Usia (tahun) - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/72310/3/BAB I.pdfBerdasarkan latar belakang...
Transcript of Usia (tahun) - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/72310/3/BAB I.pdfBerdasarkan latar belakang...
1
PENDAHULUAN
Penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA)
merupakan kajian yang menjadi masalah dalam lingkup nasional maupun
internasional. Masalah ini melibatkan sebuah sistem kompleks yang berpengaruh
secara global dan akan berkaitan erat dengan ketahanan nasional sebuah bangsa,
secara langsung maupun tidak langsung.
Ironisnya, dalam perkembangannya hingga saat ini penyalahgunaan narkoba
tersebar secara luas pada berbagai jenjang usia dan berbagai lapisan masyarakat.
Penyalahgunaan narkoba mulai dideteksi tumbuh dan berkembang menjadi
sebuah masalah sosial di Indonesia sejak tahun 1969. Saat ini, masalah tersebut
menjadi masalah yang meresahkan masyarakat. Hasil survey BNN
(BadanNarkotika Nasional) dan Polri pada bulan Maret 2017 menunjukkan dari
tahun ketahun kasus penyalahgunaan narkoba cenderung meningkat, seperti pada
gambar 1.
Gambar 1. Kasus Penyalahgunan narkoba
Sumber: Polri dan BNN, Maret 2017
Hasil survey berdasarkan jenis kelamin juga membuktikan bahwa pengguna
narkoba di Indonesia lebih banyak pria dibandingkan wanita, seperti yang dapat
dilihat pada grafik dibawah ini
25%
20% 26%
29%
Usia (tahun)
2012 2013 2014 2015
2
Grafik 1. Tersangka Penyalahgunaan Narkoba Berdasarkan Jenis Kelamin
Sumber: Polri dan BNN, Maret 2017
Berdasarkan latar belakang pendidikan terdapat peningkatan penyalahgunaan
penggunaan narkoba pada lulusan SD sebesar 37,1 %, lulusan SLTP 31,9%,
lulusan PT 12,87%. Penurunan terjadi pada lulusan SLTA sebesar 5,1 %seperti
grafik 2 dibawah ini.
Grafik 2. Tersangka Penyalahgunaan Narkoba Berdasarkan Latar Belakang
Pendidikan
Sumber: Polri dan BNN, Maret 2017
Berdasarkan usia, terdapat peningkatan jumlah tersangka dari tahun 2012
sampai dengan tahun 2017 sebesar 7,38% pada tersangka di bawah 16 tahun,
27,27%, pada usia 16-19 tahun, 13,4% usia 20-24 tahun, dan 41% usia 25-29
0 11
3
88
11
7
13
2
0
1.7
31
1.5
15
1.7
74
2.1
06
2 0 1 2 2 0 1 3 2 0 1 4 2 0 1 5
JENIS KELAMIN Usia (tahun)
0 11
3
88
11
7
13
2
12
2
0 1
.73
1
1.5
15
1.7
74
2.1
06
2.3
82
0
5.4
30
4.9
93
5.3
77
5.4
78
6.2
69
0
9.5
75
8.9
39
11
.71
8
10
.33
9 16
.21
6
0
21
.37
4
17
.96
2
17
.74
6
17
.58
5
19
.02
3
2 0 1 2 2 0 1 3 2 0 1 4 2 0 1 5 2 0 1 6
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
Usia (tahun)
3
tahun. Penurunan sebesar 11% pada usia di atas 29 tahun. Data dapat dilihat pada
grafik 3.
Grafik 3. Tersangka Penyalahgunaan Narkoba Berdasarkan Usia
Sumber: Polri dan BNN, Maret 2017
Berdasarkan data survey yang dilakukan oleh BNN, diperkirakan jumlah
penyalahguna NAPZA di Indonesia sebanyak 5,1 juta jiwa dan setiap tahun
sekitar 15 ribu jiwa melayang karena menggunakan narkoba (BNN Puslitkes UI,
2016). Sepuluh kabupaten atau kota di Jawa tengah yang rawan peredaran
NAPZA adalah kota Semarang, Solo, kabupaten Banyumas, Cilacap, Magelang,
Sragen, Jepara, Batang, Pemalang, danWonosobo (Tvonenews, 2012). Satuan
Reserse Narkoba Polresta Solo mengungkapkan bahwa selama tahun 2016
terungkap 133 kasus peredaran narkoba dan penyalahgunaan narkoba (SoloPos,
2016). Jumlah kasus itu meningkat 40% dibandingkan tahun sebelumnya yaitu
109 kasus.
Seringkali seseorang yang mengkonsumi NAPZA mengalami gejala-gejala
yang tidak menyenangkan baik medis maupun psikis. Berbagai masalah medis
yang dapat timbul akibat penyalahgunaan NAPZA adalah infeksi human
immunodeficiency virus/autoimmunodeficiency syndrome (HIV/ AIDS), hepatitis
11
3
1.7
31
5.4
30
9.5
75
21
.37
4
38
.40
5
88
1.5
15
4.9
93
8.9
39
17
.96
2
33
.49
7
11
7
1.7
74
5.3
77
11
.71
8
17
.74
6
36
.73
2
13
2
2.1
06
5.4
78
10
.33
9
17
.58
5
35
.64
0
12
2
2.3
82
6.2
69
16
.21
6
19
.02
3 4
4.0
12
< 1 6 1 6 - 1 9 2 0 - 2 4 2 5 - 2 9 > 2 9
U S I A ( T A H U N ) J U M L A H
USIA
2012 2013 2014 2015 2016
4
C atau B. Dampak penyalahgunaan NAPZA bagi tubuh dan kesehatan yang
ditemukan Anggraeni (2015) adalah badan kurus, senyum-senyum sendiri, mudah
gelisah, serba salah, menghindari tatapan mata ketika diajak bicara, mata sering
jelalatan, badan berkeringat meskipun berada di ruangan AC, mudah marah dan
mudah mencurigai lingkungan, terutama lingkungan baru.
