UTS Veronika.docx

21
Makalah Tugas Ujian Tengah Semester ILMU PENGETAHUAN POSITIVISME MENGANDALKAN IQ DAN MENGABAIKAN EQ DAN SQ OLEH: VERONIKA SARI DEN KA P3400214028 PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

Transcript of UTS Veronika.docx

MakalahTugas Ujian Tengah Semester

ILMU PENGETAHUAN POSITIVISME MENGANDALKAN IQ DAN MENGABAIKAN EQ DAN SQ

OLEH:VERONIKA SARI DEN KAP3400214028

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSIUNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR2014

2

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1DAFTAR ISI 2BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang 3B. Rumusan Masalah 3C. Tujuan Penulisan 3BAB II PEMBAHASANA. Tinjauan Pustaka 41. Filsafat Ilmu 42. Intelligent Quotient 53. Emotional Quotient64. Spiritual Quotient 85. Keseimbangan IQ, EQ, dan SQ 9B. Analisis Masalah 11BAB III PENUTUPA. Kesimpulan 12B. Saran 12DAFTAR PUSTAKA 13BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangIlmu pengetahuan positivisme (IPP) berkontribusi besar pada perkembangan dan lahirnya berbagai disiplin ilmu. Positivisme berdasarkan pada empirisme, sebuah pencarian pengetahuan yang berasal dari pengalaman manusia, mengantarkan pemahaman bahwa pengetahuan dapat dicari sendiri kebenarannya.Tesis positivisme, dalam Muhadjir (2001: 69), adalah: bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Aliran positivisme menjunjung tinggi pengungkapan ilmu melalui fakta-fakta yang nampak untuk memperoleh pengetahuan baru.Fakta merupakan media interpretasi ilmu terkini. Aliran positivisme sangat erat kaitannya dengan intelligent quotient (IQ) karena sifat pengukuran ilmunya berdasarkan apa yang ada (fakta) dan hakikat permasalahan dari fakta ditelaah melalui proses berpikir. Seiring perkembangannya, fakta tidak hanya dapat ditelaah melalui kajian nalar yang fokus dengan hasil (IQ) namun juga ditelaah dengan melihat unsur sosiologis (emotional quotient, biasa disingkat dengan EQ) dan spiritualitas per individu (spiritual quotient, SQ). Penulis tertarik untuk mengungkap sinkronisasi IQ, EQ, dan SQ.B. Rumusan MasalahPada dasarnya Ilmu Pengetahuan Positivisme (IPP) memperangkap manusia pada dunia materi. Secara epistemologis, IPP memang mengandalkan Intelligent Quotient (yang hanya menjangkau realitas fisik) dalam konstruksi IPP. Sementara bentuk kecerdasan lainnya, seperti: Emotional and Spiritual Quotient (ESQ), diabaikan. Bagaimana pendapat Saudara?C. Tujuan PenulisanAdapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pendapat pribadi dari IPP, yang secara epistemologis, mengandalkan Intellectual Quotient (yang hanya menjangkau realitas fisik) tetapi mengabaikan ESQ.

