unud-967-940973396-tesis dr agus.pdf

download unud-967-940973396-tesis dr agus.pdf

of 81

Transcript of unud-967-940973396-tesis dr agus.pdf

  • TESIS

    STADIUM KANKER OVARIUM TIDAK BERHUBUNGAN

    DENGAN EKSPRESI B CELL LYMPHOMA 2 (BCL-2)

    KADEK AGUS WIJAYA

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR

    2014

  • ii

    TESIS

    STADIUM KANKER OVARIUM TIDAK BERHUBUNGAN

    DENGAN EKSPRESI B CELL LYMPHOMA-2 (BCL-2)

    KADEK AGUS WIJAYA

    NIM 0914038207

    PROGRAM MAGISTER

    PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR

    2014

  • iii

    STADIUM KANKER OVARIUM TIDAK BERHUBUNGAN

    DENGAN EKSPRESI B CELL LYMPHOMA (BCL-2)

    Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

    pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

    Program Pascasarjana Universitas Udayana

    KADEK AGUS WIJAYA

    NIM 0914038207

    PROGRAM MAGISTER

    PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR

    2014

  • iv

    Lembar Pengesahan

    TESIS INI TELAH DISETUJUI

    TANGGAL 13 FEBRUARI 2014

    Pembimbing I, Pembimbing II,

    Prof. Dr. dr. Ketut Suwiyoga, Sp.OG(K) dr. I Wayan Megadhana, Sp.OG(K)

    NIP. 19530715 198003 1 009 NIP 19600125 198710 1 002

    Mengetahui

    Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

    Program Pascasarjana Program Pascasarjana

    Universitas Udayana, Universitas Udayana,

    Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, SpAnd, FAACS Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)

    NIP. 194612131971071001 NIP. 195902151985102001

  • v

    Tesis Ini Telah Diuji pada

    Tanggal 13 Februari 2014

    Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

    Universitas Udayana, No: 200/UN14.4/HK/2014, Tanggal 27 Januari 2014

    Ketua: Prof. Dr. dr. Ketut Suwiyoga, Sp.OG(K)

    Anggota:

    1. dr. I Wayan Megadhana, Sp.OG(K) 2. Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, SpAnd, FAACS

    3. Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M. Repro

    4. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D

  • vi

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur

    kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena oleh berkat-Nya tesis ini dapat

    diselesaikan tepat pada waktunya.

    Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih

    yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suwiyoga, SpOG(K) selaku

    pembimbing I dan Kepala Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP

    Sanglah Denpasar, dr. I Wayan Megadhana, SpOG(K) selaku pembimbing II, dan

    Drs. Ketut Tunas, Msi selaku pembimbing statistik, serta para penguji tesis ini

    yang telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis

    menyelesaikan tesis ini.

    Ucapan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I

    Ketut Suastika, SpPD (KEMD), Direktur Program Pascasarjana Prof. Dr. dr. A.A.

    Raka Sudewi, SpS(K), Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof.

    Dr.dr. Putu Astawa, SpOT (K), serta Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah,

    dr.Anak Ayu Sri Saraswati, Mkes, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

    selama mengikuti dan menyelesaikan PPDS I dan Program Magister Program

    Studi Ilmu Biomedik Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined Degree) di

    Universitas Udayana. Terima kasih penulis ucapkan juga kepada Kepala Program

    Studi Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan PPDS I FK UNUD/RSUP

    Sanglah, dr. A.A.N. Anantasika, SpOG(K) dan seluruh dosen/Staf Bagian Obstetri

    dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah atas

    segala bimbingan dan dorongan yang diberikan selama penulis mengikuti

    pendidikan spesialis. Pasien-pasien yang telah menjadi guru dan banyak

    memberikan pengetahuan dan pengalaman, rekan-rekan residen Obstetri dan

    Ginekologi, serta rekan-rekan paramedis RSUP Sanglah.

    Penulis mengucapankan terima kasih yang dalam kepada orang tua penulis

    yang telah mengasuh dan membesarkan penulis dari kecil hingga saat ini, selalu

    memberi dukungan baik secara moril maupun materiil. Tidak lupa pula penulis

    mengucapkan terima kasih yang tulus kepada istri tercinta yang telah setia dan

    sabar mendampingi selama pendidikan dengan selalu memberikan semangat dan

    dorongan untuk maju.

    Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu memberkati semua pihak

    yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.

    Penulis

  • vii

    ABSTRAK

    STADIUM KANKER OVARIUM TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN

    EKSPRESI B CELL LYMPHOMA-2 (BCL-2)

    Kanker ovarium merupakan salah satu penyakit penyebab kematian di bidang

    ginekologi terbanyak di dunia. Patogenesis maupun penyebab kanker ovarium

    belum jelas, hal ini terbukti sampai saat ini belum ada suatu cara deteksi dini serta

    pendekatan terapi yang berarti dan efektif sehingga tindakan pencegahan dan

    penanganannyapun belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Protein Bcl-2

    berperan melalui mekanisme ekspresi yang spesifik untuk masing-masing

    jaringan. Ekspresi protein Bcl-2 memiliki peranan penting sebagai regulator dalam

    proses kematian sel dalam konteks fisiologis maupun patologis. Perbedaan

    beberapa hasil penelitian tentang ekspresi protein Bcl-2 pada berbagai stadium

    kanker ovarium menjadi latar belakang penelitian ini. Sehingga melalui penelitian

    ini dilakukan penilaian korelasi atau hubungan antara protein Bcl-2 dengan derajat

    stadium kanker ovarium.

    Penelitian ini merupakan studi cross-sectional di Bagian Kebidanan dan

    Penyakit Kandungan, Patologi Anatomi dan Rekam Medis Rumah Sakit Umum

    Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar yang dilakukan mulai Juli 2011 sampai Juli

    2013 dengan sampel penelitian sebanyak 44 buah blok parafin. Sampel blok

    parafin ini dikelompokkan berdasarkan atas stadium kanker ovarium, yaitu:

    kanker ovarium stadium I, II, III, dan IV. Kemudian masing-masing kelompok

    stadium dilakukan pemeriksaan ekspresi Bcl-2 dengan teknik imunohistokimia.

    Selanjutnya dilakukan penilaian hubungan antara Bcl-2 dengan derajat stadium

    kanker ovarium dengan menggunakan Uji Spearman.

    Penelitian ini memperoleh rerata umur, Indek Massa Tubuh (IMT), dan

    paritas pada keempat kelompok stadium kanker ovarium adalah homogen.

    Berdasarkan uji korelasi diperoleh nilai r sebesar 0,103 (p=0,506) yang

    menyatakan bahwa, tidak ada hubungan antara stadium kanker ovarium dengan

    ekspresi Bcl-2

    Kesimpulan penelitian ini adalah stadium kanker ovarium tidak berhubungan

    dengan ekspresi Bcl-2.

    Kata kunci: stadium kanker ovarium, ekspresi Bcl-2.

  • viii

    ABSTRACT

    OVARIAN CANCER STAGING DID NOT CORRELATE WITH

    B CELL LYMPHOMA-2 (BCL-2) EXPRESSION

    Ovarian cancer is one of the leading causes of death from gynecological in the

    world. Pathogenesis and causes of ovarian cancer is not yet clear, it is proved until

    now there is no one way of early detection and therapeutic approach and an

    effective means of prevention and treatment measures that were not shown

    satisfactory results. Bcl - 2 proteins act through a specific mechanism for the

    expression of each network. Expression of Bcl - 2 protein has an important role as

    a regulator in the process of cell death in the context of physiological and

    pathological differences some research results on the expression of Bcl - 2 protein

    in normal ovarian tissue, tissue neoplasms and various stages of ovarian cancer

    into the background of this research. Identification of the Bcl - 2 protein

    expression at various stages of ovarian cancer to be objective in this study, so that

    through this research, ratings correlation or relationship between the protein Bcl -

    2 with a degree stage ovarian cancer.

    This study was a cross-sectional study in Obstetric and Gynecologic,

    Anatomical Pathology, and Medical Record Department of Sanglah Hospital,

    Denpasar, in July 2011 until July 2013, with a total of 44 paraffin wax blocks. The

    parrafin wax block samples were categorized based on the ovarium cancer

    staging, which were: ovarian cancer stage I, II, III and IV. Each group of staging

    was performed Bcl-2 expression experiment with immunohistochemistry

    technique. Analysis of correlation between Bcl-2 and ovarian cancer staging was

    conducted with Spearman Test.

    This study obtained mean age, Body Mass Index (BMI), and parity from the

    four groups of ovarian cancer in homogeneity. Based on the correlation test, the r-

    value was 0.103 (p=0.506), it indicated there was no correlation between ovarian

    cancer staging and Bcl-2 expression.

    In conclusion, ovarian cancer staging was not proved to correlate with Bcl-2

    expression.

    Keywords : ovarian cancer staging, Bcl-2 expression.

  • ix

    DAFTAR ISI

    Halaman

    SAMPUL DALAM.................................................................................... i

    PRASYARAT GELAR .............................................................................. ii

    LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. iii

    PENETAPAN PANITIA PENGUJI ........................................................... iv

    SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................ v

    UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... vi

    ABSTRAK ................................................................................................ vii

    ABSTRACT ................................................................................................ viii

    DAFTAR ISI ............................................................................................. ix

    DAFTAR TABEL ..................................................................................... xii

    DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiii

    DAFTAR SINGKATAN ........................................................................... xiv

    DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xvi

    BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1

    1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 3

    1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 3

    1.4 Manfaat penelitian................................................................................ 3

    1.4.1 Manfaat akademis ............................................................................. 3

    1.4.2 Manfaat praktis ................................................................................. 4

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 5

    2.1 Protein B cell lymphoma-2 (BCL-2).................................................... 5

    2.1.1 Struktur Bcl-2 ................................................................................... 6

    2.1.2 Apoptosis dan peran Bcl-2 ................................................................ 10

    2.1.2.1 Mekanisme apoptosis ..................................................................... 11

    2.1.2.2 Inisiasi apoptosis alur intrinsik (mitokondria) ................................. 12

    2.1.2.3 Inisiasi apoptosis alur ekstrisik (inisiasi reseptor kematian) ............ 15

  • x

    2.1.2.4 Apoptosis fase eksekusi .................................................................. 17

    2.1.2.5 Penghilangan sel yang mati ............................................................ 18

    2.1.3 Ekspresi Bcl-2....... ............................................................................ 19

    2.2 Kanker Ovarium ...... ............................................................................ 21

    2.2.1 Patogenesis kanker ovarium .............................................................. 21

    2.2.1.1 Teori incessant ovulation ............................................................... 21

    2.2.1.2 Teori inflamasi ............................................................................... 22

    2.2.1.3 Teori gonadotropin ......................................................................... 23

    2.2.2 Stadium kanker ovarium.................................................................... 24

    2.3 Imunohistokimia .................................................................................. 26

    BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

    PENELITIAN ............................................................................................ 29

    3.1 Kerangka Berpikir ................................................................................ 29

    3.2 Konsep Penelitian ................................................................................ 30

    3.3 Hipotesis Penelitian .............................................................................. 30

    BAB IV METODE PENELITIAN ............................................................. 31

    4.1 Rancangan Penelitian ........................................................................... 31

    4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 31

    4.3 Populasi Penelitian ............................................................................... 32

    4.4 Sampel Penelitian ................................................................................. 32

    4.4.1 Kriteria inklusi .................................................................................. 32

    4.4.2 Kriteria eksklusi ................................................................................ 32

    4.4.3 Perhitungan besar sampel .................................................................. 33

    4.4.4 Cara pengambilan sampel .................................................................. 33

    4.5 Variabel Penelitian ............................................................................... 33

    4.5.1 Identifikasi variabel ........................................................................... 33

    4.5.2 Definisi operasional variabel ............................................................. 34

    4.6 Alur Penelitian ..................................................................................... 35

    4.7 Instrumen Penelitian dan Metode Pemeriksaan ..................................... 36

    4.7.1 Instrumen penelitian .......................................................................... 36

    4.7.2 Metode pemeriksaan ......................................................................... 37

  • xi

    4.8 Pengumpulan dan Analisis Data ........................................................... 38

    4.8.1 Pengumpulan data ............................................................................. 38

    4.8.2 Analisis data ...................................................................................... 38

    BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................... 40

    5.1 Karakteristik Sampel Penelitian............................................................ 40

    5.2 Hubungan Stadium Kanker Ovarium dengan Ekspresi Bcl-2 ................ 41

    BAB VI PEMBAHASAN .......................................................................... 42

    6.1 Karakteristik Sampel Penelitian............................................................ 42

    6.2 Hubungan Stadium Kanker Ovarium dengan Ekspresi Bcl-2 ................ 49

    6.3 Kelemahan Penelitian ........................................................................... 52

    BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 53

    7.1 Simpulan .............................................................................................. 53

    7.2 Saran .................................................................................................... 53

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 54

    LAMPIRAN .............................................................................................. 60

  • xii

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 2.1 Stadium Kanker Ovarium Menurut FIGO ................................. 24

