V. DETERMINAN PENDIDIKAN DASAR signifikan memengaruhi partisipasi anak usia SD dan SMP di Sulawesi...

18
V. DETERMINAN PENDIDIKAN DASAR 5.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendidikan Dasar secara Regional Penelitian ini menggunakan model regresi data panel untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap output pendidikan dasar secara regional. Output pendidikan yang dipakai sebagai indikator adalah banyaknya anak usia sekolah yang masih bersekolah ditiap kabupaten/kota di Sulawesi Utara. Model ini menggunakan data sekunder dari BPS, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Departemen Keuangan. Data yang dianalisis meliputi 13 wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Utara selama tahun 2008-2010. Terdapat keterbatasan data pada kabupaten baru hasil pemekaran (Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur), masih bergabung dengan kabupaten induknya. Model dibuat dalam dua model yaitu model untuk sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Sebelum melakukan estimasi maka perlu dilakukan pemilihan model regresi. Pengujian kesesuaian model yang dilakukan pertama kali dalam penelitian ini adalah pengujian dengan metode Chow test. Proses ini dilakukan dengan membandingkan pooled model dengan fixed effects model. Selanjutnya dilakukan uji Hausman untuk membandingkan antara fixed effects model dengan random effect model. Hasil uji Chow dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2 Hasil pengujian terhadap model SD dan SMP memperoleh nilai F statistik sebesar 16,99 dan 6,08 dengan nilai p-value sebesar 0,000 dan 0,0003. Kesimpulan yang diambil adalah menolak Ho pada taraf α = 1 persen, atau terdapat heterogenitas individu pada model. Jika dalam model terdapat heterogenitas individu maka fixed effects model akan memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan pooled model. Proses selanjutnya yaitu membandingkan antara fixed effects model dan random effects model. Untuk memastikan model terbaik yang akan digunakan dalam estimasi persamaan ini maka dilakukan uji Hausman. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan derajat bebas sebanyak jumlah peubah bebas dalam persamaan. Hasil uji Hausman untuk model SD dan SMP (Lampiran 1 dan 2) sama-sama menunjukkan nilai p-value lebih besar dari nilai

Transcript of V. DETERMINAN PENDIDIKAN DASAR signifikan memengaruhi partisipasi anak usia SD dan SMP di Sulawesi...

V. DETERMINAN PENDIDIKAN DASAR

5.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendidikan Dasar secara Regional

Penelitian ini menggunakan model regresi data panel untuk mengetahui

faktor-faktor yang berpengaruh terhadap output pendidikan dasar secara regional.

Output pendidikan yang dipakai sebagai indikator adalah banyaknya anak usia

sekolah yang masih bersekolah ditiap kabupaten/kota di Sulawesi Utara. Model

ini menggunakan data sekunder dari BPS, Kementrian Pendidikan dan

Kebudayaan, dan Departemen Keuangan. Data yang dianalisis meliputi 13

wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Utara selama tahun 2008-2010.

Terdapat keterbatasan data pada kabupaten baru hasil pemekaran (Kabupaten

Bolaang Mongondow Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur), masih

bergabung dengan kabupaten induknya. Model dibuat dalam dua model yaitu

model untuk sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP).

Sebelum melakukan estimasi maka perlu dilakukan pemilihan model

regresi. Pengujian kesesuaian model yang dilakukan pertama kali dalam penelitian

ini adalah pengujian dengan metode Chow test. Proses ini dilakukan dengan

membandingkan pooled model dengan fixed effects model. Selanjutnya dilakukan

uji Hausman untuk membandingkan antara fixed effects model dengan random

effect model.

Hasil uji Chow dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2 Hasil pengujian

terhadap model SD dan SMP memperoleh nilai F statistik sebesar 16,99 dan 6,08

dengan nilai p-value sebesar 0,000 dan 0,0003. Kesimpulan yang diambil adalah

menolak Ho pada taraf α = 1 persen, atau terdapat heterogenitas individu pada

model. Jika dalam model terdapat heterogenitas individu maka fixed effects model

akan memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan pooled model.

Proses selanjutnya yaitu membandingkan antara fixed effects model dan

random effects model. Untuk memastikan model terbaik yang akan digunakan

dalam estimasi persamaan ini maka dilakukan uji Hausman. Statistik uji Hausman

mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan derajat bebas sebanyak jumlah

peubah bebas dalam persamaan. Hasil uji Hausman untuk model SD dan SMP

(Lampiran 1 dan 2) sama-sama menunjukkan nilai p-value lebih besar dari nilai

56

χ2. Artinya menolak Ho dan menerima H1. Hal ini berarti fixed effects model lebih

sesuai digunakan daripada random effects model.

Untuk model partisipasi SD, pengujian berbagai asumsi dasar dilakukan

terhadap metode FEM sebagai model terpilih dilakukan untuk memperoleh hasil

estimasi yang BLUE (best linear unbiased estimator), khususnya uji autokorelasi

dan uji homoskedastisitas. Berdasarkan hasil uji Durbin-Watson (DW) diperoleh

nilai DW sebesar 3,19 yang artinya terjadi autokorelasi pada model.

