Urgensi Kehadiran Kebijakan Perlindungan Bagi Tki

4
URGENSI KEHADIRAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN BAGI TKI Dr. Marzuki Alie Momentum May Day yang diperingati seluruh dunia tiap tanggal 1 Mei, menjadi peringatan bersama akan potret kehidupan buruh, baik buruh nasional maupun buruh migran. Berbagai tuntutan seperti hapus overcharging, hapus terminal TKI, berlakukan kontrak mandiri dan kepastian revisi UU TKI No. 39 Tahun 2004 sesuai standar konvensi migran yang telah diratifikasi pemerintah pada 2012 lalu, mewarnai aksi buruh di tanah air. Secara fakta, permasalahan TKI memang ibarat benang kusut yang harus diurai. Sistem perekrutan, percaloan hingga absennya perjanjian kerja yang berkualitas menjadi masalah bangsa yang kian runyam. Perlu kebijakan perlindungan nasional yang berkualitas, yang dapat menjadi payung hukum bagi TKI di berbagai negara tujuan. Meski demikian, tentu kebijakan ini tidak akan mempunyai perspektif perlindungan yang baik, selama TKI masih menjadi outsider dalam proses pembuatan kebijakan. Partisipasi mereka secara politik adalah sebuah keharusan. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebuah kebijakan perlindungan yang berkualitas, sangat dibutuhkan oleh TKI yang bekerja di banyak negara tujuan, terutama Malaysia dan Arab Saudi sebagai negara tujuan utama. Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) 2012, penempatan TKI mencapai 494.609 dengan klasifikasi TKI formal 258.411 dan TKI informal 236.198. Sedangkan komposisi TKI laki-laki adalah 214.825 (43%) dan perempuan 279.784 (57%). BNP2TKI menuliskan bahwa telah terjadi penurunan jumlah penempatan dibanding tahun 2010 dan 2011, karena adanya moratorium penempatan TKI Pekerja Rumah Tangga (PRT) ke negara Arab Saudi, Malaysia, Yordania, Kuwait dan Syria. Persentase TKI yang didominasi oleh TKI perempuan di banyak negara tujuan, seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia untuk menjamin keselamatan mereka dalam bekerja. Pasalnya, mayoritas TKI perempuan ditempatkan pada jenis kerja domestik dimana tingkat keselamatan kerja mereka sangat terbatas untuk diketahui publik. Malaysia dan Arab Saudi, adalah negara tujuan terbesar bagi TKI perempuan. Ironi-nya, kedua negara tersebut tidak mempunyai kebijakan perlindungan yang berkualitas bagi pekerja di sektor domestik. Tidak hanya itu, kehidupan sosial politik bahkan ekonomi TKI pun dibelenggu dengan tidak diperbolehkannya keluar rumah, berorganisasi hingga pengupahan minim dan tidak transparan. Segala permasalahan yang terjadi pada TKI di luar negeri, baik kekerasan secara fisik, psikis dan ekonomi adalah refleksi dari kebijakan pemerintah yang belum berperspektif perlindungan. DPR RI mempunyai perhatian besar terhadap kualitas perlindungan bagi TKI di luar negeri dengan terus mengedepankan point perlindungan di banding penempatan dalam RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) yang tengah di bahas. Selain itu, kerjasama dengan pihak insfrastruktur seperti LSM pun dilakukan sebagai langkah nyata keseriusan lembaga legislatif melindungi TKI. Problem TKI Berbicara masalah TKI, maka ada beberapa tahap penempatan yang perlu diurai, yaitu TAHAP PRA PENEMPATAN (tahap sebelum TKI/TKI perempuan berangkat), TAHAP PENEMPATAN (ketika mereka berada di negara tujuan) dan terakhir TAHAP PURNA PENEMPATAN (ketika TKI/TKI perempuan sudah kembali ke tanah air). Mayoritas permasalahan yang dihadapi oleh TKI bersumber dari dalam negeri, yaitu pada masa pra penempatan. Beberapa kasus terjadi, seperti pemalsuan identitas calon TKI, keterampilan dan kecakapan TKI yang tidak sesuai dengan bidang kerjanya, minimnya kemampuan berbahasa dan memahami budaya setempat,

