abuhanzhalah.files.wordpress.com · Web viewPERAN MODAL SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN KOTA KEBIJAKAN...

19
1

Transcript of abuhanzhalah.files.wordpress.com · Web viewPERAN MODAL SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN KOTA KEBIJAKAN...

1

PERAN MODAL SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN KOTAKEBIJAKAN PUBLIK DI BIDANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

STUDI KASUS: JAKARTA

AbstrakUrbanisasi merupakan fenomena global, dan salah satu dampaknya berupa timpangnya penyediaan perumahan dan permukiman di kawasan perkotaan. Penyediaan tidak dapat memenuhi permintaan, yang besar jumlahnya, dan terjadi terus menerus. Terutama di kota-kota negara-negara berkembang, masalahnya lebih pelik, karena pertumbuhan penduduk yang terjadi lebih cepat dibandingkan dengan yang terjadi di negara-negara maju. Kemampuan penyediaan perumahan sangat terbatas, bahkan nyaris tidak ada. Peningkatan jumlah penduduk kota yang terus menerus tidak dapat diimbangi dengan penyediaan perumahan, sekalipun dalam bentuk sesederhana apa pun. Dampaknya adalah tumbuh suburnya permukiman informal, yang di Indonesia lazim dinamakan kampung. Ciri-ciri permukiman kampung adalah padat, kumuh, jorok, tidak mengikuti aturan-aturan resmi, dan mayoritas penghuninya miskin. Ini terjadi di Jakarta akhir tahun ’60-an.

Apa dan bagaimana pun wujudnya, mereka adalah habitat mayoritas warga kota. Pada tahun 1969, jumlah penduduk Jakarta sebesar 4,8 juta, dan 60% diam di permukiman seperti itu. Tidak ada acuan dalam buku-buku pengetahuan dari Barat menangani permukiman seperti itu, kecuali dengan peremajaan perkotaan, yaitu menggusur dan membangun bangunan baru. Tidak mungkin Pemerintah Jakarta melaksanakan model pembangunan seperti itu, karena memerlukan dana yang sangat besar. Mengacu pada pengalaman tahun 1926, Gubernur Ali Sadikin menghidupkan dan mengembangkan model Perbaikan Kampung itu, dengan diberi nama Proyek Muhammad Husni Thamrin (P. MHT). Langkah itu merupakan keputusan yang mengukir sejarah kebijakan publik dalam manajeman perkotaan, Dalam tulisan ini, pendekatan P. MHT dinamakan model pertisipatif.

Kebijakan itu cepat mendapat tanggapan positif dari masyarakat, politisi, media massa, dan dengan cepat mendapat tanggapan dari dunia internasional. Sejak semula asas pendekatan ini adalah invesatsi kemanusiaan, yang Mark et. al (2000), menamakannya sebagai social betterment yang dijabarkan menjadi public

2

policy/program. Proyek yang kemudian mendapat perhatian dan bantuan pinjaman dana dari Bank Dunia itu, berhasil memperbaiki lebih dari 18.000 hektar kampung, dengan jumlah penduduk lebih dari 5,5 juta jiwa. Bank Dunia menyatakannya sebagai the best money spent, the best practice. Pada tahun 1980, model pembangunan ini mendapat Piagam Penghargaan dari Yayasan Aga Khan, sebagai kebijakan yang berani (bold), karena memperbaiki permukiman kumuh (tidak menggusurnya), merupakan kebijakan publik yang belum pernah terjadi sebelumnya di negara mana pun.

Pertengahan tahun 80-an, kebijakan Pemda DKI mengubah penyediaan perumahan dengan membangun rumah susun, dan pembangunan real estat mulai dipicu, tanpa didahului dengan studi yang komprehensif, terutama dengan asas permintaan dan penyediaan, kajian sosial budaya. Perhatian terhadap P. MHT mulai surut. Arah kebijakan baru itu dinamakan produk jadi/pasokan, teknokratik, dibandingkan dengan pendekatan partisipatif, dari kajian asas keberlanjutan, peningkatan kualitas hidup, dan peran modal sosial. Tulisan ini membahas 2 macam pendekatan dalam pembangunan perumahan di Jakarta, yang partisipatif berupa P. MHT, dan teknokratik berupa pembangunan perumahan formal, seperti real estat, dan terutama rumah susun, sementara permukiman kumuh terus tumbuh.