    Tabel 5.1 Distribusi Umur, IMT, Paritas dan Riwayat Kontrasepsi

    Hormonal pada kelompok Stadium Kanker Ovarium ............... 40

    Tabel 5.2 Uji Korelasi Stadium Kanker Ovarium dengan Ekspresi Bcl-2.. 41

  • xiii

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 2.1 Translokasi Bcl-2 ............................................................. 5

    Gambar 2.2 Tiga Subgroup Bcl-2 Protein dan Bcl-2 Homolog Domain 7

    Gambar 2.3 Prototipe Bcl-2 ................................................................. 10

    Gambar 2.4 Mekanisme Apoptosis ...................................................... 12

    Gambar 2.5 Apoptosis Alur Intrinsik (Mitokondria) ............................ 14

    Gambar 2.6 Apoptosis Alur Ekstrinsik (Inisiasi Reseptor Kematian) ... 16

    Gambar 2.7 Hubungan Antara Inisiasi Apoptosis Alur Ekstrinsik

    Dengan Alur Intrinsik ...................................................... 17

    Gambar 2.8 Keseimbangan Proliferasi dan Kematian Sel .................... 20

    Gambar 3.1 Konsep Penelitian ............................................................ 30

    Gambar 4.1 Rancangan Penelitian ....................................................... 31

    Gambar 4.2 Alur Penelitian ................................................................. 36

  • xiv

    DAFTAR SINGKATAN

    Apaf-1 : Apoptotic protease activating factor 1

    BAD : Bcl-2-associated death promoter

    Bak : Bcl-2 homologous antagonist/killer

    Bax : Bcl-2associated X protein

    Bcl-2 : B-cell lymphoma-2

    Bcl-xL : B-cell lymphoma-extra large

    BH : Bcl-2 homolog

    BID : The BH3 interacting domain death agonist

    BOD : Bcl-2-related ovarian death gene

    Bok : BCL2-related ovarian killer

    BRAF : Serine/threonine-protein kinase B-Raf

    BRCA : Breast Cancer

    Caspase : Cysteine-aspartic proteases

    CDKIs : Direct inhibitors of cyclin-dependent kinases

    CED : Cell Death abnormality

    DNA : Deoxyribonucleic Acid

    EGL-1 : Egg Laying Abnormal-1

    FADD : Fas-Associated Death Domain

    Fas : Fragment Apoptosis Stimulating

    FasL : Fas Ligand

    FIGO : International Federation of Gynecology and Obstetrics

    FSH : Follilce Stimulating Hormone

    HPF : High Power Field

    H-ras : v-Ha-ras Harvey rat sarcoma viral oncogene homolog

    IAP : Inhibitor of Apoptosis

    kDa : Kilodalton

    K-ras : V-Ki-ras2 Kirsten rat sarcoma viral oncogene homolog

    LH : Leutinizing Hormone

    Mcl-1 : Myeloid cell leukemia sequence 1

  • xv

    mRNA : Messenger Ribonucleic acid

    N-ras : Neuroblastoma RAS viral oncogene homolog

    PCD : Programmed cell death

    p53 : Protein 53

    SPSS : Statistical Package for the Social Sciences

    TNF : Tumor Necrotic Factor

    TGF- : Transforming Growth Factor-

    WHO : World Health Organization

  • xvi

    DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    Lampiran 1 Formulir Penelitian ............................................................. 60

    Lampiran 2 Data Penelitian.................................................................... 61

    Lampiran 3 Perhitungan Uji Statistik ..................................................... 63

    Lampiran 4 Hasil Pemeriksaan Imunohistokimia Bcl-2 .......................... 66

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Kanker ovarium merupakan salah satu penyakit penyebab kematian ginekologi

    terbanyak di dunia. Patogenesis maupun penyebab kanker ovarium belum jelas,

    hal ini terbukti sampai saat ini belum ada suatu cara deteksi dini serta pendekatan

    terapi yang berarti dan efektif sehingga tindakan pencegahan dan penanganannya

    pun belum menunjukkan hasil yang memuaskan.

    Pada tahun 2008 American Cancer Society memperkirakan terdapat 21.650

    kasus baru terdiagnosis kanker ovarium dan 15.520 wanita meninggal dunia,

    sedangkan pada tahun 2010 diperkirakan sebanyak 21.880 kasus baru akan

    terdiagnosis, dengan angka kematian sebesar 63,30% (WHO, 2008; American

    Cancer Society, 2010). Angka kejadian kanker ovarium di Rumah Sakit Umum

    Pusat Sanglah pada tahun 2005 sebesar 35 % dari seluruh kanker Ginekologi,

    dengan angka harapan hidup selama lima tahun sebesar 15% (Karyana, 2005).

    Kanker ovarium sering disebut sebagai the silent killer hal ini berkaitan

    dengan fatalitas dan prevalensi dari kanker ovarium yaitu gejalanya yang tidak

    spesifik, keterbatasan dalam upaya deteksi dini dan sering terlambat dalam

    penegakan diagnosis sehingga survival ratenya rendah (Gershenson, 2007).

    Penentuan stadium kanker ovarium pada saat penegakan diagnosis awal akan

    sangat mempengaruhi prognosis dari pasien, pada stadium I dikatakan 5-years

    survival rate mencapai hingga 80-90% sedangkan pada stadium III-IV hanya 15-

  • 2

    20% (Kumar, et al., 2010). Namun sayang, penderita umumnya terdiagnosis

    terlambat karena belum adanya metode deteksi dini yang akurat, sehingga hanya

    25 30% saja yang terdiagnosis pada stadium awal (Ayadi , et al., 2010; Jemal, et

    al., 2010).

    Pengetahuan tentang aspek biologi molekuler yang bertanggung jawab

    terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel kanker ovarium sangat penting

    dalam hal menentukan biomarker untuk deteksi dini, indikator prognosis atau

    luaran klinis bahkan terhadap perkembangan terapi yang memiliki target spesifik

    pada gen atau protein tertentu yang mendasari proses karsinogenesis (Wheeler,

    2001; Nagell and Gershenson, 2008). Progresivitas kanker ganas berkaitan dengan

    kegagalan dalam mekanisme kematian sel yang difasilitasi oleh ekspresi protein

    dalam meregulasi apoptosis. Keluarga protein B cell lymphoma-2 (Bcl-2) sudah

    dikenal sebagai protein spesifik dalam meregulasi apoptosis, peranannya dalam

    proliferasi neoplasma adalah sebagai antiapoptosis dan proapoptosis. Protein Bcl-

    2 merupakan karakteristik gen pertama yang terlibat dalam programmed cell

    death dengan cara menghambat apoptosis (antiapoptosis) dan meningkatkan

    kemampuan sel untuk bertahan hidup (Cox and Hampton, 2007; Anderson, et al,.

    2009).

    Beberapa penelitian menemukan hubungan yang bermakna antara ekspresi

    positif Bcl-2 dengan stadium kanker ovarium, dimana terjadi peningkatan ekspresi

    protein Bcl-2 seiring dengan meningkatnya stadium kanker ovarium (Adiyanti, et

    al., 2007; Rauf and Masadah, 2009; Ayadi, et al., 2010), namun beberapa

  • 3

    penelitian lainnya tidak menemukan hubungan ini (Torre, et al., 2007; Anderson,

    et al., 2009; Hogdal, et al., 2010).

    Ekspresi Bcl-2 memiliki peranan penting sebagai regulator dalam proses

    kematian sel dalam konteks fisiologis maupun patologis (Hogdal, et al., 2010).

    Bcl-2 berperan melalui mekanisme ekspresi yang spesifik untuk masing-masing

    jaringan. Perbedaan beberapa hasil penelitian tentang ekspresi Bcl-2 pada stadium

    kanker ovarium menjadi latar belakang penelitian ini. Identifikasi ekspresi Bcl-2

    pada berbagai stadium kanker ovarium menjadi tujuan dalam penelitian ini,

    sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai penelitian pendahuluan yang

    kedepannya dapat dilakukan pendekatan dan pemahaman yang lebih optimal

    dalam diagnosis serta keakuratan dalam target terapi kanker ovarium.

    1.2 Rumusan Masalah

    Apakah ada hubungan antara stadium kanker ovarium dengan ekspresi Bcl-2?

    1.3 Tujuan Penelitian

    Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

    antara stadium kanker ovarium dengan ekspresi Bcl-2.

    1.4 Manfaat Penelitian

    1.4.1 Manfaat akademis

    Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang peranan

    ekspresi Bcl-2 pada stadium kanker ovarium.

  • 4

    1.4.2 Manfaat praktis

    1. Sebagai data dasar penelitian lebih lanjut tentang biologi molekuler

    kanker ovarium.

    2. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam

    pengembangan tentang etiopatogenesis, pendekatan diagnosis, target

    terapi dan prognosis pada penderita kanker ovarium.

  • 5

    BAB II

    TINJUAN PUSTAKA

    2.1 Protein B cell lymphoma-2 (Bcl-2)

    Bcl-2 merupakan akronim dari B-cell lymphoma/leukemia-2 dan protein kedua

    dari berbagai protein yang ditemukan pada limfoma. Sesuai dengan namanya, gen

    ini ditemukan karena keterlibatannya dalam keganasan sel-B, dimana terjadi

    translokasi kromosomal yang kemudian mengaktifkan sebagian besar gen pada

    non-Hodgkins sel-B limfoma folikuler. Pada translokasi itu, gen bcl-2 berpindah

    dari lokasi kromosom normalnya di 18q21 ke lokus 14q32 yang merupakan

    jajaran dengan elemen penguat pada rantai berat immunoglobulin (IgH), hal

    tersebut kemudian menyebabkan pengaturan kembali dari translokasi gen Bcl-2

    dan produksi berlebihan dari mRNA Bcl-2 serta protein protein yang

    dikodekannya.

    Gambar 2.1 Translokasi Bcl-2 (Bronchud, 2004).

