makalah urbanisasi
-
Upload
andi-pajolloi-bate -
Category
Documents
-
view
393 -
download
33
Transcript of makalah urbanisasi
i
Halaman Sampul
JAKARTA DI TENGAH GEJOLAK
URBANISASI
(Sebuah Ironi)
Andi Pajolloi Bate (442 120 100 71)
Program Studi Public Relations
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Mercubuana
ii
KATA PENGANTAR
Jakarta sebagai ibukota Negara sekaligus kota megapolitan dihadapkan pada berbagai
masalah yang terbilang kompleks. Kriminalitas, kesenjangan sosial hingga pendidikan
yang tidak layak menjadi hal yang patut diperhatikan. Ketika menilik lebih jauh lagi, ada
satu sebab yang menjadikan Jakarta menjadi semakin rumit yaitu “Urbanisasi”. Ketidak
tahuan penduduk desa mengenai kondisi Jakarta yang sesungguhnya serta iming-iming
kehidupan yang lebih baik membuat mereka berbondong-bondong menapakkan kaki dan
beradu hidup di ibukota. Kesalahan tidak patut diarahkan kepada penduduk desa.
Kegagalan pemerintah dalam memajukan potensi desa serta kurangnya sosialisasi
harusnya menjadi bahan evaluasi bersama.
Dalam makalah ini penulis akan menggambarkan kondisi Ibukota Negara akibat
serbuan para “Urban” yang menggantungkan hidup di pundaknya. Selain itu, penulis juga
akan memaparkan berbagai sebab meningkatnya tingkat urbanisasi di Jakarta. Tidak lupa,
penulis memasukkan beberapa pendapat ahli-ahli yang dikutip dari beberapa buku.
Selanjutnya, puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya
kepada kita semua serta shalawat dan salam kepada junjungan nabi besar Muhammad
SAW. Kepada bapak Dr. Iskandar, terima kasih atas pengajaran dan masukannya, kepada
teman-teman yang telah memberi semangat dan petugas perpustakaan yang dengan ikhlas
membantu kami mendapatkan bahan referensi. Saran dan kritik yang membangun
tentunya kami harapkan dari seluruh pembaca demi kesempurnaan karya-karya kami
selanjutnya.
Jakarta, Oktober 2012
iii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ........................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii
1.1. LATAR BELAKANG .................................................................................................. 1
1.2. PERMASALAHAN ..................................................................................................... 3
1.3. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 4
1.3.1. Pengertian Desa ..................................................................................................... 4
1.3.2. Pengertian Kota ..................................................................................................... 4
1.3.3. Definisi Urbanisasi ................................................................................................ 4
1.3.4. Klasifikasi Kota ..................................................................................................... 6
1.3.5. Masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Perkotaan ................................................. 9
1.3.6. Perkembangan Urbanisasi ................................................................................... 10
1.4. PEMBAHASAN ......................................................................................................... 12
1.4.1. Faktor Terjadinya Urbanisasi .............................................................................. 12
1.4.1.1. Faktor Penarik (Pull-Factors) .......................................................................... 12
1.4.1.2 Faktor Pendorong (Push Factors)........................................................................ 12
1.4.2. Kenapa Jakarta?................................................................................................... 13
1.4.3. Kepadatan Penduduk Jakarta .............................................................................. 14
1.4.4. Pemaparan Data Mengenai Urbanisasi ............................................................... 16
iv
1.4.5. Dampak Urbanisasi Di Jakarta ............................................................................ 18
1.4.6. Persebaran Berbagai Etnis di Jakarta .................................................................. 22
1.5. PENUTUP .................................................................................................................. 23
1.5.1. Kesimpulan.......................................................................................................... 23
1.5.2. Saran .................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. iii
TENTANG PENULIS .............................................................................................................. v
1.1. LATAR BELAKANG
Kehidupan yang mudah, tranportasi berlimpah, rumah sakit dimana-mana, tempat
perbelanjaan berjejeran, pendidikan berkualitas serta banyaknya tempat rekreasi
merupakan sebagian kecil hal menggiurkan yang ditawarkan kota metro/megapolitan ini.
Meskipun fasilitas-fasilitas tersebut juga bisa didapatkan di kota-kota lain, namun
jumlahnya tidak sebanyak di kota Jakarta dan cara mendapatkannya tidak semudah di
kota Jakarta. Ditambah lagi dengan beraneka ragamnya jenis pekerjaan yang ditawarkan
semakin menggugah hati para “Wong Deso”=jawa “To Kampong”=Bugis untuk beradu
nasib di kota ini.
Hidup di Jakarta seperti halnya mengikuti ajang kompetisi. Ada yang kalah dan ada
yang menang. Penduduk Jakarta berlomba-lomba mengadu nasib di kota besar ini. Yang
menang akan “selamat” dan yang kalah akan “gugur”. Hal ini dapat dengan jelas kita
lihat dari kesenjangan sosial yang ada di kota Jakarta. Kalangan atas dan kalangan bawah
hidup berdampingan di kota besar ini.
