UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

17
UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN DAN ARSITEKTUR KREMATORIUM Studi Kasus Krematorium Nirwana, Jawa Barat NASKAH RINGKAS Kusuma Erlina NPM 1006660415 FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN ARSITEKTUR DEPOK JULI 2014 Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014

Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN DAN

ARSITEKTUR KREMATORIUM

Studi Kasus Krematorium Nirwana, Jawa Barat

NASKAH RINGKAS

Kusuma Erlina

NPM 1006660415

FAKULTAS TEKNIK

DEPARTEMEN ARSITEKTUR

DEPOK

JULI 2014

Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

Hubungan Upacara Kematian dan Arsitektur Krematorium;

Studi Kasus Krematorium Nirwana, Jawa Barat

Kusuma Erlina, Gunawan Tjahjono

Departemen Arsitektur

Universitas Indonesia, Depok 16242, Indonesia

[email protected]

Abstrak

Kematian adalah tahapan hidup yang pasti dilalui oleh setiap makhluk hidup. Upacara kematian merupakan

suatu peristiwa yang menunjukkan tindakan atas „yang meninggalkan‟ dan „yang ditinggalkan‟. Tulisan ini

bertujuan untuk menunjukkan bahwa kematian merupakan sesuatu yang sangat berarti dan dapat diwadahi dalam

suatu arsitektur. Arsitektur terbentuk karena adanya peristiwa yang menempati ruang, begitu pula dengan

arsitektur kematian yang terbentuk karenanya adanya peristiwa upacara kematian di dalamnya. Krematorium

sebagai arsitektur yang menfasilitasi upacara kematian kremasi memunculkan laut sebagai komponen menghuni

baru yang tidak terdapat pada teori Heidegger.

The Relation of Funeral Ceremony and Crematorium;

A Study Case of Nirwana Crematorium, West Java

Abstract

Death is a life stages through which every human must face. Funeral ceremony is an event of „the one living‟ and

„the left behind‟. This writing aim to tell that death is a meaningful stage in our life and can be accomodated

within architecture. The architecture is formed because of the events that take place in spaces. The architecture

of death formed by funeral ceremony as the events. Crematorium as the architecture for cremation ceremony

indicated sea as a new dwelling components that are not in Heidegger‟s theory.

Key Words: Architecture; Creamatorium; Cremation; Death; Dwelling; Funeral Ceremony

1. Pendahuluan

Sabbe Sankhara Anicca, segala yang berkondisi tidaklah kekal. Kematian merupakan

perwujudan dari ketidakkekalan. Setiap makhluk hidup akan menghadapi kematian.

Ketidakkekalan menunjukkan adanya tahapan yang harus dilalui yakni awal, sekarang, dan

nanti. Merujuk pada „nanti‟ yang menunjukkan keberadaan dunia yang telah mati dan dunia

yang ditinggalkan, kematian bukanlah kondisi yang hanya terjadi pada kehidupan „yang

meninggalkan‟ tetapi juga mempengaruhi „yang ditinggalkan‟ seperti keluarga dan kerabat.

Upacara kematian menjadi tindakan „yang ditinggalkan‟ atas „yang meninggalkan‟. Berkaitan

dengan hal ini, upacara kematian sering kali dianggap sebagai cara untuk dapat membantu

atau mempermudah jiwa dari orang yang meninggal untuk dapat dengan mudah memasuki

dan melanjutkan dunia mereka selanjutnya.

Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

Salah satu arsitektur yang menfasilitasi upacara kematian adalah krematorium.

Krematorium menyediakan ruang-ruang yang dapat menfasilitasi upacara kematian kremasi

(pembakaran tubuh jenazah hingga menjadi abu). Seiring berjalannya waktu, arsitektur

krematorium tidak hanya menyediakan ruang-ruang pembakaran saja tetapi juga fasilitas

pendukung lainnya seperti ruang berkumpul dan beristirahat bagi „yang ditinggalkan‟,

penitipan abu jenazah, pelarungan abu jenazah maupun ruang upacara sebelum dilakukan

pelarungan abu jenazah. Kebutuhan ruang upacara kematian menjadi faktor pendukung

perkembangan suatu arsitektur krematorium. Dengan latar belakang inilah, tulisan ini akan

mnejelaskan bagaimana hubungan upacara kematian dan arsitektur krematorium. Apakah

ruang yang terbentuk pada saat dilakukan upacara kematian akan menpengaruhi arsitektur

dari suatu krematorium?

