uts pajak inter.docx

14
UJIAN TENGAH SEMESTER Perpajakan Internasional Oleh : Ainun Nisa 125020306111002 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS

Transcript of uts pajak inter.docx

UJIAN TENGAH SEMESTER

Perpajakan Internasional

Oleh :

Ainun Nisa 125020306111002

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS

BRAWIJAYA MALANG

2015

Dalam kasus Software House Inc. yang merupakan penduduk fiskal dari Republica yang mengembangkan dan mendistribusikan software rak (software kemasan) berencana untuk memperluas operasi bisnisnya ke Indonesia. Perlakuan perpajakan yang terjadi pada Software House Inc. sebelum dilakukan perjanjian pajak antara kedua negara tersebut menerepkan hukum domestik untuk perlakuan pajaknya. Indonesia, sebagai negara berdaulat, mempunyai yurisdiksi (kewenangan untuk mengatur), termasuk yurisdiksi pemajakan berkenaan dengan orang, barang atau objek yang berada di dalam wilayah kekuasaannya. Indonesia mempunyai yurisdiksi untuk mengenakan pajak terhadap non-penduduk atas pendapatan yang berasal dari Indonesia. Jika dalam suatu perjanjian memberi Indonesia yurisdiksi untuk mengenakan pajak pendapatan, maka yurisdiksi itu hanya dapat digunakan jika pendapatannya adalah pendapatan yang berasal dari Indonesia.

Berdasarkan hukum domestik di Indonesia yang terdapat dalam Pajak Penghasilan Pasal 26 bahwa PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.

Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).

Untuk BUT (Badan Usaha Tetap) dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:

a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;

b. dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;

c. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurangkurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil.

Apabila Negara Indonesia dengan Republica telah melakukan perjanjian perpajakan maka terdapat perubahan perlakuan pajak yang akan dikenakan pada Software House Inc. Hal tersebut dikarenakan kedua negara telah mencapai kesepakatan bersama yang menghasilkan perjanjian tanpa ada pihak yang merasa lebih dirugikan atau merasa lebih diuntungkan.

Terdapat beberapa penghasilan yang menjadi objek pajak dalam konteks pajak internasional, pengelompokan objek pajak dalam konteks pajak internasional tersebut yaitu :

Penghasilan yang diperoleh dari transaksi lintas batas negara dari perdagangan barang dan pemberian jasa.

Penghasilan yang diperoleh dari transaksi lintas batas negara dari suatu perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di lebih dari satu negara ( multinational company).

Penghasilan yang diperoleh dari investasi lintas batas negara yang dilakukan oleh individu atau sekelompok individu.

Penghasilan yang diperoleh oleh orang pribadi yang melakukan pekerjaan di luar negeri, baik sebagai karyawan maupun sebagai seorang professional.

Berdasarkan pengelompokan penghasilan yang dijelaskan di atas, dalam kasus Software House termasuk dalam pengelompokan pertama dan kedua sehingga hukum pajak yang berlaku bagi kasus tersebut adalah hukum pajak internasional. Perjanjian pajak yang berlaku saat ini mengikuti OECD Model yang merupakan alat penting dalam menginterpretasikan perjanjian pajak. Sehingga dalam perjanjian pajak internasional yang dilakukan oleh Negara Indonesia dan Republica didasarkan oleh OECD Model. Apabila kedua negara tersebut telah melakukan perjanjian perpajakan maka hukum perjanjian tersebut berada di atas hukum hukum yang sebelumnya telah berlaku atau hukum perjanjian perpajakan kedua negara tersebut bersifat mutlak untuk dipatuhi daripada hukum yang lainnya.

Perjanjian pajak hanya sekedar membatasi, karena mereka menetapkan keadaan dimana negara asal dapat mengenakan pajak atas pendapatan milik warga negara dari negara lain yang mengikuti perjanjian dengan negara tersebut. Mereka tidak menciptakan tanggung gugat sehingga tidak ada pengenaan pajak menurut hukum domestik dan tidak perlu mempertimbangkan posisi menurut suatu perjanjian pajak. Dengan kata lain hukum domestik dari masing masing negara perjanjian perpajakan tidak dapat lagi diterapkan atau dipatuhi apabila telah dibuat perjanjian perpajakan internasional.

Software House merupakan bukan penduduk Indonesia, sehingga berdasarkan norma internasional, perusahaan ini dapat dikenai pajak di Indonesia hanya atas pendapatan yang berasal dari dalam negeri. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka kita harus mengidentifikasi jenis pendapatan yang didapat oleh Indonesia dari proses pendistribusian atau proses ekonomi dari Software House.

