BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB...

31
46 BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI KAMPUNG BUKAREGHA DESA KARUNI KECAMATAN LOURA KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA Dalam pembahasan ini, penulis lebih pada penjelasan yang analitis untuk menjawabi makna yang terkandung dalam upacara kematian ritus Marapu pada masyarakat Kampung Bukaregha. Sebelum masuk pada pembahasan makna upacara kematian, penulis terlebih dahulu membahas tentang pengertian kematian baik dalam arti etimologis maupun arti real. Selanjutnya penulis menambahkan pandangan kematian menurut Kitab suci Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Kemudian, penulis menguraikan tentang makna kematian yang penulis temukan baik dalam penelitian lapangan maupun pustaka dengan mengunakan pendekatan analisis. Selain itu, penulis juga akan menguraikan makna kematian baik dalam pemahaman Kristen maupun menurut pandangan masyarakat Kampung Bukaregha. Makna kematian dalam pemahaman Kristen sebagai berikut: Kematian sebagai akhir persiarahan duniawi manusia, kematian sebagai tindakan pribadi. Menurut pandangan masyarakat Kampung Bukaregha sebagai berikut: kematian berarti menghadap sang pencipta, perjalanan pulang ke Kampung Besar, persatuan dengan roh nenek moyang, perpisahan jiwa dan badan. Di samping itu, dari hasil penelitian penulis tentang ritus upacara kematian di kampung Bukharegha, penulis menjumpai tiga makna yang terkandung dalam ritus upacara kematian. Ketiga makna itu adalah makna religius, makna sosial, dan makna moral.

Transcript of BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB...

Page 1: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

46

BAB IV

MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI KAMPUNG BUKAREGHA

DESA KARUNI KECAMATAN LOURA KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

Dalam pembahasan ini, penulis lebih pada penjelasan yang analitis untuk menjawabi

makna yang terkandung dalam upacara kematian ritus Marapu pada masyarakat Kampung

Bukaregha. Sebelum masuk pada pembahasan makna upacara kematian, penulis terlebih dahulu

membahas tentang pengertian kematian baik dalam arti etimologis maupun arti real. Selanjutnya

penulis menambahkan pandangan kematian menurut Kitab suci Perjanjian Lama maupun

Perjanjian Baru. Kemudian, penulis menguraikan tentang makna kematian yang penulis temukan

baik dalam penelitian lapangan maupun pustaka dengan mengunakan pendekatan analisis.

Selain itu, penulis juga akan menguraikan makna kematian baik dalam pemahaman

Kristen maupun menurut pandangan masyarakat Kampung Bukaregha. Makna kematian dalam

pemahaman Kristen sebagai berikut: Kematian sebagai akhir persiarahan duniawi manusia,

kematian sebagai tindakan pribadi. Menurut pandangan masyarakat Kampung Bukaregha

sebagai berikut: kematian berarti menghadap sang pencipta, perjalanan pulang ke Kampung

Besar, persatuan dengan roh nenek moyang, perpisahan jiwa dan badan. Di samping itu, dari

hasil penelitian penulis tentang ritus upacara kematian di kampung Bukharegha, penulis

menjumpai tiga makna yang terkandung dalam ritus upacara kematian. Ketiga makna itu adalah

makna religius, makna sosial, dan makna moral.

Page 2: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

47

4.1 Pengertian Kematian

4.1.1 Arti Leksikal

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kematian dari akar kata mati, berarti sudah

kehilangan nyawa.1 Menurut para sosiolog, kematian merupakan saat putusnya suatu interaksi

antara individu dengan masyarakat serta lingkungannya secara total. Singkatnya kematian adalah

saat di mana seseorang sama sekali kehilangan status dan peranan sosialnya yang mendapat

pengakuan dari masyarakat.2 Sedangkan pandangan klinis modern menyatakan bahwa kematian

atau mati berarti berhentinya fungsi otak (brain death). Di sini kematian disamakan dengan tak

berfungsinya otak.3 Dalam Ensiklopedi Gereja, kematian diartikan sebagai kenyataan paling

penting dalam kehidupan seseorang. Sebab kematian merupakan peralihan dari keadaan fana di

dunia ini menuju keadaan pasti di akhirat yakni keselamatan atau kehidupan abadi.4

4.1.2 Arti Realis

Kematian dan kehidupan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kedua kata ini

mempunyai arti tersendiri. Kedua kata itu terdiri dari kata dasar “mati” dan “hidup” bukan lawan

kata dari “mati”. Sebab kata “mati” merupakan lawan kata dari “lahir” dan pengertiannya “lahir”

adalah awal kehidupan.5 Sedangkan “mati” adalah akhir kehidupan. Dari pengertian di atas dapat

disimpulkan secara sederhana bahwa kematian adalah situasi batas yang dialami oleh manusia.

Saat di mana organ-organ tubuh kehilangan fungsinya yang menyebabkan manusia tak berdaya

sama sekali, saat terputusnya komunikasi dan aktivitas hidup lainnya.

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. II, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), hlm. 673

2 Hasan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia,(Jakarta: PT. Bina Aksara, 1984), hlm. 265-266.

3 Louis Leahy, Mesteri Kematian, ( Jakarta : Gramedia, 1998), hlm 38.

4 A. Heuken. SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid IV, (Jakarta : Yayasan Cipta Lokal Craka, 2005), hlm 325.

5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi Aksara, 1945), hlm. 5.

Page 3: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

48

4.1.2 Kematian Menurut Pandangan Kitab Suci

4.1.2.1 Menurut Kitab Suci Perjanjian Lama

Pandangan Kitab Suci mengenai kematian tidak dapat dilepaskan dari pandangan Kitab

Suci mengenai kehidupan. Jika hakekat kehidupan adalah hembusan nafas kehidupan (Roh

Allah) ke dalam diri manusia (bdk Kej 2:17), maka hakekat kematian adalah penarikan kembali

napas hidup Allah (bdk Ayub 23:14-15). Menurut Kitab Suci, pandangan kematian pertama-tama

berarti manusia kembali menjadi debu tanah (bdk Kej 3:9). Dan nafas hidup kembali kepada

Allah yang mengaruniakannya (bdk Kaj 12:7). Manusia dianggap sudah mati apabila nafas hidup

tidak lagi ada di dalam tubuhnya (bdk 1 Raj 17 :17).6

Pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama tidak hanya melihat kematian sebagai perstwai

kodrat manusia, tetapi juga melihat kematian sebagai akibat dosa (bdk Kej: 2 dan 3, Kel 2,3).

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa Perjanjian Lama melihat kematian bukan sekedar

sebagai peristiawa kodrat manusia, tetapi kematian juga merupakan hukuman atas ketidaktaatan

kepada Allah. Perjanjian Lama memandang kematian tidak semata-mata sebagai tindakan

jasmani yakni berhentinya atau berakhirnya hidup tetapi juga sebagai hukuman atas dosa.7

4.1.2.2 Menurut Perjanjian Baru

Para penulis Perjanjian Baru tentang kematian dan sakratu maut, banyak dipengaruhi oleh

paham Yudaisme. Akan tetapi tafsirannya dalam konteks terang pemahaman wafat dan

kebangkitan Yesus Kristus. Kematian bagi manusia itu umum ( Ibr 9:27), kecuali untuk Henokh

(Kej 5:24;Ibr 11:5 dan Elia (2 Raj 2:11). Dinyatakan bahwa hanya Allah saja yang baka (1 Tim

6 P.Hendrik Njiolah, Dunia Orang Mati Menurut Kitab Suci, ( Yayasan Pustaka Nusantara, 2002), hlm. 11

7 Pater C. Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal, (Yogyakarta : Kanisius,

2005), hlm. 78-80.

Page 4: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

49

6:16). Meskipun bersifat umum, kematian sekurang-kurangnya sebagai penghancuran diri yang

memedihkan dan menakutkan, bukan rencana semula dari Allah bagi bangsa manusia, melainkan

hukuman atas dosa sebagaimana dikatakan dalam Roma 6:23, upah dosa adalah maut. “Sama

seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang dan oleh dosa itu juga maut,

demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, kerena semua orang telah berbuat

dosa‟‟ (Roma 5:12).