Prijono Tjiptokerijanto (1996:53) mengatakan bahwa perkembangan urbanisasi di
Indonesia perlu diamati secara serius sebab banyak studi memperlihatkan bahwa tingkat
konsentrasi penduduk di kota-kota besar telah berkembang dengan pesat. Studi Warner
Ruts tahun 1987 (Karyoedi,1993) menunjukkan bahwa jumlah dari kota-kota kecil
(kurang dari 100.000 penduduk) sangat besar dibanding dengan kota menengah (500.000
sampai 1.000.000). kondisi ini mengakibatkan perpindahan penduduk menuju ke kota
besar cenderung tidak terkendali.
Antara periode 1971-1990 distribusi kota di Indonesia cenderung bergerak ke arah
sistem perkotaan yang terpadu dan tersebar. Pengembangan kota-kota di Indonesia
cenderung menciptakan daerah-daerah mega-urban. Beberapa contoh dari mega-urban di
Indonesia adalah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) (Prijono Tjiptoherijanto,
1996).
1.2. PERMASALAHAN
Perkembangan dan pembangunan yang tidak merata di Indonesia memicu terjadinya
migrasi penduduk ke kota kota besar. Kehidupan di kota kecil dan pedesaan tidak dapat
menjanjikan masa depan yang lebih baik bagi penduduknya. Benarkah demikian?
Apakah Jakarta benar-benar dapat memberikan yang mereka harapkan?
Meskipun beberapa kasus menunjukkan bahwa lebih banyak penduduk yang “gagal
bertarung” di kota ini dibandingkan yang berhasil, masih saja terlalu banyak orang yang
mencoba peruntungannya di Jakarta. dalam makalah ini kami mencoba menjawab
beberapa pertanyaan seputar Urbanisasi diantaranya:
- Apa yang menyebabkan Jakarta menjadi tujuan utama berurbanisasi?
- Bagaimana keadaan penduduk Jakarta pasca Urbanisasi?
- Apa akibat dari semakin banyaknya kaum urban yang menetap di Jakarta?
1.3. TINJAUAN PUSTAKA
1.3.1. Pengertian Desa
Prof. Drs. R. Bintarto (1983:11), Desa adalah suatu hasil perpaduan antara kegiatan
sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu ialah suatu wujud
atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial
ekonomi, politik dan kultural yang saling berinteraksi antarunsur tersebut dan juga dalam
hubungannya dengan daerah-daerah lain.
Sutardjo Kartohadikusumo (1953:2) dinyatakan bahwa: “Desa ialah suatu kesatuan
hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan
pemerintahan sendiri.
1.3.2. Pengertian Kota
Bintarto (1983:35), dari segi geografi, kota dapat diartikan sebagai suatu sistem
jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan
diwarnai denga strata sosial-ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis
atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur
alami dan nonalami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan
corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah
belakangnya.
1.3.3. Definisi Urbanisasi
Menurut Keban T. Y dalam Poungsomlee dan Ross (1992), urbanisasi merupakan
suatu gejala yang cenderung dilihat dari sisi demografis semata-mata, hal ini sebenarnya
kurang tepat karena urbanisasi dapat dilihat secara multidimensional. Disamping dimensi
demografis, urbanisasi juga dapat dilihat dari proses ekonomi politik (Drakakis-
Smith,1988), modernisasi (Schwab,1982) dan legal (administrasi).
Dilihat dari segi pendekatan demografis urbanisasi dapat diartikan sebagai proses
peningkatan konsentrasi penduduk diperkotaan sehingga proporsi penduduk yang tinggal
diperkotaan secara keseluruhan meningkat, dimana secara sederhana konsentrasi tersebut
dapat diukur dari proporsi penduduk yang tinggal diperkotaan, kecepatan perubahan
proporsi tersebut atau kadang-kadang perubahan jumlah pusat kota.
Dari pendekatan ekonomi politik, urbanisasi dapat didefinisikan sebagai transformasi
ekonomi dan sosial yang ditimbulkan sebagai akibat dari pengembangan dan ekspansi
kapitalisme (Drakikis-Smith,1988). Sedangkan dari konteks moderinisasi, urbanisasi
dapat dipandang sebagai perubahan dari orientasi tradisional ke orientasi modern tempat
terjadi difusi modal, teknologi, nilai-nilai, pengelolaan kelembagaan dan orientasi politik
dari dunia barat (kota) ke masyarakat tradisional (desa).
Eko A. Meinarno (2011:222) Urbanisasi adalah terkonsentrasinya manusia ke daerah
perkotaan. Banyak factor yang membuat berkumpulnya manusia dalam kota. Factor
tersebut antara lain karena adanya acara penting, kegiatan pertukaran, dan perdagangan.
Suatu kota akan mengalami perkembangan dalam beberapa tahap, Sjoberg menyebutkan
bahwa pada tahap awal dari kota adalah pemukiman yang dihuni oleh suatu kelompok
manusia yang relative homogeny (dalam Widianto, 1988)
1.3.4. Klasifikasi Kota
Gist, N.P & Halbert , L.A (dikutip dari buku Hadi Sabari Yunus, 2005)
mengungkapakan enam jenis kota atas dasar fungsinya, antara lain:
1) Kota sebagai pusat industry
Dalam kota ini, kegiatan industry merupakan kegiatan yang menonjol dibandingkan
dengan kegiatan-kegiatan bukan industry. Pengertian industry sendiri meluputi berbagai
jenis kegiatan, antara lain berdasarkan jenisnya (industry primer, industry sekunder dan
industry tersier) berdasarkan produksinya (industry kapal terbang, industry kapal laut,
mainan anak-anak dan lain-lain) dan masih banyak pengertian industry ini ditinjau dari
berbagai segi. Kadang-kadang sesuatu kota mempunyai sifat gabungan daripada jenis-
jenis industry tersebut, namun demikian kebanyakan hanya ada satu atau dua jenis
industry saja yang paling menonjol. Sebagai contoh, kota Detroit dengan industry
mobilnya, kota Bombay dengan industry tekstilnya, kota Dresden dengan industry
keramiknya, kota Johanesburg dengan industry intannya.