Urbanisasi dan dampaknyaPada pergantian abad 20 ke abad 21, tingkat urbanisasi dunia telah mencapai 50 persen. Berarti separuh penduduk dunia adalah penghuni perkotaan. Tingkat urbanisasi ini meningkat terus. Di Indonesia, yang pada pergantian abad yang lalu mencapai 42 per sen diperkirakan pada tahun 2010 ini, akan mencapai 50 per sen. Ini berarti bahwa kota-kota makin banyak penduduknya, dan makin padat. Para penentu kebijakan seharusnya tanggap dan siap menghadapi tantangan masa depan kota-kota yang sudah pasti akan lebih majemuk, lebih pelik, pesemaian dan kegaduhan sosial makin subur dan makin marak.

Sejak kelahiran Nabi Isa sampai abad 17, atau selama 1600 tahun, penduduk dunia berlipat dua kali (doubling), sedang perlipatan dua kali berikutnya hanya memakan waktu 200 tahun, dan perlipatan dua kali berikutnya lagi, hanya dalam waktu 80 tahun. Perlipatan dua kali terakhir, dari 2 ke 4 milyar, hanya memakan waktu 45

3

tahun, dan terjadi pada tahun 1975 (Southwick, 1976). Perlipatan dua kali berikutnya diperkirakan terjadi dalam waktu 38 tahun, atau kira-kira pada tahun 2013. Persoalan perkotaan timbul karena jumlah penduduk yang besar dan terus meningkat, sedang kemampuan pemerintah daerah atau pemerintah pusat dalam penyediaan layanan perkotaan, terutama perumahan sangat terbatas. Kesenjangan antara permintaan dan penyediaan ini, ditambah dengan tidak/kurang peka dan kepedulian penentu kebijakan terhadap golongan miskin berakibat terlantarnya permukiman informal itu,. Pada umumnya, “permukiman kumuh adalah produk kebijakan yang gagal, tata pemerintahan yang buruk, korupsi, peraturan yang berbelit-belit, pasar pertanahan yang tidak berfungsi, sistem keuangan yang tidak jelas, dan kemauan politik yang lemah” (UN Habitat, 2003).

Kota dilihat sebagai habitat, banyak yang harus disediakan, seperti permukiman, lapangan kerja, transportasi, makanan, layanan perkotaan, dan masih banyak lagi, termasuk pembuangan limbah. Dalam tata ruang kota, perumahan dan permukiman merupakan subsistem kota terbesar. Kebijakan perumahan dan permukiman seharusnya menjadi alat tidak saja memenuhi permintaan atau mengurangi backlog, melainkan juga sebagai alat untuk mensukseskan MDGs. Apa yang terjadi di Jakarta, kebijakan publik dalam tata ruang bernuansa tidak keberpihakan terhadap kaum miskin. Seharusnya rencana kota memperhatikan setiap variabel perkotaan, yang mempunyai peran besar dalam kehidupan kota. Salah satu variabel itu adalah manusia, dan mereka memerlukan tempat berteduh, yaitu rumah. Menarik untuk disimak ungkapan Sekjen PBB Ban Kim-oon (2008): “Tidak ada tata ruang yang baik selama tidak ada tata pemerintahan yang baik”. Tata pemerintahan yang baik, tercakup di dalamnya kebijakan publik, menurut Dye (1981) harus rasional.

Tulisan ini membahas tentang kebijakan publik dalam penyediaan perumahan dan permukiman. Penyediaan perumahan model produk jadi/pasokan hanya mampu menyediakan perumahan sebesar 20 per sen (Lindfield 2003, Menpera, 2008). Ini berarti sedikitnya 70 per sen pembangunan rumah dibangun oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), secara swadaya. Karena mayoritas kaum migran berasal dari daerah perdesaan, dengan pendidikan dan keuangan yang pas-pasan,