Transcript of Urgensi Kehadiran Kebijakan Perlindungan Bagi Tki

Page 1: Urgensi Kehadiran Kebijakan Perlindungan Bagi Tki

URGENSI KEHADIRAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN BAGI TKI

Dr. Marzuki Alie

Momentum May Day yang diperingati seluruh dunia tiap tanggal 1 Mei, menjadi peringatan

bersama akan potret kehidupan buruh, baik buruh nasional maupun buruh migran. Berbagai

tuntutan seperti hapus overcharging, hapus terminal TKI, berlakukan kontrak mandiri dan

kepastian revisi UU TKI No. 39 Tahun 2004 sesuai standar konvensi migran yang telah

diratifikasi pemerintah pada 2012 lalu, mewarnai aksi buruh di tanah air. Secara fakta,

permasalahan TKI memang ibarat benang kusut yang harus diurai. Sistem perekrutan, percaloan

hingga absennya perjanjian kerja yang berkualitas menjadi masalah bangsa yang kian runyam.

Perlu kebijakan perlindungan nasional yang berkualitas, yang dapat menjadi payung hukum bagi

TKI di berbagai negara tujuan. Meski demikian, tentu kebijakan ini tidak akan mempunyai

perspektif perlindungan yang baik, selama TKI masih menjadi outsider dalam proses pembuatan

kebijakan. Partisipasi mereka secara politik adalah sebuah keharusan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa sebuah kebijakan perlindungan yang berkualitas, sangat

dibutuhkan oleh TKI yang bekerja di banyak negara tujuan, terutama Malaysia dan Arab Saudi

sebagai negara tujuan utama. Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan

TKI (BNP2TKI) 2012, penempatan TKI mencapai 494.609 dengan klasifikasi TKI formal 258.411

dan TKI informal 236.198. Sedangkan komposisi TKI laki-laki adalah 214.825 (43%) dan

perempuan 279.784 (57%). BNP2TKI menuliskan bahwa telah terjadi penurunan jumlah

penempatan dibanding tahun 2010 dan 2011, karena adanya moratorium penempatan TKI

Pekerja Rumah Tangga (PRT) ke negara Arab Saudi, Malaysia, Yordania, Kuwait dan Syria.

Persentase TKI yang didominasi oleh TKI perempuan di banyak negara tujuan, seharusnya

menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia untuk menjamin keselamatan mereka dalam

bekerja. Pasalnya, mayoritas TKI perempuan ditempatkan pada jenis kerja domestik dimana

tingkat keselamatan kerja mereka sangat terbatas untuk diketahui publik. Malaysia dan Arab

Saudi, adalah negara tujuan terbesar bagi TKI perempuan. Ironi-nya, kedua negara tersebut

tidak mempunyai kebijakan perlindungan yang berkualitas bagi pekerja di sektor domestik.

Tidak hanya itu, kehidupan sosial politik bahkan ekonomi TKI pun dibelenggu dengan tidak

diperbolehkannya keluar rumah, berorganisasi hingga pengupahan minim dan tidak transparan.

Segala permasalahan yang terjadi pada TKI di luar negeri, baik kekerasan secara fisik, psikis dan

ekonomi adalah refleksi dari kebijakan pemerintah yang belum berperspektif perlindungan. DPR

RI mempunyai perhatian besar terhadap kualitas perlindungan bagi TKI di luar negeri dengan

terus mengedepankan point perlindungan di banding penempatan dalam RUU Perlindungan

Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) yang tengah di bahas. Selain itu, kerjasama dengan

pihak insfrastruktur seperti LSM pun dilakukan sebagai langkah nyata keseriusan lembaga

legislatif melindungi TKI.

