UTS WAHUM.doc

15
UJIAN TENGAH SEMESTER MATA KULIAH WANITA DAN HUKUM Nama : Cendy Adam NPM : 1006687253 1. Feminist Legal Theory (Pendekatan Hukum Berprespektif Perempuan) a. Pokok Pikiran dan asumsi dasar Feminist legal theory atau Feminist jurisprudence atau Pendekatan Hukum ber perspektif wanita adalah sebuah falsafah hukum yang didasarkan pada kesetaraan gender dibidang politik, ekonomi dan sosial. Feminist Legal Theory didasarkan pada pandangan gerakan feminist bahwa dalam sejarah, hukum merupakan instrumen untuk melanggengkan posisi wanita dibawah subordinasi kaum pria. Pengertian feminist legal theory dikemukakan oleh Margaret Davies, ia mengemukakan; 1 “To begin with, what is meant by the term ‘feminist legal theory’? Clearly feminist interest in law has existed for far longer than thirty years. So why limit the term to the past thirty years, when feminist critique of law-governed areas of social life has been prevalent for well over a century, and even longer in relation to some issues and jurisdictions? The reason is perhaps arbitrary, a consequence not of substance but of disciplinary boundaries combined with male 1 Margareth Davies, Unity and Diversity in Feminist Legal Theory, hlm. 650.

description

Studi kasus tugas mata kuliah wanita dan hukum

Transcript of UTS WAHUM.doc

UJIAN TENGAH SEMESTERMATA KULIAH WANITA DAN HUKUMNama

: Cendy Adam

NPM

: 1006687253

1. Feminist Legal Theory (Pendekatan Hukum Berprespektif Perempuan)

a. Pokok Pikiran dan asumsi dasar

Feminist legal theory atau Feminist jurisprudence atau Pendekatan Hukum ber perspektif wanita adalah sebuah falsafah hukum yang didasarkan pada kesetaraan gender dibidang politik, ekonomi dan sosial. Feminist Legal Theory didasarkan pada pandangan gerakan feminist bahwa dalam sejarah, hukum merupakan instrumen untuk melanggengkan posisi wanita dibawah subordinasi kaum pria. Pengertian feminist legal theory dikemukakan oleh Margaret Davies, ia mengemukakan;

To begin with, what is meant by the term feminist legal theory? Clearly feminist interest in law has existed for far longer than thirty years. So why limit the term to the past thirty years, when feminist critique of law-governed areas of social life has been prevalent for well over a century, and even longer in relation to some issues and jurisdictions? The reason is perhaps arbitrary, a consequence not of substance but of disciplinary boundaries combined with male dominance of the legal academy. Like legal theory, which refers to internal or immanent theoretical approaches to law, the term feminist legal theory is usually taken to mean a critique of law generated internally to legal scholarship by feminist lawyers.

Dalam kemunculan feminist legal theory, Para feminis berangkat dari sebuah pertanyaan sederhana dan bisa menyesatkan: Dan bagaimana dengan para perempuan? Lebih jauh, pertanyaan ini kemudian dikembangkan lagi. Pertanyaan-pertanyaan analisis kritis yang dimunculkan diantaranya adalah bagaimanakah identitas atau imaji tentang perempuan termasuk seksualitas, kapasitas dan peranannya diproyeksikan oleh hukum. Apakah hukum merefleksikan realitas dan pengalaman perempuan termasuk kekerasan yang dialaminya? Berdasarkan pengalaman dan realitas, apakah hukum melindungi perempuan? Perempuan yang mana?.

George Ritzer dan Douglas J. Goodman mengumukakan, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut berujung pada empat hal. Lebih lanjut mereka mengumakakan empat hal itu sebagai berikut;