Namun seperti halnya dosa dan maut telah menimpa bangsa manusia melalui satu orang,

Kristus sang Adam baru dan penebus, mencurahkan rahmat dan kehidupan kekal kepada semua

orang ( Roma 5:15-21). Maka kematian Kristus “ memusnahkan dia, yaitu iblis, yang berkuasa

atas maut‟‟.(Ibr 2:14); sesungguhnya dengan kematian-Nya Kristus memusnahkan maut sendiri

(2 Tim 1:10), musuh terahkir yang harus dikalahkan (1 Kor 12;26)8

4.1 Makna Kematian

4.2.1 Menurut Pandangan Kristiani

4.2.1.1 Kematian Sebagai Akhir Perziarahan Manusia Di Dunia

Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa kematian adalah titik akhir perziarahan

manusia di dunia. Titik akhir dari masa rahmat dan belaskasihan yang Allah berikan kepadanya,

supaya melewati kehidupan dunia ini sesuai dengan rencana Allah dan dengan demikian

menentukan nasibnya yang terakhir.9

Dengan demikian kematian bukanlah semata-mata

berakhirnya kehidupan jasmani, melainkan pertama-tama berakhirnya sejarah pribadi.10

Sama

halnya dengan pandangan masyarakat Kampung Bukaregha yang memahami kematian sebagai

8 Ibid., hlm. 83-84.

9 Paus Yohanes Paulus II, Promulgator, Katekismus Gereja Katolik, dalam P. Herman Embuiru, SVD

(Penterj.), ( Ende: Nusa Indah), No. 1013. 10

Peter C. Phan, Op Cit, hlm. 95.

Page 5: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

50

suatu peralihan dari kehidupan yang fana di dunia ini ke dunia kehidupan yang lebih baik,

makmur, dan damai sejahtera.

Kematian merupakan akhir kehidupan duniawi. Kematian adalah gerakan menuju

kekekalan Allah. Oleh karena itu, kematian bukan lagi sekedar serentetan momen yang hanya

berbeda melainkan momen terakhir dalam kelender kehidupan. Kematian bukan pula hanya

merupakan momen transisi antara kehidupan temporal dengan kehidupan kekal. Kematian adalah

peristiwa melalui sesuatu, bukan setelah sesuatu dalam mencapai kehidupan kekal.11

4.2.1.2 Kematian Sebagai Tindakan Pribadi

Deskripsi tradisional tentang kematian sebagai perpisahan jiwa dan badan tidak

menunjukkan secara memadai karakter kematian personal. Tentu saja, dalam satu hal kematian

adalah impersonal. Manusia mempunyai struktur fisik. Kehancuran struktur tersebut adalah

sesuatu yang terjadi pada manusia. Akan tetapi ada sesuatu yang lebih baik pada manusia dari

pada hanya tubuh. Seorang pribadi bukanlah objek melainkan subjek yang bebas dalam

keterbatasan kodratnya, memiliki pribadi. Karena kematian adalah realitas seseorang, maka

kematian bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan pada seseorang dari luar, yakni suatu

peristiwa hanya pasif. Mati juga sesuatu yang terjadi dari dalam seorang pribadi. Karena manusia

adalah subyek bebas.

Aspek persoalan kematian adalah seseorang secara aktif membawa keseluruhan hidupnya

menuju kepenuhan. Di dalam kematian, kebebasan mengambil bentuk akhirnya; pilihan dasar

menjadi definitif. Dalam kematian, kita membawa sejarah kebebasan kita menuju ke suatu akhir

dalam tindakan menentukan yang merangkum dan membawa apa yang kita buat dengan diri kita

11

Otto Henetz, Pengharapan Kristen, (Yogyakarta : Kanisius, 2005) hlm. 76-77

Page 6: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

51

menuju puncak. Itulah sebabnya mengapa peristiwa kematian bukan hanya saat akhir kehidupan

sementara, tetapi juga kepenuhan abadi tidak sekedar setelah mati, melainkan pula dalam dan

melalui kematian. Kita mati terhadap keakuan diri sendiri, kita mati terhadap keakuan yang

melecehkan ciptaan Allah, terhadap keakuan yang mendominasi hidup. Sejauh kita memiliki

komitmen terhadap diri kita dalam pengharapan dan kepercayaan kepada kehendak Allah, kita

meninggalkan keakuan kita. Kita menanggalkan segala sesuatu, termasuk diri kita, dalam

pelayanan cinta. Itulah pilihan dasar orang Kristen.12

4.2.2 Menurut Pandangan Masyarakat Kampung Bukaregha

4.2.2.1 Kematian : Menghadap Sang Pencipta

Kematian dipahami sebagai suatu peralihan dari kehidupan yang fana di dunia ini kesuatu

dunia kehidupan yang lebih baik, makmur dan damai sejahtera yang di sebut negeri leluhur

(Wanno Kalada). Kematiaan juga dipahami sebagai panggilan dan kehendak Ilahi Tertinggi.

Pamahaman seperti ini tampak dalam beberapa ungkapan antara lain Mori akadangawi (ia telah

dipanggil oleh pencipta). Neebani Amadii Brarana Apadadiwi, Apaole Atana (duduk di samping

yang membentuk dan yang merupakan manusia). Na Tamaba Rate Danna - Na Peneba Togo

Langita (ia telah masuk ke bumi dan naik ke langit).

4.2.2.2 Kematian Sebagai Perjalanan Pulang Ke “Kampung Besar”

Orang asli Sumba memahami kematian sebagai perjalanan jiwa ke Kampung besar

(Wanno Kalada). Kematian diungkapkan dengan “terbenamnya matahari” untuk kemudian terbit

lagi dalam suatu kehidupan yang baru. Kematian juga dipahami sebagai suatu perjalanan menuju

12

Ibid., hlm. 77-78

Page 7: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

52

asal mula manusia berasal (padou moripa) seperti dari pucuk (awalina) ke sumber atau pangkal

hidup(Mori) yakni Tuhan sang pencipta.13

Singkatnya kematian adalah proses peraliran manusia untuk menjadi Marapu. Jiwa orang

itu berkumpul dengan para jiwa lain di Uma Kalada, dan berada dihadirat sang pencipta yang

orang Sumba gambarkan berada di kaki langit.14

Dalam kacamata pemahaman orang Sumba

Barat Daya pada umumnya dan pada khususnya di Kampung Bukaregha, (Wanno Kalada) juga

dikenal dengan istilah rate. Peranan anggota suku/ kabizu yang masih hidup adalah menghantar/

mengorientasikan orang yang mati itu ke dalam persekutuan dengan para Marapu di hadirat

pencipta. Hal ini dilakukan melalui berbagai ritual di sekitar kematian dan penguburan orang

mati.

4.2.2.3 Kematian : Persatuan Dengan Roh Nenek Moyang

Dalam pandangan aliran kepercayaan Marapu, seseorang yang telah meninggal bukan

saja pergi kepada Yang Tertingi sebagai pencipta, tetapi juga kematian seseorang menjadi sarana

baginya untuk mengalami persatuan yang lebih nyata dengan para leluhur (Marapu). Hal ini

tampak dalam ungkapan sebagai berikut: ia telah berada di negeri nenek moyang (Ina kaweda

dan Ama kaweda). Pergilah ia kepada para leluhur (Ina kaweda dan Ama kaweda).

Meskipun ada dua hal yang menjadi penekanan dalam pemahaman tentang makna

kematian seseorang di dalam aliran kepercayaan Marapu namun yang paling utama bahwa

kematian itu dihayati sebagai takdir dari yang kuasa pencipta dan penyelenggara atas kehidupan.

13

Gregory L. Forth, Op Cit, hlm. 201. 14

Edmund Woga., Der Parentale Gott : Zum Dialong zwischen der Religion der indonesischen Volker

Sumbas und dem Christentum, dalam Herman Punda Panda & Theodorus Silab, Konstruksi Eskatologi Intermedia

Inkulturatif Dalam Perjumpaan Antara Agama Katoli Dan Agama Asli Sumba(Marapu) Melalui Kajian Atas

Ritual Penguburan Orang Mati( Laporan Hasil Penelitian) ( Kupang : Universitas Katolik Widya Mandira Kupang,

2011) hlm. 10

Page 8: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

53

Dialah Ilahi Tertinggi yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Manusia harus pasrah kepada

takdir yang Maha Tinggi.15

Singkatnya, kematian dilihat sebagai transisi antara hidup duniawi

dan akhirat. Dengan demikian di sini tekandung sifat fatalistis dalam kehidupan orang Sumba

pada umumnya. Pemahaman ini diungkapkan melalui pemukulan gong pada saat kematian

seseorang yang di sebut Talla Ata Mate. Tidak sembarang memukul, melainkan dengan irama

yang teratur, sebab irama gong dalam „Talla Ata Mate’ mengandung makna yang

mengungkapkan kalimat tanya jawab yang berbunyi „Apawaimu Mori?‟ (Kau mengapakan dia?)

dan Mate dounawe („Mori akadangawi‟).