Problem TKI

Berbicara masalah TKI, maka ada beberapa tahap penempatan yang perlu diurai, yaitu TAHAP

PRA PENEMPATAN (tahap sebelum TKI/TKI perempuan berangkat), TAHAP PENEMPATAN

(ketika mereka berada di negara tujuan) dan terakhir TAHAP PURNA PENEMPATAN (ketika

TKI/TKI perempuan sudah kembali ke tanah air). Mayoritas permasalahan yang dihadapi oleh

TKI bersumber dari dalam negeri, yaitu pada masa pra penempatan. Beberapa kasus terjadi,

seperti pemalsuan identitas calon TKI, keterampilan dan kecakapan TKI yang tidak sesuai

dengan bidang kerjanya, minimnya kemampuan berbahasa dan memahami budaya setempat,

Page 2: Urgensi Kehadiran Kebijakan Perlindungan Bagi Tki

buruknya informasi, pelayanan dan perlakuan terhadap calon TKI dari aparatur birokrasi juga

pihak PT. Tidak hanya itu, potret penipuan, suburnya percaloan mewarnai tahap pra

penempatan.

Dampak dari ini semua adalah tercorengnya wajah bangsa Indonesia dengan justifikasi bahwa

TKI tidak berkualitas, kalah saing dibanding negara lain seperti Philiphina. Lebih dari itu,

mekanisme pra penempatan yang nyatanya merugikan banyak calon TKI, menyebabkan mereka

memutuskan untuk pergi dengan jalur illegal, tanpa dokumen resmi negara, seperti melewati

perbatasan Indonesia-Malaysia untuk bekerja. Melihat banyaknya kasus terjadi di masa pra

penempatan, maka pengaturan ketat mulai dari format dan kualitas pelatihan, charge biaya

keberangkatan hingga fiksasi identitas diri yang benar, perlu diatur dalam UU yang ada.

Selain tahap pra penempatan, kita juga mengenal tahap penempatan. Para TKI yang sudah

sampai di negara tujuan, seharusnya bekerja sesuai kontrak kerja yang mereka tandatangani di

tanah air. Faktanya, seringkali para TKI perempuan ditempatkan di tempat yang berbeda dari

kontrak kerja yang ada. Belum lagi ada juga TKI perempuan yang dipaksa untuk bekerja di dua

rumah sekaligus dengan pengupahan yang tidak jelas. Biasanya rumah dari keluarga si majikan,

atau kerabat dekat sang majikan. Hal ini tentu menjadi permasalahan yang serius. Memang, ada

beberapa negara seperti Hongkong dan Singapura yang mempunyai aturan perlindungan yang

baik bagi pekerja migran. Mekanisme one day off juga diatur sebagai hak para pekerja untuk

menikmati masa libur mereka, tanpa beban kerja. Meski demikian, tentu pemerintah Indonesia

tidak bisa bergantung pada aturan hukum negara lain. Kita harus memiliki kebijakan

perlindungan berkualitas sebagai payung hukum bagi para TKI di luar negeri.

Dalam menyelesaikan permasalahan TKI di tahap ini, perlu juga upaya diplomasi parlemen.

Salah satu langkah yang sudah dilakukan adalah mengangkat masalah-masalah TKI di forum-

forum internasional, seperti Asian Parliamentary Assembly (APA), Asean Inter Parliamentary

Assembly (AIPA) dan Parliamentary Union on OIC Member State (PUIC). Akhirnya menjadi

resolusi, di mana disebutkan bahwa pemerintah yang menerima buruh migran, hendaknya

memberikan perlindungan dengan hukum yang sama yang berlaku di negara asal TKI tersebut.

Pertanyaan berikutnya adalah, sudahkah tatanan hukum bagi perlindungan TKI/TKW di dalam

negeri berkualitas, sehingga bisa menjadi role model bagi negara penerima? Ini yang perlu

dijawab dan direalisasikan dalam bentuk kebijakan perlindungan nasional. Terakhir adalah

tahap purna penempatan. Kontribusi TKI pada perekonomian Indonesia dalam memperoleh

cadangan devisa sangat besar. Bank Indonesia tahun 2008 mencatat jumlah remitansi yang

diperoleh TKI sebesar US$ 6,6 miliar, kemudian di tahun 2009 sebesar US$ 6,617 miliar dan

hingga September 2010 mencapai US$ 5,03 miliar. Tidak salah kemudian, bahwa kehidupan

mereka pun harus diperhatikan oleh negara, bahkan ketika mereka kembali ke tanah air.