Adapun permasalahan secara psikis yang dialami oleh pengguna NAPZA
adalah kecemasan, depresi, dan psikosis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Deykin.,Levy.,&Wells (1987) menjelaskan bahwa kecemasan
terjadi setelah individu mengkonsumsi NAPZA. Hal ini juga didukung oleh
penelitian Joshua & Sarah (2008) bahwa gangguan kecemasan lebih berkaitan
dengan ketergantungan NAPZA, dibandingkan dengan penyalahgunaan NAPZA,
walaupun ada seseorang yang menggunakan NAPZA dengan alasan dirinya
mengalami kecemasan sehingga orang tersebut mengambil jalan pintas dengan
mengkonsumsi NAPZA dan akhirnya merasa tergantung dengan NAPZA karena
dengan NAPZA dirinya merasa tenang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Kushner & Sher (1993) yang menjelaskan bahwa ketergantungan
terhadap NAPZA terjadi karena individu tersebut mengalami kecemasan. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Menurut Baer (2002) mahasiswa yang mengalami
ketergantungan NAPZA karena mengurangi tekanan memiliki faktor resiko lebih
tinggi dibandingan dengan mahasiswa yang mengalami ketergantungan NAPZA
karena hubungan sosial-persahabatan.
Menurut Hawari (dalam Firdaus 2010) dalam penelitiannya tentang
pemeriksaan klinis terhadap pasien penyalahgunaan zat di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta menyatakan bahwa ada hubungan yang
5
bermakna antara penyalahgunaan zat dengan gangguan kepribadian antisosial,
kecemasan, depresi, dan kondisi keluarga. Resiko relatif (estimated relative risk)
penyalahgunaan zat terhadap gangguan kepribadian antisosial sebesar 19,9%;
kecemasan sebesar 13,8%; depresi sebesar 18,8%; dan kondisi keluarga sebesar
7,9%. Hasil penelitian Hawari diperkuat oleh Ahmadi., dkk (2013) bahwa
pecandu narkoba memiliki faktor resiko tinggi terhadap kecemasan.
Studi pendahuluan yang dilakukan penulis pada hari selasa tanggal 27
september 2016 di klinik PTRM Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Solo
pada dua orang pasien dengan pendekatan wawancara informal. PTRM adalah
rangkaian kegiatan terapi yang menggunakan Metadon disertai dengan intervensi
psikososial bagi pasien ketergantungan opioid sesuai kriteria diagnostik Pedoman
Penggolongan dan Diagnostik Gangguan Jiwake-III (Peraturan Menteri Kesehatan
no 57 tahun 2013). Metadon sendiri adalah Narkotika berupa obat jadi dalam
bentuk sediaan tunggal. Obat ini diberikan pada pasien kecanduan untuk
menggantikan zat yang biasanya disalahgunakan, dan obat ini menekan gejala
putus zat (Kaplan&Sadock, 1997).
Metadon ditemukan pertama kali di Jerman pada tahun1937. Secara kimiawi
metadon tidak sama dengan heroin dan morpin, namun menimbulkan efek yang
sama dengan kedua zat tersebut. Didalam tubuh, metadon dapat menstabilkan
kondisi penyalahguna NAPZA dari sindrom ketergantungan obat-obatan
(Direktorat Bina Pelayanan Medik Spesialistik Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Kesehatan, 2007).
Terapi metadon dapat membantu pecandu NAPZA mencapai keadaan bebas
obat dengan cara detoksifikasi dan mencapai tujuan akhir yakni meningkatnya
6
status kesehatan dan produktivitas pasien. Sekaligus juga efektif menekan dampak
buruk narkoba suntik yakni menurunkan prevalensi penularan HIV dan penyakit
menular lainnya di kalangan pengguna jarum suntik (Kompas, 2008).
Kecemasan juga menyertai pasien yang menjalani treatmen program terapi
rumatan metadon (PTRM). Menurut Solimani., Najafi.,& Shargi (2013)
kecemasan dan depresi menyertai pasien terapi metadon. Di satu sisi terapi
metadon berdampak buruk, namun di pihak lain terapi metadon dapat
membebaskan pasien dari ketergantungan NAPZA, dan dapat meningkatkan
kualitas hidup. Kualitas hidup klien menjadi baik setelah menjalani terapi
metadon di program terapi rumatan metadon (PTRM).
Hasil penelitian Hanati (2009) mengatakan bahwa psikoterapi berperan dalam
pengurangan pemakaian opiate, menekan kebutuhan dosis metadon, perbaikan
hasil pada pasien dengan gejala gangguan psikiatri pada taraf berat. Hasil
penelitian Firdaus (2010) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat
depresi pasien narkoba (p < 0,05). Didukung oleh Anggareni & Diniari (2017)
menunjukkan bahwa pasien yang mendapat psikoterapi hasil urinalisis opiate
yang negatif lebih tinggi pada bulan VI dibandingkan dengan pasien yang
mendapat konseling obat(p<0,05), pasien dengan gejala psikiatri pada taraf
gangguan yang berat menunjukkan perbaikan dibanding kelompok konseling
obat(p<0,05). Ada pengaruh yang signifikan antara responden yang menggunakan
terapi metadon dalam jangka waktu yang sebentar dengan responden yang
menggunakan terapi metadon dalam jangka waktu yang lama, dan juga antara
responden dengan penggunaan dosis yang rendah dengan dosis yang tinggi,
7
sekalipun responden yang menggunakan sampai pada waktu yang lama dan
sampai dengan dosis yang tinggi,gangguan kecemasan atau depresi yang dialami
lebih kecil.
Hasil wawancara yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa kedua pasien
menyatakan merasakan cemas dan tertekan dengan keadaanya saat ini ketakutan
akan ketidakberhasilan dalam proses penyembuhan terlebih pada anggota
keluarganya dia merasa takut tidak diterima oleh lingkungannya, dan satu orang
pasien lain yang mengatakan bahwa dirinya merasa tidak akan berhasil sembuh
dan tidak berharga lagi dan tidak dapat melanjutkan hidup normal. Ada rasa
kurang percaya diri untuk membaur dengan tetangga dan keluarga besar. Mereka
sudah pernah datang pada salah satu konselor di rumah sakit tersebut namun tidak
dapat membantu. Kedua responden tersebut menyatakan membutuhkan dukungan
dari orang-orang yang ada di sekitarnya dan ingin terbebas dari perasaan bersalah
atas apa yang telah mereka lakukan.