Sementara itu, dengan jumlah kuadrat residual (sum square residual) pada

weighted statistics lebih kecil daripada unweighted statistics maka terdapat

pelanggaran asumsi homoskedastisitas pada model. Permasalahan

heteroskedastisitas dan autokorelasi pada model akan mempengaruhi perkiraan

nilai parameter. Hal ini disebabkan model tidak akan memenuhi sifat BLUE (Best

Linear Unbiased Estimate). Oleh karena itu, agar nilai parameter dari model

terpilih memenuhi sifat BLUE, maka dilakukan modifikasi model dengan

menggunakan pendekatan Generalized Least Square (Greene, 2002). Berdasarkan

model modifikasi ini berarti telah dilakukan koreksi atas permasalahan

heteroskedastisitas, contemporaneously correlated across panel, and first order

autokorelasi.

Untuk model partisipasi SMP, dengan melakukan langkah yang sama

seperti pada model partisipasi SD, model terpilih adalah FEM yang mengandung

autokorelasi dan heteroskedastisitas. Kemudian model dimodifikasi menggunakan

pendekatan Generalized Least Square. Hasil estimasi kedua model ada pada Tabel

13. Dari uji signifikansi model terlihat bahwa variabel-variabel input secara

bersama-sama memengaruhi tingkat partisipasi sekolah. Faktor input pendidikan

dasar secara garis besar yaitu faktor pengeluaran pemerintah, faktor sosial

ekonomi dan faktor ketersediaan sarana pendidikan sebagai basic input

pendidikan (Glewwe, 2002).

Pada model partisipasi sekolah usia SD, faktor yang tidak signifikan

memengaruhi partisipasi sekolah usia SD adalah pengeluaran riil pendidikan

dasar, kemiskinan, dan rasio murid dan guru. Sedangkan pada model partisipasi

SMP hanya faktor kemiskinan yang tidak signifikan. Hal itu ditunjukkan dengan

nilai probabilitas yang lebih besar dari taraf nyata (α) 10 persen.

57

Tabel 10 Rekapitulasi Hasil Estimasi Koefisien Parameter FEM dengan GLS

Weighted

Independent Variable SD SMP

Faktor Pengeluaran Pemerintah

LOG(BOS_SD) 0,280798*** -

LOG(BOS_SMP) - 0,451934***

LOG(J_RIIL_DIKDAS) -0,024855 0,054947***

Faktor Sosial Ekonomi

LOG(PDRBKAP) -1,9189*** -4,700662***

KRT_ATASSD 0,01104** 0,032103***

ART_5 0,009961*** 0,020734***

P0 -0,009711 -0,014387

Faktor Ketersediaan Sarana Pendidikan

LOG(R_MG_SD) 0,085718 -

LOG(R_MS_SD) -0,716215** -

LOG(R_MG_SMP) - 0,182066***

LOG(R_MS_SMP) - -0,292969**

C 9,838093 4,940527

R-squared 0,999349 0,993656

Adjusted R-squared 0,998626 0,986607

F-statistic 1382,389 140,9676

Prob(F-statistic) 0,00 0,00

Durbin-Watson stat 2,897743 2,796701

Ket : *** :signifikan pada α 1%; ** :signifikan pada α 5%;*

:signifikan pada α 10%

Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan berbangsa

dan bernegara adalah ” mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tujuan ini hanya akan

dapat dicapai melalui pendidikan, oleh karena itu pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1

dinyatakan bahwa: setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan

kemudian dalam ayat 2 ditegaskan, setiap warga negara wajib mengikuti

pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Oleh karena itu,

pemerintah wajib menganggarkan pengeluaran untuk pendidikan dasar.

Salah satu pengeluaran pemerintah adalah Dana Bantuan Operasional

Sekolah (BOS). Dana BOS disalurkan ke sekolah untuk membantu operasional

sekolah sehingga sekolah dapat berjalan dengan baik. Variabel dana BOS

58

signifikan memengaruhi partisipasi anak usia SD dan SMP di Sulawesi Utara.

Penyaluran dana BOS sebagai input pendidikan dari sisi pengeluaran pemerintah.

Tujuan dari diberikannya dana BOS adalah sekolah tidak lagi membebankan biaya

operasional sekolah kepada siswa. Pemberian dana BOS disalurkan langsung

kepada sekolah berdasarkan jumlah murid disekolah tersebut.

Nilai koefisien sebesar 0,28 untuk BOS SD dan 0,45 untuk BOS SMP.