Pertama, kedudukan perempuan, dan pengalaman perempuan di kebanyakan situasi tidak sama dengan pengalaman laki-laki di situasi-situasi tersebut. Kedua, kedudukan perempuan di sebagian besar situasi tersebut tidak hanya berbeda namun juga lebih buruk atau timpang dengan kedudukan laki-laki. Ketiga, situasi yang dialami perempuan juga harus dipahami menurut hubungan kekuasaan langsung antara laki-laki dengan perempuan. Perempuan ditindas, artinya dikekang, disubordinasi, dikerangkakan, dan digunakan serta disalahgunakan oleh laki-laki. Keempat, pengalaman perempuan berupa perbedaan, ketimpangan, dan penindasan berbeda-beda menurut kedudukan mereka di dalam penataan masyarakat penindasan struktural atau vektor penindasan serta hak istimewa kelas, ras, entitas, usia, preferensi afeksional, status perkawinan, dan lokasi tertentu di belahan bumi.Dari sini kita dapat menangkap bahwasanya dalam feminist legal theory, hukum, lebih luas lagi adalah relasi sosial dalam masyarakat, dianggap timpang. Dalam kerangka pemikiran ini, relasi sosial dianggap selalu dibangun berdasarkan dominasi kaum pria untuk mensubordinasikan kaum wanita. Akibatnya di manapun perempuan berada pada posisi subordinat, dan mereka hampir selalu tersubordinasi di mana-mana. Dengan paradigma seperti itu, pendekatan yang digunakan feminist legal theory berbeda dengan pendekatan teori hukum lainnya. Adapun perpektif tersebut meliputi : (i) pendekatan holistic; (ii) berorientasi pada proses; (iii) menghargai keanekaragaman; (iv)pendekatan winwin terhadap konflik; (v) menghargai intuisi, rasio, dan logika; (vi) menolak pemisahan antara pikiran, perasaan, dan ketubuhan; (vii) pengambilan keputusan tidak hierarkis; (viii) menolak naturalisme; (ix) pembagian kekuasaan yang adil; dan (x) menghargai pengorganisasian secara kolektif untuk melakukan perubahan.

b. Netralitas dan obyektifitas hukumFeminist Legal Theory selalu menyangkut 2 (dua) aspek yakni teori hukum berperspektif feminis dan praktik hukum berperspektif feminis. Karakteristik dasar Feminist Legal Theory meliputi : (i) mengubah pandangan bahwa hukum adalah sesuatu yang netral dan obyektif; (ii) mengidentifikasi implikasi hukum yang menyokong subordinasi terhadap perempuan; (iii) bagaimana hukum itu bekerja dalam konteks yang lebih luas.

Pandangan mengenai netralitas dan obyektifitas hukum harus ditarik dari sebuah pandangan yang sangat filosofis, yaitu mengenai kecenderungan manusia. Sebagaimana kita ketahui, hukum merupakan produk kebudayaan. Artinya hukum diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup bersosial antarmanusia. Untuk mengetahui mengenai karakteristik hukum maka sudah tentu kita harus melihat pada karakteristik manusia sebagai pembuat hukum.

Immanuel Kant, pernah mengemukakan mengenai konsep formen a priori. Dalam pandangan Kant, penafsiran seseorang terhadap sesuatu selalu dipengaruhi oleh latar belakang orang tersebut. The room collour depending on the light on, artinya segala sesuatu hal selalu tergantung pada sudut pandang. Dalam konteks ini muncul perdebatan mengenai bisa tidaknya manusia bersikap netral. Dalam perkembangannya didapatkan jawaban bahwa hampir pasti sulit bagi seorang manusia untuk bersikap netral, mengacu pada konsep formen a priori Kant, setiap orang memiliki latar belakang yang berbeda, kepentingan yang berbeda, serta kecenderungan masing-masing. Selama manusia masih tergantung pada formen a priori maka manusia tidak mungkin bertindak netral.