4

maka permukiman yang terbentuk pun kumuh, tanpa layanan perkotaan. Namun apa dan bagaimana pun bentuk dan wujudnya, menurut Wirutomo (2001) terdapat keteraturan sosial, sekalipun tidak sama dengan keteraturan sosial pemerintah, yang berupa peraturan dan pembakuan. Kimm (1995) juga menyatakan, bahwa perumahan bukanlah wujudnya, melainkan fungsinya. Kearifan lokal, yang mereka bawa dari desa, berupa masyarakat paguyuban, seperti gotong royong, sambatan, merupakan modal sosial yang tetap bertahan, sekalipun dalam kehidupan kota yang bersifat patembayan. Itulah permukiman kampung, di Jakarta merupakan 60 per sen habitat warga kota. Proyek MHT dengan dana yang rendah, telah berhasil memperbaiki permukiman informal itu, meningkatkan kualitas lingkungan serta kualitas hidup penghuninya (Darrundono, 1988).

Permukiman partisipatif dan permukiman teknokratikKajian secara rasional, dapat dilihat pada daftar perbandingan di bawah ini.

PERBANDINGAN PELAKSANAANPROYEK RUSUN DENGAN P. MHT

PELAKSANAAN RUSUN 4 LANTAI MHT I - IIBiaya Kontruksi US$ 3200,-/Kapita US$ 141,-/Kapita

Kepadatan Penduduk

< 410 Jiwa/Ha >1000 Jiwa/Ha

Pembebasan tanah Rp 300.000,--/m2 0Keberlanjutan Subsidi

PemerintahKomunitas

Asas Permukiman Ex-situ In-stituBudaya Perlu Adaptasi Ada adaptasi sejak

awalSosial Perubahan Sosial T.a. perubahan

sosialKelompok Sasaran Tidak Tepat Tepat

Diversitas Rendah Tinggi

Dari daftar perbandingan di atas, dapat ditarik kesimpulan, pembangunan model partisipatif lebih memiliki kelebihan dan keuntungan dibandingkan dengan model

5

teknokratik. Dari segi biaya, efesiensi pemakaian lahan, model partisipatif lebih tinggi.

Dari temuan dan analisis itu, tahun 2007, diadakan penelitian, seberapa jauh pengaruh kearifan lokal, pendekatan dengan melibatkan kelompok sasaran membicarakan perbaikan lingkungan kampung mereka, mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan proyek. Beberapa studi tentang keberhasilan P. MHT ini, di bawah ini dapat disimak:

Taylor (1987), Penduduk kampung mendukung P. MHT karena beberapa alasan. Mereka dengan cepat dapat menikmati manfaat fisik kampung tanpa harus membayar langsung. Perbaikan tidak memaksa penduduk pindah ke tempat lain yang tidak mereka kenal sebagai permukiman, tapak, ketenangan, failitas lingkungan dan investasi, seperti di kampung yang mereka bangun sendiri.

Bank Dunia (1995). Konsultasi tahap perencanaan dilakukan dalam pertemuan-pertemuan lokal dengan komunitas di kantor kelurahan, dengan tingkat peranserta beragam. Pada beberapa kampung penduduk bekerja melalui RT membantu sebagian pekerjaan pelaksanaan, seperti menggeser pagar halaman dan bangunan. Kenyataannya, P. MHT tidak mengganggu stabilitas penghuninya walaupun profil sosial di dalam kampung telah berubah. Penduduk meningkat pendidikannya, dan lebih sehat, ukuran keluarga menjadi turun, lebih banyak penghuni bekerja dan berpendapatan lebih baik; kaum wanita lebih banyak memegang peranan dalam meningkatkan kehidupan ekonomi keluarga.

Pada kesempatan lain Bank Dunia (1997) menyatakan: Proyek Perbaikan Kampung yang dimulai di Jakarta tahun 1969, merupakan suatu upaya yang unik pada saat itu dengan memperbaiki permukiman perkotaan yang miskin, kumuh, dan tak terlayani oleh prasarana dasar perkotaan – yang sangat berbeda dengan upaya-upaya yang sama di banyak negara, yang merombak dan membangun kembali secara fisik atau menggusur komunitas yang ada.