Artinya setiap kenaikan 1 persen BOS SD menaikkan partisipasi SD sebesar 0,28

persen. Sedangkan setiap kenaikan 1 persen BOS SMP dapat menaikkan

partisipasi SMP sebesar 0,45 persen. Secara umum program BOS bertujuan untuk

meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka

wajib belajar 9 tahun yang bermutu (Kemdikbud, 2012). Secara khusus program

BOS bertujuan untuk:

1. Membebaskan pungutan bagi seluruh siswa SD/SDLB negeri dan

SMP/SMPLB/SMPT (Terbuka) negeri terhadap biaya operasi sekolah, kecuali

pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf

internasional (SBI). Sumbangan/pungutan bagi sekolah RSBI dan SBI harus

tetap mempertimbangkan fungsi pendidikan sebagai kegiatan nirlaba, sehingga

sumbangan/pungutan tidak boleh berlebih;

2. Membebaskan pungutan seluruh siswa miskin dari seluruh pungutan dalam

bentuk apapun, baik di sekolah negeri maupun swasta;

3. Meringankan beban biaya operasi sekolah bagi siswa di sekolah swasta.

Bentuk penyaluran dana BOS yang diberikan kepada sekolah dan tidak

langsung kepada rumah tangga merupakan bentuk pemberian subsidi tidak

langsung kepada masyarakat dibidang pendidikan. Mekanisme transfer langsung

ke sekolah tidak kepada rumah tangga dianggap sebagai sarana yang efektif,

karena jika diberikan langsung kepada rumah tangga, bisa jadi dana tersebut

dipergunakan untuk kepentingan lain. Pendanaan BOS diharapkan dapat

mengurangi angka putus sekolah pada SD dan SMP. Secara aggregate angka putus

sekolah di Sulawesi Utara terus turun dalam kurun waktu 2008-2010.

Dari sisi besaran dana, BOS diberikan sama untuk tiap siswa pertahun

perdaerah. Ini berarti bahwa sekolah-sekolah yang besar menerima dana lebih

banyak sedangkan sekolah-sekolah kecil menerima dana lebih sedikit,dengan

59

asumsi sekolah besar memiliki jumlah murid lebih banyak. Padahal, sekolah-

sekolah kecil seringkali mempunyai kebutuhan yang berbeda dan memerlukan

dukungan operasional yang lebih besar daripada sekolah-sekolah perkotaan yang

lebih besar.

Salah satu agenda program BOS yang perlu dibahas adalah bagaimana

membuat program lebih adil. Semua sekolah masih mendapatkan dana dalam

jumlah yang sama untuk setiap siswa meskipun kebutuhan dan kondisi mereka

berbeda. Sekolah-sekolah terpencil di desa yang jauh dari kota dengan biaya yang

biasanya lebih besar dari kota karena harga yang relatif lebih mahal dari kota.

Daerah sebagai bagian dari pemerintah pusat sebaiknya menganggarkan dana

operasional sekolah melalui APBD3.

Pengeluaran pemerintah lainnya yang mendukung pendidikan dasar adalah

anggaran pada dinas pendidikan untuk program wajib belajar 9 tahun. Anggaran

ini masuk dalam APBD masing-masing kabupaten/kota. Untuk partisipasi usia 7-

12 tahun variabel pengeluaran untuk program wajib belajar tidak signifikan,

sedangkan untuk partisipasi 13-15 tahun berpengaruh positif dan signifikan.

Pengeluaran program wajib belajar ini digunakan untuk membangun dan

rehabilitasi sekolah, perpustakaan, buku referensi dan panduan, dan alat peraga

dan sarana penunjang pembelajaran/alat elektronik serta multimedia interaktif

pembelajaran. Pada model partisipasi sekolah usia 13-15 tahun, pengeluaran

pemerintah memengaruhi secara signifikan. Artinya setiap kenaikan pengeluaran

sebesar 1 persen akan menaikkan partisipasi sekolah usia 13-15 tahun sebesar 0,05

persen.

Pembangunan infrastruktur pendidikan seperti pembangunan perpustakaan

sekolah, penambahan sekolah dan ruang kelas, perbaikan sekolah dan kelas

sebagai input pendidikan. Ini akan menambah ketersediaan daya tampung murid

sehingga program pendidikan dasar untuk semua dapat berjalan tanpa terkendala

ketiadaan sekolah untuk menerima penambahan siswa. Peningkatan anggaran

pendidikan dasar dapat memperbaiki akses pendidikan bagi masyarakat.

Penelitian ini sejalan dengan studi Purwanto (2010) dan Akai et al. (2007) bahwa

3 www.wordbank.org Membuka Pintu Pendidikan bagi Generasi Muda [27 Agustus 2012]

60

pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap pencapaian pendidikan

dasar.

Selain faktor input berupa pengeluaran untuk pendidikan dasar, maka

faktor sosial ekonomi juga merupakan salah satu faktor yang menentukan seorang

anak bersekolah atau tidak (Glewwe, 2002). Variabel PDRB perkapita yang

merupakan indikator makro tingkat kesejahteraan masyarakat dimasukkan dalam

penelitian ini.