Menurut Gunarsa (1995) perasaan yang dirasakan kedua narasumber
merupakan kecemasan yang disebabkan oleh cara pandang (perspektif) terhadap
lingkungan sosial. Kecemasan narasumber merupakan perasaan yang tidak
menentu, takut yang tidak jelas, dan tidak terikat pada suatu ancaman. Menurut
hasil penelitian Nainggolan (2011) pengguna NAPZA yang memiliki kepercayaan
diri tinggi memiliki kecemasan sosial rendah, sebaliknya pengguna dengan
kepercayaan diri rendah, memiliki kecemasan sosial tinggi. Gajecki.,
Berman.,Sinadinovic., Anderson., Ljtson.,et al (2014) mengatakan bahwa
kecanduan narkoba berakibat pada kecemasan sosial. Kecemasan sosial ini bisa
menyebabkan individu menjauhkan diri, menghindar dari lingkungan,atau
8
tempat–tempat dan keadaan tertentu. Fenomena ini sesuai dengan hasil beberapa
penelitian yang menunjukkan pentingnya dukungan keluarga terhadap
kesembuhan pengguna NAPZA. Motivasi keluarga membantu pengguna NAPZA
untuk komit terhadap treatmen (Isnaini., Hariyono., & Utami, 2011; Kristanto,
2014; Rindiani, 2017).
Penelitian yang dilakukan oleh Bukhari (2016) pada 41 responden yang
mengikuti rehabilitasi narkoba di sibolangit Center Rehabilitation For Drug
Addict Kecamatan Sibolangit Provinsi Sumatra Utara Tahun 2015 yang hasil
penelitiannya adalah menunjukkan responden yang tidak mengalami cemas
(9,8%), Cemas Ringan (43,9%), Cemas Sedang (36,6%),Cemas Berat (9,8%),
Cemas Berat Sekali (0%).Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan
Adriana (2014) survey awal di Puskesmas Manahan solo dengan menyebarkan 30
angket kepada pasien yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon terdapat
23 pasien yang mengalami kecemasan selama mengikuti terapi. Sikap negatif
penasun inilah yang merupakan faktor internal yang disebabkan evaluasi penasun
terhadap dampak pandangan masyarakat umum yang masih negatif, dan membuat
terapi yang dilakukan tidak berjalan dengan baik.
Observasi yang dilakukan oleh peneliti di 2 tempat yaitu Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Moewardi Surakarta, dan Puskesmas Manahan Surakarta. Klinik
PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon) RSUD. Dr. Moewardi didirikan pada
tahun 2008, klinik ini dibuka karena mengikuti program dari pemerintah. Pada
awalnya klinik ini hanya mempunyai 4 pasien, namun seiring berjalannya waktu
pasiennya bertambah banyak dan saat ini terdapat 12 pasien aktif. Dalam
menangani pasien klinik buka setiap hari. Terapi ini dipimpin oleh 2 dokter yang
9
terdiri dari 1 DPJP (Dokter Penanggung Jawab Paisen) yaitu dr. Suwito, SPKj
dibantu oleh 4 dokter Residen, ada 1 perawat yaitu Bp. Agus Supriyatno, dan 2
apoteker untuk memberikan obat metadon. Klinik Program Terapi Rumatan
Metadon (PTRM) di Puskesmas Manahan Surakarta didirikan pada tahun 2009.
Terapi di Puskesmas Manahan ini ditangani oleh 1 dokter /psikiater, 4perawat dan
2 asisten apoteker, sama dengan Rumah Sakit Daerah Moewardi. Program ini
hanya dilakukan pada penderita ketergantungan heroin jika ketergantunggannya
sabu tidak dapat mengikuti program terapi rumatan metadon, batas maksimal
adalah 2 tahun terapi. Setelah sembuh akan dilakukan tappring off atau penurunan
dosis.
Kesembuhan penyalahguna NAPZA bergantung pada motivasi, dukungan
keluarga, dukungan teman, dan kepatuhan (keteraturan) dalam menjalani terapi
metadon (Rodiyah, 2011). Sedangkan faktor yang mempengaruhi kepatuhan
penyalahguna terhadap terapi metadon yaitu pengetahuan, sikap, dukungan
keluarga dan dukungan petugas kesehatan (Pratiwi., Arsyad., & Ansar, 2011).
Berdasarkan data yang diperoleh peneliti di RS Dr. Moewardi, dari 50 peserta
PTRM, 38 peserta tidak aktif. Artinya 76% dari peserta PTRM tidak patuh
menjalani terapi metadon. Salah satu hasil evaluasi yang dilakukan oleh Pusat
Penelitian HIV/AIDS Unika Atma Jaya terhadap ketidakpatuhan pasien menjalani
terapi metadon adalah kurangnya konseling psikososial yang rutin. Konseling
yang biasa dilakukan lebih berupa konseling untuk kenaikan atau penurunan
dosis(Jaya, 2015).
Amato, et al (2004) telah memeriksa 12 penelitian yang membandingkan 8
intervensi psikososial yang ditambahkan pada terapi rumatan metadon. Hasil
10
tinjauan menunjukkan bahwa intervensi psikososial sangat membantu
menurunkan pemakaian heroin selama dilakukan terapi rumatan metadon. Selain
itu penambahan konseling pada terapi rumatan metadon (selain konseling dasar)
memperbaiki resistensi pasien, dan efikasi program. Hal ini didukung oleh oleh
penelitian Adriana, (2014) yang menyatakan bahwa pemberian konseling terhadap
pasien PTRM dapat memberikan pengaruh positif pada penurunan kecemasan
yang dialami oleh pasien, dibandingkan pasien yang tidak mendapatkan
konseling.
