BAB I
PENDAHULUAN
Lupus eritematosus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat
kelainan sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem
tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan
tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi
(antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah
besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di
dalam jaringan.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala
(remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya
menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
Manifestasi dapat berbeda dari satu pasien dengan pasien lainnya tergantung dari
target organ yang terkena. Gejala yang timbul dapat menyerupai penyakit lain seperti
multiple sclerosis, arthritis reumathoid, atau bahkan demam berdarah, sehingga sering
menyulitkan dalam penegakkan diagnosa.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di
kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita
mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus
Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian.
Penatalaksanaan lupus tidak mudah. Penyakit ini memiliki banyak manifestasi
dan setiap orang memiliki pola tersendiri yang berubah dari waktu ke waktu, yang
terkadang berlangsung cepat. Secara umum, pasien dengan lupus berat, misalnya
lupus ginjal atau sistem saraf pusat (SSP), dan mereka yang menderita lebih dari satu
jenis penyakit autoantibodi cenderung memiliki gejala yang serius dan menetap.
Pasien yang memiliki gejala ringan dapat terus mengalami gejala ringan atau
berkembangmenjadi lebih serius. Sehingga penting untuk memperhatikan semua
gejala baru yang timbul sebagai manifestasi dari penyakit tersebut karena
penatalaksanaan lupus sangat berkaitan dengan gejala klinis dan organ tubuh yang
terkena.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai
adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau system
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibody dan
kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Isbagio H.
2009:2565).
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang
kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari
penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara, dan sulit untuk
didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang
oleh penyakit ini sulit diperoleh. SLA menyeranga wanita kira-kira delapan kali
lebih sering dari pada pria. Penyakit ini sering kali berawal pada akhir masa
remaja atau awal masa dewasa. Di Amerika Serikat penyakit ini menyerang
wanita berkulit hitam tiga kali lebih sering dar pada wanita berkulit putih jika
penyakit ini bermuncul pada uia diatas 60 tahun, biasanya akan lebih mudh untuk
diatasi.
B. ETIOLOGI
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa factor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang
paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa
factor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak
kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara
pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya
SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali
lebih tinggi dibandingkan pada populas umum. Studi mengenai genome telah
mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE.
MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2
(Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE.
Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah
satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE.
2. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,
beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada
struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel
T akan salah mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibody
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat
antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu
limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya
peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah
mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa
studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat
estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme
estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko
terjadinya SLE. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa
penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar
hormonestrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal
sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan
tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya
SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat.
Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin
sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran
pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada
gangguan sejak awal.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.
C. PATOFISIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi
ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal
(sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia
reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa
preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut
terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE,
peningkatan produksi autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor
yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
D. MANIFESTASI KLINIK
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada
penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak
diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala
dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini
bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala
(remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya
menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
Tanda-tanda spesifik dan gejala seperti kelelahan, demam, anoreksia, dan
penurunan berat badan terlihat sering pada pasien dengan penyakit aktif.
Keterlibatan muskuloskeletal (misalnya, arthralgia, mialgia, dan arthritis) sangat
umum pada SLE, dengan arthritis dan arthralgia sering kepala keluhan pada
presentasi awal penyakit. Semua sendi utama dan kecil sendi mungkin akan
terpengaruh, dan pola arthritis sering berulang dan berlangsung singkat,
menyajikan terutama sebagai kekakuan sendi, nyeri, dan kadang-kadang
inflamasi (Dipiro.2008).
Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.. Kelelahan ini agak
sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan
seperti anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian
obat seperti prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit
LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah.
Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid
atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat
disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala
gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab
lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40oC tanpa adanya bukti infeksi
lain seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
Manifestasi Muskuloskeletal
Pada penderita LES, manifestasi pada muskuloskeletal ditemukan poliartritis,
biasanya simetris dengan episode artralgia pada 90% kasus. Pada 50% kasus
dapat ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering terjadi dengan akibat
subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa
osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan
dengan terapi steroid.