Tabel 11 PDRB Perkapita Tahun 2008-2010 (dalam Juta Rupiah)

Kabupaten/Kota 2008 2009 2010

Bolaang Mongondow 4,80 4,88 5,05

Minahasa 6,20 6,49 6,82

Kep.Sangihe 5,26 5,58 5,92

Kep. Talaud 4,71 4,89 5,11

Minahasa Selatan 5,96 6,30 6,79

Minahasa Utara 6,47 6,79 7,16

Bolaang Mongondow Utara 4,76 5,08 5,47

Kep. Sitaro 4,26 4,55 4,87

Minahasa Tenggara 7,79 8,19 8,80

Manado 12,09 13,17 14,04

Bitung 10,91 11,27 11,75

Tomohon 6,65 6,94 7,25

Kotamobagu 3,83 4,11 4,40

Rata-rata PDRB perkapita 6,44 6,79 7,19

Sumber: BPS

PDRB perkapita untuk masing-masing daerah cukup bervariasi. Kota

Manado yang merupakan ibukota provinsi memiliki pendapatan perkapita paling

tinggi diantara yang lain yaitu 14,04 juta rupiah, sedangkan kota kotamobagu

paling kecil yaitu 4,40 juta rupiah. Kota Manado dan Kota Bitung mempunyai

PDRB perkapita paling tinggi karena kota-kota tersebut sudah lebih berkembang

dari daerah kabupaten. Kota Bitung merupakan salah satu tempat industri

pengolahan. Sentra industri di pusatkan di kota Bitung, industri yang tergolong

besar yaitu pengolahan ikan, industri pengolahan kelapa menjadi minyak kelapa,

dan indutri mie instant. Kota Kotamobagu walau berstatus sebagai kota namun

PDRB perkapitanya rendah, hal ini karena kota Kotamobagu merupakan kota

61

hasil pemekaran yang baru ada 4 tahun terakhir. Sektor utama penyumbang PDRB

adalah sektor perdagangan dan jasa.

Hipotesa awal bahwa makin tinggi pendapatan perkapita masyarakat maka

makin mampu untuk menyekolahkan anaknya minimal sampai tingkat SD dan

SMP. Hasil penelitian didalam model ekonometrik yang dibuat menunjukkan

kenaikan PDRB perkapita berbanding terbalik dengan partisipasi sekolah usia 7-

12 tahun dan 13-15 tahun. Artinya kenaikan pendapatan perkapita malah

menurunkan partisipasi sekolah.

Kenaikan pendapatan perkapita yang tidak disertai distribusi pendapatan

yang merata akan menyebabkan ketimpangan pendapatan, akibatnya

pembangunan juga tidak berjalan dengan baik, begitu juga pembangunan

manusianya. Indikasi adanya ketimpangan pendapatan bisa dilihat dari rasio gini.

Sulawesi Utara pada tahun 2008-2010 mempunyai kecenderungan rasio gini yang

makin membesar, pada tahun 2008 rasio gini sebesar 0,31 sedangkan pada tahun

2010 meningkat menjadi 0,32. Untuk daerah perkotaan indek gini lebih besar

daripada indek gini perdesaan. Daerah perkotaan naik dari 0,31 menjadi 0,33

sedangkan perdesaan turun dari 0,28 menjadi 0,25 (Tabel 12).

Tabel 12 Indeks Gini Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2008-2010

Uraian 2008 2009 2010

Kota 0,31 0,30 0,34

Desa 0,28 0,28 0,25

Sulawesi Utara 0,31 0,31 0,32

Sumber: SUSENAS 2008-2010, diolah

Penelitian ini yang hanya dapat melihat ketimpangan yang relatif kecil

karena periode penelitian yang hanya 3 tahun. Dalam jangka panjang, jika hal ini

berlanjut, akan menimbulkan masalah baru dan berdampak negatif pada

pendidikan. Pengukuran pembangunan tidak hanya dari PDRB dan pertumbuhan

ekonomi karena akan menghilangkan kenyataan ada ketimpangan dimasyarakat

dalam menikmati hasil pembangunan. Hal ini disebabkan PDRB hanya melihat

pendapatan secara rata-rata dan pertumbuhan ekonomi tidak melihat manfaat

pembangunan pada manusia4.

4 Kompas, 5 September 2012. Pertumbuhan Ekonomi Tak Jamin Kesejahteraan.

62

Sebagai barang normal, orang akan “membeli” lebih banyak modal

manusia (human capital) jika pendapatannya naik. Namun bukti-bukti yang ada

menunjukkan bahwa meskipun kita mampu menaikkan pendapatan, kita tidak

dapat memastikan bahwa peningkatan pendapatan tersebut akan diinvestasikan ke

pendidikan secara memadai (Todaro dan Smith , 2006). PDRB provinsi Sulawesi

Utara setiap tahunnya menunjukkan kenaikan, namun investasi pendidikan dasar

yang dilihat dari share pengeluaran riil pendidikan dasar bervariasi antara

kabupaten kota. Korelasi antara share pengeluaran riil pendidikan dasar terhadap

PDRB dengan PDRB menunjukan korelasi yang negatif dan signifikan (Tabel

13). Korelasi yang negatif membuktikan bahwa ada kenaikan pendapatan

dialokasikan lebih banyak di sektor lain selain pendidikan.

Tabel 13 Korelasi Share Pengeluaran Pendidikan Dasar dengan PDRB

Korelasi PDRB

RIILPD_PDRB Pearson Correlation -0,450

Sig. (2-tailed) 0,004 Sumber : Pengolahan

Proporsi pengeluaran pendidikan dasar terhadap PDRB bervariasi setiap

kabupaten/kota. Kabupaten yang proporsi pengeluaran pendidikan dasarnya terus

mengalami kenaikan adalah Sitaro dan Kotamobagu, sedangkan yang mengalami

trend menurun adalah Minahasa Utara dan Tomohon, proporsi pengeluaran

pendidikan dasar terkecil tahun 2010 adalah kota Manado (Gambar 11).