2. Hubungan Arsitektur dan Upacara Kematian

Kata arsitektur berasal dari bahasa Yunani yaitu arkhitekton yang berarti kepala

tukang bangunan. „Arkhi‟ berarti kepala dan „tekton‟ yang berarti tukang/batu/bangunan.

Arsiktektur merupakan suatu proses membangun atau membentuk sesuatu. Dalam skripsi

Feby Hendola Kaluara yang berjudul „Makna Ruang Kematian pada Masyarakat Cyburbia

Jakarta” disebutkan bahwa untuk membentuk ruangan (room) dan tempat (place), arsitek

perlu mengetahui makna ruang (space) dan aktivitas apa yang mungkin terjadi di dalamnya.1

Hal ini serupa dengan apa yang disampaikan Bernard Tschumi dalam bukunya yang berjudul

Event-Cities yaitu “Architecture is as much about the events that take place in spaces as

about the spaces themselves.”2 Keberadaan peristiwa pada suatu ruanglah yang membentuk

suatu arsitektur. Peristiwa tersebut menjadi aksi atau program yang hendak dicapai dari suatu

arsitektur. Hal ini yang juga terjadi pada arsitektur yang mewadahi upacara kematian.

Peristiwa yang menjadi program dari suatu arsitektur yang mewadahi kematian adalah

momen dari „yang meninggalkan‟ dan „yang ditinggalkan‟.

Yi-Fu Tuan dalam bukunya yang berjudul Space and Place (1997) menjelaskan

bahwa dalam mendefinisikan atau memberi makna pada suatu ruang tidak mungkin dapat

dilakukan tanpa adanya keberadaan objek dan tempat untuk mendefinisikan ruang tersebut

(Yi-Fu Tuan 1997:17). Pertama, objek yang dimaksud di sini adalah dwellers, seperti yang

1 Kaluara, Feby Hendola. Makna Ruang Kematian pada Masyarakat Cyburbia Jakarta. Depok: Universitas

Indonesia, 2012, Hal. 15. 2 Tschumi, Bernard. Event-Cities. England: The MIT Press, 1999, Hal. 11.

Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

dituliskan dalam tulisannya yang berjudul Building, Dwelling, Thinking, „„We do not dwell

because we have built, but we build and have built because we dwell, that is, because we are

dwellers‟‟ (Heidegger, 1971:146). Sebagai manusia, kita akan mencoba memenuhi kebutuhan

kita akan menghuni (dwelling) sehingga kita akan membangun sesuatu. Hal ini akan terus

berulang seiring dengan perubahan ide atau pola pikir. Heidegger juga menjelaskan bahwa

terdapat empat komponen menghuni yaitu earth, sky, divinities, dan mortals (Heidegger,

1971:147). Mereka yang dapat disebut mortal adalah yang dapat meninggal. Hal ini

menunjukkan adanya ketidakabadian atau proses menghadapi kematian pada kehidupan.

Manusia termasuk ke dalam makhluk fana karena manusia akan menghadapi kematian.

Dalam proses tersebut, mortal tidak akan terlepas dari keberadaan earth, sky, dan

divinities. Bumi menjadi tempat segala kehidupan manusia terjadi. Saat mereka menghuni di

bumi, mereka akan menyadari bahwa mereka juga berada di bawah langit. Ketika menyadari

ketidakabadian, mereka juga akan menyadari akan keberadaan keilahian (hal berhubungan

dengan the Godhead). Pada tulisan Building, Dwelling, Thinking, Heidegger tidak

menjelaskan secara terperinci apakah yang dimaksud dengan divinites memiliki kesamaan

dengan sosok Tuhan dalam suatu agama/kepercayaan tertentu. Jika dikaitkan dengan dasar

kegiatan menghuni maka pendefinisian ruang tergantung dari bagaimana cara manusia

menghuni agar dapat menjaga dan mempertahankan keempat komponen tersebut. Kedua,

tempat untuk mendefinisikan ruang yang dimaksud di sini dapat berupa lokasi arsitektur

dibangun. Heidegger menjelaskan bahwa ruang mendapatkan menjadi sesuatu dari lokasi dan

bukan dari ruang3. Lokasi menentukan bagaimana ruang pada suatu arsitektur terbentuk

sesuai dengan program (peristiwa).

3. Pendekatan Penulisan

Penelitian yang dilakukan ini dimulai dengan meninjau literatur mengenai keberadaan

„yang meninggalkan‟ dan „yang ditinggalkan‟ pada upacara kematian kremasi bangsa Yunani

Kuno dan umat Hindu di India. Selanjutnya, hasil tinjauan literatur upacara kematian dan

konsep menghuni Martin Heidegger direfleksikan pada hasil observasi krematorium Nirwana,

Jawa Barat. Dengan demikian, dapat ditelusuri bagaimana keterkaitan upacara kematian

dengan arsitektur krematorium Nirwana.