Kota-kota yang berada di Negara-negara yang sedang berkembang, biasanya kegiatan
industrinya yang menonjol adalah industry primer, seperti industry pertambangan,
industry penyulingan minyak, perikanan, atau industry yang berkaitan dengan
pengolahan kayu.
2) Kota berfungsi sebagai pusat perdagangan
Ditinjau dari kehidupan kotanya, sebenarnya setiap kota merupakan pusat
perdagangan. Namun demikian, tidaklah semua kota selalu ditandai atau diwarnai oleh
kegiatan perdagangan semata. Kota-kota perdagangan yang besar biasaya merupakan
kota-kota pelabuhan. Hal ini disebabkan karena kota yang bersangkutan mempunyai
kemungkinan beraktifitas jauh lebih besar daripada kota-kota lain yang bukan pelabuhan,
terutama ditinjau daripada pintu gerbang transportasinya. Oleh karena sampai saat ini
media transportasi yang besar adalah darat dan laut, maka bagi kota-kota yang
mempunyai potensi kearah pengembangan dua jenis transportasi tersebut mempunyai
potensi yang besar pula untuk maksud pengembangan kotanya ditinjau dari segi kegiatan
perdagangannya.
Contoh-contoh kota perdagangan besar yang bertaraf internasional antara lain: New
York, London, Rotterdam, Bombay, Hamburg, Napels, Hongkong dan lain sebagainya.
3) Kota berfungsi sebagai pusat politik
Sebelum Eropa Barat dilanda oleh apa yang dinamakan dengan revolusi industry,
sebenarnya kota-kota yang ada pada masa itu tidak lain merupakan kota-kota pusat
pemerintahan.
Keadaan ini memang sesuai dengan kondisi pada saat itu dimana pusat pemerintah,
pusat administrasi dan politik sesuatu Negara harus merupakan ibukota Negara yang
bersangkutan.
Hanya karena adanya perubahan situasi, berhubung dengan adanya penemuan-
penemuan baru di bidang teknologi sajalah maka beberapa kota yang semula merupakan
pusat kegiatan politik kemudian berubah menjadi kota-kota sebagai pusat perdagangan
dan industri. Namun demikian, peranannya sebagai pusat kegiatan politik pemerintahan
Negara masih nampak dengan jelas. Beberapa contoh yang dapat dikemukakan ialah kota
New Delhi di India, Kota Jakarta di Indonesia, Kota Bangkok di Thailand, Kota Canberra
di Australia dan lain sebagainya.
4) Kota berfungsi sebagai pusat kebudayaan
Dalam hal ini potensi kulturalnya kelihatan menonjol disbanding dengan fungsi-
fungsi lain yang ada. Dalam masa-masa silam, peranan masjid-masjid di dunia islam,
gereja-gereja di duniakristiani serta pusat-pusat kerajaan memegan peranan yang sangat
penting dalam kehidupan bernegara. Sebagai contoh adalah kota Mekkah sebagai kota
religious umat islam dan juga kota Roma bagi umat nasrani. Disamping itu dapat pula
sesuatu kota terkenal atau menonjol karena kegiatan pendidikannya, kebudayaan
khususnya seni. Sebagai contoh dapat dikemukakan ialah kota Yogyakarta, dapat
dianggap menonjol di bidang pendidikannya dan juga mengenai kegiatan kebudayaannya.
5) Kota berfungsi sebagai pusat rekreasi atau kesehatan
Suatu kota akan mempunyai fungsi sebagai tempat rekreasi ataupun kesehatan apabila
pada kota tersebut mempunyai kondisi-kondisi tertentu yang mempu menarik pendatang-
pendatang untuk menikmati kenikmatan tertentu yang ada pada kota tersebut. Adapun
mengenai kenikmatan ini dapat merupakan maksud-maksud penyembuhan.
6) Kota yang tidak mempunyai fungsi tertentu yang menonjol.
Kota-kota yang tidak mempunya fungsi tertentu yang menonjol, biasanya baru
merupakan kota-kota yang masih sangat muda/usia pertumbuhannya atau kota-kota kecil.
Oleh karena dalam sesuatu kota yang masih muda fungsi-fungsi yang ada belum
mengembangkan dirinya sedemikian rupa, maka berbagai fungsi yang ada masih
mempunyai pengaruh yang sama.
1.3.5. Masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Perkotaan
Soerjono Soekanto dalam (Sosiologi Suatu Pengantar:136) menyatakan bahwa dalam
masyarakat yang modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan dengan
masyarakat perkotaan (rural community) dan urban community. Perbedaan tersebut
sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana karena
dalam masyarakat modern, betapapun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh
dari kota. Sebaliknya pada masyarakat bersahaja pengaruh dari kota secara relatif tidak
ada.