Sosialisasi penggunaan uang yang mereka hasilkan ketika bekerja untuk menjadi modal usaha,

perlu dilakukan. Ini untuk memupuk jiwa kemandirian mereka. Dengan demikian mereka akan

menjadi TKI purna yang sukses. Bukan hanya memiliki orientasi untuk bekerja kembali ke luar

negeri, namun juga dapat menciptakan lapangan kerja di dalam negeri dengan uang yang mereka

hasilkan dari bekerja di luar negeri sebagai TKI.

Selain aspek ekonomi, TKI purna juga mengalami masalah sosial seperti dilaporkan oleh

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pendidikan anak yang

terlantar, rentan terhadap masalah perceraian keluarga, perkembangan anak yang terganggu

karena hanya mendapatkan binaan hanya dari salah satu orang tuanya, menjadi potret miris

pada tahap ini. Tugas DPR dan juga kita bersama untuk kemudian mengawasi jalannya

perlindungan, baik sejak pra hingga purna penempatan sesuai dengan substansi isi kebijakan

Page 3: Urgensi Kehadiran Kebijakan Perlindungan Bagi Tki

perlindungan yang baik.

Kebijakan Perlindungan dari Masa ke Masa

Sebelum tahun 2004, Indonesia tidak mempunyai kebijakan perlindungan dalam tatanan

ketenagakerjaan luar negeri. Sejak masa Orde Baru, pemerintah Indonesia mengatur mekanisme

penempatan TKI di luar negeri hanya melalui Peraturan Pemerintah No.4 di tahun 1970 tentang

Pengerahan Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) dan Antar Kerja Antar Negara (AKAN). Sejak

kehadiran PP ini, pihak swasta mempunyai wewenang untuk mengatur proses pengiriman TKI

ke luar negeri selain pemerintah. Mekanisme pembagian wewenang pengiriman pada swasta

menjadi tidak salah, selama mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi di jalankan dengan

baik oleh pemerintah Indonesia. Ini yang patut kita lihat, sudahkah PP saat itu berperan dalam

melindungi TKI yang akan bekerja di luar negeri?

Di tahun 1988, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri No.5 tahun 1988, di

mana saat itu tingkat migrasi internasional tenaga kerja Indonesia semakin tinggi. Ketika

reformasi hadir di tahun 1998, pemerintah Indonesia juga belum mempunyai mekanisme

perundang-undangan untuk melindungi TKI. Krisis moneter yang melanda Indonesia di tahun

1997, menyebabkan target pengiriman TKI meningkat tajam dari 500.000 orang pada Pelita V

menjadi 1.250.000 di Pelita VI. Hadir dua Keputusan Menteri Tenaga Kerja di era ini, yaitu

No.204 tahun 1999 tentang penempatan TKI ke luar negeri dan No. 92 tahun 1998 skema

asuransi sosial yang dibangun untuk buruh migran. Namun, bahasan aspek operasional lebih

mendominasi dibanding aspek perlindungan dalam aturan tersebut.

Meningkatnya jumlah TKI perempuan di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid,

membuat kita menyadari betapa penting peran perempuan dalam bidang ketenagakerjaan.

Sayangnya, perlindungan bagi TKI perempuan masih sangat minim. Keputusan Presiden No.109

tahun 2001 yang dikeluarkan oleh Gus Dur, memang menghadirkan satu terobosan baru dengan

dibentuknya Direktorat baru di Kementerian Luar Negeri, yaitu Direktorat Perlindungan WNI

dan Badan Hukum Indonesia (BHI). Meski demikian, keseriusan kita dalam upaya melindungi

TKI di luar negeri yang mayoritas perempuan, masih dipertanyakan karena belum mempunyai

UU.