BAB IIPEMBAHASAN

A. TINJAUAN PUSTAKA1. Filsafat IlmuIlmu merupakan penghubung bagi manusia untuk memenuhi segala kebutuhannya. Manusia dengan kemampuan akalnya, dapat menelaah esensi dari ilmu itu sendiri dan filsafat merupakan media untuk menggali esensi ilmu itu sendiri secara khusus dan lebih bermakna. Menurut Jujun S. Suriaaumantri, pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika).Dalam buku Suriasumantri, terdapat 4 set asumsi filosofis dengan pendekatan yang berbeda untuk membuktikan konsep ilmu pengetahuan, yaitu: ontologi, epistemologi, human nature, dan metodologi.a) Secara ontologi, ilmu pengetahuan dihasilkan melalui fenomena yang dapat dibuktikan secara nyata. Apakah kenyataan merupakan hasil kreasi manusia atau kenyataan adalah sebuah pemberian Tuhan di dunia.b) Set asumsi kedua adalah epistemology. Asumsi ini mencoba mengkaji pengetahuan apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah. Namun, hasil pengkajian epistemologi dapat dipandang secara subjektif dan/atau objektif. Asumsi epistemologi berhubungan dengan isu apakah pengetahuan adalah sesuatu yang dapat diperoleh pada satu sisi tertentu atau sesuatu yang harus dimiliki terlebih dahulu untuk mendapatkan pengalaman di sisi yang lain.c) Set asumsi ketiga, Human nature menghubungkan kehidupan manusia dan alam secara khusus. Manusia menanggapi secara mekanistik atau bahkan derministik setiap situasi eksternal mereka. Manusia dapat dikategorikan sebagai produk lingkungan karena manusia akan bertindak untuk menyesuaikan diri dengan kondisi eksternal mereka. Sifat manusia yang kreatif kadangkala membawa manusia untuk menjadi pengontrol pada kondisi eksternal mereka. Dahulunya berperan sebagai produk lingkungan kemudian berubah menjadi bebas mengatur dan mencipta lingkungannya. d) Set asumsi keempat adalah metodologi. Berbicara tentang metodologi artinya bagaimana cara manusia dalam mendapatkan pengetahuan tentang dunia sosialnya. Mettodologi yang digunakan bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Misalnya, jika manusia memandang dunia sebagai sesuatu yang nyata dan diluar individu secara eksternal, maka akan berbeda jika manusia memandang dunia sebagai sesuatu yang lembut dan personal.2. Intelligent Quotient (IQ)Kecerdasan IQ terbentuk dari hasil pengujian berulang-ulang. Sebagai contoh, seseorang yang pandai dalam hal matematika adalah orang yang rajin mengerjakan soal (membentuk pengalaman yang berulang) dengan tujuan meenstimulasi akal agar memahami dan mengingat rumus tertentu. Pengujian IQ dilakukan dengan tujuan melihat seberapa cerdas otak seorang manusia. Pernyataan sebelumnya, membentuk pemahaman bahwa semakin tinggi skor tes IQ maka semakin tinggi kecerdasan seseorang tersebut. Sehingga, banyak orang yang memahami pula bahwa semakin rendah skor tes IQ maka kecerdasan otak seseorang tersebut dianggap bodoh.Dalam buku Sukidi (2004: 37), Howard Gardner, ahli psikologi Harvard School of Education, Amerika Serikat, mengakui bahwa masa-masa kejayaan tes IQ dimulai sejak Perang Dunia I, saat dua juta pria Amerika dipilih melalui tes IQ pertama secara massal. Tes IQ tersebut baru saja selesai disusun oleh ahli ilmu jiwa dari Uniersitas Stanford, Lewis Terman.Kedudukan IQ dianggap sangat penting mengingat kecerdasan otak dipandang sebagai satu-satunya kecerdasan yang utama dalam belajar, bekerja dan berkehidupan. Dengan memiliki kecerdasan otak yang tinggi, semua masalah dalam hal belajar atau bekerja dapat diselesaikan dalam waktu yang cepat dan tanpa kesalahan sama sekali. Hal ini mendorong manusia agar mampu sejajar atau melampaui sistem kerja komputer yang mengandalkan: kecepatan dan keakuratan. Padahal, komputer merupakan hasil buatan tangan manusia untuk memudahkan pekerjaan manusia itu sendiri, bukan sebagai saingan manusia.Walaupun demikian, manusia masih tetap berlomba-lomba untuk keluar sebagai pemenang dalam tes IQ. Pada perguruan tinggi misalnya, tes masuk perguruan tinggi dirancang sedemikian rupa untuk mengetahui kecerdasan otak calon mahasiswa. Jika semua orang berlomba-lomba menjadi yang terpintar, maka semua orang mencari kebutuhannya berdasarkan akalnya saja tanpa melihat apakah hasil dari akal itu benar atau tidak.Dalam Sukidi (2004: 39), dicontohkan, di berbagai sekolah dan perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri, mahasiswa yang ber-IQ tinggi biasanya menduduki ranking tinggi dan sekaligus memperoleh prestasi akademis. Begitu pula dalam dunia kerja; mereka akan segera memperoleh pekerjaan yang menjanjikan selepas dari perguruan tinggi. Apalagi banyak perusahaan besar telah lama melakukan kesepakatan dengan perguruan tinggi bergengsi dalam rangka perekrutan lulusan-lulusan terbaiknya untuk bergabung ke dalam perusahaan.Dalam Sukidi (2004: 39), mengatakan bahwa, mata rantai itulah yang kemudian memperkuat persepsi dan citra di kalangan masyarakat luas bahwa orang yang ber IQ-tinggi akan mempunyai masa depan yang lebih cemerlang dan menjanjikan. Sampai-sampai hal itu merasuk kuat ke dalam ingatan kolektif masyarakat: ber-IQ tinggi menjamin kesuksesan hidup; sebaliknya, ber-IQ sedang-sedang saja, apalagi rendah, begitu suram masa depan hidupnya. 3. Emotional Quotient (EQ)Dalam buku Sukidi (2004: 39), sejak dipublikasikannya Emotional Quotient (EQ) pada tahun 1995, temuan riset terbaru dari Goleman itu lebih dari cukup untuk berkesimpulan mengapa orang-orang yang ber-IQ sedang-sedang justru menjadi sukses. Goleman menyebutkan istilah EQ sebagai faktor lain yang mendukung suksesnya orang-orang ber-IQ rendah. Secara singkat, temuan Goleman yang diceritakan melalui buku Sukidi (2004: 40), seorang siswa sekolah menengah menusuk guru fisikanya dengan sebuah pisau dapur karena diberi nilai 80 pada sebuah tes. Kendati siswa tersebut tidak menerima hal itu, ia mencoba melakukan upaya bunuh diri saat mengadu pada guru fisikanya terkait nilainya itu. Dalam tes psikologi, siswa tersebut dianggap gila sementara dan benar akan berupaya bunuh diri karena nilai tes tersebut. Namun, sang guru fisika menganggap siswanya benar-benar ingin membunuhnya. Siswa tersebut akhirnya pindah ke sekolah yang baru dan mendapatkan nilai kelulusan A. Di sisi lain, siswa tersebut tidak pernah meminta maaf pada guru fisikanya yang lama atas insiden tersebut.Hal ini menggugah pemahaman kita, mengapa ada orang yang ber-IQ tinggi dapat melakukan hal-hal yang diluar pikiran atau melakukan hal-hal yang kurang pantas. Dalam buku Sukidi (2004: 44), dengan paradigma kecerdasan emosional, emosi kita hendak dikenali, disadari, dikelola dan dimotivasi, dan bahkan diarahkan pada kecerdasan:a) Melalui pengenalan diri terhadap emosi kita terlebih dahulu. Ajaran filsuf Socrates kenalilah dirimu jelas menunjukkan inti kecerdasan emosional pada diri kita. Dan jangan kaget jika ada hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya: barang siapa yang mengenali dirinya (emosi, pen.) maka ia benar-benar mnegenali Tuhannya, sebenarnya juga bisa merujuk pada segi kecerdasan emosional ini.b) Emosi tentu saja tidak cukup sekedar untuk dikenali, tetapi lebih lanjut perlu juga disadari eksistensi kehadirannya dalam mempengaruhi kehidupan emosional kita. Goleman sendiri menggunakan wacana kesadaran diri untuk memberikan porsi perhatian pikiran kita terhadap situasi dan kondisi emosi. Sementara itu, ahli-ahli psikologi menggunakan istilah yang sedikit agak rumit, yakni metakognisi untuk menyebut kesadaran tentang proses berpikir, dan metamood unutk melukiskan kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.c) Kita bisa lebih mengelola, menguasai, dan bahkan mengendalikan emosi kita, yang menurut kearifan orang Yunani kuno diberikan nama sophyrosne, yakni hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan; keseimbangan dan kebijaksanaan emosi yang terkendali. Peran EQ juga dianggap penting mengingat dalam bertindak manusia dihadapkan pada dua respon: akal dan emosi (jiwa) dari manusia yang lainnya. EQ dibutuhkan untuk membentuk karakter manusia yang telah memiliki IQ. Setiap manusia memiliki tingkat IQ yang berbeda-beda, tingkat IQ tersebut ditunjang oleh EQ agar pemahaman akal selalu selaras dengan ketenangan emosi (jiwa). Orang-orang ber-IQ tinggi tidak banyak yang merasa cukup bahagia dengan apa yang ia peroleh karena sesuatu yang dia peroleh tersebut seringkali bukanlah hal yang ia inginkan atau menenangkan jiwanya. Menurut Ginanjar (2001:62), kecerdasan emosional (EQ) adalah sebuah kemampuan untuk mendengarkan bisikan emosi, dan menjadikannya sebagai sumber informasi maha penting untuk memahami diri sendiri dan orang lain demi mencapai sebuah tujuan.