4.2.2.4 Kematian Sebagai Perpisahan Jiwa Dan Badan

Pada dasarnya kematian itu baru bisa disebut kematian yang total Na latakaba (badan

sudah kaku) yang ditandai dengan tidak adanya gerakan kehidupan. Di mana jiwa berpisah

dengan badan. Jiwa tidak lagi bersemayam di dalam tubuh, sehingga tubuh menjadi hancur.

Eksistensi tubuh sebagai yang fana menjadi nampak. Tubuh itu akan hancur dan kembali

menjadi tanah, sebagaimana manusia itu tercipta dari debu tanah. Namun jiwa mengalami

kehidupan di alam yang lain.

Pada masyarakat Kampung Bukaregha, jiwa manusia memiliki dua sebutan yaitu

kamatena atau tuuna. Kamatena adalah jiwa yang sesudah manusianya mati, yang pergi

ketempat para arwah, sedangkan Touna („tubuh‟) yang tinggal di rumah. Kedua sebutan ini

kadang-kadang berdiri sendiri, yang satu lepas dari yang lain, namun kadang- kadang dicampur.

15

Bullu Routa, Wawancara di Kampung Wanno Mangeda,14 juli 2017.tersimpan dalam cacatan peneliti.

Page 9: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

54

4.3 Makna Upacara Kematian

4.3.1 Makna Religius

4.3.1.1 Konsep Tentang Yang Ilahi Sebagai Pencipta, Pengasih, Penyayang Dan

Penyelamat

Tuhan adalah pencipta manusia. Dalam bahasa masyarakat Bukharegha dengan

apadadina mono apamoripa artinya yang melahirkan dan membuat manusia. Ia adalah pencipta

segala yang ada, dan Dia mencipta dari yang tidak ada menjadi ada. Dalam pandangan Marapu,

yang Ilahi menciptakan manusia dan alam semesta. Ia menciptakan manusia dengan memisahkan

jari tangan dan kaki yang dalam baitan adatnya disebuat, nia apakedewi lima mono waina. Tuhan

adalah yang mencipta, mengukir, dan melukis kehidupan, hal ini diungkapkan: apadadina

padadina apakedena pakedena („yang membuat yang dibuat dan menciptakan yang diciptakan‟).

Tuhanlah yang membentuk alis mata dan batang hidung, Mori apaduana hulu mata pono koru.

Ini berarti Tuhan menciptakan manusia dan segalah sesuatu yang ada dengan sangat sempurna.

Tuhan sebagai pencipta alam semesta, pencipta lagit dan bumi, hal ini nampak dalam doa:

woudona apakedewe tanah pono lagita, yang artinya Engkau yang membuat langit dan

menciptakan di dunia. Hal ini bisa di bandingkan dengan kisah penciptaan dalam Kitab

Kejadian. Dalam doktrin Kristen, pencipta disebuat Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Dia

menciptakan segala sesuatu. Dalam agama Marapu, pencipta tidak disebut nama-Nya, hanya

dikenal dengan gelar, yang menunjukan bahwa Tuhan adalah Pencipta, Esa, Kudus, Sempurna,

Asal dan Tujuan segala sesuatu.16

16

Herman Punda Panda, Mencari Titik Temu Antara Marapu Dan Kekristenan, dalam Lumen Veritatis,

Jurnal Filsafat Dan Teologi, Vol.2. No.2, Oktober 2008- Maret 2009 (Kupang Fakultas Filsafat Agama Unwira),

hlm.12

Page 10: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

55

Tuhan bersifat transenden sekaligus imannya. Dia memelihara dan melindungi segala

ciptaan-Nya agar bertumbuh dan berkembang, aman dan selamat. Ia mencintai dan memelihara

mahkluk ciptaan-Nya. Konsep yang Ilahi sebagai pengasih dan penyayang dalam masyarakat

Sumba dikenal dengan ungkapan apadadina yang berarti yang mencintai, yang baik, menaruh

perhatian, punya kepedulian. Baitan adatnya amanawaran mono apasarana („kasih dan solider‟).

Apalologe, dalam pandangan Marapu mempunyai makna religius yakni adanya insiatif sang

pencipta terhadap manusia berupa perhatian dan pengawasan atas seluruh peristiwa hidup

manusia dari waktu ke waktu, sejak matahari terbit sampai pada terbenamnya. Dalam baitannya

dikenal dengan („apaudawi mata lodo mono apa tamani mata lodo’) yang berarti yang

memunculkan matahari dan yang memasukan matahari.Ungkapan simbolis ini mengisahkan

manusia sebagai kawanan ternak gembalaan Tuhan. Dia dilambangkan sebagai pemelihara

ternak atau gembala yang menyayangi dan menggembalakan ternaknya di padang rumput yang

hijau dan membimbingnya ke sumber air yang jernih (bdk. Mazmur 23).

Meskipun Tuhan yang mengatur segalanya namun ia mempergunakan mahkluk ciptaan-

Nya untuk pelaksanaan selanjutnya. Ia memberikan keselamatan sesuai rencana dan kekuasaan-

Nya kepada mereka dalam kelemahan dan keterbatasan mahkluk-Nya. Bagi manusia ciptaan-

Nya, bila menyapa Allah dengan penuh kesadaran penuh keyakinan sambil mohon pengampunan

dan perlindungan, berkat dan kekuatan, maka manusia akan mendapat keselamatan. Keselamatan

akan menjadi milik manusia dan kebahagiaan pun ada dalam tangan mereka.17

Sejak dahulu kala sampai dengan saat ini, upacara sekitar kematian dan pemakaman

menjadi salah satu ritus penting dalam kebudayaan orang Sumba, teristimewa di dalam aliran

kepercayaan Marapu. Di Kampung Bukaregha prosesi ini menjadi suatu kenyataan yang tidak

17

Bey Arifin, Mengenai Tuhan, (Surabaya : PT. Bina Iman, 1999),hlm. 180

Page 11: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

56

dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat setempat. Upacara kematian adalah saat di mana

seseorang tidak lagi dapat mengalami kehidupan di dunia yang fana ini. Dapat dipahami bahwa

kematian menutup lingkaran di dunia bawah ini dan mendobraknya mengarah ke alam dunia

abadi.

4.3.1.2 Kepercayaan Akan Adanya Komunitas Kampung Besar

Komunitas kampung besar yang diyakini adalah persekutuan dengan para Marapu yang

merupakan cerminan dari komunitas kampung besar, tempat persekutuan anggota-anggota

kabizu yang masih hidup. Dalam komunitas kampung besar ini dilingkupi oleh adanya situasi

yang disebuat dengan istilah („amahegela mono maringina’) yang sejuk dan segar yang memiliki

makna sejahtera, selamat, damai, harmoni, tentram, keberuntungan, singkatnya hidup yang

sejahtera. Hidup yang demikian bersifat menyeluruh dan mempengaruhi segala aspek kehidupan

manusia. Hidup yang sejahtera itu juga dikaitkan dengan relasi yang harmonis dan lancar.18

4.3.1.3 Jiwa Mengalami Keselamatan

Sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa keselamatan

seseorang yang meninggal amat ditentukan oleh mereka yang masih hidup. Hal ini dapat dilihat

dari prosesi yang dilakukan tahap demi tahap. Tahap-tahap dari prosesi upacara pemakaman

mengandung doa-doa dan harapan dan keyakinan yang teguh bagi kelancaran perjalanan dan

keselamatan jiwa si mati. Hal ini menunjukkan bahwa peranan doa dalam setiap ritual,

khususnya dalam kepercayaan Marapu mendapat tempat yang utama dan terutama.

18

Herman Punda Panda & Theodorus Silab, Konstruksi Eskatologi Intermedia Inkulturatif Dalam

Perjumpaan Antara Agama Katoli Dan Agama Asli Sumba(Marapu) Melalui Kajian Atas Ritual Penguburan

Orang Mati( Laporan Hasil Penelitian) ( Kupang : Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, 2011) hlm. 77.

