Latar Belakang - UNUD

25
1 RAMAYANA DAN MAHABHARATA PENYAMBUNG BUDAYA HINDU DI INDONESIA Oleh Nyoman Wijaya Sejarawan Alumni UGM, S-1, S-2, S-3, staf pengajar Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Denpasar Bali, Peneliti senior TSP Art and Science Writing Penulis koresponden: [email protected] Latar Belakang Tulisan ini tidak mempersoalkan asal muasal Mahabharata dan Ramayana, apakah sebagai fiksi atau fakta sejarah. Masih ada pro kontra dalam soal ini. Phalgunadi, berdasarkan penelitiannya terhadap pendapat para tokoh Hindu modern di India antara lain Mahatma Gandhi, Swami Dayananda Saraswati (pendiri Arya Samad) menyebutkan Ramayana dan Mahabarata bukan merupakan suatu kejadian nyata, bukan sebuah perang fisik, melainkan perang moral. 1 Kedua epik asal India ini identik dengan Hindu, yang konon sudah dikenal di wilayah Nusantara (kini Indonesia) pada abad V. 2 Pada abad IX relief Ramayana sudah terpahat pada dinding-dinding candi Prambanan. Pertunjukan dramatari bertema Mahabharata dan Ramayana juga sudah dipentaskan pada abad X, zaman Raja Belitung dari Kerajaan Mataram Kuna. 3 Di zaman kejayaan Kerajaan Kediri pada abad XII muncul lima kitab yang juga menyebut atau menyinggung kedua epik tersebut yakni Gatotkacasya, 4 karya Empu Penuluh, 5 Bharatayudha karya Empu Sedah dan Empu Makalah yang dibacakan dalam kegiatan Pengabdian Masyarakat Prodi Ilmu Sejarah di Kediri Jawa Tengah pada tanggal 28 April 2017. 1 I Gusti Ketut Budiartha, “Dharmatula Telkom Jatim: Hindu Agama Budaya?”. Raditya Edisi 115- Februari 2007, pp. 24-25. 2 Dikembangkan dari pemikiran Anak Agung Made Djlantik, naskah kata sambutan yang dibacakan dalam acara The Ninth International Ramayana Seminar yang diselenggarakan di Denpasar dari tanggal 3 Juli 1992. 3 R.M. Soedarsono, Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997), p. 4. 4 Denys Lombard, Nusa Jawa : Silang Budaya , terjemahan Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, dan Nini Hadayati Yusuf ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), p. 134. 5 Bercerita tentang kisah kepahlawanan Ghatotkaca yang berhasil menyatukan putra Arjuna, Abimanyu dengan putri Krisna, Sundari. P.J. Zoetmulder, Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, terjemahan Dick Hartoko (Jakarta: Djambatan, 1994), pp. 322-338.

Transcript of Latar Belakang - UNUD

Page 1: Latar Belakang - UNUD

1

RAMAYANA DAN MAHABHARATA

PENYAMBUNG BUDAYA HINDU DI INDONESIA

Oleh Nyoman Wijaya

Sejarawan Alumni UGM, S-1, S-2, S-3, staf pengajar Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Denpasar Bali, Peneliti senior TSP Art and Science Writing

Penulis koresponden: [email protected]

Latar Belakang

Tulisan ini tidak mempersoalkan asal muasal Mahabharata dan Ramayana, apakah sebagai fiksi atau fakta sejarah. Masih ada pro kontra dalam soal ini. Phalgunadi, berdasarkan penelitiannya terhadap pendapat para tokoh Hindu modern di India antara lain Mahatma Gandhi, Swami Dayananda Saraswati (pendiri Arya Samad) menyebutkan Ramayana dan Mahabarata bukan merupakan suatu kejadian nyata, bukan sebuah perang fisik, melainkan perang moral.1

Kedua epik asal India ini identik dengan Hindu, yang konon sudah dikenal di wilayah Nusantara (kini Indonesia) pada abad V.2 Pada abad IX relief Ramayana sudah terpahat pada dinding-dinding candi Prambanan. Pertunjukan dramatari bertema Mahabharata dan Ramayana juga sudah dipentaskan pada abad X, zaman Raja Belitung dari Kerajaan Mataram Kuna.3 Di zaman kejayaan Kerajaan Kediri pada abad XII muncul lima kitab yang juga menyebut atau menyinggung kedua epik tersebut yakni Gatotkacasya,4 karya Empu Penuluh,5 Bharatayudha karya Empu Sedah dan Empu

Makalah yang dibacakan dalam kegiatan Pengabdian Masyarakat Prodi Ilmu Sejarah di Kediri

Jawa Tengah pada tanggal 28 April 2017. 1 I Gusti Ketut Budiartha, “Dharmatula Telkom Jatim: Hindu Agama Budaya?”. Raditya Edisi 115-Februari 2007, pp. 24-25.

2 Dikembangkan dari pemikiran Anak Agung Made Djlantik, naskah kata sambutan yang dibacakan dalam acara The Ninth International Ramayana Seminar yang diselenggarakan di Denpasar dari tanggal 3 Juli 1992.

3 R.M. Soedarsono, Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997), p. 4.

4 Denys Lombard, Nusa Jawa : Silang Budaya , terjemahan Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, dan Nini Hadayati Yusuf ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), p. 134.

5 Bercerita tentang kisah kepahlawanan Ghatotkaca yang berhasil menyatukan putra Arjuna, Abimanyu dengan putri Krisna, Sundari. P.J. Zoetmulder, Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, terjemahan Dick Hartoko (Jakarta: Djambatan, 1994), pp. 322-338.

Page 2: Latar Belakang - UNUD

2

Panuluh,6 Kresnayana karya Empu Triguna,7 Smaradhana karya Empu Dharmaja,8 dan Sumanasantaka karya Empu Monaguna.9

Sejak abad XV kejayaan kisah Ramayana dan Mahabharata disela oleh tradisi baru yang berasal dari agama Islam dan abad XVI Agama Kristen, namun mengapa keduanya tidak mampu menghapus memori orang-orang di Nusantara terhadap dua epik tersebut, bahkan masih bertahan kuat dan mejadi penyambung budaya Hindu di masa kini.10 Inilah bahasan utama studi ini, yang sudah tentu terdiri dari sejumlah sub pertnyaan penelitian, namun tidak perlu disebutkan satu persatu.

Bertahannya epik Ramayana dan Mahabharata, termasuk juga sebagian besar teks atau kitab berbahasa Jawa Kuna lainnya karena berpindahnya pusat agama Hindu dari Jawa ke Bali. Para elite agama Hindu asal Jawa itu membawa serta kitab-kitab berbahasa Jawa Kuna melengkapi yang sudah terbawa sebelumnya. Naskah-naskah tersebut lalu disalin kembali dengan cara menulis ulang di atas daun rontal untuk menghasilkan lontar. 11

Namun keberadaan lontar-lontar berbahasa Jawa Kuna itu bukan satu-satunya faktor penyebab dari kebertahanan kedua epik ini, karena sekalipun penduduk Jawa mayoritas sudah memeluk agama Islam, namun kedua epik ini masih tersimpan dalam dalam tradisi, hidup berdampingan dengan praktik keagamaan Islam. Salah satu tradisi di Jawa yang punya peranan penting dalam kebertahanan epik ini adalah pertunjukan kesenian. Sebagai sebuah bahasa universal seni adalah wadah yang menjadikan kedua kisah epik ini bisa dinikmati oleh orang-orang yang sekalipun sangat berbeda, sehingga mereka dapat berkomunikasi tanpa saling memahami bahasa lisan atau tertulis.