Selain itu, ditemukan juga mialgia yang terjadi pada 60% kasus, tetapi miositis
timbul pada penderita LES< 5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya
berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering
didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid
Manifestasi Kulit
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas, butterfly
rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi psoriaform dan
lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tanda-tanda
vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari,
gangren.
Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat berupa
perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis
dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR
yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.
Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data
autopsi mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Li
bman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai
kemungkinan endokarditis bakterialis. Wanita dengan LES memiliki risiko
penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada
wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.
Manifestasi Paru-paru
Kelainan paru-paru pada LES seringkali bersifat subklinik sehingga foto toraks
dan spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak nafas atau
kelainan respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat ditemukan pada
60% kasus. Efusi pleura dapat ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya ringan
dan secara klinik tidak bermakna. Fibrosis interstitial, vaskulitis paru dan
pneumonitis dapat ditemukan pada 20% kasus, tetapi secara klinis seringkali sulit
dibedakan dengan pneumonia dan gagal jantung kongestif. Hipertensi pulmonal
sering didapatkan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid. Pasien dengan
nyeri pleuritik dan hipertensi pulmonal harus dievaluasi terhadap kemungkinan
sindrom antifosfolipid dan emboli paru.
Manifestasi Ginjal.
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan menilai
ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria,
ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara
histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan
hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus
dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
Manifestasi Hemopoetik
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia
hemolitik autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus. Adanya
leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada LES
ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan gambaran
trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi LES
setelah ditemukan gambaran LES yang lain.
Manifestasi Susunan Saraf
Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan
antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan
serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan
pada 10% kasus.
Ketelibatan saraf otak, jarang ditemukan.Kelainan psikiatrik sering ditemukan,
mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat
dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak
memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi.
Manifestasi Gastrointestinal
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali,
peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis. Selain itu, ditemukan juga
peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis
autoimun.
E. DIAGNOSIS
Diagnosis LES, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium.
kriteria untuk klasifikasi LES, dimana apabila didapatkan 4 kriteria, diagnosis
LES dapat ditegakkan. Kriteria tersebut adalah :
1. Ruam malar: Terdapat eritema, datar, atau meninggi yang cenderung
tidak mengenai lipatan nasolabial.
2. Ruam discoid: Bercak eritema menonjol dengan skuama keratosis dan
sumbatan folikel, parut atrofi dapat muncul pada lesi yang sudah lama timbul
3. Fotosensitivitas: Ruam yang timbul setelah terpapar sinar ultraviolet A dan B
4. Ulkus di mulut.
5. Arthritis non erosif.
6. Pleuritis atau perikarditis.
7. Gangguan renal, yaitu proteinuria persisten > 0,5gr/ hari, atau silinder sel dapat berupa eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan.
8. Gangguan neurologi, yaitu kejang-kejang atau psikosis.
9. Gangguan hematologik, yaitu anemia hemolitik dengan retikulosis, atau leukopenia atau limfopenia atau trombositopenia.
10. Gangguan imunologik, yaitu anti DNA posistif, atau anti Sm positif atau tes serologik untuk sifilis yang positif palsu.
11. Antibodi antinuklear (Antinuclear antibody, ANA) positif.
Kelainan laboratorium semua digunakan dalam diagnosis SLE. Setelah penyakit
ini dicurigai, tes serologi mungkin dapat membantu dalam membuat diagnosis.
Tes serologis digunakan secara ekstensif untuk membantu dalam diagnosis SLE
adalah antibodi antinuclear (ANA) uji. Hampir semua SLE pasien ANA positif,
tetapi penyakit lain juga dapat dikaitkan dengan tes positif. Antinuklear antibodi
(ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang spesifik terhadap asam
nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective tissue disease seperti
SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective Tissue Disease (MCTD) dan sindrom
sjogren’s primer. ANA pertama kali ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948
pada sumsum tulang penderita LES. Dengan perkembangan pemeriksaan
imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas ANA yang baru seperti Sm, nuclear
ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan La/SS-B. ANA dapat diperiksa dengan
menggunakan metode imunofluoresensi. ANA digunakan sebagai pemeriksaan
penyaring pada connective tissue disease. Dengan pemeriksaan yang baik, 99%
penderita LES menunjukkan pemeriksaan yang positif, 68% pada penderita
sindrom Sjogrens dan 40% pada penderita skleroderma. ANA juga pada 10%
populasi normal yang berusia > 70 tahun.