3 Heidegger, Martin. Poetry, Language, Thought. New York: Harper & Row, 1971 Hal. 152.

Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

4. Upacara Kematian Kremasi dan Arsitektur Krematorium Nirwana

4.1 Upacara Kematian

No. Keterangan

Upacara Kematian Kremasi

Bangsa Yunani

Kuno

Umat Hindu

di India

1. Upacara dengan kepercayaan tertentu Ѵ Ѵ

2. Lokasi upacara kematian yang berbeda-beda

pada setiap tahapan Ѵ Ѵ

3. Tidak disediakan wadah (fasilitas) yang

dikhususkan untuk upacara kematian Ѵ Ѵ

4. Cara pengremasian Api Tradisional Api Tradisional

5. Perlakuan abu jenazah Dikuburkan Dilarung

6. Momen mengantar sebagai upacara kematian Ѵ Ѵ

Tabel 3.1 Perbandingan Upacara Kematian Kremasi Bangsa Yunani Kuno dan Umat Hindu di India

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)

Gambar 4.1 Diagram Penggunaan Ruang pada Upacara Kematian Bangsa Yunani Kuno

(Sumber: http://www.youtube.com/watch?v=OR3geATu0zI, diedit dengan Photoshop, 2014)

Pada upacara kematian bangsa Yunani Kuno, ritual persiapan tubuh jenazah,

pengremasian, dan pengenangan dilakukan di tiga tempat yang berbeda. Ritual pengremasian

dilakukan di ruang terbuka, „yang meninggalkan‟ berada di tengah sedangkan „yang

ditinggalkan‟ mengelilinginya. Tidak ada perlakuan khusus pada tempat pengremasian karena

„yang ditinggalkan‟ akan meninggalkan tempat pengremasian dan baru kembali keesokan

harinya untuk mengambil sisa tulang dan abu jenazah. Sisa tulang dan abu jenazah akan

dikuburkan dan „yang ditinggalkan‟ akan kembali ke tempat penguburan untuk mengenang

„yang meninggalkan‟ ataupun ritual upacara peringatan kematian. Berdasarkan hasil analisis,

terbentuknya dan pemisahan ruang bagi „yang ditinggalkan‟ dan „yang meninggalkan‟ terjadi

karena mengikuti peristiwa yang terjadi (upacara kematian). Selain itu, arsitektur untuk

pengenangan juga terbentuk untuk menfasilitasi upacara peringatan yang akan dilakukan.

Satu hal yang harus diperhatikan, iring-iringan „yang ditinggalkan‟ dalam mengantar „yang

meninggalkan‟ juga termasuk ke dalam tahapan upacara kematian yang merupakan momen

mengantar sekaligus transisi sebelum „yang ditinggalkan‟ menuju dunia selanjutnya.

Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

Gambar 4.2 Diagram Penggunaan Ruang pada Upacara Kematian di India

(Sumber: http://mailerindia.com/hindu/veda, diedit dengan Photoshop, 2014)

Upacara kematian umat Hindu di India menyerupai upacara kematian bangsa Yunani

Kuno. Ritual persiapan tubuh jenazah, pengremasian, dan pengenangan dilakukan di tiga

tempat yang berbeda. Persiapan tubuh dilakukan di rumah, setelah itu jenazah akan dibawa ke

ruang terbuka untuk ritual pengremasian. Letak „yang meninggalkan‟ berada di tengah

sedangkan „yang ditinggalkan‟ mengelilinginya. „Yang ditinggalkan‟ akan meninggalkan

tempat pengremasian dan akan kembali keesokan harinya untuk mengambil sisa tulang dan

abu jenazah. Sisa tulang dan abu jenazah akan dilarung ke sungai Gangga dan „yang

ditinggalkan‟ akan kembali ke sunggai Gangga untuk mengenang „yang meninggalkan‟

ataupun ritual upacara peringatan kematian. Serupa dengan upacara kematian bangsa Yunani

Kuno, ruang bagi „yang meninggalkan‟ dan „yang ditinggalkan‟ terbentuk menyesuaikan

peristiwa yang terjadi (upacara kematian). Pada upacara kematian umat Hindu di India juga

terdapat iring-iringan untuk mengantar „yang meninggalkan‟ menuju tempat pengremasian.