Metode lain yang pernah digunakan untuk penyalahguna NAPZA adalah
metode spriritual. Kaskutas., Bond., & Weisner, C(2003) mewawancarai 587
peserta saat masuk pengobatan, kemudian melihathasilnyasatu dan tiga tahun
kemudian. Peneliti mengamati bahwa hanya baru-baru ini (didefinisikan seperti
dalam tahun lalu) kebangkitan spiritual secara signifikan terkait pantang di
tigatahun dibandingkan dengan peserta yang belum pernah melaporkan
kebangkitan spiritual. Peserta yang melaporkan kebangkitan spiritual di tiga tahun
yang paling mungkin juga laporkan terus-menerus berpantang. Keyakinan
agama tidak terkait dengan pantangan dalam kelompok ini. Namun, agama diukur
dengan satu item dari skala RBB yang diklasifikasikan peserta sebagai atheis,
agnostik, spiritual atau religius, atau 'tidak yakin'.
Restiana (2015) menerapkan therapy community yang dilakukan secara
terpadu (one step center) meliputi 3 tahap yang dilakukan pada 3 residen PSPP
dan 3 konselor. Therapy community ini memadukan ilmu psikologi, keperawatan,
dan kesehatan. Terapi ini mampu merubah aspek kognitif, afektif, sikap dan
perilaku serta spiritual residen menjadi lebih baik pada saat mengikuti rehabilitasi.
11
Terapi alchoholic anonymous (AA) adalah program perawatan yang memberi
penekanan pada tujuan dan aktivitas yang diselesaikan melalui urutan 12
langkah. Terapi ini dikenaldengan 12 langkah (the 12 steps recovery program).
Program ini didesain dengan kegiatan yang bervariasi seperti edukasi ketrampilan,
meningkatkan sosialisasi, pertemuan yang bersifat vokasional, edukasi moral dan
spiritual. Fokus dalam program ini adalah menerapkan setiap langkahnya dalam
kehidupan sehari-hari. Materi yang diberikan AA ditekankan pada perilaku
penyalahguna narkoba.
Hasil penelitian Sutton (1994) di antara 200 peserta alcoholic anonymous
tidak lagi mengkonsumsi NAPZA dan cenderung teratur dalam mengikuti
program terapi. Hal ini juga di katakan oleh Timko., Moos., Finney.,&Moos
(1994) menunjukkan bahwa individu yang menghadiri AA memiliki
kecenderungan mempertahankan pantangan mereka dan memiliki lebih sedikit
masalah terkait alkohol pada follow-up satu tahun.
Mc. Kellar., Stewart.,& Humphreys (2003) mengemukakan bahwa peserta
menemukan manfaat program AA. Manfaat pertama, setelah menghadiri program
alcoholic anonymous, peserta mengkonsumsi lebih sedikit alkohol dan memiliki
lebih sedikit masalah kesehatan dan masalah sosial. Kedua, individu yang tidak
kambuh merasa lebih nyaman hadir dipertemuan, dan karena itu terus hadir,
mempromosikan siklus positif dan dukungan kepada anggota lainnya. Fajriah.,
Husaini.,& Adenan (2016) mengungkapkan bahwa pasien yang mengikuti
alcoholic anonymous menunjukkan tingkat partisipasi korban yang cukup tinggi.
Perkembangan pemulihan penyalahguna adalah 35%. Faktor pendukung
pemulihan adalah motivasi pihak yayasan, rasa kekeluargaan, spiritualitas dan
12
kasih sayang. Faktor penghambat pemulihan adalah kurang dukungan keluarga
dan pergaulan yang dulu. Jadi disimpulkan metode alcoholic anonymous
menekankan rasa kekeluargaan dan perasaan senasib sepenanggungan.
Penelitian yang dilakukan Ando, Almos, Nemet, dkk (2016) menyatakan
bahwa alcoholic anonymous sangat efektif dalam menunjukkan efek
menguntungkan dalam mengurangi kekambuhan untuk jangka panjang dan
keteraturan dalam kehadiran dalam kelompok
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, peneliti terdorong
untuk menggunakan pendekatan terapi AA karena mencakup keseluruhan dari
terapi lainnya, seperti terapi spiritual, terapi kelompok, dan konseling, yang mana
dapat dilakukan dalam satu waktu dan metode sehingga dengan AA, pasien dapat
berbagi dengan sesame pengguna napza, atau teman yang dipercaya untuk
mencurahkan yang dirasakan untuk dapat memberikan saran, dan menguatkan,
sehingga terdorong keinginan dalam diri pasien sendiri untuk sembuh dan
mendekatkan diri dengan Tuhan (spiritual meningkat) guna tercapainya
keberhasilan.
Melihat fenomena di atas maka muncul permasalahan apakah ada pengaruh
alcoholic anonymous terhadap kecemasan pada pasien program terapi rumatan
metadon? Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh alcoholic anonymous terhadap penurunan kecemasan pada
pasien program terapi rumatan metadon. Sedangkan tujuan khusus dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kecemasan pada pasien
Program Terapi Rumatan Metadon setelah diberikan perlakuan, mengetahui
perbedaan nilai kecemasan pada post test dan follow up pada pasien Program
13
Terapi Rumatan Metadon pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen
setelah diberikan perlakuan.
Kecemasan
Menurut Spielberger (1972) kecemasan adalah reaksi emosional yang tidak
menyenangkan terhadap bahaya nyata atau imaginer yang disertai dengan
perubahan pada sistem saraf otonom dan pengalaman subjektif sebagai “tekanan”,
“ketakutan”, dan “kegelisahan”.
Spielberger (1976) membagi kecemasan menjadi dua, yaitu: a) State
anxiety (A-State) yaitu emosi tidak menyenangkan karena dihadapkan dengan
sesuatu yang mengancam dan berbahaya. Konsep kecemasan state dan trait
pertama kali diperkenalkan oleh Cattell (1966; Cattell & Scheier, 1961, 1963) dan
telah dielaborasi oleh Spielberger (1966, 1972, 1976,1979).
State anxiety adalah kondisi emosional yang sementara atau sesaat pada
individu yang bersifat subjektif, karena adanya ketegangan dan kekhawatiran serta
menghasilkan akifitas sistem saraf otonom. State anxiety memiliki variasi
intensitas dan derajat yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan
kondisi individu.