F. TERAPI
1. NON FARMAKOLOGI
Beberapa langkah nonfarmakologis dapat digunakan untuk mengelola gejala dan membantu mempertahankan remisi.
- Kelelahan adalah gejala yang umum pada pasien dengan lupus. Rutinitas seimbang, istirahat dan olahraga, sambil menghindari kelelahan, sangat penting.
- Menghindari merokok mungkin sangat penting karena hydrazine dalam asap tembakau dapat menjadi pemicu lingkungan lupus dan kemungkinan berkontribusi terhadap percepatan CAD. Merokok juga dikaitkan dengan peningkatan aktivitas penyakit pada SLE patients.
- Tidak ada langkah-langkah khusus diet diketahui secara jelas mempengaruhi klinis
- turunan minyak ikan dapat mencegah keguguran pada wanita hamil dengan antibodi antifosfolipid, tetapi kecambah alfalfa harus dihindari karena mengandung asam amino
- L-canavanine, yang telah dikaitkan dengan perkembangan lupuslike Gejala dalam berbagai kasus reports.
- Banyak pasien dengan SLE perlu membatasi paparan sinar matahari dan menggunakan tabir surya untuk memblokir efek memperburuk kemungkinan ultraviolet .Jumlah pembatasan paparan sinar matahari harus individual.
2. FARMAKOLOGI
Terapi obat untuk SLE sering dirancang untuk menekan kekebalan tubuh respon dan peradangan. Kecuali untuk lupus nephritis, besar uji klinis terkontrol yang membandingkan pilihan pengobatan untuk SLE adalah diperlukan. Tabel 85-3 berisi agen umum dan dosis yang digunakan untuk mengontrol SLE. Secara umum, pilihan terapi obat tergantung pada sejauh dan keparahan penyakit. Tabel 85-4 menjelaskan pemantauan yang dipilih parameter dan efek samping bagi banyak obat yang digunakan untuk mengobati penyakit kolagen-vaskular.
1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan jaringan lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare dan perdarahan lambung.
2. Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih rendah. Obat antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif, sehingga selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien
dianjurkan untuk memeriksakan ketajaman visual setiap enam bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.
3. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi sesuai tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena. Contoh : Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu yang lama.14,24 Beberapa efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid terdiri dari meningkatkan berat badan, penipisan kulit, osteoporosis, meningkatnya resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face. Tujuan pengobatan bila menggunakan kortikosteroid pada SLE adalah untuk menekan dan mempertahankan penekanan penyakit aktif dengan terendah dosis mungkin. Pada pasien dengan penyakit ringan, terapi dosis rendah (prednisone 10-20 mg / hari) cukup, 41,45 tetapi pada pasien dengan lebih parah. Penyakit (anemia hemolitik berat atau keterlibatan jantung), dosis lebih tinggi, seperti prednison 1-2 mg / kg setiap hari, mungkin diperlukan.