  • 6

    Protein Bcl-2 dapat memperpanjang kehidupan sel pertama kali dilaporkan

    oleh Vaux pada tahun 1988, kemudian Hockenbery pada tahun 1990

    memperkirakan bahwa protein Bcl-2 memiliki kemampuan untuk memblok

    kematian sel terprogram/programmed cell death. Pada banyak kasus yang

    diperiksa, Bcl-2 terlihat secara relatif memblok kejadian kejadian awal yang

    berkaitan dengan kematian sel apoptosis, dimana karakteristik perubahan

    morfologi seperti sel yang menciut, kondensasi kromatin, dan fragmentasi nuklear

    serta degradasi DNA terlihat berkurang (Bronchud, 2004).

    2.1.1 Struktur Bcl-2

    Gen Bcl-2 memiliki rentang lebih dari 230 kb dari DNA dan terdiri dari tiga

    exons yang mana exon 2 dan sebagian kecil dari exon 3 mengkode protein.

    Tergantung dari sambungan dengan intron 2nya, Bcl-2 mengkode 2 mRNA, yaitu

    Bcl-2 dan Bcl-2, yang mana hanya Bcl-2 yang sepertinya memiliki relevansi

    biologis. Protein Bcl-2 merupakan membran protein yang memiliki berat molekul

    26 kDa terletak pada bagian sitosolik dari amplop nuklear, retikulum endoplasma

    dan bagian luar membran mitokondria (Miguel, et al., 2008).

    Dengan penggunaan isolasi gen homolog, interaksi protein screen,

    substraction kloning dan analisis gen virus, telah memperkenalkan secara luas

    berbagai keluarga protein terkait Bcl-2 pada mamalia. Berdasarkan dari atribut

    struktural dan fungsional, protein Bcl-2 dapat dibagi menjadi tiga subgroup: 1) the

    antiapoptotic channel-forming protein Bcl-2 dengan 4 BH (Bcl-2 homolog)

    domain (BH 1 sampai 4) dan transmembran anchor sequence, 2) the proapoptotic

    channel-forming protein dengan 3 BH domain (BH 1 sampai 3) dan

  • 7

    transmembran anchor sequence tanpa BH4, 3) the proapoptotic ligands yang

    hanya mengandung BH 3 domain (Sheau, et al., 2000). Protein subgrup 1 dan 2

    dipercaya berjangkar pada membran mitokondria dan protein subgroup 3

    bertindak sebagai ligand yang berdimerisasi dengan jangkar membran, reseptor

    channel-forming Bcl-2. BH3 domain pada sub grup ke 3 penting untuk aktivitas

    pengikatan dari ligand tersebut. (Sheau, et al., 2000; Walensky, 2008).

    Gambar 2.2 Tiga subgroup Bcl-2 protein dan bcl-2 homolog domain (Sheau, et al., 2000)

    Protein mitochondria-anchored antiapoptotic diwakili oleh ced-9 dan Bcl-2,

    berbentuk seperti ion channel yang dapat menjaga homeostatsis membran dan

    mencegah pelepasan dari sitokrom c, yang kemudian akan meningkatkan sel

    survival, Protein protein ini juga berinteraksi dengan ced-4/Apaf-1 untuk

    mencegah aktivasi caspase caspase yang terkait, yang kemudian akan

    mensupresi alur caspase dan apoptosis. Sebagai tambahan selain ced-9 dan Bcl-2,

    beberapa protein blc-2 lain, seperti Bcl-xL, Bcl-w, Mcl-1 dan Bfl-1, memiliki

    aktifitas antiapoptosis dan motif pengaturan fungsional yang mirip tetapi memiliki

  • 8

    pola distribusi jaringan yang overlaping dan unik. Bcl-xL dan Bcl-2 di

    indentifikasi dengan homologous screen (Sheau, et al., 2000). Infeksi virus dapat

    mencetuskan apoptosis pada sel inang untuk mencegah perkembangbiakan virus,

    dan beberapa virus telah mengembangkan beberapa mekanisme untuk mencegah

    kematian sel inang. Beberapa gen virus seperti adenovirus E1B 19K, Epstein-Barr

    virus BHRF-1, demam flu babi Afrika virus LMW5-HL, ORF16 dan Ksbcl-2,

    mengkode protein yang secara struktural dan fungsional homolog terhadap protein

    bcl-2 antiapoptosis mamalia. Supresi apoptosis oleh beberapa protein virus

    tersebut memperpanjang kehidupan dari sel inang dan meningkatkan efisiensi dari

    replikasi virus (Sheau, et al., 2000).

    Tidak seperti anggota antiapoptosis Bcl-2 pembentuk channel, keluarga

    protein Bcl-2 pada subgrup kedua (Bax, Bak, Bok) tidak hanya antagonis dari

    aksi survival protein Bcl-2 antiapoptosis tetapi juga aktif dalam mencetuskan

    apoptosis pada sel yang terinfeksi (Sheau, et al., 2000). Pada subgroup ini protein

    Bcl-2 memiliki BH1,-2, dan -3 domain dan regio membran-anchoring tetapi tidak

    memiliki NH2-terminal BH4 domain yang penting untuk inhibisi apoptosis

    (Sheau, et al., 2000) yang mana akan berdimerisasi dengan protein Bcl-2

    antiapoptosis, dan kemudian dapat membebaskan ced-4/Apaf-1 dari supresi yang

    menekan dengan protein Bcl-2 serta akan meningkatkan aktifasi caspase (Sheau,

    et al., 2000). Proapoptosis mitochonria-anchored protein Bcl-2 juga dapat

    meningkatkan apoptosis dengan merubah homeostasis membran mitokondria dan

    meningkatkan pelepasan sitokrom c (Sheau, et al., 2000; Silversini, et al., 2001;

    Nezhat, et al., 2002).

  • 9

    Subgrup ketiga protein Bcl-2, homolog dari protein nematoda EGL-1 yang

    baru baru ini diidentifikasi, terdiri dari proapoptosis ligand dan hanya memiliki

    BH3 domain. Protein ini memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan

    pembentuk-channel protein Bcl-2 yang selektif untuk mempromosikan kematian

    sel dan dapat bertidak sebagai adaptor protein protein yang terkait dengan alur

    sinyal pada setiap langkah dari program apoptosis. Seperti pada nematoda EGL-1,

    beberapa proapoptosis ligand (BAD, BOD/Bim, dan BID) hanya memiliki BH3

    domain (Sheau, et al., 2000). Sebagai tambahan beberapa protein pada subgroup

    ini (Bik/Nbk, Blk, Harakiri/DP5, NIP3L/Nix, dan NIP3) memiliki regio tambahan

    COOH-terminal transmembran untuk membran-anchoring (Sheau, et al., 2000;

    Nezhat, et al., 2002).

    Protein Bcl-2 dan beberapa protein terkait merupakan protein multifungsional

    dan interaksi antar protein memiliki peran penting pada regulasi apoptosis. Salah

    satu mekanisme protein Bcl-2 meregulasi apoptosis yaitu melalui homodimerisasi

    dan heterodimerisasi dengan protein pada keluarga yang sama. BH3 domain pada

    protein Bcl-2 proapoptosis bertindak sebagai ligand untuk mengikat reseptor

    domain (meliputi BH3, BH2, dan BH1 domain) pada anggota antiapoptosis

    (Sheau, et al., 2000). Pada prototipe protein Bcl-2 antiapoptosis mengandung BH4

    domain yang unik, dipercaya berperan penting untuk berinteraksi dengan Apaf-1,

    yang akan mencegah aktivasi dari caspase. Sebagai tambahan terdapat regio

    COOH-terminal transmembran yang esensial untuk anchoring terhadap

    mitokondria, retikulum endoplasma atau membran nuclear, -helix 5 dan 6

    meliputi regio BH1 dan BH2 penting dalam pembentukan channel pada regulasi

  • 10

    pelepasan sitokrom c oleh mitokondria (Sheau, et al., 2000; Bartholomeusz, et al.,

    2005). Walaupun tidak ada molekul yang spesifik yang diidentifikasi untuk

    berinteraksi dengan channel domain protein Bcl-2 ini, studi terkini menunjukkan

    bahwa pembentuk channel keluarga Bcl-2 dapat berinteraksi dengan multiple

    protein mitokondria untuk meregulasi pelepasan sitokrom c melalui transisi

    permeabilitas dari pori pori mitokondria (Sheau, et al., 2000; Bartholomeusz, et

    al., 2005).

    Gambar 2.3 Prototipe Bcl-2 (Sheau, et al., 2000).

    2.1.2 Apoptosis dan peran Bcl-2

    Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram, sel apoptosis terpecah

    menjadi beberapa fragmen, yang disebut sebagai badan apoptosis, terdiri dari

    sebagian sitoplasma dan inti. Membran plasma dan badan sel apoptosis tetap utuh,

    tetapi strukturnya diubah sedemikian rupa sehingga ini menjadi menarik bagi

    fagosit. Sel yang mati dan fragmen fragmennya dengan cepat di fagositosis,

    sehingga kematian sel melalui alur ini tidak menimbulkan reaksi inflamasi pada

    inang (Cox and Hampton, 2007; Kumar et al., 2010).

  • 11

    Apoptosis terjadi secara fisiologis baik selama masa perkembangan dan

    sepanjang masa dewasa, serta berfungsi untuk menghilangkan sel sel yang tidak

    diinginkan, sel sel yang sudah menua atau sel yang berpotensi berbahaya.

    Apoptosis juga merupakan peristiwa patologis ketika sel sel sakit menjadi rusak

    dan tidak dapat diperbaiki akhirnya akan dieliminasi (Torre, et al., 2007; Cox and

    Hampton, 2007; Kumar, et al., 2010).

    2.1.2.1 Mekanisme apoptosis

    Setiap sel mengandung mekanisme yang mana terdapat sinyal kematian atau

    bertahan hidup, apoptosis dihasilkan dari ketidakseimbangan antara kedua sinyal

    tersebut. Dikarenakan apoptosis yang terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat

    mendasari banyak penyakit, seperti penyakit degenerasi dan kanker. Salah satu

    fakta yang muncul adalah mekanisme dasar apoptosis, gen dan protein yang

    mengendalikan proses dan urutan alur apoptosis terdapat dalam semua organisme

    multiseluler (Mahmoud, 2005; Kumar, et al., 2010)

    Proses apoptosis dapat dibagi menjadi tahap inisiasi, dimana terdapat

    beberapa caspases yang menjadi katalis aktif, serta tahap eksekusi atau

    pelaksanaan, dimana caspases lainnya memicu degradasi komponen seluler.

    Inisiasi apoptosis terjadi oleh karena sinyal dari dua jalur yang berbeda. Jalur

    intrinsik atau mitokondria dan ekstrinsik atau kematian reseptor. Jalur ini

    diinduksi oleh stimulus yang berbeda dan melibatkan set protein yang berbeda,

    walaupun terdapat beberapa persilangan jalur diantaranya. Kedua jalur bertemu

    untuk mengaktifkan caspases, yang merupakan mediator sebenarnya kematian sel

    (Rautureau, et al., 2010; Kumar, et al., 2010).

  • 12

    Gambar 2.4 Mekanisme apoptosis (Kumar, et al., 2010)

    2.1.2.2 Inisiasi apoptosis alur intrinsik (mitokondria)

    Alur apoptosis intrinsik akan menghasilkan peningkatan permeabilitas

    mitokondria dan pelepasan dari molekul pro-apoptosis (death inducers) ke dalam

    sitoplasma (Danial, et al., 2004; Kumar, et al., 2010). Mitokondria mengandung

    protein seperti sitokrom c yang penting bagi kehidupan, tetapi bila beberapa

    protein yang serupa terlepas ke dalam sitoplasma (merupakan indikasi bahwa sel

    tersebut tidak sehat), akan menginisiasi program bunuh diri dari apoptosis.