4.2 Krematorium Nirwana

Krematorium Nirwana yang berlokasi di Marunda-Muara Tawar, Jawa Barat didirikan

pada tanggal 31 Mei 2000. Mayoritas yang melakukan pengremasian di krematorium Nirwana

adalah umat beragama Buddha dan Nasrani dibandingkan dengan umat beragama Hindu.

Krematorium yang sudah berdiri selama 14 tahun ini menyediakan jasa pengremasian

menggunakan api tradisional (kayu bakar), oven biasa, dan oven otomatis. Krematorium

Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

Nirwana mengusung konsep „One Stop

Service’ yang menyediakan jasa

kedukaan terlengkap di Indonesia. Jasa

yang ditawarkan pada krematorium

Nirwana meliputi jasa pengremasian,

penitipan abu jenazah, pelarungan abu

jenazah di laut, dan ruang duka.

Krematorium Nirwana memiliki luas

tanah sekitar 12 Hektar. Krematorium ini

berbatasan langsung dengan tepi laut.

Krematorium Nirwana terbagi menjadi

beberapa bangunan yang terpusat pada sisi barat seperti bangunan pembakaran dengan kayu

bakar, bangunan pembakaran dengan oven, tempat penitipan abu Buddhis, tempat penitipan

abu Nasrani, kantor, gudang kayu bakar, dermaga, tempat parkir, dan pos jaga. Pada sisi utara

kawasan telah disediakan sebidang tanah yang akan digunakan untuk membangun tempat

penitipan abu jika tempat abu yang sudah disediakan telah penuh.

Gambar 4.4 Diagram Ritual di Krematorium Nirwana

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)

Saat akan memasuki krematorium Nirwana, kita akan disambut gerbang berwarna

hijau dengan papan nama krematorium dan sepasang patung batu singa. Letak krematorium

yang berada tepat di ujung jalan memudahkan masyarakat untuk menemukan krematorium

ini. Tepat di sebelah kanan setelah memasuki gerbang, kita akan menemui pos jaga. Dari pos

jaga inilah biasanya rombongan pelayat akan diarahkan untuk memarkirkan kendaraannya di

Gambar 4.3 Site Plan Krematorium Nirwana

(Sumber: Google Maps diedit dengan Photoshop, 2014)

Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

tempat parkir yang sdah disediakan. Krematorium ini menyediakan sirkulasi kendaraan yang

dapat langsung menuju ruang duka dan ruang pembakaran. Hal ini untuk mempermudah

mobil jenazah agar dapat langsung mengantarkan peti mati ke ruang yang telah disediakan.

Penyatuan tempat parkir pada sisi barat krematorium bertujuan agar lalu lalang kendaraan

maupun kendaraan yang diparkirkan tidak menganggu upacara dan aktivitas di dalam

krematorium. Selain itu, mobil jenazah dapat langsung menuju tempat pembakaran tanpa

harus terganggu dengan keberadaan kendaraan pelayat. Pelayat dan peziarah dapat mengakses

bangunan-bangunan yang terdapat di dalam kawasan krematorium dengan berjalan kaki

karena bangunan-bangunan di krematorium ini terpusat pada wilayah yang sama terkecuali

ruang ritual pelarungan abu dan dermaga. Di bawah ini adalah diagram ritual di krematorium

Nirwana.

Gambar 4.5 Organisasi Ruang di Krematorium Nirwana

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)

Berdasarkan diagram di atas, peletakan ruang-ruang yang terkait dengan ritual upacara

kematian dibuat saling berdekatan dan mengikuti rangkaian upacara. Hal ini memudahkan

pelayat untuk menuju dan menemukan bangunan-bangunan di dalam krematorium. Saat

memasuki krematorium, kita akan dengan mudah menemukan kantor pengelola sehingga

mempermudah mengurus kepentingan saat berada di krematorium tersebut. Kita dapat

melihat bahwa ruang-ruang yang menjadi titik fokus utama (dalam kedekatan) pada

krematorium Nirwana adalah ruang pembakaran, ruang duka, dan tempat penitipan abu

sedangkan dermaga terletak agak jauh tetapi tetap dapat dituju dengan berjalan kaki. Letak

ruang duka yang berhadapan langsung dengan ruang pembakaran bertujuan untuk

mempermudah aktivitas upacara sebelum pengremasian. Intensitas waktu ziarah yang tidak

Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

sesering pengremasian dapat menjadi salah satu pertimbangan mengapa kemudahan

pencapaian ruang saat ritual pengremasian lebih diutamakan dibanding dengan berziarah.

4.2.1 Bangunan Pembakaran dan Ruang Duka

Krematorium Nirwana menyediakan pembakaran dengan kayu bakar dan oven.