Gambar 11 Proporsi Pengeluaran Pendidikan Dasar terhadap PDRB

0

1

2

3

4

5

6

7

8

pers

en

2008

2009

2010

63

Jika suatu daerah ingin mencapai target MDGs, maka perlu kontribusi

pemerintah dengan memberikan proporsi pengeluaran pendidikan dasar yang lebih

besar untuk menaikkan angka partisipasi sekolah. Kabupaten dengan angka

partisipasi sekolah umur 7-12 tahun dibawah rata-rata dan mempunyai proporsi

pengeluaran pendidikan dasar dibawah rata-rata adalah Manado dan Bolaang

Mongondow Utara (keadaan 2010). Kabupaten yang memiliki angka partisipasi

sekolah dibawah rata-rata namun sudah memiliki proporsi pengeluaran pendidikan

dasarnya diatas rata-rata adalah Sangihe, Bolaang Mongondow dan Kotamobagu.

Gambar 12 Angka Partisipasi Sekolah 7-15 Tahun dan Proporsi Pengeluaran

Pendidikan Dasar

APS SD dan Proporsi Pengeluaran Pendidikan Dasar

APS SMP dan Proporsi Pengeluaran Pendidikan Dasar

64

Kabupaten dengan angka partisipasi sekolah umur 13-15 tahun yang masih

dibawah rata-rata dan proporsi pengeluaran pendidikan dasarnya juga dibawah

rata-rata adalah Manado, Bolaang Mongondow Utara, Minahasa Utara dan

Bitung. Kabupaten/Kota yang pengeluaran pendidikan dasarnya diatas rata-rata

namun angka partisipasi sekolah dibawah rata-rata adalah Bolaang Mongondow

dan Sangihe (Gambar 12).

Kabupaten/kota yang angka partisipasi sekolah dibawah rata-rata dan

proporsi pengeluaran pendidikan dasarnya juga dibawah rata-rata diharapkan

mampu menaikkan proporsi pengeluarannya, sedangkan Kabupaten/Kota yang

pengeluaran pendidikan dasarnya diatas rata-rata namun angka partisipasi sekolah

dibawah rata-rata perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut terhadap pengalokasian

pengeluaran di daerah tersebut. Ada tiga daerah yaitu Minahasa, Tomohon dan

Minahasa Tenggara yang memiliki proporsi pengeluaran pendidikan dasarnya

dibawah rata-rata sedangkan APS umur 7-12 tahun dan umur 13-15 tahun diatas

rata-rata (keadaan tahun 2010). Minahasa merupakan kabupaten yang angka

partisipasinya sudah tinggi sebelum periode penelitian.

Pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh positif terhadap partisipasi

usia pendidikan dasar. Makin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang

berpendidikan diatas SD maka makin besar kemauan orang tua untuk

menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Makin besar jumlah kepala

rumah tangga yang berpendidikan diatas SD maka makin banyak anak yang

bersekolah karena orang tua mereka menginginkan anaknya mendapatkan

pendidikan lebih tinggi dari orangtuanya. Hal ini sejalan dengan penelitian

Glewwe (2002) bahwa pendidikan orang tua berperan dalam memperbaiki

pendidikan dan nutrisi anaknya.

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), pada

tahun 2010 persentase pendidikan kepala rumah tangga yang berpendidikan diatas

SD secara rata-rata di Sulawesi Utara sekitar 59,29 persen (Tabel 14). Ini berarti

lebih dari setengah kepala keluarga di Sulawesi Utara sudah berpendidikan diatas

SD. Kondisi ini bervariatif antar kabupaten/kota. Paling rendah adalah kab

Bolaang Mongondow Utara dengan 40,66 persen kepala rumah tangga yang

berpendidikan diatas SD.

65

Tabel 14 Persentase Kepala Rumah Tangga yang berpendidikan SD keatas

Kabupaten/Kota 2008 2009 2010

Bolaang Mongondow 46,95 46,96 43,81

Minahasa 61,49 63,52 65,81

Kep.Sangihe 44,50 48,06 43,49

Kep. Talaud 59,95 62,19 60,25

Minahasa Selatan 61,52 58,58 63,19

Minahasa Utara 63,25 64,09 64,66

Bolaang Mongondow Utara 40,62 43,94 40,66

Kep. Sitaro 52,37 56,81 55,51

Minahasa Tenggara 54,90 55,41 53,53

Manado 76,62 78,36 77,52

Bitung 71,34 66,42 69,48

Tomohon 72,96 75,77 71,02

Kotamobagu 66,46 70,07 61,94

Sulawesi Utara 59,46 60,78 59,30

Sumber : SUSENAS 2008-2010, diolah

Faktor sosial ekonomi berupa background keluarga adalah jumlah anak

dalam keluarga. Pendekatan terhadap variabel ini adalah persentase jumlah rumah

tangga di Sulut yang memiliki jumlah angggota rumah tangga 5 orang atau lebih.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makin banyak persentase rumah tangga

dengan jumlah anggota RT 5 orang atau lebih, maka partisipasi sebagai output

pendidikan juga naik. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian

sebelumnya bahwa makin banyak jumlah anggota rumah tangga maka makin

banyak anak tidak bersekolah. Rata-rata persentase rumah tangga yang memiliki

anggota rumah tangga 5 orang atau lebih pada tahun 2010 sebanyak 44,49 persen.