Dengan lain kata, melalui seni kisah kedua epik ini dapat disampaikan kepada orang lain, non-Hindu. Para seniman bisa memilih salah satu atau beberapa cabang seni yang diminatinya,12 yakni seni lukis, pahat, seni tari, dan musik. Melalui cabang seni pilihannya itu, para seniman menuangkan nilai spiritual dan kemanusiaan yang berpangkal dari Ramayana dan Mahabharata. Oleh karena itu Ramayana dan Mahabharata mengilhami penduduk Bali dari generasi ke generasi dalam berpikir, berkata, dan berbuat terutama di bidang seni.13

Seni Pahat Seni pahat yang bemuatan nilai-nilai Ramayana dan Mahabharata dapat

berbentuk patung pemujaan dan relief dekorasi di monumen dan candi. Akan tetapi di Bali yang lebih banyak ditemukan bukan berupa patung pemujaan, melainkan dekorasi di pura, patung hiasan yang dipajang di rumah, serta relief pada batu atau kayu. Hal ini disebabkan oleh masih bertahannya agama rakyat dalam praktik keagamaan Hindu di

6 Bercerita tentang jalannya peperarangan antara Korawa dan Pendawa setelah gugurnya Bisma.

Ibid., pp. 317-331. 7 Bercerita tentang Krisna, Ibid., pp. 355-362. 8 Menceritakan kisah asmara Kama dan Ratih. Kam menjadi Raja Jawa, Ratih menjelam di

Kerajaan Jenggala, Ibid., pp. 369-374. 9 Berkisah tentang upaya Dewa Indra mengganggu seorang pertapa sakti dengan dengan cara

menugaskan seorang bidadari bernama Harini, namun bidadari ini akhirnya dikutuk oleh pertapa tersebut, Ibid., pp. 377-388.

10 Dikembangkan dari pemikiran Anak Agung Made Djlantik, naskah kata sambutan yang dibacakan dalam acara The Ninth International Ramayana Seminar yang diselenggarakan di Denpasar dari tanggal 3 Juli 1992.

11 Dikembangkan dari hasil pemikiran Anak Agung Made Djlantik, “Universal Language,” naskah kata sambutan yang dibacakan dalam acara Joint Exhibition Annemarie and Jacues Guyot di Ubud tanggal 22 Juni 2002.

12 Dikembangkan dari hasil pemikiran Anak Agung Made Djlantik, “Universal Language,” naskah kata sambutan yang dibacakan dalam acara Joint Exhibition Annemarie and Jacues Guyot di Ubud tanggal 22 Juni 2002.

13 Dikembangkan dari pemikiran Anak Agung Made Djelantik, dalam naskah Kata Sambutan..”

Page 3: Latar Belakang - UNUD

3

Bali. Salah satu ciri agama rakyat terlihat dalam tradisi mendewakan leluhur atau pendiri masyarakat lokal dalam bentuk pratima. 14

Pratima

Sumber google image

Sementra, Tuhan yang maha esa atau Ida Sanghyang Widi diyakini tidak dapat

diimajinasikan, sehingga tidak perlu direpresentasikan dalam bentuk realistik. Oleh karena itu hanya dibuatkan simbol magisnya berupa Acintya. 15 Ketika muncul konsep trinitas dalam praktik agama Hindu, Tuhan direpresentasikan sebagai Brahma, Siwa, dan Wisnu yang biasa disebut trimurti. Mereka disediakan sebuah tempat tinggal untuk dipuja, yang disebut sanggar agung dan tidak berisikan patung ke tiga desa tersebut. Akan tetapi mengikuti kehendak komunitas, pada bagian dasar sanggar agung dapat disertakan dekorasi relief, patung, dan bentuk pahatan lainnya.16 Bangunan ini disebut juga sanggar surya. Penempatannya pada bagian arah hulu dari denah jeroan pura. Bangunan ini pada bagian atas terbuka yang berfungsi sebagai stana Hyang Raditya/ Hyang Widi.

Acintya

14 Anak Agung Made Djlantik, “Estetika Seni Plastik Bali,” Manuskrip 15 Ibid. 16 Ibid.

Page 4: Latar Belakang - UNUD

4

Sumber google image

Sanggar agung/sanggar surya

Sumber google image Pahatan tradisional yang estetik sesuai dengan norma yang diberikan pada

kitab untuk tokoh wayang. Bentuk wajah, mata, mulut, kumis, tutup kepala, pakaian dan atribut lain harus sesuai dengan kode yang ditentukan untuk wayang itu. 17 Dalam ukiran dan pahat, kisah epik ini dapat dilihat pada ukiran dan pahatan pada kayu, batu dan bahan lainnya, yang juga merepresentasikan gaya dari tradisional ke modern.18

Pahatan-pahatan itu bisa berupa patung-patung mungil tempat masuknya para dewa dan tinggal selama berlangsungnya upacara dan kembali ke tempatnya semula setelah seusai upacara. 19

17 Ibid. 18 Dikembangkan dari pemikiran Anak Agung Made Djelantik, naskah kata sambutan...” 19 Claire Holt, Melacak Jejak-Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, terj. R.M. Soedarsono

(Bandung: Arti.Line, 2000), p. 246.

Page 5: Latar Belakang - UNUD

5

Pahatan wayang di dinding pura Sumber google image

Sementara pahatan seni ornamental secara figuratif diterapkan terutama pada

pura-pura dan istana-istana raja. Dapat dilihat pada gerbang-gerbang pura dan istana, dinding-dinding, dan dasar-dasar tempat suci yang dibangun dari paras, batu cadas lunak, sehingga perlu selalu direnovasi. Pada bagian atas gerbang pura, seperti di Pura Batur, dipahatkan figur-figur para kesatria Mahabharata dengan gaya wayang tradisional. Sementara istana raja yang disebut puri, sebelum masa kolonial, didekorasi sangat mewah menyerupai sebuah pura. 20

puri/istana raja di Bali sumber google image

Pada beberapa puri, dihiasi dengan begitu banyak patung dan lukisan gaya

tradisional. Pahatan seni ornamen menyerupai puri ditemukan pula pada rumah pribadi bangsawan tinggi, terutama pada pilar-pilar dan balok-balok pavilion, sebuah bagunan yang terisah dari bangunan induk. Pavilion ini bukan saja dipahat, tetapi juga dilukis dan diberikan prada emas. Demi menghidupkan sebuah penunjang balok melintang, diberikan hiasan patung Wisnu lengkap dengan burung garudanya, binatang-binatang ajaib dan jenis burung lainnya. 21

Dewa Wisnu dan Burung Garuda

Sumber Google image

Sekarang ini, dengan semakin banyaknya muncul orang kaya baru (OKB), menjadikan proses barokisasi di Bali semakin semarak. Banyak sekali rumah para OKB diberikan ornamen menyerupai pura atau puri. Jadi, barokisasi yang dulunya hanya