4. Imunosupresan
Sejumlah besar literatur yang ada menggambarkan penggunaan sitotoksik dan obat imunosupresif pada SLE, meskipun beberapa di antaranya adalah laporan uji klinis terkontrol. Termasuk dalam kategori ini adalah alkylating agent siklofosfamid dan azathioprine antimetabolit. Agen ini, biasanya digunakan dalam kombinasi dengan kortikosteroid, telah menjadi andalan terapi imunosupresif. Meskipun keduanya dikenal untuk menekan dan menstabilkan aktivitas penyakit extrarenal, banyak evaluasi agen ini telah difokuskan pada lupus nephritis, faktor utama yang terkait dengan morbiditas dan mortalitas pada SLE. Bukti yang mendukung penggunaan siklofosfamid pada lupus nefritis telah dikumpulkan selama beberapa dekade terakhir. Terkendali uji klinis telah menunjukkan bahwa siklofosfamid meningkatkan jangka panjang yang hasil pada lupus nephritis.41,61,62 Berdasarkan percobaan terkontrol, Kombinasi prednison dan siklofosfamid
telah menjadi standar pengobatan untuk fokus dan menyebar proliferatif lupus nephritis (WHO kelas III / IV)
BAB III
STUDI KASUS
GAMBARAN PASIEN
Keluhan utama
“Saya merasakan lelah setiap saat dan rasa sakit pada perut”
HPI
Caroline Pentz umur 34 tahun didiagnosis menderita SLE dua tahun yang lalu. Dia
mengalami ruam (Malar rash), letih, arthralgias. Pengujian lab menunjukkan
proteinuria, hematuria dan peningkatan serum kreatinin. Biaopsi ginjalnya
menunjukkan perubahan focal proliferative, menunjukkan indikasi lupus nephritis.
Dia mengeluhkan peningkatan kelelahan yang menggangu pekerjaan dan aktifitas
sehari-harinya. Saat ini dia mengkonsumsi ibuprofen untuk mengobati arthralgias.
Pasien juga menyadari bahwa terjadi penghitaman pada tinjanya beberapa bulan
belakangan.
PMH
SLE x 2 tahun
Asma x15 tahun
Rinitis alergi x 20 tahun
Depresix 2 tahun
FH
Ayahnya berumur 60 tahunan dengan penyakit hipertensi dan celiac desease, ibu
berumur 60 tahunan dengan penyakit fibromyalgia.
SH
Eksekutif bank, telah menikah selama 10 tahun, Sering kali menggunakan ETOH
(Ethanol) , saat ini tidak merokok, Pernah merokok, 1 ppd x 12 tahun (berhenti 5
tahun yang lalu)
Meds
Advair 100/50 1inhalasi 2x sehari
Albuteron 1-2 puffs Q 4-6 h PRN (When necessary; as needed (pro re nata)
Fluticasone 2 sprays dalam sehari
Paroxetine 20 mg po sehari sekali
Ibuprofen 800 mg po QID (Four times daily (quater in die)
ALL
NKDA (No known drug allergies)
ROS (Review of systems)
Tidak demam, dingin, peripheral edema, alopecia atau ruam
Pemeriksaan Fisik
o Gen
Terlihat lelah NAD (No acute (or apparent) distress)
o VS
BP132/80, P74, RR 18, T 380C, Berat 55 Kg, Tinggi 5’33’’
o Kulit
Hangat, lembab, tidak ada ruam
o HEENT (Head, eyes, ears, nose, and throat)
PERRLA (Pupils equal, round, and reactive to light and accommodation);
EOMI (Extraocular movements (or muscles) intact)
o Leher/ limpa Nodes
Luwes/lemah tanpa adenopati
o Paru-paru/thorax
CTA; no rales/rhonchi
o CV (Cardiovascular)
RRR (Regular rate and rhythm); S1 dan S2 terdengar
o Abd
Lembek, non-distended, (+) bunyi perut, (+) stool guaiac
o Ext
Perpheral pulse intact, tidak ada edema
o Neuro
A & O x 3 (Awake and oriented to person, place, and time); CNs II-XII intact;
Babiski negative
Lab
Na 142 mEq/L
K 5,0 mEq/L
Cl105 mEq/L
CO2 25 mEq/L
BUN 30 mg/dL
SCr 1,5 mg/dL
Asam urat 9,0 mg/dL
Glukosa 88mg/dL
Hgb 10 g/dL
Hct 30 %
WBC 7,2x 103/mm3
Plt 250 x 103/mm3
Fe 35 mcg/dL
TIBC 450 mcg/dL
Ferritin 8 mg/mL
C4 10 mg/dL
C3 45 mg/dL
Anti-ds DNA antibody 550 mg/dL
ESR 66 mm/h
UA
Many RBCs; no RBC casts; 2+ proteinuria
Kidney Biopsy
Perubahan Focal proliferative
Assessment
Mild focal proliferative lupus nephritis (class III); Terjadi anemia kekurangan zat
besi kedua karena penggunaan NSAID
Identifikasi masalah
1.a. Daftar dari masalah-masalah terapi obat pasien
Penyelesaian :
No. Terapi obat yang diberikan
Golongan obat indikasi masalah
1. Advair Bronkodilator Asma menyebabkan hitam pada kotoran
2. Albuterol Beta-adrenergik Asma Mual, sakit kepala, palpitasi, tremor, vasodilatasi peripheral
3. Fluticasone Simpatomometik bronkodilator
Asma Terdapat obat yang sama pada isi advair yaitu fluticason dan salmaterol
4. Paroxetine Anti depresan Depresi Ruam pada kulit sebaiknya penghentian penggunaan dan atralgia
5. Ibuprofen AINS Atralgia eritema kulit, sakit kepala trombosipenia
1.b. Informasi (tanda-tanda, gejala, nilai laboratorium) yang mengindikasikan
pengembangan dari anemia kekurangan besi?