State anxiety (A-State) bersifat sementara, dimana kecemasan itu muncul
ketika individu menerima stimulis yang berpotensi untuk melukai dirinya. Hal ini
ditandai dengan perasaan subjektif seperti tegang, gelisah, gugup, dan khawatir,
dan dengan aktivitas atau rangsangan dari sistem saraf otonom. Kecemasan state
dapat muncul kembali ketika ditimbulkan oleh rangsangan yang tepat; dan
bertahan dari waktu ke waktu ketika kondisi yang muncul masih ada. State
14
anxiety memberikan gambaran kecemasan yang di hayati sehubungan dengan
penghayatan individu terhadap situasi yang akan menimbulkan kecemasan, dalam
hal ini situasi menghadapi kebakaran.
Trait anxiety (B-State) lebih mengarahkan pada kestabilan perbedaan
kepribadian dalam kecenderungan untuk merasa cemas. B-State tidak langsung
telihat pada tingkah laku individu, tetapi dapat dilihat dari frekuensi states
anxiety individu yaitu perbedaan antara orang-orang dalam kecenderungan untuk
merasakan stres situasi yang berbahaya atau mengancam dan untuk menanggapi
situasi dalam intensitas reaksi keadaan cemas mereka (S-Anxiety).
Kecemasan trait juga dapat mencerminkan perbedaan individu dalam
frekuensi dan intensitas dimana keadaan kecemasan telah terwujud di masa lalu,
dan dalam probabilitas bahwa S-Anxiety akan dialami di masa depan. Semakin
kuat trait kecemasan, semakin besar kemungkinan individu itu akan mengalami
peningkatan yang lebih intens dalam kecemasan state dalam situasi yang
mengancam.
Kecemasan adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh
situasi. Ketika merasa cemas, individu merasa tidak nyaman, takut, atau memiliki
firasat akan ditimpa malapetaka padahal iatidak mengerti mengapa emosi yang
mengancam tersebut terjadi (Amir, 2013). Kecemasan merupakan pengalaman
perasaan yang menyakitkan serta tidak menyenangkan. Kecemasan timbul dari
reaksi ketegangan-ketegangan dalam atau intern dari tubuh, akibat suatu dorongan
dari dalam atau dari luar dan dikuasai oleh susunan urat saraf otonom. Misalnya,
apabila seseorang menghadapi keadaan yang berbahaya dan menakutkan, maka
jantungnya akan bergerak lebih cepat, nafasnya menjadi sesak, mulutnya menjadi
15
kering dan telapak tangannya berkeringat, reaksi semacam inilah yang kemudian
menimbulkan reaksi kecemasan (Agustinus dalam Hayat, 2014).
Kecemasan merupakan pengalaman yang bersifat subjektif, tidak
menyenangkan, tidak menentu, menakutkan dan mengkhawatirkan akan adanya
kemungkinan bahaya atauancaman bahaya, dan seringkali disertai oleh gejala-
gejala atau reaksi fisik tertentuakibat peningkatan aktifitas otonomik (Idrus,
2006). Kecemasan adalah pengalaman subjektif yang terdiri dari ketegangan
mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan
menghadapi masalah atau adanya rasa aman. Biasanya perasaan tidak
menyenangkan tersebut menimbulkan gejala fisiologis (seperti gemetar,
berkeringar, detak jantung meningkat, dll) dan gejala psikologis (seperti panik,
tegang, bingung, tidak dapat berkonsentrasi, dll). Perbedaan intensitaskecemasan
tergantung pada keseriusan ancaman dan efekivitas dari operasi-operasikeamanan
yang dimiliki seseorang. Mulai munculnya perasaan-perasaan tertekan,
tidakberdaya akan muncul apabila orang tidak siap menghadapi ancaman. (Taylor
dalam Leonard dan Supardi, 2010).
Aspek-aspek yang mempengaruhi kecemasan menurut Spielberg (1972)
aspek A-State adalah: a) perasaan yang tidak menyenangkan, b) perasaan yang
muncul akibat ketegangan dan ketakutan dengan aktivasi atau gairah yang terkait
dari sistem saraf otonom. Kecemasan sesaat tersusun dari suatu yang kompleks,
yang secara relatif merupakan kondisi atau reaksi emosional yang unik, bervariasi
dalam intensitas dan setiap saat berubah-ubah. Lebih spesifik lagi, kecemasan
sesaat ini di konseptualiskan sebagai munculnya perasaan tidak senang
16
(unpleasant) , perasaan tegang (tension) dan perasaan takut (apprehension) yang
di sertai dengan adanya peningkatan aktifitas sistem saraf pusat.
Menurut Sari dan Kuncoro (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi
kecemasan antara lain keadaan pribadi individu, tingkat pendidikan, pengalaman
yang tidak menyenangkan, dan dukungan sosial. Sedangkan menurut Nevid, dkk
(2007), kecemasan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: a) Faktor sosial lingkungan
meliputi pemaparan terhadap peristiwa yang mengancam atau traumatis,
mengamati respon takut pada orang lain, dan kurangnya dukungan sosial.
Lingkungan keluarga yang peduli, dalam hal ini hubungan keluarga yang
harmonis, saling memberikan dorongan antara anak dengan orangtua atau dengan
keluarga besar (extended family). Anggota keluarga harus secara intensif
mendampingi pasien pengguna narkoba, b) Faktor biologis meliputi predisposisi
genetis, ireguaritas dalam fungsi neurotransmiter, dan abnormalitas dalam jalur
otak yang memberi sinyal bahaya atau yang menghambat tingkah laku repetitif, c)
Faktor behavioral meliputi pemasangan stimuli aversif dan stimuli yang
sebelumnya netral, kelegaan dari kecemasan karena melakukan ritual kompulsif
atau menghindari stimuli fobik, dan kurangnya kesempatan untuk pemunahan
karena penghindaran terhadap objek atau situasi yang ditakuti, d) Faktor kognitif
dan emosional meliputi konflik psikologis yang tidak terselesaikan (Freudian atau
teoripsikodinamika), faktor-faktor kognitif seperti prediksi berlebihan tentang
ketakutan, keyakinan-keyakinan yang self defeating atau irasional, sensivitas
berlebih terhadap ancaman, sensivitas kecemasan, salah atribusi dari sinyal-sinyal
tubuh, dan self efficacy yang rendah.