Antara warga masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan terdapat perbedaan
dalam perhatian, khususnya terhadap keperluan hidup. Di desa yang diutamakan adalah
perhatian khusus terhadap keperluan utama kehidupan, hubungan-hubungan untuk
memerhatikan fungsi pakaian, makanan, rumah, dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan
orang kota yang mempunyai pandangan berbeda. Orang kota sudah memandang
penggunaan kebutuhan hidup, sehubungan dengan pandangan masyarakat sekitarnya.
Kalau menghidangkan makanan misalnya, yang diutamakan adalah makanan yang
dihidangkan tersebut member kesan bahwa yang menghidangkannya mempunyai
kedudukan sosial yang tinggi. Bila ada tamu, diusahakan untuk menghidangkan makanan
dalam kaleng. Pada orang-orang desa, hal itu tidak dipedulikan; mereka masak makanan
sendiri tanpa memperdulikan apakah tamunya suka atau tidak. Disini terlihat perbedaan
penilaian; orang desa menilai makanan sebagai suatu alat untuk memenuhi kebutuhan
biologis, sedangkan pada orang kota, makanan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan
sosial.
Sosiolog Robert Park (1950 dalam Macionism 2006) dari Universitas Chicago,
menyebutkan bahwa di daerah perkotaan ada daerah-daerah tertentu yang dihuni oelh
kelompok-kelompok etnis tertentu. Ia menyebutkan jika berjalan kaki, maka akan terasa
perubahan dan perbedaan pada bagian bagian-bagian kota yang membentuk mozaik. Ada
bagian kota yang dihuni kelompok tertentu, ada yang menjadi pusat komersial, dan ada
yang dipakai untuk daerah industry, baginya kota adalah organism hidup.
1.3.6. Perkembangan Urbanisasi
Drs. Paulus Hariyono, M.T (2007 : 102) Pada masa industri, kota diwarnai dengan
proses Urbanisasi yang mengakibatkan kebisingan dan nilai lahan menjadi tinggi karena
terjadi kepadatan penduduk. Kondisi ini mendorongf sebagian penduduk kota menempati
daerah pinggiran kota sebagai tempat tinggal. Proses berpindahnya penduduk ke
pinggiran kota disebut dengan suburbanisasi. Suburbanisasi biasanya dilakukan oleh
penduduk yang berstatus social ekonomi menengah ke atas. Mereka mencari akwasan
yang strategis sebagai tempat tinggal. Kawasan yang dianggap strategis adlah kawasan
yang aman, nyaman dan aman lingkungannya, kawasan yang indah pemandangannya
dan kawasan yang pada masa akan dating memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Pada perkembangannya , di kota yang padat terpikirkan juga penyediaan suatu tempat
tinggal yang eklusif, misalkan apartement. Apartement ini dianggap lebih efisien, praktis,
privat dan mendatangkan rasa gengsi tersendiri, sehingga menarik masyarakat kelas atas
untuk tinggal kembali di posat kota. Proses menempati kembali pusat-pusat kota oleh
penduduk disebut reurbanisasi
Pada tahap selanjutnyadengan meningkatnya taraf kehidupan yang lebih tinggi,
masyarakat kelas atas kembali membutuhkan tempat tinggal kenyamanannya lebih tinggi
pula. Mereka membangun villa di pegunungan yang berhawa sejuk, tetapi tetap aktivitas-
aktivitas dilakukan di pusat kota dan ahanya hari libur mereke beristirahat di Villa. Proses
berpindahnya penduduk kota ke luar kota disebut konurbanisasi. Biasanya proses
konurbanisasi ini melahirkan kegiatan lain yang mengikutinya disepanajnag jalan menuju
daerah penyangga seperti rumah makan, hotel atau penginapan, tempat rekreasi dan
tempat kesehatan.
1.4. PEMBAHASAN
1.4.1. Faktor Terjadinya Urbanisasi
1.4.1.1. Faktor Penarik (Pull-Factors)
Orang desa tertarik ke kota adalah suatu yang lumrah yang sebab-sebabnya bagi
individu atau kelompok mungkin berbeda satu sama lain dilihat dari kepentingan individu
tadi. Beberapa alasan yang menarik mereka pindah ke kota diantaranya adalah:
1. Melanjutkan sekolah, karena di desa tidak ada fasilitasnya atau mutu kurang
2. Pengaruh cerita orang, bahwa hidup di kota gampang cari pekerjaan, atau
mudahnya membuka usaha kecil-kecilan
3. Tingkat upah di kota yang lebih tinggi
4. Keamanan di kota lebih terjamin
5. Hiburan lebih banyak
6. Kebebasan pribadi lebih luas
7. Adat atau agama lebih longgar
1.4.1.2 Faktor Pendorong (Push Factors)
Di sisi lain kota mempunyai daya tarik, di pihak lain keadaan tingkat hidup di desa
umumnya mempercepat proses urbanisasi tersebut, hal ini menjadi faktor pendorong
tumbulnya urbanisasi. Faktor pendorong yang dimaksud diantaranya adalah:
1. Keadaan desa yang umumnya mempunyai kehidupan yang statis
2. Keadaan kemiskinan desa yang seakan-akan abadi
3. Lapangan kerja yang hampir tidak ada
4. Pendapatan yang rendah
5. Keamanan yang kurang
6. Adat istiadat yang ketat
7. Kurang fasilitas pendidikan
1.4.2. Kenapa Jakarta?
Jakarta selain berkedudukan sebagai Ibukota, juga dikenal menjadi pusat industri,
pusat perekonomian serta pusat perdagangan yang dimana memberikan banyak lapangan
kerja. Inilah salah satu yang menyebabkan meningkatnya perpindahan penduduk dari
desa ke kota Jakarta dari tahun ke tahun, selain itu masih ada lagi penyebab – penyebab
lain yang membuat para penduduk desa bermigrasi dari daerahnya ke kota, yang dapat di
klasifikasikan sebagai berikut:
1) Alasan Politik/Politis
Kedudukan Jakarta sebagai ibukota Negara sekaligus pusat pemertintahan
mengundang banyak pihak untuk datang dan mencoba mengambil posisi di salah
satu instansi pemerintahan.