Keberhasilan kebijakan publik, sangat tergantung dari kepemimpinan. Perlu disimak surat Presiden Bank Dunia, Wolfensohn, kepada mantan Gubernur DKI Jakarta Ali

6

Sadikin, 14 Oktober 2004, dalam rangka pemberian penghargaan atas prakarsa memperkenalkan Proyek MHT: “Kepemimpinan anda yang inspiratif memainkan peran yang penting sekali dalam membuat Perbaikan Kampung sukses. Program ini memperbaiki kehidupan warga Jakarta yang paling miskin, dan memberikan kesempatan dan harapan. Sebelum Perbaikan Kampung diperkenalkan pada tahun 1969, hampir 70 per sen kawasan perumahan di Jakarta dalam keadaan yang mengerikan. Program telah mengubah lebih dari 8.000 hektar kampung, membuat kota lebih hidup dan kompetitif. Sebagai tambahan, sukses program itu di Jakarta mendorong kebijakan yang serupa di seluruh Indonesia, dan banyak negara-negara lain, sehingga mengubah kehidupan dan mata pencaharian orang yang tak terhitung banyaknya di seluruh dunia berkembang. Pelajaran yang pantas dipelajari dan contoh positif dari proyek itu sampai sekarang masih relevan”.

Peran serta komunitas dalam perbaikan kampung berdasarkan Bappem P. MHT 1985 menjelaskan bahwa nilai bangiunan dan tanah yang terpotong yang disumbangkan oleh masyarakat kampung untuk pembangunan jalan dan saluran pada kampung mereka, sebesar 98 per sen dari jumlah biaya proyek. Atau dengan kata lain, sumbangan masyarakat kampung berupa tanah dan bangunan sama dengan jumlah biaya yang dikeluarkan pemerintah. Kalau sejak pada taraf persiapan, perencanaan, pelaksanaan, komunitas telah dilibatkan, sejak awal disadari bahwa penduduk kampung lebih tahu tentang kampung mereka daripada para ahli. Para migran itulah yang bertindak sebagai perancang dan arsitek telanjang kaki, membangun permukiman mereka sendiri, apa pun dinamakannya.

Pada perumahan model pasokan, dalam hal ini permukiman rumah susun yang diperuntukkan bagi golongan rendah, kohesi sosial tidak seperti pada waktu mereka di permukiman kampung. Penelitian yang dilakukan oleh LPEM UI dan Dinas Perumahan DKI menjelaskan bahwa kelompok sasaran yang mendiaminya hanya 20 per sen. Penelitian lain menjelaskan bahwa kelompok sasaran lebih menyukai kembali ke permukiman informal, karena diam di rumah susun merasakan diam di dalam rumah dengan budaya import. Penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Pengembangan Permukiman Ditjen Cipta Karya (2007), pada rumah susun Budha Tzu Chi Cengkareng menjelaskan bahwa model pembangunan itu tidak mengurangi backlog perumahan, dan tidak mendukung MDGs. Lantai dasr yang mayoritas

7

didiami oleh kaum Lansia, ternyata tercatat hampir semuanya belum pernah mampu membayar uang sewa selama dipindahkan selama lebih dari 2 tahun, dari bantaran Sungai Kali Adem. Alasan mereka, karena di permukiman semula, mereka memiliki rumah yang ada kamar/ruang yang dapat mereka kontrakkan, sedang di bangunan baru tidak. Pada lantai lainnya, 40 per sen penghuni menunggak membayar sewa sedikitnya 3 bulan. Rumah Susun Budha Tzu Chi adalah social housing, sehingga subsidi yang besar dan terus menerus bukan merupakan masalah.

Pada rumah susun Perumnas Cengkareng yang diperuntukkan bagi MBR, ternyata mayoritas didiami oleh golongan pendapatan yang lebih tinggi. Kesimpulan studi menjelaskan bahwa rumah susun Budha Tzu Chi adalah social housing. Anak-anak dari Taman Kanak-kanak sampai dengan Sekolah Menegah Kejuruan dengan uang sekolah sebesar Rp. 20.000,--/ bulan, mendapatkan sepatu, seragam, topi, tas dengan bukunya. Mereka yang di lantai dasar, para Lansia yang tidak mampu membayar sewa, disubsidi oleh Yayasan Budha Tzu Chi. Pada rumah susun Perumnas, setiap bulan Perumnas harus mengeluarkan subsidi, sehingga tanpa adanya perubahan manajemen, status Perumnas sebagai BUMN menjadi mengkhawatirkan. Rumah Susun Perumnas adalah public housing, yang memperhitungkan adanya keuntungan, sekalipun tipis.