Dari tahun 2008-2010 mempunyai kecenderungan naik (Gambar 13).

66

Gambar 13 Persentase rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga

lebih dari 5 orang

Angka kemiskinan tidak signifikan pada model anak umur 7-12 tahun

(usia SD) dan pada umur 13-15 tahun (usia SMP), namun kemiskinan tetap

menurunkan partisipasi sekolah. Walaupun dari hasil estimasi menunjukkan

bahwa kemiskinan (P0) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi

anak sekolah diusia SD maupun di SMP namun jika kemiskinan tidak

diperhatikan dan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi saja, kemiskinan bisa

menjadi bahaya laten yang tersembunyi.

Ukuran kemiskinan yang dihitung oleh BPS salah satunya yaitu jumlah

penduduk miskin dan persentase penduduk miskin atau head count index yang

dinotasikan dengan P0. Penduduk dikategorikan miskin jika pengeluaran

perkapita perbulan makanan dan bukan makanan berada di bawah garis

kemiskinan (nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam memenuhi

kebutuhan hidup minimumnya, baik kebutuhan hidup minimum makanan maupun

bukan makanan).

Berdasarkan ukuran statistik deskriptif yang diperoleh, secara rata-rata

persentase penduduk miskin (P0) memiliki kecenderungan untuk menurun selama

tahun 2005-2010. Demikian juga dengan nilai standar deviasinya yang

menunjukkan kecenderungan yang sama sejak tahun 2007 hingga tahun 2010

yang berarti terjadi penurunan persentase penduduk miskin di tingkat provinsi.

0

10

20

30

40

50

60

pe

rse

n

2008

2009

2010

67

Pada tahun 2006-2007 rata-rata P0 meningkat dibanding tahun 2005, dan standar

deviasi yang meningkat menunjukkan peningkatan kemiskinan di tingkat

kabupaten/kota pada tahun tersebut. Peningkatan standar deviasi menunjukkan

kemiskinan yang semakin timpang di tingkat kabupaten/kota (Tabel 15).

Tabel 15 Ukuran Statistik Deskriptif P0 dan Jumlah Penduduk Miskin di

Sulawesi Utara Tahun 2005-2010

Tahun Persentase Penduduk Miskin Jumlah Penduduk Miskin

Rata-rata Standar Deviasi Rata-rata Standar Deviasi

2005 9,59 2,62

22,38 10,55

2006 11,91 2,76

27,71 12,32

2007 12,87 3,31

19,24 7,24

2008 10,69 2,47

16,78 6,87

2009 10,17 2,35

16,16 6,64

2010 10,24 2,09 16,84 7,13

Sumber: BPS, di olah

Berdasarkan perubahan persentase penduduk miskin yang dihitung

berdasarkan selisih nilai P0, seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Utara selama

tahun 2006-2007 mengalami kenaikan persentase kemiskinan juga kenaikan

jumlah penduduk miskin. Peningkatan harga BBM merupakan salah satu

penyebab naiknya angka kemiskinan (World Bank, 2006). Dampak inflasi ini

masih terasa di Sulawesi Utara hingga tahun 2007.

Faktor ketersediaan sarana persekolahan yaitu guru dan sekolah

mempunyai pengaruh yang berbeda antara usia SD dan SMP. Pada model

partisipasi sekolah SMP rasio murid guru dan rasio murid sekolah keduanya

signifikan pada model, sedangkan pada SD hanya rasio murid dan sekolah.

Gambaran secara deskriptif pada tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah guru sudah

terlampau banyak. Dengan mengasumsikan pertumbuhan penduduk usia SD dan

SMP adalah 1,33 persen pertahun dan jumlah guru tetap. Maka rasio murid dan

guru untuk SD baru akan memenuhi syarat efektif dalam belajar mengajar adalah

setelah minimal 13 tahun untuk SD dan minimal 36 tahun untuk usia SMP.

5.2 Variabel Penduga Partisipasi Sekolah Tingkat Rumah Tangga

Analisis ini digunakan untuk mengeksplorasi faktor-faktor sosial ekonomi,

geografis yang memiliki kecenderungan memengaruhi seorang anak masih

sekolah atau tidak bersekolah lagi di usia 7-12 tahun (sekolah SD) dan usia 13-15

68

tahun (sekolah SMP). Nilai overall percentage untuk model partisipasi usia SD

adalah sebesar 98,9 artinya model sudah dapat menjelaskan 98,9 persen dari

model, sedangkan untuk partisipasi usia SMP sebesar 89,6 persen. Nilai chi

square dari model SD sebesar 1204,692 dengan tingkat signifikansi 0,000. Nilai

chi square dari model SMP sebesar 6548,150 dengan tingkat signifikansi 0,000.

Sehingga untuk kedua model dapat dikatakan minimal ada satu variabel

independent yang memengaruhi variabel dependent. Ini bisa dilihat pada

Lampiran 3.