Page 12: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

57

Dalam Gereja peranan doa orang hidup untuk keselamatan jiwa-jiwa orang yang

meninggal juga amat berguna. Hal ini dikarenakan Gereja meyakini ada banyak jiwa orang mati

yang mesti melalui proses pemurnian sebelum masuk Surga. Karena itu anggota Gereja di dunia

perlu mendoakan jiwa-jiwa itu supaya mendapatkan belas kasih Tuhan agar segera dimurnikan.19

Doa untuk keselamatan orang mati yang disertai juga dengan perbuatan baik anggota

Gereja yang masih hidup tidak bertujuan untuk menebus dan melunasi dosa orang yang sudah

mati. Tetapi doa bertujuan memohon rahmat dan belas kasih Tuhan untuk memurnikan jiwa

orang yang meninggal. Hal ini berhubungan juga dengan kasih terhadap sesama manusia yang

tidak dibatasi oleh kematian. Karena didorong oleh kasih maka orang yang masih hidup

mendoakan keselamatan orang lain yang telah meninggal.20

4.3.1.3.1 Proses Perjalanan Jiwa Menuju Kampung Besar

Dalam pemahaman orang Marapu, setelah lepas dari tubuh pada saat kematian, jiwa

memulai proses perjalanan ke Kampung Besar. Proses perjalanan jiwa itu terjadi secara

bertahap-tahap dan sebelum masuk ke Kampung Besar jiwa berada dalam posisi transisi antara

orang hidup dan orang mati.21

Proses perjalanan jiwa yang berlangsung tahap-demi tahap dan

posisi transisi sebelum jiwa masuk secara definitif ke Kampung Besar adalah sebagai berikut; Di

Sumba ada dua tempat arwah yaitu di Tanjung Sasar dan di Pengunungan Masu. Selain itu,

setiap daerah memiliki tempat bagi tujuan pertama arwah atau jiwa orang sudah mati.

Orang asli Sumba memahami kematian sebagai perjalanan jiwa ke Kampung besar

(„Wanno Kalada’). Kematian diungkapkan dengan “terbenamnya matahari” untuk kemudian

19

Herman Punda Panda Dan Theodorus Silab, Op Cit, hlm. 14 20

Ibid 21

Gregory L. Fort, Op. Cit, hlm 188

Page 13: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

58

terbit lagi dalam suatu kehidupan yang baru. Kematian juga dipahami sebagai suatu perjalanan

menuju asal mula manusia berasal seperti (‘wali’) seperti dari pucuk („tibu’) hidup (‘moripa’)

yakni Tuhan sang pencipta.

Singkatnya kematian adalah proses peralihan manusia untuk menjadi Marapu. Jiwa

oarang itu berkumpul dengan para jiwa lain di Kampung Besar, dan berada dihadirat sang

pencipta yang orang Sumba gambarkan berada di kaki langit. Dalam kacamata pemahaman

masyarakat di Kampung Bukharegha, Kampung Besar juga dikenal istilah Wanno Kalada,.22

Peranan anggota suku/kabizu yang masih hidup adalah untuk menghantar/mengorientasikan

orang yang mati itu kedalam persekutuan dengan para Marapu di hadirat pencipta. Hal ini

dilakukan melalui berbagai ritual disekitar kematian dan penguburan orang mati.23

Keadaan hidup di komunitas orang mati digambarkan paralel dengan kehidupan dalam

komunitas orang hidup hanya berbeda tingkat kualitas. Komunitas orang mati, hidup bersama

pencipta karena itu berbeda dalan tingkat yang sempurna dan tidak berkekurangan. Segala

sesuatu di sana bersifat murni, baru, dan berkelimpahan. Jiwa-jiwa di sana memiliki tubuh

seperti yang mereka miliki ketika masih hidup. Masyarakat orang mati mempertahankan pula

keadaan masyarakat dalam komunitas orang hidup, misalnya para bangsawan tetap menduduki

posisinya sebagai bangsawan dan masyarakat biasa tetap sebagai masyarakat biasa.24

22

Herman Punda Panda dan Theodorus Silab, Op. Cit, hlm 10 23

Bullu Routa, Wawancara di Kampung Wanno Mangeda,14 juli 2017.tersimpan dalam cacatan peneliti.

24

Gregory L. Forth, Op. Cit, hlm. 200

Page 14: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

59

4.3.1.3.2 Peranan Orang Hidup Bagi Keselamatan Jiwa Orang Mati

Dalam aliran kepercayan Marapu, meyakini bahwa terdapat banyak jiwa yang masih

berada dalam penantian dan mesti melalui proses pemurnian sebelum sungguh-sungguh sampai

ke Wanno Kalada atau surga. Karena itu amat penting bagi sanak-saudara yang masih hidup

untuk terus mendoakan, memohon kepada Marapu agar dapat menerima jiwa dari si mati ke

dalam persekutuan para roh nenek moyang.

Hal ini dapat dilihat dari wujud upacara kematian yang berlangsung di mana keluarga

melalui seorang imam Marapu mendoakan arwah si mati agar segala dosanya dapat dihapus

dengan demikian jiwa dari si mati dengan tenang dapat masuk dalam persekutuan yang abadi

dengan Tuhan penciptanya di Wanno Kalada atau surga. Ritual ini dikenal dengan istilah („ndegi

weemaringi weemala’) yakni suatu tindakan dari orang hidup yang memohon belaskasih rahmat

dan pengampunan dari Tuhan. Hal ini juga berhubungan dengan kasih terhadap sesama manusia

yang tidak dibatasi oleh kematian.

4.3.1.4 Makna Upacara Pemakaman

Upacara pemakaman merupakan upacara yang penting dalam kehidupan masyarakat

Sumba. Pelaksanaan upacara ini sangat menentukan perjalanan arwah si mati untuk tiba di dunia

persekutuan nenek moyang, yaitu Uma Kalada. Oleh karena itu, upacara ini baru dapat

dilaksanankan apabila persiapan telah tuntas. Apabila persiapan pemakaman belum siap, maka

jenazah belum dikuburkan atau perlu diadakan penguburan sementara. Upacara penguburan

resmi baru diadakan apabila pihak keluarga telah memiliki biaya penguburan.

Hari penguburan dipahami sebagai awal perjalanan arwah si mati ke Wanno Kalada.

Jenazah dikuburkan, baik pada kubur yang baru maupun dalam kuburan yang lama. Contohnya

Page 15: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

60

seperti yang dikatakan F.D. Wellem dalam bukunya Injil dan Marapu, menurutnya, jika istri atau

suami telah meninggal terlebih dahulu, jenazah akan dikuburkan pada liang lahat yang sama.25

Hal senada juga di katakan oleh Gregory L Forth. Forth juga menambahkan bahwa penguburan

yang demikian hanya diperbolehkan untuk mereka yang suami istri saja. Sedangkan mengenai

aturan lain, bagi Forth, yang sama sekali tidak boleh dikuburkan bersama adalah anak dan bapa

dengan pengecualian pada anak-anak yang masih kecil, istri yang diberi dan istri yang diambil,

saudara laki-laki, dan saudara perempuan. Di sini nampak adanya suatu pandangan bahwa

larangan yang berlaku dalam perkawinan berlaku juga dalam sistem penguburan bersama.26

4.3.1.4.1 Pemakaman Sebagai Bentuk Penghormatan Kepada Manusia

Menurut pandangan orang Sumba, manusia adalah mahkluk ciptaan Ilah Tertinggi.

Manusia diciptakan dengan memakai bahan tanah liat. Ilahi Tertinggi dibayangkan sebagai

tukang periuk dan penganyam yang membentuk dan menganyam manusia („weeli tou‟).

Kehidupan manusia sepenuhnya bergantung kepada Ilah Tertinggi. Ilah Tertinggi adalah

pemegang napas hidup dari manusia. Oleh karena itu kematian dipahami sebagai tindakan Ilah

Tertinggi yang memutuskan nafas hidup dari manusia. Pemahaman ini nampak dalam ungkapan

sebagai berikut:

”Mori aterena moripa,

Nia apadadina ata pia,

Abaisa kaina lolongau ata pia,

Akana kedewe mate”

Terjemahannya:

„Tuhanlah yang memegang napas,

25

F.D Welem, Op. Cit. Hlm 82 26

Gregory L. Forth, Op. Cit, hlm. 179

Page 16: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

61

Yang dengannya manusia hidup

Jika napas itu putus,

Maka kebinasaanlah yang terjadi („mati‟)‟.

Pada mulanya manusia mempunyai hubungan langsung dan harmonis dengan Ilah

Tertinggi dan tinggal bersama-sama di langit. Ilah tertinggi berdiam di lapisan yang kedelapan,

sedangkan manusia berdiam pada lapisan yang keenam. Manusia dapat naik turun untuk

menyampaikan keinginannya secara langsung tanpa perantara. Namun setelah manusia turun ke

bumi, manusia tidak dapat lagi secara langsung berhubungan dengan Ilah tertinggi. Ilah tertinggi

menjadi Ilah yang transenden. Ia tidak dapat lagi didekati oleh manusia dan ia tidak dapat turun

untuk menemui manusia. Jikalau manusia memohon perlindungan, berkat dan sebagainya ia

harus memakai perantara atau mediator, yaitu Marapu dalam hal ini arwah roh nenek moyang.