Permasalahan mengenai dapat tidak dapatnya manusia bertindak obyektif juga menjadi perdebatan yang tidak kalah menarik. Obyektif sendiri berarti sesuai dengan obyek. Dalam pemikiran filsafat yang paling purba, Hobbes misalnya, menyadari bahwasanya obyek tidak dapat menceritakan dirinya kepada manusia. Hobbes maju dengan peran penting ilmu pengetahuan dalam menemukan obyektifitas akan tetapi mengacu pada formen a priori Kant, ilmu pengetahuan itu sendiri terkotori dengan kecenderungan-kencenderungan manusia. Nietszhe secara lebih radikal mengatakan bahwasanya ilmu pengetahuan yang mengklaim dirinya obyektif sendiri pada akhirnya tidaklah obyektif. Artinya dari berbagai pandangan ini maka akan sulit menemukan sebuah obyektifitas. Dari uraian ini dapat diambil kesimpulan, bahwasanya manusia akan sangat sulit bertindak obyektif dan hal ini juga berlaku ketika manusia membuat hukum.Pemikiran feminis akan netralitas dan obyektifitas tidak jauh dari kedua hal yang dikemukakan di atas. Para feminis memandang para pembuat hukum telah terpengaruh prespektif yang menempatkan wanita dalam posisi subordinat. Ini adalah formen a priori. Kekuasaan pembentukan hukum yang selama periode sejarah kebanyakan ditempatkan pada tangan para laki-laki memungkinkan pandangan ini terbukti secara benar. Oleh karena ini hukum yang dibentuk atas dominasi laki-laki yang tidak mungkin netral dan tidak mungkin obyektif pastilah tidak netral dan tidak obyektif.c. Diskriminasi terhadap perempuan dalam legislasi IndonesiaSetidaknya terdapat 49 perda (Peraturan Daerah) yang dinilai diskriminasi terhadap perempuan dan tidak adil yang harus di review serta dicabut. Hal ini jelas menggambarkan kondisi bahwa terdapat peraturan perundang-undangan yang masih mengandung diskriminasi terhadap perempuan.Salah satu ketentuan yang memiliki implikasi diskriminasi terhadap perempuan adalah ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan, lebih spesifik ketentuan Pasal 31 ayat (3), yang berbunyi;

(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

(3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.Ketentuan Pasal 31 ayat (3) jelas tidak menggambarkan spirit persamaan kedudukan yang disebutkan dalam ayat (1). Menurut saya, ketentuan pasal 31 ayat (3) terpengaruh oleh bias gender. Dalam Gender Trouble Feminism and The Subversion of Identity, Judith P. Butler mengemukakan pengertian gender sebagai berikut;

The distinction between sex and gender serves the argument that whatever biological intracbility sex appears to have, gender is culturally constructed: hence, gender is neither the causal result of sex nor as seemingly fixed as sexJelas bahwa gender merupakan konstruk sosial tentang bagaimana seharusnya wanita dan laki-laki berperan dalam kehidupan. Jika kita perhatikan ketentuan pasal 31 ayat (3), anggapan bahwa ayah adalah kepala keluarga dan ibu adalah ibu rumah tangga hanya merupakan konstruksi sosial masyarakat.

Ketentuan pasal 31 ayat (3) Undang-Udang Perkawinan akan dapat menyebabkan ketidak adilan bagi perempuan. Sebagaimana kita ketahui, di era modern kita tidak lagi asing dengan sebutan wanita karier. Bagi seorang perempuan yang ingin tetap melanjutkan kariernya, sedangkan ia berada pada kondisi sudah menikah maka ia akan kesulitan dalam menghadapi suaminya. Tentu posisi suami akan mudah meminta pertanggungjawaban perempuan yang menikah dan menempuh karier atas posisi istri sebagai ibu rumah tangga. Dan hal ini tidak menguntungkan bagi perempuan.2. Konvenan Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap WanitaIndonesia telah mengesahkan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita dalam Undang-Undang nomor 7 Tahun 1984. Dalam Pasal 2 Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita disebutkan negara yang telah meratifikasi konvensi harus segera dan tanpa menunda mengambil kebijakan yang pada intinya untuk;

a. Memperkuat kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam instrumen hukum nasional masing-masing negara;

b. Mengadopsi legislasi ataupun parameter lain termasuk sanksi bagi pelaku diskriminasi terhadap perempuan.

c. Mengadakan perlindungan hukum kepada perempuan serta mengambil kebijakan-kebijakan yang perlu untuk melindungi perempuan dari tindakan diskriminasi

d. Mereformasi hukum yang berdampak pada praktik diskriminasi terhadap perempuan.

Selain itu sebuah negara juga harus memastikan bahwa praktik diskriminasi pada perempuan, di segala bidang, telah berkurang dan bahkan hapus. Hal-hal tersebutlah yang seharusnya dilakukan sebuah negara ketika meratifikasi Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.