17
Menurut Kaplan dan Sadock (dalam Jurnal Berita Ilmu Keperawatan,2008)
faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien antara lain; a) Faktor intrinsik
antara lain: 1)Usia pasien Gangguan kecemasan dapat terjadi pada semua usia,
lebih sering pada usia dewasa dan lebih banyak pada wanita. Sebagian besar
kecemasan terjadi pada usia 21-45 tahun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Lutfa (2008) menunjukkan untuk hubungan usia pasien dengan kecemasan
diperoleh koefisien r =-0.592 dengan nilai p=0.02, arah korelasi negatif sehingga
berarti semakin bertambahnya usia pasien maka ada kecenderungan kecemasan
pasien semakin menurun. Gangguan kecemasan dimulai pada awal masa dewasa,
antara usia 15 dan 25 tahun, tetapi angka terus meningkat setelah usia 35 tahun
(Puri, Laking, & Treasaden, 2011), 2) Pengalaman pasien menjalani pengobatan
merupakan pengalaman-pengalaman yang sangat berharga yang terjadi pada
individu terutama untuk masa-masa yang akan datang. Pengalaman awal ini
sebagai bagian penting dan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di
kemudian hari. Apabila pengalaman individu tentang terapi metadon, maka
cenderung mempengaruhi peningkatan kecemasan saat menghadapi tindakan
terapi metadon, 3) Konsep diri dan peran adalah semua ide, pikiran, kepercayaan
dan pendirian yang diketahui individu terhadap dirinya dan mempengaruhi
individu berhubungan dengan orang lain. Menurut Stuart & Sundeen (1991) peran
adalah pola sikap perilaku dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan
posisinya di masyarkat, b) Faktor ekstrinsik meliputi: 1) Kondisi medis terjadinya
gejala kecemasan yang berhubungan dengan kondisi medis sering ditemukan
walaupun insidensi gangguan bervariasi untuk masing-masing kondisi medis
misalnya, pada pasien sesuai hasil pemeriksaan akan mendapatkan diagnosa suatu
18
sakit, hal ini akan mempengaruhi kecemasan klien, sebaliknya pada pasien yang
dengan diagnose baik tidak terlalu mempengaruhi tingkat kecemasan, 2) Jenis
tindakan adalah klarifikasi tindakan terapi yang dapat mendatangkan kecemasan
karena terdapat ancaman pada integritas tubuh dan jiwa seseorang (Long, 1996).
Semakin mengetahui tentang tindakan terapi, akan mempengaruhi kecemasan
pasien terapi metadon, 3) Komunikasi terapeutik sangat dibutuhkan baik bagi
perawat maupun pasien. Terlebih bagi pasien yang sedang menjalani terapi
metadon. Hampir sebagian besar pasien yang menjalani terapi mengalami
kecemasan. Pasien sangat membutuhkan penjelasan yang baik dari perawat.
Komunikasi yang baik diantara mereka akan menentukan tahap terapi selanjutnya.
Pasien cemas saat akan menjalani terapi kemungkinan mengalami efek yang tidak
menyenangkan bahkan akan membahayakan.
Alkhoholic Anonymous (AA)
Sejarah Alcoholic Anonymous
Pada tahun 1935 terjadi pertemuan antara Bill W., seorang pialang saham
New York, dan Dr. Bob S., seorang ahli bedah Akron di Akron, Ohio. Keduanya
adalah pecandu alkohol yang putus asa. Keduanya bertemu di Oxford Group,
sebuah kelompok yang beranggotakan sebagian besar bukan pecandu alkohol
yang menekankan nilai-nilai spiritual universal dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika Dr. Bob dan Bill bertemu, munculah kesadaran di antara keduanya bahwa
alkoholisme adalah penyakit pikiran, emosi, dan tubuh.
Pada musim gugur 1935, kelompok kedua pecandu alkohol perlahan-lahan
mulai terbentuk di New York. Kelompok ketiga muncul di Cleveland pada tahun
19
1939. Awal tahun 1939, Fellowship menerbitkan buku teks dasarnya, Alcoholics
Anonymous. Teks, yang ditulis oleh Bill, menjelaskan filosofi dan metode A.A,
yang intinya adalah 12 Langkah pemulihan. Buku ini juga diperkuat oleh sejarah
kasus dari sekitar tiga puluh anggota yang pulih. Dari titik ini, perkembangan
A.A. sangat cepat.
Di tahun yang sama, Cleveland Plain Dealer membawa serangkaian artikel
tentang A.A. Awalnya anggota kelompok Cleveland terdiri dari dua puluh
anggota. Beberapa bulan kemudian, berkembang menjadi 500. Tahun 1938 Dr.
Bob dan Bill mengorganisir kelompok AA yang mulai tumbuh. Dewan ini diberi
nama The Alcoholic Foundation.
Kegiatan kelompok AA di New York terdiri dari hubungan masyarakat, saran
untuk kelompok-kelompok baru, layanan ke rumah sakit, penjara, Loners, dan
Internasionalis, dan kerja sama dengan lembaga-lembaga lain di bidang
alkoholisme.Tahun 1951 terjadi pertemuan untuk pelayanan dunia. Konvensi
Internasional kedua diadakan di St. Louis pada tahun 1955 untuk merayakan
peringatan 20 tahun kelompok. Pada saat ini, kelompok AA berjalan mandiri.
Sejak itu, A.A. telah menjadi benar-benar mendunia, melampaui sebagian
besar hambatan ras, kepercayaan dan bahasa. Pertemuan Layanan Dunia, dimulai
pada tahun 1969, telah diadakan dua tahun sekali sejak 1972. Lokasinya berganti-
ganti antara New York, London, Inggris; Helsinki, Finlandia; San Juan del Rio,
Meksiko; Guatemala City, Guatemala; Munich, Jerman; Cartagena, Kolombia;
Auckland, Selandia Baru; dan Oviedo, Spanyol.