    Pelepasan protein mitokondria ini dikontrol secara seimbang melalui anggota

    keluarga protein Bcl antara pro dan antiapoptosis (Cory, 2002; Kumar, et al.,

    2010). Terdapat lebih dari 20 anggota dari keluarga Bcl. Faktor pertumbuhan dan

    sinyal sinyal bertahan hidup/survival menstimulasi produksi dari protein

    antiapoptosis, salah satu yang utama adalah Bcl-2, Bcl-x dan Mcl-1. Normalnya

    protein ini terdapat pada sitoplasma dan membran mitokondria, dimana mereka

    mengontrol permeabilitas mitokondria dan mencegah kebocoran protein

  • 13

    mitokondria yang nantinya memiliki kemampuan untuk mencetuskan kematian.

    Bila sel kehilangan sinyal bertahan/survival, terjadi kerusakan DNA, atau

    kesalahan sintesis protein maka akan merangsang stres retikulum endoplasma

    (RE), sensor dari kerusakan atau stres akan diaktifkan. Sensor tersebut juga

    merupakan anggota dari keluarga Bcl, dan termasuk juga protein yang dinamakan

    Bim, Bid dan Bad yang mengandung Bcl-2 homology domain tunggal (tiga dari

    empat domain tersebut ada pada Bcl-2) dan dinamakan BH3-only proteins.

    Sensor kemudian akan mengaktifkan dua kritikal (proapoptosis) efektor, Bax dan

    Bak, yang membentuk oligomers yang kemudian masuk ke dalam membran

    mitokondria dan membuat saluran/channel yang memperbolehkan protein dari

    membran dalam mitokondria untuk bocor ke dalam sitoplasma. BH3 juga

    mengikat dan memblok fungsi dari Bcl-2 dan Bcl-x, diwaktu yang sama sintesis

    dari Bcl-2 dan Bcl-x menurun. Hasil dari aktivasi dari Bax-Bak disertai dengan

    hilangnya fungsi perlindungan dari anggota keluarga Bcl antiapoptosis, maka

    terjadi pelepasan beberapa protein mitokondria ke dalam sitoplasma yang akan

    mengaktifkan alur caspase. Salah satu protein tersebut adalah sitokrom c, yang

    diketahui fungsinya pada respirasi mitokondria. Sekali terlepas ke dalam sitosol,

    sitokrom c mengikat protein yang dinamakan Apaf-1 (apoptosis-activating factor-

    1, homolog dari Ced-4 pada C elegans), yang kemudian akan membentuk

    hexamer berbentuk seperti roda yang disebut apoptosom (Rautureau, et al., 2010;

    Kumar, et al., 2010). Komplek ini dapat mengikat caspase-9, inisiator caspase

    yang penting dari alur mitokondria dan enzim akan memecah molekul caspase-9

    yang berdekatan, sehingga membentuk sebuah proses auto-amplifikasi. Protein

  • 14

    mitokondria lainnya, seperti Smac/diablo, memasuki sitoplasma, kemudian

    mereka mengikat dan menetralisir protein sitoplasma yang berfungsi sebagai

    inhibitor fisiologis apoptosis. Fungsi normal dari inhibitor fisiologis apoptosis

    adalah untuk memblokir aktivasi caspases, termasuk caspase-3 dan menjaga sel-

    sel tetap hidup, netralisasi dari IAP ini merupakan inisiasi dari alur caspase

    (Shiozaki and Shi, 2004; Kumar, et al., 2010).

    Gambar 2.5 Apoptosis alur intrinsik (mitokondria) (Kumar, et al., 2010)

  • 15

    2.1.2.3 Inisiasi apoptosis alur ekstrinsik (inisiasi reseptor kematian)

    Alur ini diawali melalui keterlibatan reseptor kematian membran plasma pada

    berbagai sel (Peter, et al., 2003; Kumar, et al., 2010). Reseptor kematian

    merupakan anggota dari keluarga reseptor TNF yang mengandung domain

    sitoplasma yang ikut dalam interaksi protein, disebut domain kematian karena

    pentingnya untuk mengantarkan sinyal apoptosis (beberapa anggota keluarga

    reseptor TNF tidak mengandung domain kematian, fungsi mereka untuk

    mengaktivasi alur inflamasi, dan perannya dalam mencetuskan apoptosis sangat

    sedikit). Reseptor kematian yang paling banyak diketahui adalah reseptor TNF

    tipe 1 (TNFR1) dan protein yang terkait yang dinamakan Fas (CD95). Mekanisme

    apoptosis yang di induksi oleh reseptor kematian digambarkan dengan baik pada

    Fas. Reseptor kematian diekspresikan pada berbagai tipe sel. Ikatan terhadap Fas

    dinamakan Fas ligand (FasL). FasL di ekspresikan pada sel T untuk mengenali

    self antigen (berfungsi untuk mengeliminasi self-reactive limfosit), dan pada

    beberapa limfosit T sitotoksik (yang membunuh sel yang terinfeksi virus atau

    tumor). Ketika FasL mengikat Fas, tiga atau lebih molekul dari Fas dibawa

    bersama sama dengan domain kematian sitoplasma yang kemudian membentuk

    tempat pengikatan untuk protein yang juga mengandung domain kematian dan

    dinamakan FADD (Fas-associated death domain). FADD yang melekat pada

    reseptor kematian kemudian berubah bentuk menjadi caspase-8 inaktif (pada

    manusia, caspase-10), juga melalui domain kematian. Molekul pro-caspase-8

    multipel dibawa ke dalam jarak tertentu sehingga mereka bersatu membentuk

    caspase-8 aktif. Enzim kemudian mencetuskan aktifasi caspase dengan memecah

  • 16

    dan dengan demikian mengaktifkan procaspase yang lain, dan enzim yang aktif

    memediasi fase eksekusi apoptosis. Alur apoptosis ini dapat dihambat oleh protein

    yang dinamakan FLIP, yang dapat mengikat pro-caspase-8 tetapi tidak dapat

    membelah dan mengaktifkan caspase karena sedikit mengandung domain protease

    (Cory and Adam, 2002; Kumar, et al., 2010). Beberapa virus dan sel normal

    memproduksi FLIP dan menggunakan inhibitor ini untuk melindungi dirinya dari

    apoptosis yang dimediasi oleh Fas (Lowe and Lin, 2000; Landen, et al., 2008;

    Kumar, et al., 2010).

    Gambar 2.6 Apoptosis alur ekstrinsik (inisiasi reseptor kematian)

    (Kumar, et al., 2010)

    Telah digambarkan mengenai alur ekstrinsik dan intrinsik untuk menginisiasi

    apoptosis secara berbeda dikarenakan secara fundamental melibatkan molekul

    yang berbeda untuk melakukan inisiasi, tetapi kemungkinan didapatkan

    interkoneksi antara alur tersebut, contoh singkatnya, pada hepatosit dan beberapa

  • 17

    sel tipe yang lainnya, sinyal Fas mengaktivasi protein BH3 yang dinamakan Bid,

    yang kemudian akan mengaktifkan alur mitokondria. (Kupryjanczyk, 2003;

    Landen, et al., 2008; Kumar, et al., 2010)

    Gambar 2.7 Hubungan antara inisiasi apoptosis alur ekstrinsik dengan alur

    intrinsik (Kumar, et al., 2010)

    2.1.2.4 Apoptosis fase eksekusi

    Kedua alur inisiasi bersatu pada aktifasi dari alur caspase, yang akan

    memediasi fase akhir dari apoptosis. Seperti yang kita lihat, alur mitokondria

    berujung pada aktifasi inisiator caspase-9, dan alur reseptor kematian kepada

    inisiator caspase-8 dan -10. Setelah inisiator caspase membelah untuk membentuk

    bentuk aktifnya, enzim program kematian di atur dengan gerakan yang cepat dan

  • 18

    berurutan untuk aktifasi dari eksekusioner caspase. Eksekusioner caspase seperti

    caspase -3 dan -6 bekerja pada banyak komponen selular. Secara singkat, caspase

    ini, sekali aktif akan menghilangkan inhibisi dari sitoplasma DNase dan membuat

    DNase secara enzimatik aktif; enzim ini menginduksi karakteristik pemecahan

    DNA menjadi pecahan pecahan ukuran nukelosom. Caspase juga mendegradasi

    komponen struktural dari matriks inti, dan memacu fragmentasi dari nukleus.

    Beberapa langkah dari apoptosis tidak sepenuhnya dapat dijelaskan, secara

    singkat, kita tidak mengetahui bagaimana struktur dari membran plasma berubah

    pada sel apoptosis, atau bagaimana membran menggembung dan membentuk

    badan apoptosis (Schorge, et al., 2008; Kumar, et al., 2010).

    2.1.2.5 Penghilangan sel yang mati

    Badan apoptosis terbagi menjadi fragmen fragmen dengan ukuran yang

    dapat di makan oleh fagosit. Sel apoptosis dan fragmen fragmennya juga

    menjalani beberapa perubahan pada membrannya yang secara aktif mempromosi

    fagositosis maka sel sel tersebut dapat di bersihkan sebelum menjalani nekrosis

    sekunder dan melepaskan komponen selularnya (yang dapat menyebabkan

    inflamasi). Pada sel yang sehat phosphatidylserine muncul pada lipatan dalam

    membran plasma, tetapi pada sel apoptosis phospolipid ini melipat keluar dan

    terekspresi pada lapisan luar dari membran, dimana dikenali oleh beberapa

    reseptor makrofag. Sel apoptosis yang hampir mati mensekresi faktor faktor

    yang dapat larut yang kemudian menarik fagosit (Ravichandran, 2003; Shih and

    Kurman, 2007; Kumar, et al., 2010).

  • 19

    Beberapa dari badan apoptosis mengekspresikan thrombospondin,

    glikoprotein adesif yang dikenali oleh fagosit, dan makrofag sendiri dapat

    memproduksi protein yang mengikat sel apoptosis (tetapi tidak kepada sel yang

    hidup) dan oleh karena itu sel target mati di makan. Badan apoptosis dilapisi oleh

    antibodi natural dan protein dari sistem komplemen, terutama C1q yang dikenali

    oleh fagosit (Ogden, et al., 2006; Kumar, et al., 2010).

    Dengan demikian, reseptor pada fagosit dan ikatan ikatan yang terjadi yang

    di induksi pada sel apoptosis terlibat dalam proses pengikatan dan pemakanan sel

    ini. Proses fagositosis sel apoptosis sel ini sangat efisien yang menyebabkan sel

    mati hilang, bahkan dalam waktu hitungan menit, tanpa meninggalkan jejak dan

    tidak terjadi inflamasi (Tripathy and Rubenstein, 2003; Kumar, et al., 2010).

    2.1.3 Ekspresi Bcl-2

    Peranan Bcl-2 pada apoptosis ovarium didukung melalui beberapa penemuan

    dalam penelitian, termasuk (i) penurunan jumlah folikel pada defisiensi bcl-2 pada

    tikus; (ii) ekspresi yang kuat dari bcl-2 menunjukkan penurunan dari apoptosis

    folikuler dan atresia; (iii) defisiensi bax pada tikus mempunyai folikel yang

    abnormal dengan jumlah sel granulose yang banyak; dan (iv) ekspresi bax kuat

    pada folikel yang atresia dibandingkan dengan folikel yang sehat (Mahmoud,

    2005).