Penelitian yang dilakukan oleh Dinas Perumahan dan Bangunan Pemprov DKI, tahun 2009, pada beberapa kawasan rumah susun skala besar, ternyata kelompok sasaran yang mendiaminya hanya 20 per sen, dan selebihnya memilih kembali ke permukiman kampung. Penduduk yang semula bermukim di bawah Jl. Tol Jembatan Tiga, dipindahkan ke Rumah Susun Marunda, tanpa ada pertimbangan adanya perubahan dan ongkos sosial, belum/tidak adanya angkutan umum ke kawasan Jembatan Tiga, di mana terdapat lapangan kerja. Air bersih masih menggantungkan dari air tanah yang mutunya rendah. Namun yang rupanya tidak pernah lewat di pertimbangan para perancang adalah, bahwa seharusnya calon penghuni diajak bicara, permukiman rumah susun seperti apa yang mereka inginkan. Pada beberapa kawasan rumah susun, yang lantai dasarnya diperuntukkan bagi usaha para penghuni, rata-rata kosong. Tujuan baik dengan menyediakan tempat berusaha tanpa memikirkan bahwa menjadikan seseorang menjadi pengusaha apa

8

pun, tidak dapat secara instan. Kembali peranserta calon penghuni tidak pernah diikutsertakan dalam perancangan, sedangkan memindahkan manusia dari satu habitat ke habitat lainnya, tidak sama dengan memindahkan barang. Ada sesuatu yang terlupakan atau hilang, yaitu modal sosial.

Modal sosialProgram pengentasan kemiskinan, terutama di daerah perkotaan, seharusnya melalui kebijakan pembangunan perumahan, karena pada hakikatnya memperbaiki permukiman kumuh yang jumlah nya besar, dan makin besar, merupakan perbaikan sosial.. Sejak awal diperkenalkannya proyek perbaikan kampung disadari bahwa kualitas lingkungan kampung pada tahun 1969 sangat memprihatinkan. Namun penghuni kampung yang pada mulanya terdapat kelompok komunitas primordial, yang berasal dari daerah yang sama, dengan membaurnya dengan kelompok lain, menjadi terikat sebagai komunitas spasial, yang secara bersama-sama memikirkan bagaimana memperbaiki lingkungan mereka sehingga menjadi habitat yang layak huni. Dimulai dengan kerja bakti dan gotong royong membersihkan lingkungan, dan mengurug lahan-lahan rendah dengan puing-puing, yang merupakan bibit modal sosial yang terus berkembang. Lawang (2005) dalam kaitannya dengan gotong royong menulis: “Dengan definisi itu saya mencoba untuk memahami beberapa wujud kapital sosial di Indonesia seperti kearifan atau kebijaksanaan lokal, gotong royong”.

Modal sosial, telah terjadi sejak awal tumbuhnya suatu kampung. Proyek MHT yang merupakan campur tangan pemerintah (modal ekonomi) ini tidak saja diterima oleh para penghuni kampung, tetapi juga sangat diharapkan, dengan banyaknya permohonan agar kampung mereka diperbaiki. Permohonan ini melalui suatu proses di mana anggota komunitas secara bersama-sama mengajukan melalui jalur pemerintah seperti kelurahan, kecamatan, walikota, dan gubernur. Tidak jarang pula melalui media massa. Semangat kebersamaan dalam memperbaiki kualitas lingkungan permukiman ini merupakan modal dasar dalam membangun peranserta komunitas dalam pelaksanaan proyek. Dalam Appraisal of the Jakarta Urban Development Project in Indonesia (1974) tentang peran komunitas ini ditulis: “Keberhasilan pelaksanaan dan pengelolaan proyek tergantung pada dukungan dan

9

keterlibatan secara aktif dan peranserta penghuni kampung. Tradisi gotong royong antar penghuni kampung mempunyai sejarah panjang di Indonesia”.