20 Ibid. 21 Ibid.

Page 6: Latar Belakang - UNUD

6

dapat dilihat pada patung Bali pada periode tengahan, kini dapat dicari dan ditemukan di rumah-rumah para OKB. Ciri-ciri adanya barokisasi ini dapat dilihat pada pigur-pigur kayu warna dewa-dewa menari. Bagi orang yang kemampuan ekonominya tidak begitu kuat, seringkali hanya mampu mengambil sebagin kecil dari semi ornamen figuratif pura dan puri itu, dengan cara membeli gerbang siap pasang dan diberikan warna prada secukupnya

Seni Lukis

Ramayana dan Mahabharata terlihat dalam perkembangan lukisan wayang mulai

dari yang klasik sampai yang paling modern. Di Bali, keberadaan lukisan wayang ini tak bisa dilepaskan dari peran Raja Gelgel yang merupakan junjungan raja-raja di Bali dan Lombok. Namun kewibawaan kerajaan ini dapat diruntuhkan oleh Sagung Maruti. Setelah kekuasaan Gelgel dapat direbut kembali, lalu muncul Kerajaan Klungkung sebagai generasi penerusnya. Mereka menugasi para seniman Desa Kamasan [dekat pusat kerajaan] untuk mempercantik istana dengan memakai gambar, lukisan, atau patung-patung dan ukiran. Proyek ini baru berhenti setelah Kerajaan Klungkung ditaklukkan oleh tentara kolonial Belanda pada permulaan abad XX. 22

Di zaman pemerintah kolonial Belanda, muncul kelompok pelukis lokal yang bernaung di bawah Yayasan Pita Maha, yang dipimpin oleh dua seniman asing Walter Spies dan Rudolf Bonnet. Hasil karya para pelukis anggota Pita Maha ini dulunya dipandang modern, namun sekarang ini sudah disebut tradisional, khususnya di antara para seniman Bali.23 Perhatian yang diberikan oleh Walter Spies dan Rudolf Bonnet, dengan sendirinya menjadikan para seniman lokal bukan saja dapat melihat cara kerja mereka, tetapi juga ingin menirunya, maka berubahlah corak kesenian Bali.

22 Anak Agung Made Djelantik, “Kesenian Bali Masa Kini: Pelestarian dalam Perubahan,”

manuskrip, 1995. 23 Anak Agung Made Djelantik, “Kamasan A Living Classical Style of Tranditional Balinese

Painting,” Journal of Aesthetics and Art Criticism, 65 (2007): 21-29

Page 7: Latar Belakang - UNUD

7

Lukisan Pita Maha

Sumber google image Sebelum kedatangan mereka, seluruh seni lukis Bali masih bercorak lukisan

wayang yang pada mulanya dikerjakan di Desa Kamasan yang diteruskan turun temurun secara tradisional. Seni lukis ini merupakan pengembangan seni rupa wayang kulit yang diwarisi dari Jawa. Mengambil tema dari cerita Hindu klasik, Ramayana dan Mahabarata atau mitologi Hindu. Karena itu tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam gambaran maupun lukisan terikat pada peraturan ketat dunia pewayangan, baik bentuk, ukiran, posisi, warna, hiasan kepala, badan, lengan dan kaki, serta wajah. Semuanya mengikuti kodifikasi tertentu.24

24 Anak Agung Made Djelantik, “Kesenian Bali Masa Kini...”

Page 8: Latar Belakang - UNUD

8

Lukisan wayang gaya Kamasan Bali Sumber google image

Di sisi lain, sekalipun sudah ada pengaruh para pelukis asing seperti sudah

disebutkan di atas, namun di Bali masih ada lukisan tradisional Kamasan, seperti yang dapat dilihat di Kertha Gosa, ruang pengadilan di zaman Kerajaan Kelungkung. Lukisan di Kertha Gosa sudah beberapa kali mengalami renovasi Gusti Sidemen membangun istananya pada tahun 1710. Dengan mempertimbangkan daya tahan materialnya yang relatif pendek, Anak Agung Made Djelantik berani memastikan telah berulang kali pula subyek lukisannya mengalami perubahan sesuai preferensi para penguasa sepanjang waktu itu. Sesudah adanya renovasi pada tahun 1930, di bawah arahan guru besar Pan Seken, tema Bima Swarga dalam Kisah Mahabharata terlihat menghiasi Kertha Gosa. Fakta itu terlihat pada foto Walter Spies dekade 1930-an. 25

Kertagosa

Sumber google image

25 Anak Agung Made Djelantik, “Kamasan A Living Classical Style...”

Page 9: Latar Belakang - UNUD

9

Lukisan wayang di Kertagosa

Sumber: Google image

Lukisan dan gambar akhirnya mengikuti seni pahat sebagai bentuk seni yang berfungsi untuk tujuan dekoratif dalam pura selain di istana raja dan bangsawan. Bentuk seni ini harus memiliki bentuk asli, kebutuhan yang dirasakan oleh orang untuk dipertahankan dalam bentuk yang dapat dipandang permanen, sedangkan citra wayang, yang dimeriahkan pada pertunjukkan malam yang hanya peristiwa temporer. Karena itu, dirasa perlu menampilkam adegan Ramayana dan Mahabharata dalam wujud parba, yakni lukisan di dinding, di pintu, jendela, dan papan ujung tempat tidur kayu.

Selain parba, ada pula ider-ider, yakni lukisan mengenai dewa, makhluk semi dewa, atau pangeran dan setan yang dilukis pada lembar kain panjang, yang bergantung secara keliling di bawah bangunan seremonial dan dimaksudkan sebagai dekorasi atau sebagai simbol magis untuk proteksi.26 Ider-ider yang menggambarkan serangkaian adegan dari cerita wayang, yang serupa dengan strip komik. 27

Ider-ider

Sumber google image

Sama halnya dengan ider-ider, lukisan klasik juga dibuat pada potongan kain, namun jauh lebih besar. Fungsinya sebagai langsai untuk partisi ruangan dan jika ditempatkan pada panel kayu disebut parba. Dalam jalannya waktu, lukisan wayang klasik menemukan tempatnya di banyak item lain, seperti bendera untuk menyertai prosesi. Tokoh-tokoh yang dijadikan objek lukisan adalah Hanoman, Bima, dan Gatotkaca. Ketiganya dipilih karena mereka memiliki kekuatan magis. 28 Tokoh-

26 Anak Agung Made Djlantik, “Estetika Seni Plastik Bali,” Manuskrip 27 Anak Agung Made Djelantik, “Kamasan A Living Classical Styll...” 28 Anak Agung Made Djelantik, “Kamasan A Living Classical Style...”