    Saat mengalami overekspresi, protein Bcl-2 akan menekan apoptosis yang

    diinduksi oleh bermacam - macam agen baik invitro maupun invivo, kemampuan

    produksi protein Bcl-2 yang berlebihan untuk mencegah kematian sel tanpa

  • 20

    mempengaruhi proliferasi menyebabkan gen Bcl-2 digolongkan sebagai kategori

    baru dari onkogen.

    Gambar 2.8 Keseimbangan proliferasi dan kematian sel

    (Mahmoud, 2005)

    Deregulasi ekspresi Bcl-2 pada jaringan neoplasma menarik dalam beberapa

    hal, pertama, kemungkinan bahwa jumlah ekspresi Bcl-2 yang tidak tepat terlibat

    dalam transformasi neoplasma, dan kedua, ekspresi Bcl-2 oleh sel tumor dapat

    memberikan resistensi terhadap kemoterapi dengan menyebabkan sel terhindar

    dari apoptosis. Ekspresi Bcl-2 telah diteliti pada tumor solid, termasuk non small

    sel paru paru, prostat, colon, dan payudara. Ekspresi Bcl-2 yang signifikan tidak

    menentu, tetapi secara paradoks, studi retrospektif pada non-small sel paru paru

    dan karsinoma payudara menunjukkan bahwa ekspresi Bcl-2 berkaitan dengan

    memperpanjang usia harapan hidup.

    Bcl-2 (pro-survival), Bax (proapoptosis) dan c-Myc diekspresikan pada sel

    granulosa baik pada ovarium fetus dan dewasa, Bcl-2 ditemukan sebagian besar

    pada folikel yang sedang berkembang sedangkan Bax biasanya terlihat pada

    folikel yang atresia (Mahmoud, 2005).

  • 21

    Ekspresi protein Bcl-2 ditemukan pada semua komponen dari ovarium fetus

    manusia (usia kandungan 19-33 minggu) yang bertujuan untuk mengatasi

    aktivitas apoptosis yang luas (Abir et al,. 2002; Mahmoud, 2005). Ekspresi ini

    terkait dengan level dari gonadotropin yang mana semakin tinggi gonadotropin

    akan meningkatkan ekspresi Bcl-2 dan menurunkan ekspresi dari Bax (Sugino, et

    al., 2000; Mahmoud, 2005).

    Beberapa penelitian menemukan hubungan yang bermakna antara ekspresi

    positif protein Bcl-2 dengan stadium kanker ovarium dimana terjadi peningkatan

    ekspresi protein Bcl-2 seiring dengan meningkatnya stadium kanker ovarium

    (Adiyanti, et al., 2007; Rauf dan Masadah, 2009; Ayadi, et al., 2010), namun

    beberapa penelitian lainnya tidak menemukan hubungan ini (Torre, et al., 2007;

    Anderson, et al., 2009; Hogdal, et al., 2010).

    2.2 Kanker Ovarium

    2.2.1 Patogenesis kanker ovarium

    Berbagai penelitian dalam rangka mengungkap patogenesis berbagai

    karsinogen sebagai penyebab terjadinya kanker ovarium masih belum

    menujukkan hasil. Walaupun penyebab pasti kanker ovarium masih belum

    ditemukan, beberapa teori telah dikemukakan oleh para ahli dalam rangka

    mengungkap patogenesis terjadinya kanker ovarium, antara lain: teori incessant

    ovulation, inflamasi dan gonadotropin (Karst and Drapkin, 2010).

    2.2.1.1 Teori incessant ovulation

    Teori Incessant ovulation ini beranggapan bahwa adanya trauma berulang

    pada ovarium selama proses ovulasi, mengakibatkan epitel ovarium mudah

  • 22

    terpajan atau terpapar oleh berbagai faktor risiko sehingga dapat mengakibatkan

    terjadinya kelainan atau abnormalitas genetik. Semakin dini usia wanita

    mengalami menstruasi, semakin terlambat mencapai menopause, tidak pernah

    hamil atau memiliki keturunan merupakan berbagai kondisi yang dapat

    meningkatkan frekuensi ovulasi. Sedangkan berbagai kondisi yang menekan

    frekuensi ovulasi, seperti kehamilan dan menyusui justru menurunkan risiko

    terjadinya kanker ovarium (Choi, et al., 2007; Busman, 2008).

    Adanya ovulasi dan semakin bertambahnya umur seorang wanita

    meyebabkan terperangkapnya fragmen epitel permukaan ovarium pada invaginasi

    permukaan dan badan inklusi kortek ovarium. Beberapa penelitian telah

    membuktikan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi metaplasia dan

    neoplasma pada daerah-daerah ovarium yang mengalami invaginasi dan

    terbentuknya badan inklusi (Copeland, 2007; Karst and Drapkin, 2010)

    2.2.1.2 Teori inflamasi

    Teori ini diangkat berdasarkan pada penelitian yang memperoleh hasil bahwa

    angka insiden kanker ovarium meningkat pada wanita yang mengalami infeksi

    atau radang pada panggul. Menurut teori ini, berbagai karsinogen dapat mencapai

    ovarium melalui saluran genitalia. Walaupun adanya proteksi terhadap risiko

    kanker ovarium melalui ligasi tuba dan histerektomi mendukung teori ini, namun

    peranan signifikan faktor reproduksi lainnya tdak dapat dijelaskan dengan teori ini

    (Coleman and Gershen, 2007; Choi, 2007).

  • 23

    2.2.1.3 Teori gonadotropin

    Teori ini dapat dijadikan sebagai dasar timbulnya kanker ovarium. Adanya

    kadar gonadotropin yang tinggi, berkaitan dengan lonjakan yang terjadi selama

    proses ovulasi dan hilangnya gonadal negative feedbeck pada menopause dan

    kegagalan ovarium prematur memegang peranan penting dalam perkembangan

    dan progresivitas kanker ovarium (Choi, 2007; Granstrom, 2008).

    Perkembangan kanker ovarium dipengaruhi oleh hormon-hormon hipofisis

    pada berbagai macam tikus. Pada hewan tersebut, adanya penurunan estrogen dan

    peningkatan sekresi gonadotropin hipofisis dapat mengakibatkan perkembangan

    kanker ovarium. Ovarium yang terpapar bahan karsinogen, seperti

    Dimethylbenzanthrene (DMBA) akan berkembang menjadi kanker setelah

    ditransplantasikan pada tikus yang telah menjalani ooforektomi, namun hal

    tersebut tidak ditemukan pada tikus yang sebelumnya dilakukan pengangkatan

    kelenjar pituitari (Havrilesky and Berchuck, 2001; Choi, 2007).

    Penelitian yang dilakukan Cramer dan Welch bertujuan untuk menilai

    hubungan antara kadar gonadotropin dengan estrogen. Adanya sekresi

    gonadotropin dalam jumlah yang tinggi ternyata mengakibatkan peningkatan

    stimulasi estrogen pada epitel permukaan ovarium. Hal tersebut diduga berperan

    dalam meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium (Nagell and Gershenson,

    2008; Pothuri, et al., 2010).

  • 24

    2.2.2 Stadium kanker ovarium

    Stadium kanker ovarium ditentukan berdasarkan pada penemuan yang

    dilakukan saat melakukan eksplorasi. Stadium kanker ovarium menurut

    International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) berdasarkan pada

    hasil evaluasi pembedahan terhadap tumor ovarium primer dan penemuan

    penyebarannya dapat dilihat pada tabel 2.1 (Berek dan Natarajan, 2007).

    Tabel 2.1

    Kriteria Stadium Kanker Ovarium Menurut FIGO

    Stadium Kriteria

    I Pertumbuhan tumor terbatas pada ovarium

    Ia Pertumbuhan tumor terbatas pada satu ovarium, cairan ascites tidak

    mengandung sel-sel ganas, tidak ada pertumbuhan tumor pada

    permukaan luar tumor, kapsul utuh

    Ib Pertumbuhan tumor terbatas pada kedua ovarium, cairan ascites

    tidak mengandung sel-sel ganas, tidak ada pertumbuhan tumor

    pada permukaan luar tumor, kapsul utuh.

    Ic Tumor pada stadium Ia atau Ib tetapi dengan pertumbuhan tumor

    pada permukaan luar dari satu atau kedua atau kapsul pecah atau

    cairan ascites atau cairan bilasan peritoneum mengandung sel-sel

    ganas

    II Pertumbuhan tumor pada satu atau kedua ovarium dengan

    perluasan ke rongga pelvis

    IIa Penyebaran dan atau metastasis ke uterus dan atau tuba fallopi

    IIb Penyebaran tumor ke organ pelvis lainnya

  • 25

    IIc Tumor dengan stadium IIa atau IIb, tetapi dengan pertumbuhan

    tumor pada pemukaan luar dari satu atau kedua ovarium atau

    kapsul pecah atau cairan ascites atau cairan bilasan peritoneum

    mengandung sel-sel ganas

    III Tumor melibatkan satu atau kedua ovarium dengan implantasi di

    luar pelvis dan atau terdapat pembesaran kelenjar limfe inguinal

    atau retroperitoneal, Metastasis pada pemukaan liver sesuai dengan

    stadium III. Tumor terbatas pada pelvis, tetapi pemeriksaan

    histologi menunjukkan penyebaran tumor ke usus halus atau

    omentum

    IIIa Tumor secara makroskopis terbatas pada pelvis dan tidak ada

    pembesaran kelenjar limfe, tetapi pemeriksaan histologi

    menunjukkan penyebaran ke permukaan peritoneum abdominal

    IIIb Tumor pada satu atau kedua ovarium dengan penyebaran di

    permukaan peritoneum berdiameter tidak lebih dari 2 cm dan

    didukung oleh hasil pemeriksaan histologi. Tidak ada penyebaran

    ke kelenjar limfe

    IIIc Terdapat penyebaran pada peritoneum abdominal dengan diameter

    lebih dari 2 cm atau terdapat penyebaran ke kelenjar limfe

    retroperitoneal atau inguinal atau keduanya

  • 26

    IV Pertumbuhan tumor meliputi satu atau kedua ovarium dengan

    metastase jauh. Bila terdapat efusi pleura, harus ditemukan sel-sel

    ganas pada pemeriksaan sitologi. Metastasis pada parenkim liver

    sesuai dengan stadium IV

    (Berek dan Natarajan, 2007).

    2.3 Imunohistokimia

    Imunohistokimia merupakan suatu teknik untuk menentukan keberadaan suatu

    antigen atau protein target dalam jaringan atau sel dengan menggunakan reaksi

    antigen-antibodi. Teknik ini diawali dengan prosedur histoteknik, yaitu suatu

    prosedur pembuatan irisan jaringan yang kemudian diamati di bawah mikroskop.

    Setelah terbentuk suatu irisan jaringan, selanjutnya dapat dilakukan prosedur

    imunohistokimia (Fatchiyah, 2006).

    Interaksi antara antigen dan antibodi merupakan suatu reaksi kimia yang tidak

    kasat mata, sehingga diperlukan visualisasi adanya ikatan tersebut dengan melabel

    antibodi yang digunakan dengan enzim atau fluorokrom. Enzim yang digunakan

    untuk melabel selanjutnya direaksikan dengan substrat kromogen, yaitu substrat

    yang menghasilkan produk akhir berwarna dan tidak larut, yang dapat diamati

    dengan mikroskop cahaya. Sedangkan imunohistokimia yang menggunakan

    fluorokrom untuk melabel antibodi, dapat langsung diamati tanpa harus

    direaksikan dengan bahan-bahan yang menghasilkan warna di bawah mikroskop

    fluorescence (Fatchiyah, 2006).