Modal sosial didefinisikan sebagai “suatu unsure yang memiliki dua cirri, yaitu aspek struktur sosial serta memfasilitasi tindakan individu dalam struktur sosial itu” (Coleman, 1988 dalam Roseland, 1998). Dalam pengertian ini, unsur-unsur modal sosial berupa hubungan sosial (tingkah laku kerjasama, kesetiaan, kearifan dan pengetahuan lokal), institusi sosial (perkumpulan, jaringan, dan kepemimpinan sosial) serta nilai atau norma yang efektif (toleransi, simpati, kepercayaan, kejujuran) yang dapat digunakan secara tepat dan melahirkan kontrak sosial, tanggung jawab sosial, kemandirian, dan peranserta.

Di dalam mengadakan penelitian terhadap dua model pembangunan, yaitu model partisipatif dan model teknokratik, modal sosial jauh lebih banyak pada model partisipatif daripada model teknokratik. Damajanti (2002) menulis: “Pada komunitas Kota Jakarta masih ditemukan bahwa pada pola ikatan sosial dan hubungan resiprokal yang kuat di kalangan warga di permukiman strata bawah dibandingkan dengan strata yang lebih tinggi”. Dalam pengembangannya, pengaruh modal sosial ini ternyata berpengaruh terhadap meningkatnya kualitas hidup warga, dan keberlanjutan pembangunan.

KesimpulanPerumahan dan permukiman merupakan subsistem perkotaan yang paling besar memerlukan ruang, dan merupakan habitat bagi seluruh warga kota. Bukan keindahan garis langit yang dihiasi dengan pemandangan arsitektur bangunan megah mewah, melainkan kota yang menyediakan layanan perkotaan, termasuk tempat bermukim, habitat, yang menjanjikan kehidupan yang harmoni bagi segenap warga kotanya.dan membuatnya sejahtera, aman, nyaman, dan “krasan” di dalamnya.

Sebagian besar warga Kota Jakarta masih termasuk warga miskin, yang diam di permukiman jorok, kumuh, miskin, menempati lahan-lahan marjinal, dan tanpa masa depan. Merupakan suatu yang ironis, terutama bagi Jakarta, yang sempat jadi pemegang panji terdepan dalam kebijakan pro-poor, dengan memeloporinya

10

memperkenalkan proyek perbaikan kampung, P. MHT, yang mendapat sambutan positif secara nasional maupun internasional, gaung MHT saat ini nyaris lenyap. .

Diperkenalkannya model pembangunan baru, di antaranya berupa rumah susun, dari beberapa kajian dan penelitian, ternyata tidak menyelesaikan masalah, tidak mensukseskan MDGs. Bahkan secara ekonomi, menjebak pemerintah ke dalam opportunity cost, karena akan mengeluarkan subsidi terus menerus yang makin membengkak, dan tidak menghasilkan pendapatan lingkungan. Asas berkelanjutan tidak tercapai, dan peningkatan kualitas hidup warganya masih harus dipertanyakan.

Dalam pembangunan perumahan dan permukiman ini, Menpera (2008) telah menyatakan bahwa pembangunan perumahan secara formal, hanya dapat memasok 20 per sen dari permintaan. Ironisnya, dalam lingkup nasional, Anggaran Belanja Kemenpera 2010 untuk Deputy Formal dengan Deputy Swadaya, berbanding 3,5 : 1. Untuk lingkup Jakarta, sekalipun penelitian-penelitian rumah susun hampir tidak ada yang menghasilkan jawaban yang menguntungkan atau berhasil, namun pembangunan rumah susun berjalan terus, sedang apa yang diperkenalkan dengan nama MHT Plus, tidak mengesankan bertambahnya angka persediaan perumahan dan permukiman yang layak bagi kaum miskin.

Dalam rangka Penataan Ruang dan Keberlanjutan Kota, pembangunan skala besar selama asas pembangunan keberlanjutan menjadi acuan, maka modal sosial tetap diperlukan. Hasbullah (2006): “Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat gotong royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas, dan mengahalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk”. Lebih lanjut, Emil Salim (2003) menyatakan bahwa: terdapat 3 tumpuan pembangunan dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu modak social, modal ekonomi, dan modal alam/lingkungan. Ketiga-tiganya mempengaruhi kuantitas dan kualitas tingkat pembangunan berkelanjutan. Perbedaannya terletak dalam proses penggunaannya. Modal ekonomi dan modal lingkungan menipis jika dipakai. Tetapi modal sosial justru semakin bertambah, kuat,dan kaya jika digunakan.