2) Alasan sosial kemasyarakatan
Jakarta juga dikenal sebagai penghasil cendekiawan-cendekiawan karena
banyaknya tempat-tempat pendidikan yang tersebar di sehingga menarik hati para
penduduk desa untuk belajar di kota ini.
3) Alasan Ekonomi
Orang-orang miskin yang mencoba peruntungannya di Jakarta berpendapat bahwa
Jakarta merupakan lahan segar bagi peningkatan taraf hidup mereka dengan dasar
data yang menyatakan bahwa 70% uang yang beredar di Indonesia berasal dari
Jakarta.
1.4.3. Kepadatan Penduduk Jakarta
Dengan luas wilayah Indonesia yang sekitar 1.910.931 km2, maka rata-rata tingkat
kepadatan penduduk Indonesia adalah sebesar 124 orang per km2. Provinsi yang paling
tinggi kepadatan penduduknya adalah Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 14.440 orang
per km2. Sementara itu, provinsi yang paling rendah tingkat kepadatan penduduknya
adalah Provinsi Papua Barat, yaitu sebesar 8 orang per km2.
Data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta menunjukkan laju pertumbuhan penduduk dari
2000 hingga 2010 di Ibukota mencapai 1,40 persen per tahun Persentase ini jauh lebih tinggi
ketimbang laju pertumbuhan dari 1990 hingga 2000 yang cuma 0,17 persen per tahun. "Kalau
laju ini tidak dikendalikan, pada 2020 Jakarta berpotensi mengalami ledakan penduduk
1.4.4. Pemaparan Data Mengenai Urbanisasi
Tabel 3.8 menyajikan tingkat urbanisasi per provinsi dari tahun 2000 sampai dengan
2025. Untuk Indonesia, tingkat urbanisasi diproyeksikan sudah mencapai 68 persen pada
tahun 2025. Untuk beberapa provinsi, terutama provinsi di Jawa dan Bali, tingkat
urbanisasinya sudah lebih tinggi dari Indonesia secara total. Tingkat urbanisasi di empat
provinsi di Jawa pada tahun 2025 sudah di atas 80 persen, yaitu di DKI Jakarta, Jawa
Barat, DI Yogyakarta, dan Banten.
No. Propinsi 2000 2005 2010 2015 2020 2025
1. NAD 23.6 28.8 34.3 39.7 44.9 49.9
2. Sumatera Utara 42.4 46.1 50.1 54.4 58.8 63.5
3. Sumatera Barat 29.0 34.3 39.8 45.3 50.6 55.6
4 Riau 43.7 50.4 56.6 62.1 66.9 71.1
5 Jambi 28.3 32.4 36.5 40.6 44.5 48.4
6 Sumsel 34.4 38.7 42.9 47.0 50.9 54.6
7 Bengkulu 29.4 35.2 41.0 46.5 51.7 56.5
8 Lampung 21.0 27.0 33.3 39.8 46.2 52.2
9 Kep. Babel 43.0 47.8 52.2 56.5 60.3 63.9
10 DKI Jakarta 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
11 Jawa Barat 50.3 58.8 66.2 72.4 77.4 81.4
12 Jawa Tengah 40.4 48.6 56.2 63.1 68.9 73.8
13 DI. Yogyakarta 57.6 64.3 70.2 75.2 79.3 82.8
14 Jawa Timur 40.9 48.9 56.5 63.1 68.9 73.7
15 Banten 52.2 60.2 67.2 73.0 77.7 81.5
16 Bali 49.7 57.7 64.7 70.7 75.6 79.6
17 NTB 34.8 41.9 48.8 55.2 61.0 66.0
18 NTT 15.4 18.0 20.7 23.5 26.4 29.3
19 Kalbar 24.9 27.8 31.1 34.8 39.0 43.7
20 Kalteng 27.5 34.0 40.7 47.2 53.3 58.8
21 Kalsel 36.2 41.5 46.7 51.6 56.3 60.6
22 Kaltim 57.7 62.2 66.2 69.9 73.1 75.9
23 Sulut 36.6 43.4 49.8 55.7 61.1 65.7
24 Sulteng 19.3 21.0 22.9 24.9 27.3 29.9
25 Sulsel 29.4 32.2 35.3 38.8 42.6 47.7
26 Sultra 20.8 23.0 25.6 28.5 31.8 35.5
27 Gorontalo 25.4 31.3 37.0 42.8 48.2 53.2
28 Maluku 25.3 26.1 26.9 27.9 28.8 29.9
29 Maluku Utara 28.9 29.7 30.6 31.5 32.5 33.6
30 Papua 22.2 22.8 23.5 24.3 25.1 26.0
Pertumbuhan penduduk di perkotaan di satu sisi, menyebabkan pertumbuhan
penduduk perdesaan mengalami stagnasi dan bahkan di beberapa wilayah kecenderungan
menurun. Hal ini juga menunjukkan adanya perubahan masyarakat perdesaan yang telah
menjadi perkotaan. Data menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk di perkotaan
jauh di atas laju pertumbuhan penduduk di daerah perdesaan. Pada tahun 1990,
persentase penduduk perkotaan baru mencapai 31 persen dari total penduduk Indonesia.