Page 10: Latar Belakang - UNUD

10

tokohnya digambarkan berbusana rumit, memakai gelung-gelung terstilisasi, yang mengarah pada bentuk-bentuk keindahan, dan menyertakan penutup kepala tokoh-tokoh wayang.29

Selain yang disebutkan di atas, biasanya dalam setiap upacara agama atau peringatan hari kelahiran pura ada beberapa bentuk ekspresi artistik yang dihubungkan dengan kisah Ramayana.30 Di masa lampau raja-raja dan para bangsawan bawahan sangat besar peranannya dalam mendorong dan membina kesenian seperti itu. Namun di zaman kolonial Belanda, karena merosotnya harta kekayaan mereka, maka peran selaku patron kesenian semakin lama semakin berkurang. Sekalipun demikian kewibawaan mereka masih bertahan. Salah satu dapat dilihat pada diri Cokorda Gede Sukawati, seorang bangsawan asal Ubud. Berkat kewibawaan itu, dua orang sahabatnya yakni pelukis Walter Spies dan Rudolf Bonnet mendapat kepercayaan dari para seniman Ubud. 31

Walter Spies dan Rudolf Bonnet memanfaatkan kewibawaan sahabanya itu dengan cara membantu para seniman lokal dalam pengadaan material lukisan seperti kertas, cat air, cat minyak, kwas dan kanvas. Mengajari mereka tentang perspektif dan anatomi tubuh manusia. Selain itu, mereka juga mendorong Cokorda Gede Sukawati supaya mendirikan koperasi seniman yang lantas diberi nama Pita Maha. Koperasi ini bukan hanya untuk membantu para seniman dalam pemasaran hasil karya, tetapi juga melakukan pengawasan mutu hasil karya para pelukis lokal. Pengawasan itu sangat diperlukan untuk menjaga mutu lukisan di tegah-tengah meningkatnya kebutuhan wisatawan terhadap produk kesenian dan seni kerajinan Bali. 32

Walter Spies dan Charlie Chaplin

Sumber : Google Image

29 Claire Holt, op. cit., p. 249.. 30 Anak Agung Made Djelantik, naskah kata sambutan” 31 Anak Agung Made Djelantik, “Kesenian Bali Masa Kini: Pelestarian dalam Perubahan,”

manuskrip, 1995. 32 Anak Agung Made Djelantik, “Kesenian Bali Masa Kini: Pelestarian dalam Perubahan,”

manuskrip, 1995.

Page 11: Latar Belakang - UNUD

11

Rudolf Bonnet Sumber: Google Image

Loyalitas Walter Spies dan Rudolf Bonnet itu membuat para seniman lokal

dapat melihat sekaligus meniru cara kerja mereka. Sebelumnya, karya para seniman lokal itu masih bercorak lukisan wayang ala Kamasan. Seni lukis model ini merupakan pengembangan seni rupa wayang kulit asal Jawa. Tema lukisannya berkisar pada cerita Hindu klasik, Ramayana dan Mahabarata atau mitologi Hindu. Oleh karena itu tampilan tokoh-tokohnya terikat pakem dunia pewayangan, baik bentuk, ukiran, posisi, warna, hiasan kepala, badan, lengan dan kaki, dan wajah. Semuanya mengikuti kodifikasi tertentu. 33 Wayang Kulit

Wayang kulit adalah teater bayangan kuna yang dikenal dan dicinta bukan hanya di Jawa, tetapi juga di Bali dan dan di daerah-daerah hunian orang Jawa di wilayah-wilayah lain. Narasi dan dialognya diresitasi, ditugaskan oleh dalang. Menurut isi dan cerita-ceritanya, lakon wayang kulit Jawa dibagi menjadi tiga, yakni wayang purwa, wayang gedog, dan madya. 34

33 Anak Agung Made Djelantik, “Kesenian Bali Masa Kini: Pelestarian dalam Perubahan,”

manuskrip, 1995. 34 Claire Holt, op. cit., 156.

Page 12: Latar Belakang - UNUD

12

Pertunjukan Wayang Kulit Bali sering pentas di Amerika

Sumber : Google Image Wayang purwa dikonotasikan sebagai wayang mula-mula, yang asli, dan yang kuno,

dengan repertoar, peran yang telah dipersiapkan dari empat kelompok sumber cerita. Satu, satu adiparwa atau masa awal Mahabharata dan sebagian pada mitologi Indonesia kuna. Dua, arjuna sastra bau yang merupakan asal usul tokoh-tokoh penting dalam Ramayana dan hubungan antara Ramayana dan Mahabharata. Tiga, ramayana. Empat, pandawa dan korawa yang dihubungan dengan Mahabharata. Wayang gedog (tidak punya arti yang jelas), sumber ceritanya dari legenda-legenda Panji dari Jawa Timur. Sedangkan wayang madya, sumber ceritanya dari puisi wiracarita abad XIX karya Ranggawarsita, yang bertemakan raja peramal Jayabhaya dari Kerajaan Kediri.35

Pada awalnya, ada tradisi yang menyatakan bahwa figur wayang pertama kali diubah oleh Sunan Muria, salah satu guru atau wali dalam penyebaran agama Islam di Jawa. Tujuannya untuk menyelaraskan kelestarian hiburan dari zaman dahulu, supaya sejalan dengan ketaatan pada ajaran Islam yang melarang segal pertunjukan atau pergelaran seperti itu. Namun dengan melakukan studi banding terhadap figur wayang di Bali yang merupakan pula Hindu, Raffles mengatakan figur wayang Jawa yang disebut sebagai hasil gubahan Sunan Muria, pada dasarnya masih sama dengan wayang zaman sebelum masuknya agama Islam. Figur itu antara lain, diletakkan di atas paku tanduk dan memiliki bagian dari tanduk pada amsing-masing tangannya, sehingga memudahan dalang untuk memainkannya. 36

35 Bid. 36 Thomas Stamford Raffles The History of Java, terj. Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin, Idda

Qoryati Mashbubah (Yogyakarta: Nrasi, 2014), p. 230 .

Page 13: Latar Belakang - UNUD

13

Pertunjukan Wayang Kulit Jawa

Sumber: Google Image Sampai sekarang ini wayang kulit masih sangat populer di Bali dan di Jawa.

Pertunjukan ini sejatinya adalah ritual yang dilakukan sebagai bagian dari upacara keagamaan, seperti perayaan otonan (210 hari sesudah kelahiran), mengikir gigi, perkawinan, kematian, kremasi, dan pada kesempatan lain. 37 Di Jawa, wayang juga punya fungsi rutual seperti disebutkan oleh Lombard. Namun selain ritual, wayang juga mempunyai fungsi sebagai alat pedagogis, karena di dalamnya tergambar suatu masyarakat ideal yang tersusun dari ide-ide dasar,38 untuk menghibur dan untuk kesuburan. 39

Figur wayang terdiri dari dewa, semi dewa, setan, raja dan pangeran, orang biasa, roh baik dan jahat, dan empat punakawan. Punakawan berfungsi sebagai penerjemah dialog bahasa Kawi lisan atau Jawa Kuno supaya dimengerti oleh audien umum. Selama pertunjukkan, dalang bisa menyelang-nyeling plot dengan dialog humor dan sering merujuk pada kejadian sosial atau politik kontemporer. 40