Penyelesaian :
Pasien merasakan lelah setiap saat
Hematuria juga merupakan salah satu tanda-tanda anemia defisiensi besi
Adanya pemakaian NSAID
Nilai Fe dalam serum darah hanya 35 mcg/dL, sangat rendah dibandingkan nilai
normalnya yaitu 65-175 mcg/dL.
Nilai hemoglobinnya hanya 10 g/dL, lebih rendah dibandingkan nilai normalnya
yaitu 12-16 g/dL (untuk wanita)
1.c.Informasi apa (tanda-tanda, gejala, nilai laboratorium) yang mengindikasikan
pengembangan dari lupus nefritis
Penyelesaian :
Biopsi ginjal yang menunjukkan perubahan focal proliferative merupakan salah
satu tanda yang menunjukkan indikasi lupus nefritis.
Tekanan darahnya di atas tekanan darah normal. Tekanan darah tinggi merupakan
salah satu gejala atau tanda lupus nefritis
2.a.Tujuan utama terapi lupus nefritis adalah untuk menormalkan fungsi ginjal atau,
setidaknya, untuk mencegah hilangnya progresif fungsi ginjal. Hal ini penting
untuk mengobati manifestasi extrarenal dan variabel lain yang dapat
mempengaruhi ginjal. Meskipun tidak ada obat untuk lupus nefritis, tujuan
pengobatan utamanya adalah menghentikan perkembangan penyakit ini,
menyebabkan remisi dan membantu pasien menghindari kebutuhan untuk dialisis
atau transplantasi ginjal. Rencana perawatan membantu orang untukn mengelola
gejala seperti tekanan darah tinggi, protein dalam urin (proteinuria), dan
pembengkakan (edema) di tangan dan kaki.
2.b.Prinsip penatalaksnaan ADB (anemia defisiensi besi) adalah mengetahui faktor
penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat
besi. Sekitar 80-85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat
dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau
parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan samaefektifnya dengan
pemberian secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakukan. Pada penderita
yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak
dapatterpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan.