Manusia pertama dan keturunannya yang berdiam di lapisan langit keenam dibayangkan

sebagai roh yang bertubuh. Mereka hidup seperti manusia biasa, misalnya bercocok tanam,

kawin mawin, makan dan minum. Di samping itu, mereka dipandang memiliki berbagai

kekuatan supranatural seperti dapat terbang, menghilang dan tidak dapat mati. Namun setelah

turun ke bumi, mereka kehilangan berbagai kekuatan tersebut. Manusia dikuasai oleh kefanaan.

Manusia dipahami sebagai mahkluk yang dikotomis, yaitu terdiri dari tubuh dan jiwa.

Pada waktu manusia mati, tubuhnya hancur menjadi tanah, sedangkan jiwanya akan pergi ke

dunia arwah nenek-moyang Wanno Kalada. Sekalipun terdapat pemahaman yang dualistik,

namun tidak terdapat kecendrungan askese dikalangan orang Sumba. Manusia di atas bumi akan

menjalani kehidupan melalui siklus kehidupan tertentu. Siklus kehidupan ini terdiri dari beberapa

fase, yaitu kelahiran, masa kanak-kanak, pemuda, pernikahan, kematian dan penguburan. Fase-

Page 17: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

62

fase ini dipandang sebagai masa kritis dan berbahaya dalam kehidupan seseorang. Oleh karena

itu, pada fase-fase peralihan ini dilaksanakan sejumlah ritus penyembahan kepada Marapu.27

Hal

inilah yang menurut Gregory L.Fort, fase-fase ini dipahami bukan sebagai peristiwa tetapi adalah

proses dari kehidupan manusia. Ritus-ritus ini mengandung unsur-unsur pemisahan, transisi dan

korporasi atau persekutuan.28

Manusia adalah mahkluk yang istimewa. Hal ini dapat dilihat bahwa manusia adalah

mahluk yang melebihi segala mahkluk yang ada di muka bumi ini. Dalam pandangan Kristen

manusia dilihat sebagai mahkluk yang diciptakan seciri dengan Allah. Oleh karena itu seperti

apapun manusia dia adalah Imago Dei (Citra Allah).29

Masyarakat Kampung Bukaregha

menyakini bahwa manusia tidak hanya dihormati ketika ia hidup saja, tetapi juga saat ia mati.

Oleh kerena itu penghormatan terhadap si mati menuju Wanno Kalada amat ditentukan pula

melalui wujud penghormatan yang dilakukan.30

4.3.1.4.2 Penghormatan Terhadap Tubuh Manusia

Dalam Kitab Kejadian, mula-mula Allah menciptakan manusia dari debu tanah (Kej 2:7),

baru kemudian Allah menghembuskan nafas hidup. Berarti hal pertama yang diciptakan Allah

adalah tubuh. Di atas telah diuraikan konsep tentang manusia menurut orang Sumba. Dalam

pemahaman orang Sumba manusia itu diciptakan oleh Ilah Tertinggi. Manusia diciptakan dengan

menggunakan bahan dasar tanah liat. Dengan demikian tubuh manusia itu tercipta dari Tuhan.

27

F.D Wellem, Op. Cit, hlm. 54-55 28

Georg L. Fort, Op. Cit, hlm 133 29

Georg Kirchberger, Pandangan Kresten Tentang Dunia Dan Manusia, (Maumere : Ledalero,2002),

hlm.19. 30

Ama Malo, Wawancara Di Kampung Karuni, 20 jili 2017, Tersimpan Dalam Cacatan Peneliti.

Page 18: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

63

Dalam dualisme Plato dikatakan bahwa tubuh adalah penjara bagi jiwa, jiwa hakikatnya

rohani dan badan hakikatnya jasmani. Hakikat jiwa mempunyai primat atas tubuh. Berarti jika

tubuh mati, maka jiwa akan bebas dan pulang ke kerajaan ide-ide.31

Dari gambaran ini dapat

dilihat bahwa tubuh seakan-akan hanyalah materi yang menjadi tempat bersemayamnya roh.

Pada hal tanpa tubuh maka jiwa tidak akan dapat dilihat dalam diri manusia yang walaupun roh

sifatnya abadi. Manusia tetap hidup mesti tanpa tubuh.

Dalam konteks ini, yang mau dilihat dan dikaji bukanlah sebuah pertentangan, melainkan

melihat tubuh manusia itu sendiri sebagai sesuatu yang suci dan kudus, sebab tubuh adalah

ciptaan Tuhan sendiri. Konsep tentang tubuh itu sendiri dilihat sebagai sesuatu yang suci, yang

harus dijaga, dipelihara dan dihormati, demikianlah yang terjadi pada masyarakat di Kampung

Bukaregha.

Secara kasat mata, tubuh manusia akan hancur dan kembali pada hakikatnya yaitu tanah.

Tetapi secara iman tubuh itu juga akan mengalami kebangkitan. Dan dalam konteks ajaran

Marapu, tubuh itu akan mengalami kehidupan seperti di dunia nyata, namun sifatnya berbeda.

Jika di dunia nyata tubuh mengalami derita dan kefanaan dunia, maka di alam lain, tubuh

manusia itu hidup dalam keadaan yang sempurna, sejahtera, makmur, tak berkekurangan.

Penginjil Lukas sendiri secara lebih jelas mempertajam ungkapan bahwa dalam dunia

kebangkitan, manusia sama seperti malaikat (bdk Luk,20:36). Maka di satu pihak harus

disimpulkan bahwa dalam dunia, kebangkitan manusia akan mempertahankan hakikat psiko-

somatiknya artinya kesatuan jiwa dan tubuh manusia tetap dipertahankan. Meskipun demikian,

Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa akan ada sebuah spiritualisasi manusia seturut

31

Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual; Konfontasi Dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani

Hingga Zaman Modern, (Yogyakarta :Kanisius,2004),hlm. 53.

Page 19: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

64

sebuah dimensi yang berbeda dari apa yang ada pada awal mula. Dengan kata lain kebangkitan

berarti sebuah penyerahan tubuh kepada kekuasaan roh secara baru.32

Hal ini penting ditegaskan,

karena bertujuan untuk menghindari paham dualisme.

Prosesi upacara kematian adalah salah satu wujud penghormatan kepada pribadi manusia,

tubuh dan jiwa manusia, supaya mengalami keselamatan yang paripurna. Dan dapat dikatakan

bahwa makna dari setiap ritual-ritual adat yang diselenggarakan oleh manusia yang hidup bagi

orang yang meninggal adalah sebuah proses perohanian agar tubuh dapat merealisasikan dirinya

secara sempurna, dan menghantar tubuh ke dalam partisipasi sempurna dari segala yang bersifat

ragawi dalam diri manusia di dalam segala yang bersifat spiritual dalam dirinya. Dari situ

manusia tidak lagi memandang hal-hal lain yang bersifat duniawi, tetapi terpusatnya

pengetahuan dan cinta pada Allah semata-mata.

4.3.1.5 Model Pemakaman Dalam Aliran Kepercayaan Marapu

4.3.1.5.1 Pemakaman Secara Tuntas

Dalam tradisi orang Marapu, seseorang baru akan dikuburkan saat segala persiapan sudah

lengkap. Segalah persiapan yang dimaksud di sini adalah segala hal yang berkaitan dengan ritual

penguburan orang mati, seperti hewan korban („ranga pateba’) yaitu kerbau, sapi, babi, anjing,

ayam. Selain itu pula beberapa barang milik si mati yang selalu dipergunakan si mati saat masih

hidup, seperti sirih-pinang (uta pamama) dan kuburan tempat peristirahatan si mati.Selain itu

juga dalam kebiasaan orang Sumba Barat Daya bahwa apabila seluruh anggota keluarga inti

belum lengkap maka pemakaman belum dapat dilaksanakan.Singkatnya pemakaman baru dapat

dilangsungkan apabila segala persiapan sudah benar-benar matang.

32

Deshi Ramadhani, Sj, Lihatlah Tubuku,(Yogyakarta :Kanisius,2009), hlm.116

Page 20: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

65

Undangan biasanya disampaikan secara lisan oleh seorang utusan („ata bowo’).

Undangan sudah disampaikan beberapa hari sebelum penguburan itu berlangsung. Keluarga akan

datang beberapa hari sebelum hari penguburan dengan bawaan mereka. Pihak pengambil

perempuan („pagera’) ia akan membawa hewan berupa kerbau atau kuda dan sapi. Ini

melambangkan kepedulian dari pihak laki-laki yang mengambil anak gadis dari keluarga yang

meninggal.

Pihak pemberi perempuan („ole sawa’) membawa dua lembar kain (‘ngee’) bagi si mati

yang laki-laki atau dua lembar sarung („ingi’) bagi si mati yang perempuan. Keluarga yang tidak

tergolong dalam kedua kelompok di atas dapat membawa hewan, kain, atau uang. Para tamu

disambut dengan pukulan gong yang berirama talla atamate („gong orang mati‟) serta dilayani

sirih-pinang.