4. Spiritual Quotient (SQ)Manusia yang berlandaskan akal dan jiwa dalam berkelakuan, menunjukkan tujuan hidup yang berlandaskan human oriented karena sesuatu yang dihasilkan oleh akal atau jiwa hanya untuk diri sendiri atau orang tertentu yang kita inginkan. Orientasi ini mendorong manusia untuk mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok. Sebagai contoh, misalnya di kota Bangka Belitung, banyak kelompok pengusaha tertentu yang mencoba mengeruk tanah untuk mendapatkan sumber daya alam berupa timah di tanah Bangka Belitung. Bila dilihat dari perspektif manusianya, adalah hal yang wajar jika kelompok pengusaha tersebut bersama-sama mengeruk tanah untuk mendapatkan timah demi sesuap nasi. Akan tetapi, hal itu dinilai salah apabila dilakukan secara illegal dan merusak struktur tanah (alam) karena kelompok pengusaha tersebut tidak bertanggung jawab untuk memperbaiki struktur tanah yang telah dimanfaatkannya itu. Dalam hal IQ, kelompok pengusaha tersebut telah berhasil memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Dalam hal EQ, kelompok pengusaha tersebut juga telah berhasil mencapai tujuan bersama mereka demi kepentingan pribadi dan kelompok. Dalam hal Spiritual Quotient (SQ), hal tersebut tidaklah benar karena ranah spiritual berkaitan dengan keridhaan Tuhan dan tidaklah Tuhan menjadi ridha atas pengrusakan alam yang tidak bertanggung jawab. Melalui IQ, manusia dapat memanfaatkan intelegensinya untuk memperoleh kebutuhannya. Juga melalui EQ, peran emosi juga penting dalam ketenangan jiwa dan berhubungan dengan orang lain. Akan tetapi, tanpa SQ, nilai-nilai kebenaran yang berasal dari Tuhan akan sulit ditemukan dan menciptakan kehidupan manusia yang akan merusak ekosistem manusia itu sendiri akibat perilaku yang terlalu mementingkan kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok.5. Keseimbangan IQ, EQ dan SQESQ model yang dirancang dan dipopulerkan oleh Ary Ginanjar Agustian, SQ diposisikan sebagai pusat orbit yang dikelilingi oleh dimensi EQ pada lapisan tengahnya dan dimensi IQ pada lapisan terluarnya. Ketiga dimensi IQ, EQ, dan SQ ini mempunyai energi yang sangat besar bagi manusia. Sebagai contoh, dorongan perilaku yang berdasarkan pada landasan IQ saat mengejar posisi direktur utama di perusahaan dapat mengantarkan manusia untuk memperoleh posisi tersebut dengan cara apapun dan bagaimanapun. Dia tidak lagi melihat apakah yang dilakukan salah atau benar, menyakiti orang lain atau tidak, dan mendatangkan bencana bagi dirinya atau tidak.Dalam contoh yang sama, dorongan perilaku yang berlandaskan EQ akan mengantarkan manusia untuk melakukan kerja sama dengan orang lain untuk membantunya meraih posisi direktur utama dengan janji atau pembagian keuntungan tertentu apabila ia berhasil. Jadi, untuk menetralkan dorongan IQ dan EQ yang berlebihan ini, maka dibutuhkanlah SQ. Karena melalui sebuah SQ, manusia selalu memusatkan titik perbuatannya pada sebuah titik yang seringkali disebut dalam buku psikologi sebagai God-spot (titik ketuhanan).Kita perlu mensinergikan potensi kecerdasan itu ke dalam formul yang dinamakan ESQ Model. Yaitu formula yang menyatukan unsur EQ, IQ dan SQ dalam satu kesatuan sistem yang terintegrasi. Formula ini mengikuti pola thawaf alam semesta, pola electron mengelilingi orbit dan pola manusia mengelilingi kiblat di Mekkah. Salah satu cirri dari formula ini adalah pusat orbitnya memiliki daya tarik yang besar dan mampu menggerakkan benda di sekitarnya untuk berputar serta berevolusi secara seimbang. Apabila gerakan benda-benda itu di luar pusat orbit atau pada posisi keluar dari garis edar, maka niscaya keseimbangannya akan terganggu. (Ginanjar, 2001:65)Dalam ESQ model, pusat orbit harus memiliki daya tarik sendiri. Pada pusat orbit, itulah SQ diletakkan sebagai pusat gerakan dimensi spiritual. Sedangkan EQ yang melingkari SQ, menunjukkan bahwa ilmu EQ digunakan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nlai spiritual. Pada lingkaran EQ ini terletak dimensi emosional. Selanjutnya pada dimensi fisik, seperti aktivitas bisnis, bekerja, berpolitik dan sebagainya harus tetap mengorbit kepada nilai-nilai spiritual. (Ginanjar, 2001:65)Lintasan EQ dan IQ yang mengorbit pada SQ memiliki sebuah kekuatan tersendiri yang tidak bisa diubah-ubah, seperti halnya garis edar planet-planet yang mengelilingi pusat galaksi. Demikian pula apabila pusat orbit itu kita ganti, maka hancur pulalah tatanan jiwa dan tatanan social kita. Sudah banyak contoh yang menunjukkan, manakala manusia mengganti pusat edarnya dengan kepentingan materi, golongan, jabatan, atau diri sendiri, maka hancurlan diri kita atau bangsa kita seperti yang kita lihat sekarang ini. (Ginanjar, 2001:65)