Dalam waktu empat tahun sejak berdirinya AA, orang-orang yang kecanduan
opiat dan obat-obatan lainnya mulai mengeksplorasi apakah dengan
20
mempraktikkan 12 Langkah AA dapat memulihkan dari kecanduan obat. Rumah
Sakit Layanan Kesehatan di Lexington, Kentucky menggunakan program
Alcoholics Anonymous pada pecandu narkoba. Salah satunya adalah Tom,
seorang dokter yang telah menjadi pecandu alkohol dan morfin, Tom M. adalah
orang pertama yang diketahuimencapai pemulihan berkelanjutan dari kecanduan
morfin melalui Alcoholics Anonymous (Powers, T. E. (2008). How Bill W.
learned that AA’s 12 steps work for drug addicts, too. 24 Newsletter, 1(4).)
Menurut Montalto, 2015 Alkhoholic anonymous (AA) program perawatan
yang memberi penekanan pada tujuan dan aktivitas yang diselesaikan melalui
urutan 12 langkah. Ini adalah sebuah program swadaya yang biasanya dilakukan
dalam lingkungan kelompok, dan bertujuan untuk membantu orang dalam
menyadari bahwa mereka tidak berdaya atas substansi.
Terapi AA adalah program perawatan yang memberi penekanan pada tujuan
dan aktivitas yang diselesaikan melalui urutan 12 langkah. Terapi ini
dikenaldengan 12 langkah (the 12 steps recovery program). Program ini didesain
dengan kegiatan yang bervariasi seperti edukasi ketrampilan, meningkatkan
sosialisasi, pertemuan yang bersifat vokasional, edukasi moral dan spiritual.
Fokus dalam program ini adalah menerapkan setiap langkahnya dalam kehidupan
sehari-hari. Materi yang diberikan AA ditekankan pada perilaku penyalahguna
narkoba.
Berikut adalah 12 langkah dalam Alkhoholic Anonnymous (AA) Setiyawati,
dkk 2015 , yaitu; a) Step 1 “Kita mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap
adiksi kita, sehingga hidup kita menjadi tidak terkendali.” b) Step 2 “Kita menjadi
yakin bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari kita sendiri yang dapat
21
mengembalikan kita kepada kewarasan.” c) Step 3 “Kita membuat keputusan
untuk menyerahkan kemauan kita dan arah kehiduoan kita kepada kasih Tuhan
sebagaimana kita memahaminya.” d) Step 4 “Kita membuat inventaris moral diri
kita sendiri secara penuh, menyeluruh dan tanpa rasa gentar.” e) Step 5 “Kita
mengakui kepada Tuhan, kepada diri kita sendiri dan kepada seorang manusia
lainnya, setepat mungkin sifat dari kesalahan-kesalahan kita.” f) Step 6 “Kita siap
sepenuhnya agar Tuhan menyingkirkan semua kecacatan karakter kita.” g) Step 7
“Kita dengan rendah hati memohon kepadaNya untuk menyingkirkan semua
kekurangan-kekurangan kita.” h) Step 8 “Kita membuat daftar orang-orang yang
telah kita sakiti dan menyiapkan diri untuk meminta maaf kepada mereka
semua.” i) Step 9 “Kita menebus kesalahan kita secara langsung kepada orang-
orang tersebut bilamana memungkinkan, kecuali bilamana memungkinkan,
kecuali bila melakukannya akan justru melukai mereka atau orang lain.” j) Step
10 “kita secara terus menerus melakukan inventarisasi pribadi kita dan bilaman
kita bersalah, segera mengakui kesalahan kita.” k) Step 11 “Kita melakukan
pencarian melalui doa dan meditasi untuk memperbaiki kontak sadar kita dengan
Tuhan sebagaimana kita memahaminya, berdoa hanya untuk mengetahui
kehendakNya atas diri kita dan kekuatan untuk melaksankannya.” l) Step 12
“setelah mengalami pencerahan spiritual sebagai hasil dari langkah-langkah ini,
kita mencoba menyampaikan pesan ini kepada pra pecandu dan untuk
menerapkan prinsip-prinsip ini dalam segala hal yang kita lakukan.”
22
Kaitan Antara alkhoholic Anonymous terhadap penurunan Kecemasan pada
Pasien Program Terapi Rumatan Metadon di Surakarta
Penyalahguna narkoba memiliki kecenderungan untuk mengisolasi diri. Ini
membuat mereka seringkali merasakan kesepian yang mendalam, dan mereka
mencoba untuk mengisi kesepian itu dengan menggunakan drugs. Semakin dalam
mereka masuk ke dalam dunia adiksi/kecanduan, semakin jauh mereka menarik
diri dari masyarakat, teman-teman, dan keluarga. Hal yang paling umum terjadi
pada penyalahguna narkoba adalah mereka akan merasa tidak nyaman apabila ada
orang lain yang dapat melihat ke dalam diri mereka (cemas). Menurut Hawari
(dalam Firdaus 2010) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
penyalahgunaan zat dengan gangguan kepribadian antisosial, kecemasan, depresi,
dan kondisi keluarga. Hasil penelitian Hawari diperkuat oleh Ahmadi., dkk (2013)
bahwa pecandu narkoba memiliki faktor resiko tinggi terhadap kecemasan.
Hal utama yang dibutuhkan oleh penyalahguna narkoba adalah pengertian
tentang bagaimana menjalani kehidupan tanpa harus bergantung pada zat-zat
adiktif. Oleh karena itu, terdapat banyak penyalahguna narkoba yang mencoba
untuk mencari pertolongan ke profesional medis yaitu dengan mengikuti program
terapi rumatan metadon (PTRM). Kecemasan pada pasien Program Terapi
Rumatan Metadon (PTRM), yaitu pasien yang diterapi karena memakai obat-
obatan terlarang atau Napza terjadi karena banyak faktor yaitu merasa tertekan,
tidak mampu, tidak mempunyai harapan, kehilangan motivasi, merasa tidak
berharga dan tidak diteriman di lingkungan terutama saat pasien sembuh sesudah
mengikuti program. Padahal dengan adanya rasa tersebut akan menganggu proses
penyembuhan.