Bangunan pembakaran berada di satu bangunan yang sama dengan ruang duka. Letaknya

tepat berhadap-hadapan dengan ruang duka seperti pada gambar di atas. Ruang duka dan

ruang pembakaran dipisahkan selasar selebar 8 m. Selasar tersebut berfungsi sebagai sirkulasi

peti jenazah sekaligus tempat untuk melakukan ritual sebelum proses pengremasian.

Bangunan ini memiliki tinggi 45 cm dari permukaan tanah sehingga mobil tidak dapat

berhenti langsung di depan ruang pembakaran dan peti mati harus diangkat. Meskipun

demikian, kemudahan penjangkauan mobil jenazah ke ruang pengremasian dapat

menghilangkan atau mengurangi pengalaman dari upacara kematian yakni iring-iringan „yang

meninggalkan‟ sebelum dikremasikan. Hal ini disebabkan terbatasnya ruang yang dapat

digunakan untuk melakukan iring-iringan dan seolah-olah „yang meninggalkan‟ akan

langsung dimasukkan ke dalam ruang pengremasian sesampai di krematorium.

Gambar 4.6 Denah dan Potongan Bangunan Pembakaran dan Ruang Duka

(Sumber: Dokumentasi Pribadi diedit dengan Photoshop, 2014)

Gambar di atas merupakan potongan dari bangunan pembakaran dan ruang terbuka.

Ruang pembakaran berada di ketinggian yang sama dengan ruang duka. Hal ini

mempermudah sirkulasi saat melakukan upacara dari ruang duka menuju ruang pembakaran.

Ruang pembakaran di krematorium Nirwana berupa ruang-ruang tertutup sehingga kita tidak

akan menyadarinya saat melintas. Lubang ventilasi udara untuk jalannya asap berada di sisi

Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

belakang bangunan. Berbeda dengan ruang pembakaran lainnya, ruang pembakaran dengan

oven otomatis hanya ditutupi dengan kaca sehingga pelayat dapat melihat mesin yang

digunakan untuk pembakaran sekaligus proses pengangkatan sisa fragmen tulang. Orientasi

bangunan yang berada di krematorium Nirwana berada di sisi barat. Hal ini bertujuan agar

arah kepala jenazah menghadap barat saat melakukan upacara kematian. Dalam agama

Buddha, arah barat merupakan letak dari Nirwana (tempat pemberhentian terakhir). Selain itu,

lebih kecilnya luas bidang sisi yang menghadap arah barat dan timur dapat mengurangi

pemanasan dari sinar matahari.

Di dekat pintu ruang pengremasian terdapat tempat untuk melakukan sembahyang

dewa dan penancapan dupa. Hal ini bertujuan agar „yang ditinggalkan‟ dapat meminta izin

kepada dewa bumi sebelum melakukan pengkremasian pada „yang meninggalkan‟. Perbedaan

ketinggian tempat sembahyang dengan tinggi lantai selasar bertujuan sebagai penanda

perbedaan fungsi sekaligus penghormatan kepada dewa. Dalam tradisi Buddhis, dupa dan

perlengkapan upacara lainnya akan dinyalakan selama pengremasian atau upacara peringatan

berlangsung. Oleh karena itu, keberadaan tempat sembahyang diperlukan pada setiap ruang

pengremasian agar dalam waktu yang bersamaan dapat dilakukan beberapa upacara kematian

dan tidak menganggu atau saling menunggu satu sama lainnya. Orientasi bangunan dan

keberadaan tempat upacara kematian tradisi Buddhis menunjukan tradisi Buddhis pada

arsitektur krematorium Nirwana.

4.2.2 Tempat Penitipan Abu

Gambar 4.7 Penitipan Abu Jenazah Buddhis dan Nasrani di Krematorium Nirwana

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)

Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

Tempat penitipan abu di krematorium Nirwana terbagi menjadi dua yakni tempat

penitipan abu Buddhis dan Nasrani. Pemisahan ini dikarenakan adanya perbedaan ritual

upacara. Besaran kedua tempat ini sama yakni (6,5x12) m dengan kapasitas sekitar 1500 rak

penempatan abu. Setiap rak berdimensi (40x40x40) cm. Pada beberapa sisi terdapat rak

dengan ukuran dua kali lipat dari ukuran biasa. Pemilihan besaran dapat disesuaikan dengan

kebutuhan keluarga. Rak yang belum terisi memiliki latar berwarna putih sedangkan rak yang

sudah terisi memiliki latar berwarna coklat. Pada bagian tengah ruangan dibiarkan kosong

untuk tempat melakukan upacara ritual maupun tempat persembahan.