B. Analisis MasalahSeperti yang telah dikemukakan sebelumnya di latar belakang, tesis positvisme adalah: bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Bila ditilik dari sumber utamanya, positivisme berakar pada empirisme. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu dalam pandangan positivisme perlu menguji fakta secara empiris. Hasil pengujian fakta secara empiris inilah yang sering disebut sebagai sebuah IQ seseorang. IQ dapat diuji dan dibuktikan melalui nilai-nilai yang dapat dilihat. Ilmu matematika dapat diuji melalui rumus tertentu dan melihat pada hasil pengujian rumus tersebut.Aliran positivisme mengembangkan berbagai disiplin ilmu termasuk agama, etika, dan politik menjadi dapat diukur melalui penalaran. Dalam hal agama, di sekolah, siswa atau mahasiswa diuji seberapa jauh pemahamannya terhadap agama dalam sebuah tes tertulis dan dirangking berdasarkan nilai. Tetapi, dalam pengaplikasiannya sehari-hari, tidak ada yang bisa mengukur sejauh mana pemahaman agama seseorang atau mengukur sejauh mana pemahaman agama seimbang dengan perilaku sehari-hari. Akibatnya, banyak lulusan sekolah terbaik dengan nilai agama terbaik (salah satunya) ternyata memiliki kelakuan yang tidak agamis dalam kehidupan nyatanya.Temuan Goleman dalam buku Sukidi, seperti yang telah dikemukakan dalam tinjauan pustaka, berhasil membuktikan bahwa ilmu yang diukur melalui nilai telah membutakan seorang siswa saat menyerang guru fisikanya. Makna pencapaian ilmu berupa kemampuan akal dari siswa tersebut tidak menyentuh ranah emosi jiwanya. Hal ini membuktikan, ranah positivisme tidak menjangkau EQ dan SQ karena tidak dapat dibuktikan secara empiris oleh orang lain selain diri manusia yang bersangkutan itu sendiri.