23
Alkhoholic anonymous merupakan program yang memberikan panduan hidup
bagi para penyalahguna narkoba, serta memberikan gambaran tentang bagaimana
kita menghadapi kehidupan yang bersih dari zat-zat adiktif. Ini dapat membantu
mereka untuk berhadapan dengan masalah-masalah yang mereka hadapi sehari-
hari tanpa harus menggunakan obat terlarang. Terapi ini juga dapat membantu
mereka untuk mengetahui akar dan inti permasalahan yang mereka hadapi selama
ini. Kebanyakan dari mereka akan menolak menyebut diri mereka sendiri sebagai
seorang penyalahguna narkoba. Mereka biasanya berpikir bahwa mereka dapat
mengontrol/mengendalikan pemakaian mereka. Padahal justru sebaliknya,
kehidupan merekalah yang dikendalikan oleh obat terlarang. Sikap seperti ini
sama halnya dengan menyangkal bahwa mereka memiliki masalah.
Fungsi dari 12 Langkah adalah untuk membantu mereka agar dapat melihat
ke dalam diri mereka sendiri, karena pada intinya pemulihan berasal dari masing-
masing individu. Selain itu fungsi 12 langkah ini juga membantu mereka untuk
dapat menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam diri mereka, dan
membuat mereka lebih memahami tentang adiksi/kecanduan.
Penelitian Sutton (1994) didapatkan hasil bahwa di antara 200 peserta AA
tidak lagi mengkonsumsi NAPZA dan cenderung memiliki trait anxiety lebih
rendah dan self esteem lebih tinggi. Penelitian lain yang dilakukan Ando, Almos,
Nemet, dkk (2016) menyatakan bahwa AA sangat efektif dalam penurunan
kecemasan dan menunjukkan efek menguntungkan dalam mengurangi
kekambuhan untuk jangka panjang, sehingga keteraturan dalam kehadiran
kelompok AA sangat penting. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Timko C, Moos RH, Finney JW, &Moos BS (1994) yang menunjukkan
24
bahwa individu yang menghadiri AA memiliki kecenderungan mempertahankan
pantangan mereka dan memiliki lebih sedikit masalah terkait alkohol pada
follow-up satu tahun.
Hasil penelitian Fajriah, E., Husaini,H.,& Adenan,A (2016) menunjukkan
tingkat partisipasi korban yang mengikuti metode AA cukup tinggi.
Perkembangan pemulihan penyalahguna adalah 35%. Faktor pendukung
pemulihan adalah motivasi pihak yayasan, rasa kekeluargaan, spiritualitas dan
kasih sayang. Faktor penghambat pemulihan adalah kurang dukungan keluarga
dan pergaulan yang dulu. Jadi disimpulkan metode AA menekankan rasa
kekeluargaan dan perasaan senasib sepenanggungan. Lebih lanjut ada dua
argumen yang mempromosikan AA itu efektif, yang pertama adalah bahwa saat
menghadiri program AA, peserta mengkonsumsi lebih sedikit alkohol dan
memiliki lebih sedikit masalah kesehatan dan masalah sosial, yang kedua
adalah individu yang tidak kambuh merasa lebih nyaman hadir dipertemuan dan
karena itu terus hadir, mempromosikan siklus positif dan dukungan kepada
anggota lainnya.
Larsen (1985), berpendapat bahwa Dua Belas Langkah atau alcoholic
anonymous mempunyai hikmat spiritual yang tidak terbatas. Kurtz dan Ketcham
(1992) mengamati bahwa anggota awal Alcoholics Anonymous menemukan tema
penting yang mengarah tentang gagasan pemulihan yang tidak hanya melampaui
pantangan saja. Tema utama meliputi gagasan bahwa adanya spiritualitas sangat
penting dalam proses pemulihan. Miller (1998) mengamati bahwa peran
spiritualitas sebagai komponen proses pemulihan merupakan bidang utama saat
proses penyembuhan sedang berlangsung.
25
Peran spiritualitas merupakan salah satu bagian dalam psikologi
transpersonal. Friedman dan Pappas (2006) berpendapat bahwa psikologi
transpersonal dibangun dari perspektif psikologis yang berbeda, yang pada
umumnya memandang psikologi sebagai sesuatu yang berguna namun tidak
lengkap dan terbatas. Bahkan, termasuk pula pendekatan psikologi yang lain,
seperti kearifan beragam budaya berkaitan dengan psikopatologi dan kesehatan
mental, serta beragam keadaan kesadaran (states of consciousness). Psikologi
transpersonal bukanlah seperangkat kepercayaan, dogma, atau agama, namun
merupakan suatu upaya untuk membawa tingkatan pengalaman manusia
sepenuhnya menuju wacana dalam psikologi. Berdasarkan 202 definisi, Lajoie
dan Shapiro (1992) yang dikutip dari Friedman dan Pappas (2006) menyimpulkan
psikologi transpersonal adalah psikologi yang mencakup kajian tentang potensi
tertinggi umat manusia, dan dengan mengenali, memahami, serta realisasi dari
penyatuan spiritual, dan melebihi keadaan kesadaran (states of consciousness).
Diharapkan dengan menggunakan teknik transpersonal dapat memudahkan
fasilitator dalam menggali informasi dan lebih mengakui perasaan dan
mengekspresikan emosi negatif yang dirasakan oleh pasien. Sehingga akan lebih
mudah fasilitator dalam memberikan dan membangkitkan pola pikir positif dan
konstruktif. Yang dapat meningkatkan kebiasaaan perilaku produktif. Sehingga
program alcoholic anonymous dapat membantu pasien dalam mengurangi
kecemasaanya.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa dengan alkhoholic
anonymous dapat menjadi alternatif untuk menurunkan tingkat kecemasan yang
dirasa Pasien Program Terapi Rumatan Metadon.
26
Gambar 2: Kerangka Berpikir Pengaruh alkhoholic anonymous terhadap
Penurunan Kecemasan pada Pasien Program Terapi Rumatan Metadon di Rumah
Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Solo
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada pengaruh pemberian
narcotic anonymous atau alkhoholic anonymous terhadap kecemasan pada pasien
program terapi rumatan metadon (PTRM)
Ketergantungan
Napza
PTRM PTRM + NA/AA
Kecemasan turun
Tidak Relapse
Cemas Cemas
Masih Cemas
Kecemasan