Barulah di tahun 2004 pada masa kepemimpinan Presiden Megawati, Indonesia memiliki UU

No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (PPTKILN).

Dalam perjalanannya, UU ini mendapat kecaman dari masyarakat luas dan kemudian masuk

dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI sejak tahun 2010. Hal ini dikarenakan UU

tersebut tidak mempunyai perspektif perlindungan dan lebih di dominasi aspek penempatan

serta keberpihakan pada peran kerjasama swasta dan pemerintah.

Secara pribadi, saya menilai bahwa point terpenting yang perlu diletakkan dalam RUU

Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) sebagai ganti dari UU No. 39 Tahun

2004 tentang PPTKILN, adalah komitmen nasional untuk melaksanakan koordinasi lintas

regional dan sektoral, baik vertikal maupun horizontal dengan proporsi peran dan tanggung

jawab yang jelas antara Pemerintah Pusat, Daerah, BNP2TKI dan PPTKIS. Pelaksanaan

kebijakan nasional pelayanan penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri harus bersifat

menyeluruh dan terintegrasi. Kejelasan porsi dan tanggung jawab di atas, perlu dijalin dalam

rangka kemitraan. Hal ini karena TKI yang bekerja di luar negeri, sudah tentu menyandang

nama baik bangsa, martabat bangsa dan pemerintahan Indonesia di mata internasional.

Penutup

Kebijakan perlindungan dan penempatan yang berkualitas tentu menjadi impian dan idaman

Page 4: Urgensi Kehadiran Kebijakan Perlindungan Bagi Tki

bagi banyak pihak, utamanya TKI/TKW di luar negeri. Indonesia dapat berkaca dari pemerintah

Filiphina yang mempunyai UU berkualitas di bidang tenaga kerja luar negeri, yaitu Omnibus

Rules and Regulations Implementing the Migrant Workers and Overseas Filipinos Act of 1995,

atau lebih dikenal dengan nama Republic Act No. 8042. UU ini hadir dari proses legislasi yang

partisipatif.

Penyelesaian RUU PPILN diharapkan menjadi prioritas utama DPR RI di tahun 2013 ini. Hal ini

untuk mencegah terjadinya pembahasan ulang dari awal mengenai skema perlindungan TKI di

periode DPR RI mendatang. Sebagai pimpinan DPR RI, saya mengajak seluruh jajaran anggota

DPR RI untuk menganggap bahwa pengesahan RUU ini sebagai obsesi bersama. Hal ini

mengingat pentingnya perlindungan WNI yang bekerja sebagai TKI/TKW di luar negeri.

Tuntutan para buruh, termasuk buruh migran di moment May Day 2013 semoga membuka

kesadaran bersama bahwa kebijakan perlindungan yang ada, belum dapat melindungi mereka di

dunia kerja. Kerjasama suprastruktur pemerintah dengan infrastruktur, tentu akan sangat baik

guna mewujudkan kebijakan perlindungan yang berkualitas. Hal yang lebih penting lagi setelah

revisi UU perlindungan selesai, adalah mekanisme pengawasan dan pengenaan sanksi yang tidak

pandang bulu, baik pada pihak pemerintah, maupun pihak swasta.

Permasalahan TKI/TKW adalah masalah bersama, termasuk DPR. Penghormatan dunia atas

martabat tenaga kerja Indonesia, bisa tercermin dalam UU yang komprehensif memberikan

perlindungan terhadap para penyumbang devisa negara ini. Perlu ada sikap konsisten dari

pemerintah dan seluruh jajarannya dari Pusat hingga Desa dalam melaksanakan UU kebijakan

perlindungan. Kerjasama dengan publik pun dibutuhkan dalam bidang pengawasan. Sehingga,

kebijakan perlindungan tenaga kerja Indonesia benar-benar dapat melindungi mereka, baik

ketika masih berada di dalam negeri maupun sudah berada di negara tujuan. * - See more at: http://www.marzukialie.com/?show=tulisan&id=68#sthash.ra41fL1J.dpuf