11

Semua terpulang pada kemauan politik dan kebijakan publik. Namun peran masyarakat madani, di mana Perguruan Tinggi di dalamnya, harus lebih aktif dalam menyampaikan suara dan pendapat, sebagai anggota pemangku kepentingan.

14 JULI 2010

DAFTAR BACAAN

Damajanti, L 2002 Disertasi. Kehidupan Berorganisasi sebagai Modal Soaial Komunitas Jakarta. Program Studi FISIP U.I.

Darrundono. 1988. Pengaruh Pertambahan Penduduk terhadap Kualitas Hidup. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Indonesia

Dinas Perumahan 2009 Evaluasi Pembangnan Rumah Susun di Jakarta

Dye, R.T 1981 Understanding Public Policy. Inglewood Cliffs. Prentice Hall Inc. Fourth Edition

Hasbullah, J 2006 Social Capital. MR- United Press Jakarta

Kimm, P 1995 Mayors Asia Pacific: Environmental Summit. Hawaii

12

Lawang, R 2005 Social Capital-0

Lindfield, M.R. et al 2003 Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project. Manila. Asian Development Bank Project Report

Mark, Melvin et al 2000 Evaluation. San Francisco. Jossey Bass A Wiley Company

Salim, E 2003 Membangun Ilmu Pembangunan Berkelanjutan

Serageldin, I. 1994 Special Address on the Enabling Sustainable Community Development, The World Bank

Southwick, C.H. 1976 Ecology and the Quality of Our Environment, Van Nostrand Reinhold Company, New York

Taylor, J.L 1983 An Evaluation of Selected Impacts of Jakarta’s Kampung Improvement Program. Dissertatiom. Los Angeles, University of California

The Worl Bank 1997 World Bank Experience with the Provision of Infrastructure Services for Urban Poor; Preliminary Identification and Review of Best Practices

UN Habitat 2004 The State of the World

Wirutomo, Paulus 2000 The Concept of “TRIBINA” as a Community Empowerment Model: A Critical Review. Miscellany of Kampung Improvement Program

13

RIWAYAT HIDUP

Nama : DarrundonoTempat dan tanggal lahir : Solo, 29 Juli 1934

Pendidikan formal Sekolah Teknik Menengah Negeri - Jurusan Sipil, Yogyakarta S1 Arsitektur – Universitas Tarumanagara S2 Ilmu Lingkungan – Univ. Indonesia S3 Ilmu Lingkungan – Univ. Indonesia

Pelatihan City and Regional Planning. Cornell Unv. Ithaca, NY, USA Aerialphoto Interpretation on Urban Area Studies. ITC Delft, Holland Managing Urban Growth. Economic Development Institute. The World Bank,

Washington DC, USA Housing Policies for the Third World Countries. MIT, Cambridge, USA

Pekerjaan 1955-1969 Bag. Perkembangan Kota (embryo Dinas Tata Kota) DKI Jakarta 1969-1974 DPU DKI Jakarta

14

1974-1988 Penanggung Jawab Badan Pelaksanaa Pembangunan P. MHT 1988-1992 Direktur Teknik PD Pasar Jaya 1992-1996 Kepala Badan Pelaksana Lingkungan Pluit

Kegiatan akademis Dosen Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Eilayah dan Kota UniversitaTarumanagara

Kegiatan profesi Anggota Dewan Pakar Cendekiawan Lingkungan Indonesia Juri, Penilaian Kinerja Pemerintah Daerah dalam menangani permukiman

kumuh, Direktorat Jendral Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum

Penghargaan Aga Khan Award for Architecture 1980 Adiupaya Paritama – Menteri Negara Perumahan Rakyat RI 2009 PEMBINA –

Perbaikan Kualitas Perumahan dan Permukiman Tanda Kehormatan Satyalancana Tingkat III Presiden R.I. 1985 Surat Penghargaan Pemda DKI Jakarta – 17 tahun Surat Penghargaan Pemda DKI Jakarta – 27 tahun Surat Penghargaan Pemda DKI Jakarta – 30 tahun Surat Penghargaan Pemda DKI Jakarta – 35 tahun

15