Namun tahun 2000 lalu telah mencapai 42 persen, dan diperoyeksikan pada tahun 2025,
keadaannya berbalik, yaitu perkotaan berpenduduk 57 persen dan perdesaan 43 persen.
Hal ini juga ditunjukkan dengan perbandingan kecepatan pertumbuhan penduduk
perkotaan dan perdesaan yang semakin besar, yaitu dari 6:1 menjadi 14:1.
1.4.5. Dampak Urbanisasi Di Jakarta
a) Kompetisi sangat tinggi
Semakin besar ukuran kota tersebut, sangat dimungkinkan bahwa persaingan antar
pekerja akan lebih tinggi (sehingga kualitas juga meningkat). Kota DKI Jakarta sendiri
memiliki luas 740 km2, paling luas dari kota-kota lain di Indonesia, bahkan ditingkat Asia
sendiri. Namun perlu diingat, pengaruh agglomerasi ekonomi telah menyebabkan biaya
hidup, transportasi, sewa lahan, dan lain sebagainya di DKI Jakarta yang berukuran
sangat luas ini, menjadi semakin tinggi dibanding kota-kota lainnya.
Bagi pendatang yang termasuk skilled workers, Jakarta memiliki potensi yang besar
untuk menangguk rupiah. Namun sebaliknya, tanpa skill yang cukup, Jakarta akan
menjelma menjadi momok bagi para pendatang ini sehingga dampaknya kita dapat lihat
adanya pemukiman-pemukiman miskin di dalam kota metropolitan yang besar ini. Secara
otomatis persaingan di ibukota ini menjadi sangat tinggi.
b) Peningkatan Land Rents
Lahan, pada dasarnya tidak diciptakan, namun tersedia. Dengan semakin
berkurangnya lahan maka dapat dipastikan nilainya akan meningkat. Karena itu
keterbatasan lahan diruang perkotaan menjadi isu yang sangat kritis. Lahan bagi
perkantoran, parkir, sarana umum, infrastruktur dan lain sebagainya mutlak dibutuhkan,
yang jika dikaitkan dengan nilainya, tentunya ada kompensasi yang harus dibayarkan
terkait dengan ketersediaannya. Proporsi luas lahan terbangun di DKI melonjak tajam
sejak 20 tahun terakhir. Jakarta Selatan yang dulu merupakan daerah resapan air,
misalnya, kini menjadi wilayah permukiman yang padat dengan proporsi luas lahan lebih
dari 70 persen. Di DKI Jakarta, harga sewa dan nilai pasarnya sangat dipengaruhi oleh
aksesibilitasnya, dalam artian jarak dan kemudahan sarananya. Hal ini berdampak kepada
proses transisi perusahaan-perusahaan untuk memilih merelokasi kantornya menjauhi
pusat distrik bisnis sehingga harus mengeluarkan kompensasi yang lebih besar atas jarak
tempuhnya, dengan mempertimbangkan juga harga sewa dan nilai pasarnya dari lokasi
kantor yang jauh dari pusat distrik bisnis tersebut. Di DKI Jakarta, besarnya kompensasi
dari jarak dan harga ini disiasati dengan perencanaan bangunan vertikal, seperti
membangun office building. Selain itu, kompensasi atas peningkatan harga sewa lahan di
DKI jakarta, telah memaksa para pekerja profesional kelas menengah dan atas yang
berkantor di pusat Kota untuk tinggal di kawasan pinggir kota Jakarta untuk menghindari
kemacetan perkotaan. Kawasan penyangga kota Jakarta menjadi sangat berkembang
untuk mendukung perkembangan Jakarta. Bahkan menciptakan kota-kota satelit maju
seperti Bekasi, Serpong, Depok, dan Bogor.
c) Urban Transportation
Transportasi perkotaan dipengaruhi oleh pola penggunaan lahan dan jumlah migran
itu sendiri. Sebagai tulang punggung pergerakan dan berjalannya berbagai sektor
perekonomian perkotaan, terhambatnya dukungan transportasi akan menghasilkan
berbagai turunan masalah yang dirasakan secara langsung oleh pembangunan yang
sedang dilakukan di berbagai sektor, seperti inefisiensi waktu tempuh untuk produksi,
inefisiensi bahan bakar, polusi udara & kebisingan, dampak fisik lingkungan, dsb.