Jika pendapatan berasal dari Indonesia, maka perlu ditentukan apakah suatu perjanjian pajak memungkinkan yuridiksi Indonesia untuk mengenakan pajak dalam kasus ini. Bentuk legal dari transaksi adalah lisensi untuk menggunakan software bukan penjualan. Jika mengikuti bentuk legal, maka pendapatan yang didapat oleh Software House dapat digolongkan sebagai royalty atau sebagai penjualan yang tunduk pada pembatasan penggunaan yang bisa diberikan terhadap software. Jika pendapatan digolongkan sebagai royalty, maka asal pendapatan bisa didasarkan pada tempat tinggal dari pembayar royalty atau tempat dimana lisensi digunakan. Namun jika mengikuti OECD Model, maka pengenaan pajak atas royalty akan dibatalkan karena dalam OECD Model telah ditetapkan tarif atas royalty sebesar nol persen.

Jika pendapatan yang didapat oleh Software House digolongkan sebagai pendapatan atas aktivitas ekonomi atau pendapatan atas penjualan software, maka ada beberapa hal yang perlu diidentifikasi. Jika pendapatan penjualan berasal dari Indonesia, maka pendapatan tersebut dikaitkan dengan aktivitas ekonomi perusahaan Software House di Indonesia. Jika Software House berdagang dengan Indonesia, maka tidak ada yuridiksi untuk pengenaan pajak. Namun jika Software House berdagang di Indonesia, maka ada yuridiksi untuk pengenaan pajak di Indonesia. Mengenai berdagang dengan Indonesia dan berdagang di Indonesia dapat dibedakan melalui kegiatan selama proses atau aktivitas ekonomi Software House di Indonesia. Jika hanya berdagang biasa, aktivitas ekonomi yang menghasilkan pendapatan penjualan adalah aktivitas penjualan. Namun jika Software House membuat atau memproses atau memproduksi dan menjual di Indonesia, maka pendapatan dari aktivitas ekonomi tersebut merupakan pendapatan penjualan.

Dalam kasus Sofware House pendapatan atas aktivitas perusahaan tidak mungkin dikategorikan sebagai pendapatan penjualan dari Indonesia jika pendistribusian software melalui pemasaran secara langsung dan peritel independen karena tidak ada tempat usaha dan karyawan di Indonesia, serta aktivitas membuat atau memproses atau memproduksi software dilakukan di Republica, bukan di Indonesia. Namun untuk pendistribusian melalui kantor perwakilan, cabang, dan anak perusahaan dapat dikategorikan sebagai pendapatan penjualan.

Dalam konteks perjanjian, jika software disediakan untuk penggunaan personal atau bisnis internal oleh konsumen, maka pembayaran untuk software tersebut dianggap sebagai laba usaha dan bukan royalty. Hal tersebut juga berlaku meskipun software dapat dilindungi dengan hak cipta dan bahwa ada pembatasan atas penggunaan yang bias diberikan terhadap software.

Mengenai tempat usaha, OECD Commentary menyatakan bahwa suatu tempat usaha adalah tempat, fasilitas, atau instalasi. Tempat usaha bias dimiliki, disewakan, atau disediakan, dan dapat berupa fasilitas usaha dari orang lain. Jika pendistribusian melalui website iklan di majalah computer, hal tersebut tidak memenuhi kriteria tempat usaha dalam OECD Model. OECD berpandangan bahwa agar sesuatu menjadi tempat usaha, harus terdapat ruang fisik. Syarat berikutnya adalah tempat usaha tersebut tetap, sehingga OECD model beranggapan bahwa website bukanlah tempat usaha dan tidak dapat menjadi perusahaan tetap.

Pendistribusian software melalui gerai retail perlu memperhatikan kontrak yang dilakukan oleh Software House dan konsumen di Indonesia melalui perantara agen. Menurut OECD Model, suatu agen dapat menjadi perusahaan tetap bila agen bertindak di Indonesia atas nama principal dan biasa menggunakan otoritas di Indonesia untuk menandatangani kontrak atas nama principal. Berdasarkan fakta kasus, kontrak penjualan dilakukan oleh peritel di Indonesia dengan pelanggan atas nama Software House.

Seseorang atau agen dapat menjadi perusahaan tetap dari Software House di Indonesia jika dapat memelihara stok atau pengiriman karena kemampuan untuk mengadakan pengiriman tepat waktu merupakan aspek penting dari aktivitas penjualan. Jika peritel adalah agen berstatus independen dan bekerja untuk Software House dalam urusan bisnis biasa seperti agen, maka peritel tidak akan menjadi agen yang berstatus independen.

Selain itu juga terdapat pendistribusian software melalui kantor perwakilan. Kantor perwakilan adalah kantor dari perusahaan asing yang diijinkan untuk melaksanakan aktivitas tertentu yang bersifat persiapan atau tambahan atas nama perusahaan asing tersebut.