Sekalipun ada humornya, elemen ritual tetap memiliki arti penting, khususnya pada wayang gedog yang dipertunjukkan pada siang hari. Tempat pertunjukannya di komplek yang sama dengan orang-orang yang sibuk dengan ritual lain, dengan tarian dan musik atau melayani tamu. Karena itu relatif tidak ada orang yang memberikan perhatian pada pertunjukkan wayang ini. Sekalipun begitu, wayang ini tetap ditujukan sepenuhnya pada ritual, disaksikan oleh tamu yang tidak terlihat, dewa dan roh nenek moyang, yang kehadirannya untuk menyucikan upacara itu. 41

Langkah pedalangan wayang itu pun akhirnya berpindah ke ranah lukisan, seperti yang terlihat pada lukisan Kertha Gosa seperti sudah disebutkan di atas. Tidak ada jawaban pasti kenapa hal itu bisa terjadi, kecuali melalui imajinasi. Di Bali, untuk pertunjukan wayang kulit di malam hari tidak diperlukan boneka pipih yang berwarna warna, karena warnanya tidak akan kelihatan karena para penonton menyaksikannya

37 Anak Agung Made Djelantik, “Kamasan A Living Classical Style of Tranditional...” 38 Denys Lombard, Nusa Jawa 3, op. cit., p. 130. 39 Claire Holt, loc. cit. 40 Anak Agung Made Djelantik, “Kamasan A Living Classical Style of Tranditional...” 41 Ibid.

Page 14: Latar Belakang - UNUD

14

dari depan layar. Sementara di Jawa, dibutuhkan wayang berwarna karena ada penonton yang melihatnya dari belakang layar, dari sisi yang sama dengan dalang. Mereka yang menonton dari belakang layar itu adalah yang laki-laki,s edangkan yang perempuan di dari sisi lain, di depan layar. 42

Sedangkan di Bali semua penonton, laki-laki atapun perempuan tetap di sisi bayangan, di depan layar. Namun di Bali, seringkali ada pertunjukkan wayang siang hari. Demi tujuan estetika, orang pun mulai mengecat boneka wayang. Seperti terjadi dengan bentuk dan proporsi bagian tubuh, warna yang dipakai untuk tokoh dan atribut disesuaikan dengan kodifikasi ketat yang ditulis dalam kitab kuno. Pada bidang yang lebih profan, lukisan wayang ditemukan disemua jenis alat rumah tangga, dari topi sampai keranjang, pot dan gerabah lain. Pada item-item ini tokoh punakawan membentuk dekorasi yang sangat populer.

Wayang Wong Jawa Wayang wong termasuk ke dalam kategori drama. Pertunjukan drama di Jawa seperti disebutkan oleh Raffles, terdiri dari dua macam, yakni topeng dan wayang. Tokoh topeng diambil dari cerita petualangan Panji, seorang pavorit cerita Jawa. Saat menari di hadapan raja, para penari wajib tidak memakai topeng. 43

Di Jawa, ada wayang yang para pemainnya manusia. Itulah yang disebut dengan wayang wong, sebuah drama tari yang menggunakan dalang sebagai peresetasi dan penyanyi, sedangkan dialog diucapkan langsung oleh aktor-aktornya. Repertoar lakon-lakonnya didasarkan pada epik Ramayana dan Mahabharata. 44 Di Keraton Yogyakarta wayang wong merupakan renaissan, kebangkitan kembali wayang wong Majapahit, yang mulai dirintis oleh Sultan Hamengku Buwana I pada tahun 1756. Tujuan mereka menghidupkan kembali wayang wong ini adalah untuk memperingati berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. 45

42 Ibid. 43 Thomas Stamford Raffles, op. cit., p. 230. 44 Claire Holt, op. cit., p. 164. 45 Langkah Sultan Hamengku Buwana I diikuti oleh seterunya, Adipati Mangkunegara I dari

Kasunanan Surakarta dengan mencipta wayang wong sekitar tahun 1758. Tati Narawati, Wajah Tari Sunda dari Masa ke Masa Bandung : P4ST Upi, 2003), pp. 199-202.

Page 15: Latar Belakang - UNUD

15

Gambar Wayang Keraton Yogyakarta Sumber : Google Image

Drama tari semacam ini, pada periode kolonial, dibina dan disempurnakan di

istana-istana raja di Jawa Tengah. Ada semacam pengalihan perhatian dalam hal ini, karena sekalipun masih memerintah, namun raja-raja itu telah banyak kehilangan kekuasaan, namun masih menyimpan harta kekayaan, sehingga mereka mampu memamerkan kebesaran istana masing-masing melalui peristiwa-peristiwa seremonial termasuk pertunjukan-pertunjukan besar yang rumit. 46 Di Keraton Yogyakarta, masa kejayaan drama tari wayang wong ini berlangsung pada masa pemerintahan Sultan hamengku Buwono VIII (1921-1939), yang dilaksanakan secara berkala selama 11 kali. Lakon-lakon bersumber dari kisah Mahabharata. Pada tahun 1939 Sultan HB VIII mangkat. Setelah PD II bulan September, dilanjutkan dengan masa kekuasaan Jepang dan tuntutan kaum nasionalis, Keraton Yogyakarta tidak dapat melanjutkan pementasan wayang wong. Pada awal 1950an, para penari keraton prihatin dengan masa depan wayang wong. Mereka lalu menawarkan diri mengajar di sekolah dan organisasi tari swasta yang mulai dbuka tahun itu. Salah satu darinya, GBPH Suryobrongto, seorang putra Sultan HB VIII yang merupakan penari wayang wong terkemuka di Yogyakarta. Dia memlih menjajar tari di organisasi Babadan Among Bekso yang didirikan pada tahun 1952 oleh adiknya GPBH Yudonegoro, yang juga seorang enari istana.47 Pada tahun 1981, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta mendanai proyek riset wayang wong, sekaligus pula menyelenggarakan pertunjukan yang melibatkan penari dan pemain gamelan dari tiga generasi. Mereka adalah para penari dan penabuh wayang wong Keraton Yogyakarta yang ikut dalam pementasan tahun 1939, serta anak-anak dan cucu-cucu mereka. Pementasan pertama dilaksanakan pada bulan Maret dengan lakon Bisma Mahawita. Pementasan yang kedua dilaksanakan bulan November tahun yang sama dengan lakon Rama Nitis. 48

46 Claire Holt, loc. cit. 47 Jennifer Lindsay, Klasik Kitsch Kontemporer Sebauah Studi Tentang Seni Pertunjukan Jawa, terj.

Nin Bakdi Soemanto (Yogyakarta: Gadjah mada University Press, 1991), p. 156. 48 Jennifer Lindsay, Ibid., p. 157.