Masalah transportasi di DKI Jakarta sendiri merupakan buah dari implementasi
perencanaan inkremental dan politis dalam penataan ruang yang tidak sepenuhnya
mengikuti koridor yang ditetapkan dalam perencanaan komprehensif (induk), padahal
transportasi merupakan kunci menyelesaikan masalah perkotaan di Jakarta. Untuk itu
pengelolaan jaringan transportasi yang link and match antar moda dan pembangunan
sarana transportasi harus memiliki pola yang regional based tidak corridor based
sehingga penduduk akan dapat berinteraksi dengan mudah dan nyaman, hal ini nantinya
akan berbuah pada produktivitas yang tinggi dari sebuah kota. Berdasarkan data statistik
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pada Februari 2009, jumlah penduduk bekerja pada
sektor Tersier tercatat 3.354,19 ribu orang, sedangkan layanan perkotaan misalnya sistem
transportasi belum memadai, akibatnya pertumbuhan jumlah kendaraan di DKI Jakarta
mencapai 11% per tahun, sedangkan pertumbuhan panjang jalan kurang dari 1% per
tahun, mengingat saat ini jumlah kendaraan bermotor di jakarta mencapai 11,5 juta unit
dan jumlah perjalanan kendaraan setiap harinya mencapai 20 juta perjalanan, maka rasio
jumlah kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum adalah 92% (kendaraan
pribadi) banding 8% kendaraan umum. Dengan demikian terdapat kesetidakseimbangan
antara jumlah pekerja dengan daya dukung kota (utilitas) Kota DKI Jakarta.
Pemandangan kemacetan menjadi tontonan setiap hari tidak peduli hari kerja ataupun
hari libur. Oleh karena itu banyak orang mencoba mengalihkan jam kegiatan mereka
menjadi lebih panjang dengan harapan agar tidak ikut terjebak dalam kemacetan. Banyak
kegiatan yang mereka lakukan sebelum pulang ke rumah seperti berolahraga, berisrirahat,
sosialisasi di mal-mal dan bahkan bekerja lebih panjang dari seharusnya.
d) Polusi Dan Limbah
Jakarta merupakan kota penghasil limbah yang sangat besar. Dengan jumlah
penduduk mencapai lebih dari 12 juta jiwa pada pada jam kerja. Akibatnya sampah
menjadi permasalahan yang cukup kompleks mengingat tata perencanaan kota Jakarta
yang kurang baik. Impaknya sangat signifikan. Dalam 10 tahun terakhir, pemekaran
lahan yang sangat tinggi dan manajemen drainase dan sampah yang buruk menjadi
penyebab utama banjir dan genangan air di Jakarta. Hampir setiap saat hujan deras
melanda, Jakarta akan dipastikan memiliki beberapa lokasi yang tergenang air dan
menjadi penyebab kemacetan parah di seluruh jakarta. Selain itu air tanah yang sedari
awalnya mendukung kehidupan masyarakat Jakarta, kini kondisinya memprihatinkan
dikarenakan daya serap yang minim sedangkan tingkat konsumsinya sangat tinggi karena
penduduk yang padat. Akibatnya masyarakat harus mulai beralih ke perusahaan penyedia
air bersih. Udara yang terpolutan sebagai efek dari manajemen sarana transportasi yang
buruk juga menyebabkan menurunnya tingkat kesehatan masyarakat Jakarta sehingga
biaya masyarakat menjadi tinggi untuk berobat yang akhirnya meningkatkan biaya hidup
di Jakarta.
1.4.6. Persebaran Berbagai Etnis di Jakarta
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
30.00%
35.00%
40.00%
35.16%
27.65%
15.27%
5.53%3.61% 3.18%
1.62%0.59% 0.57% 0.25% 0.10%
6.47%
Persebaran Etnis di Jakarta
Jawa
Betawi
Sunda
Tionghoa
Batak
Minagkabau
Melayu
Bugis
Madura
Banten
Banjar
Suku Lainnya
1.5. PENUTUP
1.5.1. Kesimpulan
Berdasarkan berbagai data yang dihimpun penulis dari berbagai sumber yang dapat
dipertanggung jawabkan dapat disimpulkan beberapa hal berikut, antara lain:
1. Jakarta merupakan kota megapolitan yang menjadi sasaran utama bagi para urban
untuk beradu hidup.
2. Ekonomi, sosial kemasyarakatan, serta politis menjadi faktor penarik tingginya
tingkat Urbansisasi ke Jakarta.
3. Ketidakmerataan pembangunan di Indonesia terutama di daerah-daerah terpencil
menjadi faktor pendorong tingginya urbanisasi.
4. Kompetisi yang ketat, ketersediaan lahan berkurang, transportasi massa
berantakan, polusi dan limbah serta kemiskinan menjadi dampak yang
ditimbulkan dari urbanisasi yang tidak terkendali.
1.5.2. Saran
Setelah mendalami secara seksama berbagai dampak yang ditimbulkan oleh
urbanisasi, maka penulis menyarankan agar pemerintah mengambil langkah-langkah
strategis guna menekan laju urbanisasi oleh penduduk desa terutama ke Jakarta. cara
terbaik adalah dengan melakukan pemerataan pembangunan di setiap desa, memperlebar
jalur masuknya informasi serta sosialisasi yang berkesinambungan kepada setiap
penduduk desa mengenai kondisi ibukota yang sebenarnya.
Bintarto (1983) dalam bukunya “Interaksi desa-kota dan permasalahannya”
menekankan perlunya modernisasi desa dengan tujuan:
1) Modernisasi dapat memberi gairah dan semangat hidup baru serta menghilangkan
monotomi dari kehidupan di desa, sehingga warga desa tidak akan merasa jenuh
dengan lingkungan hidupnya.
