TERAPI FARMAKOLOGI

NSAID

Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat

dan NSAID yang lain. NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik.

Antimalaria

Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam,

atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ

penting. Obat malaria yang sering digunakan adalah Klorokuin dan hidroksiklorokuin

Kortikosteroid

Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon

terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi

kortikosteroid. Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk

antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter

laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul.

Page 31: VII LUPUS

Siklofosfamid

Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat

sitotoksik bahan pengalkilasi.. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai

imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi.

Obat lain

Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah

azatioprin, intravena gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon,

mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi.

Terapi Non Farmakologis

Alternatif yang dapat dilakukan jika pengobatan yang diberikan gagal atau

tidak dapat di gunakan, beberapa tindakan non farmakologis dapat digunakan untuk

mengelola gejala dan membantu menjaga pemulihan keadaan. Kelelahan adalah

gejala umum pada pasien dengan lupus. Istirahat dan olahraga secara rutin dan

seimbang, sangat berguna untuk mencegah kelelahan. Merokok sebisa mungkin

dihindari karena hydrazines dalam asap rokok bisa menjadi pemicu dari lingkungan

untuk terjadinya lupus. Merokok juga telah dikaitkan dengan peningkatan aktivitas

penyakit lupus. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE, Tetapi penggunaan

minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet

dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10,

dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA. Umumnya pasien dengan SLE harus

membatasi paparan sinar matahari dan menggunakan tabir surya untuk memblokir

kemungkinan memperburuk efek sinar ultraviolet terhadap keadaan lupus pasien, di

Page 32: VII LUPUS

mana jumlah batasan paparan sinar matahari harus diatur secara individual tergantung

kondisi pasien.

BAB IV

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Lupus eritematosus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat

kelainan sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem

tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan

tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi

Page 33: VII LUPUS

(antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah

besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di

dalam jaringan.

Manifestasi dapat berbeda dari satu pasien dengan pasien lainnya tergantung dari

target organ yang terkena. Gejala yang timbul dapat menyerupai penyakit lain seperti

multiple sclerosis, arthritis reumathoid, atau bahkan demam berdarah, sehingga sering

menyulitkan dalam penegakkan diagnosa.

Dapus

Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing, 2009 ; 2565-2579