Pada tempat penitipan abu Buddhis, ruangan dibuat terbuka dan tidak menggunakan

pendingin ruangan dikarenakan ritual upacara yang menggunakan dupa. Saat memasuki

ruangan ini, kesan tradisi Buddhis sangat terasa melalui keberadaan patung-patung dewa yang

diletakkan di depan ruangan serta di rak penitipan abu. Wangi dupa yang dibakar akan

langsung tercium ketika baru memasuki ruangan. Pencahayaan di dalam ruang terang

sehingga tidak menciptakan kesan menyeramkan. Pada hari-hari besar, keluarga pelayat akan

berganti menggunakan meja persembahan yang terletak di selasar untuk upacara peringatan

kematian. Meja persembahan tidak diletakkan di dalam bangunan agar tidak menganggu

sirkulasi peziarah dan menghindari tebalnya asap pembakaran. Di sisi luar ruangan,

disediakan tempat pembakaran khusus untuk membakar barang-barang persembahan. Kesan

berbeda akan terasa saat memasuki ruang penitipan abu khusus Nasrani. Di sini kita hanya

akan menemukan simbol-simbol agama nasrani yakni salib dan patung malaikat yang berada

di depan ruangan. Tidak terdapat tempat untuk menancapkan abu ataupun benda-benda

persembahan sehingga ruangan dapat menggunakan pendingin ruangan. Meskipun demikian,

nuansa religius, khusuk, dan khidmad tetap terasa. Peletakan simbol-simbol keagamaan di sisi

kanan dan kiri pintu masuk bertujuan sebagai identitas dari rumah abu tersebut. Simbol-

simbol keagamaan di dalam ruang penitipan abu diletakkan di sisi rak yang berhadapan

dengan pintu masuk. Hal ini bertujuan agar pelayat dapat langsung menyadari keberadaan

simbol-simbol tersebut baik untuk penghormatan sebelum masuk ke dalam ruangan maupun

menjaga sikap selama berada di dalam ruangan.

4.2.3 Bangunan Penunjang

Sebelum menaburkan abu ke laut, bagi keluarga yang melaksanakan upacara kematian

dengan tradisi Buddhis, mereka akan melakukan upacara terlebih dahulu sebelum pelarungan

Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

abu sekaligus meminta izin kepada dewa laut. Pada krematorium ini disediakan bangunan

khusus untuk melakukan ritual upacara. Tempat yang berukuran (4x4) m ini menyediakan

bangunan untuk sembahyang (menancapkan dupa) dan peletakan benda persembahan yang

menghadap ke laut. Ruang ritual yang terbuka tidak dapat nyaman digunakan saat sedang

hujan. Ketinggian ruang ritual yang berada 90 cm di atas permukaan tanah ditujukan sebagai

penanda perbedaan fungsi ruang dan sebagai tanda penghormatan bagi dewa laut. Selain itu,

atap yang digunakan untuk menaungi patung dewa laut dibuat seperti bangunan bergaya

arsitektur Tiongkok. Para peziarah juga dapat menggunakan bangunan ini untuk

memperingati upacara kematian sanak keluarga mereka yang abunya dilarungkan ke laut.

Dari bangunan ini, kita hanya perlu berjalan satu menit untuk mencapai dermaga. Tidak ada

perlakuan khusus pada dermaga dan bahkan dermaga terlihat kurang terawat karena terdapat

sampah-sampah di sekitar dermaga. Kondisi ini akan menganggu kenyamanan „yang

ditinggalkan‟ saat melakukan upacara kematian.

5 Analisis

Lokasi krematorium yang berada di dekat tepi laut menunjukkan adanya usaha untuk

menfasilitasi peristiwa upacara kematian yakni pelarungan abu ke laut setelah proses

pengremasian selesai. Bagi sebagian orang, laut dianggap sebagai cara bagi fisik „yang

meninggalkan‟ untuk kembali ke asalnya yakni alam dan sebagai perantara atau jalan bagi

jiwa „yang meninggalkan‟ untuk menuju dunia selanjutnya. Di sisi lain, pengremasian selalu

identik dengan asap pembakaran. Pemilihan lokasi krematorium yang berada di dekat tepi laut

menjadi salah satu cara untuk mengurangi dampak dari asap pembakaran karena asap cepat

terurai oleh hembusan angin laut. Selain itu, lokasi krematorium yang berjauhan dari

perumahan merupakan pilihan yang tepat karena krematorium tidak hanya dirancang untuk

dapat menfasilitasi kegiatan di dalamnya tetapi juga mempertimbangkan kondisi di sekitarnya

(asap pembakaran tidak menganggu aktivitas masyarakat sekitar).