Hasil estimasi menunjukkan faktor daerah tempat tinggal, jumlah anggota

rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, lapangan usaha rumah tangga dan

pendapatan rumah tangga berpengaruh terhadap kondisi seorang anak masih

sekolah atau berhenti sekolah. Faktor geografis wilayah tempat tinggal

berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi sekolah anak usia SD dan SMP,

anak yang tinggal di daerah kota lebih berpeluang untuk tidak bersekolah lagi

ataupun putus sekolah.

Tabel 16 Hasil Estimasi Regresi Logistik Determinan Partisipasi Sekolah

Independen var Odds Ratio

SD SMP

DESA(1) 1,173*** 1,722***

JK(1) 2,867*** 2,087**

EXPCAP 1,015*** 1,008***

JART 1,106*** 0,901***

didik_KRT(1) 0,866*** 0,226***

didik_KRT(2) 2,951*** 0,603***

lap_us_KRT(1) 1,123** 0,884***

lap_us_KRT(2) 1,083 1,84***

Constanta 17,272*** 14,782***

Ket: ***:signifikan pada α 1%; **:signifikanpada α 5%; * :signifikan pada α 10%

Daerah tempat tinggal seperti perkotaan dianggap memiliki akses yang

lebih banyak dan lebih mudah. Ketersediaan akses dan kedekatan dengan sekolah

karena kemudahan transportasi dan komunikasi (Glewwe, 2005). Dari hasil

regresi logistik, untuk model usia SD dan SMP ternyata di daerah perdesaan lebih

cenderung untuk bersekolah dibandingkan dengan perkotaan. Hasil penelitian ini

69

tidak sejalan dengan hasil yang didapat oleh Sanchez dan Sabhra (2010) dalam

penelitian di Yemen, kecenderungan anak untuk berpartisipasi sekolah di daerah

perkotaan lebih besar daripada di perdesaan. Namun hal ini ditemukan juga oleh

Tullao dan Rivera (2011) di Philipina, didaerah perkotaan cenderung tingkat

partisipasi sekolahnya lebih rendah dari di desa. Di kota pengaruh luar juga

banyak mempengaruhi keputusan anak untuk bersekolah. Masyarakat, teman

sebaya, orangtua, tekanan bisa menjadi faktor yang menginterverensi keputusan

seorang anak untuk bersekolah. Berbeda halnya dengan di desa dimana kondisi

masyarakatnya relatif seragam secara ekonomi dan pendidikan.

Jenis kelamin perempuan lebih berpeluang untuk bersekolah dibandingkan

laki-laki. Pada usia SD perempuan berpeluang 2,87 kali lebih besar untuk

bersekolah daripada laki-laki. Pada usia SMP perempuan berpeluang 2,08 kali

lebih besar untuk bersekolah dibanding laki-laki. Dalam hal ini perlu di analisis

lebih lanjut apakah faktor sosial budaya memengaruhi anak laki-laki untuk

sekolah atau tidak. Orang tua di daerah Nias, Sumatera Utara cenderung tidak

menyekolahkan anaknya karena anak dibutuhkan tenaganya untuk mencari

nafkah, partisipasi SMP hanya 60 persen (waspada.co.id). Sama halnya dengan di

Jawa Barat dimana anak yang masih usia sekolah sudah berdagang mengikuti

orangtua atau orang lain (jabarprov.go.id). Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian Al-Sammarai dan Peasgood (1992) di Tanzania, lebih kecil peluang

perempuan yang tidak bersekolah diduga berkaitan dengan tanggung jawab yang

lebih sedikit dan opportunity cost yang lebih kecil. Hal ini berbeda dengan asumsi

umum dimana perempuan biasanya lebih cenderung untuk putus sekolah karena

harus mengurus pekerjaan rumah.

SUSENAS tidak memiliki informasi pendapatan perkapita sehingga proxy

terhadap pendapatan perkapita digunakan pengeluaran perkapita perbulan.

Pengeluaran perkapita berpengaruh signifikan terhadap partisipasi sekolah anak

usia SD dan SMP. Pada usia SD, kenaikan pendapatan perkapita perbulan 100

ribu rupiah akan menaikkan peluang bersekolah sebesar 1,015 kali. Sedangkan

pada usia SMP peluang anak bersekolah akan bertambah 1,008 kali jika

pendapatan perkapita naik 100 ribu rupiah. Dapat diambil kesimpulan bahwa,

70

kenaikan pendapatan dirumah tangga merupakan faktor yang penting untuk

menaikkan peluang anak untuk bersekolah.

Pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh signifikan terhadap

partisipasi sekolah. Pada rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang

berpendidikan SD dan tidak bersekolah, partisipasi anak usia SD bersekolah

kurang cenderung 0,866 kali daripada anak di keluarga yang kepala rumah tangga

berpendidikan SMU dan diatasnya. Pada rumah tangga dengan kepala rumah

tangga yang berpendidikan SD dan tidak bersekolah, partisipasi anak usia SMP

bersekolah kurang cenderung 0,22 kali daripada anak di keluarga yang kepala

rumah tangga berpendidikan SMU dan diatasnya. Peluang anak usia SMP untuk

bersekolah kurang cenderung 0,603 kali pada rumah tangga dengan orang tua

yang berpendidikan SMP dibandingkan dengan rumah tangga yang kepala rumah

tangganya berpendidikan SMU dan diatasnya.