Page 16: Latar Belakang - UNUD

16

Selain di Yogyakarta dan Surakarta, di Priangan ada juga wayang wong berupa drama tari tanpa topeng yang berkembang sejak perempat pertama abad XX. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya wayang ini mendapat pengaruh dari wayang wong Cirebon dan wayang wong panggung dari Jawa Tengah. 49 Lakon-lakon yang dipentaskan oleh wayang wong Priangan kebanyakan dipengaruhi oleh lakon-lakon wayang wong panggung dan lakon-lakon yang ditampilkan oleh organisasi kesenian Kridha Beksa Wirama, yang bersumber pada wiracarita Mahabharata. 50

Wayang Wong Priangan Sumber : Google Image

Sendratari Pada awal tahun 1960-an, mahasiswa ASTI Yogyakarta angkatan pertama tidak melakukan eksprimen terhadap wayang wong, melainkan memfokuskan perhatian pada pengembangan drama tari baru yang disebut seni drama tari (sendratari), yang segera menutupi kejayaan wayang wong. Berbeda dengan wayang wong, sendratari tidak memakai narasi atau dialog dan tidak pula mengikuti rangkaian rangkaian struktur dramatik. Konsep sendratari mendekati ballet barat, karena hanya memainkan suatu episode dramatik. Kehadirannya dapat dlihat sebagai kelanjutan dari wayang wong Yogyakarta. Dengan mengabaikan struktur wayang kulit dan seluruh unsur verbal pertunjukan, sendratari hanya mengambil cerita dan tari sebagai dua unsur penting drama tari. 51

49 Tati Narawati, op. cit., p. 193. 50 Tati Narawati, Ibid., p. 231. 51 Jennifer Lindsay, op. cit., pp. 150-151.

Page 17: Latar Belakang - UNUD

17

Sendratari Ramayana Jawa

Sumber : Google Image Sendratari yang menghilangkan dialog dan berbentuk ballet ini sangat cocok disajikan untuk konsumsi turis, yang jumlah kunjungannya ke Yogyakarta semakin meningkat sejak masa Ore Baru. 52 Pada tahun 1961, lahir sendratari Ramayana versi jawa yang dipentaskan di Candi Prambanan tahun 1961. Sendratari ini merupakan hasil kreativitas tokoh-tokoh seniman asal karawitan Surakarta dan Yogyakarta di bawah pimpinan seorang ahli pariwisata Indonesia, Letnan Jenderal GBPH Jatikusumo.

52 Jennifer Lindsay, Ibid., pp. 150-151.

Page 18: Latar Belakang - UNUD

18

Pertunjukan Sendratari Ramayana di Candi Prambanan

Sumber: Google Image

Suatu hari Rektor KOKAR Bali, I Gusti Bagus Nyoman Pandji sempat

menyaksikan pementasan Ramayana Jawa. Tahun 1963, sebelum Gunung Agung meletus rombongan KOKAR Bali untuk menghadiri Koferensi KOKAR dari seluruh Indonesia di Solo. Mereka membawakan beberapa jenis tarian, salah satunya pementasan Hanoman Kecak yang memadukan antara tarian Hanoman dengan tari Kecak. Sekalipun sederhana, tarian Hanoman tetap ditampilkan secara utuh. Pada akhir tahun 1963 pemerintah daerah Jember didukung oleh warga Bali setempat tim kesenian Pemerintah Daerah Bali. Undangan itu disambut dengan cara mengirimkan siswa-siswi KOKAR Bali yang didukung oleh SMA 1 Denpasar.

Saat mengikuti pemusatan latihan di Jakarta menjelang keberangkatan ke Filipina, tim kesenian pemerintah Daerah Bali bertemu dengan anggota rombongan misi kesenian dari Jawa, Sumatra, dan Bandung. Seluruh peserta dikumpulkan di salah satu tempat di kawasan Senayan, Jakarta Pusat untuk mengikuti latihan bersama selama lima belas hari. Kegiatan difokuskan pada pemantapan hasil latihan di daerah masing-masing. Dilanjutkan dengan simulasi pagelaran di Istana Bogor, langsung dihadapan Presiden Soekarno.

Saat berlangsung latihan di Fipil[ina, I Wayan Beratha sempat menyaksikan anggota rombongan daerah lainnya berlatih bagian tari yang nantinya akan dipentaskan. Ketika itulah, I Wayan Beratha membisiki Made Bandem agar menyaksikan dengan seksama gaya permainan penari Kidang Mas dalam pertunjukan Sendratari Ramayana Jawa. Bukan hanya itu, Beratha juga meminta supaya Bandem mencermati keseluruhan Ramayana Jawa itu, sebab nanti jika ingin menciptakan Sendratari Ramayana Bali sudah ada referensinya. Dalam benak Beratha, saat itu sudah tersimpan keinginan untuk membuat Sendratari Ramayana versi Bali.

Sebelum keinginan itu terbentuk, masyarakat Bali mempunyai kesempatan menyaksikan Sendratari Ramayana Jawa yang dipentaskan di Bali. Pementasan ini diawali oleh kedatangan Poediyono, seorang guru dari Jawa, ke Bali. Selain menjadi guru, Poediyono adalah seorang penari Jawa yang penuh dengan talenta. I Nyoman Wenten diberikan kepercayaan memerankan tokoh Rama. Tokoh Sita diperankan oleh

Page 19: Latar Belakang - UNUD

19

Agustini. Merthi memerankan tokoh Jatayu. Bandem diminta memerankan tokoh Hanoman. Sedangkan tokoh antagonis, Rahwana dimainkan sendiri oleh Poediyono.

Pementasan perdana Sendratari Ramayana Jawa ini mendapatkan acungan jempol dari para penonton. Seperti biasanya, kesuksesan pementasan tari di KOKAR Bali selalu menjadi perbincangan para kuli tinta yang masih haus berita kala itu. Permintaan pementasan tari Ramayana Jawa pun mengalir dari berbagai desa. KOKAR Bali lantas menjawab permintaan itu secara antusias. Pementasan tari Ramayana Jawa akhirnya bisa disaksikan langsung di Banjar Teges Gianyar, Desa Lebar, dan sejumlah desa di lingkungan Denpasar. Di denpasar, sendratari sampai dipertunjukan di sebuah gedong bioskop.

Dalam rangka memetiahkan HUT KOKAR Bali ke-4, sebagai ketuanya, I Gusti

Bagus Nyoman Pandji berkeinginan untuk membentuk sendratari Ramayana versi Bali. Ia lalu menugaskan Beratha sebagai komposer serta koreografernya. Karena terbatasnya waktu, Beratha hanya merencanakan pementasan fragmen yang amat singkat. Diawali dengan tampilnya Rama, Sita, dan Laksmana di tengah hutan hingga episode kematian Burung Jatayu setelah kalah bertempur di udara melawan Rahwana yang sedang melarikan Sita. Sendratari Ramayana yang relatif singkat tersebut akhirnya bisa dipentaskan perdana pada tanggal 30 September 1965 di KOKAR Bali.

Page 20: Latar Belakang - UNUD

20

Sendratari Ramayana Bali Sumber: Google Image

Tahun 1966, setelah situasi politik mulai stabil, pasca peristwia G-30-S,

Ramayana versi Bali mulai disosialisasikan ke desa-desa di Bali. Setelah itu di bawah kepemimpinan I Wayan Beratha, Gong Belaluan Sadmerta berhasil membentuk dan mementaskan Sendratari Ramayana versi lengkap. Gubernur Bali lalu meminta Gong Belaluan Sadmerta untuk mementaskan Sendratari Ramayana di areal Kantor Gubernur Bali pada suatu perayaan hari nasional atau dihadapan para tamu negara yang sedang berkunjung ke Bali. Sendratari ini lalu menyebar luas ke seluruh Bali. Ramayana versi ini kemudian menjadi kebanggaan masyarakat Bali.