Menganggapi pernyataan Martin Heidegger mengenai empat komponen dalam

kegiatan menghuni yakni bumi, langit, makhluk fana, dan keilahian. Pembahasan mengenai

krematorium Nirwana menunjukkan adanya komponen baru yang dapat ditambahkan terkait

dengan upacara pengremasian yakni laut. Keberadaan laut sebagai komponen menghuni tidak

bertujuan menunjukkan ada sesuatu yang terlewatkan oleh Heidegger. Namun, hal ini

menunjukkan bagaimana suatu konteks atau kondisi latar belakang tertentu akan

Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

mempengaruhi cara menghuni seseorang (makhluk fana). Laut menjadi komponen tambahan

bagaimana manusia merefleksikan ketidakabadiannya melalui peristiwa kematian (kremasi)

ke dalam suatu arsitektur.

Dalam ritual upacara kremasi, pelarungan abu jenazah ke laut bukanlah sesuatu yang

harus dilakukan karena „yang ditinggalkan‟ dapat memilih untuk menyimpan abu tersebut.

Pemilihan laut sebagai tempat pelarungan abu jenazah dapat terkait dengan tradisi yang telah

dilakukan. Agama Hindu merupakan agama yang pertama kali memasuki Indonesia. Seperti

yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, pelarungan abu jenazah di laut menjadi salah

satu tahapan dalam upacara kematian ngaben (kremasi). Tahapan tersebut yang dapat turun

temurun terjadi meskipun dengan tata upacara kematian dengan kepercayaan yang berbeda.

Selain itu, letak geografis Indonesia yang dikelilingi lautan memungkinkan pelarungan abu

jenazah di laut dapat tetap dilakukan. Di sisi lain, konteks sangat mempengaruhi suatu

peristiwa yang terjadi. Laut dapat menjadi komponen yang tidak berarti dalam menghuni di

suatu konteks yang lain. Namun, terkait upacara kematian kremasi di Indonesia, laut dapat

menjadi komponen tambahan dalam menghuni.

Peletakan arsitektur krematorium, kedekatan antar bangunan, sirkulasi kendaraan,

sirkulasi dan jarak tempuh antar bangunan sesuai dan sudah merefleksikan rangkaian upacara

kematian pengremasian. Upacara kematian pengremasian menjadi fokus utama pada

krematorium Nirwana karena intensitas upacara yang lebih sering dilakukan dibanding

dengan upacara peringatan kematian yang terjadi pada waktu-waktu tertentu. Arsitektur

krematorium Nirwana juga menfasilitasi kebutuhan ruang terkait dengan tahapan-tahapan

yang terjadi pada kematian seperti tahapan perpisahan, transisi, dan pengabungan. Kematian

tidak hanya berurusan dengan „yang meninggalkan‟ tetapi keberadaan dan ritual upacara yang

dilakukan „yang ditinggalkan‟ juga turut membantu „yang meninggalkan‟ untuk dapat

melakukan perjalanannya berikutnya. Oleh karena itu, suatu tempat pengremasian ataupun

krematorium harus dapat menfasilitasi kebutuhan „yang meninggalkan‟ sekaligus „yang

ditinggalkan‟.

Dalam suatu upacara kematian, tahapan yang dilalui tidak hanya berhubungan dengan

pengremasian tubuh jenazah saja tetapi juga tahapan transisi dan penggabungan. Keberadaan

„yang ditinggalkan‟ untuk mengantar „yang meninggalkan‟ menuju dunianya berikutnya

menjadi suatu hal yang biasa dalam suatu upacara kematian. Namun, krematorium Nirwana

kurang memperhatikan momen mengantar dalam upacara kematian seperti sebelum proses

Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

pengremasian dan pelarungan abu jenazah ke laut seperti yang sudah dijelaskan pada

pembahasan sebelumnya. Padahal momen tersebut merupakan salah satu tahapan bagi „yang

ditinggalkan‟ melepaskan „yang meninggalkan‟ untuk meninggalkan dunia mereka sekarang

ini dan menuju dunia selanjutnya.

6. Kesimpulan

Krematorium Nirwana merupakan jenis bangunan yang mewadahi upacara kematian.