Prinsip

Prinsip yang ada pada Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita tercantum jelas dalam konvenan itu sendiri. Pada konsiderans konvenan disebutkan;

Recalling that discrimination against women violates the principles of equality of rights and respect for human dignity, is an obstacle to the participation of women, on equal terms with men, in the political, social, economic and cultural life of their countries, hampers the growth of the prosperity of society and the family and makes more difficult the full development of the potentialities of women in the service of their countries and of humanity;Dalam lembar fakta yang disampaikan pada tahun 2012, Komnas Perempuan mengeluarkan press release yang menyebutkan;

Ada tiga prinsip yang mendasari Konvensi yakni: (a). prinsip non diskriminatif sebagai nafas Konvensi dan tercantum pada Pasal 1 dan 4; (b). prinsip persamaan (keadilan substantive) yang dinyatakan dalam Pasal 2, 3, dan 4 dan 5; (c). prinsip kewajiban negara, setidaknya ada 37 kewajiban negara yang dicantum oleh Konvensi agar hak-hak perempuan dapat dinikmati oleh kaum perempuan.Dari hal-hal yang dikemukakan di atas jelas bahwa di dalam CEDAW terdapat tiga prinsip utama di dalamnya. Pertama prinsip non diskriminasi. Kedua prinsip persamaan dan ketiga adalah prinsip tanggungjawab negara.Kedudukan konvenan yang telah di ratifikasiBerbicara mengenai ketentuan hukum yang mengikat maka kita akan membicarakan mengenai perundang-undangan. Sehubungan dengan definisi perundang-undangan, Bagir Manan memberikan gambaran umum tentang pengertian perundang-undangan dalam arti wet in materiele zin sebagai berikut:1. Peraturan perundang-undangan merupakan keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang, berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat umum.

2. Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status, atau suatu tatanan.

3. Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-umum, artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada objek, peristiwa atau gejala konkret tertentu.

Dalam tata hukum nasional, perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum mengikat secara umum, abstrak, dan terus menerus diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu ; (i) UUD 1945; (ii) TAP MPR; (iii) Undang-Undang/Perpu; (iv) Peraturan Pemerintah; (v) Peraturan Presiden; (vi) Peraturan Menteri-Menteri Negara; dst. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tidak disebutkan konvenan internasional yang telah diratifikasi sebagai salah satu perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum mengikat di Indonesia.Sebagaimana dikemukakan Prof. Hikmahanto, Indonesia memang negara yang menganut asas dualisme dalam hal pemberlakuan perjanjian internasional dalam tata hukum nasional. Dalam paham ini, sebuah berlakunya konvenan internasional dalam hukum nasional tidak cukup hanya dengan diratifikasinya konvenan tersebut oleh Indonesia. Merujuk pada tata hukum nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, sebuah konvenan harus dialihrupakan dalam perundang-undangan yang dikenal dalam tata hukum nasional Indonesia. Prof. Maria Farida Indrati, dalam buku Ilmu Perundang-Undangan, berpendapat bahwa jenis Peraturan perundang-undangan yang cocok memuat materi muatan itu adalah Undang-Undang. Artinya sebuah konvenan harus disahkan dalam bentuk Undang-Undang untuk memiliki daya keberlakuan di Indonesia.

3. Studi Kasusa. PerbuatanNurjanahaAtas kasus, saya melihat terdapat dua hal yang harus dipisahkan terlebih dahulu. Pertama, perlakuan tidak layak yang diterima Nurjanah hingga sebelum ia membunuh suaminya dan kedua adalah tindakan Nurjanah membunuh suaminya. Dalam peristiwa pertama, Nurjanah berposisi sebagai korban kekerasan dan diskriminasi struktural. Pada peristiwa kedua ia dapat disebut sebagai pelaku pembunuhan.