Sebelum jenazah diturunkan dari balai-balai atas, imam mengadakan korban berupa

seekor ayam untuk persiapan menurunkan si mati dari balai-balai menuju kubur (Wanno

Kalada), hatinya akan disimpan di piring yang ada nasinya dan diletakan pada tempat yang biasa

tua adat melakukan ritual. Tujuannya adalah imam meminta kepada Marapu agar memberi

petunjuk jalan kepada si mati agar tiba di Wanno Kalada dan menasihati arwah si mati agar

menaati kehendak Marapu.

Jenazah kemudian diturunkan dari balai-balai besar atas ke balai-balai bawah. Pada saat

ini, gong dipukul dengan irima talla ata mate („gong orang mati‟) untuk menghantar arwah si

mati serta beberapa ekor kerbau, sapi, dan babi sebagai bekal si mati saat tiba di Rate Dana

sebagai Wanno Kalada (kampung besar). Dalam keyakinan masyarakat kampung Bukaregha,

arwah si mati akan melewati sungai lalu kemudian sampai di Rate Dana („dalam kubur‟). Dia

Page 21: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

66

akan menjelajai seluruh kehidupan baru untuk ada bersama para leluhur yang sudah terdahulu.

Kemudian arwahnya akan naik menghadap Ilahi yang Maha Tinggi di tanah dan bukit

keselamatan. Ilah Tertinggi akan menghakiminya dan si mati akan mengakui dosanya. Pada

akhirnya arwah akan kembali ke Rate Dana untuk berkumpul dengan para Marapu lainnya.33

4.3.1.5.2 Pemakaman Sementara (Patane Tudu)

Penguburan sementara yang terjadi di Masyarakat Sumba Barat Daya berbeda dengan

penguburan sementara yang terjadi pada masyarakat Sumba Timur. Di Sumba Timur, misalnya

Jenazah tidak dikuburkan di dalam tanah ketika tahap persiapan melainkan disimpan di salah

satu kamar di rumahnya. Tidak ada hewan korban hanyalah ritual adat singkat saja yang

dilaksanakan untuk patane untuk menyampaikan bahwa si mati belum dikuburkan secara tuntas,

baru akan dilaksanakan apabila segala persiapan sudah tersedia.34

Kesepakatan waktu untuk

pemakaman secara tuntas dilaksanakan secara musyawarah dalam anggota keluarga dari si mati

yang diistilakan dengan horoge. Sedangkan model pemakaman sementara yang terjadi di Sumba

Barat Daya berarti si mati memang dimakamkan atau dikuburkan sebagaimana mestinya hanya

penguburan itu dilaksanakan secara sederhana. Hanya beberapa ekor babi saja yang disembelih

untuk dipersembahkan kepada Arwah dan memberi makan kepada pelayat. Pemakaman yang

tuntas baru dapat dijalankan jika pihak keluarga sudah mendapatkan biaya („kerbau dll‟). Bila

persiapan sudah tersedia maka diadakanlah upacara yang di sebut makaghera (menggali tulang

dari orang tersebut) untuk dimakamkan sesuai tata cara adat yang tuntas.

33

F.D. Wellem, Op Cit, hlm.83-84 34

Bullu Routa, Op Cit, hlm.32.

Page 22: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

67

4.3.2 Makna Sosial

4.3.2.1 Hubungan Manusia Dengan Manusia

Berbicara tentang hubungan manusia dengan manusia tidak terlepas dari pribadi manusia.

Esensi manusia dinyatakan melalui esksitensi pribadi-pribadi manusia. Penekanan yang

disesuaikan dengan konsep manusia menjurus kepada sosialitas, dan tidak terkungkung dalam

otonomi individualisme.35

Kasdim Sitohang dalam bukunya Filsafat Manusia memberikan

penjelasan yang sama, “ Selain sebagai mahkluk personal, manusia juga adalah mahkluk sosial.

Ia mengalami perkembangan sebagai individu bersama dengan yang lain. Dalam arti ini,

kehadiran orang lain merupakan un sur yang mutlak. Realitas kehidupan manusia terpenuhi

bersama dengan orang lain.” 36

Upacara kematian juga mengandung makna sosial. Di dalam upacara kematian ada

keterlibatan banyak pihak, entah anggota suku/clan, sanak saudara, maupun pihak yang bukan se

suku ataupun memiliki hubungan darah dan perkawinan. Namun solidaritas menjadi

pemandangan yang tidak lazim lagi dalam upacara kematian di Sumba dan khususnya pada

masyarakat Kampung Bukaregha. Menurut informan bapak Rato Rode, pengambilan bagian

manusia dalam upacara kematian tidak hanya turut berduka atas kematian sesamanya, tetapi

lebih ditampakkan pula solidaritas, yakni melalui aneka pembawaan para undangan, berupa kain,

hewan korban, sirih-pinang, beras, kopi-gula. Di samping itu juga soal partisipasinya dalam

mengurusi segala persiapan bagi si mati yang ditandai dengan saling kerja sama dalam

35

Hans Fink, Filsafat Sosial,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2010,), hlm. 82 36

Kasdim Sitohang, Filsafat Manusia,(Yogyakarta : Kanisius,2009), hlm. 41

Page 23: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

68

mempersiapkan kubur, dari penggalian kubur, memotong batu kubur, sampai peristiwa penarikan

batu, watu odi.37

Dengan demikian dapat dipahami bahwa nuansa sosialitas tidak hanya ditunjukkan

manusia terhadap sesamanya ketika masih hidup saja, bahkan ketika sesamanya matipun sikap

sosialitas manusia nampak. Sikap sosialitas manusia terhadap manusia lain dalam masyarakat

Kampung Bukaregha serentak mengurangi beban keluarga yang berduka, sekaligus menjadi

dukungan bagi mereka dalam menghadapi setuasi duka. Karena itu, jelaslah bahwa manusia

tidak hanya mahkluk personal, serentak pula adalah mahkluk sosial yang mengalami

perkembangan dalam relas dengan yang lain.

4.3.2.2 Hubungan Keluarga Dengan Orang Lain

Dengan peristiwa upacara kematian juga timbul kesadaran dari pihak orang lain yang

sama sekali tidak mempunyai hubungan darah dan se-suku, untuk turut mengambil bagian dalam

peristiwa upacara kematian. Dengan kehadiran orang lain dimaknai sebagai adanya sikap solider

dari orang lain yang turut mengambil bahagian dalam peristiwa upacara kematian.

Peristiwa upacara kematian menjadi ajang yang tepat bagi keluarga dengan orang lain

untuk saling berbagi. Nuansa solider yang dimaksud adalah turut mengambil bagian dalam

upacara kematian dan kehadiran orang lain dilihat sebagai bentuk cinta dan perhatian serta

penghormatan baik bagi keluarga duka, maupun si mati. Dengan peristiwa upacara kematian,

segala bentuk persoalan yang terjadi antara si mati semasa hidupnya dengan orang lain dapat

diselesaikan.38

37

Bullu Pinge, Wawancara Di Kampung Bukaregha 15 Juli 2017, tersimpan dalam cacatan peneliti. 38

Bullu Pinge, Wawancara Di Kampung Bukaregha 15 Juli 2017, tersimpan dalam cacatan peneliti.

Page 24: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

69

4.3.2.3 Hubungan Keluarga Dengan Keluarga

Pada awal pembahasan telah diuraikan bahwa suku yang mendiami Kampung Bukaregha

adalah suku Bukaregha. Namun segenap anggota suku tidak semuanya menetap di Kampung

Bukaregha, melainkan berdiaspora ke luar Kampung Bukaregha, kerana pekerjaan dan peristiwa

kawin-mawin. Namun ketika mereka mati, sekalipun mereka berada jauh dari Kampung

Bukaregha, Kampung asal mereka, mereka akan di bawa kembali ke Kampung asalnya dan

dimakamkan di situ.

Peristiwa kematian seorang keluarga yang sesuku di Kampung Bukaregha menjadi ajang

di mana keluarga dapat berkumpul dan ada bersama, baik yang jauh maupun yang dekat.

Peristiwa upacara kematian melibatkan semua anggota keluarga suku/clan, tanpa terkecuali.

Semua mengambil bagian dalam peristiwa itu.

Dengan peristiwa kematian dan upacara kematian, menjadi sarana bagi anggota keluarga

sesuku yang selama ini memiliki perselisihan dengan si mati atau keluarga dari si mati berdamai.