    Terdapat dua metode dasar dalam melakukan identifikasi antigen pada suatu

    jaringan melalui pemeriksaan imunohistokimia, yaitu (CCRC, 2009):

  • 27

    a. Metode langsung (direct method)

    Metode langsung merupakan metode pengecatan satu langkah, oleh karena

    hanya melibatkan satu jenis antibodi, yaitu antibodi yang berlabel. Salah satu

    contoh antibodi berlabel adalah antiserum terkonjugasi Fluorescein

    isothiocyanate (FITC) dan rodhamin.

    b. Metode tidak langsung (indirect method)

    Metode tidak langsung menggunakan dua macam antibodi, yaitu antibodi

    primer yang tidak berlabel dan antibodi sekunder yang berlabel. Antibodi

    primer berperan dalam mengenali antigen yang diidentifikasi pada jaringan

    (first layer) sedangkan antibodi sekunder akan berikatan dengan antibodi

    primer (second layer). Antibodi kedua merupakan anti-antibodi primer.

    Pelabelan antibodi sekunder diikuti dengan penambahan substrat berupa

    kromogen. Kromogen merupakan suatu gugus fungsi senyawa kimiawi yang

    dapat membentuk senyawa berwarna bila bereaksi dengan senyawa tertentu.

    Penggunaan kromogen fluorescent dye seperti FITC, rodhamin dan texas-red

    disebut metode immunofluorescence, sedangkan penggunaan kromogen enzim

    seperti peroksidase, alkali fosfatase atau glukosa oksidase disebut metode

    immunoenzyme.

    Untuk menjamin agar antibodi dapat mengikat antigen, maka sel harus

    difiksasi dengan ditempelkan pada bahan pendukung padat sehingga antigen

    menjadi immobile. Hal ini dapat dilakukan dengan menumbuhkan sel pada slide

    mikroskop, coverslip, atau bahan pendukung plastik yang sesuai. Secara umum,

    terdapat dua macam metode fiksasi, yaitu pelarut organik dan reagen cross-

  • 28

    linking. Pelarut organik seperti alkohol dan aseton akan memindahkan lipid,

    mendehidrasi sel dan mengendapkan protein. Reagen cross-linking seperti

    paraformaldehid membentuk jembatan intermolekuler melalui gugus amino bebas

    (CCRC, 2009).

    Imunohistokimia melibatkan inkubasi sel dengan antibodi. Antibodi akan

    berikatan dengan antigen atau protein spesifik di dalam sel. Antibodi yang tidak

    berikatan dapat dipisahkan dengan pencucian, sedangkan antibodi yang berikatan

    dideteksi secara langsung dengan antibodi primer berlabel, maupun secara tidak

    langsung dengan antibodi sekunder berlabel enzim atau fluorescence (CCRC,

    2009).

  • 29

    BAB III

    KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

    3.1 Kerangka Berpikir

    Kanker ovarium merupakan salah satu penyakit penyebab kematian ginekologi

    terbanyak di dunia. Patogenesis maupun penyebab kanker ovarium belum jelas,

    hal ini terbukti sampai saat ini belum ada suatu cara deteksi dini serta pendekatan

    terapi yang berarti dan efektif.

    Pengetahuan tentang aspek biologi molekuler yang bertanggung jawab

    terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel kanker ovarium sangat penting

    dalam menentukan biomarker untuk deteksi dini, indikator prognosis atau luaran

    klinis bahkan terhadap perkembangan terapi yang memiliki target spesifik pada

    gen atau protein tertentu yang mendasari proses karsinogenesis.

    Progresivitas kanker ganas berkaitan dengan kegagalan dalam mekanisme

    kematian sel yang difasilitasi oleh ekspresi protein dalam meregulasi apoptosis.

    Keluarga protein Bcl-2 sudah dikenal sebagai protein spesifik dalam meregulasi

    apoptosis, peranannya dalam proliferasi neoplasma adalah sebagai antiapoptosis

    dan proapoptosis. Protein Bcl-2 merupakan karakteristik gen pertama yang terlibat

    dalam programmed cell death dengan cara menghambat apoptosis (antiapoptosis)

    dan meningkatkan kemampuan sel untuk bertahan hidup. Ekspresi protein Bcl-2

    memiliki peranan penting sebagai regulator dalam proses kematian sel dalam

    konteks fisiologis maupun patologis. Protein Bcl-2 berperan melalui mekanisme

    ekspresi yang spesifik untuk masing-masing jaringan.

  • 30

    Dalam penelitian ini ingin diketahui hubungan ekspresi protein Bcl-2 dengan

    berbagai tingkat stadium kanker ovarium, dengan menggunakan teknik

    imunohistokimia dalam menentukan keberadaan suatu protein Bcl-2 dalam setiap

    stadium kanker ovarium, sehingga kedepannya diharapkan dapat dilakukan

    pendekatan dan pemahaman yang lebih optimal dalam diagnosis serta keakuratan

    dalam target terapi kanker ovarium.

    3.2 Konsep Penelitian

    Gambar 3.1 Konsep Penelitian

    3.3 Hipotesis Penelitian

    Hipotesis pada penelitian ini adalah: ada hubungan antara stadium kanker ovarium

    dengan ekspresi Bcl-2.

    Stadium I

    BCL-2

    Kanker Ovarium

    Stadium II Stadium III Stadium IV

  • 31

    BAB IV

    METODE PENELITIAN

    4.1 Rancangan Penelitian

    Adapun rancangan pada penelitian ini adalah observasional analitik (cross-

    sectional). Untuk mengetahui hubungan antara stadium kanker ovarium dengan

    ekspresi protein Bcl-2. Secara sistematik rancangan penelitian ini dapat

    digambarkan sebagai berikut.

    Gambar 4.1 Rancangan Penelitian

    4.2. Tempat Dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan,

    Patologi Anatomi dan Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah,

    Denpasar. Waktu Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2011 sampai dengan

    bulan Juli 2013.

    Stadium I Stadium II Stadium IV

    Ekspresi Bcl-2 Ekspresi Bcl-2 Ekspresi Bcl-2 Ekspresi Bcl-2

    Kanker Ovarium

    Stadium III

  • 32

    4.3 Populasi Penelitian

    Adapun populasi target penelitian adalah semua pasien dengan kanker ovarium.

    Populasi tarjangkau penelitian adalah semua pasien kanker ovarium yang telah

    menjalani pembedahan laparotomi di RSUP Sanglah dari tahun 2008 sampai

    2013, dimana jaringan hasil pembedahannya tersebut telah dibuat blok parafin di

    Bagian Patologi Anatomi RSUP Sanglah.

    4.4 Sampel Penelitian

    Sampel penelitian ini adalah pasien kanker ovarium yang telah menjalani

    pembedahan di RSUP Sanglah dari tahun 2008 sampai 2013, dimana jaringan

    hasil pembedahannya tersebut telah dibuat blok parafin di Bagian Patologi

    Anatomi RSUP Sanglah serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

    4.4.1 Kriteria inklusi

    Adapun kriteria inklusi penelitian adalah sebagai berikut:

    a. Blok parafin telah diperiksa secara histopatologis, sehingga telah

    terdiagnosis pasti kanker ovarium.

    b. Data rekam medis yang lengkap, meliputi: identitas, umur, paritas, stadium

    kanker ovarium.

    4.4.2 Kriteria eksklusi

    Adapun kriteria eksklusi penelitian adalah sebagai berikut:

    a. Pasien pernah menjalani kemoterapi atau radiasi (neoadjuvan) sebelum

    pembedahan.

  • 33

    4.4.3 Perhitungan besar sampel

    Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai

    berikut (Araoye, 2003):

    Z 2 (pq)

    n =

    d 2

    Keterangan:

    n = besar sampel

    Z = 1,96 ( = 0,05)

    p = 4,1% (prevalensi terkecil stadium kanker ovarium)

    q = 94,01% (1-p)

    d = 10% (penyimpangan absolut penelitian)

    Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas, diperoleh

    besar sampel penelitian adalah 43,5 buah. Sehingga dalam penelitian ini diambil

    sampel penelitian sebanyak 44 buah.

    4.4.4 Cara pengambilan sampel

    Blok parafin dari semua pasien kanker ovarium yang telah menjalani pembedahan

    di RSUP Sanglah dari tahun 2008 sampai 2013 serta telah memenuhi kriteria

    inklusi dan eksklusi, kemudian dipilih dengan cara random sampling sebanyak 44

    buah.

    4.5 Variabel Penelitian

    4.5.1 Identifikasi variabel

    Identifikasi variabel adalah sebagai berikut:

    4.5.1.1 Variabel bebas : stadium kanker ovarium

    4.5.1.2 Variabel tergantung : ekspresi B cell lympoma-2 (Bcl-2)

  • 34

    4.5.2 Definisi operasional variabel

    Adapun definisi operasional variabel penelitian adalah sebagai berikut:

    a. B cell lympoma-2 adalah perhitungan semi-kuantitatif dari Bcl-2 yang

    tercat dengan teknik imunohistokimia/IHC (monoklonal) dalam suatu

    lapangan pandang mikroskopis. Dinyatakan overekspresi jika tercatat lebih

    dari 10% dan dinyatakan tidak terekspresi jika kurang atau sama dengan

    10% (Yamashita, 2004). Pemeriksaan imunohistokimia Bcl-2 dikerjakan

    di laboratorium imunohistokimia Bagian Patologi Anatomi RSUP

    Sanglah. Interpretasi ekspresi Bcl-2 dilakukan tanpa mengetahui data

    klinikopatologis pasien.

    b. Stadium kanker ovarium adalah derajat beratnya kanker ovarium yang

    meliputi derajat I, II, III dan IV menurut International Federation of

    Gynecology and Obstetrics (FIGO) pada hasil evaluasi pembedahan

    terhadap tumor ovarium primer dan penemuan penyebarannya yang

    diperoleh dari data atau rekam medis pasien. Stadium I adalah

    pertumbuhan tumor terbatas pada ovarium, stadium II adalah pertumbuhan

    tumor pada satu atau kedua ovarium dengan perluasan ke rongga pelvis,

    stadium III adalah tumor melibatkan satu atau kedua ovarium dengan

    implantasi di luar pelvis dan atau terdapat pembesaran kelenjar limfe

    inguinal atau retroperitoneal, metastasis pada pemukaan liver sesuai

    dengan stadium III. Tumor terbatas pada pelvis, tetapi pemeriksaan

    histologi menunjukkan penyebaran tumor ke usus halus atau omentum,

    stadium IV adalah pertumbuhan tumor meliputi satu atau kedua ovarium

  • 35

    dengan metastase jauh. Bila terdapat efusi pleura, harus ditemukan sel-sel

    ganas pada pemeriksaan sitologi, metastasis pada parenkim liver sesuai

    dengan stadium IV

    4.6 Alur Penelitian

    Blok parafin kanker ovarium di Bagian Patologi Anatomi RSUP Sanglah dari

    pasien kanker ovarium yang menjalani pembedahan di RSUP Sanglah dari tahun

    2008 sampai 2013. Blok parafin tersebut telah diperiksa secara histopatologis di

    Bagian Patologi Anatomi dan terdiagnosis pasti kanker ovarium. Blok parafin

    kanker ovarium selanjutnya harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

    penelitian. Pada kriteria inklusi, blok parafin telah diperiksa secara histopatologis,

    sehingga sudah terdiagnosis pasti kanker ovarium di Bagian Patologi Anatomi

    RSUP Sanglah.