Arsitektur krematorium Nirwana sudah merefleksian peristiwa upacara kematian sebagai

program atau aksi dari krematorium. Namun, masih terdapat peristiwa upacara kematian yang

masih kurang diwadahi pada arsitektur krematorium Nirwana yakni momen mengantarkan

dan transisi. Tahapan upacara kematian dan keberadaan „yang meninggalkan‟ serta „yang

ditinggalkan‟ menjadi faktor pembentuk ruang pada arsitektur krematorium. Krematorium

tidak hanya berhubungan dengan pembakaran „yang meninggalkan‟ tetapi merepresentasikan

pengalaman, nilai atau arti dari upacara kematian. Krematorium harus dapat memenuhi

kebutuhan ruang upacara kematian penggunanya karena ruang tersebut merupakan ruang

transisi, pemberhentian, dan berkumpulnya „yang ditinggalkan‟ sebelum melepaskan orang

terkasih mereka yang meninggal untuk meninggalkan dunianya sekarang ini dan menuju

dunia selanjutnya.

Dapat disimpulkan bahwa suatu karya arsitektur (bangunan) tidak akan menjadi karya

arsitektur tanpa ada keberadaan peristiwa, manusia, dan lokasi. Peristiwa menjadi sebuah

program atau aksi yang hendak dicapai. Di dalam suatu peristiwa terdapat manusia yang

menjadi pengguna, pembentuk sekaligus pendefinisi ruang. Begitu pula dengan lokasi, yang

juga akan menjadi pembentuk ruang agar sesuai dengan peristiwa. Selain itu, keberadaan

krematorium sebagai arsitektur yang mewadahi upacara kematian kremasi (di Indonesia)

menunjukkan laut sebagai komponen menghuni tambahan terkait teori Martin Heidegger.

Penambahan komponen ini tergantung dari konteks atau kondisi suatu upacara atau peristiwa

terjadi.

Daftar Referensi

Asatidz, Dewan. Mengkremasi Mayat Muslim. http://www.pesantrenvirtual.com

(diakses 5 Maret 2014).

Gennep, Arnold Van. The Rites of Passage. United States: Univeristy of Chicago Press, 1960.

Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN …

Heidegger, Martin. Poetry, Language, Thought. New York: Harper & Row, 1971.

Kristiatmo, Thomas. Memahami Wahyu Kristiani melalui Heidegger. 26 Februari 2010.

http://journal.unpar.ac.id/index.php/melintas/article, Hal. 195-196. (diakses 26 Juni

2014).

Kaluara, Feby Hendola. Makna Ruang Kematian pada Masyarakat Cyburbia Jakarta. Depok:

Universitas Indonesia, 2012.

Pramudya, Wahyu.” Analisis Pola Hermeneutik Jusuf B. S. , H. L. Senduk dan

Herlianto.”ebook browse. 1 April 2008. http://ebookbrowsee.net/dikubur-atau-

dikremasi-pdf-d197940986 (diakses 10 Maret 2014).

Santoso, Andi, Nike, dan Suryanto. Krematorium di Semarang. Semarang: Universitas

Katolik Soegijapranata Semarang, 1989.

Tschumi, Bernard. Event-Cities. England: The MIT Press, 1999.

Tuan, Yi-Fu. Space and Place. London: Univeristy of Minnesota Press, 1997.

_____. Designing a Place for Goodbye: The Achitecture of Crematoria in the Netherlands,

(n.d.). 18 April 2014. http://dissertations.ub.rug.nl/FILES.

Alkitab Online Kristiani Indonesia. http://www.jesoes.com/ (diakses 21 Mei, 2014).

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud (Pusat Bahasa).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2012. http://kbbi.web.id/ (diakses 5 Maret 2014).

Cremation Association of North America. What is Cremation?. 2000.

http://www.cremationassociation.org/?page=WhatIsCremation (diakses 5 Maret

2014).

CCIV 244. Cremation as Reflective of the Roles of Fire and Burning in Greek Mythology.

https://cciv244sp2013.site.wesleyan.edu/project-2/cremation- as-reflective-of-the-

roles-of-fire-and-burning-in-greek-mythology/ (diakses 5 Maret 2014).

Living in Crete. Cultural Information – Funeral & Bereavement in Crete.

http://www.livingincrete.net/bereavement2.html (diakses 5 Maret 2014).

Mailerindia. Hindu Death Rituals and Beliefs.

http://mailerindia.com/hindu/veda/index.php?death (diakses Maret 15, 2014).

Tafsir Al Quran Al Karim. Tafsir Thaha Ayat 38-55. 2013.

http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-thaha-ayat-38-55.html (diakses 10 Maret

2014).

Wilkinson Dyment. Cremation: Present and Past in the Western World.

http://www.wilkdym.com/History-of-Cremation-vessels.html (diakses 5 Maret 2014).

Youtube. http://www.youtube.com/watch?v=OR3geATu0zI (diakses 30 April 2014).

Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014