Sebab dalam keyakinan masyarakat Kampung Bukaregha, apabila keluarga yang berselisih

paham baik dengan keluarga si mati, maupun dengan si mati tidak berdamai, maka akan

meninggalkan beban tersendiri bagi perjalanan jiwa si mati ke rumah keabadian, uma kalada.39

4.3.4 Makna Moral

Kata moral berasal itu sendiri berasa dari bahasa latin mos (tunggal) mores (jamak) dan

kata sifat moralis. Mores berarti kebiasaan, kelakuan, kesusilaan. Sedangkan moralis berati

susila. Kata ini juga searti dengan kata “ etika” ethieks dalam bahasa belanda, ethisct dalam

39

Bullu Pinge, Wawancara Di Kampung Bukaregha 15 Juli 2017, tersimpan dalam cacatan peneliti.

Page 25: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

70

bahasa inggris. Kata ini8 berasal dari bahasa yunani ethos yang kelakuan, kebiasaan. jadi secara

etimologis tidak ada perbedaan arti antar “ etika”dan “moral” jika kata “moral” dipakai sebagai

kata sifat artinya sama dengan “etis” dan jika dipakai sebagai kata benda sama dengan “etika”.

Daam penggunaan sehari-hari kedua kata ini dapat ditukartempatkan tanpa membawa

pergeseran. Dalam hal ini moral, mengatur tata sikap batin dari perilaku kita atau pedoman

bagaimana kita harus mengatur hidup agar menjadi lebih baik sesuai dengan maksud Tuhan

Yang Maha Esa. Dan kebiasaan, adat-istiadat di dalam sebuah masyarakat. Secara sederhana

moral diartikan sebagai norma yang memuat hak dan kewajiban, termasuk di dalamnya tentang

apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang dalam relasinya dengan

sesama dalam kehidupan bermasyarakat. Franz Magnis Suseno menjelaskan bahwa ajaran moral

memuat pandangan-pandangan nilai-nilai dan norma-norma moral di antara sekelompok

manusia. 40

Norma moral merupakan aturan tentang bagaimana manusia harus hidup supaya

menjadi baik sebagai manusia.41

Nilai moral yang terkandung dalam makna upacara kematian tidak terlepas pula dari

konsep kepercayaan Marapu. Bagi masyarakat Sumba, Marapu menjadi falsafah hidup bagi

berbagai ungkapan budaya Sumba. Mulai dari upacara-upacara adat, rumah-rumah ibadat („uma

urata’), rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunannya, sampai kepada seluruh aspek

kehidupan dan kegiatan orang Sumba. Marapu merupakan tata nilai mendasar yang dipegang dan

dianut oleh masyarakat Sumba.42

Tidak berbeda dengan sistem kepercayaan umumnya, Marapu

mempunyai dua peranan penting dalam kehidupan masyarakat Sumba.

40

Watu Yohanes Vianey, “ Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di Kampung

Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertai), Denpasar : Universitas Udayana, 2008), hlm.399. 41

Franz Magnis Suseno, Nilai-nilai dan Norma Moral, (Yogyakarta : Kanisius, 1991), hlm. 71. 42

Ama Malo, Wawancara Di Kampung Karuni, 20 jili 2017, Tersimpan Dalam Cacatan Peneliti.

Page 26: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

71

Menurut bapak Andereas Zula Bili, dua peranan penting Marapu dalam kehidupan

masyarakat Sumba umumnya dan masyarakat Kampung Bukaregha pada khususnya adalah:

Pertama, Marapu berperan sebagai pedoman hidup dan tingkah laku masyarakat. Marapu sendiri

mempunyai aturan-aturan atau hukum. Aturan-aturan tersebut dapat didefinisikan sebagai “

pedoman untuk berprilaku menurut tata-cara Marapu”. Aturan-aturan itu tidak hanya berkaitan

dengan akal budi dan pengertian manusia saja, melainkan dengan seluruh pola kehidupannya.

Sebagai sistem kepercayaan yang mempunyai aturan-aturan, sampai dengan saat ini masih dapat

diterima karena keseluruhan tata nilai diarahkan pada kebaikan kehidupan manusia.

Kedua, Marapu berperan sebagai penolong. Artinya ketika manusia mampu untuk

menjalankan aturan-aturan dalam Marapu maka ia akan selamat. Selamat yang dimaksudkan

adalah: Berhasil dalam segala usahanya di dunia, pertanian, pertenakan dll.Sekaligus juga, akan

dilindungi oleh Sang Pencipta melalui roh nenek moyang dari segala malapetaka. Ketiga, ketika

meniggal setelah rohnya melayang-layang diangkasa rohnya akan masuk pada langit ke-

delapan‟(surga‟).43

Untuk lebih jelasnya orang Sumba memandang alam semesta dalam gambaran „podo

makebelana laagita mono iwa makebelana tanah‟(delapan lapis langit dan tujuh lapis bumi‟).

Lapisan-lapisan bumi dihuni oleh roh jahat, susunannya dari terjahat (lapisan I‟) hingga terbaik,

yaitu hunian manusia („lapisan 7‟). Sedangkan lapisan langit dihuni oleh roh baik dari susunan

roh kurang baik (lapisan 1) hingga roh paling baik surga („lapisan 8‟). Menurut informasi bapak

Andereas Zula Bili, pemahaman ini sangat mempengaruhi pola-pola tindakan dalam masyarakat

Sumba Barat Daya. Salah satu contohnya adalah upacara kematian. Upacara kematian dirayakan

43

Ama Malo, Wawancara Di Kampung Karuni, 20 juli 2017, Tersimpan Dalam Cacatan Peneliti.

Page 27: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

72

dengan menyembelih korban seperti kerbau, kuda, sapi, babi dll, sebagai jamuan upacara

kematian, baik dengan para roh nenek moyang maupun dengan orang yang masih hidup. Mayat

dikubur dengan pakaian lengkap, dengan tumpukan kain sarung (ingi/gee), serta perhiasan

seperti, mas maupun perak. Hal ini dilakukan oleh masyarakat Sumba Barat Daya pada

umumnya dan masyarakat Kampung Bukaregha pada khususnya dengan harapan bahwa korban

yang berupa, kain sarung, serta perhiasan merupakan bekal bagi roh yang meninggal dalam

perjalanan dari langit lapisan terendah hinggan langit lapisan kedelapan („Sorga‟).44

Dalam

pemahaman masyarakat Kampung Bukaregha, apabila segala norma dan ketentuan itu tidak

dijalankan secara baik dan benar sesuai dengan tatacara yang sudah diwarisi turun temurun,

maka akan menimbulkan masalah bagi segenap anggota keluarga yang masih hidup, dan amat

berpengaruh bagi perjalanan jiwa dari si mati.

4.4 Refleksi Teologis

Sebagai masyarakat adat yang menjunjung tinggi nilai kehidupan manusia baik ketika

masih hidup maupun ketika mati, mereka tiba pada suatu ekspresi kesadaran akan eksistensi

mereka yang terikat pada Tuhan sebagai pencipta dan penyelenggara kehidupan. Sebagai

masyarakat yang menganut sistem kepercayaan Marapu, mereka percaya, bahwa kematian

bukanlah akhir dari suatu kehidupan manusia. Pemahaman ini dilandasi oleh adanya pengakuan

bahwa Allah berdaulat dalam semua masalah kehidupan dan kematian, karena Dia telah

menunjukkan karya-karya keselamatan untuk menaklukkan maut dan kehidupan.

Kesadaran manusia akan eksistensinya sebagai makhluk yang berdimensi rohani dihayati

dan diungkapkan dalam hidupnya, di mana manusia selalu mengarahkan hidupnya dalam

44

Ama Malo, Wawancara Di Kampung Karuni, 20 jili 2017, Tersimpan Dalam Cacatan Peneliti.

Page 28: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

73

membangun relasi personal dengan yang Ilahi, sesama, dan alam semesta. Manusia tidak hanya

membutuhkan sesama, tetap membutuhkan pula alam semesta tempat untuk berpijak. Kesadaran

manusia melalui relasi dengan sesama dan alam semesta menuntutnya untuk membangun relasi

dengan yang Ilahi melalui doa, persembahan dan simbol-simbol kehadiran yang Ilahi. Menurut

Mardiatmadja, kata-kata dalam nyanyian dan doa, memberikan korban, menari, penyembelian

hewan korban merupakan cara-cara manusia berhubungan dengan Tuhan.45

Aliran kepercayaan Marapu secara mutlak berpandangan bahwa Wujud Tertinggi

merupakan sumber dan penentu kehidupan manusia. Itulah sebabnya segala bentuk ritus yang

dijalankan dan sebesar apapun tuntutannya tidak dipersoalkan, karena tuntutan dari dalam diri

yang mengharuskan mereka untuk berhubungan dengan Marapu melalui doa dan hewan korban.