Tahun 1969 pemerintah daerah Bali memberikan mandat kepada Gong Belaluan Sadmerta untuk mewakili Bali dalam Festival Ramayana Nasional di Yogyakarta. Pada tahun 1971 mereka kembali diberikan kesempatan mewakili Bali dalam Festival Ramayana Internasional di Pandaan, Jawa Timur, dan Bali. Setelah itu Kokar dan ASTI sibuk melayani permintaan masyarakat Bali untuk menyajikan seni pertunjukan sendratari Ramayana. Dari Bali, sendratari ini lalu menyebar ke Jawa, Lombok, Sumatera, dan Kalimantan, dan Sulawesi.

Tahun 1977, Gong Belaluan Sadmertha, di bawah kepemimpinan Wayan Beratha kembali diminta oleh Pemerintah Tingkat II Kabupaten Badung untuk mengkuti Festival Sendratari se-Bali. Dia menampilkan hasil garapannya terbaru berjudul Nara Kesuma, yang bersumber bukan dari epos Ramayana, melainkan Mahabharata. Ceritanya mengenai masa muda Salya. Garapannya ini berhasil tampil sebagai juara pertama dalam festival tersebut. Pada tahun 1979, sejak munculnya PKB lahir sendratari kolosal Ramayana dan Mahabharata yang diproduksi oleh Pemerintah Daerah Bali. Tahun 1979 pula Beratha berhasil menggarap Sendratari Ramayana dengan lakon Bala Kanda, Ayodya Kanda,

Page 21: Latar Belakang - UNUD

21

dan Araniya Kanda. Tahun 1980, bersama para komposer Kokar Bali dan ASTI Denpasar, Beratha berhasil menggarap iringan Sendratari Ramayana lakon Kiskenda Kanda, Yuda Kanda, Sundara Kanda, dan Utara Kanda. Tahun 1981, I Wayan Beratha menggarap iringan Sendratari Mahabharata yaitu Sayembara Dewi Amba, Pandawa-Korawa Aguru, dan Goa Gala-gala. Tahun 1982 dia berhasi; menggrap iringan Sendratari Mahabharata dengan lakon Sayembara Drupadi, Pendawa Bermain Dadu, dan Gugurnya Sang Kecaka.

Arja Kesenian yang juga sempat menopang kebertahanakn epik Ramayana dan Mahabharata di Bali adalah arja. Konon, seperti yang dituturkan oleh Made Bandem di hari tuanya, Tari Arja sudah muncul di Bali sekitar antara tahun 1805-1825. Tepatnya pada saat I Dewa Agung Sakti berkuasa sebagai Raja Klungkung.

Pementasan Tari Arja berlangsung ketika berlangsung upacara pembakaran jenasah Dewa Gede Agung Kusamba dari Kerajaan Klungkung. Upacara pembakaran jenazah ini secara besar-besaran. Upacara ini dihadiri oleh berbagai kalangan, termasuk para raja dari seluruh Bali. Setiap hari, menjelang puncak upacara, dipentaskan seni pertunjukan ritual dari masing-masing kerajaan. Raja Gianyar dan Raja Badung berkolaborasi memprakarsai sebuah pertunjukan baru, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan arja. Namun pada saat itu, arja dikenal dengan nama dadap, nama sebuah pohon yang juga berarti perisai. Masyarakat Bali menganggap ini bukan sembarang pohon karena ada muatan nilai kesucian padanya, sehingga kerap digunakan untuk kepentingan upacara, seperti Dewa Yadnya [upacara suci untuk para dewa]. 53

53

I Made Bandem dan Fedrik Eugene deBoer, Kaja dan Kelod: Tarian Bali dalam Transisi

(Terj. I Made Marlowe Makaradhwaja Bandem, Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Jogjakarta, 2004), p.

113.

Page 22: Latar Belakang - UNUD

22

Pertunjukan Arja

Sumber: Google Image Dalam perjalanan waktu muncul Arja Sampik, yang diambil dari cerita Sam-Pek

Eng-Tay. Setelah itu muncul Arja Jayaprana. Kemunculannya diawali dengan datangnya seorang pedagang candu dari Banjar Liligundi, Singaraja. Ia menuturkan cerita Jayaprana kepada warga Desa Singapadu. Karena jalan ceritanya begitu indah, maka Desa Singapadu lantas mengolahnya menjadi pementasan arja. Ternyata sukses, bukan hanya dalam penggarapannya, tetapi juga pementasanya. Setelah itu masuk cerita rakyat antara lain Rare Angon, Basur, dan Japatuan. Lakon-lakon yang berasal dari cerita rakyat semakin diminta setelah tampil Tari Arja yang pemainnya mayoritas perempuan.

Mendekati tahun 1940-an, lahirlah Arja Gede, arja besar. Disebut Arja Gede karena jumlah penarinya jauh lebih banyak dari sebelumnya, berkisar antara sepuluh sampai lima belas orang. Para penarinya diambil dari beberapa pemain terbaik Arja Sebunan. Arja ini lantas dikenal dengan sebutan Arja Bon. Dengan memakai konsep pemain lintas desa ini, pementasan arja berubah menjadi seni teater yang sangat kompleks. Itu karena di dalamnya terkandung perpaduan berbagai jenis kesenian seperti seni tari, drama, vokal, seni instrumentalia, puisi, peran, pantomin, tata busana, seni rupa, dan lain sebagainya.

Pada saat itu seniman arja menampilkan cerita Panji. Cerita Panji berkisah tentang hakikat kehidupan, percintaan, dan peperangan raja-raja dan kaum bangsawan. Setting kejadiannya adalah kerajaan-kerajaan yang bercokol di Jawa Timur, antara lain Jenggala, Kediri, dan Gegelang. Di Bali, cerita ini disebut Malat. Dari kerajaan-kerajaan itu dimunculkan kisah-kisah politik, yang dipadukan dengan percintaan, taktik, peran, dan sebagainya, sehingga muncul berbagai lakon menarik, seperti lakon Daha-Jenggala atau lakon Galuh Daha dengan Mantri Jenggala. Lakon-lakon lainnya yang tergolong cerita Panji, antara lain Ponjen, Made Madu Swara, Banda Sura, Pakang Raras, Made Ulangan, dan Made Umbara.

Lakon-lakon arja menjadi semakin beragam dengan dimasukannya wiracarita Mahabarata. Sebelumnya cerita ini menyebar melalui pertunjukan Wayang Kulit Parwa dan Wayang Wong Parwa. Namun ketika dicantelkan ke dalam arja, bagian dari wiracarita yang sering diangkat sebagai lakon adalah Perkawinan Bimaniyu [Kapandung Siti Sundari]. Selain Mahabarata, dimasukan pula wiracarita Ramayana, sekalipun hanya berupa cerita sempalan, misalnya lahirnya Kusa dan Lawa, Hanoman Duta, dan Matinya Rahwana.

Page 23: Latar Belakang - UNUD

23

Melihat begitu menariknya cerita sempalan wiracarita Mahabarata dijadikan contoh pendidikan karakter dan moral, maka Made Kredek pun tergerak untuk menciptakan lakon Senapati Salya.