Mengacu pada kasus posisi, Nurjanah menerima perlakuan tidak layak hingga tahun 1999. Pada saat itu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 belumlah berlaku. Oleh karena itu, perlakuan yang diterima oleh Nurjanah harus dipandang melalui KUHP dan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita yang telah disahkan melalui Undang-Undang nomor 7 Tahun 1984. Di dalam KUHP pelaku tindak kekerasan terhadap Nurjanah dapat dijerat ketentuan mengenai penganiayaan. Ketentuan pidana penganiayaan diatur dalam Pasal 351 KUHP. Ada beberapa bentuk penganiayaan, yaitu penganiayaan penganiayaan, penganiayaan berat serta penganiayaan menyebabkan kematian. Namun, pada prinsipnya penganiayaan dapat dikatakan terjadi jika seseorang melakukan perbuatan yang menyebabkan terlukanya/cideranya orang lain. Cidera tersebut tidak hanya cidera fisik, KUHP juga menerima cidera psikis sebagai akibat dari penganiayaan. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004, bentuk penganiayaan dispesifikkan dalam kekerasan yang mencakup ; kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, serta penelantaran rumah tangga. Melihat pada kasus posisi, maka Nurjanah dapat dikatakan menerima bentuk penganiayaan pertama dan kedua. b. Keadilan bagi NurjanahMenurut pendapat saya, tidak adil jika Nurjanah dihukum penjara satu tahun. Jika kita melihat pada kasus posisi, maka tindak pidana pembunuhan yang dilakukan Nurjanah disebabkan salah satunya karena perlakuan buruk yang ia terima dari suaminya selema kurang labih enam belas tahun. Oleh dan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, justru perlakuan yang diterima oleh Nurnajanah yang dilarang dan Nurjanah adalah orang yang dilindungi dan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 berusaha melindungi anggota keluarga dari perlakuan kekerasan yang diterima dari anggota keluarga yang lain. Dalam hal ini posisi Nurjanah harus dipahami sebagai orang yang telah menerima perlakuan buruk dalam jangka waktu lama, sehingga tertekan. Oleh karena itu tidak adil jika menghukum Nurjanah satu tahun penajara.

c. Pembelaan bagi Nuranjanah

Terhadap Nurjanah dapat diajukan beberapa jenis pembelaan. Dalam hal untuk menghindarkan Nurjanah dari pidana, saya dapat menggunakan dalil bahwa ketika melakukan penusukan ke tubuh suaminya, Nurjanah berada pada bela paksa berlebih. Nurjanah dapat dikatakan melakukan bela paksa sebab tindakan mengancamkan pisau terlebih dahulu dimulai suaminya. Ketika diacungkan, Nurjanah kemudian menepisnya. Tindakan Nurjanaha mengambil pisau itu dan menusukkannya pada suaminya bisa dipandang sebagai upaya melindungi diri sendiri dan ini termasuk pada bela paksa.

Lalu kedua, rasionalisasi dapat diberikan dengan mengajukan semangat dari Undang-Undnag Nomor 23 tahun 2004. Sebagaimana kita tahu, Undang-Undnag Nomor 23 tahun 2004 berusaha melindungi juga perempuan sebagai korban perlakuan kekerasan. Dalam hal ini Nurjanah justru merupakan korban hal tersebut yang harus dilindungi oleh Undang-Undnag Nomor 23 tahun 2004. Margareth Davies, Unity and Diversity in Feminist Legal Theory, hlm. 650.

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, diterjemahkan Nurhadi, Edisi Kesembilan, Bantul: Kreasi Wacana, 2013, hlm, 488.

Sulistyowati Irianto, dkk, Kajian Sosio Legal , Denpasar: Pustakan Larasan, 2012, hlm. 6

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Op.Cit, hlm, 493.

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Op.Cit, hlm. 490.

Lihat Arimbi Heroepoetri, R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme vs Neoliberalisme, Jakarta, debtWATCH Indonesia dan Institut Perempuan, 2004, hal. 25-29

Ratna Kapoor, Pendekatan Hukum Berperspektif Gender, disarikan dan diterjemahkan oleh sri Wiyanti

Eddyono, dalam Materi Pelatihan HAM bagi Pengacara Angkatan VII, Jakarta, Elsam, 2002.

Lihat makalah yang disusun Adzkar Ahsinin yang berjudul Ancaman Globalisasi terhadap Implementasi Hukum Lingkungan : Sebuah Tinjauan Perspektif Feminist Legal Theory

Harles Silitonga, 49 perda perempuan tidak adil, diakses dari HYPERLINK "http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=163728:49-perda-perempuan-tidak-adil&catid=17:politik&Itemid=30" http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=163728:49-perda-perempuan-tidak-adil&catid=17:politik&Itemid=30 pada hari senin, tanggal 28 Oktober 2013

Judith P. Butler, Gender Trouble Feminism and The Subversion of Identity, New York: Routledge, 1990, hlm. 6

Lihat Lembar Fakta Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan

(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) (CEDAW) yang disusun Komnas Perempuan dan disampaikan pada 29 Juni 2012

Bagir Manan, Ketentuan-Ketentuan tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan dalam Pembangunan Hukum Nasional (makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah tentang Kedudukan Biro-Biro Hukum/Unit Kerja Departemen/ LPND dalam Pembangunan Hukum, Jakarta, 19-20 Oktober 1994), hal. 13.