Inilah cara-cara manusia berhubungan dengan Ilahi. Prinsip hidup yang demikian ini semakin

menampakan jati diri setiap penganut aliran kepercayaan Marapu yang selalu mengarahkan diri

dan hidupnya pada keadaan yang absolut, mutlak.

Makna religius yang terkandung dalam penguburan orang mati dalam aliran kepercayaan

Marapu menjadi bukti bahwa di dalam aliran kepercayaan Marapu terkandung konsep tentang

Tuhan yang Ilahi sebagai pencipta, pengasih, penyayang dan penyelamat manusia. Kepercayaan

akan adanya komunitas Kampung Besar yang dalam dunia Kekristenan dikenal sebagai sorga

dilihat sebagai tempat yang sejuk, sejahtera, dan harmonis. Di Kampung Besar inilah jiwa

mengalami kehidupan baru dalam persekutuan dengan Marapu. Dalam aliran kepercayaan

Marapu, keselamatan jiwa seseorang amat diutamakan oleh anggota keluarga dari si mati yang

masih hidup, yang dapat dilihat lewat aneka doa mohon ampun kepada Wujud yang Tertinggi

atas segala salah dan dosa dari si mati agar jiwanya boleh mengalami keselamatan kekal.

45

B. S. Mardiatmadja, Panggilan Hidup Manusia, (Yogyakarta : Kanisius, 1982), hlm 74

Page 29: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

74

Bersama dengan itu Gereja juga mempersembahkan korban dan doa sebagai silih atas segala

dosa dari setiap orang yang meninggal.

Perhatian yang begitu tinggi pada aspek keselamatan jiwa seseorang yang telah

meninggal dunia merupakan tindakan kasih terhadap sesama manusia yang tidak dibatasi oleh

kematian. Wujud upacara pemakaman adalah suatu ekpresi dari manusia yang masih hidup.

Kasih terhadap sesama yang tidak dibatasi oleh kematian semakin diperluas dengan adanya

upacara pemakaman yang diselenggarakan. Bahkan upacara pemakaman bagi seseorang dalam

aliran kepercayaan Marapu dimaknai sebagai bentuk penghormatan kepada manusia dan tubuh

manusia. Hal ini didasari oleh adanya konsep pemahaman setiap penganut aliran kepercayaan

Marapu yang memandang manusia adalah makhluk ciptan Ilahi Tertinggi. Ilahi Tertinggi adalah

pemegang nafas hidup manusia. Penghormatan kepada tubuh manusia diekspresikan lewat

pemakaian pakaian kematian dan proses merias jenazah bagi si mati. Hal ini dapat dilihat pula

dalam Kitab Suci di mana ketika Yesus akan dimakamkan tubuh-Nya dibalut dengan kain kafan

dan mereka membubuhinya dengan rempah-rempah („Yoh 19:40‟).

Konsep tentang manusia yang dilihat sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang indah dan

mulia, menghantar setiap penganut aliran kepercayaan Marapu menjalankan segala ritus yang

terkandung didalamnya secara teratur dan benar. Sebab jika tidak dijalankan secara teratur dan

benar akan menimbulkan persoalan yang menimpa keluarga dari si mati yang masih hidup.

Ekspresi relegiositas dari setiap aliran kepercayaan Marapu semakin memperjelas bahwa agama

Marapu memiliki konsep mendalam tentang hidup dalam hubungannya dengan Tuhan. Sejalan

dengan pandangan ini, tepatlah apa yang dikatakan oleh Bede Briffiths yang mengatakan bahwa

setiap agama memiliki tujuan yang sama yaitu mengarahkan setiap manusia pada keadaan yang

absolut dan transenden, realitas tunggal, kebenaran abadi yang tidak bisa diungkapkan dan tidak

Page 30: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

75

bisa dipahami. Dalam situasi dan keadaan apapun manusia, secara tetap ditarik kepada kebenaran

yang transenden.46

Senada dengan pandangan di atas, Gereja Katolik memberikan penghargaan yang begitu

tinggi terhadap segala bentuk ritus dalam setiap aliran kepercayaan yang berada di luar Gereja.

Situasi ini sudah dipraktekkan oleh Gereja Katolik di Sumba dan sangat nyata pada saat jalannya

upacara pemakaman dimana unsur Marapu diselipkan dalam pemakaman Katolik. Akan tetapi

dalam hal ini dibatasi sejauh tidak menyimpang dari kebenaran dan kebajikan kristiani. Sikap

Gereja yang demikian adalah usaha Gereja Katolik di Sumba dalam membangun inkulturasi serta

menanamkan nilai-nilai Kristiani agar sungguh mengakar dalam diri umat.

Marapu sebagai sebuah agama asli masyarakat Sumba mengajarkan kepada para

peganutnya untuk membangun sikap hormat, penuh persahabatan, ramah dan terbuka dalam

tataran komunikasi serta suka mendengarkan orang lain. Sejumlah ritus tidak hanya bermuara

kepada persembahan, tetapi pula harus berawal dari persatuan dalam cinta kasih. Penulis

menawarkan refleksi teologis ini berdasarkan doa Yesus tentang persatuan “ Supaya mereka

semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau,

agar mereka juga ada di dalam kita” (Yoh. 17:21). Cinta kasih merupakan salah satu kebajikan

teologal yang terus diajarkan oleh Gereja Katolik. Allah telah lebih dulu mengasihi manusia

sebelum manusia mengasihi-Nya. Cinta-Nya membebaskan manusia dari segala dosa. Putra-Nya

datang ke dunia karena cinta-Nya yang begitu besar dan tak terbatas.

Allah menghendaki agar manusia senantiasa ada di dalam Dia baik ketika masih hidup

dan berjuang di dunia ini, maupun kelak ketika manusia dipanggil manghadap tahta

46

Bede Griffiths, Mencari Kedalaman, (Maumere : LPBAJ, 2002),hlm, 85.

Page 31: BAB IV MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI …repository.unwira.ac.id/4984/5/BAB IV.pdf · BAB IV MAKNA UPACARA ... 5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi

76

kemuliannya-Nya, dan bersatu dalam cinta kasih Allah secara absolut dan saling memandang

muka dengan muka dengan-Nya (Visio Beatafica). Sejalan dengan doa Yesus tentang persatuan,

Gereja Katolik di Sumba membangun komunikasi inkulturatif dengan agama Marapu. Hal ini

dilakukan agar tidak ada sekat yang memisahkan. Sebab Gereja Katolik di Sumba sungguh

menyadari akan pentingnya segala ritual budaya yang melekat dalam diri umatnya. Inilah bentuk

cinta kasih Gereja Katolik di Sumba dalam usaha menjaga persatuan dan pelestarian budaya

Sumba. Hal ini sejalan dengan pandangan Gereja universal yang memandang dengan

penghargaan yang jujur cara bertindak, cara hidup, peraturan dan budaya-budaya setempat yang

sekalipun dalam banyak hal berbeda dengan apa yang dipahami dan dilaksanakan dalam tradisi

Gereja Katolik, namun sebenarnya tetap menimbulkan cahaya kebenaran tersendiri.47

Meski

demikian Gereja Katolik di Sumba tidak lupa menjaga dan melestarikan iman Kristiani, sehingga

terhindar dari sinkretisme antara kepercayaan Marapu yang termanifestasi dalam berbagai ritus

yang dipraktikkan dengan ajaran iman Gereja Katolik.

Meskipun demikian, dari sisi pastoral masih dijumpai banyak kendala. Di antaranya yang

paling nyata di Sumba Timur, persoalan simpan mayat dalam waktu yang lama. Praktik ini tidak

hanya dilakukan oleh mereka yang beraliran kepercayaan Marapu tetapi juga mereka yang telah

menganut agama Kristen Katolik. Bersamaan dengan itu, Gereja selalu mengingatkan umatnya

dengan pendekatan-pendekatan, lewat pelbagai kegiatan rohani, katekese budaya, yang bertujuan

menyadarkan umat bahwa menyimpan mayat dalam waktu yang lama berdampak buruk bagi

kesehatan, lingkungan, serta dari sisi ekonomi (pemborosan). Meski demikian ritus upacara

kematian bagaimanapun juga tetap dipandang sebagai suatu bentuk religi asli yang merupakan

peninggalan leluhur orang Sumba.

47

Konsili Vatikan II., Nostra Aetate, Tentang Hubungan Gereja Dengan Agama- Agama Bukan Kristen

(21 November 1964), dal R. Hardawirjana ( Penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta : Obor, 1993), no. 2.