Wayang Wong Bali Berbeda dengan di Yogyakarta, wayang wong di Bali tidak disangga oleh

kekuasaan (raja), melainkan adat dan desa. Wayang Wong bahkan menjadi bagian dari kehidupan warga desa Tejakula, Buleleng, Bali Utara. Dasar ceritanya, epik Ramayana, yang ditulis dalam daun rontal yang disalin dari generasi ke generasi.54 Di desa ini ada seperangkat topeng wayang wong yang lengkap, terrdiri dari tokoh-tokoh dua kubu dalam cerita. Ada empat topeng tokoh manusia, lima raksasa utama dan 12 kera utama serta 24 kera dan raksasa tak bernama. Ada juga topeng empat punakawan. Topeng-topeng Tejakula termasuk milik klan Pasek Dangka. Menurut empat penari tertua yang ada di desa tersebut, topeng-topeng itu merupakan pemberian dari Raja Bangli kepada klan Pasek Dangka pada abad ke-18.55

Cerita Wayang Wong dan Ramayana

Sumber: Google Image

Ada dua kisah khusus dari epik Ramayana yang dipertahankan dan

dipertunjukkan dengan kesetiaan sebagai tradisi di desa Tejakula. Dua cerita itu biasanya dimainkan secara bergiliran dalam dua hari. Hari pertama dimainkan kisah Kematian Prahasta dan hari berikutnya kisah Kematian Kumbakarna. Pertunjukan tersebut biasanya dilakukan pada saat odalan dan digelar di pura utama milik klan tersebut. Pergelaran itu selalu terjadi bersamaan dengan hari besar paling penting di Bali, Galungan yang diperingati setiap 210 hari sekali. Partisipasi dalam pertunjukan tersebut hanya dibatasi untuk 150 keluarga dalam klan itu.56

Pertunjukan wayang wong di desa Tejakula dilakukan di jaba tengah atau halaman pura kedua. Para penari akan berkumpul di pura untuk menerima topeng dan gelung, mahkota pada pagi hari, pertunjukan hari pertama. Lebih dari 50 orang ikut berpartisipasi. Peserta sebagian besar yang dilatih secara sederhana dan singkat,

54

I Made Bandem dan Fedrik Eugene deBoer, bid., pp. 83-84. 55

Ibid., p. 87. 56

I Made Bandem dan Fedrik Eugene deBoer, Ibid., pp. 87-88.

Page 24: Latar Belakang - UNUD

24

kecuali empat penari sepuh dan senior yang bertanggungjawab terhadap jalannya pertunjukan. Partisipasi dalam pertunjukan tersebut merupakan perwujudan dari kesetiaan melayani pura. Pemain yang sudah tua dan senior bertindak sebagai dalang dan penari. Mereka menarikan peran paling sulit yaitu Rama, Kumbakarna, Rawana, dan Sugriwa. Peran tersebut juga harus menggunakan topeng sakral yang memiliki kekuatan gaib, sehingga dibutuhkan orang yang memiliki kekuatan spiritual dan pengalaman tinggi. Sedangkan peran-peran lainnya dimainkan para petani atau perajin.57

Para penari menerima topeng dan hiasan kepala di pura, setelah dilakukan upacara tradisional untuk membuka tempat penyimpanan topeng tersebut. Sesajen dipersembahkan dan topeng serta hiasan kepala diperciki air suci sebelum dibagikan. Para penari kemudian istirahat untuk bersiap-siap tampil dalam pertunjukan. Sebagian dari mereka pulang ke rumah untuk ganti pakaian, sedangkan lainnya yang datang dari tempat jauh untuk berpartisipasi melakukan persiapan di luar, dekat pura.58

Penutup

Kebertatahan Ramayana dan Mahabharata memang tidak bisa dilepaskan dari adanya seni yang mewadahinya. Tapi seni dengan mudah dimanfaatkan oleh para menguasa untuk kepentingan mereka, antara lain untuk diplomasi politik melalui kebudayaan. Diplomasi kebudayaan ini diwujudkan dalam bentuk festival-festival seni tingkat internasional. Salah satunya adalah festival Ramayana Internasional.

Ketertarikan masyarakat dunia terhadap kisah pewayangan ini bermula dari keberhasilan ‘Festival Ramayana Pandaan’ tahun 1971. Melihat keberhasilan itu, maka munculah festival Ramayana tingkat ASEAN dan berlanjut dengan tingkat internasional. Tujuan yang ingin dicapai dari konferensi dan festival ini sesuai dengan temanya, yakni nilai-nilai universal Ramayana dan peranannya dalam kehidupan umat manusia.

Sama dengan tahun-tahun sebelumnya, selain Indonesia pesertanya datang dari berbagai negara lain seperti Amerika Serikat, Rusia, Afrika, India, Suriname, dan beberapa negara di Asia TenggaraTema tersebut secara tidak langsung ingin memberikan jawaban atas sejumlah persoalan mengenai relevansi Ramayana dengan perkembangan dunia seperti yang mengemuka dalam konperensi dan festival Ramayana di Suriname tahun 1989 itu.

Daftar Pustaka

Bandem, I Made dan Fedrik Eugene deBoer. 2004. Kaja dan Kelod: Tarian Bali dalam Transisi (Terj. I Made Marlowe Makaradhwaja Bandem, Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Jogjakarta.

Budiartha, I Gusti Ketut . 2007. “Dharmatula Telkom Jatim: Hindu Agama Budaya?”. Raditya Edisi 115-Februari.

Djelantik, Anak Agung Made. 1992. “naskah kata sambutan yang dibacakan dalam acara The Ninth International Ramayana Seminar yang diselenggarakan di Denpasar dari tanggal 3 Juli.

_______. “Universal Language,” naskah kata sambutan yang dibacakan dalam acara Joint Exhibition Annemarie and Jacues Guyot di Ubud tanggal 22 Juni.

_______. “Estetika Seni Plastik Bali,” Manuskrip.

57

Ibid., p. 87. 58

Ibid., p. 88.

Page 25: Latar Belakang - UNUD

25

_______. Djelantik, Anak Agung Made. 1995. “Kesenian Bali Masa Kini: Pelestarian dalam Perubahan,” manuskrip.

______. 2007. “Kamasan A Living Classical Style of Tranditional Balinese Painting,” Journal of Aesthetics and Art Criticism, 65.

Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak-Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, terj. R.M. Soedarsono . Bandung: Arti.Line.

Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik Kitsch Kontemporer Sebauah Studi Tentang Seni Pertunjukan Jawa, terj. Nin Bakdi Soemanto (Yogyakarta: Gadjah mada University Press.

Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa : Silang Budaya , terjemahan Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, dan Nini Hadayati Yusuf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Soedarsono, R.M. 1997. Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Stamford Raffles, Thomas. 2013. The History of Java, terj. Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin, Idda Qoryati Mashbubah. Yogyakarta: Narasi.

Tati Narawati. 2003. Wajah Tari Sunda dari Masa ke Masa Bandung : P4ST UPI. Zoetmulder, P.J. 1994. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, terjemahan Dick

Hartoko. Jakarta: Djambatan.