    Selanjutnya blok parafin tersebut didata kelengkapan rekam medisnya di

    Bagian Rekam Medis RSUP Sanglah. Kelengkapan yang dicari, meliputi: stadium

    kanker ovarium, umur, paritas. Sedangkan pada kriteria eksklusi adalah pasien

    pernah menjalani kemoterapi atau radiasi sebelum pembedahan (neoadjuvan).

    Blok parafin dari semua pasien kanker ovarium yang telah menjalani pembedahan

    di RSUP Sanglah dari tahun 2008 sampai 2013 serta telah memenuhi kriteria

    inklusi dan eksklusi, kemudian dipilih dengan cara random sampling sebanyak 44

    buah. Sampel blok parafin ini dikelompokkan berdasarkan atas stadium kanker

    ovarium yang diperoleh dari data rekam medis, yaitu: kanker ovarium stadium I,

    II, III, dan IV. Kemudian masing-masing kelompok stadium dilakukan

    pemeriksaan ekspresi protein Bcl-2 dengan teknik imunohistokimia peroksidase

  • 36

    anti-peroksidase memakai antibodi primer Bcl-2. Akhirnya, dilakukan analisis

    terhadap hasil pemeriksaan ekspresi protein Bcl-2 pada masing-masing kelompok

    stadium kanker ovarium. Secara sistematis alur penelitian ditunjukkan pada

    gambar 4.2.

    Gambar 4.2 Alur Penelitian

    4.7 Instrumen Penelitian dan Metode Pemeriksaan

    4.7.1 Instrumen penelitian

    Instrumen untuk alat-alat tulis yaitu meja tulis, formulir penelitian, komputer,

    kertas dan alat tulis serta perlengkapan lainnya.

    Stadium I Stadium II Stadium IV Stadium III

    Blok parafin pasien

    kanker ovarium

    Ekspresi Bcl-2(+)/(-)

    Sampel penelitian

    Kriteria eksklusi Kriteria inklusi

    Analisis

    Random sampling

  • 37

    4.7.2 Metode pemeriksaan

    Teknik pemeriksaan yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan

    menggunakan pemeriksaan imunohistokimia. Langkah-langkah pemeriksaan

    imunohistokimia Bcl-2 adalah sebagai berikut (CCRC, 2009b):

    a. Potong jaringan 4 mikrometer, kemudian ditempelkan pada gelas objek

    yang sebelumnya telah dilapisi poly-L-lysine.

    b. Inkubasi dalam oven dengan suhu 37C selama satu malam.

    c. Lakukan deparafinisasi dengan xylene sebanyak tiga kali, masing-masing

    tiga menit.

    d. Rehidrasi preparat dengan menggunakan etanol 100%, etanol 95% dan

    etanol 70%, masing-masing selama dua menit, dua menit, satu menit dan

    terakhir dengan air selama satu menit.

    e. Rendam dalam peroxidase blocking solution pada suhu kamar selama

    sepuluh menit.

    f. Inkubasi preparat dalam prediluted blocking serum 25C selama sepuluh

    menit.

    g. Rendam preparat di dalam antibodi monoclonal anti-Bcl-2 25C selama

    sepuluh menit.

    h. Cuci preparat dengan Phospate Buffer Saline (PBS) selama lima menit.

    i. Inkubasi preparat dengan antibodi sekunder (conjugated to horse radis

    peroxidase) 25C selama sepuluh menit.

    j. Cuci preparat dengan PBS selama lima menit.

    k. Inkubasi preparat dengan peroksidase 25C selama sepuluh menit.

  • 38

    l. Cuci preparat dengan PBS selama lima menit.

    m. Inkubasi preparat dengan kromogen Diaminobenzinidine (DAB) 25C

    selama sepuluh menit.

    n. Inkubasi preparat dengan Hematoxylin Eosin selama tiga menit.

    o. Cuci preparat dengan air mengalir.

    p. Bersihkan preparat dan tetesi dengan mounting media.

    q. Tutup preparat dengan coverslip.

    Kemudian setelah dilakukan pengecatan imunohistokimia Bcl-2 atau dipulas

    dengan antibodi monoklonal Bcl-2, interpretasi Bcl-2 dilakukan tanpa mengetahui

    data klinis dan patologik dari setiap kasus. Penilaian ekspresi Bcl-2 dilakukan

    secara semikuantitatif. Dinyatakan overekspresi jika tercat lebih dari 10% dan

    dinyatakan tidak terekspresi jika kurang atau sama dengan 10%

    (Yamashita,2004).

    4.8 Pengumpulan dan Analisis Data

    4.8.1 Pengumpulan data

    Data hasil penelitian yang diperoleh dari Bagian Obstetri dan Ginekologi,

    Patologi Anatomi dan Rekam Medis RSUP Sanglah dikumpulkan dan

    dimasukkan ke dalam formulir penelitian (terlampir).

    4.8.2 Analisis data

    Data pada formulir penelitian kanker ovarium diolah dengan menggunakan

    Statistical Product and Service Solutions (SPSS) 17,0 for windows. Kemudian

    dilakukan beberapa tes atau uji, antara lain adalah sebagai berikut:

  • 39

    a. Karakteristik sampel disajikan secara deskriptif, dengan menggunakan

    tabel dan narasi.

    b. Uji One Sample Kolmogorow-Smirnov untuk normalitas data dan

    Levenes Test untuk homogenitas data.

    c. Uji One Way Anova untuk membandingkan nilai rerata masing-masing

    varabel.

    d. Uji korelasi dengan menggunakan Uji Spearmen.

  • 40

    BAB V

    HASIL PENELITIAN

    Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi Anatomi dan Bagian Obstetri dan

    Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

    dan sebanyak 44 blok parafin dijadikan sampel.

    5.1 Karakteristik Sampel Penelitian

    Pada studi ini dilakukan uji normalitas data dengan uji kolmogorov-smirnov dan

    uji homogenitas data dengan Levenes Test terhadap variabel umur, IMT, paritas

    dan kontrasepsi hormonal. Hasil analisis menunjukkan bahwa data pada variabel

    umur, IMT, paritas dan kontrasepsi hormonal berdistribusi normal (p>0,05) dan

    homogen (p>0,05), sedangkan untuk membandingkan nilai rerata masing-masing

    variabel digunakan uji One Way Anova.

    Tabel 5.1

    Distribusi Umur, IMT, Paritas, dan Riwayat Kontrasepsi Hormonal pada

    Kelompok Stadium Kanker Ovarium

    Variabel Kanker Ovarium p

    Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV

    Umur 40,865,24 43,5612,70 45,57 9,77 57,868,78 0,814

    IMT 19,91,51 25,154,04 21,764,95 21,383,75 0,304

    Paritas 1,570,78 1,33 0,70 2,001,30 2,430,97 0,057

    Kontrasepsi

    hormonal 1,710,48 1,780,44 1,900,30 1,710,48 0,562

  • 41

    Pada Tabel 5.1 menunjukkan bahwa antar kelompok stadium kanker ovarium

    tidak memiliki perbedaaan pada variabel umur, IMT, paritas, dan riwayat

    kontrasepsi hormonal dengan nilai p>0,05.

    5.2 Hubungan Stadium Kanker Ovarium dengan Ekspresi Bcl-2

    Untuk mengetahui hubungan stadium kanker ovarium dengan ekspresi Bcl-2

    diuji dengan korelasi Spearman dan hasil analisis disajikan pada Tabel 5.2.

    Tabel 5.2.

    Uji Korelasi Stadium Kanker Ovarim dengan Ekspresi Bcl-2

    Stadium Kanker Ovarium

    Variabel I II III IV

    (n=7) (n=9) (n=21) (n=7)

    r p

    Ekspresi Bcl-2 (+) 3 1 8 3

    (-) 4 8 13 4 0,103 0,506

    Pada Tabel 5.2 menunjukkan bahwa ekspresi Bcl-2 pada stadium I yang

    positif sebanyak 3 sampel, stadium II sebanyak 1 sampel, stadium III sebanyak 8

    sampel, dan stadium IV sebanyak 3 sampel. Penilaian terhadap hubungan antara

    stadium kanker ovarium dengan ekspresi Bcl-2 dilakukan dengan menggunakan

    uji korelasi Spearman, dan diperoleh tidak terbukti ada hubungan antara stadium

    kanker ovarium dengan ekspresi Bcl-2 (p>0,05).

  • 42

    BAB VI

    PEMBAHASAN

    Kanker ovarium sering disebut sebagai the silent killer. Hal ini berkaitan

    dengan fatalitas dan prevalensi dari kanker ovarium yaitu gejalanya yang tidak

    spesifik, keterbatasan dalam upaya deteksi dini dan sering terlambat dalam

    penegakan diagnosis sehingga survival rate-nya rendah.

    Berbagai penelitian terhadap peran genetik telah dikembangkan dalam rangka

    memahami etiologi dan patofisiologi kanker ovarium, baik melalui pemeriksaan

    secara langsung terhadap mutasi pada gen atau pun tidak langsung melalui

    abnormalitas ekspresi protein yang dihasilkan oleh gen termutasi. Salah satu gen

    yang diperkirakan mengambil peranan penting dalam etiopatogenesis terjadinya

    kanker ovarium adalah protein B cell lymphoma-2 (Bcl-2), yang sudah dikenal

    sebagai protein spesifik dalam meregulasi apoptosis. Peranannya dalam proliferasi

    neoplasma adalah sebagai antiapoptosis dan proapoptosis.

    Untuk mengetahui hubungan ekspresi Bcl-2 dengan stadium kanker ovarium,

    maka dilakukan penelitian cross-sectional, yang dilaksanakan di Bagian

    Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Patologi Anatomi dan Rekam Medis RSUP

    Sanglah, Denpasar dari bulan Juli 2011 sampai dengan bulan Juli 2013, dengan

    jumlah sampel 44 buah blok parafin.

    6.1 Karakteristik Sampel Penelitian

    Pada penelitian ini rerata umur pada kelompok stadium kanker ovarium stadium I

    adalah 40,86 5,24 tahun, stadium II adalah 43,56 12,70 tahun, stadium III

  • 43

    adalah 45,57 9,77 tahun dan stadium IV adalah 57,86 8,78. Penelitian ini

    sesuai dengan angka kejadian kanker ovarium pada umumnya di mana cenderung

    meningkat seiring dengan bertambahnya umur, terutama pada umur di atas 50

    tahun. Sebanyak 80% dari kejadian kanker ovarium ditemukan pada umur wanita

    lebih dari 45 tahun, namun pada beberapa kasus kanker ovarium juga dapat

    ditemukan pada umur yang relatif lebih muda daripada kanker pada wanita

    lainnya, yaitu umur 20 sampai 30 tahun (Fauzan, 2009). Penelitian di Amerika

    Serikat pada tahun 2001 memperoleh hasil yang sama, dimana risiko terjadinya

    kanker ovarium kurang dari 3 kasus per 100.000 wanita pada umur di bawah 30

    tahun, namun cenderung meningkat seiring dengan peningkatan umur dan

    menjadi 54 kasus per 100.000 wanita pada umur 75 sampai dengan 80 tahun.

    Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Rauf dan Masadah (2009) di mana

    diperoleh rerata umur penderita kanker ovarium adalah 55 tahun. Penelitian yang

    dilakukan oleh Faizal (2011) di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makasar

    memperoleh hasil yang serupa, dimana kelompok umur yang paling banyak

    menderita kanker ovarium adalah kelompok umur 41 sampai 50 tahun yaitu

    sebanyak 62,7% dan paling sedikit adalah 31 sampai 40 tahun yaitu sebanyak

    10,8%.

    Hal tersebut sesuai dengan salah satu mekanisme terjadinya kanker ovarium,

    yaitu berdasar pada teori Incessant ovulation. Teori Incessant ovulation ini

    beranggapan bahwa adanya trauma berulang pada ovarium selama proses ovulasi,

    mengakibatkan epitel ovarium mudah terpajan atau terpapar oleh berbagai faktor

    risiko sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kelainan atau abnormalitas

  • 44

    genetik. Adanya ovulasi dan semakin bertambahnya umur seorang wanita dapat

    menyebabkan terperangkapnya fragmen epitel permukaan ovarium pada cleft atau

    invaginasi pada permukaan dan badan inklusi pada kortek ovarium. Beberapa

    penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi

    metaplasia dan neoplasma pada daerah-daerah ovarium yang mengalami

    invaginasi dan terbentuknya badan inklusi (Choi, 2007).

    Pada penelitian ini diperoleh rerata Indek Massa Tubuh (IMT) dalam rentang

    normal, hanya pada stadium II yang memiliki rerata IMT yang termasuk dalam

    kelebihan berat badan. Rerata IMT pada masing-masing kelompok kanker

    ovarium stadium I adalah 19,9 1,51 kg/m2, stadium II adalah 25,15 4,04

    kg/m2, stadium III adalah 21,76 4,95 kg/m

    2, dan stadium IV adalah 21,38 3,75

    kg/m2. Beberapa penelitian membuktikan bahwa peningkatan IMT dapat

    meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium (Reeves, 2007). Penelitian yang

    dilakukan oleh Anders (2003) memperoleh hasil bahwa risiko relatif terjadinya

    kanker ovarium memiliki kecenderungan meningkat sesuai dengan peningkatan

    IMT. Pada IMT kurang dari 18,5 kg/m2 memiliki risiko sebesar 1,09, IMT antara

    18,5 sampai 24,9 kg/m2 memiliki risiko sebesar 1,00, IMT antara 25,0 sampai

    29,9 kg/m2 memilki risiko sebesar 1,43, dan IMT lebih dari 30,0 kg/m

    2 memiliki

    risiko sebesar 1,56 untuk menderita kanker ovarium. Penelitian yang dilakukan

    oleh European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition tahun 2006

    memperoleh hasil bahwa pada wanita dengan IMT di atas 30 atau obesitas

    memiliki risiko relatif sebesar 1,59 untuk terjadinya kanker ovarium dibandingan

    dengan wanita dengan IMT normal (Lahmann, 2009). Penelitian yang berbeda

  • 45

    memperoleh hasil bahwa peningkatan IMT pada wanita premenopause

    meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium dengan risiko relatif sebesar 1,72

    (Schouten, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Leitzmann (2009) juga

    memperoleh hasil bahwa pada wanita yang memiliki IMT normal risiko terjadinya

    kanker ovarium pada wanita obesitas dengan IMT lebih dari 30 kg/m2 adalah

    sebesar 1,26. Penelitian yang dilakukan oleh Faizal (2011) di Rumah Sakit

    Wahidin Sudirohusodo Makasar memperoleh hasil dimana pada IMT yang lebih

    dari 30 kg/m2 memiliki risiko 2,036 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita

    yang memiliki IMT yang kurang dari 30 kg/m2.

    Obesitas menyebabkan kadar estrogen dalam tubuh juga meningkat serta

    beberapa zat lemak dapat menghasilkan estrogen yang pada umumnya berbentuk

    estrion, maupun estradiol. Mekanisme perubahan dari zat lemak atau kolesterol

    dapat dijelaskan melalui biosintesis hormonal, dimana semua hormon steroid

    termasuk estrogen berasal dari kolesterol. Adanya cadangan lemak di dalam tubuh

    memainkan peran besar dalam produksi hormonal, khususnya estrogen. Pada

    wanita dengan jumlah lemak tubuh yang rendah cenderung memiliki kadar

    hormon seks yang rendah pula. Pada kondisi di mana cadangan lemak yang tinggi,

    dinilai melalui IMT yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar

    estrogen. Peningkatan kadar estrogen tersebut mengakibatkan aktivasi jalur

    Phosphatidylinositol-3-kinase (PI3K), Mitogenic-Activated Protein Kinase

    (MAPK), dan transkripsi Faktor c-myc (Chien et al., 1994). Dapat pula melalui

    reseptor estrogen jalur lain seperti Insulin-like growth factor-1 (IGF-1),

    Transforming growth factor- (TGF-), dan Epidermal Growth Factor Receptor

  • 46

    (EGFR) (Simpson et al, 1998). Estrogen juga bekerja melalui jalur anti-apoptosis

    yaitu Bcl-2, yang merupakan suatu protein anti-apoptosis (Choi et al., 2001b) dan

    meningkatkan kemampuan invasif sel melalui protein fibulin-1, cathepsin D dan

    kallikreins (Yousef et al., 2003).

    Berbagai penelitian telah mengemukakan bahwa Estrogen Reseptor- (ER-)

    bertanggung jawab dalam proses proliferasi ovarium, sementara Estrogen

    Reseptor- (ER-) bertanggung jawab dalam proses modulasi dan differensiasi sel

    (Britt and Findlay, 2002). Peningkatan perbandingan antara ER-:ER- rasio juga

    telah diamati pada kanker ovarium (Cunat et al., 2004). Peningkatan estrogen

    tersebut meningkatkan suatu molekul Vascular Endothelial Growth Factor

    (VEGF), meningkatkan kemampuan adhesi sel, dan meningkatkan kemampuan

    sel dalam melakukan migrasi. Pada akhirnya, semua hal tersebut berdampak pada

    proliferasi abnormal pada sel yang membelah sehingga sel akan masuk menuju

    proses menuju transformasi ganas dalam hal ini adalah kanker ovarium.

    Pada penelitian ini diperoleh rerata paritas adalah dua. Rerata paritas pada

    kelompok kanker ovarium stadium I adalah 1,57 0,78, stadium II adalah 1,33

    0,70, stadium III adalah 2,00 1,30, dan stadium IV adalah 2,43 0,97. Paritas

    merupakan salah satu faktor risiko yang penting dalam menentukan terjadinya

    kanker ovarium. Wanita yang sudah pernah hamil memiliki risiko untuk

    mengalami kanker ovarium sekitar 50% lebih rendah daripada wanita yang belum

    pernah hamil atau nullipara. Bahkan, wanita yang telah beberapa kali hamil risiko

    terjadinya kanker ovarium menjadi semakin berkurang (Czyz, 2008). Penelitian

    yang dilakukan oleh Cancer Research United of Kingdom pada tahun 2006

  • 47

    menyimpulkan bahwa semakin tinggi jumlah paritas maka semakin rendah

    kemungkinan risiko terjadinya kanker ovarium. Pada wanita yang tidak memiliki

    anak atau nullipara memiliki risiko dua kali lipat lebih besar untuk terjadinya

    kanker ovarium daripada wanita dengan paritas tiga atau lebih (Granstrom, 2008).

    Penelitian ynag dilakukan oleh Sriwidyani (2008) juga memperoleh 78,1 kasus

    kanker ovarium adalah multiparitas, terutama adalah paritas dua. Penelitian yang

    dilakukan oleh Faizal (2011) di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makasar

    memperoleh hasil yang berbeda dimana kejadian kanker ovarium tidak memiliki

    hubungan dengan tingkat paritas.

    Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup atau jumlah anak yang dimiliki oleh

    seorang wanita. Dalam paritas terjadi pelepasan sel ovum dari ovarium sehingga

    menyebabkan produksi estrogen untuk proliferasi epitel ovarium. Walaupun ada

    beberapa hipotesis yang menghubungkan antara paritas dengan kanker ovarium

    namun etiologi paritas dengan kanker ovarium belum begitu jelas. Beberapa

    hipotesis mengungkapkan bahwa tingginya paritas justru menjadi faktor protektif

    terhadap kanker ovarium. Pada saat terjadinya ovulasi akan terjadi kerusakan pada

    epitel ovarium dan untuk proses perbaikan kerusakan ini maka diperlukan waktu

    tertentu. Apabila kerusakan epitel ini terjadi berkali-kali terutama jika sebelum

    penyembuhan sempurna tercapai, atau dengan kata lain masa istirahat sel tidak

    adekuat, maka proses perbaikan tersebut akan mengalami gangguan sehingga

    dapat terjadi transformasi menjadi sel-sel neoplastik. Hal ini dapat menjelaskan

    bahwa wanita yang memiliki paritas lebih dari 2 akan menurunkan risiko

    terjadinya kanker ovarium.

  • 48

    Pada penelitian ini diperoleh bahwa sebagian besar sampel penelitian tidak

    memiliki riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal baik pada kanker ovarium

    stadium I, II, III, dan IV. Penelitian lainnya melaporkan bahwa penggunaan pil

    kontrasepsi selama kurang lebih satu tahun dapat menurunkan risiko kejadian

    kanker ovarium sebesar 11%, sedangkan apabila pemakaian mencapai lima tahun

    maka risiko terjadinya kanker ovarium dapat semakin menurun, bahkan mencapai

    50% (Fauzan, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Beral (2008) juga

    memperoleh hasil bahwa penurunan risiko relatif terjadinya kanker ovarium

    sesuai dengan lamanya pemakaian kontrasepsi oral, dimana pada wanita yang

    memakai kontrasepsi oral selama kurang dari satu tahun memiliki risiko relatif 1

    dan semakin menurun mencapai 0,42 pada pemakaian yang lebih dari lima belas

    tahun. Setelah dilakukan analisis lanjutan terhadap jenis hormon yang terkandung

    dalam obat kontrasepsi, diperoleh bahwa hormon yang berperan dalam

    menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium tersebut adalah progesteron.

    Penggunaan obat yang menggandung hormon estrogen saja khususnya pada

    wanita pascamenopause justru meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium.

    Pada penggunaan kombinasi progesteron dan estrogen atau progesteron saja akan

    menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium (Busman, 2008). Pada penelitian ini

    seluruh sampel tidak memiliki riwayat terapi hormonal pada masa menopause dan

    riwayat keluarga kanker ovarium, mamae, kolon.

  • 49

    6.2 Hubungan Stadium Kanker Ovarium dengan Ekspresi Bcl-2

    Pada penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan imunohistokimia terhadap 44

    sampel blok parafin kanker ovarium. Sebanyak 15 dari 44 (34,09%) sampel blok

    parafin yang didapatkan ekspresi Bcl-2 yang positif, masing-masing didapatkan

    ekspresi Bcl-2 yang positif, 3 buah pada stadium I, 1 buah pada stadium II, 8 buah

    pada stadium III dan 3 buah pada stadium IV. Setelah dilakukan analisis statistik

    tidak diperoleh adanya hubungan antara ekspresi Bcl-2 dengan stadium kanker

    ovarium dengan nilai p = 0,506 (p>0,05). Penelitian ini memperoleh hasil yang

    serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Torre (2007), Anderson (2009) dan

    Hogdal (2010) dimana ketiganya menyimpulkan bahwa ekspresi Bcl-2 positif

    tidak berhubungan dengan stadium kanker ovarium.

    Hasil yang berbeda didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Adiyanti

    (2007), dimana pen