2) Modernisasi desa dapat meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi warga desa,
sehingga dapat menahan arus urbanisasi.
3) Modernisasi yang berarti suatu usaha meningkatkan bidang pendidikan secara
merata, sehingga akan dapat mengurangi arus pelajar ke kota dan tenaga terdidik
akan tetap tinggal di desa membimbing warga desa lain yang belum maju.
4) Modernisasi di bidang pengangkutan akan secara berangsur menghilangkan sifat
isolasi desa.
5) Modernisasi merupakan tumpuan bagi pengembangan teknologi pedesaan dan
dalam proses pengembangannya warga desa dapat diikutsertakan.
iii
DAFTAR PUSTAKA
Yunus, Hadi Sabari (2005). Klasifikasi Kota. Yogyakarta. Penerbit Pustaka Pelajar.
Bintaro, Prof. Drs. R (1983). Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Yogyakarta.
Penerbit Balai Aksara.
Tjiptoherijanti, Prijono (1996). Migrasi Urbanisasi dan Pasar Kerja di Indonesia. Jakarta.
Penerbit Universitas Indonesia.
Evers, Hans Dieter (1979). Sosiologi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di
Indonesia dan Malaysia. Jakarta. Penerbit PT. Pustaka LP3ES Indonesia.
Soekanto, Soerjono (2007). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. PT. RajaGrafindo
Persada.
Meinarno, Eko A, dkk (2011). Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat, pandangan
antropologi dan sosiologi. Jakarta. Penerbit Salemba Humanika.
Widianto, Bambang (1988). Prioritas Perbaikan Lingkungan dan Tanggapan Penduduk
Pemukiman Padat: sebuah penerapan model pemantauan lingkungan.
Macionis, John C. (2006). Society. The Basics. New Jersey: PearsonEducation Inc.
Hariyono, Paulus (2007). Sosiologi Kota Untuk Arsitek. Jakarta. PT Bumi Aksara
BPS (2010). Data statistik penduduk 2010. From: www.bps.go.id/ 21 Oktober 2012
iv
Kompasiana (2012). Jakarta Bukan Monopoli Betawi. From
http://politik.kompasiana.com/2012/04/20/jakarta-bukan-monopoli-betawi/ 20 Oktober
2012
Anca 45 (2011) Urbanisasi, Dampak dan Strategi. From: http://anca45-kumpulan-
makalah.blogspot.com/2011/11/urbanisasi-dampak-dan-strategi.html/ 20 Oktober 2012
Tempo (2010) Tingkat Urbanisasi Empat Kota di Pulau Jawa. From:
http://www.tempo.co/read/news/2010/07/23/090265865/Tingkat-Urbanisasi-Empat-Kota-
di-Pulau-Jawa-80-Persen-2025/ 20 Oktober 2012
Febry (2009) Budaya Urbanisasi Masyarakat Luar Jakarta. From:
http://febrydhwylngrm.blogspot.com/2009/12/budaya-urbanisasi-masyarakat-luar.html/
20 Oktober 2012
Id. Shvoong (2012) Faktor-faktor yang Menyebabkan Urbanisasi. From:
http://id.shvoong.com/social-sciences/1999256-faktor-faktor-yang-menyebabkan-
urbanisasi/ 21 Oktober 2012
Ahmad, Zahir (2010) Jakarta dan Urbanisasi. From:
http://zahirahmad.wordpress.com/2010/10/03/jakarta-dan-urbanisasi/ 21 Oktober 2012
v
TENTANG PENULIS
Andi Pajolloi Bate lahir di Watampone, kota indah penuh cerita pada 3 Juni 1994.
Anak ke 3 dari 6 bersaudara buah cinta dari pasangan Drs. A. Mallanti, M.Si dan A. Nur
Erni, S.Pd. Hidup bahagia bersama 5 saudaranya Andi Srimuliati Bate, Andi Julia Lestari
Bate, Andi Nila Reskiani Bate, Andi Muhammad Farid Fauzan Bate, dan Andi Nurul
Istiqamah Bate.
Menyelesaikan pendidikan di SDN 22 Jeppe’e, SMPN 4 Watampone, dan SMAN
2 Watampone. Saat ini ia tengah menempuh pendidikan tinggi di Universitas Mercu
Buana, Jakarta sebagai penerima beasiswa penuh 4 tahun. Ia aktif dalam berbagai
organisasi, antara lain: Ketua Umum OSIS SMPN 4 Watampone 2007-2009, Ketua
Umum OSIS SMAN 2 Watampone 2010/2011, Ketua Umum Keluarga Pelajar Wija To
Bone 2011/2012. Saat ini tengah aktif dalam UKM Islam Al-Faruq Mercu Buana serta
Mercu Buana English Club.
Anak yang gemar membaca dan menulis ini bercita-cita menjadi seorang
diplomat, motivator, entrepreneur, dan pakar komukasi. Menurutnya, masalah terbesar
vi
bangsa ini adalah konflik horizontal yang terus terjadi karena begitu banyaknya
komunikasi yang tidak efektif. Saatnya menyuarakan Indonesia menuju perubahan yang
lebih baik. Berempati, jujur, dan mau bekerja are the real keys.
Penulis bisa dihubungi di HP: 085 399 873 870, FB: “Galileo Galiloi”, dan
Twitter: @andiloi.