3 a. Terapi non farmakologi
1. Istrahat dan olahraga serta hindari kelelahan
2. Menghindari merokok mungkin sangat penting karena hydrazines
dalam asap tembakau dapat menjadi pemicu lingkungan lupus
dan kemungkinan berkontribusi terhadap percepatan CAD
3. Hindari paparan sinar matahari (jam 8.30-1530)
4. Pasien mungkin perlu untuk memantau asupan protein, natrium, dan kalium.
5. Pasien dengan penyakit berat harus membatasi asupan sodium hingga 2 gram
per hari dan membatasi cairan juga. Tergantung pada histologi, fungsi ginjal
dan tingkat proteinuria
3.b. Terapi farmakologi
1. Terapi medis untuk lupus nefritis tergantung pada tingkat keparahan penyakit.
Untuk penyakit ringan, kortikosteroid, secara umum, ditentukan. Penyakit
yang lebih parah membutuhkan pengobatan dengan agen imunosupresan. Dua
agen yang paling sering digunakan adalah mycophenolate mofetil dan
cyclophosphamide intravena
2. Kortikosteroid pada pasien dengan gejala klinis mengarah ke gangguan
ginjal.. obat immnusuppresive teruatam cyclophosphamide, azathioprine, atau
mycophenolate mofetil, pada pasien dengan dengan lesi ginjal aggressive
proliferative, dapat juga dipakai pada pasien yang tidak respon terhadap
kortikosteroid .Diet rendah garam diberikan bila ditemukan hipertensi, rendah
lemak bila ada hiperlipidemia atau sinrom nefritis, Diuretik dapat diberikan
sesuai dengan kebutuhan.d.Pemeriksaan rutin periodic meliputi: urin
sediment, urin 24 jam (protein), kreatinin dan tes klirens kreatinin, serum
albumin, C3, anti DNAe.Monitor efek samping steroid, komplikasi yang
terjadi selama pengobatan.f. Hindari pemberian salisilat dan obat antiinflamasi
non steroid karena akan memperberat fungsi ginjal.
3. Lupus neprhitis kelas III dan IV, pasien berada dalam resiko tinggi yang
mengarah ke stadium akhir dan memerlukan terapi agresiv 1.Pemberian
prednisone 1 mg/kg/d sekurang-kurangnya 4 minggu tergantung respon
klinis.. Kemudian taper secara bertahap sebagai dosis pemeliharaan sebanyak
5-10 mg/d selama 2 tahun. Pada pasien akut, metal prednisolon intravena
selama 3 hari dipakai sebagai terapi permulaan kortikosteroid. 2.Obat
immunosupresif dipakai pada pasien yang tidak respon terhadap pengobatan
kortikosteroid, tidak dapat menerima toksisitas kortikosteroid, fungsi ginjal
memburuk, lesi proliferative berat, ,sclerosis. Cyclophosphamide dan
azathioprine effectif untuk nephritis lupus proliferative meskipun
cyclophosphamide lebih effektif dalam mencegah ke arah perkembangan
stadium akhir. Mycophenolate mofetil effectif bagi pasien yang telah
menggunanakan cyclophospamid intravena selama 6 bulan. 3.Pemberian
cyclophospamid intravena tiap bulan selama 6 bulan dan 2-3 minggu
setelahnya selama 2 -2,5 tahun tergantung respon klinis. Pengurangan dosis
dilakukan jika klirens kreatinin kuang dari 30mL/min. Tetapkan dosis
berdasarkan respon hematology. 4.Azathioprine dapat dipakai sebagai obat
garis kedua, dengan penetapan dosis berdasarkan respon
hematology.5.Mycophenolate mofetil dipakai untuk pasien yang tidak respon
atau toleransi terhadap cyclophosphamide dan azathioprine.
4.a.Terapi Pengobatan Lupus Nefritis
Nama obat : Rituximab
Dosis obat : 1 gram
Bentuk sediaan : Injeksi IV
Dosis : 2 kali pemberian dengan jarak 2 minggu
Lama terapi : dapat diulang setiap diulang
Mekanisme kerja : Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi
untuk SLE yang refrakter. Anti CD 20 adalah suatu antibodi
monoklonal yang melawan reseptor CD 20 yang
dipresentasikan limfosit B.
4.b.Penanganan Anemia defisiensi besi pada pasien ini adalah dengan memberikan
senyawa zat besi yang sederhana dan diberikan peroral adalah ferous glukonat,
fumarat, dan suksinat dengan dosis harian 4-6 mg/kg/hari besi elemental
diberikan dalam 2-3 dosis. Penyerapan akan lebih baik jika lambung kosong,
tetapi ini akan menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Efek samping
yang dapat terjadi adalah iritasi gastrointestinal, yang dapat menyebabkan rasa
terbakar, nausea dan diare. Oleh karena itu pemberian besi bisa saat makan atau
segera setelah makan, meskipun akan mengurangi absorbsi obat sekitar 40-50%.