Dalam kasus ini, aktivitas penerimaan bisa lebih bersifat persiapan atau tambahan, terutama bila kantor memeriksa detail kredit dan membuat rekomendasi mengenai apakah menerima pesanan atau tidak. Kantor perwakilan Software House mungkin melintas batas dari aktivitas persiapan ke aktivitas penjualan. Namun menurut OECD Model, pelayanan purna jual lebih bersifat persiapan yang merupakan bagian penting dari aktivitas menjual barang karena kantor perwakilan menangani complain mengenai produk cacat. Dalam hal perwakilan, perwakilan Software House yang ditempatkan di Indonesia tidak ditempatkan selama lebih dari lima bulan sehingga mereka tidak dikenai pajak jika kantor perwakilan Software House bukan merupakan perusahaan tetap di Indonesia.

Berikut Ketentuan Objek Pajak bagi Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia, yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-undang PPh. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang PPh mengatur definisi penghasilan yang menjadi Objek Pajak secara umum. Penghasilan neto bagi Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia diatur dalam Pasal 15 Undang-undang PPh yang mana penghasilan netonya dihitung dengan Norma Penghitungan Khusus. Rumusan ketentuan Pasal 15 Undang-undang PPh tersebut adalah sebagai berikut: Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan.

Rumusan ketentuan Pasal 15 Undang-undang PPh tersebut adalah rumusan setelah perubahan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 dan tidak mengalami perubahan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 dan Undang-undang 36 Tahun 2008. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang PPh mengatur cara menghitung Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri sedangkan ketentuan Pasal 16 ayat (3) Undang-undang PPh mengatur cara menghitung Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.

Adapun peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 15 Undang-undang PPh bagi Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-667/PJ./2001 tanggal 29 Oktober 2001 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia yang diralat dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-667/PJ./2001 tanggal 28 Februari 2002. Inti pemajakan terhadap BUT Kantor Perwakilan Dagang tersebut adalah sebagai berikut:

a. Penghasilan neto dari Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai ekspor bruto.

b. Pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia adalah sebesar 0,44% dari nilai ekspor bruto dan bersifat final.

Yang dimaksud dengan nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Selanjutnya adalah pendistribusian melalui cabang di Indonesia. Cabang Software House yang berada di Indonesia dikenai pajak karena terlibat dalam penjualan barang di Indonesia. Menurut OECD Model, yurisdiksi untuk mengenakan pajak atas laba usaha Software House terbatas pada laba yang terkait dengan aktivitas cabang di Indonesia dan tidak aka nada yurisdiksi untuk mengenakan pajak atas penjualan langsung. Menurut Model PBB, Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengenakan pajak atas berapapun pendapatan yang terkait dengan penjualan barang atau dagangan di Indonesia yang berjenis sama atau serupa dengan yang dijual di Indonesia melalui perusahaan tetap. Hal tersebut memungkinkan pengenaan pajak oleh Republica berdasarkan prinsip force of attraction terbatas. Berdasarkan kasus, hal tersebut dapat meliputi menjualan di internet yang diadakan langsung oleh Software House ke pelanggan di Indonesia.

Terakhir pendistribusian melalui anak perusahaan. Residensi anak perusahaan diasumsikan berbadan hukum di Indonesia. Terdapat beberapa pertimbangan seperti transfer pricing yang berlaku di Indonesia. Transfer pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya potensi penerimaan pajak suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi (high tax countries) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax countries). Di pihak lain dari sisi bisnis, perusahaan cenderung berupaya meminimalkan biaya-biaya (cost efficiency) termasuk di dalamnya minimalisasi pembayaran pajak perusahaan (corporate income tax).

Transfer pricing didefenisikan sebagai suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antardivisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual dan biaya divisi pembeli. Tujuan utama dari transfer pricing adalah mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan. Tetapi sering juga transfer pricing digunakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk meminimalkan jumlah pajak yang dibayar melalui rekayasa harga yang ditransfer antardivisi. Kunci utama keberhasilan transfer pricing dari sisi pajak adalah adanya transaksi karena adanya hubungan istimewa.

Mengenai biaya manajemen, biaya manajemen adalah laba usaha sehingga menurut Republica, Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengenakan pajak hanya jika biaya tersebut terkait dengan perusahaan tetap dari Software House di Indonesia. Jika tidak ada perusahaan tetap, maka tidak ada yurisdiksi. Personil yang ditempatkan sementara memanfaatkan ruang kantor, maka ruang tersebut adalah perusahaan tetap Software House. Maka Indonesia dapat mengenakan pajak atas biaya manajemen dengan pemotongan atas gaji dan biaya overhead.