Tabel 17 Persentase Partisipasi Sekolah Usia 7-15 Tahun Berdasarkan

Pendidikan Kepala Rumah Tangga

Partisipasi Sekolah

Pendidikan Kepala Rumah Tangga

SD Sederajat dan

tidak sekolah

SMP

sederajat

SMU sederajat

dan diatasnya

Usia 7-12 tahun

Tidak/belum pernah sekolah 0,70 0,45 0,43

Masih sekolah 97,87 99,17 98,35

Tidak bersekolah lagi 1,43 0,38 1,23

Usia 13-15 tahun

Tidak/belum pernah sekolah 0,91 0,00 0,11

Masih sekolah 82,90 92,43 95,63

Tidak bersekolah lagi 16,19 7,57 4,25

Sumber: SUSENAS, 2010

Implikasinya adalah pendidikan kepala rumah tangga juga menentukan

seorang anak bersekolah atau tidak. Todaro dan Smith (2006) mengatakan bahwa

salah satu faktor sosial ekonomi terpenting adalah pendidikan kepala rumah

tangga. makin tinggi pendidikan kepala rumah tangga, maka makin tinggi

kesadaran orang tua menyekolahkan anaknya. Sanchez dan Sbrana (2010)

menemukan bahwa pendidikan ayah sebagai kepala keluarga signifikan

memengaruhi peluang anak laki-laki bersekolah atau tidak, ayah dilihat sebagai

contoh dalam keluarga. Di Sulawesi Utara pendidikan kepala keluarga juga

71

menjadi salah satu faktor yang memengaruhi partisipasi anak untuk bersekolah.

Pada Tabel 17 terlihat bahwa makin tinggi pendidikan kepala rumah tangga

makin besar persentase anak yang bersekolah.

Salah satu faktor yang juga signifikan memengaruhi peluang anak untuk

bersekolah atau tidak adalah banyaknya anggota rumah tangga. Hipotesa awal

yaitu makin besar jumlah anggota rumah tangga maka makin kecil peluang

seorang anak untuk bersekolah. Hal ini tidak ditemukan pada model usia SD (7-12

tahun), namun hipotesa ini sejalan dengan model usia SMP (13-15 tahun).

Hubungan yang searah pada model usia SD bukan berarti makin bertambah

jumlah anggota rumah tangga maka makin besar peluang anak untuk bersekolah,

namun jumlah anggota rumah tangga yang besar masih dapat menyekolahkan

anaknya sampai ditingkat SD, namun ketika anak sudah memasuki usia SMP

maka peluang untuk bersekolah semakin kecil karena faktor dana untuk biaya

sekolah.

Rumah tangga yang kepala rumah tangganya memiliki lapangan usaha di

sektor primer dan sekunder memiliki peluang lebih besar daripada kepala rumah

tangga di sektor tersier menyekolahkan anaknya yang berusia SD. Berbeda

dengan anak diusia SMP, rumah tangga yang kepala rumah tangganya memiliki

lapangan usaha sektor primer kurang cenderung menyekolahkan anaknya.

Lapangan usaha sektor primer adalah pertanian dan pertambangan. Biasanya di

sektor pertanian, anak dibutuhkan untuk membantu pekerjaan orangtua.

72

Tabel 18 Persentase Partisipasi Sekolah Berdasarkan Lapangan Usaha Kepala

Rumah Tangga

Partisipasi Sekolah Lapangan Usaha KRT

sektor primer sektor

sekunder sektor tersier

Usia 7-12 tahun

Tidak/belum pernah sekolah 0,81 0,53 0,34

Masih sekolah 98,10 98,39 98,59

Tidak bersekolah lagi 1,09 1,08 1,07

Usia 13-15 tahun

Tidak/belum pernah sekolah 0,37 0,53 0,34

Masih sekolah 86,84 98,39 98,59

Tidak bersekolah lagi 12,79 1,08 1,07

Sumber: SUSENAS, 2010

Dari Tabel 18 terlihat angka partisipasi sekolah dari anak usia SMP yang

kepala rumah tangganya memiliki lapangan usaha sektor primer lebih rendah dari

sektor sekunder dan tersier. Lapangan usaha di sektor primer adalah pertanian,

perkebunan, perikanan dan pertambangan. Kecenderungan anak dari kepala rumah

tangga yang memiliki lapangan usaha di sektor primer tidak bersekolah

disebabkan karena anak-anak ini dibutuhkan untuk membantu pekerjaan orang

tua. Menurut Todaro dan Smith (2006), orang tua di negara berkembang masih

memandang anak sebagai tenaga kerja yang dapat membantu kehidupan orang

tua. Tenaga kerja anak ini dibutuhkan untuk menambah penghasilan, sehingga jika

si anak bersekolah maka akan kehilangan sebagian pendapatan yang seharusnya

bisa didapat. Orang tua berpikiran opportunity cost seorang anak yang bekerja

lebih besar dibanding jika mereka harus sekolah.