Preparat besi harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita
teratasi.
5. Parameter klinik dan data laboratorium yang berguna untuk mengevaluasi terapi
Memantau atau memonitori Hgb,serum ferritin, TIBC. Obat yang tepat akan
menunjukkan peningkatan pada Hb dan serum ferritin sedangkan pada TIBC
megalami penurunan.
Tanda kelelahan yang dikeluhkan pasien juga akan hilang jika pengobatan yang
diberikan tepat.
Pemantauan atau monitoring pada kreatinin serum, BUN, proteinuria juga harus
dilakukan. Peningkatan klinis yang signifikan dapat menghindari cidera pada
ginjal lebih lanjut, terutama temuan protein dalam urin dan sedimen dalam urin.
6. Edukasi Pasien
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan
perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan
masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain
melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultraviolet) dengan memakai tabir
surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus
memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan
berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan
pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit
ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Beberapa bentuk edukasi pada pasien SLE
sebagai berikut :
a. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya
b. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut
c. Masalah yang terkait dengan fisik : kegunaan latihan terutama yang terkait
dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu
maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun kontrasepsi
d. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE,
mengatasi rasa lelah, stres, emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan
keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri
e. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu
tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka
panjang contohnya obat antituberkolosis dan beberapa jenis lainya termasuk
antibiotikum
f. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok
pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan
sebagainya.
Terkait dengan pendekatan biopsikososial dalam penatalaksanaan SLE, maka
setiap pasien SLE perlu dianalisis adanya masalah neuro-psikologik maupun sosial.
Pembuktian dilakukan dengan menggunakan alat pemeriksaan yang lebih teliti seperti
TRAIL A, TRAIL B maupun Pegboard. Adanya gangguan fisik dan kognitif pada
pasien SLE dapat memberikan dampak buruk bagai pasien di dalam lingkungan
sosialnya baik tempat kerja atau rumah.
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik
akibat adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan
keluarga yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat
dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan
kesehariannya.
FOLLOW UP QUESTIONS
TERAPI FARMAKOLOGI
NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat
dan NSAID yang lain. NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik.
Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam,
atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ
penting. Obat malaria yang sering digunakan adalah Klorokuin dan hidroksiklorokuin
Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon
terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi
kortikosteroid. Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk
antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter
laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul.
Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat
sitotoksik bahan pengalkilasi.. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai
imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi.
Obat lain
Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah
azatioprin, intravena gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon,
mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi.
Terapi Non Farmakologis
Alternatif yang dapat dilakukan jika pengobatan yang diberikan gagal atau
tidak dapat di gunakan, beberapa tindakan non farmakologis dapat digunakan untuk
mengelola gejala dan membantu menjaga pemulihan keadaan. Kelelahan adalah
gejala umum pada pasien dengan lupus. Istirahat dan olahraga secara rutin dan
seimbang, sangat berguna untuk mencegah kelelahan. Merokok sebisa mungkin
dihindari karena hydrazines dalam asap rokok bisa menjadi pemicu dari lingkungan
untuk terjadinya lupus. Merokok juga telah dikaitkan dengan peningkatan aktivitas
penyakit lupus. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE, Tetapi penggunaan
minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet
dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10,
dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA. Umumnya pasien dengan SLE harus
membatasi paparan sinar matahari dan menggunakan tabir surya untuk memblokir
kemungkinan memperburuk efek sinar ultraviolet terhadap keadaan lupus pasien, di
mana jumlah batasan paparan sinar matahari harus diatur secara individual tergantung
kondisi pasien.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Lupus eritematosus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat
kelainan sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem
tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan
tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi
(antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah
besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di
dalam jaringan.
Manifestasi dapat berbeda dari satu pasien dengan pasien lainnya tergantung dari
target organ yang terkena. Gejala yang timbul dapat menyerupai penyakit lain seperti
multiple sclerosis, arthritis reumathoid, atau bahkan demam berdarah, sehingga sering
menyulitkan dalam penegakkan diagnosa.
Dapus
Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing, 2009 ; 2565-2579