BAB IIIPENUTUPA. KesimpulanTesis positvisme adalah: bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Bila ditilik dari sumber utamanya, positivisme berakar pada empirisme. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu dalam pandangan positivisme perlu menguji fakta secara empiris. Hasil pengujian fakta secara empiris inilah yang sering disebut sebagai sebuah IQ seseorang. IQ dapat diuji dan dibuktikan melalui nilai-nilai yang dapat dilihat. Hal ini membuktikan, ranah positivisme tidak menjangkau EQ dan SQ karena tidak dapat dibuktikan secara empiris oleh orang lain selain diri manusia yang bersangkutan itu sendiri.B. SARANPemahaman akan pentingnya SQ diharapkan mampu lebih berkembang dibandingkan pemahaman pentingnya IQ dan EQ.

DAFTAR PUSTAKAGinanjar, Ary Agustian. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan Rukun Iman dan Rukun Islam. Penerbit Arga. Jakarta. 2001.

Muhadjir, Noeng. Filsafat Ilmu Positivisme,PostPositivisme dan PostModernisme. Edisi II. Penerbit Rake Sarasin. Yogyakarta. 2001.

Sukidi. Rahasia Sukses Hidup Bahagia Kecerdasan Spiritual Mengapa SQ Lebih Penting daripada IQ dan EQ. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2004